Acara I SUSU FERMENTASILAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI PENGOLAHAN SUSU Disusun oleh:Nama : Theresia Gilang Astuti NIM : 13.70.0123 Kelompok : D1 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA SEMARANG 2016
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Menurut SNI 3141.1:2011 susu segar merupakan cairan yang berasal dari ambing sapi
atau disebut dengan kelenjar mamae yang sehat dan bersih, kemudian susu diperoleh
dengan cara pemerahan yang benar, setelah itu kandungan alaminya tidak dikurangi
atau ditambah sesuatu apapun dan susu belum mendapat perlakuan apapun kecuali
pendinginan. Maitimu et al.(2012) mengatakan bahwa susu merupakan bahan pangan
yang memiliki nilai gizi tinggi karena kandungan gizinya yang lengkap sehingga susu
masuk ke dalam kelompok bahan pangan mudah rusak ( perishable). Berdasarkan
pendapat tersebut maka perlu pengolahan pada susu untuk memperpanjang masa simpan
dari produk. Pasteurisasi, fermentasi, pengeringan dan sterilisasi merupakan upaya
pengolahan yang dapat memperpanjang umur simpan produk (Zubaidah et al., 2010).
Salah satu alasan mengapa susu dikelompokkan menjadi bahan pangan yang mudah
rusak yaitu karena susu memiliki nilai gizi yang tinggi karena mengandung unsur-unsur
kimia yang dibutuhkan oleh tubuh, terutama protein dan lemak yang kadarnya tinggi.
Komponen utama susu adalah air sebesar 87,90 %, protein sebesar 3,50 %, lemak
sebesar 3,50 - 4,20 %, serta vitamin dan mineral sebesar 0,85 % (Estiasih dan Ahmadi
dalam Cahyono et al. 2013). Kandungan gizi yang tinggi menyebabkan susu menjadi
media yang tepat untuk pertumbuhan mikroorganisme yang akan menyebabkan
kerusakan protein susu.
Fermentasi sebagai upaya pengawetan produk merupakan suatu metode yang sudah
cukup tua dan sudah banyak dikenal didunia pengolahan pangan. Pada proses
fermentasi, akan dihasilkan produk dengan tekstur dan rasa yang berbeda dengan produk mula-mula. Perubahan fisik dan kimia dari proses fermentasi termasuk
perubahan yang menguntungkan karena menambah cita rasa dan menghasilkan aroma
yang khas. Pada umumnya, proses fermentasi melibatkan sejumlah mikroorganisme dan
proses fermentasi tersebut akan merubah laktosa menjadi glukosa dan galaktosa
sehingga lebih mudah untuk dicerna terlebih untuk penderita lactose intolerance.
Menurut Brian dalam Gianti & Herly (2011) proses fermentasi ini menghasilkan produk
asam laktat serta alkohol dan senyawa lain yang berkontribusi terhadap aroma, rasa
serta tekstur yang khas. Proses fermentasi ini juga dapat menghambat pertumbuhan
mikroorganisme terutama kelompok yang tidak tahan terhadap kondisi asam terlalu
tinggi.
Dalam proses fermentasi ini terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi antara
lain kualitas dari susu yang digunakan seperti total padatan susu, jenis susu, jumlah
starter yang digunakan dalam proses fermentasi serta konsentrasinya yang berbeda-
beda. Dalam proses fermentasi, pemisahan whey susu daalam pembuatan susu
fermentasi wajib dihindari karena dapat menyebabkan pembentukan curd yang tidak
stabil dan mudah rusak. Pemisahan whey dapat dipengaruhi oleh suhu penyimpanan dan
rendahnya total padatan serta goncangan selama proses transportasi (Chairunnisa et al.,
2006). Dalam pembuatan susu fermentasi biasa digunakan mikroorganisme penghasil
asam laktat. Selama proses fermentasi berlangsung, harus diperhatikan kondisi
pemeraman karena kondisi yang salah dapat menghambat perkembangan starter . Media
berupa susu dalam proses fermentasi susu harus bebas dari residu antibiotik dan residu
lainnya. Pertumbuhan starter yang terhambat akan menghambat pula pembentukan
asam dan akan menghasilkan aroma yang kurang enak (Sudarmadji dan Kuswanto
dalam Gianti & Herly, 2011).
Pada praktikum ini dibuat susu fermentasi yang berbeda setiap kelompok yaitu
pembuatan yoghurt , kefir dan acidophilus milk . Meskipun ketiga produk tersebut sama-
sama melewati proses fermentasi tetapi pada hasil akhir produk dihasilkan karakteristik
yang berbeda. Menurut Usmiati & Abubakar (2009) perbedaan tersebut dipengaruhi
oleh perbedaan penggunaan kultur pada masing-masing produk. Penggunaan fresh
culture dalam susu fermentasi ini diawali dengan mengaktifkan kultur tersebut padamedia MRS Broth cair dan diinkubasi selama 48 jam. Setelah itu akan terbentuk
endapan pada media kemudian dicuci dengan garam fisiologis 0,85% ( food grade).
Sebelum menggunakan kultur tersebut maka media berupa susu dipanaskan sebanyak
100 ml dengan suhu 85oC dan ditunggu hingga suhunya turun menjadi 45°C (terasa
hangat di tangan). Hasil panen kultur kemudian dituangkan ke dalam susu cair tersebut
dengan perbandingan 1:1. Setelah itu dilakukan inkubasi kembali pada suhu 42-44°C
hingga terbentuk curd (± 1 hari) dan diaduk hingga rata sehingga inokulum kultur segar
dapat digunakan dalam pembuatan susu fermentasi.
3.1.
Yoghurt
Yoghurt merupakan salah satu produk pangan hasil fermentasi susu yang cukup dikenal
oleh masyarakat luas. Pada umumnya yoghurt memiliki tekstur seperti bubur dengan
rasa yang asam dan terdapat rasa manis serta memiliki aroma yang segar. Yoghurt ini
dapat dibuat dari berbagai jenis susu yaitu susu sapi, susu kambing, susu kerbau, susu
domba maupun susu unta. Produk yoghurt mengandung paling sedikit 3,25% lemak
susu dan 8,25% milk solid non fat (Weerathilake et al ., 2014). Menurut Sharma &
Caralli(1998), kandungan gizi pada yoghurt sama dengan susu, namun kadar gulanya
lebih rendah dan rasanya lebih asam. Yoghurt merupakan sumber protein dan kalsium
yang baik, terdapat kandungan vitamin B2 dan B3 yang tinggi. Yoghurt ini memiliki
fungsi untuk kesehatan yaitu memperlancar pencernaan, baik bagi penderita gangguan
lambung dan usus yang terluka, menurunkan kadar kolesterol dan bermanfaat bagi
penderita defisiensi enzim laktase (Astawan & Astawan, 1998). Yoghurt ini biasanya
dibuat dengan mengkoagulasikan susu pasteurisasi atau susu rendah lemak dengan
mencampurkan bakteri asam laktat hingga memiliki tekstur seperti custard.
Lactobacilluss bulgaricus dan Streptococcus thermophiles merupakan salah satu contoh
bakteri penghasil asam laktat yang dapat digunakan dalam proses fermentasi.
Pada praktikum, pembuatan yoghurt dilakukan oleh kelompk D1 dan D2 dengan
inokulum yang berbeda yaitu menggunakan fresh culture dan plain yoghurt. Prinsip
pembuatan yoghurt yaitu dengan menambahkan satu atau lebih kultur bakteri ke dalam
susu krim atau skim maupun whole milk . Asam laktat yang dihasilkan akan menurunkan pH susu dan menyebabkan terjadinya penggumpalan protein dan dihasilkan senyawa
volatil yang berkontribusi terhadap flavor dan aroma yoghurt (Weerathilake et al .,
2014). Pertama yang dilakukan adalah memanaskan susu skim dan susu cair segar
secara terpisah dengan panci enamel dengan suhu 85˚C selama 2 menit. Pemanasan
dengan suhu 85˚C selama 2 menit dapat dikatakan serupa dengan metode pemanasan
pasteurisasi karena suhu dipanaskan pada suhu dibawah titik didihnya. Pasteurisasi ini
bertujuan untuk menghilangkan sebagian mikroorganisme kontaminan yang ada
didalam susu dan menginaktifkan sejumlah enzim yang berpotensi sebagai penghambat
dalam pembuatan yoghurt . Menurut Weerathilake et al . (2014) suhu yang digunakan
dalam pasteurisasi yaitu 80-85˚C selama 30 menit. Suhu yang digunakan dalam
praktikum kurang sesuai dengan pustaka yang ada sehingga masih memungkinkan
adanya mikroorganisme yang hidup didalam susu. Metode pasteurisasi ini merupakan
metode pemanasan pada susu yang diijinkan meskipun hanya membunuh sebagian
mikroorganisme. Metode pemanasan lainnya seperti sterilisasi tidak diperbolehkan
karena dapat merusak komponen susu dan menyebabkan kondisi susu menjadi tidak
stabil sehingga dapat memicu terbentuknya lapisan / layer selama penyimpanan
(Rahmawati et al., 2014).
Setelah proses pemanasan, maka 110 ml susu skim dan 115 ml susu cair segar dicampur
merata didalam botol steril dan segera ditutup lalu didinginkan dengan cara direndam
pada baskom yang berisi air hingga suhu menurun (43-45˚C). Pendinginan ini perlu
dilakukan untuk menghindari kultur yang mati akibat suhu media yang terlalu panas
(Weerathilake et al ., 2014). Okoro (2009) menambahkan bahwa penambahan susu skim
akan meningkatkan total padatan di dalam susu dan akan berkontribusi terhadap rasa
dan tekstur akhir yang dihasilkan. Pencampuran susu skim pada pembuatan yoghurt ini
juga dapat meningkatkan kekentalan, aroma, keasaman, protein, serta mengurangi
aroma langu pada produk akhirnya (Potter, 1987). Setelah itu ditambahkan kultur
starter sebanyak 10%, yaitu 25 ml (kelompok D1 menggunakan kultur segar dan D2
menggunakan plain yoghurt komersial) dan diaduk dengan batang pengaduk kaca
secara aseptis. Setelah selesai, wadah ditutup dengan aluminium foil atau plastik untuk
meminimalkan terjadinya kontaminasi. Kemudian dilakukan inkubasi pada suhu 42-
44˚C selama 1 hari sampai terbentuk custard yang diinginkan. Sumner & Hutkins(1990) mengatakan pengontrolan suhu yang akurat dapat menjamin terjadinya koagulasi
yang cepat dalam proses pembuatan yoghurt. Apabila sudah terbentuk gumpalan, maka
proses inkubasi dihentikan dan susu diaduk perlahan hingga kental merata sehingga
dihasilkan yoghurt . Agustina et al. (2013) mengatakan penggumpalan susu dapat
disebabkan oleh kasein yang bersifat sangat peka terhadap perubahan keasaman.
Pada hasil percobaan, yoghurt dengan menggunakan inokulum kultur segar memiliki
tingkat kekentalan yang lebih rendah dibandingkan dengan yoghurt yang dibuat
menggunakan plain yoghurt komersial, namun tetap memiliki derajat keasaman yang
mendekati sama yaitu 4 dan 4,5. Apabila dibandingkan antara yoghurt dengan fresh
culture dan plain yoghurt komersial maka karakteristik yoghurt dengan inokulum plain
yoghurt komersial lebih baik, dapat dilihat dari tingkat kekentalannya yang lebih tinggi
menandakan koagulasi protein susu terjadi lebih sempurna. Kekentalan yoghurt
disebabkan karena pembentukan asam laktat yang dapat mendestabilisasi membran
kasein, sehingga menyebabkan koagulasi protein susu dan pembentukan gel yoghurt
(Eskin, 1990). Walstra dalam Robinson et al. (2006) mengungkapkan beberapa faktor
yang mempengaruhi viskositas dari produk yoghurt adalah suhu inkubasi, konsentrasi
kasein, perlakuan pemanasan susu, keasaman dan tipe kultur starter. Starter
Streptococcus thermophilus akan menghasilkan kadar protein dan kadar laktosa terbaik,
sedangkan kombinasi antara Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus bulgaricus
akan menghasilkan yogurt dengan kadar lemak terbaik (Hafsah dan Astina, 2012).
3.2. Kefir
Kefir merupakan hasil produk olahan susu yang dihasilkan dari fermentasi susu yang
telah dipasteurisasi dan ditambahkan starter berupa butir atau biji kefir (kefir
grains/kefir granule) (Usmiati dalam, Agustina et al. 2013). Lengkey et al . (2013)
mengatakan bahwa kefir dihasilkan dari fermentasi menggunakan bakteri mesofil dan
yeast . Biakan starter kefir merupakan campuran dari bakteri asam laktat dan ragi. Biji
kefir ini mengandung Lactobacillus kefiri, spesies dari genus Leuconostoc, Lactococcus
dan Acetobacter . Biji kefir juga mengandung khamir yang dapat memfermentasi laktosa
yaitu Kluyveromyces marxianus maupun yang tidak dapat memfermentasi laktosa yaituSaccharomyces unisporus, Saccharomyces cerevisiae dan Saccharomyces exiguous
(CODEX, 2003 dalam Agustina et al., 2013). Selama proses fermentasi, bakteri asam
laktat akan mengubah laktosa menjadi asam laktat yang menyebabkan pH susu turun
dan menggumpalkan protein susu. Sedangkan yeast akan memfermentasi laktosa
menjadi alkohol dan gas karbondioksida yang menyebabkan kefir berbau menyengat
(Abubakar et al ., 2000 dalam Agustina et al ., 2013).
Langkah-langkah dalam pembuatan kefir hampir sama dengan langkah pembuatan
yoghurt . Pertama yaitu pasteurisasi susu segar menggunakan suhu sekitar 85-95oC
selama 2 menit. Harlia et al . (2010), pemanasan ini termasuk dalam pasteurisasi HTST
( High Temperature Short Time) karena suhu yang digunakan cukup tinggi namun masih
dibawah titik didih dan dilakukan dalam waktu yang singkat. Susu yang telah
dipanaskan tersebut dimasukkan ke dalam wadah kaca yang telah disterilisasi dan
dilakukan proses pendinginan. Susu yang telah hangat kemudian dicampurkan dengan
kultur starter sebanyak 8% atau sebanyak 20 ml. Kelompok D3 menambahkan 20 ml
fresh culture, sedangkan kelompok D4 menambahkan 20 ml plain kefir komersial.
Setelah selesai, wadah ditutup dengan aluminium foil atau plastik untuk meminimalkan
terjadinya kontaminasi. Kemudian dilakukan inkubasi pada suhu 20-25˚C selama 1 hari
sampai terbentuk custard yang diinginkan. Selanjutnya setelah inkubasi, susu
dipindahkan ke suhu 4˚C. Apabila sudah terbentuk gumpalan, maka proses inkubasi
dihentikan dan susu diaduk perlahan hingga kental merata sehingga dihasilkan kefir.
Berdasarkan tabel hasil pengamatan, kefir yang dibuat kelompok D3 dan D4
menghasilkan pH 4,5 dan 4. Hasil pengamatan ini sudah sesuai dengan Agustina et al .
(2013) bahwa produk kefir komersial umumnya mempunyai pH yang berkisar antara
3,8-4,6. Sedangkan dari segi kekentalan, kefir dari fresh culture lebih kental dibanding
plain kefir komersial. Hal ini dapat disebabkan karena aktivitas fermentasi dari fresh
culture lebih baik daripada kefir komersial, sehingga protein susu yang digumpalkan
lebih banyak dan kefir yang dihasilkan lebih kental (Agustina et al ., 2013).
3.3. Acidophi lus mil k
Acidophilus milk merupakan produk fermentasi yang menggunakan bakteri Lactobacillus acidophilus. Acidophilus milk dapat dikatakan juga probiotik yang dapat
menghambat pertumbuhan bakteri patogen seperti Salmonella thypimurium yang dapat
menyebabkan terjadinya infeksisaluran cerna, dikenal dengan nama salmonellosis.
Probiotik adalah suplemen makanan yang terdiri dari mikroba yang masih hidup yang
memiliki efek menguntungkan yaitu dapat meningkatkan keseimbangan mikroba di
dalam saluran pencernaan hostnya yaitu manusia. Acidophilus milk dibuat dengan cara
memfermentasikan susu dibawah kondisi yang mendukung pertumbuhan bakteri asam
laktat yang bersifat termofilik. Menurut De Roos & Katan dalam Amiri et al . (2010),
strain Lactobacillus acidophilus menjadi sangat aktif ketika ditanamkan dalam saluran
pencernaan manusia. Human Intestinal Implantable atau bakteri yang dapat ditanamkan
pada saluran pencernaan manusia. Tidak semua bakteri termasuk dalam human
intestinal implantable karena dipengaruhi oleh ketahanan bakteri terhadap pH saluran
pencernaan yang bersifat asam, sehingga hanya kelompok bakteri tertentu yang dapat
aktif di dalamnya. Ketika kita meminum bakteri ini, enzim glukoronidase, enzim
nitroreduktase dan bakteri fecal (dapat menyebabkan kanker) akan berkurang yang
menyebabkan produksi fecal berkurang. (Goldin & Gorbach, 1984). Bakteri
Lactobacillus acidophilus diketahui mampu bertahan pada pH 1-4, tahan terhadap
garam empedu, mampu mendegradasi enzim-enzim pada susu dan mampu mengurangi
aktivitas metabolit yang bersifat toksik seperti fenol (Kailasapathy & Chin, 2000)
Untuk membuat produk ini, pertama dilakukan pemanasan susu skim sebanyak 245 ml
pada suhu 85oC selama 2 menit. Setelah itu dimasukkan kedalam wadah kaca steril dan
segera ditutup serta didinginkan. Susu yang telah hangat kemudian dicampurkan dengan
kultur starter sebanyak 1% atau sebanyak 5 ml. Hal ini sesuai dengan teori dari Eti et al.
(2004) yang mengatakan bahwa starter Lactobacilluss acidophilus yang digunakan
adalah sabanyak 1-3%. Setelah selesai, wadah ditutup dengan aluminium foil atau
plastik untuk meminimalkan terjadinya kontaminasi. Kemudian dilakukan inkubasi
pada suhu 37˚C selama 1 hari sampai terbentuk smooth curd . Apabila sudah terbentuk
gumpalan, maka proses inkubasi dihentikan dan susu diaduk perlahan hingga kental
merata sehingga dihasilkan acidophilus milk .
Berdasarkan tabel hasil pengamatan, diketahui bahwa kelompok D5 menghasilkan produk acidophilus milk dengan pH 6. Hasil pengamatan ini tidak sesuai dengan Junaid
et al . (2013) bahwa pH acidophilus milk yang dihasilkan pada hari pertama fermentasi
adalah 4,5 dan akan terus menurun seiring dengan lamanya waktu penyimpanan. Hal ini
dapat disebabkan adanya kontaminasi mikroorganisme lain yang menghambat kinerja
Lactobacillus acidophilus dalam memfermentasi laktosa (Junaid et al ., 2013). Karena
pH nya yang cukup tinggi, maka pembentukan tekstur juga menjadi terpengaruh. Hal ini
dapat disebabkan karena pembentukan koagulasi protein kurang maksimal. Seharusnya