24 KOMPAS, SABTU, 3 SEP TEMBER 2 01 6 Akhir Pekan Buku Telisik Ilmiah ”Gamelan Minangkabau” u Judul: Gongs & Pop Songs: Sounding Minangkabau in Indonesia u Penulis: Jennifer A. Fraser u Penerbit: Ohio University Research in International Studies, Ohio University Press u Cetakan: I, 2015 u Tebal: xv + 270 halaman u ISBN: 978-0-89680-294-0 Berbagai pertunjukan talempong kre- asi baru ini kemunculannya merupakan konsekuensi logis dari fenomena in- stitusionalisasi terhadap musik ini. Ta- lempong diatonik pada awalnya me- rupakan eksperimen yang dilakukan oleh para dosen ISI Padang Panjang (ketika masih bernama ASKI) yang ke- mudian melahirkan orkes talempong. Tetap berfokus pada talempong di- atonik kreasi baru, Jennifer mengana- lisis bagaimana pasar membentuk dan menghidupkan baik genre-genre kese- nian tradisional maupun kreasi-kreasi baru; atau bisa dirumuskan secara se- baliknya: bagaimana kesenian dimodi- fikasi dan dibentuk untuk disesuaikan dengan kehendak pasar dan kehendak khalayak pembayar. Transformasi talempong Pada bab kesimpulan, Jennifer me- rangkum efek musikal dan kultural dari transformasi talempong akibat terjadi- nya institusionalisasi, profesionalisasi, dan monetisasi kesenian tradisional di Indonesia. Ada dua poin penting yang dikemukakannya dalam bab pemungkas ini. Pertama, pengajaran kesenian tra- disional Minangkabau melalui institu- si-institusi pendidikan formal telah me- nurunkan kualitasnya. Tujuan pelesta- rian yang dilakukan oleh berbagai lem- baga pendidikan seni di Sumatera Barat justru membawa kesenian tradisional itu ke arah sebaliknya: lembaga-lembaga pendidikan seni, seperti ISI Padang Pan- jang, justru melemahkan musik talem- pong itu sendiri ( juga genre-genre lain- nya) ketimbang memperkuat atau me- l e st a r i k a n ny a . Menurut Jennifer, hal itu secara tidak disadari terjadi melalui empat cara. Per- tama, dengan mendekontekstualisasi- kan genre-genre kesenian tradisional itu dan mengeluarkannya dari sistem nilai asli yang semula melekat padanya. Ke- dua, dengan menerapkan pendekatan pedagogis dalam pengajaran kesenian tradisional yang berakibat mencair atau menipisnya kandungan estetisnya. Ke- tiga, dengan memproduksi kelas musisi kampus yang cenderung mengabaikan atau memandang rendah praktik-prak- tik musik para seniman tradisional di kampung-kampung dan memarjinalkan posisi seniman-seniman tradisi terse- but. Terakhir, dengan mendorong per- kembangan kesenian tradisional melalui bentuk-bentuk ekspresi baru yang na- manya otomatis diidentikkan dengan para musisi kampus itu. Berbeda dengan pandangan penulis buku ini tentang adanya efek ”negatif” dari institusionalisasi kesenian daerah di sejumlah lembaga pendidikan seni, saya sendiri justru melihat bukan tidak ada efek positif yang ditimbulkannya. Pem- baruan-pembaruan musikal mengingat- kan orang kepada versi tradisional atau yang aslinya. Penampil (performer) tra- disional tetap punya ruang kreasi sendiri di samping timbalan (counterpart) me- reka yang membuat kreasi-kreasi baru. Dinamika kesenian daerah tidak mung- kin dapat dihambat: ia berubah meng- ikuti perubahan lingkungan geografis dan masyarakatnya. Kedua, transformasi talempong telah mengubah musik ini dari sekadar pe- nanda identitas sub-lokal yang semula hanya asosiatif dengan nagari menjadi penanda identitas etnik yang mewakili Minangkabau secara keseluruhan. Se- bagai simbol etnis yang bersifat pan-Mi- nangkabau (supra nagari), fungsinya sama dengan lagu pop Minang, seba- gaimana telah saya bahas dalam di- sertasi saya, The Recording Industry and ’Regional’ Culture in Indonesia: The Case of Minangkabau (Leiden University, 2014). Berbagai kreasi baru musik ta- lempong tersebut telah ikut mendorong meningkatnya kepekaan etnik (ethnic sensibilities), dalam konteks ini: pera- saan keminangan. Membaca buku ini jelas memperkaya pengetahuan kita tentang dinamika ke- senian tradisional yang terjadi di In- donesia di masa kontemporer ini. Apa yang terjadi pada ”gamelan Minang- kabau” di Sumatera Barat ini boleh jadi mewakili keadaan musik tradisional di banyak daerah lainnya di Indonesia. Serbuan budaya asing telah mempe- ngaruhi kesenian daerah, mengubah strukturnya, dan juga persepsi masya- rakat terhadapnya. Satu pertanyaan yang tidak ditemu- kan jawabannya dalam buku ini, yaitu mengapa musik talempong yang cen- derung menghadirkan suasana ceria bisa eksis dalam kultur musik Minangkabau yang cenderung melankolis dan me- nonjolkan kesedihan? Irama musik yang identik dengan d a re k (pedalaman Mi- nangkabau) ini ”kebanyakan menim- bulkan rasa kegembiraan dan semangat b e ke r j a ” (lihat: ”Seni Suara Minang- kabau”, dalam Z. Moechtar & Aman St. Sinaro, Pantjaran Budaja: Buku batjaan mengenai kebudajaan dan kemasjara- katan untuk Sekolah2 Landjutan Bagian Atas di Indonesia (S.M.A., S.G.A., S.M.E., dan lain-lain). Djakarta: Penerbit ”Si- l i wa n g i ” N.V., 1953: 64) Gongs & Popsongs adalah buku yang kaya secara akademis. Dengan analisis dan interpretasi yang mendalam, buku ini jelas merupakan sebuah sumbangan ilmiah yang penting untuk memahami dinamika kesenian lokal Indonesia di zaman kontemporer. Ia merupakan sa- lah satu rujukan ilmiah yang berharga untuk studi etnomusikologi dan etno- grafi mengenai musik daerah di In- donesia. SURYADI Dosen dan Peneliti di Leiden Insti- tute for Area Studies (LIAS), Universiteit Leiden, Belanda RAGAM PUSTAKA Hikayat Musik Tradisional Jawa I nteraksi yang berlangsung lama antara orang Jawa dan orang asing mengakibatkan transformasi kebudayaan dan mem- bentuk tradisi Jawa yang kompleks. |Termasuk musik tra- d i s i o n a l ny a . Dalam publikasi berjudul Gamelan, Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa (Pustaka Pelajar, 2003), Su- marsam membagi tiga babak pertemuan kebudayaan Jawa dengan kebudayaan asing. Era itu adalah Jawa-Hindu, Ja- wa-Islam, dan Jawa-Barat yang mengiringi perkembangan mu- sik tradisional Jawa. Sejarah musik Jawa dapat ditelusuri dari periode awal kerajaan Hindu di Jawa Tengah (abad ke-8 sampai abad ke-10), meski fakta-fakta musikal pada periode ini langka. Memasuki periode Jawa-Islam (abad ke-15), keterbukaan orang Jawa terhadap musik dan tari-tarian dilestarikan oleh sufisme. Menurut sufisme, musik dan tari-tarian dapat dipakai sebagai sarana untuk bersatu dengan Tuhan. Interaksi budaya Jawa dan Barat berawal saat pelaut Eropa singgah di pantai Jawa pada akhir abad ke-16. Mereka memainkan musik untuk penguasa setempat. Masuknya musik Eropa tahap kedua terjadi saat para pedagang Portugis mengenalkan musik mereka yang dimainkan oleh budak-budak asal India, Afrika, dan Asia Tenggara. Setelah perang besar di Jawa pada 1825-1830, watak asli kolonial mulai muncul, berupa eksploitasi dan kontrol Belanda di Nusantara sampai abad ke-20. Pada era itu jalinan erat antara penguasa Belanda dengan para bangsawan Jawa turut me- mengaruhi budaya adiluhung Jawa. Seperti musik orkestra yang dimainkan bersama alunan gending Jawa di keraton (TGH/LITBANG KOMPAS) Jejak Kesenian Tradisional Banten D alam ranah etnomusikologi, studi musik terfokus pada musik sebagai obyek yang terkait dengan kebudayaan di mana musik tersebut diproduksi. Wacana soal musik tradisional sebagai salah satu aktivitas kesenian, harus kembali pada kebudayaan sebagai induk wacana. Purwo Rubiono dalam buku berjudul Misteri Pelog dan Slendro, Studi Musik Pentatonis di Banten (Dinas Pendidikan Provinsi Banten, 2012) menulis, diskusi soal nada pentatonik harus dikaitkan dengan gamelan. Bunyi gamelan, seperti yang ditemukan di Jawa, Madura, dan Bali, menghasilkan 5 tangga nada (pentatonik) asli Indonesia, yakni pelog dan slendro. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara dengan sejumlah tokoh/pelaku kesenian tradisional Banten, Purwo menemukan jejak kesenian tradisional Banten yang masih hidup hingga kini. Sisa-sisa kesenian tradisional itu sulit dipublikasikan karena belum dilakukan penelitian mendalam. Sehingga Banten hanya dikenal dari debusnya saja. Adapun jejak kesenian dan kebudayaan Banten itu, antara lain Angklung Buhun (alat musik dari bambu yang berukuran lebih besar dari angklung biasa), Suling Buhun (alat tiup dari bambu), Calung Renteng (kumpulan bambu yang diikat dengan tali), dan Ubrug (seni pertunjukan yang diiringi gamelan berlaras slendro, lengkap dengan penari dan sinden). Merujuk pada keberadaan suku Baduy, maka Angklung Buhun adalah alat musik asli Banten. Usianya sama dengan usia masyarakat Baduy beserta aktivitas pertaniannya. Angklung Buhun yang berlaras slendro, di Kanekes dimainkan dalam satu rangkaian ngaseuk (ritual menanam padi). (TGH/LITBANG KOMPAS) Publikasi ilmiah internasional tentang alat musik idiophone Indonesia selain gamelan Jawa dan Bali boleh dibilang masih langka. Karena itu, terbitnya buku yang membahas talempong Minangkabau dapat dianggap istimewa. OLEH SURYADI M inat Jennifer yang kini menjadi associate professor etnomusi- kologi dan antropologi di Ober- lin College Ohio pada musik talempong relatif agak menyimpang dari kecen- derungan umum sarjana asing yang bia- sanya lebih tertarik meneliti ”paradoks” sistem kekerabatan matrilineal dan aga- ma Islam di Minangkabau. Buku ini berasal dari disertasi pe- nulisnya berjudul Packaging Ethnicity: State Institutions, Cultural Entrepre- neurs, and the Professionalization of Mi- nangkabau Music in Indonesia (2007). Dilengkapi dengan contoh-contoh video, audio, dan foto-foto yang tersedia secara online, buku ini menganalisis transfor- masi musik talempong yang sejak 60 tahun terakhir telah mengalami per- ubahan sebagai respons terhadap ber- bagai kekuatan di luarnya, termasuk kompleksitas peristiwa politik, pelem- bagaan (institusionalisasi), profesiona- lisasi kesenian, dan tekanan-tekanan da- ri sistem ekonomi pasar bebas. Dalam tulisan yang terbagi dalam enam bab, Jennifer memetakan talem- pong dalam konteks nagari, unit geo- politik tradisional Minangkabau yang independen. Kemudian menelusuri le- bih jauh permainan musik talempong secara tradisional dan konteks sosial- budaya masyarakat Minangkabau dan meneropong fenomena monetisasi ta- lempong yang telah mendorong mun- culnya kreasi-kreasi baru musik ini. SENI RUPA Yang Kecil dan yang Feminin OLEH THOMAS PUDJO WIDIJANTO Karyanya berjudul ”Dreamer” seperti menggambarkan kerinduan seorang pe- rempuan akan kasih sayang. Perempuan berbadan putih mulus dengan latar be- lakang warna hitam pekat. Di atas kepala perempuan itu bertaburan berbagai ben- tuk bunga, bunga cinta atau bunga kasih sayang berwarna merah. Bentuk-bentuk bunga kasih sayang yang bermacam-ma- cam itu seolah menunjukkan bahwa makna kasih sayang itu tidak tunggal. Bukan beban Karya Bunga Jeruk memang tidak senapas dengan karya Feintje. Perem- puan yang pernah satu kos saat ber- kuliah di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta ini lebih membidik figur-fi- gur realis baik yang berupa profil wajah atau lengkap dengan tubuhnya. Namun, jika dilihat pesan yang hen- dak disampaikan, keduanya ingin ber- tutur. Berbicara tentang apa yang dilihat di sekelilingnya, yang pasti tentang ma- nusia. Seperti mendongeng tentang kultur Bali lewat karyanya berjudul ”Balinesse B oy ”, Feintje menggambar profil se- orang remaja Bali berpakaian adat leng- kap dengan aksesoris kepala. Dari co- raknya, jelas tampak pakaian adat klasik. Feintje seperti ingin berbicara ada per- ubahan yang berjalan dalam pakaian adat Bali. Dalam seri karyanya berjudul ”Fr e i n d s h i p ” I, II, III, dan IV mene- gaskan Fientje memang ingin menun- jukkan profil atau sosok manusia In- donesia lengkap dengan pakaian khas- nya. Termasuk karyanya berjudul ”Lo- tus”, berupa bunga lotus yang menaungi sosok perempuan, juga ingin menun- jukkan bahwa lotus memiliki makna kultural di beberapa daerah, termasuk di dalamnya Bali. Melukis dengan ukuran kecil antara 25 x 25 cm sampai 25 x 35 cm memang menjadi niatan keduanya dalam pamer- an kali ini. ”Biasanya saya melukis de- ngan ukuran besar dan bisa berbu- lan-bulan baru selesai. Untuk pameran di Sangkring ini, saya ingin melukis dengan lebih fun, lebih bebas, dan santai, yang bukan berarti seenaknya. Kita ha- rus benar-benar cermat, mengapa me- lukis obyek tertentu yang terlalu se- derhana, harus dilukis dalam ukuran b e sa r, ” kata Bunga Jeruk. Akan sangat berarti jika dengan kan- vas ukuran kecil, semua obyek bisa di- lukis. Ada obyek tertentu yang hanya menarik secara visual, artinya tidak ada visi dan misi tertentu yang ingin di- sampaikan. Hanya sekadar melukis ob- yek yang dipandang indah. ”Ka t a k a n l a h , obyek itu terlalu ’ringan’ untuk kanvas ukuran besar, kanvas ukuran kecil, itu tidak menjadi masalah,” k a t a ny a . Menurut Bunga Jeruk lukisan besar terlalu memerlukan space yang besar juga. Lukisan kecil terasa lebih intim interaksinya dengan penikmat, karena harus dilihat lebih dekat. ”Kalo lukisan besar, justru harus dilihat dari jauh,” k a t a ny a . Hampir semua karya Bunga Jeruk memang menunjukkan sebuah harmoni kehidupan, meski harmoni itu hanya sebuah impian atau ilusi sekali pun. Bukan hanya harmoni makna, tetapi juga harmoni tata warna. Karena itu, lukisan Bunga Jeruk yang kenes (cantik menggemaskan) ini juga menarik di- tonton remaja-remaja SMP atau SD ka- rena kagum pada figurnya yang me- nyerupai vignette. Perupa Putu Sutawijaya yang juga pemilik Sangkring Art Space menya- takan, pameran dua perupa perempuan yang berukuran kecil-kecil itu justru menimbulkan inspirasi adanya alternatif baru dalam panggung pameran seni rupa Indonesia. ”Terkadang pameran, apalagi pamer- an tunggal selalu terbebani mimpi-mim- pi besar yang malah menjadi pengham- bat terpenuhinya sebuah keinginan ber- ekspresi. Pameran lukisan sebenarnya tidak perlu dengan karya-karya ukuran besar. Meski kecil kalau memberi se- ntuhan, mengapa tidak? Besar kecil ukuran jangan memberi beban bereks- presi,” kata Putu. Pada akhirnya, apa yang ditampilkan dua perupa ini, bisa disebut sebagai yang kecil dan feminin, serta menaburkan keindahan yang me- neduhkan. B ayangan lukisan berukuran besar langsung sirna saat memasuki ru- ang pameran dua perupa perem- puan, Bunga Jeruk dan Feintje Likawati, di Sangkring Art Space, Yogyakarta. Kar- ya rupa kecil-kecil yang dipamerkan 14 Agustus-14 September 2016 itu justru menawarkan alternatif baru dalam panggung pameran seni rupa Indone- sia. Dua perupa Yogyakarta, Bunga Jeruk dan Feintje, bukanlah perupa kemarin sore dalam tataran estetika seni rupa di Tanah Air. Keduanya sudah sangat ber- pengalaman, bagaimana membangun si- kap kesenimannya. Karena itu, pemi- lihan berpameran ukuran di bawah 50 cm tentu tak lepas dari kedewasaan strategi bagaimana harus bersikap dalam membangun profesi. Bolehlah karya mereka kecil-kecil, tetapi penggambaran kekuatan kedua perupa dalam membangun konsep karya terasa sekali. Bunga Jeruk mampu me- nunjukkan teknik pewarnaan yang be- gitu eksploratif. Demikian pula Feintje karya-karya d ra w i n g - nya, menunjukkan kematangannya dalam membangun da- sar karya lukis yang tak lagi konven- sional. Karya Bunga Jeruk berjudul ”Bol- d fi s h ”, misalnya menyuguhkan kontro- versi perangai binatang kucing dan ikan. Ikan bersayap yang berwarna kuning itu, dengan riang berenang dalam air yang berwarna padat biru tua bagian bawah dan biru muda di bagian atas. Tanpa rasa takut ikan itu berenang di dekat kucing berwarna hitam legam. Mata kucing membelalak dalam dua warna, kelopak mata hitam dengan di- kitari warna hijau dan kuning dan bibir warna merah muda. Kucing yang ber- wajah sangar, ikan yang bergembira, ketika dipandang secara keseluruhan, bukan menjadi kisah pemangsaan, tetapi justru tampak adanya harmoni dalam tata warna gambar yang ceria. Demikian halnya karya berjudul ”Bla- ck Cat”. Kucing hitam yang dalam ke- yakinan Jawa sering dipahami sebagai binatang mistis dan angker. Di atas ke- pala kucing hitam bertengger burung berwarna putih cantik, indah. Bukan kucing memangsa burung itu, tetapi bu- rung itu seperti terlindungi oleh si ku- cing. Kehidupan fauna darat dan air ham- pir mendominasi keseluruhan karya Bu- nga Jeruk, yang disatukan dalam latar belakang air atau langit dalam tata warna biru muda dan biru tua. Tampak sekali terbaca seluruh karya yang dipamerkan Bunga Jeruk merupakan satu tarikan benang merah dalam tema kehidupan yang disuguhkan dengan segar. KOMPAS/THOMAS PUDJO WIDIJANTO Karya Bunga Jeruk berjudul ”Dreamer”