BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar BelakangPertusis adalah suatu penyakit akut saluran
pernapasan yang banyak menyerang anak balita dengan kematian yang
tertinggi pada anak usia di bawah satu tahun yang disebabkan
infeksi Bordetella pertusis. Seperti halnya penyakit infeksi
saluran pernapasan akut lainnya, pertusis sangat mudah dan cepat
penularannya.Tindakan penanggulangan penyakit ini antara lain
dilakukan dengan pemberian imunisasi. WHO menyarankan sebaiknya
anak pada usia satu tahun telah mendapatkan imunisasi dasar DPT
sebanyak 3 dosis dengan interval sekurang-kurangnya 4 minggu dan
booster diberikan pada usia 15 - 18 bulan dan 4 - 6 tahun untuk
mempertahankan nilai proteksinya. Di Nederland, pemberian imunisasi
dasar pada umur 3 - 6 bulan dan booster pada umur satu tahun dengan
cakupan imunisasi sebesar 90%, praktis penyakit ini tak tampak
lagi. Walaupun demikian banyak terjadi hambatan, antara lain anak
tidak dapat menerima vaksinasi sebanyak tiga kali dan juga jarak
waktu vaksinasinya tidak dapat tepat. Hal ini terutama banyak.
didapat di negara-negara yang sedang berkembang. Menurut perkiraan
WHO (1983) hanya 30% anak-anak negara sedang berkembang yang
menerima vaksinasi DPT sebanyak 3 dosis 5,6.Di Indonsia, penyakit
ini menempati urutan ke tiga penyebab kematian pada anak balita.
Secara konvensional pencegahan penyakit ini dilakukan dengan
pemberian imunisasi dasar pada bayi usia 3 bulan dengan selang
waktu di antara dosis satu bulan sebanyak 3 dosis. Booster
diberikan pada anak usia 3 dan 5 tahun. Sejak tahun 1975, Indonesia
telah mengikuti PPI dengan pemberian imunisasi dasar DPT 3 dosis
pada anak usia 3-14 bulan dengan interval 1-3 bulan. Pada
pelaksanaannya masih banyak hambatan, mengingat secara geografis
Indonesia beriklim tropis dan terdiri dari beribu-ribu pulau dan
fasilitas kesehatan yang kurang memadai, sedang syarat mutlak
keberhasilan program adalah tingginya persentase populasi target
yang harus dicakup yaitu sebesar 80% atau lebih, sehingga sirkulasi
kuman patogen dapat diputuskan1,5.
1
I .2. TujuanTujuan penulisan refrat ini antara lain untuk
mengetahui definisi, etiologi, transmisi dan epidemiologi,
distribusi dan insidens, patologi, patogenesis, manifestasi klinik,
diagnosis, diagnosis banding, komplikasi, pengobatan, pencegahan
dan kontrol, prognosis dari pertusis.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1.DefinisiPertusis adalah infeksi pernapasan akut yang
diuraikan dengan baik pada tahun 1500. Prevalensi di seluruh dunia
sekarang berkurang hanya karena imunisasi aktif. Syndenham yang
pertama kali menggunakan istilah pertusis pada tahun 1670. Penyakit
ini di tandai oleh suatu sindrom yang terdiri dari batuk yang
sangat spasmodik dan paroksimal disertai nada yang meninggi ,
karena penderita berupaya keras untuk menarik nafas sehingga pada
akhir batuk sering di sertai bunyi yang khas (whoop), sehingga
penyakit ini disebut Whooping Cough1,2,3,4,6.Karena tidak semua
penderita dengan penyakit ini mengeluarkan bunyi whoop, maka oleh
beberapa ahli, penyakit ini disebut Pertusis yang berarti batuk
yang sangat berat atau batuk yang sangat intensif. Selain penyakit
ini juga sering disebut Tussis Quinta, batuk rejan3,4,6.Penyakit
ini dapat ditemukan pada semua umur,mulai dari bayi sampai dewasa.
Dengan kemajuan perkembangan antibiotika dan program imunisasi maka
mortalitas dan morbilitas penyakit ini menurun, namun demikian
penyakit ini masih merupakan salah satu masalah kesehatan bila
mengenai bayi - bayi1,2,3,4,6.II.2.EtiologiPertusis pertama kali
dapat di isolasi pada tahun 1900 oleh Bordet dan Gengou, kemudian
pada tahun 1906 kuman pertusis baru dapat dikembangkan dalam media
buatan. Genus Bordetella mempunyai 4 spesies yaitu B. pertusis,
B.parapertusis, B.bronkiseptika, dan B. avium. Penyebab pertusis
adalah Bordetella pertusis dan perlu dibedakan dengan sindrom
pertusis yang disebabkan oleh Bordetella parapertusis dan
Aadenovirus (tipe1,2,3 dan 5). Bordetella pertusis termasuk
kokobasilus, Gram negative, kecil, ovoid, ukuran panjang 0,5 - 1 um
dan diameter 0,2- 0,3 um, tidak bergerak, tidak berspora. Dengan
pewarnaan toloidin biru, dapat terlihat granula3
bipolar metakromatik dan mempunyai kapsul. Untuk melakukan
biakan B. pertusis, diperlukan suatu media pembenihan yang disebut
bordet gengou (potato blood glycerol agar) yang ditambah penisilin
G 0,5 ug/ml untuk menghambat pertumbuhan organism lain. Dengan
sifat - sifat pertumbuhan kuman aerob murni, membentuk asam, tidak
membentuk gas pada media yang mengandung glukosa dan laktosa,
sering menimbulkan hemolisis1,2,3,4,5,6.Organisme yang didapatkan
umumnya tipe virulen (disebut fase 1). Pasase dalam biakan dapat
merangsang pembentukan varian yang avirulen (fase 2, 3 atau 4).
Strain 1 berperan untuk penularan penyakit dan menghasilkan vaksin
yang efektif. Bordetella pertusis dapat mati dengan pemanasan pada
suhu 500C selama setengah jam, tetapi bertahan pada suhu rendah (00
- 100C).
Faktor-faktor kevirulenan Bordetella pertusis :
4
Toksin pertussis: histamine sensitizing factor (HSF),
lymphocytosis promoting factor, Islet activating protein (IAP).
Adenilat siklase luarsel. Hemaglutinin (HA): F-HA (filamentous-HA)
, PT-HA (pertussis toxin-HA). Toksin tak stabil panas (heat labile
toxin).Secara morfologis terdapat beberapa kuman yang menyerupai
Bodetella Pertusis seperti Bordetella Parapertusis dan Bordetella
Bronchoseptica. Untuk membedakan jenis - jenis kuman ini, maka di
tentukan dengan reaksi aglutinasi yang khas atau tes
tertentu1,2,3,4,6.II.3.Transmisi dan EpidemiologiPertusis merupakan
penyakit menular dengan tingkat penularan yang tinggi, dimana
penularan ini terjadi pada kelompok masyarakat yang padat
penduduknya dengan tingkat penularannya mencapai 100%. Pertusis
dapat ditularkan melalui udara secara :
Droplet Bahan droplet Memegang benda yang terkontaminasi dengan
secret nasofaring.
Sebagai sumber penularan yaitu pada kerier orang dewasa3.Epidemi
penyakit ini pernah terjadi di beberapa Negara, seperti amerika
serikat selama tahun 1977 - 1980 terdapat 102.500 penderita
pertusis. Di Jepang tahun 1947 terdapat 152.600 pendeirta dengan
kematian 17.00 orang. Pada tahun 1983 di Indonesia di perkirakan
819.500 penderita dengan kematian 23.100 orang. Data yang diambil
dari profil kesehatan jawa barat 193, jumlah pertusis tahun 1990
adalah 4.970 kasus dengan CFR (case fatality rate) 0,20%, menurun
menjadi 2.752 kasus pada tahun 1991 dengan CFR 0%, kemudian turun
lagi menjadi1.379 kasus dengan CFR 0% pada tahun 1992. Pada tahun
1999, diperkirakan sekitar 48,5 juta kasus pertusis dilaporkan
terjadi pada anak-anak di seluruh dunia. WHO memperkirakan sekitar
600.000 kematian setiap tahun disebabkan oleh pertusis, terutama
pada bayi yang tidak diimunisasi3,4,5.
5
Usia Dari tahun 1999-2002, dari semua pasien pertusis:
29% berusia kurang dari 1 tahun. 12% berusia 1-4 tahun. 10%
berusia 5-9 tahun. 29% berusia 10-19 tahun. 20% berusia lebih dari
20 tahun1,2,3,4,6.
II.4.Distribusi dan InsidensPenyebaran penyakit ini terdapat di
seluruh dunia dan dapat menyerang semua umur mulai 2 minggu sampai
77 tahun dan terbanyak pada penderita di bawah 1 tahun, di mana
makin muda usia makin berbahaya. Banyak peneliti melaporkan bahwa
pertusis bervariasi sepanjang tahun mengikuti musim beberapa
Negara. Di amerika serikat dapat di jumpai sepanjang tahun dengan
puncaknya di akhir musim panas1,3,4.Pertusis lebih sering menyerang
anak wanita dari pada anak pria. Banyak peneliti mengemukakan bahwa
bayi kulit lebih hitam pada usia muda mempunyai insinden lebih
tinggi daripada bayi kulit putih, diduga perbedaan rasial ini
dihubungkan dengan tingkat kekebalan1,3,4.
6
7
II.5.PatologiPenularan terutama melalui saluran pernapasan
dimana Bordetella Pertusis akan terikat pada silia epitel saluran
pernapasan, kemudian kuman ini akan mengalami multiplikasi disertai
pengeluaran toksin, sehingga menyebabkan inflamasi dan nekrose
trakea dan bronkus. Mukosa akan mengalami kongesti dan infiltrasi
limfosit dan polimorfonukleus lekosit. Di samping itu terjadi
hiperplasi dari jaringan limfoid peribronkial diikuti oleh proses
nekrose yang terjadi pada lapisan basal dan pertengahan epitel
bronkus. Lesi ini merupakan tanda khas pada pertusis. Pada
pemeriksaan postmortem dapat dijumpai infiltrasi peribronkial dan
pneumonia interstitial2,3.Di samping itu dapat dijumpai perubahan -
perubahan patologis di organ lain seperti hati dan otak. Pada otak
dapat dijumpai adanya perdarahan otak atrofi kortikal. Perdarahan
pada otak dapat masif dan mengenai parenkim atau ruang subaraknoid
terutama pada pertusis enselopati2,3.II.6.PatogenesisBordetella
pertusis setelah dikeluarkan melalui sekresi udara pernafasan
kemudian melekat pada silia epitel saluran pernafasan. Mekanisme
patogenesis infeksi oleh Bordetella pertusis terjadi melalui 4
tingkatan yaitu perlekatan, perlawanan terhadap mekanisme
pertahanan pejamu, kerusakan lokal, dan akhirnya timbul penyakit
sistemik4,6.
Filamentous hemaglutinin (FHA), Lymphositosis promoting factor
(LPF)/ pertusis toxin(PT) dan protein 69-Kd berperan dalam
perlekatan Bordetella pertusis pada silia. Setelah terjadi
perlekatan Bordetella pertusis, kemudian bermultiplikasi dan
menyebar keseluruh permukaan epitel saluran pernafasan. Proses ini
tidak invasif, oleh karena itu pada pertusis tidak terjadi
bakteremia. Selama pertumbuhan Bordetella pertusis, maka akan
menghasilkan toksin yang akan menyebabkan penyakit yang kita kenal
dengan whooping cough. Toksin terpenting yang dapat menyebabkan
penyakit disebabkan oleh karena pertusis toxin. Toksin pertusis
mempunyai 2 sub unit yaitu A dan B. Toksin sub unit B selanjutnya
berikatan dengan reseptor sel target, kemudian menghasilkan sel
unit A yang aktif pada daerah aktifasi enzim membran sel. Efek LPF
menghambat migrasi limfosit dan magrofag ke daerah
infeksi1,3,4,6.
8
Toxin mediated adenosine disphosphate (ADP) mempunyai efek
pengatur sintesis protein di dalam membrane sitoplasma, berakibat
terjadi perubahan fungsi fisiologis dari sel target termasuk
limfosit (menjadi lemah dan mati), meningkatkan pengeluaran
histamin dan serotonin, efek memblokir beta adrenergik dan
meningkatkan aktifitas insulin, sehingga akan menurunkan
konsengtrasi gula darah4,6.Toksin menyebabkan peradangan ringan
dengan hyperplasia jaringan limfoid peribronchial dan meningkatkan
jumlah mukos pada permukaan silia, maka fungsi silia sebagai
pembersih akan terganggu, sehingga mudah terjadi infeksi sekunder
(tersering oleh Streptococcus Pneumonia, H. influenza dan
Staphylococcus aureus). Penumpukan mukos akan menimbulkan plug yang
dapat menyebabkan obstruksi dan kolaps paru. Hipoksemia dan
sianosis disebabkan oleh gangguan pertukaran oksigenisasi pada saat
ventilasi dan timbulnya apnue saat terserang batuk. Terdapat
perbedaan pendapat mengenai kerusakan susunan saraf pusat, apakah
akibat pengaruh toksin langsung atakah sekunder akibat anoksia.
Terjadi perubahan fungsi sel yang reversible, pemulihan tampak bila
sel mengalami regenerasi, hal ini dapat menerangkan mengapa
kurangnya efek antibiotik terhadap proses penyakit4,6.Dermonecrotic
toxin adalah heat labile cystoplasmic toxin menyebabkan kontraksi
otot polos pembuluh darah dinding trakea sehingga menyebabkan
iskemia dan nekrosis trakea. Sitotoksin bersifat menghambat
sintesis DNA, menyebabkan siliostasis, dan diakhiri dengan kematian
sel. Pertusis lipopolysacharida (endotoksin) tidak terlalu penting
dalam hal patogenesis penyakit ini. Kadang - kadang Bordetella
pertusis hanya menyebakan infeksi yang ringan, karena tidak
menghasilkan tosin pertusis4,6.II.7.Manifestasi Klinik
Masa inkubasi pertusis 6 - 10 hari (rata - rata 7 hari), dimana
perlangsungan penyakit ini6 - 8 minggu atau lebih. Perjalanan
klinis penyakit ini dapat berlangsung 3 stadium yaitu stadium
kataralis (prodromal, preparoksimal), stadium akut paroksismal
(paroksismal, spasmodik), dan stadium konvalesens. Manisfestasi
klinis tergantung dari etiologi spesifik, umur dan status
imunisasi. Gejala pada anak yang berumur 2tahun. Suhu jarang
>38,40C pada semua golongan umur. Penyakit yang disebabakan
Bordetella parapertusis atau Bordetella bronkiseptika pada semua
golongan umur lebih ringan daipada Bordetella pertusis dan juga
lama sakit lebih pendek. Ketiga stadium pertusis diuraikan dibawah
ini2,3,4,6.
II.7.1.Stadium Katalaris (1 - 2 minggu)2,3,4,6Gejala awal
menyerupai gejala infeksi saluran nafas atas yaitu timbulnya rinore
(pilek) dengan lendir yang cair dan jernih, injeksi pada
konjungtiva, lakrimasi, batuk ringan dan panas tidak begitu tinggi.
Pada stadium ini biasanya diagnosis pertusis belum dapat ditegakan
karena sukar dibedakan dengan common cold.Selama stadium ini,
sejumlah besar organisme tersebar dalam inti droplet dan penderita
sangat infeksius, namun tidak tampak sakit. Pada tahap ini kuman
paling mudah di isolasi. Selama masa ini penyakit sering tidak
dapat dibedakan dengan coomon cold.Batuk yang timbul mula - mula
malam hari, kemudian pada siang hari dan menjadi semakin hebat.
Sekret pun banyak dan menjadi kental dan melengket. Pada bayi
lendir dapat viskuos mukoid, sehingga dapat menyebabkan obstruksi
jalan napas, bayi terlihat sakit berat dan iritabel.
II.7.2.Stadium Paroksimal (2 - 4 minggu)2,3,4,6Selama stadium
ini, batuk menjadi hebat yang ditandai oleh whoop (batuk yang
berbunyi nyaring) sering terdengar pada saat penderita menarik
napas pada akhir serangan batuk. Batuk dengan sering 5 - 10 kali,
selama batuk anak tidak dapat bernapas dan pada akhir serangan
batuk anak menarik napas dengan cepat dan dalam sehingga terdengar
bunyi melengking (whoop) dan diakhiri dengan muntah.Pada anak -anak
yang lebih tua, bunyi whoop ini sering tidak terdengar. Juga pada
bayi yang lebih muda serangan batuk hebat tidak di sertai bunyi
whoop, tetapi penderita sering dalam keadaan lemas, lelah, apneu,
sianosis, muntah.10
Batuk paroksimal dapat berlangsung terus menerus, selama
beberapa bulan tanpa adanya infeksi aktif dan dapat menjadi lebih
berat. Selama serangan , muka penderita menjadi merah atau
sianotis, mata tampak menonjol, lidah menjulur keluar dan gelisah.
Pada akhir serangan, penderita sering sekali memuntahkan lendir
kental. Batuk mudah dibangkitkan oleh stres emosional
(menangis,sedih,gembira) dan aktifitas fisik.Juga pada serangan
batuk nampak pelebaran pembuluh mata yang jelas di kepala dan
leher, bahkan terjadi petekie di wajah,perdarahan subkonjungtiva
dan sklera bahkan ulserasi frenulum lidah.Walaupun batuknya khas,
tetapi d luar serangan batuk, anak akan keliatan seperti biasa.
Setelah 1 - 2 minggu serangan batuk makin meningkat hebat dan
frekuen, kemudian menetap dan biasanya berlangsung 1 - 3 minggu dan
berangsur -angsur menurun sampai whoop dan muntah menghilang.
II.7.3.Stadium Konvalesen (1 - 2 minggu)2,3,4,6Ditandai dengan
berhentinya whoop dan muntah - muntah di mana puncak serangan
paroksimal berangsur - angsur menurun. Batuk biasanya masih menetap
untuk beberapa waktu dan akan menghilang sekitar 2 - 3 minggu. Pada
beberapa penderita akan timbul serangan batuk paroksimal kembali
dengan gejala whoop dan muntah - muntah. Episode ini terjadi
berulang -ulang untuk beberapa bulan malahan bisa sampai 1 - 2
tahun.II.8.DiagnosisDiagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis ,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium. Pada anamnesis
penting ditanyakan adakah riwayat kontak dengan pasien pertusis,
adakah serangan khas yaitu paroksismal dan bunyi whoop yang jelas.
Perlu pula ditanyakan mengenai riwayat imunisasi. Gejala klinis
yang didapat pada pemeriksaan fisik tergantung dari stadium saat
pasien diperiksa. Pada pemerikssan laboratorium didapatkan
leukositosis 20.000 -50.000/ Ul dengan limfositosis absolut khas
pada akhir stadium kataral dan selama stadium paroksismal. Pada
bayi jumlah leukosit tidak menolong untuk diagnosis, oleh karena
respon
11
limfositosis juga terjadi pada infeksi lain. Isolasi Bordetella
pertusis dari sekret nasofaring dipakai untuk membuat diagnosis
pertusis. Biakan positif pada stadium kataral 95 - 100%, stadium
parosismal 94% pada minggu ketiga dan menurun sampai 20% untuk
waktu berikutnya. Serologi untuk antobiodi toksin pertusis. Tes
serologi berguna untuk stadium lanjut penyakit dan untuk menentukan
adanya infeksi pada individu dengan biakan. Cara ELISA dapat
dipakai untuk menentukan serum Igm, IgG dan IgA terhadap FHA dan PT
menggambarkan respon imun primer baik disebabakan oleh penyakit
atau vaksinasi3,4,6.IgG toksin pertusis merupakan tes yang paling
sensitive dan spesifik untuk mengetahui infeksi alami dan tidak
tampak setealah imunisasi pertusis. Pemeriksaan lain yaitu toraks
dapat memperlihatkan infiltrate perihiler, atelektasis atau
empisema,4.II.9.Diagnosis Banding1,2,3,4,6
Bordetella ParapertusisPenyakitnya lebih ringan, kira- kira 5%
dari penderita pertusis. Dapat diidentifikasi secara khusus dengan
tes aglutinasi.
Bordetella BronchosepticaGejala penyakitnya sama dengan
parapertusis, namun lebih sering didapatkan pada binatang, dan
mungkin ditemukan dalam saluran pernapasan pada orang yang kontak
dengan binatang tersebut.
Infeksi oleh KlamidiaPenyebabnya biasanya klamidia trakomatis.
Pada bayi menyebabkan pneumonia, oleh karena terkena infeksi dari
ibu. Infeksi saluran pernapasan terjadi 2 - 12 minggu setelah lahir
dengan gejala - gejala pernapasan cepat, batuk paroksimal, tanpa
demam ,eosinofilia. Pada thorak foto terlihat konsolidasi paru dan
hiperinflasi. Diagnosis dengan isolasi yaitu ditemukannya klamidia
dari cairan saluran pernapasan. Penyakit ini disebut juga
Eosinophilic Pertusoid Pneumonitis.
12
Infeksi oleh Adeno virus tipe 1,2,3,5Gejala -gejala hampir sama
dengan pertusis, seperti penyebab penyakit sebelumnya. Hanya dapat
dibedakan dengan biakan dan kenaikan titer
antibody.II.10.Komplikasi1,2,3,4,6
II.10.1.Pada saluran pernapasan Bronkopneumonia merupakan
komplikasi berat yang paling sering terjadi dan menyebabkan
kematian pada anak di bawah 3 tahun terutama bayi yang lebih kecil
dari 1 tahun. Gejala ditandai dengan batuk,sesak napas, panas. Pada
foto thoraks terlihat bercak- bercak infiltrate tersebar. Otitis
mediaKarena batuk - batuk hebat, kuman masuk ke tuba eustachi
kemudian masuk ke telinga tengah sehingga menyebabkan otitis
media.
BronchitisBatuk mula - mula kering, setelah beberapa hari timbul
lendir jernih kemudian menjadi purulen. Pada auskultasi terdengar
suara pernapasan kasar atau ronki kasar atau ronki kering.
Atelektasis
Timbul karena lendir kental yang dapat menyumbat bronkioli.
Emfisema pulmonumTerjadi oleah karena batuk - batuk yang hebat
sehingga alveoli pecah. Bromkiektasis13
Terjadi karena pelebaran bronkus akibat tersumbat oleh lendir
yang kental dan dapat disertai dengan infeksi sekunder. Kolaps
alveoli paru akibat baatk paroksimal yang lama pada anak - anak
sehingga dapat menyebabkan hipoksia berat pada bayi dapat
menyebabkan kematian yang tiba - tiba1,2,3,4.
II.10.2.Pada Sistem Saraf Pusat
Terjadi kejang karena : Hipoksi dan anoksia akibat apnue yang
lama. Perdarahan subarachnoid yang massif. Enselopati akibat atrofi
kortikal yang difus. Gangguan elektrolit karena muntah.
II.10.3.Komplikasi - komplikasi yang lain Hemoptisis, akibat
batuk yang hebat sehingga menyebabakan tekanan venous meningkat dan
kapiler pecah. Epitaksis. Hernia. Prolaps rekti. Malnutirsi karena
anoreksia dan infeksi sekunder.
II.11.Pengobatan1,2,3,4,6
II.11.1.AntimikrobaBerbagai antimikroba telah dipakai dalam
pengobatan pertusis namun tidak ada antimikroba yang dapat mengubah
perjalanan penyakit ini terutama diberikan pada stadium14
paroksimal. Oleh karena itu obat - obat ini lebih dianjurkan
pemakaiannya pada stadium kataralis yang dini.Eritromisin merupakan
antimikroba yang lebih efektif dibanding kloramfenikol maupun
tetrasiklin. Kebanyakan peneliti menganjurkan dosis
50mg/kg.bb/hari, dalam 2 - 4 dosis, selama5 - 7 hari
II.11.2.Kortikosteroid
Beberapa peneliti menggunakan :
Betametason oral dengan dosis 0,05mg/kg.bb/24jam Hidrokortison
suksinat (Solukortef) intramuskuler dengan dosis
30mg/kg.bb/24jam,kemudian diturunkan secara perlahan - lahan da
diberhentikan pada hari ke 8. Prednisolon oral 2,5 - 5 mg/hari.
Dari beberapa peneliti ternyata bahawa kortikosteroid berfaedah
dalam pengobatan pertusis terutama pada bayi dengan serangan
paroksimal.
II.11.3.SalbutamolBeberapa peneliti menganjurkan bahwa
salbutamol efektif terhadap pengobatan pertusis dengan cara kerja
sebagai berikut :
Beta 2 adrenergik stimulant Mengurangi parokosismal Mengurangi
frekuensi dan lamanya whoop Mengurangi frekunensi apnue
Dosis yang dianjurkan 0,3 - 0,5mg/kg.bb/hari, dibagi dalam 3
dosis.
II.11.4.Terapi suportif
a. Lingkungan perawatan yang tenang
15
b. Pemberian makanan, hindari makanan yang sulit ditelan,
sebaiknya diberikan makanan yang berbentuk cair.c. Bila penderita
muntah - muntah sebaiknya diberikan cairan dan elektrolit
secaraparenteral.d. Pembersihan jalna napas.e. Oksigen, terutama
pad asernagan baatuk yang hebat yang disertai sianosis.
II.12.Pencegahan Dan KontrolCara terbaik untuk mengontrol
penyakit ini ialah dengan imunisasi. Banyak laporan mengemukakan
bahwa terdapat penurunan kejadian pertusis dengan adanya
pelaksanaan program imunisasi1,2,3,4,5,6.
II.12.1.Imunisasi pasifDapat diberikan Human Hiperimmune
Globulin, ternyata beberapa penelitian diklinik tidak efektif
sehingga akhir - akhir ini tidak lagi diberikan sebagai pencegahan
atau pengobatan pertusis3,4,5.
II.12.2.Imunisasi aktifDiberikan vaksin pertusis yang terdiri
dari kuman Bordetella Pertusis yang telah dimatikan unrtuk
mendapatkan imunisasi aktif. Vaksinasi pertusis diberikan bersama -
sama dengan vaksin difteri dan tetanus. Dosis pada imunisasi dasar
dianjurkan 12 IU dan diberikan tiga kali sejak umur 2 bulan, dengan
jarak 8 minggu. Beberapa peneliti menyatakan bawa vaksin pertusis
sudah dapat diberikan pada umur 1 bulan dengan hasil yang baik
sedangkan waktu epidemik dapat diberikan lebih awal lagi yaitu pada
umur 2 minggu dengan jarak 4 minggu. Anak berumur lebih dari tujuh
tahun tidak lagi memerlukan imunisasi rutin. Hasil imunisasi
pertusis tidak permanen oleh karena proteksi menurun selama
adolesens, walaupun demikian infeksi pada pasien yang lebih besar
biasanya ringan hanya merupakan sumber infeksi Bordetella pertusis
pada bayi non imun. Vaksin pertusis monovalen (90,25 ml,i.m) telah
dipakai untuk
16
mengkontrol epidemi diantara orang dewasa yang terpapar. Salah
satu efek samping setelah imunisasi pertusis adalah
demam3,4,5.Untuk mengurangi terjadinya kejang demam dapat diberikan
antikonvulsan setiap 4 - 6 jam untuk selama 48 - 72 jam. Anak
dengan kelainan neurologi yang mempunyai riwayat kejang, 7 kali
lebih mudah terjadi kejang setelah imunisasi DPT dan mempunyai
kesempatan 4 kali lebih tinggi bila hanya mempunyai riwayat kejang
dalam keluarga. Maka pada anak dalam keadaan demikian hendaknya
tidak diberikan imunisasi pertusis, jadi hanya berikan imunisasi
DT4,5.Kontraindikasi pemberian vaksin pertusis yaitu anak yang
mengalami enselopati dalam 7 hari sebelum imunisasi, kejang demam
atau kejang tanpa demam dalm 3 hari sebelum imunisasi, menangis
lebih dari 3 jam, high pitch cry dalam 2 hari, kolaps atau
hipotrensi hiporesponsif dalam 2 hari, suhu yang tidak dapat
diterangkan >40,50C dalam 2 hari. eritromisin efektif untuk
pencegahan pertusis pada bayi baru lahir dari ibu dengan
pertusis4.Kontak erat pada usia kurang dari 7 tahun yang sebelumnya
telah diberikan imunisasi hendaknya diberi booster. Booster tidak
perlu diberikan bila telah diberikan imunisasi dalam waktu 6 bulan
terakhir, juga diberikan eritromisin 50mg/kgBB/24jam dalam 2 - 4
dosis selama14 hari. kontak erat pada usia lebih dari 7 tahun juga
perlu diberikan erirtromisin sebagai priofilaksis4.Pengobatan
eritromisin awal berguna untuk mengurangi penyebaran infeksi dan
mengurangi gejala penyakit. Seseorang yang kontak dengan pasien
pertusis tetapi belum pernah imunisasi petusis hendaknya diberikan
imunisasi pertusis selama 14 hari setelah kontak diputuskan. Jika
kontak tidak dapat diputuskan hemdaknya eritromisin diberikan
sampai pasien berhenti batuk atau setelah pasien mendapat
eritromisin selama 7 hari. vaksin pertusis monovalen dan
eritromisin diberikan pada waktu terjadi4,5.II.13.Prognosis
17
Prognosis tergantung usia, anak yang lebih tua mempunyai
prognosis yang lebih baik. Pada bayi resiko kemtaian (0,5 - 1 %)
disebabkan enselopati. Pada observasi jangka panjang, apneu atau
kejang akan menyebabkan gangguan intelektual dikemudian hari4.
BAB III
PENUTUP
III.1.Kesimpulan1,2,3,4,5,6
18
Pertusis di tandai oleh suatu sindrom yang terdiri dari batuk
yang sangat spasmodik dan paroksimal disertai nada yang meninggi.
Penyakit ini dapat ditemukan pada semua umur,mulai dari bayi sampai
dewasa. Penyebabnya adalah Bordetella pertusis. Pertusis merupakan
penyakit menular dengan tingkat penularan yang tinggi, dimana
penularan ini terjadi pada kelompok masyarakat yang padat
penduduknya dengan tingkat penularannya mencapai 99%, dapat
ditularkan melalui udara secara droplet, bahan droplet, memegang
benda yang terkontaminasi dengan sekret nasofaring.Penyebaran
penyakit ini terdapat di seluruh dunia dan dapat menyerang semua
umur mulai 2 minggu sampai 77 tahun dan terbanyak pada penderita di
bawah 1 tahun, di mana makin muda usia makin berbahaya.Penularan
terutama melalui saluran pernapasan dimana Bordetella Pertusis akan
terikat pada silia epitel saluran pernapasan, kemudian kuman ini
akan mengalami multiplikasi disertai pengeluaran toksin, sehingga
menyebabkan inflamasi dan nekrose trakea dan bronkus. Mekanisme
patogenesis infeksi oleh Bordetella pertusis terjadi melalui 4
tingkatan yaitu perlekatan, perlawanan terhadap mekanisme
pertahanan pejamu, kerusakan lokal, dan akhirnya timbul penyakit
sistemik.
Masa inkubasi pertusis 6 - 10 hari (rata - rata 7 hari), dimana
perlangsungan penyakit ini6 - 8 minggu atau lebih. Perjalanan
klinis penyakit ini dapat berlangsung 3 stadium yaitu stadium
kataralis (prodromal, preparoksimal), stadium akut paroksismal
(paroksismal, spasmodik), dan stadium konvalesens.Diagnosis
ditegakkan berdasarkan anamnesis , pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan laboratorium. Pada anamnesis penting ditanyakan adakah
riwayat kontak dengan pasien pertusis, adakah serangan khas yaitu
paroksismal dan bunyi whoop yang jelas dan perlu pula ditanyakan
mengenai riwayat imunisasi. Gejala klinis yang didapat pada
pemeriksaan fisik tergantung dari stadium saat pasien diperiksa.
Pada pemerikssan laboratorium didapatkan leukositosis 20.000
-50.000/ Ul dengan limfositosis absolut khas pada akhir stadium
kataral dan selama stadium paroksismal.
19
Diagnosis banding pertusis adalah bordetella parapertusis,
bordetella bronchoseptica, infeksi oleh klamidia, infeksi oleh
adeno virus tipe 1,2,3,5Komplikasi - komplikasi dari pertusis. Pada
saluran pernapasan : bronkopneumoinia, otitis media, bronchitis,
atelektasis, emfisema pulmonum, bronkiektasis, kolaps alveoli paru.
Pada sistem saraf pusat : kejang. Komplikasi - komplikasi yang lain
: hemoptisis, epitaksis, hernia, prolaps rekti, malnutirsi karena
anoreksia dan infeksi sekunderPengobatan pertusis terdiri dari,
terapi kausal : antimikroba, eritromisin merupakan antimikroba yang
lebih efektif dibanding kloramfenikol maupun tetrasiklin dengan
dosis 50mg/kg.bb/hari, dalam 2 - 4 dosis, selama 5 - 7 hari.
Kortikosteroid : betametason oral dengan dosis 0,05mg/kg.bb/24jam,
hidrokortison suksinat (Solukortef) dosis 30mg/kg.bb/24jam
Prednisolon oral 2,5 - 5 mg/hari. Salbutamol, dosis yang dianjurkan
0,3 - 0,5mg/kg.bb/hari, dibagi dalam 3 dosis. Terapi suportif yaitu
lingkungan perawatan yang tenang, pemberian makanan, hindari
makanan yang sulit ditelan, sebaiknya diberikan makanan yang
berbentuk cair., bila penderita muntah - muntah sebaiknya diberikan
cairan dan elektrolit secara parenteral, pembersihan jalan napas,
oksigen, terutama pada serangan batuk yang hebat yang disertai
sianosis.Pencegahan dan kontrol adalah Imunisasi pasif dapat
diberikan Human Hiperimmune Globulin, Imunisasi aktif diberikan
vaksin pertusis yang terdiri dari kuman Bordetella Pertusis yang
telah dimatikan unrtuk mendapatkan imunisasi aktif. Vaksinasi
pertusis diberikan bersama- sama dengan vaksin difteri dan tetanus.
Dosis pada imunisasi dasar dianjurkan 12 IU dan diberikan tiga kali
sejak umur 2 bulan, dengan jarak 8 minggu.Prognosis tergantung
usia, anak yang lebih tua mempunyai prognosis yang lebih baik. Pada
bayi resiko kematian (0,5 - 1 %) disebabkan enselopati. Pada
observasi jangka panjang, apneu atau kejang akan menyebabkan
gangguan intelektual dikemudian hari1,2,3,4.
20
Daftar pustaka
1. Nelson E Waldo , Behrman E Richard, Kliegman Robert, Arvin M
Ann. Nelson Textbook Of Pediatric. Edisi 15, volume 2, cetakan I.
Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 2000. Hal : 960 - 9652.
Hassan Rusepno, Alatas Husein, et al. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan
Anak. Edisi 7, volume 2, Cetakan XI. Pnerbit Bagian Ilmu Kesehatan
Anak FKUI, Jakarta, 1985. Hal : 564 - 568.
21
3. Rampengan T.H , Laurents I.R, Penyakit Infeksi Tropik Pada
Anak. Edisi 1, Cetakan III. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta,
1997. Hal 20 -33.4. Irawan Hindra, Rezeki Sri, Anwar Zarkasih. Buku
Ajar Infeksi Dan Pediatrik Tropis. Edisi 2, Cetakan I. Penerbit
Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI, Jakarta, 2008. Hal 331 -337.5.
Ranuh IGN., Suyitno H., Hadinegoro SRS., Kartasasmita CB.,
Ismoedijanto, Soedjatmiko (Ed.). Pedoman Imunisasi di Indonesia.
Edisi Ketiga. Satgas Imunisasi -Ikatan Dokter Anak Indonesia
(IDAI). 2008:144-151.6. James D. Cherry. [Serial Online] Updated :
2 mei 2005. PEDIATRICS Vol. 115 No.
5May2005,pp.1422-1427.http://www.pediatrics.aappublications.org/cgi/content/full/115/5/1422
22