HUBUNGAN ANTARA KEMAMPUAN PENALARAN DAN KEBIASAAN MEMBACA KARYA SASTRA DENGAN KEMAMPUAN MENGAPRESIASI CERITA PENDEK (Survai pada Siswa SMA Negeri Se- Kota Magelang) TESIS Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Oleh : Suwarti S840209125 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA UNIVERSITAS SEBELAS MARET PROGRAM PASCASARJANA SURAKARTA 2010
113
Embed
SURAKARTA 2010 - digilib.uns.ac.id/Hubungan... · Lampiran 3a Kisi-kisi Angket Kebiasaan Membaca Karya Sastra (Uji Coba) 161 ... Lampiran 6 Hasil Uji Validitas Butir Soal tes Penalaran
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
HUBUNGAN ANTARA KEMAMPUAN PENALARAN DAN
KEBIASAAN MEMBACA KARYA SASTRA DENGAN
KEMAMPUAN MENGAPRESIASI CERITA PENDEK
(Survai pada Siswa SMA Negeri Se- Kota Magelang)
TESIS
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan
Mencapai Derajat Magister
Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia
Oleh : Suwarti
S840209125
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
PROGRAM PASCASARJANA
SURAKARTA
2010
2
HUBUNGAN ANTARA KEMAMPUAN PENALARAN DAN
KEBIASAAN MEMBACA KARYA SASTRA DENGAN
KEMAMPUAN MENGAPRESIASI CERITA PENDEK
(Survai pada Siswa SMA Negeri Se- Kota Magelang)
Disusun oleh:
Suwarti
S840209125
Telah disetujui oleh Tim Pembimbing
Pembimbing I Pembimbing II
Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M. Pd. Dr. Retno Winarni, M. Pd.
Lampiran 31 Uji signifikansi Regresi Linear Ganda 281
19
Lampiran 32 Analisis Korelasi Sederhana X1 dengan Y 284
Lampiran 33 Analisis Korelasi Sederhana X2 dengan Y 285
Lampiran 34 Analisis Kontribusi Tunggal dan Bersama X1, X2 danY 286
Lampiran 35 Histogram Frekuensi 287
Lampiran 36 Gambar Grafik Persamam Regresi Sederhana 288
20
ABSTRAK
Suwarti. S840209125. 2010. Hubungan antara Kemampuan Penalaran dan Kebiasaan Membaca Karya Sastra dengan Kemampuan Mengapresiasi Cerita Pendek Survai pada Siswa SMA Negeri Se- Kota Magelang. Tesis. Surakarta: Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara (1) kemampuan penalaran dengan kemampuan mengapresiasi cerita pendek, (2) kebiasaan membaca karya sastra dengan kemampuan mengapresiasi cerita pendek, dan (3) kemampuan penalaran dan kebiasaan membaca karya sastra secara bersam-sama dengan kemampuan mengapresiasi cerita pendek.
Objek penelitian adalah siswa kelas XI SMA Negeri se- Kota Magelang. Sampel yang digunakan untuk penelitian siswa kelas XI SMA Negeri 1 dan SMA Negeri 4 Magelang yang berjumlah 120 . Cara pengambilan sampel dengan simple random sampling. Sedangkan instrumen untuk mengumpulkan data dengan menggunakan tes kemampuan mengapresiasi cerita pendek, tes kemampuan penalaran, dan angket kebiasaan membaca karya sastra. Teknik yang digunakan untuk menganalisis data adalah regresi dan korelasi ( sederhana, dan ganda).
Hasil analisis menujukkan bahwa (1) ada hubungan positif yang signifikan antara kemampuan penalaran dengan kemampuan mengapresiasi cerita pendek
(����= 0.260 dengan p<α 0.05 , t0 = 2.9319033dan tt = 1.98); (2) ada hubungan
positif yang signifikan antara kebiasaan membaca karya sastra dengan
kemampuan mengapresiasi cerita pendek (����= 0.25476 dengan p < α 0.05, to=
2.8619 dan tt= 1.98); (3) ada hubungan positif yang signifikan antara kemampuan penalaran dan kebiasaan membaca karya sastra secara bersama-sama dengan kemampuan mengapresiasi cerita pendek (����
� = 0.12767 dengan p > α 0.05, F0
= 8.5621 > Ft = 3.08).
Berdasarkan hasil peneltian di atas, maka guru bahasa Indonesia dalam pembalajaran sastra khususnya pembelajaran cerpen perlu memperhatikan kemampuan penalaran siswa, dengan memberikan pelatihan-pelatihan agar kemampuan penalaran meningkat, dan perlu memotivasi siswa agar mempunyai kebiasaan membaca terutama membaca karya sastra, supaya siswa dapat meningkatkan kemampuan mengapresiasi cerita pendek.
.
21
ABSTRACT
Suwarti. S840209125. 2010. The Correlation between Logical Ability and Literature Reading Habit with Ability to Appreciate Short Story (Survey in Magelang Senior High School Student). Thesis. Surakarta: The Study Program of Indonesian Education of Postgraduate Program, Sebelas Maret University.
The aim of this research are to know the correlation between (1) logical ability with ability to appreciate short story, (2) the literature reading habit with ability to appreciate short story, and (3) logical ability and the literature reading habit along with ability to appreciate short story.
The research object is the XI-grade of Senior High School student in Magelang. Samples that are used to the research are the XI-grade of SMA 1 Magelang and SMA 4 Magelang of 120 participants. The method of collecting samples is by simply random sampling. Meanwhile the instrument to collect data is by using ability test of appreciating short story, logical ability test, and questionnaire of literature reading habit. Techniques to analyze data are regression and correlation.
The result of the analysis shows that (1) there are significant positive
correlation between the logical ability with ability to appreciate short story (����=
0.260 with p<α 0.05, to=2.9319033 and tt=1.98); (2) there are significant positive correlation between literature reading habit with ability to appreciate short story
(����=0.25476 with p<α 0.05, to=2.8619 and tt=1.98); (3) there are significant
positive correlation between logical ability and literature reading habit along with ability to appreciate short story (����
� = 0.12767 with p>α 0.05, Fo=8.5621 >
Ft=3.08).
Based on the research’s result above, so the Indonesian teacher in literature learning especially on short story needs to pay more attention on student’s logical ability, by giving exercises in order to increase the logical ability, and needs to motivate the students to have a reading habit especially on literature, so that the students may increase the ability to appreciate short story.
22
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pembelajaran sastra di sekolah bertujuan untuk meningkatkan kemampuan
siswa dalam mengapresisiasi karya sastra. Di dalamnya terkandung maksud agar
siswa dapat menghargai dan membanggakan kesusastraan bangsa sendiri serta
dapat menikmati dan memanfaatkan secara langsung yaitu nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya, memperluas budi pekerti, serta meningkatkan
pengetahuan. Oleh karena itu, pembelajaran sastra harus diikuti dengan
mewajibkan siswa untuk melakukan apresiasi sendiri karya-karya sastra terpilih
(Depdiknas, 2006: 261).
Boen S. Oemarjati (1996: 196) mengemukakan bahwa pengajaran sastra
bertujuan menanamkan, menumbuhkan, dan mengembangkan kepekaan terhadap
masalah-masalah manusiawi, pengenalan dan rasa hormat terhadap tata nilai baik
dalam konteks individual, maupun sosial. Tujuan ini perlu diwujudkan agar siswa
memiliki sifat-sifat luhur tersebut.
Tujuan pengajran sastra seperti di atas, belum tercapai seperti yang
diharapkan. Menurut Andayani (2008: 83) ada keprihatinan dalam pembelajaran
apresiasi sastra karena adanya sejumlah keterbatasan yang berkaitan dengan
pembelajaran sastra. Hal ini tentu merupakan penghambat tercapaimya tujuan
pengajaran sastra.
22
23
Ada beberapa faktor penyebab tujuan pengajaran sastra belum memenuhi
harapan.. Faktor-faktor tersebut ialah guru, murid, dan lingkungan. Faktor dari
guru sebagai penyebab rendahnya kemampuan mengapresiasi sastra dapat
dimungkinkan kurangnya pemahaman guru terhadap sastra, kurang optimalnya
proses belajar mengajar, kurangnya penugasan siswa untuk membaca karya sastra.
Menurut J. Prapta Diharja, S.J. (2004: 145) pengajaran sastra masih
berorientasi pada penugasan materi hafalan. Pengajaran selama ini masih
merupakan transfer pengetahuan, bukan merupakan proses pengembangan potensi
bawaan anak didik. Hal ini tentu juga merupakan faktor penyebab belum
tercapainya tujuan pengajaran sstra.
Faktor siswa merupakan faktor terpenting dalam proses pembelajaran
sastra. Siswa merupakan subjek pada proses pembelajaran sastra. Faktor yang
diduga sebagai penyebab rendahnya apresiasi sastra adalah rendahnya minat baca
siswa terhadap karya sastra.
Untuk dapat mengapresiasi sastra siswa harus terlibat secara langsung
untuk mengakrabi, menggauli dan menikmati karya sastra. Guru harus melibatkan
siswa untuk mau mengakrabi karya sastra. Salah satu cara agar siswa mau
mengakrabi karya sastra adalah siswa membaca karya satra. Dalam beberapa hal,
membaca suatu bahan bacaan akan lebih melibatkan rasa dan pikiran sehingga
memungkiinkan si pembaca menafsirkan sendiri informasi yang didapatkannya
lewat bacaan itu. Oleh karena itu, kebiasaan membaca jangan sampai dibiarkan
surut, dan kebiasaan itu wajib dikembangkan di sekolah maupun di universitas (B.
Rahmanto. 1988: 67).
24
Mengapresiasi sastra berarti memahami menafsirkan atau menanggapi
karya sastra dengan baik. Untuk itu diperlukan kemampuan penalaran dan
kebiasaan membaca karya sastra yang baik. Artinya untuk dapat mengapresiasi
karya sastra dengan baik maka siswa harus memiliki kemampuan penalaran dan
kebiasaan membaca karya dengan baik pula. Oleh karena itu, penelitian ini
mengkaji kemampuan penalaran dan kebiasaan membaca karya sastra.
Kemampuan penalaran merupakan salah satu komponen yang ikut andil
dalam menentukan kualitas kemampuan mengapresiasi karya sastra. Hal ini dapat
dipahami karena penalaran siswa merupakan salah satu kemampuan dalam proses
berpikir yang dibutuhkan untuk memutuskan sesuatu dengan memanfaatkan
bukti-bukti yang ada. Dengan penalaran yang baik, pembaca karya sastra akan
menghubung-hubungkan secara logis unsur-unsur yang membangun karya sastra
baik secara intrinsik maupun ekstrinsik sehingga pemahaman, penafsiran,
penerimaan, dan penanggapan terhadap karya sastra yang dibaca akan lebih tepat
sesuai dengan yang dikehendaki penulisnya.
Aspek lain yang ikut mendukung dalam kegiatan mengapresiasi karya
sastra adalah kebiasaan membaca karya sastra. Dengan membaca, siswa dapat
memperoleh pengetahuan dan pengalaman baru melalui materi yang ada dalam
buku yang dibacanya. Semakin banyak membaca akan semakin banyak
pengetahuan dan pengalaman yang dipreroleh. Pengetahuan yang diperoleh siswa
akan menjadi skemata yang dapat membantu sisiwa dalam menganalisis karya
saatra. Brown dan Yule dalam bukunya Discource Analysis (terjemahan I
Soetikno 1996:247) mengatakan bahwa skemata merupakan pengetahuan latar
25
belakang yang rapi dan menyebabkan kita menduga dan meramalkan segi-segi
dalam penafsiran wacana. Oleh karena itu, siswa perlu memiliki kebiasaan untuk
membaca. Khususnya dalam hal ini adalah membaca karya sastra, karena
berkaitan dengan apresiasi karya sastra.
Rene Wellek dan Austin Warren (1988: 276) mengatakan bahwa karya
sastra adalah suatu seleksi kehidupan yang direncanakan dengan tujuan tertentu.
Kita harus mempunyai pengetahuan di luar sastra untuk mengetahui hubungan
antara suatu karya satra tertentu dengan kehidupan. Dengan membaca akan dapat
diperoleh pengetahuan. Oleh karena itu, kebiasaan membaca harus ditingkatkan.
Menurut Kui Yan (2006: 99) dalam apresiasi cerita pendek, siswa harus
didorong untuk membaca cerita setidaknya dua kali. Di samping itu, kegiatan
apresiasi cerpen membutuhkan pengetahuan tentang sastra maupun pengetahuan
lain.
Kegiatan pembalajaran dirancang dari indikator untuk memberikan
pengalaman belajar yang melibatkan proses mental dan fisik melalui interaksi
antarpeserta didik, peserta didik dengan guru, peserta didik dengan lingkungan,
dan peserta didik dengan sumber belajar lainnya dalam rangka pencapaian
kompetensi dasar. Pengalaman yang dimaksud melalui penggunaan pendekatan
pembelajaran yang bervariasi dan berpusat pada peserta didik. Pengalaman
belajar memuat kecakapan hidup yang perlu dikuasai peserta didik (Depdiknas,
2007: 16).
Untuk memiliki kecakapan hidup dibutuhkan kemampuan bernalar.
Kemampuan bernalar akan mempengaruhi siswa dalam mengambil keputusan.
26
Mengambil keputusan adalah salah satu kecakapan hidup yang akan dialami
siswa. Oleh karena itu, kemampuan penalaran harus mendapat perhatian dalam
proses pembelajaran.
Membaca dapat melatih siswa buntuk mengembangkan penalaran, karena
dengan membaca siswa akan banyak mendapat pengetahuan baru. Pengetahuan
dan pengalaman ini akan sangat berguna dan berpengaruh pada pengambilan
keputusan. Dengan demikian, maka kebiasaan membaca perlu ditingkatkan agar
dapar menunjang kemampuan penalaran.
Pengembangan materi pembelajaran berdasarkan indikator pencapaian
kompetensi dasar dengan memperhatikan potensi peserta didik; kebermanfaatan
bagi peserta didik; aktualitas, kedalaman, dan keluasan materi pembelajaran;
relevansi dengan kebutuhan peserta didik, sesuai dengan tuntutan lingkungan dan
alokasi waktu (Depdiknas, 2007 :17).
Berdasarkan pendapat tersebut di atas, maka pembelajaran sastra akan
lebih baik kalau siswa sudah banyak bergaul dengan karya sastra. Maka akan
lebih menguntungkan kalau siswa senang membaca satra. Oleh karena itu, dalam
merancang pembelajaran sastra, harus diperhitungkan yang dapat mendorong
minat siswa untuk membaca karya sastra.
Melalui membaca, orang dapat memperoleh pengetahuan dan pengalaman
baru. Pengetahuan baru atau pengalaman baru yang ditemukan atau yang dialami
oleh orang lain akan dapat diketahuinya. Kegiatan membaca merupakan jendela
dunia. Dengan banyak membaca berarti seseorang dapat memperoleh berbagai
informasi yang berkembang, baik yang sifatnya lokal, nasional maupun yang
27
global. Melalui kegiatan membaca, seseorang dapat belajar mengenai berbagai hal
mulai dari yang paling sederhana sampai dengan yang kompleks. Tetapi yang
menjadi keprihatinan adalah kegiatan membaca masih belum menjadi kebiasaan
atau kebutuhan hidup masyarakat Indonesia. ( Sudirman Siahaan dan Rr.
Murtiningsih. 2008: 1). Hal ini akan memengaruhi cara menganalisis sesuatu,
termasuk menganalisis karya sastra yang dibacanya.
Kebiasaan membaca dapat ditingkatkan dan dikembangkan.Tampubolon
dalam bukunya Kemampuan Membaca (1990: 229) menjelaskan bahwa fundasi
kuat untuk membentuk kebiasaan membaca pada anak adalah menumbuhkan
minat membaca. Minat membaca dapat ditumbuhkan melalui proses belajar
mengajar di sekolah. Demikian juga minat membaca karya sastra dapat
ditumbuhkan, agar menjadi kebiasaan. Apabila siswa memiliki kebiasaan
membaca karya sastra diduga dapat meningkatkan kemampuan apresiasi sastra.
Jenis sastra ada prosa, puisi, dan drama. Prosa ada yang berbentuk cerpen,
novel, dan roman. Hal ini sesuai dengan pendapat Rene Wellek dan Austin
Warren yang mengatakan bahwa teori sastra modern membagi satra rekaan
menjadi fiksi (novel, cerpen, epik), drama, dan puisi. Dalam penelitian ini yang
dijadikan objek kajian adalah kemampuan penalaran, kebiasaan membaca karya
sastra, dan kemampuan mengapresiasi cerpen.
28
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, masalah penelitian ini
dirumuskan sebagai berikut.
1. Apakah terdapat hubungan antara kemampuan penalaran dengan kemampuan
mengapresiasi cerita pendek?
2. Apakah terdapat hubungan antara kebiasaan membaca karya sastra dengan
kemampuan mengapresiasi cerita pendek?
3. Apakah terdapat hubungan secara bersama-sama antara kemampuan penalaran
dan kebiasaan membaca karya sastra dengan kemampuan mengapresiasi ceita
pendek?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini mempunyai dua tujuan , yaitu tujuan umum dan tujuan
khusus. Adapun kedua tujuan tersebut secara rinci diuraikan sebagai berikut.
1. Tujuan Umum
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui tentang kemampuan
penalaran,kebiasaan membaca karya sastra, dan kemampuan mengapresiasi
cerita pendek siswa SMA Negeri Kota Magelang.
2. Tujuan Khusus
Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya:
a. hubungan kemampuan penalaran dengan kemampuan mengapresiasi cerita
pendek.
29
b. hubungan antara kebiasaan membaca karya sastra dengan kemampuan
mengapresiasi cerita pendek.
c. hubungan antara kemampuan penalaran dan kebiasaan membaca karya
sastra secara bersama-sama dengan kemampuan mengapresiasi cerita
pendek.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini memiliki beberapa manfaat,baik secara teoritis maupun
secara praktis. Kedua jenis manfaat tersebut diuraikan sebagai berikut.
1. Manfaat Teoretis
Secara teoretis ,hasil penelitian ini dapat memberi kelengkapan
khasanah teori yang berkaitan dengan kemampuan penalaran, kebiasaan
membaca karya satra, dan kemampuan pemahaman karya sastra. Dengan
mengatahui pengaruh kedua variabel tersebut dapat diketahui pentingnya
variabel-variabel itu terhadap kemampuan pemahaman karya sastra.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis, hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh beberapa pihak,
antara lain sebagai berikut.
a. Bagi siswa
Bagi siswa penelitian ini bermanfaat untuk memberikan gambaran tentang
kebiasaan membaca karya sastra dengan kemampuan mengapresiasi cerpen
30
dan kemampuan penalaran mereka terhadap kemampuan mengapresiasi
cerpen.
b. Bagi guru
Bagi guru mata pelajaran Bahasa Indonesia di SMA (SMA negeri kota
Magelang) manfaat yang dapat dipetik melalui penelitian ini adalah dapat
digunakan membina, mempertahankan, dan mengembangkan sikap positif
terhadap mengapresiasi ceita pendek siswa.
c. Bagi Kepala Sekolah
Bagi Kepala Sekolah penelitian ini dapat digunakan untuk membina para
guru dalam meningkatkan pembelajaran mengapresiasi cerita pendek.
31
BAB II
KAJIAN TEORI, PENELITIAN YANG RELEVAN,
KERANGKA BERPIKIR, DAN PENGAJUAN HIPOTESIS
A.Kajian Teori
1. Hakikat Kemampuan Mengapresiasi Cerita Pendek
a. Pengertian Kemampuan
Istilah kemampuan apresiasi cerpen mencakup tiga kata yakni kemampuan,
apresiasi dan cerita pendek. Kemampuan adalah kesanggupan; kecakapan;
kekuasaan; keterampilan (Abdul Ghofur, 2004:83). Kesanggupan menunjukkan
kecakapan seseorang, kecakapan artinya kepandaian atau kemahiran untuk
melaksanakan tugas, kekuasaan maksudnya kemampuan orang untuk menguasai
sesuatu, sedangkan keterampilan adalah kecakapan untuk menyelesaikan tugas.
Gagne melalui Ratna Wilis Dahar (1989: 134), mengemukakan bahwa
kemampuan adalah penampilan-penampilan yang dapat diamati sebagai hasil
belajar. Ada lima macam yaitu (1) kemampuan yang berhubungan dengan
keterampilan intelektual, (2) kemampuan yang berhubungan dengan penggunaan
strategi kognitif, (3) kemampuan yang berhubungan dengan sikap, (4)
kemampuan yang berhubungan dengan informasi verbal, dan (5) kemamapuan
yang berhubungan dengan keterampilan motorik.
Menurut Woodworth dan Marquis melalui Sumadi Suryabrata (1987: 169)
kemampuan (ability) mempunyai tiga arti, yaitu: (1) achievement yang merupakan
31
32
actual ability, yang dapat diukur langsung dengan alat atau tes tertentu, (2)
capacity yang merupakan potensi ability, yang dapat diukur secara tidak langsung
dengan melalui pengukuran terhadap kecakapan individu, kecakapan ini
berkembang dengan perpaduan antara dasar dengan training yang intensif dan
pengalaman, (3) aptitude, yaitu kualitas yang hanya dapat diungkap/ diukur
dengan tes khusus yang sengaja dibuat untuk itu.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kemampuan adalah
kesanggupan individu untuk melakukan suatu kegiatan secara maksimum agar
mencapai hasil yang paling tinggi dan kemampuan merupakan hasil belajar.
Namun, harus diakui bahwa kemampuan seseorang ini belum tentu ditampilkan
secara maksimum pada setiap melakukan kegiatan. Banyak faktor yang
mempengaruhi kemampuan tersebut, di antaranya bagaimana orang tersebut
menyikapi objek kegiatan.
b. Pengertian Apresiasi
Dick Hartoko dan B. Rahmanto (1986: 17) menyatakan bahwa kata
apresiasi dipinjam dari bahasa Inggris appreciation yang artinya penghargaan.
Apresiasi sastra berarti penghargaan terhadap karya sastra.
Apresiasi adalah mengenal, mamahami, menghayati, dan menghargai
karya sastra (Henry Guntur Tarigan, 1998: 36). Untuk dapat mengenal,
memahami, menghayati, dan mengahargai karya sastra diperlukan upaya untuk
menggauli karya sastra.Salah satu cara adalah dengan membaca karya sastra
secara sungguh-sungguh.
33
Menurut S. Effendi (1974:18), apresiasi sastra adalah kegiatan menggali
cipta sastra dengan sungguh-sungguh hingga tumbuh pengertian, penghargaan,
kepekaan pikiran kritis dan kepekaan perasaan yang baik terhadap cipta sastra.
Menggali cipta satra berarti memahami cipta sastra. Untuk itu diperlukan usaha
untuk menyenangi karya sastra. Perasaan senang terhadap karya sastra akan
menumbuhkan keinginan untuk lebih mengerti, menghargai, dan akhirnya
memiliki kepekaan pikiran dan perasaan terhadap karya sastra.
Senada dengan pendapat S. Effendi, yaitu Jakob Sumardjo dan Saini
K.M.(1986: 173) mengatakan bahwa apresiasi mengandung pengertian
memahami, menikmati, dan menghargai atau menilai. Apresiasi sastra yaitu
memahami, menikmati, dan menghargai atau menilai karya sastra.
Yus Rusyana (1984: 322) menyatakan bahwa apresiasi sebagai pengenalan
nilai-nilai yang lebih tinggi. Sedangkan apresiasi sastra adalah pengenalan dan
pemahaman yang tepat terhadap nilai sastra, dan kegairahan kepadanya, serta
kenikmatan yang timbul sebagai akibat semua itu. Dalam mengapresiasi sastra
seseorang merasakan pengalaman yang telah disusun oleh pengaranganya.
Apresiasi tingkat pertama, apabila seseorang mengalami pengalaman yang ada
dalam sebuah karya. Apresiasi tingkat kedua, apabila daya intelektual pembaca
bekerja lebih giat, misalnya pembaca mulai bertanya kepada dirinya tentang
makna pengalaman yang diperolehnya, tentang pesan yang disampaikan
pengarang, tentang hal tersembunyi di belakang alur, dan lain-lain.
Berdasarkan berbagai pendapat tersebut di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa apresiasi satra yaitu upaya untuk mengenali, memahami, menikmati,
34
menghargai, dan menilai karya sastra sehingga tumbuh rasa senang terhadap karya
satra, dan akhirnya dapat mengambil nilai-nilai yang terkandung dalam karya
satra yang dibacanya.
c. Pengertian Cerita Pendek
Menurut Dedi Pramono (2008: 1) cerita pendek yaitu cerita fiksi bentuk
prosa yang singkat padat, yang unsur ceritanya terpusat pada satu peristiwa pokok,
sehingga jumlah dan pengembangan pelaku terbatas, dan keseluruhan cerita
memberikan kesan tunggal. Dengan demikian, cerita pendek itu cerita yang
ringkas. Unsur-unsur intrisik seperti setting, penokohan, peristiwa dalam cerita
diungkapkan secara singkat.
Ahli lain mengemukakan, ceita pendek ialah karya sastra berbentuk prosa
yang isinya merupakan kisahan pendek yang mengandung kesan tunggal (Zaidan
Hendy,1989: 184). Kisahan pendek maksudnya cerita diungkapkan secara ringkas.
Secara ringkas maksudnya peristiwa-peristiwa diuraikan secara terbatas atau
secara tidak mendalam.
Jakob Sumardjo dan Saini K.M.(1986: 36) menjelaskan bahwa menurut
bentuk fisiknya, cerita pendek adalah cerita yang pendek. Tetapi dengan hanya
melihat fisiknya yang pendek saja, orang belum dapat menetapkan sebuah cerita
yang pendek, adalah sebuah cerpen. Ciri dasar lain adalah sebuah rekaan (fiction).
Cerita pendek bukan penuturan kejadian yang pernah terjadi, berdasarkan
kenyataan kejadian yang sebenarnya, tetapi murni ciptaan saja, direka oleh
pengarangnya. Meskipun cerpen hanya rekaan, namun ditulis berdasarkan
35
kenyataan kehidupan. Apa yang diceritakan dalam cerpen memang tidak pernah
terjadi, namun dapat terjadi semacam itu.
Burhan Nurgiyantoro (2005: 9), menyatakan bahwa cerita pendek (Inggris:
short story) cerita yang pendek, namun panjang pendek cerita bervariasi. Cerpen
dibangun oleh unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik. Karena bentuknya yang
pendek, cerpen menuntut penceritaan yang serba ringkas, tidak sampai detail-
detail khusus yang “kurang penting”yang lebih bersifat memperpanjang cerita.
W.H. Hudson dalam Herman J. Waluyo dan Nugraheni E. W. (2009: 5)
mengemukakan “ a short story is a prose narrative” requiring from half to one or
two hours in its perusal”. Putting the same idea in to different phraseology, we
may say that a short story is a story that can be easily read at a single sitting.”
(Cerpen adalah sebuah prosa naratif, membutuhkan waktu satu setengah sampai
dua jam untuk membacanya. Menggunakan frasa yang sama, kita dapat
mengatakan bahwa cerpen mudah dibaca dalam sekali duduk).
Menurut Willam Kenney (1966: 103) cerpen terdiri dari seribu sampai
15000 kata ( “More specifically, the term “ short story” is normally applied to
works of fiction ranging in length from one thousand to fifteen thousand words).
Beliau juga memberi penjelasan tentang cerpen dalam perbandingannya dengan
novel yaitu
The short story, for instance, is not merely a truncated novel. Nor is it part of an unwritten novel. It’s true that work originally published as short stories later turn up as chapters in novel, but you’ll usually find that considerable revision has occourred in the process. The length of a good short story, is an essential part of the experience of the story.
36
Sebuah ceita pendek bukan semata-mata novel yang dipendekkan, bukan
juga bagian novel yang tidak dituliskan.Memang benar sebuah cerita pendek
kadang-kadang menjadi bab dalam sebuah novel, namun Anda akan menemukan
revisi yang cukup berarti dalam proses itu. Panjang sebuah cerita pendek yang
baik merupakan bagian penting dari cerita itu.
Edgar Allan Poe dalam Kenney (1966:103) juga menjelaskan tentang
cerpen yaitu “settied the matter of a short story’s proper length when he said it
should be short enough to be read at one sitting. The story should be long enough
to produce the desired effect on the reader. Cerita pendek dapat dibaca dalam
sekali duduk. Dan cerita itu akan memberikan pengaruh sesuai yang diinginkan
pembaca.
Panjang sebuah cerpen bervariasi. Ada cerpen yang pendek (short short
story), bahkan mungkin pendek sekali: berkisar 500-an kata; ada yang panjangnya
cukupan (middle short strory), dan ada yang panjang (long short story), yang
terdiri dari puluhan ribu kata (Burhan Nurgiantoro, 2005: 10). Ian Reid
menyebutkan antara 1.600 kata sampai dengan 20.000 kata. S. Tasrif mengatakan
antara 500 sampai 32.000 kata, Nugroho Noto Susanto menyebutkan 5000 kata
atau 17 halaman kertas kuarto spasi rangkap (Herman J. Waluyo, dan Nugraheni
E.W.,2009: 6).
Ciri-ciri cerita pendek antara lain adalah (1) singkat, padu, dan ringkas; (2)
memiliki unsur utama berupa adegan, tokoh, dan gerakan; (3) bahasanya tajam,
sugestif, dan menarik perhatian; (4) mengandung impresi pengarang tentang
konsepsi kehidupan;(5) memberi efek tunggal dalam pikiran pembaca;(6)
37
mengandung detail dan inseden yang betul-betul terpilih;(7) ada pelaku utama
yang benar-benar menonjol dalam cerita: dan (8) menyajikan kebulatan efek dan
kesatuan emosi Guntur Tarigan. 1998: 177).
Cerpen termasuk jenis cerita fiksi atau rekaan. Kata fiksi berasal dari
bahasa Latin fictio berarti membentuk, membuat, atau mengadakan. Dalam bahasa
Indonesia kata “fiksi”dapat diartikan sebagai yang dikhayalkan atau
diimajinasikan (Herman J. Waluyo dan Nugraheni E. W., 2009: 1). Menurut
Burhan Nurgiantoro (2005: 9), karya fiksi karya yang berbentuk prosa, prosa
naratif, atau teks naratif. Karya fiksi, seperti halnya dalam kesastraan Inggis dan
Amerika, menunjuk pada karya berwujud novel dan cerita pendek.
d. Unsur Pembangun Cerita Pendek
Unsur pembangun cerita fiksi menurut Herman J. Waluyo dan Nugraheni
E.W.(2009: 10) adalah: tema cerita, plot, atau kerangka cerita, penokohan dan
perwatakan, setting atau tempat kejadian cerita atau disebut juga latar, sudut
pandang pengarang atau point of view, latar belakang atau back-ground, dialog
atau percakapan, gaya bahasa/gaya cerita, waktu cerita dan waktu penceritaan,
serta amamnat.
Burhan Nurgiantoro (2005: 23) mengemukakan bahwa unsur pembangun
fiksi dikelompokkan menjadi dua yaitu unsur ekstrinsik dan unsur intrinsik. Unsur
ekstrinsik yaitu unsur dari luar karya sastra yang secara tidak langsung
mempengaruhi bangun cerita namun bukan bagian di dalamnya, walau demikian
unsur ekstrinsik cukup berpengaruh (tidak dikatakan :cukup menentukan).
Sedangkan unsur intrisik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra.
38
Unsur-unsur ini yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra, unsur-
unsur yang secara faktual akan dijumpai kalau seseorang membaca karya
sastra.Unsur intrinsik adalah unsur yang secara langsung membangun cerita..
Unsur-unsur tersebut adalah: peristiwa, cerita, plot, penokohan, tema, latar, sudut
pandang penceritaan, bahasa atau gaya bahasa.
Menurut Jakob Sumardjo dan Saini K.M (1986: 37) unsur-unsur intrinsik
cerpen adalah peristiwa cerita (alur atau plot), tokoh cerita (karakter), tema cerita,
suasana cerita (mood dan atmosfir cerita), latar cerita atau (setting) sudut
pandanagan pencerita (point of view), dan gaya (style) pengarangnya. Unsur-unsur
tersebut adalah unsur pembangun cerita.Sebagai unsur pembangun cerita maka
unsur-unsur tersebut harus hadir dalam cerita.
Berdasarkan beberapa pendapat tersebutdi atas, maka dapat disimpulkan
bahwa unsur-unsur pembangun cerita rekaan termasuk cerita pendek adalah: (1)
tema; (2) plot atau alur cerita; (3) tokoh dan karakter; (4) point of view; (5) setting
atau latar; (6) gaya bercerita / gaya bahasa
Penjelasan mengenai unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut.
(1) Tema
Tema adalah gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra
dan yang terkandung di dalam teks sebagai struktur semantik dan yang
menyangkut persamaan-persamaan maupun perbedaan-perbedaan. Tema disaring
dari motif-motif konkret yang menentukan urutan peristiwa atau situasi tertentu
(Dick Hartoko dan B. Rahmanto. 1986:142).
39
Menurut Herman J. Waluyo dan Nugraheni E.W. (2009: 10-11), tema
adalah gagasan pokok. Tema cerita mungkin dapat diketahui melalui judul atau
petunjuk setelah judul, atau dengan melalui proses pembacaan karya sastra
berkali-kali, karena belum cukup dilakukan dengan sekali baca. Perbedaannya
dengan amanat cerita, dapat dinyatakan bahwa tema bersifat objektif, lugas, dan
khusus, sedangkan amanat cerita bersifat subjektif, kias, dan umum
William Kenney (1966: 91) menjelaskan tentang tema seperti berikut ini, “
If theme is not moral, not the subject, not a “hidden meaning” illustrated by the
story. Theme is the meaning the story releases; it may be the meaning the story
discovers. Tema bukan moral, bukan subjek, bukan makna yang disembunyikan
melalui ilustrasi cerita. Tema adalah makna yang dikemukakan cerita, dan dapat
ditemukan di balik cerita yang mendukungnya. Jadi, untuk menemukan tema
cerita harus dipahami dan ditafsirkan melalui cerita dan data-data yang lain(
unsur-unsur intrinsik).
Sedangkan Burhan Nurgianotro (2005: 70), mengemukakan tema adalah
dasar cerita, gagasan dasar umum cerita. Dasar (utama) cerita sekaligus berarti
tujuan (utama) cerita. Jika dilihat dari sudut pengarang, dasar cerita dipakai
sebagai panutan pengembangan cerita, dilihat dari sudut pembaca ia akan bersifat
sebaliknya. Berdasarkan cerita yang dibeberkan itulah pembaca berusaha
menafsikan apa dasar utama cerita itu, dan hal itu akan dilakukan berdasarkan
detail-detail unsur yang terdapat dalam karya yang bersangkutan. Tema sebuah
karya sastra selalu berkaitan dengan makna (pengalaman) kehidupan.
40
Menentukan tema sebuah cerita tidaklah mudah. Untuk dapat menentukan
tema, pembaca harus memahami cerita secara sungguh-sungguh, maka diperlukan
membaca tidak hanya sekali. Di samping itu unsur-unsur pembangun lain harus
juga dipahami dan dikaitkan atau diarahkan dengan tema. Jadi, menentukasn tema
juga harus dilihat atau didasarkan pada unsur-unsur pembangun yang lain.
Cara menafsirkan tema cerita sesuai dengan pendapat Herman J. Waluyo
dan Nugraheni E.W. (2009: 13) adalah sebagai berikut: (1) jangan sampai
bertentangan dengan setiap rincian cerita; (2) harus dapat dibuktikan secara
langsung dalam teks; (3) penafsiran tema tidak hanya berdasarkan pikiran; dan (4)
berkaitan dengan rincian cerita yang ditonjolkan ( mungkin disebutkan sebagai
bagian dari judul).
(2). Plot atau alur cerita
Plot atau sering juga disebut kerangka cerita, yaitu jalinan cerita yang
disusun dalam urutan waktu yang menunjukkan hubungan sebab dan akibat dan
memiliki kemungkinan agar pembaca menebak-nebak peristiwa yang akan datang
(Herman J. Waluyo dan Nugraheni E. W., 2009.14). Plot atau alur merupakan
struktur naratif (Rene Wellek dan Austin Warren, 1988: 284). Plot adalah
serangkaian peristiwa drama atau cerita naratif dan peristiwa itu tersusun untuk
membawa pencapaian efek emosi dan seni secara khusus (Abrams, 1981: 127).
William Kenney (1966: 13-14) mengemukakan “plot reveals events to us,
not only in their temporal, but also in their causal relationships. Plot makes us
aware of events not merely as elements in a temporal series but also as an
41
intricate pattern of cause and effect”.Jadi, plot menunjukkan peristiwa- peristiwa
yang merupakan hubungan sebab akibat.
Hukum plot berdasarkan pendapat Kenney (1966: 19-22) berupa
plausibility, surprise, suspense, unity, subplot, dan ekspresi. Plausibility yaitu
kebolehjadian, maksudnya cerita mungkin dapat terjadi dalam kehidupan nyata.
Surprise atau kejutan maksudnya kelanjutan cerita tidak dapat ditebak oleh
pembaca. Pembaca dikejutkan oleh rangkaian cerita berikutnya, sehingga
pembaca mempunyai keinginan untuk mengikuti cerita selanjutnya. Suspense
yaitu tegangan yang membuat pembaca ingin segera mengetahui kisah selanjunya
dari cerita. Unity maksudnya urutan kejadian cerita harus padu. Subplot yaitu
bagian cerita sebagai penjelas yang selalu berhubungan dengan plot utamanya.
Ekspresi yaitu ungkapan cerita, maksudnya cerita mengekspresikan pengalaman
tokoh sehingga dapat menghidupkan cerita. Jakob
Sumardjo dan Saini K.M. (1986: 48-49) menjelaskan bahwa apa yang disebut plot
dalam cerita memang sulit dicari. Plot tersembunyi di balik jalannya cerita.
Namun jalan cerita bukanlah plot. Jalan cerita hanyalah manifestasi, bentuk
wadah, bentuk jasmaniah dari plot cerita. Jalan cerita memuat kejadian. Tetapi
suatu kejadian ada karena ada sebabnya, ada alasannya. Yang menggerakkan
kejadian cerita tersebut adalah plot, yaitu segi rohaniah dari kejadian. Intisari plot
adalah konflik. Elemen –elemen plot adalah (1) pengenalan; (2) timbulnya
Henry Guntur Tarigan.1984. Membaca Ekspresif. Bandung: Angkasa.
----------------1989. Membaca dalam Kehidupan. Bandung: Ankasa.
----------------1998. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung. Angkasa.
Freire, Paulo. 1983. The Importance of The Act Reading. Journal of Education. Brazil: Catholic University. pp.5. Diunduh 5Maret 2010.
Herman J. Waluyo dan Nugraheni E.W. 2009. Pengkajian Prosa Fiksi. Surakarta:
Universitas Sebelas Maret. Ibrahim, Azhar Alwee. 2008. Perancangan ke Arah Pemberdayaan dalam
Pembelajaran Satra. Konferensi Internasional Kesusastraan XIX/Hiski. http: www.pusat bahasa. diknas. Go.id/ Diunduh 2 Februari 2010).
Hurley, Patrick J. 1982. A Concise Introduction to Logic. California: Wadsworth. Jakob Sumardjo dan Saini K.M. 1986. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta:
Gramedia. Jan Hendrik Rapar. 1996. Pengantar Logika. Yogyakarta: Kanisius.
84
112
J. Prapta Diharja, S.J. 2004. “Pembelajaran Sastra yang Kreatif”. Dalam Gatra Jurnal Ilmiah Pendidikan Bahasa dan Sastra, No. 27 Th. XIX. Januari 2004. hal.145.
Jujun S. Suriasumantri. 1984. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta:
Sinar Harapan. Kenney, William. 1966. How to Analyze Fiction. New York: Monarch Press. Masri Singarimbun dan Sofian Effendi. 1984. Metode Penelitian Survai. Jakarta:
Pt. Pertja. Maman S. Mahayana. 2008. Appreciating Indonesian Literature in Schools.
Journal of Education. Jakarta: University Indonesia.pp. 1. Diunduh 5 Maret 2010.
Mohammad Asrori. 2008. Psikologi Pembelajaran. Bandung: Wacana Prima.
Mortiner J. Adler, dan Charles van Doren. 1987.Cara Membaca Buku dan Memahaminya ( diterjemahan Budi Prayitno). Jakarta: Panca Simpati.
Rositer, Marsha.2003. Narative and Stories in Adult Teaching and Learning. Eric Digest. ( Dalam http://www. Ericdigests. Org/2003-4/ adult teaching.htm.) Diunduh 1 Februari 2010.
S.C. Utami Munandar dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia.1990. Jakarta: Cipta
Adi pustaka. S. Effendi.1974 .Bimbingan Apresiasi Puisi. Ende-Flores. : Nusa Indah.
Shahriza, Nor Abdul Karim. 2006. Reading Habits and Attitude in Malaysia: Anlisis of Gender and Academic Programme Differences. Kekal Abadi, 25 (1/2). pp. 1. Diunduh 2Maret 2010.
Sudjana. 1992. Metode Statistika. Bandung: Tarsito.
113
---------. 1992. Teknik Analisis Regresi dan Korelasi. Bandung: Tarsito.
Sudirman Siahaan dan Rr, Murtiningsih.2009. Mengapa Kebiasaan Membaca Masih Belum Berkembang? Dalam www. Depdiknas. go id. Pdf. Diunduh 2 Februari 2010.
Sumadi Suryabrata. 1987. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rajawali. Stokes, Suzanne. Tanpa Tahun. Visual Literacy in Teaching and Learning: A
Literature Perspective. Electronic Journal for the Integration of Technology in Education. Troy State University. Vol.1. No. 1.Diunduh 15 April 2010.hal.1.
Syamsudin A.R. dan Vismaia S. Damaianti. 2006. Metode Penelitian Bahasa.
Bandung: Remaja Rosdakarya. Tampubolon.1990. Kemampuan Membaca Teknik Membaca Efektif dan Efisien.
Bandung: Angkasa. .Utami Munandar. 1982. Pemanduan Anak Berbakat: Suatu Studi Penjajagan.
Jakarta: Rajawali . Wellek, Rene dan Austin Warren.1988. Teori Kesusastraan (edisi terjemahan oleh
Melani Budianta) Jakarta: Gramedia. Yan, Kui. 2006. An Approach To Teaching Short Stories. International Journal of
Business and Management. Guangdong : Qinghai University. Dalam www. Ccsenet. Org.pdf.Diunduh 20 November 2009.
Yus Rusyana. 1984. Bahasa dan Sastra dalam Gamitan Pendidikan. Bandung:
C.V. Diponegoro. Zaidan Hendy. 1989. Pelajaran Sastra Program Budaya. Jakarta: Gramedia.
Zainuddin Fananie. 2000. Telaah Sastra. Surakarta: Mohammadiyah University Press.