SUNTINGAN TEKS SERAT DORAWECA Eko Rohmanto Karsono H. Saputra Program Studi Sastra Daerah untuk Sastra Jawa, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, 64124, Indonesia E-Mail: [email protected][email protected]Abstrak Penelitian filologi mengenai Serat Doraweca menghasilkan suntingan teks. Doraweca adalah nama lakon dalam pewayangan ringgit purwa. Teks Doraweca merupakan teks wayang yang dikategorikan sebagai sastra wayang, terdapat tiga naskah yang mengandung teks sastra wayang. Tiga naskah ini dikategorikan menjadi dua versi. Perbedaan antar kedua versi tersebut yaitu pada pupuh pertama, Pupuh pertama pada versi naskah “A” yaitu dhandhanggula, sedangkan pupuh pertama pada versi “B” yaitu sinom. Metode penyuntingan teks menggunakan metode landasan, sedangkan alih aksara dikerjakan dengan menggunakan edisi suntingan standar.Naskah Serat Doraweca ini taat akan asas persajakan macapat terlihat dari sedikitnya perbaikan pada naskah yang disunting. Pada skripsi ini terdapat ringkasan adegan dalam naskah. Kata kunci: Wayang, lakon wayang, filologi, naskah,macapat, Doraweca, pupuh, adegan, suntingan teks. Text Edits of Serat Doraweca Abstract In these philological research about Serat Doraweca, researcher makes an edited text from its content. Doraweca is the name of character in Javanese traditional puppetry, Ringgit Purwa. Doraweca itself classified as a puppetry literature. In its body text, there are three scripts classified as a puppetry literatures. There are two version of this scripts. The differences of both version can be identified from its first Pupuh. In “A” version of this scripts, the first pupuh is dhandhanggula. Whereas the first pupuh in “B” version is sinom. A comparative based method are used to editing text, while a standard editing method are used to letter-translate process.Serat Doraweca script obey the principle of macapat’s rhyme, proved by its minimum correction that researcher done for its edited text. In this thesis, researcher makes a synopsis for every scene in the script. Keywords :Puppet, puppet role, philology, script, macapat, Doraweca, pupuh, scene, edited text Pendahuluan Bangsa Indonesia memiliki tradisi lisan dan tulis yang sudah sangat lama. Bentuk- bentuk media dalam tradisi tulis sangat beragam, mulai dari batu, kulit kayu, kertas, dan berbagai media yang dapat digunakan untuk menulis. Salah satu kebudayaan yang memiliki tradisi tulis dan peninggalannya adalah Kebudayaan Jawa, berupa naskah. Naskah adalah kumpulan tulisan tangan yang menyimpan berbagai ungkapan pikiran dan perasaan sebagai hasil budaya bangsa masa lampau (Siti Baroroh Baried, 1985:5). Suntingan Teks ..., Eko Rahmanto, FIB UI, 2016
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
SUNTINGAN TEKS SERAT DORAWECA
Eko Rohmanto Karsono H. Saputra
Program Studi Sastra Daerah untuk Sastra Jawa, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, 64124, Indonesia
Penelitian filologi mengenai Serat Doraweca menghasilkan suntingan teks. Doraweca adalah nama lakon dalam pewayangan ringgit purwa. Teks Doraweca merupakan teks wayang yang dikategorikan sebagai sastra wayang, terdapat tiga naskah yang mengandung teks sastra wayang. Tiga naskah ini dikategorikan menjadi dua versi. Perbedaan antar kedua versi tersebut yaitu pada pupuh pertama, Pupuh pertama pada versi naskah “A” yaitu dhandhanggula, sedangkan pupuh pertama pada versi “B” yaitu sinom.
Metode penyuntingan teks menggunakan metode landasan, sedangkan alih aksara dikerjakan dengan menggunakan edisi suntingan standar.Naskah Serat Doraweca ini taat akan asas persajakan macapat terlihat dari sedikitnya perbaikan pada naskah yang disunting. Pada skripsi ini terdapat ringkasan adegan dalam naskah. Kata kunci: Wayang, lakon wayang, filologi, naskah,macapat, Doraweca, pupuh, adegan, suntingan teks.
Text Edits of Serat Doraweca
Abstract
In these philological research about Serat Doraweca, researcher makes an edited text from its content. Doraweca is the name of character in Javanese traditional puppetry, Ringgit Purwa. Doraweca itself classified as a puppetry literature. In its body text, there are three scripts classified as a puppetry literatures. There are two version of this scripts. The differences of both version can be identified from its first Pupuh. In “A” version of this scripts, the first pupuh is dhandhanggula. Whereas the first pupuh in “B” version is sinom.
A comparative based method are used to editing text, while a standard editing method are used to letter-translate process.Serat Doraweca script obey the principle of macapat’s rhyme, proved by its minimum correction that researcher done for its edited text. In this thesis, researcher makes a synopsis for every scene in the script. Keywords :Puppet, puppet role, philology, script, macapat, Doraweca, pupuh, scene, edited text
Pendahuluan
Bangsa Indonesia memiliki tradisi lisan dan tulis yang sudah sangat lama. Bentuk-
bentuk media dalam tradisi tulis sangat beragam, mulai dari batu, kulit kayu, kertas, dan
berbagai media yang dapat digunakan untuk menulis. Salah satu kebudayaan yang memiliki
tradisi tulis dan peninggalannya adalah Kebudayaan Jawa, berupa naskah. Naskah adalah
kumpulan tulisan tangan yang menyimpan berbagai ungkapan pikiran dan perasaan sebagai
hasil budaya bangsa masa lampau (Siti Baroroh Baried, 1985:5).
Suntingan Teks ..., Eko Rahmanto, FIB UI, 2016
Teks merupakan isi dari kandungan naskah. Teks Jawa dalam pengelompokan
Behrend (1995) terdiri dari teks agama (Hindu-Bali), bahasa dan leksikografi, cerita historis,
cerita bercorak Islam, cerita kepahlawanan, cerita santri lelana, cerita Tiong Hoa, cerita
wayang, hukum dan undang-undang, Al-Quran dan teks-teks islam, keris-kerajinan-
keterampilan, legenda setempat, primbon dan pawukon, piwulang-suluk-teks didaktik, sejarah
dan babad, silsilah, seni suara dan musik, seni tari dan pertunjukan rakyat, upacara dan adat
istiadat rakyat, serta pewayangan dan padhalangan. Teks pewayangan merupakan salah satu
teks yang sampai saat ini masih disukai oleh masyakarat Jawa.
Kata wayang (Bahasa Jawa) bervariasi dengan kata bayang, yang berarti bayangan.
Hazeu (1979:50-51) mengatakan bahwa wayang dalam kata/bahasa Jawa berarti bayangan,
dalam bahasa Melayu. Bayang-bayang, yang artinya, bayangan, samar-samar, remang-
remang, menerawang, dalam bahasa Aceh, bayeng, artinya bayangan, serta dalam bahasa
Bugis bayang atau wayang.Apabila ditelusuri secara diakronis, maka cerita dan lakon
wayang tidak dapat dipisahkan dari karya sastra wayang. Tokoh-tokoh wayang yang sekarang
dikenal tidak terlepas dari epos tanah Hindi (India), seperti Ramayana dan Mahabarata
(Darmoko, 1999:7).
Teks wayang yang sedemikian banyaknya dapat dikategorikan menjadi tiga jenis,
yaitu: 1. Lakon wayang, 2. Balungan, 3. Sastra wayang. Lakon wayang dalam khasanah
pewayangan lebih menitikberatkan pada konteks dialog dalam suatu cerita. Menilik Pakem
Padhalangan Lampahan Wahju Purbasedjati (1958), wayang lebih digambarkan dalam
dialog-dialog antarlakon, dialog lebih ditonjolkan untuk menjelaskan berbagai makna tersirat
serta tersurat. Penggambaran pakem pedalangan yang dijelaskan sebelumnya, lakon disoroti
sebagai karya yang khas, yaitu percakapan/dialog (Boen S. Oemarjati, 1971:61).
Balungan dalam teks wayang merupakan gambaran ringkas suatu cerita. Balungan
biasanya hanya memuat ringkasan-ringakasan cerita dalam suatu lakon wayang pada teks
lain, biasanya hanya tertulis jalan cerita. Teks Balungan wayang dapat pula terdiri dari
beberapa kumpulan cerita wayang ringkas yang dipadukan menjadi satu (Darmoko, 1999:61).
Sastra wayang lebih menitikberatkan kepada unsur cerita, terdapat dialog dalam suatu
teks tetapi tidak melulu keseluruhan teks terdiri dari dialog antartokoh. Terdapat
penggambaran umum cerita serta banyak unsur intrinsik yang tidak hanya terdapat pada
dialog semata. Sastra wayang yaitu bentuk (karya) sastra yang berisi cerita mengenai wayang
(Darmoko, 1999:24).
Wayang memiliki banyak jenis, salah satu jenisnya adalah wayang purwa.
Penggambaran wayang purwa yaitu jenis pertunjukan wayang yang menyajikan lakon berasal
Suntingan Teks ..., Eko Rahmanto, FIB UI, 2016
dari mitos permulaan zaman, awal adanya dewa-dewa, raksasa dan manusia, masa Wisrawa
dengan Sastrajendra-nya, masa prabu Arjunasasrabau, Ramayana dan Mahabarata
(Darmoko, 1999:56). Lakon-lakon dalam wayang purwa tersebut memiliki banyak sekali
jumlahnya, salah satunya lakon tersebut adalah Doraweca.
Cerita yang terkandung dalam naskahberjudul Dorawecaberisi kisah Resi Doraweca
yang ingin memperistri Dewi Sumbadra setelah mengetahui Arjuna menghilang dari
Dwarawati. Srikandi, Abimanyu, dan para punakawan pergi mencari Arjuna. Ternyata
Arjuna pergi ke pertapaan Bagawan Anoman di gunung Kendhali Suda. Anoman menyuruh
Arjuna untuk kembali ke Dwarawati. Dalam perjalanan pulangnya, Arjuna menyamar
menjadi bagawan Sidikmulya dan bertemu Srikandi. Resi Doraweca menyerang Dwarawati
dan bertempur dengan Arjuna, ketika terkena panah Arjuna, Doraweca berubah wujud
menjadi Sang Hyang Guru. Hyang Guru memberi wejangan kepada Arjuna untuk tidak pergi
terlalu lama.
Cerita Doraweca yang merupakan bagian dari cerita wayang, tentunya masuk ke
dalam salah satu bagian dari ketiga unsur pembagian teks wayang. Teks Doraweca
merupakan bagian dari sastra wayang bila dilihat dari karakteristik sastra wayang yang
memiliki unsur tembang, lakon, serta penjabaran cerita. Di beberapa naskah juga terdapat
judul Doraweca yang dikategorikan sebagai balungan cerita Doraweca, tetapi terdapat juga
teks yang akan dijadikan bahan penelitian merupakan teks yang merupakan bagian dari sastra
wayang.
Metode penelitian
Penelitian ini menggunakan metode landasan. Metode landasan bertolak pada
argumen bahwa ada satu versi yang dianggap unggul di antara teks-teks seversi dan ada satu
varian atau redaksi yang dianggap unggul di antara redaksi-redaksi dalam versi bersangkutan
(Karsono H. Saputra, 2008:105).
Langkah kerja penelitian mengikuti langkah kerja filologi, sebagaimana dijelaskan
oleh Karsono H. Saputra (2008:104). Langkah kerja meliputi: 1. Inventarisasi naskah, 2.
rembugira / ingutus sri narendra dhinawihan mamanuki / jeng sang bagawan / kang
maring Dwarawati //
Terjemahan:
Berkata pelan raksasa Reksangkara, “hai klanthang mimis, sebaiknya kita berbicara
karena saya diutus oleh sang raja serta sang bagawan untuk kembali ke Dwarawati”
Ketiga naskah yang mengandung teks Doraweca secara garis besar memiliki
kesamaan cerita, perbedaan hanya terdapat pada pupuh pertama naskah A dan naskah C
menggunakan pupuh sinom sedangkan naskah B menggunakan pupuh dhandhanggula.
Naskah A dikategorikan sebagai nasakah dengan versi yang sama dengan naskah C, naskah B
merupakan versi yang berbeda dengan kedua naskah tersebut.
Versi naskah A pada awal tulisan dapat terbaca, namun lama kelamaan tulisan naskah
sulit terbaca. Naskah C yang seversi dengan naskah A memiliki tulisan yang dapat dibaca
dengan jelas, namun tidak dapat diambil data digitalnya dengan berbagai macam alasan.
Terdapat kesulitan yang terdapat pada naskah A dan naskah C, kedua naskah tidak dijadikan
bahan penyuntingan.
Mengacu pada metode Landasan, versi naskah B dijadikan acuan untuk penelitian
karena naskah B memiliki tulisan yang jelas dan terbaca hingga akhir cerita. Keunikan pupuh
pertama juga dijadikan sebagai landasan karena pupuh yang dimiliki naskah B adalah
dhandanggula, walaupun berbeda versi, isi cerita secara garis besar sama. Selain itu, naskah
B juga terdapat buku cetak beraksara Jawa terbitan tahun 1925 karangan Raden Mas Panji
Suntingan Teks ..., Eko Rahmanto, FIB UI, 2016
Harjasuparta yang digunakan hanya sebagai pembantu untuk penyuntingan naskah B.
Penggunaan buku cetak dimaksudkan untuk membandingan beberapa aksara Jawa yang tidak
terbaca karena pudar.
3. Pertanggungjawaban Alih Aksara
Alih aksara merupakan proses pemindahan satu tulisan ke tulisan lain. Penyajian alih
aksara dapat saja tidak dimengerti oleh pembaca tanpa ada penejelasan yang luas (Robson,
1994:12-24). Proses pemindahan suatu teks ditujukan untuk menyajikan teks yang dapat
dimengerti oleh pembaca, tidak hanya pada proses pemindahan, namun alih aksara lebih
ditujukan pada penggunaan tata bahasa yang ada pada masyarakat pembaca.
Peneliti menggunakan edisi standar dalam pengalihaksaraan naskah Serat Doraweca.
Edisi standar merupakan proses mengalihkan sistem kode pada suatu teks ke dalam sistem
kode yang berlaku pada masyarakat kini (Siti Baroroh Baried, 1985:69), yaitu sistem kode
menggunakan aksara latin. Dalam mengalihaksarakan naskah Doraweca ke dalam aksara
latin menggunakan pedoman penulisan sebagai berikut:
1. Penulisan kata mengacu pada kamus Baoesastra Djawa yang dibuat Poerwadarminta
(1939) dan kamus Bausastra Jawa yang disusun Balai Bahasa Yogyakarta (2008).
2. Tata Bahasa Jawa menggunakan buku Tata Bahasa Baku Bahasa Jawa karangan
Sudaryanto.
3. Pedoman prosodi tembang menggunakan buku Sekar Macapat karangan Karsono H.
Saputra.
4. Tanda yang digunakan pada suntingan teks:
a. Penomoran pupuh menggunakan angka romawi
b. Penanda akhir bait menggunakan tanda baca: //
c. Pembatas antarlarik nenggunakan tanda baca: /
d. Angka arab pada awal baris merupakan penanda awal bait dalam satu pupuh.
e. Tanda (-1) (-2) merupakan penanda terdapatnya kekurangan jumlah guruwilangan
dalam satu larik. Angka dalam tanda menunjukan jumlah suku kata yang kurang.
f. Tanda (+1) (+2) merupakan penanda terdapatnya kelebihan jumlah guruwilangan
dalam satu larik. Angka dalam tanda menunjukan jumlah suku kata yang lebih.
g. Tanda hubung [ - ] untuk penulisan kata yang mengandung reduplikasi.
5. Vokal
Suntingan Teks ..., Eko Rahmanto, FIB UI, 2016
EYD bahasa Jawa yang terdapat dalam naskah Serat Doraweca terdapat enam bunyi
vokal, yaitu /a/, /i/, /u/, /e/, /ê/, /o/, namun pada proses alih aksara menggunakan edisi
standar, vokal /é/, /è/ dan /ê/ ditulis menggunakan vokal yang sama yaitu /e/.
6. Konsonan
Terdapat dua puluh macam konsonan bahasa Jawa. Seluruh konsonan dalam naskah
Serat Doraweca ditulis sesuai dengan EYD bahasa Jawa.
7. Huruf kapital
Aksara Jawa mengenal istilah aksara murda sebagi penggambaran huruf kapital,
aksara murda yang terdapat dalam aksara Jawa adalah /na/, /ka/, /ta/, /sa/, /pa/, /nya/,
/ga/, /ba/. Aksara murda dalam Serat Doraweca sebagai penggambaran nama suatu
lakon, nama tokoh serta nama tempat ditulis menggunakan huruf kapital.
8. Sastra Lampah
Sastra lampah adalah cara penulisan Aksara Jawa yang tulisannya mengikuti bunyi
pengucapan untuk memudahkan pembacaan, vokal yang diucapkan mengikuti
konsonan akhir dari kata sebelumnya (Padmosoekotjo, 1967:68). Contoh
sastralampah pada teks Serat Doraweca:
$=z %]*usangaprabu dialhaksarakan menjadi sang aprabu1
s=zjisangaji dialihaksarakan menjadi sang aji
zlunlun\ngalunalun dialihaksarakan menjadi ngalnu-alun
9. Perangkapan Huruf
Huruf dalam aksara Jawa dalam penulisan ada beberapa yang ditulis ganda, sehingga
perlu disesuaikan dengan EYD bahasa Jawa. Huruf rangkap berbeda dengan
sastralampah, pada huruf rangkap terdapat dalam satu kata sedangkan sastralampah
terdapat dalam dua kata. Contoh perangkapan huruf:
puniNkupunniku dialihaksarakan menjadi puniku [solh[asolahhe dialihaksarakan menjadi solahe
Contoh perangkap huruf pada fonem sedaerah artikulasi:
[avJi=enyjing dialihaksarakan menjadi enjing
1Huruf hanacaraka yang digunakan untuk menulis font hanacaraka diunduh dari http://www.jawapalace.org/honocoroko.html
Suntingan Teks ..., Eko Rahmanto, FIB UI, 2016
10. Metrum Tembang
Teks Doraweca berbentuk macapat. Macapat merupakan suatu bentuk puisi yang
menggunakan bahasa Jawa baru, penulisan macapat terikat oleh aturan persajakan,
pola tersebut terdiri dari guru gatra2, guru wilangan3 dan guru lagu4. Proses jenis pola
persajakan (pupuh) mempengaruhi penggunaan guru gatra, guru wilangan dan guru
lagu (Karsono H. Saputra, 2001:12-26). Penyuntingan teks Doraweca mengikuti pola
penulisan metrum pada umumnya.
11. Emendasi
Perbaikan bacaan dengan penambahan catatan. Penambahan catatan menggunakan catatan kaki untuk kata yang tidak memiliki arti serta penggunaan tanda (...) untuk menggambarkan aksara yang tidak dapat terbaca.
4. Alih Aksara dan Suntingan Teks
Berikut disajikan pupuh pertama hasil suntingan teks naskah SeratDoraweca, yang disertai dengan perbaikan metrum dan bacaan.
Pupuh 1 (Dhandanggula)
1. Mardyeng gita raras madu manis / manindityas den ayun mangripta / tan met
kotaman mashure / mung harda sedyeng kalbu / ngemba kartyeng sarjana luwih /
kang wasis subyakteng5 tyas / tanwrin parlunya mung / gege minta cedeng liyan /
ngayawara ngarang pindha pujangga di / kang nedya ulah sastra //
2. tanpa ngrasa ngeseman sasami / saking taksih tuna saniskara / ukara ruwet
gandhenge / kaukit thaling tembung / panulise datan titis / reh tanpa prama sastra /
tambuh kang tinurut / mung manut penempanira / marma dahat kuciwa tan paja
mirib / lan para kawiradya //
3. amung lowung karya nengneng pikir / kehning guyu tan kapisan ana / kembang boreh
2Guru gatra adalah jumlah gatra ‘baris’ dalam setiap pada ‘baris’. 3Guru wilangan adalah jumlah wanda’suku kata’ tiap gatra sesuai kedudukan gatra pada pada. 4Guru lagu atau dhong-dhing atau rima akhir gatra sesuai kedudukan gatra dalam pada. 5Subaktyeng, ‘sungkem kepada’ . naskah versi b berbeda pupuh pertama dengan naskah versi a sehingga tidak dapat dibandingkan.
Suntingan Teks ..., Eko Rahmanto, FIB UI, 2016
kang dahat alap / nirna kentar wilun / temah guna sambegana / ngirib-irib pra
pramudyeng pra maniti / patitis tyas kratarta//
4. nihan ta kang pinurwakeng kawi / wigatine kang mangun gitaya / yun gancarken
pikirmu / tur sembah dyan Wresniwira / bilih ambadhe sekar seng putrantaji / anak
mas kadipatyan // 6Versi naskah b menggunakan pupuh sinom, sehingga tidak dapat dibandingkan. Kata yang tepat yaitu Dene, ‘datang’ menurut Baoesastra Djawa (1939).
Suntingan Teks ..., Eko Rahmanto, FIB UI, 2016
37. pinten botipun tiyang sawiji / mangsa dadak ngebahken jendhikan / Sang nata mesem
sabdane / yabener kabeh iku / nanging padha sabarna dhihin / mesti ki kang prayoga
/ yata sang aprabu / dereng dumugi genira / imbal sabda lan putri tuwin kang rayi /
satriya lesanpura//
38. nulya kasaru geger ing jawi / ingkang sami nangkil pangurakan / obah myang umung
swarane / tan dangu praptanipun / mantri jug-ajujug ki patih / wigati tur uninga /
kalamun sang prabu / Baladewa ing Madura / saha bala nanging muhung sawatawis
/ rawuh ing Dwarawatya//
39. mangke maksih kandheg Sri bupati / wonten sajawining pangurakan / ki patih myarsa
ature / gya maplek ngarseng prabu / minggah marang ing siti inggil / jujug ing
wurinira / ri sang narpa sunu / umatur saha tur sembah / dhuh pukulun luwi kangjeng
Sri Bupati / pun patik tur uninga//
40. bilih raka tuwan Sri Bupati / ing Madura sang Sri Baladewa / rawuh ing ngriki
samangke / kendel jawi lun alun / duk miyarsa sri Harimurti / mring ature kya patya /
nulya ngandika rum / marang putra radyan Samba / eh ta kula prakira papagen nuli /
kanthiya pamanira//
41. yayi arya telu lan si patih / tur sandika kang samya liningan / manembah trinulya
lengser / saking arsa sang prabu / mandhap saking ing siti inggil / alaju lampahira /
kang sami umethuk / tanda nguwus tundhuk samya / tri tur sembah mring prabu
Baladewaji / dyan Samba lontarira//
42. dhuh jeng uwa tuwan dipunaglis / nunten lajeng ngamring siti bentar / aywa
kadangon kendele / arinta rama prabu / langkung denya anganti-anti / rawuhipun
jeng uwa / Baladewa Prabu / angguguk sarwi ngandika / iya kulup ayo ta padha
lumaris / saksana samya budhal //
43. Sri Narendra Madura pan maksih / manggung gung genging wahananira / dirada
gede arane / puspa denta puniku / gajah mulus ulese putih / gria ta kadi janma / yata
tan winuwus / prapteng caket tratag rambat / wus pinethuk ing ari Sri Harimurti /
maha Prabu Madura//
44. tandya tedhak saking luhur esthi / sri narendra Kresna duk umiyat / maring kang raka