1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Sunan Bonang merupakan salah satu wali songo (sembilan wali) yang menyebarkan Islam di tanah Jawa. Pengaruhnya begitu besar baik di kalangan internal para wali, maupun di lingkungan sosial kemasyarakatan pada saat itu. Ajarannya tersebar luas di hampir seluruh pelosok tanah Jawa, khususnya di Kabupaten Tuban, tempatnya mendirikan pondok pesantren yang menjadi pusat dakwah Sunan Bonang. Beliau mendakwahkan Islam bersamaan dengan pengembaraannya di tanah Jawa, sampai hatinya tertambat pada Kabupaten Tuban yang kelak menjadi tempat peristirahatan terakhir beliau. Semasa hidupnya, Sunan Bonang menjadi panutan bagi masyarakat dan para wali lain dalam bertindak maupun berdakwah, karena keimanan dan kesalehannya yang dinilai tinggi. Pengaruh ajarannya tersebut bertambah melekat di hati rakyat dengan adanya murid Sunan Bonang yang cukup legendaris, yaitu Sunan Kalijaga yang memperkenalkan metode dakwah Islam melalui percampuran dengan tradisi lokal masyarakat Jawa. Perkembangan Islam di Tuban cukup pesat dengan adanya kedua wali ini, bahkan Tuban sempat menjadi daerah Islam yang cukup diperhitungkan di era Kesultanan Demak. Pengaruh Sunan Bonang masih terasa hingga sekarang, ajaran serta makamnya masih banyak diminati oleh umat By: Darundiyo Pandupitoyo, S. Sos. Sunan Bonang: Pemuka Agama Islam dan Legenda Kabupaten Tuban
40
Embed
Sunan Bonang: Pemuka Agama Islam dan Legenda Kabupaten Tuban
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB IPENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang Masalah
Sunan Bonang merupakan salah satu wali songo (sembilan wali)
yang menyebarkan Islam di tanah Jawa. Pengaruhnya begitu besar baik di
kalangan internal para wali, maupun di lingkungan sosial kemasyarakatan
pada saat itu. Ajarannya tersebar luas di hampir seluruh pelosok tanah
Jawa, khususnya di Kabupaten Tuban, tempatnya mendirikan pondok
pesantren yang menjadi pusat dakwah Sunan Bonang. Beliau
mendakwahkan Islam bersamaan dengan pengembaraannya di tanah
Jawa, sampai hatinya tertambat pada Kabupaten Tuban yang kelak
menjadi tempat peristirahatan terakhir beliau. Semasa hidupnya, Sunan
Bonang menjadi panutan bagi masyarakat dan para wali lain dalam
bertindak maupun berdakwah, karena keimanan dan kesalehannya yang
dinilai tinggi.
Pengaruh ajarannya tersebut bertambah melekat di hati rakyat
dengan adanya murid Sunan Bonang yang cukup legendaris, yaitu Sunan
Kalijaga yang memperkenalkan metode dakwah Islam melalui
percampuran dengan tradisi lokal masyarakat Jawa. Perkembangan Islam
di Tuban cukup pesat dengan adanya kedua wali ini, bahkan Tuban
sempat menjadi daerah Islam yang cukup diperhitungkan di era
Kesultanan Demak. Pengaruh Sunan Bonang masih terasa hingga
sekarang, ajaran serta makamnya masih banyak diminati oleh umat
By: Darundiyo Pandupitoyo, S. Sos.
Sunan Bonang: Pemuka Agama Islam dan Legenda Kabupaten Tuban
Folklore
2
muslim dari seluruh penjuru pulau Jawa. Peziarah makam Sunan Bonang
datang dengan berbagai macam tujuan dari yang bersifat sakral maupun
profan. Semua datang berduyun-dutun untuk meminta berkah di makam
Sunan bonang, sembari berharap keinginannya dapat dikabulkan oleh
Allah SWT melalui Sunan Bonang.
Banyaknya peziarah yang datang ke makam Sunan Bonang tidak
hanya menjadikan makam Sunan Bonang sebagai lahan basah bagi
pemerintah daerah, namun juga oleh masyarakat sekitar yang mampu
melihat kesempatan mengais rezeki dari banyaknya peziarah makam
Sunan Bonang. Berbagai macam persepsi muncul dari masyarakat lokal
terhadap peziarah makam Sunan Bonang.
Penelitian penulis kali ini, berusaha memunculkan beberapa
persepsi masyarakat lokal mengenai ribuan peziarah yang datang ke
makam Sunan Bonang. Pada penelitian antropologis ini akan nampak,
bagaimana masyarakat menaggapi fakta tentang banyaknya peziarah
yang datang ke makam dengan berbagai macam tujuan. penilaian
masyarakat lokal ini tentu berkaitan dengan pengetahuan tentang tujuan
para peziarah dan tersebar melalui gosip di kalangan masyarakat lokal
Tuban. Ilmu gosip inilah yang harus diperhatikan perkembangnnya,
karena gosip adalah bagian dari komunikasi dan komunikasi merupakan
unsur dari budaya.
Folklore
3
I.2 Rumusan Masalah
Persepsi apa sajakah yang muncul di kalangan masyarakat lokal
Tuban tentang para peziarah yang datang untuk mengunjungi makam
Sunan Bonang di Kabupaten Tuban? Karena persepsi lokal nantinya akan
berpengaruh pada penerimaan masyarakat Tuban terhadap para peziarah
yang datang ke makam Sunan Bonang
I.3 Tujuan Penelitian
Penelitian penulis kali ini bertujuan untuk menelaah persepsi
apa sajakah yang muncul di kalangan masyarakat lokal Tuban tentang
para peziarah yang datang untuk mengunjungi makam Sunan Bonang di
Kabupaten Tuban.
I.4 Kerangka Teori
1.4.1 Folklore Sebagai Ilmu Gosip
Persepsi penduduk merupakan hasil pengamatan terhadap tingkah
laku atau kebendaan dan diolah dalam sistem kognisi mereka sehingga
menhasilkan penjelasan dari pandangan mereka sendiri. Persepsi ini
muncul dan menyebar dari mulut ke mulut sebagai gosip. Persepsi
masyarakat lokal yang diturunkan dari mulut ke mulut, dari satu generasi
ke generasi lain mempunyai ciri yang bisa dimasukkan ke dalam kategori
folklore seperti yang diungkap oleh Danandjaja (1994:3), bahwa salah
Folklore
4
satu ciri folklore adalah penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan
secara lisan, yaitu disebarkan dari mulut ke mulut (atau dengan suatu
contoh yang disertai gerak isyarat dan alat pembantu pengingat) dari satu
generasi ke generasi lainnya.
Definisi folklore sendiri menurut Danandjaja (1994:2), adalah:
sebagian kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan turun temurun diantara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertau dengan gerakan isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device)
Menurut Danandjaja (1994:21-22), Folklore dibagi menjadi tiga
bagian penting yaitu folklore lisan (verbal folklore) yaitu folklore yang
bentuknya murni lisan seperti misalnya bahasa rakyat seperti logat dan
dialek. Kedua, folklore sebagian lisan (partly verbal lisan) yaitu campuran
antar unsur lisan dan unsur non lisan, semisal kepercayaan rakyat, pesta
rakyat, adat istiadat. Ketiga adalah folklore bukan lisan (non verbal lisan),
yaitu folklore yang bentuknya bukan lisan atau dalam bentuk cerita seperti
misalnya gerak isyarat tradisional, musik rakyat. Kepercayaan rakyat
terhadap makam Sunan Bonang juga termasuk dalam kategori folklore
sebagian lisan. Kepercayaan ini berkaitan dengan keyakinan masyarakat
jawa bahwa roh orang yang sakti dan taat beragama selalu dekat dengan
sang Maha Pencipta, maka apabila manusia berdoa dan meminta sesuatu
lewat perantara roh tersebut, permintaan tersebut mudah dikabulkan.
Folklore
5
1.4.2 Pandangan hidup Jawa
Istilah “ Pandangan Hidup Jawa “ di sini mempergunakan pengertian
yang longgar, jadi istilah ini dapat saja diganti dengan istilah-istilah lain
yang mempunyai arti yang kurang lebih sama, seperti “ Filsafat Jawa “ (
Abdulah Ciptoprawiro ) “ Filsafah Kejawen “ atau istilah lain lagi. Tetapi
pandangan hidup Jawa, ini tidaklah identik dengan “ Aliran Kepercayaan
Terhadap Tuhan Yang Maha Esa “ atau “ Islam Abangan “ atau “ Mistik
Jawa “ dan lebih-lebih dengan “ ilmu-ilmu klenik “. Sementara itu beberapa
istilah lain seperti “ Agama Jawa “atau “ Agama Jawi “ ( Koentjaraningrat )
“ the religion of jawa “ ( Clifford Geertz ) dan lain-lain, itu tidak identik
dengan “ Pandangan Hidup Jawa “ sekalipun terlihat adanya beberapa
segi persamaan.
C. Geertz dalam bukunya the religion of java (1960),1 suatu
deskripsi mengenai agama, orang jawa harus membedakan dua
meanifestasi dari agama islam jawa yang cukup banyak berbeda, yaitu
agama jawi dan agama islam santri.
Pandangan hidup Jawa bukanlah suatu agama, tetapi suatu
pandangan hidup dalam arti yang luas, yang meliputi pandangan terhadap
Tuhan dan alam semesta ciptaanNYA beserta posisi dan peranan
manusia di dalamnya. Ini meliputi pula pandangan terhadap segala aspek
kehidupan manusia, termasuk pula pandangan terhadap kebudayaan
manusia beserta agama-agama yang ada.
1 Buku C. Geertz mengenai agama orang jawa itu mengandung deskripsi pertama yang pernah dibuat oleh seorang ahli mengenai kedua varian agama islam di Jawa.
Folklore
6
Berbeda dengan pendapat sementara pakar yang menyimpulkan
bahwa ciri karakteristik regiositas Jawa dan pandangan hidup Jawa
bukanlah sinkretisme tetapi suatu semangat yang saya beri nama
tantularisme. Saya namakan demikian karena semangat ini bertumpu
pada atau memancar dari ajaran Empu Tantular lewat kalimat kakawin
Sutasoma :
….Budaya Jawa dan pandangan hidup Jawa memang telah dan akan selalu mengalami perubahan dan pergeseran sesuai dengan perkembangan jaman. Tetapi sejarah telah membuktikan bahwa perubahan-perubahan itu selama tidak sampai mencabut pandangan hidup Jawa dari akar dan sumber kekuatannya, yaitu tantularisme, yang adalah juga merupakan kristalisai dari proses sejarah yang amat panjang. Disinilah letak kekuatan budaya Jawa yang harus tetap dipertahankan dengan sadar. Semangat tantularisme yang merupakan sumber kekuatan Jawa itu sebenarnya bukan hanya cocok untuk orang Jawa. Ia bersifat universal. Oleh karena itu tantularisme juga merupakan sumbangan yang sebenarnya amat diperlukan oleh umat manusia sekarang ini….
Permusuhan dan perang antar etnik; persaingan, kebencian dan
kecemburuan antar pemeluk agama yang telah mengorbankan beribu-ribu
nyawa manusia yang senantiasa terjadi sampai sekarang ini, semuanya
akan dapat diredam oleh semangat tantularisme yang damai, sejuk dan
bernafaskan asih ing sasami. Tantularisme memancarkan cinta kasih
kepada sesama, yang juga diajarkan oleh semua agama yang dipeluk
oleh orang-orang yang membenci itu! Islam, Kristen, Hindu, Budha, Sikh,
dan lain-lain, semuanya mengajarkan cinta kasih kepada sesama;
ironisnya sementara ini banyak pemeluknya saling membenci dan
bermusuhan! Atas nama agama ?
Folklore
7
1.4.2 Sinkretisme Jawa
Pakar dan pengamat budaya Jawa berpendapat bahwa ciri
karakteristik pandangan Jawa adalah sinkretisme. Namun cukup banyak
pula pengamat yang tajam penglihatannya, meragukan kesimpulan
semacam itu.
Pengamatan yang tajam akan dapat melihat bahwa kecenderungan
yang paling menonjol dalam budaya Jawa bukanlah kecenderungan
sinkretik yang berupa kecenderungan atau semangat untuk membangun
suatu sistem kepercayaan (termasuk agama) baru dengan
menggabungkan unsur-unsur yang berasal dari system - sistem
kepercayaan yang telah ada.
Para pengamat yang menyangkal sinkretisme sebagai ciri karektistik
pandangan Jawa itu, mencoba mencari istilah-istilah lain yang dianggap
lebih tepat, seperti istilah mosaik ( Abdulah Ciptoprawiro ), coalition (
Gonda ) atau sekedar “ Percampuran “ atau Vermenging ( Kern ) istilah-
istilah lain lagi yang juga dipakai oleh sementara pakar sebagai pengganti
istilah “ sinkretisme “ adalah amalgamtion, blending, fusi atau fusion (
peleburan ) dan lain-lain.
Memang dalam pengamatan sinkretisme bukanlah ciri karaktistik
pandangan Jawa, gejala sinkretisme dapat kita temui dimana-mana. Juga
dalam berbagai agama yang kita kenal sekarang ini, bahkan dalam A
Distionary Of Comparative Religion dinyatakan bahwa hanya sedikit saja
agama yang benar-benar bebas dari sinkretisme. Di kalangan
Folklore
8
masyarakata Jawa, kecenderungan sinkretisme memang ada
kecenderungan itu cukup besar, tetapi adalah tidak benar kalau
disimpulkan bahwa sinkretisme adalah merupakan ciri karaktistik
pandangan hidup Jawa, yang betul-betul merupakan ciri karaktistik
menurut penghayatan saya adalah semangat tantularisme itu.
Istilah “ tantulisme “ ini masih baru dan tentunya masih asing bagi
para pakar budaya Jawa. Sekalipun istilahnya baru, tetapi sebenarnya
tuntalisme adalah semangat yang sudah sejak jaman dahulu tumbuh
subur dikalangan masyarakat Jawa. Berbagai istilah alternatif terhadap
sinkretisme tersebut bisa dipersepsikan semangat yang terdapat di dalam
dan merupakan ciri karetistik pandangan Jawa.Istilah-istilah tersebut
terkesan hanya menunjuk pada bentuk dan proses yang terjadi, bukan
pada semangat. Istililah-istilah tersebut juga tidak mampu menunjuk
secara tegas perbedaan yang mendasar dengan sinkretisme
Prof. J.H.C Kern telah menuangkan pendapatnya melalui
karangannya “ Over de Vermenging Van Civaisme en Buddhisme op Java,
Naar aanleiding van het Oudjavaasch gedicht Sutasoma “ hanya terpukau
pada proses percampuran atau vermenging antar dua agama yang
menjadi obyek penelitiannya, yaitu Civaisme ( Hindu ) dan Buddhisme.
Kebudayaan Jawa sebagai subkultur Kebudayaan Nasional
Indonesia, telah mengakar bertahun-tahun menjadi Pandangan Hidup dan
Sikap Hidup orang Jawa. Sikap hidup masyarakat Jawa, memiliki identitas
dan karakter yang menonjol yang dilandasi dengan nasehat-nasehat
Folklore
9
nenek moyang sampai turun temurun, hormat kepada sesama serta
berbagai perlambang dalam ungkapan Jawa, menjadi jiwa seni dan
budaya Jawa.
Prinsip pengendalian diri dengan "Mulat Sarisa" suatu sikap
bijaksana untuk selalu berusaha tidak menyakiti perasaan orang lain, serta
" Aja Dumeh " adalah peringatan kepada kita bahwa jangan takabur dan
jangan sombong, tidak mementingkan diri sendiri dan lain sebagainya
yang masih mempunyai arti yang sangat luas.
Kepercayaan terhadap roh nenek moyang, menyatu dengan
kepercayaan terhadap kekuatan alam yang mempunyai pengaruh
terhadap kehidupan manusia, menjadi ciri utama bahkan memberi warna
khusus dalam kehidupan religiusitas serta adat istiadat masyarakat Jawa.
Yaitu : Sinkretisme, Tantularisme dan Kejawen yang bersifat Toleran,
Akomodatif serta Optimistik.
Berbagai perlambang dan ungkapan Jawa, merupakan cara
penyampaian terselubung yang bermakna " Piwulang " atau pendidikan
moral, karena adanya pertalian budi pekerti dengan kehidupan spiritual,
menjadi petunjuk jalan dan arah terhadap kehidupan sejati. Terkemas
hampir sempurna dalam seni budaya gamelan dan gending-gending serta
kesenian wayang kulit purwa yang perkembanganya mempunyai warna
yang unik, yaitu dari akar yang kuat, berpegang pada kepercayaan
terhadap roh nenek moyang, kemudian bertambah maju setelah mengenal
serta menggabungkan segala bentuk kesenian dari India dan dan
Folklore
10
kesenian asli Jawa serta menjadi sempurna dengan menambahkan
ajaran Islami di pulau Jawa.
Paham mistik yang berpokok " Manunggaling Kawula Gusti " (
persatuan manusia dengan Tuhan ) dan " Sangkan Paraning Dumadi " (
asal dan tujuan ciptaan ) bersumber pada pengalaman religius. Berawal
dari sana, manusia rindu untuk bersatu dengan yang Illahi, ingin
menelusuri arus kehidupan sampai ke sumber dan muaranya. Perumusan
pengalaman religius Jawa dalam sejarahnya tidak lepas dari pengaruh
agama-agama besar seperti Hindu, Budha dan Islam beserta dengan
mistiknya yang khas, seperti terlihat dalam kitab-kitab Tutur, Kidung dan
Suluk.
I.5 Metode Penelitian
Metode penelitian ini dipilih dengan mempertimbangkan
kesesuaian antara obyek yang diteliti serta studi ilmu yang bersangkutan.
Untuk mendeskripsikan secara mendalam fenomena budaya antropologi
industri khususnya mengenai sismbiosis mutualisme karyawan dengan
pihak pabrik, maka penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Dengan
metode ini diharapkan temuan-temuan empiris dapat dideskripsikan
secara lebih rinci, lebih jelas dan lebih akurat, terutama berbagai hal yang
berkaitan dengan antropologi industri khususnya mengenai sismbiosis
mutualisme karyawan dengan pihak pabrik.
Salah satu pendekatan dari metode kualitatif yang tepat digunakan
pada penelitian ini adalah etnometodologi yang menghasilkan karya
Folklore
11
etnografi. Pendekatan ini pada awalnya diperkenalkan oleh Harorld
Garfinkel (Pendit, 2003:281). Seperti yang disarankan oleh Bogdan dan
Biklen (1982:37 dalam Dyson, 2001:117), bahwa etnometodologi tidaklah
mengacu kepada suatu model atau teknik pengumpulan data ketika
seseorang sedang melakukan suatu penelitian, tetapi lebih memberikan
arah mengenai masalah apa yang akan diteliti. Moleong (1988)
mendefinisikan sebagai berikut:
“Studi tentang bagaimana individu menciptakan dan memahami kehidupannya sehari–hari. Subyek etnometodologi adalah orang–orang dalam pelbagai macam situasi dalam masyarakat kita. Etnometodologi berusaha memahami berbagai orang–orang mulai melihat, menerangkan dan menguraikan keteraturan dunia tempat mereka hidup” (Moleong, 1988:15).Dengan menggunakan pendekatan ini, lebih banyak dipelajari
suatu fenomena dengan pendukung kebudayaan tersebut, sehingga
peneliti dapat memahami dan mendeskripsikannya. Salah satu antropolog
kenamaan Clifford Geertz yang mendorong para ilmuwan sosial
(khususnya para antropolog) agar mementingkan sisi pandang yang
diteliti. Itu sebabnya antropologi memerlukan pendekatan yang mampu
menghasilkan thick description, yaitu gambaran yang sangat kental atau
padat dan terinci. Dalam hal ini maka dalam sebuah laporan penelitian
etnografi dapat dikatakan sebuah “fiksi antropologis” (meminjam istilah
Pendit, 2003) yang berupaya keras mengungkapkan sebuah obyek
penelitian dari sisi pandang peneliti. Dalam hal ini dapat dikategorikan pula
sebagai penelitian eksplorasi yang bersifat emik. Jadi bukan menurut
konsep dan tafsir kami.
Folklore
12
Salah satu kritik terhadap etnometodologi (yang ditulis kembali oleh
Pendit 2003:284-285) adalah pada keengganan kami menggunakan
banyak analisis teori dengan alasan ingin mengungkapkan sisi pandang
obyek penelitian sebagaimana adanya. Dengan kata lain etnometodologi
lebih mengutamakan bukti-bukti empiris daripada teori. Perdebatan
tentang hal ini sampai menimbulkan tuduhan bahwa karya etnografi
adalah empirisme gaya baru saja dan memicu perdebatan baru tentang
hubungan atau pertentangan antara pengetahuan berdasarkan teori dan
pengalaman.
Terlepas dari kritik-kritik di atas, etnometodologi telah berkembang
dan diterima sebagai salah satu upaya untuk mengurangi “pengaruh ilmu
eksak” terhadap ilmu sosial. Sebagai sebuah pendekatan dalam metode
penelitian ilmiah, etnometodologi dianggap sudah dapat membantu para
ilmuwan sosial-budaya dalam memahami fenomena di masyarakat,
khususnya dalam hal ini fenomena antropologi industri khususnya
mengenai sismbiosis mutualisme karyawan dengan pihak pabrik
I.5.1 Lokasi penelitian
Pemilihan lokasi ini dilakukan secara purposive atau sengaja.
Karena secara langsung penelitian ini berlokasi di suatu tempat yaitu di
lokasi pabrik Makam Sunan Bonang di Kabupaten Tuban, Jawa Timur.
Folklore
13
I.5.2 Teknik penentuan informan
Untuk memperolah kedalaman materi yang disajikan serta validitas
data yang diperoleh, maka pemilihan informan menjadi sesuatu yang
sangat penting mengingat dari merekalah awal mula data diperoleh dan
dikembangkan dalam proses selanjutnya. Informan adalah orang-orang
yang pengetahuannya luas dan mendalam mengenai masalah antropologi
industri khususnya mengenai persepsi masyarakat lokal tergadap
peziarah makam Sunan Bonang, sehingga ikut memberikan informasi
yang bermanfaat (Bungin, 2001:208). Informan dipilih berdasarkan
beberapa kriteria tertentu, dan pemilihan ini juga dilakukan secara
purposive (sengaja) berdasarkan informasi awal yang kami peroleh.
Sedangkan kriteria pemilihan informan sebagaimana dikemukakan oleh
Spreadley (1995:61-70) adalah sebagai berikut:
1. Enkulturasi penuh
Enkulturasi merupakan proses yang ada dan pasti dalam setiap
studi tentang suatu budaya tertentu. Informan yang baik adalah
bagaimana ia mengetahui dengan jelas baik secara perilaku maupun
kognisi budaya mereka tanpa harus memikirkannya. Kriteria ini merujuk
pada para informan yang (pernah) melihat langsung atau ikut bekerja di
lahan persawahan. Sehingga informan tersebut bersedia memberikan
informasi segala sesuatu yang berhubungan dengan peran dan eksistensi
fenomena yang sedang diselidiki.
Folklore
14
2. Keterlibatan langsung
Keterlibatan langsung serta aktif seseorang informan dalam setiap
perkembangan budaya juga merupakan hal yang cukup penting. Untuk hal
ini kami merujuk pada perorangan yang terlibat bekerja di sekitar makam
sunan Bonang dan juga masyarakat lokal Tuban pada umumnya.
3. Suasana budaya yang tidak dikenal
Dalam kondisi ini jika seorang peneliti mempelajari suatu budaya
tertentu, dimana budaya tersebut tidak dikenalnya, maka seorang peneliti
diharuskan menciptakan sebuah hubungan yang sinergis dan produktif
dengan informan. Sementra itu seorang peneliti juga diharuskan
mempunyai sensitifitas yang tinggi terhadap kemampuan membaca
fenomena sosial yang sedang ia amati.
4. Cukup waktu
Dalam pemilihan seorang informan, maka hal – hal yang harus
mendapat perhatian khusus adalah informan – informan yang mempunyai
cukup waktu luang dan bersedia meluangkan waktunya untuk penelitian
ini. Kemudian dalam melakukan wawancara dengan informan, idealnya
waktu-waktu yang dipilih adalah siang dan sore hari atau waktu-waktu lain
yang telah disepakati antara peneliti dengan informan.
Folklore
15
5. Non analitik
Informan yang bagus adalah ketika ia dapat memberikan sebuah
respon yang cukup positif terhadap setiap pertanyaan–pertanyaan yang
diajukan oleh peneliti, tanpa ia harus memberikan sebuah analisa yang
rumit terhadap pertanyaan tersebut. Sehingga informasi yang didapat
bersifat polos apa adanya. Dan akhirnya informan – informan yang dipilih
adalah informan yang memenuhi kriteria – kriteria di atas.
I.5.3 Strategi pengumpulan data
Agar memperoleh informasi yang akurat mengenai pola
penggarapan sawah, penelitian ini dilakukan dengan cara pengamatan
langsung dan wawancara yang disertai dengan catatan lapangan. Dimana
dengan teknik tersebut dapat menghasilkan data ilmiah yang autentik dan
validitasnya dapat dipertanggung jawabkan.
Pengamatan langsung (observasi)
Dalam penelitian ini digunakan pengamatan langsung (observasi)
dan terlibat terhadap fenomena yang terjadi pada wilayah observasi, baik
berupa budaya fisik, situasi, kondisi maupun perilaku. Sehingga dapat
diatikan bahwa pengamatan langsung dan terlibat adalah suatu
pengamatan yang dibarengi interaksi antara peneliti dengan informan.
Sudikan (2001:59) menyarankan dalam pengamatan langsung
diperlukan pendekatan antropologi visual, yaitu berupa penggunaan alat
Folklore
16
bantu seperti alat pemotret (kamera) untuk mengambil foto atau gambar
hidup (sebagai dokumentasi) pada obyek-obyek yang relevan dengan
tema yang hendak diteliti, serta berhubungan dengan latar belakang
etnografisnya.
Wawancara mendalam
Dalam penelitian kualitatif, untuk mendapatkan sebuah gambaran
yang jelas mengenai pola budaya dalam suatu komunitas tertentu, Sevilla
(1992:71) menuliskan bahwa salah satu ciri penting dalam penelitian
adalah komunikasi langsung antara peneliti dengan informan yang telah
ditentukan.
Bentuk komunikasi langsung tersebut berupa wawancara terbuka
(open interview) dan mendalam (indepth interview). Maksud dari
wawancara ini adalah untuk mengumpulkan seluruh keterangan tentang
antropologi industri khususnya mengenai sismbiosis mutualisme karyawan
dengan pihak pabrik. Pelaksanaan wawancara tidak hanya sekali atau dua
kali, melainkan berulang-ulang dengan intensitas yang tinggi. Sudikan
(2001:64) menambahkan, untuk memfokuskan wawancara, diperlukan
catatan daftar pokok-pokok pertanyaan yang disebut pedoman wawancara
(interview guide).
Dengan pedoman wawancara yang digunakan sebagai penuntun,
kondisi ini memungkinkan proses wawancara berlangsung dangan santai
dan tekesan akrab. Sehingga ketika proses wawancara telah menciptakan
kondisi yang intens, maka informasi yang dihasilkan akan lebih detail.
Folklore
17
I.6. Analisis data
Penelitian tentang folklore khususnya mengenai persepsi
masyarakat lokal tergadap peziarah makam Sunan Bonang ini
menggunakan strategi analisis kualitatif. Strategi ini dimaksudkan bahwa
analisis bertolak dari data dan bermuara pada simpulan-simpulan umum.
Di dalam penelitian ini, kesimpulan umum itu bisa berupa kategorisasi
maupun proposisi. Untuk membangun proposisi atau teori dapat dilakukan
dengan analisis induktif.
Maka dalam penelitian ini, akan digunakan analisis induktif melalui
beberapa tahap. Setidaknya Taylor dan Bogdan (1984:127 dalam Bungin,
2001:209) adalah sebagai berikut: (a) membuat definisi umum atau
kategorisasi yang bersifat sementara tentang folklore khususnya persepsi
masyarakat lokal tergadap peziarah makam Sunan Bonang (b)
merumuskan suatu hipotesis untuk menguji kategorisasi tersebut secara
triangulasi, hal mana didasarkan pada hasil wawancara mendalam,
pengamatan terlibat dan dokumentasi dari berbagai sumber (informan,
waktu dan tempat) yang berbeda, (c) mempelajari satu kasus untuk
melihat kecocokan antara kategorisasi dan hipotesis, (d) bila ditemui
kasus negatif, diformulasikan kembali hipotesis atau didefinisikan
kategorisasi.
Dari rumusan tersebut di atas, dapatlah kita menarik garis, bahwa
analisis data pada penelitian kualitatif berfungsi untuk mengorganisasikan
Folklore
18
data. Data yang tekumpul banyak sekali dan terdiri dari catatan lapangan,
foto dokumentasi, biografi, artikel dan sebagainya. Strategi analisis data
dalam hal ini ialah mengatur, mengurutkan, mengelompokkan, dan
mengkategorikannya.
Dalam analisis, data tersebut dikaitkan dengan acuan teoritik yang
relevan dan sesuai dengan masalah yang dibahas dan sesuai dengan
perkembangan di lapangan. Yaitu dengan menggambarkan, menjelaskan
dan menguraikan secara detail atau mendalam dan sistematis tentang
keadaan yang sebenarnya, yang kemudian akan ditarik suatu kesimpulan
sehingga diperoleh suatu penyelesaian masalah penelitian yang
memuaskan.
Untuk menghindari kesalahan-kesalahan analisis data, maka
peneliti menggunakan tahap-tahap analisis induktif tersebut di atas
dengan cara silang (Bungin, 2001:210). Maksudnya data yang diperoleh
dari responden, disilang dengan teori-teori folklore.
Akhirnya perlu dikemukakan bahwa analisis data itu dilakukan
dalam suatu proses. Proses berarti pelaksanaannya sudah mulai
dilakukan sejak pengumpulan data dilakukan dan dikerjakan secara
intensif, yaitu sesudah meninggalkan lokasi penelitian.
Folklore
19
BAB IISUNAN BONANG DAN PERANAN PEMIKIRAN
SUFISTIKNYA
II.1 Jatidiri Sunan Bonang
Di kalangan ulama tertentu mungkin peranan Sunan Bonang
dianggap tidak begitu menonjol dibanding wali-wali Jawa yang lain. Tetapi
apabila kita mencermati manuskrip-manuskrip Jawa lama peninggalan
zaman Islam yang terdapat di Museum Leiden dan Museum Batavia
(sekarang dipindah ke Perpustakaan Nasional), justru Sunan Bonang
yang meninggalkan warisan karya tulis paling banyak, berisi pemikiran
keagamaan dan budaya bercorak sufistik.
Putra Raden Rahmad alias Sunan Ampel, dan cucu Maulana Malik
Ibrahim, yang nenek moyangnya berasal dari Samarqand (sebuah kota di
Uzbekistan sekarang) ini, masih bersaudara dengan Sunan Giri, wali yang
paling berpengaruh di Jawa Timur. Kedua bersaudara ini diperkirakan lahir
pada pertengahan abad ke-15 M, diduga lahir pada tahun 1465
(Wikipedia, 2005), pada saat Kerajaan Majapahit sedang di ambang
keruntuhan. Sunan Bonang (nama sebenarnya Makhdum Ibrahim bergelar
Khalifah Asmara) wafat sekitar tahun 1525 M di Tuban, tempat
kegiatannya terakhir dan paling lama, pada masa jayanya Kerajaan
Demak Darussalam.
Kedua wali itu dikenal sebagai pendakwah Islam yang gigih.
Keduanya sama-sama belajar di Malaka dan Pasai, baru kemudian
Folklore
20
menunaikan ibadah haji di Mekah. Bedanya, jika Sunan Giri lebih condong
pada ilmu fiqih, syariah, teologi, dan politik; Sunan Bonang –tanpa
mengabaikan ilmu-ilmu Islam yang lain– lebih condong pada tasawuf dan
kesusastraan. Sumber-sumber sejarah Jawa, termasuk suluk-suluknya
sendiri menyatakan bahwa ia sangat aktif dalam kegiatan sastra, mistik,
seni lakon, dan seni kriya. Dakwah melalui seni dan aktivitas budaya
merupakan senjatanya yang ampuh untuk menarik penduduk Jawa
memeluk agama Islam.
Sebagai musikus dan komponis terkemuka, konon Sunan Bonang
menciptakan beberapa komposisi (gending), di antaranya Gending
Dharma. Gending ini dicipta berdasarkan wawasan estetik sufi, yang
memandang alunan bunyi musik tertentu dapat dijadikan sarana kenaikan
menuju alam kerohanian. Gending Darma, konon, apabila didengar orang
dapat menghanyutkan jiwa dan membawanya ke alam meditasi (tafakkur).
Penabuhan gending ini pernah menggagalkan rencana perampokan
gerombolan bandit di Surabaya. Manakala gending ini ditabuh oleh Sunan
Bonang, para perampok itu terhanyut ke alam meditasi dan lupa akan
rencananya melakukan perampokan. Keesokannya pemimpin bandit dan
anak buahnya menghadap Sunan Bonang, dan menyatakan diri memeluk
Islam.
Sunan Bonang bersama Sunan Kalijaga dan lain-lain, jelas
bertanggung jawab bagi perubahan arah estetika Gamelan. Musik yang
semula bercorak Hindu dan ditabuh berdasarkan wawasan estetik Sufi.
Folklore
21
Tidak mengherankan gamelan Jawa menjadi sangat kontemplatif dan
meditatif, berbeda dengan gamelan Bali yang merupakan warisan musik
Hindu. Warna sufistik gamelan Jawa ini lalu berpengaruh pada gamelan
Sunda dan Madura.
Sunan Bonang juga menambahkan instrumen baru pada gamelan.
Yaitu bonang (diambil dari gelarnya sebagai wali yang membuka
pesantren pertama di Desa Bonang). Bonang adalah alat musik dari
Campa, yang dibawa dari Campa sebagai hadiah perkawinan Prabu
Brawijaya dengan Putri Campa, yang juga saudara sepupu Sunan
Bonang. Instrumen lain yang ditambahkan pada gamelan ialah rebab, alat
musik Arab yang memberi suasana syahdu dan harus apabila dibunyikan.
Rebab, yang tidak ada pada gamelan Bali, sangat dominan dalam
gamelan Jawa, bahkan didudukkan sebagai raja instrumen.
Sebagai Imam pertama Masjid Demak, Sunan Bonang bersama
wali lain, terutama murid dan sahabat karibnya Sunan Kalijaga, sibuk
memberi warna lokal pada upacara-upacara keagamaan Islam seperti Idul
Fitri, perayaan Maulid Nabi, peringatan Tahun Baru Islam (1 Muharram
atau 1 Asyura) dan lain-lain. Dengan memberi warna lokal maka upacara-
upacara itu tidak asing dan akrab bagi masyarakat Jawa. Syair Islam pun
akan mulus dan ajaran Islam mudah diresapi.Toh, menurut Sunan
Bonang, kebudayaan Islam tidak mesti kearab-araban. Menutupi aurat
tidak mesti memakai baju Arab, tetapi cukup dengan memakai kebaya dan
kerudung.
Folklore
22
Di antara upacara keagamaan yang diberi bungkus budaya Jawa,
yang sampai kini masih diselenggarakan ialah upacara Sekaten dan
Grebeg Maulid. Beberapa lakon carangan pewayangan yang bernapas
Islam juga digubah oleh Sunan Bonang bersama-sama Sunan Kalijaga.
Di antaranya Petruk Jadi Raja dan Layang Kalimasada.
Setelah berselisih paham dengan Sultan Demak I, yaitu Raden
Patah, Sunan Bonang mengundurkan diri sebagai Imam Masjid Kerajaan.
Ia pindah ke desa Bonang, dekat Lasem, sebuah desa yang kering
kerontang dan miskin. Di sini ia mendirikan pesantren kecil, mendidik
murid-muridnya dalam berbagai keterampilan di samping pengetahuan
agama. Di sini pula Sunan Bonang banyak mendidik para mualaf menjadi
pemeluk Islam yang teguh. Suluk-suluknya seperti Suluk Wujil,
menyebutkan bahwa ia bukan saja mengajarkan ilmu fikih dan syariat
serta teologi, melainkan juga kesenian, sastra, seni kriya, dan ilmu
tasawuf. Tasawuf diajarkan kepada siswa-siswanya yang pandai, jadi
tidak diajarkan kepada sembarangan murid.
Keahliannya di bidang geologi dipraktekkan dengan menggali
banyak sumber air dan sumur untuk perbekalan air penduduk dan untuk
irigasi pertanian lahan kering. Sunan Bonang juga mengajarkan cara
membuat terasi, karena di Bonang banyak terdapat udang kecil untuk
pembuatan terasi. Sampai kini terasi Bonang sangat terkenal, dan
merupakan sumber penghasilan penduduk desa yang cukup penting.
Folklore
23
II.2 Karya dan Ajaran
Karya Sunan Bonang, puisi dan prosa, cukup banyak. Di antaranya
sebagaimana disebut B Schrieke (1913), Purbatjaraka (1938), Pigeaud
(1967), Drewes (1954, 1968 dan 1978) ialah Suluk Wujil, Suluk Khalifah,
Suluk Regok, Suluk Bentur, Suluk Wasiyat, Suluk Ing Aewuh, Suluk
Pipiringan, Suluk Jebeng dan lain-lain. Satu-satunya karangan prosanya
yang dijumpai ialah Wejangan Seh Bari. Risalah tasawufnya yang ditulis
dalam bentuk dialog antara guru tasawuf dan muridnya ini telah
ditranskripsi, mula-mula oleh Schrieke dalam buku Het Boek van Bonang
(1913) disertai pembahasan dan terjemahan dalam bahasa Belanda,
kemudian disunting lagi oleh Drewes dan disertai terjemahan dalam
bahasa Inggris yakni The Admonition of Seh Bari (1969).
Sedangkan Suluk Wujil ditranskripsi Purbatjaraka dengan
pembahasan ringkas dalam tulisannya “Soeloek Woedjil: De Geheime leer
van Soenan Bonang” (majalah Djawa no. 3-5, 1938). Melalui karya-
karyanya itu kita dapat memetik beberapa ajarannya yang penting dan
relevan. Seluruh ajaran Tasawuf Sunan Bonang, sebagai ajaran Sufi yang
lain, berkenaan dengan metode intuitif atau jalan cinta (isyq) pemahaman
terhadap ajaran Tauhid; arti mengenal diri yang berkenaan dengan ikhtiar
pengendalian diri, jadi bertalian dengan masalah kecerdasan emosi;
masalah kemauan murni dan lain-lain.
Cinta menurut pandangan Sunan Bonang ialah kecenderungan
yang kuat kepada Yang Satu, yaitu Yang Mahaindah. Dalam pengertian ini
Folklore
24
seseorang yang mencintai tidak memberi tempat pada yang selain Dia. Ini
terkandung dalam kalimah syahadah La ilaha illa Llah. Laba dari cinta
seperti itu ialah pengenalan yang mendalam (makrifat) tentang Yang Satu
dan perasaan haqqul yaqin (pasti) tentang kebenaran dan keberadaan-
nya. Apabila sudah demikian, maka kita dengan segala gerak-gerik hati
dan perbuatan kita, akan senantiasa merasa diawasi dan diperhatikan
oleh-Nya. Kita menjadi ingat (eling) dan waspada.
Cinta merupakan, baik keadaan rohani (hal) maupun peringkat
rohani (maqam). Sebagai keadaan rohani ia diperoleh tanpa upaya,
karena Yang Satu sendiri yang menariknya ke hadirat-Nya dengan
memberikan antusiasme ketuhanan ke dalam hati si penerima keadaan
rohani itu. Sedangkan sebagai maqam atau peringkat rohani, cinta dicapai
melalui ikhtiar terus-menerus, antara lain dengan memperbanyak ibadah
dan melakukan mujahadah, yaitu perjuangan batin melawan
kecenderungan buruk dalam diri disebabkan ulah hawa nafsu.
Ibadah yang sungguh-sungguh dan latihan kerohanian dapat
membawa seseorang mengenal kehadiran rahasia Yang Satu dalam
setiap aspek kehidupan. Kemauan murni, yaitu kemauan yang tidak
dicemari sikap egosentris atau mengutamakan kepentingan hawa nafsu,
timbul dari tindakan ibadah. Kita harus menjadikan diri kita masjid yaitu,
tempat bersujud dan menghadap kiblat-Nya, dan segala perbuatan kita
pun harus dilakukan sebagai ibadah. Kemauan mempengaruhi amal
Folklore
25
perbuatan dan perilaku kita. Kemauan baik datang dari ingatan (zikir) dan
pikiran (pikir) yang baik dan jernih tentang-Nya.
Dalam Suluk Wujil (Pambudi, 2000), yang memuat ajaran Sunan
Bonang kepada Wujil pelawak cebol terpelajar dari Majapahit yang berkat
asuhan Sunan Bonang memeluk agama Islam sang — wali bertutur:
Jangan terlalu jauh mencari keindahanKeindahan ada dalam diriMalah jagat raya terbentang dalam diriJadikan dirimu CintaSupaya dapat kau melihat dunia (dengan jernih)Pusatkan pikiran, heningkan ciptaSiang malam, waspadalah!Segala yang terjadi di sekitarmuAdalah akibat perbuatanmu jugaKerusakan dunia ini timbul, Wujil!Karena perbuatanmuKau harus mengenal yang tidak dapat binasaMelalui pengetahuan tentang Yang SempurnaYang langgeng tidak lapukPengetahuan ini akan membawamu menuju keluasanSehingga pada akhirnya mencapai TuhanSebab itu, Wujil! Kenali dirimuHawa nafsumu akan terlenaApabila kau menyangkalnyaMereka yang mengenal diriNafsunya terkendali
Kelemahan dirinya akan tampakDan dapat memperbaikinya
Dengan menyatakan `jagat terbentang dalam diri` Sunan Bonang
ingin menyatakan betapa pentingnya manusia memperhatikan potensi
kerohaniannya. Adalah yang spiritual yang menentukan yang material,
bukan sebaliknya. Tetapi karena pikiran manusia kacau, ia menyangka
yang material semata-mata yang menentukan hidupnya. Karena potensi
kerohaiannya inilah manusia diangkat menjadi khalifah Tuhan di bumi.
Folklore
26
Dalam Suluk Kaderesan (Pambudi, 2000), Sunan Bonang menulis:
Jangan meninggikan diriBerlindunglah kepada-NyaKetahuilah tempat sebenarnya jasad ialah rohJangan bertanyaJangan memuja para nabi dan wali-waliJangan kau mengaku Tuhan.
Dalam Suluk Ing Aewuh (Pambusi, 2000), ia menyatakan:
Perkuat dirimu dengan ikhtiar dan amalTeguhlah dalam sikap tak mementingkan duniaNamun jangan jadikan pengetahuan rohani sebagai tujuanRenungi dalam-dalam dirimu agar niatmu terkabulKau adalah pancaran kebenaran ilahiJalan terbaik ialah tidak mamandang selain Dia.
II.3 Relevansi dan Pengaruh
Jelas sekali bahwa Sunan Bonang mengajarkan tasawuf positif
dengan menekankan pentingnya ikhtiar dan kemauan (kehendak) dalam
mencapai cita-cita.
Pengaruh ajaran ini juga terasa pula pada pandangan hidup dan
budaya masyarakat muslim pesisir, khususnya di Jawa Timur dan Madura.
Penduduk muslim Jawa Timur dan Madura sejak lama ialah pengikut
madzab Syafii yang patuh dengan kecenderungan tasawuf yang kuat.
Namun mereka juga memiliki etos kerja keras dan akrab dengan
budayadagang. Tasawuf yang diresapi dan dipahami ternyata bukan
tasawuf yang eskapis dan pasif.
Sebaliknya yang dihayati ialah tasawuf yang aktif dan militan; aktif
dan militan dalam kehidupan sosial, ekonomi dan politik, dan juga dalam
Folklore
27
kehidupan agama dan kebudayaan.Pengaruh penting lain ajaran Sunan
Bonang ialah pada pemikiran kebudayaan termasuk dalam seni atau
wawasan estetik. Sunan Bonang berpendapat bahwa agama apa pun,
termasuk Islam, dapat tersebar cepat dan mudah diresapi oleh
masyarakat, apabila unsur-unsur penting budaya masyarakat setempat
dapat diserap dan diintegrasikan ke dalam sistem nilai dan pandangan
hidup agama bersangkutan.
II.4 Kontroversi Letak Makam Sunan Bonang
Menurut Setyorini (1998:15), Sunan Bonang wafat pada tahun
1525 M, dan saat ini makam aslinya berada di Desa Bonang. Namun,
yang sering diziarahi adalah makamnya di kota Tuban. Lokasi makam
Sunan Bonang ada dua karena konon, saat beliau meninggal, kabar
wafatnya beliau sampai pada seorang muridnya yang berasal dari
Madura. Sang murid sangat mengagumi beliau sampai ingin membawa
jenazah beliau ke Madura. Namun, murid tersebut tak dapat membawanya
dan hanya dapat membawa kain kafan dan pakaian-pakaian beliau. Saat
melewati Tuban, ada seorang murid Sunan Bonang yang berasal dari
Tuban yang mendengar ada murid dari Madura yang membawa jenazah
Sunan Bonang dan akhirnys mereka memperebutkannya.
Folklore
28
BAB IIIPERSEPSI MASYARAKAT MENGENAI SUKMO
KAWEKAS SUNAN BONANG
Makam Sunan Bonang merupakan magnet bagi kaum muslim di
Indonesia karena cerita ketokohannya yang mengakar dari generasi ke
genarasi melalui folklore maupun melalui buku-buku cerita wali songo
yang banyak beredar di masyarakat. Menurut Imam (1998:13), cerita yang
paling terkenal dari sejarah hidup Sunan Bonang adalah saat beliau
meyakinkan Raden Said (Sunan Kalijaga muda) yang saat itu menjadi
perampok, tentang ketuhanan Allah SWT dengan mengubah segerombol
buah enau menjadi emas di depan mata dan kepala raden Said. Kesaktian
Sunan Bonang yang melegenda tersebut tersebar ke seluruh penjuru
tanah Jawa dan menjadikannya seorang penyebar Islam yang sangat
disegani baik tutur kata maupun tindakannya.
Stratifikasi bukan hanya ada di kalangan masyarakat umum saja
seperti misalkan kaum petani, buruh, pedagang, tentara dan lainnya.
Stratifikasi juga muncul dalam bidang spesifik dalam sistem sosial budaya
masyarakat, yaitu agama. Dalam agama kita kenal beberapa strata
fungsional seperti nabi, rasul, tokoh-tokoh spesialis pembawa agama
seperti Sunan, missionaris, pemimpin-pemimpin agama, disamping ada
pula yang berstatus sebagai umat pengikut karena pada umumnya awam
dalam pengetahuan keagamaan mereka.
Folklore
29
Agus (2006:228), menuliskan bahwa pembagian antara pemimpin
dan pengikut agama didasari oleh prinsip division of labor atau pembagian
menurut tugas yang diembannya dalam masyarakat. Pembagian antara
pemimpin agama dan pengikut beragama ini biasa ditemukan di seluruh
kalangan umat beragama dunia. Sebagaimana masyarakat secara
keseluruhan membutuhkan seorang pemimpin dan para spesialis, umat
beragama juga membutuhkan kaum agama yang dinamakan religious
specialist.
Para pengikut agama memerlukan kaum spesialis agama untuk
menjelaskan agama dan membimbing mereka dalam pelaksaan ibadat.
Tidak jarang tugas yang diemban oleh para spesialis agama ini
bertumpuk-tumpuk. Biasanya diawali dari pioneer dalam penyebaran
suatu agama, lalu menjadi pemimpin dari agama tersebut pada golongan
yang menjadi objek penyebaran agamanya. Selain itu para pemimpin
agama biasanya merangkap sebagai pemimpin daerah yang ditempati
oleh agama tersebut.
Dalam sejarah Kabupaten Tuban, Sunan Bonang beserta para
muridnya yang salah satunya adalah Sunan Kalijaga membuka lahan baru
untuk pemukiman warga dan menjadikan semua warganya beragama
Islam. Sunan Bonang adalah sosok yang sakti mandraguna dan
mempunyai kharisma sebagai pemimpin kelompok. Sunan Bonang saat
itu memiliki posisi rangkap, yaitu sebagai :
1. Pembuka lahan baru di hutan Tuban
Folklore
30
2. Penyebar agama Islam di Kabupaten Tuban
3. Pemimpin kelompok keluarga yang tinggal di lahan baru
4. Pemimpin umat Islam
Dengan ”jabatan” rangkapnya inilah, masyarakat setempat sangat
menghargai eksistensi dari Sunan Bonang yang dianggap telah berjasa
banyak bagi berdirinya Kabupaten Tuban, bahkan sampai sekarangpun
roh Sunan Bonang masih dianggap melindungi wilayah Kabupaten Tuban.
Hal tersebut tidak lepas karena kesaktian Sunan Bonang semasa
hidupnya yang telah menolong banyak orang. Setelah beliau
meninggalpun, makam tempat jenazahnya dikuburkan masih
dikeramatkan dan dijaga betul kesuciannya.
Makam Sunan Bonang dijadikan tempat untuk ritual nyadran dan
berdoa agar keinginan bisa terkabul atau hanya sekedar ritual nyadranan
bersih desa dengan menghormati makam leluhur desa tanpa ada maksud
permohonan pribadi apapun dibaliknya. Pengakuan masyarakat
Kabupaten Tuban terhadap eksistensi makam serta tokoh Sunan Bonang
nampak dari nyadranan yang sering dilakukan masyarakat sekitar maupn
darimluar Kabupaten. Bila ada hajat atau keperluan yang nampak mustahil
dikerjakan, maka masyarakat berdoa serta memberikan sesajen di makam
Sunan Bonang.
Pengakuan dari umat Islam tersebut membuat makam Sunan
Bonang menjadi simbol kuatnya pengaruh Islam di tanah Jawa khususnya
Kabupaten Tuban. Sedekah bumi Kabupaten Tuban juga sering dilakukan
Folklore
31
di makam Sunan Bonang, dimana semua penduduk desa turut bergabung
tanpa memandang golongan Kristen atau Islam. Mereka berdoa bersama
demi kelanjutan hidup masyarakat Kabupaten Tubandengan memohon
perlindungan dari Tuhan Yang Maha Esa melalui makam Sunan Bonang.
Diluar ritual sedekah bumi yang dilaksanakan setahun sekali di
Kabupaten Tuban, makam Sunan Bonang juga sering dijadikan tempat
orang-orang yang punya hajat agar cepat dikabulkan. Menurut informan
kami, Nawawi (42), sebagain besar orang yang mempunyai hajat dan
memohon di makam Sunan Bonang adalah masyarakat Kabupaten Tuban
sendiri, sisanya adalah masyarakat dari Kabupaten sekitar Tuban.
Hal tersebut menunjukkan bahwa Sunan Bonang dianggap sebagai
pemimpin yang baik dan mempunyai kesaktian tinggi oleh masyarakat
Kabupaten Tuban. Makamnya juga dianggap keramat dan memiliki daya
magis dalam mengabulkan semua permintaan Kabupaten Tuban.
Sebenarnya berdoa pada makam atau nyadran di makam bukanlah
kegiatan yang dianjurkan, bahkan dilarang oleh agama Islam. Hal tersebut
merupakan pengaruh dari kepercayaan Jawa kuno mengenai hal-hal
mistik yang mampu mengabulkan permintaan mereka. Masyarakat Jawa
tradisional masih menganggap bahwa berdoa pada makam-makam tokoh
yang dikenal memiliki kesaktian akan mempercepat terkabulnya hajat
yang mereka inginkan. Menurut informan penulis, Tadji (36), salah
seorang pengurus makam Sunan Bonang:
Folklore
32
” nek sak ngertos kulo nggih katahe tiyang mriki kagem ngalap berkah mawon, sing bener-bener pengen ziarah kubur ndongo kagem tenange sukmonipun kanjeng Sunan mung sakipret mawon mas. Lha wong tiyang tebih-tebih saking Rembang, Semarang, Kudus, Pati sampe Jakarta nopo kok mas. Nggih mesti wonten karepe nggih to mas?”
” kalau setahu saya kebanyakan orang (peziarah) yang datang kesini untuk meminta berkah (memohon suatu permintaan) saja, yang benar-benar ingin ziarah kubur berdoa demi tenangnya roh yang mulia SunanBonang Cuma sedikit mas. Orang-orang datang dari jauh seperti dari rembang, Semarang, Kudus, pati sampai Jakarta. Pasti mereka punya kemauan tersendiri ya khan mas?”
Masyarakat seakan ingin menggabungkan antara dua bentuk
keyakinan yang berbeda, mereka ingin membuktikan bahwa ketiga bentuk
tersebut bisa bersanding dan menghasilkan sebuah harmoni inter-religi
yang sekarang ini banyak disorot oleh publik. Kesaktian Sunan Bonang
yang sangat tinggi membuat makamnya dianggap keramat hingga
sekarang. Makam yang di nisannya berbentuk salib tersebut banyak
tersebar bunga-bunga turi dan mawar segar, berarti hal tersebut
mengindikasikan makam tersebut benar-benar dikeramatkan oleh warga
setempat dan masih sering dikunjungi.Warga seakan tidak mempedulikan
apakah Sunan Bonang merupakan penyebar agama Kristen yang ada di
Mojowarno atau justru penyebar agama Islam.
Dengan adanya beberapa testimoni mengenai doa-doa mereka
yang terkabul setelah berdoa di makam Sunan Bonang dan menyebar di
kalangan masyarakat luas melalui pembicaraan serta gosip, maka
semakin banyak orang yang datang ke makam Sunan Bonag bukan hanya
untuk ziarah kubur melainkan untuk ngalap berkah atau yang biasa
disebut dengan meminta agar permohonannya dikabulkan lewat makam.
Folklore
33
Dalam masyarakat Jawa tradisional terdapat satu konsep religi
yang sangat populer yaitu konsep Sukmo Kawekas. Konsep tersebut
menjelaskan bahwa roh seorang tokoh sakti mandraguna pada masa
hidupnya dapat dengan mudah menyampaikan keinginan-keinginan atau
doa pada Tuhan bila ada manusia di dunia yang memohon pada rohnya
dan menghargai segala peninggalannya. Seperti yang dituturkan informan
penulis, Sukman (53):
”tiyang-tiyang niku nganggepe nek ndongo ting makame kanjeng SunanBonang niku gampang keturutane mas, biasane niku kajat-kajat ingkang ageng utawi kajat kados ketrimo mboten ting gaweane. Soale sukmone kanjeng Sunan niku kawekas kalian gusti Allah lan saget nyampeaken dongane tiyang kathah ingkang nyuwun ting makame kanjeng Sunan”
”orang-orang itu (peziarah) menganggap kalau berdoa di makamnya SunanBonang mudah untuk terkabul mas, biasanya itu hajat-hajat (kemauan) yang besar atau hajat seperti keterima atau tidaknya seseorang dalam suatu pekerjaan. Karena rohnya yang mulia Sunan Bonang itu dekat dengan Allah dan bisa menyampaikan doa orang banyak yang memohon di makamnya yang mulia Sunan Bonang”
Konsep tersebut akhirnya banyak diaplikasikan oleh masyarakat
dengan memohon dan berdoa pada roh-roh orang yang dulunya dianggap
sakti mandraguna dan mempunyai kharisma luar biasa. Mereka
beranggapan bahwa doa dan keinginan mereka cepat tersampai bila
disampaikan pada roh tokoh tersebut dan menyampaikannya pada Tuhan.
Roh tokoh sakti dianggap bisa menjadi mediator dalam penyampaian doa
dan keinginan kepada Tuhan.
Sunan Bonang dianggap masyarakat sebagai seorang tokoh sakti
mandraguna dan menjadi pemimpin berkharisma selama hidupnya di
Kabupaten Tuban, rohnya bisa menjadi mediator yang baik bagi doa dan
keinginan bagi siapapun yang memohon dan menghargai peniggalannya.
Folklore
34
Faktor kedua adalah Sunan Bonang tetap diakui dan dihargai karena jasa-
jasanya membuka lahan baru bagi masyarakat dan menyebarkan agama
Islam di Kabupaten Tuban. Sunan Bonang tidak hanya menyebarkan
Islam saja, namun juga ikut menata, memimpin serta menjaga desanya
dari gangguan pihak asing.
Testimoni-testimoni mengenai keberhasilan doa-doa penduduk
dalam memohon hajat menyebar ke seluruh penjuru pulau Jawa dan
terdengar hingga ke pelosok, sehingga membuat orang datang berduyun-
duyun untuk membuktikan keberhasilan doa. Penyebaran berita lewat
bahasa lisan masyarakat merupakan bagian dari kajian folklore yang
memang harus dipelajari lebih dalam.
Jadi, faktor diatas yang secara langsung maupun tidak langsung
membuat makam Sunan Bonang masih tetap eksis, dihargai dan dihormati
bahkan menjadi populer sebagai tempat untuk mencari berkah.
Folklore
35
BAB IVPERSEPSI EKONOMIS DARI BANYAKNYA
PEZIARAH YANG DATANG
Persepsi ekonomis datangnya dari masyarakat lokal yang tinggal di
sekitar makam Sunan Bonang dan mempunyai jiwa oportunis dengan
memanfaatkannya untuk berdagang barang-barang religius atau
berdagang makanan dan minuman bagi para peziarah yang datang.
Pedagang-pedagang ini tentunya menaikkan harga-harga barang
dagangannya karena berada pada lokasi wisata dimana para peziarah
membutuhkan sesuatu yang urgent atau butuh buah tangan untuk dibawa
pulang. Menurut data yayasan Sunan Bonang (2005), jumlah pedagan
resmi yang memiliki kios di sekitar makam Sunan Bonang dan berada di
bawah binaan yayasan tersebut berjumlah 45 kios. Dari penjual barang-
barang keislaman sampai penjual buah tangan khas Tuban.
Karena para pedagang tahu bahwa para peziarah tidak akan mau
jauh pergi lagi untuk membeli buah tangan atau makanan, maka
diciptakan khusus sentra pedagang di sekitar makam Sunan Bonang
dengan harga yang cukup tinggi bila dibandingkan dengan harga pada
umumnya di Kabupaten Tuban. Seperti misalnya saat penulis
mengadakan penelitian di warung-warung kecil sekitar makam Sunan
Bonang, penulis menemukan beberapa makanan ringan yang harganya
jauh diatas pemikiran penulis seperti misalnya rempeyek udang dengan
harga Rp.5000,- (lima ribu rupiah), harga tersebut bahkan lebih mahal dari
Folklore
36
harga seporsi nasi pecel yang mereka tawarkan dengan harga Rp. 3000,-
(Tiga ribu rupiah).
Bagi mereka (para pedagang di sekitar makam Sunan Bonang),
kedatangan para peziarah ke makam Sunan Bonang memberikan mereka
keuntungan yang berlimpah dan menjadikan hal tersebut sebagai ladang
penghasilan mereka. persepsi mereka terhadap para peziarah yang
datang adalah sebagai kantong uang yang siap untuk mengeluarkan uang
mereka demi barang-barang unik yang ada di sekitar makam Sunan
Bonang. Seperti yang dituturkan oleh Abid (32), salah sorang pedagang
barang-barang Islam di sekitar makam Sunan Bonang:
”nek aku yo tambah seneng yen akeh sing teko makam Sunan Bonang, tambah akeh sing tuku. Ne pas rame asile sak dino iso sigawe mangan seminggu, nek pas sepi koyok ngene iki paling yo iso digawe mangan cuman dino iki thok. Ra peduli karepe teko iku apane ngalap berkah utowo bener-bener ndungo”
”kalau saya tambah senang bila yang berziarah ke makam banyak, jadi banyak yang membeli barang saya. Kalau lagi musim ramai, hasil berdagang sehari bisa untuk makan seminggu, tapi kalau sedang sepi, mungkin Cuma bisa untuk makan satu hari ini saja. Saya tidak peduli dengan niat para peziarah yang datang, sekedar mau memohon permintaan atau berdoa” Para pedagang bisa saja menaikkan harga dagangan mereka
200% saat musim ramai seperti pada saat haul Sunan Bonang atau pada
saat malam satu suro saat sedekah bumi berlangsung. Seperti misal
harga untuk sebotol air mineral kemasan 1,5% yang harga biasanya
berkisar antara Rp. 1500 - Rp 2000 menjadi Rp. 5000,-. Jadi pada intinya
sudut pandang masyarakat lokal yang diwakili oleh para pedagang di
sekitar makam Sunan Bonang menganggap bahwa para peziarah
merupakan sumber pendapatan bagi mereka karena sebagian dari
Folklore
37
mereka murni menggantungkan hidupnya dari berjualan di sekita area
Sunan Bonang. Mereka tidak peduli apa motif atau maksud kedatangan
para peziarah datang ke makam Sunan Bonang, bagi mereka yang pasti
adalah kedatangan para peziarah salalu menjadi yang terbaik demi
kelancara penghidupan mereka.
Persepsi ekonomis juga datang dari masyarakat non-pedagang
yang berpendapat bahwa semakin banyak peziarah yang datang ke
makam Sunan Bonang, maka semakin bertambah pula PAD (Pendapatan
Asli Daerah) Kabupaten Tuban. Seperti kita ketahui bersama bahwa PAD
juga digunakan untuk pembangunan masyarakat dan lingkungan.
Keterangan ini, penulis peroleh dari salah seorang informan, Sukasto (47):
”lha nek katah ingkang dateng ting makam Sunan Bonang, mestine pendapatan daerah lak bertambah toh mas, nek ngoten lak pembangunan tambah rejo, rakyate makmur”
”kalau banyak yang datang ke makam Sunan Bonang, pastinya pendapatan daerah bertambah banyak khan mas, kalau begitu pembangunan tambah maju, rakyat juga tambah makmur”.
Para penduduk tidak merasa terganggu dengan kedatangan para peziarah
yang datang ke makam Sunan Bonang, namun terkadang lalu lintas di
sekitar makam Sunan Bonang (yang kebetulan adalah tepat di jantung
kota) kacau karena banyak pengemudi becak yang melanggar aturan dan
banyak peziarah yang memenuhi jalan raya.
Folklore
38
BAB VPENUTUP
V.1 Kesimpulan
Penelitian penulis kali ini berhasil menelaah beberapa persepsi
masyarakat lokal mengenai peziarah makam Sunan Bonang yang datang
setiap hari. Kebanyakan dari informan yang penulis wawancarai memang
berpendapat bahwa sebagian besar peziarah yang datang ke makam
Sunan Bonang mempunyai hajat tertentu yang ingin dikabulkan.
Makam Sunan Bonang memang banyak dijadikan sebagai media
meminta permohonan untuk dikabulkan, hal ini berkiatan dengan konsep
religi masyarakat jawa pada umumnya seperti yang penulis ketahui pada
saat melakukan wawancara dengan salah seorang informan. Konsep
tersebut mereka kenal dengan nama sukmo kawekas, konsep tersebut
menjelaskan bahwa Konsep tersebut akhirnya banyak diaplikasikan oleh
masyarakat dengan memohon dan berdoa pada roh-roh orang yang
dulunya dianggap sakti mandraguna dan mempunyai kharisma luar biasa.
Mereka beranggapan bahwa doa dan keinginan mereka cepat tersampai
bila disampaikan pada roh tokoh tersebut dan menyampaikannya pada
Tuhan. Roh tokoh sakti dianggap bisa menjadi mediator dalam
penyampaian doa dan keinginan kepada Tuhan.
Sunan Bonang dianggap masyarakat sebagai seorang tokoh sakti
mandraguna dan menjadi pemimpin berkharisma selama hidupnya di
Folklore
39
Kabupaten Tuban, rohnya bisa menjadi mediator yang baik bagi doa dan
keinginan bagi siapapun yang memohon dan menghargai peniggalannya.
Faktor kedua adalah Sunan Bonang tetap diakui dan dihargai karena jasa-
jasanya membuka lahan baru bagi masyarakat dan menyebarkan agama
Islam di Kabupaten Tuban. Sunan Bonang tidak hanya menyebarkan
Islam saja, namun juga ikut menata, memimpin serta menjaga desanya
dari gangguan pihak asing.
Persepsi lain datang dari masyarakat lokal yang Cenderung
memilki jiwa oportunistik, dalam persepsi mereka para peziarah adalah
pohon uang yang siap dipetik buahnya. Mereka memanfaatkan lokasi
makam Sunan Bonang untuk berdagang macam-macam barang antara
lain buah tangan khas Tuban, barang-barang keislaman, makanan dan
minuman.
V.2 Saran
Dari pengamatan penulis di lapangan, makam Sunan bonang
semakin kotor dari tahun ke tahun (karena penulis merupakan warga asli
Kabupaten Tuban). Penulis berharap agar pemerintah daerah Kabupaten
Tuban peka terhadap permasalahan lingkungan di sekitar makam Sunan
Bonang, karena makam Sunan Bonang adalah salah satu ikon Kabupaten
Tuban dan dikunjungi oleh para peziarah yang banyak datang dari luar
kota.
Folklore
40
Selain permasalahan tersebut, terdapat juga permasalahan lain
yang datang dari bidang politik. Pada tahun 2005, permasalahan datang
dari perseteruan antara yayasan Sunan Bonang yang selama ini
mengelola lokasi makam Sunan Bonang dengan Pemerintah Kabupaten
Tuban, tentang hak pengelolaan makam. Sampai sekarang masalah ini
masih menggantung da belim ditemukan solusinya. Penulis berharap
bahwa diantara kedua belah pihak mampu menemukan win-win solution
yang berdampak pada kalangsungan wisata religi makam Sunan Bonang