BAB 1 Pendahuluan A. Latar Belakang Irian jaya atau sekarang disebut dengan Papua adalah pulau terbesar kedua di dunia setelah Greenland. Pulau ini terbagi atas 2 daerah kekuasaan, yaitu belahan timur yang merupakan daerah kekuasaan pemerintahan Papua Nugini sedangkan daerah seluas 260.000 kilometer persegi yang berada di belahan barat, yaitu Papua termasuk daerah wilayah pemerintahan Republik Indonesia. Di Papua ini terdiri dari beberapa kabupaten dan suku-suku yang beraneka ragam. Suku Asmat adalah salah satu suku yang ada di Papua. Populasi suku asmat terbagi dua yaitu mereka yang tinggal di pesisir pantai dan mereka yang tinggal di bagian pedalaman. Kedua populasi ini saling berbeda satu sama lain dalam hal cara hidup, struktur sosial dan ritual. Mendengar suku Asmat, mungkin sekilas terpikir di benak kita mengenai pengayauan kepala orang dan kanibalisme. Hal tersebut sempat mewarnai kehidupan sehari-hari orang Asmat. Kehidupan suku Asmat pada jaman dahulu banyak dipenuhi dengan peperangan antar
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB 1
PendahuluanA. Latar Belakang
Irian jaya atau sekarang disebut dengan Papua adalah pulau terbesar
kedua di dunia setelah Greenland. Pulau ini terbagi atas 2 daerah
kekuasaan, yaitu belahan timur yang merupakan daerah kekuasaan
pemerintahan Papua Nugini sedangkan daerah seluas 260.000 kilometer
persegi yang berada di belahan barat, yaitu Papua termasuk daerah
wilayah pemerintahan Republik Indonesia.
Di Papua ini terdiri dari beberapa kabupaten dan suku-suku yang
beraneka ragam. Suku Asmat adalah salah satu suku yang ada di Papua.
Populasi suku asmat terbagi dua yaitu mereka yang tinggal di pesisir pantai
dan mereka yang tinggal di bagian pedalaman. Kedua populasi ini saling
berbeda satu sama lain dalam hal cara hidup, struktur sosial dan ritual.
Mendengar suku Asmat, mungkin sekilas terpikir di benak kita
mengenai pengayauan kepala orang dan kanibalisme. Hal tersebut sempat
mewarnai kehidupan sehari-hari orang Asmat. Kehidupan suku Asmat
pada jaman dahulu banyak dipenuhi dengan peperangan antar clan atau
antar desa. Pada umumnya, pangkal persengketaan adalah antara lain
adanya perzinahan, pelanggaran batas daerah sagu, pencurian ulat sagu,
ataupun hanya sekedar mencari gara-gara karena terjadinya salah paham
atau tersinggung.
Konflik antara dua orang biasanya meningkat menjadi konflik antar
keluarga, kemudian antar clan, hingga akhirnya melibatkan seluruh
kampung. Konflik semacam inilah yang mengakibatkan masyarakat Asmat
terbagi ke dalam beberapa clan dan menyusutnya penduduk desa di daerah
Asmat. Sebagai kelanjutan dari peperangan tersebut adalah terjadinya
kayau-mengayau serta kanibalisme.
Di dalam masyarakat Asmat pada jaman dahulu, banyak ritual,
kesenian, serta aspek-aspek mengenai kebudayaan yang menarik untuk
dijelaskan. Perkembangan suku Asmat dahulu hingga sekarang pun telah
banyak berubah. Kini pengayauan kepala orang serta kanibalisme sudah
merupakan bagian legenda dan sejarah dari suku Asmat. Hal tersebut
disebabkan adanya campur tangan pemerintah dan misi-misi penyebaran
agama yang dilakukan oleh para misionaris. Kontak dari dunia luar pun
sedikit banyak mempengaruhi perubahan-perubahan yang terjadi di suku
Asmat sendiri. Mereka pun mulai mengenal kebudayaan lingkungan luar
yang dianggap lebih maju.
Saat ini, banyak kebudayaan hasil dari tangan-tangan orang Asmat
yang patut membanggakan bagi bangsa ini. Semua hasil kebudayaan itu
merupakan bagian dari kekayaan budaya yang dimiliki oleh bangsa ini.
Oleh karena itu, kami sangat tertarik sekali untuk menjelaskan berkaitan
dengan suku Asmat melalui tugas etnografi ini, yang dimana lebih
menekankan pada segi kebudayaanya pada jaman dahulu.
Karangan etnografi ini membahas mengenai lokasi, lingkungan alam,
dan demografi, asal mula/ sejarah suku Asmat, bahasa, sistem Teknologi,
sistem Mata pencaharian, organisasi sosial, sistem pengetahuan, sistem
religi, dan kesenian yang ada di tengah-tengah kehidupan masyarakat
Asmat.
BAB 2
Etnografi Suku Asmat
1. Lokasi, Lingkungan Alam, dan Demografi
Lokasi
Suku Asmat berdiam di daerah-daerah yang sangat terpencil dan
daerah tersebut masih merupakan alam yang liar. Mereka tinggal di pesisir
barat daya Irian jaya (Papua). Mulanya, orang Asmat ini tinggal di wilayah
administratif Kabupaten Merauke, yang kemudian terbagi atas 4
kecamatan, yaitu Sarwa-Erma, Agats, Ats, dan Pirimapun. (Saat ini
Asmat telah masuk ke dalam kabupaten baru, yaitu kabupaten Asmat).
Batas-batas geografis
Batas-batas geografi daerah tempat dimana suku Asmat dahulu tinggal
adalah sebagai berikut :
Sebelah utara dibatasi pegunungan dengan puncak-puncak bersalju
abadi,
Sebelah selatan berbatasan dengan Laut Arafura,
Sebelah timur berbatasan dengan Sungai Asewetsy,
Sebelah barat berbatasan dengan Sungai Pomats. Pertemuan Sungai
Pomats, Undir (Lorentz), dan Asewetsy, bersama-sama kemudian
menjadi satu dan mengalir ke dalam teluk Flamingo. Di daerah hilir
Sungai Asewetsy terletak Agats, tempat kecamatan Agats, salah satu
dari 4 kecamatan yang membentang di wilayah Asmat.
Batasan-batasan alamiah ini yang melindungi orang-orang Asmat dari
serangan luar. Pada masa Perang Dunia II, daerah tersebut merupakan
semacam daerah yang tak bertuan di antara wilayah kekuasaan tentara
Jepang di sebelah barat dan tentara Australia di sebelah timur.
Kondisi lingkungan alam
Suku Asmat mendiami daerah dataran rendah yang berawa-rawa dan
berlumpur, serta ditutupi dengan hutan tropis. Sungai-sungai yang
mengalir di daerah ini tidak terhitung banyaknya, dan rata-rata berwarna
gelap karena tertutup dengan lumpur. Daerah tersebut landai yang dimana
dialiri oleh tidak kurang dari 10 sungai besar dan ratusan anak sungai.
Sungai-sungai besar itu dapat dilayari kapal dengan bobot 1.000-2.000 ton
samapi sejauh 50 kilometer ke hulu. Sejauh 20 kilometer ke hulu, air
sungai-sungai itu masih terasa payau. Lingkungan alam di sekitarnya masih
terpencil dan penuh dengan rawa-rawa berlumpur yang ditumbuhi pohon
bakau, nipah, sagu, dan tumbuhan rawa lainnya. Perbedaan pasang dan
surut mencapai 4-5 meter sehingga dapat dimanfaatkan untuk berlayar
dari satu tempat ke tempat lain. Pada pasang surut, orang berperahu ke
arah hilir atau pantai dan kembali ke hulu ketika pasang sedang naik.
Keadaan alam seperti itu disebabkan antara lain adalah karena curah
hujan yang turun sebanyak 200 hari setiap tahunnya. Selain itu,
perembesan air laut ke pedalaman menyebabkan tanahnya tidak dapat
ditanami dengan jenis-jenis tanaman seperti pohon kelapa, bambu, pohon
buah-buahan, dan jenis tanaman kebun seperti sayur-mayur, tomat,
mentimun, dan sebagainya. Walaupun tanaman seperti itu ada, namun
jumlahnya pun sediki atau terbatas.
Namun demikian, daerah rawa-rawa berair payau dengan suhu udara
minimal 21 derajat Celcius dan maksimal 32 derajat Celcius ini sangat kaya
akan aneka jenis tanaman palem, hutan-hutan bakau, pohon-pohon sejenis
kayu balsal, umbi-umbian, tanaman rambat, dan rotan.
Batu sangat langka di daerah-daerah lumpur berawa-rawa ini. Alat-
alat batu yang ditemukan hanya berupa kapak, dan ini pun bukan buatan
penduduk setempat melainkan didapatkan melalui perdagangan barter
dengan penduduk yang tinggal di daerah dataran tinggi. Orang-orang
Asmat juga tidak mengenal besi. Selain itu, tidak juga ditemukan tanah liat
pada daerah ini sehingga tidak mengenal barang-barang keramik. Oleh
karena itu, orang-orang Asmat biasa memasak makanannya di atas api
terbuka.
Data Demografi
Jumlah penduduk di daeah Asmat tidak diketahui dengan pasti.
Diperkirakan pada tahun 2000 ada kurang lebih 70.000 jiwa, 9.000 di
antaranya bermukim di Kecamatan Pirimapun. Pertambahan penduduk
sangat pesat, berkisar antara 28 samapi 84 jiwa setiap 1.000 orang.
Secara keseluruhan, angka kelahiran di pedalaman adalah 13 persen,
di pesisir 9 persen. Angka kematian pun cukup tinggi, yaitu berksiar antara
21 sampai 45 jiwa tiap 1.000 orang. Pada jaman dahulu, rata-rata dua
setengah persen kematian orang Asmat disebabkan oleh peperangan antar
clan atau antar desa. Seiring berkembangnya jaman, saat ini penyebab
kematian anak-anak dan bayi , terutama pada bulan-bulan pertama banyak
disebabkan oleh pneumonia, diare, malaria, dan penyakit campak.
Tragisnya pada kasus-kasus tertentu, si ibu berperan dalam mempercepat
proses kematian karena kurangnya pengetahuan. Sebagai contoh seorang
anak yang menderita diare, tidak diberi minum sehingga mengalami
dehidrasi yang menyebabakan kematian pada akhirnya.
Perkampungan orang Asmat yang jumlahnya tidak kurang dari 120
buah tersebar dengan jarak yang saling berjauhan. Kampung mereka
didirikan dengan pola memanjang di tepi-tepi sungai dan dibangun
sedemikian rupa sehingga mudah mengamati musuh. Sedikitnya ada 3
kategori kampung bila dilihat dari jumlah warganya. Kampung besar, yang
umumnya terletak di bagian tengah, dihuni oleh sekitar 500-1000 jiwa.
Kampung di daerah pantai, rata-rata dihuni oleh sekitar 100-500 jiwa.
Kampung di bagian hulu sungai, jumlah warganya lebih kecil , berpenduduk
sekitar 50-90 jiwa.
Ciri-ciri fisik
Bentuk tubuh orang Asmat berbeda dengan penduduk lainnya yang
berdiam di pegunungan tengah atau di nagian pantai lainnya. Tinggi badan
kaum laki-laki antara 1,67 hingga 1,72 meter, sedangkan kaum perempuan
tingginya antara 1,60 hingga 1,65 meter.
Ciri-ciri bagian tubuh lainnya yaitu :
bentuk kepala yang lonjong (dolichocephalic),
bibir tipis,
hidung mancung, dan
kulit hitam.
Orang Asmat pada umumnya tidak banyak menggunakan kaki untuk
berjalan jauh, oleh karena itu betis mereka terlihat menjadi kecil. Namun,
setiap saat mereka mendayung dengan posisi berdiri sehingga otot-otot
tangan dan dadanya tampak terlihat tegap dan kuat. Tubuh kaum
perempuan kelihatan kurus karena banyaknya perkerjaan yang harus
mereka lakukan.
2. Asal mula dan sejarah suku bangsa
Sejarah proses penemuan daerah Asmat
Nama Asmat sudah dikenal dunia sejak tahun 1904. Tercatat pada
tahun 1770 sebuah kapal yang dinahkodai James Cook mendarat di sebuh
teluk di daerah Asmat. Tiba-tiba muncul puluhan perahu lesung panjang
didayungi ratusan laki-laki berkulit gelap dengan wajah dan tubuh yang
diolesi warna-warna merah, hitam, dan putih. Mereka ini menyerang dan
berhasil melukai serta membunuh beberapa anak buah James Cook.
Berabad-abad kemudian pada tepatnya tanggal 10 Oktober 1904, Kapal SS
Flamingo mendarat di suatu teluk di pesisir barat daya Irian jaya. Terulang
peristiwa yang dialami oleh James Cook dan anak buahnya pada saat
dahulu. Mereka didatangi oleh ratusan pendayung perahu lesung panjang
berkulit gelap tersebut. Namun, kali ini tidak terjadi kontak berdarah.
Sebaliknya terjadi komunikasi yang menyenangkan di antara kedua pihak.
Dengan menggunakan bahasa isyarat, mereka berhasil melakukan
pertukaran barang.
Kejadian ini yang membuka jalan adanya penyelidikan selanjutnya di
daerah Asmat. Sejak itu, orang mulai berdatangan ke daerah yang
kemudian dikenal dengan daerah Asmat itu. Ekspedisi-ekspedisi yang
pernah dilakukan di daerah ini antara lain ekspedisi yang dilakukan oleh
seseorang berkebangsaan Belanda bernama Hendrik A. Lorentz pada tahun
1907 hingga 1909. Kemudian ekspedisi Inggris dipimpin oleh A.F.R
Wollaston pada tahun 1912 sampai 1913.
Suku Asmat yang seminomad itu mengembara sampai jauh keluar
daerahnya dan menimbulkan peperangan dengan penduduk daerah yang
didatanginya. Untuk mengatasi kekacauan yang sering terjadi tersebut,
Pemerintah Belanda pada waktu itu, melancarkan usaha-usaha dalam
rangka mengurangi peperangan dan memulihkan ketertiban. Pada tahun
1938, didirikan suatu pos pemerintahan yang berlokasi di Agats. Namun
terpaksa ditinggalkan ketika pecah perang dengan Jepang pada tahun 1942.
Selama perang itu berlangsung, hubungan denga orang-orang Asmat tidak
terjalin. Hubungan tetap dengan masyarakat Asmat terjalin kembali dengan
didirikannya suatu pos polisi pada tahun 1953.
Mei 1963, daerah Irian Jaya resmi masuk menjadi wilayah kekuasaan
Republik Indonesia. Sejak saat itu pula, Pemerintah Indonesia
melaksanakan usaha-usaha pembangunan di Irian Jaya termasuk daerah
Asmat. Suku Asmat yang tersebar di pedalaman hutan-hutan dikumpulkan
dan ditempatkan di perkampungan-perkampungan yang mudah dijangkau.
Biasanya kampung-kampung tersebut didirikan di dekat pantai atau
sepanjang tepi sungai. Dengan demikian hubungan langsung dengan Suku
Asmat dapat berlangsung dengan baik. Dewasa ini, sekolah-sekolah,
PUSKESMAS (Pusat Kesehatan Masyarakat) dan rumah-rumah ibadah telah
banyak juga didirikan peemrintah dalam rangka menunjang pembangunan
daerah dan masayarakat Asmat.
3. Bahasa
Bahasa-bahasa yang digunakan orang Asmat termasuk kelompok
bahasa yang oleh para ahli linguistik disebut sebagai Language of the
Southern Division, bahasa-bahasa bagian selatan Irian Jaya. Bahasa ini
pernah dipelajari dan digolongkan oleh C.L Voorhoeve (1965) menjadi
filum bahasa-bahasa Irian (Papua) Non-Melanesia.
Bahasa-bahasa tersebut dibedakan pula antara orang Asmat pantai
atau hilir sungai dan Asmat hulu sungai. Lebih khusus lagi, oleh para ahli
bahasa dibagi menjadi bahasa Asmat hilir sungai dibagi menjadi sub
kelompok Pantai Barat Laut atau pantai Flamingo, seperti misalnya bahasa
Kaniak, Bisman, Simay, dan Becembub dan sub kelompok Pantai Baratdaya
atau Kasuarina, seperti misalnya bahasa Batia dan Sapan.Sedangkan Asmat
hulu sungai dibagi menjadi sub kelompok Keenok dan Kaimok.
4. Sistem Teknologi
Teknologi yang telah dimiliki dan ditemukan oleh suku Asmat adalah
sebagai berikut:
o Alat-alat produktif
Orang Asmat telah memiliki peralatan serta cara untuk
mempertahankan hidupnya. Mereka telah memiliki kemampuan untuk
membuat jaring sendiri yang terbuat dari anyaman daun sagu. Jaring
tersebut digunakan untuk menjaring ikan di muara sungai. Caranya pun
sederhana sekali, yaitu dengan melemparkan jaring tersebut ke laut untuk
kemudian ditarik bersama-sama. Pekerjaan ini tidaklah mudah karena di
muara sungai terdapat lumpur yang sangat banyak dan memberatkan
dalam penarikan jaring. Oleh karena itu, jala ditambatkan saja pada waktu
air pasang dan kemudian ditarik pada air surut.
Untuk membuat suatu karya kesenian, orang Asmat juga mengenal
alat-alat tertentu yang memang sengaja digunakan untuk membuat ukir-
ukiran. Alat-alat sederhana seperti kapak batu, gigi binatang dan kulit siput
yang bisa digunakan oleh wow-ipits untuk mengukir. Kapak batu
merupakan benda yang sangat berharga bagi orang Asmat sehingga kapak
yang hanya bisa didapatkan melalui pertukaran barang itu diberi nama
sesuai dengan nama leluhurnya, bisanya nama nenek dari pihak ibu.
Dengan masuknya pengaruh dari luar, orang Asmat sekarang sudah
menggunakan kapak besi dan pahat besi. Kulit siput diganti dengan pisau.
Untuk menghaluskan dan memotong masih digunakan kulit siput.
o Senjata
Perisai digunakan oleh orang Asmat untuk melindungi diri dari
tombak dan panah musuh dalam peperangan. Pola ukiran pada perisai
melambangkan kejantanan. Senjata ini terbuat dari akar besar pohon
bakau atau kayu yang lunak dan ringan.
Tombak pada masyarakat Asmat terbuat dari kayu keras seperti kayu
besi atau kulit pohon sagu. Ujungya yang tajam dilengkapi dengan penutup
yang terbuat dari paruh burung atau kuku burung kasuari.
o Makanan
Orang-orang Asmat tidak mengenal besi. Selain itu, tidak juga
ditemukan tanah liat pada daerah ini sehingga tidak mengenal barang-
barang keramik. Oleh karena itu, orang-orang Asmat biasa memasak
makanannya di atas api terbuka. Berapa jenis makanan yang biasa
dikonsumsi oleh orang Asmat adalah :
1. Makanan pokok (sagu)
Sagu sebagai makan pokok dapat banyak ditemukan di hutan oleh
masyarakat Asmat. Untuk mendapatkan makanan dari pohon sagu, pohon
itu harus ditebang, kulitnya dibuka sebagian, dan isinya ditumbuk hingga
hancur. Kemudian, isi tersebut dipindahkan ke dalam suatu saluran air
sederhana yang terbuat dari daun sagu untuk dibersihkan. Tepung sagu
yang diperoleh diolah menjadi adonan yang beratnya kira-kira 5 kilogram.
Adonan ini kemudian dibakar untuk mendapatkan bentuk yang semipadat
supaya mudah dibawa dan disimpan sampai diperlukan.
Proses pembuatan sagu, mulai dari penebangan pohon hingga
terbentuknya adonan siap masak memakan waktu sehari penuh, dari
matahari terbit hingga terbenam.
2. Makanan tambahan
Sebagai makanan tambahan, suku Asmat juga mengumpulkan ulat
sagu yang didapatkan di dalam batang pohon sagu yang sudah membusuk.
Ulat sagu yang merupakan sumber protein dan lemak adalah makanan
yang lezat dan bernilai tinggi bagi mereka. Telur-telur ayam hutan yang
ditemukan di pasir delata-delta yang sering tertutup air pada waktu air
pasang juga dikumpulkan. Telur-telur ini dikumpulkan dan dibungkus
dakan daun dan dipanggang hingga keras. Apapun yang ditemukan di
hutan, seperti babi hutan, kuskus, burung, dan segala jenis daun-daunan
yang dapat dimakan, dikumpulkan sebagai tambahan makanan pedamping
sagu.
Orang Asmat juga memburu iguana (sejenis kadal) untuk mengambil
dagingnya yang kemudian dipanggang dan dimakan. Tikus hutan pun
mereka tangkap dan dijadikan makanan tambahan.
3. Makanan lainnya
Orang Asmat pun terkadang memiliki bahan makan lainnya yang tidak
setiap harinya ada. Musuh yang telah mati ditombak saat perang, dibawa
pulang ke kampung dengan perahu lesung panjang diiringi dengan
nyanyian. Setiba di kampung, mayatnya dipotong-potong dan dibagi-
bagikan kepada seluruh penduduk untuk dimakan bersama. Sambil
menyanyikan lagu kematian, kepala musuh tersebut dipotong dan
dipanggang, sedangkan otaknya dibungkus dengan daun sagu untuk
kemudian dipanggang.
o Perhiasan
Orang Asmat juga memiliki beberapa jenis perhiasan yang biasa
dikenakan sehari-hari dalam kehidupannya. Seperti kebanyakan orang,
orang Asmat berhias untuk mempercantik dirinya masing-masing. Sesuai
kepercayaan, mereka biasa berhias dengan menidentikan diri seperti
burung. Seperti misalnya titik-titik putih pada tubuh yang diidentikan pada
burung.
Untuk hiasan kepala, mereka menggunakan bulu dari burung kasuari
atau kuskus. Sekeliling matanya diwarnai merah bagaikan mata burung
kakatua hitam bila sedang marah.
Hiasan dahi terbuat dari kulit kuskus, lambang dari si pengayau kepala
yang perkasa. Hiasan-hiasan hidung terbuat dari semacam keong laut, atau
kadang-kadang terbuat dari tulang manusia atau tulang babi.
Anting-anting wanita terbuat dari bulu kuskus. Gigi-gigi anjing diuntai
untuk dijadikan kalung penghias leher. Untuk mendapatkan gigi-gigi itu,
anjing tersebut tidaklah dibunuh, namun ditunggu hingga anjing tersebut
mati. Oleh karena itu, gigi-gigi anjing tersebut dinilai tinggi bagi mereka,
dan sering dijadikan sebagai emas kawin (pomerem) bagi keluarga pihak
wanita.
o Pakaian
Suku Asmat mempunyai pakaian adat, yakni koteka. Koteka biasa
digunakan oleh kaum lelaki yang tinggal di daerah Wamena. Koteka sendiri
terbuat dari kulit labu yang panjang dan sempit.
Fungsi koteka untuk menutupi bagian alat reproduksi kaum lelaki,
sedangkan bagian badan mereka tidak menggunakan apa-apa. Cara
penggunaan koteka yakni dengan cara diikatkan pada tali yang melingkar
di pinggang.
Wanita pun, umumnya, menggunakan pakaian yang hampir sama
digunakan para lelaki. Mereka hanya menutupi tubuh di sekitar alat
reproduksinya. Pakaian yang digunakan, yakni seperti rok yang terbuat
dari bahan akar tanaman kering yang dirajut seperti benang-benang kasar.
Untuk bagian atas badan, biasanya, wanita suku Asmat tidak menggunakan
apa-apa atau bertelanjang dada. Ini merupakan kebiasaan dan budaya yang