Top Banner
Subandono Diposaptono Kementerian Kelautan dan Perikanan Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Direktorat Pesisir dan Lautan Gedung Mina Bahari II Lt. 7 Jl. Medan Merdeka Timur No. 16 Jakarta Pusat, Telp/Faks: 021-3522059 Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Subandono Diposaptono D alam 7 tahun terakhir ini bencana alam di Indonesia datang silih bergan. Usai gempa dan tsunami dahsyat di kawasan pesisir Nanggroe Aceh Darussalam (26/12/2004) yang menewaskan lebih dari 200.000 orang, hanya berselang ga bulan gempa bumi mengguncang Pulau Nias, Sumatera Utara. Setelah itu Yogjakarta juga dihantam gempa, Sidoarjo meluap lumpur panasnya, pantai selatan Jawa Barat disapu tsunami, dan di berbagai kota direndam banjir. Lagi-lagi, gempa dan tsunami juga menyapu Kepulauan Mentawai (25/10/2010). Semua bencana tersebut menimbulkan luka mendalam. Ratusan ribu orang kehilangan nyawa. Sarana dan prasarana luluh lantak. Kondisi lingkungan pun babak belur. Kini, masyarakat dunia --termasuk Indonesia— harus menghadapi perubahan iklim dengan segala dampaknya seper banjir, kekeringan, badai, pergeseran musim, kenaikan muka laut, dan lain sebagainya. Semua fenomena tersebut membutuhkan berbagai upaya migasi bencana dan adaptasi perubahan iklim. Dan di buku inilah Anda akan mendapat pengalaman menarik bagaimana menghadapi berbagai bencana tersebut. 9 789791 291033 ISBN 978-979-1291-03-3
193

Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

Feb 06, 2018

Download

Documents

duongtruc
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

Subandono Diposaptono

Kementerian Kelautan dan PerikananDirektorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau KecilDirektorat Pesisir dan LautanGedung Mina Bahari II Lt. 7Jl. Medan Merdeka Timur No. 16Jakarta Pusat, Telp/Faks: 021-3522059

Mitigasi Bencana

dan Adaptasi Perubahan IklimSubandono Diposaptono

Dalam 7 tahun terakhir ini bencana alam di Indonesia datang silih berganti. Usai gempa

dan tsunami dahsyat di kawasan pesisir Nanggroe Aceh Darussalam (26/12/2004) yang menewaskan lebih dari 200.000 orang, hanya berselang tiga bulan gempa bumi mengguncang Pulau Nias, Sumatera Utara.

Setelah itu Yogjakarta juga dihantam gempa, Sidoarjo meluap lumpur panasnya, pantai selatan Jawa Barat disapu tsunami, dan di berbagai kota direndam banjir. Lagi-lagi, gempa dan tsunami juga menyapu Kepulauan Mentawai (25/10/2010).

Semua bencana tersebut menimbulkan luka mendalam. Ratusan ribu orang kehilangan nyawa. Sarana dan prasarana luluh lantak. Kondisi lingkungan pun babak belur.

Kini, masyarakat dunia --termasuk Indonesia—harus menghadapi perubahan iklim dengan segala dampaknya seperti banjir, kekeringan, badai, pergeseran musim, kenaikan muka laut, dan lain sebagainya.

Semua fenomena tersebut membutuhkan berbagai upaya mitigasi bencana dan adaptasi perubahan iklim. Dan di buku inilah Anda akan mendapat pengalaman menarik bagaimana menghadapi berbagai bencana tersebut.

9 789791 291033

ISBN 978-979-1291-03-3

Page 2: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

Sebuah Kumpulan Pemikiran

Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan IklimGempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global,

dan semburan lumpur Sidoarjo

Subandono Diposaptono

Kementerian Kelautan dan PerikananDirektorat Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil

Direktorat Pesisir dan Lautan2011

Page 3: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta

Lingkup Hak CiptaPasal 21. Hak cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk

mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ketentuan PidanaPasal 72:1. Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1(satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

Page 4: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

Sebuah Kumpulan PemikiranMitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan IklimGempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global,dan semburan lumpur Sidoarjo

Pertama kali diterbitkan dalam Bahasa IndonesiaOleh Direktorat Pesisir dan LautanDirektorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau KecilKementerian Kelautan dan Perikanan

Penulis : Subandono DiposaptonoDesign Graphic : Amir Cover : Deky Rahma Sukarno

Hak cipta dilindungi Undang-undangdilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)Sebuah Kumpulan PemikiranMitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan IklimGempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global,dan semburan lumpur Sidoarjo

Diterbitkan oleh:Direktorat Pesisir dan LautanDirektorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau KecilKementerian Kelautan dan Perikananxvi + 176 halaman, 11,5 cm x 17,5 cmISBN: 978-979-1291-03-3

Page 5: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur
Page 6: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

v

SambutanMenteri Kelautan dan Perikanan

Republik Indonesia

Sejarah mencatat, Indonesia sepertinya tak pernah terbe-bas dari bencana alam. Gempa bumi dan tsunami datang

silih berganti. Hal ini dapat dimaklumi karena secara geografis, posisi Indonesia berada pada jalur cincin api (ring of fire) dan pertemuan tiga lempeng besar yang saling bertumbukan. Se-lain gempa dan tsunami, posisi Indonesia di katulistiwa yang diapit oleh dua benua besar mengakibatkan adanya dinamika iklim yang pada banyak kejadian memicu meningkatnya ban-jir, rob, longsor, kekeringan, abrasi, dan lain-lain.

Menyadari kita berada di daerah rawan bencana alam itulah, pemerintah memiliki komitmen nyata bagi upaya mi-tigasi bencana. Kebijakan tersebut tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2010 – 2014. RPJM menegaskan dan mengamanatkan penanggulangan bencana sebagai prioritas pembangunan. Komitmen dan konsistensi Pemerintah dalam pengurangan resiko bencana tersebut telah diapresiasi oleh berbagai pihak. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) baru-baru ini memberikan penghargaan ber-gengsi kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai

Page 7: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

vi

Global Champion for Disaster Risk Reduction. Apresiasi dari masyarakat internasional ini menjadi pengingat bagi kita agar selalu konsisten dan tetap waspada terhadap bencana alam yang setiap saat mengintai kita.

Seiring dengan itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan juga telah, sedang, dan akan selalu melakukan mainstream-ing (pengarusutamaan) mitigasi atau pengurangan risiko ben-cana ke dalam pembangunan kelautan dan perikanan.

Dalam konteks pengurangan resiko bencana itulah, kami menyambut baik terbitnya buku berjudul Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim yang ditulis Subandono Di-posaptono. Dari buku inilah masyarakat dapat belajar banyak hal bagaimana melakukan mitigasi bencana agar kita dapat memperkecil dampak negatif yang ditimbulkannya.

Buku ini juga dapat membantu kita dalam melakukan berbagai upaya adaptasi perubahan iklim yang sekarang ini menjadi persoalan serius bukan saja di Tanah Air, tetapi juga segenap lapisan masyarakat di seluruh dunia. Dengan kata lain, iklim yang telah berubah secara global ini membutuh-kan usaha bersama dari seluruh penduduk dunia agar masa depan Bumi dapat lestari.

Jakarta, Desember 2011Menteri Kelautan dan Perikanan

Sharif Cicip Sutardjo

Page 8: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

vii

PengantarKepala Badan Nasional

Penanggulangan Bencana

Kami layak memberi apresiasi atas terbitnya buku berjudul Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim yang

sedang Anda baca ini. Buku yang ditulis oleh Subandono Diposaptono ini dapat membantu kita semua memahami berbagai pemikirannya tentang pengurangan risiko bencana alam seperti gempa, tsunami, banjir, rob, dan perubahan iklim di pesisir dan pulau-pulau kecil.

Pemahaman mengenai fenomena bencana alam tersebut sangatlah penting untuk memberi bekal bagi masyarakat Indonesia yang secara geografis memang berada di wilayah rawan bencana geologis dan hidrometeorologis. Dengan demikian setiap terjadi bencana alam kita lebih siap menghadapinya. Bukan bersikap sebaliknya, diliputi rasa takut dan panik yang berlebihan. Sikap emosional yang berlebihan semacam itu justru hanya menambah penderitaan.

Menghadapi gempa dan tsunami kita dapat belajar dari Jepang. Meskipun tsunami menghajar pantai Sanriku, Jepang

Page 9: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

viii

setinggi 10-20 meter pada 11 Maret 2011 dan memporak-porandakan kawasan pesisir tersebut, namun jumlah korban yang tewas tergolong minim. Hal ini disebabkan mereka su-dah memahami berbagai hal mengenai gempa dan tsunami.

Berbagai upaya mitigasi itu disiapkan mulai dari melindungi kawasan strategis di sekitar pantai baik secara fisik maupun nonfisik, membangun sistem peringatan dini, mengevakuasi diri sebelum tsunami menerjang, hingga langkah-langkah strategis selama masa tanggap darurat dan pascabencana guna membantu para korban yang selamat dan memulihkan kembali lingkungan yang hancur tersebut.

Akhir kata, semoga buku ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang peduli terhadap berbagai upaya untuk memahami bencana alam dan perubahan iklim.

Jakarta, November 2011Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana

Dr. Syamsul Maarif, MSi

Page 10: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

ix

Sekapur Sirih dari Penulis

Tujuh tahun terakhir ini bencana alam datang silih berganti. Di pagi hari, 26 November 2004, Nabire digoyang gempa

bumi berkekuatan 7,2 skala Richter (SR). Seluruh kota lumpuh dihantam gempa. Hubungan arus listrik dan telepon putus total. Bandara Nabire juga mengalami kerusakan serius sehingga jadwal penerbangan sempat ditunda.

Tepat sebulan setelah itu, giliran kawasan pesisir Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) diterjang tsunami dahsyat. Tsunami yang ditimbulkan oleh gempa tektonik yang berpusat di Samudra Hindia dan berkekuatan 9 SR itu menewaskan lebih dari 200.000 orang.

Indonesia terus saja berduka. Bukan apa-apa, hanya berselang sekitar tiga bulan, tepatnya 28 Maret 2005, gempa bumi mengguncang Pulau Nias, Sumatera Utara. Bangunan rumah dan perkantoran di kawasan pesisir itu juga babak belur dihantam gempa.

Lalu, sejak Mei 2006 hingga 2010 berbagai bencana me-landa kawasan lainnya. Sebut saja gempa bumi Jogjakarta, meletusnya Gunung Merapi, meluapnya lumpur panas Sido-ardjo, tsunami Jawa Barat, banjir bandang di Aceh Tamiang, banjir di DKI Jakarta, tanah longsor di Manggarai, NTT, gempa

Page 11: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

x

bumi di Solok, gelombang pasang yang menghantam pesisir di belasan provinsi yang menghadap Samudra Indonesia, dan lain sebagainya.

Masih lekat dalam ingatan kita ketika di kegelapan malam, Senin 25 Oktober 2010, Pagai Selatan dan Pagai Utara, dua pulau di Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, babak belur dihantam gempa dan diterjang tsunami setinggi 7 meter. Keperkasaan tsunami itu menewaskan sekitar 400 orang dan lebih dari 300 orang dinyatakan hilang, tak diketahui jasadnya.

Tsunami yang diakibatkan gempa bumi tektonik berke-kuatan 7,2 skala Richter itu juga meluluhlantakkan permu-kiman, infrastruktur jalan, kapal nelayan, dan bangunan apa saja yang berada di sekitar pesisir. Bahkan, sarana komunikasi telepon pun sempat terputus lantaran dientak gempa dan di-terjang tsunami

Semua bencana tersebut menimbulkan luka mendalam. Bayangkan, ratusan ribu jiwa meregang nyawa. Sarana dan prasarana luluh lantak. Kondisi lingkungan pun babak belur. Menurut hitungan, kerugian material dan kerusakan lingkungan ditaksir mencapai ratusan triliun rupiah.

Selain berbagai bencana alam tersebut, masyarakat du-nia, tak terkecuali Indonesia juga sedang diguncang isu peru-bahan iklim. Berbagai indikator itu telah ada di depan mata kita. Frekuensi cuaca ekstrim (banjir, kekeringan, dan badai) misalnya, makin sering terjadi akhir-akhir ini sebagai dampak dari perubahan iklim.

Indikator lainnya, masyarakat di berbagai daerah juga mengalami pergeseran musim yang tentu saja mengubah cara mereka bercocok tanam dan menangkap ikan. Di daerah

Page 12: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

xi

lain, suhu udara kian menyengat dibandingkan dengan 20 tahun silam.

Semua fenomena tersebut membutuhkan berbagai upaya mitigasi bencana dan adaptasi perubahan iklim. Mitigasi bencana bertujuan untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh bencana dan adaptasi perubahan iklim membuat kita dapat menyesuaikan diri dengan suasana lingkungan yang baru agar kita tetap dapat hidup dengan aman dan nyaman. Dengan segala keterbatasan ilmu pengetahuan, kami ingin menyumbangkan beberapa pemikiran ke arah itu.

Istilah mitigasi dalam terminologi perubahan iklim berbe-da dengan istilah “mitigasi” dalam terminologi bencana. “Mi-tigasi” dalam terminologi perubahan iklim adalah upaya yang dilakukan untuk mengurangi emisi gas-gas rumah kaca dari sumbernya atau dengan meningkatkan kemampuan alam da-lam menyerap emisi tersebut. Sedangkan adaptasi perubah-an iklim adalah upaya untuk mengatasi dampak perubahan iklim baik yang sifatnya reaktif maupun antisipatif.

Sebagai contoh, dalam kasus dampak asap terhadap sesak nafas akibat kebakaran hutan. Upaya mitigasi dampak asap dilakukan dengan memadamkan kebakaran sehingga dapat mengurangi atau menghilangkan dampak asap terhadap sesak nafas akibat kebakaran hutan. Sedangkan upaya adaptasi dilakukan dengan menggunakan masker penutup hidung sehingga dampak asap kebakaran hutan terhadap sesak nafas dapat dikurangi atau bahkan dihilangkan. Salah satu contoh lain untuk memudahkan dalam memahami dan membedakan istilah mitigasi dan adaptasi dalam perubahan iklim adalah saat seseorang berada di ruang yang dingin akibat menggunakan alat pendingin ruangan (air conditioner

Page 13: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

xii

atau AC). Upaya untuk mengurangi risiko dampak kedinginan dapat dilakukan dengan mitigasi dan adaptasi.

Upaya mitigasi dapat dilakukan dengan menaikkan suhu AC sehingga ruangan menjadi lebih hangat dan nyaman. Se-mentara itu, upaya adaptasi dapat dilakukan dengan meng-gunakan pakaian penghangat badan (jaket). Kedua kegiatan tersebut sama-sama ditujukan untuk mengurangi dampak/ri-siko terhadap kedinginan yang ditimbulkan oleh AC.

Sementara itu, “mitigasi” dalam terminologi bencana di-definisikan sebagai upaya yang dilakukan untuk mengurangi risiko/dampak akibat bencana baik oleh alam maupun ma-nusia. Jadi istilah ‘mitigasi” dalam bencana sudah mencakup mitigasi dan adaptasi dalam perubahan iklim. Mitigasi dan adaptasi dalam perubahan iklim sama-sama ditujukan untuk mengurangi dampak/risiko akibat perubahan iklim.

Pada kesempatan yang baik ini, kami menghaturkan terima kasih kepada pengelola media massa cetak seperti Kompas, Jurnal Nasional, Seputar Indonesia, Suara Pembaruan, Media Indonesia, Majalah Samudra, Tempo, Gatra, dan Jurnal Dinamika Masyarakat. Media-media tersebut telah memberi kesempatan kepada penulis untuk menuangkan berbagai pemikiran mitigasi bencana kepada masyarakat luas.

Kami menyadari buku ini laksana setetes air di samudra luas. Karena itu, segala masukan dan kritikan sangat berarti bagi kami agar buku kecil ini menjadi lebih sempurna di kemudian hari.

Jakarta, November 2011

Subandono Diposaptono

Page 14: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

xiii

– Jika kita bertindak dan bencana terhindarkan, maka kita

mencegah penderitaan manusia yang berat.

– Jika kita bertindak dan tidak ada bencana, maka kita tidak rugi

dan mendapatkan keuntungan berupa lingkungan.

– Jika kita tidak bertindak dan terjadi bencana, akan ada tragedi

global.

– Jika kita tidak bertindak dan tidak ada bencana, akibatnya

akan tergantung semata-mata pada peruntungan.

(Barry Jones, 1990)

Bumi ini cukup untuk kebutuhan seluruh manusia, tetapi tidak

cukup untuk semua keinginan manusia.

(Mahatma Gandhi)

Jadikan mitigasi dan adaptasi bagian dari keseharian hidup kita untuk mendorong iklim perubahan dan mengerem perubahan iklim.

Page 15: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

xiv

Daftar Isi

v Sambutan Menteri Kelautan dan Perikanan RIvii Pengantar Kepala Badan Nasional Penanggulangan

Bencanaix Sekapur Sirih dari Penulis

1 1. Sampai Kapan Berjibaku dengan Tsunami?5 2. Mengakrabi Tsunami13 3. Mitos-Mitos Tsunami17 4. Hidup Bersama Gempa22 5. Membangun Rumah, Menahan Gempa27 6. Mampukah Meramal Tsunami? 35 7. Mitigasi Hindarkan Korban Gempa dan Tsunami44 8. Saatnya Merevolusi Mitigasi Gempa dan Tsunami 48 9. Mendesak, Mitigasi Tsunami Berbasis Masyarakat53 10. Mengenang Tsunami Aceh 2004: Belajar

Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascatsunami dari Okushiri

58 11. Rehabilitasi Pascatsunami yang Ramah Lingkungan67 12. Membangun Selatan Jawa Pascatsunami

Page 16: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

xv

79 13. Menghalau Banjir85 14. Rob di Tengah Isu Pemanasan Global90 15. Meredam Banjir Rob96 16. Mengantisipasi Gelombang Pasang102 17. Penambangan Pasir dan Ekologi Laut110 18. Memanfaatkan Lumpur Sidoarjo116 19. Meredam Abrasi dengan Tuntas132 20. Dampak Pemanasan Global: Pulau-pulau Kecil

Terancam Tenggelam138 21. Potensi Bencana di Indonesia dan Sosialisasinya151 22. Meningkatkan Sinergitas Penanggulangan Bencana

di Indonesia166 23. Merencanakan Pengelolaan Pesisir Berbasis

Mitigasi Bencana

175 Sekilas Penulis

Page 17: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur
Page 18: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

� Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono

Sampai Kapan Berjibaku dengan Tsunami?

Indonesia kembali berduka. Di kegelapan malam, Senin (25/�0/20�0), Pagai Selatan dan Pagai Utara, dua pulau di Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat,

babak belur dihantam gempa dan diterjang tsunami setinggi sekitar 7 meter.

Keperkasaan tsunami itu menewaskan sekitar 400 orang. Selain itu, lebih dari 300 orang dinyatakan hilang, tak diketahui jasadnya. Tsunami yang diakibatkan gempa bumi tektonik berkekuatan 7,2 skala Richter itu juga meluluhlan-takkan permukiman, infrastruktur jalan, kapal nelayan, dan bangunan apa saja yang berada di sekitar pesisir. Bahkan, sarana komunikasi telepon pun sempat terputus lantaran dientak gempa dan diterjang tsunami.

1

Page 19: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

2 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

Kita memang dibuat terpana atas tragedi tsunami yang kian sering melanda kawasan pesisir. Berdasarkan catatan penulis, selama tahun �600 sampai 20�0, Indonesia telah mengalami 110 kejadian tsunami. Artinya, dalam rentang waktu tersebut, kita mengalami tsunami setiap sekitar 4 tahun. Namun, sejak tahun �960 hingga 20�0, kejadian tsu-nami semakin meningkat. Dalam rentang 50 tahun terakhir ini terjadi 23 tsunami atau sekitar setiap dua tahun tsunami melanda pesisir Indonesia.

Sangatlah sulit menjelaskan secara ilmiah alasan tsu-nami lebih kerap terjadi belakangan ini. Kita hanya paham, Indonesia berada pada pertemuan tiga lempeng Bumi, yak-ni Eurasia, Indo-Australia, dan Samudra Pasifik, yang terus bergerak dan bertumbukan. Kondisi ini sangat berpotensi menimbulkan gempa dan tsunami.

Hingga kini, ilmu pengetahuan dan teknologi juga belum mampu menjawab kapan gempa dan tsunami terjadi. Tragedi itu bisa terjadi kapan saja, menyergap yang lengah.

Bagaimana kiat agar kita dapat hidup aman di daerah rawan tsunami? Tak ada cara lain, kita harus selalu siap siaga dalam berjibaku dengan tsunami. Strategi awal yang paling mujarab adalah membekali diri kita dengan pengetahuan tsunami.

Pakar dari Jepang, Prof Tomostuka Takayama dan Dr Susumu Murata, yang berbicara di Jakarta, Rabu (27/10/2010), menuturkan pengalaman mereka meneliti berbagai kasus tsunami, baik di Jepang maupun Cile. Menurut mereka, orang-orang yang selamat dari terjangan tsunami adalah yang memiliki pengetahuan dan memori

Page 20: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

3 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono

tentang tsunami. Sebaliknya, orang- orang yang tidak punya bekal pengetahuan tersebut bakal menjadi korban sia-sia tsunami. Oleh karena itu, pendidikan dan sosialisasi tentang tsunami perlu terus digalakkan.

Ketika tsunami terjadi, tak banyak waktu untuk menyelamatkan diri. Kecepatan berlari manusia sangat tidak seimbang dengan kecepatan tsunami di daratan yang dapat mencapai 30-40 km per jam. Dengan kecepatan sebesar itu, manusia yang berdiri tegak dan tenang sekalipun tak mampu bertahan dari empasan tsunami. Apalagi dalam kondisi panik, tubuh kita mudah tergelincir, hanyut, dan akhirnya tewas tenggelam.

Kita jago berenang? Tampaknya keahlian itu tidak berarti apa-apa karena arus tsunami terus menggulung selama puluhan menit. Arus itu menyeret dan menenggelamkan tubuh kita semakin jauh ke tengah laut.

Jadi, janganlah sekali-sekali berjibaku langsung dengan tsunami. Begitu Bumi terasa bergetar digoyang gempa, lekaslah berlari menjauhi pantai dan mencari tempat yang tinggi dan aman (bukit, bangunan bertingkat yang kokoh, atau pohon) tanpa harus menunggu peringatan. Kalau tidak ada tempat aman, sebaiknya segera dibuat shelter atau menara evakuasi. Shelter ini dibangun di tempat- tempat strategis agar mudah dan cepat dijangkau masyarakat.

Begitu juga ketika air laut surut mendadak. Janganlah tergoda pada ikan menggelepar di dasar laut yang surut. Tinggalkan segera pantai tersebut, lalu berlindunglah ke tempat yang aman dari jangkauan tsunami.

Bagi Anda yang sedang berada di perahu motor atau

Page 21: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

4 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

kapal, segera lajukan ke tengah laut. Langkah ini setidaknya memiliki dua manfaat. Pertama, perahu atau kapal tersebut tidak hanyut dan terseret ke darat sehingga tidak merusak bangunan yang diterjangnya.

Kedua, kapal beserta awaknya dapat selamat. Hal ini bisa terjadi karena kendati kecepatan tsunami di laut dalam (deep sea) lebih besar daripada di laut dangkal (shallow water), ketinggian tsunaminya masih rendah. Kapal pun dapat melaju dengan aman dan terkendali.

Bagi kawasan pesisir yang memiliki aset ekonomi vital, saatnya melindunginya dengan berbagai bangunan pelindung. Bangunan semacam ini dapat meredam tsunami yang akan menerjang permukiman dan bangunan vital lainnya.

Tak kalah penting adalah setiap kabupaten/kota yang rawan tsunami membuat peta risiko tsunami sebagai landasan penataan kawasan dan pembangunan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil agar aman dari terjangan tsunami.

Kalau saja langkah-langkah pintar tersebut dipakai, niscaya kita tidak mudah takluk berjibaku dengan tsunami yang setiap saat mengintai kita.

ctd

Artikel ini dimuat di Kompas edisi 30 Oktober 2010.

Page 22: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

5 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono

Mengakrabi Tsunami

Lagi-lagi kita dibuat sangat prihatin. Kendati telah puluhan kali tsunami menerjang kawasan pesisir Indonesia, masyarakat luas masih belum memahami

fenomena itu. Itulah yang baru saja terjadi di kawasan pesisir utara Kabupaten Serang, Banten, baru-baru ini. Ya, pada Sabtu (5/9/2009) malam, cuaca di kawasan itu memang tak bersahabat. Hujan dan angin bertiup kencang. Banjir rob pun melanda kawasan tersebut.

Di tengah-tengah situasi yang tak wajar itu, beberapa orang sengaja mengembuskan isu tsunami. Akibatnya, warga pun berhamburan. Mereka panik, berlarian menyelamatkan diri sehingga seorang warga meninggal karena kelelahan dan tujuh orang pingsan karena panik (Kompas, 7/9/2009).

Korban sia-sia seperti itu sebenarnya tidak perlu terjadi andai saja masyarakat mengerti dan paham tentang tsunami.

2

Page 23: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

6 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

Tsunami hanya terjadi jika ada gempa di dasar laut, letusan gunung api di laut, longsoran di laut, atau benda langit (meteor) dalam ukuran besar jatuh ke laut. Di luar penyebab itu, Anda tak perlu cemas dan panik.

Lalu, apa upaya yang bisa dilakukan untuk mengurangi korban jiwa akibat tsunami? Berkaca pada pengalaman Je-pang yang sering diterjang tsunami, upaya tersebut adalah dengan melakukan mitigasi tsunami, baik secara fisik mau-pun nonfisik.

Kedua sistem tersebut bisa saling melengkapi, bergan-tung pada daerah rawan tsunami yang akan ditinjau. Oleh karena itu, dalam melakukan upaya mitigasi, perlu dipertim-bangkan faktor fisik, lingkungan, dan sosial budaya. Pelaksa-naannya juga harus melibatkan berbagai instansi terkait.

Mitigasi nonfisikMitigasi nonfisik yang perlu segera dilakukan adalah

pembuatan peta rawan tsunami. Langkah berikutnya mela-kukan sosialisasi, penyadaran, pelatihan, geladi (drill), dan memberikan penyuluhan tentang berbagai hal yang terkait dengan tsunami, mulai dari gejala atau ciri-ciri tsunami, dampaknya, hingga upaya mengevakuasi atau menyelamat-kan diri.

Jangkauan sosialisasi harus sampai ke pelosok-pelosok daerah yang berbentuk teluk dan muara yang padat penduduknya dan rawan bencana. Metodenya pun perlu dilakukan dengan cara yang lebih menarik.

Salah satu alternatifnya bisa melalui media yang benar-benar merakyat, seperti pengajian akbar, wayang

Page 24: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

7 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono

(golek, orang, atau kulit, Cenk Blonk), ketoprak, dangdut, teater rakyat atau kesenian daerah yang lain. Melalui cara penyampaian yang berakar pada budaya mereka sendiri, tsunami bisa dengan mudah mereka pahami.

Pengalaman Departemen Kelautan dan Perikanan dalam melakukan sosialisasi bencana gempa dan tsunami di berbagai daerah melalui media hiburan perlu terus digalakkan. Bukan apa-apa, daya tarik hiburan semacam ini bisa menjadi magnet bagi ribuan warga.

Di tengah-tengah hiburan itulah kita bisa menyampaikan penjelasan dengan bahasa yang mudah ditangkap oleh mereka tentang bencana gempa dan tsunami. Dengan demikian, mereka bisa mengenal gejala, karakteristik, ciri-ciri, dan dampak gempa dan tsunami. Dari sini mereka mendapat pengetahuan mengenai cara-cara menyelamatkan diri dari bencana itu.

Agar sosialisasi tersebut lebih menyentuh nurani me-reka, juru penyuluh bisa menambahkan materi nilai-nilai ke-agamaan yang menerangkan hubungan di antara manusia,

“Lalu, apa upaya yang bisa dilakukan untuk mengurangi korban jiwa akibat

tsunami? Ada dua upaya yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan

mitigasi tsunami, baik secara fisik maupun nonfisik.”

Page 25: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

� MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

alam, dan lingkungannya.Harus diakui, kita masih sangat lemah soal sosialisasi.

Lihat saja faktanya, pemahaman masyarakat terhadap tsunami masih minim. Akibatnya, setiap tsunami selalu menelan banyak korban jiwa dan harta benda.

Masyarakat masih lalai ketika melihat air pantai surut seketika. Mereka malah asyik memungut ikan-ikan yang menggelepar di pasir yang kering. Apa boleh buat, tak lama setelah itu mereka menjadi korban keganasan tsunami.

Begitu juga soal sosialisasi yang masih terasa belum memasyarakat. Kita amat prihatin melihat masyarakat yang mudah terkena isu. Hal itu terlihat jelas ketika pesisir utara Kabupaten Serang dilanda rob. Mereka yang tinggal di pe-sisir berbondong-bondong meninggalkan rumah untuk me-nyelamatkan diri menghindari tsunami.

Padahal, secara ilmiah, tsunami hanya terjadi apabila ada faktor pemicu, seperti gempa bumi di laut, meletusnya gunung api di laut, atau longsoran tanah di laut. Seperti pepatah, sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Selain mereka menjadi korban meninggal, pingsan, dan luka-luka saat melarikan diri, rumah yang mereka tinggalkan juga kerap menjadi sasaran penjarah oleh oknum yang memang ingin mengail di air keruh.

Perlu dicatat, tidak semua gempa bumi di laut menye-babkan tsunami. Tsunami terjadi apabila gempa di dasar laut memiliki kekuatan lebih dari 6,5 skala Richter, pusat gempa-nya termasuk dangkal (kurang dari 60 kilometer dari dasar laut), dan sesar yang terjadi merupakan sesar naik dengan deformasi vertikal dasar laut relatif besar. Itulah mengapa

Page 26: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

9 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono

gempa bumi Tasikmalaya tidak menimbulkan tsunami. Jadi, kalau ketiga syarat tersebut tidak terpenuhi, jangan panik, tsunami tak akan terjadi.

Mitigasi secara nonfisik lainnya perlu dilakukan, seper-ti memberlakukan peraturan perundangan dan tata ruang yang aman. Pemerintah daerah harus konsisten dalam me-negakkan peraturan dan tata ruang. Artinya, kalau memang kawasan itu dianggap rawan tsunami, janganlah sekali-seka-li memanfaatkan kawasan tersebut untuk ruang usaha atau peruntukan lainnya.

Siapa pun yang melanggar, wajib dikenai sanksi. Sebab, kalau mereka dibiarkan begitu saja, ketika tsunami mener-jang, korban berjatuhan semakin tinggi akibat banyaknya manusia yang beraktivitas di sana.

Mitigasi secara fisikDi daerah pantai yang gundul, masyarakat bisa mengu-

payakan perlindungan yang ramah lingkungan bagi dirinya, yaitu dengan menanam berbagai pohon, seperti mangrove, cemara laut, waru laut, dan ketapang, disesuaikan dengan kesesuaian lahannya. Upaya ini tergolong mudah dilakukan, murah, dan terbukti efektif dalam meredam kekuatan tsu-nami yang menjalar hingga ke daratan.

Selain itu, benda-benda yang berada di pantai, seperti kapal dan perahu, juga bisa tertahan oleh vegetasi ini sehing-ga jumlah korban dan kerusakan bangunan bisa diperkecil. Banyak warga juga tertolong nyawanya dari sapuan tsunami dengan cara berpegangan di pohon lalu naik ke atas.

Upaya lainnya adalah membuat sarana evakuasi yang

Page 27: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

�0 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

terbilang sederhana dan murah. Manfaatkan pohon kelapa atau pohon lain yang banyak berjajar di pantai. Caranya, lubangi batang tersebut secukupnya sehingga bisa memu-dahkan manusia memanjat pohon ketika tsunami terjadi. Pada ketinggian tertentu, pohon tersebut dipasang bel atau lonceng sebagai alat bantu untuk minta pertolongan atau memberikan peringatan kepada masyarakat.

Selain itu, di sepanjang daerah rawan tsunami juga bisa saja dibuat prasarana dan sarana pengendali, seperti mem-bangun tembok laut (sea wall) atau pemecah gelombang (break water). Cara ini memang butuh ongkos tinggi.

Namun, biaya untuk membuat tembok laut tersebut ti-dak ada artinya dibandingkan dengan aset-aset vital bernilai ekonomi tinggi yang ingin dilindungi, seperti kilang minyak, industri padat modal, dan kawasan strategis lainnya. Di

Gambar 4.1 Vegetasi tanaman di pinggir pantai berfungsi meredam kekuatan tsunami.

Page 28: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

�� Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono

beberapa kawasan pantai Jepang, mereka juga memben-tenginya dengan tembok sampai pada ketinggian yang su-dah tidak terjangkau lagi oleh tsunami.

Rumah penduduk juga harus memiliki struktur kuat sehingga tahan terhadap guncangan gempa. Rumah pang-gung, baik terbuat dari kayu maupun beton, bisa menjadi alternatif karena tidak mudah roboh akibat terjangan tsuna-mi. Usahakan arah orientasi bangunan tegak lurus dengan pantai sehingga sejajar dengan arah penjalaran tsunami.

Di tempat-tempat yang jauh dari bukit dan penduduknya padat perlu dibuat selter (shelter). Bangunan ini sebaiknya bertingkat dan terbuat dari beton yang kokoh sehingga tahan terhadap gempa dan tsunami. Pada hari-hari biasa, selter

Gambar 4.2 Bukit berfungsi sebagai tempat evakuasi ketika terjadi tsunami juga dapat melindungi tanaman dari uap air laut.

Page 29: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

�2 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

bisa dimanfaatkan sebagai tempat sekolah, pertemuan, tempat rekreasi, dan lain-lain. Namun, ketika tsunami, selter bisa dipakai sebagai tempat berlindung.

Jika lahan terbukanya luas tetapi tidak punya bukit, bisa dibangun bukit buatan (artificial hill). Tujuannya untuk menyelamatkan diri atau sebagai tempat evakuasi sewaktu terjadi tsunami. Bukit tersebut bisa dibuat dari urukan tanah dengan sistem terasering sehingga dapat diakses dari berbagai arah.

Tinggi selter dan bukit buatan itu disesuaikan dengan tinggi maksimum kemungkinan tsunami menjangkau lokasi tersebut. Usahakan bukit dan selter tersebut bisa ditempuh oleh warga dalam waktu kurang dari �5 menit.

Melalui berbagai upaya mitigasi secara nonfisik dan fisik seperti itu, niscaya kita lebih arif dan bijaksana dalam menghadapi setiap tsunami. Dengan begitu, ke depan kita senantiasa bisa hidup akrab dengan tsunami yang setiap kali mengintai.

ctd

Artikel ini dimuat di Kompas edisi 8 September 2009.

Page 30: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

�3 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono

Mitos-Mitos Tsunami

Mengapa jumlah korban tsunami Jepang 20�� relatif kecil? Salah satu faktornya adalah karena masyarakat Jepang memiliki pengetahuan tsu-

nami yang sangat baik. Hal ini berbeda dengan di Indonesia, Thailand, dan Sri Lanka yang minim pengetahuan sehingga menelan lebih banyak korban.

Pengetahuan yang baik tentang tsunami akan membantu kita selamat dari amukan si gelombang pembunuh. Lalu, apa mitos-mitos yang selama ini berkembang di masyarakat yang membuat mereka menjadi korban, termasuk juga di Jepang pada tempo dulu?

Mitos Keliru

Mitos pertama adalah tsunami terjadi akibat gempa yang kuat, sebagaimana anggapan masyarakat Mentawai.

3

Page 31: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

�4 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

Pengetahuan ini diperoleh dari pengalaman gempa Bengkulu (2007). Gempa tersebut terasa kuat hingga ke Mentawai, namun tsunami tak terjadi di Mentawai.

Memori inilah yang melekat di benak mereka ketika 25 Oktober 20�0 Mentawai digoyang gempa dan getarannya lemah. Mereka pun merasa tenang-tenang saja dan tidak melakukan evakuasi. Sekitar �4 menit setelah gempa, tsu-nami menyapu mereka yang tak sigap. Fakta menunjukkan, hampir �0 persen tsunami yang terjadi di dunia diakibatkan oleh gempa bumi di laut yang getaran gempanya terasa le-mah.

Mitos kedua adalah tsunami didahului laut surut secara mendadak. Ketika terjadi tsunami 2004, sebagian masyarakat Sri Lanka memiliki mitos bahwa tsunami akan didahului laut surut secara mendadak. Ternyata mereka keliru, tsunami langsung menyapu kawasan pesisir, tidak didahului oleh laut surut mendadak.

Akibatnya, banyak korban berjatuhan. Fakta menunjuk-kan, hampir 10 persen tsunami di dunia tidak didahului laut surut mendadak. Hal ini juga terjadi di Papua akibat tsunami Jepang 20��.

Mitos ketiga adalah tsunami tidak terjadi ketika getaran gempanya kuat, di musim dingin, dan langit yang cerah. Pada �5 Juni ��96 saat terjadi gempa, langit di Sanriku (Jepang) berawan tebal dengan cuaca sangat panas dan lembab. Getaran gempa terasa sangat lemah. Setelah itu, Sanriku disapu tsunami dahsyat setinggi 38 meter.

Berdasarkan peristiwa tersebut, masyarakat lalu mem-buat persepsi sendiri: “Jika getaran gempanya lemah maka

Page 32: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

�5 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono

tsunami yang terjadi besar, dan tsunami terjadi pada musim panas ketika udara lembab dan hujan.” Ketika pengetahuan ini diceritakan turun-temurun maka berkembanglah mitos baru yang yang keliru: “Apabila getaran gempanya kuat maka tsunami yang terjadi lemah (kecil), tsunami tidak ter-jadi pada musim dingin, dan tsunami tidak terjadi di hari cerah.”

Kemudian pada 3 Maret �933, Sanriku dihentak gempa kuat pada musim dingin dengan cuaca cerah. Apa yang terjadi? Masyarakat yang menganut mitos keliru tadi tidak melakukan evakuasi. Mereka yakin, tsunami tidak terjadi ketika getaran gempanya kuat, di musim dingin, dan langit yang cerah. Akibatnya korban pun berjatuhan.

Padahal tsunami dapat terjadi pada gempa yang lemah atau kuat dengan berbagai kondisi cuaca apa pun. Syarat terjadinya tsunami adalah gempa di laut berkekuatan lebih dari 6,5 SR, pusat gempanya kurang dari 60 km, dan mengalami deformasi vertikal dasar laut yang cukup besar.

Mitos keempat, gelombang pertama tsunami meru-pakan gelombang terbesar. Akibat mitos keliru ini seorang warga Holtekamp Jayapura menjadi korban tsunami Jepang 2011. Setelah gelombang pertama setinggi satu meter yang menghantam Holtekamp pukul 2�.�5 WIT berlalu, dia ber-maksud kembali ke rumah.

Tetapi apa daya, ia dihantam gelombang kedua setinggi 2-3 meter yang datang pada pukul 2�.50 WIT. Fakta menunjukkan, tsunami terdiri dari �- 5 gelombang dengan gelombang ke-2 atau ke-3 yang terbesar.

Page 33: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

�6 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

Kearifan LokalLalu apa kiat agar selamat dari tsunami? Belajar dari

kearifan lokal adalah hal yang penting. Masyarakat di Pulau Simelue sudah lama memiliki tradisi smong, segera angkat kaki ketika merasakan gempa yang terjadi di laut. Mereka pun melakukan evakuasi menuju dataran tinggi agar tidak tersentuh gelombang tsunami. Berkat smong itulah, kendati kawasan pesisir Simelue luluh lantak disapu tsunami 2004 namun hampir semua masyarakatnya selamat.

Kearifan lokal Inamura no hi di Jepang juga menarik. Jauh sebelum teknologi peringatan dini tsunami berkembang seperti saat ini, seorang tokoh masyarakat, Hamaguchi, punya kiat tersendiri. Di kegelapan malam, pada tahun ��54, kawasan Wakayama digoyang gempa.

Ia merasakan ada sesuatu yang ganjil, namun tak mung-kin memberi tahu kepada semua penduduk pantai melaku-kan evakuasi. Dalam sekejap, ia pun mengambil obor, menu-ju bukit, lalu membakar sawah dan lumbung padi. Kondisi ini memaksa penduduk berbondong-bondong ke bukit untuk melihat kobaran api tersebut. Taktik Hamaguchi ber-hasil. Begitu penduduk sampai di bukit, tsunami menyapu perkampungan yang sudah ditinggalkannya itu. Mereka akhirnya selamat dari terjangan tsunami.

Belajar dari berbagai kisah nyata tersebut, kita patut membudayakan kearifan lokal. Dengan begitu, kita selalu sigap dan dapat hidup tenang di bawah ancaman tsunami yang setiap saat meneror dan membunuh siapa saja yang lengah.

Page 34: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

�7 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono

Hidup Bersama Gempa

Rentetan gempa merusak yang terjadi akhir-akhir ini kian mempertegas, Indonesia merupakan kawasan rawan gempa.Terakhir gempa Padang, Sumatera

Barat, Rabu (30/9/2009) sore, berkekuatan 7,6 skala Richter, menghancurkan kota Padang dan Pariaman. Kamis (�/�0/2009) pagi, gempa mengguncang Jambi. Ratusan orang tewas, ratusan tertimbun runtuhan rumah dan bangunan, Bandara Internasional Minangkabau, Padang, pun sempat ditutup.

Suka atau tidak, gempa bumi bakal muncul di daerah-daerah yang rawan gempa. Hal ini tidak bisa dihindari karena secara geologis, Indonesia ada pada pertemuan tiga lempeng bumi: Eurasia, Samudra Pasifik, dan Indo-Australia. Ketiga lempeng itu bergerak aktif, kecepatan dan arah berbeda dalam kisaran beberapa sentimeter sampai 12

4

Page 35: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

�� MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

sentimeter per tahun.Karena itu, mitigasi gempa penting dilakukan. Hingga

kini belum ada teknologi dan pakar yang dapat meramal kapan gempa akan terjadi meski dibantu alat monitoring tercanggih. Pengetahuan manusia baru sebatas pemahaman wilayah yang berpotensi terhadap bahaya gempa.

Enam upayaSudah banyak korban berjatuhan. Setidaknya ada enam

upaya komprehensif dalam melakukan mitigasi gempa, baik secara fisik/struktur maupun nonfisik/nonstruktur, guna mengurangi korban jiwa dan kerusakan.

Pertama, program riset di bidang gempa. Riset dituju-kan untuk mengetahui lokasi yang berpotensi terjadi gem-pa; menganalisis dan membuat peta tingkat bahaya, keren-tanan, dan risiko bencana; memilih teknologi mitigasi ben-cana gempa yang tepat, efektif, dan efisien; serta memilih teknologi retrofitting bangunan yang ada dan diperkirakan tidak tahan gempa.

Kedua, membangun sistem peringatan dini yang andal, baik secara struktur maupun kultur, mencakup jaringan seismometer, global positioning system (GPS) pemantau proses gempa bumi.

Ketiga, memberi pendidikan, pelatihan, penyadaran, dan geladi bagi masyarakat dan petugas pelaksana penang-gulangan bencana. Tujuannya, membangun kesiapsiagaan masyarakat dan aparat pelaksana dalam melakukan mitigasi gempa.

Keempat, membangun kesiapan pelaksanaan evakuasi

Page 36: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

�9 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono

dan tanggap darurat dengan membuat jalur evakuasi, membuat bangunan sebagai tempat berlindung, menyiapkan sarana-prasarana untuk membantu korban dalam situasi tanggap darurat, serta menyiapkan makanan di tempat yang aman dan strategis bagi korban.

Kelima, meningkatkan kelembagaan dan tata laksana koordinasi. Unsur ini memungkinkan pemerintah mena-ngani aspek bencana dengan efektif, menggalang dan men-dayagunakan sumber daya yang ada. Karena itu, pendirian Badan Penanggulangan Bencana Daerah di Indonesia perlu segera didorong.

Keenam, melaksanakan rencana pengembangan wilayah dan pembangunan yang aman. Secara spasial atau keruang-an, sebaran bahaya, elemen yang rentan, dan potensi risiko yang ada dapat dituangkan dalam rencana pengembangan wilayah.

Bagi kawasan berisiko gempa, pemerintah dapat mem-beri pengarahan untuk kegiatan mitigasi. Rumah dan ba-ngunan harus diretrofit, dibangun agar tahan gempa, dite-rapkan building code ketat.

Rumah tahan gempaKita prihatin, tiap gempa menggoyang Indonesia,

banyak bangunan luluh lantak dan menimbulkan korban jiwa. Sebenarnya gempa tidak membunuh. Yang membunuh adalah bangunan yang roboh yang dientak gempa. Masalahnya, konstruksi bangunan tidak tahan gempa. Rumah dibangun seadanya. Material yang digunakan kurang memenuhi syarat teknis. Faktanya, dinding tembok tidak

Page 37: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

20 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

diperkuat sloop, balok lingkar, dan kolom praktis. Kalaupun diperkuat dengan balok lingkar dan kolom beton, ukurannya kurang memenuhi syarat.

Selain itu, antara fondasi, sloop, balok lingkar, dan kolom praktis kurang tersambung dengan baik. Lalu, pada bagian atap, terutama yang terbuat dari genteng, juga sering roboh tak kuasa menahan guncangan gempa.

Faktor lain yang dapat menyebabkan kerusakan dan keruntuhan bangunan adalah kurangnya pemeliharaan bangunan. Akibatnya, bangunan mengalami pelapukan dan tidak mampu menahan gempa.

Berdasarkan fenomena inilah mitigasi secara fisik yang amat penting dilakukan adalah dengan membuat rumah atau bangunan tahan gempa. Lebih baik membangun bangunan yang kokoh walaupun ukurannya kecil daripada membangun rumah yang besar tetapi rapuh. Setidaknya ada �3 syarat untuk membuat bangunan tahan gempa, di antaranya denah bangunan sebaiknya sederhana, simetris, satu kesatuan, dan seragam.

Tidak lupa, buatlah fondasi di atas tanah yang mantap. Fondasi itu diikat secara kaku dengan sloop. Lalu, kerangka bangunan (sloop, kolom, balok keliling, dan lainnya) kokoh terhubungkan.

Syarat lain, gunakan kolom pemikul (kayu, beton tulang, dan baja) untuk setiap luas dinding 12 meter persegi yang diikat sloop dan balok keliling. Jika menggunakan bata/batako, harus bermutu baik.

Selain itu, dinding harus diberi angkur berukuran 6 mm panjang 50 cm untuk tiap 30 cm pasangan bata yang

Page 38: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

2� Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono

mengelilingi tepi dinding. Ingat, konstruksi dinding sebaiknya dari bahan ringan (bilik, papan, papan lapis, dan lainnya). Bukaan-bukaan pada dinding sebaiknya simetris dan tidak terlalu lebar.

Adukan semen pun perlu diperhatikan. Gunakan adukan semen-pasir dengan campuran yang betul dan kuat. Untuk beton gunakan semen, pasir, dan kerikil dengan rasio campuran yang tepat.

Tak kalah penting, menggunakan balok keliling (balok ring) dari kayu, beton, atau baja yang diikat kolom. Konstruksi atap sebaiknya dari kayu kering dengan konstruksi sambungan yang benar dan kuat.

Jangan gunakan penutup atap yang berat, tetapi pakailah bahan ringan seperti seng, asbes, dan aluminium.

Dengan menerapkan keenam upaya mitigasi itu secara komprehensif, niscaya kita bisa hidup akrab dengan gempa yang terjadi setiap saat.

ctdArtikel ini dimuat di Kompas edisi 2 Oktober 2009.

Page 39: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

22 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

Membangun Rumah, Menahan Gempa

Gempa berkekuatan 7,6 skala Richter di Padang Pariaman, Sumatera Barat, Rabu (30/9/2009) sore, dan 7,0 SR di Jambi pada Kamis (�/�0/2009)

pagi harusnya menjadi pelajaran penting bagi kita semua. Bukan apa-apa, gempa itu telah merusakkan segalanya. Hanya dalam tempo sekejap, keindahan ranah Minang itu meredup.

Lebih dari �00 orang tewas, ribuan terluka, dan ribuan rumah ambruk, rata dengan tanah. Total kerugian ditaksir lebih dari Rp 2 triliun. Daerah dengan dampak terbesar adalah Kota Padang, Kota Pariaman, Kabupaten Padang Pariaman, Kabupaten Agam, Kabupaten Pasaman, dan Kabupaten Pasaman Barat.

Menurut pengamatan penulis setelah melihat langsung

5

Page 40: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

23 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono

ke berbagai lokasi, konstruksi mayoritas rumah yang rusak ternyata tidak memenuhi syarat teknis (non-engineered housing).

Hancurnya rumah disebabkan beberapa hal. Di anta-ranya, konfigurasi rumah. Ketidakteraturan denah meng-akibatkan gaya puntir dan konsentrasi tegangan sehingga menghancurkan bagian bangunan.

Selain itu, rumah yang roboh itu tidak memiliki kolom praktis, balok keliling (ring balk), dan sloof. Tanpa hal-hal itu, rumah mudah roboh atau ambles. Kalaupun ada, ukurannya tidak memenuhi syarat.

Ketidaksempurnaan sambungan mengakibatkan ele-men-elemen struktur tidak terikat baik. Mutu material, se-perti bata, kayu, pasir, dan bahan beton yang rendah, juga berdampak pada kualitas bangunan.

Jika kualitas pekerjaannya buruk—adukan beton salah, campuran adukan salah, penyusunan bata sembarangan, detail pembesian salah, sambungan kayu atau beton bu-ruk, pengangkeran (anchoring) buruk, dan lain sebagainya, rumah gampang roboh. Kurangnya pemeliharaan juga mem-perlemah kekuatan bangunan.

Rumah ramah bencanaBerdasarkan fenomena tersebut, sudah saatnya kita

berbenah. Departemen Kelautan dan Perikanan telah menginisiasi pembangunan rumah ramah bencana sejak 2006. Sampai 200� telah dibangun sekitar 497 rumah di �� kabupaten/kota. Rumah-rumah itu telah terbukti ampuh dan tetap kokoh berdiri walaupun digoyang gempa. Di Kota

Page 41: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

24 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

Pariaman dan Kabu-paten Agam, misal-nya, semua rumah itu mampu bertahan.

Demikian juga rumah ramah ben-cana yang dibangun di Kabupaten Pesisir Se-latan. Rumah- rumah itu tahan terhadap gempa Bengkulu 7,4 SR, Rabu (�2/9), dua tahun lalu.

Pada tahun 2009 sedang dibangun 2.236 unit rumah nelayan ramah bencana di 55 kabupaten/kota. Di Kabupa-ten Agam, dari 50 rumah yang sedang dibangun, �4 rumah dindingnya roboh digoyang gempa Padang Pariaman. Pasal-nya, dinding baru dikerjakan setinggi 1 meter dan kondisi-nya masih basah. Kolom praktis belum dicor sehingga belum ada ikatan yang baik antara dinding dan kolom praktis.

Ada dua tipe rumah yang dikembangkan, yakni non-panggung dan panggung. Bagi daerah di luar rayapan tsu-nami, rumah berbentuk nonpanggung. Adapun kawasan yang rawan tsunami dengan kedalaman genangan tsunami kurang dari 3 m dibuat rumah panggung.

Dibentuk panggung agar tsunami dapat leluasa lewat sehingga mengurangi beban horizontal pada struktur. Di hari biasa, lantai bawah dapat digunakan untuk santai, parkir, kios, memperbaiki jaring, menimbang ikan, dan lain sebagainya. Lantai-lantai di atasnya bisa dipakai untuk mengungsi saat tsunami.

Gambar 2.1 Rumah panggung untuk daerah yang rawan tsunami.

Page 42: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

25 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono

Denah bangunan sederhana, simetris, satu kesatuan, dan seragam. Ukuran rumah rata-rata 27,5 meter persegi. Arah bangunan dibuat sedapat mungkin sejajar dengan arah penjalaran gelombang tsunami atau tegak lurus garis pantai agar tekanan air ke bangunan lebih kecil.

Sloof dipasang di atas seluruh panjang fondasi untuk mendukung dan meratakan beban tembok di atasnya dan meneruskannya ke fondasi di bawahnya. Sloof juga berfung-si mencegah naiknya air dari bawah ke atas tembok. Khusus untuk rumah panggung, sloof dipasang untuk menghubung-kan tiap-tiang panggung dan dapat berfungsi sebagai lateral bracing (penguat horizontal) terhadap hantaman tsunami.

Kolom praktis dibuat untuk menguatkan tembok dan tiang pendukung, dipasang dengan jarak maksimum 3 meter, pada pasangan tembok lurus dan pertemuan-pertemuan tembok. Balok keliling fungsinya untuk meratakan beban kuda-kuda dan rangka atap, rangka plafon ke dinding, atau kolom bawahnya.

Struktur rumah panggung diperhitungkan guna menga-tasi benturan benda keras akibat kapal atau benda lain yang terlempar ke pantai. Tiang rumah panggung sebaiknya dari beton dan berbentuk silinder—agar bidang sentuhan dan benturan dengan puing yang hanyut sekecil mungkin.

Fondasi rumah panggung berbentuk telapak (foot plate) dan terhubung kuat dengan sloof dan tiang rumah. Fondasi diletakkan �,5 meter di bawah permukaan tanah agar ketahanannya lebih baik, guna menahan gerusan akibat arus air deras. Tsunami dapat menggerus tanah hingga sedalam �,5 meter.

Page 43: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

26 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

Pola Bantul dan KlatenUntuk membangun rumah tahan gempa dan tsunami

secara efisien dan efektif, kita layak meniru kegiatan rekonstruksi rumah akibat gempa di Bantul dan Klaten, model Java Reconstruction Fund (JRF).

Sekitar 6.0�0 rumah tahan gempa dibuat JRF tanpa tender. Kontraktor tak dilibatkan. Masyarakat melaksanakan dan mengawasi pembangunan rumahnya secara langsung.

Setiap kepala keluarga yang rumahnya roboh atau rusak berat mendapat bantuan Rp 20 juta untuk membuat rumah tahan gempa 2� m-27 m. Sebagian dari mereka mengeluarkan uang pribadi untuk tambahan agar rumah lebih cantik dan elok.

Agar proses pembangunan berjalan sesuai standar rumah tahan gempa, mereka didampingi konsultan. Konsultan pendamping mengawasi pelaksanaan pembangunan rumah, mulai dari mutu material bangunan sampai teknik-teknik pembuatan rumah. Konsultan digaji JRF.

Kini, para korban itu sudah menikmati rumah-rumah tahan gempa tersebut. Hidup mereka jauh lebih tenang. Lebih dari itu, tak ada uang bantuan yang bocor karena berbagai hal.

ctdArtikel ini dimuat di Kompas edisi 20 Oktober 2010.

Page 44: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

27 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono

Mampukah Meramal Tsunami?

Kepanikan hebat melanda masyarakat Banda Aceh ketika sirene sistem peringatan dini (early warning system) tsunami berdering pada Selasa (5/6/2007)

pagi. Mereka berlarian mencari tempat aman agar terhindar dari tsunami. Maklum, mereka masih trauma akibat tsunami dahsyat yang pernah melanda kawasan pesisir Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) Desember 2004.

Nyatanya memang tidak ada gempa dan tsunami. Bukan apa-apa, bunyi tersebut akibat dari kerusakan yang terjadi pada alat pendeteksi tsunami.

Di tempat lain, isu-isu bakal terjadinya gempa dan tsu-nami juga marak. Entah dari mana isu itu bertiup. Yang jelas kini masyarakat di kawasan pesisir menanti penuh cemas akan hadirnya bencana alam tersebut.

6

Page 45: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

2� MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

Isu-isu semacam itu jelas menyesatkan. Betapa tidak, saat ini belum ada satu teknologi pun yang dapat meramalkan tanggal dan tempat kejadian gempa dan tsunami secara pasti. Jangankan dalam hitungan tahun dan bulan. Dalam bilangan hari pun belum ada ahli yang mampu meramalkan tsunami.

Sejarah mencatat, sejak �600 hingga Mei 2007, �0� tsunami melanda kawasan pesisir Indonesia. Artinya, tsunami menghampiri kita setiap sekitar empat tahun. Seringnya tsunami itu tidak terlepas dari letak Indonesia yang memang secara alami merupakan daerah pertemuan tiga lempeng (triple junction plate convergence) yakni Eurasia, Samudra Pasifik, dan Indo-Australia. Ketiga lempeng itu bergerak aktif dengan kecepatan dan arah yang berbeda, yaitu bergerak relatif ke barat dan ke utara terhadap Eurasia.

Konsekuensi logisnya, Benua Maritim Indonesia meru-pakan daerah yang secara tektonik sangat labil di dunia. Ka-wasan itu juga terkenal sebagai salah satu pinggiran benua yang sangat aktif di muka bumi. Dibandingkan dengan gem-pa di Amerika Serikat maka Indonesia memiliki frekuensi gempa �0 kali lipatnya.

Proses terjadinya tsunami tidak terlepas dari teori tek-tonik lempeng yang berkembang pesat pada akhir �960-an. Teori ini mengasumsikan bahwa interior bumi tersusun dari empat lapisan; litosfer, astenosfer, mesosfer, dan inti bumi.

Litosfer merupakan lapisan terluar bumi. Lapisan ini ter-letak pada kedalaman kira-kira sampai �00 km. Sementara itu, astenosfer berada pada kedalaman �00 - 700 km. Beri-kutnya, mesosfer dengan kedalaman 700 – 2.900 km dan

Page 46: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

29 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono

inti bumi berkedalaman 2.900 – 6.370 km. Lapisan astenos-fer dan mesosfer disebut sebagai mantel bumi.

Teori tektonik lempeng mengasumsikan bahwa litosfer terdiri dari materi agak cair dan plastis yang dapat mengalir di bawah pengaruh suatu tegangan. Dengan demikian, seo-lah-olah litosfer mengambang di atas mantel bumi.

Menurut teori ini, litosfer terpecah belah menjadi be-berapa bagian yang kemudian disebut lempeng bumi. Se-tidaknya, terdapat enam lempeng besar; Eurasia, Pasifik, Amerika, Indo-Australia, Afrika, dan Antartika. Keenam lem-peng tersebut bergerak dengan arah dan kecepatan yang berbeda.

Pergerakan lempeng ini disebabkan adanya arus konveksi yang ditimbulkan oleh bergeraknya aliran panas dari perut bumi. Atenosfer, lapisan bawah litosfer, merupakan batuan setengah cair, akibat adanya arus konveksi yang terjadi di dalam astenosfer menyebabkan atenosfer bergerak. Dapat dimaklumi apabila litosfer yang berada di atasnya juga bergerak. Pergerakan ini menimbulkan gesekan yang dapat menyebabkan gempa bumi.

Terjadinya gempa diperkirakan sudah ada sejak planet bumi kita terbentuk. Akan tetapi catatan sejarah menunjuk-kan, manusia baru bisa melaporkan pertama kali terjadinya gempa sekitar tahun ��00 SM.

Lalu bagaimana tsunami terjadi? Menurut Prof. Yoshiaki Kawata, Direktur DPRI (Disaster Prevention Research Insti-tute), Universitas Kyoto, terjadinya tsunami disebabkan oleh pergerakan air dalam volume besar secara vertikal. Perge-rakan itu disebabkan tiga hal.

Page 47: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

30 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

Pertama, apabila terjadi gempa di dasar laut yang berkekuatan lebih dari 6,5 SR, pusat gempanya termasuk dangkal kurang dari 60 km dari dasar laut, dan sesar yang terjadi merupakan sesar naik dengan deformasi vertikal dasar laut relatif besar.

Secara alami, wilayah Indonesia termasuk daerah yang rawan tsunami yang diakibatkan oleh gempa dasar laut. Bukan apa-apa, di situlah tempat bertemunya empat lempeng besar; Eurasia, Indo-Australia, Samudra Pasifik, dan Filipina. Keempat lempeng itu terus bergerak dalam arah dan kecepatan yang berbeda. Lempeng Indo-Australia di bagian selatan dan barat Sumatera misalnya, bergerak rata-ata 6 cm per tahun.

Lempeng Samudra Indo-Australia tersebut bergerak terus-menerus menghunjam lempeng benua Eurasia (Gambar 6.�a). Bagian ujung dari lempeng benua Eurasia tertarik turun secara berangsur-angsur dan terus-menerus sehingga terjadi akumulasi tegangan (Gambar 6.�b).

Akibat akumulasi tegangan yang mencapai batasnya maka terjadi gempa dan ujung lempeng benua Eurasia melenting ke atas. Pergerakan vertikal ujung lempeng benua Eurasia ini menimbulkan gangguan impulsif medium laut yang dapat menyebabkan terjadinya tsunami (Gambar 6.�c).

Penyebab kedua, adanya tanah longsor. Sebuah gelom-bang tsunami dapat saja ditimbulkan oleh sebuah tanah longsor yang berawal dari atas permukaan laut (sea level) dan kemudian turun masuk ke dalam laut, atau oleh sebuah tanah longsor yang terjadi seluruhnya di bawah air.

Page 48: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

3� Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono

Gambar 6.1. Proses terjadinya tsunami akibat gempa bumi bawah laut.

Penyebab ketiga, letusan gunung berapi. Contoh konkret adalah tsunami hebat yang pernah terjadi ketika Gunung Krakatau meletus pada ���3.

Berdasarkan catatan, selama periode tahun �600 sam-pai 2006 terjadi sekitar �0� tsunami. Dari jumlah itu, sekitar 90% di antaranya disebabkan gempa tektonik, 9% akibat le-tusan gunung api, dan hanya �% dipicu oleh tanah longsor.

Kawasan pesisir yang berpotensi terkena tsunami tersebar mulai dari pantai barat Sumatera, pantai selatan Pulau Jawa dan Bali, pantai utara dan selatan pulau-pulau Nusa Teggara, Maluku, pantai utara Papua, serta hampir seluruh pantai timur dan barat Sulawesi bagian utara.

Hingga kini, sekitar 35 peristiwa tsunami menghantam pesisir di laut Banda yang meliputi Flores, Timor, Kepulauan Banda, Kepulauan Tanimbar, Seram, dan Pulau Buru. Selan-jutnya, 32 peristiwa tsunami menerjang pesisir yang berada di Laut Maluku termasuk Sangihe dan Halmahera.

Bukan hanya itu. Sekitar �� kejadian tsunami melanda pantai barat Sumatera. Sementara itu, pantai selatan Jawa,

a b c

Page 49: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

32 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

Bali, pantai utara dan selatan Lombok, Sumbawa, serta Sumba pernah dihantam �� kali tsunami. Lalu, Selat Makasar pernah diterjang 9 kejadian tsunami. Sedangkan pesisir sebelah utara Papua pernah dihantam 3 kali tsunami.

Meramal TsunamiLalu, mampukah kita meramal tsunami? Mengingat

mekanisme terjadinya gempa dan tsunami sangat kompleks dan rumit maka hingga kini tsunami sulit diramalkan baik dalam hitungan hari, minggu, bulan, maupun tahun. Yang dapat dilakukan adalah mendeteksi terjadinya tsunami.

Ada beberapa langkah yang dilakukan untuk mendeteksi terjadinya tsunami. Tahap awal adalah dengan menentukan lokasi sumber gempa bumi secara cepat dan tepat. Lalu, perlu juga menganalisis apakah gempa bumi itu berpotensi menimbulkan tsunami. Terakhir mengonfirmasi kejadian tsunami dengan hasil pengamatan permukaan laut.

Apabila dikehendaki informasi dini tsunami dapat disam-paikan dalam lima menit pertama, maka parameter gempa bumi (waktu kejadian, lokasi, kedalaman, dan magnitude) harus mampu ditentukan dalam tiga menit pertama. Berda-sarkan persyaratan ini dapat dirancang konfigurasi stasiun seismograf untuk suatu wilayah tertentu dengan memper-hatikan sifat dan dinamika tektonik di sekitarnya.

Rancangan ini akan menunjukkan jumlah stasiun yang harus dipasang dan sistem komunikasi data yang harus digunakan. Untuk mendapatkan parameter gempa bumi dengan cepat dan tepat dibutuhkan dua sistem pengolah dan analisa data; otomatis dan interaktif.

Page 50: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

33 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono

Sistem otomatis diperlukan agar hasil analisa diperoleh dengan cepat. Namun karena kualitas data bervariasi maka ketepatan hasil analisa perlu dievaluasi dengan cara inter-aktif. Teknik interaktif memerlukan waktu yang relatif lebih lama sehingga dapat digunakan sebagai konfirmasi.

Hasil analisa otomatis harus dievaluasi untuk menge-tahui apakah gempa bumi yang terjadi berpotensi menim-bulkan tsunami. Artinya, setidaknya ada empat syarat; pusat gempa bumi berada di dasar laut, kedalaman gempa bumi kurang dari 60 km dari dasar laut, magnitude gempa bumi lebih besar dari 6,5 SR, dan terjadi deformasi vertikal dasar laut yang besar.

Jadi, jika ketiga syarat itu terpenuhi maka peringatan dini tsunami segera dibuat. Sebelumnya ratusan ribu simulasi tsunami dapat dilakukan dan hasilnya disimpan sebagai

”Setidaknya ada empat syarat apakah gempa bumi yang terjadi berpotensi menimbulkan tsunami; pusat gempa bumi berada di dasar

laut, kedalaman gempa bumi kurang dari 60 km dari dasar laut,

magnitude gempa bumi lebih besar dari 6,5 SR, dan terjadi deformasi vertikal dasar laut cukup besar.”

Page 51: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

34 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

database komputer terlebih dahulu. Begitu hiposenter dan magnitude gempa bumi diketahui maka tinggi gelombang tsunami dapat dengan mudah dihitung komputer tersebut hanya dalam satu detik dan dikirimkan ke daerah rawan tsunami. Selanjutnya, informasi semacam ini disampaikan kepada aparat berwenang dan media massa agar segera disiarkan kepada masyarakat pesisir.

Informasi dini itu harus dievaluasi lagi dengan data hasil pengamatan perubahan permukaan air laut. Data ini diperoleh dari sistem pengamatan pasang surut laut atau peralatan lainnya.

Jika hasil pengamatan permukaan air laut mengindika-sikan adanya tsunami, peringatan harus segera disebarluas-kan. Sebaliknya bila tidak ada tanda-tanda perubahan per-mukaan air laut, maka peringatan dini dapat dibatalkan.

Sistem peringatan dini untuk tsunami lokal akan efektif jika mekanisme komunikasi dan diseminasi hasil pemantauan terjadinya aktivitas gempa bumi dapat diterima masyarakat secara lansung. Dengan cara ini, kepanikan berlebihan tidak perlu terjadi. Dan yang lebih penting lagi, jika tsunami benar-benar terjadi, jumlah korban bisa diminimalkan.

ctdArtikel ini dimuat di Media Indonesia edisi 10 Juni 2007.

Page 52: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

35 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono

Mitigasi Hindarkan Korban Gempa dan Tsunami

Rasanya belum pudar dalam ingatan kita ketika gempa dan tsunami dahsyat menghancurkan pesisir Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) pada 26 Desember

2004. Senin (�7/7/2006) sore giliran pantai selatan Pulau Jawa digoyang gempa dan diterjang tsunami. Ratusan orang meregang nyawa, ratusan warga lainnya hilang, dan ribuan rumah hancur akibat bencana alam tersebut.

Indonesia berduka. Rentetan gempa berkekuatan 6,� skala Richter (SR) lalu diikuti gempa susulan 6,1 SR yang berpusat di Samudra Hindia (9,4o Lintang Selatan dan �07,2o Bujur Timur) itu melumat kawasan pesisir di Tasikmalaya, Pangandaran, Ciamis, Cilacap, Kebumen, dan Yogyakarta. Walaupun korbannya hanya sedikit, lagi-lagi Yogyakarta

7

Page 53: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

36 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

berduka karena sebelumnya mereka juga dihantam gempa berkekuatan 5,9 SR.

Dibandingkan dengan gempa dan tsunami di NAD, bencana Senin sore itu terbilang masih lebih ringan. Bukan apa-apa, gempa yang berpusat pada kedalaman 30 km itu hanya diikuti tsunami dengan ketinggian run-up yang bervariasi kurang dari �0 m.

Benar, syarat terjadinya tsunami antara lain adalah adanya gempa akibat tumbukan lempeng Indo-Australia dengan Eurasia yang berkekuatan lebih dari 6,5 SR dan pusat gempanya termasuk dangkal, kurang dari 60 km, sesar yang terjadi merupakan sesar naik dengan deformasi vertikal dasar laut relatif besar. Itulah sebabnya, gempa Yogyakarta tempo hari tidak diikuti tsunami.

Tentu saja kawasan paling parah terkena tsunami adalah dataran landai. Apalagi kalau pantainya berbentuk teluk dan mempunyai tanjung seperti di Pangandaran, energi tsunami menjadi lebih kuat dibandingkan dengan pantai terbuka. Dengan topografi seperti itu, energi yang dihempaskan semakin tinggi ketika mencapai teluk dan lekukan pantai tersebut. Hal ini akibat dari berkumpulnya energi dari laut lepas ketika gelombang berada di celah yang lebih sempit. Disamping itu dengan adanya tanjung, energi tsunami juga akan terkonsentrasi di ujung tanjung sebagai akibat dari proses refraksi gelombang tsunami.

Kondisi ini akan sangat tidak menguntungkan jika topografi pantainya landai dan tanpa tanaman pelindung seperti hutan mangrove, kelapa, waru, atau hutan pantai lainnya. Bukan apa-apa, gelombang tsunami yang besar

Page 54: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

37 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono

baik ketinggian maupun kecepatannya akan dengan leluasa menyusup ke daratan dan menghancurkan apa saja yang dilaluinya.

Bisa dibayangkan kalau tempat yang landai itu dipakai untuk perkampungan nelayan atau kawasan industri. Prak-tis, ketika tsunami menerjang kawasan tersebut maka yang terjadi adalah kerusakan parah. Semua bangunan yang be-rada di dataran rendah tersapu habis oleh gelombang tsu-nami.

Ironisnya, pelabuhan-pelabuhan perikanan dan per-hubungan juga sering dibangun di ketiak-ketiak suatu teluk atau di dekat muara sungai. Maklum, pelabuhan yang be-rada di teluk akan lebih mudah bagi nahkoda untuk menam-batkan kapalnya. Sebaliknya, pelabuhan yang berhadapan langsung dengan laut luas semakin sulit bagi kapal-kapal yang akan bersandar.

Upaya Mitigasi Lalu bagaimana sikap kita menghadapi gempa dan

tsunami yang bertubi-tubi itu? Jelas bahwa manusia tak mampu mencegah bencana alam karena kekuatan dan ukurannya teramat besar. Yang bisa dilakukan hanyalah mengurangi dampak dari bencana tersebut (mitigasi).

Di Jepang misalnya, upaya mitigasi itu mampu menye-lamatkan manusia dan harta-benda lainnya. Hal itu sangat berbeda dibandingkan dengan Indonesia. Terlihat, setiap ada bencana disambut dengan kepanikan. Setelah itu ma-syarakat lainnya beramai-ramai memberikan sumbangan pangan kepada para korban.

Page 55: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

3� MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

Sebaliknya, upaya mitigasi bencananya masih minim. Padahal di sinilah kuncinya. Jumlah korban akan sangat ter-gantung dari sampai sejauh mana kita menyiapkan tindakan preventif guna meminimalkan dampak negatifnya. Jadi, ti-daklah berlebihan kalau mitigasi merupakan investasi jang-ka panjang bagi kesejahteraan umat manusia.

Banyak cara bisa dilakukan untuk melindungi kawasan pesisir dari terjangan tsunami. Idealnya, menggunakan miti-gasi yang komprehensif, yakni dengan mengombinasikan secara fisik dan nonfisik.

Upaya fisik yang per-lu dilakukan juga bera-gam, tergantung kemam-puan daerah dan kondisi kawasan pesisirnya. Arti-nya, di sepanjang daerah rawan tsunami bisa saja dibuat prasarana dan sarana pengendali seper-ti dengan membangun tembok laut (sea wall) atau pemecah gelom-bang (break water).

Cara ini memang butuh ongkos tinggi. Na-mun biaya untuk mem-buat tembok laut terse-but tidak ada artinya dibandingkan dengan

“Banyak cara bisa dilakukan

untuk melindungi kawasan pesisir dari terjangan

tsunami. Idealnya, menggunakan mitigasi yang komprehensif, yakni dengan

mengombinasikan secara fisik dan

nonfisik.”

Page 56: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

39 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono

aset-aset vital bernilai ekonomi tinggi yang ingin dilindungi seperti kilang minyak, industri padat modal, dan kawasan strategis lainnya. Di beberapa kawasan pantai Jepang juga membentenginya dengan tembok sampai pada ketinggian yang sudah tidak terjangkau lagi oleh tsunami.

Bagi kawasan lainnya bisa melindunginya dengan mena-nam berbagai pohon seperti mangrove, cemara laut, waru laut, dan lain-lain. Upaya ini tergolong murah dan terbukti efektif dalam meredam kekuatan tsunami yang menjalar hingga ke daratan.

Selain itu, benda-benda yang berada di pantai seperti ka-pal dan perahu bisa tertahan oleh vegetasi ini sehingga jum-lah korban dan kerusakan bangunan lainnya bisa diperkecil. Banyak warga juga tertolong nyawanya dari sapuan tsunami dengan cara berpegangan di pohon lalu naik ke atas.

Rumah penduduk juga harus memiliki struktur kuat sehingga tahan terhadap goncangan gempa. Rumah pang-gung baik terbuat dari kayu maupun beton bisa menjadi al-ternatif karena tidak mudah roboh oleh terjangan tsunami. Usahakan arah orientasi bangunan tegak lurus dengan garis pantai sehingga sejajar dengan arah penjalaran gelombang tsunami.

Di tempat-tempat yang jauh dari bukit dan penduduknya padat, perlu dibuat shelter. Bangunan ini sebaiknya berting-kat dan terbuat dari beton yang kokoh sehingga tahan ter-hadap gempa dan tsunami. Pada hari-hari biasa, shelter bisa dimanfaatkan sebagai tempat sekolah, pertemuan, tempat rekreasi dan lain-lain. Namun ketika tsunami, shelter bisa dipakai sebagai tempat berlindung.

Page 57: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

40 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

Jika lahan terbukanya luas namun tidak punya bukit, bisa dibangun bukit buatan (artificial hill). Tujuannya, untuk menyelamatkan diri atau sebagai tempat evakuasi sewaktu terjadi tsunami. Bukit ini bisa dibuat dari urugan tanah de-ngan sistem terasering sehingga dapat diakses dari berbagai arah.

Tinggi shelter dan bukit buatan itu disesuaikan ber-dasarkan tinggi maksimum kemungkinan tsunami menjang-kau lokasi tersebut. Usahakan bukit dan shelter tersebut bisa ditempuh oleh warga kurang dari �5 menit.

Tak kalah pentingnya adalah mitigasi secara nonfisik seperti memberlakukan peraturan perundangan dan tata ruang yang aman, memberikan pendidikan dan pelatihan, serta menyadarkan masyarakat. Pemda harus konsisten dalam menegakkan peraturan dan tata ruang. Artinya, kalau memang kawasan tersebut dianggap rawan tsunami, janganlah sekali-sekali memanfaatkan kawasan tersebut untuk ruang usaha atau peruntukan lainnya.

Siapa pun yang melanggar, wajib dikenakan sanksi. Sebab kalau mereka dibiarkan begitu saja, ketika tsunami menerjang maka korban berjatuhan semakin tinggi akibat banyaknya manusia yang beraktivitas di sana.

Masyarakat juga perlu mendapat pendidikan dan pela-tihan terkait dengan gempa dan tsunami. Harus diakui, kita masih sangat lemah dalam soal ini. Lihat saja faktanya, pemahaman masyarakat terhadap tsunami masih minim. Akibatnya, setiap tsunami selalu menelan banyak korban jiwa dan harta benda lainnya.

Masyarakat masih lalai ketika melihat air pantai surut

Page 58: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

4� Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono

seketika. Mereka malah asyik memungut ikan-ikan yang menggelepar di pasir yang kering. Apa boleh buat, tak lama setelah itu, mereka menjadi korban keganasan tsunami.

Begitu juga soal sosialisasi yang masih terasa belum memasyarakat. Kita amat prihatin melihat masyarakat yang mudah terkena isu. Hal itu terlihat jelas ketika Yogyakarta dilanda gempa bumi. Dalam kepanikan itu mereka yang tinggal di daerah yang sangat tinggi dan sangat jauh dari pantai berbondong-bondong meninggalkan rumah untuk menyelamatkan diri menghindari tsunami.

Padahal, secara ilmiah, tsunami tidak akan melanda daerah yang sangat tinggi dan jauh dari pantai. Jadilah seperti pepatah sudah jatuh tertimpa tangga pula. Sebab, banyak dari mereka yang mengalami kecelakaan akibat kepadatan lalu lintas saat melarikan diri dan rumah mereka yang ditinggalkan itu akhirnya dijarah oleh oknum yang memang ingin mengail di air keruh.

Kedua sistem mitigasi secara fisik dan nonfisik itu bisa saling melengkapi, tergantung pada daerah rawan tsunami yang akan ditinjau. Oleh karena itu dalam melakukan upaya mitigasi perlu mempertimbangkan faktor fisik, lingkungan, dan sosial budaya. Pelaksanaannya juga harus melibatkan berbagai instansi terkait.

Seberapa besar upaya itu tidak akan dapat membebaskan masalah bencana alam secara mutlak. Dengan demikian, kunci keberhasilannya terletak pada keharmonisan antara masyarakat dan alam lingkungannya.

Masyarakat yang berada di dalam dan di luar kawasan rawan bencana sangat besar perannya sehingga perlu di-

Page 59: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

42 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

tingkatkan kesadaran, kepedulian, dan kecintaannya terha-dap alam dan lingkungan hidup. Mereka juga perlu punya disi-plin tinggi terhadap peraturan dan norma-norma yang ada.

Digalakkan Sejak DiniBeragam upaya mitigasi tersebut sewajarnya mulai

digalakkan sejak dini. Bukan apa-apa, Indonesia memiliki kawasan rawan tsunami yang tersebar luas. Kawasan itu meliputi pantai yang menghadap ke Samudra Hindia dan Samudra Pasifik serta yang menghadap ke laut dimana dua lempeng bertemu atau terdapat sesar aktif di laut.

Berdasarkan kajian ilmiah, daerah rawan tsunami meli-puti pantai barat Sumatera, pantai selatan Pulau Jawa dan Bali, pantai utara dan selatan pulau-pulau Nusa Tenggara, pulau-pulau di Maluku, pantai utara Irian Jaya, dan hampir seluruh pantai di Sulawesi. Laut Maluku adalah daerah pal-ing rawan tsunami. Pasalnya, sebanyak 3� persen dari total tsunami di Indonesia terjadi di Laut Maluku.

Rekor tinggi run-up tsunami paling besar di Indonesia yang tercatat dalam sejarah adalah pada tahun 1883. Ketika itu tsunaminya berasal dari meletusnya Gunung Krakatau di Selat Sunda dengan ketinggian run-up mencapai 4� meter. Sekitar 36.000 jiwa melayang tersapu gelombang tsunami.

Dilihat dari jumlah korbannya, maka tsunami NAD pada Desember 2004 lalu adalah yang tertinggi di Indonesia bahkan dunia. Bayangkan, lebih dari 300 ribu orang meninggal dan puluhan ribu lainnya hingga kini belum ditemukan akibat diterjang tsunami. Menurut catatan, sepanjang tahun �96�

Page 60: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

43 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono

sampai 2006 ada sekitar 2� kejadian tsunami yang melanda kawasan pesisir di Indonesia. Artinya tsunami menghampiri pesisir Indonesia tiap 2,25 tahun sekali.

Untuk menangani bencana tidaklah cukup hanya de-ngan memfokuskan tindakan pada saat dan setelah bencana alam itu terjadi. Paradigma lama ini perlu ditambah dengan penanganan sebelum bencana melalui pendekatan manaje-men risiko dengan upaya-upaya pencegahan, mitigasi, dan kesiapsiagaan. Di Indonesia upaya pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan ini kadang-kadang disebut dengan mitigasi. Pendekatan secara terpadu (manajemen risiko dan manaje-men krisis) itu pada hakekatnya adalah menangani bencana mulai dari sebelum, saat, hingga sesudah terjadi bencana.

Ibarat sebuah siklus, pengelolaan bencana tsunami itu dimulai dari pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat, pemulihan (rehabilitasi dan rekonstruksi), serta pemba-ngunan. Siklus itu saling terkait satu dengan yang lainnya dan sama pentingnya dalam menghadapi gempa dan tsunami.

ctd

Artikel ini dimuat Jurnal Nasional edisi 19 dan 20 Juli 2006.

Page 61: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

44 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

8Saatnya Merevolusi Mitigasi

Gempa dan Tsunami

Bencana alam gempa dan tsunami akhir-akhir ini datang silih berganti dalam periode yang relatif cepat. Kita tidak tahu persis kenapa frekuensi ter-

jadinya gempa dan tsunami belakangan ini cenderung me-ningkat dibandingkan dengan 50 tahun lalu. Berdasarkan catatan, selama setengah abad itu kawasan pesisir Indone-sia digoyang puluhan gempa merusak dan diterjang tsunami sebanyak 2� kali.

Lalu apa yang bisa kita lakukan dalam menghadapi fenomena alam yang tidak pasti kapan datangnya itu? Ti-dak mudah memang mengelola bencana tersebut. Bukan apa-apa, kesadaran masyarakat pesisir terhadap bencana masih minim. Padahal, merekalah yang paling menderita jika gempa dan tsunami menerjang. Rendahnya pemaham-

Page 62: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

45 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono

an masyarakat terhadap gempa dan tsunami itu mengaki-batkan banyak korban dan kerugian saat diterjang bencana alam ini.

Bencana alam tidak dapat dihilangkan karena kekuatan dan ukurannya teramat besar. Kemampuan manusia hanya sebatas mengurangi dampak bencana. Tindakan semacam itu biasanya disebut mitigasi atau suatu upaya guna mengurangi pengaruh atau dampak dari satu bahaya sebelum bencana itu terjadi. Istilah mitigasi berlaku untuk cakupan yang luas dari suatu kegiatan atau tindakan perlindungan.

Mengadopsi Revolusi Sanitari

Tahun 1990-an menjadi tonggak penting bagi upaya mitigasi bencana. Betapa tidak, pada era itu PBB (Perserika-tan Bangsa-Bangsa) mendeklarasikan sebagai Dekade Inter-nasional untuk Pengurangan Dampak Bencana Alam.

Dekade mitigasi bencana tersebut tampaknya diadopsi dari upaya mewujudkan kesehatan umum pada pertengah-an abad ke-�9 yang dikenal sebagai Revolusi Sanitari. Se-perti diketahui, pada masa-masa sebelum abad itu penyakit tuberkulosis, tipus, kolera, desentri, cacar, dan aneka penya-kit lain menjadi penyebab utama kematian seseorang.

Pada saat pemahaman terhadap penyebab timbulnya penyakit semakin meningkat, terutama lewat upaya para ilmuwan dan ahli epideminologi pada abad ke-�9, maka insiden epidemi dan penyakit menjadi mudah dipahami. Menjadi jelas bahwa penyakit dapat dicegah dan secara berangsur-angsur konsep perlindungan terhadap penyakit dapat diterima.

Page 63: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

46 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

Tindakan yang diperlukan untuk mengurangi risiko penyakit memang memerlukan investasi besar. Sebab, ia butuh infrastruktur misalnya membangun berbagai saluran pembuangan air, jaringan penampungan air bersih, tempat pembuangan sampah dan lain sebagainya.

Selain itu, setiap orang juga perlu melakukan perubah-an-perubahan besar seperti berperilaku hidup bersih dan sehat. Para ahli sejarah sosial menyebut, perubahan konsep perlindungan terhadap penyakit itu sebagai Revolusi Sani-tari.

Dari sinilah berbagai kemajuan di bidang kesehatan terjadi seiring dengan adanya penemuan obat, perawatan, vaksinasi, pencegahan, dan industri kesehatan. Berbagai pe-nyakit mematikan seperti tuberkulosis, tipus, kolera, disen-tri, dan cacar sudah bisa diantisipasi.

Wabah Penyakit

Lalu apa yang bisa dipetik dari perjalanan sejarah medis tersebut? Sekilas fenomena bencana alam punya analogi yang hampir sama dengan munculnya wabah penyakit pada awal abad ke-19, yakni tidak dapat ditebak, menjadi musibah, dan merupakan bagian dari risiko hidup sehari-hari.

Namun “epideminologi bencana“ --suatu ilmu pengeta-huan yang sistematis dari apa yang terjadi dalam suatu ben-cana-- menunjukkan bahwa bencana itu sebagian besar bisa dicegah. Ada banyak cara untuk mengurangi dan melakukan mitigasi dari suatu kemungkinan bahaya atau kecelakaan.

Seperti halnya dalam melawan penyakit, kegiatan untuk

Page 64: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

47 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono

mengurangi bencana alam harus diperjuangkan oleh setiap individu secara bersama-sama. Selain itu perlu juga mengu-bah perilaku sosial dan memperbaiki kebiasaan setiap indi-vidu agar memahami setiap bencana yang terjadi. Karena itu mitigasi bencana harus berkembang lewat revolusi kese-lamatan “budaya keamanan” untuk keselamatan publik.

Pemerintah seyogianya berinvestasi untuk membuat infrastruktur baik buatan maupun alami yang lebih kuat dan aman dari terpaan bencana. Di lain pihak, masyarakatnya juga harus bertindak untuk melindungi diri mereka sendiri.

Contoh sederhana adalah dalam membangun rumah. Sebisa mungkin carilah lokasi yang aman dari bencana ban-jir, longsor, gempa, dan tsunami. Tindakan ini jauh lebih murah ketimbang menyediakan dana besar untuk membuat konstruksi pengendali bencana alam dan membangun ru-mah yang kuat dari serangan bencana tersebut.

Oleh karena itu upaya mengintegrasikan mitigasi ben-cana ke dalam kegiatan perencanaan pembangunan diha-rapkan dapat melindungi aset dan hasil-hasil pembangunan dari ancaman bencana. Tidak ada kata terlambat untuk memperbaiki diri. Saatnya bagi kita melakukan revolusi mitigasi bencana agar bisa hidup aman di kawasan yang me-mang tidak aman.

ctd

Artikel ini dimuat di Jurnal Nasional edisi 23 Agustus 2006.

Page 65: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

4� MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

9Mendesak, Mitigasi

Tsunami Berbasis Masyarakat

Sudah puluhan kali tsunami menerjang berbagai kawasan pesisir di Indonesia. Namun apa daya, sampai sejauh ini masyarakat belum mampu

mengenali bencana alam tersebut secara benar dan baik. Kita tentu amat prihatin. Tsunami selalu meninggalkan penderitaan berkepanjangan.

Banyak upaya bisa dilakukan untuk mengurangi korban jiwa di antaranya adalah dengan melakukan mitigasi tsuna-mi baik secara fisik maupun nonfisik. Mengingat masyarakat pesisir kita masih tradisional maka langkah-langkah mitiga-sinya haruslah berbasis pada kemampuan masyarakat lokal.

Page 66: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

49 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono

Berbasis MasyarakatSangatlah berat kalau upaya mitigasi itu dilakukan di se-

luruh kawasan rawan bencana yang tersebar sangat luas di penjuru Indonesia secara simultan. Kita perlu membuat pri-oritas yaitu untuk daerah-daerah yang berbentuk teluk yang berasosiasi dengan tanjung dan muara sungai yang landai dan penduduknya padat yang memang rawan bencana. Be-tapa tidak, di kawasan seperti inilah yang paling menderita jika tsunami menerjangnya.

Karena itu, pembuatan peta rawan bencana tsunami perlu segera dibuat oleh masyarakatnya sendiri dengan teknologi sesederhana mungkin. Sehingga mereka sadar dan mengerti kalau tempat tinggalnya berada di daerah rawan bencana tsunami. Tentu saja dalam pembuatan peta ini perlu bimbingan dan fasilitator baik dari pemerintah, perguruan tinggi/lembaga penelitian maupun LSM yang betul-betul mengerti tentang tsunami.

Langkah berikutnya melatih dan memberi penyuluhan tentang berbagai hal yang terkait dengan tsunami mulai dari gejala atau ciri-ciri tsunami, dampaknya, hingga upaya me-ngevakuasi atau menyelamatkan diri. Tak mudah memang menyampaikan hal itu kepada mereka.

Jangkauan sosialisasi harus sampai ke pelosok-pelosok daerah yang berbentuk teluk dan muara yang padat penduduknya dan rawan bencana. Metodenya pun perlu dilakukan dengan cara yang lebih menarik.

Salah satu alternatifnya bisa melalui media yang benar-benar merakyat seperti pengajian akbar, wayang (golek, orang, atau kulit), ketoprak, dangdut atau kesenian daerah

Page 67: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

50 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

lainnya. Melalui penyampaian yang berakar pada budaya mereka sendiri, tsunami bisa dengan mudah mereka pa-hami.

Di daerah pantai yang gundul, masyarakat bisa mengu-payakan perlindungan yang ramah lingkungan bagi dirinya, yaitu dengan menanam berbagai pohon seperti mangrove, cemara laut, waru laut, ketapang dan lain-lain disesuaikan dengan kesesuaian lahannya. Upaya ini tergolong mudah dapat dilakukan, murah dan terbukti efektif dalam mere-dam kekuatan tsunami yang menjalar hingga ke daratan.

Upaya lainnya adalah membuat sarana evakuasi yang terbilang sederhana dan murah. Manfaatkan pohon kelapa atau pohon lainnya yang banyak berjajar di pantai. Caranya, lobangi secukupnya sehingga bisa memudahkan manusia memanjat pohon ketika tsunami terjadi. Pada ketinggian tertentu, pohon tersebut dipasang bel atau lonceng sebagai alat bantu untuk minta pertolongan atau memberi peri-ngatan kepada masyarakat lainnya.

Masjid-masjid di pesisir juga bisa dipakai untuk mem-beri peringatan dini melalui pengeras suara. Jadi, manakala di kawasan tersebut ada tanda-tanda bakal terjadi tsunami, sesegera mungkin informasi tersebut disampaikan ke warga sekitarnya.

Selain itu, masjid-masjid itu juga perlu dibuatkan tangga ke atap. Tujuannya, memudahkan masyarakat mengevakuasi ke tempat yang tinggi sehingga tidak terjangkau tsunami. Pelajaran Tsunami Aceh menunjukkan bahwa masjid aman dari terjangan tsunami mengingat strukturnya yang ramah tsunami.

Page 68: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

5� Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono

Dompet MitigasiJelas bahwa upaya mitigasi tsunami membutuhkan kerja

keras dan dana yang tidak sedikit. Kita bisa belajar banyak dari pengalaman Jepang, negara yang paling sering dilanda gempa dan tsunami.

Apa yang dilakukan Jepang ketika dihajar gempa dah-syat ratusan tahun lalu hingga tahun �933-an? Orang-orang terkemuka dan kaya itu berada di barisan terdepan. Artinya, dengan uangnya sendiri, mereka membuat tembok laut yang bisa menahan gempuran tsunami.

Jasa mereka dikenang hingga kini. Bukan apa-apa, se-tiap tsunami terjadi, bangunan itu mampu meredam ga-nasnya tsunami. Ribuan warga terselamatkan. Menurut survei di Jepang, hingga tahun 1933-an itu, tidak ada upaya dari pemerintah Jepang untuk melakukan upaya mitigasi. Semuanya itu sudah ditangani pemuka masyarakat.

“Apa yang dilakukan Jepang ketika dihajar gempa dahsyat ratusan tahun

lalu hingga tahun 1933-an? Orang-orang terkemuka dan kaya itu berada di barisan terdepan. Artinya, dengan uangnya sendiri, mereka membuat

tembok laut yang bisa menahan gempuran tsunami.”

Page 69: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

52 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

Fenomena semacam ini tampaknya pas kalau diterapkan di Indonesia. Saatnyalah para pengusaha berkantong tebal mengeluarkan dompet untuk mitigasi tsunami. Dompet-dompet bencana di berbagai media (cetak dan elektronik) yang berasal donor seharusnya jangan semata dialokasikan untuk menangani pascabencana tetapi juga untuk upaya mitigasi.

Hasil dari dompet mitigasi ini dapat dimanfaatkan un-tuk pelatihan dan penyadaran masyarakat, penggandaan brosur, komik dan buku-buku pedoman tentang tsunami yang sebenarnya bahannya telah tersedia dan menumpuk di berbagai instansi atau lembaga lain. Bisa juga dana terse-but dipergunakan untuk menanam vegetasi pantai sehingga dapat dipergunakan sebagai tameng tsunami di kemudian hari.

ctd

Artikel ini dimuat di Jurnal Nasional edisi 7 Desember 2006.

Page 70: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

53 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono

Mengenang Tsunami Aceh 2004

Belajar Rehabilitasi dan Rekonstruksi

Pascatsunami dari Okushiri

Tsunami yang menghantam Pulau Okushiri, Jepang pada �2 Juli �993 bisa menjadi pembelajaran bagi kita dalam rangka memulihkan kawasan pesisir Nanggroe

Aceh Darussalam yang dihantam tsunami 26 Desember 2004. Bukan apa-apa, pulau kecil yang tadinya elok dan asri itu pernah porak-poranda oleh tsunami dengan ketinggian run-up maksimum 3� meter. Inilah rekor tsunami terbesar di Jepang pada abad ke-20.

Bayangkan, gempa berkekuatan 7,� skala Magnitude (SM) di malam hari itu bukan saja menimbulkan tsunami

10

Page 71: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

54 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

hebat. Lebih dari itu, pada beberapa wilayah di pulau seluas �43 km2 itu malah lebih memprihatinkan lagi; terjadi kebakaran hebat dan longsor setelah diterjang tsunami 5 menit setelah gempa.

Penyebab kebakaran itu diduga berasal dari hubungan arus listrik pendek (konslet) beberapa kapal yang terseret hingga ke tengah kota. Kebakaran makin meluas ketika mobil-mobil juga mengalami hal serupa, terkena arus pendek.

Hanya dalam sekejap, keindahan pulau di sebelah barat Hokkaido itu meredup dan menyeramkan. Menurut catatan Pemerintah Daerah Hokkaido, sekitar 229 orang tewas, lebih dari seribu rumah ambruk, dan �.5�4 kapal mengalami kerusakan. Total kerugian ditaksir sekitar 60 miliar yen.

Lima tahun berlalu, pulau Okushiri malah menjadi lebih baik bahkan lebih elok dan asri daripada sebelumnya. Kesan itulah yang penulis rasakan ketika pada Juli 1998 mendapat kesempatan menghadiri lokakarya internasional tentang tsunami di Okushiri.

Tetap Menawan

Lalu mengapa pulau yang menghadap Laut Jepang itu tetap menawan walau tsunami dahsyat pernah meluluh-lantakkannya? Jawabnya terletak pada kepiawaian mereka dalam merehabilitasi dan merekonstruksi berbagai infra-struktur dengan berbasis mitigasi.

Artinya, selain memulihkan kembali beragam bangunan yang rusak, bangunan baru tersebut juga dapat menjadi tameng tsunami di kemudian hari.

Untuk memulihkan Okushiri sebagai pulau impian ber-

Page 72: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

55 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono

basis mitigasi, pada November 1993 Pemerintah Daerah Hokkaido membentuk sebuah komite yang diketuai pa-kar tsunami dari Universitas Hokkaido Prof Hiroshi Saeki. Komite tersebut beranggotakan para pakar yang tersebar di berbagai kementerian dan lembaga pemerintah lainnya seperti Kementerian Konstruksi, Kementerian Transportasi, serta Kementerian Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan.

Mereka bekerja secara lintas sektoral sesuai dengan di-siplin ilmunya masing-masing. Seluruh pekerjaan perenca-naan pemulihan digarap secara komprehensif. Hal itu dimu-lai dengan menata ulang peruntukan lahan (land use) yang berbasis mitigasi.

Lihat saja Distrik Aonae, di sisi paling selatan Okushiri. Dataran paling rendah itu tadinya merupakan permukiman yang rusak parah digoyang gempa, dihantam tsunami, dan dilalap si jago merah.

Kini, kawasan tersebut sudah menjadi taman kota, rimbun oleh aneka tanaman menghijau. Pada kondisi nor-mal, taman tersebut digunakan sebagai tempat rekreasi. Di kawasan tersebut juga dibangun tangga/jembatan peng-hubung ke tempat yang lebih tinggi untuk menyelamatkan diri jika suatu saat tsunami datang lagi.

Tak ada lagi permukiman di dataran rendah tersebut. Rumah penduduk direlokasi ke dataran yang lebih tinggi sehingga aman dari jangkauan tsunami.

Begitu juga pelabuhannya. Atapnya dibuat dari pelat (slab) beton yang terbuka dan berfungsi sebagai tempat evakuasi. Di hari-hari biasa tempat evakuasi ini dapat dija-dikan tempat santai dan menikmati semilirnya angin sepoi

Page 73: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

56 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

pantai Aonae. Sementara itu lantai bawahnya sebagian be-sar didesain sebagai ruang terbuka.

Bangunan sekolah dan kantor dibuat bertingkat dengan lantai bawah terbuka sebagian. Tujuannya, untuk mengu-rangi energi tsunami yang menghantam dinding tersebut sehingga bangunan tetap kokoh berdiri.

Rute evakuasi ke bukit juga dibangun. Rute-rute itu dilengkapi dengan berbagai informasi seperti arah melari-kan diri dan ketinggian tsunami yang pernah terjadi. Sistem komunikasi radio juga dibangun untuk diseminasi peri-ngatan dini tsunami.

Tembok laut (sea wall) dan pemecah gelombang (break-water) dibangun untuk meredam tsunami. Monumen dan museum tsunami juga dibangun sebagai tetenger untuk mengingatkan generasi berikutnya serta sebagai sarana pendidikan gempa dan tsunami.

Begitu halnya dengan jalur penerbangan dan pelayaran dari dan ke Okushiri terus dikaji dan dibenahi. Hasilnya, hanya lima hari setelah tsunami, seluruh penerbangan dan pelayaran di pulau tersebut normal kembali.

Lalu pada akhir Desember �993 pabrik pengolahan ikan mulai beroperasi lagi. Hal ini penting untuk memulihkan perekonomian masyarakat lokal.

Biaya Tinggi

Semua proyek pemulihan itu memang butuh teknologi dan biaya. Menyadari hal itu, hanya dua hari setelah tsunami menghancurkan Okushiri, Palang Merah Cabang Hokkaido mengampanyekan penggalangan dana ke masyarakat luas.

Page 74: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

57 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono

Hasilnya, bantuan senilai 4,6 miliar yen dikucurkan untuk memulihkan Okushiri. Selain itu pada 2� Desember �993 juga terkumpul dana sebesar �3,2 miliar yen dari berbagai penyumbang mulai dari pemerintah, warga, serta industri (perikanan, pertanian, kehutanan, dan pariwisata)

Singkat kata, belum genap satu tahun setelah tsunami dahsyat, telah diselesaikan pekerjaan perencanaan pemu-lihan secara komprehensif di Distrik Aonae yang mengalami dampak paling parah.

Dan lima tahun kemudian (Maret �99�) pemulihan pascatsunami dinyatakan selesai. Setelah �3 tahun berlalu, kini Okushiri tampil penuh pesona. Jumlah wisatawan yang datang pun kian banyak.

Jadi, tidak ada salahnya kita meniru pengalaman mereka untuk memulihkan kawasan pascatsunami NAD dan Nias (2004) serta selatan Jawa (2006).

ctdArtikel ini dimuat di Seputar Indonesia edisi 27 Desember 2006.

Page 75: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

5� MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

Rehabilitasi Pascatsunami yang Ramah Lingkungan

Duka masih menyelimuti Indonesia. Lebih dari 100 ribu orang tewas sejak tsunami 26 Desember 2004 melanda kota-kota pesisir di provinsi Nanggroe

Aceh Darussalam (NAD). Ribuan orang lainnya tak diketahui keberadaannya, hanyut ditelan laut.

Bukan hanya itu saja. Bencana alam tsunami terdahsyat di abad ini juga menghancurkan sendi-sendi perekonomian di Kota Serambi Mekah. Kota-kota pesisir itu lumpuh total. Aneka jenis bangunan tak kuasa menahan ganasnya gelom-bang pasang akibat gempa tektonik di Samudra Hindia.

Tak ada aliran listrik dan telekomunikasi dalam beberapa hari. Akses transportasi darat juga terputus akibat jebolnya jembatan-jembatan dan jalan-jalan raya. Penulis yang berada di lokasi beberapa hari setelah bencana, melihat

11

Page 76: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

59 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono

bahwa kerusakan di kawasan pesisir malah lebih parah lagi. Pada radius � km dari garis pantai, rumah tersapu habis rata dengan tanah. Di tempat-tempat tertentu, tsunami menggerus tanah dan membentuk lautan baru. Tak ada areal tambak yang selamat.

Konferensi Khusus Para Pemimpin ASEAN Pascagempa Bumi dan Tsunami pun digelar di Jakarta. Hasilnya, 26 ne-gara dan lembaga internasional sepakat membantu meri-ngankan beban Indonesia. Sekitar US$ 4 miliar terkumpul untuk memulihkan dampak tsunami di seluruh Asia, terma-suk NAD (Kompas, 7/�/2005).

Pertanyaannya adalah bagaimana merehabilitasi daerah pasca tsunami yang efektif sekaligus ramah lingkungan? Pertanyaan itu penting diutarakan di sini agar langkah-langkah tersebut selain bisa memulihkan kawasan juga mampu menjadi tameng tsunami di kemudian hari.

Kita tahu sudah sejak lama, secara geografis posisi In-donesia tak beruntung. Di sepanjang barat Pulau Sumatera sampai ke Jawa, Bali dan NTT lalu masuk ke Laut Arafura me-rupakan daerah pertemuan tiga lempeng; Eurasia, Australia, dan Samudra Hindia.

Lempeng-lempeng tersebut bergerak sehingga pada pe-riode tertentu saling bertabrakan. Proses alami ini mengha-silkan gempa tektonik. Karena terjadi di dasar laut, gempa tersebut menimbulkan gelombang pasang (tsunami).

Tsunami yang menerjang pantai barat NAD dan Sumut terjadi 20 menit sampai 5 jam setelah terjadinya gempa tektonik. Kecepatan gelombang tsunaminya rata-rata 50-�00 km per jam. Di pusat gempa, kecepatan tsunami NAD

Page 77: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

60 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

secara teoritis dapat dihitung, yaitu berkisar antara 400-800 km per jam.

Kecepatan tersebut semakin berkurang saat mendekati pantai. Tsunami tidak hanya menerjang pantai barat NAD dan Sumut yang berhadapan langsung dengan pusat gempa, tetapi juga menerjang pantai timur NAD dengan dimensi ruang, waktu, dan korban yang berbeda.

Daerah yang mengalami bencana terbesar dari tsunami adalah Banda Aceh, Lhoknga, Calang, dan Meulaboh. Ben-cana tersebut selain diakibatkan oleh tingginya gelombang tsunami, juga diperparah oleh tata ruang yang kurang ramah bencana dan rusaknya lingkungan. Rumah dibangun dekat dengan laut. Posisi rumah sejajar dengan pantai. Tidak ada sabuk hijau (green belt). Mangrove tinggal secuil dan hanya tumbuh di beberapa tempat.

Kerusakan yang ditimbulkan oleh tsunami amat bera-gam dan dapat dikelompokkan menjadi tiga tipe. Pertama, kerusakan struktur bangunan akibat gaya hidrodinamik gelombang. Kedua, keruntuhan struktur bangunan karena fondasinya tergerus arus air laut yang amat deras. Ketiga, kerusakan struktur bangunan akibat hantaman benda-ben-da keras seperti kapal, puing-puing bangunan, dan sema-camnya yang terbawa oleh gelombang.

Memulihkan BencanaDalam teori klasik manajemen penanggulangan ben-

cana, rehabilitasi merupakan salah satu komponen penting dalam siklus manajemen penanggulangan bencana setelah terjadinya bencana. Sesudah bencana terjadi, biasanya kor-

Page 78: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

6� Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono

ban perlu ditangani dengan cepat, yaitu dengan pencarian dan penyelamatan (search and rescue atau SAR). Kemudi-an diperlukan pula pengobatan dan makanan serta tempat berlindung sementara.

Tahapan tersebut disebut fase tanggap darurat (emer-gency respond). Setelah langkah darurat itu dapat diatasi, perlu konsolidasi jenis kerusakan, jenis bantuan, dan lain sebagainya. Kegiatan pada fase ini lebih menyangkut pe-ngenalan dan inventarisasi masalah, sambil terus melaku-kan penanganan darurat.

Jika kondisi sudah dapat dikuasai dan relatif tenang, tahap selanjutnya adalah melakukan rehabilitasi baik secara fisik maupun mental. Penduduk perlu diberi kepercayaan diri dan memahami arti bencana alam tersebut secara logis dan proporsional.

Apalagi setelah bencana, kepanikan sering terjadi. In-formasi yang tak jelas kebenarannya sangat rentan dan menambah trauma. Desas-desus sering menyesatkan dan menghilangkan kepercayaan diri. Di sinilah, para ahli harus bisa menjelaskan dan meyakinkan bahwa bencana itu me-rupakan proses alam. Sepanjang sejarah, tsunami susulan belum pernah terjadi lagi dalam waktu dekat di tempat yang sama.

Setelah kebingungan korban diatasi, barulah dilakukan perencanaan rehabilitasi dan rekonstruksi yang komprehen-sif dan terintegrasi. Artinya, pemulihan itu bisa dimulai dari pemetaan, analisis kerusakan, analisis risiko, rencana re-konstruksi, dan perbaikan lingkungan.

Jadi, dalam tahap rehabilitasi dan rekonstruksi harus

Page 79: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

62 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

dibuat sedemikian rupa agar mampu meredam tsunami di kemudian hari sehingga dampaknya bisa diminimumkan. Kalau perlu penduduk dipindahkan, bisa di sekitar lokasi bencana (relokasi) atau ke tempat yang lebih jauh (trans-migrasi). Walaupun pada kenyataannya hal tersebut sangat sulit dilakukan mengingat karakteristik sosial dan budaya masyarakat yang menginginkan tetap tinggal di pantai.

Hal itu tercermin dari korban tsunami Banyuwangi (�994) dan Biak (�996). Walaupun telah dipindahkan ke tempat aman, namun mereka kembali lagi ke lokasi semula yang rawan bencana. Mereka beralasan, pemindahan terse-but menimbulkan masalah baru seperti perlu waktu lebih lama untuk menuju ke tempat kerja, keamanan perahu me-reka, dan lain sebagainya.

Fenomena ini bertolak belakang dengan korban tsuna-mi di Banda Aceh. Salah satu korban tsunami yang selamat, Hamdan (50 tahun), kepada penulis mengatakan, ia dan te-man-temannya tidak menginginkan kembali tinggal di tem-pat semula. Oleh karena itu dalam melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi diperlukan perencanaan yang komprehen-sif dengan mempertimbangkan faktor fisik, sosial budaya, dan lingkungan.

Menghindari Tekanan Faktor fisik yang perlu diperhatikan adalah struktur

bangunan. Sedapat mungkin, arah bangunan sejajar dengan arah penjalaran gelombang tsunami atau tegak lurus dengan pantai. Hal ini dimaksudkan agar tekanan air yang menghantam bangunan lebih kecil.

Page 80: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

63 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono

Untuk shear wall (tembok penguat) dan lateral bracing (rangka penguat) ditempatkan searah dengan penjalaran gelombang tsunami. Tujuannya, untuk memperkokoh bangunan terhadap gempuran tsunami.

Lantai terbawah dari bangunan bertingkat sebaiknya dibuat terbuka sama sekali, atau dindingnya terbuat dari bahan yang mudah retak (seperti kayu). Maksudnya agar tsunami dapat lewat dengan leluasa sehingga mengurangi beban horisontal pada struktur. Sementara itu, lantai-lantai di atasnya bisa dipakai untuk mengungsi.

Pondasi didesain menerus karena terbukti mempunyai ketahanan (resistance) yang lebih baik untuk menahan gerusan akibat arus air yang deras. Sistem struktur bangunan juga harus tahan gempa. Sebab, bangunan tersebut akan terkena gempa lebih dulu sebelum gelombang tsunami datang. Strukturnya juga diperhitungkan untuk mengatasi benturan benda keras akibat kapal atau benda lain yang terlempar pada saat tsunami menyerbu pantai.

Upaya lainnya yang tak kalah pentingnya adalah dengan membuat tata ruang yang ramah bencana. Di tempat-tempat yang berpotensi terkena tsunami harus ditata ulang. Tempat-tempat perlindungan (shelter) perlu dibangun untuk evakuasi jika terjadi tsunami di pesisir yang penduduknya padat. Modelnya bisa dilihat pada Gambar ��.�. Bangunan tersebut berfungsi ganda, sebagai tempat pertemuan atau rekreasi di hari-hari biasa dan tempat berlindung apabila tsunami menerjang kawasan tersebut.

Pembangunan permukiman yang terlalu dekat de-ngan garis pantai harus dihindari. Untuk NAD misalnya

Page 81: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

64 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

Gambar 11.2. Model mitigasi bencana tsunami.

jarak tersebut disesuaikan dengan jauh-dekatnya penetrasi tsunami ke arah darat.

Daerah sempadan pantai juga perlu dihijaukan kembali dengan mangrove atau hutan pantai seperti waru laut (Hi-biscus tiliaceus) dan cemara (Casuarina sp), sesuai dengan kesesuaian kawasan pesisirnya. Penanaman pohon kelapa kurang efektif dalam meredam tsunami karena akarnya se-rabut sehingga mudah roboh. Robohnya pohon kelapa ini banyak dijumpai penulis saat melakukan survei pasca tsu-nami Banyuwangi �994 dan tsunami Biak �996.

Page 82: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

65 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono

Mangrove berfungsi sebagai pelindung pantai mengi-ngat sistem perakarannya yang dapat meredam ombak, arus, serta menahan sedimen. Beberapa warga sempat terselamatkan akibat berpegangan di pohon mangrove. Mangrove juga berfungsi untuk melindungi pantai dari hempasan badai dan angin. Dalam beberapa kasus, peng-gunaan vegetasi mangrove untuk penahan erosi lebih mu-rah dan memberikan dampak ikutan yang menguntungkan dalam hal meningkatkan kualitas perairan di sekitarnya.

Manfaat mangrove lainnya adalah untuk menahan in-trusi air laut. Fungsi ini sama dengan fungsi hutan yaitu me-nyimpan air tanah. Kemampuan ini telah terbukti dari lahan yang mangrovenya terjaga dengan baik memiliki kondisi air tanah yang tidak terintrusi air laut. Sebaliknya, pada lahan mangrove yang telah dikonversi untuk keperluan lain, air ta-nahnya terintrusi oleh air laut.

Bagi pantai yang tidak cocok ditanami hutan mangrove bisa dihijaukan dengan hutan pantai (waru dan cemara). Secara keseluruhan, fungsi hutan pantai disajikan pada Gambar 2. Terlihat bahwa hutan pantai yang berada di deretan terdepan mengalami kerusakan akibat diterjang langsung tsunami dan kapal-kapal atau benda keras lainnya yang hanyut terbawa gelombang tsunami.

Sementara itu hutan yang berada di belakangnya menahan pohon yang roboh. Dengan demikian, gelombang tsunami beserta ikutannya yang sampai ke permukiman penduduk bisa diredam. Di sisi lain, ekosistem hutan pantai juga bisa menimbulkan gumuk (dune) yang berfungsi mencegah genangan tsunami.

Page 83: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

66 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

Peneliti tsunami asal Jepang, Kenji Harada dan Imamura Fumihiko pada 2003 meneliti efektivitas hutan pantai untuk meredam tsunami. Hutan pantai dengan tebal 200 meter, kerapatan 30 pohon per �00 meter persegi, dan diameter pohon �5 cm ternyata dapat meredam 50 persen energi gelombang tsunami setinggi 3m.

Begitu pula di kawasan lidah pasir (sand bar) yang panjang dan berasosiasi dengan sungai yang sejajar laut yang ada di Krueng Raya, seyogianya dihijaukan semua, tidak boleh dijadikan permukiman. Pengalaman menunjukkan tsunami di Papua New Gunea pada �7 Juli �99� telah menewaskan dan membenamkan 3.000 orang penduduk yang tinggal di kawasan lidah pasir ke dalam laguna Sissano.

ctdArtikel ini dimuat Kompas edisi 20 Januari 2005.

Page 84: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

67 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono

Membangun Selatan Jawa Pascatsunami

Tsunami �7 Juli 2006 yang diakibatkan gempa bumi (tsunamigenic earthquake) berkekuatan 6,� skala Richter melumat kawasan pesisir di selatan Pulau

Jawa. Ribuan permukiman penduduk, hotel, tambak, dan sarana infrastruktur lainnya hancur dan melumpuhkan perekonomian di pesisir Tasikmalaya, Ciamis, Cilacap, dan Kebumen.

Lalu bagaimana membangun kawasan pesisir selatan Jawa pascatsunami? Berdasarkan pengalaman Jepang, negara yang paling sering diterjang tsunami, ada dua hal pokok yang perlu mendapat prioritas.

Pertama, membangun kesadaran masyarakat yang tinggal di kawasan rawan tsunami. Kedua, menata kembali kawasan pesisir sedemikian rupa sehingga daerah tersebut aman dari terjangan tsunami di lain waktu.

12

Page 85: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

6� MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

Karakteristik TsunamiMenurut keterangan berbagai responden yang selamat

dari terjangan tsunami Pangandaran 2006, 50 persen dari mereka itu merasakan gempa dan menganggapnya sebagai gempa yang lemah dan ringan. Setengah responden lainnya malah tidak merasakan gempa. Namun gempa tersebut mampu menimbulkan tsunami dengan ketinggian run up yang bervariasi (kurang dari �0 meter).

Fenomena ini mirip dengan gempa Nicaragua yang menimbulkan tsunami pada �992 dan gempa Jawa Timur yang menimbulkan tsunami pada �994.

Tsunami menerjang pantai selatan Jawa sekitar seper-empat sampai satu jam setelah terjadinya gempa dengan kecepatan tsunami rata-rata 200-600 km per jam. Penduduk melaporkan terjadi penurunan muka-air laut secara drastis sebelum datangnya tsunami. Fenomena turunnya permu-kaan laut secara drastis sesaat sebelum terjadinya tsunami ini sama dengan yang terjadi di NAD 2004.

Dalam beberapa tulisan baik populer maupun ilmiah mengemukakan tentang fenomena ini. Dari hasil rekaman tsunami, Murty (�977) mengemukakan ada ratusan kasus dimana penurunan permukaan air laut secara drastis (initial widhrawal water) ini terjadi. Setelah permukaan air laut surut datanglah gelombang besar tiga sampai lima kali.

Gelombang tsunami pada �7 Juli 2006 menghantam pesisir selatan Jawa sekitar tiga kali dengan gelombang ke-dua merupakan gelombang tertinggi. Selang waktu antara gelombang satu dengan yang lainnya adalah 2-5 menit. Ben-tuk gelombang tegak seperti dinding dengan warna gelom-

Page 86: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

69 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono

bang coklat kehitaman yang menandakan terjadinya erosi di dasar laut. Gelombang tersebut disertai dengan suara se-perti suara gemuruh pesawat, drum, dan suara ledakan.

Banyak literatur di Jepang melaporkan tentang timbul-nya suara abnormal sebelum kedatangan tsunami. Shuto (�99�), dengan gamblang memberikan ilustrasi tentang suara abnormal sebelum terjadinya tsunami. Suara tersebut ada yang menyerupai suara badai, deru kereta api, truk be-sar, helikopter, suara drum band, suara roket yang mende-sing, dan suara ledakan. Jenis suara tersebut dipengaruhi oleh posisi tsunami saat menjalar di pantai yang landai, pantai terjal atau saat menghantam tebing batu (clif). Jadi bukanlah hal aneh apabila saat tsunami Jawa Barat 2006 terdengar suara-suara seperti itu.

Di Provinsi Aomori Jepang terdapat monumen yang ter-pahat tulisan “Earthquake, sea roar, then tsunami” (gempa, suara menderu, disusul tsunami). Monumen ini dibangun setelah Tsunami Sanriku �993 dan ditujukan untuk mem-berikan pendidikan bagi masyarakat generasi penerusnya terhadap tsunami. Pelajaran yang dapat dipetik dari monu-men ini dalalah anjuran agar melakukan evakuasi jika ter-dengar suara aneh setelah terjadi gempa.

Tinggi tsunami Jawa Barat 2006 yang berhasil teramati di sekitar 50 titik bervariasi antara 2-8 m dengan konsentrasi energi tersebar mulai dari Kabupaten Tasikmalaya, Ciamis, dan Cilacap. Ketinggian tsunami tersebut diukur dari permu-kaan air laut sesaat sebelum tsunami. Perbedaan ketinggian tsunami dari satu tempat ke tempat lain lebih dipengaruhi oleh faktor lokal seperti topografi pantai, kedalaman laut,

Page 87: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

70 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

morfologi pantai, dan adanya tembok laut (seawall). Tsunami dengan ketinggian lebih dari 6 m teramati di

Kecamatan Cikalong (Kabupaten Tasikmalaya), Kecamatan Pangandaran (Kabupaten Ciamis), dan Kecamatan Binangun (Kabupaten Cilacap).

Tinggi genangan gelombang tsunami yang melimpas ke daratan bervariasi dan rata-rata kurang dari 2 m diukur dari permukaan tanah. Genangan tsunami tersebut dibarengi arus yang cukup deras, sekitar �0-25 km/jam dengan tekanan yang ditimbulkan cukup besar sekitar 1-3 ton/m2. Kecepatan arus dan tekanan inilah yang menghancurkan kehidupan di pantai. Kembalinya air ke laut setelah mencapai gelombang tertinggi (run-down) juga menyeret segala sesuatu kembali ke laut.

Karakteristik BencanaWalaupun korbannya jauh lebih ringan dibandingkan

dengan gempa dan tsunami NAD (2004), ratusan orang meregang nyawa, ratusan warga lainnya hilang, dan ribuan rumah hancur akibat bencana alam tersebut. Korban dan kerusakan yang terjadi di pantai selatan Jawa seluruhnya diakibatkan oleh tsunami.

Seperti telah diduga, kawasan paling parah terkena tsunami adalah dataran landai dan pantainya berbentuk teluk serta mempunyai tanjung seperti di Pangandaran. Dengan topografi seperti itu, energi yang dihempaskan semakin tinggi ketika mencapai teluk dan lekukan pantai tersebut. Hal ini akibat dari berkumpulnya energi dari laut lepas ketika gelombang berada di celah yang lebih sempit.

Page 88: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

7� Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono

Di samping itu dengan adanya tanjung, energi tsunami juga terkonsentrasi di tanjung sebagai akibat dari proses refaksi-difraksi gelombang tsunami. Dampak dari semuanya ini adalah daerah Taman Nasional Margasatwa Pangandaran dan sekitarnya digempur tsunami dari arah barat dan timur.

Kondisi ini diperparah dengan topografi pantainya landai dan tanpa tanaman pelindung. Kalaupun ada tana-man (kelapa, waru laut, ketapang, cemara laut), kerapatan dan ketebalan hutan pantai tersebut tidak memenuhi syarat untuk meredam tsunami. Bukan apa-apa, gelombang tsu-nami yang besar baik ketinggian maupun kecepatannya de-ngan leluasa menyusup ke daratan dan menghancurkan apa saja yang dilaluinya.

Bisa dibayangkan tempat yang landai tersebut kebanya-kan dipakai untuk hunian, hotel, perkampungan nelayan atau kawasan wisata. Praktis, ketika tsunami menerjang ka-wasan tersebut maka yang terjadi adalah kerusakan parah. Aneka bangunan yang berada di dataran rendah ambruk tersapu oleh gelombang tsunami. Manusiapun tidak kuasa menghindarinya. Jadilah ratusan korban bergelimpangan.

Daerah yang mengalami bencana terbesar akibat tsu-nami berada di tiga kecamatan; Cikalong, Pangandaran, dan Bina-ngun. Bencana tersebut selain diakibatkan oleh deras-nya terjangan tsunami, juga diperparah oleh tata ruang yang kurang ramah bencana dan rusaknya lingkungan. Rumah dibangun dekat dengan laut. Posisi rumah sejajar dengan pantai. Penggalian sand dunes (gumuk pasir). Sabuk hijau (greenbelt) sangat tipis dan hanya tumbuh di beberapa tempat sehingga tidak memenuhi syarat sebagai tameng

Page 89: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

72 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

tsunami. Bahkan di beberapa tempat tidak dijumpai adanya sabuk hijau.

Kerusakan yang ditimbulkan oleh tsunami amat bera-gam dan dapat dikelompokkan menjadi tiga tipe. Pertama, kerusakan struktur bangunan akibat gaya hidrostatik air. Kedua, keruntuhan struktur bangunan karena terjangan arus air laut yang amat deras. Ketiga, kerusakan struktur bangunan akibat hantaman benda-benda keras seperti ka-pal, puing-puing bangunan, dan semacamnya yang terbawa oleh gelombang.

Kita tentu amat prihatin. Tsunami selalu meninggalkan penderitaan berkepanjangan. Ratusan korban manusia tak bisa menyelamatkan atau diselamatkan. Itulah yang terjadi pada tragedi tsunami di selatan Jawa Senin (�7/7/2006) sore lalu.

Padahal masih lekat dalam ingatan kita ketika tsunami Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang amat dahsyat itu menghajar kawasan pesisir pada akhir Desember 2004. Apa boleh buat, kedahsyatan bencana yang terbesar di abad ini belum cukup mampu mengingatkan sebagian besar masyarakat kita terhadap tanda-tanda terjadinya tsunami.

Kekurangpahaman itu tergambar jelas ketika penulis melakukan survei langsung ke lokasi terparah (Tasikmalaya, Ciamis, dan Cilacap), beberapa hari setelah tsunami. Ham-pir semua dari mereka itu melihat fenomena surutnya muka air laut secara mendadak menjelang terjadinya tsunami. Namun tak banyak yang menyadari maut siap mengintai mereka.

Sebut saja di Kecamatan Binangun dan Kecamatan

Page 90: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

73 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono

Adipala, Kabupaten Cilacap. Di dua kecamatan tersebut, ��� orang tewas seketika dihantam tsunami. Kebanyakan yang meninggal adalah masyarakat pesisir yang sedang mencari yutuk di pinggir pantai. Yutuk adalah sejenis kepiting kecil sebesar ibu jari kaki yang digunakan sebagai pakan itik (bebek).

Saking asyiknya memburu yutuk, mereka tidak menya-dari tsunami dengan ketinggian 7,4 meter dari muka air laut itu mengintai mereka. Selang beberapa menit kemudian da-tanglah gelombang tsunami sampai tiga kali dan menengge-lamkan mereka. Pemburu yutuk yang tempat tinggalnya se-hari-hari cukup jauh dari pantai itu tewas. Sedangkan rumah dan itiknya selamat, tidak terjangkau tsunami.

Upaya PemulihanSatu bulan lebih proses tanggap darurat berlalu. Kini,

saatnya melakukan pemulihan pascatsunami. Pertanyaannya adalah bagaimana melakukan pemulihan daerah pasca-tsunami secara efektif?

Dalam konteks saat ini, upaya relokasi ke tempat yang aman dari jangkauan tsunami merupakan langkah yang sulit ditempuh karena faktor sosial budaya masyarakat. Hal itu tercermin dari korban tsunami Banyuwangi (�994), Biak (�996), dan NAD (2004). Walaupun telah dipindahkan ke tempat aman, namun mereka kembali lagi ke lokasi semula yang rawan bencana. Mereka beralasan, pemindahan terse-but menimbulkan masalah baru seperti perlu waktu lebih lama untuk menuju ke tempat kerja, keamanan perahu mereka, faktor psikologis tanah leluhur, dan lain-lain.

Page 91: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

74 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

Sebenarnya tidaklah sulit melakukan pemulihan pasca-tsunami Jawa Barat 2006 berbasis mitigasi. Karakteristik tsunami Jawa Barat seperti halnya tsunami di pantai selatan Jawa pada umumnya masih tergolong moderat dengan kedalaman genangan tsunami di daratan maksimum 2 m.

Sebelum melakukan pemulihan, tentunya perlu diben-tuk tim terpadu lintas sektoral dengan melibatkan masya-rakat, Pemerintah Daerah (provinsi dan kabupaten) yang wilayahnya menjadi korban, serta pemerintah pusat.

Di Pangandaran misalnya, mengingat daerah terse-but merupakan daerah pariwisata dan merupakan sentra perikanan, maka dalam melakukan pemulihan seyogyanya melibatkan pakar-pakar dari perguruan tinggi, Pemerintah Kabupaten Ciamis, Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Depar-temen Pekerjaan Umum, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Departemen Kelautan dan Perikanan, Departe-men Kehutanan, serta Kementerian Lingkungan Hidup.

Mereka harus bekerja secara lintas sektoral sesuai dengan disiplin ilmunya masing-masing. Hal itu bisa dimulai dengan menata ulang peruntukan lahan (land use) yang berbasis mitigasi dengan mempertimbangkan faktor fisik, sosial budaya, dan lingkungan.

Faktor fisik yang perlu diperhatikan adalah struktur bangunan. Sedapat mungkin, arah bangunan sejajar dengan arah penjalaran gelombang tsunami atau tegak lurus dengan pantai. Hal ini dimaksudkan agar tekanan air yang menghantam bangunan lebih kecil.

Bangunan hotel dan rumah yang terletak di dekat pantai seyogyanya dibuat bertingkat (panggung) dengan

Page 92: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

75 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono

lantai bawah terbuka sama sekali, atau dindingnya terbuat dari bahan yang mudah retak (seperti kaca, kayu). Maksudnya agar tsunami dapat lewat dengan leluasa sehingga mengurangi beban horisontal pada struktur. Di hari-hari biasa lantai bawah seyogyanya tidak digunakan sebagai tempat hunian tetapi dimanfaatkan untuk kios, memperbaiki jaring, gudang, atau tempat parkir. Sementara itu, lantai-lantai di atasnya bisa dipakai untuk hunian dan mengungsi (lihat Gambar �2.�).

Sand dunes dan daerah sempadan pantai juga perlu dihijaukan dengan hutan pantai seperti waru laut (Hibiscus tiliaceus), cemara laut (Casuarina sp), ketapang, atau pohon kelapa. Tidaklah sulit menanam tumbuh-tumbuhan di

Gambar 12.1 Contoh rumah panggung ramah bencana tsunami yang telah dikembangkan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan.

Page 93: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

76 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

daerah tersebut. Upaya ini tergolong murah dan terbukti efektif dalam meredam kekuatan tsunami yang menjalar hingga ke daratan.

Selain itu, benda-benda yang berada di pantai seperti kapal dan perahu bisa tertahan oleh vegetasi ini sehingga jumlah korban dan kerusakan bangunan lainnya bisa diperkecil. Di hari-hari biasa hutan pantai ini dapat digunakan sebagai tempat eco-wisata bahari (Gambar �2.2).

Monumen dan museum tsunami juga perlu dipikirkan untuk dibangun di Pangandaran sebagai tetenger untuk mengingatkan generasi berikutnya serta sebagai sarana pendidikan gempa dan tsunami. Monumen ini didesain se-demikian rupa sehingga dapat digunakan untuk menikmati indahnya matahari tenggelam (sun set).

Gambar 12.2 Contoh hutan pantai yang rimbun dikombinasi dengan tembok laut di pantai Sanriku Jepang.

Page 94: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

77 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono

Di tempat-tempat wisata, perlu dibuat shelter. Saat tsu-nami shelter tersebut dapat dimanfaatkan sebagai tempat evakuasi, namun di hari-hari biasa shelter tersebut dapat digunakan sebagai tempat rekreasi.

Dalam hal pembangunan shelter untuk evakuasi tsunami, rekor Jepang tidak tertandingi oleh negara

Gambar 12.3. Contoh shelter terapung yang sedang dikembangkan oleh Jepang.

Page 95: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

7� MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

manapun di dunia. Lihat saja shelter di Okushiri dan Mie Jepang bentuknya yang begitu menawan dan kokoh. Malahan saat ini mereka sedang aktif mengembangkan floating shelter (shelter terapung). Shelter tersebut didesain sedemikian rupa sehingga bentuknya sangat menarik perhatian dan dapat mengapung secara otomatis saat terjadi tsunami (Gambar �2.3). Di hari-hari biasa shelter dapat dimanfaatkan sebagai tempat bermain anak-anak di tepi pantai yang rawan tsunami.

Khusus untuk Pangandaran barat, pemulihan dengan cara kombinasi tembok laut dan greenbelt, penerapan ba-ngunan ramah bencana berupa rumah panggung setinggi 2 m, serta pembangunan shelter untuk evakuasi dirasa cukup ampuh untuk menghadang tsunami di kemudian hari. Untuk memperbaiki pantai yang terabrasi oleh tsunami dan me-nambah space (lahan) untuk keperluan penanaman sabuk hijau dapat pula dilakukan beach nourishment (pengisian pasir).

ctd

Page 96: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

79 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono

Menghalau Banjir

Setelah bencana alam seperti gempa, tsunami, dan longsor datang silih berganti, kini banjir mengintai kehidupan kita. Bahkan di beberapa daerah, banjir

sudah menenggelamkan ribuan rumah, prasarana trans-portasi, sawah, tambak, dan menewaskan puluhan nyawa manusia.

Begitulah fenomena yang terjadi setiap kita menyambut musim penghujan. Ironisnya, bencana alam tersebut bukan-nya malah berkurang baik frekuensi maupun intensitasnya.

Daerah yang sebelumnya tidak pernah terkena banjir, kini harus pasrah diterjang luapan air. Begitu pula dengan daerah yang sudah terbiasa terkena banjir, dampaknya kian parah.

Tak dapat disangkal, penyebab utama banjir masih di-dominasi oleh ulah manusia. Sebesar apa pun hujan yang

13

Page 97: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

�0 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

jatuh di muka bumi, ia tidak akan berperilaku ganas kalau semua aspek ekologis terjaga dengan baik. Sayangnya, sadar atau tidak, kita kurang memahami kearifan alam.

Bayangkan, hutan yang berfungsi sebagai resapan air semakin gundul. Jadi ketika air mengguyur kawasan itu maka dengan leluasa air itu mengumpul di tempat yang lebih rendah.

Hal itu diperparah dengan buruknya kondisi aliran sungai. Sungai-sungai telah dipenuhi sampah. Pendangkalan terus terjadi. Air sungai pun meluap.

Selain sampah, sungai-sungai tadi juga mengalami pendangkalan hebat sebagai akibat erosi tanah di daerah hulu. Berubahnya tata guna lahan menjadi nonvegetasi seperti penggundulan hutan menjadi penyebab utama erosi. Fenomena itu diperparah lagi dengan kondisi badan sungai yang mengalami penyempitan akibat bangunan-bangunan liar di sepanjang bantaran sungai.

Kota yang dibalut hamparan aspal, semen, dan hutan beton membuat air hujan tak mampu meresap ke dalam tanah. Daerah yang tadinya berfungsi sebagai resapan air telah disulap menjadi permukiman, pertokoan, mall, perkantoran, industri dan lain-lain. Akibatnya, memperbesar aliran permukaan (run-off) yang ujung-ujungnya membuat banjir kian parah dan meluas.

Penyedotan air tanah secara berlebihan juga memberi kontribusi terhadap banjir. Fakta membuktikan, terkurasnya air itu mengakibatkan tanah ambles dan menimbulkan ce-kungan. Sekali turun hujan, terbentuklah genangan.

Kondisi alam yang semakin memprihatinkan itu ter-

Page 98: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

�� Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono

nyata tidak diimbangi dengan sistem drainase yang baik. Pembangunan dan pengembangan lahan nonvegetasi tidak dilengkapi dengan prasarana drainase yang memadai.

Dalam skala lokal, buruknya drainase kota juga punya andil besar terjadinya banjir. Banyak dari saluran pembu-angan air tak berfungsi sebagaimana mestinya.

Saluran air yang ada di kota telah terisi oleh sampah-sampah plastik, kaleng, kertas, daun, dan lain-lain. Jangan kaget ketika hujan turun, kota yang telah dibalut oleh tembok-tembok beton, jalan aspal, rumah penduduk, dan industri itu semakin terendam air.

Ulah ManusiaUlah manusia bukan cuma di situ. Industrialisasi be-

serta kegiatan yang mengikutinya (seperti transportasi dan gedung-gedung ber-AC) berdampak pada efek rumah kaca (green house effect).

Pemanasan global pun tak dapat dihindari. Kekacauan iklim mulai terjadi. Suhu muka air laut naik. Ujung-ujungnya daratan beku di Benua Antartika pun meleleh. Akibatnya, terjadilah kenaikan permukaan air laut (sea level rise atau SLR).

Menurut IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change), suatu badan yang dibentuk oleh WMO (World Me-teorological Organization) dan UNEP (The United Nation of Enviroment Program), laju SLR sekitar 3-�0 cm per dasawar-sa (10 tahun). Isu ini sangat dikhawatirkan umat manusia. Bukan apa-apa, peristiwa itu mengakibatkan dataran pantai yang rendah bisa terendam air laut.

Page 99: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

�2 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

Lalu bagaimana nasib Indonesia? Menurut analisis Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal), laju SLR di beberapa pulau kecil dan kota di pantai utara Jawa (seperti Jakarta, Semarang, dan Jepara) sekitar 8 mm/tahun.

Efek ini menimbulkan pembendungan di muara-muara sungai dan mulut saluran drainase terhadap air tawar yang datang dari daratan. Jika hal ini disertai dengan curah hujan yang tinggi maka banjir kian hebat.

Kondisi ini diperparah oleh muara-muara sungai di In-donesia yang umumnya landai. Jika diasumsikan SLR satu meter saja maka air laut itu merangsek ke sungai sejauh puluhan kilometer. Akibatnya, lagi-lagi terjadi pembendun-gan.

Pembendungan itu membuat kecepatan air sungai ber-kurang. Akibatnya, laju sedimentasi di muara akan bertam-bah sehingga mengurangi daya tampung sungai di muara.

Upaya MitigasiLalu tak adakah upaya untuk menghalau banjir? Tidaklah

mudah menangani banjir yang begitu kompleks. Karena itu perlu strategi yang komprehensif dengan melibatkan berbagai instansi terkait dan masyarakat.

Secara filosofis, penanganan banjir dapat ditempuh dengan beberapa strategi. Pertama, menerapkan pola protektif. Pola ini dilakukan dengan membuat bangunan pengendali banjir misalnya waduk, polder, kolam-kolam penampungan, sumur resapan, saluran pengendali banjir, drainase, dan tanggul.

Page 100: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

�3 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono

Kedua, dengan pola adaptasi. Pola ini dilakukan dengan cara menyesuaikan kondisi yang terjadi misalnya dengan membuat rumah panggung. Walaupun terjadi banjir, rumah tersebut tetap aman karena air dapat mengalir lewat bawah rumah.

Ketiga, dengan pola retreat (mundur), yakni dengan menyesuaikan peruntukan lahan dengan kondisi alamnya. Salah satunya, menjauhkan permukiman penduduk dari daerah rawan banjir.

Upaya lain adalah membangun sistem peringatan dini banjir. Daerah-daerah rawan banjir perlu memasang bera-gam teknologi yang mampu memprediksi curah hujan dan debit air.

Selain yang sifatnya fisik perlu dilakukan pula upaya nonfisik seperti pembuatan peta risiko banjir, penyuluhan dan penyadaran masyarakat, pelatihan, simulasi penanggu-langan banjir, peraturan perundangan, tata guna lahan dan tata ruang.

Tak kalah pentingnya adalah pengelolaan sampah dengan menerapkan konsep 4R; reduce (mengurangi) sampah, reuse (menggunakan kembali), recycle (mendaur ulang), dan replant (menanam kembali). Konsep demikian diharapkan mampu mengurangi beban sampah yang masuk ke sungai dan saluran drainase.

Gerakan nasional sebenarnya sudah banyak dicetuskan oleh pemerintah. Sebut saja GN-RHL (Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan) guna mengurangi laju erosi dan run-off (aliran permukaan).

Lalu ada juga Prokasih (Program Kali Bersih) yang dapat

Page 101: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

�4 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

mengurangi gangguan terhadap aliran sungai sekaligus menambah daya tampung sungai. Program Langit Biru juga dibuat untuk mengurangi emisi gas buang ke udara sehingga dapat menurunkan laju pemanasan global.

Sayangnya, gerakan-gerakan nasional tersebut belum membumi. Banjir terus saja melanda di berbagai kawasan Indonesia. Bahkan dampak yang ditimbulkannya semakin memprihatinkan.

Masyarakat, baik di daerah rawan banjir maupun di hulu sungai sangat besar perannya. Mereka dituntut untuk sadar, peduli, dan cinta terhadap lingkungan serta disiplin terhadap peraturan dan norma-norma yang ada. Tanpa hal itu, banjir terus meneror kita.

ctdArtikel ini dimuat di Seputar Indonesia edisi 16 Januari 2007.

Page 102: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

�5 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono

Rob di Tengah Isu Pemanasan Global

Jebolnya tanggul akibat banjir rob (pasang laut) telah merobohkan belasan rumah di kawasan pesisir Jakarta, Senin (26/��/2007). Bukan hanya itu, akses jalan raya,

baik dari maupun menuju Bandara Internasional Soekarno-Hatta, juga lumpuh total akibat tergenang air laut yang cukup tinggi. Banyak penerbangan mengalami penundaan. Ratusan hektar tambak pun gagal panen.

Bencana banjir rob disebabkan banyak hal, mulai dari ulah manusia yang merusak lingkungan hingga alami (pasang surut). Maklum, dewasa ini pembangunan di wilayah pesisir sangat cepat, tetapi kurang mengindahkan kaidah tata ruang ramah bencana. Permukiman dibangun terlalu dekat dengan pantai. Mangrove tinggal secuil, hanya tumbuh di beberapa tempat.

14

Page 103: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

�6 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

Penyedotan air tanah secara berlebihan juga memberi kontribusi terhadap banjir rob. Fakta membuktikan, ter-kurasnya air itu mengakibatkan tanah ambles. Ketika terjadi rob, terbentuklah genangan air laut yang luas. Itulah yang menimpa Jalan Tol Sedyatmo baru-baru ini.

Perilaku manusia yang tak ramah lingkungan itu masih diperparah dengan kian pesatnya industrialisasi dan peng-gundulan hutan. Akibatnya terjadilah pemanasan global yang menimbulkan kekacauan iklim dan ekspansi termal lapisan permukaan laut. Es di Benua Antartika meleleh. Ke-naikan paras muka air laut (sea level rise) tak dapat dielak-kan.

Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), suatu badan yang dibentuk oleh Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) dan Program Lingkungan PBB (UNEP), mem-perkirakan laju paras muka air laut di muka Bumi sekitar 3-�0 cm per dasawarsa. Lalu, bagaimana dengan Indonesia?

Menurut analisis dari beberapa stasiun pasang surut di Jepara, Jakarta, Batam, Ambon, Biak, dan Kupang, selama dasawarsa terakhir menunjukkan, paras muka air laut di kawasan itu berkisar 5-�0 milimeter per tahun. Isu ini sangat mengkhawatirkan pesisir berdataran landai di Indonesia. Jika diasumsikan kemiringan pantai 1 persen saja, itu berarti dataran pantai yang tenggelam 0,5 meter sampai � meter per tahun.

Kondisi ini diperparah dengan muara sungai yang sangat landai. Jika diasumsikan kelandaian muara sungai rata-rata �:�0.000, maka air laut akan merangsek ke arah darat sejauh 50-�00 meter per tahun.

Page 104: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

�7 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono

Pasang surutPasang surut atau proses naik turunnya muka air laut

secara teratur yang disebabkan oleh gaya tarik Bulan dan Matahari juga berkontribusi terhadap bencana banjir rob. Berdasarkan analisis menggunakan metode admiralty, kon-disi pasang laut tertinggi untuk tahun 2007 terjadi pada 26 November, yakni sekitar 1,2 meter. Pasang tinggi dengan ni-lai yang hampir sama diprediksi akan terjadi lagi antara 23 dan 25 Desember 2007.

Saat itulah terjadi bulan purnama yang menyebabkan pasang tinggi. Seperti diketahui, dalam satu tahun akan terjadi pasang air laut saat bulan purnama pada bulan tertentu lebih tinggi dibandingkan dengan pasang purnama pada bulan-bulan yang lain. Karena itu, dalam satu tahun akan terjadi satu kali pasang tertinggi tahunan. Pasang air laut akan mencapai satu kali pasang tinggi tertinggi dengan periode ulang ��,6 tahun.

Secara filosofis, penanganan banjir rob di wilayah pesi-sir dapat ditempuh dengan beberapa strategi. Pertama, pola protektif dengan membuat bangunan pantai yang mampu mencegah banjir rob agar tidak merangsek ke darat. Pola ini bertujuan melindungi antara lain permukiman, industri wisata, jalan raya, dan daerah pertanian dari genangan air laut.

Tanggul dan bangunan pantai tidak hanya dirancang berdasarkan muka air pasang tinggi dan gelombang laut pada saat ini, tetapi juga harus memperhitungkan amblesan tanah, paras muka air laut, pasang tinggi tertinggi, dan gelombang laut akibat angin dalam kondisi ekstrem.

Page 105: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

�� MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

Pola protektif lain yang dapat ditempuh adalah dengan melakukan restorasi melalui peremajaan pantai (beach nourishment) dan rehabilitasi mangrove. Proses ini meliputi pengambilan material dari tempat yang tidak membahayakan dan diisikan ke tempat yang membutuhkan. Lahan hasil timbunan ini kemudian ditanami mangrove sehingga dapat meredam banjir rob merangsek ke darat. Hutan mangrove juga berfungsi sebagai penyerap karbon untuk mengurangi pemanasan global.

Kedua, pola adaptif menyesuaikan dengan banjir rob. Rumah-rumah di tepi pantai dibuat model panggung agar aman dari genangan air laut, terutama pada waktu banjir rob. Daerah pertanian yang tergenang air laut akibat banjir rob dapat diubah peruntukannya menjadi lahan budidaya perikanan.

“Pola protektif lain yang dapat ditempuh adalah dengan melakukan restorasi melalui peremajaan pantai (beach nourishment) dan rehabilitasi

mangrove. Proses ini meliputi pengambilan material dari tempat

yang tidak membahayakan dan diisikan ke tempat yang membutuhkan.”

Page 106: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

�9 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono

Ketiga, pola mundur (retreat) bertujuan menghindari genangan dengan cara merelokasi permukiman, industri, daerah pertanian, dan lain-lain ke arah darat agar tidak terjangkau air laut akibat banjir rob.

Upaya lain yang tidak kalah penting adalah mengenda-likan pemanfaatan air tanah dan membuat sumur resapan untuk menghambat laju amblesan tanah.

Selain yang bersifat fisik, perlu dilakukan pula upaya nonfisik, seperti pembuatan peta risiko banjir rob, penyu-luhan, dan penyadaran masyarakat. Masyarakat, baik di daerah rawan banjir rob maupun di luar kawasan, sangat besar perannya. Mereka dituntut untuk sadar, peduli, dan cinta terhadap lingkungan serta disiplin terhadap peraturan dan norma-norma yang ada.

Jika kita tidak segera sadar terhadap lingkungan, maka banjir rob semakin sering terjadi dan bahkan bisa lebih ganas lagi. Pasalnya, bisa saja terjadi kemungkinan di mana kondisi amblesan tanah dan paras muka air laut yang semakin parah bersuposisi dan berakumulasi bersamaan dengan pasang tinggi tertinggi dan gelombang laut yang ekstrem pada masa-masa yang akan datang. Apalagi kalau dibarengi dengan hujan yang sangat deras. Siapkah kita menghadapinya?

ctd

Artikel ini dimuat di Kompas edisi 10 Desember 2007.

Page 107: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

90 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

Meredam Banjir Rob

Setelah bencana banjir akibat hujan datang silih ber-ganti di beberapa wilayah Indonesia, kini banjir rob akibat meluapnya air laut mengintai kehidupan kita.

Bahkan di beberapa daerah, banjir rob sudah meneng-gelamkan ratusan rumah, prasarana transportasi, sawah, dan tambak.

Kalau ditelisik lebih dalam, rentetan bencana banjir rob itu disebabkan banyak hal, mulai dari ulah manusia yang merusak lingkungan hingga dinamika laut.

Bayangkan, akhir-akhir ini pengembangan dan pem-bangunan di wilayah pesisir sangat cepat tetapi kurang mengindahkan kaidah tata ruang ramah bencana. Sehingga saat air laut pasang wilayah tersebut tergenang air asin.

Di samping itu, hutan mangrove yang berfungsi sebagai peredam gelombang dan banjir rob semakin gundul. Jadi ketika ada banjir rob maka dengan leluasa air laut itu me-

15

Page 108: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

9� Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono

nyusup dan merangsek ke darat.Penyedotan air tanah secara berlebihan juga memberi

kontribusi terhadap banjir rob. Fakta membuktikan, ter-kurasnya air itu mengakibatkan tanah ambles. Sekali terjadi pasang laut tinggi, terbentuklah genangan.

Ulah manusia bukan cuma di situ. Disadari atau tidak, semakin maraknya industrialisasi beserta kegiatan yang mengikutinya (seperti transportasi dan pembangunan ge-dung-gedung ber-AC) mengakibatkan peningkatan efek rumah kaca (green house effect).

Dari sinilah terjadi pemanasan global (global warming) dan menimbulkan ekspansi termal lapisan permukaan laut, termasuk di Benua Antartika. Glacier dan lapisan es di daratan paling selatan itu meleleh. Akibatnya, terjadilah kenaikan paras muka air laut (Sea Level Rise atau SLR).

IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change), suatu badan yang dibentuk oleh WMO (World Meteorological Organization) dan UNEP (The United Nation of Enviroment Program), memperkirakan terjadi laju SLR sekitar 3-�0 cm per dasawarsa, tergantung pada derajat pemanasan global yang terjadi.

Menurut analisis dari beberapa stasiun pasang surut di Jepara, Jakarta, Batam, Ambon, Biak, Batam, dan Kupang, selama sembilan tahun pengamatan menunjukkan, rata-rata SLR di kawasan tersebut sekitar � mm/tahun. Isu ini sangat mengkhawatirkan Indonesia pada abad ke-21. Bukan apa-apa, peristiwa itu mengakibatkan dataran pantai di pulau-pulau kecil yang rendah bisa diterjang banjir rob lebih dahsyat.

Page 109: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

92 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

Pasang Surut dan BadaiPasang surut juga punya kontribusi terhadap bencana

banjir rob. Pasang surut ialah proses naik-turunnya muka air laut yang teratur, disebabkan terutama oleh gaya tarik bulan dan matahari. Karena posisi bulan dan matahari terhadap bumi selalu berubah secara hampir teratur, maka besarnya kisaran pasang surut juga berubah mengikuti perubahan posisi-posisi tersebut.

Muka air laut pasang tertinggi bulanan terjadi pada saat bulan purnama. Jadi dalam satu bulan akan terjadi satu kali pasang tinggi. Namun demikian, dalam satu tahun, akan terjadi pasang air laut pada saat bulan purnama tertentu lebih tinggi dibandingkan dengan pasang purnama pada bulan-bulan yang lain. Oleh karena itu dalam satu tahun akan terjadi satu kali pasang tertinggi tahunan.

Jika muka air pasang tinggi tahunan ini terjadi bersamaan dengan badai besar dapat dipastikan akan terjadi akumulasi kenaikan muka air laut yang berdampak pada meluapnya air ke daerah dataran rendah pantai.

Selain itu, muka air laut pasang dapat mencapai tertinggi dalam kurun waktu ��,6 tahun yang disebut muka air pasang tinggi tertinggi (highest high water level). Jadi kalau terjadi muka air laut pasang tinggi tertinggi dengan periode ulang ��,6 tahunan, sudah bisa diduga banjir rob yang terjadi bisa lebih dahsyat.

Angin juga punya andil besar terhadap terjadinya banjir rob. Apabila terjadi badai di daerah pantai maka permukaan air laut akan miring ke atas menuju arah pantai sehingga menimbulkan kenaikan muka air laut di pantai. Kenaikan

Page 110: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

93 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono

muka air laut di pantai karena angin ini biasa disebut dengan wind set-up.

Besarnya nilai wind set-up berbanding lurus dengan kecepatan angin dan berbanding terbalik dengan kedalaman perairan pantai. Jadi semakin dangkal perairan pantai, maka semakin besar nilai wind set-up. Demikian pula apabila kecepatan anginnya semakin besar maka nilai wind set-upnya pun semakin besar.

Gelombang laut akibat angin juga punya andil cukup be-sar terjadinya banjir rob di wilayah pesisir. Gelombang laut

Gambar 15.1. Kondisi muka air di muara sungai saat normal (Gambar atas), dan gambar bawah menunjukkan kondisi muka air di muara sungai meluap.

Page 111: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

94 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

akibat angin pada umumnya ditimbulkan oleh angin yang berhembus di atas permukaan laut.

Gelombang yang datang dari laut menuju pantai menyebabkan fluktuasi muka air di daerah pantai. Pada waktu gelombang pecah akan terjadi penurunan elevasi muka air rerata terhadap elevasi muka air diam di sekitar lokasi gelombang pecah. Kemudian dari titik di mana gelombang pecah permukaan air rerata miring ke atas ke arah pantai. Turunnya muka air di sekitar gelombang pecah tersebut disebut wave set-down, sedang naiknya muka air di pantai di sebut wave set-up.

Besarnya nilai wave set-up berbanding lurus dengan besarnya tinggi gelombang. Semakin besar tinggi gelombang maka semakin besar pula nilai wave set-up. Dapat dimaklumi apabila pada saat pasang tertinggi terjadi badai maka akan menyebabkan timbulnya banjir rob yang besar (Gambar 6).

Upaya AdaptasiTidaklah mudah menangani banjir rob yang begitu

kompleks. Karena itu untuk mengatasinya diperlukan upaya adaptasi yang komprehensif dengan melibatkan berbagai instansi terkait dan masyarakat.

Secara filosofis, penanganan banjir rob di wilayah pesisir dapat ditempuh dengan beberapa strategi. Pertama, pola protektif yaitu dengan membuat bangunan pantai yang mampu mencegah banjir rob agar tidak merangsek ke darat. Pola tersebut bertujuan melindungi permukiman, industri wisata, jalan raya, daerah pertanian, dan lain-lain dari genangan air laut.

Page 112: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

95 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono

Pola protektif lain yang dapat ditempuh adalah dengan melakukan restorasi melalui peremajaan pantai dan reha-bilitasi mangrove. Cara restorasi dengan peremajaan pantai (beach nourishment) merupakan alternatif yang sudah cu-kup lama dikenal. Proses ini meliputi pengambilan material dari tempat yang tidak membahayakan dan diisikan ke tem-pat yang membutuhkan. Lahan hasil timbunan ini kemudian ditanami mangrove sehingga dapat mencegah air laut aki-bat banjir rob merangsek ke darat.

Kedua, pola akomodatif, yakni menyesuaikan dengan banjir rob. Rumah-rumah penduduk di tepi pantai dibuat model panggung agar aman dari genangan air laut, terutama pada waktu banjir rob. Bagi daerah pertanian dan budidaya lain yang tergenang air laut akibat banjir rob dapat diubah peruntukannya menjadi lahan budidaya perikanan.

Ketiga, pola mundur (retreat). Pola ini bertujuan meng-hindari genangan dengan cara merelokasi permukiman, industri, daerah pertanian, dan lain-lain ke arah darat agar tidak terjangkau air laut akibat banjir rob.

Selain yang sifatnya fisik perlu dilakukan pula upaya nonfisik seperti pembuatan peta risiko banjir rob, penyuluh-an, dan penyadaran masyarakat.

Masyarakat, baik di daerah rawan banjir rob maupun di luar kawasan sangat besar perannya. Mereka dituntut untuk sadar, peduli, dan cinta terhadap lingkungan serta disiplin terhadap peraturan dan norma-norma yang ada. Bila kita tidak segera sadar terhadap lingkungan, maka banjir rob semakin sering terjadi dan bahkan bisa lebih ganas lagi.

Page 113: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

96 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

Mengantisipasi Gelombang Pasang

Duka masih menyelimuti masyarakat pesisir Indo-nesia. Setelah bencana tsunami dan banjir datang silih berganti, kini giliran belasan provinsi yang ber-

hadapan dengan Samudera Indonesia diterjang ganasnya gelombang pasang. Akibatnya nahas. Ratusan rumah, pe-rahu, tempat wisata, jalan dan lain sebagainya mengalami kerusakan parah.

Kerusakan tersebut selain diakibatkan oleh tingginya gelombang pasang, juga diperparah oleh tata ruang dan konstruksi bangunan yang kurang ramah bencana dan rusaknya lingkungan. Rumah dibangun dekat dengan laut dan tidak mematuhi building code. Tidak ada tameng baik buatan maupun alami yang dapat meredam amukan gelom-bang pasang.

16

Page 114: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

97 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono

Besar kecilnya gelombang pasang dipengaruhi oleh besar kecilnya perubahan muka air laut yang terjadi baik akibat angin (wind set-up), gelombang angin (wave set-up), maupun pasang surut air laut akibat gaya tarik menarik bulan dan matahari (air laut pasang), dan fluktuasi muka air laut akibat gelombang yang dibangkitkan oleh angin. Superposisi di antara mereka pada kondisi ekstrim dan badai akan menghasilkan gelombang pasang yang dahsyat.

Dinamika LautGaya-gaya eksternal seperti siklon tropis, angin, dan

pasang surut dapat menimbulkan dinamika laut yang berupa perubahan muka air laut. Siklon tropis adalah badai dengan udara hangat di pusatnya. Udara hangat yang lebih ringan pada pusat siklon menyebabkan tekanan udara di situ menjadi lebih rendah.

Perbedaan tekanan udara yang sangat kontras tersebut menyebabkan udara bergerak ke arah pusat tekanan rendah. Karena pengaruh rotasi bumi maka terbentuklah pusaran udara yang dikenal dengan siklon.

Tekanan udara yang rendah juga berkontribusi terhadap kenaikan muka laut. Setiap 10 mbar penurunan tekanan udara, akan menyebabkan kenaikan muka laut sekitar �0 cm. Gabungan antara pengaruh tekanan rendah dan angin kencang yang bertiup cukup lama di atas permukaan laut yang dangkal inilah yang menjadi biang terjadinya gelom-bang pasang yang dicetuskan oleh storm surge.

Siklon atau badai tropis tidak akan terjadi di dekat kha-tulistiwa dengan radius antara 5°LU sampai 5°LS, tetapi

Page 115: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

9� MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

dapat terjadi pada jarak di luar �0o dari khatulistiwa. Oleh karena itu storm surge yang berasosiasi dengan badai tropis ini tidak pernah terjadi di Indonesia.

Namun ”ekor” badai atau pengaruhnya bisa dirasakan pada daerah tertentu di Indonesia, seperti pantai barat Sumatera, selatan Jawa, selatan Bali, NTB, dan NTT. Pengaruh tersebut dapat berupa curah hujan yang tinggi, angin kencang, serta gelombang yang dibangkitkan oleh angin yang cukup besar yang kadang-kadang dapat mencapai ketinggian 5 m.

Angin yang kencang punya peran cukup besar terhadap terjadinya gelombang pasang. Apabila terjadi angin kencang (badai) akan mendorong muka air laut sehingga menimbulkan kenaikan muka air laut di pantai yang biasa disebut dengan wind set-up.

Gelombang laut yang dibangkitkan oleh angin (sela-njutnya disebut gelombang angin) juga punya andil cukup besar terjadinya gelombang pasang. Gelombang angin pada umumnya ditimbulkan oleh angin yang berhembus di atas permukaan laut dapat berbentuk sea wave (gelombang sea) maupun swell wave (gelombang swell atau alun).

Gelombang sea adalah gelombang laut yang terbentuk di daerah pembangkit. Gelombang sea yang terjadi di pantai biasanya disertai dengan adanya angin kencang di pantai.

Sedangkan gelombang swell adalah gelombang laut yang sudah merambat jauh dari daerah pembangkit. Gelom-bang swell tidak lagi terpengaruh oleh keberadaan angin tetapi ditunjang oleh energi yang telah didapat di daerah sea. Oleh karena itu gelombang swell yang sampai pantai

Page 116: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

99 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono

kadang-kadang dapat terjadi tanpa disertai adanya angin yang kencang di daerah pantai. Tetapi kadang-kadang dapat datang berbarengan dengan angin lokal.

Pantai di Indonesia yang berhadapan dengan Samudera Indonesia dihampiri oleh gelombang swell yang dibangkit-kan oleh angin yang terjadi akibat adanya depresi tekanan lintang menengah di bagian selatan Samudera Indonesia. Swell datang (menjalar) ke pantai tanpa halangan di an-tara selatan Afrika dan barat daya Australia. Biasanya swell ini datang di pantai di Indonesia yang berhadapan dengan Samudera Indonesia dari arah selatan atau barat daya. Pe-riode gelombang berkisar antara 7 hingga 20 detik. Tinggi gelombang rata-rata � hingga 2 meter dengan beberapa gelombang bisa mencapai tinggi 5 meter. Biasanya gelom-bang akan lebih tinggi pada saat bulan Mei hingga Oktober.

Daerah pesisir lainnya di Indonesia yang kemungkinan besar dihampiri gelombang swell adalah pantai utara Papua dan Maluku yang berhadapan langsung dengan Samudera Pasifik. Gelombang swell ini dibangkitkan oleh angin yang berhembus di atas Samudera Pasifik dan menjalar ke pantai tanpa mengalami hambatan.

Gelombang angin dari laut baik yang berupa gelombang sea maupun swell yang menuju pantai akan pecah pada kedalaman laut kira-kira 1,25 kali tinggi gelombang. Pada waktu Gelombang pecah akan terjadi penurunan elevasi muka air laut rerata terhadap elevasi muka air laut diam di sekitar lokasi gelombang pecah. Kemudian dari titik di mana gelombang pecah, permukaan air laut rerata miring ke atas ke arah pantai. Naiknya muka air laut di pantai ini di sebut

Page 117: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

�00 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

wave set-up.Selain angin dan gelombang, pasang surut juga punya

kontribusi terhadap besarnya gelombang pasang. Pasang surut ialah proses naik-turunnya muka air laut yang teratur, disebabkan terutama oleh gaya tarik bulan dan matahari. Karena posisi bulan dan matahari terhadap bumi selalu berubah secara hampir teratur, maka besarnya kisaran pasang surut juga berubah mengikuti perubahan posisi-posisi tersebut.

Kisaran pasang surut juga berubah dari waktu ke waktu baik harian, bulanan, maupun tahunan dan akan mencapai nilai tertinggi dengan periode ulang 18,6 tahun. Fenomena ini biasa disebut pasang tinggi tertinggi (highest high water level). Dapat dimaklumi apabila pada saat pasang tinggi tertinggi terjadi badai maka akan timbul gelombang pasang yang sangat dahsyat.

AntisipasiLalu tak adakah upaya untuk mengantisipasi gelombang

pasang? Antisipasi gelombang pasang di wilayah pesisir dapat ditempuh dengan berbagai cara.

Pertama, menyesuaikan diri dengan gelombang pasang. Rumah-rumah penduduk di tepi pantai dibuat model pang-gung yang aman dari genangan air laut akibat gelombang pasang. Bagi daerah pertanian yang tergenang air laut saat gelombang pasang dapat diubah peruntukannya menjadi lahan budidaya perikanan.

Kedua, membuat bangunan pantai (tembok laut, break-water) yang mampu mencegah gelombang pasang agar ti-

Page 118: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

�0� Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono

dak merangsek ke darat. Antisipasi ini bertujuan melindungi permukiman, industri, wisata, jalan raya, daerah pertanian, dan lain-lain dari gempuran gelombang pasang. Di Jepang misalnya, upaya seperti ini mampu menyelamatkan manu-sia dan harta-benda lainnya dari hantaman gelombang pa-sang.

Ketiga, melakukan restorasi melalui peremajaan pantai dan rehabilitasi vegetasi pantai. Cara restorasi dengan pe-remajaan pantai (beach nourishment) sudah cukup lama dikenal. Proses ini meliputi pengambilan material dari tem-pat yang tidak membahayakan dan diisikan ke tempat yang membutuhkan. Lahan hasil timbunan ini kemudian ditana-mi vegetasi pantai sehingga dapat meredam hantaman ge-lombang pasang.

Keempat, menghindari gelombang pasang dengan cara merelokasi permukiman, industri, wisata, daerah pertanian, dan lain-lain ke arah darat agar tidak terjangkau gelombang pasang.

Tentu saja antisipasi tersebut butuh biaya mahal. Walau-pun demikian, biaya tersebut tidak ada artinya dibanding-kan dengan besarnya kerugian yang dialami manusia dan lingkungan akibat terjangan gelombang pasang.

ctd

Artikel ini dimuat di Seputar Indonesia edisi 22 Mei 2007.

Page 119: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

�02 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

Penambangan Pasir dan Ekologi Laut

Penambangan pasir laut telah berkembang menjadi polemik nasional. Dampaknya seperti nelayan yang kehilangan mata pencarian hingga tenggelamnya

sebuah pulau telah berkembang menjadi bahan pembicaraan di masyarakat.

Secara obyektif pasir laut memang bisa disebut salah satu sumber daya kelautan yang berkembang menjadi komoditas ekonomi. Namun, penambangan pasir laut berdampak pada pengelolaan wilayah pesisir dan laut. Kegiatan penambangan pasir laut apabila tidak dilakukan di daerah yang tepat dan dengan cara yang tepat akan berdampak pada lingkungan, baik fisik, biologi, maupun sosial.

Penambangan pasir laut yang sebagian besar dilakukan di daerah nearshore dapat mengganggu stabilitas pantai

17

Page 120: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

�03 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono

yang selama ini dipahami sebagai penyebab tenggelamnya sebuah pulau. Bagaimana sebenarnya akibat penambangan pasir laut terhadap dinamika pantai?

Pantai dikatakan stabil jika untuk waktu lama hampir tak mengalami perubahan bentuk. Kestabilan pantai ditentukan oleh berbagai faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal meliputi arus, gelombang, angin, maupun pasang surut, sedangkan faktor internal menyangkut karakteristik, tipe sedimen, serta lapisan dasar di mana sedimen itu berada.

Penggalian pasir pantai akan mengakibatkan dampak berupa perubahan batimetri, pola arus, pola gelombang, dan erosi pantai. Apabila dasar perairan digali untuk pe-nambangan pasir, maka permukaan dasar perairan akan se-makin dalam. Dampaknya, lereng pantai menjadi lebih terjal sehingga menimbulkan ketidakstabilan lereng pantai.

Aktivitas penambangan pasir laut mengakibatkan peru-bahan pola arus, baik arus yang diakibatkan oleh pasang su-rut maupun oleh gelombang, perubahan energi gelombang, dan perubahan pola sebaran sedimen pantai. Perubahan pola faktor-faktor eksternal ini dapat berdampak pada pe-macuan intensitas erosi.

Mengingat pendalaman dasar perairan depan garis pantai akan menurunkan/menghilangkan efek peredaman gelombang, energi gelombang yang menggempur pantai menjadi semakin besar. Selain menurunkan efek peredam-an, pendalaman dasar perairan di sekitar pantai juga me-nimbulkan perubahan pola arah gelombang yang lebih dike-nal sebagai refraksi.

Di daerah laut dalam, gelombang merambat tidak dipe-

Page 121: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

�04 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

ngaruhi dasar laut. Akan tetapi, di daerah laut transisi dan dangkal penjalaran perambatan gelombang sangatlah dipe-ngaruhi oleh dasar laut. Refraksi mempunyai pengaruh besar terhadap distribusi energi gelombang di sepanjang pantai.

Perubahan arah gelombang akibat refraksi akan meng-hasilkan konvergensi (konsentrasi) dan divergensi (penye-baran) energi gelombang. Pada titik terjadinya konsentrasi gelombang, intensitas erosi akan meningkat. Pantai dika-takan stabil apabila massa sedimen yang ditranspor oleh arus sejajar pantai dalam jumlah konstan sepanjang pantai.

Penambangan pasir menimbulkan kawah yang bisa mengganggu keseimbangan transpor sedimen sejajar pan-tai. Kawah menyebabkan terperangkapnya sedimen sejajar pantai sehingga jumlah massa sedimen berkurang. Untuk menutupi defisit ini, gelombang dan arus sejajar pantai be-rusaha mengerosi dinding pantai sebelah hilir (downdrift) kawah.

Tipologi pantaiDampak yang ditimbulkan penambangan pasir laut

terhadap perubahan garis pantai pastilah berbeda, bergantung pada tipe dan material pembentuk pantai. Secara umum, berdasarkan material penyusunnya, pantai dapat dibedakan sebagai berikut.

Pertama, pantai berbatu. Biasanya dicirikan dengan dinding pantai terjal yang langsung berhubungan dengan laut. Pada daerah yang terlindung, keberadaan tebing pantai ini terdapat agak jauh dari pantai, dengan karakteristik pantai berpasir. Jenis pantai tebing dapat ditemukan dalam

Page 122: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

�05 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono

dua tipe, yaitu tebing karang dengan material lepas yang gampang hancur atau runtuh dan tebing batuan induk yang umumnya keras dan tidak mudah hancur.

Bentuk tebing pantai umumnya dipengaruhi keadaan alam, yaitu gelombang, arus pantai, angin, atau yang diakibatkan secara tidak langsung oleh kegiatan manusia di wilayah pantai. Pantai berbatu biasanya tidak mudah tererosi akibat adanya arus atau gempuran gelombang. Erosi di daerah pantai berbatu lebih banyak oleh pelapukan batuan atau proses geologi lain dalam waktu yang relatif lama. Erosi pada material masif (seperti batu atau karang) ini lebih dikenal dengan nama abrasi.

Kedua, pantai berpasir dan pantai berlumpur. Pantai tipe ini terbentuk oleh proses di laut akibat erosi gelombang, pengendapan sedimen, dan material organik. Pantai berpasir umumnya banyak dijumpai pada pantai di Indonesia. Material penyusun pantai tersebut biasanya terdiri atas pasir bercampur batu yang berasal dari daratan yang terbawa aliran sungai atau berasal dari daratan di belakang pantai tersebut. Di samping berasal dari daratan, material penyusun pantai ini juga dapat berasal dari berbagai jenis biota laut yang ada di daerah pantai itu sendiri.

Pantai berlumpur yang banyak dijumpai di muara sungai yang ditumbuhi oleh hutan mangrove, energi gelombang terdisipasi oleh hutan mangrove dan lumpur. Pantai tipe ini banyak ditemui di pantai utara Pulau Jawa, pantai timur Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Pantai tipe ini relatif mudah berubah bentuk, mengalami deformasi, dan tererosi.

Page 123: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

�06 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

Proses pantaiPerubahan bentuk atau lebih dikenal sebagai morfologi

pantai merupakan hasil rangkaian proses pantai. Proses pantai yang sangat dominan terjadi di Indonesia adalah erosi pantai. Proses pantai mencakup sirkulasi arus dan dinamika gelombang serta interaksinya dengan sedimen.

Arus yang terjadi di pantai berasal dari arus laut global, arus akibat angin, arus akibat pasang surut, ataupun arus akibat gelombang. Arus global, arus akibat angin, dan arus pasang surut disebut shelf current atau coastal current. Sementara itu, arus yang disebabkan gelombang dibedakan menjadi littoral current dan orbital current. Arus litoral terjadi bila arah gelombang membentuk sudut dengan garis pantai.

Arus orbital gelombang adalah arus yang disebabkan oleh kecepatan partikel yang arahnya maju mundur searah dengan arah gelombang. Besar arus orbital bergantung pada tinggi dan periode gelombang. Panjang daerah pengaruh arus orbital ini sebanding dengan panjang gelombang.

Arus gelombang biasanya terjadi pada daerah antara gelombang pecah dan garis pantai (surf-zone). Kedua arus inilah yang berperan dominan dalam proses erosi pantai. Mekanisme gelombang di surf zone dimulai dengan terjadinya gelombang pecah pada kedalaman kira-kira �,25 kali tinggi gelombang.

Gelombang pecah ini membentuk bore yang merayap ke pantai dan naik ke swash zone, kemudian kembali ke laut. Swash zone hanya sewaktu-waktu terendam oleh air, dan dalam perjalanannya kembali ke laut, arus akan

Page 124: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

�07 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono

Gambar 17.1 Dampak kerusakan lingkungan akibat pengerukan pasir laut. Kondisi setelah pengerukan (Gambar atas), dan gambar bawah menunjukkan kondisi sebelum terjadi pengerukan.

membawa material sedimen. Energi eksternal ini bekerja secara kontinu sepanjang pantai. Pada bagian yang relatif tidak memiliki daya tahan yang tinggi, relatif lebih cepat terkikis dan sedimen akan terangkut bersama arus balik ke laut (backwash). Terjadilah keseimbangan baru yang akan mempengaruhi bentuk garis pantai.

Dikaitkan dengan kegiatan penambangan pasir laut, yang diduga dapat menurunkan faktor peredaman energi

Page 125: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

�0� MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

eksternal, maka hilangnya terumbu karang, padang lamun, hutan mangrove, atau pendalaman dasar perairan di sekitar pantai berdampak pada meningkatnya intensitas energi eksternal yang bekerja pada pantai (lihat Gambar �7.�).

Namun, kecepatan proses pengikisan pada intensitas energi yang sama pada pantai masih bergantung pada ma-terial pembentuk pantai. Pantai yang tersusun oleh materi yang tidak kompak (pasir dan lumpur) akan terkikis lebih cepat dibanding pantai yang tersusun materi yang kompak (batu).

Pengikisan pantai merupakan salah satu penyebab ter-jadinya perubahan garis pantai. Apabila proses ini berlang-sung secara terus-menerus tanpa ada faktor penghambat, maka proses pengikisan akan berlanjut pada daratan pulau tersebut. Skala waktu, luas daratan, besaran energi ekster-nal, dan daya tahan material penyusun daratan pulau akan menentukan apakah daratan tersebut akan hilang atau tenggelam.

Upaya mitigasiKembali pada apakah penambangan pasir laut akan

berdampak tenggelamnya sebuah pulau, ini perlu dijawab secara hati-hati. Secara tidak langsung dan pada skala waktu yang lama, kemungkinan ini akan terjadi. Namun di sisi lain, dengan mengenal sifat dasar dinamika pantai dan faktor eksternal yang dapat mempengaruhi perubahan bentuk garis pantai, kita dapat merekomendasikan lokasi optimal untuk penambangan pasir laut dengan dampak minimal perubahan keseimbangan alam dengan beberapa upaya.

Page 126: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

�09 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono

Pertama, menetapkan kedalaman dan kemiringan/keterjalan maksimum lereng pantai yang dapat mencegah terjadinya longsoran di daerah pantai akibat penambangan pasir laut di daerah pantai (aspek geoteknologi).

Kedua, menetapkan kedalaman tempat penambangan pasir di laut untuk mencegah terjadinya perubahan pola gelombang yang mengakibatkan konsentrasi gelombang di suatu tempat tertentu di pantai yang dapat mengakibatkan terjadinya gangguan stabilitas pantai (aspek hidrooseano-grafi).

Mengingat penambangan pasir laut di sekitar pantai berdampak signifikan terhadap stabilitas pantai, maka pene-tapan zona penambangan pasir akan ideal apabila dilakukan di daerah perairan laut dalam.

ctd

Artikel ini dimuat di Kompas edisi 3 Januari 2004.

Page 127: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

��0 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

Memanfaatkan Lumpur Sidoarjo

Sampai saat ini kita tidak tahu persis kapan semburan lumpur Sidoarjo (Lusi) berhenti. Awalnya, semburan Lusi itu hanya sekitar 5.000 m3 per hari sejak 29 Mei

2006. Kini semburan lumpur itu terus bertambah bahkan dalam sehari bisa mencapai �25.000 m3.

Bisa dibayangkan genangan lumpur yang terus berlang-sung itu. Setahun setelah semburan itu terjadi, volume lumpur tersebut mencapai puluhan juta m3.

Dampaknya tentu luar biasa. Keperkasaan Lusi itu telah menewaskan belasan orang. Desa-desa yang terbenam lumpur kian meluas.

Kini, kian banyak penduduk yang kehilangan rumah, sa-wah, tambak, dan tanah. Luapan lumpur juga melumpuh-kan perekonomian di sekitarnya.

18

Page 128: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

��� Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono

Berbagai langkah pun dibuat. Tanggul-tanggul dibuat dan terus ditinggikan untuk melindungi aset penting. Namun tetap saja, sesekali tanggul itu jebol, tak sanggup menahan keperkasaan lumpur.

Rawa buatanLalu bakal dibawa kemana Lusi yang semakin melimpah

itu? Sebenarnya banyak cara bisa dilakukan. Salah satunya, dengan membawa lumpur tersebut ke pantai Sidoarjo untuk dijadikan rawa buatan (artificial wetland) yang ditanami mangrove.

Banyak manfaat dari upaya ini. Di satu sisi kita bisa me-mindahkan genangan lumpur sehingga dampak akibat je-bolnya tanggul pengaman dapat dikurangi. Di sisi lain, rawa buatan berhutan mangrove itu diharapkan mampu mem-perbaiki ekosistem kawasan pesisir secara keseluruhan.

Di samping itu, hutan mangrove bisa menjadi filter dalam menyerap aneka limbah seperti logam berat yang berasal dari industri di Surabaya dan sekitarnya. Mangrove juga berfungsi sebagai tempat berkembangbiaknya aneka biota laut seperti kepiting, udang, dan ikan. Dari sini jelas, masyarakat bisa memperoleh banyak manfaat ekonomi dari ekosistem tersebut.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan penulis, mang-rove jenis Avicenia marina (api-api) sangat cocok ditanam di media yang berasal dari semburan Lusi. Tumbuhan itu mampu bertahan dan tumbuh secara baik.

Buktinya, dari 55 bibit mangrove jenis api-api yang ditanam menggunakan media Lusi, hanya 5 bibit yang mati.

Page 129: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

��2 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

Hingga 6 bulan sejak ditanam, mangrove itu terus tumbuh subur.

Hal itu terlihat dari pertumbuhan dan jumlah daunnya. Bibit mangrove itu mengalami pertumbuhan tinggi berkisar antara 0,1 – 0,6 cm tiap minggu. Sementara itu, jumlah daunnya juga mengalami pertambahan rata-rata satu helai setiap minggu.

Amerika SerikatPengalaman Amerika Serikat dalam mengendalikan

Lumpur hasil pengerukan layak disimak. Di negeri Paman Sam itu, US Army Environmental Center (USAEC) mengolah lumpur hasil pengerukan pelabuhan melalui phytoreclama-tion.

Cunningham dan Lee (1995) mendefiniskan phytorecla-mation dalam tiga proses dasar. Pertama, penyerapan ba-han pencemar dari tanah oleh tumbuhan melalui transpirasi dan evaporasi.

Kedua, pengurangan bahan pencemar melalui proses metabolisme tumbuhan, bakteri, dan tumbuhan mikro lainnya. Ketiga, stabilisasi tanah reklamasi dengan tumbuhan sehingga meminimalkan pencemaran perairan.

Para pekerja USAEC itu harus berupaya keras untuk menaklukkan lumpur tersebut. Bukan apa-apa, volume material itu mencapai lebih dari 300 juta m3 setiap tahun.

Dari angka itu, 5-10 persennya tidak layak untuk dibuang di perairan terbuka (laut). Sebab, banyak pegiat lingkungan yang menentangnya. Maklum, pembuangan seperti itu berdampak negatif terhadap ekosistem perairan.

Page 130: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

��3 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono

Pilihan lain dengan menggunakan confined placement facilities (CPF) pun menjadi masalah. Pilihan ini menjadi sulit karena kebanyakan CPF yang ada hampir mencapai kapasitas maksimumnya. Lagi pula untuk mendapatkan lokasi baru bagi CPF tidaklah mudah.

Karena itu perlu cara lain yang lebih jitu untuk meng-elola lumpur tersebut. Secara kasat mata, lumpur tersebut sebenarnya punya potensi untuk mereklamasi pantai.

Namun, hal itu tidak mudah. Bukan apa-apa, lumpur tersebut telah terkontaminasi dengan polutan pelabuhan seperti logam berat. Kondisi tersebut tentu saja memerlukan remediasi atau pengurangan konsentrasi bahan pencemar melalui phytoreclamation.

Pemerintah AS layak bangga. Sebab, teknik ini secara cepat dapat diterima oleh masyarakatnya. Lebih dari itu, phytoreclamation lebih murah ketimbang teknologi pengo-lahan tradisional seperti insinerasi dan pengomposan.

USAEC memperkirakan, biaya phytoreclamation untuk tanah seluas � are dengan kedalaman 50 cm yang terkon-taminasi timbal sebesar US$ 60.000-100.000. Bandingkan dengan biaya landfilling yang mencapai US$ 400 ribu sam-pai US$ �,7 juta pada kondisi serupa.

HambatanAda beberapa hambatan dalam membuat rawa buatan.

Bisa jadi, selama proses pembuatan itu berdampak semen-tara bagi kawasan di sekitarnya berkaitan dengan aliran lumpur.

Hambatan lain, sulitnya mengangkut lumpur dari

Page 131: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

��4 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

lokasi semburan ke pantai Sidoardjo. Maklum, sifat lumpur semacam ini cepat mengendap.

Karena itu ada beberapa alternatif mengangkut lumpur ke pantai Sidoarjo. Pertama, dengan menggunakan saluran terbuka. Di sini, persoalan yang muncul adalah landainya topografi permukaan tanah dari pusat semburan ke pantai.

Bukan apa-apa, perbedaan elevasi permukaan dasar ko-lam lumpur dan pantai Sidoarjo hanya sekitar 7 meter. Pa-dahal jarak dari pusat seburan lumpur ke pantai sekitar 20 km. Dengan demikian kemiringan saluran sangat landai se-hingga tidak mampu mengangkut lumpur secara gravitasi.

Hal ini mengakibatkan banyak lumpur yang mengendap. Kondisi ini diperparah oleh kadar air lumpur yang sangat rendah sehingga lumpur sulit mengalir secara gravitasi.

Untuk mengatasi pengendapan lumpur sepanjang salur-an bisa dilakukan penggelontoran dengan air dan fluidisasi (fluidization) pada tempat-tempat tertentu di sepanjang sa-luran.

Kedua, pengaliran lumpur melalui pipa dengan bantuan pompa dan booster pump. Tentu saja daya listrik yang dibutuhkan untuk mengalirkan lumpur sangat besar, sekitar 5 MWatt.

Ketiga, pengangkutan melalui darat dengan meng-gunakan truk merupakan salah satu alternatif untuk mem-bawa lumpur ke lahan rawa buatan. Namun demikian untuk membawa material padat hasil semburan diperlukan pulu-han ribu trip truk per hari.

Keempat, dengan menggunakan kolam-kolam penam-pungan lumpur untuk menggiring lumpur ke arah pantai.

Page 132: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

��5 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono

Kolam penampungan dibuat secara bertahap satu demi satu dimulai dari pusat semburan dan berakhir di tepi pantai.

Kelima, lumpur dibiarkan meluber disekitar semburan sampai semburan tersebut berhenti dengan sendirinya. Penduduk yang terpengaruh dampak semburan lumpur Si-doarjo di relokasi seluruhnya ke tempat yang lebih aman. Setelah semburan lumpur Sidoarjo berhenti, daerah bekas semburan dan daerah sekitarnya yang terkena dampak lum-pur Sidoarjo dapat dimanfaatkan sebagai tempat wisata geologi, wisata petualangan, atau wisata rohani.

Kelima alternatif tersebut butuh biaya yang sangat ma-hal. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian yang komprehen-sif untuk menentukan alternatif yang paling tepat dan me-nguntungkan dalam memanfaatkan lumpur Sidoarjo baik dari segi teknis, ekonomi, lingkungan, maupun sosial.

Walaupun demikian, biaya tersebut tidak ada artinya di-bandingkan dengan besarnya kerugian yang dialami manu-sia, alam, dan lingkungan akibat jebolnya tanggul penahan lumpur yang memang sering tak berdaya menahan volume lumpur yang terus bertambah.

ctd

Page 133: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

��6 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

Meredam Abrasi dengan Tuntas

Kondisi kawasan pantai di berbagai penjuru Tanah Air sangat mencemaskan. Abrasi atau erosi pantai sudah menjadi pemandangan yang jamak. Panorama pantai

yang tadinya asri dan indah berubah menjadi tak elok lagi. Sekitar �00 lokasi di �7 provinsi dengan panjang pantai kurang lebih 400 km telah mengalami erosi pantai yang mengkawatirkan.

Pantai Tirtamaya di Indramayu, Jawa Barat misalnya, daratannya hancur digerus oleh ombak. Satu-satunya objek wisata bahari yang dimiliki kabupaten penghasil buah mangga itu mulai sepi ditinggalkan para pengunjungnya.

Kerusakan serupa juga terjadi di sepanjang jalur pantai utara (Pantura) Jawa, pantai selatan Bali, pantai Sumatera

19

Page 134: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

��7 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono

Barat, Bengkulu, pantai timur Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, dan lain sebagainya. Jika tak ada usaha keras untuk menghentikan laju abrasi, rumah, jalan, tempat pariwisata, dan tambak itu bakal amblas diterjang ombak.

Lalu mengapa abrasi itu bisa terjadi? Riset membukti-kan, abrasi pantai disebabkan terganggunya keseimbangan transportasi sedimen sejajar pantai (longshore sediment transport) atau tidak adanya peredaman energi gelom-bang.

Ketidakseimbangan itu bisa terjadi lantaran tiga hal, yak-ni faktor alami, buatan, atau keduanya (alami dan buatan). Namun, di antara faktor tersebut, pengaruh aktivitas manu-sia tak ramah lingkungan merupakan penyebab utamanya.

Bangunan pantai seperti reklamasi yang menjorok ke laut, breakwater, groin, dan jetty misalnya, dapat mengu-rangi bahkan menghentikan suplai sedimen dari angkutan sedimen sejajar pantai (longshore sediment transport). Pengambilan material pantai (karang dan pasir pantai) untuk bahan bangunan akan mengurangi cadangan sedimen bagi pembentukan pantai dalam siklus dinamiknya. Di samping itu, pengambilan material pantai akan berdampak pada hilangnya fungsi peredaman energi gelombang.

Pengurangan suplai sedimen ke pantai juga dapat ter-jadi karena aktivitas di hulu sungai seperti pembuatan kan-tong-kantong sedimen, waduk, bendung, dan bangunan air lainnya, pengalihan muara sungai, penambangan material dasar sungai. Bahkan penghijauan dan pengendalian erosi yang berhasil di daerah hulu dapat mengurangi pasokan se-

Page 135: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

��� MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

dimen ke pantai. Penebangan mangrove di kawasan pesisir dan pulau-

pulau kecil juga menjadi biang terjadinya abrasi. Dengan hilangnya mangrove, tidak ada lagi tameng yang dapat meredam gempuran gelombang di pantai.

Akibat Ulah Manusia Survei membuktikan, setidaknya ada lima penyebab

abrasi yang ditimbulkan oleh aktivitas manusia. Pertama, terperangkapnya angkutan sedimen sejajar pantai akibat adanya bangunan (seperti groin, jetty, breakwater pelabu-han, reklamasi, dan lain-lain) yang tegak lurus garis pantai (Gambar �9.�.a s.d �9.�.d) .

Ketika gelombang menuju pantai dengan membentuk sudut terhadap garis pantai, akan menimbulkan arus sejajar pantai di zona gelombang pecah. Gaya-gaya dan turbulensi yang ditimbulkan oleh gelombang pecah akan mengerosi

Gambar 19.1. Penyebab abrasi yang ditimbulkan oleh aktivitas manusia. a) groin; b) Jetty; c) breakwater, dan d) reklamasi pantai.

a)

Subandono Diposaptono

Page 136: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

��9 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono

Subandono Diposaptono

b)

c)

Subandono Diposaptono

d)

Subandono Diposaptono

Page 137: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

�20 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

sedimen dasar dan mengaduknya menjadi material tersus-pensi.

Sedimen ini oleh arus sejajar pantai yang terjadi di zona gelombang pecah lalu dibawa menelusuri sepanjang garis pantai. Akibat adanya bangunan tegak lurus garis pantai, akan mengubah konfigurasi pantai sehingga pantai akan menuju keseimbangan dinamis yang baru.

Sedimen yang diangkut oleh arus sejajar pantai tersebut akan terperangkap oleh bangunan. Akibatnya, terjadi proses sedimentasi di daerah updrift (hulu) dan abrasi di daerah downdrift (hilir) dari arah gelombang ditinjau dari bangunan tersebut.

Terjadinya sedimentasi di daerah hulu ini di samping karena sedimen terperangkap oleh bangunan tegak lurus pantai, juga disebabkan adanya pembelokan dan mengecil-nya magnitude arus. Dampaknya, kecepatan jatuh partikel lebih dominan bekerja terhadap partikel sedimen dibanding transpor arus, sehingga akan terjadi proses sedimentasi di sebelah hulu bangunan. Sebaliknya di daerah hilir akan ter-jadi abrasi.

Abrasi ini terjadi selain karena terperangkapnya sedimen di sebelah hulu sehingga mempengaruhi keseimbangan transpor sedimen di sebelah hilir, juga adanya arus olakan yang menuju ke arah laut akibat bangunan tegak lurus pantai. Proses abrasi ini akan berlangsung terus sampai terjadi keseimbangan dinamis baru, yaitu apabila sedimentasi yang terjadi di sebelah hulu bangunan telah berhenti.

Banyak contoh kasus abrasi semacam ini di Indonesia. Di antaranya, dampak dari pembuatan breakwater Pelabuhan

Page 138: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

�2� Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono

Pulau Baai. Lalu, bangunan jetty di Muara Dadap, Indramayu, dan saluran beton untuk mengambil air laut yang menjorok ke laut di Tambak Inti Rakyat (TIR) Karawang. Bangunan-bangunan tersebut telah terbukti menimbulkan abrasi.

Kedua, abrasi pantai terjadi karena arus pusaran akibat adanya bangunan tembok laut (seawall) (Gambar �9.2). Seperti diketahui, gelombang yang mendekati pantai, oleh seawall sebagian dipantulkan ke arah laut. Gelombang hasil pantulan ini akan berasosiasi dengan gelombang datang se-hingga menimbulkan efek standing wave dan menimbulkan arus pusaran (eddy current) di samping kiri dan kanan dari seawall.

Gambar 19.2. Seawall

Standing wave tersebut akan bersifat merusak pantai yang terekspose karena mempunyai daya hisap besar di sekitar bangunan seawall. Karena pantai di sebelah kiri dan kanan seawall merupakan tanah terekspose dan tidak terlindungi oleh seawall maka tanah tersebut akan tererosi

Page 139: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

�22 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

sampai mencapai keseimbangan dinamis baru. Kasus abrasi semacam ini terjadi di Malalayang 2 (Manado).

Ketiga, abrasi pantai yang disebabkan berkurangnya suplai sedimen dari sungai akibat dibangunnya dam di se-belah hulu sungai dan sudetan (pemindahan muara sungai)

Gambar 19.3. Pembangunan DAM.

Page 140: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

�23 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono

(Gambar �9.3). Berkurangnya suplai sedimen dari sungai ini akan menimbulkan gangguan terhadap keseimbangan transpor sedimen sejajar pantai.

Kondisi semula adalah bahwa sedimen yang datang dari muara sungai oleh arus sejajar pantai dibawa menelusuri pantai untuk selanjutnya didistribusikan dan diendapkan di pantai tersebut. Namun karena suplai sedimen dari sungai berkurang maka akan mengakibatkan terjadinya abrasi pan-tai di hilir muara sungai untuk mengimbangi angkutan sedi-men yang semula disuplai dari sungai. Kasus abrasi sema-cam ini terjadi di Krueng Aceh, Padang, dan Kedung Semat.

Keempat, abrasi pantai akibat penambangan karang dan pasir pantai (Gambar �9.4). Penambangan ini biasanya dilakukan di daerah nearshore dimana gerakan pasir atau sedimen di dasar pantai/laut masih dipengaruhi oleh gerakan gelombang.

Penggalian karang atau pasir pantai akan mengakibatkan perubahan batimetri, pola arus, pola gelombang, dan abrasi. Apabila dasar perairan digali untuk penambangan karang atau pasir maka energi gelombang yang menghantam pantai akan lebih besar sehingga mekanisme peredaman energi gelombang oleh dasar perairan berkurang. Dengan demikian abrasi atau penggerusan meningkat intensitasnya.

Penambangan juga mengakibatkan lereng pantai men-jadi lebih terjal sehingga menimbulkan ketidakstabilan le-reng pantai. Akibatnya, menimbulkan terjadinya pemacuan intensitas abrasi.

Di samping itu, penambangan juga menimbulkan kawah yang akan menjadi tempat bagi terperangkapnya sedimen

Page 141: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

�24 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

Gambar 19.4. Penambangan Karang/Pasir Laut.

sejajar pantai. Akibat gerakan gelombang maka lubang-lubang/kawah bekas penambangan pasir akan terisi kembali oleh pasir di sekitarnya termasuk pasir yang ada di pantai yang digali sehingga terjadi erosi.

Keseimbangan transpor sedimen sejajar pantai itu me-nimbulkan gangguan terhadap keseimbangan garis pantai. Berkurangnya transpor sedimen karena terperangkap oleh kawah galian ini akan menimbulkan abrasi di sebelah hilir kawah galian.

Page 142: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

�25 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono

Penggalian pasir di pantai juga mengakibatkan terjadi-nya perubahan pola arah gelombang. Di tempat-tempat tertentu terjadi konsentrasi energi gelombang, sehingga akan meningkatkan intensitas abrasi pada tempat-tempat tersebut. Kasus abrasi semacam ini terjadi antara lain di pantai Kepulauan Riau, Tangerang, Kepulauan Seribu, dan lain-lain.

Kelima, abrasi karena penggundulan hutan mangrove (Gambar �9.5). Pada pantai-pantai berlumpur umumnya

Gambar 19.5. Penebangan Hutan Mangrove

Page 143: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

�26 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

ditumbuhi pohon mangrove. Perakaran mangrove biasanya menjadi penopang bagi kestabilan pantai yang berlumpur. Hutan mangrove juga berfungsi sebagai peredam energi gelombang yang akan mencapai pantai.

Apabila hutan mangrove ini ditebangi maka fungsi pere-damannya akan berkurang atau bahkan hilang. Gelombang langsung mengenai tanah yang gundul dan lemah sifatnya.

Ia akan mengaduk dan melarutkan tanah pantai tersebut dalam bentuk suspensi kemudian diangkut oleh arus dan diendapkan ke tempat lain yang memungkinkan. Kasus ini banyak terjadi di Lampung Timur, Pantura Jawa, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur.

Kondisi Penanganan Saat ini Selama ini penanganan perlindungan kawasan pesisir

terhadap abrasi pantai masih banyak dilakukan dengan menggunakan pendekatan “struktur keras” yaitu dengan membuat pelindung pantai yang secara estetis dan ekologis kurang ramah. Di antaranya dengan membuat bangunan-bangunan pantai seperti tembok laut, pelindung tebing (re-vetment), groin, jetty, krib sejajar pantai, dan tanggul laut.

Di samping itu, penanganannya juga bersifat sporadis dan kurang komprehensif. Cara demikian menimbulkan masalah baru. Ia hanya memindahkan lokasi abrasi dari tempat yang telah dilindungi ke tempat lain di sekitarnya yang kurang mendapat perhatian. Dengan demikian, abrasi tidak pernah terselesaikan dengan tuntas.

Konsep pembuatan groin misalnya, ternyata tidak selalu berhasil. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa

Page 144: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

�27 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono

keberadaan groin justru meningkatkan arus sirkulasi di antara dua groin dan membentuk rip current yang akan mengangkut sedimen hilang ke lepas pantai.

Abrasi yang terjadi di daerah hilir groin juga dapat mem-bahayakan keamanan bangunan groin di sebelahnya. Dari sisi estetis, groin mengganggu keindahan dan kenyamanan pejalan kaki di pantai. Selain itu groin sama sekali tidak efektif untuk mengatasi erosi yang disebabkan oleh angkutan sedimen tegak lurus pantai.

Begitu juga dengan bangunan jetty yang memang dibu-at tegak lurus pantai yang cukup panjang menjorok ke laut. Struktur ini dibangun untuk mengatasi masalah pendangka-lan muara sungai.

Jetty yang cukup panjang ini menimbulkan muara sungai terbebas dari littoral transport. Permasalahan yang terjadi adalah tertahannya sedimen di sisi hulu dan tererosinya garis pantai di sisi hilir jetty.

Masalah serupa juga terjadi dengan adanya tembok laut (sea wall) yang dibuat pada garis pantai sebagai pembatas antara daratan di satu sisi dan dan perairan di sisi yang lain. Fungsinya adalah untuk melindungi garis pantai dari serangan gelombang serta untuk menahan tanah di belakang tembok laut tersebut.

Dengan adanya tembok laut diharapkan proses abrasi dapat dihentikan. Karena struktur tembok laut berupa bangunan yang masif, maka refleksi yang ditimbulkan oleh bangunan tersebut justru meningkatkan tinggi gelombang bahkan dapat mencapai dua kali tinggi gelombang datang dan dapat terjadi gelombang tegak (standing wave/clapotis).

Page 145: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

�2� MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

Akibatnya, di depan struktur tersebut justru terjadi gerusan yang kadang dapat membahayakan struktur itu sendiri.

Penanganan lainnya adalah dengan membangun break-water. Struktur yang berupa bangunan lepas pantai yang dibangun sejajar dengan garis pantai ini dimaksudkan untuk menahan energi gelombang yang menghempas pantai.

Daerah di belakang bangunan tersebut akan lebih tenang dari daerah sekitarnya sehingga transpor sedimen sejajar pantai akan terhenti di belakang detached breakwater tersebut. Permasalahan utama yang timbul adalah abrasi di luar daerah bayangan detached breakwater.

Selain itu, refleksi dari bangunan tersebut juga menye-babkan keadaan gelombang di sekitar bangunan justru me-ningkat sehingga menimbulkan gerusan lokal di sekeliling bangunan. Struktur ini juga mengubah pola arus/sirkulasi pantai.

Solusi Menyeluruh dan KomprehensifPenyelesaian dengan “struktur keras” tersebut saat ini

masih dilakukan secara parsial dan sporadis. Jadi jangan ka-get kalau abrasi pantai masih saja terjadi. Bagaimana solusi meredam abrasi dengan tuntas?

Tak ada jalan lain, penyelesaiannya haruslah menyeluruh dan komprehensif dengan menggunakan pendekatan coas-tal cell atau sediment cell (sel sedimen). Sel sedimen ada-lah satuan panjang pantai yang mempunyai keseragaman kondisi fisik dengan karakteristik dinamika sedimen dalam wilayah pergerakannya tidak mengganggu keseimbangan kondisi pantai yang berdekatan.

Page 146: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

�29 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono

Konsep ini mengiden-tifikasi bahwa sistem pan-tai terdiri dari sejumlah unit terkait dengan banyak proses perpindahan yang bekerja dalam skala ruang dan waktu berbeda. Jadi penanganan abrasi pantai tidak hanya pada tempat yang telah terjadi abrasi, tetapi juga di kawasan lain yang diantisipasi akan ter-jadi abrasi akibat bangun-an tersebut dalam satu kesatuan sedimen sel.

Alternatif sistem pro-teksi juga harus diseleksi berdasarkan aspek teknis,

ekonomi, lingkungan, estetika, dan sosial. Aspek teknis meli-puti kemampuan untuk mereduksi transpor sedimen sejajar pantai, kemampuan untuk mereduksi transpor sedimen te-gak lurus pantai (offshore transport), durabilitas, risiko ke-hancuran dari sistem dan komponennya, pelaksanaan kon-struksi, pemeliharaan, serta kepekaan terhadap perubahan morfologi dalam skala yang lebih besar.

Sementara itu, aspek ekonomi meliputi biaya (investasi, operasi, pemeliharaan, perbaikan, rehabilitasi) dan umur konstruksi. Aspek lingkungan meliputi dampak terhadap pantai dan properti yang berdekatan. Aspek estetika dan

”Tak ada jalan lain,

penyelesaiannya haruslah

menyeluruh dan komprehensif

dengan menggunakan

pendekatan coastal cell atau sediment cell (sel

sedimen).”

Page 147: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

�30 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

sosial meliputi secara estetika kelihatan menyenangkan dan secara sosial dan kultural diterima masyarakat.

Belajar dari kegagalan masa lalu, maka perlu dikembang-kan konsep penanganan permasalahan pesisir secara lebih “lunak” dan ramah lingkungan. Pendekatan semacam itu se-benarnya sudah dilakukan sejak tahun �9�0-an.

Beberapa cara penanganan dengan pendekatan “lunak” meliputi peremajaan pantai, pembentukan dune, perema-jaan dan restorasi mangrove, rehabilitasi karang, artificial reef, serta pengelolaan kawasan pantai secara terpadu. Strategi ini selain lebih murah, juga lebih aman dan ampuh dalam mengatasi abrasi pantai.

Cara restorasi dengan peremajaan pantai (beach nou-rishment) misalnya, merupakan alternatif yang sudah cukup lama dikenal. Proses ini meliputi pengambilan material dari tempat yang tidak membahayakan dan diisikan ke tempat yang membutuhkan.

Meskipun penimbunan atau pengisian pesisir dengan material dari luar sistem tidak banyak dampaknya terhadap ekosistem yang ada, namun pengambilan material dapat menimbulkan dampak yang cukup signifikan. Akhir-akhir ini telah dikembangkan pula peremajaan pantai dengan menggunakan sistem drainase pantai (coastal drain system) seperti misalnya beach management system (BMS) yang dikembangkan oleh GDI Denmark.

BMS adalah sebuah teknologi dalam bentuk sistem per-lindungan dan rehabilitasi pantai dan pesisir secara terinte-grasi dimulai dari desain dan model, instalasi dan konstruksi, serta pemeliharaan guna memberikan hasil yang efektif dan

Page 148: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

�3� Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono

efisien. Efisiensi sistem ini terdapat pada pendekatannya yang tidak hanya melindungi pantai dari ancaman abrasi te-tapi juga menciptakan pantai baru.

Solusi lainnya, dengan membangun dune buatan atau meningkatkan dune yang sudah ada. Biasanya cara ini dilengkapi dengan usaha-usaha menahan kehilangan pasir dari daerah dune baik secara vegetatif maupun artifisial.

Selain itu, perbaikan dan peremajaan hutan mangrove yang rusak merupakan langkah perlindungan pesisir yang ramah lingkungan. Penanganan ini dapat dikombinasi dengan alat peredam gelombang sementara yang diharapkan dapat melindungi mangrove yang baru ditanam dari gempuran gelombang.

Tata letak dan bentuk dari alat peredam gelombang perlu diperhatikan sedemikian rupa sehingga tidak menim-bulkan dampak abrasi pada daerah di sekitarnya. Daerah di belakang alat peredam gelombang akan lebih tenang dari daerah sekitarnya sehingga transpor sedimen sejajar pantai akan terhenti di belakang struktur tersebut dan membentuk tombolo.

Rehabilitasi terumbu karang merupakan proses reha-bilitasi yang sangat bermanfaat bagi ekosistem pesisir. Se-bab, secara alami, terumbu karang mampu meredam energi geombang yang sampai ke pantai.

Penggunaan terumbu karang buatan (artificial reef) se-bagai alternatif perlindungan pantai yang ramah lingkungan juga mulai banyak dikenalkan. Sistem ini mulai banyak dipa-kai di Australia dan Jepang.

ctd

Page 149: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

�32 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

Dampak Pemanasan Global

Pulau-pulau Kecil Terancam Tenggelam

Bumi kian panas. Itulah ’kado istimewa’ pada perayaan Hari Bumi yang diperingati umat manusia di seluruh dunia setiap 22 April. Bukan apa-apa, menurut

IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change), suatu badan yang dibentuk oleh WMO (World Meteorological Organization) dan UNEP (The United Nation of Enviroment Program), suhu rata-rata bumi meningkat sekitar 5 derajat Celsius dalam waktu �00 tahun terakhir ini. Bahkan, laju kenaikan suhu bumi itu mencatat rekor tertinggi pada 10 tahun terakhir ini.

Fakta itu sudah menjadi kenyataan. IOC atau Interna-tional Olimpic Commission misalnya, baru-baru ini mengin-

20

Page 150: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

�33 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono

formasikan bahwa beberapa lokasi untuk bermain ski di Amerika Serikat kini sudah tidak layak digunakan lagi karena saljunya kian menipis akibat pemanasan global. Lokasi ski yang saat ini berada pada ketinggian 1.300 m dari permukan air laut (dpl) harus dipindahkan ke tempat yang lebih tingggi lagi, sekitar �.500 m dpl.

Dampak lainnya, kekacauan iklim terjadi di banyak tem-pat. Hal ini dapat menimbulkan peningkatan kemungkinan terjadinya keadaan iklim yang ekstrim seperti badai, kekeringan, banjir, dan lain-lain. Begitu juga di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil dengan pantai yang landai. Akibat suhu muka air laut yang meningkat tajam, gumpalan salju di kutub es juga mulai mencair. Permukaan air laut pun mengalami kenaikan (sea level rise atau SLR), lalu menerobos dan merangsek hingga ke daratan yang tadinya tak pernah tersentuh air asin.

Apalagi jika tak ada upaya serius untuk mengerem laju kenaikan suhu tersebut. Kalau itu terjadi, menurut prakiraan IPCC, laju SLR bisa mencapai sekitar 3-�0 mm/tahun.

Lalu bagaimana dengan nasib belasan ribu pulau kecil di Indonesia? Menurut analisis dari beberapa stasiun pasang surut di Jepara, Jakarta, Batam, Ambon, Biak, Batam, dan Kupang, selama sembilan tahun pengamatan menunjukkan, rata-rata SLR di kawasan tersebut sekitar � mm/tahun. Isu ini sangat mengkhawatirkan Indonesia. Bukan apa-apa, peristiwa itu mengakibatkan dataran pantai di pulau-pulau kecil yang rendah bisa terendam air laut.

Page 151: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

�34 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

Berbagai DampakSecara umum dampak SLR adalah terpaparnya pantai di

kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Akibatnya, ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil seperti pantai berpasir, pantai berbatu, tebing, dataran pasang surut, terumbu karang, dan lahan basah termasuk mangrove mengalami kerusakan bahkan bisa lenyap.

Bukan hanya itu. Sarana dan prasarana seperti pelabuhan, industri, pembangkit listrik, wisata, dan lain-lain yang berada di wilayah pesisir bakal tergenang dan rusak akibat meluapnya air laut.

Dampak lain dari SLR adalah mundurnya garis pantai. Bisa dibayangkan kawasan pesisir yang bakal tergenang akibat fenomena alam tersebut. Menurut hitungan penulis, kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang terendam mencapai 4.050 ha per tahun. Angka itu berdasarkan asumsi kelandaian pantai hanya dua persen.

Terendamnya lahan ini mengakibatkan perubahan rejim hidraulik yang berpengaruh pada budidaya perikanan terutama budidaya udang yang memerlukan air payau dan kehidupan mangrove di daerah payau. Ada dua kemungkinan nasib tanaman mangrove. Pertama, ia bisa bermigrasi ke arah darat jika masih ada lahan terbuka. Kedua, mangrove itu akan berkurang bahkan punah jika tidak ada lagi lahan untuk bermigrasi.

Dampak SLR lainnya adalah terjadinya abrasi pantai. Hal ini disebabkan energi gelombang semakin besar sehingga penggerusan pantai makin intensif. Selain abrasi pantai, bangunan pantai dan fasilitas prasarana perikanan akan

Page 152: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

�35 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono

rusak karena digempur oleh gelombang yang semakin besar energinya.

SLR juga menimbulkan sedimentasi di muara sungai. Kondisi ini diperparah oleh muara-muara sungai di Indonesia yang umumnya landai. Jika diasumsikan SLR satu meter saja maka air laut itu merangsek ke sungai sejauh puluhan kilometer.

Akibatnya, terjadi pembendungan. Pembendungan itu membuat kecepatan air sungai berkurang. Dengan demi-kian, laju sedimentasi di muara akan bertambah sehingga mengurangi daya tampung sungai di muara. Jika hal ini di-sertai dengan curah hujan yang tinggi maka banjir mudah terjadi di kawasan tersebut.

SLR juga mengakibatkan intrusi air laut. Hal ini disebabkan volume air laut yang mendesak ke dalam sungai akan semakin besar. Kondisi ini merupakan masalah serius bagi penduduk di pulau-pulau kecil yang menggantungkan air tawar dari sungai.

Mengantisipasi SLRLalu bagaimana mengantisipasi SLR di kawasan pesisir

dan pulau-pulau kecil? Secara filosofis, penanggulangan bencana pesisir dan pulau-pulau kecil akibat SLR dapat ditempuh dengan tiga alternatif.

Pertama, pola protektif yaitu dengan membuat ba-ngunan pantai yang mampu mencegah air laut agar tidak merangsek ke darat. Pola tersebut bertujuan melindungi permukiman, industri wisata, jalan raya, daerah pertanian, dan lain-lain dari genangan air laut.

Page 153: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

�36 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

Pola ini memang memerlukan biaya yang cukup mahal. Namun demikian pola ini cocok diterapkan untuk melindungi sarana-prasarana di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang sifatnya vital dan strategis.

Pola protektif lain yang dapat ditempuh adalah dengan melakukan restorasi melalui peremajaan pantai dan reha-bilitasi mangrove. Cara restorasi dengan peremajaan pantai (beach nourishment) merupakan alternatif yang sudah cu-kup lama dikenal. Proses ini meliputi pengambilan material dari tempat yang tidak membahayakan dan diisikan ke tem-pat yang membutuhkan. Lahan hasil timbunan ini kemudian bisa ditanami mangrove sehingga dapat mencegah air laut merangsek ke darat.

Kedua, pola adaptif, yakni menyesuaikan pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil terhadap SLR. Rumah-rumah penduduk di tepi pantai dibuat model panggung agar aman dari genangan air laut, terutama pada waktu air laut pasang.

Bagi daerah pertanian yang tergenang air laut akibat SLR dapat diubah peruntukannya menjadi lahan budidaya peri-kanan. Terkait dengan pola adaptif, Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) telah membangun rumah panggung, menanam mangrove, dan merevitalisasi pantai di beberapa kawasan pesisir yang rawan SLR.

Ketiga, pola mundur (retreat). Pola ini bertujuan meng-hindari genangan dengan cara merelokasi permukiman, industri, daerah pertanian, dan lain-lain ke arah darat agar tidak terjangkau air laut akibat SLR.

Berbagai upaya antisipasi itu memang butuh perhatian

Page 154: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

�37 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono

kita semua dan perlu dilakukan sedini mungkin walau terasa berat dan mahal. Kalau tidak, bersiaplah menerima ‘kado’ yang lebih istimewa lagi di hari ulang tahun bumi di masa-masa mendatang.

ctdArtikel dimuat di Harian Suara Pembaruan edisi 20 April 2007.

Page 155: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

�3� MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

Potensi Bencana di Indonesia dan

Sosialisasinya

Abstracts

Indonesia is both blessed and threatened by its nature. Its width,

extends over 3 times zones and more than 6.000 km from east

to west, and therefore it is blessed with what is considered by

some to be the greatest marine biodiversity within a single nation.

But on the other hand it is also threatened with almost every natural

hazards known, including earthquakes, tsunamis, landslides, floods

etc., most of which directly impact the populations and resources

Every year, more and more Indonesian are at risk from a

variety of natural disasters that affect the environment. In the

past 20 years, there has been such explosive development in the

21

Page 156: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

�39 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono

country. Most development activities take place in disaster prone

areas including development of fisheries, agriculture, industry,

transportation, tourism, urban development, and are particularly

vulnerable to catastrophic and chronic disasters. Most of the losses

is due to lack of knowledge and awareness by the public on natural

disasters.

Our initiatives are under way to minimize the impacts from

disasters through better preparedness and a more informed

public through public campaign and outreach to reduce the risk

of disasters.

PendahuluanLima tahun terakhir ini bencana alam datang silih ber-

ganti. Di pagi hari, 26 November 2004, Nabire digoyang gempa bumi berkekuatan 7,2 skala Richter (SR).

Seluruh kota lumpuh dihantam gempa. Hubungan arus listrik dan telepon putus total. Bandara Nabire juga meng-alami kerusakan serius sehingga jadwal penerbangan sem-pat ditunda.

Tepat sebulan setelah itu, giliran kawasan pesisir Nang-groe Aceh Darussalam (NAD) diterjang tsunami dahsyat. Tsunami yang ditimbulkan oleh gempa tektonik di Samudra Hindia berkekuatan 9 SR itu menewaskan lebih dari 200.000 orang.

Indonesia terus saja berduka. Bukan apa-apa, hanya berselang sekitar dua bulan, tepatnya 2� Februari 2005, longsor sampah di TPA Leuwigajah, Jawa Barat, mengubur �43 orang.

Page 157: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

�40 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

Sebulan setelah itu, 2� Maret 2005, gempa bumi meng-goncang Pulau Nias, Sumatera Utara. Bangunan rumah dan perkantoran di kawasan pesisir itu juga babak belur dihan-tam gempa.

Bukan cuma itu, sejak Mei 2006 hingga Maret 2007 ber-bagai bencana melanda kawasan lainnya. Sebut saja gempa bumi Yogyakarta, meletusnya Gunung Merapi, meluapnya lumpur panas Sidoarjo, tsunami Jawa Barat, banjir bandang di Aceh Tamiang, banjir DKI Jakarta, tanah longsor Mangga-rai, NTT, gempa bumi di Solok, dan lain-lain.

Semua bencana tersebut menimbulkan luka mendalam. Bayangkan, ratusan ribu jiwa meregang nyawa. Sarana dan prasarana luluh lantak. Kondisi lingkungan pun babak belur. Menurut hitungan, kerugian materiil dan kerusakan lingkungan ditaksir mencapai ratusan triliun rupiah.

Hingga kini akal manusia belum bisa menjelaskan dengan pasti mengapa frekuensi bencana alam itu terus meningkat. Lalu apa yang bisa kita lakukan dalam menghadapi fenomena alam yang tidak pasti kapan datangnya itu?

Tidak mudah memang mengelola bencana tersebut. Be-tapa tidak, kesadaran masyarakat awam terhadap bencana masih minim. Padahal, merekalah yang paling menderita jika bencana menerjang. Rendahnya pemahaman di kalang-an masyarakat awam itu mengakibatkan banyak korban jiwa dan kerugian harta benda ketika bencana alam mengham-piri mereka.

Kondisi itu diperparah lagi dengan karakteristik bencana alam yang memiliki kekuatan teramat besar. Tidaklah mung-kin kecerdikan manusia mencegah kedahsyatan bencana

Page 158: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

�4� Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono

alam. Kemampuan manusia hanya sebatas mengurangi dampak bencana. Tindakan semacam itu biasanya disebut mitigasi atau suatu upaya guna mengurangi risiko atau dam-pak dari suatu bencana.

Salah satu upaya mitigasi yang dapat dilakukan untuk mengurangi risiko adalah dengan melakukan berbagai upa-ya nonfisik, di antaranya melalui sosialisasi ke masyarakat luas. Pengalaman negara maju menunjukkan, hasil sosial-isasi semacam itu mampu menekan kerugian baik jiwa mau-pun lingkungannya.

Gempa Bumi dan Tsunami Suka atau tidak, wilayah Indonesia sangat berpotensi

terjadi gempa dan tsunami. Pasalnya, kawasan tersebut merupakan pertemuan tiga lempeng utama (triple junction plate convergence). Ketiga lempeng itu –Eurasia, Samudra Pasifik, dan Indo-Australia-- bergerak relatif ke barat dan ke utara terhadap Eurasia.

Konsekuensi logisnya, Benua Maritim Indonesia meru-pakan daerah yang secara tektonik sangat labil di dunia. Ka-wasan itu juga terkenal sebagai salah satu pinggiran benua yang sangat aktif di muka bumi. Dibandingkan dengan gem-pa di Amerika Serikat maka Indonesia memiliki frekuensi gempa �0 kali lipatnya.

Pusat gempa dangkal (0-�5 Km) banyak terdapat di Pulau Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku dan Irian Jaya. Sementara itu, pusat gempa dengan kedalaman sedang (��5-300 Km) terbentang di Pulau Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, Maluku, dan Irian Jaya. Gempa-gempa

Page 159: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

�42 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

tersebut sebagian berpusat di dasar laut dan beberapa di antaranya mengakibatkan terjadinya tsunami.

Kejadian tsunami di Indonesia sebagian besar dise-babkan oleh gempa-gempa tektonik di sepanjang daerah subduksi dan daerah seismik aktif lainnya. Selama periode tahun �600 sampai 2006 terjadi sekitar �0� tsunami. Dari jumlah itu, 90 persen di antaranya disebabkan oleh gempa tektonik, 9 persen karena letusan gunung api, dan hanya � persen dipicu oleh longsoran (land-slide).

Catatan sejarah juga mencatat, sejak �96� hingga 2006, 22 tsunami melanda kawasan pesisir Indonesia. Artinya, tsunami menghampiri kita setiap sekitar 2 tahun.

Kawasan pesisir yang berpotensi terkena tsunami terse-bar mulai dari pantai barat Sumatera, pantai selatan Pulau Jawa dan Bali, pantai utara dan selatan pulau-pulau Nusa Teggara, Maluku, pantai utara Irian Jaya, serta hampir selu-ruh pantai timur dan barat Sulawesi bagian utara.

Letusan GunungapiIndonesia juga dihuni banyak gunung berapi. Setidaknya

ada 240 gunung api yang tersebar di berbagai daerah. Sekitar 70 di antaranya masih aktif dan suatu saat bisa meletus, menyemburkan lava panas yang berpotensi menimbulkan bencana.

Rangkaian busur api itu merupakan bagian dari The Pacific Ring of Fire. Untaian itu bermula di Kamchatka Alaska, Jepang, Sumatera, Jawa, Bali, Lombok, Flores, Sulawesi, dan berakhir hingga Filipina.

Di Indonesia, ring of fire itu membentang dari Pulau Su-

Page 160: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

�43 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono

matera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, kepulauan di Laut Banda sampai bagian utara Pulau Sulawesi. Bentangan itu meru-pakan daerah gunung api terpanjang di dunia.

Longsor Indonesia juga menjadi langganan tanah longsor (land

slide). Maklum, banyak kawasan di Tanah Air itu yang memiliki derajat kemiringan lahan yang tinggi dan diperburuk oleh tata guna lahan yang tidak ramah lingkungan. Longsor juga kerap menelan korban di daerah pertambangan pasir, batu, dan lain-lain.

Berdasarkan catatan, daerah yang sangat rawan terjadi longsor adalah sepanjang pegunungan Bukit Barisan di Sumatera serta daerah dataran tinggi di Jawa, Sulawesi, dan Nusa Tenggara.

Penyebab tanah longsor bisa faktor alam dan manusia. Faktor alam antara lain lereng terjal, tanah bersifat lembek, jenuh karena air hujan, retakan karena proses alam (gempa bumi), dan lain-lain.

Manusia juga punya andil terjadinya tanah longsor. Ulah mereka memotong lereng, mengubah tata guna lahan, membabat hutan, dan mendirikan bangunan di sekitar tebing bisa mengakibatkan longsor.

Banjir Setelah gempa, tsunami, dan longsor datang silih ber-

ganti, banjir juga mengintai kehidupan kita. Bahkan di bebe-rapa daerah, banjir sudah menenggelamkan ribuan rumah, prasarana transportasi, sawah, tambak, dan menewaskan

Page 161: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

�44 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

puluhan nyawa manusia. Daerah yang rawan banjir adalah daerah yang berada di pantai timur Sumatera, pantai utara Jawa, Kalimanatan, Sulawesi Selatan, dataran rendah NTT, dataran rendah Papua, dan lain sebagainya.

Tak dapat disangkal, penyebab utama banjir masih didominasi oleh ulah manusia. Sebesar apa pun hujan yang jatuh di muka bumi, ia tidak akan berperilaku ganas kalau semua aspek ekologis terjaga dengan baik. Sayangnya, sadar atau tidak, kita kurang memahami kearifan alam.

Bayangkan, hutan yang berfungsi sebagai resapan air semakin gundul. Jadi ketika air mengguyur kawasan itu maka dengan leluasa air itu mengumpul di tempat yang lebih rendah.

Hal itu diperparah dengan buruknya kondisi aliran sungai. Sungai-sungai telah dipenuhi sampah. Pendangkalan terus terjadi. Air sungai pun meluap.

Selain sampah, sungai-sungai tadi juga mengalami pen-dangkalan hebat sebagai akibat erosi tanah di daerah hulu. Berubahnya tata guna lahan menjadi nonvegetasi seperti penggundulan hutan menjadi penyebab utama erosi. Feno-mena itu diperparah lagi dengan kondisi badan sungai yang mengalami penyempitan akibat bangunan-bangunan liar di sepanjang bantaran sungai.

Kota yang dibalut hamparan aspal, semen, dan hutan beton membuat air hujan tak mampu meresap ke dalam tanah. Daerah yang tadinya berfungsi sebagai resapan air telah disulap menjadi permukiman, pertokoan, mall, per-kantoran, industri dan lain-lain. Akibatnya, memperbesar aliran permukaan (run-off) yang ujung-ujungnya membuat

Page 162: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

�45 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono

banjir kian parah dan meluas.Penyedotan air tanah secara berlebihan juga memberi

kontribusi terhadap banjir. Fakta membuktikan, terkurasnya air itu mengakibatkan tanah ambles dan menimbulkan cekungan. Sekali turun hujan, terbentuklah genangan.

Kondisi alam yang semakin memprihatinkan itu ternyata tidak diimbangi dengan sistem drainase yang baik. Pemba-ngunan dan pengembangan lahan nonvegetasi tidak dileng-kapi dengan prasarana drainase yang memadai.

Dalam skala lokal, buruknya drainase kota juga punya andil besar terjadinya banjir. Banyak dari saluran pembuang-an air tak berfungsi sebagaimana mestinya.

Saluran air yang ada di kota telah terisi oleh sampah-sampah plastik, kaleng, kertas, daun, dan lain-lain. Jangan kaget ketika hujan turun, kota yang telah dibalut oleh tembok-tembok beton, jalan aspal, rumah penduduk, dan industri itu semakin terendam air.

Ulah manusia bukan cuma di situ. Industrialisasi be-serta kegiatan yang mengikutinya (seperti transportasi dan gedung-gedung ber-AC) berdampak pada efek rumah kaca (green house effect).

Pemanasan global pun tak dapat dihindari. Kekacauan iklim mulai terjadi. Suhu muka air laut naik. Ujung-ujungnya daratan beku di Benua Antartika pun meleleh. Akibatnya, terjadilah kenaikan permukaan air laut (sea level rise atau SLR).

Menurut IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change), suatu badan yang dibentuk oleh WMO (World Me-teorological Organization) dan UNEP (The United Nation of

Page 163: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

�46 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

Enviroment Program), laju SLR sekitar 3-�0 cm per dasawar-sa (10 tahun). Isu ini sangat dikhawatirkan umat manusia. Bukan apa-apa, peristiwa itu mengakibatkan dataran pantai yang rendah bisa terendam air laut.

Lalu bagaimana nasib Indonesia? Menurut analisis Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal), laju SLR di beberapa pulau kecil dan kota di pantai utara Jawa (seperti Jakarta, Semarang, dan Jepara) sekitar 8 mm/tahun.

Efek ini menimbulkan pembendungan di muara-muara sungai dan mulut saluran drainase terhadap air tawar yang datang dari daratan. Jika hal ini disertai dengan curah hujan yang tinggi maka banjir kian hebat.

Kondisi ini diperparah oleh muara-muara sungai di In-donesia yang umumnya landai. Jika diasumsikan SLR satu meter saja maka air laut itu merangsek ke sungai sejauh puluhan kilometer. Akibatnya, lagi-lagi terjadi pembendu-ngan.

Pembendungan itu membuat kecepatan air sungai ber-kurang. Akibatnya, laju sedimentasi di muara akan bertam-bah sehingga mengurangi daya tampung sungai di muara.

Kekeringan dan Kebakaran HutanAncaman alam lainnya adalah kerawanan pangan yang

berlangsung pada saat musim kemarau panjang. Kondisi tersebut diperparah oleh gejala El-Nino (tahun �997 di Irian Jaya bagian tengah dan tahun �99� di Kalimantan Timur).

Bencana kekeringan biasa terjadi pada musim kemarau panjang di daerah-daerah tertentu terutama kawasan timur

Page 164: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

�47 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono

Indonesia seperti NTB, NTT, Sulawesi, Kalimantan, dan Papua. Dampak dari kemarau panjang ini mengakibatkan kegagalan panen.

Kebakaran hutan dan lahan juga rutin terjadi di Indone-sia. Kobaran api itu disebabkan oleh alam dan ulah buruk manusia. Banyak dari mereka membuka lahan baru dengan membakar hutan. Cara ini dilakukan karena menurut me-reka lebih cepat dan hemat biaya.

Upaya SosialisasiDi tengah-tengah krisis multi dimensi belakangan ini

berbagai bencana itu kian mengganggu berbagai program pemulihan ekonomi Indonesia. Ironis memang, walaupun sudah puluhan kali bencana menerjang berbagai kawasan di Indonesia, namun sampai sejauh ini masyarakat belum mampu mengenali bencana alam tersebut secara benar dan baik. Kita tentu amat prihatin. Bencana selalu meninggalkan penderitaan berkepanjangan.

Banyak upaya bisa dilakukan untuk mengurangi korban jiwa di antaranya adalah dengan melakukan mitigasi bencana baik secara fisik maupun nonfisik. Mengingat masyarakat kita masih tradisional maka langkah-langkah mitigasinya haruslah berbasis pada kemampuan masyarakat lokal.

Kita perlu membuat prioritas mitigasi untuk daerah-daerah yang rawan bencana dan penduduknya padat. Betapa tidak, di kawasan seperti inilah yang paling menderita jika bencana menerjangnya.

Karena itu, pembuatan peta rawan bencana perlu se-gera dibuat oleh masyarakatnya sendiri dengan teknologi

Page 165: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

�4� MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

sesederhana mungkin. Sehingga mereka sadar dan mengerti kalau tempat tinggalnya berada di daerah rawan bencana. Tentu saja dalam pembuatan peta ini perlu bimbingan dan fasilitator baik dari pemerintah, perguruan tinggi, maupun LSM yang betul-betul mengerti tentang bencana.

Langkah berikutnya memberikan sosialisasi melalui pelatihan dan penyuluhan tentang berbagai hal yang ter-kait dengan bencana mulai dari gejala atau ciri-ciri bencana, dampaknya, hingga upaya mengevakuasi atau menyelamat-kan diri. Jangkauan sosialisasi harus sampai ke pelosok-pe-losok daerah yang padat penduduknya dan rawan bencana. Metodenya pun perlu dilakukan dengan cara yang lebih me-narik. Sosialisasi dapat dilakukan baik melalui media cetak, elektronik, leaflet, komik maupun brosur.

Sosialisasi dan penyuluhan harus dilakukan secara ber-kesinambungan dan terus-menerus sampai dicapai tingkat pengetahuan masyarakat yang optimal tentang bencana. Sosialisasi ini diharapkan dapat mengubah budaya masyara-

“Sosialisasi dan penyuluhan harus dilakukan secara berkesinambungan dan

terus-menerus sampai dicapai tingkat pengetahuan masyarakat yang optimal tentang bencana. Paling tidak mereka sadar bahwa mereka berada di daerah

rawan bencana.”

Page 166: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

�49 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono

kat di daerah rawan bencana supaya lebih waspada. Paling tidak mereka sadar bahwa mereka berada di daerah rawan bencana.

Upaya memberikan sosialisasi bisa dimulai sejak usia dini (siswa Sekolah Dasar). Agar materi sosialisasi itu men-arik maka bisa dikemas dalam bentuk cerita komik yang me-mang digemari anak-anak seperti yang telah dibuat tim dari Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) dalam memberi-kan sosialisasi tentang tsunami.

Benar-benar MerakyatSalah satu alternatif lain yang tidak kalah penting adalah

melalui media yang benar-benar merakyat seperti pengaji-an akbar, wayang (cemblong, golek, orang, atau kulit), keto-prak, dangdut, atau kesenian daerah lainnya. Melalui cara penyampaian yang berakar pada budaya lokal, bencana bisa dengan mudah mereka pahami.

Pengalaman DKP dalam melakukan sosialisasi bencana gempa dan tsunami di berbagai daerah melalui media hi-buran dangdut perlu terus digalakkan. Bukan apa-apa, daya tarik hiburan semacam ini bisa menjadi magnet bagi ribuan masyarakat.

Di tengah-tengah hiburan itulah, kita bisa menyampaikan penjelasan dengan bahasa yang mudah ditangkap oleh mereka tentang bencana. Dengan demikian, mereka bisa mengenal gejala, karakteristik, ciri-ciri, dan dampak dari bencana. Dari sini mereka mendapat pengetahuan mengenai cara-cara menyelamatkan diri dari bencana tersebut.

Agar sosialisasi tersebut lebih menyentuh nurani me-

Page 167: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

�50 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

reka, juru penyuluh bisa menambahkan materi nilai-nilai keagamaan yang menerangkan hubungan di antara manusia, alam, dan lingkungannya.

KesimpulanDisadari atau tidak, bencana alam terus mengintai

kawasan Indonesia. Hingga kini, kekuatan ilmu pengetahuan dan teknologi belum mampu mencegah gempa bumi, tsunami, tanah longsor, banjir, dan lain-lain.

Yang bisa dilakukan Indonesia saat ini adalah mengurangi risiko akibat bencana alam. Upaya mitigasi ini perlu terus digalakkan di antaranya melalui sosialisasi.

Agar efektif dan efisien, sosialisasi dapat dilakukan melalui tiga pendekatan, yakni secara ilmiah, seni budaya, dan agama. Pengalaman DKP membuktikan, cara semacam ini membuat masyarakat lebih mudah menerima berbagai pesan dalam meminimalkan dampak negatf yang ditimbulkan bencana.

Tiga pendekatan yang dilakukan secara terpadu itu diharapkan dapat menimbulkan kesadaran, kepedulian, dan kecintaan terhadap lingkungan. Mereka juga akan bersikap disiplin terhadap peraturan dan norma-norma yang ada. Tanpa upaya itu, korban akan terus berjatuhan.

ctdArtikel ini dimuat di Jurnal Dinamika Masyarakat RISTEK Vol VI No � edisi April 2007 oleh Subandono Diposaptono dan Indroyono Soesilo. Indroyono adalah Kepala Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan.

Page 168: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

�5� Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono

Meningkatkan Sinergitas Penanggulangan

Bencana di Indonesia

Momentum penting yang mengubah total para-digma penanggulangan bencana di Indonesia terjadi pascatsunami Aceh tahun 2004. Be-

sarnya korban jiwa, kerusakan lingkungan dan infrastruktur, serta dampak psikologis yang terjadi membuka mata para pemangku kepentingan Indonesia tentang rawannya kondisi Indonesia terhadap bencana alam.

Jika sebelum tsunami Aceh 2004 upaya penanggulangan bencana yang dilakukan lebih kepada upaya tanggap daru-rat (saat terjadinya bencana) dan rehabilitasi-rekonstruksi (pascabencana) maka belajar dari pengalaman tersebut, para pemangku kepentingan kini lebih memfokuskan diri

22

Page 169: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

�52 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

pada upaya prabencana. Upaya-upaya prabencana seperti perencanaan penanggulangan bencana, pengurangan risiko bencana, pencegahan, pemaduan dalam perencanaan pem-bangunan, persyaratan analisis risiko bencana, pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang, pendidikan dan pelatih-an, persyaratan standar teknis penanggulangan bencana, kesiapsiagaan, peringatan dini, serta mitigasi bencana, kini menjadi fokus dalam penanggulangan bencana. Selain dapat meminimalisasi jumlah korban jiwa dan kerusakan yang ter-jadi, hal ini juga dapat meminimalkan dana yang dibutuhkan pada upaya tanggap darurat dan pascabencana.

Konsep ini kemudian dituangkan dalam Rencana Pem-bangunan Jangka Menengah (RPJM) dimana Lingkungan Hidup dan Penanggulangan Bencana menjadi salah priori-tas pembangunan. Selain itu, juga disusun suatu peraturan perundangan, yaitu Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 (UU 24/2007) tentang Penanggulangan Bencana. UU terse-but mengatur integrasi upaya penanggulangan bencana di Indonesia, mulai dari prabencana, tanggap darurat, hingga pascabencana.

Selain itu, UU ini juga membentuk Badan Nasional Pe-nanggulangan Bencana (BNPB) dan memberikan mandat ke-pada BNPB untuk merumuskan dan menetapkan kebijakan penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi serta mengkoordinasikan pelaksanaan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, dan menyeluruh.

Berdasarkan UU 24/2007 tersebut juga disusun per-aturan pelaksanaannya, yaitu Peraturan Pemerintah No-mor 2� Tahun 200� (PP 2�/200�) tentang Penyelenggaraan

Page 170: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

�53 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono

Penanggulangan Bencana, Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 200� (PP 22/200�) tentang Pendanaan dan Pengelo-laan Bantuan Bencana, serta Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 200� (PP 23/200�) tentang Peran Serta Lembaga Internasional dan Lembaga Asing Nonpemerintah dalam Penanggulangan Bencana.

Meskipun telah memiliki peraturan pelaksanaan, UU 24/2007 masih menemui hambatan dalam implementasinya. Hal ini terutama terkait dengan mandat kedua BNPB, yaitu mengkoordinasikan pelaksanaan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, dan menyeluruh. Mandat ini menempatkan BNPB sebagai koordinator bagi seluruh upaya penanggulangan bencana di Indonesia.

Ini artinya BNPB harus mengkoordinasikan seluruh pemangku kepentingan yang terkait dengan penanggu-langan bencana agar upaya yang dilakukan, baik pada ta-hap prabencana, tanggap darurat, maupun pascabencana, dapat menciptakan suatu sinergitas. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sinergitas berasal dari kata sinergi. Siner-gi merupakan kegiatan atau operasi gabungan, dimana ke-giatan yang tergabung biasanya berpengaruh lebih besar daripada jumlah total pengaruh masing-masing atau satu per satu.

Menurut Prof. Ronald W. Perry (2007) dalam bukunya Emergency Planning, penanggulangan bencana hanya akan efektif kalau sinergi dari tiga elemen penting dapat diwujudkan. Pertama, elemen pengelolaan bencana itu sendiri, mulai dari pengkajian bahaya dan kerentanan sampai risiko.

Page 171: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

�54 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

Kedua, elemen kebijakan publik, dimana melalui penetapan kebijakan publik terjadi pengalokasian sumber daya bagi penanggulangan bencana dan perubahan perilaku masyarakat yang pada akhirnya akan mengurangi risiko. Ketiga, pelaksanaan penanggulangan bencana dalam koridor yurisdiksi masing-masing lembaga. Yurisdiksi tersebut akan menentukan jenis dan kegiatan penanggulangan bencana dan kebijakan publik yang akan diambil untuk mendukungnya.

Oleh karena itu sinergitas menjadi poin penting dalam upaya penanggulangan bencana agar hasil yang dicapai dapat mencegah timbulnya korban dan kerusakan yang pada akhirnya dapat meningkatkan ketahanan Nasional.

Persoalan UtamaBerdasarkan pemantauan penulis, setidaknya ada tiga

persoalan utama sehingga belum tercapainya sinergitas pencegahan dan penanggulangan bencana alam. Hal itu tercermin dari setiap terjadi bencana alam selalu diikuti de-ngan jumlah korban dan kerusakan yang besar.

Pertama, penanggulangan bencana masih belum optimal, baik dalam perencanaan maupun pelaksanaannya. Hal ini disebabkan antara lain belum tersedianya kajian me-nyeluruh tentang ancaman bahaya, kerentanan, dan risiko. Karena satu dan lain hal, khususnya kapasitas SDM dan kelembagaan, sampai dengan saat ini Indonesia belum me-miliki referensi peta dan hasil kajian tentang ancaman ba-haya, kerentanan, dan risiko.

Upaya ke arah sana sudah dilakukan antara lain men-

Page 172: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

�55 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono

dorong adanya standardisasi penyusunan risiko dan peng-gunaan data-data yang sudah ada saat ini untuk menyusun peta risiko. Namun hasilnya masih belum mencukupi untuk referensi dalam penyusunan dokumen perencanaan pen-anggulangan bencana.

Kedua, belum optimalnya perencanaan dan pelaksa-naan penanggulangan bencana dikarenakan kurangnya pengetahuan dan pemahaman mengenai upaya penanggu-langan bencana, terutama prabencana. Meskipun penang-gulangan bencana telah menjadi sebuah prioritas nasional, namun dalam implementasinya, terutama di tingkat lokal/daerah belum mendapat perhatian yang cukup.

Hal ini terlihat dari masih tingginya jumlah korban jiwa dan tingkat kerusakan, baik lingkungan maupun infrastruktur. Sebut saja pada bencana yang terjadi akhir-akhir ini, seperti banjir di Wasior dan tsunami di Mentawai. Jika upaya-upaya prabencana telah diimplementasikan dengan baik maka seharusnya jumlah korban jiwa dan kerusakan tidak terlalu besar. Daerah umumnya baru bergerak setelah bencana terjadi, yaitu pada tahap tanggap darurat dan rehabilitasi-rekonstruksi.

Di samping itu, koordinasi dan kolaborasi antar pemang-ku kepentingan terkait juga masih lemah. Koordinasi dan kolaborasi yang dimaksud di sini tidak hanya bersifat hori-zontal, tetapi juga vertikal, serta antar disiplin keilmuan dan multi-pemangku kepentingan. Koordinasi dan kolaborasi horisontal terjadi pada level pemerintah pusat, dimana BNPB bertindak selaku koordinator bagi kementerian/lem-baga yang terkait penanggulangan bencana. Secara vertikal

Page 173: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

�56 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

tercermin dari adanya koordinasi dan kolaborasi dengan pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota.

Kemampuan melakukan koordinasi dan mendorong kolaborasi ini sangat vital karena pengurangan risiko membutuhkan peran seluruh sektor pembangunan seperti pendidikan, kesehatan, sosial, infrastruktur, pertanian, kehutanan, perikanan, dan lingkungan hidup. Sayangnya, belum ada kejelasan peran dari sektor-sektor dalam keseluruhan rangkaian kegiatan penanggulangan bencana, khususnya pada tahap pra bencana. Kegiatan pengurangan risiko terdegradasi hanya untuk kegiatan-kegiatan yang dalam judulnya terdapat kata atau kalimat “bencana” saja.

Di sisi lain, belum optimalnya perencanaan dan penanggulangan bencana terletak pada tidak semua daerah memiliki kelembagaan yang mengkoordinasikan upaya penanggulangan bencana. Sesuai dengan amanat UU 24/2007, penanggulangan bencana di daerah dilaksanakan oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Hingga saat ini 3� provinsi telah memiliki BPBD provinsi (BNPB, 20��).

Sementara itu, untuk tingkat kabupaten, baru 300 kabupaten yang memiliki BPBD dari total 497 kabupaten/kota (BNPB, 20��). Itu dari sisi struktur kelembagaannya saja. Infrastruktur kunci lainnya seperti SOP, peralatan, maupun kemampuan operasional tentu saja masih belum seperti yang diharapkan.

Sumber daya manusia, baik kualitas maupun kuantitas terkait upaya penanggulangan bencana juga masih minim. Hingga saat ini BNPB selaku koordinator penanggulangan

Page 174: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

�57 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono

bencana nasional masih kekurangan tenaga yang berkompeten di bidang bencana. Jika secara nasional hal ini belum tersedia maka baik daerah maupun kementerian/lembaga (K/L) yang lain memiliki tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) terkait tidak memiliki acuan yang jelas.

Begitu pula yang terjadi di tingkat daerah. SDM yang benar-benar memiliki pengetahuan tentang upaya penang-gulangan bencana, mulai dari prabencana, tanggap darurat, hingga pascabencana masih sangat minim.

Terbatasnya pendanaan penanggulangan bencana sema-kin menambah belum optimalnya penanggulangan bencana alam. Idealnya, dana untuk penanggulangan bencana mencapai satu persen dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dari jumlah itu, sekitar �0 persen dialokasikan bagi kegiatan hhhprabencana.

Kenyataannya hingga saat ini jumlah tersebut belum tercapai (Hadi, 20�0). Dana tersebut tersebar pada K/L yang secara sektoral terkait dengan penanggulangan bencana. Permasalahan yang terjadi saat ini adalah tidak ada keharusan bagi K/L ataupun daerah untuk mengalokasikan dana penanggulangan bencana. Semua masih bersifat sukarela sehingga terkadang dana yang seharusnya ditujukan untuk kegiatan penanggulangan bencana diubah peruntukannya untuk kegiatan lain.

Masalah ini diperparah dengan belum optimalnya peran kebijakan publik dalam mendukung penanggulangan bencana. Padahal kebijakan publik ini dapat mengubah perilaku dan praktik yang mendorong pengurangan risiko antara lain misalnya:

Page 175: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

�5� MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

�) Tata ruang dan tata guna lahan. UU No. 26/2007 Tentang Penataan Ruang dan UU 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil secara jelas telah mewajibkan akomodasi bencana dalam penataan ruang dan rencana zonasi wilayah pesisr dan pulau-pulau kecil. Namun demikian, implementasinya masih perlu disinergikan dengan instrumen-instrumen praktikalnya seperti perijinan. Sinergi juga perlu dilakukan dengan hasil kajian ancaman bahaya, kerentanan sosial, ekonomi, lingkungan, dan risiko. Tanpa adanya sinergi tersebut, mandat dan amanat UU No. 26/2007 serta UU No. 27/2007 tidak akan maksimal dalam mengurangi dampak bencana di Indonesia.

2) Penganggaran. Meskipun UU No. 24/2007 telah mewajibkan adanya alokasi yang cukup untuk penanggulangan bencana, dalam pelaksanaannya masih banyak tantangan. Selain keterbatasan dana, masalah juga muncul dari tidak adanya batasan cukup atau tidak cukup dalam penganggaran tersebut. Selain itu, penganggaran penanggulangan bencana juga harus dilihat dalam konteks pembangunan secara keseluruhan dimana pengurangan kerentanan pada hakikatnya merupakan tujuan dari setiap sektor pembangunan itu sendiri (pengurangan kemiskinan, gizi buruk, penyediaan perumahan sehat, ketahanan pangan, dan lain-lain). Kajian kerentanan akan menuntun pengalokasian anggaran secara tepat sasaran dan menghindari excuse keterbatasan anggaran karena penanggulangan bencana hanya dibatasi pada judul program atau kegiatan dengan

Page 176: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

�59 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono

label bencana saja.3) Asuransi. Saat ini asuransi masih sangat terbatas

digunakan sebagai instrumen dalam penanggulangan bencana. Kebijakan bisa diambil misalnya dengan mewajibkan seluruh aktivitas di wilayah dengan risiko tinggi untuk memiliki asuransi bencana. Bahkan ide adanya asuransi gagal panen bagi petani merupakan terobosan yang pada akhirnya membutuhkan dukungan berupa kebijakan publik dari pemerintah.

4) Standar bangunan atau building code. Untuk semua lokasi dengan risiko ancaman bahaya gempa bumi misalnya, kebijakan publik dapat diterapkan berupa pengenaan IMB yang lebih ketat dan spesifik untuk mendorong semua pihak mengurangi risiko dari kejadian bencana gempa bumi.

5) Insentif dan disinsentif. Banyak hal bisa diterapkan untuk mendorong atau menekan perilaku masyarakat terkait dengan pengurangan risiko. Daerah-daerah dengan risiko sedang misalnya bisa dikenakan pengetatan perijinan, pajak, dan retribusi. Sementara itu, daerah dengan risiko rendah dapat diberi kemudahan dalam hal-hal tersebut. Tentu saja semua itu membutuhkan landasan peraturan yang jelas.

Ketiga, adalah pelaksanaan penanggulangan bencana dalam lingkup yurisdiksi masing-masing. Sebagaimana telah disebutkan di muka, BNPB memiliki tugas berat dalam hal mengkoordinasikan pelaksanaan pengurangan risiko di masing-masing lembaga. Tanpa adanya kejelasan lingkup

Page 177: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

�60 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

dan tanggung jawab dari masing-masing lembaga dalam mengerahkan sumberdayanya maupun kebijakan publik yang akan diambil, efektivitas penanggulangan bencana akan selalu menemui masalah dalam pelaksanaannya.

Kalau mencontoh beberapa UU penanggulangan bencana di negara lain seperti Afrika Selatan, India, Sri Lanka, dan Kanada, UU tersebut secara jelas mewajibkan seluruh departemen/instansi yang masuk dalam kerangka kerja nasional penanggulangan bencana untuk menyu-sun perencanaan penanggulangan bencana di instansinya. Hasilnya akan dievaluasi dan dilaporkan dalam sidang kabi-net sehingga tidak ada aspek kerentanan yang terlewatkan dalam program masing-masing sektor.

Strategi Peningkatan SinergitasUntuk mengurangi terjadinya korban dan kerusakan

akibat bencana alam maka perlu diterapkan lima strategi guna meningkatkan sinergitas pencegahan dan penanggulangan bencana alam.

Pertama, meningkatkan pengetahuan dan pemahaman seluruh pemangku kepentingan terkait upaya penanggu-langan bencana melalui sosialisasi yang didukung dengan pemaduan penanggulangan risiko bencana ke dalam sistem pendidikan formal dan informal. Pengetahuan dan pemaha-man terhadap upaya penanggulangan bencana diharapkan dapat meningkatkan kapasitas aparat pemerintah dan ma-syarakat dalam menghadapi bencana yang mungkin terjadi.

Selain itu dengan menjadikan penanggulangan bencana sebagai bagian dari pendidikan maka lambat laun diharap-

Page 178: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

�6� Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono

kan terminologi hidup akrab dengan bencana tidak hanya menjadi sekedar slogan namun telah mendarah daging dan menjadi bagian dari hidup keseharian masyarakat Indone-sia.

Solusi kedua, meningkatkan koordinasi dan kolaborasi antar pemangku kepentingan terkait melalui pembentukan suatu Platform Nasional untuk Pengurangan Risiko Bencana (Planas PRB) yang didukung dengan jalur-jalur komunikasi yang resmi dan informatif. Kunci dalam mencapai suatu sinergitas adalah koordinasi dan kolaborasi, dimana semua pihak yang terkait mampu untuk menyingkirkan ego sekto-ralnya masing-masing dan berupaya untuk melakukan sesu-atu yang terencana dan terintegrasi guna mencapai hasil terbaik, dalam hal ini dapat mencegah terjadinya korban secara massal.

Ketiga, menguatkan koordinasi di tingkat daerah melalui pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) yang didukung oleh instansi terkait lainnya. Belum terbentuknya BPBD di semua provinsi dan kabupaten/kota mengakibatkan upaya penanggulangan bencana tidak ada yang mengkoordinir. Daerah dapat saja memberikan kewenangan tersebut menempel pada institusi yang sudah ada, misalnya Kesbanglinmas atau bahkan Dinas Pemadam Kebakaran seperti di DKI Jakarta.

Namun hal ini terkadang menjadi rancu karena institusi tersebut sebenarnya telah memiliki Tupoksi tersendiri se-hingga penanggulangan bencana seakan hanya merupakan tambahan. Padahal penanggulangan bencana amatlah pen-ting dan di saat terjadinya bencana dia harus berada di garis

Page 179: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

�62 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

depan untuk mengkoordinasikan sektor-sektor yang lain. Keempat, meningkatkan kualitas dan kuantitas SDM

terkait upaya penanggulangan bencana melalui pendidikan formal dan informal yang didukung dengan staf pengajar yang kompeten. Peningkatan kualitas dan kuantitas SDM dianggap penting karena SDM-lah yang bertanggung jawab dalam implementasi seluruh kebijakan, strategi, program, dan kegiatan yang ada. Rendahnya kualitas atau kurangnya jumlah SDM yang tersedia dapat mempengaruhi tingkat keberhasilan kebijakan, strategi, program, dan kegiatan yang dijalankan.

Strategi kelima, meningkatkan pendanaan penanggu-langan bencana melalui pengalokasian dana dalam APBN dan APBD yang didukung oleh pendanaan dari masyarakat dan bantuan sosial berpola hibah. Pemerintah pusat dan daerah belum mampu untuk membiayai keseluruhan upa-ya penanggulangan bencana. Oleh karena itu peran serta masyarakat dalam pendanaan seperti yang diatur dalam PP 22/200� amat diharapkan. Selain itu, pemerintah juga membuka diri terhadap pendanaan yang berasal dari ban-tuan sosial berpola hibah (block grant).

KesimpulanPenanggulangan atau manajemen bencana merupakan

satu siklus multi stakeholder yang mempunyai keterkaitan erat dan saling ketergantungan antara satu komponen de-ngan komponen lainnya. Enam proses (pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi) perlu ditangani secara sinergis agar

Page 180: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

�63 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono

dampak bencana tersebut dapat diminimalisasi sehingga mengurangi korban jiwa dan materi. Dalam konteks ini tentu semua stakeholder, baik pemerintah (pusat dan daerah), swasta, maupun masyarakat harus berperan secara aktif tanpa harus dibedakan siapa subjek dan siapa objek dalam penanggulangan bencana.

Untuk dapat sampai pada kondisi tersebut memang perlu waktu. Pedoman yang disediakan oleh UU 24 tahun 2007 dirasakan makin banyak kekurangannya ketika diimple-mentasikan. Kekurangan terbesar dirasakan pada tahap pra-bencana (mitigasi dan kesiapsiagaan) dan pada saat setelah tanggap darurat yakni tahap rekonstruksi. Hal ini dapat dili-

“Penanggulangan atau manajemen bencana merupakan satu siklus multi

stakeholder yang mempunyai keterkaitan erat dan saling ketergantungan antara

satu komponen dengan komponen lainnya. Enam proses (pencegahan,

mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi) perlu

ditangani secara sinergis agar dampak bencana dapat diminimalisasi sehingga mengurangi korban jiwa dan materi.”

Page 181: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

�64 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

hat dari pengalaman bencana sepanjang tahun 20�0 misal-nya banjir bandang di Wasior, tsunami di Mentawai, serta letusan Gunung Merapi.

Untuk kasus Wasior dan Mentawai, tidak adanya kegiatan pra-bencana membuat kewaspadaan masyarakat berada pada titik nol. Begitu juga setelah fase tanggap darurat, fase rekonstruksi berjalan sepotong-sepotong dan tidak pernah padu di antara para pemangku kepentingan.

Untuk peningkatan sinergi dalam penanggulangan ben-cana yang lebih baik, setidaknya aspek regulasi dan kebi-jakan harus disempurnakan agar semua pemangku kepent-ingan terwadahi. Dalam hal ini, koordinasi kelembagaan di institusi pemerintah sendiri harus lebih diperjelas. Tupoksi kementerian dan nonkementerian yang sifatnya teknis di tingkat pusat seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian LH, Kemen-Hut, KemenSos, dan Kemendiknas dalam praktiknya untuk kegiatan penanggulangan bencana sudah didokumentasi-kan dalam RAN-PB. Namun fungsi koordinasi antara satu kegiatan dan kegiatan lain yang sifatnya lintas kementerian belum terwadahi dalam suatu kerangka payung hukum yang jelas.

Dalam hal ini, Surat Keputusan Bersama (SKB) antar beberapa menteri mungkin dibutuhkan. Aturan turunannya sebagai pedoman di daerah pun belum tersedia. Permendagri No 46 tahun 200� masih berkutat pada kelembagaan BPBD, belum pada tahap koordinasi lintas sektor di daerah dalam penanggulangan bencana.

Setelah aspek regulasi untuk koordinasi lintas institusi

Page 182: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

�65 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono

disempurnakan, tahapan berikutnya adalah penambahan aturan dan kebijakan yang memungkinkan masuknya peran swasta dan dunia usaha secara lebih luas dalam upaya pe-nanggulangan bencana. Aturan mengenai asuransi bencana dan perangkat penunjangnya mutlak dimiliki.

Peran aktif dunia pendidikan dan lembaga riset menjadi kunci dalam menunjang kegiatan-kegiatan yang diprakarsai Lembaga Swadaya Masyarakat, agar pemahaman yang di-tanamkan tidak melenceng dari konsepsi awal. Peran dunia pendidikan juga menjadi kunci dalam pendidikan kebenca-naan di daerah–daerah yang rawan bencana. Keberlanjutan dari program-program pendampingan seperti ini akan men-jamin terjadinya perubahan perilaku masyarakat yang sadar bencana.

Begitu juga dengan masyarakat yang terkena bencana harus dilibatkan sejak tahap perencanaan, pelaksanaan, sampai pengawasan program rehabilitasi dan rekonstruksi. Mereka harus terlibat aktif dalam setiap penanggulangan bencana alam.

Apabila beberapa faktor di atas sudah berhasil dibenahi dan dijalankan dengan konsisten, bukan mustahil dalam kurun satu atau dua dekade mendatang Indonesia sudah menjadi salah satu negara terdepan dalam penanggulangan bencana. Apalagi kita memiliki laboratorium bencana alam terlengkap di dunia.

ctd

Page 183: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

�66 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

Merencanakan Pengelolaan Pesisir

Berbasis Mitigasi Bencana

Tetesan air mata di Sumatera Barat belumlah menge-ring. Betapa hati kita masih pilu melihat ribuan korban tewas dan terluka dihantam gempa bumi berkekuat-

an 7,6 skala Richter di Padang, Rabu (30/9/2009) sore. Tak lama setelah itu, Kamis (�/�0/2009) pagi giliran Jambi menangis didera gempa berkekuatan 7,0 SR.

Sebelumnya, bencana demi bencana juga datang silih berganti. Masih lekat dalam ingatan kita ketika gempa Nabi-re (2002) juga meluluhlantakkan bangunan.

Dua tahun berikutnya, tsunami Aceh 2004 menewaskan sekitar 300.000 orang. Lalu, gempa Yogyakarta (2006) juga menewaskan ribuan orang. Dua bulan setelah itu, tsunami

23

Page 184: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

�67 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono

Pangandaran menewaskan ratusan orang dan menyapu ribuan bangunan.

Selain itu, bencana alam lainnya yang tak kalah mere-potkan adalah gelombang pasang (2007) yang menerjang pantai barat Sumatera, pantai selatan Jawa, Bali, NTB, dan NTT. Gelombang ini mengakibatkan ribuan rumah hancur.

Sepanjang 2007-200� banjir rob juga menghantam Pantura Jawa dan mengakibatkan ratusan rumah terendam air laut. Singkat kata, wilayah pesisir Indonesia laksana super mall-nya bencana.

Berbasis Mitigasi Lalu apa yang bisa kita lakukan dalam menghadapi ben-

cana alam tersebut yang tidak pasti kapan datangnya itu? Harus diakui, tidaklah mudah mengelola bencana tersebut. Apalagi kesadaran masyarakat awam terhadap bencana masih minim. Selain itu, kita juga masih lemah dalam mela-kukan perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang berbasis mitigasi.

Akibatnya, banyak korban jiwa dan kerugian harta ben-da ketika bencana alam menghampiri mereka. Kondisi itu diperparah lagi dengan karakteristik bencana alam yang me-miliki kekuatan teramat besar.

Tidaklah mungkin kecerdikan manusia mencegah ke-dahsyatan bencana alam. Kemampuan manusia hanya se-batas mengurangi dampak bencana. Tindakan semacam itu biasanya disebut mitigasi atau suatu upaya guna mengu-rangi risiko atau dampak dari suatu bencana.

Menurut UU 27/2007 tentang Pengelolaan Pesisir

Page 185: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

�6� MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

dan Pulau-pulau Kecil, mitigasi bencana merupakan upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik secara struktur atau fisik (pembangunan fisik alami dan/atau buatan) maupun nonstruktur atau nonfisik melalui peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Upaya mitigasi harus dilaksanakan sejak pada tahap perencanaan. Hal ini sesuai dengan UU 27/2007, yaitu dalam menyusun rencana pengelolaan dan pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil terpadu, pemerintah dan/atau pemerintah daerah wajib memasukkan dan melaksanakan bagian yang memuat mitigasi bencana sesuai dengan jenis, tingkat, dan wilayahnya.

Amanat ini mengandung makna bahwa paradigma penanganan bencana yang selama ini dilakukan perlu dire-formasi dari pendekatan fatalistik-reaktif melalui majemen krisis menjadi pendekatan terencana pro-aktif melalui peng-urangan risiko. Pengurangan risiko ini meliputi tiga upaya; pencegahan, mitigasi, dan kesiapsiagaan. Di dalam UU No 27/2007 ketiga upaya tersebut disebut mitigasi.

Perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil merupakan amanat UU 27/2007 yang wajib disusun oleh pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota). Perencanaan itu terdiri empat hierarki, yakni; (a) rencana strategis wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RSWP-3-K), (b) rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP-3-K), (c) rencana pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RPWP-3-K), dan (d) rencana aksi pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil

Page 186: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

�69 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono

(RAPWP-3-K). Dokumen RSWP-3-K memberikan arah kebijakan lin-

tas sektor untuk perencanaan pembangunan melalui pe-netapan isu, visi, misi, tujuan, sasaran, strategi, serta tar-get pelaksanaan dengan indikator pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil yang tepat.

Menurut ensiklopedi, isu didifinisikan sebagai suatu pe-ristiwa/kejadian/hal yang dapat diperkirakan dapat terjadi di masa yang akan datang yang menyangkut ekonomi, mo-neter, sosial, politik, hukum, pembangunan, bencana alam atau tentang krisis. Jadi, dalam menentukan isu pengelo-laan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tidak hanya mem-pertimbangkan isu potensi ekonomi wilayah dan pulau-pulau kecilnya tetapi juga harus memasukkan adanya isu bencana misalnya bencana akibat gempa, tsunami, banjir, rob, gelombang pasang, dan lain sebagainya

Sementara itu, strategi adalah langkah untuk mencapai keinginan, harapan atau pandangan masa depan bersama yang ingin dicapai para pihak untuk mencapai visi dan misi. Karena itu dalam menentukan strategi untuk mencapai visi dan misi tidak hanya terpaku pada strategi pemanfaatan potensi sumber daya alam yang ada di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tetapi juga harus memuat strategi mitigasi bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, baik strategi mitigasi nonfisik/nonstruktur maupun yang bersifat fisik/struktur.

Kegiatan nonstruktur/nonfisik meliputi: penyusunan peraturan perundang-undangan; penyusunan peta rawan bencana; penyusunan peta risiko bencana; penyusunan

Page 187: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

�70 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL); penyusunan tata ruang; penyusunan zonasi; pendidikan; penyuluhan; dan penyadaran masyarakat.

Kegiatan struktur/fisik meliputi: pembangunan sistem peringatan dini, pembangunan sarana dan prasarana, dan/atau pengelolaan lingkungan.

Pembangunan sistem peringatan dini meliputi : kegiatan pembangunan komponen peralatan pengamatan dan monitoring dalam peringatan dini; dan kegiatan peningkatan kesiapsiagaan masyarakat dan rantai penyebaran informasi. yang dilakukan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota.

Pembangunan sarana dan prasarana meliputi kegia-tan: pembuatan bangunan pelindung pantai; pembangun-an bangunan peredam tsunami; pembangunan bangunan pengendalian banjir; pembangunan fasilitas penyelamat-an diri; penerapan konstruksi bangunan ramah bencana; pembangunan bangunan logistik; pembangunan bangunan kesehatan; pembangunan alat mobilisasi; dan pembangun-an komponen peralatan pengamatan dan monitoring dalam peringatan dini.

Pengelolaan lingkungan meliputi kegiatan: penanaman vegetasi pantai; penanaman tanaman pelindung pantai; pengelolaan ekosistem pesisir terumbu karang dan padang lamun.

Penyusunan peraturan perundang-undangan meliputi kegiatan penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria mitigasi bencana.

Penyusunan peta rawan bencana dilakukan berdasarkan potensi bencana. Penyusunan peta risiko bencana dilakukan

Page 188: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

�7� Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono

berdasarkan aspek kerentanan, potensi bencana dan tingkat kemampuan serta kapasitas pemangku kepentingan dan kelembagaan

Penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan (AM-DAL) meliputi kegiatan kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi pengurangan risiko bencana, dengan memasukkan analisis risiko benca-na.

Penyusunan tata ruang meliputi kegiatan penyusunan perencanaan pengelolaan dan penataan ruang yang terdiri dari struktur ruang dan pola ruang daratan berbasis mitigasi bencana. Penyusunan zonasi meliputi kegiat-an penyusu-nan perencanaan pengelolaan dan penataan ruang perairan yang terdiri dari pola ruang berbasis mitigasi.

Pendidikan, penyuluhan, dan penyadaran masyarakat merupakan kegiatan yang terencana melalui latihan, geladi dan simulasi kepada masyarakat mengenai pentingnya melaksanakan upaya-upaya mengurangi risiko bencana.

Dokumen RZWP-3-K memberikan arah penggunaan sumber daya tiap-tiap satuan perencanaan disertai dengan penetapan struktur dan pola ruang pada kawasan peren-canaan yang memuat kegiatan yang boleh dan tidak boleh dilakukan serta kegiatan yang hanya boleh dilakukan setelah memperoleh izin. Dalam hal ini penetapan struktur dan pola ruang mempertimbangkan peta rawan bencana dan peta ri-siko bencana.

Peta rawan bencana adalah peta petunjuk zonasi tingkat bahaya suatu jenis ancaman bencana pada suatu daerah

Page 189: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

�72 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

pada waktu tertentu. Sementara itu peta risiko bencana adalah peta petunjuk zonasi tingkat risiko satu jenis ancaman bencana pada suatu daerah pada waktu tertentu yang bersifat dinamis dan merupakan hasil perpaduan antara peta rawan bencana (hazard map) dan peta kerentanan (vulnerability map).

Menurut Pasal 9 ayat 3 UU No 27/2007, perencanaan zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dilakukan dengan mempertimbangkan keserasian dan keseimbangan dengan daya dukung ekosistem, fungsi pemanfaatan dan perlindungan, dimensi ruang dan waktu, dimensi teknologi dan sosial budaya, serta fungsi pertahanan dan keamanan. Di sini, fungsi perlindungan termasuk perlindungan terhadap ancaman bencana.

Oleh karena itu dalam upaya menata kembali ruang wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil rawan bencana untuk keperluan mitigasi bencana disarankan mengikuti beberapa prinsip dasar rencana zonasi/penataan ruang guna memini-malisasi risiko bencana. Ke-7 prinsip itu adalah:�. Kenali kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil rawan

bencana sebagai ancaman bahaya.2. Kenali bentuk dan tipe wilayah pesisir dan pulau-pulau

kecil (landai, terjal, berbatu, berpasir, dan lain-lain).3. Identifikasi potensi sumber daya wilayah pesisir dan

pulau-pulau kecil (perikanan, pariwisata, permukiman, transportasi, dan lain-lain).

4. Identifikasi kebutuhan kawasan konservasi dan perlindungan bencana (mangrove, hutan pantai, sand dune, dan lain-lain).

Page 190: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

�73 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono

5. Kenali karakter/fungsi sarana dan prasarana wilayah yang ditempatkan (break water, pelabuhan, bangunan tinggi, dan lain-lain).

6. Kenali karakter sosial-budaya serta sosial-ekonomi wi-layah pesisir dan pulau-pulau kecil (menentukan keren-tanan dan risiko).

7. Kembangkan konsep rencana zonasi/penataan ruang dengan mempertimbangkan keindahan, keberaturan, dan keselamatan.

Budaya KeselamatanDalam mengembangkan budaya keselamatan, secara

spasial atau keruangan, sebaran bahaya, elemen-elemen yang rentan, dan potensi risiko yang ada dapat dituangkan dalam rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Kawasan-kawasan rawan bencana sebaiknya tidak dialokasi-kan untuk kegiatan pemanfaatan.

Bagi kawasan yang sudah terdapat kegiatan pemanfa-atan, pemerintah dapat memberikan pengarahan untuk ke-giatan mitigasinya. Pemerintah juga harus berani besikukuh untuk tidak memberikan izin bagi pemanfaatan baru. Sebut saja misalnya tidak mengeluarkan izin mendirikan bangun-an (IMB) di tempat yang berisiko terjadi bencana. Kalau-pun terpaksa menempati daerah berisiko maka rumah dan bangunan harus dibangun tahan bencana dan diterapkan building code yang ketat.

Strategi mitigasi bencana yang telah tertuang dalam RSWP-3-K dan peta resiko bencana yang telah dipertimbang-kan sebagai acuan dalam penyusunan RZWP-3-K tersebut

Page 191: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

�74 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

harus direncanaakan implementasinya dan dituangkan da-lam RPWP-3-K dan RAPWP-3-K.

Berhasil tidaknya pelaksanaan semua perencanaan ter-sebut diatas, sangat tergantung pada peran Bappeda. Ar-tinya, Bappeda harus mampu memfasilitasi terlaksananya perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil berbasis mitigasi bencana dan yang sudah disepakati dalam dokumen. Di samping itu, Bappeda harus mampu mengharmonisasikan dan menyinergikan dengan perenca-naan pembangunan daerah yang lain seperti RPJPD, RPJMD, dan RKPD.

Perangkat daerah selanjutnya memastikan bahwa dokumen SKPD telah menampung muatan perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil berbasis mitigasi bencana, me-review, mengesahkan, atau menolak berbagai kegiatan yang tidak sejalan dengan kebijakan dan program pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang telah disepakati bersama.

Yang lebih penting lagi adalah bagaimana eksekutif dan legislatif di tingkat daerah sepakat untuk mengalokasikan anggaran pembangunan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang telah dituangkan dalam perencanaan pengelolaan wilayah pesisir berbasis mitigasi. Melalui berbagai upaya perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil berbasis mitigasi bencana, niscaya kita bisa hidup akrab dengan bencana. Semoga.

ctd

Artikel ini dimuat di Samudra edisi 78 Tahun VII, Oktober 2009.

Page 192: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

�75 Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono

Sekilas Penulis

Subandono Diposaptono memulai karir sebagai peneliti coastal engi-neering di Laboratorium Pengkajian Teknik Pantai, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) pada �9�7. Sebelumnya, sarjana Teknik Sipil Hidro di UGM pada �9�3 itu, menjadi tenaga ahli di beberapa pe-rusahaan konsultan.

Gelar master dan doktor bidang coastal engineering diperolehnya di

Tohoku University Jepang pada �994 dan 2000. Pria kelahiran Klaten, 5 Juli 1959 itu aktif meneliti tentang coastal engineer-ing termasuk tsunami dan perubahan iklim, baik melalui survei lapangan, model fisik di laboratorium, maupun model matema-tik.

Untuk mendalami minatnya, berbagai pelatihan yang per-nah ia ikuti antara lain Coastal Process Modeling di Denmark �994 dan Integrated Coastal Management Leadership di Filipina 2002.

Atas kepakarannya itu, ia diundang menjadi pembicara di berbagai seminar, workshop, pelatihan, sosialisasi, dan pe-nyadaran masyarakat, baik tingkat nasional maupun interna-sional. Pemikirannya tentang mitigasi bencana dan adaptasi perubahan iklim pernah dimuat di Suara Pembaruan, Kompas, Daily Investor, Jurnal Nasional, Seputar Indonesia, Media Indo-nesia, Tempo, Gatra, dan Majalah Samudra. Pada tahun 200�

Page 193: Subandono Diposaptono - · PDF fileSebuah Kumpulan Pemikiran Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur

�76 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

ia bersama Budiman menulis buku Hidup Akrab dengan Gempa dan Tsunami. Pada tahun 2009 ia bersama Firdaus Agung dan Budiman menulis buku Menyiasati Perubahan Iklim di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Bukunya yang berjudul Menyelamatkan Diri dari Tsunami mendapat award dari Japanese Society of Civil Engineer (JSCE) sebagai buku terbaik pada tahun 2009 (The 2009 JSCE Book of The Year Award).

Anggota organisasi profesi yang diikutinya antara lain Himpunan Ahli Teknik Hidraulik Indonesia, Japanese Society of Civil Engineer (JSCE), dan Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia.

Mulai 200� ia ditugaskan di Departemen Kelautan dan Peri-kanan sebagai Kepala Sub Direktorat Pengendalian Pencemar-an Laut hingga awal tahun 2003. Lalu sepanjang 2003 hingga awal 2005 dipercaya menjadi Kepala Sub Direktorat Mitigasi Lingkungan. Mulai 2005 hingga 2007 bertugas sebagai Kepala Sub Direktorat Mitigasi Bencana dan Pencemaran Lingkungan. Sepanjang 200� menjabat sebagai Kepala Sub Direktorat Pe-ngelolaan Pesisir dan Lautan Terpadu. Ia juga pernah mengikuti simposium internasional di Oxford University, London.

Sejak 2009, ia bekerja sebagai Direktur Pesisir dan Lautan, Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Kementerian Kelautan dan Perikanan. Di sela-sela kesibukannya ia juga mengajar di Universitas Indonesia dan Universitas Diponegoro.

Menikah dengan Iim Susilawati, kini Alumnus PPRA-44 Lemhannas RI 2010 ini dikaruniai tiga putri yaitu, Maulida Galih Pawestri, Naraini Nur Kimashita dan Talitha Rahma Nur Aini.