i SUBAK PANCORAN SEBAGAI SUMBER BELAJAR SEJARAH KEBUDAYAAN INDONESIA (Studi Kasus di Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Pendidikan Ganesha) TESIS Untuk Memenuhi Sebagai Persyaratan Gelar Magister Pendidikan PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH Oleh: Ketut Sedana Arta NIM S.860908011 PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
186
Embed
SUBAK PANCORAN SEBAGAI SUMBER BELAJAR …/Subak... · telah memberikan kesempatan untuk mengikuti studi di Universitas ... Gambar 3 Trianggulasi Metode. ... menempuh mata kuliah Sejarah
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
i
SUBAK PANCORAN SEBAGAI SUMBER BELAJAR
SEJARAH KEBUDAYAAN INDONESIA
(Studi Kasus di Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Pendidikan Ganesha)
TESIS
Untuk Memenuhi Sebagai Persyaratan
Gelar Magister Pendidikan
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
Oleh: Ketut Sedana Arta NIM S.860908011
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
ii
SUBAK PANCORAN SEBAGAI SUMBER BELAJAR
SEJARAH KEBUDAYAAN INDONESIA
(Studi Kasus di Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Pendidikan Ganesha)
TESIS
Guna Memenuhi Sebagai Persyaratan
Gelar Magister Pendidikan
Program Studi Pendidikan Sejarah
Disusun oleh :
Ketut Sedana Arta
S860908011
Telah disetujui oleh Tim Pembimbing
Dewan Pembimbing
Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal
Pembimbing I
Dr. Suyatno Kartodirdjo
NIP. 130324012
--------------------
----------------------
Pembimbing II
Dra. Sutiyah, M.Pd, M.Hum
NIP. 195907081986012001
--------------------
----------------------
Mengetahui
Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah,
Dr. Warto, M.Hum
NIP. 196109251986031001
iii
SUBAK PANCORAN SEBAGAI SUMBER BELAJAR
SEJARAH KEBUDAYAAN INDONESIA
(Studi Kasus di Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Pendidikan Ganesha)
Disusun oleh
Ketut Sedana Arta
S. 860908011
Telah disetujui oleh Tim Penguji
Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal
Ketua Prof. Dr. Sri Yutmini, M.Pd ........................ ....................
Sekretaris Dr. Warto, M.Hum ........................ ....................
Anggota Penguji
1 Dr. Suyatno Kartodirdjo ....................... ....................
Nama : Ketut Sedana Arta NIM : S.860908011 Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis berjudul Subak Pancoran Sebagai Sumber Belajar Sejarah Kebudayaan Indonesia (Studi Kasus di Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Pendidikan Ganesha), adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan hasil karya saya, dalam tesis tersebut diberi tanda citasi dan ditunjukan dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademikberupa pencabutan tesis dan gelar yang saya peroleh dari tesis tersebut. Surakarta, 4 Juni 2010 Yang membuat pernyataan, Ketut Sedana Arta
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
karunia dan pertolongan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan
proposal tesis ini. Dalam menyelesaikan tesis ini, penulis banyak mendapatkan
bantuan, bimbingan, dan pengarahan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada
kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. dr. M. Syamsulhadi, Sp, KJ. (K), selaku rektor Universitas Sebelas
Maret Surakarta, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk
mengikuti pendidikan di Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
2. Prof. Drs. Suranto, M.Sc., Ph.D, selaku Direktur Program Pascasarjana yang
telah memberikan kesempatan untuk mengikuti studi di Universitas Sebelas
Maret.
3. Dr. Warto, M.Hum. Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah yang telah
memberikan arahan, serta bimbingan dalam penyusunan tesis.
4. Dra. Sutiyah, M.Pd., M.Hum. Sekretaris Program Studi Sejarah dan sekaligus
sebagai pembimbing II, yang tidak mengenal lelah menghimbau, memberikan
arahan dan memberikan semangat pada mahasiswa untuk menyelesaikan
tesis.
5. Dr. Suyatno Kartodirdjo, selaku pembimbing I, yang telah memberikan
bimbingan dan petunjuk dalam penyusunan tesis.
6. Prof. Dr. HB Sutopo, M.Sc., M.Sc. (almarhum), yang tidak kenal lelah
membimbing penulis dalam penyusunan tesis.
vi
7. Prof. Dr. I Nyoman Sudiana, M.Pd selaku rektor Universitas Pendidikan
Ganesha yang telah memberikan izin penelitian dalam pengumpulan data,
sehingga peneliti dapat menyelesaikan tesis ini.
8. Drs. Nengah Sudariya, M.Si selaku ketua jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas
Ilmu Sosial yang telah memberikan bantuan informasi dan data dalam proses
pengumpulan data, sehingga tesis ini dapat diselesaikan dengan lancer
9. Gde Mas Ari, selaku Kelian Subak Pancoran yang telah meluangkan waktu
untuk memberikan informasi dan data terkait dengan penelitian Subak
pancoran sebagai sumber belajar Sejarah Kebudayaan Indonesia.
10. Ucapan terima kasih kepada kedua orang tua kandung Ibu dan Ayah, Wayan
Pasek dan Ketut Sari (almarhum) yang telah mengasuh dan mendidik dan
teristimewa buat istriku Luh Budarmini serta anakku Putu Gita Gayatri yang
selalu memberikan dukungan dalam menyelesaikan studi.
Akhirnya penulis hanya dapat berdoa semoga Tuhan Yang Maha Esa
melimpahkan berkat dan rahmatn-Nya kepada semua pihak tersebut di atas, dan
mudah-mudahan tesis ini bermanfaat bagi mereka yang membutuhkannya.
Surakarta, Juni 2010
Penulis
vii
DAFTAR ISI JUDUL. ............................................................................................................ i
PENGESAHAN PEMBIMBING. ................................................................... ii
PENGESAHAN TESIS. .................................................................................. iii
PERNYATAAN............................................................................................... iv
KATA PENGANTAR. .................................................................................... iii
DAFTAR ISI. ................................................................................................... vii
DAFTAR TABEL. ........................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR. ...................................................................................... xi
LAMPIRAN. .................................................................................................... xii
ABSTRAKSI. .................................................................................................. xiv
ABSTRACT. .................................................................................................... xv
ABSTRAK Ketut Sedana Arta (S.860908011). Subak Pancoran Sebagai Sumber Belajar Sejarah Kebudayaan Indonesia (Studi Kasus di Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Pendidikan Ganesha). Tesis. Surakarta: Program Studi Pendidikan Sejarah, Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. Juni 2010. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) Pemahaman mahasiswa terhadap peran dan tanggung jawab Subak Pancoran dalam menciptakan kerukunan umat; (2) Cara dosen dan mahasiswa memanfaatkan Subak Pancoran sebagai sumber belajar sejarah kebudayaan Indonesia; (3) Kendala-kendala yang dihadapi dalam memanfaatkan Subak Pancoran sebagai sumber belajar sejarah kebudayaan Indonesia. Penelitian ini dilaksanakan di Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Pendidikan Ganesha. Bentuk penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan strategi kasus terpancang tunggal. Pengumpulan data dilakukan dengan observasi pada kegiatan pembelajaran Sejarah Kebudayaan Indonesia di kelas dan subak Pancoran, wawancara informan dilakukan dengan dosen, mahasiswa dan prajuru serta anggota subak Pancoran, serta analisis dokumen berupa silabus, tugas makalah mahasiswa, dan dokumen awig-awig, serta ekalikita subak Pancoran. Sampling yang digunakan adalah purposive sampling dan time sampling. Untuk mencari validitas data digunakan trianggulasi data dan metode. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis interaktif, yaitu proses analisis yang bergerak di antara tiga komponen yang meliputi reduksi data, penyajian data, verifikasi/penarikan simpulan berinteraksi dengan pengumpulan data secara siklus. Simpulan penelitian ini: (1) Mahasiswa yang sedang dan yang sudah menempuh mata kuliah Sejarah Kebudayaan Indonesia pada awalnya mempunyai pemahaman yang rendah namun setelah mengikuti perkuliahan mempunyai pemahaman yang baik tentang peran dan tanggung jawab subak Pancoran dalam menciptakan kerukunan umat; (2) Sesuai dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar cara memanfaatkan subak Pancoran sebagai sumber belajar Sejarah Kebudayaan Indonesia adalah melalui metode inquiri dan pemberian tugas oleh dosen kepada mahasiswa; (3) Kendala-kendala yang dihadapi dalam pemanfaatan subak Pancoran sebagai sumber belajar Sejarah Kebudayaan Indonesia adalah waktu, lokasi dan minimnya pengetahuan narasumber, fasilitas yang menunjang pembelajaran mengalami kerusakan, minimnya bahan ajar subak multikultur. Untuk mengatasi kendala tersebut diperlukan persiapan yang matang dan dukungan dari lembaga Undiksha berupa pemberian bantuan peralatan untuk menunjang proses pembelajaran dengan menggunakan subak Pancoran sebagai sumber belajar.
xv
ABSTRACT Ketut Sedana Arta ( S.860908011). Subak Pancoran As Source Learn History Culture of Indonesia ( Case Study in Majors Education Of History Faculty Social Science University Education Of Ganesha). Thesis. Surakarta: Sebelas Maret University Graduate Program. Juni 2010. This research target is to know: (1) Understanding of student to responsibility and role of Subak Pancoran in creating reconciliation of people; ( 2) Way of student and lecturer exploit Subak Pancoran as source learn History Culture of Indonesia; ( 3) Constraints faced in exploiting Subak Pancoran as source learn history culture of Indonesia. This research is executed in Majors Education Of History Faculty Social Science University Education of Ganesha. Form this research is descriptive qualitative with single stake case study strategy. Data collecting conducted with observation at activity of study of History Culture of Indonesia and class of subak Pancoran, interview information source conducted with lecturer, and student, prajuru and also member of subak Pancoran, and also analyse document in the form of syllabus, student handing out duty, and document of awig-awig, and also ekalikita of subak Pancoran. Sampling the used is sampling purposive and of time sampling. To look for data validity used by data and method trianggulasi. Technique analyse data the used is analysis of interaktif, that is peripatetic analysis process among three component covering data discount, presentation of data, verification / withdrawal of have interaction to with data collecting by cyclus. This Research node: ( 1) Student which is and which have gone through Iesson of History Culture of Indonesia initially have the understanding of low but after following lecturing have the understanding of good about responsibility and role of subak Pancoran in creating reconciliation of people; ( 2) As according to interest standard and elementary interest is way of exploiting subak Pancoran as source learn History Culture of Indonesia is to pass/through method of inquiri and giving of duty by lecturer to student; ( 3) Constraints faced in exploiting of Pancoran subak as source learn History Culture of Indonesia is time, location and lack of knowledge of guest speaker, facility which supporting natural study of damage, lack of materials teach multikultur subak. To overcome the the constraint needed by matured preparation and support of institute of Undiksha in the form of giving of equipments aid to support study process by using subak Pancoran as source learn.
xvi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak berakhirnya Perang Dingin, dunia menyaksikan berbagai konflik
internal pecah di Yugoslavia, Bosnia, Macedonia, Kroasia, Kosovo, Rwanda,
Myanmar, Sri Langka, Liberia, dan Indonesia. Konflik-konflik internal ini
memunculkan kembali isu self-determination, konflik negara-masyarakat, atau
pun konflik antaretnis dalam masyarakat yang plural dan multietnis (Syamsul
Hadi, 2007:1)
Fenomena konflik etnis atau agama tidak bisa dilepaskan dari dinamika
kehidupan berbangsa dan bernegara, karena Indonesia merupakan negara
multikultural. Dalam sejarahnya, pembentukan Indonesia sebagai negara bangsa
(nation state) didasarkan pada persetujuan bersama berbagai kelompok etnis yang
ada di Indonesia yang sama-sama mengalami penderitaan akibat kolonialisme.
Pasca jatuhnya pemerintahan orde baru di tahun 1998, muncul fenomena yang
memprihatinkan berupa berkembang dan menguatnya ekskalasi konflik-konflik
lokal di berbagai wilayah di Indonesia. Dalam hal ini terkuak pula kerapuhan
proses nation building. Benedict Anderson (2008:8) mengatakan Indonesia
terbentuk dari komunitas-komunitas terbayang (imagined communities), yang
mengandung makna bahwa bangsa Indonesia adalah sebuah bangsa yang dicita-
citakan dan masih dalam sebuah proses menjadi Indonesia (a process to be
xvii
Indonesia). Bambang Purwanto (2006:159) menegaskan walaupun sebagian besar
komunitas etnik hidup di dalam wilayah negara yang sama tetapi mereka
sebenarnya tidak memiliki perasaan yang kuat sebagai bangsa yang sama. Bagi
komunitas-komunitas etnik tertentu, identitas kebangsaan yang melekat pada
negara dipahami tidak lebih sebagai identitas kebangsaan yang imajiner.
Apa yang terjadi di Indonesia sesuai dengan pendapat Samuel P.
Huntington (1996) yang “meramalkan” bahwa sebenarnya konflik antar-
peradaban di masa depan tidak lagi disebabkan oleh faktor-faktor ekonomi, politik
dan ideologi, tetapi justru dipicu oleh masalah masalah suku, agama, ras dan
antargolongan (SARA). Konflik tersebut menjadi gejala terkuat yang menandai
runtuhnya polarisasi ideologi dunia ke dalam komunisme dan kapitalisme,
bersamaan dengan runtuhnya struktur politik negara-negara Eropa Timur.
Ramalan ini sebenarnya telah didukung oleh peristiwa sejarah yang terjadi pada
era 1980-an yaitu terjadinya perang etnik di kawasan Balkan, di Yugoslavia, pasca
pemerintahan Josep Broz Tito: Keragaman, yang di satu sisi merupakan kekayaan
dan kekuatan, berbalik menjadi sumber perpecahan ketika leadership yang
mengikatnya lengser. Mengacu pada Suyatno kartodirdjo (2003 :11) bahwa
meningkatnya ekskalasi konflik-konflik lokal yang ditandai dengan anarkhi yang
menyertai reformasi Indonesia menunjukkan adanya fenomena historis tentang
terkoyaknya kesadaran nasional dan wawasan kebangsaan.
Menurut Ester Arianti (2003:1), beberapa faktor yang menyebabkan
terjadinya hal tersebut adalah: (1) Pembangunan bangsa ini lebih diprioritaskan
pada pemberdayaan politik dan ekonomi yang bermuara pada pengkulturan
xviii
hedonisme, tanpa memperhatikan aspek-aspek yang lain. Akibatnya mereka
mengadakan reaksi dengan cara mengakomodasi simbol-simbol kehidupan lokal
sebagai benteng pertahanan; (2) Kurang diperhatikannya pembangunan sosial
budaya, yang berakibat masyarakat Indonesia mengalami disintegrasi kebudayaan
sehingga satu sama lain kurang menghargai budaya masyarakat lainnya.
Bertolak dari keadaan tersebut, menandakan nasionalisme semakin kurang
mengakar pada akar kebudayaan bangsa. Padahal dimensi kebudayaan bangsa
menjadi menjadi salah satu perekat dalam kehidupan nasional. Konflik antarsuku
bangsa, kerusuhan dan kekerasan sosial terjadi secara terbuka, menunjukkan
bahwa bangsa Indonesia sedang mengalami keretakan kebudayaan nasional. Di
sini tampak peran sejarah untuk menyatukan seluruh komponen-komponen
bangsa. Menurut Sartono Kartodirdjo (1997:133) bahwa sejarah nasional sebagai
unsur nasionalisme kultural berfungsi untuk menjadi perantara (mediasi) dalam
memantapkan hubungan-hubungan antara unsur-unsur masyarakat pluralistis.
Pengajaran sejarah dapat memperkokoh integrasi nasional. Di samping itu,
masih ada beberapa faktor lain yang dapat memperkuat integrasi bangsa, antara
lain interaksi yang intensif di antara berbagai kelompok sosial dalam masyarakat.
Dalam hal ini perlu perspektif cross cultural communication (komunikasi lintas
budaya) dan cultural relativism dalam penulisan sejarah. Komunikasi lintas
budaya memiliki hubungan yang erat dengan sebuah proses terbentuknya bangsa
Indonesia atau proses menjadi Indonesia.
Dalam hubungan itu, apa yang disebut sebagai cross culture
communication yang menghubungkan berbagai kelompok etnik, unsur-unsur
xix
sosial dan lokalitas di nusantara menjadi sangat penting kedudukannya.
Mengingat persoalan-persoalan disintegrasi yang sedang dihadapi bangsa
Indonesia, maka perlu dicari perspektif baru yang menyangkut hubungan antara
wilayah, kesatuan sosial dan politik. Dalam hubungan itulah akar-akar sosial,
politik, ekonomi dan budaya menjadi landasan hubungan antarwilayah baik dalam
bentuk frienship (persahabatan, diplomasi) maupun dalam bentuk conflict dan
penyelesaiannya (manajemen konflik) perlu diidentifikasi dengan baik (Singgih
Tri Sulistiyono, 2008: 457)
Dengan penelitian sejarah yang menekankan segi komunitas lintas budaya,
diharapkan pelajaran yang bisa diambil untuk memperkaya wacana dalam
pengembangan model komunikasi lintas budaya pada masa sekarang. Sedangkan
prinsip relativisme budaya mencakup pendirian bahwa kepercayaan dan tingkah
laku masyarakat hanya dapat dipahami dalam konteks sejarah dan kebudayaan
dari masyarakat yang bersangkutan.
Berangkat dari pemahaman di atas, bangsa Indonesia perlu
mengembangkan secara serius pengajaran sejarah kebudayaan secara benar, untuk
mengimbangi pengajaran sejarah politik yang cenderung digunakan untuk
kepentingan politik penguasa dan rezim (Asvi Warman Adam, 2009:3). Media
yang cukup relevan dipergunakan adalah melalui bidang pendidikan, dalam hal ini
pengajaran sejarah kebudayaan Indonesia seperti yang dilakukan pada jurusan
sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Pendidikan Ganesha. Edi Sedyawati
(2006 : 325) mengatakan bahwa suatu kajian sejarah kebudayaan dapat menyoroti
keseluruhan perkembangan kebudayaan di suatu daerah atau negara, namun dapat
xx
juga secara khusus memberikan sorotan terhadap salah satu aspek sejarah
kebudayaan. Komponen suatu kebudayaan adalah apa yang disebut juga sebagai
unsur kebudayaan, seperti sistem kepercayaan, sistem pengetahuan, sistem
perekonomian, sistem kesenian, sistem komunikasi, sistem organisasi sosial, dan
seterusnya. Suatu gambaran sejarah kebudayaan yang menyeluruh akan
memberikan paparan mengenai perkembangan budaya dengan segala unsurnya
itu.
Melalui mata kuliah sejarah kebudayaan bisa meningkatkan kesadaran
budaya dan kesadaran sejarah pada masyarakat luas. Adanya kesadaran budaya
ditandai oleh, pertama, pengetahuan akan adanya berbagai kebudayaan suku
bangsa yang masing-masing mempunyai jati diri beserta keunggulan-
keunggulannya; kedua, sikap terbuka untuk menghargai dan berusaha memahami
kebudayaan suku-suku bangsa di luar suku bangsanya sendiri; ketiga,
pengetahuan akan adanya berbagai riwayat perkembangan budaya di berbagai
tahap masa silam; keempat, pengertian bahwa di samping merawat dan
mengembangkan unsur-unsur warisan budaya, sebagai bangsa Indonesia yang
bersatu, juga sedang memperkembangkan sebuah kebudayaan baru, yaitu
kebudayaan nasional (Edi Sedyawati, 2006:331). Hal senada diungkapkan oleh
Sartono Kartodirdjo (1994:241) bahwa gerakan kebudayaan atau pengajaran
sejarah kebudayaan akan memperkuat kesadaran nasional, bahkan pergerakan
nasional seharusnya berusaha membangun kebudayaan nasional sebagai basis
kehidupan bangsa.
xxi
Kenyataan di lapangan pengajaran sejarah kebudayaan Indonesia masih
bersifat verbalistis sehingga belum menyentuh tingkat kesadaran nasional yang
diisyaratkan. Pendapat ini diperkuat oleh Djoko Suryo (2003:2), bahwa dari
perspektif sejarah kebudayaan dan peradaban pendidikan sejak awal menduduki
tempat pokok dalam proses transmisi unsur-unsur kebudayaan dan peradaban,
namun kenyataannya Negara Kesatuan Republik Indonesia goyah ketika
menghadapi berbagai gejolak sosial dan politik yang mengarah pada konflik
bermuatan SARA. Hal ini memberi tanda dan peringatan bahwa kesatuan dan
persatuan bangsa Indonesia benar-benar telah terancam. Pendapat tersebut
menunjukkan bahwa pengajaran sejarah kebudayaan Indonesia yang merupakan
salah satu cara penanaman kesadaran kebangsaan belum berhasil dengan baik. Hal
ini perlu peningkatan baik strategi, metode maupun sumber belajar yang tepat
dalam pengajaran Sejarah Kebudayaan Indonesia.
Salah satu alternatif yang dapat dilakukan oleh dosen dalam menghadapi
tantangan tersebut adalah pembelajaran yang memberikan pengalaman langsung
kepada kehidupan mahasiswa secara nyata di sekitar lingkungannya. Untuk dapat
memberikan pengalaman nyata, dapat diterapkan pembelajaran yang bersifat
kontekstual dengan metode CTL (Constekstual Learning and Teaching).
Penerapan pembelajaran sejarah yang bersifat kontekstual dapat menghilangkan
kesan bahwa pelajaran sejarah adalah pelajaran yang menghapal dan berpusat
pada guru (Teacher Centered) tetapi guru adalah sebagai fasilitator bukan satu-
satunya sumber belajar yang mampu memberikan informasi kepada mahasiswa.
xxii
Terkait dengan sumber belajar sejarah kebudayaan Indonesia di Jurusan
Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Undiksha ditemukan permasalahan
sumber belajar masih terbatas pada dosen dan buku-buku sejarah kebudayaan.
Padahal sumber belajar bukan hanya orang atau narasumber dan bahan cetak
(printed material) tetapi juga tempat atau lingkungan sosial berkaitan dengan
interaksi manusia dalam kehidupan masyarakat seperti subak Pancoran. Dengan
demikian, pemanfaatan subak Pancoran sebagai sumber belajar dapat menambah
sumber belajar sejarah kebudayaan Indonesia. Nana Sujana (2001: 212)
mengatakan bahwa lingkungan sosial yang dimaksud adalah organisasi sosial,
adat dan kebiasaan, mata pencaharian, kebutuhan pendidikan, kependudukan,
struktur pemerintahan, agama dan sistem nilai.
Dengan latar belakang itulah maka perlunya dilakukan suatu penelitian
yang berhubungan dengan pemanfaatan subak Pancoran yang berada di
Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng yang berhubungan dengan
pembelajaran sejarah kebudayaan Indonesia khususnya di Jurusan Pendidikan
Sejarah, Fakultas Ilmu Sosia, Undiksha sebagai sumber belajar.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalah-permasalahan yang dikemukakan
di atas, maka dalam penelitian ini dapat dirumuskan permasalahan sebagai
berikut:
1. Bagaimana pemahaman mahasiswa terhadap peran dan tanggung jawab Subak
Pancoran dalam menciptakan kerukunan umat?
xxiii
2. Bagaimana dosen dan mahasiswa memanfaatkan Subak Pancoran sebagai
sumber belajar sejarah kebudayaan Indonesia?
3. Kendala-kendala apa saja yang dihadapi dalam memanfaatkan Subak
Pancoran sebagai sumber belajar sejarah kebudayaan Indonesia?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan dan
menjelaskan tentang Subak Pancoran sebagai sumber belajar sejarah kebudayaan
Indonesia di Jurusan Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas
Pendidikan Ganesha.
2. Secara Khusus
Adapun yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah untuk
mendeskripsikan dan menjelaskan:
a. Pemahaman mahasiswa terhadap peran dan tanggung jawab Subak Pancoran
dalam menciptakan kerukunan umat.
b. Cara dosen dan mahasiswa memanfaatkan Subak Pancoran sebagai sumber
belajar sejarah kebudayaan Indonesia.
c. Kendala-kendala yang dihadapi dalam memanfaatkan Subak Pancoran sebagai
sumber belajar sejarah kebudayaan Indonesia.
xxiv
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
Secara teoretis manfaat penelitian ini diharapkan dapat memberikan
sumbangan positif bagi pengembangan dan pengetahuan pada umumnya, dan
khususnya pengembangan teori yang berkaitan dengan sumber belajar sejarah
kebudayaan di Perguruan Tinggi.
2. Manfaat Praktis
Adapun manfaat praktis penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Bagi Jurusan Pendidikan Sejarah
Dapat digunakan untuk menambah sumber belajar sejarah kebudayaan
Indonesia.
b. Bagi Dosen
Pemanfaatan subak Pancoran dapat dijadikan alternatif pembelajaran
sejarah yang lebih menarik dan mendorong dosen lebih meningkatkan
keperdulian terhadap lingkungan di luar kampus sebagai sumber belajar
sejarah kebudayaan Indonesia.
c. Bagi Mahasiswa
Dengan pemanfaatan subak Pancoran dapat memberikan pengalaman
belajar secara nyata dengan cara menggali informasi tentang fungsi,
manfaat, dan nilai guna dari subak Pancoran sebagai sumber belajar
sejarah kebudayaan Indonesia.
xxv
BAB II
KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PIKIR
A. Kajian Teori
1. Lembaga Sosial Budaya
Manusia adalah makhluk sosial yang hidup dalam masyarakat lingkungan
sosial. Lingkungan sosial adalah suatu bagian dari lingkungan hidup yang terdiri
atas antar hubungan individu dan kelompok, adanya pola-pola organisasi serta
segala aspek yang ada dalam masyarakat. Wujud lingkungan sosial tersebut
berupa kesatuan-kesatuan sosial atau kelompok-kelompok sosial, salah satu
contohnya adalah lembaga subak yang ada di Bali.
Kesatuan-kesatuan sosial atau kelompok-kelompok sosial tersebut
mempunyai aturan-aturan yang berbeda satu dengan lainnya dan harus ditaati oleh
anggota kelompok-kelompok sosial tersebut (Parsudi Suparlan, 1986 : 89).
Dadang Supardan (2008 : 125) mengatakan bahwa suatu sistem sosial selalu di
bawah kontrol nilai dan norma budaya sehingga sistem sosial tersebut cenderung
bergerak kearah equilibrium yang bersifat dinamis. Nilai adalah sesuatu yang
dipandang berharga oleh orang atau kelompok, serta dijadikan acuan tindakan
maupun arah hidup. Nilai tersebut ditumbuhkan dan dibatinkan lewat kebudayaan
yang dihayati sebagai jagat simbol. Talcott parson dalam Veeger (1993 : 199)
menganalisis bahwa terciptanya keteraturan dalam suatu lembaga atau sistem
sosial disebabkan oleh adanya nilai-nilai yang dibagi bersama yang dilembagakan
menjadi norma-norma sosial, dibatinkan oleh individu-individu menjadi motivasi-
xxvi
motivasi. Hal ini sejalan dengan teori-teori fungsional melihat masyarakat dan
lembaga-lembaga sosial yang ada sebagai suatu sistem di mana bagian satu dan
bagian yang lain saling tergantung dan bekerjasama menciptakan keseimbangan
(Zamroni, 1992 : 32). Mudji Sutrisno (2008:67) mengatakan bahwa dalam
budaya agraris, kolektivitas menjadi perekat kebersamaan yang diwujudkan dalam
saling menolong dan saling menopang, sehingga tercipta hubungan yang harmonis
dengan alam dan dengan sesama agar kerukunan hidup bisa terus berlangsung.
Di samping nilai dan norma yang mendukung ajegnya lembaga sosial,
,masyarakat sebagai pilar pendukung tidak bisa diabaikan. Durhkeim dalam
Supriyono (2005:87) mempersepsi masyarakat sebagai satu kesatuan yang
dirangkai secara internal oleh the scred, klasifikasi, ritus, ikatan solidaritas. The
scred berarti nilai-nilai yang disakralkan atau yang disucikan berupa simbol
utama, nilai-nilai, dan kepercayaan yang menjadi inti sebuah masyarakat. Sistem
klasifikasi bekerja dalam kesadaran moral dan emosional masyarakat dengan
menunjukkan apakah seseorang bermoral atau kurang bermoral, masuk kelompok
benar atau sesat karena tidak mengemban nilai-nilai kolektif dan normatif. Ritus
adalah suatu usaha untuk menjaga kesucian nilai suatu komunitas dengan
mengadakan perayaan-perayaan, festival, dan acara-acara budaya dalam
masyarakat. Sedangkan solidaritas merupakan faktor yang mempersatukan
masyarakat yang mempunyai latar belakang yang berbeda (Supriyono, 2008:89).
Usman Pelly (1994 : 31) mendefinisikan masyarakat pada hakikatnya
adalah salah satu wujud dari kesatuan hidup manusia yang di dalamnya
mempunyai ciri-ciri : terjadi interaksi, ada ikatan pada tingkah laku khas di dalam
xxvii
sektor kehidupan yang mantap dan kontinu, adanya rasa identitas terhadap
kelompok di mana manusia itu menjadi bagiannya. Lembaga-lembaga sosial
budaya maupun masyarakat tidak selalu dalam keadaan yang konsensual,
integratif dan statis, padahal menurut Dahrendorf (1984:78) masyarakat selalu
bermuka dua, yaitu konsensus dan konflik. Secara lebih spesifik Dahrendorf
(1984:79) mengemukakan ciri-ciri konflik dalam organisasi sosial di antaranya
sebagai berikut: (a) sistem sosial senantiasa berada dalam keadaan konflik, (b)
konflik-konflik tersebut disebabkan adanya kepentingan-kepentingan yang
bertentangan yang tidak dapat dicegah dalam struktur sosial masyarakat, (c)
kepentingan-kepentingan itu cenderung berpolarisasi dalam dua kelompok yang
saling bertentangan, (d) perubahan sosial merupakan akibat-akibat konflik yang
tidak dapat dicegah pada berbagai tipe pola-pola yang telah melembaga.
Dengan demikian apabila ingin menjelaskan suatu konflik yang
sesungguhnya, harus didiskusikan kondisi-kondisi nyata yang menghasilkan
konflik tersebut. Usman Pelly (1994:65) menunjukkan bahwa konflik bisa dilihat
sebagai cara untuk mempertahankan stabilitas, bahkan terjadinya konflik sosial
bisa dilihat sebagai hal yang memiliki akibat pemersatu yang vital melalui
pelepasan ketegangan dan membentuk rantai penyesuaian diri.
Bawa Atmadja (2004:5) mengatakan bahwa sumber konflik bisa dipilah
dengan mengikuti komponen-komponen sistem sosiokultural, yakni infrastruktur
material, struktur sosial, dan superstruktur ideologi. Dalam subak sumber konflik
yang berwujud infrastruktur material misalnya perebutan sumber air, pencurian
air, perusakan tanaman, perusakan pematang sawah oleh anggota subak maupun
xxviii
yang dilakukan oleh hewan peliharaan (Pitana, 1992:25). Sedangkan sumber
konflik pada komponen struktur sosial pada subak pluralistik, tampak bahwa
setiap etnik selalu mengembangkan identitasnya dengan cara menjungjung tinggi
kebudayaan yang mereka miliki untuk membedakan antara kita dan mereka, atau
orang dalam dan orang luar. Jika pengembangan identitas etnik diwarnai
etnosentrisme, maka jarak sosial antara etnik yang satu dengan yang lainnya akan
melebar, komunikasi antarbudaya menjadi terbatas, sehingga peluang bagi
timbulnya kesalahpahaman yang menjurus pada timbulnya konflik besar. Dalam
suatu konflik, serangan terhadap individu bisa diartikan sebagai serangan terhadap
etnik secara keseluruhan.
Sumber konflik pada komponen superstruktur ideologi pada etnik Bali
maupun non Bali berisi gagasan, ide, pengetahuan yang mereka miliki.
Kesemuanya itu tidak semata-mata berfungsi sebagai peta kognisi dalam rangka
memaknai sesuatu, tetapi sebagai resep bertindak pada tataran struktur sosial
(Geertz, 1998:72). Berkenaan dengan itu, perbedaan agama, misalnya dapat
menimbulkan pemaknaan mengenai sesuatu sebagaimana tercermin pada perilaku
mereka dalam kehidupan bermasyarakat. Perbedaan konsep-konsep keagamaan
yang dianut oleh etnik-etnik yang hidup dalam suatu wilayah desa pakraman
termasuk di dalamnya subak jarang didialogkan secara kognitif maupun praksis,
akibatnya timbul kesenjangan informasi yang memberi peluang terjadinya konflik.
Misalnya di pura subak banyak dijumpai patung, karena pemahaman tentang
fungsi patung pada etnis non Bali kurang, maka tidak heran orang Bali dilabeli
dengan sebutan pemuja berhala. Pemaknaan yang demikian mudah menimbulkan
xxix
konflik apalagi disertai dengan sikap monopoli kebenaran (Bawa Atmaja, 2004:6).
Proses sosial dalam lembaga sosial budaya yang anggotanya multietnik memberi
peluang adanya dua kemungkinan, yaitu konflik dan atau integrasi. Konflik bisa
bersifat laten (covert) atau terbuka (over). Pemicu konflik bisa dari seorang
provokator atau karena terjadi kebuntuan dialog di antara komponen konflik.
Sedangkan integrasi multikultural dapat berbentuk akomodatif, kooperatif, toleran
dan koordinatif, peminjaman budaya selektif dengan penuh kesadaran agar terjadi
integrasi sosial secara damai.
Agama sebagai resep bertindak digunakan pula sebagai identitas etnik.
Orang Bali memakai Agama Hindu sebagai identitas etniknya. Sebaliknya, orang
non Bali kebanyakan beragama Islam memakai Agama Islam sebagai identitas
etniknya. Gejala ini menimbulkan implikasi bahwa setiap konflik dapat berubah
dari konflik tertutup menjadi konflik terbuka. Konflik yang berbau agama tidak
saja sulit dipecahkan, tetapi juga dengan mudah terjerumus pada konflik dengan
kekerasan yang mengatasnamakan agama. Supaya gambaran seperti di atas tidak
terjadi, maka diperlukan suatu pengendalian sosial. Menurut Koentjaraningrat
(1990:217) pengendalian sosial dilakukan untuk menghindari perpecahan,
keretakan, atau kehancuran suatu masyarakat. Miall (2000:81) menyebutkan
bahwa penyelesaian konflik umumnya mengambil bentuk: penciptaan katup
pengaman, mengisolasi kelompok kepentingan, transformasi konflik, dominasi
dan hegemoni, negosiasi, mediasi, dan berbentuk rekonsiliasi.
Secara teoretik ada beberapa penyebab terjadinya integrasi pada lembaga
sosial budaya yang perlu dikelola agar dapat menjadi kekuatan, di antaranya
xxx
adanya kesepakatan sistem budaya fundamental koordinatif, dalam hal ini
Pancasila merupakan kekuatan pengikat; adanya kebudayaan dominan; kuantitas
sosio-demografis. Selain itu dibutuhkan adanya kelompok sosial yang menyilang
dan memotong dan penciptaan budaya komplementer yang saling melengkapi.
Beberapa fakta sosial itu perlu diupayakan secara bersama-sama dan terus-
menerus agar kerukunan antarsegmen bangsa itu terjadi (Pageh, 2009 : 19)
Dalam perkembangannya organisasi/lembaga-lembaga sosial
dimanfaatkan oleh pemerintah sebagai upaya rekayasa sosial. Hal ini dilakukan
untuk proses enkulturasi (pembudayaan) nilai-nilai budaya baru terkait dengan
teknologi ke dalam batang tubuh budaya. Keadaan ini dapat dijumpai di Bali
dengan memanfaatkan organisasi/lembaga sosial seperti subak/banjar dalam
bidang pertanian dan pengaturan irigasi. Nagari di Sumatera Barat dalam
pelaksanaan pemerintahan daerah/desa (Usman Pelly, 1994:121).
Dalam masyarakat Bali terdapat lembaga-lembaga sosial tradisional
sebagai simpul-simpul budaya Bali, antara lain : subak, desa pakraman, banjar
adat. Di samping itu berkembang pula kelompok-kelompok kepentingan lain
dalam wujud yang lebih kecil, baik dalam lingkup kepentingan, cakupan wilayah,
maupun jumlah anggota, yang disebut seka. Kadang-kadang seka merupakan
bagian dari organisasi banjar atau desa yang ada, namun tidak jarang pula seka-
seka tersebut terlepas dari ikatan banjar atau desa (Sudhana Astika, 1994:111).
2. Peran dan Tanggung Jawab Organisasi Sosial Budaya
Sebagai suatu organisasi sosial budaya, subak merupakan suatu sistem
yang memiliki struktur dan fungsi, anggota-anggotanya saling berinteraksi dan
xxxi
satu sama lain. Adanya interaksi para anggota akan melaksanakan penyesuian
sehingga mereka senantiasa berada pada keseimbangan. Untuk menjaga
keseimbangan hidup suatu masyarakat, maka tatanan sosial yang ada harus tetap
berlaku dari generasi demi generasi. Oleh karenanya, sistem tatanan sosial yang
ada perlu ditanamkan pada setiap individu anggota masyarakat. Dengan kata lain,
setiap anggota masyarakat perlu melaksanakan sosialisasi sistem sosial yang
dimiliki. Proses sosialisasi ini bertujuan untuk mengintegrasikan sistem personal
dan sistem kultural ke dalam sistem sosial. Dengan demikian akan terdapat
komitmen dari para individu kepada tatanan, nilai-nilai dan norma-norma yang
berlaku dalam masyarakat (Zamroni, 1992:28). Menurut Parson dalam Veeger
(1993:199), mekanisme sosialisasi merupakan alat dan pola kultural, seperti nilai-
nilai, kepercayaan, bahasa, simbol yang ditanamkan pada sistem personal. Dengan
proses ini maka anggota masyarakat akan menerima dan memiliki komitmen
terhadap norma-norma yang ada.
Untuk mewujudkan hal tersebut, maka lembaga-lembaga sosial budaya
sebagai sebuah sistem sosial harus memiliki mekanisme kontrol (kontrol sosial),
sehingga perbedaan-perbedaan dan ketegangan-ketegangan yang ada di dalamnya
dapat ditekan. Mekanisme kontrol tersebut meliputi, antara lain: (a) pelembagaan,
(b) sanksi-sanksi, (c) aktivitas ritual, (d) penyelamatan pada keadaan yang kritis
dan tidak normal, (e) pengintegrasian kembali agar keseimbangan dapat dicapai
kembali, dan (f) pelembagaan kekuasaan untuk melaksanakan tatanan sosial
(Zamroni, 1992:29).
xxxii
Kata kontrol sosial berasal dari kata social control atau sistem
pengendalian sosial, adalah suatu tindakan seseorang/kelompok yang dilakukan
melalui proses terencana maupun tidak dengan tujuan mendidik, mengajak
(paksaan atau tidak) untuk mematuhi kaidah dan sistem nilai sosial tertentu yang
dianggap benar pada saat itu.Tujuan pengendalian sosial tersebut tidak lain adalah
menciptakan keharmonisan, maka suatu masyarakat tentu perlu mengembangkan
suatu sarana, yaitu pola kendali dalam bentuk norma dan nilai, idiom-idiom yang
mereka miliki, maka untuk mencegah seseorang agar tidak bersifat konfrontatif
atau tidak suka berpetualang dengan konflik.
Masyarakat Bali telah mengembangkan sima, awig-awig, dan juga
berbagai idiom untuk mewujudkan keharmonisan, tentu tidaklah berarti
keharmonisan dengan sendirinya terwujud, karena itu diperlukan pula kontrol
sosial, bahkan hal ini sangat penting, sebab menurut Berger (1987:242) “tidak ada
suatu masyarakat eksis tanpa adanya kontrol sosial”. Dalam hubungan ini subak
juga lembaga-lembaga kemasyarakatan yang lain memiliki pula mekanisme
kontrol sosial secara preventif maupun represif, lengkap dengan berbagai
sanksinya, baik yang bersifat formal maupun informal.
Selain dengan kontrol sosial, pemupukan modal sosial juga penting
terhadap peran dan tanggung jawab lembaga sosial budaya. Dengan ngacu kepada
Habullah (2006) dapat diketahui unsur-unsur modal sosial antara lain partisipasi
dalam jaringan sosial, resiprositas, rasa saling mempercayai, nilai-nilai dan norma,
dan tindakan proaktif. Sedangkan Badarrudin (2005:31) menyatakan, bahwa
modal sosial mencakup unsur-unsur sebagai berikut.
xxxiii
(1) saling percaya (trust), yang meliputi adanya kejujuran (honesty), kewajaran (fairness), sikap egaliter (egalitarianism), toleran (tolerance) dan kemurahan hati (generosity); (2) jaringan sosial (network), yang meliputi adanya partisipasi (participations), pertukaran timbal balik (reciprocity), solidaritas (solidarity), kerjasama (collaboration/cooperation), dan keadilan (equality)’ (3) pranata (institutions) yang meliputi nilai-nilai yang dimiliki bersama (shared value), norma-norma dan sanksi-sanksi (norms and sanctions), dan aturan-aturan.
Gagasan Badaruddin (2005:40) secara substansial, memang tidak jauh berbeda
daripada unsur-unsur modal sosial yang dikemukakan oleh Hasbullah (2006:62).
Walaupan tidak jauh berbeda, namun ada kemanfaatan yang didapat dari gagasan
yang dipaparkan Badaruddin, yakni memberikan rincian yang lebih memadai
tentang isi modal. Gagasan seperti ini sangat membantu dalam melihat bentuk-
bentuk modal pada komonitas yang dikaji, yakni desa-desa pada Kawasan
Pariwisata Ubud. Selain itu Hasbullah (2006:71) membedakan pula dua jenis
modal sosial berdasarkan dimensi dan tipologinya, yakni modal sosial terikat
(bonding social capital) dan modal sosial yang menjembatani (bridging social
capital).
Kedua bentuk modal sosial ini sangat penting, karena ikut menentukan
pengaktualisasian modal sosial dalam suatu masyarakat, terutama ketika mereka
berhadapan dengan pihak luar maupun merespon pengaruh dari luar yang masuk
ke dalam suatu komunitas. Modal sosial tidak berdiri sendiri atau ada dengan
sendirinya, melainkan memerlukan suatu wadah, yakni organisasi, lembaga,
sistem sosial maupun komonitas. Sistem sosial merupakan basis bagi
penumbuhkembangan modal sosial (Hasbullah, 2006:76). Dalam kehidupan suatu
sistem sosial, dia terikat pada adanya manusia sebagai anggotanya, ruang atau
xxxiv
lingkungan sebagai arena sosialnya, dan sumber daya ekonomi dan materi guna
memenuhi kebutuhan hidupnya
3. Sumber Belajar
a. Pengertian Sumber Belajar
Sumber belajar (learning resources) adalah semua sumber baik berupa
data, orang dan wujud tertentu yang dapat digunakan oleh peserta didik dalam
belajar, baik secara terpisah maupun secara terkombinasi sehingga mempermudah
peserta didik dalam mencapai tujuan belajar atau mencapai kompetensi tertentu
Petani Sawah ( Sebuah kajian tentang Fungsi Agama pada Sistem Sosio
kultural, Petani Kristen di Dusun Piling, Penebel, Tabanan). Singaraja :
STKIP N; (4) Sirtha, Nyoman. 2008. Subak Konsep Pertanian Religius
Perspektif Hukum, Budaya dan Agama Hindu. Surabaya Paramita; (5)
John Ambler. 1991. Irigasi di Indonesia Dinamika Kelembagaan Petani.
Jakarta : LP3ES.
clix
Minimnya sumber belajar berupa buku-buku subak berpengaruh
terhadap rendahnya pengetahuan awal mahasiswa yang sedang menempuh
mata kuliah Sejarah Kebudayaan Indonesia tentang subak Pancoran, hal ini
disebakan pengetahuan mereka tentang subak selalu identik dengan agama
Hindu. Pemahaman yang demikian disebabkan berbagai buku dan artikel
yang memuat tentang subak kebanyakan mengupasnya dari perspektif Bali
sentris, padahal melihat Bali sekarang tidak lagi bersifat monokultural
tetapi sudah multikultural, dalam artian berbagai lembaga sosial budaya
Bali tidak semata-mata dijiwai agama Hindu, namun terdapat lembaga
seperti subak Pancoran yang mengakomodasikan agama Islam. Bahkan
berdasarkan penelitian Sendratari di Piling Penebel Kabupaten Tabanan,
multikulturalisme di dalam subak sudah terjadi pada jaman Belanda yakni
dengan masuknya petani yang beragama Kristen Protestan maupun
Khatolik menjadi anggota subak. Jadi di Bali beberapa subak
keanggotaannya dipastikan ada yang berbeda agama dan etnis. Khusus
untuk subak Pancoran walaupun subak pada dasarnya dijiwai oleh nilai-
nilai agama Hindu, namun terbuka bagi anggota subak yang berbeda
agama.
clx
BAB V
SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN
A. Simpulan
Subak Pancoran dapat dipergunakan sebagai sumber belajar mata kuliah
Sejarah Kebudayaan Indonesia, hal ini dilihat dari mahasiswa yang sedang dan
sudah menempuh Sejarah Kebudayaan Indonesia yang mempunyai pemahaman
yang baik tentang peran dan tanggung jawab subak Pancoran dalam menciptakan
kerukunan umat. Peran dan tanggung jawab tersebut terlihat dalam hal: (1) Fungsi
pencarian dan distribusi air irigasi, operasi dan pemeliharaan sistem irigasi; (2)
Penanganan sengketa; (3) Upacara keagamaan (religi); (4) Toleransi.
Dalam pemanfaatan subak Pancoran sebagai sumber Belajar Sejarah
Kebudayaan Indonesia harus disesuaikan dengan standar kompetensi dan
kompetensi dasar. Dengan penyesuaian standar kompetensi dan kompetensi dasar
ini secara tidak langsung memberikan dosen sumber belajar lain yang akan
menambah antusias mahasiswa untuk belajar Sejarah Kebudayaan Indonesia.
Selain itu, tujuan pembelajaran yang telah dicanangkan akan tercapai secara
optimal.
Bagi dosen pemanfaatan subak Pancoran sebagai sumber belajar Sejarah
Kebudayaan Indonesia dengan memberikan tugas pada mahasiswa untuk
mengadakan penelitian sederhana sesuai dengan metode inquiri. Sedangkan bagi
mahasiswa pemanfaatannya dengan mengadakan penelitian sederhana tentang
subak Pancoran sesuai dengan tugas yang diberikan oleh dosen pembimbing
clxi
dengan mengadakan wawancara, observasi dengan kajian dokumen. Pemanfaatan
subak pancoran sebagai sumber belajar memberikan pemahaman peran dan
tanggung jawab subak dalam menciptakan kerukunan umat sekaligus membentuk
mahasiswa yang kritis dan analitis terhadap fenomena sosial yakni terciptanya
tatanan kehidupan yang multikultural di sekitar tempat belajarnya. Luaran dari
penelitian sederhana tersebut adalah dengan pembuatan makalah dan CD
pembelajaran.
Pemanfaatan subak Pancoran sebagai sumber belajar Sejarah Kebudayaan
Indonesia tidak begitu saja terlaksana dengan baik, hal ini disebabkan adanya
kendala-kendala dalam pelaksanaannya yaitu waktu, lokasi dan minimnya
pengetahuan narasumber, fasilitas yang menunjang pembelajaran mengalami
kerusakan, minimnya bahan ajar subak multikultur. Untuk mengatasi kendala
tersebut diperlukan persiapan yang matang dan dukungan dari lembaga Undiksha
berupa pemberian bantuan berupa peralatan untuk menunjang proses
pembelajaran dengan menggunakan subak Pancoran sebagai sumber
pembelajaran.
B. Implikasi
Penggunaan subak Pancoran sebagai sumber belajar dalam perkuliahan
sejarah kebudayaan menambah variasi sumber belajar yang ada di Jurusan
pendidikan Sejarah Undiksha, selain sumber belajar dari dosen, buku-buku sejarah
kebudayaan, dan taman mini sejarah. Hal ini juga akan berimplikasi penguasaan
materi Sejarah Kebudayaan Indonesia terutama menyangkut tentang kompetensi
clxii
dasar menganalisis hidup keagamaan, sosial budaya masyarakat Hindu Bali
dengan indikator menganalisis hidup keagamaan pada organisasi subak bertambah
pula. Dampak lainnya adalah suasana pembelajaran Sejarah Kebudayaan
Indonesia menjadi lebih menyenangkan karena tidak hanya terpaku pada
pembelajaran di kelas yang karena didominasi oleh metode ceramah menjadi
membosankan dan sekaligus membiasakan mahasiswa dalam proses pembelajaran
di luar kelas untuk belajar tentang lingkungan sosial budayanya.
Penerapan strategi inquiri dalam pemanfaatan subak Pancoran sebagai
sumber belajar harus melalui perencanaan yang matang karena strategi ini
memerlukan waktu yang tidak sedikit sehingga tujuan pembelajaran dapat
tercapai. Untuk menunjang pemanfaatan tersebut diperlukan berbagai sarana
prasarana Handycamp, camera digital, LCD yang memadai guna menunjang
pengambilan data maupun saat pembelajaran di kelas. Di samping itu juga
diperlukan biaya tambahan untuk membuat CD pembelajaran yang bisa diambil
dari dana pengembangan jurusan (SP4) Undiksha, sehingga dihasilkan CD
pembelajaran yang baik.
C. Saran
Dalam upaya lebih memanfaatkan subak Pancoran sebagai sumber belajar
Sejarah Kebudayaan Indonesia, berikut ini diajukan beberapa saran. Subak
Pancoran yang alam geografisnya berupa persawahan dengan teras sering,
berhawa sejuk, suasana pemandangan indah, suasana kehidupan pedesaan yang
penuh toleransi antara Hindu dan Islam sangat berpotensi untuk dikembangkan
clxiii
menjadi objek wisata sekaligus sebagai sumber belajar Sejarah Kebudayaan
Indonesia, perlu dikemas menjadi salah satu objek agrowisata yang bermanfaat
bagi pendidikan maupun pariwisata.
Diperlukan dukungan dari lembaga Undiksha untuk pengadaan sarana dan
prasarana pendukung seperti handycamp, LCD, camera digital, yang memadai
untuk mendukung kelancaran dosen dan mahasiswa dalam memanfaatkan subak
Pancoran sebagai sumber belajar Sejarah kebudayaan Indonesia. Perlu adanya
kerjasama antara Undiksha dan Pemda Buleleng dan pengurus subak Pancoran
untuk lebih mendayagunakan subak Pancoran sebagai sumber belajar sekaligus
sebagai objek pariwisata alternatif melengkapi objek wisata seperti Lovina, Danau
Buyan Tamblingan, dan Air Sanih.
clxiv
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Majid. 2008. Perencanaan Pembelajaran Mengembangkan Standar Kompetensi Guru. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Akhmad Sudrajat. 2008. “Artikel” Sumber Belajar untuk Mengefektifkan Pembelajaran Siswa (http://id.wordpress.com/tag/blog-pendidikan/) Diunduh 15 April 2009.
Andoyo. 2005. Manfaat Situs Perpustakaan. Semarang : Suara Merdeka.
Asmito. 1992. Sejarah Kebudayaan Indonesia. Semarang : IKIP Semarang Press.
Arianti, Ester. 2003. “Relevansi Kajian Materi Kuliah Sejarah Kebudayaan Indonesia Dengan Peninggalan Sejarah sebagai Sumber Belajar (Studi Kasus pada Jurusan Pendidikan Sejarah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga)”. Tesis tidak diterbitkan. Surakarta : UNS.
Arif, S.S. 1999. Jurnal Internasional”Applying Philosofy of Tri Hita Karana in
Design and Management of Subak Irrigation, dalam A Study of Subak as Indigenous Cultural, Social, and Technological System to Establish a Culturally based Integrated Water Resources Management”. Fac.of Agric. Tecnology, Gajah Mada Univ. Yogyakarta.
Asvi Warman Adam. 2009. Pelurusan Sejarah Indonesia. Yogyakarta:Ombak.
Aunurrahman. 2009. Belajar dan Pembelajaran. Bandung : Alfabeta
Badaruddin. 2005. “Modal Sosial (Social Capital) dan Pemberdayaan Komunitas Nelayan”. Dalam M. Arif Nasutian, Badarrudin dan Subhihar ed. “Isu-isu Kelautan dari Keminskinan Hingga Bajak Laut. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Halaman 23-59.
Bawa Atmadja, Nengah. 2003. Manajemen Konflik pada Desa Adat Multietnik di
dalam Penataran Dosen Muda. Singaraja : Undiksha. --------------------. 2009. Pura di Tengah Pertarungan Antara Bulan Sabit dan
Salib (makalah). Undiksha : Singaraja.
clxv
Berger, Peter. 1987. The meaning of Social Controle, dalam Joel M. Charon (ed).
The Meaning Sociology a Reader. New Fersey, Englewoog Cliffs. Bober. 2002. Jurnal Internasional “The Role of Multicultural Education “
(http://edweb.sdsu.edu/courses/ed690SP05/Key1/BrooksExample.pdf). Diunduh tanggal 2 Mei 2009.
Buchari Alma. 2008. Guru Profesional Menguasai Metode dan Terampil
Mengajar. Bandung : Afabeta. Carl Rogers. 2003. Jurnal Internasional “ The School and Society”. Chicago
University Press. Dadang Supardan. 2008. Pengantar Ilmu Sosial Sebuah Kajian Pendekatan
Struktural. Jakarta : Bumi Aksara. Dahrendorf. 1984. Konflik dan Konflik dalam Masyarakat Industri. Jakarta : CV.
Rajawali. Dinas Kebudayaan Propinsi Bali. 2008. Pedoman dan Kriteria Penilaian Subak
Propinsi Bali. Dediknas. 2004. Pedoman Merancang Sumber Belajar. Jakarta : Depdiknas. Djoko Suryo. 2003. Pendidikan Sebagai Upaya Membangun Sikap Kebangsaan
Melalui Nilai-nilai Pluralitas Budaya Bangsa. Dalam Historika Vol.1, No.1. Surakarta: Program Studi Pendidikan Sejarah Pascasarjana Universitas Sebelas Maret.
Edi Sedyawati. 2006.Budaya Indonesia Kajian Arkeologi, seni dan sejarah.
Jakarta:Rajawali Pers. Faisal, S. 2001. “Varian-varian Kontemporer Penelitian Sosial”. Dalam Burhan
Bungin ed., Metodologi Peneltian Kualitatif Aktualisasi Metodologis ke Arah Ragam Varian Kontemporer. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Geertz, C. 1998. After the Fact Dua Negeri, Empat Dasawarsa, Satu Antropolog
(Landung Simatupang Penterjemah). Jakarta : LKiS. Geria, I Wayan. 2000. Transformasi Kebudayaan Bali Memasuki Abad XXI.
Gunada, Ida Bagus. 2008. Identitas Manusia Bali:Perspektif Adat, Agama, dan Budaya. Dalam Kumpulan Makalah Konggres Kebudayaan Bali 14-16 Juni 2008. Denpasar : Panitia Konggres Budaya Bali.
Hari Poerwanto. 2000. Kebudayaan dan Lingkungan Dalam Perpekstif
Antropologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Hartono Kasmadi. 1981. Learning Resource Center. Semarang : P3DK UNDP II. Hasbullah, J. 2006. Social Capital (Menuju Keunggulan Budaya Manusia
Indonesia). Jakarta: MR-United Press. Huntington, S.P. 1996. The Clash of Civilization and The Remaking of World
Order. New York : Simon and Schuster. Jurusan Pendidikan Sejarah. 2006. Laporan Kegiatan Praktek Kerja lapangan
PKL di Desa Kalibukbuk-Lovina Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng-Bali). Singaraja : IKIP N Singaraja.
Karwono. 2006. Pemanfaatan Sumber Belajar dalam Upaya Peningkatan
Kualitas dan Hasil Pembelajaran : Jurnal Ilmiah. Karwono. 2007. Pemanfaatan Sumber Belajar Dalam Upaya Peningkatan
Kualitas dan Hasil Pelajaran (Makalah). Disampaikan dalam Seminar tentang Pemanfaatan Sumber Belajar tanggal 13 Nopember 2007 di Metro. Metro:FKIP Universitas Muhammadiyah Metro.
Kartono. 2002. Menebus Pendidikan yang tergadai (Catatan Replektif Seorang
Guru) .Yogyakarta : Galang Press. Koentjaraningrat. 1990. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta : Dian
Rakyat. Krisnu, Tjokorda Raka. 1991. Upacara Nanggluk Merana. Denpasar : Depag. Lapian, A.B. 1980. Memperluas Cakrawala Melalui Sejarah Lokal. Artikel dalam
PRISMA, no. 8 Th. 11, (Agustus). Masnur Muslich. KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual.
Mengelola dan Mengubah Konflik Bersumber Politik, Sosial, Agama dan Ras. Tri Budhi Satrio (penerjemah). Jakarta : Raja Grafindo Persada.
clxvii
Miles, M.B dan A.M. Hubermen. 1992. Analisis Data Kualitatif Buku Sumber tentang Metode-metode Baru. (Tjetjep Rohendi Rohidi Penerjemah). Jakarta: UI Press.
Muhamad Sofyan. 1999. Agama dan Kekerasan dalam Bingkai Reformasi.
Yogyakarta: Media Pressindo. Mulyasa. 2005. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung : PT Remaja
Rosdakarya. Mulyasa. 2006. Kurikulum Berbasis Kompetensi Konsep, Karakteristik,
Implementasi, dan Inovasi. Bandung : PT Remaja Rosdakarya. Mulyasa. 2008. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Bandung : PT Remaja
Rosdakarya. Mulyasa. 2009. Menjadi Guru Profesional Menciptakan Pembelajaran Kreatif
dan Menyenangkan. Bandung Remaja Rosdakarya. Musa Asy'arie . 2005. Islam, Pluralitas Dan Indonesia Baru. Dalam Pluralisme,
Konflik & Pendidikan Agama di Indonesia( Sumartana Ed.). Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Mustakim. 2008. ”Artikel” Sejarah Lokal dan Ketahanan Daerah
(http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_c&id=323103) Diunduh 15 April 2009.
Moleong J. Lexy.2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja
Rosdakarya. Moh. Ali. 2005. Pengantar Ilmu sejarah Indonesia. Yogyakarta : LKiS Mudji Sutrisno. 2008. Transformasi. Dalam Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto
(ed). Teori-teori Kebudayaan. Yogyakarta : Kanisius Nana Sudjana. 2001. Teknologi Pengajaran. Bandung : Sinar Baru Algensindo. Nichol, Jon. 1984. Teaching History : A Teaching Skills Workbook. London dan
Basingstoke : Macmillan Education. Novrianti. 2008. “Artikel” Pemanfaatan Lingkungan Sebagai Sumber Belajar
(http://sweetyhome.wordpress.com/2008/06/20/pemanfaatan-lingkungan-sebagai-sumber-belajar/). Diunduh tanggal 21 Mei 2010.
Nurhadi dan Senduk Agus Gerrad. 2003. Pembelajaran Kontekstual (CTL) dan
Penerapannya dalam KBK. Malang. Universitas Negeri Malang.
clxviii
Oemar Hamalik. 2006. Manajemen Pengembangan Kurikulum. Bandung : PT.
Remaja Rosdakarya. Oemar Hamalik. 2008. Proses Belajar Mengajar. Bandung : Bumi Aksara Pageh, I Made. 2009. Awig-awig Desa Pakraman Buleleng: Kebajikan Hukum
Adat Desa Metropolitan Berlandaskan Tri Hita Karana Mengadakan Penyapihan Tanpa Gejolak di Era Otonomi Daerah. Singaraja : Undiksha.
Parsudi Suparlan. 1986. Masalah-masalah Sosial dan Ilmu Sosial Dasar. Dalam
A.W Widjaja (ed.), Manusia Indonesia, Individu Keluarga dan Masyarakat. Jakarta : Akademika Presindo. Halaman 61-74.
Pitana, I Gde. 1992. Subak, Sistem Irigasi Tradisional di Bali. DalamSubak
Sistem Irigasi Tradisional di Bali (Pitana Ed.). Denpasar: Upada Sastra. Pitana, I Gde.1994. Desa Adat Dalam Arus Modernisasi. Dalam Dinamika
Masyarakat dan Kebudayaan. Denpasar : Bali Post Purwanto. 2009. “Artikel” Pemanfaatan Sumber Belajar di Sekolah.
(http://purwanto.web.id/?p=89). Diunduh 21 April 2009. Sartono Kartodirdjo. 1988. Pengantar Sejarah Indonesia baru : 1500-1900: Dari
Emporium sampai Imperium I. Jakarta : Gramedia. Sendratari, Luh Putu. 1995. Salib dan Petani Sawah ( Sebuah kajian tentang
Fungsi Agama pada Sistem Sosio kultural, Petani Kristen di Dusun Piling, Penebel, Tabanan). Singaraja : STKIP N
Singgih Tri Sulistiyono. 2008. Sejarah Maritim Nusantara Perkembangan dan
Prospeknya (Dalam Sejarah yang Memihak Mengenang Sartono Kartodirdjo). M. Nursam, Baskara T. Wardaya, Asvi Warman Adam (ed). Yogyakarta : Ombak.
Soedomo Hadi. 2005. Pengelolaan Kelas. Surakarta : LPP UNS. Soekmono. 1992. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3. Yogyakarta :
Kanisius. Soewardji Sjafei. 1986. Peran Lokal Genius dalam Kebudayaan. Dalam
Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius) (Ayatohaedi Ed). Jakarta : Pustaka Jaya.
clxix
Sudarta, Wayan. 2005. Beragam Nilai Tradisional Subak (konsepsi yang Relevan dengan Inovasi). Denpasar : Andi.
Sumarta, Ketut. 1992. Subak, Inspirasi Manajemen Pembangunan Pertanian.
Denpasar: Cita Budaya. Supriyono. 2008. Paradigma Kultural Masyarakat Durkhemian. Dalam Mudji
Sutrisno dan Hendra Putranto (ed.), Teori-teori Kebudayaan. Yogyakarta : Kanisius.
Sugiyono. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif kualitatif dan R & D. Bandung:
ALFABETA. Sudarta, Wayan. 2005. Beragam Nilai Tradisional Subak ( Konsepsi yang
Relevan dengan Inovasi) Dalam Revitalisasi Subak Dalam Memasuki Era Globalisasi (Pitana. Ed). Yogyakarta: Andi.
Suparlan. 1986. Masalah-masalah Sosial dan Ilmu Sosial Dasar. Dalam A.W.
Widjaja (ed.), Manusia Indonesia Individu Keluarga dan Masyarakat. Jakarta : Akademika Presindo.
Supartono. 1999. Ilmu Budaya Dasar (Edisi Revisi). Jakarta:Ghalia Indonesia. Sutopo, H.B. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif Dasar Teori dan Terapannya
dalam Penelitian. Surakarta: UNS. Suyatno Kartodirdjo. 2003. Perubahan Kurikulum dan Revitalisasi Pembinaan
Wawasan Kebangsaan. Dalam Historika Vol.1 No. 1. Surakarta: Program Studi Pendidikan Sejarah Program Pascasarjana UNS, halaman 5
Swanson, G.E. 1988. “Pengalaman Supranatural” dalam Roland Robertson (ed),
Agama: Dalam Analisis dan Interprestasi Sosiologis (Ahmad Soefaddin Penterjemah). Jakarta : CV Rajawali.
Syaiful Sagala. 2009. Kemampuan Profesional Guru dan Tenaga Pendidikan.
Suzanne Maria, Wahytu Addinata. 2007. Disintegrasi Pasca Orde Baru. Negara, Konflik Lokal dan Dinamika Internasional. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Umar Kayam. 1987. Keselarasan dan Kebersamaan : Suatu Pendekatan Awal.
Prisma XVI, No.3. Jakarta : LP3ES, halaman 28-38 Usman Pelly. 1994.Teori-Teori Sosial Budaya. Jakarta:Dirjen Dikti Depdikbud
clxx
Veeger, K.J. 1993. Realitas Sosial Refleksi Filsafat Sosial atas Hubungan
Individu-Masyarakat dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi. Jakarta : Gramedia.
I Gde Widja. 1989. Dasar-dasar Pengembangan Strategi serta Metode
Pengajaran Sejarah. Jakarta : Depdiknas. --------------------. 1991. Sejarah Lokal Suatu Perspektif Dalam Pengajaran
Sejarah. Bandung : Angkasa. --------------------. 2003. Pendidikan Multikultural Suatu Tantangan Baru Bagi
Pendidikan Sejarah. Dalam Candra Sangkala Edisi Khusus Perayaan Ulang Tahun Jurusan Pendidikan Sejarah ke-36 Januari 2003. Singaraja : IKIP Negeri Singaraja.
Wina Sanjaya. 2008. Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran. Jakarta :
Prenada Media. Wina Sanjaya. 2009. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses
Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Yin, Robert K. 2008. Studi Kasus : Desain dan Metode. Djauzi Mudzakir
(penerjemah). Jakarta : RajaGrafindo Persada. Yudi Munadi. 2008. Media Pembelajaran Sebuah Pendekatan Baru.
Jakarta:Gaung Persada Press. Zamroni. 1992. Pengembangan Teori Sosial. Yogyakarta : Tiara Wacana.
clxxi
Lampiran 1
Daftar Informan
A. Dosen
1. Drs. Nengah Sudariya, M.Si (Dosen Sejarah Kebudayaan dan Ketua
Jurusan Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Undiksha)
2. Dra. Desak Made Oka Purnawati (Pengawas Laboratorium Pendidikan
Sejarah)
3. Prof. Dr. Nengah Bawa Atmadja, M.A (Dosen Pendidikan Sejarah dan
Peneliti masalah-masalah sosial budaya)
4. Drs. Wayan Sugiartha, M.Si (Dosen Pendidikan Sejarah dan anggota
tim juri lomba subak Kabupaten Buleleng)
B. Mahasiswa Pendidikan Sejarah
1. I Nengah Aris Pratama
2. I Gusti Kade Frimantara
3. Kadek Riadi Panji Sagitha
4. Buda Parmadi
5. Amanda Destianty Poetri
6. I Putu Indra Pranata
7. Ni Made Ari Yuliantari
8. Gede Megayana
9. Dharma Tanaya
10. Widiarya
clxxii
11. Putu Penti Sarjana
12. Rony Nova Hermawan
13. Puspa Erlita Suardi
14. Nengah Rediasa
15. Ni Nyoman Murni Ari Pertiwi
16. I Putu Eka Noviantara
C. Tokoh Masyarakat Subak Pancoran
1. Gde Mas Ari (Pekaseh Subak Pancoran)
2. Muhamad Hakki (Kelian adat Islam)
3. Husaimi (Mantan Pekaseh Subak Pancoran)
clxxiii
Lampiran 2
PEDOMAN WAWANCARA
A. Kepada Dosen Pengampu Matakuliah Sejarah Kebudayaan Indonesia
1. Bagaimana kedudukan matakuliah sejarah kebudayaan Indonesia dalam
kurikulum Jurusan Pendidikan Sejarah FIS-Undiksha?
2. Bagaimana strategi pengajaran yang digunakan dalam perkuliahan sejarah
kebudayaan Indonesia terutama terkait pemanfaatan subak Pancoran
sebagai sumber belajar sejarah kebudayaan Indonesia?
3. Kendala apa saja yang dihadapi dalam pelaksanaan proses belajar
mengajar terkait pemanfaatan subak Pancoran sebagai sumber belajar
sejarah Kebudayaan Indonesia?
4. Bagaimana mengatasi kendala-kendala yang dihadapi dalam pemanfaatan
subak Pancoran sebagai sumber belajar sejarah kebudayaan Indonesia?
B. Kepada Pengawas Laboratorium Pendidikan Sejarah
1. Bagaimana kondisi Laboratorium Pendidikan Sejarah untuk menunjang
kelancaran proses belajar mengajar/perkuliahan sejarah kebudayaan
Indonesia?
2. Bagaimana kendala-kendala yang dihadapi dalam pemanfaatan
Laboratorium Pendidikan Sejarah untuk menunjang perkuliahan sejarah
kebudayaan Indonesia?
3. Bagaimana cara mengatasi kendala-kendala tersebut?
C. Mahasiswa
1. Bagaimana pemahaman awal anda tentang subak Pancoran?
2. Bagaimana peran subak Pancoran dalam mewujudkan kerukunan umat?
3. Bagaiamana strategi pembelajaran yang diterapkan dosen dalam
pemanfaatan subak Pancoran sebagai sumber belajar sejarah kebudayaan
Indonesia?
clxxiv
4. Kendala-kendala apa saja yang anda hadapi ketika penelitian ke
lapangan?
5. Bagaimana mengatasi kendala-kendala yang anda hadapi di lapangan?
D. Tokoh Masyarakat Subak Pancoran
1. Nilai-nilai apa saja yang melandasi kerukunan umat/toleransi di subak
pancoran?
2. Faktor-faktor apa yang menyatukan petani Islam dan petani Hindu di
subak pancoran?
3. Bagaimana wujud kerukunan umat/toleransi beragama di subak pancoran?
4. Bagaimana strategi atau cara mempertahankan kerukunan umat/toleransi
beragama di subak Pancoran?
5. Bagaimana peran awig-awig dalam menjaga kerukunan umat/toleransi di
subak pancoran?
6. Bagaimana sejarah masuknya Islam di subak Pancoran
clxxv
Lampiran 3
DOKUMENTASI KEGIATAN PEMBELAJARAN
A. Dokumentasi observasi pasif lapangan di subak Pancoran
Pengamatan kegiatan pembelajaran di subak Pancoran pada saat melakukan
pengamatan pada tanggal 17 November 2009 tampak pada gambar 1
Selain mengadakan wawancara dengan Muhamad Hakki, mahasiswa juga
mewancarai Gde Mas Ari (kelian subak Pancoran) tampak pada gambar 2.
Gambar 1. Mahasiswa mewawancarai Muhamad Hakki
(Kelian adat Muslim)
Sumber: Dokumen Sedana Arta, 2009
Gambar. 2. Mahasiswa mewawancarai Gde Mas
Ari (Pekaseh Subak Pancoran)
Sumber : Dokumentasi Sedana Arta, 2009
clxxvi
Kegiatan pengamatan juga dilakukan pada mahasiswa yang mewancarai
masyarakat subak Pancoran pada tanggal 24 November 2009 tampak pada
gambar 3.
B. Bangunan-bangunan kelengkapan subak Pancoran
Balai subak merupakan tempat petani Islam dan Hindu mengadakan
sangkepan (musyawarah) tampak pada gambar 4.
Gambar 3. Mahasiswa mewawancarai masyarakat subak Pancoran.
Sumber: Dokumentasi Sedana Arta 2009
Gambar. 4. Bale Sangkepan (tempat rapat petani Islam dan
Hindu)
Sumber: Dokumentasi Sedana Arta, 2009
clxxvii
Bale kulkul adalah bangunan tinggi yang bagian atas terdapat kulkul (alat
komunikasi tradisional) dan dibunyikan pada waktu ada rapat anggota subak,
tampak pada gambar 5.
Jineng (kerumpu) adalah bangunan tradisional Bali yang berfungsi untuk
menyimpan padi dan tempat memuja Dewi Sri, tampak pada gambar 6
Gambar 5. Bale Kulkul Subak Pancoran
Sumber: Dokumen Sedana Arta, 2009
Gambar 6. Bangunan Lumbung Padi (Kerumpu) di Subak Pancoran
Sumber: Dokumen Sedana Arta, 2009.
clxxviii
Jeroan pura subak adalah bagian yang paling suci yang didalamnya terdapat
bangunan suci (pelinggih) tempat ritual pertanian petani Hindu, tampak pada
gambar 7.
Sistem rotasi dalam pembagian air adalah salah satu kearifan lokal dalam
pengelolaan air di subak Pancoran, tampak pada gambar 8.
Gambar 7. Jeroan Pura Subak Pancoran
Sumber: Dokumen Sedana Arta, 2009
Gambar 8. Distribusi air dengan sistem rotasi
Sumber: Dokumentasi Sedana Arta, 2009
clxxix
Tembuku dengan sistem numbak adalah salah satu metode pembagian air yang
adil di subak Pancoran, tampak pada gambar 9.
Gde Mas Ari adalah kelian subak Pancoran bertugas memimpin subak yang
anggotanya terdiri dari petani Hindu dan Islam, tampak pada gambar 10.
Gambar 9. Tembuku Subak Pancoran (Sistem Numbak)
Sumber: Dokumen Sedana Arta, 2009
Gambar 10. Peneliti dengan Gede Mas Ari (kelian subak Pancoran)
Sumber: Dokumen Sedana Arta, 2009
clxxx
Musaimi tokoh Muslim di subak Pancoran pernah menjadi kelian subak Pancoran
dari tahun 1965-1970, tampak pada gambar 11
Gambar 11. Husaimi AS, (mantan kelian subak Pancoran)
Sumber: Dokumen Sedana Arta, 2009
clxxxi
Contoh Fieldnote
Tanggal : wawancara, tanggal 29 November 2009
Pukul : 10.00 WITA
Tempat : Ruang Ketua Jurusan Pendidikan Sejarah
Narasumber : Drs. Nengah Sudariya, M.Si
1. Kedudukan mata kuliah sejarah Kebudayaan Indonesia dalam kurikulum
Jurusan Pendidikan Sejarah FIS Undiksha.
Sejarah Kebudayaan merupakan salah satu bagian dari Kelompok Mata Kuliah
Keahlian Berkarya (MKB). Kelompok mata kuliah ini merupakan kelompok
bahan kajian dan pelajaran yang bertujuan menghasilkan tenaga ahli dengan
kekaryaan berdasarkan dasar ilmu dan keterampilan yang dikuasai. Hal ini
juga untuk mendukung visi jurusan Pendidikan Sejarah yang mampu
mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni serta menghasilkan
tenaga kependidikan dan non-kependidikan di bidang sejarah yang berkualitas
dan berdaya saing tinggi.
2. Strategi pengajaran yang digunakan dalam perkuliahan sejarah kebudayaan
Indonesia terkait pemanfaatan subak Pancoran sebagai sumber belajar sejarah
kebudayaan Indonesia.
Pemanfaaatan Subak pancoran sebagai sumber belajar sejarah kebudayaan
Indonesia selalu mengacu pada perencanaan program pembelajaran. Adapun
beberapa program yang seharusnya kami siapkan adalah program menyusun
alokasi waktu, program tahunan, program semester, silabus dan program
harian atau Rencana Pelaksanaan Perkuliahan (RPP). Strategi yang digunakan
dalam pelaksanaan perkuliahan adalah menerapkan model pembelajaran
kontekstual menggunakan pendekatan inkuiri dengan metode diskusi kecil.
Subak Pancoran bisa dipakai sebagai sumber belajar sejarah kebudayaan
karena subak Pancoran adalah subak yang multikultur anggotanya terdiri dari
petani Hindu dan petani Islam. Di samping hal dipilihnya subak sebagai
clxxxii
sumber belajar diharapkan mahasiswa tidak tercabut dari akar budayanya.
Output dari tugas bagi mahasiswa adalah CD pembelajaran yang nantinya
dipakai sebagai media pembelajaran.
3. Kendala-kendala yang dihadapi dalam memanfaatkan Subak pancoran sebagai
sumber belajar sejarah kebudayaan Indonesia.
Kendala yang kami hadapi dalam pembelajaran sejarah kebudayaan adalah
minimnya alokasi waktu sementara Kompetensi Dasar yang harus dibahas
adalah 15 KD. Kendala lain yang dihadapi adalah fasilitas yang ada di ruang
kuliah maupun di ruang Laboratorium banyak mengalami kerusakan sehingga
menjadi kendala dalam proses belajar mengajar di kelas, peralatan tersebut
adalah LCD, handy camp, dan kamera digital.
clxxxiii
Contoh Fieldnote
Tanggal : wawancara, tanggal 19 November 2009
Pukul : 11.30 WITA
Tempat : Ruang I FIS
Narasumber : I Putu Indra Pranata
1. Pemahaman awal tentang Subak Pancoran
Menurut pemahaman awal kami Subak Pancoran adalah salah satu organisasi
sosial tradisional yang anggotanya terdiri dari petani dan penggarap sawah
yang mengambil air dalam sumber air yang bersifat sosio agraris religius yang
tercermin dengan adanya Pura Subak (Pura Bedugul, Pura Masceti, Pura
Ulunsuwi). Namun setelah menempuh mata kuliah sejarah kebudayaan baru
diketahui Subak Pancoran adalah subak multikultur yang anggotanya terdiri
dari petani Hindu dan petani Islam.
2. Peran Subak pancoran dalam menciptakan kerukunan umat
Peran Subak dalam menciptakan kerukunan umat adalah dengan menerapkan
berbagai nilai tradisional yang dimiliki oleh Subak Pancoran. Nilai-nilai
tradisional yang dimaksud adalah nilai kerja, nilai kerja sama, nilai
musyawarah mufakat, nilai awig-awig. Kesemua nilai tersebut mampu
diterapkan oleh Subak Pancoran sehingga kerukunan umat tetap terjaga.
3. Strategi pembelajaran yang diterapkan dosen dalam pemanfaatan Subak
Pancoran sebagai sumber belajar sejarah kebudayaan Indonesia.
Mengacu pada perkuliahan yang dilaksanakan, perkuliahan menggunakan
pendekatan inkuiri dengan metode diskusi kelompok kecil, menurut kami
metode ini menyenangkan karena memberikan pengalaman pada mahasiswa
tentang kehidupan sosial budaya terutama Subak pancoran yang anggota
beragama Hindu dan Islam.
clxxxiv
Contoh Fieldnote
Tanggal : wawancara, tanggal 12 Desember 2009
Pukul : 10.00 WITA
Tempat : Ruang Laboratorium Pendidikan Sejarah
Narasumber : Dra. Desak Oka Purnawati, M.Hum
1. Kondisi Laboratorium Pendidikan Sejarah untuk menunjang kelancaran proses
belajar mengajar sejarah kebudayaan Indonesia.
Kondisi Laboratorium Jurusan Pendidikan Sejarah sebenarnya cukup memadai
dalam mendukung pelaksanaan pembelajaran sejarah kebudayaan seperti
perpustakaan, ruang pajangan dengan ukuran 4,2 m x 8,4 m (kapasitas 20-25
orang). Laboratorium juga dilengkapi dengan ruang audiovisual dengan
ukuran 4,3 m x 6,6 m.
2. Kendala-kendala yang dihadapi dalam pemanfaatan Laboratorium Pendidikan
Sejarah untuk menunjang perkuliahan sejarah kebudayaan Indonesia.
Pemanfaatan audio visual yang terdapat di Laboratorium Jurusan Pendidikan
Sejarah merupakan kebutuhan penting yang dapat menjadi alternatif dalam
proses pembelajaran sejarah. Namun dalam pemanfaatannya terdapat beberapa
kendala yang dihadapi, diantaranya peralatan lab berupa LCD yang terdapat di
ruang 1 FIS mengalami kerusakan, demikian juga OHP, Handycamp, Camera
digital mengalami kerusakan atau tidak dapat difungsikan untuk mendukung
pembelajaran sejarah kebudayaan Indonesia termasuk pada saat mahasiswa ke
lapangan untuk penelitian ke Subak Pancoran. Kerusakan peralatan tersebut
disebabkan kelalaian prosedur pemakaian yang dilakukan oleh dosen atau
mahasiswa, minimnya biaya pemeliharaan.
3. Cara mengatasi kendala-kendala tersebut
Untuk mengatasi kendala-kendala di atas, pengawas lab selalu mengajukan
dana DBO pada universitas terutama untuk mengganti peralatan yang rusak,
dan menghimbau yang memakai peralatan agar mempergunakan dengan baik.
clxxxv
PEDOMAN OBSERVASI
Yang diobservasi : Dosen Sejarah Kebudayaan Indonesia dan mahasiswa