i STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN AKIBAT HUKUMNYA Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Oleh : Farida Dwi Irianingrum NIM : E. 1104134 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2008
93
Embed
STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN …/Studi... · Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) ... sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
i
STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN
DAN AKIBAT HUKUMNYA
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum
Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh :
Farida Dwi Irianingrum NIM : E. 1104134
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2008
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN
AKIBAT HUKUMNYA
Disusun oleh :
FARIDA DWI IRIANINGRUM
NIM : E 1104134
Disetujui untuk Dipertahankan Dosen Pembimbing
PRANOTO, S.H., M.H. NIP. 131 842 685
iii
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum (Skripsi)
STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN AKIBAT HUKUMNYA
Disusun oleh : FARIDA DWI IRIANINGRUM
NIM : E. 1104134
Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
pada :
Hari : ……………………………… Tanggal : ………………………………
TIM PENGUJI
1. Moch. Najib I, S.H., M.H. : ................................................................ Ketua
3. Pranoto, S.H.,M.H. : ................................................................ Anggota
MENGETAHUI Dekan,
MOH. JAMIN, S.H., M.Hum. NIP. 131 570 154
iv
ABSTRAK
Farida Dwi Irianingrum, 2008. Studi Tentang Perjanjian Perkawinan Dan Akibat Hukumnya. Fakultas Hukum UNS.
Di dalam suatu perkawinan, masalah harta perkawinan dan kepentingan yang akan timbul sering kurang mendapat perhatian oleh sepasang suami isteri. Sebab mereka dalam melaksanakan perkawinan adalah untuk selama-lamanya. Tetapi bila ternyata perkawinan tidak berjalan sesuai dengan keinginan dan kemudian bercerai, mereka baru mempersoalkan masing-masing haknya, terutama mengenai pembagian harta perkawinan. Permasalahan ini akan berbeda apabila suami isteri pada saat sebelum melangsungkan perkawinan membuat perjanjian perkawinan terlebih dahulu. Sehingga segala kepentingan dan aset dari suami isteri dapat terlindungi. Isi perjanjian perkawinan bebas dilakukan asalkan tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.
Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum normatif terhadap asas-asas hukum. Jenis dan sumber data yang digunakan adalah data sekunder, dimana data sekunder dilihat dari sudut kekuatan mengikatnya digolongkan ke dalam bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder, maka untuk memperoleh data adalah dengan studi pustaka. Tekhnik analisis data yang digunakan adalah metode penafsiran.
Pengaturan perjanjian perkawinan, dapat dilihat antara lain di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Bab V pasal 29 ayat 1 sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum Perdata Bab VII pasal 139 sampai dengan pasal 154, Kompilasi Hukum Islam Bab VII pasal 45 sampai dengan pasal 52. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan di dalamnya telah disebutkan bahwa perjanjian perkawinan juga diatur di dalam Undang-undang ini. Sehingga dapat disimpulkan bahwa perjanjian perkawinan diperkenankan oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Namun pengaturannya tidak lengkap seperti di dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Berdasar ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata, bahwa segala perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Sehingga isi dari perjanjian perkawinan dapat menjadi Undang-undang bagi pihak yang membuatnya. Pihak yang dimaksud di sini adalah suami isteri. Apabila kedua belah pihak tidak mengatur mengenai ketentuannya, maka yang dipakai adalah ketentuan dalam KUHPerdata. Perjanjian perkawinan ini dipakai oleh Hakim sebagai pegangan dalam memutus perkara mengenai harta dalam perkawinan, sesuai dengan tujuan awal dibuatnya perjanjian perkawinan, yaitu melindungi aset dan kepentingan, maka diharapkan semua kepentingan tersebut dapat terlindungi dengan perjanjian perkawinan ini. Kata kunci : perkawinan, suami isteri, perjanjian perkawinan, melindungi aset dan kepentingan.
v
MOTTO
Dan rendahkanlah dirimu dengan penuh kasih sayang terhadap kedua orang
tuamu. Dan doakanlah (untuk mereka) : ” Wahai Tuhanku, kasihanilah mereka
berdua sebagaimana mereka telah memelihara aku dengan sayangnya pada waktu
aku masih kecil”.
(QS. Al Isra’ : 24)
Dan jika mereka membantah kamu, maka katakanlah : ” Allah lebih mengetahui
apa yang kamu lakukan”.
(QS. Al-Hajj : 68)
Dan janganlah engkau membuat Tuhan selain Allah, agar engkau tak duduk
tercela dan terhina (ditinggalkan dari pertolongan Allah).
(QS. Al-Isra’ : 22)
Tuhanmu lebih mengetahui apa yang ada dalam hatimu, jika kamu benar-benar
orang yang shaleh. Maka sesungguhnya Dia Tuhan Yang Mahapengampun
terhadap orang-orang yang bertobat.
(QS. Al-Isra’ : 25)
Yang pertama belum tentu yang terbaik,
Tetapi yang terbaik biasanya yang terakhir.
(John Mayer)
Teman mengerti ketika kamu berkata, ”Aku lupa!”.
Menunggu dengan setia ketika kamu berkata, ”Tunggu sebentar!”.
Tetap tinggal meski kamu berkata, ”Tinggalkan aku sendiri!”.
(NN)
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah
melimpahkan rahmat serta karunia dan Hidayah-Nya kepada Penulis, sehingga
Penulis dapat menyusun dan menyelesaikan skripsi ini dengan judul ”Studi
tentang Perjanjian Perkawinan dan Akibat Hukumnya”.
Penyusunan skripsi ini dimaksudkan untuk melengkapi salah satu
persyaratan untuk menempuh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa, tanpa adanya bantuan dari berbagai
pihak tidaklah mungkin skripsi ini dapat tersusun. Sehingga pada kesempatan ini
pula perkenankanlah Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada :
1. Bapak Moh. Jamin, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum UNS yang
telah memberi ijin dan kesempatan kepada Penulis untuk menyelesaikan
skripsi ini.
2. Bapak Pranoto, S.H M.H. selaku Pembimbing penulisan skripsi yang telah
menyediakan waktu dan pikirannya untuk memberikan bimbingan dan arahan
bagi tersusunnya skripsi ini.
3. Bapak Muhammad Adnan, S.H., M.H. selaku Pembimbing Akademik Penulis
yang telah membimbing Penulis selama studi di Fakultas Hukum UNS.
4. Bapak dan Ibu Dosen serta seluruh karyawan Fakultas Hukum UNS yang
telah memberikan ilmu pengetahuan umumnya dan ilmu hukum khususnya
kepada Penulis sehingga dapat dijadikan bekal dalam penulisan skripsi ini dan
semoga dapat Penulis amalkan dalam kehidupan masa depan Penulis.
5. Ayah dan Ibu tersayang yang telah memberikan segalanya kepada Penulis,
mendukung dan mendoakan.
6. Kakak ku Si B dan adik ku Mega yang telah membantuku.
7. Saudara-saudara ku yang telah membantu doa dan dukungan.
vii
8. Sahabatku Mbak Mitha, Mbak Kingkin, Mbak Ristha, Mbak Ari, yang selalu
mendukungku....”Bahagianyaaa punya kalian...!!!”.
9. Pak Jendral, terimakasih untuk doa, dukungan dan semangatnya. Terimakasih
untuk segalanya...”Matur suwun, buat semua cerita, tawa dan tangis. Semoga
kata indah selalu ada buat kita!!”.
10. Icha ”Margendul”...”Terimakasih, karena selalu menemani aku keliling
kampus dan cari data”.
11. Semua penduduk Gopala Valentara FH UNS, teman-teman Diksar
XXI...”Terimakasih untuk semua bantuan dan kisahnya..Hallo
geng??GOVA!!!!!”.
12. Teman-teman di Fakultas Hukum, mbak-mbak, abang-abang, Pakdhe Gustav,
teman-teman di kost Kunti, teman-teman satu kelas yang selama aku kuliah
selalu membantuku...”Terimakasih! VIVA JUSTICIA...kami bangga ada di
sini”.
13. Semua pihak yang tidak dapat Penulis sebutkan satu-persatu, yang telah
memberikan bantuan pikiran maupun tenaga, sehingga skripsi ini dapat selesai
dengan baik.
Penulis menyadari sepenuhnya skripsi ini masih banyak kekurangannya,
oleh sebab itu saran dan kritik yang bersifat membangun sangat Penulis harapkan.
Demikianlah mudah-mudahan penulisan hukum ini dapat memberikan
manfaat bagi kita semua.
Surakarta, Maret 2008
Penulis
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ..................................................... iii
ABSTRAK ...................................................................................................... iv
MOTTO .......................................................................................................... v
KATA PENGANTAR.................................................................................... vi
DAFTAR ISI................................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR...................................................................................... x
DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................. xi
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.............................................................. 1
B. Rumusan Masalah ....................................................................... 4
C. Tujuan Penelitian ........................................................................ 4
D. Manfaat Penelitian ...................................................................... 5
E. Metode Penelitian ....................................................................... 6
F. Sistematika Penulisan Hukum .................................................... 11
1. Menyusun Rancangan Undang-undang Pokok yang pendek saja dan
berlaku untuk umum tanpa menyinggung masalah agama.
2. Menyusun Rancangan Undang-undang Organik yang mengatur
perkawinan menurut agama masing-masing, yaitu bagi golongan Islam,
Katolik, dan Protestan.
xlvi
3. Menyusun Rancangan Undang-undang untuk golongan yang tidak
termasuk dalam salah satu golongan agama itu (R. Soetojo
Prawirohamidjojo, 1986 : 13 )
Kemudian pada bulan April 1954 panitia menyampaikan Rancangan
Undang-undang Perkawinan umat Islam kepada Menteri Agama Republik
Indonesia. Tahun 1957 Menteri Agama menyampaikan Rancangan Undang-
undang tersebut dalam sidang kabinet, akan tetapi sampai sekian lama tidak
ada penyelesaiannya. Akhirnya pada tahun 1958 beberapa anggota DPR
wanita di bawah pimpinan Ny. Sumari mengajukan usul inisiatif Rancangan
Undang-undang Perkawinan yang pada pokoknya berisikan peraturan
perkawinan umum untuk seluruh warga negara Indonesia tanpa membedakan
agama dan suku bangsa (R. Soetojo Prawirohamidjojo, Soebijono
Tjitrowinoto, 1986 : 17).
Adanya usul inisiatif Rancangan Undang-undang ini, Pemerintah
mengadakan reaksi dengan mengajukan Rancangan Undang-undang
Perkawinan Umat Islam di DPR, sedangkan Rancangan Undang-undang ini
pun tidak pernah dapat diselesaikan oleh DPR.
Di dalam hubungan ini, suatu lembaga semi pemerintah yang tidak kalah
pentingnya ialah Lembaga Pembinaan Hukum Nasional yang dibentuk dengan
keputusan Presiden tanggal 6 Mei 1961, secara mendalam dan beralasan
mengajukan Rancangan Undang-undang Perkawinan baru.
Pada tanggal 28 Mei 1962 Lembaga Pembinaan Hukum Nasional
sebagai badan perencana telah mengeluarkan keputusan yang menyangkut
Hukum Keluarga.
Pada tahun 1963 diadakan Seminar Hukum Nasional di Jakarta yang
diselenggarakan oleh Lembaga Pembinaan Hukum Nasional bersama-sama
dengan Persatuan Sarjana Hukum Indonesia.
Pada tahun 1966, Menteri Kehakiman menugaskan Lembaga Pembinaan
Hukum Nasional untuk menyusun RUU perkawinan yang bersifat nasional.
Pada tanggal 22 Mei 1967, pemerintah menyampaikan RUU perkawinan
khusus untuk umat Islam kepada DPR. Dan pada tanggal 7 September 1968,
xlvii
pemerintah mengajukan RUU tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Perkawinan
kepada DPR. Akan tetapi, dua RUU ini pun tidak lolos menjadi Undang-
undang.
Sementara itu santer terdengar suara yang mendesak pemerintah untuk
segera membentuk suatu Undang-undang Perkawinan. Ada beberapa
organisasi yang menyuarakan hal itu antara lain dari Ikatan Sarjana Wanita
Indonesia dan Badan Musyawarah Organisasi-organisasi Islam Wanita
Indonesia. Dengan adanya hal ini, nyatalah adanya keinginan dan hasrat yang
besar dari masyarakat, khususnya kaum wanita untuk memiliki Undang-
undang Perkawinan yang berlaku bagi semua warga negara di seluruh wilayah
Indonesia.
Pada tanggal 31 Juli 1973 dengan surat Nomor 02/PU/VII/1973,
Presiden menyampaikan Rancangan Undang-undang tentang perkawinan
kepada DPR dan menarik kembali dua Rancangan Undang-undang yang sudah
diajukan sebelumnya, maka (R. Soetojo Prawirohamidjojo, Soebijono
Tjitrowinoto, 1986 : 19) :
1. Pada tanggal 13 Agustus 1973 dalam rapat pimpinan DPR RI telah
diputuskan untuk membahas Rancangan Undang-undang tentang
Perkawinan.
2. Pada tanggal 30 Agustus 1973, dalam sidang Pleno DPR RI, Menteri
Kehakiman atas nama Pemerintah menyampaikan keterangan pemerintah
mengenai Rancangan Undang-undang tersebut yang dilanjutkan dengan
pembahasan umum. Dalam pembahasan umum, Rancangan Undang-
undang mendapat kritik yang tajam, baik dari pihak politisi maupun dari
ulama pada umumnya yang berafiliasi dengan berbagai ormas Islam yang
ada.
Pasal-pasal yang diperdebatkan oleh para anggota DPR dan para
pemuka agama adalah pencatatan sebagai syarat sah perkawinan.
Pencatatan perkawinan telah diundangkan oleh pemerintah dengan
pemberlakuan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946. Akan tetapi, dalam
xlviii
Undang-undang tersebut tidak terdapat ketentuan mengenai syarat-syarat
pernikahan.
Secara implisit, dapat dipahami bahwa perkawinan tanpa dicatat oleh
PPN adalah sah. Akan tetapi, laki-laki yang melakukan perkawinan tanpa
dicatat oleh PPN akan dikenai sanksi berupa denda. Dalam Rancangan
Undang-undang Perkawinan dinyatakan secara eksplisit bahwa salah satu
syarat sah nikah adalah pencatatan oleh petugas pencatat nikah. Seperti
dalam Pasal 2 ayat 1 dan 2. Namun Pasal 2 ayat 1 Rancangan Undang-
undang Perkawinan mendapat sorotan dari para pihak, antara lain dari
Partai Persatuan Pembangunan yang menyatakan bahwa pencatatan
sebagai syarat sah perkawinan dianggap mengabaikan syarat-syarat
perkawinan yang telah dijelaskan oleh ulama dalam berbagai kitab fikih.
Dengan kata lain, pemerintah dianggap telah menjadikan pencatatan
perkawinan sebagai syarat sah perkawinan yang pokok. Sedangkan syarat
sah yang ditentukan oleh ulama dalam kitab-kitab fikih dianggap sebagai
syarat pelengkap.
RUU perkawinan yang diajukan oleh Pemerintah kepada DPR dinilai
tidak sejalan dengan perkawinan menurut Alquran dan Sunah. Oleh karena
itu, ia mendapat tanggapan dan sorotan yang tajam dari berbagai kalangan.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengirim surat nomor A-6/174/73
Tentang Rancangan Undang-undang Perkawinan tanggal 30 Juli 1973 (29
Jumadil Akhir 1393 H.) yang ditujukan kepada Menteri Kehakiman.
Dalam surat tersebut dinyatakan bahwa Rancangan Undang-undang
Perkawinan bertentangan secara diametral dengan ajaran-ajaran Islam.
Surat tersebut dilampiri dengan pasal-pasal RUU Perkawinan yang
dianggap oleh Muhammadiyah tidak sesuai dengan ajaran Islam. Tujuh
ketentuan RUU yang dipandang tidak sesuai dengan ajaran Islam adalah
(http://ikadabandung.wordpress.com) :
a) Pencatatan perkawinan sebagai syarat sah perkawinan,
b) Tidak ada pembatasan jumlah isteri dalam poligami (poligini),
c) Batas usia perkawinan (21 tahun bagi pria dan 18 tahun bagi wanita),
xlix
d) Tidak memasukkan susuan (radha’at) sebagai penghalang perkawinan,
e) Perbedaan agama tidak menjadi penghalang perkawinan,
f) Waktu tunggu bagi isteri yang dicerai suaminya, dan
g) Dua kali cerai menjadi penghalang perkawinan.
3. Pada tanggal 17 dan 18 September 1973, DPR RI memberikan pandangan
umumnya atas Rancangan Undang-undang tersebut.
4. Pada tanggal 27 September 1973, Menteri Agama atas nama pemerintah
memberikan jawaban atas pandangan umum para anggota DPR RI
tersebut.
5. Pada tanggal 8 Oktober 1973, Komisi III dan IX DPR RI mengadakan
rapat gabungan untuk membicarakan prosedur teknis pembahasan
Rancangan Undang-undang.
6. Pada tanggal 9 Oktober 1973, pimpinan DPR RI mengadakaan lobbying
dengan pimpinan fraksi-fraksi.
7. Pada tanggal 10 Oktober 1973, Komisi III dan IX mengadakan rapat
gabungan juga membicarakan tentang prosedur teknis pembahasan
Rancangan Undang-undang.
8. Pada tanggal 15 Oktober 1973, pimpinan kedua komisi tersebut di atas,
melakukan inventarisasi persoalan-persoalan dari rancangan Undang-
undang tersebut dengan koordinator wakil-wakil ketua Domo Pranoto dan
Sumiskun.
9. Pada tanggal 6 Desember 1973, setelah melalui proses pembicaraan
tingkat ke-1 dan 2 sesuai dengan Peraturan Tata Tertib DPR RI, maka
dibentuklah sebuah Panitia Kerja dari gabungan Komisi III dan IX, yang
terdiri atas 10 orang anggota tetap dan disamping itu ditunjuk sejumlah 15
orang anggota pengganti yang bertugas menggantikan anggota-anggota
tetap bilamana ada yang berhalangan hadir.
10. Pada tanggal 22 Desember 1973, DPR RI dalam rapat pleno terbuka dan
sebagai pembicaraan tingkat ke-IV telah menerima Rancangan Undang-
undang tersebut di atas untuk disahkan sebagai Undang-undang.
l
Dalam Laporan Panitia Kerja RUU Perkawinan pada tanggal 22
Desember 1973 disampaikan bahwa Panitia Kerja telah berhasil
menyepakati dua pasal, yaitu pasal 1 dan 2. Rumusan pasal 1 yang
disepakati oleh panitia adalah : “perkawinan ialah ikatan lahir dan bathin
antara seorang pria dan wanita sebagai suami isteri, dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sedangkan rumusan pasal 2 yang disepakati
oleh Panitia Kerja adalah : “(1) perkawinan adalah sah, apabila dilakukan
menurut hukumnya masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; (2)
tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku”.
Pembahasan Rancangan Undang-undang Perkawinan di DPR terus
berjalan sehingga menghasilkan Rancangan Undang-undang Perkawinan
tahap II, yaitu Rancangan Undang-undang Perkawinan hasil pembicaraan
di DPR. Di dalam Rancangan Undang-undang Perkawinan tahap II pun
masih terdapat pasal-pasal yang dalam pandangan ulama tidak sejalan
dengan ajaran Islam.
Rancangan Undang-undang Perkawinan yang diajukan oleh
Pemerintah RI kepada DPR pada tahun 1973, merupakan kelanjutan dari
peraturan perundangan mengenai perkawinan yang berlaku sebelumnya.
Peraturan perundangan mengenai perkawinan yang berlaku ketika RUU
Perkawinan diajukan adalah sebagai berikut
(http://ikadabandung.wordpress.com) :
a) Hukum agama Islam yang telah diterima (diresipir) dalam Hukum
Adat untuk orang-orang Indonesia asli yang beragama Islam.
b) Hukum Adat bagi orang-orang Indonesia asli lainnya.
c) Huwelijks Ordonnantie Christen Indonesia (Staatsblaad 1933 Nomor
74) untuk orang-orang Indonesia asli yang beragama Kristen.
d) Kitab Undang-undang Hukum Perdata (dengan sedikit perubahan)
untuk orang-orang Timur Asing Cina dan Warga Negara Indonesia
keturunan Cina.
li
e) Kitab Undang-undang Hukum Perdata untuk orang-orang Eropa dan
Warga Negara Indonesia keturunan Eropa dan yang disamakan dengan
mereka.
f) Hukum adat (mereka) untuk orang-orang Timur Asing lainnya dan
Warga Negara Keturunan Timur Asing lainnya.
Secara simplistik, hukum perkawinan yang berlaku bagi masyarakat
Indonesia ketika itu ada tiga, yaitu :
a) Fikih (hukum) perkawinan yang terdapat dalam berbagai kitab fikih.
b) Kitab undang-undang Hukum Perdata.
c) Hukum adat.
Oleh karena itu, dalam pandangan umat Islam isi RUU Perkawinan banyak
menyimpang sehingga melahirkan perdebatan.
11. Pada tanggal 2 Januari 1974 dengan Lembaran Negara 1974 Nomor 1
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019 akhirnya diundangkan Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Setelah mengalami proses lebih kurang 15 bulan sejak diundangkannya
Undang-undang tentang perkawinan itu, telah dapat diundangkan Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 sebagai peraturan pelaksanaan Undang-
undang Perkawinan tersebut.
C. Perjanjian Perkawinan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan.
1. Perjanjian Perkawinan dalam Pasal 29 Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan.
a. Wewenang membuat Perjanjian Perkawinan.
Perjanjian perkawinan dalam prakteknya memang kurang
diminati oleh calon suami dan calon isteri, karena perjanjian ini
dianggap terlalu matrealistis dan tidak sesuai dengan adat ketimuran
kita. Selain itu perjanjian perkawinan belum merupakan lembaga
hukum yang populer di Indonesia, namun demi untuk menampung
kebutuhan sebagian anggota masyarakat dan perkembangan hukum
lii
dikemudian hari, Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan memberikan ketentuan mengenai hal tersebut di dalamnya.
Mengenai hal pengaturan perjanjian perkawinan, Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengaturnya di dalam Pasal
29 yang terdiri dari 4 ayat. Isi dari Pasal 29 ayat 1, yaitu :
“ Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut”.
Menurut analisa Penulis berdasar metode penafsiran gramatikal
di dalam isi Pasal 29 ayat 1 tersebut di atas tidak secara tegas
mengatakan bahwa perjanjian yang dimaksud itu adalah perjanjian
perkawinan. Di dalam pasal tersebut hanya disebutkan bahwa kedua
pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis
yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, tetapi karena Pasal
29 ditempatkan di dalam Bab V tentang perjanjian perkawinan, maka
disimpulkan bahwa perjanjian tertulis yang dimaksud dalam Pasal 29
ayat 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun1974 tentang Perkawinan
adalah perjanjian perkawinan. Perjanjian yang dimaksud dalam Pasal
ini tidak termasuk taklik-talak.
Selain itu analisa lain dari Penulis di dalam Pasal 29 ayat 1
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, juga
menyatakan bahwa “.... kedua belah pihak atas persetujuan bersama
dapat mengadakan perjanjian tertulis....”, karena yang akan
melangsungkan perkawinan adalah calon suami-isteri, maka yang
dimaksud kedua belah pihak dalam ketentuan Pasal 29 ayat 1 tersebut
adalah kedua calon suami-isteri yang akan menikah tersebut.
b. Bentuk Perjanjian Perkawinan.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak
mensyaratkan atau mengatur secara rinci bentuk hukum tertentu untuk
sahnya suatu perjanjian perkawinan seperti dalam B.W.. Satu-satunya
syarat yang disebutkan adalah bahwa perjanjian tersebut harus tertulis
liii
dan tidak melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan. Atas
dasar itu, para pihak dapat meletakkan perjanjian perkawinan mereka,
baik dalam akta di bawah tangan maupun dalam bentuk autentik.
Apabila suatu perjanjian perkawinan dibuat dalam bentuk akta di
bawah tangan, maka hal tersebut berarti bahwa para pihak dapat
membuatnya sendiri. Asalkan kemudian perjanjian tersebut disahkan
kepada Pegawai Pencatat Nikah (J. Satrio, 1991 : 223).
Apakah Pegawai Pencatat Nikah dapat menolak perjanjian
perkawinan yang diberikan kepadanya oleh calon suami-isteri?
Apabila hal itu dapat dilakukan, akan timbul pertanyaan yang kedua
mengenai dasar atau alasan apa yang digunakan sebagai pegangan
untuk bertindak demikian?
Penulis menganalisa dengan menggunakan metode penafsiran
teleologis atau sosiologis bahwa dalam ketentuan Pasal 29 ayat 2, yaitu
“perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-
batas hukum, agama dan kesusilaan”. Mungkin kita berfikir akan
kemungkinan terjadi isi perjanjian yang bertentangan dengan
kesusilaan, Undang-undang atau ketertiban umum, karena semua
perjanjian termasuk pula perjanjian perkawinan akan batal demi
hukum kalau isinya mengandung ketentuan-ketentuan yang demikian.
Itupun secara berlebihan ditegaskan lagi dalam Pasal 31 ayat 2.
Mengenai hal ini perlu adanya penjelasan lebih lanjut, agar terdapat
kepastian hukum, terutama bagi mereka yang tunduk pada Hukum
Adat, karena Hukum Adat tidak mengenal lembaga perjanjian
perkawinan. Lain halnya bagi mereka yang tunduk pada B.W.,
ketentuan umum mengenai perjanjian perkawinan seperti yang ada
pada Pasal 139 dan selanjutnya dapat dipakai sebagai peraturan
pelaksanaan.
c. Pembuatan dan Perubahan Perjanjian Perkawinan.
Mengenai saat pembuatan dan perubahan perjanjian perkawinan
dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
liv
menetapkan saat tersebut dalam Pasal 29 ayat 1 dan ayat 4. Di dalam
Pasal 29 ayat 1 menyebutkan bahwa saat pembuatan perjanjian
perkawinan adalah pada waktu atau sebelum perkawinan
dilangsungkan. Mengenai perubahan terhadap perjanjian perkawinan,
Pasal 29 ayat 4 Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974
mengatakan : “Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut
tidak dapat dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada
persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak
ketiga”.
Pasal 29 ayat 4 dapat disimpulkan, bahwa pada asasnya
perjanjian perkawinan tersebut bersifat tetap sepanjang perkawinan.
Atas asas tersebut dimungkinkan adanya penyimpangan, tetapi dengan
dibatasi dengan syarat-syarat :
1) Atas persetujuan dari kedua belah pihak.
Kata persetujuan menegaskan bahwa perubahan perjanjian
kawin tidak boleh terjadi karena paksaan. Harus ada keikhlasan
dari kedua belah pihak. Mengingat perubahan atas suatu perjanjian
perkawinan seperti untuk setiap perjanjian yang lain harus
dilakukan pula dengan membuat suatu perjanjian yang baru,
sedang salah satu syarat untuk sahnya suatu perjanjian adalah
adanya sepakat yang bebas.
Yang lebih penting adalah syarat “kedua belah pihak”.
Maksud dari kedua belah pihak disini adalah suami dan isteri.
Selain itu dalam perubahan perjanjian perkawinan, orang tua dan
bekas wali tidak perlu turut campur lagi, mengingat orang-orang
yang dalam status menikah termasuk juga yang pernah menikah
adalah orang-orang yang cakap untuk bertindak dalam hukum.
2) Tidak merugikan pihak ketiga
Mengapa disebutkan secara jelas mengenai pihak ketiga?
Karena memang pihak ketiga seperti kreditur khususnya adalah
orang yang berkepentingan dengan keadaan harta perkawinan suatu
lv
keluarga. Jaminan atas piutang-piutangnya sedikit banyak
bergantung dari keadaan dan bentuk harta perkawinan debiturnya.
Sehingga dalam hal ini pihak ketiga sangat berkepentingan.
Apabila pembentuk Undang-undang tidak mencantumkan
syarat yang kedua seperti tersebut di atas, dikhawatirkan
kemungkinan terjadinya penyalahgunaan oleh suami dan isteri,
yang sengaja dilakukan untuk menghindarkan diri dari tanggung-
jawab mereka atas hutang mereka terhadap pihak ketiga.
Apabila suami-isteri tersebut melakukan perubahan
perjanjian perkawinan yang merugikan pihak ketiga, maka
perubahan tersebut dapat dibatalkan kalau ada tuntutan dari pihak
ketiga tersebut dan hanya terhadap pihak ketiga yang
kepentingannya dirugikan saja. Sedangkan untuk selebihnya
perjanjian perkawinan yang baru tersebut tetap berlaku penuh.
Syarat kedua ini dimaksudkan untuk memberikan perlindungan
terhadap pihak ketiga yang merasa dirugikan.
Selanjutnya kita perhatikan ketentuan, bahwa perjanjian
perkawinan hanya boleh dibuat sebelum atau pada saat perkawinan
dilangsungkan pada Pasal 29 ayat 1. Apakah hal itu berarti bahwa
perjanjian perkawinan tidak boleh dibuat sepanjang perkawinan?
Telah dikatakan, selama perkawinan berlangsung, suami dan isteri
dapat merubah perjanjian perkawinan mereka asal dipenuhi syarat-
syarat tersebut di atas. Undang-undang tidak menetapkan seberapa
besar perubahan tersebut dapat diadakan, karena Undang-undang
sendiri tidak memberikan pembatasan, maka para pihak dapat
mengadakan perubahan yang seluas-luasnya, dari mulai
memisahkan sama sekali harta perkawinan mereka sampai adanya
percampuran harta secara bulat antara mereka, yang berarti tidak
adanya harta pribadi dalam perkawinan tersebut. Apabila suami
dan isteri dapat merubah bentuk harta perkawinan mereka
sedemikian luasnya, dengan hanya pembatasan atas persetujuan
lvi
bersama dan tidak boleh merugikan pihak ketiga, maka apa
salahnya kalau suami isteri yang pada saat atau sebelum
perkawinan belum membuat perjanjian perkawinan sekarang
mereka membuatnya, asal atas persetujuan bersama dan tidak
merugikan pihak ketiga? Apabila dari Pasal 29 ayat 1 ditafsirkan,
bahwa perjanjian perkawinan tidak boleh dibuat sepanjang
perkawinan, maka larangan yang demikian adalah sungguh tidak
logis. Apa dasarnya? Lain halnya dengan sistem yang dianut dalam
B.W., yang dengan konsekuen berpegang pada prinsip, bahwa
perjanjian perkawinan hanya dapat dibuat sebelum perkawinan
berlangsung dan sepanjang perkawinan tanpa perkecualian tidak
dapat diubah. Hal demikian baru logis adanya ketentuan, bahwa
sesudah dilangsungkan perkawinan orang tidak boleh lagi
membuat perjanjian perkawinan (J. Satrio, 1991 : 225).
Lain halnya dengan KUHPerdata, karena KUHPerdata dalam
Pasal 149 dengan konsisten menyebutkan bahwa setelah perkawinan
berlangsung, perjanjian perkawinan tidak dapat diubah dengan cara
apapun.
d. Saat Berlakunya Perjanjian Perkawinan.
Perjanjian perkawinan mulai berlaku sejak perkawinan
dilangsungkan. Seperti dalam Pasal 29 ayat 3 yang berbunyi:
“Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan”.
Tidak adanya ketentuan lain mengenai saat berlakunya perjanjian
perkawinan dalam Undang-undang Perkawinan, harus diartikan bahwa
Undang-undang tersebut tidak menghendaki dipilihnya saat lain
daripada yang telah ditetapkan oleh Undang-undang tersebut.
Perjanjian perkawinan ini berlaku baik bagi suami-isteri yang
bersangkutan maupun terhadap pihak ketiga (J. Satrio, 1991 : 229).
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak
mensyaratkan mengenai syarat pengumuman terlebih dahulu. Sehingga
di sini darimana pihak ketiga tahu bahwa debiturnya memakai
lvii
perjanjian perkawinan? Lain halnya dalam KUHPerdata, dalam Pasal
152 disebutkan bahwa “....tidak akan berlaku bagi pihak ketiga
sebelum hari pendaftaran ketentuan-ketentuan itu dalam daftar umum,
yang harus diselenggarakan di Kepaniteraan pada Pengadilan
Negeri....”. Sehingga pihak ketiga akan tahu bahwa debiturnya
menggunakan perjanjian perkawinan.
Diaturnya perjanjian perkawinan dalam Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam Pasal 29, maka sebenarnya
perjanjian perkawinan diperkenankan oleh Undang-undang Perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974. Namun perincian pengaturannya tidak lengkap
seperti dalam B.W., karena di dalam Pasal 29 Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan hanya mengatur mengenai siapa saja yang
berwenang membuat perjanjian perkawinan, bentuk-bentuk perjanjian
perkawinan yang diperkenankan oleh Undang-undang Perkawinan,
pembuatan dan perubahan perjanjian perkawinan dan saat berlakunya
perjanjian perkawinan. Sehingga terkadang membuat keragu-raguan dan
kecemasan bagi para calon pembuat perjanjian perkawinan, apakah dengan
membuat perjanjian perkawinan merupakan pilihan yang tepat bagi
mereka, karena perjanjian perkawinan berdampak sangat luas terhadap
pengaturan harta perkawinan mereka dan bagi pihak ketiga apabila mereka
terlibat.
Berdasar Pasal 66 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, yang berisi :
“Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers S. 1993 Nomor 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op degemengde Huwelijken S. 1898 Nomor 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku”.
lviii
Maka pengaturan di dalam B.W. dan peraturan-peraturan lainnya tidak
berlaku lagi atau tidak dipakai lagi sepanjang Undang-undang Perkawinan
ini sudah mengaturnya.
Namun terdapat beberapa hal yang tidak diatur secara mendetail di
dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
sehingga B.W. masih dapat digunakan sebagai pegangan untuk
pelaksanaannya.
2. Perjanjian Perkawinan dalam Burgerlijk Wetboek (B.W.)
a. Bentuk Perjanjian Perkawinan.
Menurut ketentuan pasal 147 B.W., perjanjian perkawinan harus
dibuat :
1) Dengan akte notaris
Hal ini dilakukan, kecuali untuk keabsahan perjanjian
perkawinan, juga :
a) Untuk mencegah perbuatan yang tergesa-gesa, oleh karena
akibat daripada perjanjian ini akan dipikul untuk seumur hidup;
b) Untuk adanya kepastian hukum.
c) Sebagai satu-satunya alat bukti yang sah.
d) Untuk mencegah kemungkinan adanya penyelundupan atas
1) Terjadi perdamaian (verzoening atau rujuk) antara suami dengan
isteri. Perdamaian guna menggugurkan hak untuk menuntut
perceraian dapat terjadi, baik sebelum maupun sesudah gugat
diajukan (Pasal 216 B.W.).
2) Dasar tuntutan perceraian adalah Pasal 209 sub 2 B.W., dan pihak
yang meninggalkan rumah bersama tanpa alasan yang sah telah
beralih ke rumah tersebut (Pasal 218 B.W.).
3) Suami atau isteri yang telah dipidana oleh hakim pidana karena
berzinah atau telah dijatuhi pidana selama 5 tahun atau lebih berat,
dan pihak yang lain tidak mengajukan gugat cerai dalam waktu 6
bulan setelah keputusan tersebut mempunyai kekuatan yang tetap.
lxxvii
4) Alasan-alasan yang dapat digunakan untuk menuntut gugat cerai
telah diajukan sebagai alasan untuk gugat pisah meja dan tempat
tidur (Pasal 235 B.W.),
5) Salah satu pihak meninggal dunia sebelum putusan cerai
dijatuhkan.
d. Akibat-akibat Perceraian.
Akibat perceraian dalam Pasal 41 Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, adalah :
1) Bapak dan ibu tetap berkewajiban untuk mendidik dan memelihara
anak dan apabila ada perselisihan mengenai penguasaan maka
Pengadilan yang memberi keputusan.
2) Bapak bertanggung-jawab dalam pembiayaan atas pemeliharaan
dan mendidik anak. Apabila bapak dalam kenyataannya tidak
mampu melakukan kewajiban tersebut, maka Pengadilan dapat
menentukan bahwa ibu juga ikut memikul biaya tersebut.
3) Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk
memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu
kewajiban kepada bekas isteri.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
dicantumkan suatu asas bahwa tujuan perkawinan adalah untuk
membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera, dengan pengertian
bahwa untuk itu perlu dipersukar terjadinya perceraian.
3. Akibat Hukum Perjanjian Perkawinan dan Ketentuan Hukum yang
Digunakan bila Terjadi Perceraian.
Mengenai banyaknya pengaturan akan hukum perkawinan ini,
sebenarnya bangsa Indonesia telah lama mempunyai cita-cita untuk
memiliki satu peraturan tentang perkawinan yang bersifat nasional, dalam
arti berlaku untuk seluruh golongan masyarakat bangsa Indonesia dan
berlaku untuk seluruh wilayah negara Indonesia. Cita-cita tersebut disebut
dengan cita-cita akan unifikasi peraturan perkawinan dan cita-cita tersebut
telah diwujudkan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
lxxviii
Perkawinan (beserta peraturan-peraturan pelaksanaannya), yang telah
mendapat pengesahan dan diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974,
dimuat dalam Lembaran Negara Nomor 1 Tahun 1974, karena itu orang
seringkali menyebutnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 atau
Undang-undang Perkawinan.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang
terdiri atas 14 Bab yang meliputi 67 pasal ini, mengatur hal-hal sebagai
berikut (K. Wantjik Saleh, 1976 : 4) :
a. Dasar perkawinan (Bab I : Pasal 1 sampai dengan pasal 5).
b. Syarat-syarat perkawinan (Bab II : Pasal 6 sampai dengan pasal 12).
c. Pencegahan perkawinan (Bab III : Pasal 13 sampai dengan pasal 21).
d. Batalnya perkawinan (Bab IV : Pasal 22 sampai dengan pasal 28).
e. Perjanjian perkawinan (Bab V : Pasal 29).
f. Hak dan kewajiban suami isteri (Bab VI : Pasal 30 sampai dengan
pasal 34).
g. Harta benda dalam perkawinan (Bab VII : Pasal 35 sampai dengan
pasal 37).
h. Putusnya perkawinan serta akibatnya (Bab VIII : Pasal 38 sampai
dengan pasal 41).
i. Kedudukan anak (Bab IX : Pasal 42 sampai dengan pasal 44).
j. Hak dan kewajiban antara orang tua dan anak (Bab X : Pasal 45
sampai dengan pasal 54).
k. Perwalian (Bab XI : Pasal 50 sampai dengan pasal 54).
l. Pembuktian asal usul anak (Bab XII : Bagian Pertama ; Pasal 55).
m. Perkawinan di luar Indonesia (Bab XII : Bagian Kedua ; Pasal 56).
n. Perkawinan campuran (Bab XII : Bagian Ketiga ; Pasal 57 sampai
dengan pasal 62).
o. Pengadilan (Bab XII : Bagian Keempat ; Pasal 63).
p. Ketentuan peralihan (Bab XIII : Pasal 64 sampai dengan pasal 65).
q. Ketentuan penutup (Bab XIV : Pasal 66 sampai dengan pasal 67).
lxxix
Kita dapat katakan, bahwa Undang-undang Perkawinan (Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974) berisi ketentuan-ketentuan tentang hukum
keluarga. Hubungan yang muncul dari hubungan kekeluargaan meliputi
antara lain (J. Satrio, 1991 : 4) :
a. Perkawinan, dalam mana termasuk hubungan hukum kekayaan antara
suami isteri
b. Hubungan orang tua dan anak
c. Hubungan wali dan anak yang dibawah perwaliannya
d. Hubungan curator dan curandus
Sehingga hukum keluarga meliputi perkawinan dengan semua segi-
seginya, akibat yang timbul dari adanya perkawinan (peristiwa-peristiwa
hukum yang hanya mungkin timbul karena adanya perkawinan) dan
bahkan seringkali mengatur hubungan antara orang dengan anak luar
kawinnya, yang tidak dapat dikatakan merupakan akibat suatu perkawinan,
karena memang antara si bapak dengan si ibu yang melahirkan anak
tersebut tidak ada ikatan perkawinan. Walaupun demikian kiranya tidak
ada tempat yang lebih tepat untuk mengatur hal tersebut selain dalam
hukum keluarga dan sampai kini tidak ada yang menyatakan keberatannya
(J. Satrio, 1991 : 4).
Perkawinan mempunyai akibat hukum tidak hanya terhadap diri
pribadi mereka-mereka yang melangsungkan perkawinan. Hak dan
kewajiban yang mengikat pribadi suami-isteri tetapi lebih dari itu
mempunyai akibat hukum pula terhadap harta suami isteri tersebut.
Hubungan hukum kekeluargaan dan hubungan hukum kekayaan terjalin
sedemikian eratnya sehingga keduanya dapat dibedakan tetapi tidak dapat
dipisahkan. Hubungan hukum kekeluargaan menentukan hubungan hukum
kekayaannya dan hukum harta perkawinan tidak lain merupakan hukum
kekayaan keluarga (J. Satrio, 1991 : 4).
Mengenai cara pengaturan dan asas-asas hukum perkawinan menurut
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, maka akan
nampak pada kita bahwa Undang-undang tersebut hanya mengatur hal-hal
lxxx
yang pokok saja, mengenai asas-asas saja, sedang penjabarannya lebih
lanjut didasarkan atas ketentuan lain atau akan dituangkan dalam peraturan
pelaksanaannya yang akan dibuat kemudian (tersendiri). Kesimpulan yang
demikian didasarkan atas adanya kata-kata “....menurut hukum masing-
masing agama dan kepercayaannya....”, “....menurut perundang-undangan
yang berlaku....”, “....diatur menurut hukumnya masing-masing” atau
“....diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri”. Selain
mempunyai cara-cara pengaturan seperti tersebut di atas, Undang-undang
Perkawinan ini juga didasarkan atas asas-asas tertentu yang perlu
mendapat perhatian kita untuk dapat memahaminya lebih lanjut.
Berdasar ketentuan Pasal 66 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan yang berbunyi :
“Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers S. 1993 Nomor 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op degemengde Huwelijken S. 1898 Nomor 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku”.
Ketentuan tersebut menghapus semua ketentuan yang mengenai
perkawinan, sepanjang sudah diatur dalam Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan. Selain yang sudah disebutkan di dalam
isi pasal tersebut, Pasal 66 juga menghapus peraturan-peraturan lain yang
meliputi semua ketentuan yang ada di luar peraturan-peraturan yang telah
disebutkan di atas, termasuk di dalamnya ketentuan-ketentuan yang tidak
tertulis atau Hukum Adat.
Dari isi pasal tersebut, untuk ketentuan-ketentuan yang perlu
pengaturan lebih lanjut sebelum ada peraturan pelaksanaannya belum
dapat dilaksanakan. Hal ini diperkuat dengan isi Pasal 67, yang
mengatakan bahwa Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal
lxxxi
diundangkan, yang pelaksanaannya secara efektif lebih lanjut akan diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Kemudian Pemerintah segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tertanggal 1 April 1975 dengan
judul Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan yang memuat Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor
1 Tahun 1974. Tetapi sayang sekali, karena di dalamnya hanya memuat
peraturan pelaksanaan sebagian dari Undang-undang Perkawinan saja.
Sehingga ada bagian-bagian yang belum siap peraturan pelaksanaannya.
Jika ada pengadilan-pengadilan yang memperoleh perkara mengenai
permasalahan yang belum ada peraturan pelaksanaannya, maka timbul
keragu-raguan pada Pengadilan-pengadilan yang sesudah tanggal tersebut
menerima perkara. Karena akan menggunakan ketentuan hukum yang
mana sebagai patokan atau pegangan.
Adanya permasalahan ini, Mahkamah Agung mengeluarkan Surat
Nomor M.A./Pemb./0807/75 dengan judul Petunjuk-petunjuk M.A.
mengenai Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
dan P.P. Nomor 9 tahun 1975 untuk memberikan pedoman kepada Badan
Peradilan yang ada di bawahnya untuk mengatasi keragu-raguan dalam
menangani kasus-kasus yang belum ada peraturan pelaksanaannya.
Walaupun Surat M.A. bukan merupakan ketentuan umum, tetapi
mengingat peraturan tersebut ditujukan kepada Pengadilan dan Pengadilan
Tinggi, masyarakat akan berusaha untuk menyesuaikan tindakan dan
keputusannya dengan surat tersebut. Mengingat M.A. adalah sebagai
penjaga gawang yang terakhir.
Mengenai pengertian “belum dapat diberlakukan secara efektif”
adalah berarti belum bisa diterapkan dalam kasus yang muncul dalam
praktek karena belum ada peraturan pelaksanaannya. M.A. sendiri telah
mengemukakan pendiriannya seperti itu, seperti yang nampak pada
keputusannya tanggal 15 Februari 1977 Nomor 726K/Sip/1976, dalam
mana dipertimbangkan, bahwa “sekalipun Undang-undang Nomor 1
lxxxii
Tahun 1974 tentang Perkawinan telah berlaku, tetapi untuk
pelaksanaannya masih memerlukan peraturan pelaksanaannya dan karena
hingga kini peraturan pelaksanaannya yang mengatur sebagai pengganti
ketentuan-ketentuan yang diatur dalam B.W. belum ada, maka bagi
penggugat dan tergugat yang adalah WNI keturunan Cina masih berlaku
ketentuan-ketentuan mengenai perkawinan yang tercantum dalam
KUHPerdata (B.W.).
Ada berbagai pemikiran, apakah surat M.A. tersebut benar harus
ditafsirkan demikian yang dengan kata lain berarti Undang-undang Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan untuk sementara sepanjang mengenai
bagian yang belum ada peratuan pelaksanaannya paling tidak untuk
mereka-mereka yang tunduk pada B.W. boleh kita abaikan atau dengan
perkataan lain kita anggap seakan-akan tidak ada. Apakah penafsiran
seperti itu sudah betul atau belum? Penulis mencoba menghubungkan
kata-kata “….belum dapat diperlakukan secara efektif….” dengan anak
kalimat selanjutnya “....dengan sendirinya untuk hal-hal itu masih
diberlakukan ketentuan-ketentuan hukum dan perundang-undangan lama”.
Analisis Penulis dari kalimat ini adalah bahwa penyebab Undang-undang
perkawinan belum dapat dilaksanakan secara efektif adalah karena belum
adanya peraturan pelaksanaan. Namun peraturan pokoknya sudah ada,
hanya peraturan pelaksanaannya saja yang belum. Kemudian kata-kata
“….dengan sendirinya....”, bisa diartikan peraturan pelaksanaannya masih
menggunakan ketentuan lama. Sehingga pokoknya atau asasnya kita pakai
ketentuan Undang-undang Perkawinan sedangkan pelaksanaannya masih
menggunakan ketentuan lama.
Akan tetapi bahwa seluruh ketentuan-ketentuan hukum tersusun di
dalam suatu sistem, di dalam mana tidak boleh ada pertentangan antara
ketentuan yang satu dengan ketentuan yang lain. Konsekuensinya adalah
bahwa kalau kita mau menggunakan ketentuan lama sebagai peraturan
pelaksanaan Undang-undang Perkawinan, maka keduanya harus
didasarkan atas asas-asas yang sama.
lxxxiii
Mengenai ketentuan perjanjian perkawinan, dimana isi perjanjian
perkawinan berdampak sangat luas terhadap harta perkawinan, maka kita
harus berhati-hati mengenai pengaturannya. Apabila kita akan menerapkan
ketentuan hukum dalam Undang-undang Perkawinan sebagai pokok
terhadap mereka yang tunduk pada B.W. dan menggunakan ketentuan B.W.
sebagai peraturan pelaksanaannya, kita harus mengetahui terlebih dahulu
apakah antara keduanya tidak ada perbedaan dalam asasnya. Akan tetapi,
antara B.W. dan Undang-undang Perkawinan terdapat perbedaan asas yang
cukup besar. Sehingga tidak begitu saja ketentuan B.W. dipakai terutama
bagi orang-orang yang tunduk pada B.W.
Sehingga kata-kata “….masih diperlakukan ketentuan-ketentuan
hukum dan perundang-undangan yang lama” berarti benar-benar belum
dapat dilaksanakan dan bagi mereka masih berlaku ketentuan lama atau
B.W. dengan konsekuensinya untuk sementara ketentuan dalam Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bagi mereka boleh kita
abaikan.
Kita akan meninjau Undang-undang Pekawinan dengan Hukum
Adat. Permasalahan disini tetap sama, yaitu peraturan pokoknya sudah ada
dan peraturan pelaksanaannya belum ada. Tetapi permasalahan akan lain
kalau peraturan pelaksanaan yang akan dipinjam adalah dari Hukum Adat,
karena menurut pendapat para pakar hukum perdata, hukum harta
perkawinan menurut Undang-undang Perkawinan mendasarkan pada asas
Hukum Adat. Sehingga mengenai pengaturan perjanjian perkawinan juga
didasarkan pada Hukum Adat, karena isi perjanjian perkawinan adalah
mengenai harta dalam perkawinan.
Hal ini tidak berarti yang berlaku adalah Hukum Adat. Tetapi hukum
harta perkawinan menurut Undang-undang Perkawinan mengambil prinsip
yang sama dengan Hukum Adat, karena asasnya sama, maka kita tidak
heran kalau mereka berpendapat bahwa hukum harta perkawinan menurut
Undang-undang Perkawinan sudah dapat dilaksanakan tanpa menunggu
peraturan pelaksanaannya.
lxxxiv
Mahkamah Agung sendiri dalam salah satu keputusannya
mempertimbangkan, bahwa “.... terutama setelah Undang-undang Nomor
1 Tahun 1974 berlaku sebagai hukum positif, bahwa harta benda yang
diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, sehingga....”. Di sini
dapat disimpulkan bahwa M.A. sendiri pernah berpendapat bahwa
Undang-undang Perkawinan sudah berlaku tanpa menunggu peraturan
pelaksanaannya lebih lanjut.
Tinjauan lain adalah terhadap Keputusan Pengadilan sesudah tahun
1975 yang mengadili perkara mengenai harta perkawinan. Bahwa perkara
yang mana pihaknya tunduk kepada Hukum Adat, banyak keputusan yang
mendasarkan pada Hukum Adat. Hal ini nampak pada masih
digunakannya istilah harta gono-gini, harta suarang atau serikat dan harta
asal. Memang antara hukum harta perkawinan menurut Hukum Adat dan
menurut Undang-undang Perkawinan ada persamaan asas yang cukup
besar. Tetapi bukan berarti bahwa hukum harta perkawinan menurut
Undang-undang Perkawinan adalah Hukum Adat, yang benar adalah
mendasarkan pada asas Hukum Adat. Apalagi berdasarkan Pasal 66
Undang-undang Perkawinan semua ketentuan hukum lama mengenai hal-
hal yang sudah ada pengaturannya di dalam Undang-undang Perkawinan
tidak berlaku lagi, tentunya termasuk juga istilah-istilah Hukum Adat,
yang sudah ada istilahnya tersendiri dalam Undang-undang Perkawinan,
dengan cara berfikir seperti itu, maka Hukum Adat selanjutnya hanya
dipakai sebagai peraturan pelaksanaannya saja dan ketentuan Undang-
undang Perkawinan tetap sebagai pokok.
Kenyataan bahwa Pengadilan tanpa penjelasan apa-apa masih
menggunakan istilah-istilah adat, memberikan petunjuk kepada kita bahwa
pengadilan masih berpendapat bahwa bagi mereka yang tunduk pada
Hukum Adat masih berlaku Hukum Adat. Namun bagi mereka yang
tunduk pada B.W., Undang-undang Perkawinan belum dapat dilaksanakan.
Jadi Surat M.A. ditafsirkan khususnya untuk hukum harta perkawinan
masih berlaku ketentuan-ketentuan lama.
lxxxv
Pendapat dan pikiran seperti tersebut berlangsung bertahun-tahun,
sampai M.A. memberikan suatu keputusan yang mengejutkan, yaitu
Keputusan Nomor 2690K/Pdt/1985 yang menetapkan, bahwa untuk
penjualan harta besama harus ada persetujuan dari suami atau isterinya,
dan persetujuan di sini diartikan sebagai persetujuan secara tegas.
Sekalipun keputusan tersebut bukan merupakan ketentuan umum dan
belum tentu M.A. dalam kasus-kasus berikutnya yang sejenis akan
memberikan keputusan yang sama. Namun mengapa keputusan tersebut
mengejutkan? Sebelum itu M.A. dalam Keputusannya Nomor
263K/Sip/1976 tertanggal 13 November 1978 sudah mengatakan bahwa
penjualan harta bersama harus dengan persetujuan isteri atau paling tidak
istri ikut hadir pada waktu jual beli diadakan. Mengapa pada waktu itu
tidak ada reaksi apa-apa, seakan-akan bukan kejutan? Karena dalam
keputusan tersebut para pihaknya adalah orang-orang yang tunduk pada
Hukum Adat dan antara Hukum Adat dan Undang-undang Perkawinan ada
persamaan dalam asasnya. Orang tidak merasakan perubahan dalam
pelaksanaan hukum harta perkawinan dalam keputusan tersebut. Tetapi
masalahnya menjadi lain kalau para pihaknya dalam peristiwa tersebut
adalah orang-orang yang tunduk pada B.W.. Keputusan tersebut diatas
pengaruhnya akan besar sekali terhadap mereka, karena mereka dalam
tindakan hukumnya selama ini mendasarkan kepada ketentuan yang
selama ini mereka anggap masih tetap berlaku yaitu ketentuan B.W.
khususnya Pasal 124. Atas dasar apa yang dikemukakan di atas, maka
Keputusan M.A. tersebut yang mengatakan bahwa “Yurisprudensi M.A.
Nomor 681K/Sip/1975 dan berdasarkan Pasal 36 ayat 1 Undang-undang
Perkawinan sudah menentukan bahwa untuk penjualan harta bersama
harus ada persetujuan isteri atau suami”, bila dibenarkan bagi mereka-
mereka yang tunduk pada Hukum Adat, tetapi adalah tidak tepat bagi
mereka yang tunduk pada B.W.
Mengingat perjanjian perkawinan berisi mengenai harta dalam
perkawinan, dan berdasar Surat Edaran M.A. mengenai Petunjuk-petunjuk
lxxxvi
Mahkamah Agung mengenai Pelaksanaan Undang-undang nomor 1 Tahun
1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dalam point 4 yaitu,
“Harta benda dalam perkawinan, kedudukan anak, hak dan kewajiban
antara orang tua dan anak serta perwalian, ternyata tidak diatur dalam P.P.
tersebut karenanya belum dapat diperlakukan secara efektif dan dengan
sendirinya untuk hal-hal itu masih diperlakukan ketentuan-ketentuan
hukum dan perundang-undangan lama”. Sekalipun Surat Mahkamah
Agung bukan merupakan ketentuan umum, tetapi mengingat peraturan
tersebut ditujukan kepada Pengadilan dan Pengadilan tinggi, yang tidak
lain adalah badan yang akan menampung masalah-masalah yang tidak
dapat diselesaikan secara damai antara pihak, dengan Mahkamah Agung
sebagai penjaga gawang yang terakhir, maka dapat diharapkan bahwa
anggota masyarakat akan berusaha untuk menyesuaikan tindakan dan
keputusannya dengan Surat tersebut.
Perbedaan pendapat dalam menemukan kepastian hukum itu adalah
hal yang biasa, namun di sini bahwa persetujuan-persetujuan antara pihak-
pihak yang berkepentingan, yang kemudian menjadi “perjanjian” disebut
juga sebagai sumber hukum formil. Activa membuat perjanjian oleh pihak-
pihak itu dinamakan : perbuatan hukum. Selanjutnya hasil dari activa itu
ialah terciptanya ketentuan-ketentuan yang merupakan isi dari perjanjian
tersebut, dan merupakan ketentuan yang mengikat para pihak yang
membuatnya secara syah. Syahnya suatu perjanjian yang dibuat oeh para
pihak yang berkepentingan, memang harus dipenuhi beberapa persyaratan
yang telah ditentukan atau ditetapkan dalam peraturan hukum atau
Undang-undang (J.D. Sihombing Purwoatmodjo, C. Gunarti
Purwoatmodjo, Rachmadi, 1999 : 131).
Di Indonesia, berlaku ketentuan dari Pasal 1320 B.W., yaitu bahwa
untuk syahnya persetujuan-persetujuan diperlukan empat syarat, yaitu :
a. Sepakat (persesuaian kehendak) mereka yang mengikatkan diri.
b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan atau perjanjian.
c. Mengenai hal tertentu.
lxxxvii
d. Oleh suatu sebab yang halal.
Dalam sistem Buku III B.W., bahwa Buku III B.W. terdiri atas suatu
bagian umum dan suatu bagian khusus. Bagian umum memuat peraturan-
peraturan yang berlaku bagi perikatan umumnya, misalnya tentang
bagaimana lahir dan hapusnya perikatan, macam-macam perikatan dan
sebagainya. Bagian khususnya memuat peraturan-peraturan mengenai
perjanjian-perjanjian yang banyak dipakai dalam masyarakat dan yang
sudah mempunyai nama-nama tertentu, misalnya jual beli, sewa-menyewa,
perjanjian perburuhan, maatschap, pemberian (schenking) dan lain
sebagainya (Subekti, 1995 : 127).
Buku III B.W. ini menganut asas kebebasan dalam membuat
perjanjian yang dapat disimpulkan dari Pasal 1338 B.W., yang berisi :
“Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan Undang-undang
berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
Dalam isi Pasal 1338 tersebut, maka Penulis dapat menyimpulkan
bahwa semua persetujuan ataupun perjanjian yang dibuat dapat berlaku
sebagai Undang-undang dan mengikat kedua belah pihak yang
membuatnya. Buku III B.W. memberikan kebebasan seseorang membuat
suatu perjanjian. Asalkan perjanjian tersebut tidak melanggar ketertiban
umum atau kesusilaan yang diatur di dalam Buku III B.W.. Tetapi pada
umumnya juga diperbolehkan mengesampingkan peraturan-peraturan yang
termuat dalam Buku III B.W. itu. Dengan kata lain peraturan-peraturan
yang disediakan dalam Buku III B.W. ini dipakai untuk para pihak yang
berkontrak tidak menentukan atau tidak membuat peraturan sendiri.
Dengan kata lain peraturan-peraturan dalam Buku III B.W., pada
umumnya hanya merupakan hukum pelengkap saja.
Hukum pelengkap, yaitu hukum yang mempunyai sifat fakultatif
artinya mengikat mutlak atau tidak wajib dipenuhi, dan dapat
dikesampingkan jika di dalam hubungan konkrit (perjanjian) para pihak
membuat peraturan sendiri. Maka hukum pelengkap adalah bersifat tidak
lxxxviii
memaksa dan bersifat melengkapi. Sering disebutkan sebagai hukum yang
mengatur, tetapi hal ini sebenarnya tidak tepat, karena setiap hukum
adalah bersifat mengatur (J.D. Sihombing Purwoatmodjo, C. Gunarti
Purwoatmodjo, Rachmadi, 1999 : 138).
Sehingga disini Penulis dapat menyimpulkan berdasar metode
penafsiran sistematis bahwa karena di dalam Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mengatur secara rinci mengenai
perjanjian perkawinan, maka berdasar Pasal 66 Undang-undang tersebut
bahwa ketentuan lama dapat dipakai sebagai peraturan pelaksanaan bisa
digunakan. Sebatas Undang-undang Perkawinan belum mengatur saja.
Namun di dalam Buku III B.W. pasal 1338 menyatakan bahwa persetujuan
yang dibuat sesuai dengan Undang-undang dapat berlaku sebagai Undang-
undang bagi yang membuatnya, karena perjanjian antara pihak-pihak juga
merupakan sumber hukum formil. Sehingga di dalam perjanjian
perkawinan, ketentuan hukum yang dipakai sebagai pegangan dalam
Hakim memutus persoalan apabila kedua belah pihak dalam hal ini suami-
isteri bercerai adalah isi perjanjian perkawinan tersebut.
Mengenai tujuan awal dibuatnya perjanjian perkawinan, antara lain
adalah :
a. Membatasi atau meniadakan sama sekali kebersamaan harta
kekayaan menurut undang-undang.
b. Mengenai pemberian-pemberian hadiah (schenking) dari suami
kepada isteri atau sebaliknya, atau pemberian hadiah timbal balik
antara suami dan isteri (Pasal 168 B.W.).
c. Membatasi kekuasaan suami terhadap barang-barang kebersamaan
yang ditentukan oleh Pasal 124 ayat 2 B.W., sehingga tanpa bantuan
isterinya, suami tidak dapat melakukan perbuatan-perbuatan yang
bersifat memutus (beschikken). Hal yang sama berlaku juga terhadap
benda-benda bergerak maupun tak bergerak yang dibawa isteri
lxxxix
(aanbrengst) atau terhadap benda-benda yang diperolehnya sepanjang
perkawinan yang beratasnamakan isteri (Pasal 140 ayat 3 B.W.).
d. Sebagai testamen dari suami untuk isteri atau sebaliknya, atau
testamen timbal balik (Pasal 169 B.W.).
e. Pemberian hadiah (schenking) oleh pihak ketiga kepada suami dan
atau isteri (Pasal 176 B.W.).
f. Sebagai testamen dari pihak ketiga kepada suami dan atau isteri
(Pasal 178 B.W.).
g. Bilamana terdapat sejumlah harta kekayaan yang lebih besar pada
salah satu pihak daripada pihak yang lain.
h. Kedua belah pihak masing-masing membawa masukan (aanbrengst)
yang cukup besar.
i. Masing-masing mempunyai usaha sendiri-sendiri, sehingga andaikata
salah satu jatuh failliet, yang lain tidak tersangkut.
j. Atas hutang-hutang yang mereka buat sebelum kawin, masing-masing
akan bertanggung-jawab sendiri-sendiri.
Sehingga karena perjanjian perkawinan dipakai oleh Hakim sebagai
pegangan dalam memutus perkara mengenai harta dalam perkawinan,
diharapkan sesuai dengan tujuan dipakainya perjanjian perkawinan, maka
aset dan kepentingan para pihak dalam hal ini adalah suami dan isteri
dapat terlindungi.
xc
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan.
Penulis memberikan beberapa kesimpulan dari skripsi ini, antara lain :
1. Bahwa perjanjian perkawinan di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan diperkenankan. Pengaturan mengenai perjanjian
perkawinan tersebut terdapat di dalam Pasal 29. Namun mengenai
pengaturannya tidak selengkap seperti di dalam B.W.. Pasal 29 Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan hanya mengatur
mengenai saat berlakunya perjanjian perkawinan, siapa yang berwenang
dalam pembuatan perjanjian perkawinan, bentuk perjanjian perkawinan
dan mengenai pembuatan dan perubahan perjanjian perkawinan. Berdasar
ketentuan dalam Pasal 66, maka pengaturan dalam B.W. masih dapat
dipakai lagi. Sejauh Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan tidak mengaturnya.
2. Ketentuan hukum yang dipakai sebagai pegangan apabila suami isteri
bercerai dimana perkawinan mereka menggunakan perjanjian perkawinan
adalah isi dari perjanjian perkawinan itu sendiri. Sesuai dengan Pasal 1338
KUHPerdata, yang menerangkan bahwa segala perjanjian yang dibuat
secara sah, berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang
membuatnya. Sehingga isi dari perjanjian perkawinan dapat menjadi
Undang-undang bagi pihak yang membuatnya, pihak yang dimaksud di
sini adalah suami isteri. Apabila kedua belah pihak tidak mengatur
ketentuannya, maka yang dipakai adalah ketentuan dalam KUHPerdata.
Dan karena perjanjian perkawinan dipakai oleh Hakim sebagai pegangan
dalam memutus perkara mengenai harta dalam perkawinan, diharapkan
sesuai dengan tujuan dipakainya perjanjian perkawinan, maka aset dan
kepentingan suami isteri tersebut dapat terlindungi.
xci
B. Saran.
Penulis memberikan saran, yaitu : karena Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan ini merupakan hasil dari keinginan dan cita-
cita masyarakat Indonesia untuk mempunyai Undang-undang Perkawinan
secara nasional dan berlaku bagi seluruh wilayah negara Indonesia,
seharusnya mengenai pengaturannya bisa lebih diperinci seperti pengaturan
yang terdapat di dalam B.W.. Sehingga kepastian dalam pemakaian ketentuan
hukum bisa dipegang dan tujuan utama pembuatan perjanjian perkawinan
untuk melindungi kepentingan dan aset para pihak dapat tercapai.
xcii
DAFTAR PUSTAKA
A. Ridwan Halim. 1986. Hukum Perdata Dalam Tanya Jawab. Jakarta : Ghalia
Indonesia
Akar-akar RUU Perkawinan Tahun 1973 di Indonesia.
http://ikadabandung.wordpress.com. (23 Februari 2008 pukul 15.13).
Ali Afandi. 1997. Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian. Jakarta :
PT Rineka Cipta.
Citra Umbara. 2007. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Dan Kompilasi Hukum Islam. Bandung.
Dardiri Hasyim H.A.. 2004. Amandemen KUH Perdata Dalam Kerangka Sistem
Hukum Nasional. Surakarta : Sebelas Maret University Press.
I.S. Adiwimarta. 1992. H.F.A. Vollmar Pengantar Studi Hukum Perdata Jilid I.
Jakarta : CV Rajawali.
Kartini Muljadi, Gunawan Widjaja. 2004. Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian.
Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.
Komar Andasasmita. 1983. Masalah Hukum Perdata Nasional Indonesia.
Bandung : Alumni.
Lexy J. Moleong. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja
Rosdakarya.
Salim H.S. 2002. Pengantar Hukum Perdata Tertulis (B.W.). Jakarta : Sinar
Grafika.
Satrio, J. 1991. Hukum Harta Perkawinan. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.