PENDAHULUAN Latar Belakang Krisis moneter yang berjangkit pada akhir Juli 1997 merupakan tonggak pemicu perubahan mendasar dalam kondisi ekonomi, sosial dan politik di Indonesia. Berbagai kebijakan yang bersifat salah arah dan salah urus pada rezim Orde Baru berimplikasi pada keadaan krisis yang berkepanjangan. Kebijakan yang lebih mengutamakan pembangunan fisik tanpa diiringi oleh pembangunan sosial yang memadai menyebabkan adanya kerusakan moral pada bangsa Indonesia yang ditunjukkan oleh tingginya tingkat korupsi, rendahnya komitmen dalam menjaga warisan budaya dan ketidakmampuan mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan serta penguatan kelompok-kelompok tertentu yang memiliki akses terhadap kekuasaan. Salah satu indikasi kegagalan pada rezim tersebut adalah ketidakmampuannya menekan kesenjangan ekonomi seperti kesenjangan relatif, kesenjangan pendapatan perkotaan-perdesaan dan kesenjangan pendapatan regional. Rezim Orde Baru memang mampu mengatasi kemiskinan absolut yang ditunjukkan oleh menurunnya jumlah masyarakat miskin, tetapi kesenjangan distribusi pendapatan tetap konstan, tidak mengalami perubahan (Data World Bank dalam Thee, 2004). Beberapa wilayah di Indonesia yang kaya akan bawaan sumber daya alam (SDA) memiliki indikator pertumbuhan ekonomi yang tinggi, seperti Provinsi Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur dan Papua, ternyata memiliki indeks kemiskinan manusia (IKM) yang tinggi dan indeks pembangunan manusia yang rendah (BPS, Bappenas dan UNDP, 2001). Sebaliknya beberapa wilayah yang miskin SDA memiliki indikator pembangunan yang lebih baik (IKM rendah dan IPM tinggi). Kesenjangan relatif, kesenjangan pendapatan desa-kota maupun kesenjangan pendapatan regional antar kabupaten/kota tidak hanya ditemui di provinsi yang memiliki indikator pembangunan yang rendah (belum berkembang), tetapi juga di provinsi-provinsi yang memiliki indikator pembangunan dan pertumbuhan yang relatif tinggi, seperti Provinsi Bali dan Daerah Istimewa Yogyakarta (berturut-turut berada pada peringkat dua dan tiga dalam IPM
41
Embed
Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal ... · disintegrasi sosial. Keadaan tersebut menjadi salah satu faktor yang menyebabkan Indonesia membutuhkan waktu yang lebih
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Krisis moneter yang berjangkit pada akhir Juli 1997 merupakan tonggak
pemicu perubahan mendasar dalam kondisi ekonomi, sosial dan politik di
Indonesia. Berbagai kebijakan yang bersifat salah arah dan salah urus pada rezim
Orde Baru berimplikasi pada keadaan krisis yang berkepanjangan. Kebijakan
yang lebih mengutamakan pembangunan fisik tanpa diiringi oleh pembangunan
sosial yang memadai menyebabkan adanya kerusakan moral pada bangsa
Indonesia yang ditunjukkan oleh tingginya tingkat korupsi, rendahnya komitmen
dalam menjaga warisan budaya dan ketidakmampuan mengelola sumber daya
alam secara berkelanjutan serta penguatan kelompok-kelompok tertentu yang
memiliki akses terhadap kekuasaan.
Salah satu indikasi kegagalan pada rezim tersebut adalah
ketidakmampuannya menekan kesenjangan ekonomi seperti kesenjangan relatif,
kesenjangan pendapatan perkotaan-perdesaan dan kesenjangan pendapatan
regional. Rezim Orde Baru memang mampu mengatasi kemiskinan absolut yang
ditunjukkan oleh menurunnya jumlah masyarakat miskin, tetapi kesenjangan
distribusi pendapatan tetap konstan, tidak mengalami perubahan (Data World
Bank dalam Thee, 2004). Beberapa wilayah di Indonesia yang kaya akan bawaan
sumber daya alam (SDA) memiliki indikator pertumbuhan ekonomi yang tinggi,
seperti Provinsi Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur dan Papua,
ternyata memiliki indeks kemiskinan manusia (IKM) yang tinggi dan indeks
pembangunan manusia yang rendah (BPS, Bappenas dan UNDP, 2001).
Sebaliknya beberapa wilayah yang miskin SDA memiliki indikator pembangunan
yang lebih baik (IKM rendah dan IPM tinggi).
Kesenjangan relatif, kesenjangan pendapatan desa-kota maupun
kesenjangan pendapatan regional antar kabupaten/kota tidak hanya ditemui di
provinsi yang memiliki indikator pembangunan yang rendah (belum berkembang),
tetapi juga di provinsi-provinsi yang memiliki indikator pembangunan dan
pertumbuhan yang relatif tinggi, seperti Provinsi Bali dan Daerah Istimewa
Yogyakarta (berturut-turut berada pada peringkat dua dan tiga dalam IPM
2
setingkat dibawah DKI Jakarta, tahun 2002). Beberapa kabupaten dalam
provinsi-provinsi tersebut berkembang sangat pesat sedangkan lainnya mengalami
pertumbuhan yang lambat. Bahkan di dalam kabupaten yang sama, kawasan
perkotaan berkembang dengan laju yang relatif jauh lebih pesat dibandingkan
dengan kawasan perdesaan. Ketidakseimbangan keterkaitan perekonomian
kawasan perkotaan dan perdesaan tersebut, cenderung lebih menguntungkan
kawasan perkotaan (Gonarsyah, 1977). Kesenjangan-kesenjangan tersebut akan
menumbuhkan rasa ketidakadilan yang kemudian mengurangi tingkat
kepercayaan masyarakat kepada pemerintah, terutama ketidakpercayaan pada
kemauan baik (goodwill) dan kemampuan pemerintah dalam mengelola sumber
daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan menciptakan
pembangunan yang merata. Inilah konsekwensi dari pembangunan yang
mengabaikan aspek keruangan fisik dan sosial. Kegagalan-kegagalan ini
kemudian mendorong adanya tuntutan untuk meruntuhkan rezim Orde Baru pada
tahun 1998.
Runtuhnya rezim Orde Baru ternyata tidak serta merta membangun
masyarakat madani yang diinginkan melainkan terbangunnya keadaan
ketidakpastian yang mendorong memburuknya perekonomian (Budiman, 2006)
Rasa saling mencurigai antar kelompok, kuatnya kepentingan-kepentingan
kelompok tertentu serta pemerintahan yang lemah menyebabkan terjadinya
kekacauan sehingga menekan proses masuknya investasi asing yang diperlukan
sebagai upaya menyehatkan perekonomian bangsa Indonesia. Dharmawan (2002)
menyatakan bahwa melemahnya kepercayaan tersebut menimbulkan adanya
disintegrasi sosial. Keadaan tersebut menjadi salah satu faktor yang menyebabkan
Indonesia membutuhkan waktu yang lebih panjang untuk mampu membangun
kembali perekonomiannya menuju keadaan awal, dibandingkan dengan negara
lain di Asia seperti Cina, Korea Selatan dan Malaysia (Rao, 2001).
Keadaan Indonesia masa reformasi ini sesuai dengan gambaran Putnam
(1993) mengenai Italia dimana dinyatakan bahwa pemerintahan yang memiliki
stok rasa percaya yang lebih tinggi akan mampu mencapai konvergensi lebih
cepat dan pada tingkat yang lebih tinggi pula. Menurut Putnam, rendahnya
kesejahteraan masyarakat di Italia Selatan disebabkan oleh modal sosial yang
3
lebih lemah dibandingkan Italia Utara. Sejalan dengan pemikiran tersebut,
Fukuyama (1995) dan Rao (2001) juga menyatakan bahwa perbedaan rasa
percaya dapat menjadi faktor penyebab adanya perbedaan hasil-hasil
pembangunan ekonomi antar wilayah karena rasa percaya melandasi
terbangunnya pembangunan ekonomi yang sehat dengan menekan biaya transaksi.
Modal sosial, bersama-sama dengan modal lainnya, mampu meningkatkan
produktivitas, efisiensi dan keberlanjutan proses pembangunan. Tanpa modal
sosial, aktivitas ekonomi akan mengalami kemunduran dan sumber daya alam
akan menghadapi ancaman kerusakan. Sebaliknya, tanpa pertumbuhan ekonomi,
modal sosial akan terganggu (Mitchel, 1999).
Masyarakat di wilayah-wilayah yang miskin sumber daya alam, seringkali
hanya memiliki sumber daya sosial sebagai satu-satunya aset penting dalam
pembangunan. Terabaikannya pembangunan sumber daya sosial menyebabkan
lemahnya stok modal sosial sehingga menekan produktivitas kerja dan mendorong
terbangunnya jaringan kerja yang tidak efisien, lemahnya norma serta hilangnya
nilai-nilai bersama yang akhirnya merugikan semua pihak yang berinteraksi dalam
proses pembangunan.
Penelitian modal sosial di berbagai negara menunjukkan bahwa modal
sosial dapat dibangun pada tingkat mikro, meso dan makro. Di Indonesia,
Grootaert (2001), Miller et al. (2003) dan Brata (2004), menunjukkan bahwa
modal sosial menjadi salah satu alternatif untuk mengatasi masalah kemiskinan,
kesehatan, pendidikan dan ketersediaan modal di tingkat rumah tangga. Bahkan
menurut Grootaert (2001), kontribusi modal sosial dalam peningkatan pendapatan
rumah tangga di Jambi, Jawa Tengah dan Nusa Tenggara Timur sebanding
dengan kontribusi modal manusia.
Hingga saat ini, perkembangan penelitian mengenai peran modal sosial
dalam upaya peningkatan kesejahteraan rumah tangga (mikro) ternyata tidak
diimbangi dengan perkembangan fakta empiris mengenai keterkaitan modal sosial
dan indikator pembangunan (Human Development Index atau HDI) di tingkat
wilayah (makro), padahal menurut Hayami (2000) pengukuran kesejahteraan
masyarakat tidak akan mencukupi bila hanya menekankan pada pertumbuhan
ekonomi (produk regional domestik bruto maupun pendapatan per-kapita) saja
4
melainkan pula harus mempertimbangkan kinerja sosial budaya pemerintah serta
masyarakat.
Perumusan Masalah
Perkembangan pemikiran mengenai modal (capital) yang dikemukakan
oleh Bourdieu (1986) memberi arah penting dalam kajian pertumbuhan ekonomi
wilayah. Modal tidak saja diartikan sebagai sumber daya yang bersifat tangible
dan material tetapi juga termasuk sumber daya yang bersifat intangible dan non-
material. Salah satu konsep modal yang memperoleh perhatian dari para ahli
ekonomi, ahli politik, ahli sosiologi, dan ahli antropologi adalah modal sosial.
Modal sosial memberi kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi melalui
perluasan kerjasama dan kepercayaan yang tumbuh antar pelaku dalam
perusahaan, pasar dan negara. Kerjasama dan kepercayaan tersebut memfasilitasi
aliran informasi yang simetris sehingga biaya transaksi dapat ditiadakan. Selain
itu, jaringan kerjasama dapat menjadi jaminan sosial yang meningkatkan akses
individu dan kelompok terhadap sumber daya. Modal sosial juga mencakup
norma dan nilai-nilai positif yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat
seperti rasa kesetiakawanan, sanksi-sanksi yang menekan tumbuhnya sikap
oportunistik dan perilaku sebagai pembonceng (free rider).
Menurut Mubyarto (2001), Bali merupakan salah satu provinsi di
Indonesia yang mampu mencapai tingkat keberhasilan yang tinggi dalam
pelaksanaan program-program pembangunan dan pertumbuhan ekonominya
dengan cara menjaga dan memelihara institusi lokal tradisional. Kearifan lokal
yang terpelihara dalam organisasi tradisional seperti subak dan desa (banjar)
pakraman, mendorong masyarakat Bali untuk selalu berpartisipasi dalam
mensukseskan program-program pembangunan. Keberhasilan program
pembangunan yang dikaitkan dengan kehidupan sosial, agama dan budaya
masyarakat seringkali dinyatakan sebagai hasil dari adanya rasa saling percaya
dan norma yang terbangun dalam kelompok tersebut.
Bali memiliki pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi dan stabil
terutama karena keberhasilan pengembangan sektor pariwisata (perdagangan,
hotel dan restorannya). Pertumbuhan ekonomi Bali hampir selalu berada di atas
5
pertumbuhan ekonomi Indonesia, kecuali tahun 2000 saat adanya perubahan
kebijakan sentralisasi menjadi desentralisasi (otonomi daerah) serta tahun 2002
dan 2004, saat terjadi shock dalam perekonomian akibat adanya peledakan bom
(Tabel 1).
Tabel 1 Pertumbuhan Ekonomi Bali dan Indonesia Tahun 1997 – 2004
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2004
Bali 5,81 -4,04 0,67 3,05 3,39 3,15 4.62
Indonesia 4,70 -13,68 0,23 4,77 3,32 3,66 5.13
Sumber : PDRB Provinsi Bali, 2005 dan Data Statistik Indonesia, 2005 Tingginya pertumbuhan ekonomi di Bali tidak berarti terlepas dari
masalah kesenjangan pembangunan antar kabupaten maupun antar wilayah dalam
satu kabupaten. Pertumbuhan ekonomi di Bali Selatan terutama di tiga wilayah
kabupaten/kota, yaitu Kabupaten Badung, Kota Denpasar dan Kabupaten Gianyar
relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kabupaten lainnya. Ketiga wilayah ini
merupakan kelompok wilayah dengan pendapatan asli daerah (PAD), pendapatan
per-kapita, Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB), dan laju PDRB
tertinggi. Kabupaten Badung, melalui program pengembangan kepariwisataan di
Badung Selatan, mampu menggali PAD dan tingkat pertumbuhan (PDRB)
sepuluh hingga empat puluh kali lebih tinggi dibandingkan dengan kabupaten
lainnya. Namun indikator tingkat pembangunan menunjukkan bahwa IPM di
Kabupaten Badung relatif sama dengan Kabupaten Tabanan, yang memiliki PAD
sepersepuluh dari Kabupaten Badung (Gambar 1a).
Keadaan ketidakseimbangan pendapatan juga terjadi antar desa-kota dalam
satu wilayah kabupaten seperti wilayah Badung Utara dan Badung Selatan.
Pemerintah Kabupaten Badung telah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi
kesenjangan tersebut, seperti pemberian bantuan, subsidi dan memprioritaskan
pengembangan agribisnis dan agrowisata di wilayah Badung Utara, namun tingkat
keberhasilan yang dicapai relatif rendah sehingga Badung Utara relatif kurang
Gambar 1 Pemetaan Wilayah Kabupaten/Kota di Bali berdasarkan Indikator Pertumbuhan (PDRB perkapita), Indikator Pembangunan (IPM) dan Indikator Modal Sosial, Tahun 2004
Secara terinci, keadaan kesenjangan tersebut dapat dinyatakan sebagai
berikut (Tabel 2):
1. Kabupaten dengan dominasi sektor pertanian memiliki pertumbuhan PDRB,
PAD dan pendapatan per-kapita yang lebih rendah.
2. Kabupaten yang terletak jauh dari pusat pemerintahan dan jasa pariwisata
termasuk Bali Timur dan Bali Barat, memiliki indeks pembangunan
7
manusia di bawah rataan Provinsi Bali dan indeks kemiskinan manusia di
atas rataan Provinsi Bali.
3. Tingginya indikator pertumbuhan ekonomi seperti PDRB per-kapita, PDRB
dan PAD tidak selalu disertai dengan tingginya indikator pembangunan
manusia. Hanya Kota Denpasar yang sekaligus memiliki indikator
pertumbuhan dan pembangunan ekonomi yang tinggi.
4. Berdasarkan indikator modal sosial yang digunakan Collier (1998),
Tingginya kepadatan penduduk per km2 di Kabupaten Badung, Gianyar dan
Kota Denpasar seharusnya mampu membangun interaksi yang semakin
intensif sehingga dapat menekan jumlah konflik. Namun hal sebaliknya
terjadi di Bali (Gambar 1b).
Pembangunan ekonomi Bali yang merupakan salah satu success story di
Indonesia, bahkan di dunia, ternyata tidak luput dari masalah kesenjangan antar
daerah (Sukardika, 2004). Pemerintah Provinsi Bali dalam laporan Profile Bali
20031 mengakui bahwa terjadi penyebaran pelaksanaan pembangunan yang
kurang merata sehingga menimbulkan kesenjangan pertumbuhan antar daerah,
antar perkotaan dan perdesaan, maupun antar golongan yang akhirnya menjadi
pemicu gejolak sosial.
Kebijakan desentralisasi (Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
pemerintahan daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang
perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang
kemudian disempurnakan menjadi Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 dan
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004) diharapkan dapat meningkatkan
efektivitas pengelolaan berbagai sumber daya yang ada di suatu wilayah, termasuk
sumber daya sosial, untuk kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat di wilayah
tersebut. Kebijakan desentralisasi tersebut diharapkan berdampak pula pada
semakin rendahnya tingkat kesenjangan dan menguatnya modal sosial masyarakat
di suatu wilayah karena adanya interaksi sosial yang intensif dan efisien antara
pemerintah kabupaten dan masyarakat. Peningkatan efektivitas interaksi tersebut
akan membangun sistem kontrol yang baik dan meningkatkan rasa percaya
masyarakat terhadap pemerintah (Gambar 2).
1 Lihat Profile Daerah Bali, 2003 halaman iv
8
Tabel 2 Kinerja Perekonomian Bali Berdasarkan Kabupaten/Kota Tahun 1999, 2002 dan 2004
Jumlah Desa Pakraman (2004) 63 339 119 266 92 155 185 166 35 3945
Jmlh Konflik Pidana/perdata (2004) 101/35 81/101 240/203 131/82 52/29 53/23 86/31 349/140 340/300 1433/944 Sumber: Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi Bali 2004; Bali dalam Angka 2004; Data Bali Membangun 2004 dan Profil Bali 2003
(-) menunjukkan keadaan yang semakin buruk
9
Ternyata dalam realitanya, kebijakan desentralisasi cenderung
menimbulkan peningkatan biaya transaksi, peningkatan kompetisi antar daerah
tanpa diiringi oleh peningkatan jaringan kerjasama (Mubyarto, 2001). Hal ini
juga terjadi di Bali.
Pasca penetapan kebijakan desentralisasi muncul berbagai konflik antar
kelompok dalam satu wilayah maupun antar wilayah. Munculnya konflik-konflik
tersebut mengarah pada aktivitas anarkis seperti perusakan sarana fasilitas umum
maupun tempat peribadatan yang pada akhirnya mengganggu keamanan dan
kenyamanan. Ditinjau dari sudut pandang modal sosial, hal tersebut merupakan
salah satu indikator melemahnya rasa percaya dan norma-norma bersama yang
selama ini ditaati oleh masyarakat. Arogansi kelompok dan melemahnya nilai-
nilai kebersamaan tersebut akhirnya akan melemahkan modal sosial padahal
menurut Gonarsyah (1977), penguatan modal sosial merupakan salah satu upaya
menekan kesenjangan karena memungkinkan wilayah-wilayah terkait untuk
bekerjasama dan sekaligus bersaing melalui pola kemitraan.
Selain kesenjangan dan melemahnya norma-norma bersama, masyarakat
di Bali juga sedang mengalami perubahan perilaku masyarakat, terutama dalam
tata cara melaksanakan aktivitas sosialnya. Beberapa perubahan menuju kepada
situasi awal tetapi di sisi lain ada perubahan yang meninggalkan kondisi awal
(Setia, 2002). Menurut Couteau (1995), perubahan dalam cakupan yang baru
tersebut disebabkan oleh masuknya modal pariwisata yang tidak hanya membawa
perubahan dalam struktur permodalan, namun juga jaringan kerja terutama
masuknya jaringan kerja internasional. Abdullah (2002), mengemukakan bahwa
pembangunan yang berlangsung selama Orde Baru memang mengabaikan potensi
sosial budaya dan menghancurkan nilai-nilai (kelembagaan tradisional) setempat
yang berfungsi untuk menata kehidupan tingkat lokal dengan melakukan
marginalisasi dan subordinasi sumber daya sosial. Antisipasi terhadap berbagai
perubahan tersebut harus dilakukan. Apabila tidak, keberlangsungan keberadaan
Bali dengan adat dan budayanya akan menuju pada keadaan yang
Elemen Umum Harapan yang mengarah pada perilaku bekerjasama yang menghasilkan manfaat bersama
Sumber: Uphoff, 1999 dalam Dasgupta dan Serageldin, 2002 Ada dua pandangan yang berbeda dalam membahas kontribusi aspek
kognitif dan struktural modal sosial, yaitu pandangan Uphoff (1999) dalam
Dasgupta dan Serageldin (2002), yang tidak membedakan secara terinci antara
tingkat mikro, meso dan makro (Tabel 3) serta pandangan Grootaert dan Van
Bastelaer (2002), yang mengaitkan antara sumber modal sosial dan tingkat modal
sosial tersebut (Gambar 5). Pada beberapa kasus, modal sosial di tingkat makro
merupakan hasil aggregasi dari modal sosial di tingkat mikro. Namun pada kasus
tertentu, hal tersebut tidak dapat diberlakukan.
28
Sumber : Grootaert dan Van Bastelaer (2002)
Gambar 5 Bentuk dan Ruang Lingkup Modal Sosial Keterkaitan antara modal sosial dan kinerja pemerintahan ditunjukkan
pada Gambar 6. Kinerja pemerintahan yang baik dan modal sosial yang kuat,
tidak saja mewujudkan kesejahteraan ekonomi namun juga kesejahteraan sosial.
Sebaliknya, jika tidak disertai dengan modal sosial yang kuat, akan berpeluang
untuk terjadinya konflik-konflik dalam masyarakat yang bersifat laten (Exclution).
Apabila kinerja pemerintahan buruk maka konflik akan muncul ke permukaan
(Woolcock dan Narayan (2000)). Kuatnya modal sosial namun tidak disertai
dengan kinerja pemerintahan yang baik akan mendorong terjadinya coping.
Kelompok-kelompok yang memiliki modal sosial kuat mengambil alih fungsi-
fungsi formal pemerintahan seperti terjadi di Tanzania. Lemahnya kinerja aparat
keamanan mendorong masyarakat membangun sistem keamanan desa.
Berdasarkan pemikiran tersebut, pemerintah tidak cukup hanya menekankan pada
keberhasilan kinerja ekonomi saja namun harus disertai dengan upaya
membangun modal sosial melalui kepemimpinan (leadership) elit masyarakat dan
penadbiran baik (good governance) yaitu pemerintahan yang bertanggung jawab
kepada masyarakat bukan pada kelompok maupun golongan tertentu.
Struktural Kognitif Meso
Makro
Mikro
Kelembagaan negara, Aturan hukum
Kelembagaan lokal, Network
Governance
Trust, local norm, values
29
Gambar 6 Keterkaitan antara Modal Sosial Masyarakat dan Pemerintah
Isu-Isu dalam Penelitian Modal Sosial Terdahulu
Modal sosial dan Pertumbuhan Ekonomi Wilayah
Penelitian mengenai keterkaitan modal sosial dengan pertumbuhan
ekonomi wilayah diawali oleh Putnam (1993) yang menurutnya, modal sosial
tidak hanya dapat ditemukan pada tingkat mikro, dalam bentuk hubungan personal
antar individu, tetapi juga pada tingkat makro. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa perbedaan struktur sosial yang ada di masing-masing
wilayah Italia Utara dan Italia Selatan mempengaruhi tingkat kesejahteraan
masyarakat. Di Italia Utara terdapat struktur yang horisontal sedangkan di Italia
Selatan lebih berbentuk hierarki (vertikal). Modal sosial yang diukur berdasarkan
indeks perluasan civic community, keterlibatan warga negara dan efisiensi
pemerintahan digunakan untuk menjelaskan mengapa terdapat perbedaan laju dan
tingkat pertumbuhan ekonomi antar kedua wilayah tersebut sedangkan perbedaan
yang ditimbulkan oleh variabel lainnya diasumsikan tidak terlalu besar.
Selanjutnya, Helliwell dan Putnam (2000) mempertegas hasil penelitian
sebelumnya dengan menunjukkan bahwa modal sosial memfasilitasi kemampuan
pemerintah untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi melalui
proses konvergensi yang lebih cepat dan keseimbangan pendapatan yang lebih
tinggi. Ukuran modal sosial yang digunakan oleh Putnam di Italia, memang
Social and Economic Wellbeing
CopingConflict
Exclution (Latent Conflict)
Low Level of Bridging
Social Capital
Dysfunctional State
High Level of Bridging Social
Capital
Well Functioning State
Sumber Woolcock dan Narayan, 2000,
30
hanya menekankan pada karakteristik sosial dari keanggotaan dalam organisasi
yang berkembang di masyarakat tersebut.
Knack dan Keefer (1997), meragukan hasil penelitian Putnam (1993) dan
menguji kembali menggunakan indikator rasa percaya (trust) dan norma
masyarakat (civic norm) sebagai proksi kekuatan organisasi masyarakat di 29
negara. Penelitian yang dilakukan Knack dan Keefer membandingkan hasil
penelitian Putnam yang menyatakan bahwa asosiasi memfasilitasi pertumbuhan
melalui peningkatan trust, dengan hasil penelitian Olson yang menyatakan bahwa
asosiasi menghambat pembangunan melalui rent-seeking. Hasil penelitian Knack
dan Keefer tersebut membantah temuan Putnam dengan menyatakan bahwa
keanggotaan dalam kelompok yang dijadikan ukuran modal sosial, tidak berkaitan
dengan perbaikan kinerja perekonomian.
Di Yunani, Christoforou (2003) menunjukkan bahwa modal sosial
memberi kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah. Modal sosial
merujuk pada hubungan sosial, yang didasarkan pada norma, jaringan kerjasama
dan rasa percaya, mempengaruhi pasar dan pemerintah dengan cara menguatkan
collective action antar pelaku dan memperbaiki pertumbuhan serta efisiensi sosial.
Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa tradisi kewarganegaraan yang rendah
menghambat reformasi dan pembangunan di Yunani. Peningkatan tingkat
pendidikan dan kesempatan kerja meningkatkan insentif untuk berpartisipasi
dalam kelompok sehingga menguatkan stok modal sosial.
Hubungan positif antara rasa percaya dan aktivitas organisasi terhadap
pertumbuhan ekonomi wilayah juga ditunjukkan dalam penelitian Beugelsdijk dan
Schaik (2003) di 54 negara Eropa pada kurun waktu tahun 1950 – 1998. Hasil
analisis tersebut menunjukkan bahwa aktivitas berorganisasi (associational
activity) berhubungan secara positif dengan perbedaan pertumbuhan wilayah.
Hasil penelitian ini menentang hasil penelitian Knack dan Keefer (1997) dan
memperkuat hasil penelitian Putnam. Beugelsdijk dan Schaik (2003) memodelkan
hubungan antara modal sosial dan pertumbuhan ekonomi dengan menggunakan
data European Value Studies (EVS). Modal sosial dibedakan atas modal sosial
mengikat (bonding social capital) dan modal sosial menyambung (bridging social
capital).
31
Tabel 4 Peneliti, Definisi dan Sumber Modal Sosial
Peneliti Definisi Modal Sosial Sumber Modal sosial
Rasa percaya (Trust)
Jaringan kerja (Network)
Norma Beliefs Aturan dan Institusi Formal
Portes, Sensenbrenner
(1993)
Kemampuan pelaku untuk mengamankan keuntungan dengan
cara menjadi anggota dalam jaringan kerja sosial atau struktur sosial
lainnya.
Norma Nilai-nilai
sisipan: norma reprositas
bounded solidarity
Coleman (1988; 1990)
Modal sosial didefinisikan menurut fungsinya, bukan merupakan satu
sifat tertentu tetapi terdiri atas berbagai sifat yang berbeda.
Closure; ikatan multiple
Putnam (1993) Karakteristik organisasi sosial yang memfasilitasi koordinasi dan
kerjasama untuk keuntungan bersama
Networks Efisiensi pemerintah
Ostrom (1994) Modal sosial adalah pengetahuan bersama, pengertian, norma, aturan
dan ekspektasi mengenai pola interaksi dimana kelompok
individual membangun aktivitas bersama (Coleman 1998; E. Ostrom 1990, 1992; Putnam, leonardi, dan
Nanetti 1993)
Networks Norma Social beliefs Aturan
Knack & Keefer (1997)
Trust Norma kerjasama
32
Lanjutan
Peneliti Definisi Modal Sosial Sumber Modal sosial
Trust Network Norma Beliefs Aturan dan Institusi Formal
Woolcock (1998, 2000)
Modal sosial adalah informasi, kepercayaan dan norma resiprositas yang melekat pada jaringan kerja sosial
Integritas masyarakat dan
keterkaitan
Integritas pemerintahan dan sinergi antar masy. dan
pemerintah
Francis Fukuyama (1999)
Modal sosial adalah norma informal yang bersifat instant yang mengembangkan kerjasama antar dua atau lebih individu. Norma yang merupakan modal sosial dapat dibentuk dari norma yang bersifat resiprokal antar teman, atau yang lainnya.
General trust (social capital in the form of non-family)
Globalisasi agama
Grootaert (2001) Sesuai dengan definisi Portes (1998) Networks Beugelsdijk, Van
Schaik (2003) Rasa saling
percaya
Svendsen, Svendsen (2004)
Rasa Percaya Entrepreneurship
Sumber: Disarikan oleh penulis dari berbagai pustaka, 2005
33
Hasil penelitian menunjukkan bahwa modal sosial yang tinggi mendorong
terjadinya pertumbuhan regional yang semakin baik. Semakin kuat modal sosial
menyambung (bridging) akan menguatkan pertumbuhan ekonomi karena
partisipasi dalam jaringan kerja interkomunitas mengurangi insentif untuk rent
seeking dan berlaku curang.
Penelitian Kennedy et al. (1998) menunjukkan bahwa kesenjangan yang
semakin lebar akan mempengaruhi modal sosial dan akhirnya meningkatkan kasus
pembunuhan menggunakan senjata api serta kekejaman kriminalitas. Modal
sosial diukur melalui bobot respons terhadap kerapatan keanggotaan per-kapita
dalam organisasi sukarela dan tingkat kepercayaan sosial. Dua inti modal sosial,
seperti dikemukakan oleh Coleman (1990) dan Putnam (1993; 1995), adalah
tingkat saling percaya (mutual trust) antar masyarakat dan keterlibatan warga
negara (civic engagement). Civic engagement merujuk pada tingkat komitmen
warga terhadap masyarakatnya yang direfleksikan melalui keterlibatannya dalan
hubungan kemasyarakatan khususnya keanggotaan dalam organisasi dan
kelompok. Mutual trust diukur melalui respons terhadap pertanyaan mengenai
sifat opportunistik seseorang dan peluang mempercayai orang lain.
Narayan dan Princhett (1999) menunjukkan bahwa karakteristik sosial
desa, khususnya keeratan jaringan kerja horisontal suatu asosiasi, mempengaruhi
penghasilan individu. Instrumen survei yang terdapat dalam the Social Capital
and Poverty Survey (SCPS), digunakan untuk menggambarkan aspek kehidupan
desa. Rumah tangga yang menjadi responden dipilih secara random cluster. Data
tiga dimensi modal sosial dikumpulkan melalui: (1) keanggotaan dalam
kelompok; (2) karakteristik kelompok dimana rumah tangga berpartisipasi sebagai
anggota; (3) nilai dan perilaku individu khususnya pemahaman mengenai definisi,
rasa percaya dan persepsinya terhadap kohesi sosial.
Modal sosial memfasilitasi terjadinya proses produksi yang efektif
dicirikan oleh penggunaan sumber daya yang efisien. Pertumbuhan ekonomi
merupakan fungsi positif dari modal fisik, tenaga kerja, perubahan teknologi dan
perubahan kelembagaan termasuk didalamnya total faktor produktivitas atau TFP
(Baier et al., 2002). Total faktor produktivitas (TFP) mengukur perubahan
teknologi dan kelembagaan yang memungkinkan meningkatnya efektivitas proses
34
produksi. Pada keadaan dimana teknologi relatif konstan, konsep total faktor
produktivitas cenderung lebih mencerminkan perubahan kelembagaan,
eksternalitas atau free gift dalam proses pertumbuhan (Lipsey dan Carlaw, 2000).
Namun, seringkali sisaan (residual) dari suatu fungsi produksi hanya dinyatakan
sebagai kemajuan teknologi. Lipsey dan Carlaw menyatakan bahwa TFP lebih
merupakan pengukuran terhadap variabel-variabel yang bersifat positif yang
terabaikan dalam proses produksi artinya ada peluang untuk mempertimbangkan
aspek modal sosial dalam TFP tersebut. Selama ini, pemikiran dan pandangan
yang mempertimbangkan modal sosial dalam TFP masih sangat terbatas. Oleh
karena itu, perlu upaya untuk mengembangkannya dalam analisis modal sosial.
Modal Sosial dan Kesejahteraan Rumah Tangga
Pada umumnya, keterkaitan modal sosial dan kesejahteraan rumah tangga
mencakup modal sosial di tingkat mikro (individu). Indikator yang digunakan
untuk memproksi modal sosial adalah rasa percaya, kesediaan berbagi dengan
tetangga, kepadatan organisasi, homogenitas dalam kelompok, nilai-nilai dalam
rumah tangga, partisipasi, solidaritas, resiprositas, jumlah kontribusi serta
karakteristik sosial individu lain.
Modal sosial berperan secara signifikan dalam berbagai aktivitas ekonomi
rumah tangga seperti produksi hasil pertanian, pendapatan per-kapita rumah
tangga, ketersediaan lapangan kerja dan proses jual beli, serta aktivitas sosial
meliputi kegiatan kolektif pengawasan hutan, pengelolaan air tanah maupun
peningkatan kesehatan anak. Hasil-hasil penelitian di berbagai negara
berkembang (Narayan dan Pritchett (1999); Grootaert (1999); Maluccio et al.
(2000); Fafchamps dan Minten (2002)) menunjukkan hasil yang konsisten dengan
penelitian di negara-negara maju.
Penelitian mengenai peran modal sosial terhadap kesejahteraan rumah
tangga di Indonesia dilakukan pertama kali oleh Grootaert (1999) di tiga provinsi,
yaitu Jambi, Jawa Tengah dan Nusa Tenggara Timur. Penelitian tersebut
menganalisis modal sosial hanya pada tingkat mikro (individual, rumah tangga)
dan meso (komunitas). Batasan yang digunakan mencakup asosiasi horisontal
dan vertikal untuk menginvestigasi secara empiris hubungan antara modal sosial,
35
kesejahteraan rumah tangga dan kemiskinan. Selain itu, juga ingin
diperbandingkan antar peran modal manusia dan modal sosial dalam upaya
meningkatkan kesejahteraan rumah tangga. Hasil analisis peubah ganda
(multivariate) menunjukkan bahwa peran modal sosial dalam peningkatan
kesejahteraan hampir sama dengan peran sumber daya manusia dan bernilai
positif. Rumah tangga dengan modal sosial tinggi memiliki pengeluaran per-
kapita lebih tinggi, memiliki asset fisik dan tabungan lebih banyak serta akses
terhadap kredit yang lebih baik. Sayangnya, determinan modal sosial masih
terbatas pada jaringan kerja saja yang meliputi kepadatan organisasi,
heterogenitas, partisipasi, kehadiran dalam kegiatan kelompok dan orientasi
individu.
Kirwen dan Pierce (2002), meneliti peran modal sosial khususnya rasa
percaya di wilayah konflik di Maluku. Penelitian tersebut ditujukan untuk
mengetahui upaya membangun kembali rasa saling percaya antar masyarakat
pasca konflik. Rasa percaya ternyata dapat dibangun melalui mediasi pihak ketiga
dan penyediaan ruang-ruang publik untuk melakukan aktivitas bersama. Namun
hal yang terpenting adalah penciptaan pengelolaan pemerintahan yang lebih
demokratis dan transparan serta memiliki akuntabilitas yang tinggi.
Miguel et al. (2002) melakukan penelitian mengenai dampak
industrialisasi pada modal sosial di Indonesia selama kurun waktu 1985 hingga
1997. Modal sosial diukur berdasarkan aktivitas organisasi sukarela, tingkat rasa
percaya, kerjasama informal dan outcome keluarga. Data yang dianalisis berasal
dari BPS meliputi data PODES, SUSENAS dan SUPAS. Pengertian modal sosial
ditekankan pada modal sosial informal (proporsi pengeluaran per-kapita untuk
aktivitas sosial dan keagamaan dan persentase aturan adat yang masih ditaati)
sedangkan hasilnya (outcome) meliputi indikator kualitas tempat tinggal dan
tingkat perceraian. Semakin tinggi pengeluaran per-kapita untuk aktivitas sosial
dan keagamaan berarti semakin kuat hubungan antar individu tersebut.
Penekanan khusus diberikan pada masalah migrasi penduduk yang seringkali
menghambat upaya penguatan modal sosial. Dua model yang dibangun
dibedakan atas model statik dan dinamis. Model statik tidak mempertimbangkan
faktor migrasi sedangkan model dinamik sebaliknya, mempertimbangkan faktor
36
migrasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa modal sosial ternyata tidak
berkaitan dengan industrialisasi sehingga tidak dapat dinyatakan bahwa
industrialisasi akan menguatkan atau melemahkan modal sosial.
Keterkaitan modal sosial dengan kesehatan masyarakat di 27 provinsi di
Indonesia dianalisis oleh Miller et al. (2003). Penelitian tersebut membandingkan
keterkaitan antara modal sosial dan modal manusia dengan kesehatannya. Data
yang digunakan adalah Family Life Survey tahun 1993 dan 1997 (FLS1 dan FLS2)
yang mencakup data demografi, pendidikan, kesehatan dan tingkat informasi
masyarakat. Human capital diukur dari tingkat pendidikan sedangkan modal
sosial diukur dari jumlah kategori organisasi masyarakat. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa modal sosial berhubungan secara positif dengan kesehatan
fisik dan mental sedangkan human capital hanya berhubungan dengan beberapa
kesehatan mental yang mencakup kesedihan, insomnia, kegelisahan dan sifat
tempramental.
Penelitian Brata (2004) lebih menekankan pada keterkaitan antara modal
sosial dan kredit perdesaan di Jogyakarta. Penelitian tersebut dilakukan di Dukuh
Sanden, Prambanan, Daerah Istimewa Yogyakarta dan menyimpulkan bahwa
modal sosial memberi dampak yang berbeda-beda terhadap tipe kredit perdesaan
yang dapat diakses oleh setiap individu. Aspek modal sosial yang diamati
meliputi kepadatan organisasi (jumlah keanggotaan), kehadiran dalam rapat dan
partisipasi dalam pengambilan keputusan. Kehadiran anggota dalam pertemuan
kelompok berpengaruh positif terhadap jumlah kredit formal yang diperoleh
sedangkan kepadatan organisasi berpengaruh negatif. Selain itu, individu yang
berada pada strutur sosial yang lebih tinggi (elit perdesaaan) memiliki akses yang
lebih besar terhadap kredit formal. Penelitian ini bersifat sangat situasional
karena tidak mempertimbangkan variabel karakteristik wilayah. Selain itu,
penggunaan OLS untuk menganalisis dampak modal sosial tidak
mempertimbangkan kemungkinan adanya keterkaitan yang erat antara jumlah dan
tipe kredit yang dipinjam dengan tingkat modal sosial seseorang (sifat
endogeneity).
37
Modal Sosial dan Pembangunan Wilayah Dalam literatur ekonomi pembangunan dinyatakan bahwa komunitas dan
masyarakat yang kaya akan jaringan kerja sosial dan ikatan-ikatan masyarakat
cenderung memiliki kedudukan yang lebih kuat dalam mengatasi kemiskinan dan
kerentanan sosial, lebih mudah memecahkan masalah dan konflik, memiliki
informasi yang simetris serta memiliki dampak pembangunan yang lebih baik.
Penelitian mengenai peran modal sosial dalam peningkatan kesejahteraan
masyarakat, pertumbuhan ekonomi, kondisi sosial dan politik telah banyak
dilakukan di berbagai negara di dunia. Masing-masing peneliti memberikan
penekanan yang berbeda terhadap aspek dan determinan modal sosial. Namun,
sebagian besar penelitian dilaksanakan pada tingkat makro dan cenderung hanya
menganalisis keterkaitan modal sosial dengan indikator pertumbuhan ekonomi
wilayah (Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan laju pertumbuhan
PDRB) bukan indikator pembangunan ekonomi wilayah, padahal indikator
pembangunan seringkali lebih mampu mencerminkan tingkat kesejahteraan
masyarakat dibandingkan dengan indikator pertumbuhan ekonomi wilayah karena
pembangunan ekonomi mencakup juga berbagai aspek sosial kelembagaan selain
tingkat pendapatan per kapita (Dasgupta, 2005).
Secara parsial, analisis keterkaitan modal sosial dengan masing-masing
komponen pembangunan ekonomi wilayah memang telah banyak dilakukan
seperti keterkaitan modal sosial dengan pendidikan (Coleman, 1988), kesehatan
(Miller et al., 2003) maupun kesejahteraan (Grootaert, 2001). Hasil penelitian-
penelitian tersebut mampu menunjukkan bahwa modal sosial dapat meningkatkan
akses individu terhadap pendidikan, kesehatan maupun tingkat pendapatan yang
lebih tinggi. Keadaan pendidikan dan kesehatan masyarakat yang lebih baik serta
tingkat pendapatan yang lebih tinggi memang akan meningkatkan Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) serta menekan Indeks Kemiskinan Manusia (IKM).
Namun, penelitian-penelitian yang menganalisis keterkaitan langsung antara
modal sosial dengan indikator pembangunan secara menyeluruh yaitu IPM atau
IKM masih terbatas. Hal tersebut menyebabkan terbatasnya referensi yang dapat
38
menjelaskan bagaimana keterkaitan modal sosial dengan IPM, IKM maupun
distribusi pendapatan masyarakat (Gini ratio).
Analisis terkini mengenai peran modal sosial dalam pembangunan
ekonomi wilayah dilakukan oleh Sabatini (2005). Data yang dianalisis merupakan
hasil survey Italian National Bureau of Statistic yang terdiri dari data modal sosial
mengikat (bonding social capital), modal sosial menyambung (bridging social
capital), modal sosial mengait (linking social capital) serta data kualitas
pembangunan seperti human development index, index of social quality dan state
of health of urban ecosystem. Hasil penelitian Sabatini yang menggunakan
stuctural equations model menunjukkan bahwa modal sosial mengikat (bonding
social capital) berpengaruh negatif terhadap pembangunan manusia dan kinerja
ekonomi, sebaliknya modal sosial menyambung (bridging social capital) mampu
menjembatani antara komunitas yang berbeda, mendorong terjadinya difusi
informasi sehingga bermanfaat dalam proses pembangunan. Hasil penelitian ini
mendukung hasil penelitian Putnam.
Di Indonesia, pemahaman mengenai konsep modal sosial dan perannya
dalam proses pembangunan ekonomi mulai memperoleh perhatian. Namun hanya
Grootaert (1999) yang telah mempertimbangkan adanya keterkaitan antar modal
sosial dan indikator kesejahteraan yang ditunjukkan melalui metode analisis Two
Stage Least Square (TSLS) yang digunakannya. Peneliti lain masih
menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS) untuk menganalisis modal
sosial dan indikator kesejahteraan yang berarti belum mempertimbangkan adanya
sifat keterkaitan tersebut. Penggunaan metode OLS sesungguhnya tidak lagi
memadai apabila terdapat keterkaitan antara variabel bebas dan variabel terikat
karena akan menghasilkan penduga yang bias. Namun, Grootaert hanya
melakukan analisis di tingkat rumah tangga (mikro) dan kelompok (meso),
sehingga analisis keterkaitan modal sosial di tingkat wilayah (makro) dengan
mempertimbangkan sifat keterkaitan tersebut, perlu dikembangkan.
Hasil-hasil penelitian modal sosial terdahulu menunjukkan bahwa pada
tingkat mikro, modal sosial diyakini berperan positif dan nyata terhadap
peningkatan kesejahteraan rumah tangga dan menekan terjadinya kemiskinan.
Pada tingkat makro, terdapat dua pandangan yang saling bertentangan, yaitu: (1)
39
sebagian besar peneliti meyakini bahwa modal sosial memberi kontribusi positif
dan nyata terhadap indikator pertumbuhan dan pembangunan wilayah, (2)
beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa modal sosial menimbulkan efek
crowding out yang mengurangi waktu kerja efektif sehingga akhirnya memberi
kontribusi negatif terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah.
Modal sosial terbentuk dari beberapa komponen yang masing-masing
komponen memberi kontribusi yang berbeda terhadap pembangunan maupun
pertumbuhan ekonomi wilayah. Oleh karenanya, penelitian ini sependapat dengan
institutional view dan network view dan menganggap bahwa pandangan
communitarian (communitarian view) adalah keliru. Modal sosial tidak selalu
memberi dampak positif sehingga asumsi bahwa semakin kuat modal sosial akan
menciptakan keadaan yang semakin baik adalah tidak selalu benar. Karakteristik
sosial budaya masyarakat akan sangat berpengaruh terhadap peran modal sosial
dalam peningkatan kesejahteraan di tingkat mikro, meso maupun makro.
40
Tabel 5 Penelitian Modal Sosial Terdahulu dan Variabel yang Digunakan
Penulis Variabel Bebas Identifikasi Variabel Terikat Hasil
Knack dan Keefer (1997) Indikator Pertumbuhan Ekonomi
Trust, Civic norm Student enrollment pada tingkat primer dan secondary Harga barang investasi
Trust dan civic cooperation memiliki dampak yang kuat pada aktivitas ekonomi
Grootaert (1999)
• Tingkat pendapatan
• Kepemilikan aset fisik dan tabungan
• Membershi : rata-rata anggota yang aktif perRT • Indeks Heterogenitas : Skala heterogenitas internal (0-
100) berdasarkan 8 kriteria • Kehadiran: rata-rata jumlah kehadiran anggota keluarga
pada pertemuan kelompok selama 3 bulan terakhir, dinormalisasi dengan jumlah anggota.
• Indeks partisipasi dalam pengambilan keputusan : Skala partisipasi aktif dalam pengambilan keputusan
• Cash contributio: jumlah fee yang dibayarkan sebagai anggota pada tiga kelompok terpenting
• Work contribution: jumlah hari kerja per tahun • Community orientation: Persentase anggota dalam
suatu organisasi dimana komunitas berasal.
Kekuatan pengaruh modal sosial hampir sama dengan human capital
Rumah tangga dengan modal sosial yang lebih tinggi memiliki kemampuan mengakumulasi aset fisik dan tabungan
Glaeser, Laibson, Sacerdote (2001)
Modal sosial diukur berdasarkan keanggotaan dalam organisasi
Umur
Tingkat mobilitas
Tingkat return to social skill
Kepemilikan rumah
Jarak
modal sosial dan umur awalnya berhubungan secara positif lalu negatif
mobilitas memperlemah modal sosial return to social skill yang lebih besar
meningkatkan investasi modal sosial pemilikan rumah meningkatkan modal
sosial jarak fisik memperlemah hubungan sosial investasi dalam human capital juga berarti
investasi dalam modal sosial modal sosial memiliki komplementaritas
interpersonal.
41
Lanjutan...
Penulis Variabel Bebas Identifikasi Independent Variables Hasil
Lyberaki dan Paraskevopoulos (2002)
Indikator pertumbuhan ekonomi
Aktivitas dan keanggotaan suatu organisasi Rasa kebangsaan Variabel komunikasi (televisi, koran, radio) Kepercayaan terhadap lembaga yang ada (politik,
pengadilan, militer, polisi) dan korupsi
Pertumbuhan di Yunani dapat dijelaskan melalui akumulasi modal sosial secara gradual
Yunani memiliki kesamaan dengan Itali Selatan dalam hal sebab akibat dari tingkat modal sosial yang rendah
Christoforou (2003) Tingkat pengangguran dan GDP (Gross Domestic Product) per-capita
Indeks individual group membership, diturunkan dari european community household panel
civic society yang lemah berimplikasi pada stok modal sosial dan trust yang rendah.
negara di Uni Eropa yang memiliki tingkat group membership rendah cenderung berkaitan dengan tingkat GDP per-capita yang rendah.
Beugelsdijk dan Schaik (2003)
• Modal sosial diukur berdasarkan rasa percaya (general trust) dan aktivitas organisasi
• Menggunakan variabel dalam penelitian Knack dan Keefer (2003) serta Putnam (1993) dan Olson (1982)
• Modal sosial yang diukur dari trust tidak berkaitan langsung dengan pertumbuhan ekonomi
• Tidak ada bukti kuat yang mendukung hubungan antara investasi, strudent enrollment dan pertumbuhan ekonomi
Brata (2004) • Akses pada lembaga perkreditan
• Jumlah keanggotaan, kehadiran, partisipasi dalam pengambilan keputusan
• Social position
• Kehadiran berpengaruh terhadap perolehan kredit formal sedangkan jumlah keanggotaan dalam organisasi pada perolehan kredit informal
Iyer, Kitson, Toh (2005)
• Modal sosial diukur dari rasa percaya dan keanggotaan dalam organisasi
• Pendidikan dan pendapatan • Mobilitas • Partisipasi dalam pasar tenaga kerja • Umur • Kepemilikan rumah
• Pendidikan, pendapatan, employment, pemilikan rumah meningkatkan modal sosial
• Modal sosial memberi peran penting bagi pertumbuhan ekonomi dan pembangunan wilayah
• Modal sosial tidak dapat berdiri sendiri, hanya berperan bila dikombinasikan dengan modal lainnya
Sumber : Disarikan oleh penulis dari berbagai pustaka, 2006