i Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan saksi dalam undang-undang tindak pidana pencucian uang di negara indonesia dan malaysia Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Memperoleh Derajad Sarjana dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Oleh : Anita Tiar Kusuma Wardhani E.0004089 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2008
99
Embed
Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan ...
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
i
Studi perbandingan tentang pengaturan pemberian perlindungan saksi
dalam undang-undang tindak pidana pencucian uang di negara indonesia
dan malaysia
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Memperoleh Derajad Sarjana dalam Ilmu Hukum
Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh :
Anita Tiar Kusuma Wardhani E.0004089
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2008
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum ( Skripsi )
STUDI PERBANDINGAN TENTANG PENGATURAN PEMBERIAN PERLINDUNGAN SAKSI
DALAM UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DI NEGARA INDONESIA DAN MALAYSIA
Disusun Oleh :
ANITA TIAR KUSUMA WARDHANI
NIM : E. 0004089
Disetujui untuk Dipertahankan
Dosen Pembimbing
BAMBANG SANTOSO, S.H., M.Hum.
NIP. 131 863 797
iii
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum ( Skripsi )
STUDI PERBANDINGAN TENTANG PENGATURAN PEMBERIAN PERLINDUNGAN SAKSI
DALAM UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DI NEGARA INDONESIA DAN MALAYSIA
Disusun Oleh : ANITA TIAR KUSUMA WARDHANI
NIM : E. 0004089
Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi)
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
pada : Hari : Selasa Tanggal : 29 April 2008
TIM PENGUJI
1. .……………………………. ( Edy Herdyanto, S.H., M.H.)
Ketua
2. .……………………………. ( Kristiyadi, S.H., M.Hum.)
Sekretaris
3. .……………………………. (Bambang Santoso, S.H., M.Hum.)
Anggota
MENGETAHUI Dekan
Mohammad Jamin, S. H., M.Hum
NIP 131 570 154
iv
MOTTO
Allah itu melihat setiap proses yang dilakukan umatnya bukan hasil. ( NN )
Keberhasilan besar dimulai dari hal-hal kecil. ( Nasihat Seorang Ibu)
Menjadi tua itu pasti, tapi menjadi dewasa itu suatu pilihan. ( Kecil )
Rasa syukur adalah berkah yang langka ( NN )
Cukup Allah SWT pelindungku di segala suasana. (NN )
Kehidupan yang baik lahir dari cinta kasih dan dipimpin pengetahuan. ( NN )
Carilah jalan yang lurus walaupun jalan itu harus kita tempuh dengn penuh derita. ( NN )
v
PERSEMBAHAN
Sebuah pemikiran yang begitu tulus dan sederhana ini penulis persembahkan kepada :
Penguasa Alam Semesta, Pencipta Pemikiran dan Ilmu Pengetahuan, serta Pelindung Setiap Makhkluk, Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang Allah SWT.
Kepada Rasul utusan Allah, tuntutan akhlak bagi manusia,
Nabi Muhammad S.A.W.
Ayah dan Mama Astuti Dharwati.
Atas cinta dan kasih yang tak pernah putus, dan senantiasa mendoakan kebaikan bagi penulis, semoga Allah SWT selalu melindungi dan menyayangi orangtuaku tercinta.
Adikku tercinta HiemmaTiar Kusuma Umbara
Yang selalu mengisi hari-hariku dengan suka maupun duka
Sahabat-sahabatku tersayang,
Atas keceriaan dan kebersamaan serta dukungan yang tak pernah putus, tak ada hari yang tak indah selama kalian di sisiku.
Some one who love me with his pure heart.
&
Civitas Akademika
Fakultas Hukum UNS
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan nikmat beserta petunjuk-Nya, sehingga penulis akhirnya
dapat menyelesaikan penulisan hukum (Skripsi) yang berjudul “STUDI
PERBANDINGAN TENTANG PENGATURAN PEMBERIAN
PERLINDUNGAN SAKSI DALAM UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA
PENCUCIAN UANG DI NEGARA INDONESIA DAN MALAYSIA”.
Penulisan Hukum ini disusun dengan tujuan untuk memenuhi syarat
memperoleh gelar sarjana (S1) pada Fakultas Hukum Sebelas Maret Surakarta.
Penulis mengakui bahwa penulisan hukum ini tidaklah mungkin selesai tanpa
dukungan dari berbagai pihak . Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin
menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Muhammad Jamin, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Bapak Edy Herdyanto, S.H., MH, selaku Ketua Bagian Hukum Acara.,
yang telah membantu menyelesaikan penulisan hukum ini sampai
penulis yang memberikan bantuan dan arahan untuk membimbing
penulis, memberikan bantuan moril kepada penulis agar dapat menjadi
sarjana yang cerdas dan pekerja keras, dan selaku pembimbing Moot
Court KOMUSEMA, yang telah mencurahkan waktu dan tenaga untuk
kelangsungan Moot Court tercinta serta yang memberi Moot Court
semangat dan harapan dalam setiap langkahnya, terima kasih banyak
untuk bapak, semoga Allah SWT selalu memberikan yang terbaik
untuk bapak, Amiin.
vii
4. Bapak Pranoto, S.H., M.H., selaku pembimbing akademik penulis
selama menuntut ilmu di Fakultas Hukum Hukum Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
5. Bapak Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta yang telah memberikan ilmu yang sangat berharga kepada
penulis selama menuntut ilmu di Fakultas Hukum Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
6. Bapak Ibu Karyawan serta staf-staf tata usaha, bagian akademik,
bagian kemahasiswaan, bagian transit, bagian keamanan Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
7. Ayah dan Mama tercinta yang telah memberikan cinta dan kasih
sayangnya kepada penulis (Terima kasih mama selalu ada di
sampingku n menjadi semangatku buat ngerjain skripsi, yang selalu
sabar n bisa membuatku tenang).
8. Hiemma , adiku yang mengajariku menjadi orang yang dewasa.
9. Eyang putri dan Kakung, makasih atas doanya, eyang cepet sembuh
ya.
10. Pan8 (Dhaning (Ciiiiillllll ayo temani aku isi babak baru setelah
moment ini.makasih selalu disampingku n mendukungku), Feri
Basaudik (cepetin digarap skripsinya ya…..fardhu ain lho!!kan biar
bisa bareng.makasih ya umi feri yang telah jadi ibu mcc.), Dila ndul
(moga bias lancer ama arif. Ho.ho..), Odie jin botol (jadilah mahasiswa
yang baik n kembali ke jalan yang benar, dijaga ya abi odie uminya..),
Ekaaaa (thank buat editannya, n semangat buat kamu), Fadliiii Boooo
(moga cepet dapat jodoh buat pw ya!!nyusul kakakmu tu!!), Mat Juned
(dengan tomatnya itu n gaya ngomongnya yang khas juned banget).
11. Keluarga besar Moot Court Community FH UNS, Mas Pethonk
(Makasih buat pinjaman bukunya, d best hakim ketua buat kami and
viii
leader di Moot Court), Mas Aan (honey bear..hee..yang paling bisa
buat suasana nyaman n senyum), Mas Boo (yang kukagumi cara bicara
n kepandaiannya), Mas Iman (orang yang paling sabar), Heru (makasih
ya selalu nemenin aku n memberi semangat saat aku hampir
menyerah), sunit (grow up adik besar, moga ngga munajat cinta lagi),
desi (rajin belajar ya!!!!!), vita, philo, agus, rekha (thank buat
metodologinya, jadi ngerti ni..ayo teruskan mcc), dhea, and semuanya
serta official-official terbaik yang selalu menemani kami setiap saat n
juga Kang Jack Surana, ayo kang tetep semangat ya dan moga-moga
cepet dapat pendamping.
12. Mas Aji, yang meluangkan waktu untuk membimbing Moot Court, dan
pemikiran-pemikirannya yang selalu jenius, heeee..terima kasih juga
atas pinjaman bukunya.
13. My Best Friend ever after from d beginning n d last : Stevani tepong
(Makasih selalu ada buat aku, yang terlalu suka senyum-senyum
sendiri, ayo pong tentukan pilihannmu n jangan buat kakak
menungggumu.: )), Amik Sudayat binti Mingtiel (yang rela nemenin
kemana aja, yang selau membuat cerita kebodohannya saat keluar kos
dan membuat kami semua tersenyum), Rika rikong (dengan gaya
khasnya yang selalu sok cool.ayo hidupkan citra kartini seperti hari
kelahiranmu..he), icha bulat-bulat di mana-mana (moga cepet insaf n
kembali ke jalan yang lurus, semoga kami bisa membimbingnya
kembali.hee, bul2), Anis, Omeng ,Khusnul (tiga trio macan yang suka
kesana sini bareng, hazoo cepet lulus ya!!amin!!), mb Novi (ayo
semangat bareng-bareng), Bos Ria, semua anak kos yang lain yang
memberika suka duka kehidupan setahun ini di Roterdam, untuk tiwi,
astrie, agatha (thank buat masukanny ya..makasih buanyaaaaaaaak ta,
yup2 ayo makan2 n kumpul lagi), Fatma, Ria and Galih (ayo kita
kumpul-kumpul lagi), Umar (hidup cah Maagelang), Alfan (teruskan
ix
perjuanganmu ya buat PMII), Widi (afwan wid ngga bisa bantu kamu),
Ajie dan semuanya yang sudah mau menjadi teman-temanku.
14. Seluruh keluarga besar Angkatan 2004.
15. Semua pihak yang telah membantu terselesaikannya penulisan hukum
ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan hukum ini masih jauh
dari sempurna baik dari segi materi maupun penulisannya. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan kritik dan saran yang menunjang bagi
kesempurnaan penulisan hukum ini.
Semoga penulisan hukum ini dapat bermanfaat bagi perkembangan
ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum pada khususnya,
sehingga tidak menjadi suatu karya yang sia-sia nantinya.
Surakarta, 21April 2008
Penulis
x
DAFTAR ISI
Halaman Judul …………………………………………………… i
Persetujuan ………………………………………………………. ii
Pengesahan ………………………………………………………. iii
Motto ……………………………………………………………... iv
Persembahan ……………………………………………………... v
Kata Pengantar ………………………………………………….... vi
Daftar Isi …………………………………………………………. x
Daftar Lampiran ………………………………………………….. xii
Abstrak …………………………………………………………… xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ………………………………… 1
B. Perumusan Masalah .……………………………………. 5
C. Tujuan Penelitian...……………………………………… 6
D. Manfaat Penelitian ……………………………………… 7
E. Metodologi Penelitian ..…………………………………. 8
F. Sistematika Penulisan …………………………………… 12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Umum Tentang Perbandingan Hukum
a. Istilah dan Definisi Perbandingan Hukum…………. 14
b. Karakteristik Sistem “Common Law” (Anglo Saxon)
dan sistem “Civil Law” (Eropa Kontinental).....……. 16
2. Tinjauan Umum Tentang Saksi
a. Pengertian Perlindungan Saksi ……………………… 23
b. Lembaga Perlindungan Saksi ….................................. 30
3. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
xi
a. Pengertian Pencucian Uang ……………………….. 30
b. Tahap-tahap Tindak Pidana Pencucian Uang............ 36
B. Kerangka Pemikiran …………………………………….. 37
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Bagaimana perbandingan pengaturan pemberian perlindungan
saksi dalam Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang
di Negara Indonesia dan Malaysia ?................................... 41
B. Bagaimanakah proyeksi ke depan pengaturan pemberian
perlindungan saksi dalam perundang-undangan di Indonesia? 80
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan …………………………………………………. 82
B. Saran ………………………………………………………… 83
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran : Malaysia Anti Money Laundering Act 613.2001
xiii
ABSTRAK
ANITA TIAR KUSUMA WARDHANI. E0004089. 2008. STUDI PERBANDINGAN TENTANG PENGATURAN PEMBERIAN PERLINDUNGAN SAKSI DALAM UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DI NEGARA INDONESIA DAN MALAYSIA. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulisan Hukum (Skripsi).
Penulisan Hukum yang berjudul Studi Perbandingan tentang Pengaturan Pemberian Perlindungan Saksi Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang di Negara Indonesia dan Malaysia bertujuan untuk mengetahui perbandingan pengaturan pemberian perlindungan saksi dalam Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang di Negara Indonesia dan Malaysia.
Penulisan Hukum ini termasuk dalam jenis penelitian hukum normatif dengan menggunakan sumber data sekunder, berupa Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang dan Anti Money Laundering Act 613. 2001. Dalam hal ini sumber data yang digunakan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan juga bahan-bahan kepustakaan lainnya. Tehnik pengumpulan data yang digunakan yaitu melalui pengumpulan data-data sekunder. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan untuk mengumpulkan dan menyusun data yang berhubungan dengan masalah yang diteliti, dengan cara menginventarisasi dan mempelajari peraturan perundang-undangan, buku-buku, tulisan-tulisan dan dokumen yang berhubungan dengan masalah yang penulis teliti. Tehnik analisis data dengan analisis isi (content).
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini yaitu bahwa pengaturan perlindungan saksi dalam Undang-Undang Pencucian Uang di Indonesia dan Malaysia adalah berbeda. Dalam hal subyek yang dilindungi (yaitu: saksi, pelapor, keluarga saksi/pelapor) serta pengaturan di Indonesia lebih luas juga dalam pelaksanaannya yang telah dibuat pengaturan perlindungan khusus dalam PP No. 57 Th. 2003 dan Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. Pol. 17 Th 2005. Perlindungan yang diberikan pada semua tahap pemeriksaan perkara, dalam bentuk perlindungan khusus dan hukum. Sedangkan di Malaysia, pelaksanaanya hanya merujuk pada ketentuan perlindungan saksi dalam Anti Money Laundering Act 613 2001. Perlindungan hanya berupa perlindungan hukum yang diberikan kepada saksi pelapor saja, sehingga dalam selama proses persidangan, seorang saksi tidak mendapat perlindungan.
Perkembangan pesat di berbagai bidang ikut membawa
pengaruh terhadap perkembangan di berbagai sektor. Salah
satu yang turut berkembang pesat adalah kejahatan. Perangkat
hukum untuk mencegah dan memberantas kejahatan itu sendiri
belum memadai dan masih tertinggal jauh, sehingga berbagai
jenis kejahatan baik yang dilakukan perseorangan, kelompok
atau korporasi dengan mudah terjadi dan menghasilkan harta
kekayaan dalam jumlah besar.
Kejahatan tersebut tidak hanya dilakukan dalam batas
wilayah suatu negara, namun meluas melintasi batas wilayah
negara lain, sehingga sering disebut sebagai kejahatan
transnasional (transnational crime), dalam kejahatan
transnasional harta kekayaan hasil dari kejahatan biasanya oleh
pelaku disembunyikan, kemudian dikeluarkan lagi seolah-olah
dari hasil legal. Hal tersebut lebih dikenal dalam dunia
internasional dengan istilah pencucian uang atau money
laundering. Pencucian uang merupakan perbuatan atau upaya
dari pelaku kejahatan untuk menyembunyikan atau
menyamarkan asal usul harta kekayaan, yang diperoleh dari
tindak pidana dengan cara memasukkan harta kekayaan hasil
kekahatan ke dalam sistem keuangan, khususnya sistem
perbankan baik di dalam atau luar negeri. Hal tersebut
bertujuan untuk menghindarkan diri dari tuntutan hukum atas
kejahatan yang telah dilakukan dan mengamankan harta
kekayaan hasil kejahtan dari sitaan para aparat hukum. Metode-
metode pencucian uang yang dilakukan dengan memanfaatkan
xv
perkembangan teknologi modern termasuk tindak kejahatan
kerah putih atau disebut white collar crime.
Bentuk kejahatan kerah putih telah dirasakan semakin
canggih serta sangat terorganisasi dengan sangat rapi. Sebagai
contoh dalam dunia ekonomi dan perbankan justru digunakan
sebagai sebagai pelarian kejahatan yang dengan sengaja
ditujukan untuk menghilangkan jejak ataupun asal-usul harta
yang dilarikan dan seakan-akan didapat dari hasil yang legal,
dan pelaku kejahatan berusaha membersihkan uang hasil
kejahatannya dengan berbagai cara yaitu salah satunya dengan
metode pencucian uang (money laundering).
Telah sama-sama diketahui bahwa dampak yang ditimbulkan
oleh pencucian uang atau money laundering yaitu dapat
mengganggu sistem keuangan serta berdampak negatif
terhadap sistem perekonomian suatu negara. Pada akhirnya
pencucian uang akan berdampak luas pada sistem sosial
bahkan dapat mengganggu stabilitas suatu negara. Mengingat
pencucian uang juga merupakan kejahatan transnasional yang
modusnya banyak dilakukan melintasi batas-batas negara
(cross border), maka dampak yang ditimbulkan dapat pula
berakibat negatif pada stabilitas sistem keuangan dan
perekonomian dunia secara keseluruhan. Di sisi lain, oleh
karena pencucian uang berkaitan dengan kejahatan asal
(predicate crime) yang dilakukan oleh organized crime, maka
perkembangan pencucian uang ini akan sangat mempengaruhi
tumbuh dan berkembangnya berbagai tindak pidana pemicu
pencucian uang seperti korupsi, perdagangan gelap narkotika,
penyelundupan, dan illegal logging serta upaya untuk
memeranginya.
xvi
Indonesia mengenal pencucian uang (money laundering)
sejak dimasukkannya Indonesia ke dalam NCCTs (Non-
Cooperatif Cauntries and Territories) oleh FATF (Financial
Action Task Force on Money Laundering) pada Juni 2001,
sebagai negara yang tidak kooperatif dalam pemberantasan
pencucian uang. Dasar pertimbangan dimasukkannya Indonesia
ke dalam daftar blacklist FATF disebabkan tidak adanya
perangkat yang kuat dan efektif dalam memerangi money
laundering yaitu belum adanya peraturan perundang-undangan
yang mengkriminalisasikan pencucian uang, loopholes dalam
pengaturan lembaga keuangan terutama lembaga keuangan
non-bank, terbatasnya sumber daya yang dimiliki, serta
minimnya kerjasama internasionl dalam upaya memberantas
pencucian uang.
Adanya tekanan internasional serta desakan IMF dan
dimasukkannya Indonesia ke dalam NCCTs List tersebut, maka
Indonesia mau tidak mau, suka atau tidak suka, akhirnya
membuat dan mengundangkan undang-undang anti-pencucian
uang, yaitu Undang-undang No.15 Tahun 2002 tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang yang kemudian diamandemen dengan
Undang-Undang No. 25 Tahun 2003. Undang-Undang tersebut
mempunyai arti penting karena memuat politik hukum nasional
yang mengkriminalisasi pencucian uang di Indonesia. Undang-
Undang juga telah melahirkan Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan (PPATK) sebagai financial intelligence unit
dalam memberantas tindak pidana pencucian uang. Dengan
adanya UU Tindak Pidana Pencucian Uang terjadi perubahan
paradigma, yaitu tidak lagi hanya mengejar pelaku kriminalnya
tetapi juga uang hasil kejahatan tersebut. Dengan penggunaan
metode yang berbeda dengan penegakan hukum secara
xvii
konvensional diharapkan dapat menurunkan tingkat kriminalitas
dan lebih memberikan kemudahan dalam penanganan
perkaranya.
Dalam proses pemeriksaan perkara pidana mengenai kasus
pencucian uang, saksi adalah salah satu kunci untuk peroleh
kebenaran materiil, yang merupakan kebenaran yang benar-
benar terjadi. Salah satu alat bukti yang sah dalam proses
peradilan pidana adalah keterangan saksi yang mendengar,
melihat, atau mengalami sendiri terjadinya suatu tindak pidana
dalam upaya mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak
pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana. Secara teori,
Pasal 184 dan 185 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) secara tegas
mengambarkan hal tersebut. Pasal 184 menempatkan
keterangan saksi di urutan pertama di atas alat bukti lain. Dapat
dikatakan bahwa keberhasilan suatu proses peradilan pidana
sangatlah tergantung pada alat bukti yang berhasil dimunculkan
dalam pengadilan, yang terutama berkenaan dengan saksi. Dari
kasus yang banyak terlihat, tidak sedikit kasus yang kandas di
tengah jalan oleh karena ketiadaan saksi untuk menopang tugas
jaksa. Dengan demikian keberadaan saksi merupakan
suatu elemen yang sangat menentukan dalam sutu proses
peradilan pidana. Namun demikian ternyata peran saksi dalam
proses peradilan pidana masih jauh dari perhatian masyarakat
dan penegak hukum. Sudah cukup sering media massa
memberitahukan adanya kasus-kasus yang tidak terungkap dan
juga tidak terselesaikan, oleh karena keengganan saksi untuk
memberikan informasi kepada pihak yang berwenang. Bahkan
sampai saat ini posisi saksi (termasuk saksi korban) dalam
proses peradilan di Indonesia hanyalah dipandang sebagai alat
xviii
yang dapat memperkuat posisi jaksa dalam persidangan.
Mereka hanya digunakan untuk melegitimasi keputusan hakim
dari keseluruhan rangkaian proses beracara di persidangan.
Saksi belum dilihat sebagai manusia yang memerlukan
perlindungan, akan tetapi justru dieksploitasi untuk mendukung
suatu keputusan yang dikatakan “adil”.
Mencermati kondisi yang tampak belum berkesuaian diatas,
kita sebenarnya sudah dapat menangkap suatu alur pikir bahwa
untuk menciptakan suatu kesaksian yang berkualitas hanya
akan dapat diperoleh jika ancaman-ancaman baik yang bersifat
fisik maupun psikis terhadap saksi (saksi pelapor, saksi biasa,
saksi ahli), kerugian-kerugian materiil dan berbagai masalah
lain yang menjadi kendala, dapat dihilangkan. Salah satu cara
yang dapat diberlakukan adalah dengan memberikan
perlindunagn kepada saksi (Bambang Santoso, 2003),
khususnya dalam hal ini adalah saksi yang berkaitan dengan
perkara tindak pidana pencucian uang. Di Indonesia memang
telah dibuat suatu undang-undang payung yang khusus
ditujukan memberikan perlindungan kepada seorang saksi dan
korban, yaitu dalan UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan
Saksi dan Korban. Sebelumnya selain dalam peraturan
perundang-undangan khusus, belum ada suatu aturan yang
mengatur perlindungan saksi. Ketentuan Pasal 50 sampai
dengan Pasal 68 KUHAP hanya mengatur perlindungan
terhadap tersangka atau terdakwa untuk mendapat
perlindungan dari berbagai kemungkinan pelanggaran hak asasi
manusia. Namun, sekarang dengan berdasar atas asas
kesamaan di depan hukum (equality before the law) yang
menjadi salah satu ciri negara hukum, saksi dan korban dalam
proses peradilan pidana harus diberi jaminan perlindungan
xix
hukum, sebagaimana tertulis dalam Undang Undang Nomor 13
Tahun 2006. Berkaitan dengan adanya perlindungan saksi
dalam tindak pidana pencucian uang juga telah diatur dalam
Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 sebagaiman diubah dengan
Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang, yang selanjutnya diatur tersendiri pada
Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2003 tentang Tata Cara
Perlindungan Khusus Bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana
Pencucian Uang.
Berdasarkan apa yang telah diuraikan di atas jelaslah bahwa
masalah perlindungan saksi dalam pemeriksaan perkara pidana
mengenai kasus pencucian uang (money laundering)
merupakan salah satu kunci agar pengungkapan kasus dapat
berjalan sebaik-baiknya. Hal demikian merupakan topik menarik
untuk dikaji lebih mendalam melalui kegiatan penelitian hukum
seperti yang penulis laksanakan saat ini.
Untuk mengkaji masalah tersebut, diperlukan bahan
perbandingan yang cukup dari Undang-Undang Tindak Pidana
Pencucian Uang dan undang-undang terkait lainnya dari negara
yang berbeda sistem hukum dengan Indonesia, yaitu negara
yang menganut sistem “Common Law (Anglo Saxon)”.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas maka
penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul:
“STUDI PERBANDINGAN TENTANG PENGATURAN PEMBERIAN
PERLINDUNGAN SAKSI DALAM UNDANG-UNDANG TINDAK
PIDANA PENCUCIAN UANG DI NEGARA INDONESIA DAN
MALAYSIA”.
B. Perumusan Masalah
xx
Perumusan masalah dalam suatu penelitian dimaksudkan
untuk mempermudah penulis dalam membatasi masalah yang
akan diteliti sehingga tujuan dan sasaran yang akan dicapai
menjadi jelas, terarah dan mendapatkan hasil seperti yang
diharapkan.
Dalam penelitian ini perumusan masalah dari masalah-
masalah yang diteliti dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana perbandingan pengaturan pemberian
perlindungan saksi dalam Undang-Undang Tindak Pidana
Pencucian Uang di Negara Indonesia dan Malaysia ?
2. Bagaimanakah proyeksi ke depan pengaturan pemberian
perlindungan saksi dalam perundang-undangan di Indonesia?
C. Tujuan Penelitian
Menyadari bahwa setiap penelitian harus mempunyai tujuan
tertentu, demikian pula penelitian ini juga mempunyai tujuan
obyektif dan subyektif sebagai berikut:
1. Tujuan Obyektif
a). Untuk mengetahui perbandingan pengaturan pemberian
perlindungan saksi dalam Undang-Undang Tindak Pidana
Pencucian Uang di Negara Indonesia dan Malaysia.
b). Untuk mengetahui proyeksi ke depan pengaturan
pemberian perlindungan saksi dalam perundang-
undangan di Indonesia.
2. Tujuan Subyektif
xxi
a). Untuk memperluas pengetahuan dan wawasan penulis di
bidang hukum serta pemahaman aspek hukum dalam teori
dan praktek dalam lapangan hukum khususnya pemberian
perlindungan saksi dalam tindak pidana pencucian uang.
b). Untuk melengkapi syarat akademis guna memperoleh
gelar kesarjanaan dalam Ilmu Hukum pada Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
c). Menerapkan ilmu dan teori-teori hukum yang telah penulis
peroleh agar dapat memberi manfaat bagi penulis sendiri
khususnya dan masyarakat pada umumnya.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a). Memberi masukan pemikiran bagi pengembangan ilmu
pengetahuan khususnya, dalam ilmu hukum pada
umumnya dan khususnya pengaturan hukum pidana yang
berkaitan dengan pemberian perlindungan saksi dalam
tindak pidana pencucian uang.
b). Hasil penelitian ini dapat menambah literatur, referensi
dan bahan-bahan informasi ilmiah mengingat perlindungan
saksi dalam Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian
Uang masih merupakan bahasan yang tergolong baru
dalam penerapan hukum di Indonesia.
2. Manfaat Praktis
a). Memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti.
xxii
b). Guna mengembangkan penalaran dan membentuk pola
pikir yang dinamis sekaligus untuk mengetahui
kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang
diperoleh.
c). Hasil penulisan ini diharapkan dapat membantu dan
memberi masukan kepada semua pihak yang
membutuhkan pengetahuan terkait masalah yang diteliti
dan dapat dipakai sebagai sarana yang efektif dan
memadai dalam upaya memulihkan kerugian negara yang
ditimbulkan akibat tindak pidana pencucian uang.
E. Metode Penelitian
Metode merupakan cara yang utama yang digunakan untuk
mencapai suatu tujuan, untuk mencapai tingkat ketelitian,
jumlah dan jenis yang dihadapi. Akan tetapi dengan
mengadakan klasifikasi yang berdasarkan pada pengalaman,
dapat ditentukan teratur dan terpikirkannya alur yang runtut
dan baik untuk mencapai suatu maksud. (Winarno Surakhmat,
1982:131 )
Penelitian adalah suatu usaha untuk menemukan,
mengembangkan, dan menguji kebenaran suatu
pengetahuan,gejala atau hipotesa, usaha mana dilakukan
dengan menggunakan metode ilmiah (Sutrisno Hadi, 1989:4).
Dengan demikian pengertian metode penelitian adalah cara
yang teratur dan terpikir secara runtut dan baik dengan
menggunakan metode ilmiah yang bertujuan untuk menemukan,
mengembangkan maupun guna menguji kebenaran maupun
ketidakbenaran dari suatu pengetahuan, gejala atau hipotesa.
xxiii
1. Jenis Penelitian
Mengacu pada judul dan perumusan masalah, maka penelitian ini
termasuk ke dalam kategori penelitian normatif atau penelitian
kepustakaan, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan
pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan
hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan-bahan tersebut disusun
secara sistematis, dikaji, kemudian ditarik suatu kesimpulan dalam
hubungannya dengan masalah yang diteliti.
Senada dengan Soerjono Soekanto bahwa penelitian hukum yang
dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka
dapat dinamakan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum
kepustakaan. Penelitian hukum normatif atau kepustakaan tersebut
mencakup:
a. Penelitian terhadap asas-asas hukum
b. Penelitian terhadap sistematik hukum
c. Perbandingan hukum
d. Sejarah hukum (Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1990:
15)
Penelitian yang di gunakan oleh penulis dalam penelitian
normatif ini adalah perbandingan hukum yang
membandingkan antara Pengaturan Pemberian Perlindungan
Saksi dalam Undang-undang tindak pidana pencucian uang di
Negara Indonesia dan Malaysia.
2. Sifat Penelitian
Penelitian hukum ini bersifat deskriptif. Penelitian
deskriptif adalah penelitian yang bertujuan menggambarkan
secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala, atau
xxiv
kelompok tertentu, atau untuk menentukan ada tidaknya
hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam
masyarakat (Amirudin dan Z. Asikin. 2004 : 25). Dalam
penelitian ini penulis menggambarkan suatu perbandingan
tentang pengaturan pemberian perlindungan saksi dalam
tindak pidana pencucian uang di Negara Indonesia dan
Malaysia.
3. Pendekatan Penelitian
Dalam menjelaskan penelitian ini penulis menggunakan
pendekatan normatif/ juridis tentang pengaturan pemberian
perlindungan saksi dalam tindak pidana pencucian uang di
Negara Indonesia dan Malaysia.
4. Jenis Data
Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian ini berupa data
sekunder, yaitu data atau informasi hasil penelaahan dokumen penelitian
serupa yang pemah dilakukan sebelumnya, bahan kepustakaan seperti
buku-buku, literatur, koran, majalah, jurnal maupun arsip-arsip yang
sesuai dengan penelitian yang akan dibahas.
Data sekunder dalam penelitian ini meliputi :
a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan yang mengikat,
terdiri dari :
1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
xxv
2) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang.
3) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2003
tentang Tata Cara Perlindungan Khusus Bagi Pelapor dan Saksi
Tindak Pidana Pencucian Uang.
4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan
Saksi dan Korban.
5) Anti Money Laundering Act 613, 2001. (Malaysia)
b. Bahan Hukum Sekunder, yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer, seperti
1) Hasil karya ilmiah para sarjana yang relevan/terkait
dalam penelitian ini
2) Hasil-hasil penelitian yang relevan/terkait dalam
penelitian ini.
c. Bahan Hukum Tersier atau penunjang, yaitu bahan yang
memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder, diantaranya :
(Soerjono Soekanto, 2001: 13).
1) Bahan dari media internet yang relevan dengan
penelitian ini;
2) Kamus Hukum (Black’s Law Dictionary).
5. Sumber Data
Sumber data merupakan tempat di mana dan ke mana data dari suatu
penelitian dapar diperoleh. Dalam penelitian ini, sumber data yang
digunakan adalah sumber data sekunder berupa dokumen publik atau
catatan-catatan resmi, yaitu dokumen peraturan perundang-undangan serta
peraturan pelaksanaan yang memuat tentang pengaturan pemberian
xxvi
perlindungan saksi pada umumnya dan khususnya dalam Tindak Pidana
Pencucian Uang. Selain sumber data yang berupa undang-undang negara
maupun peraturan pemerintah, data juga diperoleh dari makalah-makalah,
buku-buku referensi dan artikel media massa yang mengulas tentang
pengaturan pemberian perlindungan saksi dalam Tindak Pidana Pencucian
Uang di Indonesia dan Malaysia.
6. Teknik Pengumpulan Data
Sehubungan dengan jenis penelitian yang merupakan penelitian
nonnatif maka untuk memperoleh data yang mendukung, kegiatan
pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan cara pengumpulan
(dokumentasi) data-data sekunder. Teknik pengumpulan data dilakukan
dengan studi kepustakaan untuk mengumpulkan dan menyusun data yang
berhubungan dengan masalah yang diteliti.
7. Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan langkah selanjutnya untuk mengolah hasil penelitian menjadi suatu laporan. Analisis data adalah proses pengorganisasian dan pengurutan data dalam pola, kategori dan uraian dasar, sehingga akan dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data (Lexy J. Moleong, 1993 : 103).
Teknik analis data dalam penelitian ini menggunakan analisis isi (content analysis). Menurut Krippendorf, analisis isi yaitu serangkaian metode untuk menganalisa isi segala bentuk komunikasi dengan mereduksi seluruh isi komunikasi menjadi serangkaian kategori yang mewakili hal-hal yang ingin diteliti. Mengenai kegiatan analisis isi dalam penelitian ini adalah mengklasifikasi pasal-pasal dokumen sampel ke dalam kategori yang tepat. Setelah analisis data selesai, maka hasilnya akan disajikan secara deskriptif yaitu dengan jalan menuturkan dan menggambarkan apa adanya sesuai dengan permasalahan yang diteliti dan data yang diperoleh.
F. Sistematika Penulisan Hukum
xxvii
Untuk memberi gambaran secara menyeluruh mengenai sistematika penulisan hukum yang sesuai dengan aturan baru dalam penulisan hukum maka penulis menggunakan sistematika penulisan hukum. Adapun sistematika penulisan hukum ini terdiri dari empat bab yang tiap-tiap bab terbagi dalam sub-sub bagian yang dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian ini. Sistematika penulisan hukum tersebut adalah sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini diuraikan mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metodologi penelitian dan sistematika penulisan hukum.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini berisi tentang tinjauan umum tentang perbandingan hukum yang mencakup istilah dan definisi perbandinagn hukum serta karakteristik sistem “Common Law” dan sistem “Civil Law”, perlindungan saksi yang mencakup perlindungan saksi dan lembaganya, serta tindak pidana pencucian uang (money laundering).
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini penulis akan membahas dan menjawab permasalahan yang telah ditentukan sebelumnya yaitu bagaimana perbandingan pengaturan pemberian perlindungan saksi dalam Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang di Negara Indonesia dan Malaysia dan bagaimanakah proyeksi ke depan pengaturan pemberian perlindungan saksi dalam perundang-undangan di Indonesia dari hasil yang di dapat dalam perbandingan tersebut.
BAB IV PENUTUP
Dalam bab ini berisi kesimpulan dari jawaban permasalahan yang menjadi obyek penelitian dan saran-saran
DAFTAR PUSTAKA
xxviii
LAMPIRAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
B. Kerangka Teori
1. Tinjauan Umum Tentang Perbandingan Hukum
a). Istilah dan Definisi Perbandingan Hukum
Istilah perbandingan hukum, dalam bahasa asing, diterjemahkan: comparative law (bahasa Inggris), vergleihende rechstlehre (bahasa Belanda), droit comparé (bahasa Perancis). Istilah ini, dalam pendidikan tinggi hukum di Amerika Serikat, sering diterjemahkan lain, yaitu sebagai conflict law atau dialihbahasakan, menjadi hukum perselisihan, yang artinya menjadi lain bagi pendidikan hukum di Indonesia. (Romli Atmasasmita, 2000 : 6)
Istilah yang dipergunakan dalam penulisan hukum ini, adalah perbandingan hukum (pidana). Istilah ini sudah memasyarakat di kalangan teoritikus hukum di Indonesia, dan tampaknya sudah sejalan dengan istilah yang telah dipergunakan untuk hal yang sama di bidang hukum perdata, yaitu perbandingan hukum perdata. Untuk memperoleh bahan yang lebih lengkap, maka perlu dikemukakan definisi perbandingan hukum dari beberapa pakar hukum terkenal.
Rudolf B. Schlesinger dalam Romli Atmasasmita mengatakan bahwa, perbandingan hukum merupakan metode penyelidikan dengan tujuan untuk memperoleh pengetahuan yang lebih dalam tentang bahan hukum tertentu. Perbandingan hukum bukanlah perangkat peraturan dan asas-asas hukum dan bukan suatu cabang hukum,
xxix
melainkan merupakan teknik untuk menghadapi unsur hukum asing dari suatu masalah hukum. (Romli Atmasasmita, 2000 : 7)
Gutteridge dalam Romli Atmasasmita menyatakan bahwa
perbandingan hukum adalah suatu metode yaitu metode perbandingan yang dapat digunakan dalam semua cabang hukum. Gutteridge membedakan antara comparative law dan foreign law (hukum asing), pengertian istilah yang pertama untuk membandingkan dua sistem hukum atau lebih, sedangkan pengertian istilah yang kedua, adalah mempelajari hukum asing tanpa secara nyata membandingkannya dengan sistem hukum yang lain. (Winterton, dalam The Am.J.of Comp. L., 1975 : 72 di terjemahkan dalam buku Romli Atmasasmita, 2000 : 7)
Lemaire dalam Romli Atmasasmita mengemukakan, perbandingan hukum sebagai cabang ilmu pengetahuan (yang juga mempergunakan metode perbandingan) mempunyai lingkup : (isi dari) kaidah-kaidah hukum, persamaan dan perbedaannya, sebab-sebabnya dan dasar-dasar kemasyarakatannya. (Romli Atmasasmita, 2000 : 9)
Orucu dalam Romli Atmasasmita mengemukakan suatu definisi perbandingan hukum sebagai berikut :
Comparative law is legal discipline aiming at ascertaining similarities and differences and finding out relationship between various legal sistems, their essence and style, looking at comparable legal institutions and concepts and typing to determine solutions to certain problems in these sistems with a definite goal in mind, such as law reform, unification etc. (Perbandingan hukum merupakan suatu disiplin ilmu hukum yang bertujuan menemukan persamaan dan perbedaan serta menemukan pula hubungan-hubungan erat antara berbagai system-sistem hukum; melihat perbandingan lembaga-lembaga hukum konsep-konsep serta mencoba menentukan suatu penyelesaian atas masalah-masalah tertentu dalam sistem-sistem hukum dimaksud dengan tujuan seperti pembaharuan hukum, unifikasi hukum dan lain-lain). (Romli Atmasasmita, 2000 : 10)
Romli Atmasasmita yang berpendapat perbandingan hukum adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari secara sistematis
xxx
hukum (pidana) dari dua atau lebih sistem hukum dengan mempergunakan metode perbandingan. (Romli Atmasasmita, 2000 : 12)
b). Karakteristik Sistem “Common Law” (anglo saxon)
dan sistem “Civil Law”(Eropa kontinental) Di sini
penulis mengambil contoh Negara Inggris dan
Belanda, dikarenakan Inggris merupakan penganut
sistem Common Law yang murni, sendangkan
Belanda merupakan negara yang menurunkan sistem
hukum civil law yang digunakan di Indonesia.
(1) Karakteristik sistem hukum Inggris pada umumnya,
khususnya dalam hukum pidana dan acara pidana.
Pertama. Sistem hukum Inggris (Common Law Sistem) bersumber pada :
(a) Custom, merupakan sumber hukum yang tertua di
inggris. Pada abad ke 14 Custom melahirkan “common
law” dan kemudian digantikan dengan precedent.
(b) Legislation; berarti undang-undang yang dibentuk
melalui parleman dan disebut statutes.
(c) Case-law, sebagai salah satu sumber hukum Inggris
mempunyai karakteristik yang utama. Seluruh hukum
kebiasaan yang berkembang dalam masyarakat tidak
melalui Parlemen, akan tetapi dilakukan oleh para
hakim, sehingga dikenal dengan istilah ”Judge-made
law”. Setiap putusan hakim di inggris merupakan
precedent bagi hakim yang akan datang, sehingga
lahirlah doktrin Precedent sampai sekarang.
xxxi
Kedua. Sebagai konsekwensi dipergunakannya case-law dengan doktrin precedent yang merupakan ciri utama maka sistem hukum Inggris tidak sepenuhnya menganut asas legalitas.
Ketiga. Bertitik tolak dari doktrin precedent tersebut, maka kekuasaan hakim di dalam sistem hukum Common Law sangat luas dalam memberikan penafsiran terhadap suatu ketentuan yang tercantum dalam undang-undang. Bahkan hakim di Inggris diperbolehkan tidak sepenuhnya bertumpu pada ketentuan suatu undang-undang jika diyakini olehnya bahwa ketentuan tersebut tidak dapat diterapkan dalam kasus pidana yang sedang dihadapinya. Dalam hal demikian hakim dapat menjatuhkan putusannya sesuai dengan kebiasaan-kebiasaan atau melaksanakan asas precedent sepenuhnya. Dilihat dari segi kekuasaan hakim Inggris yang sangat luas dalam memberikan penafsiran tersebut, sehingga dapat membentuk hukum baru, maka nampaknya sistem hukum Common Law kurang memperhatikan kepastian hukum.
Keempat. Ajaran Kesalahan dalam sistem hukum Common Law (Inggris) dikenal melalui doktrin Mens-Rea yang dilandaskan pada maxim: “Actus non est reus nisi mens sit rea”, yang berarti: “suatu perbutan tidak mengakibatkan seseorang bersalah kecuali jika pikiran orang itu jahat”. Ajaran Mens-Rea ini dalam sistem hukum Inggris dirumuskan berbeda-beda tergantung dari kwalifikasi delik yang dilakukan seseorang. Pada sistem hukum Common Law, doktrin Mens-Rea secara klasik diartikan setiap perkara pelanggaran hukum yang dilakukan adalah disebabkan karena pada diri orang itu sudah melekat sikap batin yang jahat (evil will), dan karenanya perbuatan tersebut dianggap merupakan dosa. Lord Denning, seorang hakim terkemuka di Inggris memberikan komentar atas doktrin Mens-Rea, dengan mengatakan: “In order that an act should be punishable it must be morally blame-worthy”. Sedangkan Jerome Hall, mengatakan bahwa Means-Rea adalah “a voluntary doing of morally wrong act forbidden by penal law”.(Roeslan Saleh,1982:23 sebagaimana telah dikutip oleh Romli Atmasasmita, 2000: 37)
xxxii
Kelima. Dalam sistem Common Law (Inggris) pertanggungjawaban pidana tergantung dari ada atau tidaknya: a) actus-reus dan b) mens-rea. Namun demikian unsur “mens-rea” ini adalah merupakan unsur yang mutlak dalam pertanggungjawaban pidana dan harus ada terlebih dulu pada perbuatan tersebut sebelum dilakukan penuntutan (Roeslan Saleh,1982:28).
Keenam. Sistem hukum Inggris dan negara-negara yang menganut sistem Common Law tidak mengenal perbedaan antara Kejahatan dan Pelanggaran. Sistem Common Law membedakan tindak pidana (secara klasik) dalam: Kejahatan berat atau “felonies”, kejahatan ringan atau “misdemeanors” dan kejahatan terhadap negara atau “treason”. Setelah dikeluarkannya “Criminal Law Act” (1967) pembedaan sebagai berikut:
(a) Indictable Offences, adalah kejahatan-kejahatan berat
yang hanya dapat diadili dengan sistem Juri melalui
pengadilan yang disebut Crown Court.
(b) Summary Offences, adalah kejahatan-kejahatan kurang
berat yang hanya dapat diadili oleh suatu pengadilan
(magistrate court) tanpa dengan sistem Juri.
(c) Arrestable Offence, adalah kejahatan-kejahatan yang
diancam dengan hukuman di bawah 5 (lima) tahun
kepada seorang pelaku kejahatan yang belum pernah
melakukan kejahatan. Penangkapan terhadap pelaku
tersebut dilakukan tanpa surat perintah penangkapan.
Ketujuh. Sistem hukum acara pidana yang berlaku di negara-negara Common Law pada prinsipnya menganut “sistem Accusatoir” atau yang secara populer dikenal dengan sebutan “Advesary Sistem”. Sistem accusatoir atau Adversary sistem menempatkan tersangka dalam proses pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan di muka sidang-sidang
xxxiii
pengadilan sebagai subjek hukum yang memiliki hak (asasi) dan kepentingan yang harus dilindungi.
Kedelapan. Sistem pemidanaan yang berlaku pada umumnya negara-negara yang menganut sistem Common Law adalah bersifat kumulatif. Sistem pemidanaan tersebut memungkinkan seseorang dituntut dan dijatuhi pidana karena melakukan lebih dari satu tindak pidana. Jika kesemua tuntutan tersebut terbukti di muka sidang pengadilan maka pelaku tindak pidana tersebut dijatuhi sekaligus semua ancaman hukuman yang dikenakan kepadanya.
(2) Karakteristik Sistem Hukum Belanda pada umumnya,
khususnya dalam hukum pidana dan acara pidana
Pertama. Sistem hukum Belanda (Civil Law Sistem) bersumber pada :
(a) Undang-Undang Dasar;
(b) Undang-undang;
(c) Kebiasaan case-law;
(d) Doktrin
Peraturan perundang-undangan yang mengatur hukum pidana umum adalah sebagai berikut :
(a) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Penal Code atau
Wetboek van Strafrecht).
(b) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Code of
Crime Procedure atau Wetboek van Strafvordering).
(c) Undang-Undang tentang Susunan, organisasi, kekuasaan
dan tugas-tugas Pengadilan dan Sistem Penuntutan
(Judicial Act atau Wet op de Rechterlijke Organisatie).
Kedua. Dari sistem hukum Belanda (Civil Law Sistem) adalah dianutnya asas legalitas atau “the principles of legality”. Asas ini mengandung makna sebagi berikut:
xxxiv
(a) Tiada suatu perbuatan merupakan suatu tindak pidana,
kecuali telah ditentukan dalam undang-undang terlebih
dahulu. Undang-undang dimaksud adalah hasil dari
perundingan Pemerintah Parlemen.
(b) Ketentuan undang-undang harus ditafsirkan secara
harfiah dan pengadilan tidak diperkenankan memberikan
suatu penafsiran analogis untuk menetapkan suatu
perbuatan sebagai tindak pidana.
(c) Ketentuan undang-undang tidak berlaku surut.
(d) Menetapkan bahwa hanya pidana yang tercantum secara
jelas dalam undang-undang yang boleh dijatuhkan.
Dalam praktik penyelesaian perkara pidana di negeri belanda prinsip legalitas dan penafsiran yang diperbolehkan dari prinsip tersebut diserahkan sepenuhnya kepada para pelaksana / praktisi hukum, seperti, jaksa dan hakim. Mengingat penafsiran yang bersifat kaku terhadap ketentuan undang-undang menurut asas legalitas ini, maka peranan putusan Mahkamah Agung menjadi lebih penting. (Romli Atmasasmita, 2000 : 48)
Ketiga. Dianutnya asas legalitas sebagaimana diuraikan dalam butir kedua diatas, sangat berpengaruh terhadap soal pertanggungjawaban pidana (criminal liability atau strafbaarheid). Syarat umum bagi adanya pertanggungjawaban pidana menurut hukum pidana Belanda adalah adanya gabungan antara perbuatan yang dilarang dan pelaku yang diancam dengan pidana. Perbuatan pelanggaran hukum dari pelaku harus memenuhi syarat sebagai berikut :
(a) Bahwa perbuatan tersebut (berbuat atau tidak berbuat)
dilakukan seseorang.
(b) Diatur dalam ketentuan undang-undang termasuk lingkup
definisi pelanggaran.
(c) Bersifat melawan hukum.
xxxv
Ketiga syarat bagi adanya suatu pertanggungjawaban pidana tersebut di atas sesungguhnya merupakan suatu konstruksi gabungan dari syarat-syarat adanya sifat pertanggungjawaban pidana dan kekecualian-kekecualian dari pertanggungjawaban pidana. Dalam soal pertanggungjawaban pidana sistem hukum pidana Belanda (Civil Law) menganut asas kesalahan pada perbuatannya (dodex-strafrecht).
Keempat. Dianutnya asas legalitas dalam sistem hukum pidana Belanda mengakibatkan keterikatn hakim terhadap isi ketentuan undang-undang dalam menyelesaikan perkara pidana. Hakim tidak diperbolehkan memperluas penafsiran terhadap isi ketentuan undang-undang sedemikian rupa sehingga dapat membentuk delik-delik baru.
Kelima. Sistem hukum pidana belanda mengenal pembedaan antara Kejahatan (Misdrijven) dan Pelanggaran (Overtredingen). Pembedaan antara kejahatan dan pelanggaran tersebut semula didasarkan atas pertimbangan tentang adanya pengertian istilah “rechtedelict” dan ”wetdelict”; namun perbedaan tersebut tidak dianut lagi dalam doktrin. Perbedaan kejahatan dan pelanggaran dewasa ini didasarkan atas ancaman hukumannya; kejahatan memperoleh ancaman hukum yang lebih berat dari pelanggaran.
Keenam. Sistem peradilan yang dianut di semua negara yang berlandaskan “Civil Law Sistem” pada umumnya adalah sistem Inquisatoir. Sistem Inquisatoir menempatkan tersangka sebagai objek pemeriksaan baik pada tahap pemeriksaan pendahuluan maupun pada tahap pemeriksaan di muka sidang pengadilan.
Ketujuh. Sistem pemidanaan yang dianut pada umumnya di negara-negara yang berlandaskan civil Law Sistem adalah sistem pemidanaan Alternatif dan Alternatif-kumulatif, dengan batas minimum dan maksimum ancaman pidana yang diperkenankan menurut Undang-Undang.
xxxvi
Sesungguhnya apabila kita telusuri karakteristik yang melekat pada kedua sistem hukum sebagaimana telah diuraikan di atas, pendekatan dari segi historis, khususnya mengenai perkembangan hukum pidana di Eropa Continental yang menganut sistem “Civil Law” lebih menonjol dan lebih menampakkan dirinya keluar dari batas wilayah yuridiksi sistem “Common Law”. Perkembangan penerapan sistem “Civil Law” di negara dunia ketiga pada awalnya dipaksakan jika dibandingkan dengan penerapan penggunaan sistem “Common Law” di negara-negara bekas jajahan-jajahannya. Sebagai contoh penggunaan dan pemakaian sistem hukum Belanda di Indonesia dan sestem hukum Inggris dan Malaysia atau Singapura. Satu-satunya karakteristik yang sama antara kedua sistem hukum (legal sistem) tersebut adalah bahwa keduanya menganut falsafah dan doktrin liberalisme. (Romli Atmasasmita, 2000 :50)
2. Tinjauan Umum Tentang Saksi
a. Pengertian Perlindungan Saksi
Selain dalam peraturan perundang-undangan
khusus, belum ada suatu aturan yang mengatur
terhadap perlindungan saksi. Ketentuan Pasal 50
sampai dengan Pasal 68 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana hanya
mengatur perlindungan terhadap tersangka atau
terdakwa untuk mendapat perlindungan dari berbagai
kemungkinan pelanggaran hak asasi manusia.
Namun, sekarang dengan berdasar atas asas
kesamaan di depan hukum (equality before the law)
yang menjadi salah satu ciri negara hukum, saksi dan
korban dalam proses peradilan pidana harus diberi
jaminan perlindungan hukum, yang tertulis dalam
Undang Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban.
xxxvii
Hingga saat ini pengaturan mengenai saksi
sebagai berikut:
1). KUHP (UU No.1 Tahun 1946)
Sebagai produk hukum yang mengatur
mengenai pidana materiil, di dalam KUHP tidak
banyak ditemui pengaturan mengenai
perlindungan terhadap saksi. Dalam hal ini hanya
terdapat dua pasal yang mengatur mengenai
kewajiban seorang saksi dalam proses
persidangan pidana, yaitu:
a). Pasal 234: Barang siapa yang dipanggil
menurut undang-undang akan menjadi saksi,
ahli atau juru bahasa, dengan sengaja tidak
memenuhi suatu kewajiban yang sepanjang
undang-undang harus dipenuhi dalma jabatan
tersebut, dihukum: 1.dalam perkara pidana
dengan hukuman penjara selama-lamanya
sembilan bulan. 2.dalam perkara lain, dengan
hukuman penjara selama-lamanya enam bulan.
b). Pasal 522: Barang siapa dengan melawan hak
tidak datang sesudah dipanggil menurut
undang-undang untuk menjadi saksi, ahli atau
juru bahasa, dihukum dengan denda paling
banyak enam puluh rupiah.
Dalam KUHP sama sekali tidak diatur hak-hak
yang dimiliki oleh seorang saksi, sedangkan di lain
sisi saksi tersebut dibebani kewajiban untuk
memberikan kesaksiannya terhadap suatu tindak
xxxviii
pidana. Dengan kata lain, karena tidak diaturnya
hak-hak saksi dalam KUHP dan yang diatur justru
mengenai ketentuan-ketentuan yang mewajibkan
seorang saksi untuk memenuhi ketentuan
perundang-undangan, hal ini sebenarnya
melemahkan posisi saksi itu sendiri.
2). KUHAP (UU No.8 Tahun 1981)
a). Subyek yang Dilindungi
KUHAP tidak secara jelas mengatur
mengenai perlindungan saksi. Namun secara
implisit sebagi subyek yang dilindungi dalam
KUHAP adalah saksi, yang dalam hal ini
mencakup saksi biasa, saksi korban dan saksi
ahli. Yang dimaksud saksi menurut pasal 1
angka 26 KUHAP adalah “orang yang dapat
memberikan keterangan guna kepentingan
penyidikan, penuntutan dan peradialn tentang
suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia
lihat sendiri dan ia alami sendiri”.
b). Hak dan Alternatif Perlakuan Bagi Saksi
Secara implisit dapat kita temukan dalam
beberapa pasal KUHAP yang mengatur
bagaimana perlindungan hukum bagi saksi
diberikan, antara lain :
(1) Pasal 117 ayat (1) : Keterangan tersangka
dan atau saksi kepada penyiudik diberikan
xxxix
tanpa tekanan dari siapapun, dan atau
dalam bentuk apapun.
(2) Pasal 118 : keterangan tersangka dan atau
saksi dicatat dalam berita acara ynag
ditandatangani oleh penyidik, oleh yang
memberikan keterangan itu setealh mereka
menyetujui.
(3) Pasal 166 : Pertanyaan yang bersifat
menjerat tidak boleh dianjurkan kepada
terdawa maupun kepada saksi.
(4) Pasal 173 : Hakim ketua sidang dapat
mendengar keterangna saksi mengenai hal
tertentu tanpa hadirnya terdakwa, untuk itu
ia minta terdakwa keluar dari sidang akan
tetapi sesudah itu pemeriksaaan perkara
tidak boleh diteruskan sebelum kepada
terdakwa diberitahukan semua hal pad
awaktu ia tidak hadir.
Penjelasan Pasal 173:
Apabila menurut pendapat hakim
seorang saksi itu akan merasa tertekan atau
tidak bebas dalam memberikan keterangan
apabila terdakwa hadir di sidang, maka
untuk menjaga hal nag tidak diinginkan
hakim dapat menyuruh terdakwa keluar
untuk sementara dari persidangan selama
hakim mengajukan pertanyaan kepada
saksi.
xl
(5) Pasal 177 (1) : jika terdakwa atau saksi tidak
paham bahsa Indonesia, hakim ketua sidang
menunjuk seorang juru bahasa yang
bersumpah atau berjanji akan
menterjemahkan dengan benar semua yang
harus diterjemahkan
(6) Pasal 178 (1) : Jika terdakwa atau saksi bisu
atau tuli serta tidak dapat membaca dan
menulis, hakim ketua sidang mengangkat
penerjemah orang yang pandai bergaul
dengan terdakwa atau saksi itu.
(7) Pasal 178 (2) : Jika terdakwa atau saksi bisu
atau tuli tetapi dapat menulis, hakim ketua
sidang menyampaikan semua pertanyaan
atau teguran kepadanay secara tertulis dan
kepada terdakwa atau saksi tersebut
diperintahkan untuk menulis jawabannay
dan selanjutnya semua pertanyaan serta
jawaban harus dibacakan.
(8) Pasal 227 (1) : Semua jenis pemberitahuan
atua pangilan oleh pihak yang berwenang
dalam semua tingkat pemeriksaan kepada
terdakwa, saksi atau ahli disampaikan
selambat-lambatnya tiga hari sebelum
tanggal hadir yang ditentukan di tempat
tinggal mereka atau di tempat kediaman
mereka terakhir.
(9) Pasal 229 (1) : Saksi atau ahli ynag telah
hadir memenuhi panggilan dalam rangka
memberikan keterangan di semua tingkat
pemeriksaan berhak mendapat penggantian
xli
biaya menurut aturan perundang-undangan
yang berlaku.
Adakalanya seorang saksi juga merupakan
korban dalam suatu tindak pidana, sehingga
selain hak-hak tersebut diatas, seorang saksi
juga berhak meminta ganti kerugian. Kapasitas
saksi dalam hal ini adalah sebagai saksi korban,
yaitu seorang korban dari suatu tindak pidana
yang juga melakukan kesaksian. Mengenai hal
ini diatur dalam pasal 98 ayat (1), yaitu: “Jika
suatu tindak pidana yang menjadi dasar
dakwaan di dalam suatu pemeriksaan perkara
pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan
kerugian bagi orang lain maka hakim ketua
sidang atas permintaan orang itu dapat
menetapkan untuk menggabungkan perkara
gugatan kerugian kepada perkara pidana itu ”.
Dalam penjelasan pasal 98 tersebut
disebutkan bahwa “kerugian bagi orang lain”
termasuk kerugian bagi korban. Maka jika
seorang saksi juga sekaligus menjadi korban, di
dapat meminta ganti kerugian dengan cara
menggabungkan gugatan ganti kerugian
kepada perkara pidana yang bersangkutan.
Disamping Pasal 98 diatas, dapat juga dilihat
pada Pasal 81 KUHAP mengenai praperadilan,
yaitu: “Permintaan ganti kerugian dan atau
rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan
atau penahanan atau akibat sahnya
xlii
penghentian penyidikan atau penuntutan
diajukan oleh tersangka atau pihak ketiga ynag
berkepentingan kepada Ketua Penngadilan
Negeri dengan menyebut alasannya”. Kapasitas
saksi disini juga merupakan saksi korban,
dalam hal ini seorang korban dapat merupakan
pihak ketiga yang mempunyai kepentingan jika
sebuah perkara dihentikan.
c). Kewajiban Saksi
Seorang saksi tidak hanya memiliki hak-hak
saja, namun juga terdapat beberapa kewajiban
seperti yang diatur dalam pasal 159 ayat (2),
161 dan 174 KUHAP sebagai berikut:
(1) Pasal 159 ayat (2): “Dalam hal saksi tidak
hadir, meskipun telah dipanggil dengan sah
dan hakim ketua sidang mempunyai cukup
alasan untuk menyangka bahwa saksi itu
tidak mau akan hadir, maka hakim ketua
sidang dapat memerintahkan supaya saksi
tersebut dihadapkan ke persidangan”.
(2) Pasal 161 ayat (1): “Dalam hal saksi atau ahli
tanpa alasan yang sah menolak untuk
bersumpah atua berjanji sebgaiman
adimaksud dalma pasal 160 ayat (3) dan (4),
maka pemeriksaan terhadapnya tetap
dilakukan, sedang ia dengan surat
penetapan hakim ketua sidang dapat
dikenakan sandera di tempat tahanan
negara paling lama empat belas hari”.
xliii
(3) Pasal 174 ayat (2): “Apabila saksi tetap pada
keterangannya itu, hakim ketua sidang
karena jabatannya atau perminaan jaksa
penuntut umum atau terdakwa dapat
memberi perintah supaya saksi itu ditahan
untuk selanjutnya dituntut perkara dengan
dakwaan sumpah palsu”.
3). UU No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi
dan Korban.
Menurut ketentuan Pasal 1 Ketentuan Umum
Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban, perlindungan
adalah segala upaya pemenuhan hak dan
pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman
kepada Saksi dan/atau Korban yang wajib
dilaksanakan oleh Lembaga Perlindungan Saksi
dan Korban (LPSK) atau lembaga lainnya sesuai
dengan ketentuan Undang-Undang ini.
Perlindungan kepada Saksi dan Korban diberikan
dalam semua tahap proses peradilan pidana dalam
lingkungan peradilan, dari awal penyelidikan
sampai penyelidikan itu berakhir sesuai dengan
ketentuan sebagaimana diatur dalam undang-
undang ini.
Hak saksi diatur dalam ketentuan pasal 5 yaitu:
(1) memperoleh perlindungan atas keamanan
pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta
bebas dari ancaman yang berkenaan dengan
xliv
kesaksian yang akan, sedang atau telah
diberikannya; yang diberikan dalam kasus-
kasus tertentu sesuai dengan keputusan
LPSK.
(2) ikut serta dalam proses memilih dan
menentukan bentuk perlindungan dan
dukungan keamanan;
(3) memberikan keterangan tanpa tekanan;
(4) mendapat penerjemah;
(5) bebas dari pertanyaan yang menjerat;
(6) mendapatkan informasi mengenai
perkembangan kasus;
(7) mendapatkan informasi mengenai putusan
pengadilan;
(8) mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;
(9) mendapat identitas baru;
(10) mendapatkan tempat kediaman baru;
(11) memperoleh penggantian biaya transportasi
sesuai dengan kebutuhan;
(12) mendapat nasihat hukum; dan/atau
(13) memperoleh bantuan biaya hidup sementara
sampai batas waktu perlindungan berakhir.
b. Lembaga Perlindungan Saksi
Pengaturan mengenai Lembaga perlindungan
saksi telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban,
yaitu pada ketentuan BAB III Pasal 11 s.d. Pasal 27.
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, yang
selanjutnya disingkat LPSK, adalah lembaga yang
xlv
bertugas dan berwenang untuk memberikan
perlindungan dan hak-hak lain kepada Saksi dan/atau
Korban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
ini. Sampai sekarang pembentukan LPSK terlihat
sangatlah lambat dan baru mencapai tahap seleksi
calon anggota LPSK.
3. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
a. Pengertian Pencucian Uang
Sebenarnya tidak ada definisi yang universal dan
komprehensif mengenai pencucian uang. Pihak
penuntut dan lembaga penyidik kejahatan, kalangan
perusahaan dan pengusaha, negara maju ataupun
berkembang, atau negara negara dunia ketiga
masing masing mempunyai definisi atau pengertian
tersendiri berdasarkan pemikiran, prioritas, dan
perspektif yang berbeda. Definisi untuk tujuan
penuntutan lebih sempit dibandingkan dengan definisi
untuk tujuan penyidikan. Dalam hal ini,
a). Welling dalam Sutan Remy Sjahdeini
mengemukakan bahwa,
Money laundering is the process by which one conceals the existence, illegal source, or illegal application of income, and than disguises that income to make it appear legitimate (Pencucian Uang adalah suatu proses di mana. seseorang menyembunyikan keberadaan dari sumber yang tidak sah, atau mengubah uang yang tidak sah tersebut dengan menjadikannya seolah-olah uang tersebut berasal dari pendapatan yang sah). (Sutan Remy Sjahdeini, 2004: 2)
xlvi
b). Fraser dalam Sutan Remy Sjahdeini
mengemukakan bahwa,
Money Laundering is quite simply the process through which dirty money (proceed of crime), is washed through dean or legitimate sources and interprices so that the bad guys may more safety enjoy their ill'golten gains (Pencucian Uang adalah suatu proses di mana seseorang menyembunyikan atau menyimpan uang yang kotor (berasal dari kejahatan) kemudian dicuci menjadi bersih, atau dalam hal ini menjadikan atau merubah sumber yang tidak sah menjadi bersih atau sah, sehingga mereka bisa menikmati keuntungan yang mereka peroleh dari itu). (Sutan Remy Sjahdeini, 2004: 2)
c). Dalam Statement on prevention of criminals use of
the banking sistem for the purpose of money
laundering yang dikeluarkan oleh Bassle
Committee dalam Sutan Remy Sjahdeini, tidak
memberikan definisi akan tetapi menjelaskan
mengenai apa yang dimaksud dengan pencucian
uang dengan memberikan contoh perbuatan yang
tergolong pencucian uang. Dikemukakan dalam
statement Criminal and their associates use the
financial sistem to make payment and transfer of
funds from one account to another, to hide the
source and beneficial ownership of money and to
provide storage for bank notes through a safe
deposite facility. This activities are commenly
reffered to as money laundering (Para pelaku
kejahatan pencucian uang beserta kelompoknya
menggunakan sistem keuangan untuk
memindahkan atau melakukan transaksi uang dari
satu pihak kepada pihak lainnya, guna
menyembunvikan sumber ataupun kepemilikan
xlvii
uang tersebut menggunakan fasilitas deposito,
aktivitas tersebutlah yang dinamakan sebagai
kegiatan pencucian uang). (Sutan Remy Sjahdeini,
2004: 4)
d). Departemen Kehakiman Kanada dalam Sutan
Remy Sjahdeini menyatakan
Money laundering is the conversion of transfer of property knowing that such property is derived from criminal activity for the purpose of concealing the illicit nature and origin of the property from govemment authorities (Pencucian Uang merupakan suatu kegiatan berupa upaya perpindahan ataupun perputaran uang atau harta di mana diketahui harta tersebut diperoleh dari tindak kejahatan, baik dengan cara merahasiakan sumber asal usul uang tersebut oleh pejabat negara). (Sutan Remy Sjahdeini, 2004: 4)
e). Sedangkan Konvensi Perserikatan Bangsa bangsa,
The United Nation Convention Against Illicit Trafic
in Narcotics, Drugs, and Psychotropic Substances
of 1988 yang kemudian diratifikasi di Indonesia
dengan UU No.7 Tahun 1997, mengartikan tindak
pidana pencucian uang sebagai The convention or
transfer of property, knowing that such property is
derived from any serious offence or offences, or
from act of perticipation in such offence or
offences, for the purpose of concealing or
disguising the illicit of the property or of assisting
any person who is involved in the commission of
such and offence or offences to evade the legal
consequences of his action, or the concealment or
disguise of the true neture, source, location,
xlviii
disposition, movement, right with respect to or
ownership of property, knowing that such property
is derived from a serious (indictable) offence or
offences or from an act of participation in such an
offence or offences (Pencucian Uang adalah suatu
proses penyerahan maupun perpindahan harta
kekayaan, di mana diketahui bahwa harta
kekayaan tersebut didapatkan dari tindak
kejahatan atau dalam hal ini diperoleh dari
keikutsertaan dalam tindak kejahatan tersebut,
dengan tujuan untuk merahasiakan atau
menyembunyikan baik sumber ataupun
pihak pihak yang terlibat dari adanya konsekuensi
atas undang undang atas tindakannya itu, maupun
dengan cara penyamaran dari sumber aslinya,
asal usul, dengan penempatan, pergerakan yang
berkenaan dengan harta kekayaan tersebut,
dengan diketahui sebelumnya bahwa harta
kekayaan tersebut diperoleh dari tindak kejahatan,
maupun keikutsertaan dalam tindak kejahatan
tersebut).
f). Financial Action Task Force on Money Laundering
atau FATF yang dibentuk oleh G 7 Summit di Paris
tahun 1982 juga tidak memberikan definisi
mengenai pencucian uang, akan tetapi
memberikan uraian mengenai pencucian uang
sebagai : The goal of the large number of criminal
act is to generate ofprofilfor the individual or group
that carries out the act. Money Laundering is the
processing. of this criminals proceeds to disguise
xlix
their illegal origin. This process is of critical
importance, as it enables that criminals to enjoy
this profits whitout the joepardissing their course.
Illegal arm sales, smugling, and the activities of
organized crime induding for example drug
traficking and prostitution rings can generate huge
sums. Embezlement, insider trading, bribery, and
computer fraud schems can also produce large
profits and create the intensive to legitimise the
ill'gotten through money laundering (Pencucian
Uang adalah suatu proses yang merupakan
perbuatan atau aktivitas menyembunyikan atau
merahasiakan, atau menyimpan hasil dari
sebagian besar tindak kejahatan, dengan
menyembunyikan sumber ataupun asal usul uang
kotor atau tidak sah, adanya perdagangan gelap,
penyelundupan, ataupun tindak kejahatan
terorganisasi lainnya seperti halnya penjualan dan
peredaran narkoba, jaringan prostitusi, sehingga
memang dapat menghasilkan sejumlah uang yang
sangat besar dari kegiatan tersebut).
g). Sutan Remy Sjahdeini mengemukakan bahwa,
When a criminals activity generate substancial profits, the individuals or groups involved must find away to control the fund whitout attracting attention to the underlaying activity or the persons involved Criminals do this by disguising the source, changing the form, or moving the funds to a place where they are les fikely to attract attention (Ketika aktivitas ataupun tindak kejahatan tersebut menghasilkan sebuah keuntungan, baik secara individu maupun kolektif terlibat ternyata keberadaannya tidak dapat terdeteksi. Tindak
l
kejahatan pencucian uang dapat dilakukan dengan berbagai macam metode antara lain dengan menyembunyikan sumber, merubah format, maupun dengan cara memutar dana atau uang kotor tersebut dari suatu tempat ke tempat yang lain sehingga tidak dapat terdeteksi). (Sutan Remy Sjahdeini, 2004: 3)
h). Menurut Black’s Law Dictionary, Money
Laundering is term used to describe invesement or
other transfer of money flowing from racketeering,
drug transaction and other illegal sources into
legitimate channels so that its originals source can
not be traced (Pencucian Uang adalah istilah yang
digunakan dalam menjelaskan aktivitas, dalam hal
menguraikan atau memindahkan asal usul yang
tidak sah menjadi seolah olah sah, sehingga
sumber asalnya tidak dapat diusut ataupun
dideteksi).
i). Hal demikian berbeda dengan Undang undang
Pencucian Uang Malaysia atau Anti Money
Laundering Act of 2001, yang menyebutkan bahwa
money laundering means the act of a person who :
(1) engages, directly or indirectly, in a transaction that involves proceeds of any unlawful activity;
(2) acquires, receives, possesses, disguises, transfers, converts, exchanges, carries, disposes, uses, removes from or brings into Malaysia proceeds of any unlawful activity; or
(3) conceals, disguises or impedes the establishment of the true nature, origin, location, movement, disposition, title of, rights with respect to, or ownership of, proceeds of any unlawful activity;
li
(Pencucian Uang adalah perbuatan seseorang yang :
(1) melakukan/terlibat (langsung/tidak) dalam suatu transaksi harta kekayaan yang berasal dari perbutan melawan hukum
(2) Memperoleh, menerima, memiliki, menyemnyikan, mentransfer, mengubah, menukar, membawa, menyimpan, menggunakan, memindahkan dari atau membawa ke Malaysia, harta kekayaan yang berasal dari perbuatan yang melawan hukum
(3) Menyembunyikan, menyamarkan atau merintangi penentuan asal usul, tempat, penyaluran, penempatan, hak-hak yang terkait dengan atau kepemilikan dari harta kekayaan yang berasal dari perbuatan yang melawan hukum).
j). Kemudian dalam Pasal 1 Undang Undang No. 25
Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Undang
Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang, definisi pencucian uang adalah
perbuatan menempatkan, mentransfer,
membayarkan, membelanjakan, menghibahkan,
menyumbangkan, menitipkan, membawa keluar
negeri, atau perbuatan lainnya atas harta
kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga
merupakan hasil tindak pidana dengan maksud
untuk menyembunyikan, mengaburkan, atau
menyamarkan asal usul harta kekayaan sehingga
seolah olah menjadi harta kekayaan yang sah.
k). Menurut Johnny Ibrahim,
money laundering adalah suatu proses untuk melegitimasi sejumlah uang yang diperoleh dari sumber-sumber yang tidak sah. Dengan kata lain adalah suatu proses perubahan uang tunai yang
lii
diperoleh dari hasil kegiatan yang tidak sah menjadi suatu bentuk atau sarana yang dapat digunakan dalam perdagangan ketika asal usul dana tersebut tidak lagi diketahui. Agar asal-usulnya tidak mudah dilacak, uang hasil kejahatan tersebut dicuci antara lain melalui perbankan sehingga uang tersebut menjadi halal. (Johnny Ibrahim, 2005: 388)
Sehingga dari beberapa definisi tersebut di atas
bahwa yang dimaksud sebagai pencucian uang dapat
disimpulkan sebagai berikut:
Pencucian uang adalah rangkaian kegiatan yang merupakan proses yang dilakukan oleh seseorang atau organisasi terhadap uang yang berasal dari kegiatan dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul uang tersebut dari pemerintah atau otoritas yang berwenang melakukan penindakan terhadap tindak pidana dengan cara memasukkan uang tersebut kedalam sistem keuangan sehingga uang tersebut kemudian dapat dikeluarkan dari sistem keuangan itu sebagai uang yang halal.(N.H.T Siahaan, 2005: 6-7)
b. Tahap-tahap Tindak Pidana Pencucian Uang
Sebenamya tidak mudah untuk membuktikan
adanya suatu tindakan pencucian uang yang sangat
kompleks, namun para pakar telah berhasil
menggolongkan proses pencucian uang menjadi tiga
tahap, yaitu:
1) Placement, yakni dengan mengubah uang tunai hasil
kejahatan menjadi aset yang legal, dimana ini merupakan
suatu tahapan atau proses menempatkan uang hasil kejahatan
kedalam sistem keuangan. Dalam tahapan ini perbuatan yang
dilakukan berupa pergerakan fisik dari uang tunai dengan
liii
maksud untuk mengaburkan atau memisahkan sejauh
mungkin uang hasil kejahatan dari sumber perolehannya.
2) Layering, yaitu suatu proses yang dilakukan para pelaku
kejahatan setelah uang hasil kejahatan itu masuk kedalam
sistem keuangan (bank) dengan cara melakukan transaksi
lebih lanjut dengan maksud untuk menutupi asal usul uang.
Proses ini juga dapat berupa penggunaan uang baik di dalam
negeri ataupun di negeri manapun di luar negeri melalui
electronic funds transfer.
3) Integration, yakni pelaku menggunakan uang hasil kejahatan
tersebut untuk kegiatan ekonomi yang sah karena merasa
aman bahwa kegiatan yang dilakukannya seolah tanpa
berhubungan dengan aktivitas ilegal sebelumnya.
C. Kerangka Pemikiran
Berdasarkan proposisi-proposisi yang disusun dalam kerangka teoritik tinjauan pustaka diatas, dalam hubungannya dengan masalah pokok yang dikaji dalam penelitian ini, dapat disusun bagan kerangka pikir sebagai
liv
Gambar kerangka pemikiran
Tindak Pidana Pencucian Uang
(Money Laundering)
Upaya pencegahan
Pengaturan Perlindungan Saksi
Common Law (Malaysia)
Civil Law (Indonesia)
Kejahatan kerah putih
(white Collar Crime)
Kejahatan (crime)
Kemajuan Iptek
Pelaksanaan UU Tindak Pidana Pencucian Uang
Transnasional crimes
Anti Money Laundering Act 613, 2001
UU No. 13 Th. 2006 Perlindungan Saksi
dan Korban
UU No.15 Th. 2002 sebagaimana dirubah dengan UU No.25 Th.2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
lv
Perkembangan pesat berbagai bidang yaitu antara lain kemajuan teknologi, komunikasi, informatika, transportasi, membawa pengaruh terhadap perkembangan di berbagai sektor, serta salah satu yang turut berkembang pesat adalah kriminalitas hukum, namun perangkat hukum untuk mencegah dan memberantas kriminalitas itu sendiri belum memadai dan masih tertinggal jauh, sehingga berbagai jenis kejahatan dengan mudah terjadi dan menghasilkan harta kekayaan dalam jumlah besar. Kejahatan-kejahatan tersebut tidak hanya dilakukan dalam batas wilayah suatu negara, namun meluas melintasi batas wilayah negara lain sehingga sering disebut sebagai kejahatan transnasional (transnational crime), dalam kejahatan transnasional harta kekayaan hasil dari kejahatan biasanya oleh pelaku disembunyikan, kemudian dikeluarkan lagi seolah-olah dari hasil legal. Hal tersebut lebih dikenal dalam dunia internasional dengan istilah pencucian uang atau money laundering. Metode-metode pencucian uang yang dilakukan dengan memanfaatkan perkembangan teknologi termasuk tindak kejahatan kerah putih atau disebut White collar crime.
Bentuk kejahatan kerah putih telah dirasakan semakin canggih serta sangat terorganisasi dengan sangat rapi. Sebagai contoh dalam dunia ekonomi dan perbankan justru digunakan sebagai sebagai pelarian kejahatan yang dengan sengaja ditujukan untuk menghilangkan jejak ataupun asal-usul harta yang dilarikan dan seakan-akan didapat dari hasil yang legal, yang salah satunya dengan metode pencucian uang.
Mengingat pencucian uang juga merupakan kejahatan
transnasional yang modusnya banyak dilakukan melintasi
batas-batas negara (cross border), maka dampak yang
ditimbulkan dapat pula berakibat negatif pada stabilitas
sistem keuangan dan perekonomian dunia secara
keseluruhan. Di sisi lain, oleh karena pencucian uang
berkaitan dengan kejahatan asal (predicate crime) yang
dilakukan oleh organized crime, maka berkembang
pencucian uang ini akan sangat mempengaruhi tumbuh dan
berkembangnya berbagai tindak pidana pemicu pencucian
uang seperti korupsi, perdagangan gelap narkotika,
lvi
penyelundupan, dan illegal logging serta upaya untuk
memeranginya.
Pentingnya implementasi Undang-Undang No. 15 Tahun
2002 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 25
Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
bertujuan agar berbagai predicate crime yang merupakan
sumber uang haram yang dicuci dalam proses pencucian
uang ikut dapat diberantas atau dikurangi.
Pengkriminalisasian pencucian uang merupakan upaya
Indonesia untuk membangun rezim anti-pencucian uang
yang efektif. Adanya UU TPPU terjadi perubahan
paradigma, yaitu tidak lagi hanya mengejar pelaku
kriminalnya tetapi juga uang hasil kejahatan tersebut,
dengan demikian diharapkan dapat menurunkan tingkat
kriminalitas.
Di dalam Undang-Undang No.25 Tahun 2003 di Indonesia juga diatur mengenai perlindungan saksi khusus pada tindak pidana pencucian uang. Hal itu kemudian diatur lagi dalam aturan pelaksanaan, yaitu PP No. 57 Tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan Khusus bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana Pencucian Uang. Payung Hukum perlindungan saksi baru diatur dalam Undang Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Masalah perlindungan saksi dalam pemeriksaan perkara pidana mengenai kasus pencucian uang merupakan salah satu kunci agar pengungkapan kasus dapat berjalan sebaik-baiknya.
Untuk mengkaji masalah tersebut, diperlukan bahan
perbandingan yang cukup dari Undang-Undang Tindak
Pidana Pencucian Uang dan undang-undang terkait lainnya
dari negara yang berbeda sistem hukum dengan Indonesia,
yaitu negara yang menganut sistem “Common Law (Anglo
Saxon)” dalam penelitian ini penulis menggunakan Negara
Malaysia sebagai perbandingan.
lvii
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Perbandingan Tentang Pengaturan Pemberian Perlindungan Saksi
dalam Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang di Negara
Indonesia dan Malaysia
Telah sangat dikenal bahwa pencucian uang (money laundering) yang
merupakan white collar crime adalah perbuatan memindahkan, menggunakan
atu melakukan perbuatan lainnya atas hasil dari suatu tindak pidana yang
kerap dilakukan oleh organized crime, maupun individu yang melakukan
tindakan korupsi, perdagangan narkotika, dan tindak pidana lainnya dengan
tujuan menyembunyikan atau mengaburkan asal-usul uang yang berasal dari
tindak pidana tersebut, sehingga dapat digunakan seolah-olah sebagai uang
yang sah tanpa terdeteksi bahwa aset tersebut berasal dari kejahatan yang
ilegal. Adapun yang melatarbelakangi para pelaku pencucian uang melakukan
aksinya adalah dengan maksud memindahkan atau menjauhkan para pelaku
itu dari kejahatan yang menghasilkan proceeds of crime dari kejahatan ynag
dilakukan, menikmati hasil kejahatan tanpa adanya kecurigaan kepada
pelakunya, serta melakukan reinvestasi hasil kejahatan untuk aksi kejahatan
selanjutnya atau ke dalam bisnis yang sah.
Dampak yang ditimbulkan oleh money laundering dapat mengganggu
sistem keuangan serta berdampak negatif terhadap sistem perekonomian
suatu negara. Pada akhirnya pencucian uang akan berdampak luas pada
sistem sosial bahkan dapat mengganggu stabilitas suatu negara. Mengingat
money laundering juga merupakan kejahatan transnasional (transnational
crime) yang modusnya banyak dilakukan melintasi batas-batas negara (cross
border), maka dampak yang ditimbulkan dapat pula berakibat negatif pada
stabilitas sistem keuangan dan perekonomian dunia secara keseluruhan. Di
sisi lain, oleh karena pencucian uang berkaitan dengan kejahatan asal
lviii
(predicate crime) yang dilakukan oleh organized crime, maka berkembang
pencucian uang ini akan sangat mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya
berbagai tindak pidana pemicu money laundering seperti korupsi,
perdagangan gelap narkotika, penyelundupan, dan illegal logging serta upaya
untuk memeranginya.
Money laundering merupakan sarana bagi pelaku kejahatan untuk
melegalkan uang hasil kejahatan dalam rangka menghilangkan jejak. Selain
itu jumlah uang yang dicuci sangatlah besar, yang artinya hasil kejahatan
tersebut telah mempengaruhi neraca keuangan nasional maupun global dan
menimbulkan kerugian yang sangat besar. Bahaya selanjutnya dari money
laundering membuat para pelaku kejahatan terutama organized crime
mengembangkan jaringan dengan uang yang telah dicuci tersebut. Selain itu
membuat para pelaku kejahatan seperti korupsi, narkotika, kejahatan
perbankan mudah untuk menggunakannya dan dengan demikian kejahatan-
kejahatan tersbut akan semakin marak. Pada akhirnya bahaya dan kerugian
secara nasional maupun internasional akan semakin meningkat manakala para
pelaku menggunakan cara-cara yang sangat canggih dengan memanfaatkan
sarana perbankan yang juga menggunakan teknologi tinggi.
Dalam proses pemeriksaan perkara pidana mengenai kasus pencucian uang (money laundering), saksi adalah salah satu kunci untuk peroleh kebenaran materiil, yang merupakan kebenaran yang benar-benar terjadi. Dalam Pasal 184 s.d. 185 KUHAP secara tegas menggambarkan hal tersebut. Pasal 185 ayat (2) menyatakan, “Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya”. Sedangkan pada Pasal 185 ayat (3) berbunyi “ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila disertai alat bukti yang sah lainnya.” Hal ini dapat diartikan bahwa keterangan dari satu orang saksi saja tanpa disertai alat bukti yang lain, belum cukup untuk dapat membuktikan apakah seseorang terdakwa bersalah atau tidak.
Bahwa salah satu alat bukti yang sah dalam proses peradilan pidana adalah keterangan saksi yang mendengar, melihat, atau mengalami sendiri terjadinya suatu tindak pidana dalam upaya mencari dan menemukan kejelasan tentang
lix
tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana. Secara teori, Pasal 184 s.d. 185 KUHAP secara tegas mengambarkan hal tersebut. Pasal 184 menempatkan keterangan saksi di urutan pertama di atas alat bukti lain berupa keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Dapat dikatakan bahwa keberhasilan suatu proses peradilan pidana sangatlah tergantung pada alat bukti yang berhasil dimunculkan dalam pengadilan, yang terutama berkenaan dengan saksi. Dari kasus yang banyak terlihat, tidak sedikit kasus yang kandas di tengah jalan oleh karena ketiadaan saksi untuk menopang tugas jaksa. Dengan demikian keberadaan saksi merupakan suatu elemen ynag sangat menentukan dalam sutu proses peradilan pidana. Namun demikian ternyata peran saksi dalam proses peradilan pidana masih jauh dari perhatian masyarakat dan penegak hukum. Sudah cukup sering media massa memberitahukan adanya kasus-kasus yang tidak terungkap dan juga tidak terselesaikan, oleh karena keengganan saksi untuk memberikan informasi kepada pihak yang berwenang. Bahkan sampai saat ini posisi saksi (termasuk saksi korban) dalam proses peradilan di Indonesia hanyalah dipandang sebagai alat yang dapat memperkuat posisi jaksa dalam persidangan. Mereka hanya digunakan untuk melegitimasi keputusan hakim dari keseluruhan rangkaian proses beracara di persidangan. Saksi belum dilihat sebagia manusia yang memerlukan perlindungan, akan tetapi justru dieksploitasi untuk mendukung suatu keputusan yang dikatakan “adil”.
Mencermati kondisi yang tampak belum berkesuaian diatas, kita sebenarnya sudah dapat menangkap suatu alur pikir bahwa untuk menciptakan suatu kesaksian yang berkualitas hanya akan dapat diperoleh jika ancaman-ancaman baik yang bersifat fisik maupun psikis terhadap saksi (saksi pelapor, saksi biasa, saksi ahli), kerugian-kerugian materiil dan berbagai masalah lain yang menjadi kendala, dapat dihilangkan. Salah satu cara yang dapat diberlakukan adalah dengan memberikan perlindungan kepada saksi (Bambang Santoso, 2003), khususnya dalam hal ini adalah saksi yang berkaitan dengan perkara money laundering. Di Indonesia akhir-akhir ini memang telah dibuat payung hukum yang memberikan perlindungan kepada seorang saksi dan korban, yaitu dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Namun sebelum Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 disyahkan, berkaitan dengan adanya perlindungan saksi khususnya dalam tindak pidana pencucian uang telah diatur terlebih dahulu dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Pengaturan selanjutnya diatur pada Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan Khusus bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana
lx
Pencucian Uang. Di dalam penanganan beberapa kasus yang telah berjalan, peraturan pemerintah ini telah dijalankan oleh instansi terkait, yakni dengan merahasiakan identitas pelapor dengan membuat berita acara penyamaran sehingga jati diri pelapor tidak diketahui oleh pihak yang dilaporkan atau kuasa hukumnya.
Berdasarkan apa yang telah diuraikan di atas jelaslah bahwa masalah perlindungan saksi dalam pemeriksaan perkara pidana mengenai kasus pencucian uang (money laundering) merupakan salah satu kunci agar pengungkapan kasus dapat berjalan sebaik-baiknya. Anggapan yang salah mengenai saksi sudah selayaknya diakhiri, dan guna memperoleh suatu gambaran yang menyeluruh mengenai perlindungan saksi dalam pencucian uang, langkah praktis yang dapat ditempuh adalah belajar dari negara-negara lain. Dalam subbab ini akan dibahas mengenai perbandingan hal-hal pokok yang menjadi isi ketentuan pemberian perlindungan hukum bagi saksi dalam undang-undang pencucian uang di Indonesia dan di negara yang berbeda sistem hukum dengan Indonesia, yaitu negara yang menganut sistem “Common Law (Anglo Saxon)” yang dalam penelitian ini mengambil perbandingan dengan Negara Malaysia. Berikut ini akan dibahas mengenai perbandingan pengaturan pemberian perlindungan saksi dalam peraturan perundangan pencucian uang di Indonesia dan Malaysia.
1. INDONESIA
Perkembangan masalah pencucian uang (money laundering) saat ini
dirasa telah begitu cepatnya, apalagi jika dikaitkan dengan besarnya dana
yang ditransaksikan. Praktek money laundering dari hasil kejahatan
diusahakan untuk diproses melalui kegiatan bisnis normal sehingga akan
dapat memasuki (diterima) oleh pasar yang sah, sistem dan/atau aktivitas
perkonomian yang wajar.
Money laundering dianggap dapat memberikan dampak negatif bagi
sebagian besar masyarakat di belahan bumi ini. Perang terhadap praktek
money laundering merupakan suatu agenda utama para petinggi dan
pembuat kebijakan: berbagai organisasi internasional menempatkan
masalah money laundering sebagai agenda yang perlu mendapat prioritas
utama penanganannya, agenda pembangunan perangkat hukum dan upaya
lxi
lain dalam pencegahan dan penjatuhan hukuman kepada pelaku money
laundering terus diupayakan baik secara nasional, regional dan
internasional. Pada dekade terakhir ini langkah-langkah pemberantasan
praktek money laundering mengalami kemajuan yang cukup signifikan,
namun demikian money laundering merupakan “sasaran yang terus
bergerak”; para pelaku mengembangkan teknik-teknik baru, seperti cyber
laundering, pengembangan penggunaan jalur pencucian melalui non-
lembaga keuangan, memasuki segmen-segmen baru seperti bisnis real
estate, bursa saham dan barang-barang seni bernilai tinggi.
Masalah money laundering sepertinya belum menjadi masalah yang
dianggap serius di Indonesia. Bisa jadi ada kepentingan-kepentingan
pihak tertentu yang berusaha agar masalah ini tetap berada dibawah
permukaan sehingga walaupun sering terjadi dan mungkin sudah sampai
tahap sangat serius tetap tidak terungkap dan tetap dapat berjalan wajar.
Di Indonesia money laundering sendiri memang relatif baru, walaupun isu
ini sudah bergulir lama di dunia internasional.
Indonesia baru mengkriminalisasikan money laundering ketika di
masukkan ke dalam daftar negara non-cooperatif dengan pencucian uang
(NCCTc) oleh FATF pada 2001. Dari beberapa kelemahan yang dinilai
FATF pada Indonesia sebagai negara yang tidak mau bekerjasama dalam
upaya global memerangi kejahatan money laundering, persoalan
ketiadaan peraturan perundang-undangan yang mengkriminalisasi
pencucian uang merupakan kelemahan yang paling mendasar, karena
dengan demikian perbuatan menyembunyikan atau mengaburkan hasil
kejahatan masih dianggap sebagai perbuatan yang sah menurut sistem
hukum Indonesia. Sebenarnya pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1997, Indonesia telah meratifikasi United Nations Convention Against
Illicit Traffic in Narcotic drugs and Psychotropic Subtances 1988 pada
tahun 1997. Konvensi yang dikenal sebagai Konvensi Wina tahun 1988
itu secara tegas meyatakan bahwa hasil kejahatan perdagangan gelap
lxii
narkotika sebagai money laundering dan memerintahkan setiap negra
untuk meratifikasi konvensi ini sekaligus menetapkan langkah-langkah
pencegahan dan pemberantasannya.
Namun sebenarnya, wacana penyusunan peraturan perundang-
undangan yang mengatur masalah money laundering sesungguhnya telah
lama ada sejak disusunnya rancangan KUHP. Rancangan KUHP yang
pembahasannya terkatung-katung sejak lebih dari lima belas tahun lalu,
dalam Pasal 610 dan 611 pada RUU KUHP yang pertama kali diajukan
oleh pemerintah tahun 1991, telah mengakomodir masalah money
laundering ini dengan memuat unsur-unsur tindak pidana pencucian uang
(money laundering). Rancangan KUHP Pasal 610 berbunyi sebagai
berikut: Barangsiapa menyimpan uang di bank atau di tempat lain,
tentang hak-hak dan kewajiban seorang saksi. Dalam hal ini subyek yang
dilindungi dalam Undang-Undang No.13 Tahun 2006 meliputi, saksi,
korban, pealpor, dan keluarga saksi/korban adalah sebgai berikut :
a). Pasal 1 ayat (1): Saksi adalah orang yang memberikan keterangan guna
kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pengadilan
tentang tindak pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, ia alami
sendiri, atau hal-hal yang ia ketahui berkenaan dengan suatu perkara
pidana.
Penjelasan : Kata “ketahui” di sini tidak termasuk mengetahui karena informasi
yang diperoleh dari orang lain.
lxvi
b). Pasal 1 ayat (2): Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan
fisik maupun mental serta kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh
suatu tindak pidana.
Penjelasan : Termasuk dalam pengertian korban adalah keluarga batin korban.
c). Pasal 1 ayat (5): keluarga saksi adalah orang-orang yang mempunyai
hubungan darah atau semenda dalam garis lurus dan kesamping sampai
derajat ketiga, dan atau orang-orang yang menjadi tanggungan saksi,
serta orang lain yang menurut Lembaga Perlindungan Saksi layak
dilindungi.
KOMENTAR :
Dapat disimpulakan bahwa saksi korban adalah orang-orang yang memberi kesaksian karena mereka menjadi korban tindak pidana yang bersangkutan.
Secara umum hak-hak seorang saksi diatur dalam Undang-Undang
No.13 Tahun 2006 yaitu dalam Bab II tentang Perlindungan Dan Hak
Saksi Dan Korban pada Pasal 5 yang diberikan berdasarkan keputusan
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), hak-hak saksi tersebut
meliputi :
a). memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan
harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan
kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;
Penjelasan :
Perlindungan semacam ini merupakan perlindungan utama yang diperlukan saksi dan korban. Apabila perlu, saksi dan korban harus ditempatkan dalam suatu lokasi yang dirahasiakan dari siapa pun untuk menjamin agar Saksi dan Korban aman.
b). ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk
perlindungan dan dukungan keamanan;
c). memberikan keterangan tanpa tekanan;
lxvii
d). mendapat penerjemah;
Penjelasan :
Hak ini diberikan kepada saksi dan korban yang tidak lancar
berbahasa Indonesia untuk memperLancar persidangan.
e). bebas dari pertanyaan yang menjerat;
f). mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus;
Penjelasan :
Seringkali saksi dan korban hanya berperan dalam pemberian
kesaksian di pengadilan, tetapi saksi dan korban tidak mengetahui
perkembangan kasus yang bersangkutan. Oleh karma itu, sudah
seharusnya informasi mengenai perkembangan kasus diberikan
kepada Saksi dan Korban.
g). mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan;
Penjelasan :
Informasi ini penting untuk diketahui saksi dan korban sebagai tanda
penghargaan atas kesediaan saksi dan korban dalam proses peradilan
tersebut.
h). mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;
Penjelasan :
Ketakutan saksi dan korban akan adanya balas dendam dari terdakwa
cukup beralasan dan is berhak diberi tahu apabila seorang terpidana
yang dihukum penjara akan dibebaskan.
i). mendapat identitas baru;
Penjelasan :
Dalam berbagai kasus, terutama yang menyangkut kejahatan
terorganisasi, saksi dan korban dapat terancam walaupun terdakwa
sudah dihukum. Dalam kasus-kasus tertentu, saksi dan korban dapat
diberi identitas baru.
j). mendapatkan tempat kediaman baru;
Penjelasan :
lxviii
Apabila keamanan saksi dan korban sudah sangat mengkhawatirkan,
pemberian tempat baru pada saksi dan korban harus dipertimbangkan
agar saksi dan korban dapat meneruskan kehidupannya tanpa
ketakutan. Yang dimaksud dengan "tempat kediaman baru" adalah
tempat tertentu yang bersifat sementara dan dianggap aman.
k). memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan
kebutuhan;
Penjelasan :
Saksi dan korban yang tidak mampu membiayai dirinya untuk
mendatangi lokasi, perlu mendapat bantuan biaya dari negara.
l). mendapat nasihat hukum; dan/atau
Penjelasan :
Yang dimaksud dengan "nasihat hukum" adalah nasihat hukum yang
dibutuhkan oleh saksi dan korban apabila diperlukan.
m). memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu
perlindungan berakhir.
Penjelasan :
Yang dimaksud dengan "biaya hidup sementara" adalah biaya hidup
yang sesuai dengan situasi yang dihadapi pada waktu itu, misalnya
biaya untuk makan sehari-hari.
Alternatif perlakuan bagi seorang saksi dan korban dalam Undang-
Undang No.13 Tahun 2006 meliputi :
a). Korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat, selain
berhak atas hak-hak sebagaimana dimaksud diatas, juga berhak
untuk mendapatkan : bantuan medis; dan bantuan rehabilitasi psiko-
sosial.(Pasal 6)
b). Korban melalui LPSK berhak mengajukan ke pengadilan berupa hak
atas kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia yang
berat dan hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi
lxix
tanggung jawab pelaku tindak pidana. Keputusan mengenai
kompensasi dan restitusi diberikan oleh pengadilan. (Pasal 7)
c). Perlindungan dan hak saksi dan korban diberikan sejak tahap
penyelidikan dimulai dan berakhir sesuai dengan ketentuan
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. (Pasal 8)
d). Saksi dan/atau korban yang merasa dirinya berada dalam ancaman
yang sangat besar, atas persetujuan hakim dapat memberikan
kesaksian tanpa hadir langsung di pengadilan tempat perkara tersebut
sedang diperiksa. Kesaksiannya diberikan secara tertulis yang
disampaikan di hadapan pejabat yang berwenang dan membubuhkan
tanda tangannya pada berita acara yang memuat tentang kesaksian
tersebut. Saksi dan/atau korban dapat pula didengar kesaksiannya
secara langsung melalui sarana elektronik dengan didampingi oleh
pejabat yang berwenang. (Pasal 9)
e). Tidak dapat dilakukan upaya hukum terhadap Saksi, Korban, dan
pelapor baik secara pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian
yang akan, sedang, atau telah diberikannya kecuali apabila
memberikan keterangan tidak dengan itikad baik. Seorang saksi yang
juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari
tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan
pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan
dijatuhkan. (Pasal 10)
Secara rinci pengaturan yang mewajibkan seorang saksi dan/atau
korban dalam UU No. 13 Th. 2006 hanya meliputi kesediaan memenuhi
isi perjanjian perlindungan saksi dan korban yaitu;
a). Pasal 30 ayat (1): Dalam hal Lembaga Perlindungan Saksi
berpendapat bahwa keadaan saksi memerlukan perlindungan
terhadap keamanan dirinya dan atau keluarganya, saksi yang
lxx
bersangkutan diminta untuk menandatangani pernyataan kesediaan
mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan saksi dan korban.
b). Pasal 30 ayat (2): Pernyataan kesediaan mengikuti syarat dan
ketentuan perlindungan saksi dan korban sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) memuat:
1). kesediaan saksi dan/atau korban untuk memberikan kesaksian
dalam proses peradilan;
2). kesediaan saksi dan/atau korban untuk menaati aturan yang
berkenaan dengan keselamatannya;
3). kesediaan saksi dan/atau korban untuk tidak berhubungan dengan
cara apa pun dcngan orang lain selain atas persetujuan LPSK,
selama ia berada dalam perlindungan LPSK;
4). kewajiban saksi dan/atau korban untuk tidak memberitahukan
kepada siapa pun mengenai keberadaannya di bawah
perlindungan LPSK; dan
5). hal-hal lain yang dianggap perlu oleh LPSK.
Penjelasan :
Ketentuan ini diajukan untuk melindungi saksi sendiri dari berbagai
kemungkinan yang akan melemahkan perlindungan pada dirinya.
Namun selain ketentuan diatas, saksi maupun korban juga mempunyai
kewajiban lain yang tentunya dapat diketahui dari definisi saksi bahwa
kewajiban seorang saksi adalah memberikan kesaksian / keterangan
dengan sebenar-benarnya guna kepentingan penyelidikan, penyidikan,
penuntutan dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan tentang perkara
yang dialami berdasarkan apa yang ia dengar sendiri, lihat sendiri, dan
alami sendiri. Dalam hal ini diwajibkan pula kepada saksi dan orang lain
yang bersangkutan dengan tindak pidana yang diperiksa, untuk dilarang
menyebut nama atau alamat pelopor, atau hal-hal lain yang memberikan
kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor.
lxxi
Terkait dengan perlindungan saksi tersebut telah diatur adanya
ketentuan sebuah lembaga mandiri atau independen yang bertanggung
jawab langsung kepada presiden dan membuat laporan pelaksanaan tugas
secara berkala kepada DPR RI dalam pertanggungjawabannya untuk
menangani pemberian perlindungan dan bantuan pada saksi dan korban
yang disebut dengan Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban (LPSK).
Merupakan lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan
perlindungan dan hak-hak lain kepada saksi dan/atau korban.
Ketentuannya diatur pada Pasal 11 sampai dengan 27, Bab III UU No.13
Th. 2006mengenai Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban. Tugas dan
kewenangan LPSK sebagaimana juga telah diatur dalam Undang-Undang
No.13 Tahun 2006. Saat ini Presiden memang telah mengeluarkan Kepres
No. 7 Th. 2007 tentang Pembentukan Panitia Seleksi dan Pemilihan Calon
Anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban pada 31 Maret 2007,
namun sampai sekarang pembentukan LPSK belum juga terwujud dan
terkesan sangat lambat. Harusnya lembaga tersebut telah dibuat paling
lambat 1 (satu) tahun setelah Undang-Undang Perlindungan Saksi dan
Korban diundangkan.
Pengaturan pemberian perlindungan saksi dalam undang-undang
pencucian uang diatur pada bab VII yaitu Perlindungan Bagi Pelapor Dan
diharapkan pengaturan tersebut akan banyak membantu pengungkapan
kasus-kasus money laundering yang selama ini sulit terungkap. Adapun
manfaat dari prinsip perlindungan saksi dan pelapor adalah sebagai
berikut:
a). Terungkapnya kejahatan-kejahatan, terutama kejahatan ynag
dilakukan oleh orang-orang yang memiliki pengaruh dalam
masyarakat;
b). Anggota masyarakat merasa leluasa dan bebas tanpa dibayang-
bayangai rasa takut untuk menjadi pelapor dan saksi dalam suatu
perkara kejahatan;
c). Terdapat pengaruh positif dalam pengurangan intensitas kejahtan
beerkenaan dengan adanya semacam public supervision dari
kalangan masyarakat, karena anggota masyarakat tidak segan-segan
lagi menjadi pelapor dan saksi bagi perbuatan kejahatan, khususnya
money laundering.
Indonesia adalah negara yang menganut sistem hukum civil law.
Dalam praktik penyelesaian perkara pidana di Indonesia, prinsip legalitas
dan penafsiran yang diperbolehkan dari prinsip tersebut diserahkan
sepenuhnya kepada para pelaksana / praktisi hukum, seperti, jaksa dan
hakim. Ketentuan undang-undang harus ditafsirkan secara harfiah dan
pengadilan tidak diperkenankan memberikan suatu penafsiran analogis
untuk menetapkan suatu perbuatan sebagai tindak pidana.
2. Malaysia
lxxxi
Dalam rangka mensukseskan pembangunan ekonomi dan pengentasan kemiskinan, keterbukaan di antara institusi-institusi pemerintahan dan lembaga-lembaga publik harus terbentuk. Hal tersebut memiliki peranan yang penting bagi upaya pemberantasan money laundering. Oleh sebab itu, dorongan kebutuhan untuk menyusun dan menetapkan peraturan perundang-undangan yang responsif terhadap permasalahan money laundering. Pembentukan Undang-undang tersebut bertujuan untuk memperkuat rezim anti money laundering yang bagi negara Malaysia tidak hanya akan menambah kepercayaan dari investor, tetapi juga merupakan suatu jaminan bahwa negara Malaysia tidak dijadikan tempat untuk melakukan pencucian terhadap hasil-hasil tindak kejahatan.
Adanya sinyalemen bahwa keinginan yang kuat dari pemerintah untuk sesegera mungkin dapat membangun suatu rezim anti money laundering yang efisien dan efektif di Malaysia adalah karena adanya tekanan internasional dengan berbagai ancaman yang telah dan akan diterapkan serta dampak negatif dari ancaman tersebut. Sinyalemen tersebut tidaklah sepenuhnya benar apabila ditinjau dari sisi kepentingan nasional yang lebih besar terutama dalam kerangka penegakan hukum (law enforcement) di Malaysia. Dalam sistem penegakan hukum sekarang ini, rezim anti money laundering hadir dengan paradigma baru. Pada awalnya orientasi tindak pidana pada umumnya adalah mengejar pelaku pidana, sedangkan pada tindak pidana money laundering lebih mengejar pada hasil tindak pidananya. Di samping itu, agar rezim anti money laundering dapat terlaksana secara efektif, koordinasi antara instansi terkait merupakan kunci pokok keberhasilan.
Rezim pelaksanaan Program Pencegahan Pengubahan Wang Haram dan Pencegahan Pembiayaan Keganasan (AML/CFT) Malaysia di bawah Akta Pencegahan Pengubahan Wang Haram 2001 (AMLA) terus berubah seiring dengan trend global baru dan pengaturan yang diterima pakai di peringkat antarabangsa, yaitu Rekomendasi 40+9 FATF (Pasukan Petugas Tindakan Kewangan mengenai Pencegahan Pengubahan Wang Haram).
Law of Malaysia Act 613 yang dikenal dengan Anti Money laundering Act of 2001 (AMLA) atau Akta Pencegahan Pengubahan Wang Haram yang di setujui oleh raja pada tanggal 25 Juni 2001, di umumkan dalam lembaran Negara pada tanggal 5 Juli 2001 dan mulai berlaku pada bulan Januari 2002. Malaysia bukanlah suatu pusat regional money laundering. Sektor keuangan informal dan formalnya sangat rentan dengan narkotika traffickers, pembiayaan terorisme, dan unsur kejahatan. Sejak 2000,
lxxxii
Malaysia telah membuat kemajuan penting dalam membangun anti-money laundering Act. Malaysia’s National Coordination Committee to Counter Money laundering (NCC), yang anggotanya terdiri dari 13 badan pemerintahan, melihat dari draft Malaysia's Anti-Money laundering Act 2001 (AMLA) dan mengkoordinir badan pemerintahan untuk anti-money laundering.
Telah juga dibentuk suatu financial intelligence unit (FIU) yaitu Unit Perisikan Kewangan yang ditempatkan dalam Bank Sentral yaitu Bank Negara Malaysia ( BNM). Tugas FIU tersebut adalah menerima dan meneliti informasi keuangan. FIU tersebut bekerja dengan lebih dari duabelas badan lain untuk mengidentifikasi dan menyelidiki adanya transaksi mencurigakan. The Government of Malaysia (GOM) mempunyai suatu kerangka pengatur yang baik, mencakup perijinan dan sistem pemeriksaan yang dapat mengatur lembaga keuangan. Sekarang ini telah ada memorandum of understanding (MOU) dalam hal mutual legal assistance antara FIU Malaysia (Unit Perisikan Kewangan) dengan FIU Indonesia (PPATK).
Anti Money laundering Act of 2001 (AMLA) tentang anti-money laundering, yang diharapkan mampu memenuhi, mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dalam rangka mencegah dan pemberantasan secara efektif setiap bentuk tindak tindak pidana money laundering yang sangat merugikan keuangan negara pada khususnya serta masyarakat pada umumnya. Pemberantasan tindak money laundering salah satunya dengan mengatur mengenai ketentuan perlindungan saksi yang dikaitkan dengan efektif tidaknya pengaturan pemberian perlindungan saksi yang tertuang dalam Anti Money laundering Act of 2001 (AMLA) dalam upaya menanggulangi masalah money laundering di Indonesia.
Perlindungan saksi yang diatur dalam AMLA pada Part IV mengenai Reporting Obligations Pasal 24 yang berbunyi sebagai berikut :
Protection of persons reporting
24. (1) No civil, criminal, or disciplinary proceedings shall be brought against a person who:
(a) discloses or supplies any information in any report made
under this Part; or
lxxxiii
(b) supplies any information in connection with such a report,
whether at the time the report is made or afterwards;
in respect of : (aa) the disclosure or supply, or the manner of the disclosure or
supply, by that person, of the information referred to in paragraph (a) or (b); or
(bb) any consequences that follow from the disclosure or supply of that information, unless the information was disclosed or supplied in bad faith.
(2) In proceedings against any person for an offence under this Part, it shall be a defence for that person to show that he took all reasonable steps and exercised all due diligence to avoid committing the offence.
Perlindungan bagi saksi pelapor
24. (1) Tidak ada proses secara perdata, pidana atau ketertiban lainnya dapat dikenakan terhadap seseorang yang : (a) mengungkapkan atau menyediakan segala informasi dalam
segala laporan yang dibuat menurut undang-undang ini; atau
(b) menyediakan segala informasi yang berhubungan dengan
suatu laporan, apakah pada saat laporan itu dibuat atau
sesudahnya;
Dalam hal : (aa) pengungkapan atau penyediaan, atau cara pengungkapan atau
penyediaan, oleh orang tersebut, dari informasi sesuai dalam paragraf (a) atau (b); atau
(bb) segala akibat/dampak yang ditimbulkan/mengikuti pengungkapan atau penyediaan informasi tersebut,
kecuali informasi yang diungkapkan atau disediakan dengan itikad tidak baik.
(2) Dalam proses/ tindakan yang dikenakan terhadap orang untuk suatu kejahatan menurut undang-undang ini, hal itu dapat menjadi suatu pembelaan bagi orang tersebut untuk menunjukkan bahwa dia sudah mengambil langkah yang beralasan dan melaksanakan semua hak yang baik atau sesuai untuk mencegah terjadinya kejahatan.
lxxxiv
KOMENTAR :
Pengaturan pemberian perlindungan saksi dalam Anti Money laundering Act of 2001 ini ditujukan hanya kepada pemberi maklumat atau saksi pelapor saja.
Pelaksanaan pemberian perlindungan saksi (saksi pelapor ) khususnya dalam tindak pidana money laundering hanya didasarkan pengaturannya dalam Pasal 24 Anti Money laundering Act of 2001. Pengaturannya dalam peraturan pelaksanaan juga belum dibuat, bahkan payung hukum perlindungan saksi juga masih dalam tahap Rang (Rancangan) Undang-Undang Perlindungan Saksi (Witness Protection Bill). Rang Undang-Undang Perlindungan Saksi yang sedang digarap Parlimen Dewan Rakyat Malaysia baru-baru ini diharapkan dapat memberikan jaminan bahwa saksi akan diberikan sepenuhnya perlindungan undang-undang, termasuk mengubah identiti saksi jika diperlukan. Rang Undang-Undang Perlindungan Saksi yang hampir sampai pada tingkat akhir pembentukannya ini, ditujukan untuk memberikan perlindungan kepada seorang saksi yang memberikan keterangan dalam keseluruhan proses penindakan kejahatan (kes jenayah) dan tidak lagi hanya diatur mengenai saksi pelapor saja. Oleh karena pemberi maklumat (saksi pelapor) lazimnya menjadi saksi maka mereka sudah tentulah akan dilindungi di bawah akta ini. Rang Undang-undang ini juga akan menubuhkan satu program bagi perlindungan saksi. Mengenai lembaga yang melaksanakan pemberian bantuan dan perlindungan saksi di Malaysia juga belum dibentuk.
Dalam sistem common law, hakim diperbolehkan tidak sepenuhnya
bertumpu pada ketentuan suatu Undang-Undang. Jika diyakini olehnya
bahwa ketentuan yang dimaksud tidak dapat diterapkan dalam kasus yang
sedang ditanganinya. Hakim cenderung bersifat judge made law, jadi
dalam hal penerapan pengaturan perlindungan saksi dalam kasus-kasus
yang ada, walaupun pengaturannya kurang dan sangat sempit karena
hanya melindungi saksi pelapor, namun disini hakim dapat menentukan
alternatif perlakuan bagi saksi yang bukan saksi pelapor. Efeknya
dimungkinkan suatu pemeriksaan kasus money laundering tidak akan
terhambat hanya karena belum ada aturan yang mengatur.
lxxxv
Malaysia menganut sistem hukum common law. Dapat dilihat bahwa
kekuasaan hakim di dalam sistem hukum common law sangat luas dalam
memberikan penafsiran terhadap suatu ketentuan yang tercantum dalam
undang-undang. Bahkan hakim diperbolehkan tidak sepenuhnya bertumpu
pada ketentuan suatu undang-undang jika diyakini olehnya bahwa
ketentuan tersebut tidak dapat diterapkan dalam kasus pidana yang sedang
dihadapinya. Dalam hal demikian hakim dapat menjatuhkan putusannya
sesuai dengan kebiasaan-kebiasaan. Dilihat dari segi kekuasaan hakim
yang sangat luas dalam memberikan penafsiran tersebut, sehingga dapat
membentuk hukum baru, maka nampaknya sistem hukum common law
kurang memperhatikan kepastian hukum.
Dari uraian pengaturan pemberian perlindungan saksi dalam undang-undang pencucian uang antara Negara Indonesia dan Malaysia ada terdapat perbedaan dan persamaannya, yaitu
Negara
Pembanding Indonesia Malaysia
Pengaturan Tindak Money laundering
- Undang-Undang No. 15
Tahun 2003 sebagaimana
diubah dalam Undang-
Undang No. 25 Tahun
2003 tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang.
- Law Of Malaysia Act
613 Anti money
laundering Act 2001
(AMLA)
lxxxvi
Pengaturan pemberian perlindungan saksi
- Tercantum dalam Bab IV
Perlindungan bagi Pelapor
dan Saksi pada Pasal 15,
Pasal 39 s.d. Pasal 43 UU
Pencucian Uang serta
peraturan pelaksanaannya.
- Peraturan Pemerintah No.
57 Tahun 2003 tentang Tata
Cara Perlindungan Khusus
bagi Pelapor dan Saksi
Tindak Pidana Pencucian
Uang.
- Peraturan Kepala
Kepolisian NRI Nomor Pol.
17 Tahun 2005 tentang Tata
Cara Pemberian
Perlindungan Khusus
terhadap Pelapor dan Saksi
dalam Tindak Pidana
Pencucian Uang.
- Tercantum dalam Part
IV (Reporting
Obligations) pada
Pasal 24 mengenai
Protection of persons
reporting.
Subyek yang Dilindungi.
- Perlindungan yang
diberikan ditujukan kepada
saksi, pelapor, dan keluarga
saksi/pelapor.
- Perlindungan yang
diberikan hanya
ditujukan kepada saksi
pelapor saja (pemberi
maklumat).
- (No civil, criminal, or
disciplinary
proceedings shall be
lxxxvii
brought against a
person who:
a. discloses or supplies
any information in
any report made
under this Part; or
b. supplies any
information in
connection with such
a report, whether at
the time the report is
made or
afterwards;...)
Bentuk Perlindungan.
- Perlindungan yang
diberikan dapat
digolongkan menjadi 2
(dua) jenis perlindungan,
yaitu:
a. perlindungan hukum
b. perlindungan khusus
terhadap ancaman.
- Perlindungan hukum
meliputi :
a. kekebalan yang
diberikan kepada
pelapor dan saksi
untuk tidak dapat
dituntut baik secara
perdata ataupun
- Perlindungan hukum
(yuridis).
- 24. (1) No civil,
criminal, or
disciplinary
proceedings shall be
brought against a
person who:
(a) discloses or
supplies any
information in
any report made
under this Part;
or
(b) supplies any
information in
lxxxviii
pidana, sepanjang
yang bersangkutan
memberikan
kesaksian atau
laporan dengan
iktikad baik atau yang
bersangkutan tidak
sebagai pelaku tindak
pidana itu sendiri.
b. larangan bagi
siapapun untuk
membocorkan nama
pelapor atau
kewajiban
merahasiakan nama
pelapor disertai
dengan ancaman
pidana terhadap
pelanggarannya.
- Yang merupakan
perlindungan khusus
terhadap ancaman yang
meliputi 4 (empat) bentuk
perlindungan, yaitu:
Pertama. Perlindungan
atas keamanan pribadi dari
ancaman fisik atau mental.
Kedua. Perlindungan
terhadap harta. Meliputi
connection with
such a report,
whether at the
time the report
is made or
afterwards;
in respect of : (aa) the disclosure
or supply, or the manner of the disclosure or supply, by that person, of the information referred to in paragraph (a) or (b); or
(bb)any consequences that follow from the disclosure or supply of that information,
Unless the information was disclosed or supplied in bad faith. (2) In proceedings
against any person for
an offence under this
Part, it shall be a
defence for that person
to show that he took all
reasonable steps and
exercised all due
lxxxix
harta bergerak dan tidak
bergerak, terutama yang
paling memungkinkan
menjadi sasaran gangguan
pihak pelaku.
Ketiga. Perlindungan
atas perahasiaan dan
penyamaran identitas.
Keempat. Perlindungan
atas pemberian keterangan
tanpa bertatap muka
(konfrontasi) dengan
tersangka atau terdakwa
pada setiap tingkat
pemeriksaan meliputi tahap
penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan di pengadilan.
diligence to avoid
committing the
offence.
(Perlindungan bagi saksi pelapor
24. (1) Tidak ada
proses secara perdata,
pidana atau ketertiban
lainnya dapat
dikenakan terhadap
seseorang yang :
(a) mengungkapkan
atau
menyediakan
segala informasi
dalam segala
laporan yang
dibuat menurut
undang-undang
ini; atau
(b) menyediakan
segala informasi
yang
berhubungan
dengan suatu
laporan, apakah
pada saat
laporan itu
dibuat atau
sesudahnya;
xc
Dalam hal : (aa) pengungkapan atau penyediaan, atau cara pengungkapan atau penyediaan, oleh orang tersebut, dari informasi sesuai dalam paragraf (a) atau (b); atau (bb) segala akibat/dampak yang ditimbulkan/mengikuti pengungkapan atau penyediaan informasi tersebut,
kecuali informasi yang diungkapkan atau disediakan dengan itikad tidak baik.
Jadi pengaturan pemberian perlindungan saksi dalam undang-undang pencucian uang antara Negara Indonesia dan Malaysia adalah berbeda, baik dari bentuk perlindungannya maupun subyek yang dilindungi. Law Of Malaysia Act 613 Anti money laundering Act 2001 (AMLA) negara Malaysia hanya memberikan suatu bentuk perlindungan bagi saksi pelapor (pemberi maklumat) yaitu bagi mereka yang mengungkapkan atau menyediakan informasi dalam suatu laporan tentang adanya tindak pidana pencucian uang (Pasal 24). Sedangkan Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 sebagaimana diubah dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) memberikan perlindungan yang ditujukan kepada saksi, pelapor, dan keluarga saksi/pelapor (Pasal 39-43).
xciii
Berkaitan dengan bentuk perlindungan yang diberikan, pada AMLA, hanya memberikan pengaturan mengenai perlindungan hukum saja, yaitu adanya ketentuan bagi saksi pelapor tidak dapat dikenakan upaya hukum baik secara pidana, perdata maupun upaya ketertiban lainnya atas informasi yang ia berikan. Pada UU TPPU diberikan perlindungan khusus dan perlindungan hukum kepada saksi, pelapor, dan keluarga saksi/pelapor. Perlindungan hukum seperti apa yang diatur dalam AMLA, yaitu tidak adapat dilakukan tindakan hukum secara perdata dan pidana terhadap saksi, pelapor, dan keluarga saksi/pelapor. Sedangkan pengaturan megenai perlindungan khusus dibedakan menjadi empat macam, yaitu : perlindungan atas keamanan pribadi dari ancaman fisik atau mental, perlindungan terhadap harta yang harta bergerak dan tidak bergerak, terutama yang paling memungkinkan menjadi sasaran gangguan pihak pelaku, perahasiaan identitas atau penyamaran dan yang terakhir perlindungan untuk memberikan keterangan tanpa bertatap muka secara langsung dengan terdakwa. Pada perlindungan untuk memberikan keterangan tanpa bertatap muka secara langsung dengan terdakwa dapat memungkinkan pengggunaan vidio link untk pemeriksaannya.
Pada pelaksanaan Perlindungan saksi pada AMLA hanya mengacu pada AMLA tersebut saja, karena pengaturan payung hukum undang-undang perlindungan saksi belum ada dan sedang dalam tahap akhir di parlimen. Di UU TPPU sendiri pelaksanaannya mengacu pada undang-undang payung perlindungan saksi sehingga tidak boleh bertentang dengan undang-undang payung perlindungan saksi (UU No. 13 tahun 2006) tersebut. Pelaksana perlindungan saksi pencucian uang di Malaysia dilaksanakan oleh Badan Pencegah Rasuah, semacam KPK di Indonesia. Sedangkan di Indoneisa diatur mengenai pelaksana perlindungan khusus kepada saksi dilakukan oleh Negara melalui Kepolisian Negara Republik Indonesia, sesuai dalam PP No. 57 Th. 2003. Mengacu pengaturan undang-undang payung Undang-Undang No 13 Th. 2006, seharusnya yang menjadi pelaksana adalah LPSK, yang sampai saat ini pembentukannya terhambat. Jadi pelaksananya selama ini (perlindungan khusus) dilakukan oleh Kepolisian.
B. Bagaimanakah proyeksi ke depan pengaturan pemberian perlindungan
saksi dalam perundang-undangan di Indonesia?
Berdasarkan perbandingan pengaturan pemberian perlindungan saksi dalam undang-undang pencucian uang di Indonesia dan Malayasia dapat
xciv
diambil segi-segi nilai positif yang dapat menjadi proyeksi ke depan pengaturan pemberian perlindungan saksi dalam perundang-undangan di Indonesia. Perlindungan saksi adalah hak dapat diterima oleh seorang saksi, pada pengaturannya pada ketentuan Undang-Undang Pencucian Uang maupun aturan pelaksanannya serta dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi. Akan lebih baik jika pengaturannya dalam peraturan-peraturan tersebut di atas, perlindungan saksi dijadikan ketentuan wajib bagi penegak hukum, sehingga legalitasnya akan terasa lebih kuat. Ketentuan pelaksanaan dan cara-caranya akan lebih baik jika diatur lebih rinci. Aturan perjanjian yang dilakukan apabila seorang saksi berasal dari luar wilayah Indonesia juga belum jelas.
Selain hal-hal tersebut diatas, dalam pengaturan perlindungan saksi yang belum diatur pemerintah adalah mengenai ketentuan pelaksana perlindungan saksi. Adanya perbedaan dalam ketentuan payung hukum perlindungan saksi pada UU No.13 Th.2006 dengan pengaturan khusus yang telah ada sebelumnya, dalam hal pelaksana perlindungan saksi. Dalam UU No.13 Th.2006, pelaksana perlindungan saksi dilakukan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), walaupun salpai sekarang belum selesai pembentukannya. Namun pada ketentuan pelaksanaan pengaturan pencucian uang dalam PP No. 57 Tahun 2003, pelaksana perlindungan khusus terhadap saksi dilakukan oleh pihak kepolisian. Kehadiran LPSK ini, kemungkinan nantinya malah terhadang persoalan teknis. Yang perlu diatur lagi adalah mengenai apakah kedudukan LPSK nanti akan benar-benar independen (dibawah satu lembaga yang dibentuk khusus untuk perlindungan saksi) seperti dalam ketentuan UU No.13 Th.2006, atau nantinya akan berada di bawah Kepolisian Negara RI. Ada segi positif yang dapat diambila jika nantinya LPSK berada di bawah kepolisian, yaitu dengan pengalaman, struktur dan infrastrukturnya, Kepolisian jelas lebih siap jika ada yang berniat buruk kepada saksi. Selain itu struktur Kepolisian cukup lengkap dan luas untuk menjangkau wilayah negara. Hal ini berbeda jika dibentuk sebuah lembaga baru yang strukturnya belum jelas. Apalagi, pasal 13 dan 14 UU 2/2002 tentang Kepolisian telah mengatur tentang kewenangan Kepolisian dalam hal perlindungan saksi.
BAB IV
xcv
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari pembahasan yang telah penulis uraikan pada bab-bab terdahulu,
maka penulis mencoba untuk menarik kesimpulan yang menjadi pokok
bahasan dari penulisan hukum ini, yaitu :
1. Di dalam Undang-Undang No.15 tahun 2002 sebagaimana dirubah dengan
Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang di Indonesia diatur mengenai ketentuan perlindungan saksi, yakni
dalam Pasal 39 s.d. Pasal 43 yang pelaksanaannya secara teknis diatur
dalam peraturan pelaksanaan yaitu Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun
2003 tentang Tata Cara Perlindungan Khusus bagi Pelapor dan Saksi
Tindak Pidana Pencucian Uang dan ditindaklanjuti dengan Peraturan
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor Pol. 17 Tahun 2005
tentang Tata Cara Pemberian Perlindungan Khusus terhadap Pelapor dan
Saksi dalam Tindak Pidana Pencucian Uang. Perlindungan saksi yang
dianut merupakan perlindungan hukum dan perlindungan khusus terhadap
ancaman yang ditujukan terhadap saksi, pelapor, keluarga saksi/pelapor.
Sedangkan dalam Anti Money Laundering Act 613 pengaturan
perlindungan saksi pada Part IV Pasal 24 tentang Protection of persons
reporting. Perlindungan ditujukan hanya kepada saksi pelapor dengan
jenis perlindungan hukum. Selama proses persidangan, otomatis seorang
saksi tidak akan mendapat perlindungan.
2. Berdasarkan perbandingan pengaturan pemberian perlindungan saksi
dalam undang-undang pencucian uang di Indonesia dan Malayasia dapat
diambil segi-segi nilai positif yang dapat menjadi proyeksi ke depan
pengaturan pemberian perlindungan saksi dalam perundang-undangan di
Indonesia. Perlindungan saksi adalah hak dapat diterima oleh seorang
saksi, pada pengaturannya pada ketentuan Undang-Undang Pencucian
Uang maupun aturan pelaksanannya serta dalam Undang-Undang
xcvi
Perlindungan Saksi. Akan lebih baik jika pengaturannya dalam peraturan-
peraturan tersebut di atas, perlindungan saksi dijadikan ketentuan wajib
bagi penegak hukum, sehingga legalitasnya akan terasa lebih kuat.
Ketentuan pelaksanaan dan cara-caranya akan lebih baik jika diatur lebih
rinci. Aturan perjanjian yang dilakukan apabila seorang saksi berasal dari
luar wilayah Indonesia juga belum jelas.
B. SARAN
1. Pengaturan pemberian perlindungan saksi dalam Undang-Undang
Pencucian Uang akan terlaksana efektif apabila diikuti kerjasama penegak
hukum dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan Pencucian
Uang.
2. Peranan saksi dalam pembuktian perkara tindak pidana pencucian uang
sangat dibutuhkan. Maka penegak hukum yang beranggapan bahwa saksi
hanya digunakan sebagai alat untuk memberikan keputusan agar bersifat
adil harus dihilanggan. Berdasarkan asas persamaan dalam hukum,
seorang saksi juga punya hak untuk dilindungi dan diberi jaminan agar
dapat memberikan keterangan dengan benar tanpa adanya tekanan dari
pihak-pihak lain sehingga efeknya juga akan membuat pengungkapan
kasus pencucian uang berjalan lancar.
3. Bagi penyidik, selayaknyalah mulai merubah diri dari yang selama ini
Offender Oriented menjadi Victim/Witness Oriented. Penyidik harus
memiliki unit dan anggaran tersendiri dalam memberikan pelayanan
perlindungan terhadap saksi dan atau korban secara maksimal. Terbukti
bahwa efektifitas perlindungan saksi dan/korban dapat menjadikan
kembalinya kepercayaan publik akan supremasi hukum. Hukum tidak lagi
milik sebagian orang yang menggunakannya sebagai alat intimidasi dari
yang mengenal hukum, tapi milik seluruh elemen masyarakat. Penyidik
sudah dapat membentuk suatu unit yang bertugas untuk memberika
program perlindungan kepada saksi dan/tau korban..Diharapkan
xcvii
perlindungan terhadap saksi dan/atau korban dapat menjadi solusi
perbaikan citra Kepolisian khususnya fungsi Reskrim.
DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku
Amirudin dan Zainal Asikin. 2004. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Andi Hamzah. 2002. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: PT. Sinar Grafika.
Bambang Santoso. 2002. Upaya Pemberian Perlindungan Hukum Bagi Saksi Dalam Proses Perkara Tindak Pidana Korupsi dan Kendala-Kendalanya. Surakarta DUE-Like.
Hari Sasangka dan Lily Rosita. 2003. Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana. Bandung: PT. Mandar Maju.
Johnny Ibrahim. 2006. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayumedia Publishing.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. 2001. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
xcviii
Sutan Remy Sjahdeni. 2004. Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan Terorisme. Jakarta: Grafiti.
Tb. Irman S. 2006. Hukum Pembuktian pencucian Uang. Jakarta Timur: MQS publishing.
Yenti Garnasih. 2003. Kriminalisasi Pencucian uang (Money Laundering). Jakarta: Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia.
Internet
http://www.keadilanrakyat.org (20 April 2008 pukul 22.00)
http://www.unodc.org/pdf/lap witness-protection 2000.pdf (23 Maret 2008 pukul 10.00)
http://www.legalitas.org. (23 Maret 2008 pukul 10.00)
http://hukumonline.com/detail.asp?id=14473&cl=Berita. Lembaga Perlindungan Saksi, di bawah Kepolisian atau Independen (21 April 2008 pukul 22.00)
http://armanpasaribu.wordpress.com/2008/04/16/perspektif-pelayanan-reskrim-terhadap-perlindungan-saksi-dan-korban-sebagai-solusi-pembenahan-citra-kepolisian/ (21 April 2008 pukul 22.00)
http://utusan.com.my/utusan/info.asp?y=2007&dt=1104&pub=Utusan_Malaysia&sec=Terkini&pg=bt_04.htm (21 April 2008 pukul 22.00)
www.akta_pengubahan_wang_haram.htm (20 April 2008 pukul 22.00)
Teten Masduki. Beberapa Catatan UU Perlindungan Saksi. <www.antikorupsi.org> ( 23 Maret 2008 pukul 10.00)
Undang-Undang
KUHP dan KUHAP Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada
Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
Malaysia Anti Money Laundering Act 613.2001
Undang Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
xcix
PP No. 57 Tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan Khusus bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana Pencucian Uang
Peraturan Kepala Kepolisian NRI Nomor Pol. 17 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pemberian Perlindungan Khusus terhadap Pelapor dan Saksi dalam Tindak Pidana Pencucian Uang.