Top Banner
138

STUDI PERBANDINGAN PEMIKIRAN H} MAD KHALAFULLAHrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40552... · 2018. 8. 1. · adalah legenda atau kisah-kisah heroik yang telah diakrabi

Feb 10, 2021

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
  • STUDI PERBANDINGAN PEMIKIRAN MUH}AMMAD AH}MAD KHALAFULLAH DAN

    MUH}AMMAD ‘ABIRI> TENTANG KISAH DALAM AL QUR’AN

    Muhammad Ridhwan

    UAI Press 2018

  • ~ ii ~

    STUDI PERBANDINGAN PEMIKIRAN MUH}AMMAD AH}MAD KHALAFULLAH DAN MUH}AMMAD ‘ABIRI> TENTANG KISAH DALAM AL QUR’AN

    Copyright@2018 by Muhammad Ridhwan All right reserved

    Desain Sampul: Nandang Nur Muhammad CHS Pro Komplek Percetakan ALS Jalan Insinyur Haji Juanda Raya No. 46 Blok. B-4, Cipayung, Ciputat, Cipayung, Ciputat, Kota Tangerang Selatan, Banten 15419, Indonesia

    Cetakan 1, Juli 2018 Diterbitkan oleh UAI Press Universitas Al Azhar Indonesia Jl. Sisingamangaraja Kebayoran Baru Jakarta Selatan

    14,8 x 21

  • LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING TESIS

    "Studi Pcrbaodingan Pcmikiran Muqammad AfJmad Khalafullah dao Muqammad 'Abid al-Jiibin Tcntaog Kisah dalam al-Qur'an"

    TESTS

    Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Magister Agama (M.Ag)

    Oleh: Muhammad Ridhwan

    IM: 2112034000009

    Pembimbing

    Prof. Dr. Zainun Kamaluddin F, M.A 19500804 198603 l 002

    PROGRAM MAGISTER

    FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSIT AS ISLAM NEGERI

    SY ARIF HIDAY ATULLAH JAKARTA 1439 H/2018 M

  • Abstrak

    Tesis ini berusaha untuk mengungkap beberapa

    pemikiran tentang kisah dalam al-Qur’an. Sebagaimana diketahui,

    setidaknya terdapat dua kutub pemikiran yang besar, yakni

    mereka yang mempercayai kisah dalam al-Qur’an hanyalah kisah

    keagamaan dan mereka yang meyakini bahwa kisah dalam al-

    Qur’an adalah kisah faktual sejarah yang bisa dibuktikan

    kebenarannya. Tentu saja landasan berpikir dari masing-masing

    kutub tersebut berbeda. Bagi mereka yang meyakini kisah-kisah

    ini hanyalah kisah keagamaan, pembuktian faktual sejarah tidak

    mereka butuhkan, keyakinan lebih berperan. Bukanlah hal

    penting apakah kejadian dalam kisah tersebut nyata atau tidak,

    tujuan dari adanya kisahlah yang lebih penting bagi mereka.

    Sedangkan mereka yang meyakini kisah tersebut merupakan

    kisah nyata yang dapat dibuktikan dengan faktual sejarah maka

    mereka akan mencari bukti-bukti sejarah yang dapat mendukung

    kebenaran kisah tersebut.

    Dua tokoh yang dikaji adalah tokoh kontroversial dengan

    pemikiran-pemikiran mereka yang mengguncang dunia.

    Muhammad Ahmad Khalafullah yang sering dicap sebagai tokoh

    liberal yang menyatakan bahwa kisah-kisah dalam al Qur’an

    hayalah kisah mitos masa lalu dan Muhammad ‘Abid al-Jabiri --

    yang terkenal dengan trilogi nalarnya—menyatakan bahwa kisah

    dalam al-Qur’an hanyalah perumpamaan saja. Hal ini menarik

    perhatian penulis, bagaimana kedua tokoh besar tersebut dapat

    menyimpulkan bahwa kisah dalam al-Qur’an hanyalah mitos

    belaka atau hanyalah perumpamaan?

    Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan,

    menganalisis dan mengungkap makna kisah menurut kedua tokoh

    tersebut. Adakah keterkaitan antara kedua bidang ilmu yang

    berbeda –Khalafullah dengan kajian sastranya, sedangkan al-

    Jabiri dengan Filsafat Epistemologisnya—terhadap pemikiran

    mereka tentang kisah dalam al-Qur’an.

    Penelitian yang hampir serupa adalah tesis Ariel Jacob

    Segal (2005) yang meyakinkan orang bahwa kebenaran ilmiah

    adalah kebenaran agama. Lalu tesis Andy Hadiyanto yang

    menitik beratkan pada kajian semiotik terhadap kisah Nabi Yusuf.

  • Tesis Wisnawati Loeis dan Tesis Moh. Wakhid Hidayat, yang

    lebih menitik beratkan penelitiannya pada gaya strukturalisnya al-

    Qur’an. Terakhir adalah tesis Achmad Hasmi Hashona seperti

    halnya tesis Andy Hadiyanto, tesis ini lebih menitik beratkan

    penelitian pada kajian bahasa. Terakhir adalah Disertasi dari

    Andy Hadiyanto yang juga memakai kaca mata kajian bahasa.

    Tesis pertama dari Segal menitikberatkan kajian

    kebenaran ilmiah terhadap penafsiran Bibel dengan mengkaji

    tokoh dan pemikirannya, sedangkan keempat tesis dan satu

    disertasi yang dilakukan di UIN lebih menitikberatkan pada

    kajian sastra. Sementara penelitian kali ini ingin menegaskan dan

    mengungkap bagaimana pemikiran tokoh tersebut. Sehingga

    penelitian ini bersifat deskripsi-kualitatif dengan menerapkan

    pendekatan pendekatan normatif.

    Kata kunci: Kisah, Muhammad Ahmad Khalafullah,

    Muhammad Abid al Jabiri, Faktual Sejarah

  • Abstract

    This thesis attempts to reveal some thoughts about the

    story in the Qur'an. As is known, there are at least two great poles

    of thought, those who believe the story in the Qur'an is only a

    religious story and those who believe that the story in the Qur'an

    is a factual history that can be proved true. Of course the ground

    of thought of each pole is different. For those who believe these

    stories are only religious stories, they do not need the factual

    proof of history, beliefs are more important. It is not important

    whether the events in the story are real or not, the purpose of the

    story is more important to them. While those who believe the

    story is a true story that can be proven by factual history then they

    will look for historical evidence that can support the truth of the

    story.

    The two figures studied are controversial figures with

    their thoughts. Muhammad Ahmad Khalafullah who is often

    labeled as a liberal figure who states that the stories in the Qur'an

    just the story of the myth of the past and Muhammad 'Abid al-

    Jabiri - famous for his trilogy of reasoning - stated that the story

    in the Qur'an is parable only. This attracts the author's attention,

    how can the two great figures conclude that the story in the

    Qur'an is merely a myth or a metaphor?

    This study aims to describe, analyze and reveal the

    meaning of the story according to both figures. Is there a link

    between the two different disciplines -Khalafullah with his

    literary studies, while al-Jabiri with his Epistemological

    Philosophy-against their thinking about the story in the Qur'an.

    A similar study is Ariel Jacob Segal's (2005) thesis that

    convinces people that scientific truth is the truth of religion. Then

    Andy Hadiyanto's thesis focuses on the semiotic study of the

    story of Prophet Yusuf. Thesis Wisnawati Loeis and Thesis Moh.

    Wakhid Hidayat, who focused their research on the structuralist

    style of the Qur'an. Finally, Achmad Hasmi Hashona's thesis, as

    well as Andy Hadiyanto's thesis, focuses on research on language

    studies. Last is Dissertation from Andy Hadiyanto who also use

    of language study perspective.

  • The first thesis of Segal emphasized the study of

    scientific truths on the interpretation of the Bible by examining

    the figures and ideas, while the four theses and one dissertation

    conducted at UIN focus more on literary studies. While research

    this time want to affirm and reveal how the character thinks. So

    this research is descriptive-qualitative by applying approach of

    normative approach.

    Keywords: Story, Muhammad Ahmad Khalafullah, Muhammad

    Abid al Jabiri, Factual History

  • ~ iii ~

    KATA PENGANTAR

    بسم هللا الرحمن الرحيم

    Puji syukur kepada Allah atas limpahan semua karunia, nikmat Iman dan Islam. Shalawat dan salam kita panjatkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, juga untuk keluarga dan sahabat-sahabatnya serta seluruh pengikutnya hingga akhir zaman.

    Tesis yang berjudul “STUDI PERBANDINGAN PEMIKIRAN MUH{AMMAD AH{MAD KHALAFULLAH DAN MUH{AMMAD ‘A

  • ~ iv ~

    untuk menyelesaikan studi S2 ini di tengah kesibukan kantor.

    6. Kedua orang mertua penulis yang senantiasa menolong dalam berbagai kesulitan hidup, H. Yus Kusmayadi, S.Pd dan Hj. Neneng Rochmah.

    7. Isteri tercinta Yuke Rahmawati, MA yang senantiasa menjadi tempat bertukar pikiran, di tengah kesibukan mengajar dan menyelesaikan Disertasinya, tetap dengan tanggung jawab sebagai ibu rumah tangga membesarkan 3 putra-putrinya, Ananda Khalief Ilhan, Ananda Alex Radhiya Ihsan, dan Ananda Shofie Maharani Latansania Putri.

    8. Keluarga Besar Prof. Dr. Zuhal, M.Sc.E.E (Allahu Yarham) Rektor Universitas Al Azhar Indonesia Pertama yang sudah seperti orang tua bagi penulis, juga untuk Ibu Lin isteri beliau yang begitu perhatian dengan studi penulis. Alhamdulillah, akhirnya penulis dapat menunaikan amanah yang diberikan Pak Zuhal untuk menyelesaikan S2 ini.

    9. Dr. Ir. Ahmad H. Lubis, M.Sc, Rektor UAI 2015-2017, yang selalu memberi dukungan kepada penulis untuk sekolah yang lebih tinggi lagi.

    10. Prof. Dr. Ir. Asep Saefuddin, M.Sc, Rektor UAI 2018-2021, atas perkenannya Penulis dapat ijin meninggalkan tugas-tugas kantor selama hampir dua bulan terakhir.

    11. Rekan-rekan kerja di lingkungan Sekretariat Rektor, Bu Dini Priatini, Sdri. Lia Nuryati, Sdri. Reni Setiyani, Sdri. Ikhwana Yennyta, Sdr. Mudhika Nur Romadhon atas kerelaan dan keikhlasan menggantikan tugas-tugas penulis selama penulis tidak dapat masuk kantor.

    12. Rekan-rekan seangkatan di S2 Fakultas Ushuluddin, Mas Toto Tohari yang sangat membantu penulis selama studi S2 ini, teman senasib dan sepenanggungan Ustadz Rizky, Ustadz Irwan, dan Ustadz Engkus semoga ilmu yang kita dapatkan bermanfaat untuk ummat.

    13. Bapak/Ibu Pimpinan dan Pengelola Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah, Perpustakaan Fakultas Ushuluddin,

  • ~ v ~

    dan Perpustakaan Universitas Al Azhar Indonesia atas kesempatan memanfaatkan outsourcing buku dan kepustakaan lainnya yang dapat mendukung terselesainya tesis ini.

    14. Akhirnya, ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada seluruh Dosen yang telah berbagi ilmu dan pengalamannya. Jazzakumulla>h ah}sanal jazza>.

    Akhirnya hanya kepada Allah penulis bertawakkal,

    h}asbunalla>h wa ni’mal waki>l ni’mal maula> wa ni’man nasi>r. Wassalaamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Ciputat, 16 Maret 2018 Penulis Muhammad Ridhwan

  • ~ vi ~

    DAFTAR ISI

    BAB I 1 PENDAHULUAN ......................................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah ..................................................... 1 B. Permasalahan ....................................................................... 8

    1. Identifikasi Masalah .................................................... 8

    2. Pembatasan dan Perumusan Masalah ....................... 8

    C. Tujuan, Manfaat, Dan Signifikasi Penelitian .................... 9 D. Penelitian Terdahulu ......................................................... 10 E. Metodologi Penelitian ........................................................ 18 G. Kerangka Teori .................................................................. 21 BAB II 23 KISAH DALAM AL-QUR’AN .................................................. 23 A. Pandangan Umum Tentang Kisah Dalam Al-Qur’an ....... 23

    1. Pengertian Umum Tentang Makna Kisah ............... 23

    2. Macam-macam Kisah Dalam Al-Qur’an ................. 30

    3. Sistematika al-Qur’an dalam Menyampaikan Kisah 32

    4. Beberapa Pemikiran Tentang Kisah ........................ 35

    5. Mukjizat: Peristiwa Luar Biasa ............................... 51

    6. Jejak Arkeologis dalam Kisah .................................. 55

    BAB III 61 PEMIKIRAN MUH{AMMAD AH{MAD KHALAFULLAH ...... 61 A. Biografi Singkat ................................................................. 61 B. Pemikiran Muh}ammad Ah}mad Khalafullah ................... 61

    1. Kisah dalam al-Qur’an adalah Kisah Keagamaan ... 61

    2. Makna Kebenaran dalam Kisah ...................................... 75

    3. Tujuan Kisah ................................................................... 77

  • ~ vii ~

    BAB IV 81 PEMIKIRAN MUH}AMMAD ‘ABIRI ..................... 81 A. Pemikiran Muh}ammad ‘Abiri> ............................... 81

    1. Riwayat Hidup ............................................................... 81

    2. Karya Ilmiah .................................................................. 83

    3. Pemikiran-Pemikirannya ............................................. 85

    5. Lima Asumsi Dasar Dalam Kajian Kisah ................... 92

    BAB V 97 PERBANDINGAN PEMIKIRAN KHALAFULLAH DAN AL-

    JABIRI ......................................................................... 97 A. Beberapa Ayat al-Quran yang Menceritakan tentang

    Tongkat Nabi Musa as ........................................................ 97 B. Pandangan Khalafullah dan ‘Abiri> tentang Kisah

    Tongkat Nabi Musa ......................................................... 102 BAB VI 109 PENUTUP ................................................................................. 109 A. Kesimpulan ...................................................................... 109 B. Saran .................................................................................. 111

  • ~ viii ~

  • ~ 1 ~

    BAB I PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah Apabila dicermati, mayoritas materi kisah1 dalam al-Qur’an

    adalah legenda atau kisah-kisah heroik yang telah diakrabi oleh

    pemikiran bangsa Arab. Kisah-kisah tersebut diwarisi secara

    turun-temurun, dan diceritakan berulang-ulang dalam asma>r-

    asma>r (obrolan-obrolan malam) mereka.2 Al-Qur’an menceritakan

    kembali kisah-kisah tersebut di samping untuk menyegarkan

    ingatan orang Arab, adalah untuk memberikan pemaknaan baru,

    dan menjadikannya media untuk menyampaikan konsep atau

    ajaran tertentu. Melalui kisah dalam al-Qur’an kita mendapat

    1Ibn Manz}u>r, Lisa>n al-‘Arab, (Beirut: Dar S}a>d, tt), Juz 7 h. 73 menguraikan makna kata

    kisah atau qis}s}ah dalam bahasa Arab berasal dari akar kata qas}s}a-yaqus}s}u yang berarti memotong, sebagaimana dalam ungkapan qas}as}tu al-sya’r (saya memotong rambut); menjelaskan, mengikuti jejak, sebagaimana ungkapan qas}as}tu al-sya’i (saya mengikuti jejaknya sedikit demi sedikit); mengurangi atau mengambil, Qas}s}a Alla>hu biha> khat}aya>hu (Allah mengurangi dengan dosa-dosanya). Dari akar kata qas}s}a terambil kata qis}s}ah yang berarti khabar (berita), amr (perkara/urusan), hadis\ (pembicaraan). Penggunaan kosa kata qis}s}ah dalam al-Qur’an tidak ditemukan. Al-Qur’an menggunakan kata kerja lampau (fi’il mad}i) qas}s}a dan qas}as}na dalam 4 ayat, dalam bentuk kata kerja sedang (fi’il mud}ari) dengan berbagai kasusnya dalam 13 ayat, kata perintah (fi’il amr) 2 ayat, dan mas}dar qas}as} sebanyak 6 ayat.

    2Muh}ammad Ah}mad Khalafullah, al-Fann al-Qas}as}i fi> al-Qur’a>n al-Kari>m Penerjemah Zuhairi Misrawi dan Anis Maftukhin, Al-Qur’an Bukan Kitab Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 2002), h. 101.

  • ~ 2 ~

    materi pembelajaran yang berlimpah tentang ibadah ritual, moral,

    teknik memperbaiki hati, dan lain sebagainya.3

    Afi>f ‘Abdul Fatta>h} T}abbarah– mewakili Jumhur Ulama -

    menyatakan bahwa kisah dalam al-Qur’an adalah kisah

    keagamaan.4 Sebagai kisah keagamaan, maka tujuan utama yang

    ingin dicapai dan penyajiannya adalah agar pembaca atau

    pendengar terpengaruh lalu tergerak untuk menerima dan taat

    kepada kehendak Tuhan. Al-Qur’an menggunakan kisah-kisah itu

    untuk menjelaskan sebuah prinsip, mengajak kepada sebuah ide,

    menyeru kepada kebaikan dan kebenaran serta melarang

    kemungkaran.5

    Sementara Amin al-Khulli 6 yang berangkat dari

    mendudukkan al-Qur’an sebagai ‘kitab bahasa Arab terbesar’ dan

    ‘warisan sastra teragung’, menjadikan kajian sastra sebagai

    pijakan awal. Ia meyakini bahwa prioritas utama dari penafsiran

    al-Qur’an adalah tujuan al-Qur’an itu sendiri yakni mendakwahi

    umat manusia dan membimbingnya meraih kebahagiaan dunia-

    akhirat.

    3 Amru Khalid, Qira>’ah Jadi>dah wa Ru’yah fi> Qas}as} al-Anbiya>, (Beiru>t: Da>r al-

    Ma’rifah, 2007) h.12. juga dalam Afi>f ‘Abdul Fatta>h} T}abba>rah, Ru>h al-Di>n al-Isla>mi>, (Beiru>t: Da>r al-Ilm li al-Malayi>n, 1993), h. 47.

    4Afi>f ‘Abdul Fatta>h} T}abba>rah, Ru>h al-Di>n al-Isla>mi>, h. 47. 5Bakri> Syaikh Ami>n, Al-Ta’bi>r al-Fanni> fi> al-Qur’a>n al-Kari>m, (Beiru>t: Da>r al-Ilm li

    al-Malayi>n, 1993), h. 226-227. 6Menurutnya metode susastra dapat mengkaji teks-teks al-Qur’an. Dengan pendekatan

    sastra yang mampu menampilkan aspek-aspek keindahan bahasa dan uslub al-Qur’an serta efek seni dan psikologis yang ditimbulkan pada diri penerima (receiver) al-Qur’an. Teori inilah yang dikaji oleh Amin al-Khulli (1895-1966 M) yang lalu dikenal sebagai metode tafsir susastra.

  • ~ 3 ~

    Pemikiran al-Khulli ini begitu menginspirasi seorang

    mahasiswanya yakni Muh}ammad Ah}mad Khalafullah (1916-

    1998M), ia berangkat dari keyakinan bahwa dalam memahami

    kisah-kisah al-Qur’an perlu dibedakan antara dua hal, pertama

    antara paparan seni/susastra dan kedua adalah paparan sejarah.

    Khalafullah meyakini bahwa kisah-kisah dalam al-Qur’an adalah

    kisah susastra yang tidak perlu pembuktian bahwa hal tersebut

    benar-benar terjadi.7 Karena pendekatan inilah ia mengeluarkan

    pernyataan yang mencabut kebenaran fakta sejarah dari kisah

    yang dimuat al-Qur’an, sehingga ada kisah al-Qur’an itu bahkan

    disebut-sebut sebagai kisah mitologis, atau perumpamaan, atau

    kisah imaginatif semata.8

    Begitu pun dengan Moh}ammed Arkoun (1928-2010M), ia

    tidak menerima kisah-kisah itu sebagai keyakinan faktual, namun

    juga tidak mau mengatakan terus terang sebagai jenis khurafat.

    Menurutnya, jika kita membahas tentang mitos dan kisah, maka

    akan kita dapati terjemahnya mythe dalam bahasa Perancis,

    karena mitos ini digunakan oleh para ahli antropologi untuk

    menunjukkan kepada kisah yang benar dan tampak di dalamnya

    imajinasi sosial.9

    7Khalfullah, al-Fann al-Qas}as}i, h. 31. 8‘Abdul Kari>m al-Khat}i>b, al-Qas}as} al-Qur’a>n fi> Mant}u>qihi wa Mafhu>mihi, (Beiru>t: Da>r

    al-Ma’rifah, 1975), h. 282. 9Fahmi Salim, Kritik Terhadap Studi Al-Qur’an Kaum Liberal, (Jakarta: Perspektif,

    2012), h. 382.

  • ~ 4 ~

    Muh}ammad ‘Abiri> menuangkan pemikirannya

    tentang kisah dalam bukunya al-Madkhal Ila> al-Qur’a>n al-Kari>m.

    Buku ini diproyeksikannya untuk menjadikan al-Qur’an relevan

    bagi umat manusia saat ini dan tentu dengan mengkritisi Quranic

    Studies klasik yang telah dibangun oleh ulama-ulama terdahulu.

    Berangkat dari kritik nalar Arab, yang diharapkan akan mampu

    mensinergikan kesenjangan antara turas\ dan modernitas, al-Ja>biri>

    mencoba teorinya masuk dalam ranah kajian al-Qur’an yang

    diorientasikan dapat menjaga orisinilitas Quranic studies dan

    tafsirnya dari pengaruh sektarian.10 Al-Ja>biri> berpendapat bahwa

    kisah al-Qur’an adalah perumpamaan. Menurutnya, kisah al-

    Qur’an disampaikan bukan untuk kepentingan kisah itu sendiri,

    melainkan untuk tujuan dakwah. Sehingga, kisah al-Qur’an tidak

    disampaikan sesuai urutan waktu kisah itu sendiri, melainkan

    berdasarkan urutan fase dakwah Nabi Muhammad SAW. Karena

    hanya perumpamaan, kebenaran kisah atau kesesuaiannya dengan

    fakta sejarah bukanlah hal yang perlu dikaji.

    Berbeda dengan pemikiran-pemikiran sebelumnya, Abdullah

    Saeed, berada di tengah-tengah, di satu sisi ia sependapat dengan

    pandangan Khalafullah bahwa banyak sekali ayat-ayat al-Qur’an

    yang mengandung kisah atau sejarah namun tidak ada keterangan

    secara detail, juga banyaknya kisah-kisah yang diulang tapi di

    10Ahmad Fawaid, “Kritik Atas Kritik Epistemologi Tafsir M. Abied Al Jabiri: Studi

    Kritis Atas Madkhal Ila al-Quran al Karim,” Ulul Albab Volume 16, No. 2 Tahun 2015, h. 157.

  • ~ 5 ~

    tempat yang tidak berurutan. Namun yang menarik, Saeed

    menegaskan bahwa banyaknya ayat-ayat tentang kisah ini tidak

    lain menunjukan pada peristiwa sejarah manusia yang bisa

    diperiksa ulang dari sumber dan tradisi lainnya.

    Saeed membuka peluang untuk mencari kebenaran atas

    kisah-kisah ini dari sumber-sumber lain. Sumber-sumber itu bisa

    dari al-Qur’an, hadis\ Nabi, atau bahkan dari dokumen lainnya,

    artefak, dan bukti-bukti arkeologis dan antropologis. Saeed pun

    menyadari bahwa banyak penafsiran yang dapat didukung dengan

    keterangan dari Bible.11

    Pada masa Nabi sekalipun kita mengenal al-Nad}r ibnu al-

    Haris\ yang selalu memperhatikan gerak gerik Nabi SAW ketika

    berdakwah kepada penduduk Makkah sambil membacakan ayat-

    ayat suci al-Qur’an, ibnu al-Haris\ selalu mengatakan bahwa apa

    yang disampaikan Nabi SAW adalah mitos umat terdahulu. Hal

    ini diabadikan dalam al-Qur’an yang menjadikannya sebab turun

    ayat 31 surat al-Anfa>l.

    Hal inilah yang menarik perhatian penulis, benarkah kisah-

    kisah al-Qur’an hanyalah kisah-kisah mitologis, imaginatif

    sebagaimana yang diyakini oleh Khalafullah, atau hanya kisah

    keagamaan sebagaimana yang diyakini T}abba>rah yang semuanya

    tidak perlu dicari pembuktian kebenarannya. Umat Islam hanya

    11Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’a>n: Towards a Contemporary Approach, (New

    York: Routledge, 2006), h. 94.

  • ~ 6 ~

    perlu meyakini dan mengimani kisah-kisah tersebut. Sementara

    kita hidup di masa yang lebih mengedepankan rasionalitas.

    Mensikapi hal ini, penulis lebih condong kepada pemikiran

    kontemporer yang digagas oleh Abdullah Saeed. Kisah-kisah

    dalam al-Qur’an dapat kita cari kebenarannya dengan berbagai

    sumber. Salah satu sumber tersebut adalah dengan pendekatan

    filsafat.

    Ada dua tokoh utama yang akan dikaji pemikirannya yakni

    Muh{ammad Ah{mad Khalafullah dan Muh{ammad ‘Abiri>.

    Pemilihan kedua tokoh ini tak lain karena pemikirannya yang

    kontroversial dan menarik untuk dikaji. Khalafullah dengan

    pendekatan sastranya yang cenderung menafikan faktual sejarah

    dari kisah dan ‘Abiri> yang terkenal dengan Trilogi

    Nalarnya yang merupakan pemikiran filsafat epistemologi.

    Terminologi kebenaran banyak ditemukan dalam kajian-

    kajian filsafat. Sehingga muncullah peristilahan pendekatan

    filosofis. Pendekatan filosofis dalam memahami studi Islam

    merupakan cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam

    suatu bidang ilmu. Selanjutnya filsafat ini digunakan dalam

    memahami dan mempelajari agama Islam, baik simbol-simbol

    keagamaannya maupun nilai-nilai yang terkandung dalam

    ajarannya dan tidak dibatasi dari sesuatu yang membatasinya. Di

    samping itu, pendekatan filosofis ini penting digunakan dalam

    studi Islam karena dapat membantu dalam memahami teks-teks

    al-Qur’an dan Hadis\ Nabi SAW.

  • ~ 7 ~

  • ~ 8 ~

    B. Permasalahan 1. Identifikasi Masalah Dari uraian di atas, maka ditemukan beberapa pertanyaan

    yang perlu ditindaklanjuti dan ditelaah sehingga informasi yang

    didapat akan utuh dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ada.

    Pertanyaan-pertanyaan tersebut terkait dengan hal-hal berikut:

    1. Bagaimana pandangan ulama tentang kisah dalam al-

    Qur’an?

    2. Mengapa Khalafullah dan al-Ja>biri> dapat menyatakan

    bahwa kisah dalam al-Qur’an hanyalah perumpamaan

    dan kisah keagamaan saja?

    3. Apa persamaan dan perbedaan pandangan keduanya?

    2. Pembatasan dan Perumusan Masalah Dari permasalahan yang telah teridentifikasi di atas, maka

    penelitian ini dibatasi pada masalah seputar pemikiran

    Khalafullah dan ‘Abiri>, dan bagaimana penerapan

    pemikirannya terhadap kisah dalam al-Qur’an.

    Sebagai contoh, penulis mengangkat kisah tongkat Nabi

    Musa yang dapat berubah menjadi ular. Kisah ini akan ditelaah

    menurut penafsiran klasik sebagai penafsiran yang menggunakan

    epistemologi bayani lalu dikaji bagaimana pemikiran Khalafullah

    dan ‘Abiri> tentang hal ini. Untuk mendapatkan gambaran

    tentang hal tersebut, maka penelitian akan dibatasi cakupan

    kajiannya seputar:

  • ~ 9 ~

    1. Deskripsi tentang terminologi seputar kisah dan kajian tentang

    kisah menurut Khalafullah dan al-Ja>biri>.

    2. Deskripsi kisah Nabi Musa a.s. sebagai contoh penerapan teori,

    deskripsi atas kisah ini juga memaparkan penafsiran terhadap

    ayat-ayat yang menceritakan kisah Nabi Musa a.s. Lalu penulis

    mencoba mengurai terkait kisah Nabi Musa a.s yang sulit

    diterima akal yakni bagaimana tongkat Nabi Musa a.s dapat

    berubah menjadi ular.

    Bertolak dari pembatasan masalah di atas, maka pertanyaan

    penelitian diformulasikan sebagai berikut: Bagaimanakah

    pandangan Khalafullah dan al-Ja>biri> tentang kisah dalam al-

    Qur’an? Apa yang menjadi landasan berpikirnya?

    C. Tujuan, Manfaat, Dan Signifikasi Penelitian Dari pembatasan dan perumusan masalah di atas, maka

    penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan, menganalisis

    dan mengungkap pemikiran dua tokoh yakni Muh}ammad

    Ah}mad Khalafullah dan ‘Abiri> tentang kisah dalam

    al Qur’an. Penelitian ini juga ingin mengungkap bahwa kisah

    dalam al-Qur’an dapat dibuktikan kebenarannya. Hal ini

    tentu saja akan menambah keyakinan bagi kita sebagai umat

    Islam dan memperkuat kemukjizatan al-Qur’an dalam

    perspektif ilmu pengetahuan.

  • ~ 10 ~

    Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritik

    dan praktis bagi kalangan akademik maupun umum. Manfaat

    tersebut antara lain:

    1. Manfaat teoritik Penelitian ini diharapkan dapat memberi kerangka kerja

    metodologis bagi penelaahan dan pemaknaan kisah dalam

    al-Qur’an sebagai kisah yang benar.

    2. Manfaat praktis a. Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan

    kemampuan masyarakat memahami kisah-kisah dalam al-

    Qur’an bukan hanya dari sisi keyakinan saja, tapi juga

    melalui pemikiran filosofis.

    b. Penelitian ini diharapkan dapat memberi inspirasi bagi

    peneliti-peneliti kisah al-Qur’an, menambah keyakinan

    bagi para ilmuwan tentang kebenaran al-Qur’an melalui

    kisah-kisah yang ada di dalamnya.

    D. Penelitian Terdahulu Pada tahun 2005, Ariel Jacob Segal melakukan penelitian

    tesisnya berjudul "Scientific Truth, Rightly Understood, Is

    Religious Truth": The Life and Works of Reverend Edward

    Hitchcock, 1793-1864. Penelitiannya ini meyakinkan orang

    bahwa kebenaran ilmiah adalah kebenaran agama. Ia coba

    mengupas pemahaman dan pengalaman dari pendeta Edward

    Hitchcock yang memiliki banyak kontribusi di bidang geologi dan

    paleontologi. Hitchcock adalah tokoh Kristen yang berusaha

  • ~ 11 ~

    merekonsiliasi ilmu dan agama (baca: Kristen Evangelis).

    Penelitian Hitchcock yang diangkat oleh Segal adalah pemahaman

    ilmiah terhadap Penciptaan dan Air Bah (banjir pada masa Nabi

    Nuh). Pada awal keyakinannya, Hitchcock menarik kesimpulan

    bahwa air bah yang terjadi pada masa Nuh terjadi di seluruh

    belahan bumi, namun pada paruh lain dari hidupnya ia menarik

    kesimpulan bahwa banjir itu hanya terjadi di sebagian dari belahan

    bumi.

    Di akhir tesisnya Segal menarik kesimpulan bahwa

    Hitchcock telah menempatkan garis demarkasi yang jelas antara

    kebenaran Alkitab dan kebenaran ilmiah, dalam arti bahwa

    Alkitab harus dijelaskan dengan menggunakan bahasa non-

    scientific untuk menggambarkan alam. Hal ini memungkinkan

    Hitchcock untuk menginterpretasi yang benar tentang Penciptaan

    dan Air Bah. Menurutnya, Hitchcock akhirnya berpikir bahwa

    kebenaran ilmiah adalah kebenaran agama, dan kebenaran ini akan

    memberikan manusia keyakinan tentang keberadaan Tuhan, baik

    dalam kehidupan ini dan berikutnya. 12

    Di samping penelitian tentang kebenaran ilmiah di atas,

    terdapat beberapa penelitian tentang kisah-kisah dalam al-Qur’an

    yang telah dilakukan civitas akademika UIN, setidaknya penulis

    12A. J. Segal, "Scientific Truth, Rightly Understood, Is Religious Truth": The Life and

    Works of Reverend Edward Hitchcock, 1793—1864(Order No. 1431573). (2005), available from ProQuest Dissertations & Theses Full Text: The Humanities and Social Sciences Collection. (304995825). Retrieved from http://search.proquest.com/docview/304995825?accountid=25704.

  • ~ 12 ~

    menemukan empat tesis dan satu disertasi di UIN Syarif

    Hidayatullah. Keempat tesis tersebut dilakukan dalam kurun

    waktu 2004 – 2008, dua tesis dilakukan pada tahun 2004, satu di

    tahun 2007 dan satu lagi di tahun 2008. Adapun disertasi tentang

    kisah ada di tahun 2010.

    Dalam tesis Andy Hadiyanto yang berjudul “Kajian Semiotik

    Kisah Yusuf: Sebuah Tinjauan Sastra Terhadap Kisah al-Qur’an”,

    ia mengkaji kisah dalam al-Qur’an dengan pendekatan sastra.

    Hadiyanto menitik beratkan pada kajian semiotik terhadap kisah

    Nabi Yusuf. Ia menganalisa kisah ini dalam dua tahapan, pertama

    analisis struktural untuk menguraikan secara merenik unsur-unsur

    kisah sastra pembangun kisah ini. Lalu diikuti langkah kedua

    yakni, analisis semiotik yang mencoba menggali makna kedua

    (baca: makna konotatif) dari kisah tersebut. Makna yang diperoleh

    dari analisis semiotik ini adalah makna konotatif. Kajian yang

    ingin ia peroleh adalah seputar bagaimana penerapan metode

    semiotik dalam pembacaan atas kisah Yusuf, lalu apa interpretasi

    yang didapat dari metode ini.

    Di akhir penelitiannya, Hadiyanto menarik kesimpulan

    bahwa analis semiotik yang berujung pada proses pembacaan

    hermeneutik membawa pembaca untuk memahami kisah Yusuf

    menggunakan metode demitologisasi. Dengan metode ini,

    pembaca dibawa kepada makna-makna yang terpendam dan

    tersembunyi di balik uraian kisah tersebut. Sehingga ia

  • ~ 13 ~

    menyimpulkan bahwa tema kisah Yusuf adalah kesabaran dalam

    memegang kebenaran akan membawa kebahagiaan. 13

    Tesis kedua adalah milik Wisnawati Loeis yang berjudul

    “Kandungan Moral Al-Qur’an dalam Kisah ‘A

  • ~ 14 ~

    Kisah ini diulas dalam 180 ayat di 18 surat, umumnya surat-

    surat Makiyyah dan hanya sebagian kecil pada surat-surat

    Madaniyyah. Di akhir tulisannya, Loeis berkesimpulan bahwa

    manusia yang memiliki hati nurani atau kecerdasan spiritual tentu

    akan ‘menarik pelajaran’ dari peradaban yang telah musnah. Jika

    tidak, mereka akan mengulangi lagi siklus sejarah penciptaan dan

    kehancuran yang sama, karena satu hal: ‘Hukum Allah tidak akan

    pernah berubah’ bagi setiap bangsa dan peradaban.16

    Selanjutnya penulis menemukan tesis Moh. Wakhid Hidayat,

    berjudul “Struktur Narasi Dalam Qas}as} al-Qur’an (tinjauan

    Analisa Strukturalisme Naratif)’, yang lebih menitik beratkan

    penelitiannya pada gaya strukturalisnya al-Qur’an. Ia

    menggunakan pendekatan sastra untuk mengkaji kisah-kisah yang

    ada dalam al-Qur’an. Dengan pisau bedah teori Strukturalisme

    Naratif yang dikembangkan A.J. Greimas yang mengandaikan

    bahwa struktur suatu teks dikarakteristikkan oleh enam peran

    yang disebut dengan aktan. Aktan ini memetakan tokoh yang

    berbeda-beda yang ditelaah melalui tata bahasa naratif.17

    16Wisnawati Loeis, “Kandungan Moral Al-Qur’an dalam Kisah ‘A

  • ~ 15 ~

    Dengan pisau bedah ini, Wakhid memulai penelitiannya

    dengan memetakan qas}as} al-Qur’an ditinjau dari konsep

    strukturalisme dan narasi, lalu dikombinasikan dengan paradigma

    tarti>b ayat dan kesatuan ayat-ayat dalam surah, terbagi dalam tiga

    klasifikasi. Pertama model qas}as} al-Qur’a>n satu narasi dalam satu

    surah, kedua model kumpulan narasi pendek berurutan dalam satu

    surah, dan ketiga model narasi tak beraturan dalam satu surah.

    Setelah pemetaan ini, barulah ia menganalisa kepada 9 surah

    pilihan yakni QS. (12) Yu>suf, QS. (28) al-Qas}as}, QS. (7) al-A’ra>f,

    QS. (19) Maryam, QS. (26) asy-Syu’ara>, QS. (27) al-Naml, QS.

    (37) as}-S}āffāt, QS. (2) al-Baqarah, dan QS. (18) al-Kahf. Dari

    analisa ini ditemukan variasi deskripsi struktur-struktur narasi

    aktansial qas}as} al-Qur’a>n yang lengkap dalam keenam aktan, atau

    zeroisasi dalam salah satu dari aktan pembantu dan penentang.

    Di akhir penelitiannya, Wakhid menyimpulkan bahwa

    terdapat beberapa struktur narasi qas}as}, yakni struktur narasi

    ah}san qas}as}, struktur narasi konflik dalam bingkai kekerasan,

    struktur narasi drama dakwah kerasulan, struktur narasi anugerah

    berfungsi atributif, struktur narasi reaksi terhadap anugerah

    berfungsi syukur dan kufur, struktur narasi kekuasaan Tuhan (deus

    ex machina) qas}as} al-Qur’a>n, struktur narasi reaksi terhadap

    perintah, struktur narasi isotope of space (isotop tempat), dan

    struktur narasi dengan interaksi aktan Tuhan. Di mana struktur

    narasi ini merujuk kepada the syntax of naratif, tata bahasa narasi

  • ~ 16 ~

    qas}as} al-Qur’a>n, morfologi qas}as} al-Qur’a>n, atau nahwu al-qas}as}

    fi> qas}as} al-qur’a>n. 18

    Terakhir adalah tesis Achmad Hasmi Hashona berjudul

    “Repetisi Kisah Nabi Musa a.s. dalam Al-Qur’an (Kajian

    Strukturalisme-Semiotika), seperti halnya tesis Andy Hadiyanto,

    tesis ini lebih menitik beratkan penelitian pada kajian bahasa. Ia

    melihat kisah dari sudut pandang bahasa di mana dalam setiap

    kisah terkandung sistem tanda yang mengekspresikan pesan-pesan

    tersebut. Dan yang menarik baginya adalah pesan-pesan tersebut

    disampaikan secara berulang-ulang dengan gaya bahasa yang

    berbeda. Kisah Nabi Musa dipaparkan berulang di beberapa surat

    yakni, al-Baqarah, al-A’ra>f, Yu>nus, T}a>ha>, al-Qas}as}, asy-Syu’ara>,

    dan lainnya. Lalu ia mengulas kisah tersebut dari sudut pandang

    strukturalisme-semiotika untuk mengetahui repetisi dari aspek

    gaya bahasanya, yakni sintaksis, semantik, dan pragmatik. Karena

    barangkat dari strukturalisme-semiotika ini, ia mengungkap

    ‘segala sesuatu’ yang terdapat di dalam repetisi suatu kisah yang

    berkaitan dengan komponen kisah, yakni: tokoh, plot atau alur,

    setting atau latar, dan tema, serta bagaimana kisah itu lahir. Di

    akhir dari penelitiannya, Hashona mengambil kesimpulan bahwa

    kajian strukturalisme-semiotika terhadap repetisi kisah Nabi

    Musa as merupakan sebuah metode alternatif untuk memperoleh

    18Moh. Wakhid Hidayat, “Struktur Narasi Dalam Qas}as} Al-Qur’an (tinjauan Analisa

    Strukturalisme Naratif)’, Tesis, Program Magister Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007.

  • ~ 17 ~

    pemaknaan yang lebih kontekstual, sehingga tidak terjebak dalam

    anggapan bahwa repetisi kisah merupakan repetisi secara literal

    yang tanpa arti.19

    Disertasi dari Andy Hadiyanto yang berjudul “Repetisi Kisah

    Al-Qur’an (Analisis Struktural Genetik Terhadap Kisah Ibrahim

    dalam Surat Makkiyah dan Madaniyyah)”, yang juga memakai

    kaca mata kajian bahasa. Menurutnya, konteks situasional dan

    bahasa dalam surat-surat Makiyyah dan Madaniyyah memberikan

    kontribusi yang signifikan terhadap variasi maksud tujuan tipologi

    dan penyusunan kontribusi unsur kisah-kisah Ibrahim dalam tema

    besar yang ingin dicapai oleh surat di mana kisah tersebut

    disajikan.20

    Tesis pertama dari Segal menitikberatkan kajian kebenaran

    ilmiah terhadap penafsiran Bible dengan mengkaji tokoh dan

    pemikirannya, sedangkan keempat tesis dan satu disertasi yang

    dilakukan di UIN lebih menitikberatkan pada kajian sastra.

    19Achmad Hasmi Hashona, “Repetisi Kisah Nabi Musa A.S. dalam Al-Qur’an (Kajian

    Strukturalisme-Semiotika), Tesis, Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2008.

    20Andy Hadiyanto, “Repetisi Kisah Al-Qur’an (Analisis Struktural Genetik Terhadap Kisah Ibrahim dalam Surat Makkiyah dan Madaniyyah)”, Disertasi, Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2010.

  • ~ 18 ~

    E. Metodologi Penelitian Sebagai dasar penyusunan penelitian ini agar dapat tercapai

    apa yang diharapkan, penulis melakukan kajian atas pemikiran

    Khalafullah dan al-Ja>biri>, sebagai contoh penulis akan

    menguraikan tafsir atas ayat-ayat al-Qur’an yang mengisahkan

    tentang tongkat Nabi Musa as menurut tafsir al T{abari>.

    1. Jenis Penelitian.

    Penelitian ini bersifat deskripsi-kualitatif dengan

    menerapkan pendekatan normatif. Pendekatan ini berusaha

    mengungkap konsep dalam memahami kisah al-Qur’an.

    2. Sumber Data.

    Data primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah buku

    karangan Muh}ammad Ah}mad Khalafullah, al-Fann al-Qas}as}i

    fi> al-Qur’a>n al-Kari>m dan karangan Muh}ammad ‘Abiri>, Madkhal Ila> al-Qur’a>n al-Kari>m, dan dukungan dari

    kitab-kitab dan sumber data lainnya, juga diperoleh dari

    berbagai ayat tentang kisah Nabi Musa as dalam al-Qur’an

    dan buku-buku yang mengkaji kisah-kisah ini, sedangkan

    data sekundernya diperoleh dari data-data dan informasi dari

    berbagai sumber yang mendukung teori dalam penelitian ini.

    Beberapa bahan yang sifatnya teoritis diambil dari sumber-

    sumber tertulis yang berkaitan dengan tema pembahasan,

    baik dari literatur primer maupun sekunder, dan sebagian lagi

    diperoleh melalui buku, majalah, hasil penelitian, jurnal,

    artikel, internet dan lain-lain.

  • ~ 19 ~

    3. Analisa Data

    Data-data yang diperoleh diolah, dirumuskan kemudian

    dideskripsikan sehingga dapat menjawab pertanyaan yang

    ada dan mendapatkan peta konsep yang jelas. Selanjutnya

    dilakukan interpretasi dan analisis terhadap data tersebut.

    F. Sistematika Penulisan Penelitian tesis yang dilakukan oleh penulis akan dilaporkan

    dalam lima bab dengan menggunakan sistematika penyajian

    sebagai berikut:

    Bab I berisi Pendahuluan, pada bab ini penulis menyajikan

    tentang latar belakang pemilihan objek kajian, pembatasan

    masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat

    penelitian, signifikasi penelitian, dan metodologi penelitian.

    Bab II berisi pengantar menuju perdebatan seputar kisah

    dalam al-Qur’an, pada bab ini penulis menyajikan pandangan

    umum tentang kisah dalam al-Qur’an, pengertian tentang kisah

    dalam al-Qur’an, macam-macam kisah dalam al-Qur’an, beberapa

    pemikiran dan perdebatan tokoh terhadap kisah.

    Pada Bab III berisi tentang tokoh yang dibahas yakni

    Muh}ammad Ah}mad Khalafullah bagaimana riwayat hidupnya dan

    apa pemikiran-pemikirannya tentang kisah.

    Pada Bab IV berisi tentang tokoh yang dibahas yakni

    Muh}ammad ‘Abiri>, bagaimana riwayat hidupnya dan apa

    pemikiran-pemikirannya tentang kisah.

  • ~ 20 ~

    Lalu dilanjutkan dengan Bab V berisi bagaimana pandangan

    kedua tokoh terhadap suatu kisah. Penulis mengambil satu contoh

    yakni kisah tongkat Nabi Musa as. Pendekatan bayani dengan

    mengutip penafsiran al-T{abari> tentang ayat-ayat yang memuat

    kisah tongkat Nabi Musa yang dapat berubah menjadi ular, lalu

    diulas bagaimana pandangan keduanya.

    Penelitian diakhiri dengan Bab VI yang berisi Penutup, pada

    bab inilah akan disajikan kesimpulan yang merupakan jawaban

    dari pertanyaan-pertanyaan yang ada pada perumusan masalah,

    dan saran berupa usulan yang diajukan bagi peneliti-peneliti lain

    yang ingin menindaklanjuti kajian tentang kisah-kisah al-

    Qur’an.[]

  • ~ 21 ~

    G. Kerangka Teori

    Merupakan kisah

    keagamaan

    Tidak perlu pembuktian sejarah karena kisah-

    kisah ini hanyalah kisah sastra

    Tidak perlu dilihat faktual sejarah,

    pembacaan kisah sebagai simbol-simbol

    Kisah mitologis, perumpamaan,

    imaginatif

    Benarkah kisah-kisah ini hanya mitos, perumpamaan, khayal/imaginatif, tidak perlu

    faktual sejarah?

    Perlu pengkajian dan pembuktian lebih lanjut.

    Kisah-kisah dalam al-Qur’an

    T}abba>rah (mewakili Jumhur

    Ulama)

    Amin al-Khulli dan Muh}ammad Ah}mad

    Khalafullah

    Moh}ammed Arkoun Abdullah Saeed

    Kisah-kisah ini dapat

    diperiksa ulang dgn sumber

    lain

  • ~ 22 ~

  • ~ 23 ~

    BAB II KISAH DALAM AL-QUR’AN

    A. Pandangan Umum Tentang Kisah Dalam Al-Qur’an

    1. Pengertian Umum Tentang Makna Kisah Ibn Manz}u>r dalam kitab Lisa>n al-‘Arab menguraikan makna

    kata qis}s}ah dalam bahasa Arab berasal dari akar kata َّقَص (yang berarti memotong, sebagaimana dalam ungkapan qas}as}tu al-sya’r

    (saya memotong rambut); menjelaskan, mengikuti jejak,

    sebagaimana ungkapan qas}as}tu al-sya’i (saya mengikuti jejaknya

    sedikit demi sedikit); mengurangi atau mengambil, قص هللا

    طياهبهاخ (Allah mengurangi dengan dosa-dosanya). Dari akar kata qas}s}a terambil kata qis}s}ah yang berarti khabar (berita), amr

    (perkara/urusan), hadis\ (pembicaraan). Penggunaan kosa kata

    qis}s}ah dalam al-Qur’an tidak ditemukan. Al-Qur’an menggunakan

    kata kerja lampau (fi’il mad}i) qas}s}a dan qas}as}na dalam 4 ayat,

    dalam bentuk kata kerja sedang (fi’il mud}ari) dengan berbagai

    kasusnya ada di 13 ayat, kata perintah (fi’il amr) 2 ayat, dan

    mas}da>r qas}as} sebanyak 6 ayat.21

    Al-Qat}t}an dalam kitabnya menjelaskan bahwa kata al-qas{as{

    yang berarti قَصَّ berasal dari bahasa Arab dari kata (القََصصُ )

    ‘mencari’ atau ‘mengikuti jejak’ ) ُتَتَّبُِع االَثَر( sebagaimana

    21Ibnu Manz}u>r, Lisa>n al-‘Arab, (Beirut: Dar S{a>d, tt), Jilid 7, h. 73.

  • ~ 24 ~

    dikatakan (saya mengikuti atau mencari jejaknya) قََصْصُت اَثَُرهُ

    atau ُتَتَّبَِعتُه (mengikuti jejaknya). Kata al-qas{as} sendiri merupakan bentuk masdar sebagaimana dalam QS. al-Kahfi [18]: 64

    قَاَل َذلَِك َما ُكنَّا نَْبِغ فَاْْرتَدَّا َعلَى اَثَا ِرِهَما قََصًصا Musa berkata: "Itulah (tempat) yang kita cari". Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula. (QS. al-Kahfi [18]: 64)

    Maksudnya, kedua orang dalam ayat itu kembali lagi untuk

    mengikuti jejak dari mana keduanya itu datang, juga di ayat lain

    dalam QS. al-Qas}as} [28]:11 disebutkan: ِْيه Dan) َوقَالَْت ِالُْختِِه قُصِّberkatalah ibu Musa kepada saudaranya yang perempuan: Ikutilah

    dia!), maksudnya mengikuti jejaknya sampai terlihat siapa yang

    mengambilnya (Nabi Musa). Qas}as} juga berarti berita berurutan.

    Firman Allah dalam QS. Ali ‘Imra>n [3]: 62:

    ُ انَّ هََذا لَهَُو القََصُص الَحقُّ َ لَهَُو َوَما ِمْن الٍَه االَّ هللاَّ َو انَّ هللاَّ

    الَعِزْيُز الَحِكْيمُ

    Sesungguhnya ini adalah kisah yang benar, dan tak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Allah; dan sesungguhnya Allah, Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Ali ‘Imra>n [3]: 62)

    Juga dalam QS. Yu>suf [12]: 111:

  • ~ 25 ~

    َما َكاَن َحِدْيثاً ِلَقَْد َكاَن فِى قََصِصِهْم ِعْبَرةٌ ِألُْولِى اْألَْلبَاب

    يُْفتََرى َولَِكْن تَْصِدْيَق الَِّذى بَْيَن يََدْيِه َو تَْفِصْيَل ُكلِّ َشْيٍئ َو هًُدى َو

    َرْحَمةً لِّقَْوٍم يُْؤِمنُْونَ

    Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al-Qur’an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. (QS. Yu>suf [12]: 111)

    sedangkan al-qis}s}ah berarti ‘urusan (االمر)’, ‘berita (الخبر)’,

    ‘perkara (الشأن)’, dan ‘keadaan (22.’(الحال

    Adapun Qas}as} al-Qur’an, al-Qat}t}an merumuskan istilahnya

    sebagai pemberitaan al-Qur’an tentang hal ihwal umat yang telah

    lalu, nubuwat (kenabian) yang terdahulu dan peristiwa-peristiwa

    yang telah terjadi. Al-Qur’an banyak mengandung keterangan

    tentang kejadian masa lalu, sejarah bangsa-bangsa, keadaan

    negeri-negeri dan peninggalan atau jejak setiap umat. Al-Qur‘an

    menceritakan semua keadaan mereka dengan cara yang menarik

    dan mempesona. 23 Kisah menurut Jumhur ulama adalah

    menelusuri peristiwa/kejadian dengan jalan

    menyampaikan/menceritakannya tahap demi tahap sesuai dengan

    22Manna’Khalil al-Qat}t}a>n, Maba>hi|s fi> Ulu>m al-Qur’a>n, (Cairo: Maktabah Wahbah, tt),

    h. 300. 23Manna’Khalil al-Qat}t}a>n, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, Penerjemah Mudzakir AS, (Bogor:

    Pustaka Litera AntarNusa, 2013), Cet. ke-16, h. 436.

  • ~ 26 ~

    kronologi kejadiannya. Quraish Shihab menambahkan bahwa

    penyampaian itu dapat terjadi dengan menguraikannya dari awal

    hingga akhir, bisa juga dalam bentuk bagian/episode-episode

    tertentu.24

    Adanya kisah dalam al-Qur’an menjadi bukti yang kuat bagi

    umat manusia bahwa al-Qur’an sangat sesuai dengan kondisi

    mereka. Karena dari anak kecil sampai dewasa bahkan orang yang

    sudah tua sekali pun tak ada orang yang tak suka pada kisah,

    apalagi bila kisah itu mempunyai tujuan ganda, yakni sebagai

    pelajaran dan pendidikan, juga berfungsi sebagai hiburan. Kisah

    dalam al-Qur’an mencakup kedua aspek itu, bahkan di samping

    tujuan yang mulia itu, kisah-kisah tersebut diungkapkan dalam

    bahasa yang sangat indah dan menarik, sehingga tidak ada orang

    yang bosan mendengar dan membacanya.

    Rosihon Anwar25 –mengutip Hanafi dalam bukunya “Segi-

    segi Kesusastraan pada Kisah-kisah al-Qur’an”– menjelaskan

    bahwa secara umum, kisah-kisah dalam al-Qur’an mengandung

    tiga unsur yakni; pelaku (as-sakhsiyyah), peristiwa (ahdas\) dan

    dialog (al-h{iwar). Ketiga unsur ini terdapat hampir di setiap kisah

    dalam al-Qur’an, hanya saja peran ketiga unsur ini tidaklah sama,

    sebab bisa saja salah satunya hilang. Kisah nabi Yusuf

    24Muhammad Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang

    Patut Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-ayat al-Qur’an, (Ciputat: Penerbit Lentera Hati, 2013) h. 319.

    25Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir, (Bandung: Penerbit Pustaka Setia, 2005), Cet. ke-3, hal. 65.

  • ~ 27 ~

    mengandung ketiga unsur tersebut, namun tidak ditemui pada

    kisah-kisah lain, terutama pada ayat-ayat pendek.

    Menurut Khalafullah, unsur-unsur kisah dalam al-Qur’an

    dapat dibagi menjadi 5 bagian, yakni tokoh ( الَشْخِصيَّة( adalah pemeran dari kisah di mana ia menjadi paparan kisah tersebut,

    peristiwa ( الَحاِدثَة( adalah hal-hal yang terjadi pada tokoh dalam

    kisah, pemaparan ( السَّْردُ ( sarana untuk melukiskan gejolak-

    gejolak kejiwaan dari tokoh, qada’ dan qadar ( القََضاُء َو اْلقََدرُ (

    nasib dan takdir atas para tokoh dalam kisah, suara hati ) ُالَصْوت

    ungkapan hati para tokoh agar didengar orang lain.26 اْلقَْلب Unsur Pertama: Pelaku.

    Pelaku kisah-kisah dalam al-Qur’an tidak saja manusia, tapi

    juga hewan, malaikat, dan jin. Pada manusia, al-Qur’an

    mengangkat kisah tentang para Nabi, orang biasa (seperti Fir’aun,

    Qarun), dan lain sebagainya. Kisah tentang binatang seperti semut

    dalam QS.an-Naml [27]: 18-19,

    يَأَيُّهَا النَّْمُل اْدُخلُْوا َحتَّى اَذا أَتُْوا َعلَى َواِد النَّْمِل قَالَْت نَْملَةٌ

    َمَساِكنَُكْم َال يَْحِطَمنَُّكْم ُسلَْيَماُن َو ُجنُْوُدهُ َوهُْم الَ يَْشُعُرْونَ

    26Muh}ammad Ah}mad Khalafullah, Al-Fann al-Qas}as}i Fi> al-Qur’a>n al-Kari>m, Comment

    and Explanation by Khalil Abdul Karim, (Beirut: al-Intisyaru al-‘Arab, 1999), Cet. Ke-4, h. 37.

  • ~ 28 ~

    ْن قَْولِهَا َو قَاَل َربِّ أَْوِزْعنِْي أَْن أَْشُكَر نِْعَمتََك فَتَبَسََّم َضاِحًكا مِّ

    َوأَْن أَْعَمَل َصالًِحا تَْرَضاهُ َو أَْدِخْلنِْى الَّتِْي أَْنَعْمَت َعلَيَّ َو َعلَى َوالَِديَّ

    الِِحْينَ بَِرْحَمتَِك فِى ِعبَاِدَك الصَّ

    Hingga ketika mereka sampai di lembah semut, berkatalah seekor semut, “Wahai semut-semut! Masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan bala tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari.” Maka dia (Sulaiman) tersenyum lalu tertawa karena (mendengar) perkataan semut itu. Dan Dia berdoa, “Ya Tuhanku, anugerahkanlah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku, dan agar aku mengerjakan kebajikan yang Engkau ridhai, dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang shalih.”(QS. an-Naml [27]: 18-19)

    atau kisah burung Hud-hud yang menjadi mata-mata bagi Nabi

    Sulaiman untuk memberikan informasi tentang kerajaan Saba’

    yang dipimpin Ratu Bilqis (QS. an-Naml [27]: 20).

    َآل أََرى اْلهُْد هَُد أَْم َكاَن ِمَن الَغائِبِْينَ يَ َو تَفَقََّد الطَّْيَرفَقَاَل َمالِ

    Dan dia memeriksa burung-burung lalu berkata, “Mengapa aku tidak melihat Hud-hud, apakah ia termasuk yang tidak hadir?” (QS. an-Naml [27]: 20)

    Kisah yang mengangkat Malaikat sebagai pelaku adalah

    sebagaimana kisah malaikat yang datang kepada Nabi Ibrahim dan

  • ~ 29 ~

    Nabi Lu>t} yang menjelma sebagai tamu (QS. Hu>d [11]: 69-83), atau

    malaikat yang datang kepada Maryam dalam bentuk manusia (QS.

    Maryam [19]: 10-21).

    Unsur kedua: Peristiwa

    Pada unsur peristiwa ini, al-Qur’an menggambarkannya

    dalam tiga bagian, yakni:

    1. Peristiwa yang berkelanjutan

    Misalkan, seorang Nabi yang diutus kepada suatu kaum,

    kemudian mereka mendustakannya dan meminta ayat-ayat

    (bukti) yang menunjukkan kebenaran dakwah dan

    kenabiannya. Lalu datanglah ayat (bukti) yang mereka minta,

    tetapi mereka tetap saja mendustakannya.

    2. Peristiwa yang dianggap luar biasa

    Yakni kisah-kisah mukjizat para nabi dan rasul, sebagai contoh

    Mukjizat Nabi Isa dalam QS. al-Ma>idah [5]: 110-115.

    3. Peristiwa yang dianggap biasa

    Yaitu peristiwa yang dilakukan oleh orang-orang yang dikenal

    sebagai tokoh, baik Nabi atau bukan yang beraktivitas makan

    dan minum seperti biasa. QS. al-Ma>idah [5]: 116-118.

    Unsur ketiga: Percakapan (dialog)

    Tidak semua kisah mengandung percakapan, seperti kisah

    yang bermaksud menakut-nakuti, tetapi ada pula kisah yang

  • ~ 30 ~

    sangat menonjol percakapannya, seperti kisah Nabi Adam dalam

    QS. al-A’ra>f [7]: 11-25, QS. T}a>ha> [20]: 9-99, dan lainnya.27

    2. Macam-macam Kisah Dalam Al-Qur’an Al-Qat}t}an membagi kisah-kisah al-Qur’an dari sisi pelaku,

    beliau membagi menjadi tiga bagian, yakni:28

    1. Kisah para nabi. Pada bagian ini dikisahkan bagaimana ajakan

    para nabi kepada kaumnya (dakwah mereka), mukjizat-

    mukjizat yang memperkuat dakwahnya, bagaimana sikap

    orang-orang yang memusuhinya, tahapan-tahapan dakwah dan

    perkembangannya serta akibat-akibat yang diterima oleh

    mereka yang mempercayai dan golongan yang mendustakan.

    Misalnya kisah Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa,

    Nabi Muhammad dan nabi-nabi serta rasul-rasul lainnya.

    2. Kisah-kisah yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa yang

    terjadi pada masa lalu dan orang-orang yang tidak dipastikan

    kenabiannya. Misalnya kisah orang yang keluar dari kampung

    27Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir, h. 72. 28Al-Qat}t}a>n, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, h. 436. Begitu juga dengan pendapat Muhammad

    Qutub ‘Abdul ‘Al dalam muqaddimah bukunya yang berjudul Nazara>t Fi> Qas}as} al-Qur’a>n, Muhammad Qutub membagi kisah al-Qur’a>n dalam tiga macam, yaitu:

    1. Kisah lengkap yang memuat tempat, tokoh, dan gambaran peristiwa yang berlaku serta akibat yang timbul dari hal tersebut, seperti Kisah Nabi Musa dan Fir’aun.

    2. Kisah yang hanya menggambarkan peristiwa yang terjadi, tetapi tidak mengungkapkan nama tokoh pelaku atau tempat berlangsungnya peristiwa, seperti kisah kedua putra Nabi Adam as.

    3. Kisah yang diutarakan dalam bentuk percakapan atau dialog tanpa menyinggung nama dan tempat kejadian. Misalnya dialog antara seorang kafir yang memiliki dua bidang kebun yang luas dan kekayaan yang berlimpah dengan seorang mukmin.

  • ~ 31 ~

    halamannya karena takut mati, kisah Thalut dan Jalut, kisah

    dua orang putra Adam, kisah penghuni gua (as{ha>bul kahfi),

    Zulkarnain, Qarun, orang-orang yang menangkap ikan pada

    hari Sabtu (as{ha>bul Sabt), Maryam, As}ha>bul Ukhdud, As}ha>bul

    Fi>l (pasukan gajah) dan lain sebagainya.

    3. Kisah-kisah yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa

    yang terjadi pada masa Rasulullah, seperti Perang Badar dan

    Perang Uhud dalam QS. Ali ‘Imra>n, Perang Hunain dan Perang

    Tabuk dalam QS.at-Taubah, Perang Ahzab dalam QS. al-

    Ah}za>b, Peristiwa Hijrah, Peristiwa Isra dan lain-lain.

    Adapun Rosihon Anwar membagi kisah-kisah ini

    berdasarkan panjang pendeknya, menurutnya kisah dalam al-

    Qur’an dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu:

    1. Kisah Panjang, contohnya kisah Nabi Yusuf dalam QS. Yu>suf

    [12] yang hampir seluruh ayatnya mengungkapkan kehidupan

    Nabi Yu>suf, sejak masa kanak-kanak sampai dewasa dan

    sampai memiliki kekuasaan. Contoh lainnya adalah kisah Nabi

    Musa dalam QS. al-Qas{as{ [28], kisah Nabi Nu>h dan kaumnya

    dalam QS. Nu>h [71], dan lain-lain.

    2. Kisah yang lebih pendek dari bagian pertama (sedang), seperti

    kisah Maryam dalam QS. Maryam [19], kisah As{ha>b al-Kahfi

    pada QS. al-Kahfi [18], kisah Nabi Adam dalam QS. al-

    Baqarah [2] dan QS. T}a>ha> [20] yang terdiri atas sepuluh atau

    belasan ayat saja.

  • ~ 32 ~

    3. Kisah Pendek, yaitu kisah yang jumlahnya kurang dari sepuluh

    ayat, misalnya kisah Nabi Hu>d dan Nabi Lu>t} dalam QS.al-A’ra>f

    [7], kisah Nabi S{alih dalam QS. Hu>d [11], dan lain

    sebagainya.29

    3. Sistematika al-Qur’an dalam Menyampaikan Kisah Kisah adalah salah satu cara yang digunakan al-Qur’an untuk

    memberi pelajaran bagi manusia. Agar tujuan pengajaran tersebut

    dapat berhasil dengan baik, biasanya al-Qur’an lebih dahulu

    menyebutkan kandungan suatu kisah secara umum melalui

    beberapa kata secara singkat. Setelah itu barulah al-Qur’an

    menguraikannya secara luas.

    Sementara itu, jika al-Qur’an hendak menyampaikan pesan-

    pesan penting yang terdapat dalam suatu kisah, cara yang

    digunakannya adalah mengemukakan pernyataan tegas secara

    berjenjang, baik berisi penolakan maupun pengukuhan isi kisah.

    Abdurrahman Dahlan meringkaskan sistematika

    penyampaian kisah ini dalam beberapa metode. Ketika al-Qur’an

    menceritakan kisah nabi Yu>suf, nabi Mu>sa, nabi Adam dan as}ha>b

    al-Kahfi. Ketika berkisah tentang nabi Yu>suf, al-Qur’an

    memulainya dengan ayat yang berbunyi: “Kami menceritakan

    kepadamu kisah yang paling baik, dengan mewahyukan al-Qur’an

    ini kepadamu…(QS. Yu>suf [12]:3). Setelah mengukuhkan

    29Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir, h. 73.

  • ~ 33 ~

    kebaikan kisah yang hendak dikemukakan dan menceritakannya

    secara singkat rangkuman kisah nabi Yu>suf, al-Qur’an kemudian

    menegaskan bahwa: “Sesungguhnya terdapat beberapa tanda

    kekuasaan Allah pada Yu>suf dan saudara-saudaranya, bagi orang-

    orang yang bertanya.” (QS. Yu>suf [12]: 7). Kemudian, barulah al-

    Qur’an menguraikan kisah nabi Yu>suf secara deskriptif sampai

    selesai.30

    Selanjutnya, ketika berkisah tentang as}ha>b al-Kahfi, al-

    Qur’an lebih dahulu menyebutkan: “Apakah kamu mengira orang-

    orang yang mendiami gua dan (memiliki) raqim itu merupakan

    tanda-tanda kekuasaan Kami yang mengherankan? (Ingatlah)

    ketika pemuda-pemuda itu mencari tempat perlindungan ke dalam

    gua, maka mereka berdoa: “Wahai Tuhan kami, berikanlah kepada

    kami rahmat dari sisi-Mu, dan sempurnakanlah untuk kami

    petunjuk yang lurus dalam masalah kami ini.” (QS. al-Kahfi [18]:

    9-10). Lalu barulah al-Qur’an menguraikan kisah tersebut sampai

    akhir, yang dimulai dengan kalimat: “Kami ceritakan kisah

    mereka kepadamu dengan sebenarnya. Sesungguhnya mereka itu

    adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan

    kami tambahkan petunjuk kepada mereka.” (QS. al-Kahfi [18]: 13.

    Demikian pula halnya dengan kisah nabi Musa, al-Qur’an

    memulainya dengan kalimat: “Kami membacakan kepadamu

    sebagian dari kisah Musa dan Fir’aun dengan benar, untuk orang-

    30Abd. Rahman Dahlan, Kaidah-kaidah Penafsiran Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, Maret

    1997), h. 188.

  • ~ 34 ~

    orang yang beriman. Sungguh Fir’aun telah berbuat sewenang-

    wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya terpecah-

    belah dengan cara menindas segolongan dari mereka….(QS. al-

    Qas}as} [28]: 3-4).

    Pola ini juga diterapkan al-Qur’an dalam mengurai kisah

    Adam, yakni dalam QS. T{a>ha> [20]: 115, “Dan sesungguhnya telah

    Kami perintahkan sebelumnya kepada Adam, kemudian ia lupa

    (pada perintah itu), dan tidak Kami dapati di dalam dirinya

    kemauan yang kuat.”31

    Adapun ketika al-Qur’an hendak menyampaikan pesan

    penting di dalam suatu kisah, digunakanlah bentuk pernyataan

    bersifat menegasikan atau mengukuhkan. (1) Hal ini dapat dilihat

    ketika al-Qur’an membantah dan membatalkan keyakinan orang-

    orang yang mempertuhankan berhala-berhala, di samping

    mengakui Allah sebagai Tuhan mereka. Al-Qur’an membantah

    keyakinan tersebut dengan menegaskan: “Mereka sama sekali

    tidak memiliki pengetahuan tentang hal itu, begitu pula nenek

    moyang mereka. Alangkah jahatnya kata-kata yang keluar dari

    mulut mereka, apa yang mereka katakan itu benar-benar

    kedustaan.” QS. al-Kahfi [18]: 5. (2) Ketika mencela pendapat

    orang-orang yang tidak mempercayai kebangkitan manusia di

    akhirat, al-Qur’an menegaskan: “Sebenarnya pengetahuan mereka

    tentang akhirat tidak sampai (kesana), bahkan mereka ragu-ragu

    31Abd. Rahman Dahlan, Kaidah-kaidah, h. 189.

  • ~ 35 ~

    tentang adanya kehidupan akhirat, bahkan mereka buta mengenai

    hal itu” QS. an-Naml [27]: 66. (3) Sedangkan ketika hendak

    mengukuhkan kebenaran risalah yang dibawa nabi Nuh dan

    membatalkan tuduhan dusta dan sesat yang dihadapkan padanya,

    al-Qur’an secara berjenjang menyatakan pernyataan-

    pernyataannya. Dimulai dengan bantahan Nabi Nuh (QS. al-A’ra>f

    [7]: 61), lalu al-Qur’an membantah tuduhan kesesatan dan

    menegaskan kedudukan nabi Nuh, dan pada jenjang berikutnya al-

    Qur’an menegaskan materi petunjuk yang dibawa Nabi Nuh

    kepada kaumnya. (QS. al-A’ra>f [7]: 62). Pola ini juga didapat pada

    materi kisah nabi Hu>d dan nabi Muh}ammad SAW. Al-Qur’an

    membantah tuduhan kaum kafir Quraisy yang mengatakan nabi

    Muh}ammad sesat dan mengada-ada (QS. al-Najm [53]: 1-3).

    Setelah menegasikan semua tuduhan negatif tersebut, barulah al-

    Qur’an menyatakan secara terperinci kedudukan beliau sebagai

    pembawa wahyu Allah (QS. al-Najm [53]: 4-5).32

    4. Beberapa Pemikiran Tentang Kisah Quraish Shihab dalam buku Kaidah Tafsir menguraikan

    bahwa terdapat dua sikap para cendikiawan menyangkut kisah.

    Pertama, memahami semua peristiwa dalam kisah-kisah al-Qur’an

    adalah benar-benar terjadi di dunia nyata. Kedua, mereka yang

    menyatakan bahwa sebagian dari kisah-kisah tersebut hanyalah

    32Abd. Rahman Dahlan, Kaidah-kaidah, h. 191.

  • ~ 36 ~

    simbolik saja. Peristiwa yang diceritakan tidak pernah terjadi di

    dunia nyata, namun kandungannya adalah benar. 33 Disamping

    kedua sikap tersebut, terdapat sekelompok cendikiawan yang

    memahami kisah simbolik tadi hanyalah mitos belaka.34

    4.1 Muh}ammad Abduh

    Dalam Tafsir Al-Manar vol 1, Muhammad Abduh (1849 –

    1905) menyatakan bahwa tujuan kisah dalam al-Qur’an adalah

    sebagai nasihat dan pelajaran, bukan untuk perincian aspek

    sejarah. Hal ini disebabkan al-Qur’an mengisahkan yang haq dan

    bathil, yang jujur dan dusta, dan yang bermanfaat dan mud{arat

    dari aqidah dan tradisi umat-umat terdahulu.35

    Sebagai contoh Muhammad Abduh memahami kisah Adam

    yang diuraikan al-Qur’an dalam surah al-Baqarah [2]: 30-38

    sebagai kisah simbolik. Menurutnya:

    a. Pemberitaan Allah kepada malaikat tentang rencana-Nya

    menetapkan khalifah berarti: Bumi dengan segala hukum alam

    yang menjadi ruh, inti serta sumber ketergantungannya telah

    disiapkan Allah untuk dihuni oleh manusia yang diasumsikan

    dapat mengelolanya sehingga tercapai kesempurnaan hidup di

    dunia ini.

    33Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, h. 326. 34Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, h. 329. 35Muhammad Abduh, Tafsir Al Manar, Vol. 1 Hal. 329-330, lihat juga Fahmi Salim,

    Kritik Terhadap Studi al-Qur’an Kaum Liberal, (Jakarta: Perspektif, 2010), Cet. Ke-1, h. 367.

  • ~ 37 ~

    b. Pertanyaan malaikat tentang sifat khalifah yang dapat

    melakukan kerusakan dan menumpahkan darah adalah

    gambaran tentang adanya potensi dalam diri sang khalifah –

    baca: manusia – untuk melakukan hal-hal tersebut, walaupun

    potensi tersebut tidak bertentangan dengan kekhalifahan yang

    disandangnya.

    c. Pengajaran Allah kepada Adam tentang nama-nama benda,

    menjelaskan bahwa manusia secara potensial mampu

    mengetahui segala sesuatu di alam materi dan mengelola serta

    memanfaatkannya.

    d. Pemaparan pertanyaan kepada malaikat dan ketiadaan jawaban

    mereka menunjukkan keterbatasan ruh-ruh (hukum-hukum

    alam) yang mengatur alam ini.

    e. Sujudnya malaikat menunjukkan bahwa manusia memiliki

    kemampuan untuk memanfaatkan hukum-hukum alam

    tersebut.

    f. Keengganan Iblis untuk sujud menunjukkan kelemahan

    manusia dan ketidakmampuannya menundukkan jiwa

    kejahatan dan menghilangkan bisikan-bisikan kotor yang

    menghantarkan kepada perselisihan, perpecahan dan

    permusuhan di muka bumi.36

    36Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, h. 327-328.

  • ~ 38 ~

    4.2 Sayyid Qut}b

    Kisah-kisah dalam al-Qur’an secara umum bertujuan untuk

    kebenaran dan semata-mata tujuan keagamaan.37 Jika dilihat dari

    keseluruhan kisah yang ada, maka tujuan-tujuan tersebut dirinci

    sebagai berikut:

    1. Menetapkan adanya wahyu dan kerasulan. Dalam al-Qur’an

    tujuan ini diterangkan dengan jelas di antaranya dalam QS.

    Yu>suf [12]: 2-3 dan QS. al-Qas{as{ [28]: 3 sebelum

    mengutarakan cerita nabi Musa, al-Qur’an lebih dahulu

    menegaskan, “Kami membacakan kepadamu sebagian dari

    cerita Musa dan Fir’aun dengan sebenarnya untuk kaum yang

    beriman”. Dalam QS. Ali ‘Imra>n [3]: 44 pada permulaan

    cerita Maryam disebutkan, itulah berita yang ghaib, yang

    kami wahyukan kepadamu.

    2. Menerangkan bahwa agama semuanya dari Allah, dari masa

    nabi Nuh sampai dengan nabi Muhammad SAW; bahwa

    kaum muslimin semuanya merupakan satu ummat; bahwa

    Allah Yang Maha Esa adalah Tuhan bagi semuanya” (QS. al-

    Anbiya>’ [21]: 51 – 92).

    3. Menerangkan bahwa cara yang ditempuh oleh Nabi-nabi

    dalam berdakwah itu satu dan sambutan kaum mereka

    terhadap dakwahnya itu juga serupa (QS. Hu>d [11]).

    37Sayyid Qutb, Seni Penggambaran dalam Al-Qur’an, Penerjemah Chadijah Nasution,

    (Yogyakarta: Nur Cahaya, 1981), h. 138.

  • ~ 39 ~

    4. Menerangkan dasar yang sama antara agama yang dianjurkan

    oleh Nabi Muhammad SAW, dengan agama Nabi Ibrahim,

    secara khusus dengan agama-agama bangsa Israel pada

    umumnya dan menerangkan bahwa hubungan itu lebih erat

    daripada hubungan yang umum antara semua agama.

    Keterangan ini berulang-ulang disebutkan dalam cerita Nabi

    Ibrahim, Musa, dan Isa.38

    4.3 Moh}ammed Arkoun (1928-2010M)39

    Dalam pembacaan ayat-ayat al-Qur’an, Arkoun melakukan

    pendekatan sejarah. 40 Arkoun menyimpulkan bahwa tidak ada

    38Sayyid Qut}b, Seni Penggambaran, h. 140. 39 Moh}ammed Arkoun lahir di Toiriret-Maimun Aljazair pada Februari 1928.

    Pendidikan dasar dan menengahnya ditempuh di Wahran, lalu melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi di Universitas Aljazair dan melanjutkan pascasarjananya ke Paris. Arkoun berhasil meraih Doktoral bidang Sastra pada tahun 1969 dan menjadi Guru Besar Tamu di Universitas Lion II (1969-1972), dan mendapatkan profesorship dalam bidang Sastra Arab dan Peradaban Islam di Universitas Paris VIII antara tahun 1972-1977. Ia lalu diangkat menjadi Kepala Bidang Studi Arab dan Islam di Universitas Paris III. Karya-karyanya banyak diterjemahkan ke bahasa Arab diantaranya Tarikhiyyah al-Fikr al-Arabi al-Islami, al-Fikr al-Islami, Qira’ah Ilmiyyah, al-Qur’an min al-Tafsir al-Mauruts ila> Tahlil Khitab al-Dini, al-Fikr al-Islami Naqd wa Ijtihad, al-Fikr al-Ushuli wa Ishtilahat al-Ta’shil, Min Faishan at-Tafriqah Ila> Fashl al-Maqal, Ayna Huwa al-Fikr al-Islami al-Muashir? Min al-Ijtihad Ila> al-Naqd al-Aql al-Islami, al-Fikr al-Arabi, Ma’ark Min Ajli Fi> al-Siyaqat al-Islamiyyah. lihat: Fahmi Salim, Kritik, h. 201.

    40Metode pendekatan sejarah bisa dikatakan metode historisitas yakni metode yang menganggap penafsiran teks harus digadaikan dengan sejarahnya, dan harus diam di sana pada waktu ia lahir. Jadi tidak mungkin memisahkan teks apa pun dari sejarahnya. Metode ini lahir dari aliran materialisme positivis yang meyakini bahwa agama hanyalah kreasi manusia saja. Sebagian dari pengikut metode ini, menempatkan teks dengan sejarah agar dapat lepas dari teks itu pada masa kini. Fahmi Salim melihat bahwa apa yang sudah dilakukan Arkoun melalui karya-karyanya: Tarikhiyyat al-Fikr al-Arabi al-Islami, Qira’ah Ilmiyyah, Al-Qur’an min Al-Tafsir al-Mauruts Ila> Tahlil al-Khitab al-Din, Al-Fikr Al-Islami, dan Naqd wa Ijtihad adalah karya-karya yang menerapkan metode historisitas, komparasi linguistik serta ilmu humaniora terhadap al-Quran. Lihat: Fahmi Salim, Kritik, h. 116-117.

  • ~ 40 ~

    cara yang tepat untuk memahami kandungan ayat-ayat al-Qur’an

    kecuali dengan mengaitkannya dengan sejarah. Pendekatan

    sejarah ini tentu saja akan menentang semua bentuk sakralisasi41

    dan transendensi penafsiran yang menjadi orientasi ulama-ulama

    klasik.42 Bagi Arkoun, sakralitas al-Qur’an bukanlah sesuatu yang

    asli melainkan sesuatu yang disusupkan, yang diada-adakan untuk

    kepentingan intelektual-politis. Kepalsuan ini bisa dibuktikan

    dengan apa yang terjadi pada Taurat dan Injil.43 Arkoun memuji

    wacana sekularisme karena dapat memerdekakan seseorang dari

    41Arkoun memandang bahwa sakralitas Islam berporos pada al-Qur’an. Perspektif

    umat Islam terhadap al-Qur’an dan bagaimana berinteraksi dengannya –baca: al-Qur’an- menyebabkan sakralitas terjadi. Arkoun melakukan dekonstruksi al-Qur’an sebagai proyek besarnya, ia berusaha menolehkan pandangan umat Islam terhadap mushaf yang dimiliki saat ini. Menurutnya, mushaf yang diyakini sebagai al-Qur’an ini telah mengalami berbagai perubahan dan penyelarasan, hal inilah yang dilakukan oleh ulama-ulama terdahulu. Arkoun ingin memindahkan teks al-Qur’an yang profan tersebut dari area teologis menuju area penelitian linguistik dan mendudukkannya pada kajian sastra.”.

    42 Mohammed Arkoun, Rethinking Islam Today, in Mapping Islamic Studies: Genealogy, Continuity and Change., Ed. Azim Nanji, (Berlin: Mouton de Gruyter, 1997) h. 36-37. Arkoun mengklasifikasikan wahyu dalam dua level, yakni level al-Qur’an level ‘Ummul Kitab’ yang merupakan al-Qur’an yang sangat istimewa (tersimpan di langit), mengandung kebenaran absolut dan transenden, dan berada di luar jangkauan manusia karena berada di Lauh al-Mahfuz} dan kekal bersama Tuhan. Level kedua adalah mushaf (al-Qur’an) edisi dunia, berada dalam jangkauan manusia. Mushaf inilah yang menjadi sasaran kritik dan dekonstruksi. Lihat: Abdul Karim Hasan Shalihu, Pendekatan Historitas untuk Al-Qur’an: Pengaruh Hermeneutika Barat di Abad ke-19 atas Tulisan-tulisan Pemikir Islam, (Malaysia: IIU, 2003), h. 189.

    43 Kajian Hermeunetika dan Metode Kritik telah menghasilkan apa yang disebut metode kritik Bible (Biblical Criticism). Bagi mereka, kemajuan yang diraih adalah karena keberhasilan mereka menundukkan teks-teks yang disucikan kepada metode kritik historis. Ketika mereka mengkajinya, mereka meyakini bahwa Bible yang mereka pegangi (textus receptus) di dalamnya mengandung kesalahan-kesalahan besar sehingga perlu diluruskan. Metode kritik historis adalah metode yang penting dalam kritik Bible. Langkah yang ditempuh dengan lebih dahulu menentukan naskah Bible yang paling awal, karakter sastranya, konteks yang memunculkannya, dan makna aslinya. Ketika metode ini diterapkan untuk mengkaji Yesus dan Injil, maka ia berfungsi membedakan antara yang mitos dan yang nyata terjadi serta meneliti cara-cara pengarang Injil dengan riwayat-riwayat yang saling bertentangan dan menentukan mana yang sebenarnya adalah perkataan Almasih.

  • ~ 41 ~

    kewibawaan teks yang menghalangi dari hakikat material

    kebahasaannya. 44 Sehingga Arkoun berorientasi ‘menundukkan

    al-Qur’an ke dalam standar kritik historis komparatif’. Al-Qur’an

    harus tunduk terhadap tekanan kritik dengan metode arkeologi

    dekonstruktif yang menelanjangi historitasnya yang lebih

    materialistis dan hedonis.45

    Orientasi modernitas yang menjadi tujuan Arkoun

    meniscayakan mindset yang tidak selalu sakral dan

    mendekonstruksi pemikiran yang ada pada nalar Islam

    kontemporer. Arkoun beranggapan bahwa umat Islam telah

    memposisikan al-Qur’an sebagai sesuatu yang sakral. 46 Oleh

    sebab itu, langkah yang diambil oleh Arkoun adalah

    mendekonstruksi pola pikir umat Islam tentang al-Qur’an dan

    bagaimana bergaul dengannya –baca: al-Qur’an–. Arkoun

    berusaha memalingkan pandangan atau mendekonstruksi

    pemikiran umat Islam bahwa al-Qur’an yang ada sekarang

    tidaklah sama seperti saat ia diturunkan, tetapi telah mengalami

    berbagai penyelarasan.

    Menurut Arkoun, tidak mungkin akal kita bisa merdeka

    selama belum melihat pandangan historisitas terhadap perubahan

    ini, sehingga perlu dilakukan penyempitan area sakral. Lalu,

    44Moh}ammed Arkoun, Ayna Huwa al-Fikr al-Islami al-Mu’ashir?, (tt: Dar al-Saqi,

    1993), h. 13. 45Moh}ammed Arkoun, Al-Fikr Al-Islami Qira’ah Ilmiyyah (Casablanca: al-Markaz al-

    S|aqafi al-‘Arabi, 1996), h. 91. 46Mukhtar al-Fajjari, Naqd al-‘Aql al-Islami ‘Inda Muhammad Arkoun, (Beirut: Dar

    At}-T}ali’ah, 2005), h. 162.

  • ~ 42 ~

    Arkoun hendak memindahkan teks al-Qur’an yang suci itu dari

    area teologis kepada area penelitian linguistik dan

    menundukannya kepada kajian sastra.47 Menurutnya, al-Qur’an

    yang hakiki adalah al-Qur’an yang verbalis, bukan yang tertulis

    atau terkodifikasi. Selanjutnya, Arkoun membangun kajian

    seputar proses pengujaran al-Qur’an, dari sekadar teks yang

    disucikan, dibaca berulang-ulang menuju teks yang memiliki nilai

    pelaksanaannya. Sehingga, pembacaan linguistik, semantis,

    antropologis, dan sebagainya tidak mengedepankan makna

    teologis sebagaimana yang biasa dipahami mufassir-mufassir

    klasik. Arkoun berupaya menemukan pemahaman dari teks

    tersebut, atau dalam bahasa Mukhtar al-Fajjari “dari takwil makna

    kepada takwil pemahaman”.48

    Bagi Arkoun, teks-teks yang mendasari kesakralan dapat

    ditundukan dengan metode antropologis-humanis yang

    komprehensif agar bisa dikaji dalam konteks dualisme (imajinasi-

    rasionalitas, verbalis-tertulis, dan juga psikologis-sosiologis)

    secara sama dan sederajat.49

    47 Arkoun beranggapan bahwa dengan menekuni hermeneutika dan linguistik

    kontemporer ia dapat merombak banyak konsep sakralitas teks dan kewibawaannya yang dibebankan kepada kita karena label hukum teologis yang membungkusnya selama berabad-abad. Lihat: Moh}ammed Arkoun, Al-Qur’an min al-Tafsir al-Mauruts Ila> Tahlil al-Khitab al-Din, (Beirut: Dar as-Saqi, 1992), h. 62.

    48Mukhtar al-Fajjari, Naqd, h. 164. 49Moh}ammed Arkoun, al-Fikr al Islami Naqd wa Ijtihad, (Beirut: Dar as-Saqi, 1992),

    h. 140, lihat juga Moh}ammed Arkoun, Rethinking Islam: Common Questions Uncommon Answers, translate Robert D. Lee (Colorado: Westview Press Inc, 1994), h. 35.

  • ~ 43 ~

    Arkoun yang dikenal melakukan pembacaan antropologis

    atas teks al-Qur’an menolak faktualitas sejarah dalam kisah-kisah

    al-Qur’an. Menurutnya, kisah simbolik digagas oleh al-Qur’an

    untuk menjustifikasi aturan-aturan syariah yang hendak

    dipaksakan kepada umat manusia. Arkoun menyatakan bahwa

    kisah-kisah dalam al-Qur’an melalui tokoh-tokoh simbolik dan

    peristiwa-peristiwa besar telah membentuk adu argumentasi

    untuk memantapkan sistem hukum yang ingin ditetapkan kepada

    perilaku manusia. Kisah-kisah dalam al-Qur’an disampaikan

    dalam konteks-konteks yang bertautan dan tidak bernilai apapun

    dalam hidup jika tidak dikaitkan dengan alam baka. Visi yang

    diutarakan Arkoun adalah menjadikan dimensi simbolik sebagai

    fondasi agama di bidang aqidah dan syariah, karena aroma

    kegaiban itulah yang dapat meneguhkan kehadiran Tuhan di

    dalam kehidupan manusia.

    Lebih jauh Arkoun mengungkapkan bahwa visinya tentang

    dimensi simbol ini akan merubah pemahaman Islam menjadi suatu

    bangunan konsep-konsep imajiner semata, dan selanjutnya

    bertugas merampas kesadaran manusia yang rasional, dan

    menggantinya dengan kesadaran mitologis-simbolistik.

    Arkoun menulis,”Sebenarnya kisah dalam al-Qur’an, hadis\

    Nabi, dan sirah selalu diketengahkan sebagai bentuk argumentasi

    rasional, padahal semua cerita itu sangat berutang kepada

    imajinasi sosial yang mengkristalkan mitologi yang khas dalam

    setiap kelompok, dan berperan dalam penguatan imajinasi itu.

  • ~ 44 ~

    Sehingga jadilah al-Qur’an sebagai referensi utama yang

    menikmati efek yang canggih dalam tingkat imajinasi sosial,

    namun tak bernilai apapun dalam level pengetahuan sejarah.50

    4.4 Abdullah Saeed (1964 - )51

    Abdullah Saeed mengklasifikasikan ayat-ayat al-Qur’an

    dalam 3 kelompok yakni,

    a. Ayat-ayat teologis (Alam Gaib)

    Dalam pandangan Saeed, ayat-ayat yang masuk dalam

    kategori ini dibagi menjadi dua bagian, ayat-ayat tentang Tuhan

    dan ciptaan-Nya, semisal sifat dan perbuatan-Nya, arsy, surga,

    neraka, malaikat dan al-lauh al-Mahfuz}. Semua teks yang

    bersangkutan dengan tema-tema di atas berada di luar pemikiran

    dan pemahaman manusia.52

    Untuk memahami ayat-ayat seperti ini, Abdullah Saeed

    mengajukan tiga langkah, pertama, membuat pengertian dari kode

    linguistik yang digunakan untuk menggambarkan bahan tersebut.

    50Fahmi Salim, Kritik, h. 386.

    51 Abdullah Saeed adalah seorang Profesor Studi Arab dan Islam di Universitas Melbourne, Australia bagian barat. Ia lahir pada tanggal 25 Desember tahun 1964 di Maldives, keturunan suku bangsa Arab Oman yang berdomisili di kepulauan Maldives yang telah menjadi negara Republik. Dalam proses belajarnya, Saeed meraih gelar kesarjanaan dari Australia dan dari luar Australia. Ia memiliki gelar BA di Arab/Studi Islam dari Arab Saudi, gelar MA dalam Linguistik Terapan dan Ph.D dalam Studi Islam dari University of Melbourne, Australia. Pada tahun 1993, ia bergabung dengan Departemen Asia Bahasa dan Antropologi di University of Melbourne dan diangkat sebagai dosen, kemudian naik ke dosen senior pada tahun 1996 dan menjadi anggota Asosiasi Profesor pada tahun 2000. Beliau diangkat Sultan Oman sebagai Profesor Studi Arab dan Islam pada tahun 2003.

    52Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’a>n: Toward a Contemporary Approach, (New York: Routledge, 2006), h. 91.

  • ~ 45 ~

    Kedua, memperhatikan kode linguistik yang juga dipahami oleh

    komunitas saat ayat itu diucapkan pada mereka, memahami

    catatan kebiasaan, pemahaman, asosiasi yang terbentuk saat

    ‘term’ itu dipakai, bukan pada ruang hampa tetapi, pada sebuah

    konteks etis, moral, pandangan dunia dan pengalaman agama.

    Ketiga, seorang penafsir pun – yang paling penting menurut Saeed

    – bukan hanya mengidentifikasi makna ‘taksiran’ namun juga

    menyadari implikasinya terhadap masyarakat yang ditunjukan

    oleh al-Qur’an.53 Pada intinya, Saeed ingin menegaskan bahwa

    penafsir perlu menemukan hubungan antara teks, komunitas dan

    maksud hubungan tersebut.

    b. Ayat-ayat kisah

    Dalam menafsirkan ayat-ayat ini, Saeed agak terpengaruh

    dengan tesis Muh}ammad Ah}mad Khalafullah dalam karyanya, al-

    Fann al-Qas}as}i fi> al-Qur’a>n al-Kari>m, yang menyatakan bahwa

    kisah-kisah dalam al-Qur’an lebih memiliki aspek psikologis dari

    pada faktualitas sejarah itu sendiri. Pernyataan ini didasarkan atas

    penelitiannya yang menyimpulkan, 1) bahwa ayat yang

    mengandung sejarah atau kisah, tidak disertai dengan keterangan

    sejarah secara detail, 2) Pengulangan satu tema kisah pada

    berbagai tempat tidak secara beruntutan. Terlepas dari

    problematika tesisnya Ah}mad Khalafullah, Saeed menegaskan

    bahwa ayat-ayat seperti ini berjumlah banyak dalam al-Qur’an,

    53Abdullah Saeed, Interpreting, h. 93.

  • ~ 46 ~

    yang tiada lain menunjukan pada peristiwa sejarah manusia yang

    bisa diperiksa ulang dari sumber dan tradisi lainnya.54

    Dalam literatur tafsir, peristiwa-peristiwa historis sering

    ditafsirkan dengan berdasar pada laporan-laporan historis.

    Laporan-laporan sejarah itu bisa ditemukan dalam al-Qur’an

    sendiri, dalam hal ini para mufassir menghubungkan makna ayat

    dengan ayat lain, hadis\-hadis\ Nabi. Di samping kedua sumber

    tersebut, Saeed menyatakan bahwa ada dokumen lain, yakni

    peninggalan-peninggalan (artefak), dan bukti-bukti arkeologis dan

    antropologis yang dapat digunakan. Bahkan, Saeed menyatakan

    bahwa Bible pun dapat dijadikan rujukan dalam mencari informasi

    tentang Nabi-nabi yang terdapat dalam teks Bible terkait

    umatnya, tempat, dan peristiwa.55

    Pada penafsiran ayat-ayat historis ini, Saeed menyadari

    bahwa ada kalangan mufassir cenderung enggan menguji

    kebenaran historis tersebut dengan sumber-sumber di luar al-

    Qur’an dan hadis\ Nabi. Keengganan ini berangkat dari persepsi

    bahwa jika al-Qur’an diuji dengan sumber-sumber itu, di luar

    disiplin syari’ah, maka secara tidak langsung akan mereduksi

    54Abdullah Saeed, Interpreting, h. 94. 55 Abdullah Saeed, Interpreting, h. 94. Secara detail Saeed menulis, “Muslim

    theologians have viewed the task of understanding these historical details in various ways. Some suggest that the Bible is a useful tool to understanding the historical elements of the Qur’an, as it provides additional information on the prophets that are part of both Judaeo-Christian and Muslim tradition. However, particularly in the later centuries of Islam, several Muslim scholars of the Qur’an argued against using the Bible for additional insight, as they believed that this would put the Bible on an equal footing with the Qur’an, which they are thought was unacceptable.” Lihat Abdullah Saeed, The Qur’an: An Introduction, (New York: Routledge, 2008), h. 76.

  • ~ 47 ~

    sakralitas al-Qur’an, kecuali mereka menggunakan sumber-

    sumber yang berdasarkan tradisi Islam.56

    Teks-teks yang berorientasi sejarah dalam al-Qur’an terbagi

    dalam beberapa karakteristik yang umum. Pertama, ayat-ayat

    tersebut sering kurang detail –dari aspek sejarah- seperti nama,

    waktu, dan tempat. Al-Qur’an tidak pernah memberikan data yang

    spesifik terkait suatu kejadian. Saeed mengungkapkan bahwa

    ayat-ayat seperti ini diutamakan untuk mencari pesan moral dan

    tujuan-tujuan keagamaan yang ingin disampaikan al-Qur’an

    tentang umat-umat terdahulu.57 Lebih lanjut, Saeed menegaskan

    bahwa sejarah yang dikandung dalam ayat-ayat al-Qur’an itu perlu

    dipelajari untuk menghadirkan pesan moral di dalamnya. Sebagai

    contoh, al-Qur’an tidak pernah mengungkapkan di mana nabi

    Adam hidup, atau tahun berapa nabi Musa meninggalkan Mesir,

    atau kapan Fir’aun meninggal. Namun yang disampaikan adalah

    bagaimana nabi Musa memproklamirkan atau menyampaikan

    pesan-pesan keimanan kepada Fir’aun, atau bagaimana reaksi

    Fir’aun atas ajakan nabi Musa, dan apa yang diperbuat oleh

    Fir’aun terhadap pengikut-pengikut Musa.58

    Namun Saeed menegaskan juga bahwa minimnya informasi

    terkait sejarah dalam kisah-kisah al-Qur’an bukanlah suatu

    masalah yang berarti. Hal ini karena Saeed meyakini bahwa al-

    56Abdullah Saeed, Interpreting, h. 94. 57Abdullah Saeed, Interpreting, h. 95. Lihat juga Abdullah Saeed, The Qur’an, h. 76. 58Abdullah Saeed, Interpreting, h. 95.

  • ~ 48 ~

    Qur’an sendiri tidaklah ditujukan untuk catatan sejarah. Pesan

    moral dari kisah adalah hal yang paling penting untuk diambil

    pelajaran darinya. Saeed mengambil contoh kisah Nabi Nuh yang

    terdapat sebanyak 13 kali disebutkan dalam al-Qur’an. Setiap

    bagian dari kisah tersebut memiliki pesan moral atau ajaran

    sendiri. Terlebih lagi retorika al-Qur’an yang dapat menarasikan

    kisah ini dengan baik.59

    Tanggung jawab mufassir dalam menemukan sebuah makna

    tersembunyi dibalik suatu ayat, terlebih lagi bagaimana mencari

    relevansi ayat tersebut dalam konteks kekinian. Maka, mufassir

    dalam konteks ini harus mampu menjadi perantara bagi pembaca

    kontemporer dengan menghubungkan masa lalu dan masa

    sekarang.60

    c. Ayat-ayat perumpaan (mas\al)

    Orang-orang Arab sebelum masa Islam telah mengenal

    perumpamaan mas\al dalam dunia sastra mereka. Al-Qur’an

    menggunakan frase, gambaran, dan teks untuk menuangkan

    konsep dan ide/gagasan-gagasannya. Hal ini merupakan suatu

    yang lumrah dalam dunia bahasa, yakni untuk menjadikan makna

    teks sampai pada yang dituju. Pada wilayah teks al-Qur’an,

    59Abdullah Saeed, The Qur’an, h. 76-77. 60 Abdullah Saeed, Interpreting, h. 96. Pada terminologi inilah Saeed ingin

    menyampaikan bahwa kontekstualisasi penafsiran sangat dibutuhkan. Saeed memang ingin mengajak pembacanya untuk membaca al-Qur’an secara kontekstual bukan tekstual.

  • ~ 49 ~

    beragam bentuk pun bisa ditemukan, salah satunya adalah mas\al. 61

    Abdullah Saeed kemudian mengikuti klasifikasi yang

    diungkapkan oleh al-Qat}t}a>n terkait beragam bentuk mas\al.

    Pertama, yang disebut dengan al-ams\a>l al-musarrah}ah yaitu

    pernyataan mas\al secara tegas dengan adanya lafaz mas\al pada

    susunan kalimat tersebut, seperti pada surah al-Baqarah [2]: 17.