PERBANDINGAN AGAMA
I. STUDI TENTANG AGAMA-AGAMA
Apakah Agama itu? Berbagai jawaban dan definisi bisa diberikan
oleh orang tergantung dari sudut mana mereka melihat agama itu.
Secara sederhana ada yang menyebutkan bahwa agama itu adalah:
kepercayaan akan mahluk-mahluk halus, namun yang lainnya mencoba
memberikan definisi yang lebih komprehensip atau deskripsi mengenai
praktek-prakteknya.
Sejak berkembangnya agama pada masyarakat primitip, agama
berkembang tanpa manusia merasa perlu mendifinisikan artinya, namun
sejak perkembangan ilmu pengetahuan, manusia berusaha untuk
mengerti hakekat agama yang sudah dianut manusia sejak kehadiran
manusia dimuka bumi itu. Beberapa pendekatan akan studi tentang
agama-agama yang dilakukan adalah antara lain sebagai berikut:
Ahli Antropologi menggambarkan keyakinan dan praktek agama
seperti yang dapat diamati dalam komunitas yang hidup. Agama dalam
komunitas ini membantu menyatukan orang-orang melalui pengalaman
yang dilakukan bersama dan pemberian makna pada kehidupan mereka.
Agama menyediakan pola perilaku manusia, sering sebagai tanggapan
atas kesukaran hidup.
Ahli Sosiologi menekankan dimensi sosial dari ide-ide keagamaan.
Agama menyediakan jalan yang disepakati dalam melihat dunia ini. Ia
memberikan kepada setiap individu manusia rasa tentang makna dan
tujuan hidup sosialnya.
Ahli Jiwa menjelaskan agama sebagai pemenuhan akan kebutuhan
kejiwaan dalam mengatasi konflik-konflik batin, dan bagaimana agama
itu berperan dalam kesejahteraan jiwa manusia itu.
Ahli Sejarah menjelaskan agama dalam hubungan kejadian-kejadian
yang dihasilkan kepercayaan dari dulu sampai sekarang.
Ahli Teologi berkenaan dengan agama dalam lingkungannya sendiri,
mengenai pertanyaan apakah hal itu benar atau salah, dan bagaimana
manusia menanggapi agama itu.
Ahli-ahli lain berusaha melihat perilaku beragama dan agama itu
sendiri dalam hubungan dengan disiplin ilmu pengetahuan
masing-masing.
Dalam penyelidikan agama-agama yang menyeluruh, kita mengenal
setidaknya dua macam studi agama, yaitu:
(1) Sejarah Agama, dan (2) Perbandingan Agama. Sejarah agama
(History of Religions) berusaha untuk mengerti agama dari
sejarahnya di masa lalu sampai sekarang dan hal-hal apa yang
berkembang dalam agama itu, jadi sifatnya penyelidikan yang
mendalam dan vertikal atas agama tertentu, sedangkan perbandingan
agama (comparative religions) mencoba melakukan pendekatan atas
agama melalui perbandingkan antara satu agama dengan agama
lainnya.
1. PENDEKATAN STUDI AGAMA
Bila masa rasionalisme menghadirkan pemikiran filsafat alami
(natural philosophy) seperti yang dipopulerkan oleh G.W.F. Hegel,
studi ANTROPOLOGI AGAMA mengalami perkembangan penting setelah
Charles Darwin mengemukakan teori evolusinya mengenai perkembangan
biologis kehidupan mahluk dari sederhana sampai kompleks, demikian
juga kemudian agama dianggap sebagai mengalami perkembangan yang
sama pula. Ini kemudian dikenal sebagai teori evolusi agama yang
dikaitkan dengan nama E.B. Taylor, J.G. Frazer, dan W. Robertson
Smith sekitar tahun 1870-1920.
Tokoh-tokoh itu mencari identitas periode tertentu yang telah
dijalani manusia, dengan memperhatikan karakter keyakinan yang
dianut pada era yang susul-menyusul. Mereka menamakan fase-fase
kehidupan beragama menurut mereka sendiri, umumnya bersifat
spekulatif, teori dari sifat-sifat dominan yang hadir di dalam
masing-masing. Khususnya Sir J.G. Frazier dalam bukunya The Golden
Bough menyebut agama akan berkurang artinya begitu ilmu pengetahuan
menggantikannya sebagai salah satu tahap dalam perkembangan
pemikiran manusia.
Memasuki abad XX terjadi pendekatan studi agama yang berbeda
dari sebelumnya, dan pertanyaan mengenai perkembangan agama berubah
bentuknya. Sebagai pengganti pertanyaan mengenai evolusi tentang
bagaimana agama semula berkembang, ahli antropologi memilih untuk
menanyakan fungsi apa (functionalism) yang ditunjukkan agama dalam
kondisi masyarakat tertentu dimana agama itu berkembang. E.E.
Evans-Pitchard menyebutnya agama adalah apa yang diperbuat oleh
agama itu. Bronislaw Malinowsky (1884-1942) mengabaikan dimensi
sejarah dan memilih untuk mempelajari secara intensif peran yang
dilakukan oleh agama di kepulauan Trobrian yang ditulisnya dalam
bukunya berjudul Magic, Science and Religion.
Malinowsky percaya bahwa ada hukum ilmiah kebudayaan yang bisa
digunakan untuk agama. Kebutuhan biologis individu akan makanan,
tempat berteduh, sex dan rasa aman dapat juga dilihat sebagai
kebutuhan sosial yang disediakan manusia secara bersama melalui
institusi-institusi ekonomi, politik, perkerabatan dan agama. Sihir
(magic) bermanfaat karena mendudukan seseorang kepada posisi
kepemimpinan dalam masa-masa krisis di masyarakat. Itu mendatangkan
langkah positif yang mungkin untuk menghindari perilaku yang kacau.
Agama bersama Magic menyediakan kekuatan penyatu dalam masyarakat,
karena hal itu merupakan jawaban atas hasrat manusia untuk bertahan
hidup. Magic yang ditunjukkan ditengah bencana alam, menghadirkan
dukungan kejiawaan pada manusia yang takut.Kebanyakan teori ini
dihasilkan dari pengamatan Malinowski pada masyarakat primitif,
tetapi dari buku hariannya yang baru diterbitkan lama setelah ia
meninggal, ketakutannya sendiri akan kesendirian, kegelapan, dan
kematian kemungkinan memdorongnya kearah jalan teori agama yang
disusunnya.
Sesudah tahun 1950-an, ahli-ahli antropologi mengalihkan
perhatian mereka lebih kepada peran agama sebagai ekspresi struktur
(structuralism) ide-ide, nilai-nilai, dan kepercayaan-kepercayaan
dari suatu masyarakat. Mereka menarik gambaran hubungan yang ada
diantara doktrin-doktrin. Mereka menanyakan apa yang dikemukakan
orang-orang, bagaimana mereka mengorganisasikan kepercayaan mereka,
dan apa yang menjadi pola logis sebuah agama.
Sebagai contoh, penganut Buddha di pedesaan melarikan diri dari
pengalaman yang menyakitkan dengan cara dengan cara pengusiran
setan, tapi bagaimana mereka mencocokkan ini dengan idealisme
Buddhisme yang menolak keabsahan pengusiran setan? Atau bagaimana
umat Kristen mengkaitkan keyakinan mereka mengenai kehidupan
sehari-hari dengan kepercayaan akan Trinitas? Pendekatan struktural
mengajak kita kepada organisasi pikiran manusia, dan jalan manusia
membawa pola yang teratur ke dalam dunia yang komplek. Sebagai
misal, antropolog Perancis, Claude Levi-Strauss mempelajari
pertanyaan tentang bagaimana ini bisa terjadi dalam kasus
mitos-mitos.
Bila pada abad XIX para ahli merasa bahagia dengan menggabungkan
ide-ide antropologi dengan yang berhubungan dengan pikiran manusia,
pada abad ke XX, dalam studi PSIKOLOGI AGAMA, pikiran diabaikan
oleh para ahli jiwa seperti Sigmund Freud yang mendasarkan
pemikirannya pada antropologi evolusi, terutama dari William
Robertson Smith, tapi harapannya adalah untuk menunjukkan bagaimana
kekuatan yang mendasari pikiran manusia, beralaskan semacam energi
seksual yang disebut libido, yang ditujukan sebagai sikap mengarah
ke figur-Tuhan yang sebenarnya bersumber pada hubungan semasa kecil
dengan ayah manusianya.
Freud mempopulerkan konsep utama studi agama tentang proyeksi
(projection), istilah yang bukan saja dipopulerkan oleh Freud
tetapi bersumber pemikiran filsuf yang mendahuluinya, yaitu
Feuerbach (1804-72). Feuerback mengklaim bahwa pernyataan tentang
Tuhan harus dimengerti sebagai pernyataan tentang manusia. Manusia
ingin membentuk ide-ide tentang Tuhan kemudian melihat ke dalam
dirinya mengenai realitasnya sendiri. Untuk memperoleh pengetian
yang tepat mengenai teologi, seseorang harus membalikkan proses itu
dan menafsirkan doktrin agama sesuai istilah manusia.
Feuerbach kemudian mempengaruhi Karl Marx dan Friedrich Engels
yang menetaskan masyarakat komunis dan pandangannya tentang agama
(agama adalah candu/ilusi bagi masyarakat) sebagai cara untuk
mengartikan kehidupan ini. Freud juga menentukan bahwa posisi agama
tidak lagi bermanfaat bagi manusia yang dengan jelas ditunjukkan
dalam bukunya berjudul The Future of an Ilusion (1927). Disini
proyeksi dilihat sebagai ilusi, pikiran manusia yang membawa
manusia keluar dari kebenaran dan realitas, karena itu harus
disesalkan.
Psikolog William James menganut sikap lebih pisitip terhadap
peran agama. Dalam bukunya The Varieties of Religious Experience
(1902), ia menyodorkan diskripsi penuh mengenai
pengalaman-pengalaman beragama yang dimiliki oleh bermacam orang,
membandingkannya dan membedakan antara yang disebutnya agama mereka
yang berfikiran sehat dengan yang berjiwa sakit.
Bagi James, agama adalah berkenaan dengan nilai untuk membantu
manusia untuk menghadapi kehidupan secara positif dan berani. Itu
dilihat sebagai tujuan batas mengenai kenyataan bahwa ada sesuatu
yang salah dengan diri kita.dan dengan cara-cara untuk
menyelamatkan kita dari dari yang salah. Dengan kata lain, agama
menolong manusia untuk menerima diri dan kondisi hidupnya, lebih
daripada menjadi mangsa kegagalan hidupnya. Semua ini akan
mendatangkan keuntungan yang positif bagi manusia. Disini James
tidak melihat agama sebagai ilusi tanpa masadepan yang nyata
seperti yang digambarkan oleh Freud.
Studi SOSIOLOGI AGAMA berkembang pesat pada awal abad XX,
khususnya dengan tulisan Emile Durkheim (1858-1917) yang terkenal,
yaitu The Elementary Forms of the Religious Life. Durkheim juga
memberi nilai lebih pada teori proyeksi, dan juga sama dengan Freud
dipengaruhi tulisan W. Robertson Smith. Namun berbeda dengan Freud,
sekalipun Durkheim menerima pendekatan evolusi atas agama, tetapi
tidak menerima pandangan yang menyebutkan bahwa ide keagamaan
sekedar konsep yang menyesatkan yang dihasilkan pikiran manusia.
Disini Durkheim menggabungkan sebagian ide psikologi Freud dan
spekulasi Frazer. Durkhem diyakinkan bahwa ada sesuatu yang nyata
benar dalam agama, dan bahwa manusia tidak menipu dirinya
sendiri.
Dalam melihat realitas yang mendasari perilaku beragama ia juga
menerima sebagian penjelasan teologis, dan yang berkaitan dengan
realitas yang mempengaruhi agama ia percaya itu adalah masyarakat
(society) itu sendiri. Durkheim sangat terobsesi ide kemasyarakatan
sama halnya dengan Freud yang terobsesi pikiran bawah sadar. Ia
percaya adanya realita yang berbeda bekerja dalam kelompok-kelompok
sosial yang darinya kehidupan individu dihasilkan. Agama adalah
aktivitas manusia yang berbicara mengenai realitas selagi
menggunakan kata-kata tentang tuhan.
Dalam satu segi, Durkheim menerima pandangan yang sama seperti
Feuerbach bahwa manusia biasanya percaya dan bebicara mengenai
Tuhan selagi berbicara mengenai kelompok sosialnya sendiri tanpa
menyadarinya. Tetapi bagi Durkheim, yang tidak percaya akan adanya
Tuhan yang hadir dalam diri-Nya sendiri secara independen diluar
manusia, masyarakat baginya begitu penting sehingga bisa
menggantikan kedudukan Tuhan. Masyarakat ada sebelum seseorang
lahir dan akan tetap ada sesudah seseorang mati. Masyarakat
memberikan ide dan bahasa untuk berfikir dan berbicara, masyarakat
melindungi seseorang dan membuat manusia merasa berguna dalam
hidupnya. Jadi, sekalipun kenyataannya manusia memproyeksikan
semuanya itu kepada figur tuhan, ide-ide itu benar, dan lebih dari
itu, hal itu perlu bila masyarakat ingin disatukan sebagai
komunitas moral.
Studi yang membandingkan satu agama dengan lebih mendalam dan
membandingkannya dengan agama-agama lain yang dikenal sebagai
PERBANDINGAN AGAMA[B] (Comparative Religion) mulai dikenal melalui
tokohnya bernama [B]Friedrich Max Muller (1823-1900). Muller
dikenal sebagai bapa perbandingan agama (the father of comparative
religion). Max Mullerlah yang pertama kalinya membawa agama-agama
dunia (khususnya India) kepada perhatian orang Barat dengan
menerjemahkan tulisan agama kuno dan modern agama-agama India
dengan cara yang hidup. Teorinya mengenai sejarah agama yang
berasal dari personifikasi gejala-gejala alam (seperti yang
dilihatnya dalam agama Hindu) kemudian menggantikan gejala alam
itu.
Perbandingan agama pada awalnya lebih berkenaan dengan asal
muasal dan evolusi agama sebagai gejala manusia secara umum, dan
teori evolusi agama ini dikenal melalui tokohnya Edward Burnett
Tylor (1822-1912) yang mempopulerkan istilah animisme yang
dipercayainya sebagai tahap awal dari evolusi agama, keyakinan
sderhana yang mempercayai keberadaan mahluk roh (spiritual
being).
2. AGAMA DARI PRIMITIF SAMPAI MODERN
Tidak ada manusia dari yang primitip sampai yang modern yang
tidak mengenal agama atau dalam pengertian primitip keyakinan akan
hal-hal yang gaib/sihir/magi (magic). Dalam masyarakat apapun
selalu ada keyakinan mengenai adanya realita yang dianggap kekal,
baka dan suci (Sacred) dan realita alam nyata yang kita diami yang
bersifat tidak kekal, fana, dan duniawi (Profane). Menurut Mircea
Eliade, tokoh sejarah agama:"Manusia menyadari realita yang suci
(sacred) karena realita itu menyatakan dirinya sebagai sesuatu yang
samasekali berbeda kenyataannya dari yang duniawi (profane).
Pernyataan itu disebut sebagai hierophany." [1]
Dalam hubungan dengan realita baka yang dianggap suci itu
umumnya orang-orang memandangnya dengan hormat disertai larangan
dan pantangan bila berhubungan dengannya. Keyakinan demikian
diiringi dengan keyakinan adanya kekuatan supranatural khususnya
kekuatan gaib/sihir/magi, atau ide-ide mengenai adanya mahluk
halus, roh-roh, setan, roh nenek moyang yang telah mati, atau
dewa-dewi (gods) yang berasal atau berada dalam realita yang suci
tersebut.
Orang yang meletakkan dasar studi antropologi agama adalah
Edward B. Taylor yang mengatakan:"esensi agama primitip adalah
animisme, keyakinan akan mahluk halus, dan keyakinan ini berasal
dari penafsiran yang keliru tetapi konsisten tentang mimpi,
penglihatan, halusinasi, kesurupan, dan gejala-gejala yang sama."
[2]
Pandangan ini menuntun kepada sikap yang membedakan jiwa dari
badan, dimana jiwa akan terus akan mengalami kehidupan sesudah mati
karena dalam kenyataannya mereka yang mati sering menampakkan diri
dalam mimpi, membayang-bayangi mereka yang masih hidup dalam
ingatan dan penglihatan, dan mempengaruhi tujuan hidup manusia, ini
membawa kepada keyakinan akan setan dan roh-roh nenek moyang dan
akan kehidupan sesudah mati di alam lain."Kepercayaan Animistis
melahirkan rasa takut dan rasa hormat terhadap banyak macam gejala
alami. Orang pun memuja tempat-tempat tertentu, sementara para
leluhur pun dikeramatkan dan diharapkan berkatnya." [3]
Animisme menurut Taylor, sebagai filsafat dan agama orang-orang
primitip, dihasilkan dari pengamatan dan penyimpulan (akan mimpi,
halusinasi dll) secara spontan. Taylor terkenal sebagai pelopor
yang mempromosikan teori 'evolusi agama' dalam buku karyanya 'The
Primitive Culture' yang ditulisnya pada tahun 1872.
Pandangan Taylor terbatas karena menganggap orang-orang primitip
itu sebagai terlalu perenung dan rasional, padahal faktanya banyak
sekali penyelidikan baru menunjukkan bahwa orang-orang biadab
sekalipun, sudah memiliki minat selain pada mengail ikan dan
berkebun juga upacara dan festival suku yang lebih luas daripada
hanya pengalaman perenungan mimpi perorangan. Dalam studi sejarah
agama dimulai dari Taylor kuat adanya pendapat yang menganggap
bahwa telah terjadi perkembangan agama dimulai dari keyakinan
adanya mana (manism) ke keyakinan akan roh-roh dibalik segala
sesuatu (animism) menuju keyakinan akan patung (totemism), jimat
(fetishism), penyembahan alam dan roh-roh, kemudian kepada
dewa-dewi & setan-setan (polytheism), dan terakhir kepada ide
akan keberadaan Allah yang tunggal (monotheism).
Sekalipun demikian banyak tokoh sejarah agama seperti Mircea
Eliade mengatakan bahwa faham evolusi gejala agama dari yang
sederhana sampai yang kompleks adalah hipotesa yang tidak dapat
dibuktikan [/COLOR][4], demikian juga Andrew Lang dalam buku 'The
Making of Religion' (1989) membuktikan bahwa teori evolusi agama
tidak cocok dengan apa yang sebenarnya telah terjadi dalam sejarah
agama. Pandangan menolak dikemukakan oleh Robert Brow:"Teori
evolusi agama sedang dirumuskan kembali dengan anggapan bahwa
Monotheisme telah terjadi pada bayang-bayang masa pra-sejarah.
Dipelopori oleh Pastor William Schmidt dari Wina, para anthropolog
telah memperlihatkan bahwa ratusan agama suku bangsa yang terpencil
sampai pada masa kini tidaklah primitif dalam arti agama asali yang
belum berkembang. Bangsa-bangsa ini mempunyai ingatan tentang "Sang
Hiang Tunggal", Sang Pencipta Allah Bapa yang lemah lembut, Allah
ini tidak lagi dipuja, sebab tidak ditakuti ... Dengan demikian
kita melihat bahwa evolusi agama yang mulai dari Animatisme
primitif, tidak lagi dapat diterima sebagai axioma (kenyataan), dan
bahwa beberapa antropolog percaya bahwa Monotheisme mungkin saja
lebih primitif daripada Animisme." [5]
Penelitian lebih lanjut antropologi modern dapat dijumpai dalam
karya Sir James Frazer. Ia mengemukakan adanya tiga masalah yang
dihadapi oleh agama primitip, yaitu (i) hal-hal gaib/sihir/magi
(magic) dan hubungannya dengan agama dan pengetahuan; (ii)
totemisme (penghormatan patung) dan aspek sosiologis keyakinan
kuno; dan (iii) kultus kesuburan dan tanam-tanaman.
Dalam buku 'The Golden Bough,' Frazer menunjukkan dengan jelas
bahwa animisme bukan satu-satunya keyakinan pada budaya primitip.
Orang primitip berusaha untuk menguasai alam untuk tujuan praktis,
ini dilakukannya secara langsung melalui upacara dan mantra,
menguasai angin dan iklim, dan binatang dan panen agar mengkuti
kemauannya. Baru setelah usahanya menguasai alam ini mengalami
kesulitan barulah manusia mencari usaha meminta bantuan roh-roh
yang lebih tinggi seperti setan, roh nenek-moyang atau dewa-dewi.
Disinilah Frazier membedakan antara kepercayaan Ilmu Gaib (Magic,
yaitu keyakinan bahwa manusia dapat menguasai alam) dan Agama
(Religion, yaitu pengakuan akan keterbatasan manusia dan pencarian
kuasa yang lebih tinggi darinya sejalan perkembangan
pengetahuan).
Banyak pujian dan kritik ditujukan pada tulisan Frazier yang
dianggap sudah lebih maju dari tulisan Taylor, yang umumnya
membedakan antara Ilmu Pengetahuan (Science) yang dihasilkan dari
pengalaman dan Ilmu Gaib/Sihir/Magi (Magic) yang dihasilkan dari
tradisi. Ilmu Pengetahuan dipimpin akalbudi dan diuji oleh
pengamatan, terbuka akan kebaikan untuk seluruh komunitas,
sedangkan Ilmu Magic berkisar kebatinan (mysticism) dan berbau
okultisme yang diajarkan melalui awal yang rahasia yang diturunkan
secara bakat atau diwariskan secara eksklusip. Jadi dari pengertian
Frazer kedua realita itu tidak saling bergantung dalam arti kata
tidak harus bahwa Ilmu Pengetahuan diahasilkan karena perkembangan
Ilmu Gaib (Magic).
Bila Ilmu Pengetahuan dilandaskan konsepsi kekuatan-kekuatan
alam, Ilmu Gaib dihasilkan oleh keyakinan akan adanya kekuatan atau
tenaga (power) yang bersifat batin dan tidak berpribadi yang secara
umum diyakini oleh orang-orang primitip.
Bagi Mircea Eliade "Baik bagi orang primitip atau masyarakat
modern, yang suci (sacred) itu disamakan dengan suatu kekuatan atau
tenaga (power)" [/COLOR][6]. Kekuatan atau tenaga (power/force)
yang diyakini oleh kebanyakan orang-orang primitip sampai sekarang
biasa disebut antara lain sebagai mana di Melanesia, arungquiltha
di suku Aborijin Australia, wakan/orenda/manitu yang diyakini
orang-orang Indian Amerika dapat ditemui secara universil di semua
suku-suku primitip di dunia dimana Ilmu Gaib/Sihir
dipraktekkan.
Dari banyak pengamat antropologi agama, ditemukan dalam semua
agama primitip adanya keyakinan akan kekuatan (power/force)
supranatural yang tidak berpribadi yang menggerakkan semua hal yang
ada disekitar kehidupan orang-orang dan juga dalam realita yang
suci. Mana inilah dan bukan animisme yang merupakan esensi ilmu
gaib agama pra-animisme. Kepercayaan akan Mana yang juga sering
disebut sebagai dinamisme (dynamism) yang berasal dari istilah
Melanesia dan secara umum kemudian digunakan oleh para ahli
antropologi.
Keberadaan Mana jelas diakui oleh semua ahli yang umumnya
sepakat untuk mempercayai bahwa Mana adalah kekuatan yang tidak
berpribadi (impersonal power) . Emile Durkheim dalam penelitiannya
akan suku-suku Indian di Amerika mengemukakan bahwa umumnya
suku-suku itu mempercayai adanya 'kekuatan unggul' (pre-eminent
power) yang bisa dimanfaatkan, karenanya banyak yang kemudian
menganggapnya sebagai 'semacam dewa yang berkuasa' sehingga banyak
yang menyebutnya sebagai 'roh besar' (great spirit), tetapi dari
penelitian suku-suku itu sendiri ternyata bahwa pernyataan terakhir
mengenai roh besar itu tidak didukung kenyataan.
3. KOMPONEN DALAM AGAMA
Pada prinsipnya sesuai definisi Mircea Eliade, 'Agama' timbul
karena adanya kesadaran manusia bahwa dibalik 'alam nyata yang
tidak kekal' (Profane) ini ada 'alam maya yang kekal' (Sacred) dan
bahwa 'manusia dengan sesuatu cara dapat berhubungan dengan realita
itu. ' Berdasarkan hal itu dapatlah digambarkan bahwa dua lingkaran
'Sacred' dan 'Profane' itu bertemu pada bidang yang disebut agama.
Secara garis besar, gambaran agama itu bisa digambarkan dalam
gambar berikut:
PROFANE / MANUSIA & DUNIAPada gambar di atas, Sacred
(digambarkan sebagai lingkaran di atas) bersinggungan dengan
Profane (digambarkan sebagai lingkaran di bawah) dalam apa yang
disebut sebagai Agama. 'Sacred' (dengan pusat lingkaran menunjuk
pada [1] yang suci) menyatakan diri dalam bentuk segitiga terbalik
(dengan puncak ke bawah) yang disebut [2] 'penyataan/pengungkapan'
(hierophany) dimana kedua sudut di atasnya menggambarkan [2.1]
orang suci dan [2.2] tempat suci, sedangkan puncak di bawah
menggambarkan [2.3] kitab suci yang dari dalamnya manusia dapat
menggali pokok-pokok ajaran (dogma) dan pedoman tingkah laku
(etika). Respons [3] manusia dan dunia (sebagai pusat lingkaran
Profane) dapat digambarkan sebagai segitiga yang disebut [4]
ungkapan beragama yang dinyatakan dengan puncak segitiga yang
menghadap ke atas sebagai [4.1] jalan keselamatan (penebusan) untuk
mencapai yang suci itu, dan kedua sudut di alasnya yang
menggambarkan [4.2] komunitas umat beragama dan [4.3] upacara dan
etik-moral yang dilakukan demi keakraban komunitas tersebut.
Catatan : [1] Mircea Eliade, The Sacred & The Profane,
h.11.[2] Bronislaw Malinowski, Magic, Science & Religion,
h.18.[3] Stephen Skinner, Feng Shui, h.17.[4] lihat Mircea Eliade,
Patterns in Comparative Religions, h.xiv.[5] Robert Brow, Asal Usul
Agama, h.10-11.[6] Mircea Eliade, The Sacred, h.12.
Post subject: Re: PERBANDINGAN AGAMAPosted: Mon Nov 17, 2008
12:39 pm
Joined: Fri Jun 09, 2006 5:20 pmPosts: 8936 II. MEMPELAJARI
SEJARAH AGAMA HINDU ASPEK MISTIKNYA DAN PERKEMBANGANNYA DI
INDONESIA
Agama India kuno sudah terdeteksi sejak sekitar tahun 3000-BC
dan nama Hindu adalah nama India dalam bahasa Persia, dan merupakan
agama tradisi budaya yang berkaitan dengan tanah India yang disebut
sebagai The Mother India yang lebih merupakan agama yang
berorientasi kepada alam dan pertanian dan dapat dikatakan sebagai
'percampuran sekte kultus, kebiasaan, ide-ide dan aspirasi' yang
beragam dan bervariasi di sekitar 700.000 desa.
India sebagai sebuah sub-benua saat ini memiliki penduduk
sekitar 500 juta dan terdiri dari bangsa Dravida di sebelah selatan
yang umumnya hitam dan pendek, bangsa Benggala di bagian timur laut
yang coklat, dan bangsa Aria yang keturunan Persia di sebelah utara
yang umumnya bertubuh tinggi dan berkulit putih. Agama Hindu yang
kuno tidak mempunyai pendiri atau nabi, tidak mempunyai struktur
organisasi agama, dan lebih menekankan jalan hidup dan bukan
pemikiran. Radhakrishnan mantan presiden India menyebut 'agama
Hindu sebagai kebudayaan dan bukan pengakuan iman.'
1. KONSEP MENGENAI YANG SUCI
Dalam agama Hindu yang kuno ada yang percaya tentang apa yang
disebut Tuhan ada yang tidak dan umumnya menj adikan kekuatan alam
sebagai sesembahan (Manisme & Animisme) dan dengan adanya
pengaruh bangsa Aria di Utara (ca.abad ke-XV-BC) yang menghasilkan
bahasa Sansekerta berkembanglah dewa-dewi (politheisme) yang
merupakan personifikasi kekuatan-kekuatan alam seperti Agni (dewi
api), Indra (dewa langit/ perang) dan Varuna (dewa pengatur
kosmis), dan memuncak dalam apa yang disebut sebagai Trimurti yaitu
dewa Brahman, Shiva dan Wishnu dan para dewinya yaitu Saraswati,
Lakhsmi dan Kali/Duga. Dewi Shakti adalah simbol kewanitaan. Di
samping dewa-dewi ini dikenal para perantara (avatar) seperti Rama
dan Krishna. Para penguasa/raja dianggap sebagai anak dewa. Krishna
sering dipersonifikasikan sebagai binatang Sapi (kultus Mother
Goddes).
Dengan berkembangnya agama menjadi PantheismelMistisisme
(kebatinan) maka konsep dewa-dewi berkembang menjadi konsep Monisme
mengenai keberadaan zat yang 'SATU' (The One) yang disebut Brahman
yang mendasari semua keberadaan dan keberadaan zat yang satu itu
dalam diri manusia sebagai Atman, dan bahwa adanya penyatuan zat
manusia Atman dengan Brahman sebagai zat yang satu itu.2.
PERNYATAAN YANG SUCIUngkapan dari yang suci atau hierophany
dinyatakan dalam keberadaan orang-orang suci, tempat-tempat suci,
dan kitab-kitab suci.
A. Orang-orang Suci
Sekalipun semula tidak mempunyai agama terstruktur dengan para
imamnya kemudian timbullahlah golongan Rishi (orang-orang suci) dan
Sadhu (orang suci pengelana/asketik) yang dianggap menjadi
perantara antara dewa-dewi dengan manusia. Mereka memberitakan
jalan hidup kekekalan yang disebut sanata dharma. Kemudian
timbullah para Imam yang memimpin upacara suci di kuil-kuil dan
memuncak pada abad ke-VIII-BC. Pada abd ke-VI-V-BC timbullah
pemberontakan akan agama imam dengan berkembangnya agama Upanishad
(mistik) seperti Buddhisme dan J ainisme. Hinduisme mengalami
kebangkitan kembali sekitar abad ke-III-BC sampai AD-III.
B. Tempat-tempat Suci
Tempat-tempat yang dianggap suci yang terutama adalah sungai
Gangga yang airnya dianggap sebagai lambang kehidupan dimana setiap
hari orang melakukan mandi suci, demikian juga kota suci Varanashi
di tepi sungai Gangga yang dianggap akhir kehidupan dimana yang
mati dibakar dan abunya ditaburkan di sungai Gangga dan Alahabad
ditepi pertemuan sungai ini dengan sungai Yamuna dimana dalam 12
tahun sekali diadakan festival mandi suci.
C. Kitab-kitab Suci
Agama Hindu kuno tidak memiliki kitab suci tetapi kemudian
bangsa Aria yang datang membawa Agama Aria menghasilkan kitab Veda
(Vid = pengetahuan) yang kemudian ada yang dinyanyikan (Rig Veda).
Veda kemudian diakhiri dengan Vedanta (akhir Veda) dalam bentuk
kitab Upanishad dimana berkembang konsep pantheisme/mistisime
mengenai hakekat monisme Brahman - Atman. Pada kurun antara abad
ke-III-BC sampai AD-III kebangkitan Hinduisme menghasilkan
kitab-kitab Sutra yang merupakan perumusan pokok-pokok penting dari
Veda dan Upanishad.
Dalam sejarah kekekalan Hindu dalam empat zaman, pada zaman I
dunia berada dalam keadaan teratur, pada zaman II keadaan mulai
terganggu, pada zaman ini dikenal cerita suci agama yang disebut
Ramayana (tentang rama dan Shinta) dan memuncak pada akhir zaman
III dimana terjadi perang habis-habisan yang dikisahkan dalam
Mahabharata (perang semesta antara kebaikan [pandhawa] dan
kejahatan [asthina]). Dialog Arjuna dan Krishna sebelum perang
Kurusetra kemudian dinyanyikan dalam bentuk Bhagawat Gita. Zaman IV
menggambarkan keadaan kacau yang disebabkan perang Kurusetra yang
akhirnya dunia diperbaharui.
3. KONSEP MENGENAI MANUSIA & DUNIAManusia dianggap sebagai
mahluk bagian alam yang menjadi permainan para dewa-dewi dan
kemudian dalam perkembangan agama Hindu menjadi
Pantheisme/Mistisime berkembang menjadi konsep Atman (pusat
manusia) yang sehakekat dengan Brahman (pusat alam semesta). baik
upacara agama atau jalan kebatinan ditujukan untuk menyatukan Atman
dengan Brahman.
4. UNGKAPAN BERAGAMA MANUSIADalam mengungkapkan rasa keagamaan
mereka, agama Hindu (Hinduisme) mengenal juga cara-cara melalui
jalan keselamatan, komunitas umat, dan upacara & etik moral
beragama yang sangat melekat dalam kehidupan sosial budaya
masyarakat.
A. Jalan Keselamatan Hinduisme mempercayai bahwa kehidupan di
dunia merupakan perjalan ziarah yang panjang melalui jalan samsara
yang miliaran tahun lamanya melalui siklus roda kehidupan (mandala)
dan kelahiran kembali yang disebut sebagai reinkarnasi atau
transmigrasi jiwa. Melalui jalan bhakti (devosi), jnana
(pengetahuan), dan karma (perbuatan) manusia berusaha melepaskan
diri dari siklus karmanya menuju kelepasan yang disebut moksa.
Jalan ini juga biasa diisi dengan pertarakan (asketisme) dan
penggunaan mantra, dan kemudian setelah adanya Upanishad
berkembanglah jalan Yoga (meditasi).
Jalan keselamatan secara umum digambarkan sebagai melalui empat
zaman yang pada akhir zaman ke-III disi dengan cerita Mahabharata
dan memasuki perang semesta Kuruserta pada zaman ke-empat menuju
kehancuran dan kemudian dunia diperbaharui.
B. Komunitas Umat Umat Hindu identik dengan penduduk India,
karena itu kehidupan berkomunitas penduduk juga merupakan kehidupan
komunitas umat Hindu. Dalam Veda manusia dibagi empat golongan
yaitu Brahmana (imam), Ksatrya (penguasa), Waisha (pengusaha) dan
Sudra (rakyat pekerja). Ada juga yang menambahkan dengan kelompok
terhina dan tersingkirkan yang disebut Pariah.
C. Upacara a Etika Agama Tiap hari mandi suci di sungai Gangga
dan setiap 12 tahun diadakan festival Kumb Melam di Alahabad yang
terletak dipertemuan sungai Gangga dan Jamuna. Mereka yang kaya
memilih mati dibakar di Varunasi kota suci ditepi sungai Gangga dan
abunya dilarutkan di air sungai Gangga untuk menjalani kehidupannya
yang terus menerus sebelum ber-reinkarnasi. kepercayaan akan
reinkarnasi menyebabkan orang-orang Hindu umumnya menjadi
vegetarian. Etik moral yang dilakukan oleh orang Hindu sangat
ketat, khususnya kehidupan pertarakan, tabu-tabu, dan kepercayaan
mengenai reinkarnasi yang menyebabkan orang-orang sangat
menghormati binatang yang dianggap titisan nenek moyang yang telah
meninggal. Sapi adalah binatang suci.
5. MISTIK DI DALAM HINDU: UPANISHAD
Berbeda dengan agama Hindu yang menekankan jalan keselamatan
melalui upacara agama ritual dibimbing para Imam, dari Hinduisme
yang bersumber tradisi Arya berkembang dua aliran yang menekankan
jalan keselamatan melalui usaha pribadi, yaitu J ainisme dan
Buddhisme, keduanya bersifat mistik sekalipun tidak identik sama.
Keduanya menekankan cara pelepasan diri dari siklus samsara dengan
usaha penyadaran diri agar jiwa terlepas dari jasad materinya.
Sekalipun Jainisme dan Buddhisme cukup berpengaruh dalam
perkembangan Hinduisme, guruguru Hindu yang terkemudian menganggap
keduanya sebagai tidak ortodoks. Sebaliknya, ada bentuk lain
pengajaran rahasia yang berkembang dikalangan guru-guru tradisi
Veda dan ikut memberi bentuk baru pada Hinduisme. Ini kemudian
dikenal sebagai Upanishads (upa = dekat, ni = bawah, shad = duduk),
karena mereka yang mempelajarinya duduk dibawah dekat guru mereka.
Ditemukan sekitar 200 tulisan upanishads.
Guru-guru itu tidak berurusan dengan para dewa atau korban
ritual, mereka lebih tertarik untuk menemukan dasar alam semesta
(ground of the universe), yaitu Realitas (Brahman) yang ada sebelum
semuanya ada. Pada saat yang sama mereka tertarik menggali hakekat
kesadaran manusia. Mereka sampai kepada kesimpulan bahwa apa yang
azasi dari 'aku perorangan' (atman) tidak lain adalah realitas yang
mendasari kosmos. Beberapa kutipan yang menggambarkan konsep mistik
Upanishad itu secara jelas adalah: "At the heart ofthis phenomenal
world, within all its changing forms, dwells the unchanging Lord.
So, go beyond the changing, and, enjoying the inner." (Ayat pertama
Isha Upanishad) "The Self is all knowing, it is all-understanding,
and to it belongs all glory. It is pure conciousness, dwelling in
the heart of all, in the citadel of Brahma. There is no space it
does not fill." (Dari Mindaha Upanishad).
"Thou art the Eternal among etemals, the conciousness within all
minds, the Unity in diversity, the end of all desiring.
Understanding and experience of Thee dissolve all limitations."
(Dari Shivatashvatara Upanishad). [1]
Sama halnya dengan Jainisme dan Buddhisme, Upanishad
berkepentingan untuk mengatasi perasaan yang asali keberadaan
manusia akan kekuatiran dan frustrasi. Mereka juga menyadari
gejolak dan hidup yang bersifat sementara, tetapi mereka mencari
esensi yang kekal bukan saja dari luar tetapi dari dalam diri
mereka. Jalan keselamatan mereka adalah pengetahuan dan penglihatan
rohani.
Seperti halnya buku panduan para imam, setiap Upanishad
terlampir pada satu dari keempat koleksi nyanyian Veda. Mereka
adalah rekaan spekulatif yang digambarkan sebagai perumpamaan untuk
mengkomunikasikan pandangan mereka tentang realitas. Setiap buku
tentang Hindu mengutip cerita Svetaketu dalam Chandoya
Upanishad.
"Svetaketu diminta untuk membelah buah pohon banyan dan disuruh
terus membelah sampai tidak terlihat apa-apa. Ayahnya
mengingatkannya bahwa yang tiada berasal dari yang tiada bahkan
dari yang sangat kecil masih hadir kekuatan yang meresapi seluruh
alam semesta dan menjadi dasar semua keberadaan. Percayalah! Ia
diingatkan. 'Itu adalah nafas-jiwa (Brahman) yang berada dalam akar
semua keberadaan, dan itulah juga apa adarnu, Svetaketu!' 'Itu
adalah apa adaMu' mengungkapkan kesatuan aku (jiwa) manusia dengan
realitas mutlak. Ia diberitahu pula tentang tidak mungkinnya
memisahkan garam dari air asin karena rasa asin itu meresapi
keseluruhannya. Dengan cara yang sama, ia dijamin bahwa realitas
dalam didalam aku (jiwa) manusia adalah Realitas itu sendiri
(Brahman).
Radhakrisnan menekankan sisi subyektip dan obyektip dari
Upanishads. Svetasvatara (salah satu dari pembicara), mengatakan,
'gergajilah kebenaran dalam kuasa kontemplasi dan anugerah Allah.'
Karena itu, lanjutnya, kebenaran-kebenaran itu harus diperiksa
bukan saja dengan pemikiran logis tetapi juga dengan pengalaman
pribadi.'
Sekalipun Upanishads berbicara mengenai yang tidak terbatas, ada
banyak ungkapan personal yang kemudian dibawa kepada ibadah
(bhakti). Diberitahukan bahwa 'Brahman diam didalam dan diluar
segala sesuatu yang tidak dilahirkan, murni, lebih besar dari yang
terbesar, tanpa nafas, tanpa pikiran' dan namun Brahman 'selalu
hadir dihati semuanya sebagai penyelamat semuanya dan tujuan yang
mutlak. 'Dalam Brahman berada semua yang bergerak dan bernafas.'
Brahman dilihat sebagai 'yang satu yang dipuja.' Untuk 'mengetahui'
Brahman adalah untuk menemukan keberadaan seseorang dalam
Brahman.
A. YOGA
Cara praktis penyatuan aku (jiwa) atman ke Realitas Brahman ini
dilakukan melalui Yoga. Pelaku Yoga biasa disebut yogi. Yoga
merupakan salah satu jalan keselamatan dalam Hinduisme, yaitu cara
untuk mencapai Moksa atau Kelepasan. Yoga berarti usaha mendisiplin
diri untuk 'merealisasikan kehadiran Tuhan dalam diri,' tetapi Yoga
dapat juga berarti suatu 'usaha mengatur kekuatan alam dan roh,'
dan juga sebagai usaha 'penyatuan diri dengan zat ilahi.' "Kata
'Yoga' berasal dari bahasa Sansekerta Yuj, yang berarti 'untuk
mengaitkan, menggabungkan, mempersatukan,' dan ghan, yang mengacu
kepada 'penggabungan atau penyatuan total'. Secara harfiah,
definisi yoga adalah untuk 'bergabung dan bersatu secara percuma.'
Nah, apa saja yang diusahakan yogi untuk digabungkan dan
dipersatukan atau persatuan? Jawabannya terletak pada konsep tiga
unsur manusia yang diyakini dalam agama India kuno. Bagi mereka,
manusia terdiri atas tiga bagian, yaitu pikiran, tubuh, dan jiwa.
Tujuan akhir seorang siswa yang melakukan praktek yoga adalah untuk
mempersatukan ketiga unsur tersebut dan mencapai persatuan dengan
'Sang Tuhan' atau 'Pikiran Alam Semesta'." [2]
Sekalipun membangun keluarga dan menikmati kesej ahteraan
duniawi dibolehkan dalam agama Hindu, dalam diri banyak orang
India: "Satu-satunya keinginan yang berapi-api adalah melepaskan
diri dari dunia dan hanya berfikir untuk menyatu dengan Brahman ...
Para yogi menyangkali selera mereka dan beberapa dikatakan dapat
menghentikan detak jantungnya selama satu menit dan menahan nafas
sampai berjam-jam ... Pada tingkat yang paling tinggi, bila seorang
yogi telah melepaskan diri dari semua indera rasanya, ia berada di
atas keluarga, kasta, negara, ibadat agama, baik dan jahat, waktu
dan ruang, dan di atas diri sendiri karena ia menjadi satu dengan
Tuhan." [3]
AG. Honigjuga mengemukakan hal yang sama tentang seorang Yogi
dimana dikatakannya bahwa: "Orang-orang yang menjalankan Yoga
(yogi) mula-mula sekali harus belajar mengendalikan diri dengan
sempurna, juga di dalam hidupnya sehari-hari yogi harus belajar
menunaikan segala kebajikan, misalnya: memantang kesenangan
duniawi, berlaku jujur, tidak ceroboh, kemiskinan, kesucian,
belajar, dsb. Selanjutnya yogi harus menjauhkan diri dari manusia,
banyak berpuasa, dan membuat badannya menjadi baik untuk pemusatan
pikiran. Untuk itu ada diperintahkan bermacam-macam sikap duduk
(asanas). Sesudah itu ia harus berusaha menguasai dan mengatur
jalannya napas. Dalam hal itu ia harus meletakkan tangannya dalam
sikap tertentu (mudra). Setelah itu ia harus menunjukkan pikirannya
kepada satu hal. Inilah yang disebut meditasi atau perenungan
(dhyana), di mana yogi masih selalu berfikir juga. tetapi keadaan
yang tertinggi ialah, di mana berfikirpun berhenti dan jiwanya
tenggelam di dalam obyek perenungan. Inilah yang disebut samadhi.
Karena akhimya yogi itu berhasil melepaskan rohnya dari materi
(zat), maka ia tidak lagi terikat kepada hukum-hukum materi,
sehingga ia dapat menjalankan usaha-usaha yang luar biasa. Bagi
beberapa orang memiliki kekuatan-kekuatan luar biasa itu menjadi
pokok tujuan mereka, tetapi sebenarnya di dalam Yoga itu yang
menjadi tujuan ialah kelepasan: moksa." [4]
Ada berbagai jalan yang ditempuh dalam Yoga, yaitu (i) Bhakti
Yoga dilakukan melalui cinta dan pengabdian; (ii) Karma Yoga
dilakukan dengan pengorbanan diri dan perbuatan baik; (iii) J nana
Yoga melalui ilmu pengetahuan untuk mengerti kebenaran hidup; (iv)
Raja Yoga melalui meditasi mistik (kebatinan) untuk menemukan diri
(self) manusia terdalam; dan (v) Hatha Yoga melalui gerak dan hidup
(pernafasan). Posisi dan gerak tubuh tertentu dianggap sebagai
jalan menuju kesempurnaan pula.
Semua jalan itu ditujukan untuk menuju keadaan bersatunya roh
diri manusia (Atman) dengan roh ilahi/roh semesta (Brahman) itu,
atau persatuan mikro kosmos dengan sumbernya makro kosmos, yaitu
persatuan jiwa manusia dengan jiwa alam sebagai kelepasan. Beberapa
cara yang dilakukan dalam Yoga adalah sebagai berikut: (i) Yama,
yaitu penyangkalan diri; (ii) Niyama, yaitu tingkah laku moral;
(iii) Asanas, yaitu sikap atau postur tubuh; (iv) Pranayama, yaitu
pengaturan pernafasan; (v) Pratyahara, yaitu penguasaan indera;
(vi) Dharana, yaitu pengaturan fikiran untuk dikonsentrasikan
kepada obyek; (vii) Dhyana, yaitu meditasi dalam, dan (viii)
Samadhi, yaitu pencapaian kesadaran jati diri tertinggi.
Bila ke-delapan jalan itu telah berhasil dicapai, maka
tercapailah pencerahan/ kelepasan/ keselamatan. Dalam praktek Yoga
juga dilakukan pengucapan mantra (kata-kata suci/berkhasiat) Om-
Ram, dan sasaran dari latihan Yoga adalah untuk membangkitkan
Kundalini yaitu kekuatan ilahi yang sedang tidur dalam diri manusia
yang berbentuk seperti ular, karena itu disebut juga sebagai
Kekuatan Ular.
Dalam Yoga dipercaya bahwa tubuh manusia dibungkus oleh sinar
yang disebut sebagai Aura, dan tubuh manusia dianggap mempunyai 7
Chakra. "tubuh manusia terdiri atas dua bagian yang terpisah:
bagian fisik yang dapat disentuh dan dilihat serta bagian spiritual
atau bagian eterik yang tidak tampak. Untuk menjaga kesehatan tubuh
yang baik, para murid okultisme bertujuan memapankan aliran energi
yang baik antara kedua bagian tersebut. Dalam usaha mencapai tujuan
ini, orang diharuskan mengendalikan gerbang-gerbang di antara kedua
tubuh ini. Gerbang -gerbang ini disebut chakra. Chakra atau 'roda'
ini merupakan sisi -sisi energi yang berputar dan berlokasi di
tujuh tempat berbeda di seluruh tubuh manusia." [5]
Melalui latihan postur dan gerak, kekuatan Kundalini dapat
dibangunkan dan naik ke otak untuk mencapai Samadhi dan Kebebasan,
dan kemudian Y ogi itu akan mendapatkan kekuatan batin dan hidup
langgeng selama disukainya. "Kundalini adalah Kekuatan Ilahi yang
sedang tidur, tergulung dalam suatu makhluk, 2 jari di atas lubang
pantat dan 2 jari di bawah kemaluan, itulah tempat Muladhara
Chakra. Di sini letaknya Devi Kundalini yang luhur. Ia menggulung
dirinya tiga setengah kali seperti seekor ular. Karena itu
dikatakan "Kekuatan Ular" (Serpent Power). Ia merupakan kekuatan
dalam mulut Sushumna Nadi dengan muka ke bawah. Ia merupakan
kekuatan alam yang mencipta dan senantiasa ada hubungannya dengan
penciptaan ... Bila Kundalini Shakti (kekuatan Kundalini) naik ke
atas dan bersatu dengan Siva di Sahasrara Chakra (letaknya di otak)
mengakibatkan keadaan Samadhi dan Kebebasan. Kemudian Yogi itu
mendapatkan 8 macam Siddhis (kekuatan batin) besar dan 32 macam
Siddhis kecil. Ia boleh hidup selama ia suka." [6]
"Bila Sang Kobra mencapai chakra makota, ia akan berhenti dan
melingkar di sana. Pada titik ini Anda akan mengalami keadaan
mental yang disebut kesadaran kosmos, samadhi, satori atau banyak
nama lain yang diberikan orang untuk 'kebahagian sempurna". [7]
Dari kedua kutipan di atas kita dapat melihat bahwa usaha
'membangkitkan Kundali' dalam Yoga bukan sekedar untuk mencari
ketenangan dan kebahagiaan sempurna tetapi juga untuk mencapai
keilahian yang penuh dan dapat menentukan kehidupannya sendiri.
Yoga adalah jalan keselamatan bersatunya aku (jiwa) manusia (Atman)
kepada sumbernya Realistas Brahman. Postur/sikap tubuh dalam
meditasi Yoga yang terkenal berbentuk Lotus (seperti piramid) dan
Cobra dan ada gerakan Yoga yang merupakan penyembahan Matahari,
seperti yang dengan jelas terlihat dalam gerak Surya Namaskar.
Moderniasi ajaran Hindu, khususnya latihan Yoga juga terjadi
pada abad ke-XX, dan salah satunya yang terkenal menamakan dirinya
sebagai Transcendental Meditation (TM), yang merupakan moder-nisasi
meditasi Hindu yang coba diilmiahkan agar memenuhi gengsi
rasionalisme dunia Barat. Maharishi Mahesh Yogi dari India
mem-perkenalkan latihan ini di Amerika Serikat pada tahun 1959, dan
membentuk organisasi bernama International Meditation Society, dan
bahkan begitu meluas sehingga sempat diresmikan prakteknya di
sekolah-sekolah karena manfaatnya dalam membantu membebaskan
pecandu obat bius, tetapi karena kemudian dapat dibuktikan bahwa TM
berbau agama Hindu, maka kegiatannya di sekolah-sekolah umum
dibatasi. Maharishi mulai terkenal di tahun 1950-an ketika menjadi
guru kebatinan pemusik pop The Beatles.
Daya tarik TM adalah karena tidak menyebut dirinya sebagai
aliran agama, dan menawarkan relaksasi badan dan menenangkan
pikiran, peningkatan kemampuan mental, dan pengembangan
kepribadian, tetapi dalam prakteknya terlihat bahwa TM tidak lain
adalah suatu bentuk latihan meditasi Hinduisme termasuk pembacaan
ayat-ayat dari Kitab Veda dan Bhagawad Gita, buku-buku suci Hindu,
maupun pengucapan mantra-mantra dalam latihan.
6. AGAMA HINDU DI INDONESIA
Hinduisme mulai diperkenalkan ke Indonesia sedini abad-4, dan
beberapa dewa-dewi Hindu diadopsi ke dalam kepercayaan rakyat. Yang
menarik untuk diamati adalah bahwa beberapa dewa-dewi yang di
India, pusat agama Hindu yang kurang mendapat tempat terhormat, di
Indonesia bisa menjadi penting setelah mengalami sinkretisasi
dengan dewa-dewi tradisi. Syiwa di Indonesia disembah dalam
berbagai bentuk, terutama bentuk Mahadewa dengan empat tangan. Di
sini kita dapat melihat adanya perubahan peran dan sifat-sifat
dewa-dewi Hindu yang berbeda dengan peran dan sifat-sifat mereka di
tanah airnya sendiri India.
A. BRAHMANISME
Hindusime dikenal di Indonesia melalui kontak-kontak dagang
dengan India dan jejak-jejaknya dikenal di Kalimantan Timur (Kutai,
abad - 4), Bali dan Jawa Barat (Purnawarman, abad - 5). Para raja
di daerah-daerah itu mulai memasukkan unsur-unsur Hindu misalnya
dalam istana, bahkan lingkunga istana mulai memasukkan para brahman
untuk memimpin upacara-upacara agama. Lama kelamaan, dengan
dukungan kerajaan, agama Hindu itu mulai mempengaruhi
kerajaan-kerajaan pedalaman di Jawa Tengah sekitar abad-abad - 8-9
(Candi Dieng [750] & Prambanan [856]), dan di Jawa Timur pada
abad - 10 dan memuncak pada kerajaan Majapahit di abad - 14 yang
kemudian memasukkan Hinduisme ke Bali. Para Brahman dan rahib India
berdatangan.
Pengaruh Buddhisme juga masuk ke Sumatera Selatan dimana pada
abad -7 kerajaan Sriwijaya adalah kerajaan Buddhis yang terkenal.
Baik agama Hindu maupun Buddhis sesuai semangat sinkretisme di
Indonesia bercampur dan sejak itu terjadi pergerakan para imam,
rahib dan pengelana, dari Jawa dan Sumatera dan pusat-pusat
kerajaan Hindu dan Buddha lainnya.
Para Brahman berperan memimpin upacara kerajaan yang sudah
terpengaruh agama Hindu. Para Brahman itu juga rnendapat tugas
untuk menjaga hubungan para raja dengan nenek moyang mereka agar
memperoleh kekuatan, dan mengkaitkan tahta mereka dengan dewa-dewi
Hindu dan Buddha. Beberapa imam Hindu dan Buddha rnemiliki
kedudukan tinggi di istana dan sering mewakili para raja dalarn
memutuskan kasus-kasus pengadilan. Mereka menggunakan kitab hukum
India tetapi menyesuaikan dengan adat-istiadat dan situasi
lokal.
Penyesuaian model dan selera India ke dalam kebutuhan lokal
menjadi tanda yang jelas pada budaya klasik di kerajaan-kerajaan
Jawa. Atribut dan nama-nama dewa-dewi Hindu diberikan kepada
roh-roh setempat. Roh padi dicampurkan dengan isteri Wisnu menjadi
Dewi Sri, dewi kemakmuran. Roh-roh penunggu gunung yang dipercayai
penduduk Jawa bercampur dengan konsep Hindu mengenai pusat dunia
dan menjadikan Gunung Meru sebagai tempat kediaman para
dewa-dewi.
Buku-buku undang-undang, filsafat, dan upacara India dipelajari
dan diberikan penafsiran dan diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa.
Cerita-cerita kepahlawanan (epik) India yang besar juga diberi
jubah Jawa, seperti Mahabarata sudah diterjemahkan dari bahasa
Sansekerta pada abad - 10. Mitologi yang kaya itu mempengaruhi
lagu-lagu istana (kakawin) dan wayang jawa (wayang purwa).
Agama Rakyat
Di luar para Brahman di istana, tinggal para pertapa hutan
dimana para asketik dan mistik melakukan sihir, astrologi,
pengusiran roh jahat, dan mencari kesaktian supra-natural.
Disamping itu, bagi rakyat jelata juga terbuka kesempatan melakukan
upacara kepada dewa-dewi, memberikan sesajen pada para brahman,
terutama pada bulan purnama, mengucapkan sumpah dan melakukan
upacara -upacara tertentu untuk mencapai keselamatan.
Upacara yang terkenal adalah upacara malam dewa Syiwa. Upacara
ini mulai dipopulerkan di India pada abad - 15, dan kemudian
menyebar ke Jawa dan Bali. Mereka yang bergadang semalam suntuk
pada malam tanpa bulan dan mengurapi lingga-Syiwa dengan air suci
dan dedaunan, akan memperoleh kehidupan sesudah mati yang cerah
bersama dewa syiwa. Begitu kuatnya upacara itu sehingga dipercayai
dapat menghapuskan dosa yang paling besar pun. Dosa bukan saja
karena perbuatan jahat, tapi juga pekerjaan kotor, status sosial
yang rendah, dan sifat pribadi yang jelek ikut berperan. Pemburu
yang miskin, karena perannya dalam menghilangkan nyawa binatang
akan mengalami nasib yang jelek. Sekali pun pemburu itu melakukan
perbuatan baik, namun statusnya sebagai pemburu merugikan dia,
tetapi bila ia melakukan upacara yang paling suci, itu dapat
menyucikan dia dari dosa.
Masyarakat dianggap terdiri dari kelas-kelas, Brahman, Ksatria,
Waisya, dan Sudra, dan ditambah kelas chandalas yaitu mereka yang
memiliki pekerjaan kotor. Di Jawa dan Bali upacara sosial ini
diikuti tetapi perbedaan atas kasta tidak. Waktu dianggap sebagai
kekal dan bergerak dalam siklu-siklus yang tidak berkesudahan
melalui empat zaman dan sekarang memasuki zaman ke-4 yaitu zaman
Kali. Kebenaran harus dilakukan untuk mencapai zaman keemasan.
B. HINDU TENGGER
Menurut legenda Jawa, ketika kerajaan Hindu-Buddha Majapahit
ditaklukan kerajaan Islam (1520), keluarga kerajaan Majapahit dan
para imam melarikan diri ke Bali dan mewariskan agama Hindu di
sana. Rakyat jelata kebanyakan lari ke pegunungan Tengger di Jawa
Timur dan bercampur baur dengan penduduk asli Tengger yang menganut
agama Jawa, di sini mereka tetap mewarisi tradisi keimaman agama
Syiwa zaman Majapahit. Kawah gunung Bromo adalah tempat untuk
melakukan upacara kurban bagi agama Tengger.
Berbeda dengan perkembangan di Bali, di Tengger agama rakyat
sangat ketat dipengaruhi perkembangan agama Jawa dan Islam di
sekelilingnya. Reformasi Hindu pada tahun 1970-an menghidupkan
kembali agama Tengger yang mengandung pertentangan agama imam Syiwa
dan agama rakyat Jawa. Festival terbesar adalah Karo (keduanya)
yang lebih menggambarkan upacara dualisme semesta antara bumi dan
langit, tanah dan air, laki dan perempuan, dan Muhammad dan Asyika.
Asyika dianggap pendiri agama Tengger dan festival ini dibawah
pengaruh Islam menjadi upacara karo, yaitu koeksistensi damai, yang
melihatkan agama Islam dan agama Hindu Tengger.
Sejalan dengan kebangunan gerakan Islam pada tahun 1950-an dan
1960-an, di tengger juga dialami kebangunan pembaharuan agama
Hindu. Ini terjadi karena pengaruh gerakan kaum muda Hindu Bali
(parisadha Bali), kemudian banyak imam agama Tengger belajar ke
Bali. Ini menyebabkan terjadi pembaruan agama Hindu Tengger
bekerjasama dengan agama Hindu Bali pada tahun 1960-an dan
1970-an.
C. HINDU BALI
Bila Agama Hindu Tengger lebih bercirikan agama rakyat yang
menyatu dengan agama Jawa, agama Hindu Bali dibawa oleh para
Brahman dan keluarga Raja sehingga lebih kaya dalam upacara-upacara
istananya. Namun, agama Hindu Bali juga memiliki banyak variasi di
Bali sejalan dengan sinkretisasi dengan kepercayaan tradisi lokal
yang berbeda-beda. Agama di sini semula disebut sebagai agama Hindu
Bali, namun berbeda dengan agama Hindu yang berasal dari tradisi
Veda India, sekte utama di sini menyembah Syiwa dan juga Buddha.
Agama ini juga disebut agama Tirta (air) karena umumnya ada
upacara-upacara menggunakan air suci. Sekarang nama resmi agama ini
adalah agama Hindu Dharma.
Agama Hindu Dharma adalah agama upacara, umat pada umumnya tidak
berbicara mengenai teologi namun setia menjalankan upacara agama
sesuai petunjuk para imam. Kepercayaan akan kehidupan reinkarnasi
itu disertai upacara nga ben (pembakaran mayat keluarga kaya).
Mereka yang terpelajar mencari pengertian mengenai dewa-dewi lokal
dan ikatannya dengan sesama dewa. Sebagai contoh dewa Batara di
danau batur adalah saudara dewa Batara di gunung Agung, padahal
keduanya berasal dari dewa-dewi Jawa kuno. Untuk menjaga Bali, Dewa
Jawa (Sang Hyang Pasupati) mengirimkan 7 anak-anaknya ke Bali yang
kemudian menjadi dewa-dewi lokal. Agama Upacara
Penyebaran agama disamping melalui para imam (ajaran Veda) juga
dengan kuat ditanamkan melalui upacara dan tari-tarian, khususnya
yang bertemakan Mahabarata dan Ramayana, juga babad (sejarah
tradisi) dan tutu/satua (sejarah yang diucapkan turun-temurun).
Dewa utama di Bali adalah Trimurti Veda, yaitu Brahma (pencipta),
Wisnu (pemelihara) dan Syiwa (perusak). Tiap keluarga Bali memiliki
kuil (sangga) beruang tiga untuk menyembah Trimurti dan roh-roh
nenek-moyang. Di tingkat desa, desa adat memiliki tiga kuil (pura -
tiga kayangan), yaitu pura Desa, Puseh, dan Dalem yang
dipersembahkan kepada Brahma, Wisnu dan Syiwa bersama-sama.
Disamping itu ada pura yang bersifat regional yang disebut 'tempat
suci dunia' (kahyangan jagad), seperti pura Besakih, Batur,
Lempuyang Luhur, Gua Lawah, Uluwatu, Batukara, Pusering Jagad,
Pulaki, Tanah Lot, dan Sakenan. Dari seluruh pura ini, pura Besakih
di lereng gunung Agung adalah yang terbesar.
Kuil-kuil diisi Meru (pagoda) yang biasanya beratap ganjil
jumlahnya dan maksimum sebanyak 11 buah dan biasanya digunakan
untuk menghormati dewa-dewi atau nenek-moyang tertentu.
Agama Hindu Bali adalah agama upacara dimana agama dituturkan
dari generasi-ke-generasi yang diperkuat dengan persembahan kepada
dewa-dewi setiap hari, dan khususnya pada hari-hari tertentu ada
persembahan untuk mengingat hari raya tertentu, dan juga untuk
pergi ke kuil secara berkala. Setiap perayaan penting selalu
didahului upacara agama untuk mengusir roh-roh jahat. Demikian
juga, bencana alam (termasuk pengeboman di legian-Kuta) harus
disucikan dengan upacara doa.
Hindu Bali menyembah dewa tertinggi yang disebut Sang Hyang Widi
sebagai manifestasi dewa matahari Syiwa Raditya.
Catatan :[1] Eerdsmans' Hanbook to The World's Religions, hlm.
179.[2] Leo F. L:udzia, Tenaga Hidup, hlm.36. [3] Henry R. Luce,
The World's Great Religions, hlm.26. [4] A. G. Honig Jr., Ilmu
Agama I, hlm.102.[5] Ludzia, Op.Cit., Hlm 48. [6] Swami Sivananda,
Yoga Asanas, h.142-143. [7] Ludzia, Op. Cit., h.50-51.
Top
BP Post subject: Re: PERBANDINGAN AGAMAPosted: Mon Nov 17, 2008
1:39 pm
Joined: Fri Jun 09, 2006 5:20 pmPosts: 8936 III. MEMPELAJARI
SEJARAH AGAMA BUDDHA & ASPEK MISTIKNYA DAN PERKEMBANGANNYA DI
INDONESIA
Agama Buddha dapat dikatakan sebagai pembaruan agama Hindu dan
Buddha artinya 'mereka yang telah bangun.' Buddhisme dirintis
Siddharta Gautama, (lahir 563SM) anak raja Kapilavastu dekat
perbatasan Nepal. Peristiwa sekitar kelahirannya banyak diisi
dengan dongeng. Setelah mendirikan agama ia disebut sebagai Buddha
yaitu 'seseorang yang telah mengalami pencerahan' atau 'telah
bangun.' Ia mempunyai isteri bernama Gopa dan anak bernama Rahula.
Karena kehidupan mewah yang dialaminya tidak mendatangkan kepuasan,
dan melihat penderitaan disekitarnya, ia kemudian meninggalkan
istana rumahnya, dan keluarganya (isteri dan seorang anak) dan
menjadi pengelana. Selama enam tahun ia berkelana mencari arti
hidup dan berguru kepada pada orang-orang suci.
Sebelumnya dalam tiga perjalanannya ia menjumpai penderitaan
dunia dalam tiga bentuk, yaitu (1) orang tua yang menderita; (2)
orang cacat yang kesakitan; dan (3) pengantar jenazah menangis.
Dalam perjalanan ke-empat ia bertemu dengan rahib Hindu yang
bergembira sekalipun mengemis mencari makan, ini menyebabkan ia
berpendapat bahwa kehidupan itu sia-sia. Dibawah dua guru Brahmana
ia kemudian mencari melalui jalan Yoga untuk menyatukan Atman
dengan Brahman tetapi dianggap tidak membawa kepada
pengetahuan.
Sebagai orang yang dilahirkan dalam lingkungan agama Hindu,
sekalipun ia berontak terhadap praktek Hinduisme orthodox,
ajarannya menerima beberapa pengajaran Hindu seperti soal setiap
mahluk hidup mengalami siklus kelahiran dan kematian yang tidak
terhingga (reinkarnasi), ajaran tentang Karma (hukum pembalasan),
hukum alam sebab dan akibat dimana yang baik hidupnya akan mendapat
pahala dan yang tidak baik akan terhukum, bahwa dunia adalah tempat
hidup yang penuh dengan penderitaan dan kepedihan dimana orang
bijak harus melepaskan diri, dan jalan hikmat terletak pada
penguasaan keinginan dan nafsu.
Sekalipun menerima pengajaran Hindu pada umumnya, ia menolak
cara-cara yang digunakan dalam agama Hindu untuk mencapai tujuan
itu yang penuh dengan usaha menyakiti diri (asketik / bertarak)
yang dianggapnya sebagai tidak berguna dan sia-sia. Ia mempelopori
'Jalan Tengah' (middle way) yaitu diantara usaha menjalani
kehidupan dengan cara 'menyakiti diri' dan 'pemuasan nafsu diri',
suatu usaha menghindari sikap ekstrim dengan cara yang tenang.
Buddha juga menolak pembagian kasta India dan memandang semua
manusia setara dalam memiliki potensi spiritual.
Ia kemudian pergi ke utara India dan dengan lima pengikut
melakukan pertarakan (ascese). Karena jalan ini juga tidak
mendatangkan solusi ia melakukan meditasi dibawah pohon Boddhi dan
mencapai pencerahan dan Empat Kebenaran Mulia, dan sejak itu ia
dinamakan 'Buddha' atau 'yang telah dibangunkan dan mengalami
pencerahan' (the enlightened one). Kemudian bersama ke lima
pengikutnya ia berkotbah pertama kali di Benares (Vanarasi). Ia
kemudian berkelana ke India bagian Utara sebagai rahib pengemis
sambil mengajarkan ajarannya selama sekitar 45 tahun.Di masa tua,
ia mengalami sakit keras dan mengajarkan kepada para pengikutnya
mengenai 'ketidak tetapan' atau 'perubahan' yang selalu dialami di
dunia ini, dan meninggal di Kushinagara pada umur 80 tahun yang
dipercayai sebagai telah kembali ke Nirvana yang dipercayai sebagai
puncak dari segala sesuatu.
1. KONSEP MENGENAI YANG SUCI
Dalam agama Buddha, konsep tentang yang suci atau ketuhanan
tidak ada, yang ada adalah kondisi Nirwana yaitu perhentian
terakhir menuju ketiadaan. Agama Buddha memang dipersoalkan
hakekatnya sebagai agama, sebab Buddhisme ini praktis didasarkan
atas hal-hal yang rasional dan sekalipun juga bersifat
transendental, sangat sedikit sekali berurusan dengan yang
supranatural, dan konsep ketuhanan juga kabur sehingga dapatlah
disebut bahwa Buddhisme adalah agama yang sebenarnya A- Theist
(Tidak ber Tuhan dalam pengertian Tuhan Atheisme), namun untuk
menghindari kerancuan dan pengidentikkan dengan A-Theisme Komunisme
yang berkonotasi negatip 'anti-Tuhan' maka agama Buddha sering
disebut sebagai berkeyakinan 'Non-Theist.' Di Indonesia, agama
Buddha secara resmi juga menerima konsep kepercayaan akan 'Tuhan
Yang Mahaesa' namun pengertiannya adalah 'Tuhan yang SATU itu'
(Tuhan mistik tidak berpribadi), dan dalam kasus agama Buddha,
Tuhan yang SATU ini dimengerti sebagai situasi ketiadaan.
2. PERNYATAAN YANG SUCI
Ungkapan dari yang suci atau hierophany biasanya dinyatakan
dalam keberadaan orang-orang suci, tempat-tempat suci, dan
kitab-kitab suci. Dalam Buddhisme kita melihat beberapa hal sebagai
berikut:
A Orang-orang Suci
Tidak ada orang suci dalam agama Buddha, ia bukan Tuhan dan juga
bukan perantara Tuhan, ia tidak dapat menjadi penebus. Yang lebih
dipentingkan bukan orang suci tetapi jalan suci atau Dharma yaitu
ide pengajaran yang sifatnya kekal dan tidak pernah berhenti. Semua
orang harus menjadi Buddha dan dalam Theravada dianggap ada
beberapa Buddha (mula-mula 6 dan kemudian 28) dimana Sidharta
Gautama adalah yang utama dan sedang dinantikan Buddha yang akan
datang dalam diri Maitreya. Bagi aliran Mahasanghikas diakui bahwa
ada banyak sekali Buddha seperti banyaknya pasir di pantai.
B Tempat-tempat Suci
Tidak ada tempat suci khusus bagi agama Buddha kecuali pohon
Boddhi yang dianggap keramat, lainnya adalah kuil-kuil dan
candi-candi. Di Indonesia kita jumpai banyak candi yang dianggap
tempat suci untuk tempat bermeditasi seperti yang terkenal yaitu
candi Borobudur.
C. Kitab-kitab Suci
Ajaran Buddha diajarkan dari mulut ke mulut dan di hafalkan,
baru dikemudian hari ucapan-ucapan Buddha ditulis oleh para
pengikutnya. Buddha kemudian mengajarkan 4 Kebenaran Mulia, yaitu
(1) Penderitaan adalah umum; (2) Penderitaan disebabkan keinginan
cinta diri; (3) cara mengatasi penderitaan adalah mengurangi
keinginan; (4) Cara untuk mencapai pengurangan keinginan adalah
dengan mengikuti jalan tengah, tehnik mana diuraikan dalam 8 Jalan
Mulia, yaitu (1) Pengetahuan yang benar; (2) Keputusan yang benar;
(3) Perkataan yang benar; (4) Perbuatan yang benar; (5) Kehidupan
yang benar; (6) Usaha yang benar; (7) Kesadaran yang benar; dan (8)
Pengheningan cipta yang benar. [1]
3. KONSEP MENGENAI MANUSIA
Manusia dalam konsep Buddha adalah Micro Cosmos tetapi berbeda
dengan Atman Hindu yang menyatu dalam Brahman semesta, manusia
dalam Buddha adalah Atman yang berusaha melepaskan dirinya dari
penjara tubuh menuju kepada An-Atman (ketiadaan Atman), dan ini
dicapai melalui usaha meditasi menuju pencerahan.
4. UNGKAPAN BERAGAMA MANUSIA
Dalam ungkapan beragama Buddha kita melihat hal-hal berikut:
A. Jalan Keselamatan
Tujuan hidup Buddha adalah usaha mendisiplinkan diri dengan cara
melakukan amal baik dan ketenangan batin. Jalan keselamatan dalam
Buddha adalah pencarian dalam mencapai pengetahuan menuju
pencerahan itu. Dan tujuan pencerahan itu bukan menuju tempat
tertentu (semacam surga) tetapi suatu keadaan yang disebut Nirwana,
keadaan kelepasan menuju status 'tiada'. Kondisi inilah yang
disebut menjadi Buddha, dan tugas seorang Buddhis adalah mengajak
orang lain untuk menjadi Buddha pula. Dharma sebagai hukum
kehidupan lahir dan mati mempercayai bahwa manusia mengalami karma
yang baik bila hidup baik dan karma yang jelek bila hidup tidak
baik melalui siklus hidup kembali yang disebut reinkarnasi.
Berbeda dengan konsep Atman Hinduisme yang bersiklus hidup
secara tetap dan terus menerus tidak berkesudahan, dalam Buddhisme
siklus itu menuju kondisi perhentian akhir yang tiada yang disebut
Nirwana (An-Atman) yang bisa dicapai dalam hidup ini melalui
pencerahan, suatu kondisi perhentian dimana tidak ada lagi
keinginan dan penderitaan. Dalam ajaran Theravada hanya yang
menjadi Bhiksu yang akan selamat sedangkan dalam aliran Mahayana
mereka menunda menjadi Buddha agar dapat menolong sesamanya. Jadi
bagi aliran Mahayana seorang Boddhisatwa (mereka yang siap menjadi
Buddha) mengajar dan juga bekerja menjadi penyelamat.
B. Komunitas Umat
Selain ke-lima pengikut pertama, ia mengumpulkan umat dalam
Sangha dan berbeda dengan agama Hindu, Buddha menolak pembagian
kasta. Umat menggunakan ruang-ruang pertemuan yang disebut Vihara.
Setelah kematian Buddha timbul pertentangan tentang interpretasi
ajaran-ajarannya dan timbul dua aliran utama yaitu aliran Theravada
atau Hinayana (kendaraan kecil) yang bersifat konservatif yang
menyebar ke selatan seperti Thailand, Myanmar, Kamboja, Laos, dan
Srilangka, dan aliran Mahasanghikas atau Mahayana (kendaraan besar)
yang bersifat liberal yang menyebar ke utara seperti Tibet, Nepal,
Sikkim, Buthan, Vietnam, China, Jepang, Monggolia, Korea dan
Manchuria. Aliran Theravada mengacu pada kitab-kitab asli/kuno dan
menekankan usaha pribadi dalam mencapai pencerahan, sedangkan
aliran Mahayana menganggap bahwa keselamatan bukan untuk diri
pribadi tetapi untuk semua orang.
C. Upacara Agama
Aliran Theravada tidak mempunyai upacara kecuali bahwa semua
orang harus menjadi bhiksu untuk memperoleh selamat sedangkan dalam
aliran Mahayana semua orang adalah Buddha. Theravada lebih
memurnikan ajarannya sedangkan Mahayana cenderung bersinkretisasi
dengan agama local sehingga timbul banyak aliran dan upacara
(Lamaisme di Tibet, Sam Kauw di China, Zen Buddhisme di Jepang
dll.)
5. MISTIK BUDDHISME
Bagi seorang Buddhis yang baik yang memperoleh pencerahan,
terbukalah Nirwana yaitu tujuan spiritual tertinggi. Nirwana adalah
keberadaan tetap dari semua keadaan yang bersifat realitas puncak
yang tidak berpribadi, atau bahwa seseorang telah berhenti dari
siklus reinkarnasinya. Untuk mengembangkan pengajaran di atas,
Buddha mengajarkan bentuk dasar kepercayaan mengenai 'Aku' (Self)
yang dikatakan sebagai:"Aku bukanlah seperti yang dipercayai dalam
agama Hindu yang menganggapnya sebagai bagian dari zat mutlak yang
disebut sebagai Brahman. Aku adalah tidak tetap dan dibentuk oleh
tahap-tahap pemikiran dan materi yang terus menerus berubah. Bila
seseorang melepaskan diri dari semua keinginan duniawi, ia sampai
pada realisasi yang benar dari' Aku 'nya dan menuju Nirwana."[
2]
Menurut Buddha, konsep Aku itu berlawanan dengan Atman Hindu
yang merupakan bagian dari Brahman, zat semesta itu, karena itu
Buddha menyebutnya An-Atman atau An-Atta yang artinya:"ajaran
tentang tidak ada nyawa, tidak ada aku ... Si Aku itu hanya suatu
susunan sementara daripada dharma-dharma, yang daripadanya segala
yang ada itu tersusun, dan bersifat sementara pula. Semua yang ada
itu hanya suatu arus (samtana). Sesuatu atman sesungguhnya tidak
ada, dimanapun orang mencarinya. Oleh karena itu sebenarnya orang
tidak dapat mengatakannya dengan tepat, bahwa Buddha itu
mengajarkan perpindahan jiwa. Aku ini tiada lain daripada suatu
kompleks dharma-dharma yang selalu berubah. Demikianlah aku hanyut
di dalam arus ketidak-tetapan. Itulah penderitaan manusia ... Makin
jauh orang berjalan di jalan kelepasan, makin menjadi teranglah
kesadaran bahwa ia tidak mempunyai aku."[ 3]
Dengan konsep An-Attanya, Buddha disebut sebagai pemberita yang
termashur tentang ajaran 'tidak ada aku', karenanya ia kemudian
dijuluki sebagai 'Anatta vadi' yang berarti pemberita tentang
ajaran ketidak-ber-pribadian. Disini juga jelas tentang konsep
'Jalan Tengah' mengenai 'Aku' yaitu ia 'bukan Atman tetapi menuju
An-Atman/An-Atta.'
Sekalipun ada konsep meditasi dan semedi baik di agama Hindu
maupun Buddha, keduanya berbeda. Bila dalam Hindu kedua disiplin
itu digunakan untuk mengusahakan penyatuan Atman dengan Brahman,
dalam Buddhisme, baik meditasi maupun samadi digunakan untuk usaha
'meniadakan aku' menuju 'Nirwana' yaitu pemadaman sempurna dari
hawa nafsu menuju 'ketiadaan Aku.'"nirwana adalah terpadamnya
skanda-skanda dengan sempurna. Ini berarti berhenti, proses keadaan
badani dan rohani kita tidak lagi berjalan terus. Hal ini mulai
terjadi pada kematian orang yang suci (Arahat) ... inilah
perdamaian, inilah yang luhur, yakni berhentinya segala pembentukan
karma, terurainya dasar-dasar keadaan, menjadi keringnya nafsu,
penghapusan, pemadaman, nirwana." [ 4]
Jadi, dibandingkan dengan agama Hindu dimana agama Buddha
berasal jelas ada perbedaan konsep tentang 'aku' dan secara negatip
orang dapat menentukan dua hal tentang hakekat nirwana
itu."Pertama, nirwana bukanlah, bahwa jiwa kita masuk ke dalam
Mahajiwa ... inti ajaran Buddha itu justru terbentuk oleh
pandangannya tentang 'anatta.' Kedua, nirwana itu tidak boleh pula
disebut pembinasaan, anihilasi. Nirwana adalah berhentinya suatu
proses, bukan anihilasi suatu kehidupan." [ 4]
Jadi, dari terang kutipan-kutipan tersebut jelas bahwa yang
disebut sebagai 'Aku' atau 'An-Atta' bukanlah kekuatan Mikro-kosmos
yang berpotensi kundalini atau prana tetapi suatu 'ketidak-adaan'
sesuatu yang 'nihil.' Dan penyangkalan diri dan latihan meditasi
maupun samadi disini ditujukan untuk menuju keketidak-adaan itu.
Sekalipun demikian, para pengikut Buddha kemudian dari pengalaman
mereka menghadapi serangan fisik selama menjalankan misinya,
kemudian juga mengajarkan pelatihan kekuatan energi dalam tubuh
manusia dan menjadikannya dasar ilmu bela-diri:"Sang Buddha juga
telah mengajarkan latihan pernafasan dan meditasi untuk mengontrol
energi yang tersimpan di dalam tubuh." [ 6]
Dapatlah dimaklumi sekarang mengapa Bodidharma (Tat Mo Chowsu)
dalam perjalanan ke China membawa silat berlandasakan
Buddhisme.
Buddha adalah agama sinkretis yang mempopulerkan ajaran Un
'jalan tengah' yang menuju 'yang SATU' dan menghindarkan ekstrim,
itulah sebabnya, khususnya aliran Mahayana dengan mudah berbaur
dengan agama-agama lain seperti 'Sam Kauw/Tridharma' dengan Taoisme
dan Konhucuisme, dan 'Ch'an atau Zen' dengan Taoisme. Agama
Buddha-lah yang kemudian menjadi dasar 'Universalisme' tentang Yang
SATU itu.
Catatan :[1] Lihat Henry L. Luce (ed), The World's Great
Religions, h. 44, dibawah The Path of Buddhism.[2] Ibid. [3]
A.G.Honig, Ilmu Agama-I, h.156-157. [ 4] Ibid, h.159.[ 5] Ibid,
h.160.[ 6] Thubten Chodron, Tradisi dan Harmoni, Menelusuri
Jejak-Jejak Agama Buddha, h.10.
6. ZEN BUDDHISME
Agama Buddha masuk melalui daratan China yang dibawa oleh
Bodidharma (Tat Mo Chowsu) dari India pada tahun 552 yang kemudian
menyebrang ke kepulauan Jepang. Pada tahun 645, kaisar Jepang
Kotoku tertarik akan agama Buddha dan menjadikan Buddhisme sebagai
agama negara dan menolak agama Shinto yang semula menjadi agama
negara.
Mulai sekitar abad ke-VIII, masuknya pengaruh Buddhisme dari
India yang masuk lewat daratan China itu kemudian menyebabkan
terjadinya sinkretisme antara agama Buddha dan Shinto, agama asli
Jepang yang menyembah Dewa Kami, hal ini disebabkan karena
Buddhisme yang juga mempunyai latar belakang kebatinan India,
kemudian menganggap dewa Kami Shinto itu sebagai pernyataan Buddha
juga. Koeksistensi damai kedua agama ini berlangsung terus sampai
zaman Tokugawa hingga kejatuhannya pada tahun 1867 ketika kaisar
Meiji kembali menjadikan Shinto sebagai agama negara di atas
agama-agama lain.
Shintoisme mengalami kebangunan dengan kembali dijadikannya
sebagai agama negara oleh kaisar Meiji, tetapi sekalipun demikian
pengaruh Buddhisme sudah sedemikian kuat di Jepang sehingga pada
tahun 1877 sekalipun Shinto dianggap sebagai agama negara,
Buddhisme tidak lagi dilarang untuk dipercaya oleh orang
Jepang.
Untuk bisa mengerti hakekat Zen Buddhisme, kita perlu mengetahui
terpecahnya Buddhisme menjadi dua yaitu Hinayana yang menyebar di
daerah Selatan (Sri Lanka, Laos, Muanmar, Thailand, Kamboja &
Indonesia (borobudur)) dan Mahayana yang menyebar ke Utara dan
Timur (China, Jepang dan Korea).
Aliran Hinayana (artinya jalan kecil) yang juga disebut sebagai
Theravada, lebih memusatkan ajarannya ke arah keselamatan pribadi
(individual), di mana setiap orang perlu mencari jalannya sendiri
dalam mencapai pencerahan, tiap individu adalah atman yang mencari
jalannya sendiri-sendiri. Sebaliknya, aliran Mahayana (artinya
jalan besar) lebih mengarah kepada keselamatan bersama yang
bersifat sosial. Setiap orang adalah bagian dari semuanya, karena
itu ia sendiri tidak mempunyai pribadi atau juga disebut sebagai
anatta (atau an-atman).
Sebagai konsekwensi dari ajaran itu, maka bagi pengikut Hinayana
kehidupan biara sebagai biarawan merupakan pusat kegiatan beragama,
sedang bagi pengikut Mahayana, kehidupan aktif sebagai awam adalah
kegiatan beragama, karena itu aliran Mahayana lebih bersifat
misioner, dan aliran inilah yang menjadikan agama Buddha sebagai
agama dunia dan menyebar kemana-mana.
Kehidupan aliran mahayana lebih bersifat liberal dan terbuka,
dan lebih mudah untuk berpecah-pecah dan melakukan sinkretisasi
dengan agama-agama setempat, itulah sebabnya dari aliran Mahayana
ini kita melihat bentuk-bentuk yang berbeda baik yang di Tibet,
Monggolia, China, Korea, atau Jepang. Hal ini berbeda dengan
perkembangan Hinayana yang lebih merupakan agama kesatuan dengan
tradisi bersama.
Buddhisme Mahayana sedikitnya terpecah ke dalam lima (5) ajaran
utama, yaitu yang menekankan iman, pengajaran, mantra, politik, dan
intuisi. Mahayana yang menekankan intuisi inilah yang kita jumpai
di Jepang dalam bentuk Zen Buddhisme. Agama inilah yang merupakan
sinkretisme agama Tao dan Buddha ketika Bodidharma (Tat Mo Chowsu)
pergi ke China (abad ke-VI) dan agama ini kemudian oleh para
pengikutnya dibawa menyeberang ke Jepang pada abad ke-XII.
Dalam ajaran Zen, kata-kata dan pikiran itu mempunyai
keterbatasan-keterbatasan dalam menyatakan sesuatu, karena itulah
maka pengikut Zen menyatakan kebenarannya tidak dengan
ungkapan-ungkapan dan argumentasi teologis, tetapi dengan suatu
sikap yang transenden. Itulah sebabnya pengikut Zen tidak
mementingkan kitab suci, rumusan dogma atau pengakuan percaya. Zen
(Ch'an bahasa China atau Dhyana bahasa Sansekerta) sebenarnya
berarti duduk, tetapi kemudian diartikan dengan meditasi, yaitu
perenungan untuk mencapai pencerahan/penerangan/wahyu itu
sendiri."Sebagai praktek agama yang pada dasarnya tidak condong
kepada kepustakaan, Zen mengajarkan manfaat hubungan langsung
dengan batin dan manfaat pencerahan roh-intelektual yang intuitif,
yang diperoleh secara perlahan-lahan maupun yang diperoleh
seketika, tergantung pada kemampuan tiap individu." [1]
Ada tiga (3) jalan yang biasa ditempuh dalam latihan Zen, yaitu
'Zazen' yang berarti meditasi duduk, yaitu sikap merenung yang
mendalam dengan cara diam berjam-jam dan bahkan berhari-hari. Sikap
mana dilanjutkan dengan 'Koan' yang berarti konsentrasi akan suatu
masalah tertentu, suatu masalah yang sulit yang sebenarnya tidak
bisa dijawab, tetapi bisa direnungkan. Sikap mana kemudian
dilanjutkan dengan 'Sanzen', yaitu bimbingan mengenai soal-soal
meditasi. Bila ketiga jalan ini dapat dijalankan dengan baik,
seseorang akan memasuki keadaan pencerahan 'Satori', yaitu suatu
situasi santai yang baru sekali ini dirasakan, satori adalah suatu
pengalaman intuisi, pengalaman mistik bahwa ia tidak lagi
berpribadi (an-atta/an-atman). "Cara terbaik untuk merasakan Zen
yang benar dan mencapai satori adalah dengan meletakkan jasmani
dalam keadaan keseimbangan sempurna, sehingga keseimbangannya yang
teratur menghilangkan keberadaannya dari batin, seperti gigi tidak
akan diperhatikan bila sehat dan seorang teman yang benar-benar
berkorban tidak pernah memperhatikan pengorbanannya. Untuk mencapai
keadaan yang seimbang ini, kita ikuti aturan hidup fisik tertentu:
pertama-tama buatlah postur yang benar, kemudian aturlah nafas dan
akhirnya tenangkan batin." [2]
Kekhasan dari Zen Buddhisme dibanding sekte-sekte Buddha lainnya
adalah penekanannya pada praktek meditasi sebagai jalan pencerahan,
dan untuk mencapai pencerahan itu, seseorang harus melakukan
meditasi untuk mencapai jati diri (self) yang terdalam, dan bila ia
mencapai pengertian akan kesadaran dirinya itu, berarti ia telah
menyatukan diri dengan hakekat semesta atau realitas rohani
semesta. Hanya berbeda dengan mistik Hindu dan Tao, Zen menganggap
bahwa realita semesta itu keberadaannya berubah menjadi 'tidak ada
/tiada'. Dalam mistik India dan China, yang 'ada' menyatu kepada
yang 'ADA' (Pan-Theisme), sedangkan dalam Buddhisme termasuk Zen
Buddhisme, yang 'tiada' menyatu dengan yang 'TIADA'
(A-Theisme).
Zen kemudian berpecah menjadi 5 aliran, dan dua di anataranya
yang terkenal adalah aliran Rinzai dan Soto yang pada abad ke-XII
beremigrasi dari China ke Jepang. Aliran Soto menekankan pencapaian
pencerahan melalui meditasi tenang pengosongan pikiran
(kontemplasi), sedangkan aliran Rinzai menekankan pencapaian
pencerahan melalui meditasi yang diarahkan kepada aliran
tertentu.
Meditasi Zen ini dipraktekkan sebagai usaha penyangkalan
diri/pengosongan diri dan pencerahan serta jalan
kelepasan/keselamatan dengan usaha sendiri:"Seperti yang dikatakan
Sang Buddha, 'Lakukanlah penyelamatan dirimu sendiri dengan
rajin'." [3] Meditasi Zen juga ditujukan untuk mencapai kedamaian,
dan panjang umur, dan kemudian memberi landasan batin untuk
pengolahan kekuatan Chi/Ki pada ilmu-ilmu bela-diri China/Jepang.
[4]
Catatan :[color=red][1] Shindai Sekiguchi, Zen Pedoman Bagi
Pemula, h.4.[2] Ibid, h.11.[3] Ibid, h.88.
7. NICHIREN SHOSHU BUDDHISME
Berbicara mengenai agama Buddha, kita tidak dapat tidak perlu
mengetahui pula tentang satu sekte Buddhisme yang militan yang
disebut Nichiren Shoshu. Sekte ini sebenarnya tumbuh pada abad XIII
di Jepang berdasarkan nama pendirinya Nichiren Daishonon
(1222-1282). Nichiren mempelajari Buddhisme sejak lama dan
terpengaruh pengajaran seorang tokoh Budhhisme bernama Dengyo
Daishi yang memperkenalkan Tendai Buddhisme masuk ke Jepang pada
abad VIII.
Dengyo Daishi mempercayai bahwa kitab suci Lotus Sutra adalah
kitab suci Buddha yang memuat ajaran-ajaran asli dari Buddha,
karena itu, kitab inilah yang dianggap berotoritas, karena itu
pulalah aliran ini menjadi sangat eksklusif dan menyalahkan semua
aliran Buddhisme di Jepang sebagai salah.
Semula perkembangannya terbatas, apalagi setelah kematian
pendirinya yang dihukum mati, namun pada awal abad XX (tepatnya
1930) dua pengikut Nichiren yaitu Magiguchi Tsunesaburo dan Josei
Toda membentuk perkumpulan yang dinamakan Soka Gakai (yang artinya
masyarakat pencinta nilai). Soka Gakai merupakan gerakan misionari
Nicheren yang sangat aktif dan militan dan kemudian menyebar ke
seluruh dunia setelah Josei Toda meninggal dunia (1960) dan
digantikan oleh Daisaku Ikeda.
Ajaran sentral Nichiren Shoshu berkisar Gohonson yaitu peti kayu
berwarna hitam yang berisi nama-nama orang penting yang disebutkan
dalam Lotus Sutra. Gohonson dijadikan altar dan mezbah pribadi dan
dianggap berisi kekuatan semesta yang mengontrol kehidupan para
pengikut, dan ada hubungan timbal balik antara kehidupan para
pengikut dengan bagaimana mereka memperlakukan Gohonzon.
Ibadat ritual yang dilakukan para pengikut Nichiren Shoshu
disebut Gongyo yaitu berlutut didepan Gohonzon sambil mengucapkan
beberapa ayat Lotus Sutra, meraba tasbih, dan mengucapkan
mantra-mantra. Ibadat ritual dipusatkan di kuil pusat di kaki
gunung Fuji yang disebut Dai-Gohonzon, sedangkan gohonzon-gohonzon
pribadi di rumah-rumah para pengikut dianggap penjelmaan kekuatan
mistik dari Dai-Gohonzon.
Gerakan Nichiren melalui Soka Gakai juga telah masuk ke
Indonesia dan sempat dianggap oleh Walubi (Perwalian Umat Buddha di
Indonesia) sebagai bukan beragama Buddha, sebaliknya sekte Nichiren
juga menganggap semua aliran Buddha lainnya tidak menjalankan agama
Buddha, sekte ini sangat rajin menjalan misi proselitasi dan
kegiatan sosial.
7. NICHIREN SHOSHU BUDDHISME
Agama Hindu dan Buddha masuk ke Indonesia bersama-sama jauh
sebelum abad ke-V dimana sudah ditemukan patung-patung di Sulawesi,
Jawa Timur dan Palembang.
Dari abad ke-V-VII ditemukan beberapa prasasti di Kutei (raja
Mulawarman) dan Jawa Barat (raja Purnawarman) yang menunjukkan
bahwa ada raja-raja yang menggunakan nama Hindu, dan kelihatannya
Palembang menjadi pusat kerajaan Sriwijaya yang Buddhis (Hinayana
tetapi juga ada yang Mahayana) pada abad ke-VII.
Dari abad ke-VII s/d ke-X pada dinasti raja Mataram Sanjaya
(yang Hindu) dan raja Sailendra (yang Buddha) ada beberapa prasasti
dan candi peninggalan Hindu dan Buddha Mahayana di Jawa Tengah
tetapi rupanya juga ada pencampuran keduanya. Candi yang terkenal
adalah Borobudur.
Pada zaman Mojopahit terjadi puncak sinkretisme dimana baik
agama Hindu Siwa, Hindu Wisnu dan Buddha Mahayana diikuti
bersama-sama.
BP Post subject: Re: PERBANDINGAN AGAMAPosted: Tue Jan 06, 2009
8:34 am
Merdeka dlm Kristus
Joined: Fri Jun 09, 2006 5:20 pmPosts: 8936 IV. MEMPELAJARI
SEJARAH AGAMA KONGHUCU a TAO, ASPEK MISTIK TAO, DAN PERKEMBANGAN
TRIDHARMA
Agama di Tiongkok/China sangat unik karena berbeda dengan agama
lainnya didunia, agama ini bertumbuh dalam situasi terisolir tanpa
pengaruh dari luar dan juga berbeda dengan Yahudi, Kristen dan
lslam yang monotheistik, agama di China tidak berpusat Tuhan
seperti Kunghucu yang dianggap bukan agama. Baru setelah
agama-agama asli di Tiongkok/China, maka datang pengaruh agama
Buddha yang datang dari India sekitar tahun 500M.
Bentuk agama juga tidak jelas dan pada dinasti Shang (1751-1050
SM) yang mulai tercatat secara sejarah, juga tidak ditemukan
petunjuk kearah itu kecuali bahwa masyarakat di zaman itu hidup
dari kepercayaan akan 'kekuatan dan roh yang mempengaruhi manusia
hidup dan yang membutuhkan korban dan sesajen' (manisme &
animisme). Orang China juga percaya akan keseimbangan alam yang
kemudian dilambangkan dengan Yin-Yang (pantheisme) dan
dipentingkannya 't'ien ming' (kesejahteraan rakyat atau kehendak
langit), Mistik ini sangat kuat meresapi masyarakat China bahwa
mereka menyadari akan adanya saling pengaruh antara langit
(termasuk dunia roh-roh) dan bumi (termasuk manusia hidup). Konsep
keseimbangan ini sudah lama ada dalam buku I-Ching.
Penyembahan nenek moyang mulai dikenal pada awal dinasti Chow
(1122-325 SM) dan bangkit kembali ketika Konghucu (500 SM)
mengajarkan untuk menghormati orang tua termasuk kalau sudah
meninggal. Dipercayai bahwa roh orang mati terbagi tiga bagian,
satu bagian naik ke langit, satu bagian ada dalam kuburan dan satu
bagian ada di meja sembayang. Karena kepercayaan adanya penerusan
hidup dari dunia orang hidup ke dunia orang mati maka pemakaman
biasa diramaikan dengan upacara dan sesajen yang menjamin sampainya
roh-roh itu ke tempatnya tanpa gangguan. Agar kehidupan berjalan
baik secara timbal balik dipraktekkan 'Feng Shui'.
1. MISTIK I-CHING
Tingkok/China di samping India adalah kawasan Timur (Oriental)
kaya akan ajaran kebatinan kuno, hal itu terlihat dari begitu
banyaknya ajaran kebatinan yang bersumber pada keyakinan kuno yang
lahir di Tiongkok/China seperti HongsuilFeng Shui, dan dalam
latihan kesehatan kita melihat pengaruhnya melalui pengobatan
alternatif a.l. Akupunktur dan Reflexiologi, dan dalam silat Tai
Chi dan Waitankung. Dari semuanya ada prinsip dasar yang dipercaya
yaitu mengenai 'Chi' atau nafas/tenaga hidup yang ada di alam dan
dalam diri setiap mahluk.
Ajaran kebatinan yang bersifat pantheistik dan animistik sudah
dipercayai dalam agama China purba. Sejak dahulu kala orang China
melakukan penyembahan alam dan roh-roh yang bisa dilihat dalam
praktek rakyat dalam penyembahan nenek-moyang,
astrologi/horoskop/shio (perbintangan), necromancy (feng shui),
ramalan/ nujum (gwamia), maupun dalam ajaran silat atau ilmu bela
diri seperti yang sudah disebutkan di atas.
Sejak lama konsep 'keseimbangan alam' dalam bentuk 'Yin-Yang'
menguasai hidup orang China, baik dalam kehidupan pribadi,
kehidupan berkeluarga, masyarakat, pertanian dan pembangunan, ilmu
bela diri, dan pengobatan. Setidaknya, di tahun 2205 SM, ketika
sungai Huangho meluap dan mengakibatkan banjir besar, Kaisar Yu
mencetuskan gerakan masal Tarian Agung untuk diikuti rakyat yang
prinsipnya adalah usaha 'mengikuti harmoni alam dengan melakukan
gerakan delapan arah' (pat kwalmeridian), dasar mana ditemukan
jejaknya jauh sebelumnya dalam buku filsafat keseimbangan 'I Ching'
(4600 SM) dan buku pengobatan China klasik 'Nei -Ching' (abad XXVII
SM) [1] .
I-Ching disebut 'Kitab Tentang Perubahan' itu, dikenal sebagai
filsafat tua yang mendasari keyakinan agama-agama di China sejak
3000 SM. Dalam kepercayaan kuno China, I Ching dianggap sebagai
nujum yang dapat memberi petunjuk rejeki bagi manusia baik dalam
bidang sosial, keluarga, bisnis maupun kesehatan. "Ingat bahwa anda
sedang mengadakan konsultasi dengan ajaran kebijaksanaan yang
terhimpunsepanjang jaman, Kitab I Ching mengajarkan kepada anda
supaya membina satu harmoni pada inti hakekat kehidupan dan dengan
demikian merintis kesejahteraan hidup. Dengan menerapkan cara ini,
anda akan dapat menuangkan arus kedamaian Ilahi pada gelombang arus
kehidupan yang keruh. Segala pertentangan akan lebur dan berubah
menjadi kebalikannya" [2]
I-Ching berpusat pada konsep Yin & Yang yang dikelilingi 64
buah hexagram[3] yang masing-masing diberi nama khusus. Yin
mewakili yang negatip seperti bumi, bulan dan perempuan sedangkan
Yang mewakili segala sesuatu yang positip seperti Matahari dan
laki-laki. Yin dan Yang digambarkan sebagai sebuah lingkaran yang
dibagi dua bagian sama besar yang berwarna hitam dan putih.
Masing-masing bagian digambarkan sebagai berkepala bulatan yang
berekor runcing. Di pusat bulatan kepala ada bintik yang warnanya
berbeda dengan bulatan tersebut yang mengambarkan bahwa tidak ada
yang mutlak dari kedua bagianlbulatan itu. Yin & Yang itu
beroperasi mengikuti Meridian Langit yang biasanya dibagi menjadi 8
arah trigram atau Pat Kwa.
Jauh sebelum kelahiran Lao Tsu dan Kong Hu Cu, sebenarnya baik
trigram maupun hexagram sudah terbentuk. Trigram sendiri disebut
diciptakan oleh kaisar Fu Hsi di tahun 2800 SM, sedangkan pada abad
ke-XII M konsep Yin-Yang yang pantheistik bercampur dengan animisme
kuno menghasilkan berbagai faham seperti agama rakyat yang berbau
mistik dan magis dan agama 'Tao' yang bersifat mistik yang
dipelopori Lao Tsu (575-485 SM) yang dipercayai bersama dengan
ajaran etis yang dipelopori oleh Kong Hu Cu (551-479 SM).
Satu milenium kemudian, pada tahun 520 M pendeta Buddha dari
India bernama Tat Mo Chowsu (Bodhidarma) memperkenalkan agama
Buddha ke China termasuk pengaruhnya yang kuat dalam dunia silat
yang berpusat di biara Shao-Lin. Perpaduan ketiga faham Taoisme,
Kunfusianisme dan Buddhisme menghasilkan agama sinkretis yang
kemudian diberi nama Sam Kauw (Tri-Dharma). Perpaduan antara ajaran
Tao dan Buddha disebut sebagai Ch'an menyebar ke semenanjung Korea
dan kepulauan Jepang (di Jepang dikenal sebagai Zen).
Catatan :[1] Nei Ching atau lengkapnya Huang Ti Nei Ching SU Wen
(pengobatan dalam kuno dari kaisar kuning) adalah buku yang ditulis
oleh kaisar Huang Ti (2697-2597 SM) yang dikenal sebagai kaisar
kuning (The Yellow Emperor).[2] Joseph Murphy, Rahasia di Balik I
Ching, h.12. [3] Hexagram/ Trigram menggambarkan 6/3 garis sejajar
yang mewakili simbol arah tertentu. Garis-garis itu terdiri dari
dua macam, yang tidak terputus mewakili unsur Yang sedangkan yang
terputus mewakili unsur Yin. Kombinasi dari ketiganya (trigram)
atau keenamnya (hexagram) dianggap melambangkan suatu kondisi
tertentu pada arah yang ditunjukkan.
2. FAHAM KONGHUCU (CONFUCIANISM)
Faham Konghucu (Conficianism) tidak dapat disebut agama, soalnya
faham ini tidak berbicara mengenai teologi (pengajaran mengenai
Tuhan) tetapi hanya mengajarkan hal-hal yang menyangkut Etika hidup
bermasyarakat. Itulah sebabnya ada yang menempatkan faham ini bukan
sebagai agama tetapi sekedar sebagai ajaran Etika.
a. KONSEP MENGENAI YANG SUCI
Agama Konghucu tidak mempunyai konsep mengenai 'Yang Suci'
kecuali bahwa mereka menerima dan meneruskan kepercayaan kuno
mengenai langit yang disebut 'Thian' dan lebih menekankan pada
hubungan kemanusiaan, itulah sebabnya Konghucu disebut bukan agama
melainkan 'etika.' Konsep mengenai 'Thian' ini berkembang dalam
pemikiran mazhab Konghucu, yaitu dari 'ketuhanan yang utama'
(Analek, Konghucu) ke 'kekuatan moral semesta' (Meng-Tsu), dan
kemudian 'alam semesta' (Hsun-Tsu). Dalam tahap kedua 'Neo
Confucianism' dibawah Chang Tsai mengarah pada pantheisme yang
telah dipengaruhi Taoisme dan Buddhisme. Langit ini berisi para
nenek-moyang (Ti) yang diperintah oleh penguasa (Shang- Ti).
b. PERNYATAAN YANG SUCI
1. Orang-orang Suci Faham ini dirintis Konghucu (551-479 SM)
yang meletakkan dasar etika, kemudian dilanjutkan oleh pengikutnya
Meng Tsu (371-289 SM) yang meletakkan dasar mistik, dan Hsun- Tsu
(298-238 SM) yang meletakkan dasar praktis dan ajaran tentang
'li.'.
2. Tempat-tempat SuciKarena menekankan etika dan moral, Konghucu
tidak mempunyai tempat-tempat suci. Kuil-kuil Konghucu yang
biasanya berwarna merah bukan tempat -tempat penyembahan yang
dianggap suci, melainkan hanya tempat belajar, dimana buku-buku
mengenai faham Konghuucu disimpan untuk bisa dipelajari. Kuil
Konghucu dibangun di Beijing pada abad XIII dengan Aula yang
menyimpan 300 tablet karya klasik faham Konghucu.
3. Kitab-kitab Suci Ajaran konghucu ditulis dalam buku-buku
seperti Analek, Chung-yung dll.
c. KONSEP MENGENAI MANUSIA
Pikiran langit dan bumi yang melahirkan segala sesuatu disebut
'jen', dan manusia yang tercipta karena materi dan energi
memperoleh kehidupannya dari pikiran langit dan bumi. Manusia harus
mengikuti 5 konsep yaitu Jen (hubungan ideal), Chun- Tzu
(kemanusiaan yang benar), Li (sopan), Te (kekuasaan), dan Wen (seni
perdamaian). d. UNGKAPAN BERAGAMA MANUSIA
1. Jalan Keselamatan Konghucu mengajarkan humanisme (jen) atau
'jalan etika', tetapi dalam buku Chung-yung (dari Meng-Tsu), salah
satu dari ke-4 buku yang menjadi pegangan, menunjukkan penyatuan
'ch'eng' dengan langit dan bumi atau 'jalan mistik.' Karena itu
disebut Meng-Tsulah yang menjadikan faham Konghucu sebagai agama
mistik.
2. Komunitas Umat Karena tidak merupakan agama dan memiliki
liturgi maka konghucu hanya merupakan wacana hubungan perilaku
antar manusia dalam komunitas yang menyeluruh. Menurut Konghucu,
keluarga adalah unit dasar masyarakat, karena itu pentingnya ikatan
kekeluargaan akan memperkuat negara.
3. Upacara Agama Sebenarnya tidak ada upacara khusus dalam agama
Konghucu semula, yang ada adalah hubungan hormat antara anak dan
ayah, adik dan kakak, isteri dan suami, yang muda dengan teman yang
tua, dan rakyat dan penguasa.
3. AGAMA TAO (TAOISM)
Berbeda dengan faham Konghucu, faham Tao banyak berbicara
mengenai supra-natural, namun kelihatan bahwa agama Tao lebih
bersifat agama mistik, yaitu kepercayaan akan yang SATU yang tidak
berpribadi sebagai kebenaran semesta.
a. KONSEP MENGENAI YANG SUCI
Dalam Taoisme kita melihat konsep yang suci sebaliknya dari
Konghucu. Bila Konghucu lebih menekankan kehidupan dibumi, Taoisme
lebih mengarahkan kepada 'Tao' yang mutlak yang merupakan
transformasi ketuhanan secara folosofis dan mistis. Tao adalah
prinsip semesta yang mencerminkan perubahan dan juga merupakan pola
perilaku manusia (wu-wei). Tao adalah 'jalan realitas mutlak' atau
'jalan alam semesta', dan Jalan yang mengatur kehidupan.' Pandangan
ini pada hakekatnya meneruskan faham monisme dualistis yang berasal
dari buku I -Ching yang ditulis sekitar tahun 3000 SM.
Pada prinsipnya dalam Taoisme yang disebut 'Tuhan' adalah TAO,
yaitu kekuatan dasar semesta yang tidak bisa disebut atau diberi
nama, tidak berpribadi, tetapi merupakan kekuatan semesta yang
menghasilkan segala sesuatu dalam alam ini (monisme). Konsep ini
mirip dengan pengertian 'Prima Causa' atau 'Ground of All Being'
dalam filsafat Yunani Purba.
Mengenai Tao ini, kepercayaan China kuno sejak I Ching ribuan
tahun sebelumnya, Lao Tsu kemudian mengembangkannya dan dalam
bukunya ia memberikan definisi berikut: