i STUDI PENGARUH KONSEP LANSKAP KERATON SURAKARTA TERHADAP LANSKAP KOTA SURAKARTA DANUR FEBYANDARI DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
i
STUDI PENGARUH KONSEP LANSKAP
KERATON SURAKARTA TERHADAP LANSKAP KOTA
SURAKARTA
DANUR FEBYANDARI
DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
ii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Studi Pengaruh
Konsep Lanskap Keraton Surakarta terhadap Lanskap Kota Surakarta adalah
benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi
yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Oktober 2012
Danur Febyandari
A44080062
iii
RINGKASAN
DANUR FEBYANDARI. Studi Pengaruh Konsep Lanskap Keraton
Surakarta terhadap Lanskap Kota Surakarta. Dibimbing oleh NURHAYATI
HADI SUSILO ARIFIN.
Keraton Surakarta sebagai pusat budaya memberikan pengaruh kepada
masyarakat dan Kota Surakarta. Keberadaan Keraton Surakarta pada tahun 1745
merupakan cikal bakal terbentuknya kota, sehingga memiliki pengaruh besar
terhadap wajah kota saat itu. Sejak tahun 2005, Kota Surakarta telah menjadi kota
pusaka di Indonesia, dengan tujuan untuk mempertahankan kelestarian
karakteristik budaya dan peninggalan sejarah di kota tersebut yang dapat menjadi
identitas dari Kota Surakarta. Seiring dengan perkembangan kota maka terjadi
banyak perubahan pada lanskap kota yang pada awalnya merupakan sebuah kota
tradisional menjadi kota modern. Perubahan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor,
sehingga untuk menjaga dan melestarikan karakteristik kota perlu adanya suatu
acuan guna mempertahankan identitas Kota Surakarta.
Tujuan dari penelitian ini adalah (1) menganalisis konsep lanskap Keraton
Surakarta dan mempelajari sejarah perkembangan Kota Surakarta, (2) memetakan
dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan lanskap Keraton
Surakarta terhadap lanskap Kota Surakarta, dan (3) menghasilkan arahan
pengembangan lanskap Kota Surakarta yang beridentitas. Metode yang digunakan
pada penelitian ini melalui empat tahap yaitu, (1) tahap persiapan yang meliputi
perizinan serta pengadaan alat dan bahan, (2) tahap pengumpulan data, meliputi
aspek sejarah, aspek fisik dan aspek sosial, (3) tahap analisis, dilakukan analisis
terhadap konsep lanskap Keraton Surakarta, analisis perkembangan Kota
Surakarta, analisis sebaran struktur lanskap dan analisis pola sebaran lanskap, dan
tahap terakhir adalah (4) tahap sintesis untuk menyusun rekomendasi dalam
menciptakan Kota Surakarta menjadi kota yang memiliki identitas budaya yang
kuat.
Keraton Surakarta merupakan sumber kebudayaan Jawa yang memiliki
pemahaman dan konsep tersendiri dalam membentuk wilayahnya. Keraton
memiliki konsep tata ruang dengan nilai simbolisme dan filosofi yang kuat
iv
membuat setiap fase pada bangunan di Keraton Surakarta memiliki makna menuju
kesempurnaan dan membentuk suatu hirarki pada bangunan-bangunan di Keraton
Surakarta. Keberadaan Keraton Surakarta sejak tahun 1745 memberi pengaruh
besar pada perkembangan lanskap Kota Surakarta. Permukiman berkembang
kearah barat dan aktivitas masyarakat berpusat pada keraton. Dahulu sebelum
adanya Keraton Surakarta, Desa Sala merupakan sebuah desa kecil yang
dikelilingi oleh banyak sungai. Masuknya pengaruh bangsa Belanda membuat
perubahan pada lanskap kota. Kota Surakarta yang pada awalnya merupakan kota
dengan konsep tradisional berubah menjadi kota modern dengan memiliki corak
dan ragam yang dipengaruhi oleh berbagai budaya.
Hasil pemetaan terhadap lanskap Kota Surakarta yang meliputi lanskap
permukiman, lanskap perkantoran dan perdagangan, lanskap fasilitas umum dan
lanskap jalan didapatkan pengaruh Keraton Surakarta terhadap lanskap kota
tersebar pada luasan sebesar 41% pengaruh kuat, pengaruh sedang 35% dan 23%
pengaruh rendah. Memudarnya pengaruh Keraton Surakarta terhadap lanskap kota
dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu letak/posisisi Keraton Surakarta, batas alam
dan infrastruktur, perkembangan mode dan teknologi serta faktor kependudukan.
Hasil analisis persepsi masyarakat didapatkan bahwa kurangnya pengetahuan
masyarakat Surakarta terhadap konsep lanskap Keraton Surakarta. Namun,
masyarakat memiliki rasa kebanggaan yang tinggi terhadap keraton dan memiliki
harapan agar dalam perkembangan kota tetap memperhatikan nilai-nilai budaya
tradisional.
Konsep pelestarian yang diusulkan adalah meningkatkan dan
mempertahankan karakter budaya pada kawasan kota melalui kebijakan
pemerintah kota dalam penataan dan pelestarian lanskap peninggalan sejarah
dengan didukung oleh partisipasi aktif masyarakat melalui kegiatan yang dapat
mempertahankan nilai-nilai budaya. Penataan pada lanskap kota terbagi menjadi
tiga zona, yaitu zona inti kota lama Surakarta, zona penyangga dan zona
pengembangan. Konsep pelestarian yang diusulkan bertujuan untuk melindungi,
melestarikan, meningkatkan integritas budaya dan juga diharapkan dapat
menunjang aktivitas ekonomi, budaya dan pariwisata.
v
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
vi
STUDI PENGARUH KONSEP LANSKAP
KERATON SURAKARTA TERHADAP LANSKAP KOTA SURAKARTA
DANUR FEBYANDARI
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian
pada Departemen Arsitektur Lanskap
Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
vii
LEMBAR PENGESAHAN
Judul : Studi Pengaruh Konsep Lanskap Keraton Surakarta terhadap Lanskap
Kota Surakarta
Nama : Danur Febyandari
NRP : A44080062
Menyetujui,
Pembimbing
Dr. Ir. Nurhayati H.S. Arifin, M.Sc
NIP. 19620121 198601 2 001
Mengetahui,
Ketua Departemen Arsitektur Lanskap
Dr. Ir. Siti Nurisyah, MSLA
NIP. 19480912 197412 2 001
Tanggal disetujui :
viii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini disusun guna
mendapatkan gelar Sarjana Pertanian mayor Arsitektur Lanskap di Departemen
Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian IPB. Penelitian ini berjudul “Studi
Pengaruh Konsep Lanskap Keraton Surakarta terhadap Lanskap Kota Surakarta”.
Penulis menyampaikan terima kasih kepada Dr. Ir. Nurhayati H.S. Arifin,
M.Sc selaku dosen pembimbing skripsi atas bimbingan, masukan, perhatian serta
kesabaran dari awal penelitian hingga ahir skripsi ini terselesaikan.
Terima kasih juga penulis sampaikan kepada GPH Puger, Bapak Mufti
Raharjo, Ibu Keksi Sundari, Dinas Tata Ruang Kota Surakarta, Dinas Kebudayaan
dan Pariwisata Kota Surakarta, Badan Perencanaan Daerah Kota Surakarta, dan
warga Surakarta yang telah memberikan segala bantuan dan informasi yang
diberikan selama penelitian. Terima kasih juga disampaikan kepada Dr. Ir. Aris
Munandar, M.S selaku dosen pembimbing akademik. Ucapan yang sama juga
diberikan kepada teman-teman seperjuangan di Arsitektur Lanskap angkatan 45
yang telah memberi dukungan, semangat, doa, keceriaan dan keluh kesah selama
kuliah hingga penulisan tugas akhir. Terima kasih juga kepada seluruh keluarga
besar arsitektur lanskap IPB atas bantuan dan dukungan selama ini.
Terakhir ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada keluarga tercinta,
Ayah, Ibu dan Kakak atas segala doa, kasih sayang, dukungan, motivasi dan
perhatian. Semoga skripsi ini dapat memberi manfaat bagi Pemerintah Kota
Surakarta dalam membentuk Kota Surakarta sebagai kota yang beridentitas
budaya dan juga bermanfaat bagi siapapun yang membaca.
Bogor, Oktober 2012
Penulis
ix
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta tanggal 19 Februari 1991, sebagai anak kedua
dari dua bersaudara, putri dari Bapak Mazdan Minarno dan Ibu Etty Nurhayati.
Pendidikan yang dilewati penulis diawali pada tahun 1994 dan
menyelesaikan Taman Kanak-kanak (TK) pada tahun 1996 di TK Permata Jakarta
Utara. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SD Negeri 004 Batam.
Pada tahun 2005 penulis lulus dari SLTP Negeri 1 Bogor dan pada tahun 2008
penulis lulus dari SMA Negeri 5 Bogor. Pada tahun yang sama penulis diterima di
Institut Pertanian Bogor dan selama setahun menjalankan Tingkat Persiapan
Bersama (TPB). Pada Tahun 2009 penulis menjalani pendidikan di Departemen
Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian.
Pada tahun ajaran 2012-2013 penulis dipercaya sebagai Asisten Mata
Kuliah Sejarah dan Perkembangan Arsitektur Lanskap (semester ganjil). Penulis
juga mengikuti kegiatan di luar akademik, seperti menjadi bendahara Himpunan
Mahasiswa Arsitektur Lanskap (HIMASKAP) periode 2009/2010 dan periode
2010/2011. Selain itu, penulis juga aktif mengikuti berbagai pelatihan dan
seminar yang mendukung kegiatan akademis.
x
DAFTAR ISI
BAB I. PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
1.1. Latar belakang ................................................................................................. 1
1.2. Tujuan ............................................................................................................. 2
1.3. Manfaat ........................................................................................................... 3
1.4. Kerangka Pikir ................................................................................................ 3
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 5
2.1. Lanskap Budaya .............................................................................................. 5
2.2. Lanskap Kota .................................................................................................. 6
2.3. Lanskap Keraton ............................................................................................. 8
2.4. Kota Surakarta ................................................................................................. 9
BAB III. METODOLOGI ..................................................................................11
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian .......................................................................11
3.2. Metode ..........................................................................................................12
3.3. Tahapan Studi................................................................................................13
3.2.1. Persiapan ...........................................................................................13
3.2.2. Pengumpulan Data ............................................................................13
3.2.3. Analisis ..............................................................................................15
3.2.4. Konsep dan Arahan Pengembangan Lanskap ...................................19
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ...........................................................20
4.1. Keraton Surakarta Hadiningrat ....................................................................20
4.1.1. Lokasi Keraton Surakarta Hadiningrat..............................................20
4.1.2. Sejarah Keraton Surakarta Hadiningrat ............................................20
4.1.3. Lanskap Keraton Surakarta Hadiningrat ...........................................22
4.1.3.1. Konsep Tata Ruang Keraton Surakarta .....................................22
4.1.3.2. Arsitektur dan Filosofi Bangunan Keraton Surakarta ...............27
4.1.3.3. Karakteristik Ruang Terbuka Hijau Keraton Surakarta ............38
4.1.3.4. Ornamen dan Ragam Hias Keraton Surakarta ..........................42
4.2. Kota Surakarta ...............................................................................................46
4.2.1. Kondisi Umum Kota Surakarta .........................................................46
4.2.2 Tata Guna Lahan Kota Surakarta ......................................................47
xi
4.2.3 Peraturan Pemerintah Kota Surakarta ................................................50
4.2.4 Sejarah Perkembangan Lanskap Kota Surakarta ...............................52
4.3. Persepsi Masyarakat terhadap Keraton Surakarta Hadiningrat ....................58
4.4. Analisis Pengaruh Konsep Lanskap Keraton Surakarta terhadap
Lanskap Kota Surakarta ...............................................................................61
4.4.1. Analisis Jenis Pengaruh .....................................................................61
4.4.1.1. Lanskap Pemukiman ..................................................................61
4.4.1.2. Lanskap Perkantoran dan Perdagangan ....................................67
4.4.1.3. Lanskap Fasilitas Umum ...........................................................70
4.4.1.4. Lanskap Jalan ............................................................................73
4.4.2. Analisis Pola Sebaran Pengaruh.........................................................76
4.5. Usulan Pengembangan Lanskap ..................................................................79
4.5.1. Konsep Pengembangan Lanskap........................................................79
4.5.2. Arahan Pengembangan Lanskap ........................................................80
4.5.3. Arahan Penataan Lanskap ..................................................................81
BAB V. SIMPULAN DAN SARAN ...................................................................84
5.1 Simpulan ........................................................................................................84
5.2 Saran ...............................................................................................................85
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................86
LAMPIRAN .........................................................................................................89
xii
DAFTAR GAMBAR
1. Kerangka Pikir Penelitian ....................................................................... ......... 4
2. Pela Lokasi Penelitian ............................................................................. .......11
3. Diagram Tahapan Penelitian ................................................................... .......12
4. Diagram Kosmologi Keraton Surakarta .................................................. .....24
5. Konsep Kiblat Papat Kalima Pancer ..............................................................25
6. Sketsa Sumbu Imajiner Lor-Kidul ..................................................................26
7. Tata letak bangunan Keraton Surakarta ..........................................................27
8. Gapura Gladag ................................................................................................28
9. Bangsal Bale Bang ..........................................................................................30
10. Kori Kamandhungan ......................................................................................31
11. Sasana Saweka ...............................................................................................32
12. Sasana Handrawina ........................................................................................33
13. Kolam Bandhengan ........................................................................................34
14. Kori Brajanala Kidul ......................................................................................35
15. Setinggil Kidul ...............................................................................................36
16. Analogi Tata Letak Bangunan Keraton dan Rumah Adat .............................37
17. Pohon Beringin Kurung .................................................................................40
18. Suasana Setinggil Lor ....................................................................................41
19. Pohon Sawo Kecil ..........................................................................................41
20. Sulur-suluran ..................................................................................................43
21. Ragam Hias ....................................................................................................44
22. Ukiran Burung ................................................................................................44
23. Radya Laksana ...............................................................................................45
24. Peta Tata Guna Lahan Kota Surakarta ...........................................................49
25. Penulisan Aksara Jawa ...................................................................................50
26. Peta Sebaran BCB di Surakarta......................................................................51
27. Morfologi Kota Surakarta tahun 1500-2000 ..................................................55
28. Tata Letak Gapura Keraton Surakarta............................................................56
29. Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Pemukiman ............................64
30. Dalem Purwodiningratan ...............................................................................66
xiii
31. Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Perkantoran ............................68
32. Lanskap Perkantoran di Surakarta .................................................................69
33. Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Fasilitas Umum......................71
34. Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Jalan .......................................74
35. Lanskap Jalan Slamet Riyadi .........................................................................75
36. Tingkat Pengaruh Konsep Lanskap Keraton terhadap Lanskap Kota
Surakarta ........................................................................................................77
37. Peta Kota Lama Surakarta ..............................................................................81
38. Penataan Lanskap alun-alun utara ..................................................................82
39. Penataan Lanskap jalur pejalan kaki ..............................................................83
xiv
DAFTAR TABEL
1. Data yang dibutuhkan pada Penelitian ..................................................... .......14
2. Kriteria Penilaian Lanskap Permukiman ................................................. .......17
3. Kriteria Penilaian Lanskap Perkantoran dan Fasilitas Publik .................. .......18
4. Kriteria Penilaian Lanskap Jalan .............................................................. .......19
5. Penggunaan Lahan di Surakarta ............................................................... .......48
6. Pendapat masyarakat terhadap Lanskap Kota Surakarta ......................... .......59
7. Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Pemukiman ...................... .......62
8. Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Perkantoran dan
Perdagangan ............................................................................................ .......67
9. Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Fasilitas publik ................ .......70
10. Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Jalan ................................ .......73
11. Guideline penataan lanskap kota ............................................................. .......83
xv
DAFTAR LAMPIRAN
1. Lembar Kuisioner........................................................................................ 90
2. Perhitungan Interval Penilaian .................................................................... 94
3. Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Permukiman........................ 95
4. Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Kantor Pemerintah .............. 98
5. Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Kantor Swasta..................... 99
6. Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Pertokoan ............................ 101
7. Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Pasar ................................... 102
8. Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Hotel ................................... 103
9. Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Sarana Pendidikan .............. 104
10. Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Taman Kota ........................ 106
11. Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Sarana Transportasi ............ 106
12. Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Sarana Kesehatan ............... 107
13. Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Sarana Peribadatan ............. 108
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Keraton Surakarta Hadiningrat merupakan sebuah kawasan bersejarah
yang terbentuk akibat kesinambungan kehidupan masyarakat yang berlangsung
dari waktu ke waktu. Terbentuknya kawasan keraton dipengaruhi oleh
kepercayaan masyarakat Jawa pada zaman itu dan terus turun temurun
menjadikan keraton sebagai suatu bentuk lanskap budaya yang dianggap sebagai
pusat dan sumber kebudayaan Jawa. Keraton menjadi pandangan hidup bagi
masyarakat Jawa, oleh karena itu keberadaan keraton memberikan pengaruh yang
sangat besar dalam pembentukan lingkungan disekitarnya. Konsep bangunan dan
lanskap keraton menjadi pengaruh besar dalam pembentukan lanskap sekitar
keraton hingga lanskap Kota Surakarta. Sehingga tercipta suatu lanskap khas dan
menjadi pencerminan budaya masyarakat Jawa. Keberadaan Keraton Surakarta
merupakan identitas pembentuk karakter lanskap Kota Surakarta. Perkembangan
kota sudah sepantasnya mengikuti konsep yang digunakan keraton agar tercipta
suatu lanskap kota yang memiliki identitas dan ciri khas tersendiri.
Kota Surakarta saat ini tebagi menjadi Solo Lama dan Solo Baru. Menurut
Hadi (2001), Solo Lama adalah pusat pemerintahan Kerajaan Surakarta dan Solo
Baru merupakan perkembangan kota yang lebih modern. Pada saat sekarang ini,
ruang Kota Solo selain dibentuk oleh bangunan-bangunan modern seperti kota-
kota lainnya di Indonesia, maka secara arsitektural ruang kotanya masih mampu
memperlihatkan bangunan-bangunan yang bercirikan era kerajaan (feodal) Jawa
dan era kolonial Belanda, bahkan pada beberapa bagian kota masih terdapat
bangunan-bangunan dengan arsitektur etnik Cina, Arab dan Indoland/ Campuran
(Qomarun dan Budi, 2007).
Menurut Zaida (2004), terdapat beberapa faktor yang menentukan
perubahan tatanan ruang kota Surakarta, yaitu: pertama, nilai-nilai dan norma-
norma kepercayaan yang berlaku pada masyarakat sehingga mempengaruhi dan
membentuk pola, sikap dan perilaku masyarakat dalam kehidupan sehari-hari
termasuk dalam hal penataan kota. Kedua, faktor yang mempengaruhi
2
perkembangan dan perubahan kota adalah kebijakan penguasa/pemerintah pada
setiap periode perkembangan dan ketiga adalah kalangan pengusaha dengan
modal yang dimiliki mampu mengubah tatanan dan perkembangan tata ruang
kota. Hal ini mengakibatkan pengaruh yang berbeda pada setiap bagian kota dan
lunturnya penerapan lanskap keraton pada pembentukan lanskap kota.
Sejak tahun 2005, Kota Surakarta termasuk kedalam Jaringan Kota Pusaka
Indonesia (JKPI). Penetapan Surakarta sebagai Kota Pusaka bertujuan agar dapat
mempertahankan kelestarian karakteristik budaya dan peninggalan sejarah yang
berada di Surakarta. Kota Surakarta memiliki karakter budaya yang sangat kuat
dipengaruhi oleh keberadaan Keraton Surakarta. Konsep lanskap yang khas dari
Keraton Surakarta dapat digunakan dalam penataan ruang lanskap Kota Surakarta,
sehingga menjadi pembentuk identitas yang kuat bagi Kota Surakarta. Pengaruh
yang tidak merata dan lunturnya pengaruh Keraton Surakarta perlahan-lahan
menghilangkan karakteristik budaya dari Kota Surakarta.
Oleh karena itu dilakukan penelitian guna mengetahui perkembangan
lanskap Kota Surakarta dan dilakukan pemetaan terhadap lanskap kota yang
memiliki pengaruh Keraton Surakarta. Kemudian dihasilkan suatu arahan
pengembangan kota guna membentuk dan menguatkan karkater budaya dari Kota
Surakarta. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi dan manfaat
terhadap masyarakat mengenai karkater budaya Kota Surakarta dan menjadi
bahan masukan kepada pemerintah Kota Surakarta dalam menata dan
merencanakan penataan Kota Surakarta yang beridentitas.
1.2 Tujuan
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut :
1. menganalisis konsep lanskap Keraton Surakarta dan keterkaitannya
dengan sejarah perkembangan Kota Surakarta
2. memetakan dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan
lanskap Keraton Surakarta pada lanskap Kota Surakarta
3. menghasilkan arahan pengembangan lanskap Kota Surakarta yang
beridentitas.
3
1.3 Manfaat
Penelitian ini diharapkan dapat memiliki manfaat sebagai berikut :
1. memberi informasi tentang karakteristik dan pola sebaran pengaruh
lanskap Keraton Surakarta terhadap lanskap Kota Surakarta
2. memberi masukan kepada pemerintah kota guna menciptakan kota yang
beridentitas.
1.4 Kerangka Pemikiran
Studi mengenai pengaruh konsep lanskap Keraton Surakarta terhadap Kota
Surakarta dilakukan berdasarkan pemikiran bahwa perkembangan kota yang
terjadi dari masa kemasa dipengaruhi oleh banyak faktor. Keraton Surakarta
sebagai pembentuk awal dari lanskap kota memberi identitas tersendiri pada kota.
Keberadaan Keraton Surakarta dengan konsep ruang, elemen dan ornamen
lanskap yang khas memberikan pengaruh pada perkembangan kota. Budaya
keraton, termasuk konsep lanskap keraton, turut mempengaruhi bentukan wajah
kota. Seiring dengan perkembangan waktu maka dalam perkembangannya,
lanskap Kota Surakarta yang terbentuk pada saat ini dipengaruhi oleh kebijakan
pemerintah dan juga faktor-faktor lainnya.
Identifikasi lanskap pada jenis dan sebaran pengaruh akan sangat penting
untuk mengetahui seberapa besar pengaruh Keraton Surakarta terhadap lanskap
Kota Surakarta saat ini. Sebaran, karakteristik, serta tingkat pengaruh pada seluruh
wilayah kota dipengaruhi oleh faktor fisik, kebijakan pemerintah dan faktor-faktor
lainnya. Melalui identifikasi konsep ruang, jenis elemen, tata letak dan ornamen
dari keraton maka dapat dilakukan pemetaan terhadap sebaran konsep lanskap
keraton terhadap lanskap kota dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi
pola sebaran dan penerapan dari lanskap keraton terhadap lanskap kota. Pemetaan
dan deliniasi pada lanskap kota dapat digunakan sebagai acuan dalam menyusun
arahan pengembangan lanskap Kota Surakarta yang beridentitas. Kerangka
berfikir penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.
4
Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian
Lanskap
Keraton
Surakarta
Lanskap Awal Kota Surakarta
Lanskap Kota Surakarta Saat Ini Kebijakan
Pemerintah Pengaruh Luar
Identifikasi Lanskap Kota Surakarta :
Jenis Pengaruh :
- Konsep Ruang
- Jenis Elemen
- Tata Letak Elemen
- Ornamen
Posisi Penerapan Pengaruh
Lanskap Keraton Surakarta
Perkembangan Kota
Pemetaan dan deliniasi
pengaruh Lanskap Keraton
Surakarta terhadap Lanskap
Kota Surakarta :
- Jenis/ragam pengaruh
- Intensitas/pola pengaruh
- Visual lanskap Kota
Faktor-faktor yang
mempengaruhi penerapan
lanskap Keraton Surakarta
terhadap Lanskap Kota
Surakarta
Usulan Arahan Pengembangan Kota
Surakarta
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Lanskap Budaya
Lanskap budaya merupakan hasil interaksi antara manusia dan alam dari
waktu ke waktu (Plachter dan Rossler, 1995). Lanskap budaya pada beberapa
negara di dunia menonjol sebagai model interaksi antara manusia, sistem sosial
dan cara manusia mengatur ruang. Lanskap budaya dapat teridentifikasi menjadi
komponen teraba dan tidak teraba. Komponen tidak teraba berupa suatu ide dan
interaksi yang berdampak pada persepsi dan pembentukan lanskap, seperti
keyakinan yang sudah terlebur dengan lanskap terkait. Lanskap budaya
merupakan cerminan dari budaya yang membentuk lanskap itu sendiri.
Sedangkan menurut Nurisyah dan Pramukanto (2001) lanskap budaya
merupakan suatu model atau bentuk dari lanskap binaan, yang dibentuk oleh suatu
nilai budaya yang dimiliki suatu kelompok masyarakat yang dikaitkan dengan
sumberdaya alam dan lingkungan yang ada pada tempat tersebut. Hasil interaksi
antara manusia dan alam lingkungannya yang merefleksikan adaptasi manusia dan
juga perasaan dalam menggunakan dan mengelola sumberdaya alam dan
lingkungan yang terkait dengan kehidupannya. Hal ini diekspresikan dalam
bentuk dan pola permukiman dan perkampungan, pola penggunaan lahan, sistem
sirkulasi, arsitektur bangunan dan struktur lain.
Melnick (1983) menyatakan bahwa terdapat setidaknya tiga belas
komponen yang merupakan karakter atau identitas lanskap budaya. Ketiga belas
komponen tersebut dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu konteks, organisasi, dan
elemen.
1. Lanskap budaya dalam kelompok konteks
a. sistem organisasi lanskap budaya
b. kategori penggunaan lahan secara umum
c. aktivitas khusus dari pengguna lahan.
2. Lanskap budaya dalam kelompok organisasi
a. hubungan bentuk bangun dari elemen mayor alami
b. sirkulasi jaringan kerja dan polanya
c. batas pengendalian elemen
6
d. penataan tapak.
3. Lanskap budaya dalam kelompok elemen
a. hubungan pola vegetasi dengan penggunaan lahan
b. tipe bangunan dan fungsinya
c. bahan dan teknik konstruksi
d. skala terkecil dari elemen
e. makam atau tempat simbolik lainnya
f. pandangan sejarah dan kualitas persepsi.
2.2 Lanskap kota
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kota adalah daerah permukiman
yang terdiri atas bangunan rumah yang merupakan kesatuan tempat tinggal dari
berbagai lapisan masyarakat, daerah pemusatan penduduk dengan kepadatan
tinggi serta fasilitas modern dan sebagian besar penduduknya bekerja di luar
pertanian dan juga dinding (tembok) yang mengelilingi tempat pertahanan.
Perencanaan kota di negara berkembang, seperti Indonesia, diawali dengan
penataan ulang (revitalisasi) struktur kota, politik arsitektur kolonial menjadi
sebuah pijakan karena kota di Indonesia sejak zaman dahulu sudah direncanakan
dan dirancang oleh Belanda, termasuk di dalamnya penempatan distrik-distrik
gedung pemerintahan, pusat perdagangan dan jasa, struktur jalan serta fasilitas
lain (Mulyandari, 2011). Pembangunan gedung-gedung pemerintahan, pasar,
permukiman, rel kereta api, jalan raya, pabrik gula dan bangunan-bangunan lain di
Indonesia adalah kontribusi daru zaman kolonial Belanda.
Menurut Freeman (1974) dalam Warlina (2001), struktur perkotaan
memiliki empat ciri khas yang meliputi penyedia fasilitas untuk seluruh warga,
penyedia jasa (tenaga), penyedia jasa profesional (bank, kesehatan dan lainnya)
serta memiliki pabrik (industri). Sedangkan menurut Lynch (1960), elemen
penting pada suatu kota dapat diklasifikasikan ke dalam lima bentukan fisik, yaitu
paths (jalur/jalan), nodes (simpul), districs (distrik), landmarks (tengaran), dan
edges (tepian). Paths atau jalur/jalan merupakan suatu unsur penting pembentuk
kota. Berdasarkan elemen pendukungnya, paths meliputi jaringan jalan sebagai
prasarana pergerakan dan angkutan darat, sungai, laut, udara, terminal sebagai
7
sarana pengangkutan. Nodes atau simpul merupakan pertemuan antara beberapa
jalan/lorong yang ada di kota, sehingga membentuk suatu ruang tersendiri.
Nodes merupakan suatu pusat kegiatan fungsional yang menjadi pusat
penduduk dalam memenuhi kebutuhan hidup. Distrik yang terdapat dipusat kota
merupakan daerah komersial yang didominasi oleh kegiatan ekonomi dan pada
daerah yang berbatasan dengan distrik terdapat banyak tempat yang digunakan
sebagai pasar lokal, pertokoan dan sebagian lain digunakan sebagai tempat
tinggal. Landmarks merupakan citra suatu kota dimana memberikan suatu kesan
terhadap kota tersebut. Edges merupakan suatu masa bangunan yang membentuk
dan membatasi suatu ruang di dalam kota.
Menurut Mulyandari (2011) kondisi kota yang ada di Indonesia sangat
kompleks yaitu pertumbuhan/perkembangan kota yang tidak merata, masih
dipengaruhi oleh pasar, terjadi proses-proses komersial yang cenderung tidak
terkontrol, kerusakan lingkungan yang semakin parah, inefisiensi sumber daya,
bahkan terjadi ketidakadilan sosial. Sehingga kota di Indonesia dapat
dikarakteristikkan sebagai berikut:
a. tumbuh secara tidak terencana (organis)
b. cenderung tidak terkendali (sprawl)
c. mengabaikan aspek tata guna lahan, sehingga tata guna lahan
tercampur (mixed-uses)
d. dualisme ekonomi : formal – informal
e. budaya kota yang khas
f. aturan-aturan pemerintah kota banyak yang tidak terlaksana.
Mulyandari menyatakan lebih lanjut, untuk membentuk suatu kota yang
memiliki karakteristik, humanisme dan spiritualisme maka diperlukan kualitas
dasar manusia yang menjadi penghuni sebuah kota, yaitu
a. filosof, yang akan merumuskan konsep ideologi, konsep
ketatanegaraan dan ilmu-ilmu filsafat lainnya
b. seniman, yang memiliki kreativitas dan karakteristik nilai keindahan
yang akan membentuk watak dan karakteristik masyarakat
8
c. teknokret, yang akan mempengaruhi perkembangan sistem ekonomi,
politik sekaligus melakukan percepatan pertumbuhan kehidupan
kearah yang lebih baik dengan ilmu pengetahun dan teknologi
d. pebisnis, yang mempengaruhi proses urbanisasi dengan cepat.
e. ulama, yang memiliki kualitas spiritual untuk menyeimbangkan
kemajuan peradaban manusia yang cepat, dengan meningkatkan
manusia tentang hubungan manusia-Tuhan-alam.
2.3 Lanskap Keraton
Keraton sering disebut sebagai kebudayaan masyarakat Jawa. Menurut
kamus besar bahasa Indonesia istilah keraton memiliki arti sebagai tempat
kediaman ratu dan raja, kerajaan, maupun istana raja. Pada Keraton Surakarta
istilah kedhaton merujuk kepada kompleks tertutup bagian dalam keraton tempat
raja dan putra-putrinya tinggal. Lanskap keraton merupakan lanskap yang
terbentuk akibat timbal balik antara masyarakat yang tinggal disekitar keraton
dengan alam untuk terus bertahan hidup. Keraton yang dianggap sebagai sumber
budaya menjadi panutan bagi penduduk sekitar keraton sehingga konsep lanskap
pada keraton diterapkan pada tempat tinggal mereka. Pengaruh keraton yang besar
terhadap lanskap sekitar mempengaruhi pembentukan lanskap kota tempat keraton
berada.
Keraton Kasunanan Surakarta yang berdiri pada tahun 1745 Masehi
mengalami masa pembangunan selama beberapa periode. Pembangunan dan
perbaikannya dilaksanakan mulai dari Raja Pakubuwana II sampai Raja
Pakubuwana XII sehingga keraton memiliki wujud fisik seperti yang ada pada
saat ini. Dari Alun-alun Utara melalui Gapura Gladag hingga Alun-alun Selatan
melalui Gapura gading. Pada bagian tengah Alun-alun Utara dan Selatan terdapat
kawasan utama keraton yang dikelilingi tembok setebal dua meter dan setinggi
enam meter yang disebut kawasan Baluwerti. Di tengah Baluwerti masih terdapat
pagar tembok berkeliling. Di bagian dalam tembok inilah terletak inti keraton
yang sering disebut juga Cepuri atau Kedaton. Di dalam Kedaton terdapat tempat
tinggal raja dengan keluarganya. Raja tinggal di sebuah bangunan yang disebut
Dalem Agung Prabasuyasa (Maruti, 2003).
9
Keraton Surakarta memiliki konsep tata ruang yang khas dalam penataan
ruang. Terdapat konsep simbolisme dan filosofi yang kuat pada Keraton
Surakarta, sehingga terdapat suatu hirarki pada susunan bangunan-bangunan di
Keraton Surakarta. Konsep simbolisme dan filosofi Keraton Surakarta juga
ditemukan pada tata ruang luar yang terbagi menjadi empat kriteria, yaitu Alun-
alun Lor, pelataran pelataran Setinggil Lor, pelataran kedathon dan Alun-alun
Kidul (Setiawan, 2000). Alun-alun yang terletak diutara merupakan simbol dari
kehidupan di dunia dan alun-alun di selatan mencerminkan kematian.
Lanskap keraton merupakan cerminan adat istiadat dan kebudayaan
masyarakat Jawa. Taman-taman dan penataan ruang bahkan penanaman
pepohonan mengikuti kepercayaan yang mereka percaya, seperti penanaman
pohon sawo kecik dibelakang halaman Keraton Surakarta yang memiliki filosofi
tersendiri. Filosofi sawo kecik identik dengan sarwo becik yang memiliki arti
serba baik. Diharapkan yang menanam dan yang mempunyai tanaman ini
dirumahnya akan selalu mendapatkan kebaikan (Wukilarit 2010). Penetapan dan
peletakan vegetasi pada kawasan keraton juga memiliki makna tersendiri seperti
dua pohon beringin (Ficus benjamina) di bagian depan komplek alun-alun
Keraton Surakarta yang melambangakan perlindungan dan keadilan.
2.4 Kota Surakarta
Kota Surakarta atau dikenal dengan kota Solo merupakan sebuah kota di
Pulau Jawa yang menjadi sangat menarik karena keberadaan Keraton Surakarta.
Keraton Surakarta dengan konsep tata ruang yang memiliki ciri khas tersendiri
mempengaruhi pembentukan wajah lanskap pada Kota Surakarta. Keberadaan
Keraton Surakarta menjadi panutan masyarakat Surakarta dalam berbagai hal,
baik dari kepercayaan mengenai filosofi kehidupan hingga paham-paham maupun
ajaran yang dianut oleh keraton. Kota Surakarta merupakan sebuah kota yang
tumbuh sebagai pusat pemerintahan kerajaan, yang kemudian berkembang
menjadi sebuah kota yang mendukung fungsi komersial, industri, jasa dan sektor-
sektor lainnya, layaknya sebuah kota modern (Hadi,2001).
Surakarta pada awalnya berkembang dengan konsep tata ruang tradisional
mengalami perubahan menjadi kota kolonial dan pada akhirnya menjadi kota
10
modern dengan tidak menghiraukan kembali konsep-konsep yang digunakan oleh
Keraton Surakarta. Hadi (2001) menyatakan bahwa “Solo Lama” adalah pusat
pemerintahan Kerajaan Surakarta Hadiningrat. Dimana pasar-pasar tempat
penduduk melakukan transaksi dalam nama-nama Jawa. Pola penyebaran pasar-
pasar ini membentuk konfigurasi kota yang cenderung berkembang mengikuti
pola grid.
Kota Surakarta memiliki luas wilayah sebesar 4.404,06 Ha dan terbagi
menjadi lima wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Laweyan, Kecamatan
Serengan, Kecamatan Pasar Kliwon, Kecamatan Jebres dan Kecamatan
Banjarsari. Dari lima kecamatan tersebut terdapat 51 kelurahan. Terjadi konflik
penggunaan ruang di pusat kota antara usaha memanfaatkan ruang (wilayah
binaan antik) guna mengejar nilai ekonomi tanah dan usaha konservasi budaya.
Perkembangan kota yang pesat membawa serta perubahan budaya warga kota,
jumlah kepadatan penduduk meningkat mempengaruhi pola penggunaan ruang
pada kota Surakarta. Pemukiman penduduk cenderung bergeser keluar, sehingga
muncul wilayah-wilayah desa-kota disekeliling Surakarta. Setelah Kemerdekaan
Republik Indonesia, Kota Surakarta terus mengalami perkembangan perubahan
yang disebabkan oleh faktor-faktor alamiah seperti perubahan ekologi kota,
pertambahan penduduk, dan juga faktor eksternal yang secara langsung
mempengaruhi perkembangan kota melalui kebijakan politik dan masuknya
kekuatan kapitalis. Surakarta kemudian menampilkan bentuknya sebagai kota
yang memadukan unsur-unsur tradisional dan modern (Gunawan, 2010).
11
BAB III
METODOLOGI
3.1 Tempat dan Waktu
Penelitian mengenai pengaruh konsep lanskap Keraton Surakarta terhadap
lanskap Kota Surakarta ini dilakukan pada kawasan Keraton Kesunanan Surakarta
dan kawasan Kota Surakarta. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.
Waktu dalam penelitian ini adalah enam bulan, dari bulan Februari 2012 hingga
Juli 2012.
Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian
Sumber : BAPEDDA Surakarta
Indonesia
Pulau Jawa
Kota Surakarta
12
3.2.1 Metode
Penelitian dilakukan dengan membagi dua wilayah identifikasi, yaitu pada
lanskap Keraton Surakarta dan lanskap Kota Surakarta. Penelitian dilakukan
melalui empat tahapan, yaitu persiapan, pengumpulan data, analisis dan sintesis
serta penyusunan rekomendasi guna meningkatkan identitas Kota Surakarta.
Tahapan penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Diagram Tahapan Studi
Persiapan
Pembuatan proposal dan kolokium
Perizinan dinas terkait
Pengadaan alat dan bahan
penelitian
Pengumpulan
Data Data Lanskap Keraton Surakarta
Data Lanskap Kota Surakarta
Analisis
Analisis konsep ruang, elemen dan
ornamen lanskap Keraton
Surakarta
Analisis perkembangan lanskap
Kota Surakarta
Pemetaan pengaruh konsep
lanskap keraton terhadap lanskap
Kota Surakarta
Analisis pola sebaran lanskap dan
faktor yang mempengaruhi
penerapan konsep lanskap keraton
terhadap perkembangan Kota
Surakarta
Sintesis
Formulasi pengaruh konsep
lanskap keraton pada lanskap kota
dan kebutuhan pengembangan
Rekomendasi guna
pengembangan lanskap kota
13
3.3 Tahapan Studi
3.2.1 Persiapan
Tahapan persiapan meliputi penyusunan proposal penelitian, pelaksanaan
kolokium yaitu mempresentasikan proposal penelitian dan mendapatkan masukan.
Pada tahap persiapan dilakukan kegiatan mengurus perizinan di lokasi penelitian
dan dilakukan pencarian informasi umum mengenai lokasi penelitian, serta
mempersiapkan alat dan bahan yang diperlukan.
3.2.2 Pengumpulan data
Data yang dibutuhkan pada penelitian ini adalah data lanskap Keraton
Surakarta dan data lanskap Kota Surakarta. Data Keraton Surakarta mencakup
data primer dan sekunder yaitu data mengenai aspek kesejarahan, konsep ruang,
desain/ragam hias dan ornamen pada elemen lanskap. Data yang diperlukan pada
Kota Surakarta terdiri dari aspek kesejarahan, penggunaan lahan, struktur kota,
elemen-elemen pembentuk kota, aspek legal dan juga pendapat/pandangan
masyarakat Kota Surakarta terhadap lanskap Kota Surakarta. Data yang
dibutuhkan pada penelitian akan dijabarkan pada Tabel 1. Pengumpulan data
dilakukan dengan cara berikut :
a. Observasi : observasi merupakan pengamatan pada tapak guna mengetahui
kondisi eksisting pada tapak. Observasi dilakukan dengan
mengamati lanskap Keraton Surakarta dan lanskap Kota Surakarta
yang meliputi lanskap permukiman, lanskap perkantoran dan
perdagangan, lanskap fasilitas umum dan lanskap jalan.
b. Wawancara : wawancara dengan narasumber guna mengetahui informasi
mengenai hal terkait. Tahapan wawancara juga diperlukan untuk
mendapatkan data dan informasi mengenai kondisi sosial budaya
yang ada pada masyarakat sekitar yang tidak dapat dilihat secara
langsung melalui tahapan observasi.
Wawancara dilakukan dengan berbagai narasumber, yaitu :
1. GPH Puger, Kepala Sasana Pustaka Keraton Surakarta
2. Mufti Raharjo, Kepala Bidang Pelestarian Kawasan dan
Bangunan Cagar Budaya (BCB) Dinas Tata Ruang Kota
Surakarta
14
3. Endah Sita Resmi, Kepala Bidang Perencanaan Tata Ruang
Dinas Tata Ruang Kota Surakarta
4. Keksi Sundari, kepala Bidang Sarana Wisata Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surakarta
c. Kuisioner : Kuisioner digunakan sebagai media wawancara kepada masyarakat
kota Surakarta. Kuisioner disebar kepada masyarakat kota guna
mengetahui pandangan maupun pendapat masyarakat Kota
Surakarta terhadap Keraton Surakarta dan keinginan masyarakat
dalam penataan kota. Kuisioner disebar pada masyarakat yang
bermukim di sekitar keraton dan masyarakat yang bermukim di
berbagai kecamatan di Kota Surakarta, sehingga diharapkan dapat
mewakili pendapat dari masyarakat Kota Surakarta.
d. Studi pustaka : Studi pustaka dilakukan guna mengetahui kondisi sosial budaya,
maupun kesejarahan yang sudah tidak dapat dilihat karena
bentukan fisik sudah hilang tergerus oleh perkembangan zaman.
Studi pustaka juga dilakukan terhadap konsep dan sejarah
perkembangan kota, dokumen-dokumen maupun peta dan juga
kebijakan-kebijakan pemerintah.
Tabel 1. Data yang dibutuhkan pada penelitian
Jenis Data Bentuk Data Sumber Data
1 Lanskap
Keraton
Surakarta
Sejarah Keraton Surakarta Arsip keraton,
observasi, studi
pustaka dan
wawancara
Konsep dan filosofi Tata Ruang dan Lanskap
Keraton
Jenis, tata letak dan makna elemen-elemen
keraton (hardscape dan softscape )
2 Lanskap
Kota
Surakarta
Kondisi Umum BMG, observasi
lapang , kuisioner dan
studi pustaka Sejarah dan perkembangan kota
Penggunaan lahan (landuse)
Struktur kota ( pusat kota hingga pinggir kota)
Kondisi Biofisik ( iklim, topografi, hidrologi,
vegetasi, satwa, tanah dan sirkulasi)
Elemen fisik : kantor-kantor pemerintahan,
kantor swasta, bangunan dan fasilitas umum
(pasar, taman, tempat peribadatan, sarana
pendidikan) dan bangunan serta fasilitas
komersil
Permukiman : Bangunan (arsitektur dan
orientasi) dan halaman rumah (elemen
hardscape dan softscape)
15
Tabel 1. Data yang dibutuhkan pada penelitian (Lanjutan)
Jenis Data Bentuk Data Sumber Data
2 Lanskap
Kota
Surakarta
Rencana Tata Ruang Kota (RTRK) BAPPEDA, Dinas Tata
Ruang Kota Surakarta,
wawancara dan
kuisioner
Kebijakan pengembangan dan pembangunan
kota
Kebijakan mengenai pelestarian kota dan
kawasan bersejarah
Persepsi masyarakat mengenai Keraton
Surakarta
3.2.3 Analisis
Tahapan analisis meliputi tahap identifikasi dan analisis konsep lanskap
Keraton Surakarta dan lanskap Kota Surakarta. Tahapan analisis dilakukan
dengan metode analisis deskriptif kuantitatif, deskriptif kualitatif dan secara
spasial. Analisis dilakukan melalui empat tahap, yaitu analisis konsep lanskap
Keraton Surakarta, analisis perkembangan lanskap Kota Surakarta, analisis
sebaran elemen lanskap dan analisis pola sebaran lanskap.
1. Analisis konsep lanskap Keraton Surakarta
Analisis konsep lanskap Keraton Surakarta dilakukan secara deskriptif
kualitatif. Analisis konsep lanskap Keraton Surakarta dilakukan guna mengetahui
tatanan dan karakter lanskap dari Keraton Surakarta. Konsep lanskap pada Keraton
Surakarta yang dikemukakan oleh Setiawan (2000) dalam tesis yang berjudul
Konsep Simbolisme dalam Tata Ruang Luar Keraton Surakarta merupakan dasar
dalam melakukan identifikasi dan analisis konsep lanskap keraton. Setiawan
(2000) menyatakan bahwa ruang luar/lanskap pada Keraton Surakarta terdiri dari
sejarah keraton, bangunan keraton, pandangan hidup dan adat istiadat, serta konsep
tata ruang keraton. Identifikasi pada lanskap keraton juga dilakukan dengan cara
observasi langsung dan juga wawancara dnegan pihak-pihak terkait. Hasil
deskripsi lanskap Keraton Surakarta digunakan untuk mengidentifikasi
pengaruh/kesamaan pada lanskap Kota Surakarta.
2. Analisis Perkembangan Kota Surakarta
Analisis perkembangan lanskap kota Surakarta dilakukan dengan cara
deskriptif kualitatif dan spasial. Analisis dilakukan dengan menelusuri sejarah
Kota Surakarta melalui periode pemerintahan sejak Keraton Surakarta hingga saat
16
ini. Analisis juga dilakukan dengan mengacu pada peta maupun sketsa denah
lanskap kota dari berbagai periode pemerintahan. Analisis dilakukan guna
mengetahui arah perkembangan kota serta karakteristik lanskap yang terbentuk
pada Kota Surakarta.
3. Analisis pengaruh konsep lanskap Keraton Surakarta
Analisis pengaruh konsep lanskap keraton pada lanskap Kota Surakarta
dilakukan dengan cara deskriptif kuantitatif, yaitu pemberian skor nilai pada
lanskap kota. Menurut Lynch (1960) elemen penting dari suatu kota terdiri dari
paths, nodes, district, landmarks dan edges. Sedangkan menurut Freeman (1974)
suatu kota harus menyediakan berbagai fasilitas untuk seluruh warga. Sehingga
penilaian jenis pengaruh konsep lanskap keraton terhadap lanskap kota dilakukan
dengan penilaian pada empat elemen penting pada kota, yaitu:
a. lanskap permukiman
b. lanskap perkantoran dan perdagangan
c. lanskap fasilitas umum
d. lanskap jalan.
Analisis skoring pada masing-masing elemen lanskap dilakukan dengan
observasi/pengamatan langsung dan juga melalui penelusuran cagar budaya yang
telah ditetapkan pada Surat Keputusan Walikota pada Tahun 1997 serta dengan
melakukan identifikasi melalui bantuan dari google maps.
Metode ini dilakukan guna memetakan lanskap Kota Surakarta. Analisis
skoring pada elemen-elemen lanskap kota akan dinilai berdasarkan kriteria-
kriteria tertentu yang diungkapkan oleh Haris dan Dines (1988) mengenai asosiasi
kesejarahan serta kriteria elemen bersejarah seperti pada Undang-Undang No.11
Tahun 2010 dan juga dengan menggunakan karakter lanskap keraton seperti yang
diungkapkan oleh Setiawan (2000) seperti konsep tata ruang, arsitektur bangunan
keraton, ragam hias dan elemen pendukung lanskap keraton lainnya. Kemudian
skor penilaian akan dijumlahkan guna mengetahui apakah elemen-elemen lanskap
pada Kota Surakarta masih mengikuti konsep lanskap yang digunakan pada
keraton Surakarta. Selanjutnya setelah dihasilkan analisis skoring secara spasial,
maka akan dihitung luasan setiap zona guna mengetahui besaran area pada
masing-masing zona pengaruh.
17
Kriteria dalam penilaian terhadap masing-masing elemen disajikan pada
Tabel 2, Tabel 3 dan Tabel 4. Kriteria penilaian pada lanskap meliputi :
a. asosiasi kesejarahan
b. konsep tata ruang
c. jenis elemen
d. posisi/tata letak elemen
e. desain elemen
f. ornamen atau ragam hias Keraton Surakarta.
Kriteria penilaian memiliki bobot penilaian yang berbeda-beda. Asosiasi
kesejarahan memiliki bobot nilai terbesar, hal ini dikarenakan nilai sejarah
merupakan elemen penting yang dapat menunjukan pengaruh dari Keraton
Surakarta. Sedangkan kriteria lain memiliki bobot yang lebih rendah, karena pada
kriteria-kriteria tersebut dianggap memiliki kepentingan yang sama.
Penilaian terhadap lanskap dihitung berdasarkan metode skoring yang
digunakan oleh Slamet (Slamet, 1983 dalam Anggraeni, 2011) yaitu dengan
rumus interval sebagai berikut :
g.
Tinggi = SMi + 2IK +1 sampai SMa
Sedang = SMi + IK + 1 sampai (SMi + 2IK)
Rendah = SMi sampai SMi +IK
Tabel 2. Kriteria Penilaian Lanskap Permukiman
Kriteria
Skor
Kuat (3) Sedang (2) Rendah (1)
Asosiasi
Kesejarahan
(40%)
Hubungan
kesejarahan yang
kuat dengan
Keraton Surakarta
Hubungan kesejarahan
yang lemah dengan
Keraton Surakarta
Tidak memiliki
hubungan kesejarahan
dengan Keraton
Surakarta
Tata Ruang
(10%)
Tata ruang
kawasan
menyerupai tata
ruang di Keraton
Surakarta
Tata ruang kawasan
sedikit menyerupai tata
ruang di Keraton
Surakarta
Tata ruang kawasan
tidak menyerupai tata
ruang di Keraton
Surakarta
Interval Kelas (IK) = Skor Maksimum (SMa) – Skor minimum (SMi)
Jumlah Kategori
18
Tabel 2. Kriteria Penilaian Lanskap Permukiman (Lanjutan)
Kriteria
Skor
Kuat (3) Sedang (2) Rendah (1)
Arsitektur
Bangunan
(20%)
Permukiman
mengadopsi gaya
arsitektur seperti
pada Keraton
Surakarta
Permukiman mengadopsi
beberapa gaya arsitektur,
namun masih
mencerminkan gaya
arsitektur masa lalu
Permukiman tidak
dapat menunjukkan
gaya arsitektur masa
lalu
Ornamen
Bangunan
(15%)
Ornamen bangunan
memiliki maupun
menyerupai detail
yang menunjukan
ciri khas Keraton
Ornamen bangunan
memiliki detail yang
dapat menunjukan ciri
khas masa lalu
Ornamen bangunan
tidak memiliki detail
yang dapat menunjukan
ciri khas di masa lalu
Kesamaan
elemen
hardscape dan
softscape
(15%)
Elemen lanskap
memiliki detail
yang dapat
menunjukan ciri
khas Keraton
Surakarta
Elemen lanskap masih
memiliki detail yang
dapat menunjukan ciri
khas masa lalu
Elemen lanskap tidak
memiliki detail yang
dapat menunjukan ciri
khas di masa lalu
Keterangan : Skor 1-1,7 = Rendah ; Skor 1,8-2,4 = Sedang; Skor 2,5-3 = Tinggi
Tabel 3. Kriteria Penilaian Lanskap Perkantoran dan Perdagangan dan Lanskap
Fasilitas Umum
Kriteria
Skor
Kuat (3) Sedang (2) Rendah (1)
Asosiasi
Kesejarahan
(40%)
Hubungan
kesejarahan yang
kuat dengan Keraton
Surakarta
Hubungan kesejarahan
yang lemah dengan
Keraton Surakarta
Tidak memiliki
hubungan kesejarahan
dengan Keraton
Surakarta
Posisi
terhadap
Keraton
Surakarta
(20%)
Terletak pada konsep
tata ruang Keraton
Surakarta
Terletak pada konsep
tata ruang lain
Tidak terletak pada
konsep tata ruang
Keraton Surakarta
Arsitektur
Bangunan
(20%)
Lanskap bangunan
mengadopsi gaya
arsitektur seperti pada
Keraton Surakarta
Lanskap bangunan
mengadopsi beberapa
gaya arsitektur, namun
masih mencerminkan
gaya arsitektur
tradisional Jawa
Lanskap bangunan
tidak mengadopsi
gaya arsitektur
tradisional Jawa
Kesamaan
jenis elemen
lanskap
(20%)
Elemen lanskap
memiliki detail yang
dapat menunjukan
ciri khas Keraton
Surakarta dan banyak
tersebar
Elemen lanskap masih
memiliki detail yang
dapat menunjukan ciri
khas masa lalu dan
tersebar cukup banyak
Elemen lanskap tidak
memiliki detail yang
dapat menunjukan ciri
khas di masa lalu
Keterangan : Skor 1-1,7 = Rendah ; Skor 1,8-2,4 = Sedang; Skor 2,5-3 = Tinggi
19
Tabel 4. Kriteria Penilaian Lanskap Jalan
Kriteria
Skor
Kuat (3) Sedang (2) Rendah (1)
Asosiasi
Kesejarahan
(40%)
Hubungan kesejarahan
yang kuat dengan
Keraton Surakarta
Hubungan kesejarahan
yang lemah dengan
Keraton Surakarta
Tidak memiliki
hubungan
kesejarahan dengan
Keraton Surakarta
Kesamaan
elemen
hardscape
(30%)
Elemen lanskap
memiliki detail yang
dapat menunjukan
ciri khas Keraton
Surakarta
Elemen lanskap masih
memiliki detail yang
dapat menunjukan ciri
khas masa lalu
Elemen lanskap
tidak memiliki detail
yang dapat
menunjukan ciri
khas di masa lalu
Kesamaan
elemen
softscape
(30%)
Elemen lanskap
memiliki detail yang
dapat menunjukan
ciri khas Keraton
Surakarta
Elemen lanskap masih
memiliki detail yang
dapat menunjukan ciri
khas masa lalu
Elemen lanskap
tidak memiliki detail
yang dapat
menunjukan ciri
khas di masa lalu
Keterangan : Skor 1-1,7 = Rendah ; Skor 1,8-2,4 = Sedang; Skor 2,5-3 = Tinggi
4. Analisis pola sebaran lanskap
Analisis spasial dilakukan guna mengetahui pola sebaran lanskap. Analisis
dilakukan dengan menggunakan peta hasil analisis jenis pengaruh konsep lanskap
keraton terhadap Kota Surakarta. Analisis pola sebaran lanskap dilakukan guna
mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi sebaran lanskap tersebut.
3.2.4. Konsep dan Arahan Pengembangan Lanskap
Setelah dilakukan analisis data didapatkan suatu hasil menyeluruh yang
merupakan hasil analisis data baik analisis konsep lanskap keraton, analisis
perkembangan Kota Surakarta, analisis sebaran jenis pengaruh lanskap maupun
analisis pola sebaran lanskap. Pada tahap sintesis didapatkan formulasi mengenai
pengaruh konsep lanskap keraton terhadap lanskap Kota Surakarta dan faktor-
faktor yang mempengaruhi sehingga didapatkan kebutuhan pengembangan yang
dapat digunakan untuk pengembangan Kota Surakarta.
20
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Keraton Surakarta Hadiningrat
4.1.1 Lokasi Keraton Surakarta Hadiningrat
Keraton Surakarta terletak pada Kelurahan Baluwerti, Kecamatan Pasar
Kliwon, Kota Surakarta, Provinsi Jawa Tengah. Keraton Surakarta terletak pada
pusat kota Surakarta dengan batas utara adalah Jalan Slamet Riyadi yang
merupakan jalan utama Kota Surakarta, sebelah selatan berbatasan dengan Jalan
Veteran, sebelah timur dan barat berbatasan dengan Jalan Supit Urang. Keraton
Surakarta memiliki aksesibilitas yang baik karena letaknya berada pada pusat kota
dan juga berdekatan dengan kawasan perekonomian kota. Kawasan Keraton
Surakarta memiliki luas wilayah ±55 ha yang meliputi Alun-alun Utara,
lingkungan dalam tembok Baluwarti (keraton dan perumahan Baluwarti) sampai
dengan Alun-alun Selatan.
4.1.2 Sejarah Keraton Surakarta Hadiningrat
Keraton Surakarta merupakan bangunan bersejarah yang merupakan
rintisan Kerajaan Mataram. Keraton Surakarta sering juga disebut dengan Keraton
Mataram Surakarta (Nitinagoro, 2011). Keraton Mataram mengalami perpindahan
ibukota kerajaan sebanyak lima perpindahan sebelum akhirnya berdiri Keraton
Mataram Surakarta. Pada tahun 1742 terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh
orang-orang Cina di Kartasura dan berhasil menduduki Keraton Kartasura yang
pada saat itu dipimpin oleh Ingkang Sinuhun Susuhanan Paku Buwono II.
Pemberontakaan ini dinamai dengan Geger Pecinan. Peristiwa Geger Pecinan
merupakan awal mula hancurnya Keraton Mataram Kartasura. Dengan melihat
kondisi Keraton Mataram Kartasura yang telah hancur maka Susuhan Paku
Buwono II memberi perintah untuk dilakukan pemindahan keraton. Terdapat tiga
tempat untuk dijadikan keraton baru sebagai ganti Keraton Mataram Kartasura,
yaitu Kadipolo, Sonosewu dan Desa/Dusun Sala. Desa Sala terpilih menjadi
tempat untuk dibangun keraton baru.
21
Desa Sala merupakan sebuah desa yang dikuasai oleh Ki Gede (Ageng)
Sala. Dari Ki Gede Sala ini akan diketahui asal usul dari keberadaan Desa Sala.
Nama Sala diambil dari nama pemimpin desa pada masa itu, yaitu seorang abdi
dalem Kerajaan Pajang yang bernama Kiai Sala Sepuh. Pembangunan keraton
baru dimulai dengan desain bangunan tidak berbeda jauh dengan Keraton
Kartasura. Keraton baru ini dikenal dengan nama Keraton Nagari Surakarta dan
selesai dibangun pada tahun 1667 Jawa atau 1745 Masehi, walaupun keraton
masih berpagar bambu belum memiliki pagar dengan tembok seperti saat ini.
Perpindahan keraton dari Keraton Kartasura menuju Keraton Surakarta tercatat
dilakukan pada Rabu Pahing bulan Muharram (Sura) tahun Eje 1667 Jawa tahun
1745 Masehi atau 17 Februari 1745 Masehi.
Pada masa pemerintahan Paku Buwono III, Surakarta terbagi menjadi dua
bagian. Hal ini disebabkan karena ketidakpuasan kaum bangsawan terhadap
campur tangan kompeni, pemberontakan ini diprakarsai oleh Pangeran
Mangkubumi dan Raden Mas Said. Pada 13 Pebruari 1755 terjadi Perjanjian
Giyanti yang berisi bahwa Pangeran Mangkubumi berkedudukan di Yogyakarta
dengan gelar Sultan Hamengku Buwana, dengan nama keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat. Setelah dilakukan Perjanjian Giyanti, masalah semakin rumit
sehingga dilakukan Perjanjian Salatiga 17 Maret 1755. Perjanjian ini
menghasilkan kesepakatan yaitu Raden Mas Said mendapatkan daerah kekuasaan
Keraton Surakarta dan mendapatkan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Arya Adipati
(KGPAA) Mangkunegaran dengan wilayah kekuasaan bernama Mangkunegaran
dan ditambah dengan tanah lungguh atau tanah yang dijadikan tempat didirikan
Pura Mangkunegaran. Dengan kedua perjanjian itu maka wilayah Keraton
Surakarta menjadi berkurang.
Pada masa pemerintahan Susuhunan Paku Buwono XII, Negara Indonesia
dinyatakan merdeka sehingga seluruh pemerintahan di wilayah Indonesia
dipimpin oleh seorang presiden. Raja dan Keraton Surakarta sekarang tidak
memiliki kekuasaan secara de facto tertanggal sejak 15 Juli 1946 dikeluarkan PP
Nomor 16/SD 1946 yang berisi penetapan pemerintah yang mengatur mengenai
pemerintahan di Surakarta dan Yogyakarta (Maruti, 2003).
22
4.1.3 Lanskap Keraton Surakarta Hadiningrat
Keraton Surakarta merupakan salah satu pusat kebudayaan nasional,
khususnya kebudayaan Jawa atau kebudayaan Jawi (Nitinagoro, 2011). Keraton
Surakarta memiliki konsep lanskap yang khas dari bangunan lainya. Keraton yang
merupakan tempat tinggal raja dan keluarganya memiliki konsep dan filosofi dari
setiap elemen pembentuknya. Konsep lanskap dari Keraton Surakarta merupakan
hasil pemikiran yang matang dari para pendahulu yang terus terbawa sampai saat
ini sehingga menjadi suatu budaya bagi masyarakat Kota Surakarta.
4.1.3.1 Konsep Tata Ruang Keraton Surakarta
Keraton Surakarta Hadiningrat merupakan bagian dari suatu pewarisan
budaya dari Keraton Pajang ke Mataram/Kota Gede kemudian ke Kartasura
hingga di Surakarta. Nilai budaya yang diwariskan secara turun menurun dalam
kehidupan masyarakat menjadi sumber pandangan, orientasi kehidupan
masyarakat Surakarta pada khususnya dan masyarakat Jawa pada umumnya
(Setiawan, 2000). Konsep tata ruang pada Keraton Surakarta memiliki konsep
simbolisme yang kuat. Konsep ini melekat dari bangunan Gapura Gladag di utara
hingga ke Gapura Gading di selatan. Konsep tata ruang di Keraton Surakarta
terdiri dari Konsep kosmologi dan filosofi, Konsep Dualisme, Konsep Kiblat
Papat Kalima Pancer dan Konsep Supit Urang.
a. Konsep Kosmologi dan Konsep Filosofi
Penataan lanskap Keraton Surakarta menerapkan konsep kosmologi yang
dipengaruhi oleh ajaran Hindu dan Budha. Dumadi (2011) menyatakan bahwa
masyarakat Jawa merumuskan kehidupan manusia berada pada dua kosmos
(alam) yaitu makrokosmos dan mikrokosmos. Makrokosmos memiliki pemahaman
bahwa alam semesta merupakan sebuah wadah yang tetap besarannya dan
memiliki kekuatan besar. Sedangkan konsep mikrokosmos memiliki pemahaman
bahwa raja merupakan perwujudan Tuhan di dunia sehingga dalam diri raja
terdapat keseimbangan berbagai kekuatan alam. Dalam konsep mikrokosmos, raja
merupakan pusat kehidupan di dunia dan keraton sebagai tempat kediaman raja.
Keraton merupakan pusat keramat kerajaan dan bersemayamnya raja, karena raja
merupakan sumber kekuatan-kekuatan kosmis yang mengalir ke daerah dan
23
membawa ketentraman, keadilan dan kesuburan. Sehingga, keraton menjadi pusat
dari segala aktifitas masyarakat dan menjadi kiblat dari segala macam aktivitas.
Keraton Surakarta memiliki karakteristik pola kosmologi yang terbagi
menjadi empat lapisan yaitu kuthanegara, negara gung, mancanegara, dan
pesisiran. Keraton memiliki sistem tata ruang kota menurut kaidah-kaidah
masyarakat tradisional yang masih dipengaruhi oleh tingkat kebangsawanan.
Tempat tinggal raja dan kedudukannya disebut kuthanegara atau negari atau
negara. Kuthanegara dikelilingi oleh tembok guna melindungi raja dari gangguan
luar. Tembok ini memiliki nama yaitu tembok baluwarti. Diluar tembok
kuthanegara merupakan tempat tinggal bagi para kerabat dekat raja dan juga abdi
dalem yang bertutut-turut berada di lingkar luar kerajaan, yaitu negara agung,
mancanegara dan pesisir ( Premordia, 2005).
Konsep kewilayahan seperti ini memperlihatkan bahwa masyarakat yang
bertempat tinggal dekat dengan keraton adalah masyarakat yang memiliki jabatan
penting dan tingkat sosial yang tinggi, atau dikenal dengan istilah bangsawan.
Sedangkan yang bertempat tinggal jauh dari keraton dianggap berkedudukan lebih
rendah. Konsep wilayah seperti ini menciptakan perkampungan-perkampungan
baru yang menjadi tempat tinggal para abdi dalem maupun prajurit-prajurit
keraton. Penamaan perkampungan juga diambil dari penghuni pada kampung
tersebut, contohnya Kampung Purwaprajan yang dahulu merupakan tempat
tinggal RNg Purwaprajan, seorang abdi dalem bupati anom pada zaman Sunan
Pakubuwana X (Gunawan, 2010). Dengan terbentuknya permukiman masyarakat
maka terlihat adanya pola permukiman yang menyebar pada Kota Surakarta.
Tata ruang bangunan di Keraton Surakarta menganut konsep kosmologi
yang tercermin dari Gapura Gladag hingga Gapura Gading (Gambar 4). Lapisan-
lapisan ini berdasarkan pola konsentrik yang pembaginya menyangkut fungsi dan
tingkat keselarasannya (Premordia, 2005). Pola kosmologi menjadi panutan
dalam mendirikan bangunan di Keraton Surakarta, sehingga terbentuk hirarki
dalam susunan bangunan keraton dari utara hingga selatan. Terdapat kepercayaan
bahwa pada setiap fase bangunan yang dilewati akan menuju ke arah
kesempurnaan.
24
Gambar 4. Susunan Kosmologi Keraton Surakarta
(Sumber : Premordia 2005)
b. Konsep Dualisme
Konsep dualisme memiliki pemahaman bahwa segala sesuatu memiliki
hubungan dan saling melengkapi sehingga didirikan secara berpasangan. Konsep
ini terlihat pada bangunan keraton yang sebagian besar berpasangan, seperti pada
Alun-alun Lor-Kidul, Setinggil Lor-Kidul, dan bangunan lainnya. Konsep
dualisme memiliki pemahaman kesatuan yang tunggal dan melambangkan
kehidupan di dunia.
c. Konsep Kiblat Papat Kalima Pancer
Pembangunan Keraton Surakarta dilakukan dengan mempertimbangkan
arah/orientasi dengan menggunakan konsep kiblat papat kalima pancer, yaitu
suatu konsep yang memiliki arti hidup menuju empat arah mata angin namun
berpusat pada satu kiblat di tengahnya. Konsep kiblat papat kalima pancer dapat
dilihat pada Gambar 5. Dimana penentuan arah mata angin yang saling
berpapasan yaitu lor-kidul (utara-selatan), kulon-wetan (barat-timur) yang
merupakan pemahaman dualisme yaitu kesatuan tunggal yang hakiki (Setiawan,
2000). Keraton Surakarta dikenal sebagai kerajaan Islam, kepercayaan secara
spiritual ini memberi pengaruh pada konsep kiblat papat kalima pancer.
Arah lor merupakan kekuatan ilmu spiritual yang berkaitan dengan
kepentingan lahiriah atau kepandaian ilmu dalam usaha mencapai cita-cita masa
25
depan. Arah kidul (selatan) merupakan bersatunya hubungan manusia dengan
Tuhan dan hubungan raja dengan rakyat, sedangkan arah wetan-kulon (timur-
barat) merupakan asal segala sesuatu. Dapat disimpulkan bahwa arah lor-kidul
(utara-selatan) merupakan arah hubungan manusia dengan Tuhan yang dikenal
dengan hablu minallah. Sedangkan arah kulon-wetan (timur-barat) merupakan
hubungan sosial antara manusia dengan manusia yang dikenal dengan hablu
minannas.
Letak Keraton Surakarta yang menganut konsep kiblat papat kalima
pancer di analogikan sebagai berikut, Keraton Surakarta sebagai pancer atau
pusat kiblat dan dikelilingi oleh Hutan Krendhawahana disebelah utara, Gunung
Lawu disebelah timur, Gunung Merapi/Merbabu disebelah Barat dan Pantai
Selatan disebelah selatan. Setiawan (2000) menyatakan bahwa arah timur (wetan)
merupakan asal mula segala sesuatu. Sehingga bangunan keraton disesuaikan
dengan arah menghadap pandhapa besar yaitu Sasana Saweka yang berada di
timur. Konsep lanskap keraton berpedoman pada keempat mata angin dan terdapat
dua poros besar yang saling memotong tegak lurus yang pada umumnya
menghasilkan susunan pancer berupa istana sebagai intinya.
Gambar 5. Konsep Kiblat Papat Kalima Pancer
(Sumber : Setiawan, 2000)
Lor
Hutan Krendhawahana
Hablu minallah
Keraton Surakarta
Hadiningrat
Kidul
Pantai Selatan
Hablu minallah
Wetan
Gunung Lawu
Hablu minannas
Kulon
Gunung Merapi/
GunungMerbabu
Hablu Minannas
26
Terdapat sebuah sumbu imajiner yang sejajar dengan garis lor-kidul.
Sketsa sumbu imajiner pada Kota Surakarta disajikan pada Gambar 6. Terdapat
Tugu yang sekarang ini berada di depan Balaikota Kota Surakarta dan memiliki
garis sejajar dengan keraton. Saat raja duduk di Bangsal Sewayana maka
pandangannya akan tertuju pada puncak tugu. Tugu ini merupakan simbol dari
Tuhan Yang Maha Esa, yang merupakan Maha Pencipta alam beserta segala
isinya. Oleh karenanya segala pusat perhatian dan orientasi manusia dalam
bertingkah laku dalam kegiatan sehari-hari diarahkan senantiasa untuk mengingat-
Nya. Orientasi merupakan suatu hal penting pada masyarakat Jawa, hal ini diduga
menjadi dasar dalam menentukan arah apabila akan membuat maupun melakukan
sesuatu. Masyarakat percaya dengan mempertimbangkan adanya orientasi maka
setiap hal yang akan dilakukan berjalan dengan baik.
Gambar 6. Sketsa Sumbu Imajiner Lor-Kidul
(Sumber : Setiawan 2000)
d. Konsep Supit Urang
Pada bagian luar benteng keraton terdapat sebuah jalan yang mengelilingi
dinding keraton bagian inti, jalan ini bernama Jalan Supit Urang. Jalan Supit
Urang merupakan simbolisme dari capit udang yang merangkul dan melindungi
lingkungan keraton dari luar. Udang menggunakan capit sebagai alat pertahanan
dari musuh. KGPA Puger menyatakan bahwa Jalan Supit Urang dibuat
27
mengelilingi bangunan Keraton Surakarta dengan pemahaman agar dapat
melindungi dan merangkul semua orang sehingga dapat tercipta suasana yang
aman terjaga.
Konsep simbolisme dan konsep lanskap pada Keraton Surakarta
merupakan tuntunan perjalanan hidup menuju kearah kesempurnaan yang
terwujud dalam wujud fisik bangunan Keraton yang dimulai dari Gapura Gladag
hingga Gapura Gading. Konsep tata ruang tersebut menjadikan susunan
bangunan-bangunan Keraton Surakarta memiliki suatu hirarki yang kuat. Berikut
terdapat gambar tata letak bangunan-bangunan pada Keraton Surakarta yang
disajikan pada Gambar 7.
Gambar 7. Tata Letak Bangunan Keraton Surakarta Hadiningrat
(Sumber : Premordia,2005)
4.1.3.2 Arsitektur Bangunan dan Filosofi Keraton Surakarta
Keraton Surakarta yang merupakan turunan dari Kerajaan Mataram
memiliki sejarah yang panjang pada bentuk maupun gaya arsitektur bangunan.
Konsep dan filosofi dari setiap elemen keraton memiliki pengaruh dari setiap fase
yang dilewati. Hal ini berakibat pada bentuk dan corak bangunan Keraton
28
Surakarta. Pada gaya bangunan maupun corak yang digunakan keraton terdapat
pengaruh dari gaya arsitektur barat yang dibawa oleh Belanda seperti bentuk pilar,
arsitektur Cina yang dibawa oleh para pedagang Cina maupun bergaya Arab yang
masuk karena keberadaan bangsa Arab di Solo. Namun, gaya arsitektur tradisional
Jawa merupakan hal yang menjadi dasar bentuk dan filosofi bangunan di Keraton
Surakarta. berikut adalah susunan bangunan yang berada di Keraton secara
berurutan dari utara hingga selatan beserta filosofi dari masing-masing bangunan:
1. Gapura Gladag
Gapura Gladag merupakan pintu masuk menuju komplek Keraton
Surakarta. Pada bagian depan gapura terdapat sepasang arca penjaga pintu.
Gapura Gladag merupakan sepasang gapura yang berbentuk menyerupai tembok
setinggi ±4 meter. Pada kedua sisi gapura terdapat arca, yaitu Brahmana Yaksa
sebagai kori/ pintu masuk menuju alun-alun utara. Dalam bahasa Jawa, gladag
atau nggladag berarti menyeret (Maruti, 2003).
Gladag merupakan tempat dikumpulkan hewan buruan yang diseret
dengan gerobak untuk disembelih. Hal ini memiliki arti perlambangan kepada
manusia untuk mengutamakan kewajiban, harus bisa mengendalikan nafsu,
mengekang hawa nafsu dan menguasai hawa nafsu hewani. Maksudnya adalah
manusia tidak boleh memberi kebebasan terhadap nafsu. Gapura Gladag dapat
dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Gapura Gladag
2. Gapura dan Bangsal Pamurakan
Gapura Pamurakan terletak tepat dibelakang Gapura Gladag. Gapura
Pamurakan memiliki bentukan fisik menyerupai Gapura Gladag. Bangsal
Pamurakan yang terletak di selatan Gapura Pamurakan merupakan bangunan
29
terbuka dengan atap menyerupai joglo (Maruti,2003). Gapura dan Bangsal
Pamurakan merupakan tempat penyembelihan hewan dan tempat pembagian
daging bagi mereka yang berhak mendapatkan bagian dari daging pemotongan
tersebut. Dahulu Bangsal Pamurakan juga digunakan sebagai tempat berteduh
bagi kendaraan tamu yang ingin menemui raja.
Bangsal Pamurakan saat ini telah direnovasi dan dijadikan sebagai kios
kios berjualan cindramata maupun buku bekas. Selain direnovasi juga sudah
banyak didirikan kios-kios berjualan yang menyerupai bangunan Bangsal
Pamurakan, sehingga sulit untuk melihat bentukan asli dari Bangsal Pamurakan.
Hal ini juga disebabkan karena banyak tenda-tenda penjual yang didirikan tidak
beraturan.
3. Pagelaran Sasana Sumewa
Dalam bahasa Jawa, sasana berarti tempat. Sasana Sumewa merupakan
suatu tempat pemerintahan para patih dalem dan juga bawahannya. Keberadaan
Sasana Sumewa merupakan sebuah perlambangan bahwa adanya kekuasaan raja
yaitu tata aturan pemerintahan di Keraton Surakarta. Bangunan ini memiliki 48
buah pilar/saka. Jumlah tiang tersebut merupakan sebuah pertanda bahwa Sasana
Sumewa didirikan pada saat Sinuhun Pakubuwana X berumur 48 tahun. Pada
bagian tengah Sasana Sumewa terdapat sebuah bangsal kecil yang bernama
bangsal Pangrawit yang digunakan sebagai tempat duduk raja pada saat
dilaksanakan acara-acara keraton.
Di hadapan Sasana Sumewa terdapat sebuah tugu besar. Tugu ini
merupakan tugu peringatan 200 tahun keberadaan serta berdirinya Keraton
Surakarta (Nitinegoro, 2011). Pada saat ini Sasana Sumewa dijadikan tempat
kegiatan yang tidak bersifat resmi bahkan pada saat ini, Sasana Sumewa kerap
digunakan sebagai tempat peristirahatan bagi para pengunjung yang mengunjungi
Keraton Surakarta.
4. Setinggil Lor/Utara
Nitinegoro (2011) menyatakan bahwa Setinggil, dalam bahasa Jawa berarti
tanah yang lebih tinggi. Kori wijil (pintu keluar) merupakan sebuah pintu dengan
undakan tangga sebelum memasuki Setinggil. Setinggil dikelilingi oleh pagar besi
yang berfungsi sebagai pagar. Terdapat delapan buah meriam yang menghadap ke
30
utara dan berjejer dari timur sampai barat. Meriam-meriam ini adalah peninggalan
Belanda yang diletakkan sebagai simbol pertahanan. Setinggil memiliki beberapa
bangunan, yaitu bangsal Sewayana dan didalamnya terdapat bangsal Manguntur
Tangkil, yaitu merupakan tempat duduk raja yang digunakan pada saat diadakan
acara besar. Pada komplek Setinggil terdapat bangunan dengan gaya arsitektur
barat seperti pada bangsal Bale Bang di Gambar 9 yang menampilkan bentuk pilar
pengaruh barat.
Gambar 9. Bangsal Bale Bang
Pada Setinggil juga terdapat bangsal atau bale yang digunakan sebagai
tempat menyimpan pusaka-pusaka kramat keraton, diantara lain ada Bale
Manguneng, Bale Angun-angun dan juga Bangsal Balembang. Pintu keluar
Setinggil dikelilingi oleh tembok aling-aling, kemudian terdapat tangga turun dari
barat dan timur. Tangga dari barat disebut dengan Kori Mangu, sedangkan dari
timur disebut Kori Renteng.
5. Kori Brajanala (Lor/utara)
Kori Brajanala terletak di selatan Setinggil. Kori Brajanala dibangun
bersamaan dengan pembangunan tembok keliling Baluwerti atau Cepuri atau
benteng yang semula hanya dibangun menggunakan bambu. Kori Brajanala
berasal dari kata braja yang artinya senjata tajam dan nala berarti hati. Kori
Brajanala memiliki arti dan filsafah, siapa yang ingin memasuki keraton harus
memiliki ketajaman hati.
Kori Brajanala merupakan bangunan beratap limas yang memiliki dua
buah ruang yang digunakan para prajurit raja untuk berjaga dan terdapat sebuah
menara dengan lonceng sebagai penunjuk waktu (Maruti, 2003). Di dalam Kori
Brajanala terdapat dua buah bangsal, pada bagian luar disebut Bangsal Brajanala
dan pada bagian dalam disebut Bangsal Wisamarta. Wisa memiliki arti upas dan
31
marta berarti penawar. Bangsal Wisamarta memiliki makna sebelum masuk ke
keraton maka hendaknya menghilangkan maksud-maksud yang tidak baik. Pada
saat ini Setelah melewati Kori Brajanala terdapat sebuah halaman luas dengan
perkerasan aspal menuju Kori Kamandungan. Terdapat dua pintu gerbang sebelah
timur dan barat halaman Kamadhungan, di sebelah barat bernama Lawang Gapit
Kulon dan di sebelah timur bernama Lawang Gapit Wetan.
6. Kori Kamandhungan
Kamandhungan berasal dari kata Mina dan Andhungan , yang berarti
cadangan (Nitinegoro, 2011). Di hadapan kori terdapat bangunan berkanopi yang
disebut Bale Rata. Bangunan ini digunakan untuk tempat parkir kendaraan tamu
keraton. Pada bagian luar maupun dalam Kori Kamandhungan terdapat bangsal
untuk tempat berjaga para abdi dalem keraton. Kori Kamandhungan dapat dilihat
pada Gambar 10.
Gambar 10. Kori Kamandhungan
Pada bagian dalam Kori Kamandhungan terdapat bangunan bernama
Smarakata. Bangunan beratap limas ini diperuntukkan sebagai tempat upacara
wisuda para sentana maupun acara karawitan. Pada bagian timur terdapat
Marchukuda. Terdapat dua buah cermin besar pada pintu masuk Kori
Kamandhungan. Keberadaan cermin adalah agar setiap orang yang ingin
memasuki Kori Kamandhunagan untuk berkaca dan mawas diri, baik secara
lahiriah maupun batiniah.
7. Kori Srimanganti Lor
Kori Srimanganti terletak tepat di selatan Kori Kamandhungan dengan
bentuk atap “Semar Tinandhu”. Kori Srimanganti merupakan tempat tamu
menunggu untuk bertemu dengan Raja. Srimanganti berasal dari kata Sri yang
berarti Raja dan Manganti yang berarti menunggu (Nitinegoro, 2011). Pada
32
bagian timur Srimanganti terdapat menara yang dikenal dengan Panggung Sangga
Buwana, menara segi delapan dengan empat lantai. Pada puncak menara terdapat
gambar dua orang manusia sedang mengendarai ular. Panggung Sangga Buwana
merupakan bangunan tertinggi di Kota Surakarta.
8. Sasana Saweka
Sasana Saweka adalah sebuah pendapa besar berbentuk pangrawit dan
dilengkapi sebuah serambi. Sasana Saweka (Gambar 11) terdiri dari pilar-pilar
kokoh yang dihiasi oleh ukiran bernuansa emas, merah dan coklat. Sasana Saweka
merupakan tempat singgasana Raja untuk duduk di hadapan para abdi dalem
berpangkat tinggi. Pada bagian depan Sasana Saweka terdapat sebuah bangunan
berbentuk joglo dengan atap limasan jubang, yaitu tanpa serambi maupun
sakaguru dan memiliki pilar sejumlah delapan. Bangunan ini bernama Maligi.
Maligi digunakan sebagai tempat acara sunatan/khitanan putra raja (Maruti,
2003). Sasana Saweka dikelilingi oleh Paningrat, yaitu serambi yang
ketinggiannya lebih rendah. Paningrat dikelilingi oleh tanaman palem kuning
dalam pot cina dan juga dikelilingi oleh patung/prasasti bergaya Eropa.
Gambar 11. Sasana Saweka
9. Sasana Parasdya
Terletak dibelakang Sasana Saweka, Sasana Parasdya merupakan
bangunan Jawa berbentuk Joglo Kepuhan, yaitu joglo tanpa serambi. Di dalam
Sasana Parasdya terdapat singgasana yang menghadap ke barat. Tempat ini
merupakan tempat Sinuhun menyaksikan latihan tari Bedhaya atau Srimpi.
Dibelakang singgasana terdapat sebuah pintu kayu yang menghubungkan
Sasana Parasdya dengan Dalem Ageng Prabasuyasa (Maruti, 2003).
33
10. Sasana Handrawina
Sasana Handrawina dibangun pada masa pemerintahan Sinuhun Kanjeng
Paku Buwana V. Sasana Handrawina merupakan bangunan dengan gaya modern
yang terbuat dari kayu dan kaca. Bangunan ini merupakan tempat raja menerima
tamu agung dan juga tempat untuk berpesta. Sasana Handrawina pernah
terbakar dan pada tahun 1997 dilakukan renovasi. Saat ini kondisi Sasana
Handrawina sangat terjaga dengan dikelilingi oleh tanaman palem kuning
didalam pot dan juga patung-patung bergaya eropa yang merupakan cendramata
dari berbagai negara. Sasana Handrawina dapat dilihat pada Gambar 12.
Gambar 12. Sasana Handrawina
11. Sasana Wilapa
Sasana Wilapa terdiri dari kata Sasana yang berarti tempat dan Wilapa
yang berarti surat. Sasana Wilapa terletak di sebelah barat Sasana Handrawina.
Sasana Pustaka merupakan tempat untuk menyimpan arsip-arsip Keraton beserta
tulisan-tulisan para pujangga maupun mengenai sejarah keraton. Sasana Pustaka
banyak dikunjungi oleh para pelajar maupun mahasiswa yang ingin mempelajari
mengenai Keraton Surakarta. Sasana Wilapa merupakan bagian dari organisasi
keraton yang bertugas untuk bagian surat resmi Keraton. Sasana Wilapa terletak
pada pelataran barat laut dari Kori Srimanganti.
12. Bangsal Pradangga, Bangsal Bujana dan Bangsal Ngajeng
Terdapat tiga buah bangunan pada timur pelataran kedathon, bangunan ini
membujur ke selatan dan berbentuk bangsal terbuka dengan atap limasan. Bangsal
Pradangga, Bangsal Bujana dan Bangsal Ngajeng membentang dari utara hingga
selatan. Bangsal ini digunakan untuk tempat bermain gamelan pada upacara
maupun penyambutan tamu agung keraton (Maruti, 2003).
34
13. Kedathon
Terdapat bangunan-bangunan inti keraton yang terletak di sebelah barat
pelataran. Bangunan inti tidak dapat diakses oleh semua orang. Bangunan ini
diutamakan bagi keluarga raja dan orang-orang yang mendapat izin untuk
berkunjung. Bangunan inti keraton terdiri dari Dalem Ageng Prabasuyasa,
Keputren, Keraton Kulon, Masjid Bandengan, Masjid Pudyasana dan bangunan
tempat tinggal lainnya.
Dalem Ageng Prabasuyasa terletak di sebelah barat Sasana Saweka
dihubungkan oleh Pringgitan Parasdya. Dalem Ageng Prabasaya merupakan
bangunan yang sangat disakralkan oleh keraton, sehingga penjelasan mengenai
bangunan ini hanya didapatkan dari tulisan yang ada. Bangunan ini merupakan
tempat tinggal raja dan tempat berkumpul keluarga raja. Dalem Ageng Prabasaya
memiliki arsitektur bangunan Jawa yang disebut Joglo Limasan Sinom Mangkurat
(Maruti, 2003). Terdapat empat buah kamar pada Dalem Ageng Prabasaya yang
digunakan untuk menyimpan benda-benda pusaka milik Keraton Surakarta.
Seiring perjalanan waktu, kamar-kamar di Dalem Ageng Prabasaya sudah tidak
digunakan sebagai tempat tinggal sehingga berkembang sakralisasi pada seluruh
Dalem Ageng Prabasaya.
Keputren merupakan tempat tinggal wanita atau puteri keraton. Keputren
terletak di selatan dalem Ageng Prabasaya dan memanjang dari barat ke utara. Di
dalam Keputren terdapat sebuah taman yang disebut Taman Kadilengen (Maruti,
2003). Masjid Bandengan dan Masjid Pudyasana merupakan masjid yang berada
di pelataran keraton. Masjid Bandengan dibangun ditengah-tengah kolam persegi
dengan luas 800m2 (disajikan pada Gambar 13).
Gambar 13. Taman Bandengan
Sumber: google.com
35
Keraton Kulon merupakan keraton baru yang dibangun oleh Sinuhun
Pakubuwana X setelah mendengar ramalan runtuhnya Keraton Surakarta setelah
berumur 200 tahun. Keraton Kulon dibangun di sebelah barat gunung. Gunung
yang dimaksud adalah timbunan tanah yang tinggi yang menyerupai gunung yang
ditanami oleh pepohonan sehingga menyerupai hutan. Keraton Kulon dibangun
dengan arsitektur bergaya kolonial dengan pintu gerbang menghadap ke barat.
Setelah masa pemerintahan PB X berakhir, bangunan ini tidak ditempati lagi.
14. Kori Srimanganti Kidul
Kori Srimanganti Kidul berada di selatan Sasana Handrawina, yaitu timur
Sasana Pustaka. Kori Srimanganti Kidul berpasangan dengan Kori Srimanganti
Lor. Kori Srimanganti Kidul berfungsi sebagai pintu masuk menuju keraton dari
bagian selatan, namun saat ini sudah jarang digunakan karena saat ini pintu masuk
keraton hanya lewat pintu utara.
15. Kori Kamandungan Kidul
Kori Kamandungan Kidul berpasangan dengan Kori Kamandungan Lor
dan memiliki fungsi yang sama sebagai pintu masuk menuju keraton, namun dari
arah selatan. Pada Kori Kamandungan Kidul tidak terdapat Bale Rata. Saat ini
Kori Kamandhungan Kidul telah menjadi bagian dari Sekolah Dasar Kasatriyan.
Dengan keberadaan sekolah ini maka tertutup akses menuju keraton dari arah
selatan.
16. Kori Brajanala Kidul
Kori Brajanala Kidul berpasangan dengan Kori Brajanala Lor. Kori
Brajanala Kidul menghubungkan daerah Baluwarti dengan darah luar Baluwarti.
Kori Brajanala Kidul dapat dilihat pada Gambar 14. Pada Kori Brajanala Kidul
tidak ditemukan adanya bangsal seperti di bagian utara.
Gambar 14. Kori Brajanala Kidul
36
17. Setinggil Kidul
Setinggil Kidul memiliki bentuk bangunan yang sangat berbeda dengan
Setinggil Lor. Setinggil Kidul hanyalah bangunan Jawa dengan pendapa besar
dikelilingi oleh pagar besi yang menghadap Alun-alun Kidul tanpa adanya
pagelaran seperti Sasana Sumewa. Setinggil Kidul dikelilingi oleh Jalan Supit
Urang Kidul dan terdapat dua buah meriam yang menghiasi (Maruti, 2003). Saat
ini kondisi Setinggil Kidul sangat tidak terawat, rumput-rumput sekitar nya sudah
tinggi dan banyak sampah yang bertebaran. Pada Setinggil Kidul terdapat dua
buah gerbong kereta bekas yang dahulu digunakan oleh pihak keraton. Setinggil
Kidul dapat dilihat pada Gambar 15.
Gambar 15. Setinggil Kidul
18. Gapura Gading
Gapura Gading merupakan pintu keluar dari keraton bagian selatan.
Gapura Gading merupakan sebuah gapura berwarna kuning gading, sesuai
namanya, dan terdapat lambang Radya Laksana pada bagian atas gapura (Maruti,
2003). Gapura gading menghubungkan keraton dengan Jalan Veteran.
Bangunan tradisional Jawa merupakan bangunan yang menjadi dasar pada
bangunan-bangunan Keraton Surakarta. Tata ruang bangunan tradisional Jawa
Tengah terdiri dari lima bagian ruang yaitu Pendapa, Pringgitan, Griya Ageng,
Gandok dan Pawon. Keraton Surakarta menggunakan konsep bangunan yang
sama dengan tata ruang bangunan tradisional Jawa. Analogi bangunan di Keraton
Surakarta dengan bangunan rumah tradisional Jawa disajikan pada Gambar 16.
Pandapa merupakan bangunan yang terletak paling depan dengan saka/tiang
sebagai penopangnya, pandapa biasanya dilengkapi dengan atap berbentuk
limasan dan digunakan sebagai tempat berkumpul maupun tempat menerima
37
tamu. Pringgitan adalah ruang penghubung antara Pendapa dengan Griya Ageng
yang merupakan pusat maupun inti dari kegiatan keluarga di rumah. Griya Ageng
terbagi menjadi dua, bagian depan memiliki luasan lebih besar dan digunakan
untuk ruang berkumpul keluarga, sedangkan bagian belakang terdiri dari tiga
ruangan, yaitu Krobongan, Senthong Tengen/kanan dan Senthong Kiwa/kiri
(Setiawan, 2000). Selanjutnya, Gendok yang berada di sisi kiri dan kanan Griya
Ageng yaitu ruang yang digunakan sebagai kamar anggota keluarga dan Pawon
ruang yang letaknya paling belakang yang merupakan sebuah dapur.
Gambar 16. Analogi Tata Letak Bangunan Keraton dan Rumah adat
Sumber : Setiawan (2000)
Terdapat lima bentuk atap pada bangunan pokok rumah adat Jawa, yaitu
Panggungpe, Kampung, Tajug , Limasan dan Joglo. Hal ini diterapkan pada
bentuk bangunan di Keraton Surakarta, raja tidak diperbolehkan mendirikan
bangunan tempat tinggal dengan atap limasan atau joglo atau kampung, melainkan
dengan sinom mangkurat untuk Sasana Prabasuyasa. Bangunan limasan maupun
joglo digunakan untuk bangunan pelengkap saja (Setiawan, 2000). Masing-
38
masing bangunan memiliki latar belakang sosial yang disesuaikan dengan status
sosial pemilik rumah. Ronald (2005) menjelaskan bahwa bentuk bangunan rumah
memiliki status sosial tersendiri, seperti rumah tipe Joglo merupakan rumah
dengan pemilik berstatus sebagai bangsawan, rumah tipe Limasan dimiliki oleh
masyarakat menengah dan bentuk kampung dimiliki oleh masyarakat kebanyakan.
Masyarakat Jawa telah lama menggunakan kayu sebagai bahan baku dasar dalam
pembuatan rumah.
Arsitektur Jawa di Indonesia sebagian besar diterapkan pada bangunan
rumah tinggal dan sebagian lain adalah pada bangunan peribadatan, monumen
atau makam leluhur, pasar atau sejenis bangunan yang lekat sekali dengan
kebutuhan sehari-hari suku bangsa Jawa. Bagi masyarakat Jawa, rumah atau
tempat tinggal bukanlah sekedar tempat untuk berlindung dari segi fisik saja,
namun juga merupakan suatu tempat yang dapat mengakomodasi kegiatan
spiritual maupun ritual sesuai kepercayaan mereka. Masyarakat Jawa terkenal
memiliki kepercayaan tersendiri dalam melakukan kegiatan, begitu juga dalam
membangun sebuah rumah. Maka untuk mendirikan sebuah rumah, dilakukan
perhitungan dimana akan diletakkan pintu, jendela dan sebagainya, tidak
dilupakan diadakannya sesajen agar pembangunan rumah berjalan lancar.
Bangunan tempat tinggal dengan konsep bangunan rumah adat Jawa/
tradisional Jawa hanya dimiliki oleh beberapa kalangan saja. Seiring dengan
perkembangan zaman dan adanya proses globalisasi, maka banyak masyarakat
yang tidak menggunakan konsep bangunan seperti ini lagi. Hal ini dikarenakan
faktor ekonomi dan juga lahan yang tersedia sudah sangat terbatas, karena
bangunan dengan konsep rumah adat memerlukan lahan yang cukup luas.
4.1.3.3. Karakteristik Ruang Terbuka Hijau Keraton Surakarta
Ruang terbuka hijau di Keraton Surakarta dihiasi oleh tanaman-tanaman
indah yang selain memiliki fungsi ekologis juga memiliki nilai simbolik. Ruang
terbuka hijau di Keraton Surakarta terdiri dari Alun-alun lor (utara), Alun-alun
Kidul (selatan) dan juga halaman maupun pelataran yang berada di Keraton
Surakarta beserta elemen-elemen penyusun ruang terbuka hijau tersebut.
39
1. Alun-alun Lor
Alun-alun Lor merupakan sebuah lahan terbuka dengan hamparan pasir.
Saat ini Alun-alun Lor maupun Alun-alun Kidul Keraton Surakarta sudah
dipenuhi oleh rumput hijau. Pada zaman dahulu, alun-alun merupakan suatu
tempat yang sangat lapang dengan permukaan dihampari oleh pasir. Konon pasir
yang menutupi lahan alun-alun merupakan pasir yang berasal dari Pantai Selatan
Jawa. Pada siang hari, pasir akan menyerap panas, sehingga akan terpantulkan
udara yang panas. Namun, pada malam hari pasir akan membawa udara yang
sangat menyejukkan. Keadaaan siang dan malam tersebut melambangkan bahwa
di dunia terdapat keadaan yang saling berlawanan yaitu ada hal baik dan juga hal
buruk (Nitinagoro, 2011).
Nitinagoro (2011) menyatakan bahwa pada Alun-alun Lor terdapat
beberapa pasang pohon beringin kembar. Pohon beringin yang memiliki tajuk
yang besar dan rindang memiliki perlambangan sebagai pengayoman,
kewibawaan dan kehidupan. Setiap pohon beringin yang ditanam memiliki
julukan tersendiri, seperti pohon beringin yang berada pada pelataran Gapura
Gladag yang bernama Wok yang artinya wanita dan Jenggot yang artinya pria.
Kedua beringin tersebut merupakan simbol peringatan bahwa asal kehidupan
diciptakan Allah melalui pria dan wanita (ayah dan ibu). Sehingga, kedua pohon
beringin ini merupakan lambang kesuburan. Dua pohon beringin kembar yang
berada dibatas ruang Alun-alun Lor bagian selatan, yaitu pohon beringin Gung
yang berarti tinggi ditanam di sebelah timur alun-alun dan pohon beringin Binatur
yang berarti pendek ditanam di sebelah barat alun-alun. Kedua beringin ini
memiliki arti bahwa Keraton Surakarta adalah duwur tan ngungkul-ngungkuli,
andap tan keno kinungkulan (tinggi yang tidak berlebihan dan rendah namun tidak
boleh ada yang merendahkan).
Terdapat dua buah beringin kembar yang terletak di tengah alun-alun.
Beringin tersebut dibawa dari Keraton Kartasura. Kedua pohon beringin dipagari
dengan pagar besi sehingga disebut sebagai beringin kurung. Beringin kurung
memiliki filosofi tersendiri yaitu kesempurnaan hidup yang harus dicapai oleh
manusia dan bahwa dalam kehidupan ini manusia selalu memilik batasan maupun
kekurangan dan tidak dapat bertingkah-laku semaunya, hal ini dilambangkan
40
dengan pagar besi yang mengurungi kedua beringin tersebut. Pohon beringin
kurung dapat dilihat pada Gambar 17. Pohon beringin ini diberi nama beringin
Dewandaru atau Tejadaru ditanam disebelah kanan dan beringin Jayadaru
ditanam di sebelah timur Alun-alun Lor.
Gambar 17. Pohon Beringin Kurung
Saat ini pohon beringin dari pelataran Gapura Gladag hingga alun-alun
masih berdiri tegak dan menjadi ciri khas tersendiri dari Keraton Surakarta. Alun-
alun Lor mengalami sedikit perubahan dengan kondisi terdahulu. Saat ini terdapat
sebuah jalur pedestrian yang ditanami oleh tanaman palem raja. Pada saat ini
kondisi Alun-alun lor Keraton Surakarta cukup memprihatinkan. Alun-alun lor
digunakan menjadi lahan parkir bagi kendaraan wisatawan yang mengunjungi
keraton sehingga banyak rumput yang rusak dan terdapat beberapa infrastruktur
pada alun-alun yang sudah tidak berfungsi kembali, seperti lampu taman maupun
perkerasan yang mulai rusak.
2. Pelataran Setinggil Lor
Pelataran Setinggil Lor/utara yang terletak mengelilingi Setinggil Lor
merupakan hamparan pasir yang ditumbuhi oleh berbagai pepohonan. Pelataran
Setinggil Lor digunakan oleh raja sebagai tempat duduk untuk melihat tugu yang
berada di hadapan Balaikota Surakarta. Pelataran Setinggil Lor menggunakan
konsep kiblat papat kalima pancer, yang menempatkan Bangsal Saweyana
sebagai pancer dan dikelilingi oleh bangunan-bangunan yang menghadap kearah
pancer.
Pada kiri dan kanan Setinggil Lor ditanami oleh Pohon Soka (Parinarium
glabberinum). Aroma dari bunga soka sering digunakan oleh para ksatria untuk
menakuti binatang buas seperti harimau. Selain pohon soka, di Setinggil Lor juga
41
banyak terdapat pohon kepel (Stelechocarpus burahol) yang melambangkan
kesatuan (Setiawan,2000). Buah pohon kepel sering digunakan sebagai
penghilang bau badan. Pada Setinggil Lor juga banyak ditemukan pohon tanjung
(Mimusops elengi). Pohon tanjung dipercaya menjadi tempat yang disukai oleh
makhluk halus. Suasana di Setinggil Lor dapat dilihat pada Gambar 18.
(a) Deretan Pohon Kepel (b) Hamparan rumput
Gambar 18. Suasana di Setinggil Lor
3. Pelataran Kedathon
Pelataran kedathon merupakan sebuah halaman kecil dengan hamparan
pasir yang dapat ditemui pada saat melewati Kori Srimanganti dari arah utara.
Hamparan pasir ini ditumbuhi oleh tanaman sawo kecik, dapat dilihat pada
Gambar 19. Pohon sawo kecik ditanam oleh Susuhan Paku Buwana IX. Terdapat
sebanyak 77 buah pohon sawo kecik, hal ini dikarenakan pada saat penanaman
Paku Buwana IX sedang berumur 77 tahun 1893 M.
Gambar 19. Pohon Sawo kecik
Orang Jawa menganggap bahwa apabila menanam sawo kecik maka
dapat memberikan kebaikan. Pohon sawo kecik pada Sasana Saweka diharapkan
dapat menghilangkan niat buruk sebelum memasuki wilayah kedathon. Pohon
42
sawo kecik dipercaya menjadi pengharum alami dan buah sawo kecik sangat
digemari oleh para putri keraton karena memiliki khasiat untuk mengharumkan
tubuh dan konon daunnya dapat digunakan sebagai penurun penyakit kolesterol.
Pohon sawo kecil hingga saat ini masih terjaga keberadaannya dan sangat terawat.
4. Alun-alun Kidul
Alun-alun Kidul berada tepat dihadapan Setinggil Kidul. Alun-alun Kidul
hanya memiliki setengah luasan dari Alun-alun lor. Alun-alun kidul merupakan
hamparan rumput hijau dengan sepasang pohon beringin yang berada tepat
ditengah Alun-alun Kidul. Sama seperti Alun-alun Lor, halaman Alun-alun Kidul
dahulu merupakan hamparan pasir yang berasal dari pantai selatan. Pada Alun-
alun Kidul terdapat pula jalur pedestrian yang membelah sisi timur dan barat alun-
alun. Saat ini Alun-alun Kidul kerap digunakan untuk area berwisata oleh warga
Surakarta. Pada malam hari alun-alun sangat ramai oleh para pengunjung karena
banyak terdapat penjual-penjual makanan di lingkungan Alun-alun Kidul ini,
sehingga banyak sampah dan kotor.
4.1.3.4. Ornamen dan ragam hias Keraton Surakarta
Ornamen atau ragam hias adalah seni dekoratif yang digunakan untuk
memperindah suatu bangunan. Ornamen dapat berupa ukiran maupun pahatan dari
batu, kayu bahkan logam mulia. Sebuah bangunan memiliki ragam hias yang
berbeda dan disesuaikan dengan bentuk maupun arsitektur pada bangunan
tersebut. Pada Keraton Surakarta terdapat banyak bentuk ragam hias.
Ragam hias pada keraton merupakan bentukan dua dimensi maupun tiga
dimensi yang terinsprasi dari bentuk menyerupai flora dan fauna. Ragam hias
pada keraton banyak dipengaruhi oleh ragam hias bercorak Hindu, Budha, Islam
maupun Eropa. Ragam hias corak flora dan fauna ini dapat terlihat pada pilar-pilar
bangunan maupun atap bangunan sebagai penambah nilai estetika dari bangunan
Keraton Surakarta. Ragam hias pada keraton merupakan ukiran dan pahatan indah
menggunakan material alami yaitu kayu. Kayu merupakan material yang banyak
digunakan karena pada saat itu kayu merupakan material yang mudah didapatkan.
Ragam hias pada keraton terbagi menjadi empat jenis yaitu, ragam hias tumbuhan,
ragam hias ular naga, ragam hias burung dan Radya Laksana.
43
1. Ragam hias tumbuhan
Ragam hias tumbuhan merupakan ragam hias yang paling mendominasi di
lingkungan Keraton Surakarta. Ragam hias tumbuhan juga mengalami stilasi,
bagian yang diambil adalah buah, daun, maupun bunga saja. Ragam hias bunga
teratai banyak digunakan dan digambarkan dengan sangat indah. Menurut
Sunarman (2010), bunga teratai dianggap sebagai “bunga dari surga” atau nirwana
dan keraton dianggap sebagai surga. Ragam hias dari stilasi daun menghiasi pilar-
pilar dinding pada bangunan keraton. Pada pilar terdapat ornamen daun yang
merambat keatas dikenal dengan istilah sulur-suluran (Gambar 20).
Gambar 20. Sulur-suluran
Masyarakat Jawa mengenal falsafah hidup “kiblat papat lima pancer”
yang berarti empat penjuru dan berpusat di tengah yaitu pancer. Bahwa sesuatu
yang terarah pada Maha Kuasa harus menjadi satu “pancer” menyatunya segala
sesuatu pada diri kita untuk menuju pada Tuhan. Hal ini diterapkan pada ragam
hias bunga yang berpusat ditengah. Selain bunga ada juga ragam hias wajikan.
Ragam hias ini merupakan ragam hias yang berbentuk stilasi daun dan memusat
menuju pancer. Bentuk ragam hias wajikan adalah geometris dan menyerupai
belah ketupat sehingga dinamakan wajikan.
2. Ragam hias ular naga
Ragam hias ular naga merupakan perlambangan ragam hias yang
terispirasi dari hewan naga yang memiliki bentuk panjang dan pada bagian kepala
naga merupakan bagian yang banyak digunakan. Ragam hias ular naga digunakan
sebagai penghias keraton dan untuk menghiasi singgasana Sinuhun Paku Buwana
yang berada di Setinggil Lor dan disajikan pada Gambar 21.
44
(a) Ukiran Naga (b) Ukiran Naga di Bangsal Witono
Gambar 21. Ragam Hias Naga
Sumber : Aditya Darmasurya, 2011
3. Ragam hias burung
Ragam hias burung menghiasi keraton dalam bentuk ukiran-ukiran pada
ornamen pintu maupun hiasan lainnya. Ragam hias burung umumnya sudah
mengalami stilasi, yang diambil adalah bagian sayap, ekor maupun kepala saja.
Ragam hias burung dapat dilihat pada Gambar 22. Ragam hias burung khususnya
burung garuda telah menjadi bagian ragam kebudayaan Hindu di tanah Jawa
selama berabad-abad (Sunarman, 2010). Penggunaan ragam hias burung memiliki
filosofi bahwa burung merupakan hewan yang hidup berdampingan dan
berkelompok, hal ini memberi arti bahwa manusia sebaiknya hidup saling rukun
dan berdampingan (GPH Puger, 2012).
Gambar 22. Ukiran burung
4. Radya Laksana
Pada masa pemerintahan Susuhunan Paku Buwono X dilakukan perubahan
besar pada bangunan maupun ornamen Keraton Surakarta. Susuhan Paku Buwono
menciptakan suatu logo lambang kebesaran Keraton Surakarta yang disebut
dengan “Radya Laksana”. Radya memiliki arti Negara atau Rasta, sedangkan
Laksana memiliki arti perjalanan yang tulus arti dan lahir. Lambang tersebut
memiliki arti sebagai tuntunan hidup dengan tatanan Jiwa Budaya Jawi
(Nitinagoro, 2011). Lambang Radya Laksana dapat dilihat pada Gambar 23.
45
Lambang Radya Laksana merupakan lambang kebesaran Keraton Surakarta,
sehingga hanya kalangan kerabat keraton yang dapat menggunakan lambang ini,
sehingga Radya Laksana digunakan sebagai simbol identitas dan simbol estetik.
(a) Lambang (b) Ornamen/ukiran
Gambar 23 Radya Laksana
Sumber : Google.com
Lambang Radya Laksana banyak menghiasi bangunan-bangunan Keraton
Surakarta. Radya Laksana merupakan tuntunan hidup ajaran tentang kenegaraan
dan kehidupan (Setiawan, 2000). Radya Laksana terdiri dari sepuluh unsur yaitu,
mahkota, warna merah dan kuning, warna biru muda, matahari, bulan, binatang,
bumi, kapas, pita berwarna putih merah dan langit (Setiawan, 2000). Hal ini erat
hubungannya dengan hastabrata. Mahkota merupakan perlambangan dari seorang
raja dan sebagai simbol kebudayaan Jawa. Matahari, bulan dan bintang
merupakan lambang kehidupan. Warna merah dan kuning merupakan simbol
kesepuhan. Bumi yang dipaku merupakan bumi yang kokoh. Kapas dan padi
adalah lambang sandang dan pangan. Pita berwarna putih adalah lambang ayah
dan pita merah adalah lambang ibu. Langit maupun angkasa yang berwarna putih
dan biru dianggap dapat menolak hal-hal negatif.
Warna merupakan elemen penting yang menghiasi Keraton Surakarta.
Keraton Surakarta merupakan bangunan bersejarah yang didominasi dengan
warna biru dan putih. Pada masa pemerintahan Sinuhun Paku Buwana X (1892-
1939) terjadi perombakan besar pada Keraton Surakarta. Perombakan ini merubah
warna bangunan dengan biru dan putih. Warna biru dan putih diambil dari warna
langit, warna biru langit dianggap dapat menolak kenistaan dan juga
melambangkan sifat yang berwawasan luas dan pemaaf.
46
4.2 Kota Surakarta
4.2.1 Kondisi Umum Kota Surakarta
Kota Surakarta merupakan kota terbesar kedua di provinsi Jawa Tengah.
Kota Surakarta sebagai Pusat Kegiatan Nasional termasuk kedalam Kawasan
Subosukawonosraten (Kota Surakarta, Kab. Boyolali, Kab. Sukoharjo, Kab.
Karanganyar, Kab. Wonogiri, Kab. Sragen dan Kab. Klaten). Dalam area
kerjasama tujuh kabupaten/kota ini, Kota Surakarta menjadi penghubung bagi
daerah hinterland-nya. Kota Surakarta sering disebut sebagai pusat pertumbuhan
wilayah Jawa Tengah bagian selatan, dengan potensi ekonomi sangat tinggi,
khususnya di bidang industri, perdagangan, pariwisata dan jasa lainnya (Bappeda,
2012). Kota Surakarta secara geografis terletak antara 110˚45’15” dan 110˚45’35”
BT dan 7˚36’00” dan 7˚56’00” LS. Kota Surakarta dikelilingi oleh tujuh
kabupaten pendukung dan memiliki batas wilayah sebagai berikut :
Utara : Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Karanganyar
Timur : Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Sukoharjo
Barat : Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Sukoharjo
Selatan : Kabupaten Sukoharjo
Wilayah Kota Surakarta atau lebih dikenal dengan “Kota Solo” memiliki
luas 4.404,06 Ha dan terbagi menjadi lima wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan
Laweyan, Kecamatan Serengan, Kecamatan Pasar Kliwon, Kecamatan Jebres dan
Kecamatan Banjarsari. Keraton Surakarta Hadiningrat terletak pada Kelurahan
Baluwerti, Kecamatan Pasar Kliwon yang berada pada bagian selatan Kota
Surakarta. Seperti umumnya kota-kota di Indonesia, Kota Surakarta memiliki
iklim tropis dengan suhu rata-rata 24,8°C sampai 18,1˚C dengan kelembaban
udara berkisar antara 66-84% dan tekanan udara sebesar ±1.010 atmosfir. Kota
Surakarta terletak pada ketingian antara 80-130 meter di atas permukaan laut
(mdpl). Kemiringan lahan adalah 0% hingga 15% dan tergolong landai. Solo
merupakan sebuah kota yang dilewati oleh empat sungai utama, yaitu Bengawan
Solo, Kali Pepe, Kali Anyar dan Kali Jenes.
Keempat sungai ini sudah ada dari zaman kolonial dahulu dan memiliki
kontribusi besar bagi kota. Masing-masing sungai terletak pada posisi yang
berbeda dan memberi manfaat pada daerah sekitarnya sebagai sumber air maupun
47
saluran air alami. Kota Surakarta terletak di antara dua gunung berapi yaitu
Gunung Lawu (Kabupaten Karanganyar) di sebelah timur dan Gunung Merapi
serta Merbabu sebelah barat. Dengan posisi demikian maka Kota Surakarta
termasuk sebagai wilayah cekungan air. Terdapat beberapa badan air di Kota
Surakarta yang semua bermuara di Sungai Bengawan Solo. Peningkatan berbagai
aspek ekonomi menuntut peningkatan di bidang tranportasi, khususnya
penigkatan jalan. Panjang jalan di wilayah Kota Surakarta pada tahun 2009
mencapai 675,86 kilometer (Surakarta dalam Angka, 2009).
4.2.2 Tata Guna Lahan Kota Surakarta
Kota Surakarta didominasi oleh lahan-lahan terbangun yang semakin
padat. Sulit ditemukan lahan terbuka hijau di dalam kota. Dengan pertambahan
penduduk sebesar 0,37% per tahun membuat semakin banyak lahan yang
digunakan sebagai permukiman (BPS, 2011). Dominasi lahan terbangun di Kota
Surakarta seluas 3.704,45 Ha atau 84,11% dari luas total wilayah Kota Surakarta
(4.404,06 Ha). Padatnya lahan terbangun membuat bangunan-bangunan fisik yang
berada di kota tidak memiliki tata letak dan pola yang teratur. Permukiman yang
padat tidak memberi ruang lebih untuk adanya halaman maupun pola permukiman
yang jelas. Lahan tidak terbangun seluas 699,61 Ha (15,89 %).
Permukiman dengan kepadatan tinggi dengan 150 jiwa/Ha tersebar pada
bagian selatan kota yang meliput Kecamatan Pasar Kliwon, Kecamatan Serengan,
Kecamatan Laweyan meliputi Kelurahan Panularan, Purwosari, Bumi, Pajang dan
Kelurahan Sondakan. Permukiman kepadatan tinggi juga meliputi Kecamatan
Jebres yang terdiri dari Kelurahan Sewu, Gandekan, Jagalan, Tegalharjo,
Sudiroprajan dan Kepatihan Wetan. Pada Kecamatan Banjarsari meliputi
Kelurahan Kestalan, Ketelan, Tegalharjo dan Gilingan. Permukiman dengan
kepadatan sedang yaitu 75-150 jiwa/Ha tersebar pada bagian utara kota meliputi
Kelurahan Pucang Sawit, Purwodiningratan, Jebres, Mojosongo, Kepatihan
Kulon, Lawiyan, Penumping, Sriwedari, Kerten, Jajar, Keprabon, Timuran,
Stabelan, Mangkubumen, Punggawan, Manahan, Sumber dan Banyuanyar.
Permukiman dengan kepadatan rendah <75 jiwa/Ha meliputi Kelurahan
Karangasem dan Kelurahan Kadipiro.
48
Lanskap perkantoran dan perdagangan tersebar pada wilayah selatan kota.
Lanskap perkantoran dan perdagangan berkembang searah dengan infrastruktur
jalan. Perkantoran dan perdagangan terpusat pada Jalan Slamet Riyadi dan
berkembang disekitar keraton dan mangkunegaran. Lanskap fasilitas umum
seperti sekolah tersebar cukup merata di Surakarta. Penggunaan lahan di Surakarta
disajikan pada Tabel 5 dan peta tata guna lahan disajikan pada Gambar 24.
Tabel 5. Penggunaan Lahan di Surakarta.
Jenis Penggunaan Lahan
Kecamatan Total
(Ha) Laweyan Serengan
P.
Kliwon Jebres Banjarsari
Lahan
Terbangun
Perkantoran 45.3 2.7 17.86 38.35 5.47 109.68
Permukiman 724.26 290.37 271.49 1017 650.02 2953.37
Perdagangan/Jasa 70.19 33.19 34.43 105.4 32.71 275.94
Fasilitas
Pendidikan 65.26 13.64 10.79 130.3 26.68 246.68
Fasilitas
Peribadatan 4.69 1.8 4.13 5.35 4.53 20.5
Industri 40.5 3.62 3.04 27.39 19.15 93.7
Instalasi Pengolahan Limbah - - - 1.01 - 1.01
Gedung Olahraga 1.35 0.46 - 1.74 - 3.55
Lahan
Tidak
Terbangun
TPA - - - 20.82 0.72 21.54
Lapangan
Olahraga 14.86 2.07 10.35 9.16 2.83 39.27
Kebun Binatang - - - 15.67 - 15.67
Kolam/
6.91 0.92 - 8.37 1.76 17.96 Danau
Kuburan 15.1 2.79 1.52 44.05 26.05 89.51
Taman Kota 0.25 - - 7.9 0.49 8.64
Tanah Kosong 31.8 4.23 9.22 38.83 13.45 97.53
Tegalan 31.8 4.23 9.22 38.83 13.45 97.53
Sawah 50.08 - - 8.85 95.44 154.37
Sungai/
23 14.36 8.09 76.76 35.4 157.61 Tanggul
Jumlah 1125.35 374.37 380.15 1596 928.14 4404.06
Sumber : RTRW Kota Surakarta 2011-2031
49
50
4.2.3 Peraturan dan Kebijakan Pemerintah
Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Surakarta Tahun 2011-2031,
pemerintah Kota Surakarta memiliki kebijakan untuk melakukan revitalisasi
kawasan cagar budaya sebagai pusat kegiatan pariwisata, sejarah, budaya dan
ilmu pengetahuan. Kota Surakarta merupakan sebuah kota budaya yang memiliki
banyak peninggalan sejarah, bahkan sebagian besar pembentuk kota merupakan
bangunan-bangunan yang sudah ada semenjak zaman Keraton Surakarta dan
keberadaan Bangsa Belanda. Kebijakan dalam pelestarian terhadap bangunan-
bangunan bersejarah ditetapkan dalam Surat Keputusan Walikota Surakarta No.
No 646/116/1/1997. Surat Keputusan tersebut menetapkan sebanyak 73 benda
cagar budaya di Kota Surakarta meliputi Keraton Surakarta, Benteng Vastenburg,
sekolah, perkantoran, tempat peribadatan, gapura, monumen, jembatan, rumah
tinggal, ruang terbuka hijau (taman), pasar dan juga stasiun. Peta cagar budaya di
Kota Surakarta disajikan pada Gambar 26.
Keraton Surakarta sebagai benda cagar budaya menjadi daya tarik wisata
yang dilindungi oleh UU RI No.11 Tahun 2010. Dalam upaya pelestarian budaya
Jawa, dilakukan penetapan kebijakan oleh pemerintah Kota Surakarta dengan
penetapan Surat Keputusan Walikota yang mewajibkan kantor-kantor
pemerintahan maupun swasta untuk menggunakan aksara Jawa dalam penulisan
papan nama lembaga tersebut. Kebijakan ini dilakukan sejak tanggal 17 Februari
2008. Sehingga, pada setiap bangunan perkantoran terdapat tulisan aksara Jawa,
hal ini juga di adopsi oleh pertokoan besar di Surakarta (Gambar 25).
(a) Balaikota Surakarta (b)Pusat perbelanjaan di Surakarta
Gambar 25. Penulisan aksara Jawa
51
52
4.2.4 Sejarah Perkembangan Lanskap Kota Surakarta
Kota Surakarta atau dikenal dengan nama Kota Solo, memiliki sejarah
yang panjang sebelum menjadi kota yang berpengaruh di Jawa Tengah. Kota
Surakarta banyak mengalami perubahan pada bentukan lanskap dan kehidupan
sosial masyarakat didalamnya. Terbentuknya Kota Surakarta tidak lepas dari
keberadaan Keraton Surakarta Hadiningrat pada tahun 1745. Keberadaan Keraton
dengan tata cara dan konsep tersendiri memberi dampak pada lanskap kota yang
menjadi ciri khas dari Kota Surakarta.
Sebelum adanya Keraton Surakarta, Kota Surakarta adalah sebuah desa
yang terletak di persimpangan antara dua buah sungai, yaitu Bengawan Solo dan
Sungai Pepe, desa ini bernama Desa Sala. Desa Sala merupakan dataran rendah
dengan banyak rawa, sehingga pada musim penghujan sering terjadi banjir. Desa
Sala memiliki batas pada sebelah utara dengan Sungai Pepe, sebelah timur
Bengawan Beton, sebelah selatan dengan Sungai Wingka dan sebelah barat
berbatasan dengan liku-liku sungai mulai dari Sungai Pepe turun ke selatan
dengan Sungai Wingka (Sajid, 1984). Kondisi masyarakat desa saat itu
didominasi oleh suku Jawa yang kental dengan nuansa tradisional dan kejawen.
Hal ini membentuk lanskap Desa Sala menjadi suatu kesatuan dengan elemen
pembentuk antara lain sungai, sawah, hutan dan bangunan pemukiman yang
tradisional.
Pemerintahan Keraton Surakarta masih berada di bawah kedaulatan
pemerintah Hindia Belanda, yang dikenal dengan nama VOC sebelum tahun
1800. Dengan kedudukan seperti ini maka rakyat yang berada di luar wilayah
kerajaan diperintah langsung oleh pemerintahan VOC. Pada tahun 1745 Keraton
Surakarta memulai masa pemerintahan di Kota Surakarta. Keberadaan keraton
membuat pusat aktivitas masyarakat menjadi terpusat di wilayah Keraton
Surakarta. Keraton Surakarta merupakan sebuah kerajaaan Islam yang merupakan
rintisan dari Kerajaan Majapahit yang dahulunya menganut kepercayaan Hindu
yang hingga saat ini banyak mewariskan ilmu-ilmu yang diterapkan pada
kehidupan sehari-hari maupun dalam arsitektur dan tata ruang wilayahnya. Hal ini
membuat keraton memiliki ciri khas dalam membentuk wilayahnya.
53
Keberadaan VOC semenjak tahun 1602 hingga 1800 memberi banyak
pengaruh dan membuat perubahan pada lanskap maupun tata guna lahan di Kota
Surakarta. Pemerintahan VOC di Kota Solo semakin mendominasi, hal ini
mengakibatkan terciptanya Perjanjian Giyanti dan Perjanjian Salatiga pada tahun
1755. Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755 membuat Keraton Surakarta
Hadiningrat membagi daerah kekuasannya dan dipimpin oleh Pangeran
Mangkubumi dan mendirikan Kesultanan Yogyakarta Hadiningrat. Pada tahun
1757 pihak VOC membagi kembali wilayah Kasunanan Surakarta dengan Raden
Mas Said yang kemudian bergelar Kanjeng Adipati Arya Mangkunegara I dan
mendirikan Pura Mangkunegaran. Sejak keberadaan Pura Mangkunegaran, Kota
Surakarta seperti memiliki dualisme kepemimpinan, sehingga pusat kegiatan
terpusat pada Keraton Surakarta dan Pura Mangkunegaran (Zaida, 2004). Kedua
wilayah ini berkembang dengan memiliki ciri yang berbeda dari setiap kerajaan
yang berkuasa.
Sejak pemerintahan Hindia-Belanda yang dipimpin oleh Gubernur Jendral
Deandles maka pada tahun 1810 dibangun sebuah jalan yang memanjang dari
barat menuju timur di Kota Surakarta, jalan ini dibangun di atas Sungai
Bathangan. Jalan yang dikenal dengan nama Jalan Slamet Riyadi ini secara tidak
langsung menjadi pemisah antara daerah kekuasaan Keraton Surakarta di selatan
jalan dan wilayah kekuasan Pura Mangkunegaran di sebelah utara. Peta Kota
Surakarta pada awal tahun 1800 disajikan pada Gambar 29. Pada tahun 1864 jalur
transportasi kereta api juga mulai merambah Kota Solo yang menghubungkan
Semarang dan Surakarta (Iqbal, 2010).
Lebih lanjut Zaida (2004) menyatakan bahwa pada bagian utara Jalan
Slamet Riyadi dikenal dengan Kampung Lor, yang menjadi kekuasaan
mangkunegaran. Sebagian besar pihak Hindia-Belanda bermukim di Kampung
Lor ini. Kampung Lor berkembang menjadi lebih modern dengan banyak
mendapat pengaruh dari luar. Pada bagian selatan Jalan Slamet Riyadi, dikenal
dengan nama Kampung Kidulan yang merupakan daerah kekuasaan Keraton
Surakarta. Kampung Kidulan memiliki tipe perkembangan yang konservatif,
klasik dan tidak menerima akan pengaruh luar. Kampung Kidulan dianggap
sebagai wilayah yang sakral karena pengaruh kuat dari Keraton Surakarta.
54
Pemerintahan Hindia Belanda di Kota Solo memberikan pengaruh yang
besar terhadap lanskap kota maupun kehidupan sosial masyarakat. Invasi
kekuasaan barat di bawah pemerintahan Hindia-Belanda mengatur penataan kota
menyerupai kota modern Eropa. Simbol-simbol masyarakat yang kapitalis
diciptakan seperti adanya bangunan perkantoran, loji, balai kota, bank, benteng,
gereja, jalur kereta api, stasiun maupun bangunan lain yang sebelumnya tidak
dikenal (Gunawan, 2010).
Kota Solo yang secara geografis terletak di lembah dan tempuran sungai,
sering sekali terjadi banjir. Maka pada awal tahun 1900 pihak Belanda, bersama-
sama Kasunanan dan Mangkunegaran melakukan proyek besar penganggulangan
bahaya banjir, baik berupa pembuatan kanal, pembuatan sungai baru atau
pembuatan tanggul. Pada bagian utara kota, Kali Pepe dipotong oleh sungai baru,
yang kemudian disebut sebagai Kali Anyar, sehingga air bah tidak memasuki kota
melainkan dialirkan melalui luar kota, dan mengikuti Kali Anyar yang bermuara
di Bengawan Solo. Pada bagian selatan kota, Kali Laweyan juga dipotong oleh
sungai baru dan ditambahi dengan tanggul yang menuju Bengawan Solo, yang
kemudian disebut sebagai Kali Tanggul, yang berfungsi menahan air bah dari Kali
Laweyan. Sedangkan pada sisi timur kota, dibangun tanggul yang mendampingi
Bengawan Solo, sehingga luapan air sungai ketika banjir tidak masuk kota
(Qomarun 2007).
Pada awal abad 19 untuk pertama kalinya pemerintah Belanda berhasil
melakukan politik ruang yang dikenal dengan istilah Wijkenstelsel, yaitu
pembagian wilayah berdasarkan etnik tertentu yang diharuskan tinggal di
perkampungan-perkampungan tertentu agar mudah diawasi dan tidak
membahayakan kepentingan pemerintah kolonial Belanda. Wilayah Chineesewijk
untuk Bangsa Cina ditempatkan di utara Sungai Pepe dan disekitar Pasar Gedhe,
wilayah Arabiswijk yaitu membentang dari timur Gladag hingga Pasar Kliwon
untuk Bangsa Arab, wilayah Europeeschewijk untuk Bangsa Belanda terdapat di
Loji Wetan, Jebres serta Banjarsari, dan selebihnya merupakan permukiman
masyarakat pribumi. Sehingga tercipta budaya campuran yang unik di Solo.
Morfologi perubahan pada Kota Surakarta sejak tahun 1500 hingga tahun 2000
disajikan pada Gambar 27.
55
Keterangan : (1) Kampung Nusupan, (2) Bandar Kabanaran, (3) Kampung Arab,
(4) Kampung China, (5) Kampung Betan, (6) Benteng Vastenberg, (7) Keraton
Surakarta, (8) Kampung Eropa, (9) Pura Mangkunegaran, (10) Taman Sriwedari
Gambar 27. Morfologi Kota Surakarta Tahun 1500-2000
(Sumber : Qomarun et.al, 2007)
56
Pada awal tahun 1900, Surakarta memiliki enam buah gapura utama
sebagai pintu masuk kota dengan bentuk dan ciri yang sama. Gapura merupakan
gerbang yang menghubungkan antara wilayah hinterland dan mancanegara
dengan negaragung yang merupakan pusat kota (Heins, 2004). Gapura didirikan
pada tahun 1847 yang menghubungkan antara kota (negaragung) dengan
kabupaten-kabupaten sekitarnya. Keraton Surakarta sebagai tempat tinggal
keluarga raja dilengkapi oleh Gapura Gladag di utara dan Gapura Gading di
selatan sebagai pintu masuk. Gapura lainnya yaitu Gapura Jurug, Gapura Kleco,
Gapura Kandhang sapi dan Gapura Mojo (Heins, 2004).
Gapura pertama adalah Gapura Jurug yang merupakan penghubung dan
pintu masuk bagi pendatang dari wilayah timur menuju kota. Saat ini Gapura
Jurug menjadi pembatas kota dengan Kabupaten Karanganyar. Gapura Kleco
merupakan salah satu gapura tertua dan terletak di sebelah barat kota berbatasan
dengan Kabupaten Sukoharjo. Selanjutnya adalah Gapura Kandhang Sapi dengan
ukuran yang lebih kecil dibandingkan dengan dua gapura sebelumnya. Gapura
Kandhang Sapi merupakan akses menuju kota dari utara, namun saat ini sudah
dibangun rumah sakit Dr. Oen yang berdekatan dengan gapura, sehingga gapura
menjadi tertutup oleh bangunan rumah sakit. Gapura Mojo merupakan gapura
yang menjadi pintu masuk dari arah selatan. Kondisi gapura yang masih terjaga
secara fisik menjadi landmark tersendiri bagi Kota Surakarta. Posisi masing-
masing gapura sebagai pintu masuk menuju kota disajikan pada Gambar 28.
Gambr 28. Tata Letak Gapura Keraton Surakarta
57
Pada tanggal 17 Agustus 1945 negara Indonesia resmi merdeka dengan
dicetuskan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Setelah kemerdekaan maka
Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta lebur menjadi suatu kesatuan bagian
Republik Indonesia. Pihak Keraton Surakarta tidak memperoleh status ”Daerah
Istimewa”. Sehingga sistem pemerintahan tidak lagi melibatkan pihak keraton
maupun Mangkunegaran. Sri Susuhunan Paku Buwono XII dan Adipati
Mangkunegaran (Sri Mangkunegara VIII) masih bertahta di keraton dan juga Pura
Mangkunegaran, namun kekuasaannya hanya berbatas pada wilayah spiritual serta
kebudayaan dan hanya meliputi kaum kerabat (Maruti, 2004).
Perkembangan Kota Surakarta terbagi menjadi dua yang dipisahkan oleh
Jalan Slamet Riyadi (Zaida, 2004). Pada selatan jalan yaitu wilayah yang
berkembang lebih cepat dan dianggap sebagai pusat perekonomian karena banyak
kegiatan ekonomi yang terjadi dengan banyaknya pasar dan perkantoran.
Sedangkan pola pengunaan lahan pada bagian utara cenderung lebih modern
dengan pembangunan sarana dan prasarana fisik kota seperti jaringan listrik,
jaringan air maupun jaringan transportasi. Pada bagian utara Kota Surakarta
terdapat banyak sarana pendidikan yang dimulai sejak jenjang taman kanak-kanak
hingga universitas. Pada bagian utara kota terdapat lahan-lahan kosong sehingga
banyak muncul pemukiman baru. Kalianyar yang dibangun pada tahun 1910
secara tidak langsung menjadi pembatas fisik kota Surakarta pada bagian utara.
Pada bagian utara Kalianyar terdapat banyak lahan-lahan terbuka dan belum
banyak dibangun fasilitas-fasillitas umum sehingga pada kawasan ini sangat
sedikit kegiatan yang dilakukan masyarakat.
Perkembangan Kota Surakarta diarahkan menuju tahap modernisasi,
dibuktikan dengan bangunan-bangunan modern yang kontras dengan kondisi
lingkungan disekitarnya. Pada tahun 1988 terjadi kerusuhan besar di Surakarta
yang menyebabkan banyak infrastruktur kota yang rusak. Setelah kerusuhan yang
terjadi maka dalam beberapa waktu kemudian dilakukan pembangunan kembali
dengan lebih memperhatikan nilai-nilai tradisional dan mengadopsi gaya
arsitektur pada Keraton Surakarta. Dengan demikian terbentuk wajah kota yang
memiliki perpaduan antara arsitektur modern dengan arsitektur tradisional.
58
4.2.3 Persepsi Masyarakat terhadap Keraton Surakarta
Masyarakat merupakan komponen penting dari suatu kota. Masyarakat
merupakan pelaku sejarah dan budaya dari suatu kawasan. Keinginan dan harapan
dari masyarakat Kota Surakarta berperan penting guna kegiatan pelestarian
kawasan, sehingga dilakukan penyebaran kuisioner terhadap 63 responden yang
tersebar di seluruh penjuru Kota Surakarta. Responden yang didapatkan memiliki
berbagai rentang usia, etnis dan perkerjaan. Hasil kuisioner diharapkan dapat
memberikan informasi mengenai persepsi masyarakat terhadap Keraton Surakarta
dan seberapa penting elemen-elemen keraton untuk ditampilkan pada Kota
Surakarta. Hasil kuisioner juga akan menjadi pertimbangan dalam menentukan
tindakan pelestarian guna menciptakan Kota Surakarta yang beridentitas.
Responden kuisioner tersebar dari lima kecamatan yang ada di Kota
Surakarta, sebanyak 32% responden dari Kecamatan Laweyan, 16% dari
Kecamatan Serengan, 19% dari Kecamatan Pasar Kliwon, 16% dari Kecamatan
Jebres dan sebesar 17% dari Kecamatan Banjarsari. Sebagian besar responden
telah bertempat tinggal do Kota Surakarta selama lebih dari 15 tahun. Masyarakat
asli Surakarta merupakan saksi hidup perkembangan kota dari masa ke masa.
Sebanyak 81% orang mengetahui sejarah Kota Surakarta.
Kota Surakarta yang dikenal dengan slogan Kota Budaya, merupakan
sebuah kota yang memiliki nilai budaya kuat. Hal ini dapat tercermin juga dari
kegiatan sehari-hari masyarakat yang masih melakukan aktivitas budaya, seperti
menggunakan bahasa jawa, busana tradisional bahkan masih melakukan upacara-
upacara adat seperti dalam upacara pernikahan, kematian maupun upacara
kelahiran. Sebanyak 40% masyarakat masih melakukan kegiatan tersebut. Kota
Surakarta sebagai kota budaya dengan keberadaan Keraton Surakarta yang
menjadi pusatnya, sebanyak 96.8% masyarakat meyakini bahwa Kota Surakarta
memiliki budaya yang khas bila dibandingkan dengan kota-kota lain di Pulau
Jawa.
Selama responden bertempat tinggal di Kota Surakarta, mereka
berpendapat bahwa Kota Surakarta telah banyak mengalami perubahan, sebagian
beranggapan perubahan ini menjadi lebih nyaman (65%) dan ada pula yang
beranggapan perubahan ini menjadikan Kota Surakarta menjadi tidak nyaman lagi
59
(35%). Dari perubahan yang terjadi, perubahan yang paling dirasakan adalah pada
lingkungan/lanskap kawasan (49%), sarana dan prasarana (16%), jumlah
penduduk (23%) dan pada aktivitas wisata (12%). Perubahan pada kota
mengakibatkan suasana dan situasi yang ada saat ini juga mengalami perubahan,
responden telah memberikan pendapat mengenai situasi lanskap kota saat ini.
Karakter lanskap masa lalu sedikit banyak diketahui oleh responden. Pendapat
masyarakat terhadap situasi lanskap saat ini dan karakter lanskap masa lalu
disajikan pada Tabel 6.
Tebel 6. Pendapat masyarakat terhadap Lanskap Kota Surakarta
No Model Wawancara Frekuensi
(Orang)
Presentase
(%)
1 Situasi lanskap Kota
Surakarta saat ini Indah 48 76%
Unik 46 73%
Menarik 42 %
Membanggakan 46 73%
Bernilai budaya tinggi 54 86%
Bernilai sejarah tinggi 45 71%
Sesuai untuk wisata 44 70%
Kelestarian terjaga 39 62%
2 Kondisi lanskap masa
lalu Mengetahui 22 35%
3 Kondisi karakter
budaya Kota Surakarta
di masa lalu
Mengetahui 31 49%
4 Karakter budaya Kota
Surakarta masa lalu
Budaya Jawa secara
umum 8 26%
Budaya Jawa khas
Surakarta 11 35%
Budaya Keraton
Surakarta 10 32%
Budaya Eropa 0 0%
Budaya campuran Jawa
dan Eropa 2 7%
Pada saat ini karakter budaya pembentuk kota dapat dilihat dari kebiasaan
hidup masyarakat (27,3%), bangunan tradisional dan semimodern (25%), dari
aktivitas sehari-hari seperti berdagang (24,4%) dan dapat dilihat dari kondisi alam
(23,2%) yang membentang di Kota Surakarta. Masyarakat memiliki beberapa
60
pendapat mengenai Keraton Surakarta. Sebanyak 67% berpendapat bahwa keraton
merupakan suatu situs cagar budaya, sebanyak 15% berpendapat bahwa keraton
merupakan sumber kebudayaan bagi masyarakat Jawa, sebanyak 12% masyarakat
menyatakan bahwa keraton merupakan cikal bakal dari Kota Surakarta dan
sebesar 6% masyarakat berpendapat bahwa Keraton Surakarta adalah cerminan
kejayaan kerajaan masa lampau. Namun, hanya sebesar 19% responden yang
mengetahui mengenai konsep lanskap dari Keraton Surakarta. Elemen yang
diketahui oleh masyarakat adalah pada ornamen, warna, vegetasi khas keraton
yang berupa pohon beringin, model dan susunan bangunan.
Perkembangan Kota Surakarta yang merupakan perkembangan dari
keberadaan Keraton Surakarta juga dinyatakan harus mempertimbangkan
mengenai keberadaan Keraton Surakarta dan hal ini juga sejalan dengan pendapat
responden yaitu sebesar 81%. Dengan perlu dipertimbangkannya keberadaan
Keraton Surakarta maka dalam perkembangan Kota Surakarta sebesar 86%
responden berpendapat bahwa perlu ditampilkan elemen-elemen lanskap Keraton
Surakarta pada kota, seperti bentuk bangunan tradisional seperti atap joglo, motif
dan ragam hias pada bangunan, ukiran-ukiran maupun kesenian tradisional
Keraton Surakarta.
Responden mengharapkan Kota Surakarta yang bersih, indah dan nyaman
dengan tetap mengedepankan nilai-nilai budaya dan juga tata krama yang baik
dalam kehidupan bermasyarakat. Masyarakat juga mengharapkan selama
pembangunan kota selalu memperhatikan ciri khas dari nilai-nilai budaya yang
sudah dimiliki, yaitu nilai budaya dari Keraton Surakarta, seperti dalam
pembangunan bangunan-bangunan baru perlu diperhatikan nilai arsitektur
bangunan kuno seperti rumah joglo, limasan dan lainnya. Dalam pembangunan
Kota Surakarta selanjutnya harus diperhatikan kelestarian dari bangunan-
bangunan kuno dan tidak meninggalkan budaya Keraton Surakarta.
61
4.4 Analisis Pengaruh Konsep Lanskap Keraton pada Lanskap Kota
Surakarta
Kota Surakarta dikenal dengan kota budaya dimana Keraton Surakarta
merupakan pusat dari kebudayaan. Namun, pengaruh budaya tidak sama di setiap
bagian kota. Ada yang mendapat pengaruh kuat dan ada yang mendapatkan
pengaruh yang lemah. Sehingga dilakukan identifikasi dan penilaian terhadap
struktur lanskap Kota Surakarta. Analisis elemen lanskap dilakukan guna
mengetahui bagian-bagian kota yang terpengaruh oleh Keraton Surakarta dan
faktor-faktor yang mempengaruhi dari sebaran pengaruh tersebut. Analisis elemen
lanskap Kota Surakarta terbagi menjadi dua tahap yaitu analisis sebaran lanskap
dan analisis pola sebaran lanskap.
4.4.1 Analisis Jenis Pengaruh Lanskap
Struktur lanskap yang diidentifikasi adalah lanskap permukiman, lanskap
perkantoran dan perdagangan, lanskap fasilitas umum dan lanskap jalan.
Pemetaan terhadap lanskap Kota Surakarta dilakukan dengan penilaian terhadap
masing-masing struktur lanskap dengan kriteria-kriteria penilaian yang meliputi
asosiasi kesejarahan, gaya arsitektur beserta ornamen, kesamaan jenis dan desain
elemen lanskap yang digunakan.
4.4.1.1 Lanskap Permukiman
Lanskap permukiman mendominasi penggunaan lahan di Kota Surakarta,
terbukti dengan penggunaan lahan sebesar 62% dari luas total kota digunakan
sebagai lahan permukiman. Hal ini berakibat pada penggunaan lahan yang padat
permukiman dan menghilangkan penggunaan pekarangan, hanya terdapat sedikit
masyarakat yang masih memiliki pekarangan di halaman rumah mereka.
Permukiman yang berada di Surakarta sebagian besar merupakan permukiman
lama yang merupakan tempat tinggal dari para abdi Keraton Surakarta, posisi
permukiman tradisional Jawa mendapat pengaruh dari keraton sesuai dengan
konsep kiblat papat kalima pancer. Namun perkembangan permukiman di Solo
banyak menggunakan gaya arsitektur baru yang lebih modern.
Penilaian pada elemen lanskap permukiman dilakukan dengan beberapa
kriteria yang telah disajikan pada Tabel 2. Dengan menggunakan kriteria tersebut
maka dapat diketahui lanskap permukiman yang mendapatkan pengaruh dari
62
Keraton Surakarta. Penilaian lanskap permukiman pada Kota Surakarta dibagi
terbagi menjadi beberapa zona penilaian, zona penilaian ini disesuaikan dengan
jumlah kelurahan yang berada di Kota Surakarta. Hasil analisis pada lanskap
permukiman disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Permukiman
Kelurahan
Kriteria
Total Asosiasi
Kesejarahan
Tata
Ruang
Arsitektur
Bangunan
Ornamen
Bangunan
Kesamaan
jenis elemen
Law
eyan
Sondakan 1.2 0.1 0.6 0.45 0.45 2.8
Panularan 1.2 0.1 0.6 0.3 0.3 2.5
Penumping 1.2 0.1 0.4 0.45 0.45 2.6
Sriwidari 1.2 0.1 0.6 0.45 0.3 2.65
Laweyan 1.2 0.1 0.6 0.45 0.45 2.8
Purwosari 1.2 0.1 0.6 0.3 0.45 2.65
Bumi 1.2 0.1 0.4 0.3 0.45 2.45
Pajang 1.2 0.1 0.6 0.3 0.3 2.5
Kerten 1.2 0.1 0.4 0.3 0.3 2.3
Jajar 1.2 0.1 0.2 0.15 0.3 1.95
Karangasem 0.8 0.1 0.2 0.3 0.3 1.7
Ser
engan
Serengan 1.2 0.1 0.6 0.45 0.3 2.65
Kratonan 1.2 0.1 0.6 0.3 0.45 2.65
Kemlayan 1.2 0.2 0.6 0.3 0.3 2.6
Jayengan 1.2 0.1 0.6 0.3 0.45 2.65
Danukusuman 1.2 0.1 0.6 0.3 0.3 2.5
Tipes 1.2 0.1 0.6 0.3 0.3 2.5
Joyotakan 1.2 0.1 0.4 0.3 0.3 2.3
Pas
ar K
liw
on
Kauman 1.2 0.1 0.6 0.45 0.45 2.8
Baluwarti 1.2 0.3 0.6 0.45 0.45 3
Kampung Baru 0.8 0.1 0.6 0.45 0.45 2.4
Pasar Kliwon 1.2 0.1 0.4 0.45 0.45 2.6
Joyosuran 1.2 0.1 0.6 0.3 0.3 2.5
Sangkrah 1.2 0.1 0.4 0.45 0.3 2.45
Semanggi 1.2 0.1 0.4 0.45 0.3 2.45
Kedung Lumbu 1.2 0.2 0.4 0.3 0.45 2.55
Jeb
res
Sewu 1.2 0.1 0.6 0.3 0.45 2.65
Gandekan 1.2 0.2 0.6 0.3 0.15 2.45
Jagalan 1.2 0.1 0.6 0.3 0.3 2.5
Sudiroprajan 1.2 0.1 0.4 0.3 0.45 2.45
Purwodiningratan 1.2 0.1 0.6 0.3 0.3 2.5
Jebres 1.2 0.1 0.4 0.3 0.45 2.45
63
Tabel 7. Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Permukiman (Lanjutan)
Kelurahan
Kriteria
Total Asosiasi
Kesejarahan
Tata
Ruang
Arsitektur
Bangunan
Ornamen
Bangunan
Kesamaan
jenis elemen
Jeb
res
Kepatihan Wetan 0.8 0.1 0.4 0.3 0.3 1.9
Kepatihan Kulon 0.8 0.1 0.4 0.3 0.3 1.9
Pucang Sawit 1.2 0.1 0.6 0.3 0.3 2.5
Mojosongo 0.4 0.2 0.4 0.15 0.15 1.3
Tegalharjo 0.4 0.1 0.4 0.15 0.15 1.2
Ban
jars
ari
Keprabon 1.2 0.1 0.6 0.3 0.45 2.65
Mangkubumen 1.2 0.1 0.6 0.3 0.3 2.5
Punggawan 1.2 0.1 0.6 0.3 0.3 2.5
Nusukan 1.2 0.1 0.2 0.15 0.3 1.95
Setabelan 1.2 0.1 0.4 0.45 0.3 2.45
Timuran 1.2 0.2 0.6 0.3 0.3 2.6
Gilingan 1.2 0.1 0.4 0.15 0.3 2.15
Kadipiro 0.8 0.1 0.2 0.15 0.3 1.55
Ketelan 1.2 0.1 0.4 0.15 0.3 2.15
Kestalan 1.2 0.1 0.4 0.15 0.3 2.15
Sumber 0.4 0.1 0.4 0.15 0.3 1.35
Banyuanyar 0.4 0.1 0.4 0.15 0.3 1.35
Keterangan : Skor 1-1,7 = Rendah ; Skor 1,8-2,4 = Sedang; Skor 2,5-3 = Tinggi
Penilaian terhadap lanskap permukiman yang dilakukan dengan membagi
zona sesuai dengan jumlah kelurahan dapat dikelompokkan menjadi lima
kecamatan. Pada Kecamatan Laweyan dengan sembilan kelurahan memiliki
luasan permukiman sebesar 724,26 ha. Pada Kecamatan Serengan luasan
permukiman adalah sebesar 290,37 ha dan terbagi menjadi tujuh kelurahan. Pada
Kecamatan Pasar Kliwon dengan luasan permukiman sebesar 271,49 ha terbagi
menjadi sembilan jumlah kelurahan. Kecamatan Jebres memiliki luasan
permukiman yang paling besar, yaitu 1017,2 ha dan terbagi menjadi 11 kelurahan.
Pada Kecamatan Banjarsari luasan permukiman sebesar 650,02 ha dengan 13
kelurahan. Hasil analisis lanskap permukiman secara spasial disajikan pada
Gambar 29.
64
65
Hasil analisis menyatakan bahwa lanskap permukiman pada Kelurahan
Sondakan, Panularan, Penumping, Sriwedari, Laweyan, Purwosari, Bumi, Pajang,
Serengan, Tipes, Kratonan, Kemlayan, Jayengan, Danukusuman, Kauman,
Baluwerti, Pasar kliwon, Joyosuran, Sangkrah, Semanggi, Kedung Lumbu, Sewu,
Gandekan, Jagalan, Purwodiningratan, Sudiroprajan, Jebres, Pucang Sawit,
Keprabon, Mangkubumen, Stabelan, Punggawan dan Timuran memiliki nilai
pengaruh yang kuat dari Keraton Surakarta. Pada kelurahan tersebut merupakan
permukiman lama yang memiliki sejarah kuat dengan Keraton Surakarta.
Permukiman tersebut merupakan kawasan tempat tinggal bagi abdi dalem
kerajaan. Sehingga banyak ditemukan bangunan dengan gaya arsitektur
tradisional yang dilengkapi dengan ornamen/ragam hias bercirikan keraton.
Lanskap permukiman dengan nilai pengaruh sedang terdapat pada
Kelurahan Kerten, Karangasem, Joyotakan, Kampung Baru, Kepatihan Wetan,
Kepatihan Kulon, Nusukan, Gilingan dan Ketelan. Permukiman dengan pengaruh
sedang banyak terdapat pada wilayah utara dan selatan Keraton Surakarta. Pada
wilayah permukiman dengan nilai sedang, tata ruang maupun arsitektur bangunan
tidak mencirikan Keraton Surakarta. Bagian kota yang terdapat di bagian utara
keraton, dahulu merupakan wilayah kekuasaan milik mangkunegaran dan juga
tempat tinggal dari Belanda maupun Cina. Sehingga banyak ditemukan
permukiman dengan gaya arsitektur dan corak bergaya Indis dan Cina. Kediaman
bangsa Belanda di daerah Banjarsari dikenal dengan istilah Villapark.
Sedangkan permukiman dengan nilai pengaruh rendah banyak terdapat
pada kelurahan di Kecamatan Banjarsari dan Jebres. Permukiman dengan
pengaruh rendah meliputi Kelurahan Jajar, Mojosongo, Tegalharjo, Kadipiro,
Kestalan, Sumber dan Banyuanyar. Permukiman dengan pengaruh rendah tersebar
pada bagian utara kota. Permukiman yang berada pada wilayah utara merupakan
wilayah permukiman baru, sehingga tidak memiliki nilai kesejarahan yang
berhubungan secara langsung dengan Keraton Surakarta. Konsep tata ruang yang
dimiliki oleh Keraton Surakarta seperti kiblat papat kalima pancer maupun gaya
arsitektur keraton sudah jarang diterapkan pada lanskap permukiman. Dengan
perkembangan penduduk yang semakin meningkat dan kebutuhan lahan yang
semakin tinggi maka terjadi penggunaan lahan yang tidak terkonsep/teratur dan
66
masyarakat sudah mulai mengabaikan keberadaan konsep lanskap keraton.
Secara keseluruhan nilai pengaruh Keraton Surakarta terhadap lanskap
permukiman adalah sebesar 52% pengaruh kuat, 9% pengaruh sedang dan 39%
pengaruh rendah.
Perkembangan permukiman yang melebar menuju barat sejalan dengan
konsep tata ruang yang dimiliki oleh Keraton Surakarta, yaitu konsep kiblat
papat kalima pancer. Terdapat pemahaman bahwa arah timur dan barat
merupakan wilayah yang mencerminkan hubungan raja dengan rakyat, atau dapat
dikatakan hubungan raja dengan masyarakat dan kerabatnya (hablu minannas).
Sedangkan perkembangan pemukiman menuju utara yang meliputi Kecamatan
Jebres dan Kecamatan Banjarsari, terjadi setelah keberadaan pihak Belanda dan
juga mangkunegaran. Pada tahun 1910, setelah keberadaan Kali Anyar,
perkembangan permukiman semakin melebar menuju utara Kali Anyar dan
tercipta perkampungan-perkampungan baru di Kota Surakarta.
Bangunan pada Keraton Surakarta menggunakan tata ruang bangunan
tradisional Jawa dengan bentukan atap joglo maupun limasan. Pada lanskap
permukiman lama yang berada di selatan kota, bangunan dengan gaya arsitektur
tradisional Jawa masih banyak ditemukan. Salah satunya adalah Dalem
Purwodiningratan (Gambar 30) merupakan rumah tinggal dari kerabat raja.
(a) Bangunan Joglo (b) Pohon Beringin di halaman
Gambar 30. Dalem Purwodiningratan
67
4.4.1.2 Lanskap Perkantoran dan Perdagangan
Lanskap perkantoran dan lanskap perdagangan di Kota Surakarta memiliki
luas sebesar 10.8% dari luas total kota sebesar 4.404 m2. Penilaian dilakukan
dengan membagi zona sesuai dengan lima unit lanskap yang merupakan pusat
kegiatan pemerintahan dan perekonomian yaitu kantor pemerintahan, kantor
swasta, pertokoan, pasar dan hotel. Analisis terhadap lanskap perkantoran dan
pertokoan dinilai berdasarkan pada kriteria yang telah ditentukan pada Tabel 3.
Hasil analisis pada lanskap disajikan pada Tabel 8 dan secara spasial disajikan
pada Gambar 32. Penilaian pada masing-masing unit lanskap disajikan pada
Lampiran 4 hingga Lampiran 8.
Tabel 8. Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Perkantoran dan
Perdagangan
Unit Lanskap
Keriteria
Total Asosiasi
Kesejarahan
Posisi terhadap
Keraton Surakarta
Arsitektur
Bangunan
Kesamaan jenis
elemen lanskap
Kantor
Pemerintah 0.4 0.2 0.6 0.6 1.8
Kantor Swasta 0.4 0.2 0.6 0.6 1.8
Pertokoan 0.8 0.2 0.4 0.6 2
Pasar 0.8 0.2 0.6 0.6 2.2
Hotel 0.4 0.2 0.6 0.4 1.6
Keterangan : Skor 1-1,7 = Rendah ; Skor 1,8-2,4 = Sedang; Skor 2,5-3 = Tinggi
Lanskap perkantoran dan perdagangan di Kota Solo berpusat di kawasan
Jalan Slamet Riyadi hingga Jalan Jendral Sudirman. Perkembangan pada lanskap
perkantoran dan lanskap permukiman searah dengan perkembangan infrastruktur
jalan, sehingga membentuk pola sesuai dengan jalan yang dilewati. Lanskap pada
kantor-kantor pemerintahan seperti Balaikota (Gambar 31), kantor kecamatan
maupun kantor kelurahan memiliki tata ruang dan pola bangunan yang
mengadopsi konsep Keraton Surakarta, seperti konsep kiblat papat kalima pancer,
sehingga terbentuk keseragaman pada bangunan kantor pemerintahan. Dimana
bangunan-bangunan yang berada di dalam komplek Balaikota menghadap ke arah
pendapa besar yang berada di tengah sebagai pancer dan dilengkapi juga dengan
sepasang pohon beringin kurung dihadapan pendapa besar.
68
69
Tidak sedikit bangunan-bangunan lama peninggalan Belanda yang
digunakan sebagai kantor oleh swasta maupun pemerintah, seperti kantor PTPN
IX Surakarta yang menggunakan bangunan peninggalan pemerintah Belanda.
Sedangkan bangunan perkantoran baru memiliki gaya arsitektur modern yang di
kombinasikan dengan gaya arsitektur tradisional seperti pada Gambar 32 baik
pada bentuk atap maupun ragam hias. Beberapa kantor swasta seperti kantor bank
maupun hotel memiliki bangunan dengan gaya arsitektur modern, namun
menggunakan bentuk atap maupun ornamen dengan ciri khas keraton, yaitu
dengan mengadopsi bentuk atap limasan maupun joglo yang dilengkapi dengan
ornamen yang disebut kuku bima disetiap ujung atap.
(a) Balaikota Surakarta (b) Kantor Bank BCA
Gambar 32. Lanskap Perkantoran di Surakarta
Pada lanskap pertokoan, ornamen maupun gaya arsitektur tradisional
sudah banyak ditinggalkan. Lanskap pertokoan lebih banyak menggunakan gaya
bangunan ruko yang dahulu diperkenalkan oleh para pedagang Cina. Pada
pertokoan besar banyak digunakan penulisan nama dengan menggunakan huruf
jawa. Sedangkan pada pasar-pasar tradisional, gaya arsitektur tradisional masih
dipertahankan. Pada bangunan pasar yang baru digunakan sentuhan tradisional
pada bentuk atap dan juga ornamen bangunan yang mengadopsi gaya Keraton
Surakarta. Pasar-pasar tradisional di Kota Surakarta memiliki hubungan sejarah
yang kuat dengan keraton. Pasar-pasar tradisional sudah didirikan sejak awal
keberadaan keraton (Setiawan, 2000). Didirikannya pasar mencerminkan adanya
pelayanan dari pihak keraton untuk rakyat. Sehingga didirikan pasar-pasar
tradisional seperti Pasar Gede di utara, Pasar Kliwon di sebelah timur, Pasar
Gading di selatan dan Pasar Klewer disebelah barat dari Keraton Surakarta.
70
Pada bangunan-bangunan hotel di Surakarta sudah banyak meninggalkan
gaya tradisional. Bangunan perhotelan sudah tidak lagi menggunakan tata ruang
seperti keraton. Penilaian pada hotel berbintang satu hingga bintang lima
mendapatkan hasil bahwa pada bangunan perhotelan, elemen lanskap yang
ditemukan hanyalah bentuk bangunan dengan gaya tradisional yang diadopsi pada
bentuk atap maupun ornamen yang menghiasi taman, seperti jenis pohon dan
desain pada site furniture. Secara keseluruhan nilai pengaruh Keraton Surakarta
terhadap lanskap perkantoran dan pertokoan di Kota Surakarta sebanyak 64%
pengaruh kuat, 31% memiliki pengaruh sedang dan 5% memiliki pengaruh yang
rendah.
4.4.1.3 Lanskap Fasilitas Umum
Fasilitas umum merupakan hal penting pada suatu kota yang didirikan
untuk dapat dinikmati dan di akses oleh seluruh masyarakat kota. Dilakukan
penilaian terhadap fasilitas umum yang terdiri dari sarana pendidikan, sarana
kesehatan, taman kota, sarana transportasi yang terdiri dari stasiun dan terminal
dan tempat peribadatan. Hasil penilaian pada lanskap fasilitas umum disajikan
pada Tabel 9 dan secara spasial dapat dlihat pada Gambar 33. Penilaian pada
masing-masing unit lanskap disajikan pada Lampiran 9 hingga Lampiran 13.
Tabel 9. Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Fasilitas Umum
Unit Lanskap
Keriteria
Total Asosiasi
Kesejarahan
Posisi terhadap
Keraton Surakarta
Arsitektur
Bangunan
Kesamaan jenis dan
desain elemen
Sarana
Pendidikan 0.4 0.2 0.6 0.6 1.8
Taman Kota 0.8 0.2 0.6 0.6 2.2
Sarana
Transportasi 0.8 0.2 0.4 0.6 2
Fasilitas
Kesehatan 0.4 0.2 0.2 0.4 1.2
Tempat
Peribadatan 0.8 0.2 0.4 0.6 2
Keterangan : Skor 1-1,7 = Rendah ; Skor 1,8-2,4 = Sedang; Skor 2,5-3 = Tinggi
Hasil analisis skoring menyatakan bahwa pada lanskap fasilitas umum
dengan keterkaitan sedang dimiliki oleh lanskap sarana pendidikan, taman kota,
lanskap stasiun dan terminal, dan lanskap tempat peribadatan. Serta pengaruh
yang rendah pada fasilitas kesehatan yang tergolong baru.
71
72
Terdapat tujuh buah taman kota di Surakarta, diantaranya Taman
Sriwedari dan Taman Balekambang yang memiliki nilai kesejarahan yang tinggi
karena terbentuk pada masa pemerintahan Keraton Surakarta. Keberadan taman
kota di Surakarta memiliki tatanan lanskap yang mengadopsi gaya arsitektur
Keraton Surakarta seperti bentuk bangunan, ragam hias maupun penggunaan
tanaman-tanaman ciri khas keraton. Fasilitas umum berupa stasiun dan terminal
memiliki nilai pengaruh yang sedang. Terdapat empat stasiun kereta api di Kota
Surakarta, keempat stasiun yang didirikan oleh Belanda tersebut memiliki gaya
arsitektur Indis. Sedangkan pada Terminal Tirtonadi, bangunan mengadopsi
bentuk atap tradisional dan digunakan ragam hias serta tanaman ciri khas keraton.
Kota Surakarta memiliki fasilitas dibidang kesehatan yang cukup memadai
dengan keberadaan 13 unit rumah sakit yang tersebar di penjuru kota. Pada
lanskap sarana pendidikan jarang digunakan konsep tata ruang maupun arsitektur
bangunan yang menyerupai Keraton Surakarta. Namun dalam penataan lanskap
banyak ditemukan kesamaan pada desain elemen-elemen lanskap seperti ornamen
dan juga tanaman-tanaman lokal. Pada tempat ibadah yang meliputi masjid,
gereja, klenteng maupun vihara memiliki nilai kesejarahan yang cukup kuat
dengan keraton. Keraton sebagai kerajaan Islam memberi pengaruh kepada
masyarakat dalam memperkenalkan agama Islam. Sehingga banyak didirikan
masjid pada masa itu. Masjid-masjid yang didirikan menggunakan gaya arsitektur
tradisional dengan sentuhan ornamen seperti ukiran yang diadopsi dari Keraton
Surakarta. Pada masjid-masjid yang baru didirikan juga banyak mengadopsi
bentukan atap maupun ornamen dari Keraton Surakarta.
Dalam perkembangannya, posisi atau sebaran dari lanskap fasilitas umum
sudah tidak lagi mengadopsi konsep tata ruang yang digunakan oleh Keraton
Surakarta. Lanskap fasilitas umum tersebar keseluruh penjuru kota, namun
keberadaan fasilitas umum lebih banyak berada pada Kecamatan Banjarsari dan
Kecamatan Jebres. Hal ini dikarenakan kedua kecamatan tersebut memiliki luasan
yang lebih besar dibanding kecamatan lainnya. Nilai pengaruh dari konsep
lanskap Keraton Surakarta terhadap lanskap fasilitas umum kota adalah kuat
sebesar 8%, pengaruh sedang sebesar 65% dan pengaruh rendah sebesar 26%.
73
4.4.1.4 Lanskap Jalan
Lanskap jalan terdiri atas jalan arteri, jalan kolektor, jalan lokal maupun
jalan setapak. Dalam penilaian pada lanskap jalan ini dilakukan penilaian pada
dua jenis jalan yang dapat menjadi perwakilan dari lanskap kota, yaitu jalan arteri
dan jalan lokal. Jalan arteri terdiri dari Jalan Selamet Riyadi, Jalan Ahmad Yani,
Jalan Tentara Pelajar dan Jalan Ir. Sutami. Jalan kolektor terdiri dari Jalan
Veteran, Jalan Kapten Mulyadi, Jalan Dr. Rajiman, Jalan Kolonel Sugiono, Jalan
Kapten Tendean, Jalan Diponegoro, Jalan Honggowongso, Jalan Perintis
Kemerdekaan, Jalan Jendral Sudirman, Jalan Urip Sumoharjo, Jalan May
Sunaryo, Jalan Brigjen Katamso dan Jalan Mr. Sartono. Terdapat 18 ruas jalan
yang tersebar di lima kecamatan di Kota Surakarta. Penilaian dilakukan dengan
kriteria yang disajikan pada Tabel 4. Hasil analisis pada elemen lanskap jalan
disajikan pada Tabel 10 dan secara spasial disajikan pada Gambar 34.
Tabel 10. Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Jalan
Nama Jalan
Kriteria
Total Asosiasi
Kesejarahan
Kesamaan jenis,
desain dan ragam
hias
Kesamaan jenis
elemen lunak
Jalan
Arteri Jl. Slamet Riyadi 1.2 0.9 0.9 3
Jl. Ahmad Yani 1.2 0.6 0.6 2.4
Jl. Tentara Pelajar 1.2 0.6 0.6 2.4
Jl. Ir. Sutami 1.2 0.6 0.9 2.7
Jalan
Kolektor Jl. Veteran 1.2 0.6 0.9 2.7
Jl. Kapt. Mulyadi 1.2 0.6 0.6 2.4
Jl. May Sunaryo 1.2 0.9 0.9 3
Jl. Jend. Sudirman 1.2 0.9 0.9 3
Jl. Honggowongso 1.2 0.6 0.6 2.4
Jl. Dr. Rajiman 1.2 0.9 0.9 3
Jl. Adi Sucipto 0.4 0.9 0.9 2.2
Jl. Diponegoro 1.2 0.9 0.9 3
Jl. Urip Sumoharjo 1.2 0.3 0.3 1.8
Jl. Kapt. Tendean 0.8 0.3 0.3 1.4
Jl. Kol. Sugiono 0.8 0.3 0.3 1.4
Jl. Mr. Sartono 0.8 0.3 0.3 1.4
Jl. Brigjen Katamso 1.2 0.3 0.3 1.8
Jl. Perintis Kemerdekaan 0.8 0.9 0.9 2.6
Keterangan : Skor 1-1,7 = Rendah ; Skor 1,8-2,4 = Sedang; Skor 2,5-3 = Tinggi
74
75
Hasil analisis skoring pada ruas jalan didapatkan nilai pengaruh kuat pada
ruas Jalan Slamet Riyadi, Jalan Dr. Rajiman, Jalan Ir. Sutami, Jalan Veteran, Jalan
May Sunaryo, Jalan Jendral Sudirman, Jalan Diponegoro dan Jalan Perintis
Kemerdekaan. Sedangkan nilai pengaruh sedang didapatkan pada Jalan A. Yani,
Jalan Tentara Pelajar, Jalan Kapten Mulyadi, Jalan Honggowongso, Jalan Adi
Sucipto, Jalan Urip Sumoharjo dan Jalan Kolonel Sugiono. Pengaruh rendah
didapatkan pada Jalan Kapten Tendean, Jalan Mr. Sartono dan Jalan Brigjen
Katamso. Jalan di Kota Surakarta memiliki nilai sejarah yang tinggi dengan
Keraton Surakarta, karena sebagian besar jalan-jalan tersebut terbentuk pada masa
pemerintahan Keraton Surakarta. Selain nilai kesejarahan yang kuat, ruas jalan di
Kota Surakarta juga ditata dengan baik.
Penataan jalan di kota banyak menggunakan site furniture dengan ciri khas
ornamen keraton, seperti pada lampu jalan, hiasan dinding pada jalur pejalan kaki,
tempat duduk, pergola, petunjuk jalan, tempat sampah dan lainnya. Pada elemen
lunak, banyak digunakan tanaman seperti pohon sawo kecik (Manilkara kauki),
pohon beringin (Ficus benjamina) maupun pohon tanjung (Mimusophs elengi).
Pada lanskap jalan dengan nilai pengaruh sedang, jarang ditemukan site furniture
dengan ornamen ciri khas keraton dan masih belum tertata dengan baik. Sehingga
diperlukan penataan pada lanskap jalan yang memiliki nilai pengaruh sedang.
Pemerintah Kota Surakarta mengembangkan sebuah program yaitu ”Solo city
walk” di sepanjang Jalan Slamet Riyadi. Jalan Slamet Riyadi merupakan sebuah
jalan arteri yang dikembangkan oleh Pemerintah Kota Surakarta sebagai objek
wisata, sehingga dalam penataannya banyak digunakan site furniture yang indah
dan dapat menunjang kenyamanan bagi pengguna jalan. Kondisi Jalan Slamet
Riyadi disajikan pada Gambar 35.
(a) Pergola pada jalur pejalan kaki (b) Vegetasi pada jalur jalan
Gambar 35. Lanskap Jalan Slamet Riyadi
76
4.4.2. Analisis Pola Sebaran Lanskap Kota Surakarta
Pengaruh Lanskap Keraton Surakarta terhadap Kota Surakarta dapat
dilihat dari gabungan hasil analisis skoring pada masing-masing elemen lanskap,
yaitu lanskap permukiman, lanskap perkantoran dan perdagangan, lanskap
fasilitas publik dan lanskap jalan. Hasil penilaian terhadap pada keempat elemen
dapat disajikan pada Gambar 36. Hasil analisis pada lanskap permukiman
pengaruh kuat sebesar 52% kuat, 9% sedang dan 39% pengaruh rendah. Pada
lanskap perkantoran dan perdagangan didapatkan nilai pengaruh kuat sebesar
64%, pengaruh sedang sebesar 31% dan pengaruh rendah sebesar 5%. Lanskap
fasilitas umum memiliki nilai pengaruh kuat sebesar 8%, sedang 65% dan kuat
sebesar 26%. Secara keseluruhan pengaruh Keraton Surakarta terhadap Kota
Surakarta tersebar pada luasan sebesar 41% pengaruh kuat, pengaruh sedang 35%
dan 24% pengaruh rendah. Peta sebaran pengaruh keraton terhadap lanskap Kota
Surakarta disajikan pada Gambar 36.
Analisis skoring pada elemen-elemen lanskap kota didapatkan bahwa
lanskap yang masih memiliki pengaruh kuat dari Keraton Surakarta tersebar pada
wilayah selatan Kota Surakarta. Pengaruh lanskap semakin rendah pada bagian
utara kota. Sungai Kalianyar secara tidak langsung telah menjadi batas pemisah
pada kota Surakarta. Pada bagian selatan Kalianyar merupakan awal dari Kota
Surakarta dan dapat dikatakan sebagai bagian “Surakarta lama”, sedangkan pada
bagian utara Kalianyar merupakan wilayah perkembangan baru.
Keraton Surakarta terletak pada Kecamatan Pasar Kliwon yang berada
pada wilayah selatan kota dan memiliki daerah kekuasaan yang berkembang ke
arah barat. Sehingga pada wilayah selatan mendapatkan pengaruh yang besar baik
dari nilai kesejarahan maupun dalam tatanan lanskap. Dalam perkembangannya,
wilayah selatan kota merupakan pusat dari segala aktifitas masyarakat, karena
perkembangan infrastruktur, fasilitas kota dan kegiatan perekonomian
berkembang pesat pada wilayah selatan. Wilayah utara merupakan wilayah
pemekaran kota sehinggga keberadaan sarana dan prasarana kota belum cukup
memadai pada wilayah tersebut. Terjadi pembangunan yang tidak seimbang
antara Kota Surakarta bagian selatan dengan bagian utara.
77
78
Dari hasil pengamatan, memudarnya pengaruh lanskap keraton terhadap
kota dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu, posisi Keraton Surakarta terhadap Kota
Surakarta, batas alam, perkembangan infrastruktur kota dan faktor kependudukan.
Posisi Keraton Surakarta yang berada pada bagian selatan kota mengakibatkan
pengaruh yang kuat pada bagian tersebut. Semakin dekat dengan Keraton
Surakarta maka semakin kuat pengaruh yang diberikan. Faktor kedua adalah batas
alam, setalah dibangun Kali Anyar di utara maka secara tidak langsung menjadi
pemisah bagi Kota Surakarta. Pada bagian selatan Kali Anyar nilai pengaruh dari
Keraton Surakarta adalah sedang dan pada bagian utara Kali Anyar nilai pengaruh
semakin rendah.
Perkembangan infrastruktur kota seperti jalan dan jalur kerata api, ikut
serta mempengaruhi pudarnya pengaruh dari Keraton Surakarta. Seperti Jalan
Slamet Riyadi yang menjadi pembatas wilayah kekuasaan keraton dengan
mangkunegaran. Pada wilayah perkembangan kota yang cenderung baru,
dipengaruhi oleh adanya perkembangan mode dan teknologi pada masa itu,
sehingga tidak lagi mengadopsi gaya tradisional. Dengan berkembangnya mode
dan teknologi, maka gaya tradisional khas keraton sudah tidak menjadi
acuan/panutan dalam membentuk suatu lanskap.
Faktor lain yang memberi pengaruh adalah faktor kependudukan, jumlah
penduduk yang semakin bertambah memaksa penggunaan lahan semaksimal
mungkin, sehingga banyak rumah tinggal yang terbentuk dengan bentuk bangunan
yang tidak berkarakter tradisional. Kedatangan para migran di Kota Surakarta juga
menjadikan nilai budaya lokal secara perlahan luntur. Budaya yang berbeda dari
setiap migran mengakibatkan beragam budaya.
79
4.5 Usulan Pengembangan Lanskap
4.5.1 Konsep Pengembangan Lanskap
Perkembangan lanskap Kota Surakarta dimulai semenjak keberadaan
Keraton Surakarta yang membuat segala aktivitas masyarakat berpusat pada
wilayah disekeliling keraton dan perkembangan permukiman menuju kearah
barat. Masa penjajahan Belanda memberi pengaruh pada perkembangan lanskap
kota dengan dibangunnya infrastruktur kota. Keberadaan infrastruktur kota seperti
sarana transportasi membuat lanskap kota berkembang mengikuti pola linier.
Analisis sebaran lanskap pada Kota Surakarta dilakukan dengan analisis skoring
pada lanskap permukiman, lanskap perkantoran dan perdagangan, lanskap fasilitas
umum dan lanskap jalan.
Hasil analisis menunjukkan bahwa pengaruh Keraton Surakarta pada
lanskap hanya tersebar pada wilayah selatan kota dengan presentase 41%.
Sedangkan pada elemen lanskap dengan pengaruh sedang dengan presentase 35%.
Pengaruh rendah sebesar 24% yang berada di Kecamatan Banjarsari dan Jebres.
Pengaruh kuat dari Keraton Surakarta terpusat pada bagian selatan kota yang
meliputi Kecamatan Laweyan, Kecamatan Serengan, Kecamatan Pasar Kliwon
dan beberapa wilayah di Kecamatan Banjarsari. Sehingga pada kawasan tersebut
dapat dikatakan sebagai kota lama dari Surakarta.
Hasil analisis menyatakan bahwa nilai pengaruh dari Keraton Surakarta
hanya sebesar 41%, sehingga diperlukan adanya suatu konsep untuk menjaga dan
mempertahankan karakter budaya dari Keraton Surakarta. Konsep yang diusulkan
guna pengembangan lanskap kota adalah dengan meningkatkan dan
mempertahankan karakter budaya yang dimiliki oleh Kota Surakarta dalam
penataan dan pelestarian lanskap kota guna keberlanjutan Kota Surakarta sebagai
kota pusaka. Upaya meningkatkan karakter budaya pada lanskap kota dilakukan
dengan penataan pada lanskap kota agar terbentuk suatu lanskap yang dapat
menjadi suatu identitas kota. Sedangkan upaya dalam mempertahankan karakter
lanskap kota dilakukan dengan melindungi, memelihara dan memperbaiki
peninggalan sejarah budaya yang terdapat pada Kota Surakarta. Penataan dan
pelestarian pada lanskap kota membutuhkan adanya suatu kebijakan dari
pemerintah kota dan juga partisipasi aktif dari masyarakat Kota Surakarta.
79
80
4.5.2 Arahan Pengembangan Lanskap Kota Surakarta
Berdasarkan hasil analisis terhadap sebaran lanskap pada Kota Surakarta
diketahui bahwa pengaruh kuat Keraton Surakarta terpusat pada bagian selatan
kota dan semakin menuju utara maka nilai pengaruh dari lanskap keraton menjadi
semakin rendah. Pengaruh Keraton Surakarta terhadap lanskap kota berada pada
bagian selatan memiliki nilai sejarah penting bagi Kota Surakarta. Pengembangan
kota tidaklah bijak apabila tidak memperhatikan kawasan lama yang merupakan
cikal bakal dari terbentuknya kota.
Dari hasil analisis didapatkan tiga zona pengaruh yaitu, pengaruh kuat,
pengaruh sedang dan pengaruh rendah. Pada zona pengaruh kuat meliputi
Kecamatan Laweyan, Serengan, Pasar Kliwon, Jebres dan beberapa bagian dari
Kecamatan Banjarsari. Zona pengaruh kuat memiliki nilai kesejarahan yang kuat
dari Keraton Surakarta dan masih banyak elemen-elemen lanskap yang
mencerminkan adanya pengaruh dari Keraton Surakarta. Pada zona pengaruh kuat
dilakukan penguatan karakteristik keraton dengan melestarikan dan
memberdayakan area dan elemen bersejarah yang memiliki kaitan dan
karakteristik lanskap keraton. Pengaruh kuat yang berada di selatan kota dapat
diklasifikasikan menjadi zona inti yang merupakan “Kota Lama Surakarta” yang
dahulu merupakan awal perkembangan kota dan pusat pemerintahan Keraton
Surakarta (Hadi,2001). Pada zona inti dapat dimunculkan kembali karakter-
karakter dari kawasan lama seperti Pecinan, Kauman maupun Loji Wetan yang
memiliki ciri khas tersendiri. Wilayah Surakarta lama disajikan pada Gambar 37.
Zona pengaruh sedang meliputi beberapa wilayah di Kecamatan Laweyan,
Serengan, Jebres dan Banjarsari. Tindakan pelestarian yang dapat dilakukan pada
zona dengan nilai pengaruh sedang adalah sebagai zona penyangga guna
menyangga zona inti dengan zona pengembangan. Pada zona pengangga
dilakukan penguatan karakter keraton dengan meningkatkan nilai karakter dari
keraton dilakukan dengan melestarikan dan memberdayakan area dan elemen
bersejarah yang memiliki kaitan dan karakteristik lanskap keraton serta penataan
dan perbaikan lanskap pada kawasan ini guna meningkatkan nilai sejarah dan
budaya kawasan.
81
Gambar 37. Kota Lama Surakarta
Sedangkan zona pengaruh rendah diklasifikasikan sebagai zona
pengembangan yang meliputi Kecamatan Jebres dan Banjarsari yang berada pada
bagian utara kota. Kawasan ini merupakan wilayah pemekaran kota, sehingga
memiliki pengaruh yang rendah dari keraton. Pada kawasan ini masih banyak
terdapat lahan-lahan kosong yang dapat dimanfaatkan guna memenuhi kebutuhan
masyarakat. Sehingga pada kawasan ini dapat menjadi bagian baru dari Kota
Surakarta.
4.5.3 Arahan Penataan Lanskap Kota Surakarta
Dalam menjaga dan menciptakan suatu lanskap yang memiliki nilai
budaya tinggi, perlu adanya dukungan dan partisipasi aktif dari seluruh
masyarakat kota. Masyarakat kota memiliki peran penting dalam membentuk
lanskap kota, sehingga perlu dilakukan dengan memunculkan kembali aktifitas
maupun kesenian tradisional yang dapat meningkatkan nilai budaya setempat.
Dari hasil kuisioner, diketahui bahwa hanya sedikit masyarakat yang memahami
mengenai konsep lanskap keraton, sehingga diperlukan suatu penyuluhan atau
himbauan yang informatif mengenai nilai budaya maupun peninggalan sejarah
yang merupakan potensi bagi kota. Penyuluhan maupun himbauan ini diharapkan
dapat membuat masyarakat dapat berpartisipasi dalam tindakan pelestarian.
82
Pada zona lanskap dengan nilai pengaruh yang kuat, banyak terdapat objek
dan elemen bersejarah yang kondisinya sudah tidak baik lagi. Sehingga diperlukan
tindakan pelestarian berupa revitalisasi pada elemen lanskap seperti pada Alun-
alun Lor dan Alun-alun Kidul Keraton Surakarta. Revitalisasi pada alun-alun
Keraton Surakarta adalah upaya memperbaiki kualitas fisik guna mengembalikan
fungsi semula alun-alun sebagai ruang terbuka hijau sesuai dengan kondisi masa
kini tanpa meninggalkan karakter sejarah dan budaya dari alun-alun. Perbaikan
kualitas fisik pada alun-alun dapat dilakukan dengan perbaikan infrastruktur,
pemeliharaan pada vegetasi rumput, menghilangkan atau mengganti vegetasi yang
tidak sesuai dengan karakater alun-alun, perbaikan pada perkerasan, serta
meningkatkan nilai aktivitas yang dapat menunjang kegiatan sosial, ekonomi dan
pariwisata. Ilustrasi pentaan ulang alun-alun utara disajikan pada Gambar 38.
(a) Sebelum penataan (b) Setelah penataan
Gambar 38. Penataan lanskap pada Alun-alun utara
Keraton Surakarta yang merupakan cikal bakal dari kota Surakarta, saat ini
kondisinya sudah sangat memprihatinkan. GPH Puger menyatakan bahwa sebesar
85% bangunan di keraton sudah rusak, sehingga perlu dilakukan rekonstruksi
pada bangunan keraton agar tercipta kembali Keraton Surakarta yang dapat
menunjukkan kemegahan pada masa lalu.
Pengembangan kota sudah sepatutnya diselaraskan dengan melestarikan
peninggalan-peninggalan sejarah dari masa lalu. Diperlukan suatu kebijakan dari
pemerintah Kota Surakarta hingga petunjuk teknis dalam melestarikan lanskap
sejarah budaya, partisipatif dari masyarakat dalam menjaga dan menata kota,
dukungan pelestarian dan pemberdayaan pada area dan elemen bersejarah dan
adanya suatu guideline dalam pengembangan lanskap kota. Berikut terdapat
83
beberapa rekomendasi penataan lanskap yang dapat digunakan sebagai guideline
dalam penataan kota. Guideline disajikan pada Tabel 11.
Tabel 11. Guideline penataan lanskap kota
Komponen
Karakteristik
Rumah
Tinggal
Kantor/fasilitas
umum
Taman
Kota/RTH
Lanskap
Jalan
Tata Ruang/ layout √ √ √
Arsitektur Bangunan √ √ √
Ornamen Bangunan √ √ √ √
Desain elemen √ √ √ √
Vegetasi √ √ √ √
Penamaan dengan
aksara jawa √ √ √ √
Pada lanskap permukiman dapat diadopsi gaya arsitektur seperti bangunan
keraton, baik dari konsep ruang maupun dapat digunakan bentuk atap tradisional.
Selain itu penerapan konsep bangunan keraton pada rumah tinggal dan
penggunaan ornamen bercirikan keraton. Pada lanskap perkantoran dan
perdagangan dapat diterapkan konsep tata ruang keraton pada bangunan kantor
dan juga penggunaan ornamen, softscape, dan hardscape yang bercirikan keraton.
Fasilitas publik yang belum menerapkan konsep lanskap keraton perlu
menggunakan ornamen, softscape, dan hardscape yang bercirikan keraton.
Penataan pada lanskap jalan dengan menggunakan site furniture seperti lampu
jalan, pergola, tempat sampah, atau paving yang mengadopsi gaya atau ornamen
yang bercirikan keraton serta penanaman tanaman lokal, seperti beringin, sawo
kecik, tanjung, atau kepel. Berikut terdapat beberapa ilustrasi pada penataan
lanskap jalan yang disajikan pada Gambar 39.
(a) Sebelum penataan (b) Setelah penataan
Gambar 39. Penataan lanskap pada jalur pejalan kaki
84
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Keraton Surakarta Hadiningrat merupakan cikal bakal terbentuknya Kota
Surakarta dan dianggap sebagai sumber maupun pusat dari budaya Jawa. Keraton
Surakarta memberikan pengaruh yang sangat kuat pada Kota Surakarta semenjak
berdirinya keraton pada abad ke 17. Keraton Surakarta terbentuk dengan konsep
tata ruang hasil pemikirian dan kepercayaan masyarakat Jawa masa itu, sehingga
terbentuk suatu hirarki pada susunan bangunan-bangunan di Keraton Surakarta.
Konsep kiblat papat kalima pancer membuat Keraton Surakarta sebagai
pusat/pancer dari segala aktifitas masyarakat. Orientasi merupakan hal penting
bagi masyarakat Jawa dalam melakukan kegiatan sehari-hari. Konsep kiblat papat
kalima pancer menciptakan sebuah sumbu imajiner pada Kota Surakarta. Konsep
tata ruang dengan nilai simbolisme dan filosofi yang kuat membuat setiap fase
pada bangunan di Keraton Surakarta memiliki makna bahwa setiap fase yang
dilewati dipercaya dapat menuju kesempurnaan.
Perkembangan pada lanskap Kota Surakarta terjadi melalui beberapa
periode yang dipengaruhi oleh pemegang kuasa di kota tersebut. Kota Surakarta
yang pada awalnya merupakan kota tradisional dengan nilai budaya keraton yang
kuat, secara perlahan berkembang menjadi kota modern dengan keberadaan
penjajah. Penggunaan lahan yang padat pada bagian selatan kota membuat
perkembangan kota Surakarta menuju wilayah utara. Pemerintah kota memiliki
andil besar dalam perkembangan lanskap kota.
Hasil pemetaan terhadap lanskap Kota Surakarta didapatkan sebaran
pengaruh kuat dari lanskap keraton pada bagian selatan kota dan semakin ke utara
maka nilai pengaruh akan semakin rendah. Pada lanskap permukiman pengaruh
kuat sebesar 52% kuat, 9% sedang dan 39% pengaruh rendah. Pada lanskap
perkantoran dan perdagangan didapatkan nilai pengaruh kuat sebesar 64%, sedang
31% dan pengaruh rendah sebesar 5%. Lanskap fasilitas umum memiliki nilai
pengaruh kuat sebesar 8%, sedang 65% dan rendah sebesar 26%. Secara
keseluruhan pengaruh Keraton Surakarta terhadap lanskap kota tersebar pada
luasan sebesar 41% pengaruh kuat, pengaruh sedang 35% dan 24% pengaruh
85
rendah. Memudarnya pengaruh Keraton Surakarta terhadap lanskap kota
dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu letak/posisisi Keraton Surakarta, batas alam
dan infrastruktur, perkembangan mode dan teknologi serta faktor kependudukan.
Konsep yang diusulkan terhadap lanskap kota adalah dengan
meningkatkan dan mempertahankan karakater budaya yang dimiliki oleh Kota
Surakarta dalam penataan dan pelestarian lanskap kota guna keberlanjutan Kota
Surakarta sebagai kota pusaka. Rekomendasi yang diusulkan adalah pada lanskap
dengan pengaruh kuat di bagian selatan kota dapat dikategorikan sebagai zona inti
kota lama Surakarta yang merupakan perkembangan awal kota dan dahulu
merupakan pusat pemerintahan Keraton Surakarta. Pada zona pengaruh sedang
tindakan pelestarian yang dapat dilakukan adalah dengan membentuk kawasan
sebagai zona penyangga dan dilakukan penguatan karakteristik keraton dan
penguatan karakteristik dengan melestarikan dan memberdayakan area dan
elemen bersejarah yang memiliki kaitan dan karakteristik lanskap keraton serta
penataan dan perbaikan lanskap pada kawasan ini guna meningkatkan nilai
sejarah dan budaya kawasan. Zona ketiga adalah zona pengembangan dengan nilai
pengaruh rendah yang merupakan wilayah pemekaran kota. Pembagian zona
pelestarian dilakukan guna melindungi, melestarikan dan meningkatkan kualitas
lanskap kota guna menciptakan Kota Surakarta yang beridentitas. Pelestarian pada
lanskap sejarah dan budaya diharapkan dapat meningkatkan kegiatan ekonomi,
sosial dan budaya bagi masyarakat Kota Surakarta.
5.2 Saran
Berikut terdapat beberapa saran yang dapat menjadi masukan kepada
pemerintah kota maupun masyarakat dalam menjaga lanskap Kota Surakarta :
1. Pemerintah Kota Surakarta segera menyusun Guideline yang berisi mengenai
petunjuk teknis dalam pelestarian dan penataan lanskap kota. Serta dilakukan
sosialisasi terhadap masyarakat.
2. Dilakukan perancangan secara detail pada tapak-tapak khusus yang dapat
meningkatkan nilai budaya dan menunjang aktivitas ekonomi, budaya dan
pariwisata.
3. Dilakukan peningkatan aktivitas budaya (intangible) yang selaras dengan
karakteristik kota.
86
DAFTAR PUSTAKA
[Bappeda Kota Surakarta], 2011. Rencana Tata Ruang Wilayah Kota
Surakarta2011-2013. Solo : Badan Pembangunan Daerah.
[BPS Kota Surakarta]. 2008. Surakarta dalam Angka 2007. Solo : Badan Pusat
Statistik Kota Surakarta.
[Pemerintah Kota Surakarta]. 2011. Visi Misi Kota Surakarta [internet].
[diunduh 28 Desember 2011].Tersedia dari : http://www.surakarta.go.id/
id/news/vis i.misi.kota.surakarta.html
Adiningsih, H. 2009. Teori Arsitektur [internet].[diunduh 5 April 2011]. Tersedia
dari:http://helmiadiningsih.blogspot.com/2009/05/keratonsolopengorbanan
-yang-tak.html.
Anggraeni, R. 2011. Assessment Lanskap Sejarah Kawasan Empang untuk
Mendukung Perencanaan Tata Ruang Kota Bogor [Skripsi]. Bogor:
Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian
Bogor.
Dumadi, J. 2011. Mikul Dhuwur Mendhem Jero : Menyelami Falsafah dan
Kosmologi Jawa. Yogyakarta : Pura Pustaka.
Gunawan, R. 2010. Toponimi Surakarta : Keragaman Budaya dalam Penamaan
Ruang Kota. Jakarta : Direktorat Geografi Sejarah, Direktorat Jendral
Sejarah dan Purbakala, Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata.
Hadi, P. 2001. Karakteristik Penggunaan Lahan Kota Solo. Di dalam: Koestoer
RH et al. (editor). Dimensi Keruangan Kota: Teori dan Kasus. Jakarta:
Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press).
Harris, C.W. dan Dines N.T. 1988. Time-Saver Standards for landscape
Architecture : Design and Construction Data. United Stated of America :
McGraw-Hill Co, Inc.
Heins, Marleen. 2004. Keraton Surakarta. Jakarta : Buku Antar Bangsa.
Hooper , L.J. 2007. Landscape architectural graphic standards. USA : John
Wiley and Sons, Inc.
87
Iqbal, M. 2010. Perencanaan Lanskap Jalur Interpretasi Wisata Sejarah Budaya
Jalan Slamet Riyadi Kota Surakarta. [Skripsi]. Bogor: Departemen
Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Lia W. 2001. Organisasi Keruangan Kota. Di dalam: Koestoer RH et al. (editor).
Dimensi Keruangan Kota: Teori dan Kasus. Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia (UI-Press).
Lynch, K. 1960. The Image of The City. Mass. MIT. Press. Cambridge.
Maruti, A. 2003. Studi Pengelolaan Lanskap Keraton Kasunanan Surakarta
[Skripsi]. Bogor:Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor
Melnick, R.Z. 1983. Protecting rural cultural landscapes : Finding value in the
countryside.Landscape J.2(2).
Mulyandari, H. 2011. Pengantar Arsitektur Kota. Yogyakarta : ANDI Yogyakarta.
Nitinagoro, H. 2011. Babad Keraton Surakarta. Semarang : Grafika Citra
Mahkota.
Nurisjah S dan Pramukanto Q. 2001. Perencanaan Kawasan untuk Pelestarian
Lanskap dan Taman Sejarah. Bogor : Fakultas Pertanian, IPB (tidak
dipublikasikan).
Plachter, H. dan Rossler M. 1995. Cultural landscapes: reconnecting culture and
nature dalam Cultural Landscapes of Universal Value. NewYork: Gustav
Fischer.
Premodia, I. 2005. Kajian Konsep Kosmologi Jawa Pada Pola Tatanan Keraton
Kasunanan Surakarta Hadiningrat [Skripsi]. Bandung : Program Studi
Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Katolik Parahiyangan.
Ronald, A. 2005. Nilai-nilai Arsitektur Rumah Tradisional Jawa. Yogyakarta :
Gajah Mada University Press.
Qomarun dan Prayitno, B. 2007. Morfologi Kota Solo (1500-2000) dalam
Dimensi Teknik Arsitektur. Universitas Kristen Petra, Vol 35: 80-87.
Santoso, J. 2008. Asitektur-Kota Jawa : Kosmos, kultur dan Kuasa. Jakarta:
Centropolis, Magister Teknik Perencanaan Universitas Tarumanegara.
88
Sajid, R.M. 1984. Babad Sala. Rekso Pustoko Mangkunegaran. Solo
Setiawan, E.A. 2000. Konsep Simbolisme Tata Ruang Luar Keraton Surakarta
Hadiningrat [Tesis]. Semarang : Fakultas Teknik Arsitektur, Universitas
Diponegoro.
Simonds, J.O. and Starke, B.W. 2006. Landscape Architecture A Manual of
Environmental Planning and Design. New York: McGraw-Hill.
Wukiralit. 2011. Misteri Pohon Sawo Kecik di Halaman Kedaton [internet].
[diunduh 3 April 2011]. Tersedia :http://kesehatan.kompasiana.com/makan
an/2011/01/10/misteripohonsawokecikdihalamankedatonkeratonsurakarta/.
Zaida, S.N.A. 2004. Surakarta: Perkembangan Kota Ditinjau dari Perubahan
Kondisi Sosial pada Bekas Ibukota Kerajaan di Jawa [Skripsi]. Bogor:
Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian
Bogor.
89
LAMPIRAN
90
Lampiran I. Lembar Kuisioner
Selamat pagi/siang/sore/malam. Dengan Hormat, saya memohon
kesediaan Bapak/Ibu/Saudara/Saudari dalam membantu pengumpulan data
penelitian yang sedang saya lakukan dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan
berikut dengan baik dan benar. Penelitian ini berjudul Studi Pengaruh Konsep
Lanskap Keraton Surakarta Terhadap Lanskap Kota Surakarta.
Dengan kuisioner ini, peneliti berharap dapat mengetahui pandangan
masyarakat Kota Surakarta terhadap Keraton Surakarta dan Lanskap Kota
Surakarta serta masukan untuk menyusun arahan pengembangan lanskap kota
Surakarta yang beridentitas. Atas kerjasama Bapak/Ibu/Saudara/Saudari saya
ucapkan terima kasih.
Danur Febyandari/ A44080062
Departemen Arsitektur Lanskap
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Data Pribadi Responden
Jenis Kelamin :
a. Laki-laki b. Perempuan
Umur :
a. 18-22 thn c. 31-40 thn e. 51-60
b. 23-30 thn d. 41-50 thn f. >60 thn
Pekerjaan :
a. Pelajar c. Karyawan swasta e.
Wirausaha/pedagang
b. Mahasiswa d. PNS f. Lainnya
...................
Pendidikan terakhir :
a. Tidak sekolah c. SMP e. D3
b. SD d. SMA f. Sarjana (S1, S2, S3)
Etnik :
a. Sunda c. Tionghoa e. Belanda/Eropa
b. Jawa e. Arab f. Lainnya
91
Berapa lama anda tinggal di kawasan ini :
a. <5 thn d. 15-20 thn g. >40 thn
b. 5-10 thn e. 21-30 thn
c. 11-15 thn f. 31-40 thn
Apakah anda masih melakukan adat/aktivitas budaya etnik anda dalam kehidupan
sehari-hari*: (ya/tidak)
Contohnya : ..............................................................................................................
Pertanyaan
Apakah Anda mengetahui sejarah kota Solo ?
a. Tahu b. Sedikit c. Tidak tahu
Jika jawaban Anda tahu :
Dari mana Anda mengetahui tentang sejarah kawasan ini :
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
Menurut anda apakah Kota Surakarta merupakan sebuah kawasan yang memiliki
budaya yang khas bila dibandingkan dengan daerah lain di Pulau Jawa?
a. Ya b. Tidak
1. Mengapa Anda tinggal di kawasan ini?
a. Keluarga di Surakarta c. Suasananya nyaman e. Lainnya
b. Pekerjaan d. Murah
2. Apakah kawasan ini telah berubah dibanding waktu pertama tinggal?
a. Tidak berubah c. Sedikit berubah
b. Banyak berubah d. Sangat banyak berubah
3. Jika berubah, apakah perubahan tersebut?
a. Menjadi sangat nyaman c. Menjadi tidak nyaman
b. Menjadi sedikit lebih nyaman d. Menjadi sangat tidak nyaman
4. Perubahan apa yang paling terasa/terlihat?
a. Lingkungan/lanskap kawasan f. Aktivitas wisata
b. Aktivitas masyarakat g. Jumlah wisatawan
c. Sarana dan prasarana h. Model bangunan
d. Jumlah pohon i. Jumlah bangunan
e. Jumlah penduduk j. Lainnya,…………………
92
5. Bagaimana situasi Kota Solo ini menurut Anda? (pilih salah satu jawaban dari
setiap poin)
a. Indah/Tidah indah
b. Unik/Tidak unik
c. Menarik/Tidak menarik
d. Membanggakan/Tidak membanggakan
e. Bernilai budaya tinggi/Tidak bernilai budaya
f. Bernilai sejarah tinggi/Tidak bernilai sejarah
g. Sesuai/Tidak sesuai untuk wisata
h. Terjaga/Tidak terjaga kelestariannya
6. Apakah Anda mengetahui bentuk kawasan ini di masa lampau (masa Kerajaan
Kasunanan Surakarta)?
a. Ya b. Tidak
7. Jika ya, apakah karakteristiknya?
a. Permukiman d. Industri
b. Pertanian e. Hutan alam
c. Perdagangan f. Lainnya,……………………
8. Apakah anda mengetahui karakter budaya kawasan ini di masa lampau?
a. Ya b. Tidak
9. Jika ya., apa karakteristiknya?
a. Budaya Jawa secara umum e. Campuran (Keraton dan Eropa)
b. Budaya Jawa khas Surakarta f. Campuran (Keraton dan Eropa)
c. Budaya Keraton g. Lainnya,………………………
d. Budaya Eropa
10. Apa yang menentukan karakter kawasan ini, dilihat dari sisi : (pilih salah satu
jawaban dari setiap poin)
a. Masyarakat : tradisional/semi modern/modern
b. Bangunan : tradisional/semi modern/modern
c. Aktivitas : perdagangan/pertanian/pariwisata
d. Alam : sungai/pemandangan/cuaca
11. Bagaimana pandangan anda terhadap Keraton Surakarta?
93
a. Situs Cagar Budaya d. Cerminan Kejayaan Kekuasaan
Masa Lalu
b. Sumber Kebudayaan Masyarakat Jawa e. Cikal bakal Kota Surakarta
c. Cikal bakal Kota Surakarta f.Lainnya
12. Apakah anda mengetahui mengenai konsep Keraton Surakarta?
a. Ya b. Tidak
13. Jika ya, apa saja yang anda ketahui mengenai konsep Keraton Surakarta ?
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
14. Apakah kawasan ini perlu dilestarikan?
a. Ya b. Tidak
15. Jika ya, mengapa harus dilestarikan?
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
16. Apakah perkembangan Kota Surakarta harus mempertimbangkan mengenai
keberadaan Keraton Surakarta?
a. Ya b. Tidak
17. Jika ya, mengapa demikian?
18. Apakah elemen-elemen maupun karakteristik yang Keraton perlu ditampilkan
dalam elemen Kota Surakarta?
a. Ya b. Tidak
19. Jika ya, elemen-elemen maupuan karkater Keraton seperti apa yang perlu
ditampilkan pada Kota Surakarta?
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
20. Komentar dan saran Anda terhadap lanskap Kota Surakarta ini :
...................................................................................................................................
94
Lampiran 2. Perhitungan Interval
Perhitungan interval dalam penilaian struktur lanskap pada Kota Surakarta :
Interval Kelas (IK) = Skor Maksimum (SMa) – Skor Minimum (SMi)
Jumlah Kategori
IK = 3 - 1
3
IK = 2 = 0,66
3
IK = 0,7 (dibulatkan)
Kategori Tinggi = (SMi + 2IK + 1) sampai SMa
= (1 + 2(0,7) + 0,1) sampai 3
= 2,5 sampai 3
Kategori Sedang = (SMi + IK + 1) sampai (SMi + 2IK)
= (1 + 0,7+ 0,1) sampai (1 + 2(0,7))
= 1,8 sampai 2,4
Kategori Rendah = SMi sampai (SMi + IK)
= 1 sampai (1 + 0,7)
= 1 sampai 1,7
95
95
Lampiran 3. Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Permukiman
Kelurahan
Kriteria
Total Keterangan Luas (Ha) Persentase
(%) Asosiasi
Kesejarahan
Tata
Ruang
Arsitektur
Bangunan
Ornamen
Bangunan
Kesamaan
jenis elemen
Law
eyan
Sondakan 1.2 0.1 0.6 0.45 0.45 2.8 Kuat 98.8 3.3
Panularan 1.2 0.1 0.6 0.3 0.3 2.5 Kuat 33 1.1
Penumping 1.2 0.1 0.4 0.45 0.45 2.6 Kuat 18.1 0.6
Sriwidari 1.2 0.1 0.6 0.45 0.3 2.65 Kuat 20.2 0.6
Laweyan 1.2 0.1 0.6 0.45 0.45 2.8 Kuat 12.2 0.4
Purwosari 1.2 0.1 0.6 0.3 0.45 2.65 Kuat 42.4 1.4
Bumi 1.2 0.1 0.4 0.3 0.45 2.45 Kuat 21 0.7
Pajang 1.2 0.1 0.6 0.3 0.3 2.5 Kuat 79.6 2.7
Kerten 1.2 0.1 0.4 0.3 0.3 2.3 Sedang 67.3 2.3
Jajar 1.2 0.1 0.2 0.15 0.3 1.95 Rendah 241.6 8.2
Karangasem 0.8 0.1 0.2 0.3 0.3 1.7 Sedang 90.6 3.1
Ser
eng
an
Serengan 1.2 0.1 0.6 0.45 0.3 2.65 Kuat 46.7 1.6
Kratonan 1.2 0.1 0.6 0.3 0.45 2.65 Kuat 33.9 1.2
Kemlayan 1.2 0.2 0.6 0.3 0.3 2.6 Kuat 15.6 0.5
Jayengan 1.2 0.1 0.6 0.3 0.45 2.65 Kuat 27.3 0.9
Danukusuman 1.2 0.1 0.6 0.3 0.3 2.5 Kuat 45.8 1.6
Tipes 1.2 0.1 0.6 0.3 0.3 2.5 Kuat 53.8 1.8
Joyotakan 1.2 0.1 0.4 0.3 0.3 2.3 Sedang 45.6 1.6
Pas
ar
Kli
wo
n
Kauman 1.2 0.1 0.6 0.45 0.45 2.8 Kuat 7.1 0.2
Baluwarti 1.2 0.3 0.6 0.45 0.45 3 Kuat 58.4 1.9
95
96
96
Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Permukiman (Lanjutan)
Kelurahan Kriteria
Total Keterangan Luas (Ha) Persentase
(%) Asosiasi
Kesejarahan
Tata
Ruang
Arsitektur
Bangunan
Ornamen
Bangunan
Kesamaan
jenis elemen
Pas
ar K
liw
on
Kampung Baru 0.8 0.1 0.6 0.45 0.45 2.4 Sedang 10.8 0.3
Pasar Kliwon 1.2 0.1 0.4 0.45 0.45 2.6 Kuat 12.7 0.4
Joyosuran 1.2 0.1 0.6 0.3 0.3 2.5 Kuat 40.1 1.4
Sangkrah 1.2 0.1 0.4 0.45 0.3 2.45 Kuat 20.5 0.7
Semanggi 1.2 0.1 0.4 0.45 0.3 2.45 Kuat 104.2 3.5
Kedung Lumbu 1.2 0.2 0.4 0.3 0.45 2.55 Kuat 9.9 0.3
Jeb
res
Sewu 1.2 0.1 0.6 0.3 0.45 2.65 Kuat 53.2 1.8
Gandekan 1.2 0.2 0.6 0.3 0.15 2.45 Kuat 43.6 1.5
Jagalan 1.2 0.1 0.6 0.3 0.3 2.5 Kuat 72.1 2.4
Sudiroprajan 1.2 0.1 0.4 0.3 0.45 2.45 Kuat 26.5 0.9
Purwodiningratan 1.2 0.1 0.6 0.3 0.3 2.5 Kuat 30.9 1.1
Jebres 1.2 0.1 0.4 0.3 0.45 2.45 Kuat 284.9 9.7
Jeb
res
Kepatihan Wetan 0.8 0.1 0.4 0.3 0.3 1.9 Sedang 24.2 0.8
Kepatihan Kulon 0.8 0.1 0.4 0.3 0.3 1.9 Sedang 23.4 0.8
Pucang Sawit 1.2 0.1 0.6 0.3 0.3 2.5 Kuat 53.7 1.8
Mojosongo 0.4 0.2 0.4 0.15 0.15 1.3 Rendah 367 12.5
Tegalharjo 0.4 0.1 0.4 0.15 0.15 1.2 Rendah 26.6 0.9
Ban
jars
ari Keprabon 1.2 0.1 0.6 0.3 0.45 2.65 Kuat 8.8 0.3
Mangkubumen 1.2 0.1 0.6 0.3 0.3 2.5 Kuat 41.2 1.4
Punggawan 1.2 0.1 0.6 0.3 0.3 2.5 Kuat 8.7 0.3
Nusukan 1.2 0.1 0.2 0.15 0.3 1.95 Sedang 68.2 2.3
110
96
97
97
Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Permukiman (Lanjutan)
Kelurahan Kriteria
Total Keterangan Luas (Ha) Persentase
(%) Asosiasi
Kesejarahan
Tata
Ruang
Arsitektur
Bangunan
Ornamen
Bangunan
Kesamaan
jenis elemen
Ban
jars
ari
Setabelan 1.2 0.1 0.4 0.45 0.3 2.45 Sedang 18.9 0.6
Timuran 1.2 0.2 0.6 0.3 0.3 2.6 Kuat 7.4 0.2
Gilingan 1.2 0.1 0.4 0.15 0.3 2.15 Sedang 45.3 1.5
Kadipiro 0.8 0.1 0.2 0.15 0.3 1.55 Rendah 220.4 7.5
Ketelan 1.2 0.1 0.4 0.15 0.3 2.15 Sedang 9.9 0.3
Kestalan 1.2 0.1 0.4 0.15 0.3 2.15 Rendah 6.7 0.2
Sumber 0.4 0.1 0.4 0.15 0.3 1.35 Rendah 92.8 3.1
Banyuanyar 0.4 0.1 0.4 0.15 0.3 1.35 Rendah 62.5 2.1
97
98
98
Lampiran 4. Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Kantor Pemerintah
Kantor Pemerintahan Keriteria
Total Keterangan Luasan
(Ha) % Asosiasi
Kesejarahan
Posisi terhadap
Keraton Surakarta
Arsitektur
Bangunan
Kesamaan jenis
elemen lanskap
Laweyan Dinas Kebudayaan & Pariwisata 0.4 0.2 0.6 0.6 1.8 Sedang 0.06 0.3
Dinas Sosial, tenaga kerja &
trasmigrasi 0.4 0.2 0.6 0.6 1.8 Sedang 0.05 0.3
Kantor Kec. Laweyan 0.4 0.2 0.6 0.6 1.8 Sedang 0.4 2.1
Kantor Kelurahan 0.4 0.2 0.6 0.6 1.8 Sedang 1.1 5.8
Kantor Samsat 0.4 0.2 0.6 0.6 1.8 Sedang 0.24 1.3
Kantor Korem 0.4 0.2 0.6 0.6 1.8 Sedang 4.4 23.3
Kantor Polwil 0.4 0.2 0.6 0.6 1.8 Sedang 3.2 16.9
Serengan Kantor Kec. Serengan 0.4 0.2 0.6 0.6 1.8 Sedang 0.4 2.1
Kantor Kelurahan 0.4 0.2 0.6 0.6 1.8 Sedang 0.7 3.7
Pasar
Kliwon Komplek Balaikota Surakarta 0.4 0.4 0.6 0.6 2 Sedang 2.5 13.2
Dinas perhubungan, komunikasi dan
informasi 0.4 0.2 0.6 0.6 1.8 Sedang 0.1 0.5
Kantor Kelurahan 0.4 0.2 0.6 0.6 1.8 Sedang 1.8 9.5
Jebres Dinas PU 0.4 0.2 0.6 0.6 1.8 Sedang 0.2 1.1
Dinas Pertanian 0.4 0.2 0.6 0.6 1.8 Sedang 0.2 1.1
Kantor Arsip dan perpustakaan daerah 0.4 0.2 0.6 0.6 1.8 Sedang 0.04 0.1
Kantor Kelurahan 0.4 0.2 0.6 0.6 1.8 Sedang 1.1 5.8
Banjarsari Dinas Pendidikan, pemuda dan
olahraga 0.4 0.2 0.6 0.6 1.8 Sedang 0.2 1.1
Dinas Kebersihan dan Pertamanan 0.4 0.2 0.6 0.6 1.8 Sedang 0.2 1.1
Dinas Koperasi &UKM 0.4 0.2 0.6 0.6 1.8 Sedang 0.1 0.5
Dinas Perindustrian dan perdagangan 0.4 0.2 0.6 0.6 1.8 Sedang 0.1 0.5
Kantor Ketahanan Pangan 0.4 0.2 0.6 0.6 1.8 Sedang 0.05 0.3
Kantor Kecamatan Banjarsari 0.4 0.2 0.6 0.6 1.8 Sedang 0.4 2.1
Kantor Kelurahan 1 1 3 3 8 Sedang 1.3 6.9
98
99
99
Lampiran 5. Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Kantor Swasta
Kantor Swasta
Keriteria
Total Keterangan Luasan
(Ha) % Asosiasi
Kesejarahan
Posisi terhadap
Keraton Surakarta
Arsitektur
Bangunan
Kesamaan jenis
elemen lanskap
Laweyan Bank Haga 0.4 0.2 0.6 0.6 1.8 Sedang 0.05 0.8
Bank BII 0.4 0.2 0.6 0.6 1.8 Sedang 0.06 1
Bank Mandiri 0.4 0.2 0.6 0.6 1.8 Sedang 0.2 3.4
Bank Maspion Indonesia 0.4 0.2 0.6 0.6 1.8 Sedang 0.06 1
Bank Mega 0.4 0.2 0.6 0.6 1.8 Sedang 0.06 1
Bank Pasar Surakarta 0.4 0.2 0.6 0.6 1.8 Sedang 0.06 1
Bank Syariah Mandiri 0.4 0.2 0.6 0.6 1.8 Sedang 0.06 1
Bank BTPN 0.4 0.2 0.6 0.6 1.8 Sedang 0.04 0.7
Kantor Asuransi Jiwasraya 0.4 0.2 0.6 0.4 1.6 Rendah 0.1 1.7
Kantor PLN 0.4 0.2 0.6 0.4 1.6 Rendah 0.6 10.3
Serengan Bank Mayapada 0.4 0.2 0.6 0.6 1.8 Sedang 0.04 0.7
Bank Permata 0.4 0.2 0.6 0.6 1.8 Sedang 0.04 0.7
Bank Panin 0.4 0.2 0.6 0.6 1.8 Sedang 0.04 0.7
Bank Danamon 0.4 0.2 0.6 0.6 1.8 Sedang 0.04 0.7
Bank BRI 0.4 0.2 0.6 0.6 1.8 Sedang 0.04 0.7
Bank BPR 0.4 0.2 0.6 0.6 1.8 Sedang 0.04 0.7
Bank BCA 0.4 0.2 0.6 0.6 1.8 Sedang 0.04 0.7
Pasar Kliwon Bank BCA 0.4 0.2 0.6 0.6 1.8 Sedang 0.5 8.6
Bank Indonesia 1.2 0.2 0.6 0.6 2.6 Kuat 0.5 8.6
Bank Danamon Syariah 0.4 0.2 0.6 0.6 1.8 Sedang 0.1 1.7
Bank BRI 0.4 0.2 0.6 0.6 1.8 Sedang 0.2 3.4
Bank BNI 0.4 0.2 0.6 0.6 1.8 Sedang 0.3 5.1
Bank Niaga 0.4 0.2 0.6 0.6 1.8 Sedang 0.04 0.7
Bank Panin 0.4 0.2 0.6 0.6 1.8 Sedang 0.1 1.7
Bank Mandiri 0.4 0.2 0.6 0.6 1.8 Sedang 0.4 6.9
99
100
100
Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Kantor Swasta (Lanjutan)
Kantor Swasta
Keriteria
Total Keterangan Luasan
(Ha) % Asosiasi
Kesejarahan
Posisi terhadap
Keraton Surakarta
Arsitektur
Bangunan
Kesamaan jenis
elemen lanskap
Pasar
Kliwon Kantor POS 0.8 0.2 0.6 0.6 2.2 Sedang 0.7 12
Kantor Telkom 0.4 0.2 0.6 0.6 1.8 Sedang 0.45 7.7
Jebres Bank BII 0.4 0.2 0.6 0.6 1.8 Sedang 0.05 0.8
Bank BCA 0.4 0.2 0.6 0.6 1.8 Sedang 0.05 0.8
Kantor PDAM 0.4 0.2 0.6 0.6 1.8 Sedang 0.1 1.7
Banjarsari Bank BTN 0.4 0.2 0.6 0.6 1.8 Sedang 0.05 0.8
Bank Lippo 0.4 0.2 0.6 0.6 1.8 Sedang 0.05 0.8
Bank Danamon 0.4 0.2 0.6 0.6 1.8 Sedang 0.05 0.8
Kantor PTP Nusantara 1.2 0.2 0.6 0.6 2.6 Kuat 0.6 10.3
100
101
101
Lampiran 6. Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Pertokoan
Pertokoan
Keriteria
Total Keterangan Luasan (Ha) % Asosiasi
Kesejarahan
Posisi terhadap
Keraton Surakarta
Arsitektur
Bangunan
Kesamaan jenis
elemen lanskap
Laweyan Solo Grand Mall 0.4 0.2 0.4 0.6 1.6 Rendah 1.2 0.5
Solo Square 0.4 0.2 0.4 0.6 1.6 Rendah 2.5 1
Makro 0.4 0.2 0.2 0.4 1.2 Rendah 1.5 0.6
Ruko Kampung Batik 1.2 0.2 0.6 0.6 2.6 Kuat 10 4.1
Gramedia 1.2 0.2 0.6 0.6 2.6 Kuat 0.5 0.2
Serengan Ruko Jl. Gatot Subroto 1.2 0.2 0.6 0.6 2.6 Kuat 13.5 5.5
Ruko Jl. Yos Sudarso 1.2 0.2 0.6 0.6 2.6 Kuat 27.5 11.3
Ruko Jl. Honggowongso 1.2 0.2 0.6 0.6 2.6 Kuat 17.8 7.4
Ruko Jalan Dr. Rajiman 1.2 0.2 0.6 0.6 2.6 Kuat 25.2 10.4
Ruko Jl. Veteran 1.2 0.2 0.6 0.6 2.6 Kuat 3.2 1.3
Pasar
Kliwon Pusat Grosir Solo 1.2 0.2 0.6 0.6 2.6 Kuat 0.8 0.3
Beteng 1.2 0.2 0.6 0.6 2.6 Kuat 1.2 0.5
Ruko Jl. Veteran 1.2 0.2 0.6 0.6 2.6 Kuat 9.4 3.8
Jebres Ruko Pasar Gede 1.2 0.2 0.6 0.6 2.6 Kuat 35.9 14.8
Ruko Jl. Urip Sumoharjo 1.2 0.2 0.6 0.6 2.6 Kuat 11.7 4.8
Ruko Jl. Ir. Sutami 0.8 0.2 0.4 0.4 1.8 Sedang 55.1 22.6
Banjarsari Solo Paragon Mall 0.4 0.2 0.2 0.6 1.4 Rendah 1.5 0.6
Ruko Jl. Slamet Riyadi 1.2 0.2 0.6 0.6 2.6 Kuat 24.8 10.2
101
102
102
Lampiran 7. Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Pasar Tradisional
Pasar tradisional Keriteria
Total Keterangan Luasan
(Ha) % Asosiasi
Kesejarahan
Posisi terhadap
Keraton Surakarta
Arsitektur
Bangunan
Kesamaan jenis
elemen lanskap
Laweyan Jongke 0.8 0.2 0.6 0.6 2.2 Sedang 1.2 12.2
Sidodadi 0.8 0.2 0.6 0.6 2.2 Sedang 0.08 0.8
Kabangan 0.4 0.2 0.6 0.6 1.8 Sedang 0.2 2.0
Penumping 0.8 0.2 0.6 0.6 2.2 Sedang 0.1 1.0
Kembang 1.2 0.2 0.6 0.6 2.6 Kuat 0.1 1.0
Serengan Singosaren 0.8 0.2 0.6 0.6 2.2 Sedang 0.5 5.1
Harjodaksino 0.8 0.2 0.6 0.6 2.2 Sedang 0.9 9.1
Pasar Kliwon Klewer 1.2 0.6 0.6 0.6 3 Kuat 1.4 14.2
Notoharso 0.8 0.2 0.6 0.6 2.2 Sedang 1.1 11.1
Gading 1.2 0.6 0.6 0.6 3 Kuat 0.2 2.0
Klithikan 0.4 0.2 0.6 0.6 1.8 Sedang 0.2 2.0
Jebres Gede 1.2 0.6 0.6 0.6 3 Kuat 0.6 6.1
Ledoksari 0.8 0.2 0.6 0.6 2.2 Sedang 0.05 0.5
Pucang sawit 0.8 0.2 0.6 0.6 2.2 Sedang 0.1 1.0
Rejosari 0.8 0.2 0.6 0.6 2.2 Sedang 0.02 0.2
Mojosongo 0.8 0.2 0.6 0.6 2.2 Sedang 0.1 1.0
Banjarsari Legi 1.2 0.2 0.6 0.6 2.6 Kuat 1.6 16.2
Nusukan 0.8 0.2 0.6 0.6 2.2 Sedang 0.6 6.1
Depok 0.8 0.2 0.6 0.6 2.2 Sedang 0.4 4.1
Turisari 0.8 0.2 0.6 0.6 2.2 Sedang 0.1 1.0
Ayu Balapan 0.4 0.2 0.6 0.6 1.8 Sedang 0.1 1.0
Triwindu 0.8 0.2 0.6 0.6 2.2 Sedang 0.1 1.0
Kadipiro 0.8 0.2 0.6 0.6 2.2 Sedang 0.02 0.2
Bangunharjo 0.8 0.2 0.6 0.6 2.2 Sedang 0.1 1.0
102
103
103
Lampiran 8. Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Perhotelan
Hotel
Keriteria
Total Keterangan Luasan
(Ha) % Asosiasi
Kesejarahan
Posisi terhadap
Keraton Surakarta
Arsitektur
Bangunan
Kesamaan jenis
elemen lanskap
Laweyan The Sunan Hotel 0.4 0.2 0.6 0.6 1.8 Sedang 2.2 16
Riyadi Palace 0.4 0.2 0.4 0.2 1.2 Rendah 0.1 0.7
Solo Inn 0.4 0.2 0.6 0.6 1.8 Sedang 0.1 0.7
Dana 0.4 0.2 0.6 0.6 1.8 Sedang 0.75 5.5
Diamond 0.4 0.2 0.4 0.4 1.4 Rendah 1.8 13.1
Arini 0.4 0.2 0.4 0.2 1.2 Rendah 0.1 0.7
Sanasthri 0.4 0.2 0.4 0.2 1.2 Rendah 0.1 0.7
De Solo 0.4 0.2 0.6 0.6 1.8 Sedang 0.2 1.5
Roemahku 0.4 0.2 0.6 0.6 1.8 Sedang 0.2 1.5
Serengan Indah Palace 0.4 0.2 0.4 0.2 1.2 Rendah 0.1 0.7
Pasar
Kliwon Sahid Prince Hotel 0.4 0.2 0.6 0.6 1.8 Sedang 1.7 12.4
Best Western 0.4 0.2 0.6 0.4 1.6 Rendah 0.5 3.6
Jebres Asia 0.4 0.2 0.4 0.2 1.2 Rendah 0.3 2.2
Bintang 0.4 0.2 0.4 0.2 1.2 Rendah 0.1 0.7
Kusuma Kartika Sari 0.4 0.2 0.4 0.6 1.6 Rendah 0.1 0.7
Trio 0.4 0.2 0.6 0.4 1.6 Rendah 0.2 1.5
Banjarsari Sahid Jaya 0.4 0.2 0.6 0.6 1.8 Sedang 1.5 10.9
Novotel 0.4 0.2 0.4 0.6 1.6 Rendah 0.9 6.5
Solo Paragon 0.4 0.2 0.4 0.6 1.6 Rendah 0.45 3.2
Agas 0.4 0.2 0.4 0.4 1.4 Rendah 0.9 6.5
IBIS 0.4 0.2 0.4 0.6 1.6 Rendah 0.4 2.9
Grand Orchid 0.4 0.2 0.6 0.4 1.6 Rendah 0.1 0.7
Indah Jaya 0.4 0.2 0.4 0.2 1.2 Rendah 0.25 1.8
Graha Indah Baru 0.4 0.2 0.4 0.2 1.2 Rendah 0.1 0.7
Omah Sinten 0.4 0.2 0.6 0.6 1.8 Sedang 0.35 2.5
Griya Teratai 0.4 0.2 0.6 0.6 1.8 Sedang 0.2 1.5
103
104
104
Lampiran 9. Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Sarana Pendidikan
Kecamatan Sarana Pendidikan Kriteria
Total Keterangan Jumlah Luasan
(Ha) % Asosiasi
Kesejarahan
Posisi Terhadap
Keraton Surakarta
Arsitektur
Bangunan
Kesamaan jenis dan
desain elemen
Laweyan TK 0.4 0.2 0.2 0.6 1.4 Rendah 59
65.26 26.5
SD 0.4 0.2 0.4 0.6 1.6 Rendah 54
SMP 0.4 0.2 0.4 0.6 1.6 Rendah 20
SMA 0.4 0.2 0.4 0.6 1.6 Rendah 13
SMK 0.4 0.2 0.4 0.6 1.6 Rendah 14
Universitas 0.4 0.2 0.4 0.6 1.6 Rendah 3
Serengan TK 0.4 0.2 0.2 0.6 1.4 Rendah 31
13.64 5.5
SD 0.4 0.2 0.4 0.6 1.6 Rendah 31
SMP 0.4 0.2 0.4 0.6 1.6 Rendah 10
SMA 0.4 0.2 0.4 0.6 1.6 Rendah 4
SMK 0.4 0.2 0.4 0.6 1.6 Rendah 6
Pasar
Kliwon TK 0.8 0.4 0.6 0.6 2.4 Sedang 40
10.79 4.4
SD 0.8 0.4 0.6 0.6 2.4 Sedang 50
SMP 0.8 0.4 0.6 0.6 2.4 Sedang 11
SMA 0.8 0.4 0.6 0.6 2.4 Sedang 5
SMK 0.8 0.4 0.6 0.6 2.4 Sedang 3
Jebres TK 0.4 0.2 0.6 0.6 1.8 Sedang 77 130.31 52.8
SD 0.8 0.2 0.6 0.6 2.2 Sedang 56
SMP 0.8 0.2 0.6 0.6 2.2 Sedang 18
SMA 0.8 0.2 0.6 0.6 2.2 Sedang 6
SMK 0.8 0.2 0.6 0.6 2.2 Sedang 6
Universitas 0.8 0.2 0.6 0.6 2.2 Sedang 4
104
105
105
Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Sarana Pendidikan (Lanjutan)
Kecamatan Sarana Pendidikan
Kriteria
Total Keterangan Jumlah Luasan
(Ha) % Asosiasi
Kesejarahan
Posisi Terhadap
Keraton Surakarta
Arsitektur
Bangunan
Kesamaan jenis dan
desain elemen
Banjarsari TK 0.8 0.2 0.6 0.6 2.2 Sedang 82
26.68 10.8
SD 0.8 0.2 0.6 0.6 2.2 Sedang 81
SMP 0.8 0.2 0.6 0.6 2.2 Sedang 20
SMA 0.8 0.2 0.6 0.6 2.2 Sedang 14
SMK 0.8 0.2 0.6 0.6 2.2 Sedang 18
Universitas 0.4 0.2 0.6 0.6 1.8 Sedang 2
105
106
106
Lampiran 10. Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Taman Kota
Kecamatan Taman Kota
Kriteria
Total Keterangan Luasan
(Ha) % Asosiasi
Kesejarahan
Posisi Terhadap
Keraton Surakarta
Arsitektur
Bangunan
Kesamaan jenis dan
desain elemen
Laweyan Taman Sriwedari 1.2 0.4 0.6 0.6 2.8 Kuat 10 19.3
Jebres Taman Budaya Solo 0.8 0.2 0.6 0.6 2.2 Sedang 7.9 15.2
Jurug (Kebun Binatang) 0.8 0.2 0.6 0.6 2.2 Sedang 14 27.0
Banjarsari Taman Balekambang 1.2 0.4 0.6 0.6 2.8 Kuat 9.8 18.9
Manahan (Hutan Kota) 0.8 0.2 0.6 0.6 2.2 Sedang 8 15.4
Taman Sekartaji 0.4 0.2 0.6 0.6 1.8 Sedang 1 1.9
Taman Villapark 1.2 0.2 0.6 0.6 2.6 Kuat 1.2 2.3
Lampiran 11. Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Sarana Transportasi
Kecamatan Sarana Transportasi
Kriteria
Total Keterangan Luasan
(Ha) % Asosiasi
Kesejarahan
Posisi Terhadap
Keraton Surakarta
Arsitektur
Bangunan
Kesamaan jenis dan
desain elemen
Laweyan Stasiun Purwosari 0.8 0.2 0.6 0.6 2.2 Sedang 2.2 21.3
Pasar Kliwon Stasiun Sangkrah 0.8 0.2 0.6 0.6 2.2 Sedang 0.05 0.5
Jebres Stasiun Jebres 0.8 0.2 0.6 0.6 2.2 Sedang 0.8 7.7
Banjarsari Stasiun Solo Balapan 0.8 0.2 0.6 0.6 2.2 Sedang 2.6 25.1
Terminal Tirtonadi 0.4 0.2 0.6 0.6 1.8 Sedang 4.7 45.4
106
107
107
Lampiran 12. Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Fasilitas Kesehatan
Kecamatan Sarana Kesehatan
Kriteria
Total Keterangan Luasan (Ha) % Asosiasi
Kesejarahan
Posisi Terhadap
Keraton Surakarta
Arsitektur
Bangunan
Kesamaan jenis dan
desain elemen
Laweyan RS. Kasih Ibu 0.4 0.2 0.2 0.4 1.2 Rendah 1.05 5.6
RS. Pantiwaluyo 0.8 0.2 0.4 0.4 1.8 Sedang 0.75 3.9
RS. Slamet Riyadi 0.8 0.2 0.4 0.4 1.8 Sedang 1.2 6.3
RSK. Jiwa & syaraf Puri
Waluyo 0.4 0.2 0.4 0.4 1.4 Rendah 0.33 1.7
Pasar Kliwon RS. Islam Kustati 0.4 0.2 0.2 0.4 1.2 Rendah 0.15 0.8
Jebres RS. Dr. Oen Solo 0.4 0.2 0.2 0.4 1.2 Rendah 1.72 9.1
RS. Dr. Moewardi 0.4 0.2 0.2 0.4 1.2 Rendah 4.62 24.5
RS. Jiwa 0.4 0.2 0.2 0.4 1.2 Rendah 5.1 27
RS. Yan Med Dasar
Mojosongo 0.4 0.2 0.2 0.4 1.2 Rendah 0.15 0.8
Banjarsari RS. Brayat Minulyo 0.4 0.2 0.4 0.4 1.4 Rendah 0.84 4.5
RS. PKU Muhammadiyah 0.4 0.2 0.2 0.4 1.2 Rendah 2.6 13.7
RS. Tri Harsi 0.4 0.2 0.2 0.4 1.2 Rendah 0.15 0.8
RS. Daerah Banjarsari 0.4 0.2 0.2 0.4 1.2 Rendah 0.2 1.1
107
108
108
Lampiran 13. Tingkat Pengaruh Keraton terhadap Lanskap Sarana Peribadatan
Kecamatan Sarana Peribadatan
Kriteria
Total Keterangan Jumlah Luasan
(Ha) % Asosiasi
Kesejarahan
Posisi Terhadap
Keraton Surakarta
Arsitektur
Bangunan
Kesamaan jenis
dan desain elemen
Laweyan Masjid 0.8 0.2 0.6 0.6 2.2 Sedang 7 4.69
8.2
Gereja 0.8 0.2 0.4 0.4 1.8 Sedang 12 14
Serengan Masjid 0.8 0.2 0.4 0.6 2 Sedang 1
1.8
0.6
Gereja 0.8 0.2 0.4 0.4 1.8 Sedang 11 7.6
Vihara/Klenteng 0.8 0.2 0.4 0.4 1.8 Sedang 1
Pasar Kliwon Masjid 1.2 0.2 0.6 0.6 2.6 Kuat 9
12
9.06
Gereja 0.8 0.2 0.4 0.6 2 Sedang 10 12.64
Vihara/Klenteng 0.8 0.2 0.4 0.6 2 Sedang 1
Jebres Masjid 0.8 0.2 0.4 0.4 1.8 Sedang 11
5.35 26 Gereja 0.8 0.2 0.4 0.4 1.8 Sedang 33
Vihara/Klenteng 0.8 0.2 0.4 0.4 1.8 Sedang 2
Banjarsari Masjid 0.8 0.2 0.6 0.6 2.2 Sedang 15
4.53
7.3
Gereja 0.8 0.2 0.4 0.4 1.8 Sedang 29 14.6
Vihara/Klenteng 0.8 0.2 0.4 0.4 1.8 Sedang 1
108