STUDI PEMIKIRAN KONSEP SUNNAH MENURUT MUHAMMAD SYAHRUR SEBAGAI METODE ISTINBATH HUKUM ISLAM SKRIPSI Diajukan guna Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1) dalam Ilmu Syari‟ah Disusun oleh : MUHADZ ALI JIDZAR 052111083 FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2011
97
Embed
STUDI PEMIKIRAN KONSEP SUNNAH MENURUT ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/113/jtptiain...... namun dalam perkembangannya masih menuai pro dan kontra di dalam memahaminya.
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
STUDI PEMIKIRAN KONSEP SUNNAH
MENURUT MUHAMMAD SYAHRUR
SEBAGAI METODE ISTINBATH HUKUM ISLAM
SKRIPSI
Diajukan guna Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat
guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1)
dalam Ilmu Syari‟ah
Disusun oleh :
MUHADZ ALI JIDZAR
052111083
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2011
ii
PENGESAHAN
Nama : Muhadz Ali Jidzar
NIM : 052111083
Jurusan : Ahwal Al-Syakhsiyah
Judul Skripsi : STUDI PEMIKIRAN KONSEP SUNNAH MENURUT
MUHAMMAD SYAHRUR SEBAGAI METODE ISTINBATH
HUKUM ISLAM
Telah dimunaqasahkan oleh Dewan Penguji Fakultas Syari‟ah IAIN
Walisongo Semarang dan dinyatakan lulus dengan predikat cumlaude/ baik/
cukup, pada tanggal :
28 Desember 2011
Dan dapat diterima sebagai syarat guna memperoleh gelar Sarjana Strata
Satu (S1) tahun akademik 2011/ 2012
Semarang, 28 Desember 2011
Ketua Sidang Sekretaris Sidang
Dra. Hj. Siti Mujibatun, M. Ag Drs. H. Abu Hapsin, Ph. D
Dari beberapa masalah yang dikemukakan oleh Syah}ru>r, beberapa teori
sempat ia publikasikan kepada publik yang diantaranya:116
Pertama, teori hudu>d (dalam hukum Islam) yang memandang bahwa syari„at Allah
sesungguhnya hanyalah Syari„at yang berupa batas-batas (hudu>d ) dan bukan
syari„at yang konkret („ayni). Oleh karena itu, manusia bertugas menemukan hudu>d
Allah dalam ayat-ayat umm Al-Kita>b. Setelah hudu>d Allah itu ditemukan, ia
diharuskan membentuk hukum yang sesuai dengan tuntutan realitas, namun tidak
diperkenankan menyalahi atau melampaui hudu>d Allah tersebut.117
Teori hudu>d
diciptakan Syah}ru>r dalam upaya penegakan demokrasi dan kebebasan sipil yang
diprioritaskan dalam bidang hukum Islam118
modern yang dinamis, fleksibel, dan
relevan dengan tuntutan realitas. Oleh karena teori ini masih belum bisa keluar dari
hegemoni positivisme-nomotetik, akibatnya teori ini akan menghasilkan ilmu yang
monogal dan sulit menumbuhkan emansipasi masyarakat karena masyarakat masih di
dominasi oleh positivisme ilmiah (logika nomotetis).119
Kedua, teori tentang hukum Islam yang berpandangan bahwa hukum Islam adalah
hukum sipil (hukum madani) yang manusiawi, penuh keragaman dan berada dalam
cakupan batas-batas (hudu>d ) Allah atau dibangun di atas hudu>d Allah. Karenanya
bagi Syah}ru>r pembuat hukum adalah manusia sendiri. Sedangkan Allah hanya
memberi batas-batasnya saja. Sehingga dapat dikatakan mayoritas hukum penduduk
116
Muhyar Fanani, Metode Studi Islam; Aplikasi Sosiologi Pengetahuan Sebagai Cara
Pandang, op.cit, h. 118-121. 117
Ibid. 118
Muhyar Fanani, Fiqh Madani, Yogyakarta; LKiS, 2010, h. 234 119
Muhyar Fanani, Metode Studi Islam; Aplikasi Sosiologi Pengetahuan Sebagai Cara
Pandang, op.cit, h. 191
47
bumi sekarang mengaktualisasikan hukum Islam, selama masih mengindahkan batas-
batas Allah.
Ketiga, teori tentang sumber hukum yang berpandangan bahwa sumber-sumber
hukum Islam itu terdiri dari tiga macam yakni akal, realitas (alam dan kemanusiaan),
dan ayat-ayat muhkamat. Sehingga Al-Qur’a>n , Sunnah, Qiyas, dan Ijma‟ bukan lagi
sebagai sumber hukum jika belum dikonsepsikan menjadi bentuk yang baru. Padahal
Abu Ishaq Asy-Syathi>bi yang menjadi salah seorang pakar us}ul fiqih yang terkenal
dalam karyanya al-Muwafaqat, menegaskan bahwa sumber hukum haruslah sesuatu
yang bersifat qat}’i. Dimana hal ini didasarkan pada tiga premis, yaitu pertama,
berdasar prinsip akal dan kulliyat al-Syari„ah, kedua Jika yang z}anni tidak bisa
diterima akal, maka kulliyat al-Syari„ah juga tidak dapat diterima, ketiga jika yang
z}anni dapat dijadikan dasar us}ul fiqh, maka boleh juga sebagai dasar agama.120
Karena menurut Syathibi, sumber hukum adalah dasar-dasar syari‟at. Dasar-dasar
syari„at memiliki kedudukan yang sama dengan dasar-dasar agama (ushuluddin,
akidah), bila dasar-dasar agama harus qat}’i, maka dasar-dasar syari„at harus qath}’i
pula.
Keempat, teori tentang ijtiha>d yang berpandangan bahwa ijtiha>d adalah upaya
kolektif untuk memahami ayat-ayat hukum sehingga terkuak batas-batas (hudu>d )
Allah dengan menggunakan sistem pengetahuan modern dan kemudian membentuk
perundang-undangan dalam cakupan batas-batas (hudu>d ) Allah itu melalui lembaga
perwakilan nasional. Menurut Syah}ru>r sehebat apapun tingkat akurasi ijtiha>d itu,
kualitasnya hanyalah nisbi belaka, karena ia hanyalah upaya yang bersifat lokal,
120
Aksin Wijaya, Dinamika Teori-Teori Hukum Islam Menurut Wael B. Hallaq, dalam Jurnal
Dialogia; Jurnal Studi Islam dan Sosial, Ponorogo; STAIN Ponorogo, 2003, h. 48
48
temporal, dan spasial. Oleh karena itu Syah}ru>r melihat bahwa ijtiha>d manusia
termasuk Nabi Muh}ammad, bukan menghalalkan atau mengharamkan sesuatu, tapi
hanya membolehkan, menegaskan, mencegah, atau melarang apa yang dihalalkan
oleh Allah sesuai dengan tuntutan situasi kondisi tertentu.
Dan yang kelima, teori tentang mujtahid yang berisi pandangan bahwa mujtahid
hanya terdiri dari: (1) para ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu yang tergabung
dalam komisi konsultatif (Al-Lija>n Al-Istisha>riyyah), (2) anggota lembaga
perwakilan nasional (Al-Maja>lis An-Niya>biyyah wa Al-Bala>diyyah). Dengan
demikian, para faqih dan para mufti walaupun ilmunya setinggi langit, bila tidak mau
bergabung dengan komisi konsultatif, ia tidak bisa disebut seorang mujtahid.
Sebuah pemikiran (konsepsi besar) yang telah ditelurkannya yakni
pemikirannya mengenai Teori Batas dengan konstruksi awal epistemologinya
berdasarkan konsep Kaynunah, Sayrurah dan Sayrurah yang dipahaminya yang
orang kenal dengan “Trilogi Hermeneutika”.121
Kajian yang Syah}ru>r lakukan tersebut dapat merombak tatanan teori-teori
lama karena kedinamisan watak gagasan teori yang dibangunnya, teori batas (the
theory of limit), memiliki landasan episteme dan ontologi yang menjadi basis bagi
dekonstruksi wacana lama, yakni landasan linguistik Arab yang dalam level tertentu
bersama-sama dengan kajian ilmu-ilmu eksakta dapat dimasukkan sebagai kajian
episteme dan secara tegas menekankan pada anti-sinonimitas sehingga berujung pada
sebuah kesimpulan yang berbeda sama sekali dengan para teoritisi Islam klasik. Dan
121
Abdul Mustaqim, op.cit, h. 94.
49
terakhir melalui instrument ilmu-ilmu eksakta ia memperkokoh teori yang ia bangun,
khususnya melalui analisis matematika modern.122
Untuk memperoleh konstruksi pemikiran yang luar biasa seperti itu, Syah}ru>r
melalui beberapa tahap atau fase-fase pemikiran yang terbagi menjadi 3 fase,
yaitu:123
1. Fase Pertama, antara 1970-1980
Fase ini bermula saat Syah}ru>r mengambil jenjang Magister dan Doktor
dalam bidang teknik sipil di Universitas Nasional Irlandia, Dublin. Fase ini
adalah fase kontemplasi dan peletakan dasar pemahamannya dan istilah-istilah
dasar dalam al-Qur’a>n sebagai al-D}ikr. Dalam fase ini belum membuahkan hasil
pemikiran terhadap al-D}ikr. Hal ini disebabkan karena pengaruh pemikiran-
pemikiran taqlid yang diwariskan dan ada dalam khazanah karya Islam lama dan
modern, di samping cenderung pada Islam sebagai ideologi (‘aqi>dah) baik dalam
bentuk kalam maupun fiqh madzhab. Selain itu, dipengaruhi pula oleh kondisi
sosial yang melingkupi ketika itu.
Dalam kurun waktu 10 tahun tersebut, Syah}ru>r mendapati beberapa hal
yang selama ini dianggap sebagai dasar Islam, namun ternyata bukan karena ia
tidak mampu menampilkan pandangan Islam yang murni dalam menghadapi
tantangan abad-20. Menurut Syah}ru>r, hal itu dikarenakan dua hal: pertama,
pengetahuan tentang aqidah Islam yang diajarkan di madrasah-madrasah
beraliran Mu‟tazili atau Asy‟ari. Kedua, pengetahuan tentang fiqh yang diajarkan
di madrasah-madrasah beraliran Maliki, Hanafi, Hambali, ataupun Ja‟fari.
122
Udin Safala, et al. Liba>s Syah}ru>r, STAIN Ponorogo Press; Ponorogo, 2010, h. 33. 123
M. Zaid Su‟di, op.cit, h. xiii-xv
50
Menurut Syah}ru>r, apabila penelitian ilmiah dan modern masih terkungkung oleh
kedua hal tersebut, maka studi Islam berada pada titik rawan.
2. Fase Kedua, antara 1980-1986
Pada 1980, Syah}ru>r bertemu dengan teman lamanya, Dr. Ja‟far (yang
mendalami studi bahasa di Uni Soviet antara 1958-1964)124
. Dimana dalam hal
ini, Ja‟far Dakk al-Ba>b, yang merupakan teman dan sekaligus gurunya, memiliki
peran yang sangat besar dalam mendukung karier intelektual akademik Syah}ru>r.
Pada waktu sama-sama bersekolah, Ja‟far mengambil jurusan Linguistik,
sedangkan Syah}ru>r mengambil jurusan Teknik Sipil. Meskipun setelah itu
keduanya berpisah karena sama-sama telah selesai dalam studinya.125
Dalam kesempatan bertemunya dengan kawan lamanya tersebut di
Irlandia, Dublin,126
Syah}ru>r menyampaikan tentang perhatian besarnya terhadap
studi bahasa, filsafat dan pemahaman terhadap Al-Qur’a>n. Kemudian Syah}ru>r
menyampaikan pemikiran dan disertasinya di bidang bahasa yang disampaikan
di Universitas Moskow pada 1973. Topik disertasinya mengenai pandangan
linguistik „Abd al-Qadir al-Jurhani (ahli nah}wu dan balaghah) dan posisinya
dalam linguistik umum. Melalui Ja‟far, Syah}ru>r belajar banyak tentang linguistik
termasuk filologi, serta mulai mengenal pandangan-pandangan al-Farra‟, Abu
„Ali al-Farisi serta muridnya, Ibn Jinni, dan al-Jurhani,127
Serta dari Yahya ibn
124
Zuhairi Misrawi, Pandangan Muslim Moderat; Toleransi, Terorisme, dan Oase
perdamaian, Jakarta; PT. Kompas Media Nusantara, 2010, h. 238. 125
Abdul Mustaqim, op.cit, h. 96. 126
Ibid. 127
Zuhairi Misrawi, Pandangan Muslim Moderat; Toleransi, Terorisme, dan Oase
perdamaian, op.cit, h. 238.
51
Tsa‟lab.128
Sejak itu Syah}ru>r berpendapat bahwa sebuah kata memiliki satu
makna dan bahasa Arab merupakan bahasa yang di dalamnya tidak terdapat
sinonim. Sebuah contoh dari Syah}ru>r untuk memaknai Syah}ru>r memaknai
rattala yurattilu tarti>lan dalam surat al-Muzammil (ayat 1-5) bukan membaca
secara pelan-pelan atau lambat, sebagaimana dipahami para ulama selama ini,
tetapi membaca secara tematik dan mencoba menyintesakan antara pelbagai ayat
yang mempunyai pesan serupa, sehingga Al-Qur’a>n dapat dipahami secara
utuh.129
Selain itu, antara nah}wu dan balaghah tidak dapat dipisahkan, sehingga
menurutnya, selama ini ada kesalahan dalam pengajaran bahasa Arab di berbagai
madrasah dan Universitas.
Sejak itu pula Syah}ru>r menganalisis ayat-ayat Al-Qur’a>n dengan model
baru, dan pada 1984, ia mulai menulis pokok-pokok pikirannya bersama Ja‟far
yang digali dari Al-Kita>b.
Pada fase ini Syah}ru>r menemukan beberapa tesis yang cukup signifikan
dalam memahami kajian Islam. Pertama, bahwa ujaran (alfad}) memiliki karakter
tipikal yang dependen terhadap sejumlah makna. Kedua, bahwa dalam linguistik
Arab-secara umum jika diyakini ada sinonimitas maka mayoritas merupakan trik
untuk mendukung pemikiran tertentu, dan struktur semantik (al-nahwiyyah)
dapat dipastikan memiliki relasi dengan kajian “sastra Arab” (khabar balaghi).
Bagi Syah}ru>r semantik dan sastra merupakan dua kajian yang memiliki tipikal
resiprokal yang tidak dapat dipisahkan karena pemisahan antara dua kajian ini
128
Abdul Mustaqim, op.cit., h. 96. 129
Zuhairi Misrawi, Pandangan Muslim Moderat; Toleransi, Terorisme, dan Oase
perdamaian, op.cit, h. 238.
52
berarti sama dengan ketidakmungkinan untuk memisahkan antara kajian anatomi
dengan kajian studi psikologi dalam dunia medis. Dari sini ia melihat
ketimpangan atau paradoks antara realitas dengan idealitas. Realitas memberi
informasi bahwa tidak ada relasi resiprokal dalam materi pendidikan dan
pengajaran semantik yang dilakukan baik di sekolah-sekolah Islam maupun
universitas-universitas yang mengajarkan bahasa Arab sebagai materi kajian
dengan kajian makna yang mestinya inheren dan diberikan dalam satu paket
utuh tak terpisahkan, dan hal ini di yakini sebagai krisis utama dan pertama yang
harus dipecahkan.130
3. Fase Ketiga, antara 1986-1990131
Dalam fase ini, Syah}ru>r mulai intensif menyusun pemikirannya dalam
topik-topik tertentu. 1986-an akhir dan 1987, ia menyelesaikan bab pertama dari
Al-Kita>b wa al-Qur’a>n, yang merupakan masalah-masalah sulit. Bab-bab
selanjutnya diselesaikan sampai 1990.
Syah}ru>r dalam pembacaan awalnya mencoba untuk meredefinisi seluruh
tema studi keislaman yang selama ini diterima umat Islam sebagai suatu yang
taken for granted tidak saja dalam wilayah Al-Kita>b dan al-Sunnah al-
nabawiyyah tetapi juga merembes memasuki wilayah kajian fiqh yang dalam
masa berabad-abad diterima dan dijalankan umat Islam tanpa mempertanyakan
hakikat entitas ajaran tertentu melalui bangunan episteme atau teori pengetahuan
yang menjadi dasar sumber validitas entitas tersebut.132
130
Udin Safala, Liba>s Syah}ru>r, op.cit, h. 39. 131
M. Zaid Su‟di, op.cit, h. xiii-xv. 132
Udin Safala, Liba>s Syah}ru>r, op.cit, h. 34.
53
Syah}ru>r sebagaimana para tokoh pemikir yang lain, tidak mau terjebak
dan menerima begitu saja studi keislaman yang ada dan dijadikan referensi dunia
Islam selama ini, karena kajian Islam (Islamic Studies) selama ini muncul dalam
bentuk dan format yang demikian kaku, ekstrim, eksklusif dan bahkan
terbelakang karena dasar episteme yang digunakan dalam analisis kajian
dianggapnya memiliki banyak kelemahan, dan jika harus di uji validitasnya
dalam wacana kontemporer akan tampak ringkih jika dihadapkan dengan kajian
studi-studi lain yang lebih ilmiah serta modern.133
Beranjak dari penemuannya terhadap adanya anomali paradigma
tradisional yang masih mempertahankan budaya penafsiran klasik yang
mewujud dalam aliran teologi maupun hukum134
yang menjadi salah satu corak
tirani dalam ilmu us}ul fiqh. Ini terlihat dalam konsepsi tentang ijma‟ ulama
sebagai sumber hukum yang telah matang sejak era Umayyah dan jelas
mengesampingkan aspek demokrasi dalam hukum karena mengakui hegemoni
kelompok ulama yang hanya unsur kecil dari keseluruhan komunitas135
dan
dijadikannya sebagai analisis awal, memandang bahwa paradigma tradisional ini
tidak saja membahayakan Islam dari dalam dirinya sendiri tetapi juga
mematikan kreativitas berfikir atau ijtiha>d bagi kajian ilmiah, karena tidak
memberi ruang kepada manusia sebagai satu-satunya makhluk Tuhan di dunia
dan bahkan mungkin di alam ini untuk melakukan jumping atau semacam
lompatan pemikiran dalam memahami dan mengkaji Islamic Studies kecuali
133
Ibid. 134
Udin Safala, Liba>s Syah}ru>r, op.cit, h. 36. 135
Muhyar Fanani, Metode Studi Islam; Aplikasi Sosiologi Pengetahuan Sebagai Cara
Pandang, op.cit, h. 107.
54
dengan syarat harus merekonstruksi dan menaruh seluruh warisan aliran
paradigma lama dalam wadah dan kemudian mensistematisasi ulang paradigma
yang harus dipakai dalam menganalisis kajian Islam.136
Adapun dasar-dasar pendekatan dan metode berfikir yang disampaikan oleh
Syah}ru>r adalah sebagai berikut :137
1. Sumber pengetahuan manusia adalah dalam materi yang ada di luar dirinya.
Pengetahuan yang hakiki tidaklah bersifat khayal (ghayr al-wahmiyah),
pengetahuan itu tidaklah independen sebagaimana yang ada dalam persepsi
pikiran. Sesuatu di luar kesadaran adalah hakekat kebenaran pengetahuan (QS.
Al-Nahl: 78).
2. Berdasarkan ayat yang sama, ia berpendapat bahwa filsafat Islam adalah
pengetahuan rasional ilmiah didasarkan pada hasil cerapan indera. Ia menolak
pengetahuan ahl al-Kasyf.
3. Alam bersifat materi. Akal manusia mampu memahami alam dan tidak ada
batasan titik henti bagi akal untuk mengetahuinya. Ilmu pengetahuan manusia
dengan demikian bersifat berkesinambungan dari masa ke masa.
4. Pengetahuan manusia itu didahului dengan pemikiran yang terbatas pada
cerapan indera yang kemudian diabstraksikan. Alam syahadah dan alam ghaib
adalah alam materi. Alam ghaib tidak lain adalah alam materi yang tidak tampak
dalam pemahaman manusia karena tingkat ilmu pengetahuan belum
mencapainya.
5. Tidak ada pertentangan antara apa yang ada dalam Al-Qur’a>n dan filsafat.
136
Udin Safala, Libas Syah}ru>r, op.cit, h. 36. 137
Muhammad In‟am Esha, Pembacaan Kontemporer al-Qur’ān (Studi Terhadap Pemikiran
Muh}ammad Syah}ru>r), dalam jurnal al-Tahrir, vol. 2 no.1, Januari 2004, hlm. 35.
55
6. Al-Kita>b adalah murni untuk kepentingan manusia, karena itu segala yang ada
didalamnya menerima pemahaman sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan
rasionalitas manusia. Tidak benar pendapat yang menyatakan bahwa Al-Qur’a>n
tidak menerima pemahaman, karena pada kenyataannya tidak ada jarak antara
bahasa dan pemikiran manusia.
7. Allah SWT menjunjung tinggi kedudukan akal manusia, oleh karena itu maka:
(a) tidak ada pertentangan antara wahyu dan akal, (b) tidak ada pertentangan
antara wahyu dengan hakekat pengetahuan dan rasionalitas pembuatan undang-
undang.
Beberapa pokok pikiran diatas kemudian membawa Syah}ru>r kepada metode
yang digunakan, yaitu analisis kebahasaan yang mencakup kata dan struktur bahasa.
Metode ini dinamakan dengan al-Manhaj al-Tarikhi al-‘Ilmi fi dirasah lughawiyah.
Metode ini diaplikasikan dengan mencari makna kata dengan menganalisis
kaitan suatu kata yang berdekatan atau berlawanan. Karena menurutnya kata itu tidak
memiliki sinonim. Setiap kata memiliki kekhususan makna, atau bahkan memiliki
lebih dari satu makna. Untuk itulah untuk menentukan makna yang tepat perlu dilihat
konteks dan hubungannya dengan kata-kata di sekelilingnya.138
E. Fungsi dan Kedudukan Sunnah Menurut Muh}ammad Syah}ru>r
1. Kedudukan Sunnah
Dalam konteks klasifikasi sunnah, Syah}ru>r membaginya kedalam dua
kategori, yakni Sunnah Risalah dan Nubuwwah. Sunnah Risalah yang terdiri dari
138
Ibid
56
berbagai hukum, ibadah, akhlak dan ajaran-ajaran, sedang nubuwwah terdiri dari
ilmu-ilmu.139
a.) Sunnah Risalah
Yaitu suatu ketaatan terhadap sunnah dimana fungsinya sebagai seorang
Rasul atau pembawa risalah/ memposisikan Muh}ammad sebagai pembawa
syari‟at.140
Demikian karena risalah Muh}ammad adalah penutup dari seluruh risalah
sebagaimana halnya bahwa Al-Qur‟an adalah penutup bagi seluruh nubuwwah.
Risalah Muh}ammad SAW menandai peralihan kondisi manusia yang semakin
menjauh dari alam dan pola hidup hewani dengan tunduk dan beragama kepada
Allah.141
dalam konteks risalah, para ahli fiqih telah menganggap bahwa syariat
Muh}ammad SAW adalah syariat yang beku dan statis yang tidak memberikan
peluang ijtiha>d sama sekali sebagaimana syariat Musa AS. mereka tidak memahami
risalah Muh}ammad sebagai syariat yang bersifat longgar yang hanya memberikan
panduan dan prinsip-prinsip berupa batasan-batasan hukum.142
Sunnah risalah terbagi menjadi dua, yaitu:
1. Ketaatan yang bersambung (al-t}a‘ah al-muttas}ilah) kepada Allah dan Rasul.
Adalah ketaatan yang wajib baik pada masa hidup Rasul maupun setelah
wafatnya dalam wilayah-wilayah ritual-ritual dan hal-hal yang diharamkan.
Ritual-ritual sebagaimana telah dilakukan oleh Rasul sampai kepada kita
(masyarakat dewasa kini) dengan cara mutawatir „amali (secara turun temurun
melalui perbuatan) dan tidak ada kelebihan tentangnya baik bagi para ahli hadis
139
Muh}ammad Syah}ru>r, Al-Kita>b wa al-Qur’a>n : Qira’ah Mu’a>s}irah, op.cit, h. 549. 140
Muh}ammad Syah}ru>r, Nahw Us}ul Jadi>dah Li al-Fiqh al-Islami> : Fiqhul Mar’ah ; al wasiyah, al Irtsu, al Qawamah, al Ta’addudiyyah, al Hijab, op.cit, h. 155.
141 Muh}ammad Syah}ru>r, Al-Kita>b wa al-Qur’a>n : Qira’ah Mu’a>s}irah, op.cit, h. 579.
142 Ibid.
57
maupun ahli fiqih. Sedangkan al-muharramat (hal-hal yang diharamkan) telah
dijelaskan dalam kitab Allah. Rasūlullah terjaga dari melakukannya, disamping
keterjagaan dia dalam wilayah iblagh (penyampaian wahyu Tuhan secara
langsung) dan tabligh (penyampaian wahyu Tuhan dengan jelas). Hal-hal yang
termasuk dalam kategori al-muharramat adalah bersifat fitrah, dimana manusia
dengan fitrahnya mampu memahaminya, karena ia masuk dalam nurani
manusiawi, dan didalamnya tidak ada beban dan belenggu.143
2. Ketaatan yang terpisah (al-t}a‘ah al-munfas}ilah)
Yaitu ketaatan yang wajib hanya pada masa hidup Rasul saja. Rasūlullah
memerintah dan melarang dalam wilayah halal, terkadang dalam bentuk pembatasan
dan terkadang memutlakannya kembali dan dia menetapkan dasar-dasar
pembentukan masyarakat sesuai kondisi ruang dan waktu. Dalam kaitan ini dia
adalah seorang mujtahid yang tidak terjaga dari kesalahan (ghayr ma‟sum) dan
keputusan-keputusannya mengandung kenisbian historis. Karena itulah menurut
Syah}ru>r, “ketaatan terpisah” kepada Rasul ini berjalan seiring dengan ketaatan
kepada kepala pemerintahan (ulil al-amr).144
b.) Sunnah Nubuwwah
Suatu ketaatan terhadap sunnah dimana fungsinya sebagai seorang Nabi atau
memposisikan Muh}ammad sebagai penerima informasi keagamaan.145
Dalam hal ini
143
Muh}ammad Syah}ru>r, Nahw Us}ul Jadi>dah Li al-Fiqh al-Islami> : Fiqhul Mar’ah ; al wasiyah, al Irtsu, al Qawamah, al Ta’addudiyyah, al Hijab, op.cit, h. 151.
144 Ibid, h. 155.
145 Ibid, h. 155.
58
sunnah Nubuwwah berupa pengajaran dan pemberitahuan, Nabi sendiri tidaklah
mengetahui hal yang gayb,146
berdasarkan firmanNya dalam surat Al-„Araf (7): 188
Artinya: “Katakanlah (Muh}ammad) : “Aku tidak kuasa mendatangkan manfaat
maupun menolak mudarat bagi diriku apa yang dikehendaki Allah.
Sekiranya aku mengetahui yang gaib, niscaya aku membuat kebajikan
sebanyak-banyaknya dan tidak akan ditimpa bahaya”. Aku hanyalah
pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang
beriman.”147
Ini adalah hal yang sangat jelas dalam ayat tersebut, tidak ada kesamaran dan
tidak ada ruang untuk ta‟wil atau pembalikan bahasa.148
Akan tetapi menurut
Syah}ru>r, sebagian orang telah menyangkalnya, kemudian menisbahkan kepada rasul
dengan mengatakan bahwa Nabi mengetahui yang ghaib.149
Menurutnya dalam hal
ghaib ini perlu membagi h}adits\ kedalam dua macam:150
1. H}adits\-h}adits\ yang terkait dengan masalah-masalah yang ghaib, yaitu yang
menjelaskan Al-Qur’a<n dan terkait dengan pemahaman yang umum terhadap Al-
Qur’a<n. Syah}ru>r berpendapat h}adits\ dalam hal ghaib ini bukan merupakan takwil
Nabi, karena Nabi dilarang untuk menakwilkan Al-Qur’a <n. H}adits\-h}adits\ ini
harus sesuai dengan konsep umum tentang Al-Qur’a<n yang sesuai dengan
realitas dan akal. Jika h}adits\-h}adits\ tersebut tidak sesuai dengan Al-Qur’a<n maka
dapat diabaikan.
146
Ibid, h. 156. 147
Departemen Agama RI, op,cit, h. 235. 148
Muh}ammad Syah}ru>r, Nahw Us}ul Jadi>dah Li al-Fiqh al-Islami> : Fiqhul Mar’ah ; al wasiyah, al Irtsu, al Qawamah, al Ta’addudiyyah, al Hijab, op.cit, h. 156.
149 Ibid.
150 Muh}ammad Syah}ru>r, Al-Kita>b wa al-Qur’a>n : Qira’ah Mu’a>s}irah, op.cit, h. 554.
59
2. H}adits\-h}adits\ yang terkait dengan penjelasan tafsil al kitab seperti sabda Nabi
Muh}ammad SAW
في نيهة انقدر أسل انقرآ إنى انسبء انديب
Artinya: “Al-Qur’a<n diturunkan ke langit dunia pada malam Qadar.”
H}adits\ ini harus sesuai dengan ayat-ayat tafsil Al-Kitab yang berkarakter tidak
muhkam dan tidak mutasyabih.
Oleh karena itulah sejauh itu sesuai dengan sunnah Rasūlullah, maka sebagai
bukti sebuah ketaatan umat terhadap Nabinya, maka harus diikuti. Sebagaimana
Syah}ru>r dalam pertimbangan karakteristik dalam mengikuti sunnah Rasūlullah ini
diantaranya adalah karena keterjagaan Rasūlullah dari kesalahan (Al-„Ismah). 151
Sedangkan Al-„Ismah pada diri Rasūlullah SAW hanya terbatas dalam dua hal:
1. Rasūlullah SAW terjaga dari berbuat kesalahan dalam menyampaikan az}-Z}ikr
al-H}aki>m (Al-Qur’a>n ) yang diwahyukan kepadanya dalam susunan kata, ujaran,
dan dia juga terjaga dalam tugasnya menyampaikan risalah kepada manusia. Hal
ini sesuai dengan firman Allah:
Artinya : “Wahai Rasul ! Sampaikanlah apa yang diturunkan Tuhanmu
kepadamu. Jika tidak engkau lakukan (apa yang diperintahkan itu)
berarti engkau tidak menyampaikan amanat-Nya. Dan Allah
memelihara engkau dari (gangguan) manusia. Sungguh, Allah tidak
memberi petunjuk kepada orang-orang kafir”. (QS. Al-Ma‟idah 5:
67)152
151
Muh}ammad Syah}ru>r, Nahw Us}ul Jadi>dah Li al-Fiqh al-Islami>, op.cit, h. 154. 152
Departemen Agama RI, op.cit, h. 158.
60
2. Rasūlullah terjaga (tidak terjerumus) kedalam tindak haram dan tidak melampaui
batas-batas Allah. Hal itu bahwa Rasūlullah telah menjelaskan dan
menyampaikan risalah Tuhan yang diturunkan kepadanya kepada manusia, di
mana didalamnya terdapat penghalalan, pengharaman, perintah, dan larangan,
tanpa menambah dan mengurangi sedikitpun, dan bahwa dia tidak pernah
mengerjakan hal yang diharamkan selama hidupnya serta tidak ber-ijtiha>d
didalamnya. Sebab ijtiha>d-nya hanya berkisar dalam batas-batas wilayah yang
halal secara mutlak (al-halal al-mutlaq), karena sesuatu yang halal tidak
mungkin diterapkan dalam masyarakat manapun kecuali setelah mengalami
pembatasan dengan sebuah keyakinan bahwa pembatasan-pembatasan yang
dilakukan terhadapnya tidaklah bersifat mutlak, akan tetapi berbeda sesuai
dengan perbedaan ruang dan waktu dan akan mengalami perubahan dengan
terjadinya perubahan kondisi sosial, ekonomi dan politik, serta akan berbeda
karena perbedaan kesadaran individu, masyarakat dan pemerintahannya. Ini
adalah hal yang sangat pokok. Hal-hal yang di haramkan oleh Tuhan (al-
muharramat al-ilahiyah) hanya cukup untuk menciptakan nurani Islami bagi
manusia, akan tetapi ia tidak mencukupi untuk mengatur kebudayaan dan
masyarakat dalam seluruh aspeknya, baik aspek sosial, ekonomi, dan politik. Hal
ini sesuai dengan apa yang telah dilakukan oleh Nabi Muh}ammad SAW ketika
dia menetapkan sistem pembatasan dan pemutlakannya kembali. Maka upaya
pembatasan dan pemutlakan dalam wilayah halal di atas merupakan upaya
kemanusiaan yang bersifat dialektik-historis yang dilakukan manusia atau
61
lembaga perundang-undangan, sehingga ia berpotensi terhadap kekeliruan dan
kebenaran.153
Dari paparan itulah, Syah}ru>r memahami kenapa ketaatan Muh}ammad hanya
dalam dataran Ar-Risa>lah (fungsinya sebagai seorang Rasul atau pembawa risalah
memposisikan Muh}ammad sebagai pembawa korpus hukum) dan tidak dalam
dataran an-Nubuwwah (fungsinya sebagai seorang Nabi memposisikan Muh}ammad
sebagai penerima informasi keagamaan). Pemahaman Syah}ru>r demikian yang
dipahami karena ia belum menemukan sama sekali ungkapan ‚ati>‘u> an-nabiy‛
(taatlah kamu kepada Nabi) dalam At-Tanzi>l. Demikian juga Syah}ru>r memahami
bahwa Allah SWT memberikan kepada Nabi hak untuk menetapkan undang-undang
tambahan untuk membangun pemerintahan dan masyarakat, tanpa memerlukan
adanya wahyu. Karena perundang-undangan tambahan dalam hal pembatasan
terhadap halal yang mutlak dan dalam hal pemutlakannya kembali mengandung sifat
kenisbian ruang dan waktu. Karena itulah, Nabi memerintahkan agar h}adits\ - h}adits\
-nya tidak dikumpulkan, sebab ia hanya bersifat historis saja, dimana Nabi
menyatakan sebuah pandangan kemudian dia merubahnya sesuai dengan perubahan
kondisi dan syarat-syarat objektif yang ada. Hal demikian yang membuat Syah}ru>r
berkesimpulan bahwa seluruh penduduk bumi telah mengikuti Sunnah Nabi dengan
konsep ini dalam parlemen mereka, melalui cara voting (taswi>t), meminta
pertimbangan pemerintahan Islam adalah pemerintahan sipil dalam batas-batas
hukum Allah (hudu>dullah), yang ditegakkan berdasarkan teladan-teladan utama (al-
153
Muh}ammad Syah}ru>r, Nahw Us}ul Jadi>dah Li al-Fiqh al-Islami>, op.cit, h. 154.
62
muthul al-‘ulya) yang terdapat dalam At-Tanzi>l, dan yang harus masuk melalui
sistem pendidikan dalam nurani para individu-individunya.154
2. Fungsi Sunnah
Menurut Syah}ru>r fungsi sunah Nabi adalah sebagai pembatasan terhadap
yang mutlak (taqyi>d al-mutlaq) dan pemutlakan terhadap hal yang dibatasi (itla>q al-
muqayyad) dalam wilayah al-halal (yang diperbolehkan) dan bahwa pembatasan dan
pemutlakan tersebut menggambarkan dimensi pembentukan bagi laju pertumbuhan
dan perkembangan dalam masyarakat dalam bingkai umum yang membatasi wilayah
al-haram (hal yang dilarang) dan wilayah yang diperbolehkan (al-halal).
Selanjutnya, penting pula bagi kita untuk memahami peran Muh}ammad SAW
sebagai seorang Nabi dan bahwa sunnah Nabi memiliki sejumlah karakteristik
khusus yaitu: 1.) merupakan ketetapan-ketetapan yang lahir dari kondisi kehidupan
obyektif dalam masyarakat Arab pada masa kenabian; 2.) merupakan ijtiha>d dalam
membatasi sesuatu yang dihalalkan (al-halal) yang tidak membutuhkan terhadap
adanya wahyu; 3.) merupakan ijtiha>d yang bersifat pembatasan dalam wilayah yang
dihalalkan secara mutlak, dimana sesuatu yang telah dibatasi tadi dimungkinkan
untuk di-mutlak-kan kembali seiring dengan perubahan kondisi objektif yang ada; 4.)
merupakan ijtiha>d dalam wilayah yang dihalalkan, yang kemungkinan bisa salah
dan benar, karena ia bukanlah wahyu dan karena kesalahan di dalamnya bisa
dibenarkan kembali; 5.) merupakan ketetapan-ketetapan dari ijtiha>d Nabi dalam
wilayah yang dihalalkan, tanpa memandang sumbernya apakah bersifat kenabian
atau bukan, yang bukan termasuk syari„at Islam, tetapi hanyalah merupakan undang-
154
Ibid., hlm. 154.
63
undang sipil (qanun madani) yang tunduk pada kondisi sosial, artinya Nabi semasa
hidupnya telah menetapkan undang-undang sipil untuk mengatur masyarakat dalam
wilayah yang dihalalkan, dan untuk membangun pemerintahan dan masyarakat Arab
pada abad ketujuh. Karena itulah, ia tidak bersifat abadi, sekalipun terdapat ratusan
hadis mutawatir dan s}ah}i>h mengenainya.155
Sebuah contoh tentang ketetapan ijtiha>d yang diputuskan oleh Nabi dalam
membatasi sesuatu yang dihalalkan secara mutlak, dan kemudian Nabi memutlakan
kembali sesuatu yang telah dibatasi tersebut seperti sediakala, yaitu ziarah kubur bagi
perempuan. Kaum perempuan tatkala ditinggal mati oleh seseorang (suami), maka
mereka menyayat-nyayat tubuh mereka, merobek-robek pakaian mereka dan
mengeruk debu (untuk diletakkan) diatas kepala mereka, sebagai ungkapan untuk
menunjukkan posisi si mayit dan untuk meratapinya. Perempuan-perempuan Arab
juga menziarahi makam-makam untuk menghidupkan ingatan terhadap mereka yang
sudah meninggal dunia, dan terbiasa dengan menyayat-nyayat tubuh mereka dan
menuangkan debu (di atas kepala mereka). Maka Nabi datang untuk melarang kaum
perempuan berziarah kubur dan menyayat-nyayat tubuh. Bagi Syah}ru>r, Nabi
Muh}ammad SAW tidaklah mengharamkan kesedihan atas mayit dan tidak
mengharamkan menghidup-hidupkan ingatan terhadapnya; ziarah kubur atau tidak
menziarahinya, keduanya berada dalam wilayah al-halal. Meskipun demikian, Nabi
melarangnya karena adat-istiadat masyarakat jahiliyah yang sudah dianggap oleh
orang-orang Arab sebagai bagian yang tidak terlepas dari wilayah halal yang mutlak
155
Ibid, h. 151.
64
tersebut (al-halal al-mutlak), padahal itu bukanlah termasuk bagian dari syari„at yang
diwahyukan.156
Contoh lain dari syariat yang mutlakkan adalah wasiat dan waris. Keduanya
merupakan dua hal yang sama-sama digunakan oleh Allah dalam At-Tanzi>l al-
Hakim untuk memindahkan harta milik dari generasi ke generasi, meskipun Allah
lebih mengutamakan wasiat daripada waris. Allah berfirman tentang wasiat dengan:
kutiba „alaikum (diwajibkan atas kamu ), dan tentang waris, Dia berfirman dengan :
Yu>s}ikum (Allah mewasiatkan kepadamu), yang menjadikan taklif (dalam arti yang
pertama) lebih kuat dan lebih jelas. Allah mengutamakan wasiat daripada waris, dan
menjadikan norma-norma waris sebagai pengganti ketika tidak adanya wasiat dengan
firman-Nya: min ba’di was}}iyyatin yu>s}i> biha< au dainin. Meskipun demikian keduanya
adalah halal. Oleh karena itulah, manusia bebas untuk memilih salah satu darinya,
atau menggabungkan antara keduanya, karena menggabungkan antara dua hal yang
halal adalah halal.157
Dan dalam hal ini bahwa manusia juga dapat diperbolehkan untuk
mewasiatkan seluruh harta peninggalannya sehingga tidak menyisakan untuk
diwariskan, atau melupakan (mengabaikan) wasiat, kemudian membagi-bagikan
harta peninggalannya dengan ketetapan norma-norma Ilahi tentang waris. Baginya
diperbolehkan berwasiat ¼, atau 1/3, atau ½ dari harta tinggalannya dan
meninggalkan sisanya untuk dibagi dengan sistem waris. Kesemuanya dihalalkan
secara jelas dari ayat-ayat At-Tanzi>l.158
156
Ibid, h. 152. 157
Ibid, h. 152. 158
Ibid, h. 153.
65
66
BAB IV
ANALISIS KONSEP SUNNAH
MENURUT MUH}AMMAD SHAH}RU>>R
A. ANALISIS FUNGSI DAN KEDUDUKAN SUNNAH DALAM ISTINBAT}
HUKUM ISLAM MENURUT MUH}AMMAD SYAH}RU>>R
1. Kedudukan Sunnah Menurut Muh}ammad Syah}ru>r
Ketika mengatakan bahwa Nabi Muh}ammad SAW sebagai teladan yang baik
(uswah), maka apa yang berasal dari beliaupun tentunya baik pula yang dalam hal ini
adalah sunnah. Dengan sangat mulianya sunnah disini, maka menurut Syah}ru>r
sunnah mempunyai kedudukan yang begitu berarti untuk nantinya dijadikan acuan
didalam menformulasikan hukum Islam. Dengan memahami Sunnah ini bukanlah
wahyu dari Allah, akan tetapi hanya merupakan sabda Nabi baik yang mutawwatir
maupun yang ahad, baik yang disebutkan dalam semua kitab h}adits\ dengan
riwayatnya sendiri, hanyalah untuk dijadikan pertimbangan semata. Karena sunnah
Nabi adalah suatu ijtiha>d pertama untuk menentukan keputusan hukum yang dapat
berubah sesuai dengan perubahan ruang dan waktu.159
Alasan tersebut diperkuat Syah}ru>r didalam penafsirannya terhadap surat an-
Najm: 3-4, Syah}ru>r menyebutkan bahwasannya ketika memaknai ayat tersebut
adalah mencakup seluruh ucapan Nabi semasa hidupnya, dan bahwasannya sumber
utama adalah Al-Qur’a >n dan Sunnah, maka hal ini tidak benar sama sekali. Hal ini
dikarenakan ketika pendapat itu benar, maka h}adits\ seharusnya masuk dalam
159
Ibid, h. 62-64.
67
penjagaan Tuhan, harus terbebas dari banyak permasalahan dan perbedaan dan juga
harus diriwayatkan dengan kata-kata langsung dan tidak dengan makna saja, serta
secara pasti harus sampai kepada kita dalam bentuk ucapan seperti Nabi ucapkan.160
Pada ayat ketiga dalam surat An-Najm terdapat penyebutan karakter
Rasu>lullah, bahwa Muh}ammad SAW tidak mengikuti keinginannya ketika
mengucapkan (wahyu yang diturunkan Allah). Huruf Hijaiyyah ‚wawu‛ pada awal
ayat tersebut (ayat ketiga) menghubungkannya dengan ayat sebelumnya (ayat
kedua), sehingga seakan-akan Allah berfirman: “Temanmu itu tidaklah sesat dan
keliru. Bagaimana dia bisa sesat dan keliru ketika dia mengucapkan wahyu yang
diajarkan diluar kekuasaan keinginannya?.” Adapun ayat yang keempat
mengandung penegasan (ta‟kid) yang termuat dalam bentuk gabungan “nafy”
(peniadaan, yakni lafadz maa yang berarti “tidak”) dan itstitsna’ (pengecualian,
yakni kata illa, yang artinya “kecuali”). Penegasan itu berbunyi: “Apa-apa yang dia
diucapkan, berupa tanzi>l (wahyu) itu benar-benar wahyu Allah yang diturunkan
kepadanya, bukan bisikan dari keinginannya.” Jadi, kata ganti (dhamir) “huwa”
(berarti “ia”) pada ayat keempat adalah kata ganti yang telah diketahui kembali
kepada Al-Qur‟an yang diturunkan, bukan kembali kepada ucapan Nabi yang
disebutkan pada ayat sebelumnya.161
Oleh karena itulah peran Nabi sebagai Rasul dalam rangka menjelaskan
(bayan) pemberitahuan dan penyebaran pesan Tuhan kepada manusia tidaklah
pernah keluar dari At-Tanzi>l. Nabi tidak memiliki kaitan apapun dengan penyusunan
redaksional At-Tanzi>l, melainkan Tuhan turunkan kapada Rasul-Nya dalam bentuk
160
Ibid, h. 129. 161
Ibid, h. 62.
68
yang sudah jadi dan sempurna. Sebagaimana Nabi juga tidak memiliki kaitan apapun
dengan isi kandungan dari perintah dan larangan yang diturunkan kepadanya. Hal ini
menggugurkan pendapat yang mengatakan bahwa wahyu hanyalah berbentuk ide
yang diwahyukan kepada Nabi, kemudian Nabi menyusunnya dalam bentuk yang
diucapkan dan diujarkan. Jika saja hal tersebut benar, menurut Syah}ru>r berarti Nabi
mengetahui secara mendalam terhadap seluruh pengetahuan yang terdapat dalam At-
Tanzi>l secara detail, sehingga memungkinkan untuk menyusun dan dengan itu
keberadaan Nabi menjadi sama seperti keberadaan Allah.162
Dan oleh karena itulah, Syah}ru>r menganggap sunnah Nabi adalah metode
(tidak sebagai h}adits\) yang berinteraksi dengan al-Kitab sesuai dengan kondisi
obyektif yang melatarbelakangi kehidupan Nabi Muh}ammad SAW. Pada konteks ini,
posisi Nabi adalah sebagai suri tauladan, termasuk bagaimana beliau mencontohkan
berbagai batasan hukum, akhlak, dan segala sesuatu yang termasuk dalam wilayah
“ketaatan tersambung” dalam sunnah beliau.163
Selanjutnya Syah}ru>r menambahkan dalam pendapatnya, ketika masih saja
dikatakan bahwa al Kitab masih global, sedangkan Sunnah yang menjelaskan, dan
Qiyas yang dirujukkan kepada penjelasan dalam Sunnah, maka At-Tafakkur
(berfikir), At-Tadabbur (merenungi), At-Ta‟ammul (berimajinasi), dan At-Ta‟aqqul
(menggunakan akal pikiran) bagi manusia sama sekali tidak berarti.164
Karena hal ini
tentu bertentangan dengan firman Allah QS. Yusuf: 2 yang berbunyi:
162
Ibid, h. 128. 163
Muh}ammad Syah}ru>r, Al-Kita>b wa al-Qur’a>n : Qira’ah Mu’a>s}irah, op.cit, h. 580. 164
Muh}ammad Syah}ru>r, Nahw Us}ul Jadi>dah Li al-Fiqh al-Islami> : Fiqhul Mar’ah ; al wasiyah, al Irtsu, al Qawamah, al Ta’addudiyyah, al Hijab, op.cit, h. 129.
69
Artinya: “Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al-Qur’a >n berbahasa Arab
agar kamu mengerti.”165
2. Fungsi sunnah Menurut Muh}ammad Syah}ru>r
Sunnah Nabi menjadi suatu pembatasan terhadap yang mutlak dan
pemutlakan terhadap hal yang dibatasi dalam wilayah halal dapat menjadi gambaran
pembentukan (hukum) secara umum untuk lebih membedakan antara yang halal
dengan yang haram.
Hal tersebut dikatakan Syah}ru>r bahwa yang haram adalah mutlak, namun
kemutlakannya bersifat „ayni muhaddad (terbatas) yang memungkinkan setiap orang
untuk melaksanakannya sesuai dengan perkembangan masyarakat berdasarkan
konteks ruang dan waktu. Sedangkan yang halal (yang diperbolehkan) juga dikatakan
Syah}ru>r adalah mutlak, akan tetapi ia tidak boleh dikerjakan dan aplikasikan
melainkan dengan pembatasan tertentu.166
Ziarah kubur misalkan yang dilarang Nabi
Muh}ammad SAW ketika itu, berarti Nabi dalam melarangnya memberikan
pembatasan yang berupa norma untuk tidak berlebih-lebihan dalam meratapi
kematian si mayit. Oleh karena para muslim Arab kala itu telah melampaui batas
norma yang ditetapkan Nabi Muh}ammad SAW, maka beliau melarangnya.
Kemudian menurut Syah}ru>r, setelah pemahaman-pemahaman dan keimanan
telah terpatri dalam hati sebagian besar manusia, maka Nabi melonggarkan kembali
terhadap apa yang telah dibatasi sebelumnya dan Nabi mengizinkan kembali bagi
165
Departemen Agama RI, op.cit, h. 317. 166
Muh}ammad Syah}ru>r, Nahw Us}ul Jadi>dah Li al-Fiqh al-Islami> : Fiqhul Mar’ah ; al wasiyah, al Irtsu, al Qawamah, al Ta’addudiyyah, al Hijab, op.cit, h. 149.
70
kaum perempuan untuk berziarah kubur. Kesalahan berfikir oleh para ahli fiqih
menurut Syah}ru>r dalam hal ini berasal dari pemahaman terhadap pembatasan (at-
Taqyid) dan pemutlakan kembali (al-Itlaq), ketika mereka menganggapnya sebagai
pengharaman terhadap yang halal, dan penghalalan terhadap yang haram, dan
kemudian menganggapnya sebagai ajaran Syari„ah. Inilah yang menjadi cacat utama
dari fiqih Islam. Padahal menurut Syah}ru>r, Nabi melakukannya tidaklah lebih dari
sekedar menerapkan peraturan sipil yang termasuk dalam wilayah yang dihalalkan
yang dipandang Nabi lebih sesuai dan lebih tepat dalam situasi objektif yang
berlaku.167
Selanjutnya Syah}ru>r memahami bahwa Allah SWT memberikan kepada Nabi
hak untuk berijtiha>d menetapkan hukum untuk membangun pemerintahan dan
masyarakat, tanpa memerlukan adanya wahyu. Karena hukum tambahan dalam hal
pembatasan terhadap halal yang mutlak dan dalam hal pemutlakannya kembali
mengandung sifat kenisbian ruang dan waktu. Karena itulah, Nabi memerintahkan
agar h}adits\-h}adits\-nya tidak dikumpulkan, sebab ia hanya bersifat historis saja,
dimana Nabi menyatakan sebuah pandangan kemudian dia merubahnya sesuai
dengan perubahan kondisi dan syarat-syarat objektif yang ada. Hal demikian yang
membuat Syah}ru>r berkesimpulan bahwa seluruh penduduk bumi telah mengikuti
Sunnah Nabi dengan konsep ini dalam parlemen mereka, melalui cara voting
(taswi>t), meminta pertimbangan pemerintahan Islam adalah pemerintahan sipil
dalam batas-batas hukum Allah (hudu>dullah), yang ditegakkan berdasarkan teladan-
teladan utama (al-muthul al-‘ulya) yang terdapat dalam At-Tanzi>l, dan yang harus
167
Ibid, hlm. 152.
71
masuk melalui sistem pendidikan dalam nurani para individu-individunya.168
Hal ini
menunjukkan bahwa metodologi yang dipakai Syah}ru>r dalam mengkaji wacana
keislaman adalah linguistik saintifik-matematik, sebuah metodologi yang
menggabungkan antara unsur-unsur bahasa dengan pengetahuan yang bersifat logis
(dapat diterima akal).169
Jadi ketika mengatakan bahwa fungsi sunnah adalah sebagai penjelas bagi
Al-Qur’a<n sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian ulama sebab Allah telah
menfirmankan dalam kitabnya dengan sangat bayyin (jelas), menurut Syah}ru>r itu
adalah tidak tepat. Menurutnya, ketika Allah berfirman litubayyina linna>s, sebagian
kalangan memahaminya secara lahiriah. mereka memahami bahwa ad}-z\ikr
membutuhkan penjelasan karena bersifat global. Karena itu, menurut mereka
penjelasan Nabi yang terperinci haruslah didahulukan daripada ad-z\ikr yang
mujmal. mereka juga memahami bahwa qiyas dalam hal perundang-undangan adalah
hujjah (bisa dijadikan argumentasi/ dalil), karena qiyas pada tahap awalnya merujuk
kepada penjelasan Nabi yang terperinci. Sebagian yang lain mengikuti pendapat
tersebut dan meneruskan hingga sampai pada kesimpulan bahwa penjelasan Nabi,
berdasarkan keberadaannya sebagai perinci terhadap yang global, merupakan
pengkhususan (takhs}i>s) terhadap yang umum dan pembatasan (taqyid) terhadap yang
mutlak. Kemudian orang-orang sesudah mereka mengikuti dan mengatakan tentang
kedudukan h}adits\ Nabi terhadap teks Al-Qur’a<n dan menghapuskannya (nasikh),
168
Ibid, h. 155. 169
Rodli Makmun, et al. Poligami Dalam Tafsir Muh}ammad Syah}ru>r, op.cit, h. 62.
72
sehingga orang mukmin memahaminya bahwa Al-Qur’a<n lebih membutuhkan
sunnah daripada kebutuhan sunnah terhadap Al-Qur’a<n itu sendiri.170
Dan oleh karenanya, menurut Syah}ru>r sunnah Nabi yang yang dibutuhkan
masyarakat (di zaman ini) untuk menerjemahkan, menjelaskan, dan mengetengahkan
gagasan-gagasannya agar lebih dikembalikan lagi kepada pemahaman al-Kitab.171
B. ANALISIS PENERAPAN SUNNAH MENURUT MUH}AMMAD SYAH}RU>R
DALAM ISTINBAT} HUKUM ISLAM
Secara bahasa, kata Istinbat} berasal dari kata istanbat}a-yastanbit}u-Istinbat}-
an yang berarti menciptakan, mengeluarkan, mengungkapkan atau menarik
kesimpulan. Dengan demikian, Istinbat} adalah suatu cara yang dilakukan atau
dikeluarkan oleh pakar hukum (faqih) untuk mengungkapkan suatu dalil hukum yang
dijadikan dasar dalam mengeluarkan sesuatu produk hukum guna menjawab
persoalan-persoalan yang terjadi.172
Sebagaimana sudah dijelaskan di bab sebelumnya, sunnah al-risala>h memuat
tiga hal hukum, ibadah, akhlak dan ajaran-ajaran. Pertama adalah hal ibadah,
misalnya zakat. Dalam hal ini Nabi saw memberikan batas minimal membayar zakat
sejumlah 2,5 % (dua setengah persen), sehingga kurang dari jumlah tersebut tidak
dinamakan zakat. Atau ketika lebih dari batas tersebut dapat termasuk sedekah.173
Begitu juga, dalam hal salat, haji, puasa dan lain-lain, Nabi SAW memberikan
170
Muh}ammad Syah}ru>r, Nahw Us}ul Jadi>dah Li al-Fiqh al-Islami> : Fiqhul Mar’ah ; al wasiyah, al Irtsu, al Qawamah, al Ta’addudiyyah, al Hijab, op.cit, h. 126-127.
171 Ibid, h. 128.
172 Abdul Fatah Idris, Menggugat Istinbath Hukum Ibnu Qayyim; Studi Kritik Terhadap
Metode Penetapan Hukum Ibnu Qayyim al-Jauzaiyah, Semarang; Pustaka Zaman, 2007, h. 5. 173
Muh}ammad Syah}ru>r, Nahw Us}ul Jadi>dah Li al-Fiqh al-Islami> : Fiqhul Mar’ah ; al wasiyah, al Irtsu, al Qawamah, al Ta’addudiyyah, al Hijab, op.cit, h. 138.
73
contoh praktek bagaimana cara melakukan ritual ibadah-ibadah tersebut, disini
berarti menaati Rasul adalah wajib dalam ritual-ritual tersebut sebagai sesuatu yang
tetap sepanjang masa dari Risa>lah.174
Dengan demikian berzakat sebagaimana
melihat Nabi Muh}ammad SAW berzakat, melaksanakan salat sebagaimana melihat
Nabi Muh}ammad SAW melaksanakan salat, berhaji sebagaimana melihat Nabi
Muh}ammad SAW berhaji adalah sama seperti mentaati Allah SWT. Ketaatan yang
demikian adalah ketaatan yang berlaku tetap sepanjang masa tanpa pembaharuan.
Karena, setiap pembaharuan dalam hal ibadah adalah sesat.
Kedua adalah hal akhlak. Yang dimaksud akhlak disini menurut Syah}ru>r,
norma-norma kemasyarakatan (manz}umah al qiyam) dan teladan-teladan utama (al-
musul al-’ulya) yang tunduk pada fase-fase sejarah sejak Nabi Nuh AS dan berakhir
pada Nabi Muh}ammad SAW yang datang dalam bentuk wasiat-wasiat .175
Yaitu
sebagai berikut; dilarang mensekutukan Allah, berbakti kepada kedua orang tua,
dilarang membunuh anak-anak, dilarang melakukan perbuatan-perbuatan keji (zina,
homoseksual, dan lesbi), dilarang membunuh seseorang tanpa alasan yang
dibenarkan, berbuat baik kepada anak yatim dan tidak memakan harta bendanya,
menyempurnakan takaran dan timbangan, berlaku adil dalam perkataan dan tindakan
meskipun terhadap sanak sahabat, memenuhi perjanjian dengan Allah secara khusus
dan perjanjian-perjanjian yang lain secara umum, dilarang menikahi muhrim,
dilarang melakukan praktek riba, dilarang memakan bangkai, darah dan daging
babi.176
174
Ibid, h. 131. 175
Ibid, h. 133. 176
Ibid, h. 133-136.
74
Ketiga, ajaran syari‟at (tasyri‟) yang didalamnya terbentuk risalah Nabi
Muh}ammad SAW yang menegaskan batas-batas Allah dalam dua wilayah yang pasti
yaitu yang dikerjakan (if‟al) dan wilayah yang dilarang untuk mengerjakan (la
taf‟al). Sebagaimana dalam tasyri‟ ini tidak ada ruang untuk ijtiha>d. Karena bahwa
sesungguhnya risalah Muh}ammad bersifat hudu>diyah (berdasarkan batas minimal
dan maksimal didalam penetapan hukum). Dengan wilayah penerapannya adalah
kahidupan manusia sesuai dengan kondisi ruang dan waktu. Artinya ketika itu
sebuah risalah Muh}ammad mengenai penghapusan hukum (nasih}) dari syari‟at-
syari‟at samawi terdahulu, maka itu dapat dijadikan landasan atau ketetapan. Seperti
halnya hukuman zina pada masa Nabi Musa AS adalah rajam, ketika pada masa Nabi
Muh}ammad SAW hukum zina masih berupa jilid dan pembuangan. Ini berarti ajaran
Muh}ammad SAW hadir untuk menetapkan dan menegaskan sebagian ajaran dalam
risalah-risalah yang datang sebelumnya. Dan kemudian setelah datang dan diutusnya
Muh}ammad SAW pada masa itu adalah sebagai penyempurnya atau menambah
hukum-hukum yang pada masa sebelum Muh}ammad SAW belum ada. Misalnya
hukum-hukum waris.177
Kemudian dalam bab-bab sebelumnya juga telah dijelaskan beberapa yang
terkait dengan sunnah dalam skala umum sampai dengan khusus. Syah}ru>r
memberikan definisi modern bahwa yang dimaksud dengan sunnah yaitu upaya
merubah fungsi Rasul dari mutlak menjadi relatif dan gerakan pembaharuannya yang
terjadi di Jazirah „Arab pada abad ke tujuh Masehi (pasca masa Rasul) berkisar
sekitar batas-batas (hudu>d ) yang telah ditetapkan Tuhan. Syah}ru>r menyatakan apa
177
Ibid, h. 144.
75
yang diperbuat Nabi hanya alternatif pertama dalam praktek keagamaan Islam pada
abad ke tujuh Masehi di Shibh Jazirah „Arab ketika itu. Oleh karena itulah pada
masanya, Nabi hanya seorang teladan dalam arti bukan bersifat kewajiban bagi umat
Islam untuk menirunya, tetapi hanya bersifat anjuran. Pemakaian fi’il mad}i (ka>na)
menandakan, produk ijtiha>d Muh}ammad menjadi panutan masyarakat pada
zamannya, tetapi pada masa kini, pada zaman dan massa berbeda, Muh}ammad di
pandang sebagai mujtahid pertama yang mencoba menta‟wilkan al-Qur’a>n dan
menafsirkan umm-kitab sesuai dengan kebutuhan zaman dan masanya. Muh}ammad
dijadikan teladan dalam membuka pintu ijtiha>d sejak dulu sampai kini. Artinya yang
dijadikan teladan bukan hasil ijtiha>d-nya, tetapi metode ijtiha>d-nya.178
Seperti halnya dalam perspektif sahabat Ali RA didalam memahami tentang
diperbolehkan berwasiat ¼, atau 1/3, atau ½ dari harta tinggalannya dan
meninggalkan sisanya untuk dibagi dengan sistem waris. Kesemuanya memang telah
dihalalkan secara jelas dari ayat-ayat At-Tanzi>l. Disinilah muncul h}adits\ Nabi untuk
menegaskan bahwa wasiat adalah 1/3 yang tentu saja nominal itu sudah banyak.
Kemudian sahabat Ali juga mengikuti keputusan Nabi tersebut dalam perkataannya:
“Sesungguhnya berwasiat 1/5 lebih aku cintai dari pada ¼, dan ¼ lebih aku cintai
daripada 1/3 karena sabda Nabi SAW bahwa 1/3 adalah nominal yang sudah
banyak.” Nabi dan sahabat Ali tidaklah mengharamkan yang halal atau
menghalalkan yang haram dalam keputusan-keputusannya tersebut, mengingat
keputusan tersebut hanyalah keputusan yang bersifat perundang-undangan yang tidak
178
Tsuroya Kiswati, Rekonstruksi Metodologis Wacana Keagamaan Muh}ammad Syah}ru>r, dalam jurnal Islamica; Jurnal Studi Keislaman, vol. 4 no. 2, 2010, h. 293.
76
memiliki sifat mutlak dan umum dan ia bisa dimutlakkan kembali setelah
pembatasan tersebut, dan putusan itu bisa salah dan benar”.179
Contoh yang lain sebagaimana Rasūlullah SAW memaknai tauhid dalam
tahapan-tahapan, cara-cara, strategi-strategi; yakni strategi yang banyak dan strategi
yang satu. Contoh: seorang wanita dan seorang tawanan, dalam metodologi ini
mereka tidak ditinggalkan oleh zaman, sehingga Rasūlullah SAW bersabda : “Tidak
berkurang sedikitpun kebebasan seorang perempuan dan perbudakan di era
globalisasi”. Disini Syah}ru>r memberikan penjelasan bahwa sesuai dengan konteks
tersebut, peranan perbudakan seharusnya sudah selesai.
Untuk lebih dapat mengaktualisasikan kedalam ranah wilayah yang lebih
praktis, seperti yang telah dicontohkan Syah}ru>r di Republik Mauritania yang sedang
terjadi perbudakan, bahkan kadang terjadi dalam bentuk berbeda-beda dan baru,
dengan adanya kondisi yang sangat mendesak ini, maka menurut Syah}ru>r perlu
aturan-aturan yang mengatur hak-hak asasi manusia seperti hak pengasuhan anak,
hak buruh, namun yang terjadi sekarang wanita sekarang tidak mempunyai
kebebasan perihal itu. Artinya sebagai pemaknaan terhadap sunnah Rasūlullah
tentunya dapat dilihat mengenai cara atau metode yang Rasūlullah SAW bawa yaitu
ber-amar ma‟ruf nahi munkar. Itulah mengapa kita wajib ber-amar ma‟ruf nahi
munkar terhadap pembebasan perempuan dan semakin bertambahnya tanggungjawab
kita atas pembebasan tersebut.180
Dengan demikian kita dapat melihat perspektif
sunnah Nabi menjadi lebih dinamis sesuai dengan konteks waktu dan tempat.
179
Muh}ammad Shah}ru>r, Nahw Us}ul Jadi>dah Li al-Fiqh al-Islami> : Fiqhul Mar’ah ; al wasiyah, al Irtsu, al Qawamah, al Ta’addudiyyah, al Hijab, op.cit, h. 153.
180 Muh}ammad Syah}ru>r, Tajfif Munabi’ul Irhab, Beirut; al Ahalli, 2008, h. 268.
77
Demikianlah apa yang masih relevan dapat diterima, tetapi bila kondisi
zaman mengharuskan untuk pemahaman baru dari teks-teks Al-Qur’a>n dan As-
Sunnah maka pemahaman itu harus ditelusuri dengan ketentuan bahwa pemahaman
itu tidak keluar dari muatan teks-teks al-Qur’a>n dan as-Sunnah.181
181
Mutamin Arsyad, Rekonstruksi Pemahaman al-Qur’ān dan Hadis, dalam Esensia, vo.3,
no. 1, 2002, h. 20.
78
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari paparan pada bab-bab terdahulu dapat kami simpulkan sebagai berikut:
1. Muh}ammad Syah}ru>r menganggap kedudukan sunnah Nabi harus sesuai dengan
kondisi obyektif yang melatarbelakangi kehidupan Nabi Muh}ammad SAW.
Sebagai metode didalam memahami maksud hukum yang selalu berinteraksi
dengan Al-Qur’a <n bukan sebagai bayan atau sumber kedua didalam hukum Islam.
Syah}ru>r menambahkan dalam pendapatnya, ketika masih saja dikatakan bahwa
Al-Kitab masih global, sedangkan Sunnah yang menjelaskan, dan Qiyas yang
dirujukkan kepada penjelasan dalam Sunnah, maka At-Tafakkur (berfikir), At-
Tadabbur (merenungi), At-Ta‟ammul (berimajinasi), dan At-Ta‟aqqul
(menggunakan akal pikiran) bagi manusia sama sekali tidak berarti. Sedangkan
fungsi sunnah menurutnya untuk pengkhususan (takhs}i>s}) terhadap yang umum
dan pembatasan (taqyid) terhadap yang mutlak yang bertujuan untuk dapat lebih
membatasi wilayah halal dan wilayah haram didalam menjadi rujukan metode
penentuan ijtihad hukum.
2. Muh}ammad Syah}ru>r memberikan konsepsi untuk kembali kepada sunnah risalah
yang telah menjadi pemutlakan berupa hukum-hukum yang dinamis sesuai
berdasarkan konteks ruang dan waktu dengan bentuk ketaatan kepada Rasul yang
harus dikuti dan tidak di-ijtiha>d-i dan dalam bentuk konteks ketaatan yang harus
79
di-ijtiha>d-i dengan mengubah ajaran Rasul yang semula mutlak kedalam bentuk
yang relatif.
B. SARAN
Dalam beberapa yang penulis sampaikan dalam karya tulis ini, tentulah
banyak sekali hal-hal yang belum penulis sampaikan dan kaji sampai mendalam,
diantaranya adalah:
1. Perlu kembali untuk dikaji lebih lanjut metode yang disampaikan oleh
Muh}ammad Syah}ru>r dalam konteks penempatan sunnah sebagai konsep landasan
hukum Islam terhadap kasus-kasus yang kian hari kian kompleks dengan
memperdalam kekayaan wacana pemikirannya ketika itu sesuai dengan kondisi
masyarakat abad ini.
2. Masih sangat sulitnya ditemui telaah pemikiran-pemikiran sunnah ketika dilihat
dari kacamata atau perspektif filsafat, utamanya filsafat timur (nomena). Karena
lebih otoritatifnya sunnah, dalam hal ini adalah h}adits\ dari masa kemasa yang
masih menjadi sebuah konsumsi utama tanpa adanya analisa yang mendalam di
dalam memandang sunnah pada konteks kekinian.
3. Masih belum ditemukannya ramuan metode yang tepat dalam konteks sunnah
ketika dijadikan sebuah sumber ijtiha>d, sehingga pola penafsiran sunnah terhadap
realita kekinian juga masih serasa sempit. Karena hanya seorang pemikir tertentu
yang masih peduli mencari formula atau konsep cara ijtiha>d nabi, yang salah satu
diantaranya Muh}ammad Syah}ru>r. Meskipun dalam konteks sosialnya masih
sedemikian rumit diaplikasikan. Oleh karena itu lebih baik kiranya untuk kembali
80
memperkaya wacana sunnah yang disampaikan dan digagas oleh cendekiawan
lainnya ketika dibandingkan dengan Syah}ru>r, dengan mencoba open minded
terhadap pemikiran yang mereka gagas.
4. Memperkaya rumusan gerakan penyadaran terhadap sunnah, sehingga tidak saling
tuduh dan menjustifikasi antar umat ketika memahami Islam. Dan kajian inilah
yang tentunya menjadi telaah penelitian, dengan implikasi penerapan pola metode
sunnah terhadap perkembangan masyarakat modern abad ini dalam menemukan
solusi dari persoalan permasalahan umat. Yang berarti melakukan uji materi
terhadap metode yang selama ini telah menjadi konsumsi publik dan diamati
seberapa besar hal itu dapat menjadi kemaslahatan bersama.
DAFTAR PUSTAKA
„Ajjaj al-Khatib, Muhammad, Usul al-Hadis: Ulumuhu wa Mustalahuhu, Dar al-
Fikr; Beirut, 1979.
„Atiyyatullah, Ahmad, al-Qamus al-Islami, jilid III, Maktabah al-Nahdah al-
Misriyyah; Kairo.
Agil Husain Al-Munawar, Said, Ilmu Hadits, Gaya Media Pratama; Jakarta, 1996.
Ahmed An-Na‟im, Abdullah, Toward an Islamic Reformation Civil Liberties,
Human Rights and International Law, terj. Dekonstruksi Syariah, Wacana
Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia, dan Hubungan International Dalam
Islam oleh Ahmad Suaedy dan Amirudin ar-Rany, LKiS; Yogyakarta.
Ali al-Bahanasawi, Salim, as-Sunnah al-Muftara „Alaiha, terj. Rekayasa as-
Sunnah oleh Abdul Basith Junaidy, Ittaqa Press; Yogyakarta, 2001.
Arsyad, Mutamin, Rekonstruksi Pemahaman al-Qur‟ān dan Hadis, dalam
Esensia, vo.3, no. 1, Januari 2002.
Clark, Peter, The Shahrur Phenomena: A Liberal Voice From Syiria Dalam Islam
and Christian-Muslim Relation, vol. 7 no. 3, 1996.
Djamil, Fathurrahman, Filsafat Hukum Islam, Logos Wacana Ilmu; Jakarta, 1997.
Djazuli, H.A. dan Nurol Aen, Ushul Fiqh; Metodologi Hukum Islam, PT. Raja
Grafindo Persada; Jakarta, 2000.
F Eickelman, Dale, Inside the Islamic Reformation, Wilson Quarterly, 22, no. 1,