-
BAB III
WARGA JEMAAT GBI BANDUNGAN DAN PSK DI BANDUNGAN
A. Gambaran Umum Mengenai Bandungan
Bandungan merupakan sebuah obyek wisata pegunungan yang terdapat
di Kecamatan
Bandungan, Kabupaten Semarang. Obyek wisata ini dapat ditempuh
dengan kendaraan selama 1
jam di sebelah selatan Semarang atau sekitar 20 menit dari
Ungaran, atau sekitar 15 menit dari
Ambarawa. Secara geografis batas-batas wilayah letak Kecamatan
Bandungan sebagai berikut:
Batas Sebelah Barat : Kecamatan Sumowono
Batas Sebelah Timur : Kecamatan Bergas dan Kecamatan Bawen
Batas Sebelah Utara : Kabupaten Kendal
Batas Sebelah Selatan : Kabupaten Ambarawa
Gambar 1. Peta Batas-Batas Wilayah Letak Kecamatan Bandungan
-
Asal-usul nama Bandungan dikisahkan dari Pasutri K. Sanggem yang
memperoleh
wangsit untuk mencari sumur di lereng Gunung Ungaran, yaitu
sumur yang airnya mengalir
seperti sungai agar dia dapat memiliki anak. Setelah sumur
ditemukan dan dia memiliki banyak
anak, lalu dia mendapatkan wangsit lagi untuk menutup
(=membendung) sumur tersebut agar
tidak menyebabkan malapetaka bagi kampung di bawahnya, dengan
konsekuensi di desanya
tidak akan ada sumber mata air dan akhirnya sumur tersebut
ditutup dengan gong. Desa tersebut
akhirnya dikenal dengan Bandungan (= bendungan). Makam Kyai
Sanggem berada di belakang
Kantor Kecamatan Bandungan.
Bandungan memiliki udara yang sejuk dan segar sehingga banyak
sekali terdapat hotel
dan motel. Hotel dan motel merupakan sumber perekonomian utama
bagi Kecamatan
Bandungan. Berdasarkan sumber dari Kantor Kecamatan, ada 92
hotel dan motel yang tersebar
di Kecamatan Bandungan.
Tabel 1
Jumlah Hotel dan Motel Di Kecamatan Bandungan
Desa Jumlah Hotel Jumlah Motel
Milir 0 0
Duren 5 6
Jetis 3 6
Bandungan 18 29
Kenteng 2 3
Candi 1 3
Banyukuning 0 0
Jimbaran 2 3
-
Pakopen 3 8
Sidomukti 0 0
Total 34 58
Sumber: Monografi Kecamatan Bandungan, 2010
Sarana tempat peribadatan untuk warga yang beragama Islam di
Kecamatan Bandungan
terdapat 78 Masjid dan 205 Mushola, untuk warga yang beragama
Khatolik terdapat 2 Gereja
Khatolik, untuk warga yang beragama Kristen terdapat 7 Gereja
Kristen, untuk warga yang
beragama Buddha terdapat 1 Vihara, sedangkan untuk warga yang
beragama Hindhu belum
dibangun sarana tempat beribadahnya.
Tabel 2
Jumlah Tempat Ibadah di Kecamatan Bandungan
Desa Masjid Mushola Gereja
Khatolik
Gereja
Kristen
Vihara
Milir 6 20 0 0 0
Duren 10 21 0 0 0
Jetis 7 20 0 0 0
Bandungan 6 20 0 4 0
Kenteng 7 15 1 1 0
Candi 10 31 0 0 0
Banyukuning 12 31 0 1 0
Jimbaran 5 25 1 1 0
Pakopen 7 13 0 0 1
Sidomukti 8 18 0 0 0
-
Total 78 205 2 7 1
Sumber: Monografi Kecamatan Bandungan, 2010
Dari tabel di atas dapat dilihat ada 78 Masjid di kecamatan
Bandungan, fungsi Masjid
tersebut adalah sebagai sarana beribadah umat Muslim, biasanya
terdapat di jalan-jalan besar
yang letaknya strategis dan selain itu fungsi Masjid adalah
untuk sarana ibadah Jum’atan bagi
umat Muslim yang berada di Kecamatan Bandungan. Berbeda dengan
205 Mushola yang
terdapat di Kecamatan Bandungan, Mushola difungsikan hanya untuk
ibadah sehari-hari yaitu
sholat atau pun pengajian, tidak digunakan untuk Jum’atan.
Mushola di Kecamatan Bandungan
terdapat di tiap-tiap lingkungan RW.
Ada dua Gereja Khatolik di Kecamatan Bandungan yaitu: Gereja
Bunda Maria yang
terdapat di Desa Jimbaran dan Gereja Bunda Kasih yang terdapat
di Desa Kenteng. Fungsi
Gereja Khatolik ini adalah sebagai sarana beribadah umat
Khatolik yang berada di Kecamatan
Bandungan, selain itu sebagai tempat pemberkatan pernikahan umat
Khatolik yang berada di
Kecamatan Bandungan.
Gereja Kristen di Kecamatan Bandungan ada tujuh, yaitu: Gereja
Kristen Jawa, Gereja
Pantekosta di Indonesia, Gereja GBI Bandungan, Gereja Jemaat
Kristen Injil, Gereja Kristen
Injil Kristen, Gereja Bethel, dan Gereja Anugerah Allah. Fungsi
gereja Kristen ini hampir sama
dengan fungsi gereja Khatolik yaitu sebagai sarana beribadah
umat Kristen yang berada di
Kecamatan Bandungan, selain itu sebagai tempat pemberkatan
pernikahan umat Kristen yang
berada di Kecamatan Bandungan.
Hanya ada satu vihara di Kecamatan Bandungan, yaitu vihara
Buddis Dharma, vihara
tersebut terdapat di desa Pakopen. Fungsi vihara ini adalah
sebagai sarana beribadah umat
Buddha yang berada di sekitar Kecamatan Bandungan.
-
B. Sejarah Singkat GBI Bandungan
GBI Bandungan didirikan oleh Pdt David Sumenep (Alm) pada bulan
Juni 1980, yang
merupakan cabang dari GBI Ambarawa. Saat itu Pdt David Sumenep
yang merupakan gembala
sidang GBI Ambarawa menugaskan FA. Budhiono untuk menggembalakan
GBI Bandungan.
Pada tanggal 2 Maret 1982 FA. Budhiono dilantik menjadi Pendeta
Pembantu di
Pekalongan, pada acara Sidang Majelis Daerah GBI Jateng.
Kemudian, pada tanggal 19 Juli
1985 FA. Budhiono diangkat menjadi Pendeta Muda, dan disahkan
pada Sinode VII GBI di
Salatiga. Dengan jabatan tersebut, maka FA. Budhiono semakin
dituntut tanggungjawab yang
lebih besar. Sesuai tata gereja GBI, pada tanggal 8 Juli 1988,
FA. Budhiono melalui ujian
kependetaan dinyatakan lulus menjadi Pendeta pada Sinode Raya
GBI di Jakarta.
Pada tanggal 8 Februari 1990, Ibu Soeratmat, mempersembahkan
sejumlah uang Rp
10.000.000,00 dari sebagian hasil penjualan sebidang tanahnya
untuk realisasi pembangunan
rumah ibadah GBI Bandungan. Pdt FA. Budhiono kemudian membeli
sebidang tanah seluas 715
M2, yang terletak di Jl. Tirtomoyo no.3 Bandungan. Tanggal 1
Oktober 1990 dimulailah
pembangunan rumah ibadah GBI Bandungan.
Tepatnya pada tanggal 21 Januari 1991 diresmikan penggunaannya
oleh Bpk A. Januari,
Camat Ambarawa. Penyerahan kunci secara simbolis oleh Pdt Ajoeb
Soegjoraharjo selaku ketua
BPD GBI Jateng kepada gembala sidang Pdt FA. Budhiono.
Jumlah jemaat dewasa GBI Bandungan kini kurang lebih ada 100
orang, remaja dan
pemuda sekitar 25 orang, sedangkan anak-anak sekitar 20
orang.
C. Keadaan Warga Jemaat GBI Bandungan
-
GBI Bandungan memiliki 145 Jemaat yang memiliki latar belakang
dan profesi yang
berbeda-beda. Meskipun memiliki latar belakang dan profesi yang
berbeda-beda, tetapi dalam
pergaulan sehari-hari terdapat solidaritas antar sesama warga
Jemaat GBI Bandungan. Seperti
dituturkan oleh Pdt F.A Budhiono:
” Walaupun kami memiliki latar belakang dan profesi yang
berbeda-beda, namun kami
saling bantu-membantu, topang-menopang dalam kehidupan
sehari-hari. Jadi tak hanya
dalam kegiatan ibadah saja kami sama-sama, namun dalam kehidupan
sehari-hari kami
juga saling tolong-menolong. Gereja itu satu tubuh, jika ada
salah satu jemaat kami yang
sakit atau kesusahan, sudah sewajibnya kami pasti ikut merasakan
dan membantu
semampu kami.”1
Mata pencaharian Warga Jemaat GBI Bandungan cukup beragam, ada
yang menjadi
karyawan hotel, pedagang, tukang ojek, pemilik kos dan
lain-lain. Sebagian besar bekerja
sebagai karyawan hotel. Seperti dituturkan oleh Pdt F.A
Budhiono:
”Sebagian besar warga jemaat kami berprofesi sebagai karyawan
hotel, selain itu ada
juga yang berprofesi sebagai tukang ojek, pedagang di pasar dan
pemilik kos serta yang
lainnya lagi. Bandungan merupakan tempat wisata yang memiliki
banyak hotel dan
penginapan, jadi wajar saja jikalau kebanyakan masyarakatnya
bekerja di hotel, termasuk
warga jemaat gereja kami.”2
Menurut Pdt F.A Budhiono, tingkat pendidikan Warga Jemaat GBI
Bandungan juga
cukup beragam, sebagian besar tamat SMA, hanya ada beberapa
orang yang tamat Sarjana.
D. Relasi Antara Warga Jemaat GBI Bandungan Dengan
Masyarakat
Dalam Perjanjian Baru, dinyatakan bahwa Gereja didirikan,
ditumbuhkan, dipimpin dan
dimiliki oleh Kristus sendiri. Yesus berkata: “Di atas batu
karang ini Aku akan mendirikan
jemaatKu (Mat16:18). Lukas menyaksikan bahwa pertumbuhan Gereja
bukan karena usaha
kesaksian umat percaya saja, tetapi karena “Tuhan menambah
jumlah mereka dengan orang yang
diselamatkan (Kis 2:47). Dan Tuhan Yesus sendiri berkata: “Bukan
kamu yang memilih Aku,
1 Wawancara dengan Pdt F.A Budhiono, Gembala Sidang GBI
Bandungan, pada tanggal 8 Januari 2011.
2 Ibid.
-
tetapi Akulah yang memilih kamu” (Yoh 15:16). Oleh karena itu
ketika seseorang hendak
memetik makna tentang kehadiran Gereja di dunia ini, ia perlu
menyimak sekali lagi keterkaitan
antara Gereja dengan karya Kristus, khususnya karena Ia yang
telah menyerahkan diri-Nya bagi
jemaat (Ef 5:25b). Begitu juga relasi antara warga Jemaat GBI
Bandungan dengan Masyarakat
Bandungan yang berlandaskan pada Perjanjian Baru, seperti yang
dituturkan oleh Pdt F.A
Budhiono:
”Dalam hal relasi antara Jemaat dengan masyarakat sekitar, kami
berlandaskan pada
Perjanjian Baru. Berdasarkan perspektif Perjanjian Baru,
hubungan Warga Jemaat Gereja
kami dengan masyarakat Bandungan bersifat kristologikal.
Hubungan Warga Jemaat
Gereja dengan masyarakat Bandungan adalah suatu kepanjangan dari
inkarnasi kehadiran
Kristus di dunia.”3
Dengan menjadikan Alkitab sebagai dasar pijakan utama dalam hal
berelasi dengan
masyarakat, Warga Jemaat GBI Bandungan dengan melihat konteks
yang ada, memosisikan
dengan tepat dirinya dalam masyarakat yang bervariasi
keberadaannya dan yang terus berubah.
Seperti yang dituturkan oleh Bapak Yulius, sebagai berikut:
”Warga Jemaat GBI Bandungan tidak tinggal di menara gading,
Dalam relasinya dengan
masyarakat harus dapat menggarami masyarakat agar terang Kristus
memancar di mana-
mana. Kami biasanya mengikuti kegiatan-kegiatan yang ada dalam
masyarakat
Bandungan. Kami membantu sebatas kemampuan kami. Misalnya kerja
bakti, bersih-
bersih desa, dan lainnya. Selain itu dalam hal relasi dengan
penganut agama lain, kami
tidak pilih-pilih, terkadang kami juga membantu pembangunan
rumah ibadah penganut
agama lain.”4
Warga Jemaat GBI Bandungan dipanggil untuk mengikut Allah dan
mengikut Yesus
Kristus, yang adalah Tuhan dunia dan gereja, selalu sadar akan
kenyataan bahwa gereja berada di
tengah-tengah masyarakat terutama untuk kepentingan masyarakat
ini dan bukan untuk
kepentingan dirinya sendiri. Gereja merupakan suatu kepanjangan
dari inkarnasi kehadiran
3 Ibid.
4 Wawancara dengan Bapak Yulius, Majelis GBI Bandungan, pada
tanggal 9 Januari 2011.
-
Kristus di dunia, selain itu Gereja adalah garam dan terang
dunia. Inilah prinsip dasar hidup
warga jemaat GBI Bandungan dalam berelasi dengan masyarakat
sekitarnya.
E. Kegiatan-Kegiatan Gereja GBI Bandungan
Berdasarkan wawancara dengan Pdt F.A Budhiono, maka
kegiatan-kegiatan Gereja GBI
Bandungan dapat diklasifikasikan sebagai berikut:5
1. Ibadah
Fokus dari kegiatan ibadah adalah Tuhan sendiri. Melalui ibadah
yang berisi pengajaran,
pertobatan dan perayaan, Warga Jemaat GBI Bandungan dapat
mengalami pengenalan,
pengudusan dan sukacita yang sangat mereka perlukan untuk hidup
taat dan berkenan kepada
Tuhannya.
Kegiatan ibadah di Gereja GBI Bandungan merupakan salah satu
kegiatan Gereja yang
penting, di dalamnya Warga Jemaat dapat terus menerus
ditransformasi dan diperbaharui oleh
Tuhan sendiri. Ketika ibadah menjadi sesuatu yang bersifat
ritual dan seremonial belaka, maka
dapat dipastikan bahwa gairah dan semangat pelayanan Gereja
tersebut akan sangat mengendor.
Dalam kegiatan ibadah di Gereja GBI Bandungan terdapat sistem
tata ibadah yang baku,
sebagai berikut:
a. Pra Ibadah
1. Panggilan untuk merayakan ibadah/ucapan selamat datang.
Sesudah masuk gereja dan waktu ibadah akan segera dimulai, maka
pemimpin pujian
naik ke altar. Panggilan merayakan ibadah dilakukan. Pemimpin
pujian menyambut
5 Wawancara dengan Pdt F.A Budhiono, pada tanggal 16 Januari
2011.
-
panggilan merayakan ibadah dengan mengucapkan selamat datang
kepada semua jemaat
yang hadir.
2. Bersalam-salaman
Hal yang pertama kali dilakukan adalah mengajak semua jemaat
bersalaman dengan
sesama anggota jemaat yang hadir. Pemimpin pujian mengajak
jemaat untuk bersalaman
dengan jemaat yang ada di dekatnya. Hal ini dilakukan untuk
mengakrabkan jemaat yang
satu dengan jemaat yang lain.
b. Ibadah
1. Doa Pembuka
Sesudah panggilan merayakan ibadah dilakukan, maka seorang
pemimpin pujian
memulai ibadah dengan doa pembuka.
2. Penyembahan
Seluruh jemaat dipimpin oleh pemimpin pujian menaikkan ucapan
syukur dengan
membawakan lagu penyembahan.
3. Doa
Setelah selesai penyembahan, jemaat dipimpin oleh seorang pendoa
yang telah ditunjuk
untuk menaikkan doa kepada Allah. Dalam doa meminta agar
jalannya kebaktian ibadah
berjalan dengan lancar.
4. Puji-pujian
Dalam ibadah biasanya seluruh jemaat dipimpin oleh pemimpin
pujian untuk
menyanyikan lagu-lagu yang diiringi musik pengiring. Nyanyian
yang dipanjatkan
bersifat gembira, dan di dalam pujian seluruh jemaat
bersorak-sorai serta bersukacita
-
memulikan Allah. Tujuan dari puji-pujian adalah sebagai ungkapan
rasa syukur kepada
Allah yang telah memberikan keselamatan.
5. Persembahan Syukur
Dalam persembahan syukur ini jemaat mengumpulkan persembahan
secara bersama-
sama disertai dengan nyanyian dan jemaat mengikuti secara
bersama-sama. Biasanya
persembahan syukur berbentuk uang yang dikumpulkan ke dalam
kantong persembahan.
Setelah selesai mengumpulkan persembahan, maka dinaikkan doa
persembahan oleh
pemimpin pujian, sekaligus doa untuk menyambut Firman Tuhan.
6. Pembacaan dan penyampaian firman Tuhan
Pada sesi ibadah ini seorang Pendeta akan berdoa dan berkhotbah
untuk seluruh jemaat
yang hadir. Di mana khotbah yang disampaikan oleh Pendeta
bersifat membangun dan
menghibur, juga menguatkan seluruh jemaat. Akhir khotbah ditutup
dengan doa.
7. Pembacaan Warta Jemaat
Setelah Pendeta selesai berkhotbah, maka seseorang petugas yang
telah ditunjuk
sebelumnya, tampil ke depan mimbar dan membacakan warta jemaat
atau pengumuman
tentang aktifitas gereja yang sudah selesai dilakukan serta
mengumumkan apa-apa saja
kegiatan yang akan dilaksanakan dalam satu minggu ke depan.
Dengan mendengar
pengumuman ini, semua jemaat akan tahu apa saja kegiatan yang
akan dilaksanakan
dalam gereja tersebut.
8. Doa penutup Ibadah
Pada akhir ibadah Pendeta akan berdoa bagi jemaat, di mana
pendeta mendoakan agar
semua jemaat diberkati dan dilindungi agar dapat berkumpul
kembali untuk beribadah di
minggu berikutnya. Pendeta juga biasanya mendoakan bangsa dan
negara. Lalu pendeta
-
menutup doa dengan doa berkat semoga seluruh jemaat pulang
dengan membawa damai
sejahtera. Setelah doa penutup ibadah selesai, jemaat
bersalam-salaman antara jemaat
satu dengan yang lainnya, menandakan ibadah sudah usai, lalu
jemaat meninggalkan
tempat ibadah.
Macam-macam kegiatan Ibadah di Gereja GBI Bandungan:
a. Kebaktian Sekolah Minggu
Kebaktian sekolah minggu ini dikhususkan untuk anak-anak kecil.
Proses pembentukan
iman harus dimulai dari kecil, oleh sebab itulah kebaktian
sekolah minggu merupakan salah satu
kegiatan ibadah yang penting bagi bibit-bibit Jemaat Gereja GBI
Bandungan.
b. Kebaktian Umum
Kebaktian umum merupakan kegiatan ibadah yang dihadiri oleh
umum, tanpa batasan
usia. Di gereja GBI Bandungan kebaktian umum di selenggarakan
seminggu dua kali.
c. Komsel
Komsel merupakan singkatan dari Kelompok Sel. Kegiatan ibadah
komsel adalah
persekutuan dari sel-sel jemaat GBI Bandungan di tiap-tiap
daerah yang ada di Bandungan.
d. Doa Puasa
Doa puasa di Gereja GBI Bandungan dilakukan seminggu sekali.
Dalam doa puasa ini,
jemaat biasanya berpuasa seharian sebelum melakukan doa puasa.
Kemudian setelah kegiatan
ibadah doa puasa selesai, jemaat Gereja GBI Bandungan biasanya
berbuka puasa bersama.
Dengan buka puasa bersama ini, maka dapat dijalin keakraban
antara jemaat Gereja GBI
Bandungan.
e. Kebaktian PKBI
-
Kebaktian PKBI dikhususkan bagi pemuda-pemudi. Dalam hal ini
pemuda-pemudi GBI
Bandungan melakukan kegiatan ibadah bersama.
f. Doa Pagi
Doa pagi dilakukan menjelang subuh seminggu sekali. Dalam doa
pagi ini disisipkan
perenungan mengenai kehidupan yang bersumber dari firman
Allah.
Berikut ini adalah jadwal rutinitas ibadah Jemaat GBI
Bandungan:
Tabel 3.
Jadwal Kegiatan Ibadah GBI Bandungan
Hari Jam Ibadah
Minggu 07.00 – 08.30
09.00 – 11.00
Kebaktian Sekolah Minggu
Kebaktian Umum
Selasa 18.00 – 19.30 Komsel
Rabu 18.30 – 20.00 Kebaktian Umum
Kamis 14.00 – 16.00 Doa Puasa
Jumat 18.30 – 20.00 Komsel
Sabtu 18.30 – 20.00
05.00 – 06.00
Kebaktian PKBI
Doa Pagi
Sumber: Gereja GBI Bandungan, 2011.
2. Pembinaan
Fokus dari kegiatan pembinaan ini adalah jemaat GBI Bandungan
sendiri. Dalam hal ini
Warga Jemaat GBI Bandungan sadar bahwa mereka adalah murid-murid
Tuhan yang harus terus
menerus belajar dari Tuhan sendiri. Mereka perlu mengalami
proses pengudusan dalam hidup
mereka dan juga perlu mengenali dan mengembangkan
karunia-karunia Roh Kudus yang telah
-
Tuhan berikan dalam hidup mereka. Bentuk pembinaan biasanya
seperti sekolah minggu dan
kelas katekisasi.
Kelas Katekisasi biasanya dibuka untuk jemaat yang akan
dibaptis. Sebelum dibaptis,
biasanya jemaat diajarkan terlebih dahulu pengetahuan mengenai
agama Kristen dan Gereja GBI
Bandungan secara lebih mendalam.
3. Pelayanan
Menurut Pdt F.A Budhiono, GBI Bandungan adalah salah satu agen
pelayanan Kristus
terhadap dunia. Melaluinya, Kristus mengasihi dan melayani
dunia; kendatipun kita percaya
bahwa Kristus dapat saja menyatakan pelayanannya juga di luar
gereja. Dengan demikian
kegiatan pelayanan ini mewujud di dalam masyarakat setempat,
karena di dalam masyarakat
setempatlah Gereja harus menjadi pelayan Tuhan, terbuka untuk
melayani kebutuhan masyarakat
di mana gereja itu berada.
Fokus dari kegiatan pelayanan ini adalah masyarakat sekitar.
Kegiatan dalam bidang
pelayanan ini dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
(a) Pemberitaan kabar baik.
Kegiatan ini menekankan perlunya pertobatan, pertumbuhan rohani
dan hidup yang
saleh. Dalam pemberitaan kabar baik ini diharapkan masyarakat
yang bukan jemaat
GBI Bandungan dapat mengenal Kristus secara lebih mendalam,
sedangkan bagi
jemaat GBI Bandungan diharapkan kerohaniannya dapat terus tumbuh
dan hidup
saleh dalam perlindungan Kristus.
(b) Pelayanan doa.
Pelayanan doa ini untuk mereka yang membutuhkan dukungan doa,
tak terbatas
apakah itu jemaat GBI Bandungan sendiri ataukah dia yang bukan
jemaat GBI
-
Bandungan. Dalam pelayanan doa ini biasanya mereka yang meminta
didoakan,
didoakan oleh pelayan rohani GBI Bandungan yang bertugas
melayani doa, selain itu
juga didoakan secara bersama-sama.
(c) Pelayanan dalam bidang sosial kemasyarakatan dan
lingkungan.
Dalam bidang sosial kemasyarakatan dan lingkungan, GBI Bandungan
biasanya
melakukan sosialisasi kepada masyarakat dengan ikut
bergotong-royong bersih-bersih
desa, ikut serta dalam penyuluhan-penyuluhan terhadap PSK
Bandungan yang
beragama Kristen, dan melayani masyarakat yang membutuhkan
bantuan doa.
F. Fenomena Pelacuran di Bandungan
Pelacuran merupakan salah satu bentuk masalah sosial yang sangat
sulit untuk ditangani
dan jenis masalah sosial ini banyak didukung oleh uang dan
masyarakat, dimana dalam
masyarakat itu sendiri mendapat pelayanan. Keinginan yang timbul
ini merupakan akibat dari
nafsu biologis yang sederhana. Seperti yang terjadi di
Bandungan, ketika semua sumber
kepuasan dari semua individu tidak mampu memenuhi kebutuhan,
maka pelacuran dapat dipakai
sebagai alternatif untuk memenuhinya, dan perubahan dalam sistem
ekonomi tidak akan mampu
menghilangkan kedua sisi kebutuhan tersebut.
Sebagai kawasan obyek wisata, tersedianya restoran, karaoke,
panti pijat, bar, dan hotel,
tentunya Bandungan merupakan tempat yang sangat strategis bagi
tumbuh suburnya praktek
pelacuran. Praktek pelacuran yang terjadi di Bandungan merupakan
problem sosial yang
memerlukan penanganan yang bijaksana oleh pemerintah karena
bersifat kompleks dan
dilematis. Disebut kompleks karena praktek pelacuran dilatar
belakangi oleh berbagai macam
faktor yang mendorong seperti ekonomi, mental, penyakit kelainan
seks dan lain sebagainya.
-
Dilematis karena di satu sisi sebagian masyarakat merasa
terganggu dan ingin mengatasinya, di
sisi lain sebagian masyarakat menggunakan jasanya.
Keberadaan pelacuran yang bertahan sekian lama di Bandungan
tidak berarti diterima
keberadaannya oleh masyarakat, namun karena ketidakberdayaan
masyarakat melawan struktur
yang mendukung pelacuran sehingga masyarakat terpaksa menerima
keberadaan pelacuran di
Bandungan. Selain itu praktek pelacuran di Bandungan oleh
sebagian masyarakat tidak dirasakan
sebagai persoalan, justru sebaliknya dengan praktek pelacuran
itu mereka banyak diuntungkan
secara ekonomis, misalnya para pedagang makanan dan minuman,
persewaan rumah, persewaan
Hotel oleh masyarakat di sekitar lokalisasi dan lain-lain.
Hubungan pelacur dengan masyarakat
Bandungan khususnya dengan pemilik rumah kontrakan sudah
merupakan rekan dalam
memenuhi kebutuhan konsumen/pelanggan. Sebagian besar pemilik
rumah kontrakannya adalah
seorang mucikari. Mereka telah sepakat dalam mendapatkan
keuntungan/kontrak rumah, bila ada
hal-hal yang kurang baik atau cemohan dari masyarakat mereka
cenderung menutup-nutupi.
Selain itu ada juga tukang antar jemput, biasanya mempergunakan
ojek. Dalam tugasnya
melayani panggilan pelacur untuk mengantar ke tempat yang telah
diperjanjikan, baik ke hotel,
bungalow maupun ke tempat yang telah dijanjikan. Tukang antar
jemput ini biasanya juga
sebagai penghubung atau makelar antara pelacur dengan
konsumennya. Hal ini dituturkan oleh
Maria (nama samaran), salah satu PSK yang berasal dari daerah
Malang:
” Dalam melayani panggilan, aku biasanya diantar jemput oleh
tukang ojek. Tukang ojek
itu biasanya pegawai hotel atau masyarakat sekitar yang
mendapatkan orderan untuk
mencarikan wanita panggilan. Biasanya mereka dikasih tips oleh
tamu hotel, selain
ongkos jasa antar jemput dariku. Jadi masyarakat di sekitar sini
juga sebenarnya
mendapatkan keuntungan dari pekerjaan yang kujalani.”6
6 Wawancara dengan Maria (nama samaran), salah satu PSK yang
berasal dari daerah Malang, pada tanggal
6 Maret 2011.
-
Fenomena pelacuran di kawasan wisata Bandungan adalah realita
hidup dan kondisi
masyarakat yang harus kita akui keberadaannya. Mereka yang
bekerja di dalamnya adalah
fenomena sosial yang betul-betul kering akan sentuhan moral
religi atau sapaan lembut dari
tetangga sekitarnya, mereka butuh sikap yang menyejukkan hati
dan untuk mengantarkannya
menuju alam kesadaran dan mengangkatnya dari dalam lubang hitam
hidupnya, karena status
yang mereka sandang tersebut bukan berarti tidak tanpa sebab.
Seperti yang dituturkan Nina
(nama samaran) salah seorang PSK asal daerah Salatiga:
”Mau gimana lagi Mbak, aku melacur juga demi menghidupi
keluargaku di kampung.
Kebanyakan mereka yang melacur di sini bukan tanpa sebab, mereka
melacur karena
faktor ekonomi.”7
Namun selain faktor-faktor ekonomi, juga ada faktor-faktor
lainnya yang mendorong
seseorang memilih berprofesi menjadi PSK, seperti yang
dituturkan oleh Siska (nama samaran),
salah seorang PSK yang berasal dari daerah Ungaran:
”Pada awalnya aku nggak ingin menjadi wanita yang seperti ini
Mbak, tetapi aku nggak
punya sesuatu lagi untuk diharapkan dalam kehidupan ini, apalagi
setelah pacarku
meninggalkanku setelah merenggut keperawananku. Setelah kejadian
itu aku merasa
putus asa dan sepertinya hancur. Aku sangat malu pada keluarga,
dengan segala
kehancuran yang ada akhirnya aku terjerumus ke dalam dunia
pelacuran. Seorang
mucikari membawaku ke dari Semarang ke Bandungan. Terkadang
nuraniku menjerit,
tapi apa boleh buat, aku sudah terlanjur terjerumus.”8
Selain sisi ekonomi, sosial dan psikologi, dalam sisi agama,
kontradiksi pelacuran dari
segi agama dengan keberadaan manusia itu sebagai makhluk sosial
yang mempunyai kebutuhan
biologis terkadang membuat kita harus menempatkan secara
hati-hati. Sebab bila tidak, maka
manusia akan menganggap nilai-nilai agama dapat dikesampingkan
pada saat melakukan
pelacuran. Konstruksi sosial yang dimiliki oleh pelacuran
tentunya memiliki perbedaan dengan
7 Wawancara dengan Nina (nama samaran) salah seorang PSK asal
daerah Salatiga, pada tanggal 6 Maret
2011. 8 Wawancara dengan Siska (nama samaran), salah seorang PSK
yang berasal dari daerah Ungaran, pada
tanggal 12 Maret 2011.
-
konstruksi sosial yang dimiliki oleh masyarakat agamis. Selain
itu, pengalaman hidup masing-
masing PSK mempengaruhi konstruksi pelacuran di dalam
dirinya.
G. Keadaan Sehari-hari PSK Bandungan
Tidak semua daerah di Bandungan yang menjadi kompleks pelacuran.
Kompleks
pelacuran dipusatkan oleh pemerintah di daerah Kalinyamat. Namun
hanya sebagian lahan yang
digunakan untuk tempat tinggal PSK, selain itu ada yang
digunakan untuk rumah makan, toko,
dan lain-lain. Toko-toko yang berada di daerah Kalinyamat,
sebagaimana lazimnya toko,
menyediakan kebutuhan sehari-hari. Mulai dari alat-alat
kosmetik, sabun, perlengkapan sehari-
hari, sampai jamu-jamu tradisional semua ada. Sementara itu,
kebanyakan bangunan rumah
makan yang ada di kompleks ini menempel pada wisma-wisma dan
penginapan-penginapan
yang ada, harga makanannya pun relatif murah.
Kalau menyusuri kompleks Kalinyamat pada siang hari, tidak
diperoleh kesan menarik.
Kehidupan di daerah Kalinyamat di siang hari menampilkan
wajah-wajah “asli” para wanita
penghuninya, tanpa make-up, atau kalaupun memakai make-up tidak
begitu menyolok, hanya
polesan tipis yang menghiasi wajah-wajah mereka. Pengunjung
kompleks di siang hari tidak
begitu ramai, hanya tampak beberapa tamu yang menggunakan mobil
atau motor, yang melewati
jalan kompleks itu, sambil melihat ke sana ke mari mencari
wanita tipe idealnya. Sementara itu
para pelacur berada dalam suasana santai, mencoba menghalau
kejemuan dan mengisi waktu
luang dengan bermain kartu, merokok, atau bercanda dengan
teman-temannya.
Begitu matahari mulai tenggelam di ufuk barat, dan dalam senja
yang mulai tiba, di
kompleks pelacuran ini muncul suasana yang penuh gemerlapan.
Lampu warna-warni mulai
-
menyala menghiasi wisma-wisma, dan para pelacur telah berdandan
mempercantik diri. Maka
kehidupan malam di kompleks ini pun dimulai. Para “tamu” mulai
berdatangan. Para tamu ini
hilir mudik dari ujung jalan yang satu ke ujung jalan yang lain.
Kebanyakan para PSK usianya
masih muda-muda, paling banyak usia mereka sekitar 21 – 25
tahun.
Di kompleks Kalinyamat ini biasanya setiap PSK memiliki kamar
’pribadi’ sendiri.
Maksudnya, kamar tersebut hanya khusus dipergunakan sendiri
dalam melayani ’tamu’, dan juga
sebagai tempat tidurnya sehari-hari. Selain itu menerima ’tamu’
di kamarnya, mereka juga kerap
melayani panggilan ’tamu’ yang sedang menginap di hotel atau
motel dekat dengan kompleks
Kalinyamat.
Hotel atau motel yang berada di Bandungan merupakan tempat
favorit untuk melakukan
transaksi seks. Biasanya para PSK dijemput oleh karyawan hotel
atau motel yang mendapatkan
pesanan dari mereka yang menginap di hotel atau motel di
sekitaran Bandungan. Selain sebagai
karyawan, mereka yang bekerja sehari-hari di hotel atau motel,
biasanya merangkap juga sebagai
makelar atau tukang ojek bagi PSK. Dengan mengantarkan para PSK
ke pelanggannya, mereka
akan mendapatkan sejumlah uang jasa. Berikut ini adalah daftar
nama-nama hotel dan motel
yang dekat dengan kompleks Kalinyamat:
Tabel 4
Nama Hotel dan Motel di Daerah Kompleks Kalinyamat
Hotel Motel
Hotel Parahita Motel Krisna
Hotel Puspasari Motel Krisna 2
Hotel Citra Dewi Motel Shinta
Hotel Kenanga Indah Motel Shinta 2
-
Hotel BHI Motel Larasita
Hotel Tri Buana Motel Senita
Hotel Asri Motel Srikandi
Hotel Kalinyamat Graha Motel Agun
Sumber: Diolah penulis.
Tarif short time PSK yang ada di kompleks Kalinyamat ini
berkisar antara Rp 85.000 S/d
100.000 bahkan ada juga yang lebih besar tergantung dari
kesepakatan antara PSK dengan
pelanggannya, sebab tidak ada aturan yang mengatur mengenai
bagaimana tarif ditetapkan.
Wisma-wisma di daerah kompleks Kalinyamat mulai buka pukul 11.00
hingga pukul
23.00 dengan batas toleransi sampai pukul 01.00 dini hari. Pada
siang hari kebanyakan para PSK
beristirahat siang. Pada umumnya, para PSK menganggap jam kerja
mereka adalah pukul 18.00
hingga pukul 23.00.
Pada jam 23.00 kompleks Kalinyamat diharuskan “tutup”. Memang
nampak pintu rumah
tertutup, tetapi para PSK masih duduk di depan rumah menunggu
pelanggan yang masih
berminat “tidur” dengannya. Begitu mendengar ada kontrol dari
pihak Hansip setempat, mereka
biasanya lari terbirit-birit masuk ke dalam.
Tamu yang tidak menginap di hotel atau motel dan hendak bermalam
di wisma tempat di
mana PSK tersebut tinggal, diharuskan menunjukkan KTP (Kartu
Tanda Penduduk) kepada
petugas wajib lapor dan membayar uang Rp 15.000. Apabila
diketahui tamu bermalam dengan
para PSK tidak lapor, maka jika ketahuan PSK itu akan dikenakan
sanksi tegas yaitu dipenjara
semalaman atau membayar denda sebesar 100.000 kepada petugas
kepolisian setempat. Biasanya
tamu bersangkutan tak perlu repot untuk melaporkan diri, cukup
germonya sendiri yang akan
-
melapor ke petugas wajib lapor setempat. Nantinya akan diberikan
secarik kertas tanda
bermalam yang harus digantungkan di atas pintu kamar PSK yang
menerima tamu tersebut.
Jumlah kamar yang ada di wisma-wisma di kompleks Kalinyamat
beragam, paling kecil
ada 4 kamar, tetapi pada umumnya antara 5 dan 11 kamar. Kamar
PSK yang ada di wisma-
wisma Kalinyamat ini ada juga yang dilengkapi dengan kamar mandi
dalam dengan shower, AC,
TV, dan ada pula yang hanya dilengkapi dengan bak kecil yang
dipisahkan dari tempat tidur
tergantung dari kondisi dan fasilitas dari wismanya. Semakin
mewah gedungnya, semakin baik
fasilitas yang diberikan.
Untuk menjadi penghuni wisma di daerah Kalinyamat tidak
dibutuhkan persyaratan yang
terlampau rumit. Pada umumnya mereka menyatakan harus memiliki
KTP (Kartu Tanda
Penduduk), atau surat keterangan dari lurah desa asalnya, dan
memiliki surat cerai resmi bagi
yang pernah menikah. Namun, dalam prakteknya, tanpa sepotong
surat keterangan pun dapat
diterima bahkan dengan tangan terbuka. Sebab, merupakan suatu
rezeki besar apabila ada wanita
yang datang sendiri ke wisma untuk bekerja sebagai PSK.
Para PSK penghuni wisma di kompleks Kalinyamat pada umumnya
memperoleh jaminan
makan dari germonya sebanyak 2 kali sehari, tetapi ada yang 3
kali sehari, bahkan ada juga yang
bebas tanpa batas. Meskipun demikian, para PSK lebih banyak
jajan di luar wisma. Jajan yang
biasa dilakukan para PSK adalah pada malam hari, terutama
setelah wisma tutup.
Persaingan di kalangan PSK kompleks Kalinyamat dalam mendapatkan
tamu memang
ketat sekali. Untuk bisa menjadi “primadona” tidak diperlukan
benar wajah yang terlampau
cantik. Masalahnya adalah pelayanan yang diberikan. Oleh karena
itu, maka untuk
menanggulangi kalahnya raut wajah untuk modal mencari tamu bagi
mereka yang kebetulan
tidak dikaruniai wajah yang cantik, mereka akan mencari
teknik-teknik seksual yang khas.
-
Para PSK di kompleks Kalinyamat biasanya mengelompok, dan
berkumpul dengan
teman-temannya yang berasal dari kampung atau desa yang sama.
Hubungan mereka sangat
terbatas dengan para wanita lain yang datang dari desa /kampung
berbeda. Jadi, umumnya para
PSK di kompleks pelacuran cenderung membentuk kelompok
berdasarkan daerah asal. Di masa-
masa sulit anggota kelompok ini saling tolong-menolong, misalnya
jika ada yang sakit, hamil
atau keluarga mengalami krisis mereka membantu menyelesaikan
persoalan secara kekeluargaan.
H. Relasi Antara PSK Dengan Masyarakat
Relasi antara PSK dengan masyarakat sekitar merupakan relasi
bisnis. Banyak pihak
yang pendapatannya sangat tergantung pada kegiatan perdagangan
seks ini, termasuk pemilik
wisma, karyawan hotel yang bertindak sebagai perantara, pemilik
warung makan, tukang ojek,
tukang cuci, tukang parkir dan lain-lain. Dengan kata lain
eksistensinya memang menjadi
kebutuhan masyarakat. Seperti yang dituturkan Nina (nama
samaran) salah seorang PSK asal
daerah Salatiga:
”Hubungan kami yang berprofesi sebagai PSK dengan masyarakat
sekitar sini, sebatas
relasi bisnis. Tahu sendiri kan mbak, di tempat seperti ini
bukan hanya kami saja yang
mencari makan, banyak juga yang mendapat keuntungan seperti:
tukang ojek, pemilik
kos dan lainnya lagi.”9
Selain itu relasi yang terjalin antara PSK dengan masyarakat,
merupakan relasi formal
dalam pengurusan surat ijin tinggal. Untuk menjadi penghuni
kompleks Kalinyamat tidak
dibutuhkan persyaratan yang terlampau rumit. Pada umumnya para
PSK harus memiliki kartu
tanda penduduk, atau surat keterangan dari lurah desa asalnya,
dan memiliki surat cerai resmi
bagi yang pernah menikah. Hal ini dituturkan oleh Maria (nama
samaran), salah satu PSK yang
berasal dari daerah Malang:
9 Wawancara dengan Nina (nama samaran) salah seorang PSK asal
daerah Salatiga, pada tanggal 6 Maret
2011.
-
” Kami menghormati tata cara dan aturan di masyarakat sini,
dalam pengurusan surat ijin
tinggal misalnya. Dengan begitulah kami berelasi dengan
masyarakat dan masyarakat di
sini dapat menerima keberadaan kami.”10
Dalam berelasi dengan masyarakat, di samping pekerjaannya
sehari-hari melayani
pengunjung yang membeli hiburan cinta, para PSK di kompleks
Kalinyamat itu mendapat
pelajaran menjahit, merias diri, berolah raga, tata buku,
merenda, agama, pengetahuan umum,
dan lain-lain untuk mempersiapkan diri kembali menjadi warga
masyarakat biasa dengan
mengikuti progam rehabilitasi. Para PSK banyak yang kembali ke
desa untuk memulai satu
kehidupan baru dengan keterampilan yang dimilikinya. Program
rehabilitasi ini biasanya
dilaksanakan pemerintah daerah di lokalisasi resmi atau ditempat
khusus (ruangan atau rumah)
yang disediakan oleh masyarakat setempat.
Selain itu para PSK di kompleks Kalinyamat juga berelasi dengan
LSM (Lembaga
Swadaya Masyarakat) setempat yang bergerak di bidang kesehatan.
Pemeriksaan kesehatan
secara rutin/teratur merupakan kewajiban bagi para PSK yang
bekerja di kompleks Kalinyamat,
para PSK tersebut dianjurkan atau diwajibkan untuk memeriksakan
kesehatannya lewat dokter
yang telah ditunjuk oleh LSM yang menangani masalah kesehatan
PSK. Untuk menjaga
kesehatan, biasanya para PSK di kompleks Kalinyamat, selama satu
minggu sekali diwajibkan
untuk memeriksakan diri. Tidak hanya itu, tiap tiga bulan mereka
juga harus melakukan tes
darah.
I. Pandangan PSK Terhadap Agama Secara Umum
Para PSK di kompleks pelacuran Bandungan memandang agama sebagai
pegangan
hidup, namun bukan sebagai jawaban atas persoalan hidup mereka.
Hal ini dapat dilihat dari
10
Wawancara dengan Maria (nama samaran), salah satu PSK yang
berasal dari daerah Malang, pada
tanggal 12 Maret 2011.
-
ungkapan Rini (nama samaran) salah seorang PSK Bandungan asal
daerah Semarang dengan
ungkapan sebagai berikut:
“ Ah, agama itu kan bisanya cuma menghukum, tapi apa agama itu
bisa kasih makan
kita, kasih makan keluarga saya, nggak kan? Saya memang mengakui
adanya agama itu
baik untuk mendidik moral seseorang, tapi tak sepenuhnya mereka
yang beragama lantas
moralnya baik. Banyak juga lho mbak yang beragama, tapi moralnya
bejat.”11
Hal yang hampir senada diungkapkan juga oleh Nina (nama samaran)
salah seorang PSK
asal daerah Salatiga, dengan ungkapan sebagai berikut:
“ Semua agama itu sesungguhnya mengajarkan kebaikan, tapi
semuanya itu tergantung
orangnya. Banyak yang agamanya hanya sebatas KTP, tapi mereka
begitu dekat dengan
kami, peduli dengan nasib kami. Tapi banyak juga yang fanatik
dalam beragama, namun
lebih peduli pada agamanya, pada kesucian dirinya sendiri,
seolah-olah merasa paling
suci sedunia, lantas mencibir kami, ingin menggusur kami, tanpa
memberikan solusi apa-
apa. Ini kan namanya keblinger.”12
Berdasarkan ungkapan dua PSK Bandungan di atas, memang
agama-agama yang ada di
Indonesia seperti: Kristen, Khatolik, Hindu, Buddha, dan Islam
memang pada dasarnya
menentang pelacuran, karena hal itu tidak sesuai atau melanggar
ajaran yang terdapat dalam
Kitab masing-masing agama tersebut. Dan beberapa agama seperti
Kristen, Khatolik, dan Islam
seringkali menempatkan hukuman bagi PSK adalah siksa neraka.
Justru hal inlah yang Debora
(nama samaran), salah seorang PSK yang berasal dari Malang:
”Agama itu terlalu menakutkan bagi kami, karena dalam ajaran
agama, kami seringkali
ditempatkan dalam dosa yang begitu besar, sehingga terkesan
tidak ada ampunan bagi
kami dalam agama. Tidak ada Surga bagi kami di dalam agama. Tapi
meski begitu, aku
tahu bahwa Tuhan itu lebih maha pengampun daripada agama yang
suka menghukum.”13
Agama memang terkadang terlalu keras, hal inilah yang terkadang
membuat para PSK
merasa minder atau bahkan merasa ketakutan terhadap agama.
Ketakutan terhadap agama inilah
11
Wawancara dengan Rini (nama samaran) salah seorang PSK Bandungan
asal daerah Semarang, pada
tanggal 20 Maret 2011. 12
Wawancara dengan Nina (nama samaran) salah seorang PSK asal
daerah Salatiga, pada tanggal 20 Maret
2011. 13
Wawancara dengan Debora (nama samaran), salah seorang PSK yang
berasal dari Malang, pada tanggal
20 Maret 2011.
-
yang menjadikan pandangan para PSK terhadap agama terkesan
begitu jauh. Seolah-olah agama
adalah milik mereka yang suci, namun bukan milik para PSK yang
berdosa. Namun seperti yang
dituturkan oleh Debora, PSK asal Malang, ia lebih mempercayai
Tuhan yang maha pengampun
daripada agama yang suka menghukum.
Nasib para PSK, haruslah menjadi keprihatinan utama agama-agama
yang ada di
Indonesia, dalam kerjasama dengan antar para penganut agama yang
lain. Injil adalah Kabar
Baik untuk orang-orang miskin. Ini berarti tugas agama dalam
pembangunan bukanlah semata-
mata memperingan beban penderitaan, tetapi pada saat yang sama
menghapuskan ketidakadilan
yang menyebabkan penderitaan dalam masyarakat. Karenanya agama
harus hadir bukan hanya
dalam dunia mereka yang memperoleh keuntungan dari pembangunan,
melainkan juga (atau
khususnya) di tengah-tengah mereka yang menjadi korban
pembangunan, seperti para PSK.
Agama ada untuk manusia, bukan manusia ada untuk agama. Agama
harus memikirkan
perannya di dalam dunia ini. Tujuan dari keberadaan agama (di
dunia sekarang ini) adalah untuk
melayani Tuhan dan melayani dunia ini. Dengan begitulah maka
agama akan terkesan ramah,
tidak lagi terkesan menakutkan di mata para PSK.
J. Makna Agama Kristen Menurut PSK Bandungan
PSK yang beragama Kristen, yang berada di kompleks pelacuran
Bandungan mempunyai
ragam pemahaman dan pemaknaan terhadap Agama Kristen. Ada yang
memaknai Agama
Kristen itu hanyalah sebatas pada pengakuan belaka, ada juga
yang memaknai Agama Kristen itu
sebagai formalitas ritualitas dan ada juga yang memaknai Agama
Kristen itu hanyalah sebatas
pada pelarian dari permasalahan kehidupan yang para PSK
Bandungan tersebut tidak mampu
lagi untuk menyelesaikannya.
-
Dalam hal ini para PSK Bandungan yang beragama Kristen memaknai
dan memahami
Agama Kristen itu secara garis besar dapat dikategorikan ke
dalam tiga hal, diantaranya:
1. Agama Kristen sebagai pengakuan
Para PSK Bandungan yang beragama Kristen mengakui bahwa Kristen
itu adalah sebagai
agama mereka, walaupun nilai ketaatan dan kepatuhan mereka
kepada norma atau tuntunan
ajaran agama itu sendiri seolah-seolah kosong. Hal ini dapat
dilihat dari ungkapan Rini (nama
samaran) salah seorang PSK Bandungan asal daerah Semarang dengan
ungkapan sebagai
berikut:
“Terus terang saja mbak, selama saya tinggal dan bekerja di
Bandungan, saya sekarang
tidak pernah ke gereja, tidak pernah berdoa lagi. Pokoknya sudah
tidak pernah lagi
mengerjakan yang demikian itu, padahal dulu sewaktu saya masih
tinggal bersama
keluarga saya di Semarang, saya rajin ke gereja dan berdoa.
Setelah saya tinggal di
Bandungan dan bekerja sebagai seorang pelacur, jadi malas
mengerjakan hal yang seperti
itu. Tapi ingat ya mbak, jelek-jelek begini saya tetap masih
orang Kristen looh”.14
Namun di samping para PSK itu mengakui Agama Kristen, akan
tetapi dari sisi lain para
PSK menganggap bahwa tuntunan-tuntunan atau pun kewajiban yang
ada di dalam Agama
Kristen itu adalah suatu hal yang membebani dirinya di dalam
menjalankan profesinya sebagai
seorang pelacur. Hal ini dapat diketahui dari ungkapan Lisa
(nama samaran) salah seorang PSK
asal daerah Wonosobo. Dengan ungkapan sebagai berikut:
“Bukannya nggak mau ke gereja lho mbak, terkadang aku ini kalau
sempat ya hari
minggu juga pergi ke gereja seperti orang Kristen pada umumnya
dan juga mengamalkan
tuntunan-tuntunan yang terdapat di dalam Agama Kristen. Habis
bagaimana ya, berat sih
bagi aku untuk melakukan semua itu, seperti berdoa dan yang
lainnya, misalnya ikut
kelompok sel atau persekutuan yang berada di daerah ini. Aku
terkadang merasa mereka
menganggap sinis pekerjaanku, jadi aku agak malas juga kalo
rutin harus ke gereja atau
ke kelompok sel. Tapi ingat lo Mbak, jangan salah sangka karena
omonganku ini, lalu
Mbak menyangka kalau aku ini bukan orang Kristen.”15
14
Wawancara dengan Rini (nama samaran) salah seorang PSK Bandungan
asal daerah Semarang, pada
tanggal 20 Maret 2011. 15
Wawancara dengan Lisa (nama samaran) salah seorang PSK asal
daerah Wonosobo, pada tanggal 12
Maret 2011.
-
Adapun di kalangan para PSK Bandungan itu tetap mengakui Agama
Kristen itu sebagai
agama mereka, akan tetapi ironisnya mereka pun enggan
meninggalkan profesinya sebagai
seorang pelacur, yang jelas-jelas hal tersebut sangat bertolak
belakang dengan tuntunan dan
ajaran Agama Kristen, dan tipe seperti inilah yang mendominasi
di kalangan para PSK
Bandungan. Mereka memisahkan antara ajaran dan tuntunan Agama
Kristen dengan profesinya
sebagai pelacur. Fenomena seperti ini dapat dilihat dari
pengakuan Nina (nama samaran) salah
seorang PSK asal daerah Salatiga, dengan ungkapan sebagai
berikut:
“Aku akui bahwa Kristen adalah Agamaku, tetapi kerja seperti ini
juga kan untuk
mencukupi kebutuhanku yang nggak bisa aku tinggalkan. Habis,
kalau aku tinggalkan,
misalnya: aku berhenti dari bekerja dari sini, aku ini mau kerja
apa, sedangkan cari
pekerjaan sekarang ini sulitnya minta ampun, ya kan? Terserahlah
dengan orang-orang
yang nggak suka sama pekerjaanku ini. Mau mencaci kek, mau
mengutuk kek, itu semua
terserah mereka, yang penting bagiku tidak menyusahkan orang
lain.”16
Dari para PSK yang beragama Kristen yang berada di kompleks
pelacuran Bandungan
ini, sebagian dari mereka terlihat masih mempunyai nilai
pengakuan terhadap Agama Kristen,
walaupun di dalam kehidupan keseharian mereka dan pekerjaan yang
mereka lakukan dapat
dikatakan sangat jauh dari tuntunan-tuntunan dan ajaran Agama
Kristen.
2. Agama Kristen sebagai Formalitas-Ritualitas.
Para PSK yang ada di kompleks pelacuran Bandungan tersebut
setelah diteliti ternyata
tidak semuanya mempunyai pemahaman dan pemaknaan seperti
kelompok pertama tadi (Agama
Kristen sebagai pengakuan), namun ada juga di antara mereka yang
memakai Agama Kristen itu
sebagai ibadah formal-ritual, dalam artian mereka memaknai bahwa
Agama Kristen itu cukup
hanya dengan melakukan ibadah-ibadah yang bersifat formal-ritual
yang menjadi simbol-simbol
keagamaan saja.
16
Wawancara dengan Nina (nama samaran) salah seorang PSK asal
daerah Salatiga, pada tanggal 6 Maret
2011.
-
Tampaknya mereka memahami Agama Kristen itu masih bersifat
parsial, tidak
menyeluruh. Hal ini disebabkan karena masih kurang dan rendahnya
pemahaman mereka
terhadap ajaran agama itu atau bisa juga disebabkan karena
faktor rendahnya latar belakang
pendidikan mereka. Sebab setelah dilakukan penelitian ternyata
para PSK beragama Kristen
yang penulis wawancarai rata-rata pendidikannya hanya tamat
sampai Sekolah Menengah
Pertama (SMP) saja.
Jadi tidak mengherankan kalau ada pemahaman yang begitu sinkron
antara Ibadah yang
mereka lakukan dengan pekerjaan yang mereka jadikan sebagai
profesi. Dan fenomena seperti
ini bisa dilihat dari ungkapan Debora (nama samaran), salah
seorang PSK yang berasal dari
Malang dengan ungkapannya sebagai berikut:
“Cirinya orang Kristen itu kan harus berdoa dan ke Gereja setiap
minggu Mbak, makanya
aku berdoa dan pergi ke Gereja tiap minggu. Perkara nanti
setelah berdoa atau sepulang
dari Gereja mau gituan, (sambil ketawa) atau mau begini atau
begitu, ya terserahlah. Sing
penting wis berdoa dan pergi ke Gereja.”17
Anggapan bahwa berdoa dan beribadah ke Gereja itu adalah
merupakan kewajiban yang
harus dikerjakan oleh setiap orang yang beragama Kristen dan
rupanya anggapan seperti ini tidak
hanya berlaku di kalangan masyarakat Kristen saja, namun
rupa-rupanya hal itu berlaku pula di
kalangan dunia hitam seperti kompleks pelacuran Bandungan.
Sehingga mereka pun merasa
terpanggil untuk melakukannya, walaupun pada kenyataannya
terdapat kontradiktif antara
berdoa yang mereka lakukan dengan profesi mereka sebagai pelacur
dan fenomena seperti ini
bisa dilihat dari ungkapan Maria (nama samaran), salah satu PSK
yang berasal dari daerah
Malang, dengan ungkapannya sebagai berikut:
“Aku berdoa itu setiap saat, hal itu diajarkan oleh orang tuaku.
Ajaran itu mungkin
sampai sekarang masih membekas dalam diriku. Dan aku juga rajin
beribadah ke Gereja
setiap hari minggu. Terserah Mbak lah, mau percaya atau tidak,
yang jelas walau pun
17
Wawancara dengan Debora (nama samaran), salah seorang PSK yang
berasal dari Malang, pada tanggal
6 Maret 2011.
-
aku tinggal di sini tapi nggak pernah aku ninggalin yang namanya
berdoa, kalau aku
nggak berdoa dan belum ke Gereja itu aku merasa nggak enak,
nggak tenang, tapi nggak
tahu ya kenapa kok aku bisa nyasar ke sini, mungkin inilah
realitanya, aku juga butuh
makan”.18
Tampak jelas bahwa pemaknaan agama Kristen di antara sebagian
mereka bahwa agama
Kristen itu hanya sebatas simbol-simbol keagamaan atau hanya
memahami agama Kristen
tersebut sebatas ibadah-ibadah yang bersifat formal-ritual.
3. Agama Kristen sebagai pelarian dari permasalahan
kehidupan.
Pemaknaan dan pemahaman para PSK yang ketiga adalah mereka
menjadikan agama
Kristen itu sebagai pelarian atau pengaduan di kala mereka
sedang menghadapi masalah yang
mereka sendiri tidak bisa menyelesaikannya, baik masalahnya itu
berkaitan dengan sang germo
maupun yang berkaitan dengan rekan-rekan sekerjanya.
Pemahaman dan pemaknaan seperti ini juga tampak jelas kelihatan
di kalangan para PSK
Bandungan. Mereka merangkul agama kalau mereka itu
membutuhkannya, akan tetapi
sebaliknya mereka juga tidak menghiraukan kembali tatanan ajaran
agama Kristen di kala
mereka berada di dalam kebahagiaan dan kegembiraan atau pada
saat kebutuhan hidupnya
terpenuhi dengan baik, maka mereka lupa akan agama itu. Hal ini
bisa dilihat dari ungkapan
Siska (nama samaran), salah seorang PSK yang berasal dari daerah
Ungaran dengan ungkapan
sebagai berikut:
“Ya kalau aku ini menghadapi masalah, baru aku berdoa. Biasanya
aku berdoa di Gua
Maria Ambarawa, sebab dengan berdoa itu aku merasa ada tumpuan
untuk
menghilangkan kepenatan masalah itu, tapi kalau nggak penat,
jadi lupa tuh yang
namanya berdoa”.19
18
Wawancara dengan Maria (nama samaran), salah satu PSK yang
berasal dari daerah Malang, pada
tanggal 12 Maret 2011. 19
Wawancara dengan Siska (nama samaran), salah seorang PSK yang
berasal dari daerah Ungaran, pada
tanggal 12 Maret 2011.
-
Dari sini bisa di lihat bahwa agama itu hanya dijadikan sebagai
sebuah pengaduan atau
pelarian dari masalah semata, akan tetapi agama bukan dijadikan
sebagai sebuah tuntunan yang
mesti ditaati dan dipatuhi.
Dengan berbagai pemahaman dan pemaknaan para PSK Bandungan itu
terhadap agama
Kristen yang mereka akui sebagai agama mereka, maka tipe atau
modelnya pun menjadi
bervariasi seperti dapat dilihat dalam uraian berikut ini:
1. Tipe PSK yang memaknai dan memahami Agama Kristen sebagai
Pengakuan, bisa dilihat
dari tipe berikut ini:
a. Mereka merasa khawatir kalau tidak mengakui Agama Kristen,
sebab mereka dilahirkan
dari keluarga Kristen serta dibesarkan di lingkungan masyarakat
Kristen.
b. Mereka merasa khawatir dengan tidak mengakui Agama Kristen,
kalau mereka meninggal
dunia tidak ada upacara keagamaan untuk mengurus jenazahnya.
c. Dengan tidak mengakuinya sebagai orang Kristen, mereka takut
terkucilkan dari keluarga
mereka.
d. Adanya perasaan malu dan minder jika tidak mengaku beragama
Kristen, karena jika
bertemu dengan teman-temannya yang dulu yang rajin ke gereja dan
berdoa.
2. Tipe PSK yang memaknai dan memahami Agama Kristen sebagai
Formalitas-Ritualitas,
bisa di lihat dari tipe berikut ini:
a. Adanya sebuah persepsi di kalangan mereka bahwa dengan pergi
ke gereja dan berdoa
dapat menghapus dosa-dosa yang telah mereka lakukan.
b. Dengan doa mereka dapat menggurangi siksa dari perbuatan
maksiat yang telah mereka
lakukan.
-
c. Dengan berdoa dan ke gereja, maka di situ ada peluang untuk
berkomunikasi memohon
kepada yang kuasa agar diberikan kehidupan yang lebih baik
lagi.
d. Berdoa dan ke gereja merupakan salah satu cara mereka di
dalam menampakkan
kekristenan mereka.
3. Tipe PSK yang memaknai dan memahami Agama Kristen sebagai
Pelarian dari
Permasalahan Kehidupan, bisa dilihat dari tipe berikut ini:
a. Adanya sebuah persepsi, bahwa satu-satunya jalan untuk bisa
mengatasi masalah atau
persoalannya. Mereka tiada pilihan lain kecuali lari dari pada
agama itu, yaitu dengan
melakukan doa.
b. Agama Kristen adalah sebuah jalan untuk mencapai ketenangan
dan ketentraman, di saat
mereka dilanda ketemaraman dan kegelisahan yang sedang dihadapi,
maka mereka akan
melakukan doa untuk menghilangkannya.
c. Menurut mereka agama Kristen itu bisa bermakna, kalau sedang
dibutuhkan. Akan tetapi
agama itu sendiri tidak bernilai dan bermakna apa-apa jika
masalah yang mereka hadapi itu
sudah terselesaikan atau sudah mendapatkan jalan keluarnya.
d. Berdoa itu dilakukan jika mereka menghadapi kegelisahan atau
keruwetan dengan
masalah-masalah yang mereka hadapi selama menjalani profesinya
sebagai pelacur, dan
berhenti dari berdoa kalau mereka dalam keadaaan senang dan
bahagia.
Selanjutnya mengenai Pandangan Warga Jemaat GBI (Gereja Bethel
Indonesia)
Bandungan Terhadap PSK (Pekerja Seks Komersial) di Bandungan
akan penulis paparkan dalam
Bab selanjutnya.