Mata Kuliah Ilmu EkonomiKelas CFakultas Pertanian Universitas
HasanuddinMasalah Ekonomi : Ekspor dan Impor Beras diIndonesiaBAB
IPENDAHULUANA. Latar Belakang MasalahDalam masalah ini, sebenarnya
kita sama-sama mengetahui bahwa negara kita ini merupakan negara
yang sangat subur dan yang paling menguntungkan adalah negara kita
merupakan negara dengan penghasil komoditi utama yaitu beras. Dalam
hal Ekspor dan Impor, ternyata Indonesia dengan segala keunggulan
dibidang pertanian khususnya dalam hal komoditi beras, masih
membeli (Impor) beras dari negara lain.Pemerintah Indonesia
berencana untuk mengimpor 2 juta ton beras tahun 2012 ini. Rencana
impor beras oleh itu, untuk memastikan ketersediaan stok beras di
dalam negeri. Sebelumnya, Indonesia berniat untuk tidak impor
karena ada prediksi kenaikan produksi panen tahun ini. Namun
ternyata, panen tahun ini belum mencukupi untuk kebutuhan
nasional.Diantara negara yang menjalin kerjasama dengan Indonesia
dalam hal impor beras antara lain : Thailand, Vietnam, Kamboja dan
Myanmar. Dari negara-negara tersebut, contohnya Myanmar yang bisa
mengekspor beras ke Indonesia karena mereka mendapatkan surplus
sekitar dua juta ton beras disebabkan oleh konsumsi masyarakat
mereka yang rendah.Dalam hal ini, ada beberapa faktor mengapa
Indonesia melakukan impor beras dari luar negri sedangkan kita
sama-sama mengetahui bahwa negara kita Indonesia ini termasuk
negara yang sangat subur.B. Identifikasi MasalahBerdasarkan latar
belakang masalah diatas, kita dapat mengidentifikasikan masalah
sebagai berikut :1. Mengapa Indonesia masih mengimpor beras dari
luar negri sedangkan Indonesia termasuk salah satu negara dengan
kontribusi terhadap produksi beras dunia mencapai 8,5%?2. Apa
solusi untuk menciptakan ketahanan pangan di Indonesia?C. Landasan
TeoriLandasan teori yang digunakan dalam makalah ini menggunakan
teori-teori dasar dalam ekonomi. Teori-teori dasar tersebut terbagi
menjadi dua golongan yaitu :1. Teori MikroekonomiDalam teori
mikroekonomi ini menganalisis hal-hal seperti interaksi penjual dan
pembeli di pasar barang, tingkah laku pembeli dan penjual dalam
melakukan kegiatan ekonomi, dan interaksi penjual dan pembeli di
pasaran faktor.2. Teori Makroekonomi Sedangkan dalam teori
makroekonomi menganalisis aspek berikut seperti penentuan kegiatan
perekonomian dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, masalah
inflasi dan pengangguran dan faktor yang menyebabkannya, dan
bentuk-bentuk kebijakan pemerintah dalam menghadapi masalah-masalah
ekonomi yang timbul.
BAB IIPEMBAHASANNegara Indonesia merupakan negara yang mempunyai
kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Hal ini terbukti dengan
keadaan tanah Indonesia yang sangat subur. Negara Indonesia
memiliki peran penting sebagai produsen bahan pangan di mata dunia.
Indonesia adalah produsen beras terbesar ketiga dunia setelah China
dan India. Kontribusi Indonesia terhadap produksi beras dunia
sebesar 8,5% atau 51 juta ton. China dan India sebagai produsen
utama beras berkontribusi 54%. Vietnam dan Thailand yang secara
tradisional merupakan negara eksportir beras hanya berkontribusi
5,4% dan 3,9%.Dalam konteks pertanian umum, Indonesia memiliki
potensi yang luar biasa. Kelapa sawit, karet, dan coklat produksi
Indonesia mulai bergerak menguasai pasar dunia. Namun, dalam
konteks produksi pangan memang ada suatu keunikan. Meski menduduki
posisi ketiga sebagai negara penghasil pangan di dunia, hampir
setiap tahun Indonesia selalu menghadapi persoalan berulang dengan
produksi pangan terutama beras. Produksi beras Indonesia yang
begitu tinggi belum bisa mencukupi kebutuhan penduduknya, akibatnya
Indonesia masih harus mengimpor beras dari Negara penghasil pangan
lain seperti Thailand. Salah satu penyebab utamanya adalah jumlah
penduduk yang sangat besar. Data statistik menunjukkan pada kisaran
230-237 juta jiwa, makanan pokok semua penduduk adalah beras
sehingga sudah jelas kebutuhan beras menjadi sangat besar.Penduduk
Indonesia merupakan pemakan beras terbesar di dunia dengan konsumsi
154 kg per orang per tahun. Bandingkan dengan rerata konsumsi di
China yang hanya 90 kg, India 74 kg, Thailand 100 kg, dan Philppine
100 kg. Hal ini mengakibatkan kebutuhan beras Indonesia menjadi
tidak terpenuhi jika hanya mengandalkan produksi dalam negeri dan
harus mengimpornya dari negara lain. Selain itu, Indonesia masih
mengimpor komoditas pangan lainnya seperti 45% kebutuhan kedelai
dalam negeri, 50% kebutuhan garam dalam negeri, bahkan 70%
kebutuhan susu dalam negeri dipenuhi melalui impor.Faktor lain yang
mendorong adanya impor bahan pangan adalah iklim, khususnya cuaca
yang tidak mendukung keberhasilan sektor pertanian pangan, seperti
yang terjadi saat ini. Pergeseran musim hujan dan musim kemarau
menyebabkan petani kesulitan dalam menetapkan waktu yang tepat
untuk mengawali masa tanam, benih besarta pupuk yang digunakan, dan
sistem pertanaman yang digunakan. Sehingga penyediaan benih dan
pupuk yang semula terjadwal, permintaanya menjadi tidak menentu
yang dapat menyebabkan kelangkaan karena keterlambatan pasokan
benih dan pupuk. Akhirnya hasil produksi pangan pada waktu itu
menurun.Bahkan terjadinya anomali iklim yang ekstrem dapat secara
langsung menyebabkan penurunan produksi tanaman pangan tertentu,
karena tidak mendukung lingkungan yang baik sebagai syarat tumbuh
suatu tanaman. Contohnya saat terjadi anomali iklim El Nino
menyebabkan penurunan hasil produksi tanaman tebu, sehingga negara
melalukan impor gula.Penyebab impor bahan pangan selanjutnya adalah
luas lahan pertanian yang semakin sempit. Terdapat kecenderungan
bahwa konversi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian
mengalami percepatan. Dari tahun 1981 sampai tahun 1999 terjadi
konversi lahan sawah di Jawa seluas 1 Juta Ha di Jawa dan 0,62 juta
Ha di luar Jawa. Walaupun dalam periode waktu yang sama dilakukan
percetakan sawah seluas 0,52 juta ha di Jawa dan sekitar 2,7 juta
Ha di luar pulau Jawa, namun kenyataannya percetakan lahan sawah
tanpa diikuti dengan pengontrolan konversi, tidak mampu membendung
peningkatan ketergantungan Indonesia terhadap beras
impor.Ketergantungan impor bahan baku pangan juga disebabkan
mahalnya biaya transportasi di Indonesia yang mencapai 34 sen dolar
AS per kilometer. Bandingkan dengan negara lain seperti Thailand,
China, dan Vietnam yang rata-rata sebesar 22 sen dolar AS per
kilometer. Sepanjang kepastian pasokan tidak kontinyu dan biaya
transportasi tetap tinggi, maka industri produk pangan akan selalu
memiliki ketergantungan impor bahan baku.Faktor-faktor di atas yang
mendorong dilakukannya impor masih diperparah dengan berbagai
kebijakan-kebijakan pemerintah yang semakin menambah ketergantungan
kita akan produksi pangan luar negeri. Seperti kebijakan dan
praktek privatisasi, liberalisasi, dan deregulasi. Privatisasi,
akar dari masalah ini tidak hanya parsial pada aspek impor dan
harga seperti yang sering didengungkan oleh pemerintah dan pers.
Lebih besar dari itu, ternyata negara dan rakyat Indonesia tidak
lagi punya kedaulatan, yakni kekuatan dalam mengatur produksi,
distribusi dan konsumsi di sektor pangan. Saat ini di sektor
pangan, kita telah tergantung oleh mekanisme pasar yang dikuasai
oleh segelintir perusahaan raksasa. Privatisasi sektor panganyang
notabene merupakan kebutuhan pokok rakyattentunya tidak sesuai
dengan mandat konstitusi RI, yang menyatakan bahwa Cabang-cabang
produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh
negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Faktanya, Bulog dijadikan privat, dan industri hilir pangan hingga
distribusi (ekspor-impor) dikuasai oleh perusahaan seperti Cargill
dan Charoen Phokpand. Mayoritas rakyat Indonesia jika tidak bekerja
menjadi kuli di sektor pangan, pasti menjadi konsumen atau
end-user. Privatisasi ini pun berdampak serius, sehingga berpotensi
besar dikuasainya sektor pangan hanya oleh monopoli atau oligopoli
(kartel), seperti yang sudah terjadi saat ini.Liberalisasi,
disebabkan oleh kebijakan dan praktek yang menyerahkan urusan
pangan kepada pasar (1998, Letter of Intent IMF), serta mekanisme
perdagangan pertanian yang ditentukan oleh perdagangan bebas (1995,
Agreement on Agriculture, WTO). Akibatnya negara dikooptasi menjadi
antek perdagangan bebas. Negara ini pun melakukan upaya
liberalisasi terhadap hal yang harusnya merupakan state obligation
terhadap rakyat. Market access Indonesia dibuka lebar-lebar, bahkan
hingga 0% seperti kedelai (1998, 2008) dan beras (1998). Sementara
domestic subsidy untuk petani kita terus berkurang (tanah, irigasi,
pupuk, bibit, teknologi dan insentif harga). Di sisi lain, export
subsidy dari negara-negara overproduksi pangan seperti AS dan Uni
Eropa beserta perusahaan-perusahaannya malah meningkat. Indonesia
pun dibanjiri barang pangan murah, sehingga pasar dan harga
domestik kita hancur. Hal ini jelas membunuh petani
kita.Deregulasi, beberapa kebijakan sangat dipermudah untuk
perusahaan besar yang mengalahkan pertanian rakyat. Seperti contoh
UU No. 1/1967 tentang PMA, UU No. 4/2004 tentang Sumber Daya Air,
Perpres 36 dan 65/2006, UU No. 18/2003 Tentang Perkebunan, dan yang
termutakhir UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal. Dengan
kemudahan regulasi ini, upaya privatisasi menuju monopoli atau
kartel di sektor pangan semakin terbuka. Hal ini semakin parah
dengan tidak diupayakannya secara serius pembangunan
koperasi-koperasi dan UKM dalam produksi, distribusi dan konsumsi
di sektor pangan.Dengan sistem kebijakan dan praktek ini, Indonesia
kini tergantung kepada pasar internasional (harga dan tren
komoditas). Maka saat terjadi perubahan pola-pola produksi
distribusi konsumsi secara internasional, kita langsung terkena
dampaknya. Kasus kedelai 2008 ini sebenarnya bukanlah yang pertama,
karena ada kasus-kasus sebelumnya (beras pada tahun 1998, susu pada
tahun 2007, dan minyak goreng pada tahun 2007). Hal ini akan
sedikit banyak serupa pada beberapa komoditas pangan yang sangat
vital bagi rakyat yang masih tergantung pada pasar internasional:
beras, kedelai, jagung, gula, singkong dan minyak goreng.Pemecahan
MasalahUntuk mengurangi dampak ketergantungan kita akan bahan
pangan impor dan menciptakan ketahanan pangan, diperlukan beberapa
usaha di antaranya yaitu:1. Mematok harga dasar pangan yang
menguntungkan petani dan konsumen. Harga tidak boleh tergantung
kepada harga internasional karena tidak berkorelasi langsung dengan
ongkos produksi dan keuntungan. Harga harus sesuai dengan ongkos
produksi dan keuntungan petani dan kemampuan konsumen.2. Memberikan
insentif harga kepada petani komoditas pangan (terutama beras,
kedelai, jagung, singkong, gula dan minyak goreng) jika terjadi
fluktuasi harga. Hal ini sebagai jaminan untuk tetap menggairahkan
produksi pangan dalam negeri.3. Mengatur kembali tata niaga pangan.
Pangan harus dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya
untuk kemakmuran rakyat. Bulog bisa diberikan peran ini, tapi harus
dengan intervensi yang kuat dari Kementerian Pertanian, Kementerian
Perdagangan dan Kementerian Keuangan.4. Mengoptimalkan penelitian
dan pengembangan benih varietas unggul yang tahan terhadap anomali
iklim dan berumur sedang. Ini dapat dilakukan dengan melibatkan
lembaga-lembaga penelitian, studi perguruan tinggi, maupun
kerjasama bilateral.5. Menambah produksi pangan secara terproyeksi
dan berkesinambungan, dengan segera meredistribusikan tanah objek
landreform yang bisa segera dipakai untuk pertanian pangan.6.
Menyediakan insentif bagi petani komoditas pangan, terutama bibit,
pupuk, teknologi dan kepastian beli.7. Memperlancar arus distribusi
hasil pertanian dengan siklus yang pendek, sehingga dapat
tersalurkan ke seluruh penjuru Nusantara dengan harga yang
terjangkau sampai ke tangan rakyat.8. Memberikan dukungan
pelembagaan organisasi petani komoditas pangan, yakni kelompok
tani, koperasi, dan ormas tani.9. Menciptakan diversifikasi pangan
yang memiliki nilai gizi yang setara dengan beras dan ekonomis
terjangkau oleh rakyat. Sehingga rakyat tidak selalu bergantung
pada ketersediaan beras. Hal ini dapat dijalankan bersamaan dengan
menggali potensi tanaman tradisional (lokal) yang sudah terbiasa
dikonsumsi oleh masyarakat setempat.10. Untuk menunjang budidaya
tanaman pangan yang lebih cermat dan akurat perlu didukung dengan
ketersediaan data iklim khususnya curah hujan yang secara kontinyu
dapat di-update secara otomatis dari stasiun-stasiun iklim yang
telah dipasang. Selain itu, Balitklimat telah dan sedang menyusun
kalender tanam yang diharapkan dapat membantu Dinas Pertanian,
petani dan pelaku agribisnis serta pengguna lainnya dalam budidaya
dan pengembangan tanaman pangan khususnya dan tanaman-tanaman
semusim lainnya.Mengapa Impor ?Pertama, bulog mengklaim bahwa
mereka mengimpor dengan tujuan mengamankan stok beras dalam negeri.
Bulog berargumen bahwa data produksi oleh BPS tidak bisa dijadikan
pijakan sepenuhnya. Perhitungan produksi beras yang merupakan
kerjasama antara BPS dan Kementrian Pertanian ini masih diragukan
keakuratannya, terutama metode perhitungan luas panen yang
dilakukan oleh Dinas Pertanian yang megandalkan metode pandangan
mata. Selanjutnya, data konsumsi beras juga diperkirakan kurang
akurat. Data ini kemungkinan besar merupakan data yang
underestimate atau overestimate. Angka konsumsi beras sebesar 139
kg/kapita/tahun sebenarnya bukan angka resmi dari BPS. Jika merujuk
pada data BPS yang didasarkan pada Survei Sosial Ekonomi Nasional
(SUSENAS), konsumsi beras pada tahun ini mencapai 102
kg/kapita/tahun. Angka ini underestimate, karena SUSENAS memang
tidak dirancang untuk menghitung nilai konsumsi beras
nasional.Sebenarnya kebijakan impor beras ini juga bisa menjadi
tantangan tersendiri bagi petani untuk meningkatkan produksi dan
kualitas beras. Para petani dituntut untuk berproduksi bukan hanya
mengandalkan kuantitas tetapi juga kualitas. Tentunya hal ini
sedikit sulit terjadi tanpa adanya dukungan dari pemerintah. Hal
ini dikarenakan petani lokal relatif tertinggal dari petani luar
negeri terutama dalam bidang teknologi. Pemerintah harus memberi
kepastian jaminan pasar sebagai peluang mengajak petani bergiat
menanam komoditas tanaman pangan.Mengapa Tidak Impor ?Kebijakan
yang dipilih pemerintah untuk membuka kran Impor juga mendatangkan
kontra. Pada satu sisi, keputusan importasi beras tersebut
berlangsung ketika terjadi kenaikan harga beras saat ini. Selain
itu, produksi padi dalam negeri dinyatakan cukup, dan masa panen
masih berlangsung di banyak tempat. Bahkan berdasarkan Angka
Ramalan (ARAM) II yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS),
produksi padi nasional tahun ini diperkirakan mencapai 68,06 juta
ton gabah kering giling, meningkat 1,59 juta ton (2,40%)
dibandingkan tahun 2010 lalu. Kenaikan produksi diperkirakan
terjadi karena peningkatan luas panen seluas 313,15 ribu hektar
(2,36%), dan produktivitas sebesar 0,02 kuintal per hektar (0,04%).
Sementara itu, berdasarkan data Kementerian Pertanian, terdapat
tiga provinsi yang mencatat surplus padi, yakni Jawa Timur, Jawa
Tengah, dan Sulawesi Selatan. Surplus yang tejadi pada beberapa
daerah ini tentunya dapat dijadikan cadangan oleh Bulog dan untuk
didistribusikan ke daerah lain yang mengalami defisit.Selanjutnya,
impor beras yang terjadi di tengah produksi berlebih menurut data
BPS sekarang ini memiliki dampak negatif yang panjang, seperti
berkurangnya devisa negara, disinsentif terhadap petani, serta
hilangnya sumber daya yang telah terpakai dan beras yang tidak
dikonsumsi dan terserap oleh bulog.
BAB IIIPENUTUPA. KesimpulanDalam masalah ini, adanya proses
impor beras dari luar negri disaat nilai produksi beras di
Indonesia mengalami surplus memang banyak menimbilkan tanda tanya.
Seharusnya, pemerintah dalam hal ini khususnya Bulog melakukan
manajemen stok yang lebih baik, bulog harus memaksimalkan
penyerapan beras dari para petani lokal. Hal ini selain dapat
mengamankan stok beras juga dapat menghasilkan pendapatan bagi
petani sehingga kesejahteraan petani dapat naik. Bulog harus lebih
agresif menyerap gabah dari petani agar mereka tidak
dirugikan.Selanjutnya, pemerintah diharapkan dapat menggelar
operasi pasar untuk menstabilkan harga. Hal ini tentunya harus
diimbangi dengan manajemen stok yang baik. Pemerintah harus
berkomitmen kuat mengatasi segala persoalan perberasan nasional
secara komprehensif dari hulu ke hilir agar tidak harus selalu
bergantung pada impor.Akan tetapi, kebijakan untuk mengimpor beras
dengan alasan pengamanan stok oleh Bulog ini tidak dapat sepenuhnya
disalahkan. Hal ini dikarenakan data produksi dan data konsumsi
beras yang masih diragukan keakuratan dalam perhitungannya. Pada
akhirnya, tugas bagi berbagai pihak yang terkait adalah memperbaiki
kinerja masing-masing. BPS diharapkan dapat memberikan data yang
lebih akurat lagi. Akan tetapi, diperlukan juga kebijaksanaan oleh
Bulog agar setiap kebijakan yang diambil tidak merugikan petani
lokal yang kesejahteraannya masih rendah tanpa mengorbankan
ketahanan pangan Indonesia.B. SaranBerdasarkan pemaparan masalah
diatas, saya menyarakan pemerintah khususnya BULOG untuk lebih
memperhatikan dan merealisasikan manajemen stok yang lebih baik
serta memaksimalkan penyerapan beras lokal dari petani-petani
lokal, sehingga stok beras dapat diatur dengan baik dan petani
Indonesia pun dapat meningkatkan kesejahteraan hidup mereka.
Komentar :Seperti yang diketahuia bersama bahwa Negara kita
Indonesia merupaka Negara yang sangat menguntungkan dibidang sumber
daya alam. Banyak tanaman yang dapat tumbuh serta dapat
dimanfaatkan untuk memenuhi segala kebutuhan hidup kita. Kita juga
mengetahui bahwa negara kita ini merupakan negara pertanian yang
memungkinkan kita menjadi negara penghasil bahan pangan untuk
dunia.Tapi yang terjadi ialah sebaliknya. Meskipun kita dikenal
sebagai negara pertanian tetapi kita tetap saja mengimpor bahan
pangan dari negara lain. Kasus yang paling menyita perhatian
masyarakat ialah pemerintah mengimpor beras yang seharusnya hal itu
tidak seharusnya dilakukan. Dengan melihat keadaan negara kita,
maka kita tidak seharusnya mengimpor beras tetapi kita seharusnya
mengadakan swasembada beras yang dapat menguntungkan para
petani.Banyak hal yang membuat negara kita melakukan hal tersebut,
salah satunya yaitu kebijakan pemerintah yang tidak
tersosialisasikan dengan baik kepada para petani. Dengan keadaan
yang seperti itu maka petani di Indonesia tetap saja akan hidup
dengan penghasilan yang dibawah rata-rata. Hal tersebut sangat
miris jika dilihat karena jika dibandingkan dengan keadaan negara
kita maka semestinya petani kita dapat hidup makmur dengan kondisi
alam kita yang seperti ini.Faktor lain yang membuat pemerintah
mengimpor beras yaitu karena lahan untuk pertanian dinegara kita
semakin sempit. Hal tersebut karena pemerintah tidak dapat
menyiapkan lahan tertentu disuatu daerah sebagai lahan pertanian.
Kita lihat bahwa petani hanya memiliki lahan dibawah satu h.a untuk
diolah demi memenuhi kebutuhannya.Faktor selanjutnya yaitu harga
yang relative lebih murah sehingga banyak petani yang merasa biaya
penanaman lebih mahal dibandingkan dengan biaya penjualan sehingga
banyak petani yang hanya menanam untuk memenuhi kebutuhannya
sehingga tidak ada yang akan dijual kepada masyarakat dan
swasembada beras tidak akan pernah terlaksana. Hal yang dapat
dilakukan demi menunjang kebijakan untuk melakukan swasembada beras
yaitu :1. Pemerintah harus bekerja sama dengan petani di Indonesia
untuk menentukan daerah mana yang akan menanam beras sebagai sumber
beras di Indonesia.2. Pemerintah harus menyiapkan lahan tertentu
sebagai tempat petani menanam beras dan menentukan kapan akan mulai
menanam benih sehingga kebutuhan beras di Indonesia dapat
tercukupi.3. Pemeerintah harus menentapkan harga dasar untuk beras
sehingga petani dapat mendapatkan hasil penjualan yang lebih
dibandingkan dengan biaya penanaman sehingga penghasilan petani
bertambah dan hidup petani di Indonesia akan makmur
Masalah Ekonomi : Ekspor dan Impor Kedelai diIndonesia
Kedelai: Kenapa baru ributsekarang?Polemik mengenai
irasionalitas harga kacang kedelai menyebabkan efek tumpah pada
sektor-sektor dunia usaha Indonesia sehingga pasar usaha yang
menggunakan kedelai sebagai bahan baku utama terancam membatasi
usahanya. Kedelai telah membuat para penjual tahu dan tempe patah
semangat. Akibatnya, lagi-lagi pemerintah Indonesia harus
mengimpor.Indonesia harus mengimpor kedelai lagi untuk menutupi
pasokan konsumsi yang defisit, sehingga harga pasar kedelai dapat
ditekan menjadi normal. Ada hal yang menarik sekaligus menggelikan
dari Si Kedelai ini, kenapa baru diributkan sekarang ketersediaan
pasokan kedelai?Mari melihat sejarah kedelai di Indonesia,
komoditas kedelai merupakan komoditas pangan yang vital bagi
Indonesia. Sekitar 94% pemanfaatan kedelai Indonesia digunakan
hanya untuk pembuatan bahan pangan, baik yang difermentasi kembali
seperti tempe, oncom, tauco, kecap ataupun yang tidak difermentasi
kembali seperti tahu, susu kedelai, minyak kedelai atau makanan
ringan (Swastika, 2005). Melihat pentingnya kedelai bagi Indonesia
seharusnya pasokan konsumsi kedelai wajib dipenuhi.Namun alih-alih
mencapai swasembada kedelai, harapan untuk meningkatkan produksi
kedelai justru memberikan hasil sebaliknya. Pada kenyataannya
Indonesia telah melakukan impor kedelai sejak tahun 1975 untuk
memenuhi konsumsi dalam negeri (Tani, 2006). Meskipun pada periode
1970 hingga 1980 jumlah impor kedelai Indonesia masih terhitung
sedikit yaitu hanya berkisar 150.000 ton 200.000 ton kedelai, namun
ternyata impor kedelai pada periode berikutnya terus mengalami
peningkatan. Pada tahun 1980 hingga 1990, impor kedelai meningkat
jumlahnya mencapai 500.000 800.000 ton per tahun. Pada tahun
1990-2000, impor kedelai meningkat kembali pada angka 900.000 ton
1.500.000 ton per tahun. Bahkan pasca tahun 2000 hingga tahun 2010,
impor kedelai semakin meningkat dengan angka rata-rata impor
kedelai hampir mencapai 2.000.000 ton per tahun (Lihat Grafik
1.1).Meskipun pada saat ini Indonesia merupakan salah satu negara
penghasil kedelai terbesar dunia, namun juga pada saat yang
bersamaan Indonesia merupakan salah satu negara pengimpor terbesar
di dunia (Pangan, 2005). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik,
sampai pada tahun 2012, jumlah produksi kedelai Indonesia adalah
sebesar 783.158 ton (Indonesia B. P., Tanaman Pangan, 2012). Dengan
jumlah produksi seperti itu, produksi kedelai Indonesia menempati
urutan ke-10 terbesar dunia dan Indonesia menyumbang 0,3% total
produksi kedelai secara global. Apabila meninjau produksi kedelai
Indonesia sejak tahun 1975 yang hanya berjumlah 526.000 ton,
ternyata Indonesia telah berhasil mendorong peningkatan produksi
sampai tahun 1995 hingga mencapai puncaknya dengan jumlah produksi
1.680.000 ton. Meskipun demikian, angka tersebut tidak berhasil
mengurangi impor kedelai Indonesia.Jumlah produksi kedelai pada
kenyataannya berjalan pararel dengan jumlah luas area pertanian
kedelai. Apabila jumlah area pertanian kedelai semakin luas, maka
hasil produksi kedelai juga semakin meningkat, sebaliknya apabila
jumlah area pertanian kedelai semakin menyempit, maka produksi
kedelai juga akan menurun.Data dari tahun 1975 hingga 1995
menunjukan bahwa peningkatan produksi kedelai didukung dengan
peningkatan jumlah luas lahan pertanian kedelai. Dari sini
sebenarnya dapat terlihat bahwa telah ada upaya dari pemerintah
Indonesia untuk mengurangi impor kedelai yang terus meningkat sejak
tahun 1975. Pada periode 1983-1995 sebagai contoh, Pemerintah
Indonesia telah berhasil untuk mendorong peningkatan produksi
melalui peningkatan perluasan lahan pertanian kedelai dan
peningkatan produktifitas lahan (Supadi, 2009). Dengan kata lain
sebagai perbandingan, luas lahan pertanian kedelai pada tahun 1975
mencapai 768.000 hektar yang mampu memproduksi 589.000 ton kedelai,
dan pada tahun 1995 luas area pertanian kedelai mencapai 1.477.000
hektar dan mampu memproduksi 1.680.000 ton kedelai.Hal ini
menunjukan bahwa keterkaitan antara luas area pertanian
mempengaruhi jumlah produksi kedelai yang dihasilkan. Namun sangat
disayangkan, peningkatan produksi kedelai Indonesia pada periode
1983-1995 ternyata tidak diikuti tahun-tahun berikutnya. Pada
kenyataannya, semenjak tahun 1995 produksi kedelai terus mengalami
penurunan hingga saat ini sejalan dengan penurunan area pertanian
kedelai dan produktifitas lahan pertanian kedelai (Harsono,
2008).Dengan melihat pada tingkat impor kedelai yang terus
meningkat sejalan dengan tingkat konsumsi yang juga meningkat
karena pertumbuhan laju penduduk dan pada saat yang bersamaan juga
terjadi berkurangnya luas lahan pertanian kedelai, maka tendensi
yang terjadi adalah dalam jangka panjang Indonesia tidak akan bisa
melepaskan diri dari defisit produksi kedelai untuk dapat secara
mandiri menyediakan kedelai bagi konsumsi dalam negeri. Dengan kata
lain, Indonesia akan terperangkap pada kebijakan impor kedelai.
Gambar 01. Grafik Komsumsi, Produksi dan Impor Kedelai Sumber :
Badan Pusat Statistik 2012, Sumber Tani (Diolah)Apa Indonesia
Terperangkap Pada Kebijakan Impor Kedelai ?Wacana untuk memenuhi
pasokan konsumsi kedelai dalam negeri memang menjadi bahan evaluasi
pemerintahan presiden SBY sejak beberapa tahun terakhir. Bahkan,
era pemerintahan presiden SBY dengan KIB I dan KIB II sudah
mencanangkan untuk mencapai swasembada kedelai pada tahun 2014
nanti. Namun idealisme pemerintahan presiden SBY ternyata tidak
menemukan jodoh dalam realitasnya. Hal demikian juga dapat
diartikan secara sederhana, yaitu bahwa sudah 38 tahun dan 5
presiden kedelai menjadi komoditas pangan yang merepotkan bangsa
Indonesia. Meskipun upaya terus dilakukan untuk mendorong
peningkatan produksi, namun justru konsumsi semakin cepat yang
tidak dapat dikejar lagi.Perbaikan dalam produksi kedelai Indonesia
tentunya sangat perlu dilakukan. Pasalnya komoditas ini
diindikasikan akan menciptakan tingkat konsumsi yang terus menerus
dari tahun ke tahun. Mengutip pendapat Robert Malthus pada tahun
1709 bahwa pertumbuhan jumlah populasi akan menyebabkan kenaikan
konsumsi pangan. Maka Indonesia harus dapat memanfaatkan isu pangan
sebagai komoditas kemajuan bangsa, bukan justru berharap mengimpor
yang secara filosofis jalannya bisa dikatakan diberikan makan orang
lain. Kalau begitu pertanyaan yang muncul sangat sederhana, Apa
kita terperangkap kebijakan impor?Mari mulai dengan kerangka
berpikir bahwa Indonesia sedang bergantung dan mungkin akan terus
bergantung pada impor kedelai. Ketergantungan Indonesia dalam
menyediakan pasokan kedelai untuk konsumsi dalam negeri melalui
kebijakan impor kedelai merupakan sebuah gambaran betapa rapuhnya
ketahanan pangan Indonesia. Ketahanan pangan yang dipahami oleh
Indonesia, merujuk menurut Departemen Pertanian, adalah
didefinisikan sebagai terpenuhinya pangan dengan ketersediaan yang
cukup, tersedia setiap saat di semua daerah, mudah diperoleh, aman
dikonsumsi dan harga yang terjangkau (Pertanian, 2005). Berdasarkan
dengan pemahaman definitif mengenai ketahanan pangan menurut
Departemen Pertanian dimana kedelai juga termasuk dalam hal ini
maka jelas terlihat bahwa memang sebenarnya ketahanan pangan
Indonesia dalam komoditas kedelai berada dalam keadaan yang rapuh
karena ketersediaan kedelai dari tahun ke tahun tidak dapat
diusahakan dengan upaya mandiri, tidak mudah diperoleh dan harga
yang fluktuatif.Ketergantungan Indonesia pada impor kedelai dalam
hal ini telah melibatkan negara lain yang berperan sebagai pemasok
utama impor kedelai Indonesia. Indonesia melakukan impor kedelai
utama pada Amerika Serikat. Dimana dalam hal ini Amerika Serikat
tidak hanya menjadi pengekspor kedelai terbesar bagi Indonesia,
namun ternyata Amerika Serikat dalam hal ini juga merupakan
produsen kedelai terbesar dunia dengan mengambil bagian lebih dari
50% jumlah produksi dunia (Agency, 2012). Oleh karena itu,
kebutuhan pasokan kedelai Indonesia melalui impor sangat bergantung
pada Amerika Serikat. Ketergantungan pasokan kedelai Indonesia
melalui impor yang jumlah keseluruhannya didapatkan dari Amerika
Serikat akan menyebabkan dampak ketergantungan yang dimensinya
tidak hanya sebatas ekonomi dalam pada komoditas kedelai.Menurut
studi yang dilakukan oleh Tim Pusat Penelitian dan Pengembangan
Tanaman Pangan, dijelaskan bahwa Impor kedelai Indonesia terhadap
Amerika Serikat telah dimulai sejak tahun 1981 dengan jumlah
360.000 ton kedelai dan mengambil volume impor dengan presentase
sebesar 94% dari total keseluruhan impor kedelai (Pusat Palawija,
1983). Indonesia menjadi salah satu tujuan ekspor penting kedelai
Amerika Serikat karena volume ekspor yang terus meningkat dan
menempati posisi kedua terbesar pangsa ekspor Amerika Serikat
setelah Uni Eropa (Agriculture, 2012). Oleh karena itu, Amerika
Serikat adalah pemain penting bagi ketersediaan kedelai dalam
negeri di Indonesia. Selain Amerika Serikat, Indonesia juga
melakukan impor kedelai dengan negara lain seperti Argentina,
Kanada, Afrika Selatan dan Malaysia (Mae, 2012).Pada tahun 1999,
terjadi Peningkatan yang signifikan dalam sejarah impor kedelai
Indonesia akibat peningkatan jumlah konsumsi dan juga penurunan
area lahan pertanian kedelai bahkan setelahnya. Berdasarkan data
Badan Pusat Statistik, pada tahun 1999 tingkat konsumsi kedelai
Indonesia berada dalam jumlah tertinggi semenjak Indonesia
melakukan impor kedelai pada tahun 1975 yang mencapai 2.684.000 ton
kedelai. Pasca tahun 1999, penurunan jumlah produksi kedelai
Indonesia dan penurunan luas area pertanian kedelai terus menurun
hingga saat ini. Penurunan yang terjadi pasca tahun 1999 menunjukan
adanya sebuah jarak yang besar dalam luas lahan pertanian kedelai,
yaitu pada tahun 1999 jumlah luas area pertanian kedelai mencapai
1.152.079 hektar, namun pada tahun 2000 terjadi penurunan hingga
lebih dari 30% jumlah tahun 1999, yaitu hanya mencapai 824.484
hektar area pertanian kedelai. Begitu juga dengan tahun berikutnya,
penurunan area luas pertanian kedelai terus terjadi bahkan mencapai
titik terendah. Terdapat beberapa studi yang dilakukan mengenai
persoalan impor kedelai di Indonesia. Purwanto (Purwanto, 2009)
dalam studinya menyatakan bahwa ada faktor-faktor yang mempengaruhi
impor kacang kedelai nasional, antara lain adalah produksi kacang
kedelai, konsumsi kacang kedelai, harga kacang kedelai lokal, harga
kacang kedelai impor, harga kacang kedelai dunia dan nilai tukar
rupiah. Kebijakan impor kedelai mempengaruhi ketahanan pangan
Indonesia. Swastika (Swastika, The Frontier of Soybean Development
policy, 2005) menjelaskan bahwa kebijakan kedelai nasional dalam
waktu jangka pendek dan jangka menengah tidak dapat mencapai
kemandirian karena kecenderungan impor. Hal tersebut akan berdampak
langsung terhadap ketahanan pangan nasional. Swastika memberikan
beberapa rekomendasi kebijakan kedelai untuk mendukung pengembangan
kedelai nasional antara lain; menyediakan akses, memberikan
pelatihan pada petani kedelai, transfer teknologi, memberikan
insentif bagi petani kedelai melalui kebijakan ekonomi makro.
Begitu juga dengan studi yang dilakukan Siswono Yudo Husodo
(Husodo, 2004), beliau berpendapat kebijakan berorientasi impor
yang menyebabkan impor kedelai terus dilakukan. Menurut Siswono
impor komoditas pangan terjadi akibat kebijakan liberalisasi bahan
pangan setelah krisis ekonomi tahun 1998. Selain itu, masalah pada
pertanian itu sendiri sepert sulitnya akses kredit bagi petani, dan
praktek bisnis yang tidak berbasis hukum serta peran
ketidakberpihakan pemerintah melalui regulasi menjadi pendorong
impor bahan pangan. Dalam kacamata yang lebih general, hal ini
dianggap sebagai era liberalisasi pangan. Liberalisasi pangan yang
menyebabkan kecenderungan impor komoditas pangan, Syamsul Hadi
(Hadi, 2012) memberikan pandangan hal ini terjadi karena Indonesia
terikat pada perjanjian internasional yang mendukung liberalisasi
seperti Agreement on Agricultural WTO tahun 1995 dan juga Letter of
Intent IMF ketika Indonesia menghadapi krisis ekonomi tahun
1998.Presiden kita harus mengerti masalah pertanian yang lebih
nyata, beliau adalah Doktor Pertanian lulusan IPB, malu kalau tidak
mengerti pertanian. Permasalahan mengenai kecenderungan impor
kedelai sebetulnya bukan persoalan baru dan identifikasi masalah
dan penyebab akan ketergantungan pun sudah diketahui.Persoalan
utama terkait ketergantung impor kedelai terletak pada kemauan
pemerintah untuk menyelesaikannya (Political Will).Terlihat sekali
bahwa keinginan secara politik pemerintah itu tidak ada. Rektor IPB
Prof. Herry Suhardiyanto bahkan sangat menyayangkan hal demikian.
Kata beliau, IPB telah memberikan sumbangsih melalui inovasi
teknologi untuk dunia pertanian. Tetapi pemerintah mengabaikanPada
2015, diperkirakan penduduk dunia mencapai 9 Milyar populasi, maka
perlu juga penyediaan pangan yang memadai, termasuk juga kedelai.
Indonesia mau tetap terjebak impor atau memanfaatkan peluang ini
untuk menjadi pemain dalam komoditas pangan dunia. Jawabannya
mungkin ada di Presiden SBY dan juga hasil pemilu 2014 nanti.
Komentar :Kedelai merupakan suatu komoditi yang mengndung
protein sangat tinggi yang dapat diolah menjadi berbagai jenis
makanan dan minuman. Contoh olahan makanan kedelai yaitu tempe dan
tahu sedangkan olahan untuk minuman yaitu susu kedelai. Kebutuhan
akan kedelai di Indonesia sangat tinggi sehingga pemerintah harus
melakukan impor kedelai.Dari data yang diperoleh dapat dilihat
bahwa produksi kedelai di Indonesia sangat rendah sedangkan
kebutuhan kedelai di Indonesia sangat tinggi. Walaupun pemerintah
melakukan impor tetapi tetap saja kebutuhan kedelai di Indonesia
tidak dapat terpenuhi. Tiap tahunnya pemerintah harus mengimpor
kedelai untuk memenuhi kebutuhan tersebut.Banyak petani yang tidak
menanam kedelai karena harga kedelai yang tidak tetap sehingga
tidak banyak petani yang tertarik untuk menanam kedelai. Seharusnya
pemerintah membuat petani untuk menanam kedelai sehingga pemerintah
tidak perlu melakukan impor terhadap kedelai.Upaya pemerintah yang
pernah dilakukan yaitu memberikan benih gratis kepada para petani
untuk ditanam. Tetapi setelah petani memanen hasilnya harga akan
kedelai anjlok sehingga petani merugi dan tidak ingin lagi untuk
menanam kedelai. Hal ini seharusnya ditangani oleh pemerintah,
baiknya jika harga dasar kedelai ditetapkan sehingga petani
tertarik untuk menanam kedelai. Tetapi pemerintah cuek saja melihat
keadaan. Pemerintah hanya tergantung pada impor tanpa melihat bahwa
Indonesia memiliki potensi untuk mengekspor kedelai bukan mengimpor
kedelai.Pemerintah baiknya membuat kebijakan yang menguntungkan
para petani sehingga kehidupan petani Indonesia lebih layak dan
makmur. Pemerintah baiknya mensosialisasikan dengan baik kepada
para petani bagaimana cara menanam kedelai sehingga pemerintah
tidak perlu lagi untuk mengimpor kedelai dan kebutuhan kedelai
dapat tepenuhi.
Masalah Ekonomi : Ekspor dan Impor Beras diIndonesia
Larang, atau Izinkan Impor Garam?Era globalisasi membawa
gelombang perubahan dinamis dengan daya paksa tinggi. Mau tidak mau
setiap negara dituntut untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan
itu. Siapa yang tidak dapat beradaptasi, ia akan dihantam oleh
gelombang perubahan itu sendiri. Dunia berubah seiring waktu yang
berjalan, negara-negara saling bergantian memasuki fase yang
berbeda dalam gelombang konjungtur ekonomi. Silih berganti dari
masa ke masa, dari negara satu ke negara lain.Pada era sebelumnya,
sebuah negara sangat dimungkinan dapat membatasi jumlah barang dan
jasa impor dari luar negeri dengan cara pengenaan pajak, kuota
impor, bea dan cukai, maupun dengan peraturan lain. Namun kini,
ketika era pasar bebas dimulai, batasan antar negara yang dulunya
ada kini seolah menjadi lenyap. Batas itu hanyalah sebagai batas
teritori hukum, dimana pada realitanya batas itu tidak ada. Orang,
barang, dan jasa dari suatu negara dapat dengan mudahnya berpindah
dari satu negara ke negara lain.Beberapa waktu lalu, Presiden SBY
selaku pemegang kekuasaan pemerintah tertinggi menyetujui kebijakan
legalisasi impor garam. Reaksi yang berlebihan muncul dikalangan
DPR. Mereka menyatakan bahwa hal tersebut akan mematikan
petani-petani garam lokal. Sebagai imbas dari orasi salah satu
anggota DPR tersebut, para grassroot perekonomian Indonesia yang
terdiri dari rakyat kecil dan petani garam terhantam gelombang
ketakutan yang sebetulnya tidak perlu ditakutkan. Anggota DPR
dengan argumennya yang meyakinkannamun tanpa dasarberusaha
meyakinkan ribuan rakyat Indonesia bahwa seharusnya presiden tindak
membiarkan garam produksi luar negeri masuk ke Indonesia.Salah satu
stasiun televisi swasta tanpa mempedulikan netralitasnya sebagai
insan jurnalis, terpengaruh opini DPR dan turut serta memojokkan
pemerintah. Sebagai dampaknya, ribuan rakyat indonesiatanpa
didasari bekal pengetahuan yang cukupikut menyudutkan pemerintah.
Pemerintah adalah wakil rakyat tetpi tidak pro rakyat, kalimat
iulah yang menjadi senjata utama.Di berbagai harian rakyat, baik
media cetak maupun online, puluhan artikel bertajuk kebijakanimpor
garam ini silih berganti menghiasi halaman utama. Baik artikel yang
beraroma mendukung maupun yang mencerca kebijakan impor garam ini.
Kedua belah pihak memiliki argumen masing-masing dalam
mempertahankan pendapatnya mengenai kebijakan kontroversial
ini.Menyoal Kebijakan ImporDalam arus perdagangan internasional,
pemerintah sebagai pelaku ekonomi dan keuangan publik harus
mengambil kebijakan-kebijakan tertentu. Adakalanya
kebijakan-kebijakan publik tersebut begitu sukar diputuskan karena
adanya trade-off: kesejahteraan rakyat atau pertumbuhan ekonomi.
Dan biasanya keputusan yang diambil adalah opsi yang mengandung
eksternalitas negatif paling minimum.Era globalisasi dan pasar
bebas memungkinkan suatu negara dengan mudah menjual produksi
barang dan jasanya di negara lain (impor). Pada awalnya maksud dari
ekspor-impor adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dikarenakan
barang yang dibutuhkan tidak dapat diproduksi secara mandiri tidak
di negara tersebut. Hingga saat ini, masih ada beberapa kebijakan
pemerintah yang dapat dilakukan untuk menjaga keseimbangan ekspor
impor, misalnya saja kuota impor, kuota ekspor, subsidi ekspor,
tarif impor, tarif ekspor, premi, diskriminasi harga, larangan
impor, larangan ekspor, maupun politik dumping.Sayangnya, jika
kondisi perekonomian dunia mencapai keadaan yang diidamkan kaum
kapitaliskondisi dunia dimana pasar benar-benar bebas dan murni
persaingan sempurnamaka kebijakan seperti larangan impor-ekspor
tidak akan dapat dilakukan lagi. Kondisi itu tercermin dalam sebuah
perjanjian internasional yakni GATT atau General Agreement on
Tariff and Trade. Sedang untuk kawasan ASEAN terdapat AFTA atau
Asean Free Trade Area.
Gambar 02. Petani GaramManfaat dari ekspor impor ini adalah,
negara kita dapat memperoleh barang yang tidak dapat diproduksi di
negeri sendiri, memperoleh keuntungan dari spesialisasi, memperluas
pasar dan menambah keuntungan, serta sebagai sarana untuk transfer
teknologi modern dari negara maju ke negara berkembang. Kegiatan
ekspor-impor ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, yakni dengan
cara biasa, barter, konsinyasi, package deal, maupun penyelundupan.
Selain manfaat, kegiatan ekspor impor ini juga memiliki sisi
negatif misalnya saja masalah pengangkutan dan pengiriman dari
produsen-produsen di Indonesia yang tersebar, masalah pembiayaan
rupiah dimana kurs sangat mempengaruhi daya beli negara, dan
masalah keamanan saat sortasi dan up-grading di pelabuhan.Larangan
impor garam, benarkah baik?Dalam ilmu ekonomi maupun hubungan
internasional, sebuah negara memang tidak mungkin terlepas dari
negara lain. Negara dapat diumpamakan layaknya manusia, ia berlaku
sebagai homo social. Seorang individu tidak akan bisa bertahan hidu
tanpa kehadiran dan bantuan individu yang lain. Bagitu juga dengan
negara, sebuah negara tidak akan dapat bertahan jika ia bersikeras
menolak interaksi dengan negara lain.Seperti yang telah kita
pelajari dalam Pengantar Keuangan Publik, bahwasannya tujuan
pemerintah adalah untuk kesejahteraan rakyat. Jadi alasan utama
pemerintah melarang atau mengizinkan impor garam adalah sepenuhnya
untuk rakyat. Secara sepintas, tampaknya larangan impor garam
adalah suatu keputusan yang bijakdibandingkan dengan mengizinkan
impor garamkarena produksi garam dalam negeri (dianggap) akan
terlindungi dan petani garam akan makmur. Namun studi ekonomi
berkata lain. Yang terjadi, kekuatan pasar bebas lebih besar
dibanding regulasi larangan impor garam.Sebagai akibat dari
larangan impor tersebut, berton-ton garam produksi luar negeri
dapat dipastikan akan tetap menerobos palang larangan impor melalui
mekanisme pasar gelap atau black market. Yang selama ini lolos dari
perhatian publik adalah fakta bahwa black market mempunyai lebih
banyak efek negatif bagi perekonomian Indonesia, diantaranya adalah
berkurangnya penerimaan pajak dan bea masuk dari garam. Hal
tersebut tentu saja merugikan negara dan pada akhirnya rakyat
jugalah yang akan merugi.Dalam studi ekonomi publik, kebijakan
larangan impor garam ini akan menimbulkan dampak negatif yang lebih
besar jika dibandingkan dengan diizikannya impor garam.Dampak
lgalisasi impor garam terhadap petani lokalDengan adanya
garam-garam impor, supply garam yang ada di dalam negeri akan
meningkat. Sementara itu jumlah permintaan akan garam cenderung
tetap, hal ini menimbulkan kelebihan permintaan sehingga harga
garam dipastikan akan turun. Ini tentu saja kurang menguntungkan
bagi petani garam karena tingkat penghasilan mereka menurun
dibanding sebelumnya. Sebagai dampaknya, garis anggaran (budget
line) para petani garam tersebut bergeser ke arah kiri sehingga
daya beli menurun.Pada awalnya, kebijakanimpor garam ini akan
tampak merugikan petani garam. Hal tersebut dikarenakan petani
garam sendiri belum siap menghadapi serbuan garam dari luar negeri
yang notabenya lebih berkualitas dan diolah dengan teknologi yang
lebih canggih. Sebagai reaksi awal pasar tentu saja produksi garam
lokal kurang diminati karena kualitasnya yang lebih rendah. Namun
sebenarnya permasalahan ini bukan permasalahan buntu tanpa jalan
keluar. Setiap permasalahan ekonomi pasti adal jalan keluarnya,
yang menjadi pertanyaannya adalah apakah kita mau atau
tidak.SolusiSolusi dari permasalahan kebijakan impor garam ini
terletak pada upaya dalam negeri. Membendung garam produksi luar
negeri dengan larangan impor tidaklah tepat karena akan menimbulkan
pasar gelap. Yang seharusnya dilakukan pemerintah adalah menggenjot
produksi garam dalam negeridan meningkatkan kualitasnya sehingga
dapat bersaing dengan garam impor. Dalam upaya ini, pemerintah
perlu mengadakan sosialisasi tentang langkah yang harus ditempuh
agar produksi garam berkualitas tinggi. Selain itu pemerintah perlu
memberi suntikan dana untuk pengadaan perkakas produksi garam.Hal
lain yang perlu diperhatikan adalah impor pada waktu yang tepat.
Artinya impor seharusnya dilakukan saat-saat produksi garam dalam
negeri mengalami paceklik. Mengimpor garam saat musim panen garam
sebaiknya dihindari karena akan mematikan petani lokal.Pemerintah
juag sebaiknya melibatkan petani garam dalam pengambilan keputusan.
Saat ini yang kurang tepat di Indonesia adalah dalam pengambilan
keputusan biasanya pemerintah tidak melibatkan perwakilan dari
grassroot. Pemerintah perlu melibatkan para petani supaya para
petani garam tersebut tahu landasan dan dasar pengambilan
keputusan.Simpulan: Dorong dari Dalam, Bukan Melarang yang dari
LuarSebuah negara tidak mungkin terlepas dari peranan negara lain.
Sebuah negara tidak akan dapat bertahan jika ia bersikeras menolak
interaksi dengan negara lain. Pemerintah sebagai pelaku ekonomi dan
keuangan publik harus mengambil kebijakan-kebijakan tertentu.
Adakalanya kebijakan-kebijakan publik tersebut begitu sukar
diputuskan karena adanya trade-off, antara kesejahteraan rakyat dan
pertumbuhan ekonomi.Alasan utama pemerintah melarang atau
mengizinkan impor garam adalah sepenuhnya untuk rakyat. Membendung
garam produksi luar negeri dengan larangan impor tidaklah tepat
karena akan menimbulkan pasar gelap. Yang seharusnya dilakukan
pemerintah adalah menggenjot produksi garam dalam negeri dan
meningkatkan kualitasnya sehingga dapat bersaing dengan garam
impor.Hal-hal yang sebaiknya diperhatikan antara lain:a. Pemerintah
perlu menggenjot produksi garam dalam negeri dan meningkatkan
kualitasnya sehingga dapat bersaing dengan garam impor.b. Impor
pada waktu yang tepat dengan menghindari mengimpor garam saat musim
panen.c. Pemerintah juga sebaiknya melibatkan petani garam dalam
pengambilan keputusan.
Komentar :Garam merupakan bahan dapur yang dibutuhkan oleh
seluruh orang didunia ini untuk menciptakan rasa yang enak untuk
makanan. Jika suatu negara tidak dapat memenuhi kebutuhan garam
untuk masyarakatnya maka mau tidak mau negara tersebut harus
mengimpor garam dari negara lain. Hal inilah yang dialami oleh
negara kita. Sangat memalukan jika dikatakan bahwa negara kita
dapat menghasilkan garam tetapi tetap saja kita mengimpor garam
dari luar negeri.Pemerintah sangat mudah mengatakan atau memutuskan
untuk mengimpor garam tanpa melihat keadaan petani garam dinegara
kita. Upaya pemerintah tidak maksimal dalam memimpin petaninya
untuk memproduksi garam dengan kualitas yang maksimal. Pemerintah
juga tidak dapat menghentikan impor garam karena akan menimbulkan
pasar gelap yang dapat merugikan pemerintah sendiri. Seharusnya
pemerintah membuat petani untuk semangat dalam memproduksi garam
dengan kualitas yang baik sehingga walaupun dilakukan impor garam
tetap garam dalam negeri yang dijual kepada masyarakat. Solusi yang
ditawarkan diatas dapat dilakukan oleh pemerintah yaitu menghindari
impor saat petani panen. Kiranya pemerintah dapat melihat kapan
waktu yang tepat untuk mengimpor garam yang artinya saat garam
mulai langka di Indonesia berulah pemerintah melakukan impor
garam.
Gambaran Umum Dampak terhadapSektor PertanianSebagian besar
perekonomian dunia terkena imbas KKG 2008/09 melalui jalur
perdagangan dan jalur finansial. Tertekannya kinerja ekspor akibat
anjloknya harga berbagai komoditas ekspor berdampak cukup kuat,
khususnya terhadap negara-negara pengekspor komoditas berbasis
sumber daya alam. Selain itu, dampak KKG 2008/09 terhadap seluruh
dunia, termasuk kawasan Asia, juga terlihat dari turunnya indeks
bursa saham ke tingkat yang berada di luar perkiraan.Di Indonesia,
imbas krisis mulai terasa menjelang akhir 2008. Hal ini tercermin
dari melambatnya pertumbuhan ekonomi secara signifikan, terutama
karena anjloknya kinerja ekspor seiring dengan turunnya harga
berbagai komoditas unggulan, seperti kelapa sawit dan karet. Secara
langsung, penurunan tersebut memukul sebagian petani di Indonesia.
Petani juga telah kehilangan sebagian pasar produk pertanian mereka
di Amerika Serikat (AS) dan negara- negara yang menjadi mitra AS
seperti Singapura, Jepang, Cina, India, dan negara-negara
Eropa.Dampak krisis terhadap petani dapat dilihat, antara lain,
dari perubahan nilai tukar yang diterima petani (NTP)1. Secara
nasional, sejak April 2008, NTP meningkat terus dan mencapai titik
tertinggi (101,69) pada September 2008. Pada Oktober 2008, NTP
turun ke level 99,2 dan turun terus; NTP mencapai titik terendah
pada level 98,99 pada Januari 2009. Meskipun sejak Januari 2009 NTP
merambat naik, data bulan Juni menunjukkan bahwa NTP belum mencapai
level 100. Data per komoditas (Gambar 2) memperlihatkan penurunan
NTP yang cukup tajam untuk tanaman perkebunan rakyat dan
hortikultura.
Gambar 03. Nilai Tukar PetaniDampak terhadap Subsektor
PerkebunanKelapa SawitKelapa sawit merupakan primadona komoditas
ekspor subsektor perkebunan Indonesia. Sebagian besar areal
perkebunan kelapa sawit berada di seluruh provinsi di Sumatra dan
Kalimantan, dan sebagian berada di Papua. Total lahan perkebunan
sawit Indonesia mencapai 7,1 juta ha. Sekitar 60% areal tersebut
berada di Sumatra (4,8 juta ha) dan sisanya berada di Kalimantan
dan Papua.Saat KKG 2008/09 melanda dunia, permintaan ekspor minyak
sawit turun drastis dan harga minyak sawit mentah (CPO) dan tandan
buah segar (TBS) sawit menurun tajam. Sebelum krisis, harga CPO
dapat mencapai US$1.400 per metrik ton, namun pada saat krisis,
harga CPO hanya berkisar antara US$400US$500 per metrik ton.
Demikian pula halnya dengan harga TBS sawit. Sebelum krisis, harga
di tingkat petani berkisar antara Rp1.500Rp2.000 per kg, tetapi
selama krisis ini, harga TBS sawit hanya Rp350Rp500 per kg.
Padahal, bila harga TBS Rp500 per kg, setelah dikurangi ongkos dan
biaya-biaya lain, keuntungan petani hanya Rp150 per kg.Dari semua
petani sawit, petani nonplasmalah yang paling merasakan dampak
krisis karena buah sawit mereka dihargai lebih rendah dari buah
sawit petani plasma dan tidak ada yang menjamin bahwa pabrik akan
membeli sawit mereka. Namun, produsen minyak sawit dan petani sawit
plasma juga dirugikan. Diberitakan bahwa pembatalan kontrak CPO
dari 21 perusahaan di India mengakibatkan ekspor CPO Sumatra
Selatan turun 30% dan 95 perusahaan minyak sawit merumahkan 30 ribu
dari 100 ribu buruh harian lepasnya. Di Kotawaringin, Kalimantan
Tengah, sebuah perusahaan minyak sawit juga meliburkan 900 buruh
harian lepas. Di Kalimantan Barat, 2 dari 14 investor asing yang
telah mempunyai izin membuka perkebunan sawit menunda realisasinya.
Sebanyak 22 pabrik minyak sawit di Kalimantan Barat juga menurunkan
produksi CPO-nya sebesar 10%12% dari rata-rata produksi per bulan
58.300 ton menjadi 46.67052.500 ton. Ekspor produk turunan sawit,
seperti minyak oleochemical, juga turun 50%.Akibat KKG 2008/09,
petani sawit dan pedagang pengumpul di Provinsi Riau tidak dapat
mengembalikan kredit investasi dan modal kerja, serta kredit
cicilan motor. Menurut data Bank Indonesia Riau, sebanyak 11.304
petani sawit dengan total kredit Rp335 miliar bermasalah dengan
pengembalian kreditnya. Selain itu, 543 dari 4.500 sepeda motor
kreditan ditarik karena kredit macet (86% pengkredit sepeda motor
adalah petani sawit). Bank Indonesia Riau juga mencatat bahwa
104.000 keluarga petani plasma dan 174.978 keluarga petani
nonplasma menghadapi kesulitan membayar utangnya ke bank yang
besarnya mencapai Rp1,2 triliun. Di Sumatra Utara, turunnya harga
sawit dan naiknya harga pupuk (sampai 500%) membuat petani tidak
mampu membeli pupuk dan merawat tanamannya sehingga produksinya
menurun.Untuk bertahan hidup selama krisis, banyak petani sawit
menjadi buruh di kebun orang lain. Mereka berusaha mengangsur
kredit dengan penghasilan dari hasil kebun lainnya, seperti padi,
karet, kakao, atau kopi; atau dengan bergotong royong dengan
saudara atau tetangganya. Di tingkat pengusaha, sebagian menunda
perluasan kebun dan peremajaan tanaman, memotong biaya produksi
hingga 50%, dan merumahkan buruh lepas. Bank-bank menjadwal ulang
pinjaman nasabah yang berhubungan dengan sawit, menurunkan suku
bunga pinjaman, dan menganjurkan penambahan investasi. Pemerintah
berupaya membantu dengan mengurangi pajak ekspor CPO pada November
menjadi 0%; menetapkan bea masuk 0% bagi bahan baku impor produksi
hilir yang sebagian berbahan CPO; mewajibkan sektor transportasi,
industri, dan pembangkit tenaga listrik untuk menggunakan bahan
baku nabati (CPO) sebesar 5%; dan mewajibkan peremajaan tanaman
tua.Pada semester I 2009, harga TBS sawit dan minyak sawit mulai
meningkat, antara lain, karena naiknya harga minyak dunia,
kegagalan panen kedeleyang merupakan salah satu bahan baku
biofueldi Amerika Serikat, meningkatnya pembelian cadangan CPO
Cina, dan kebijakan wajib mencampur biofuel sebanyak 5% dengan BBM
di Indonesia dan Malaysia. Pada Juni 2009, harga TBS sawit di
Sumatra Selatan naik menjadi Rp1.484,58 per kg. Pada triwulan II
2009, harga CPO dunia sudah meningkat menjadi US$750 per metrik
ton.KaretKaret termasuk komoditas utama perkebunan Indonesia
setelah kelapa sawit. Turunnya tingkat penjualan mobil di AS sangat
berpengaruh terhadap permintaan karet dunia karena sebagian besar
karet merupakan bahan mentah bagi produksi pendukung automotif.
Pada Juni 2008, harga karet dunia masih 329,75 sen AS per kg. Pada
September 2008, harga karet turun menjadi 280,5 sen AS per kg,
kemudian turun lagi menjadi 152 sen AS per kg pada Oktober 2008,
dan menyentuh level 120 sen AS per kg pada Desember 2008.Penurunan
harga karet dunia mengakibatkan permintaan dan harga karet
Indonesia turun secara tajam. Di Sumatra Barat, Sumatra Utara,
Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan, harga
lump (gumpalan) karet turun dari Rp9.000Rp13.000 per kg menjadi
Rp2.000Rp4.000 per kg. Di Sukabumi, Jawa Barat, harga lump karet
turun dari Rp7.000 per kg sebelum krisis menjadi Rp3.000 per kg.
Harga karet lembaran (RSSribbed smoked sheet) di Sukabumi yang
sebelum krisis mencapai Rp24.000 per kg turun menjadi Rp19.000 per
kg pada saat krisis. Turunnya harga karet menyebabkan banyak petani
karet tidak mau menyadap dan memelihara pohon karetnya, dan pasokan
ke pabrik berkurang drastis. Di Jambi, produksi karet turun 30%
dari 60.000 ton per bulan menjadi 42.00045.000 ton. Oleh karena
itu, pabrik karet menurunkan produksinya dan mengurangi jumlah hari
kerja buruh dari dua minggu menjadi tiga hari. Di Sumatra Barat,
3.000 buruh dari 6 pabrik karet menganggur karena pabrik-pabrik
tersebut berhenti beroperasi akibat kekurangan bahan baku.Petani
karet juga tidak mampu membeli pupuk dan pendapatannya berkurang
50%. Petani karet di Banyuasin, Sumatra Selatan, misalnya,
mengatakan bahwa sejak Oktober 2008, pendapatan mereka dari empat
hektare kebun karet hanya 23 juta rupiah per bulan, padahal
sebelumnya bisa mencapai 56 juta rupiah per bulan. Bahkan sebagian
petani karet di Banyuasin menjual murah kebun karet mereka seharga
sekitar 30 juta rupiah per bidang atau hektare. Padahal harga
normalnya berkisar antara 4560 juta rupiah. Selain itu, banyak
petani karet menunggak pembayaran utang di koperasi dan cicilan
sepeda motor, seperti yang terjadi pada 90 petani karet di Muaro
Jambi.Setelah berhenti menyadap karet saat krisis, petani karet
beralih mengurus tanaman lain yang lebih menguntungkan atau menjadi
buruh di kebun orang lain. Pengepul karet mengurangi pembelian
karet atau menjual karet bersih yang harganya lebih mahal dari lump
karet. Saat krisis, peremajaan tanaman karet tertunda dan
Pemerintah Pusat mengeluarkan aturan untuk tidak membuka kebun baru
serta mengoordinasi pemasaran karet dengan negara penghasil karet
lainnya seperti Malaysia dan Thailand.Seiring makin stabilnya harga
minyak dunia pada awal hingga pertengahan 2009, terjadi beberapa
kali perubahan harga karet. Pada Januari 2009, harga karet naik
dari Rp3.500 per kg menjadi Rp4.000 per kg dan naik lagi menjadi
Rp5.000 per kg setelah itu sehingga pada Juni 2009 harga karet
bertahan di level Rp5.500Rp6.000 per kg.KopiIndonesia merupakan
salah satu produsen kopi utama di dunia di samping Brasil, Vietnam,
dan Kolombia. Sebagian produksi kopi Indonesia diekspor ke AS,
Jepang, Eropa, dan Cina. Akibat KKG 2008/09, permintaan dan harga
kopi dunia menurun sehingga permintaan ekspor dan harga kopi di
Indonesia pun menurun. Harga kopi di pasar internasional turun dari
US$3.800 per metrik ton sebelum krisis menjadi US$3.200 per metrik
ton.Selama krisis, permintaan ekspor kopi dari Jawa Timur menurun
sampai 25%30% dan harga kopi turun dari Rp18.000 per kg menjadi
Rp16.000 per kg. Demikian pula halnya di Bandar Lampung. Mulai
September 2008, harga kopi asalan di tingkat petani turun drastis
dari Rp25.000 per kg menjadi Rp16.000 per kg. Di Sumatra Selatan,
harga kopi turun dari harga normal Rp15.000 per kg menjadi Rp11.000
per kg. Sebanyak 90% produk kopi Sumatra Selatan diekspor melalui
Lampung. Karena ekspor kopi sedang lesu, gudang-gudang kopi Lampung
penuh dengan kopi dari Sumatra Selatan. Turunnya harga kopi juga
membuat sebagian besar dari sekitar 400 pengekspor kopi di Sumatra
Utara (Sumut) yang terdaftar di Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia
(AEKI) gulung tikar. Oleh karenanya, pada pertengahan 2009, hanya
ada 60 pengekspor kopi yang masih aktif. Kerugian pengekspor kopi
di Sumut terutama dipicu oleh pembelian kopi saat harga di tingkat
petani masih cukup tinggi jauh hari sebelum KKG 2008/09. Pengekspor
kopi arabika di Sumut menjadi kelompok yang paling terpukul karena
turunnya permintaan ekspor kopi ke AS.KakaoIndonesia termasuk
produsen utama kakao setelah Pantai Gading dan Ghana. Menurut data
Direktorat Jenderal Perkebunan (Ditjenbun), luas perkebunan kakao
di Indonesia pada 2008 mencapai 1.592.932 ha, dengan produksi biji
kakao sebanyak 849.875 ton. Harga rata-rata biji kakao yang
tercatat di Ditjenbun pada 2008 adalah Rp15.136 per kg dan pada
2009 naik menjadi Rp24.819 per kg. Saat krisis, diberitakan bahwa
harga kakao di Bali turun dari Rp31.000 per kg menjadi Rp17.000 per
kg, sedangkan di Deli Serdang, Sumut, harganya turun dari Rp20.000
per kg menjadi Rp16.000 per kg. Di Sulawesi Selatan, ekspor kakao
yang saat sebelum krisis, selama periode Januari Mei 2008, mencapai
47.240,395 ton hanya tercatat 37.204,429 ton pada periode yang sama
pada 2009.Sepanjang 2009, 12 dari 14 pabrik penggilingan biji kakao
yang ada di Indonesia menghentikan produksinya; bahkan 4 di
antaranya sudah tutup. Hanya tinggal dua pabrik penggilingan biji
kakaoyang memproduksi cocoa powder dan cocoa butteryang masih
beroperasi. Satu pabrik berlokasi di Tangerang dan satu lainnya di
Bandung; total kapasitas produksi keduanya adalah 100.000 ton per
tahun. Turunnya aktivitas pabrik-pabrik tersebut disebabkan oleh
permintaan ekspor produk kakao di pasar AS dan Eropa yang terus
menurun, harga ekspor produk kakao yang juga turun, dan cash flow
(aliran dana) pabrik yang terhambat akibat waktu pembayaran yang
lebih panjang dari biasanya (dari 10 hari menjadi 11,5
bulan).KopraMerosotnya harga minyak dunia pada triwulan IV 2008
juga berimbas pada harga kopra. Di Padang Pariaman, Sumatra Barat,
harga kopra merosot dari Rp8.000 per kg menjadi Rp4.200 per kg.
Karena harga kelapa yang menjadi bahan baku kopra tetap stabil,
pengusaha kopra tidak mendapat untung. Di Jambi, dilaporkan bahwa
penurunan harga kopra sudah terjadi sejak akhir 2008. Harga kopra
yang semula Rp7.000 per kg turun menjadi Rp3.600 per kg. Tidak
seperti di Padang Pariaman, harga kelapa butir di Jambi ikut turun
dari Rp1.500 per butir menjadi Rp700 per butir. Untuk menambah
penghasilan, petani kopra memanfaatkan batok kelapa untuk diolah
menjadi arang batok yang bisa di jual kepada pedagang pengepul
dengan harga Rp1.200 / kg. Arang batok ini sangat diminati oleh
perusahaan-perusahaan di Malaysia. Selain itu, sebagian petani
kopra mengalihkan usahanya ke kegiatan memanen pinang yang banyak
ditanam di Jambi. Harga pinang di tingkat petani cukup baik dan
stabil di tingkat Rp4.000/ kg, meski pada 2006 harganya pernah
jatuh hingga Rp2.000 / kg.Dampak terhadap Subsektor Tanaman
PanganJagungPemberitaan mengenai perkembangan harga komoditas
jagung memperlihatkan adanya perbedaan pengaruh KKG 2008/09 di
Provinsi Lampung dan Provinsi Gorontalo. Sejak awal November 2008,
petani jagung di Provinsi Lampung mengeluhkan turunnya harga jagung
basah dari Rp1.800Rp2.000 per kg menjadi Rp1.000 Rp1.100 per kg.
Petani Lampung tidak biasa mengeringkan jagung; mereka langsung
menjual jagung siap panen ke pedagang pengumpul yang akan
mengeringkan dan memipil jagung untuk kemudian dijual ke pabrik
pakan ternak. Sebaliknya, di tengah lesunya ekspor berbagai
komoditas pertanian, ekspor jagung asal Gorontalo meningkat. Pada
Januari 2009, sebanyak 3.600 ton jagung pipil siap dikapalkan ke
Filipina dengan nilai transaksi sebesar Rp4,4 miliar. Pada 2008,
dari sekitar 500.000 ton produksi jagung Gorontalo, sebanyak
177.182 ton dipasarkan ke luar Gorontalo: 79.385 ton diekspor ke
Malaysia, Filipina, dan Korea Selatan; dan sisanya dipasarkan ke
Surabaya, Jakarta, dan Medan.
Gambar 04. Turunnya permintaan produk kakao dari AS dan Eropa
berimbas pada subsektor perkebunan kakao di
IndonesiaSingkongLaporan mengenai dampak krisis terhadap komoditas
singkong yang terpantau hanyalah laporan dari Provinsi Lampung.
Saat krisis, harga singkong di tingkat petani turun hingga 50% dari
sekitar Rp580 per kg menjadi sekitar Rp280Rp300 per kg. Hal ini
merugikan petani karena hasil panen tidak dapat menutupi biaya
produksi, termasuk biaya pupuk dan angkutan. Akibatnya, banyak
petani tidak dapat mengembalikan modal yang diperoleh melalui
pinjaman. Tidak ada informasi mengenai sebab turunnya harga
singkong secara signifikan, namun diketahui bahwa singkong
merupakan bahan baku dalam pembuatan tepung tapioka yang merupakan
salah satu komoditas ekspor andalan dari Provinsi Lampung.Dampak
terhadap Subsektor PerikananEkspor perikanan Indonesia langsung
melemah ketika permintaan dari AS turun 30%40% saat terjadi KKG
2008/09. AS merupakan pasar utama ekspor perikanan Indonesia dan
menyerap rata-rata 40% dari total ekspor nasional. Melemahnya
ekspor perikanan Indonesia dimulai ketika beberapa pengimpor udang
AS meminta negosiasi ulang kontrak guna menurunkan harga dan volume
ekspor produk perikanan Indonesia. Selain itu, terjadi
keterlambatan pembayaran dari pengimpor hingga dua minggu sejak
kiriman diterima.Biasanya, permintaan ekspor produk perikanan
Indonesia mencapai puncaknya pada OktoberDesember, namun hingga
akhir 2008, belum terlihat adanya peningkatan permintaan. Di
Sulawesi Utara, dilaporkan bahwa ekspor ikan ke AS, Jepang, Korea
Selatan, Hong Kong, dan sejumlah negara Eropa selama krisis pada
2008 menurun drastis hingga 40%. Pada Oktober 2008, pesanan udang
ekspor di Jawa Timur turun 10%15% dan nilai ekspornya menurun
akibat penurunan volume ekspor tersebut. Pada Maret 2009,
permintaan naik 7%, namun kemudian turun 10,91% pada Juli 2009.Di
Bandar Lampung, saat memasuki masa tebar benur pada Oktober 2008,
petambak udang mengurangi kepadatan benur dari 150 ekor per meter
persegi menjadi 8090 ekor per meter persegi karena harga udang
turun dari Rp42.000Rp47.000 per kg (isi 50 ekor per kg) menjadi
Rp38.000 per kg. Padahal, biaya produksi satu kilogram udang
biasanya mencapai Rp35.000. Meski pengurangan jumlah benur akan
menurunkan biaya produksi, produksi udang juga akan turun.
Diperkirakan bahwa produksi udang Lampung akan turun 40% dari total
produksi 8.000 metrik ton per tahun sebelum krisis. Biaya produksi
juga makin berat karena harga pakan udang naik dari Rp8.500Rp9.000
per kg menjadi Rp10.000 per kg. Selain itu, petambak juga dibebani
biaya pembelian solar yang tinggi dan penundaan pembayaran dari
pengusaha cold storage (tempat penyimpanan udang bersuhu dingin)
yang mulai tidak lancar karena pengusaha tersebut pun belum
mendapatkan pembayaran dari kliennya.Di DKI Jakarta, ikan cakalang
ekspor yang biasanya di jual Rp12.500Rp14.000 per kg saat krisis
turun menjadi Rp8.000 per kg. Akibatnya, nelayan mengurangi
pembelian solar dari 1520 metrik ton untuk keperluan satu bulan
menjadi 1015 metrik ton yang hanya digunakan untuk melaut selama 20
hari saja. Secara keseluruhan, ekspor hasil perikanan pada 2009
yang ditargetkan mencapai US$2,8 miliar dikhawatirkan tidak dapat
tercapai akibat kekurangan pasokan.Dampak terhadap Subsektor
Peternakan UnggasSecara tidak langsung, dampak KKG 2008/09 juga
menyentuh subsektor peternakan unggas karena penurunan daya beli
konsumen, khususnya akibat turunnya harga berbagai komoditas
pertanian di luar Jawa, menyebabkan turunnya permintaan terhadap
produk unggas. Selama krisis, permintaan harian terhadap ayam
pedaging turun 10%15%. Di Sumatra Selatan, kesulitan peternak
bertambah karena harga ayam petelur usia satu hari (day old
chick/DOC) yang biasanya hanya Rp4.000Rp4.500 per ekor naik menjadi
Rp10.000 per ekor. Turunnya daya beli konsumen juga mendorong
terjadinya substitusi sumber protein dari daging dan ikan ke telur.
Pada 2009, diperkirakan bahwa produksi telur akan meningkat 5% dari
total produksi telur tahun sebelumnya dan mencapai 860.000 ton.
Komentar :Perekonomian di Indonesia pernah mengalami krisis
tepatnya pada tahun 2008. Hal itu diakibatkan anjloknya komoditas
unggulan Indonesia yaitu kelapa sawit dan karet. Terjadinya
keanjlokan ini mengakibatkan daya ekspor Indonesia melemah sehingga
mengurangi pendapatan petani. Pemerintah baiknya melihat sejarah
pertanian di Indonesia, mengapa tahun-tahun yang lalu kita mampu
mengadakan ekspor tetapi mengapa sekarang ini hamper semua komoditi
yang ada di Indonesia juga di impor kedalam negeri.Impor memiliki
dampak pada berbagai sektor seperti sektor tanaman pangan, sektor
perkebunan, sektor peternakan dan lain-lain. Hal yang diakibatkan
dari impor tersebut yaitu turunnya harga dari komoditi yang dipanen
oleh petani sehingga petani mengalami kerugian.Banyak hal yang
dapat dilakukan oleh pemerintah guna mencegah hal tersebut, salah
satunya yaitu dengan mengamati secara langsung ke lapangan apa
permasalahan petani sehingga tidak dapat memenuhi standard panen
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Pemerintah juga harus bekerja
sama dengan pemerintah daerah agar semua dapat terlaksana dengan
baik sehingga peristiwa tahun sebelumnya dimana Indonesia bias
mengekspor bahan pangan dengan kualitas baik dapat terulang dan
Indonesia tidak perlu lagi mengimpor kedalam negeri.
Minyak Kelapa Sawit Menguasai Pasar Dunia
Sejak beberapa tahun ini sejumlah organisasi mitra Brot fr die
Welt dan Vereinte Evangelische Mission di Indonesia menunjukkan
perhatian khusus terhadap masalah yang saat ini sangat mendesak
yakni: semakin meluasnya perkebunan-perkebunan kelapa sawit di
Indonesia. Hal ini berarti terjadinya penggundulan hutan hujan
tropis seluas jutaan hektar serta penggusuran penduduk setempat.
Pada tahun-tahun belakangan ini, Indonesia menjadi penghasil minyak
kelapa sawit terbesar di dunia dan bersama dengan Malaysia memasok
90 % dari jumlah total yang diperdagangkan di pasar internasional.
Demikian juga negara Jerman terus mencatat kenaikan impor minyak
kelapa sawit yang hingga kini hampir mencapai satu juta ton per
tahun ( 2008 ). Oleh karena itu, untuk menghindari dampak-dampak
negatif dari produksi minyak kelapa sawit, diperlukan adanya
kriteria-kriteria yang menjamin produksi minyak kelapa sawit yang
berkelanjutan. Kriteria-kriteria tersebut harus berlaku secara
global, memperhatikan aspek sosial dan ramah lingkungan, sehingga
dapat menjadi acuan dalam penggunaan minyak kelapa sawit sebagai
bahan makanan, sebagai bahan bakar atau dalam industri-industri
kimia. Penggunaan terbanyak minyak kelapa sawit terdapat dalam
industri pangan. Sebagian besar bahan-bahan makanan di pasar
swalayan mulai dari margarin sampai pizza siap saji mengandung
minyak kelapa sawit, yang dalam daftar kandungan biasanya
disamarkan dengan nama minyak nabati. Bahkan saat membeli lipstik,
sabun cuci atau lak, banyak konsumen yang tidak sadar, bahwa semua
itu mengandung minyak kelapa sawit. Di samping itu, minyak kelapa
sawit juga dapat digunakan sebagai bahan bakar untuk pembangkit
tenaga listrik atau diolah menjadi biodiesel untuk kendaraan.
Diminati Seluruh DuniaDalam tigapuluh tahun terakhir, jumlah
konsumsi minyak nabati di seluruh dunia meningkat tiga kali lipat.
Diantara komoditas utama minyak nabati, minyak kelapa sawit jauh
meraih tingkat pertumbuhan paling tinggi: produksinya mencapai
hingga sepuluh kali lipat, sehingga besarnya jumlah konsumsi minyak
kelapa sawit diantara minyak nabati lainnya telah mencapai 34
persen yang tadinya hanya 11 persen. Bahkan kalau produksi minyak
biji sawit ikut dihitung, maka besarnya mencapai 38 persen (Teoh
2010:7). Minyak kelapa sawit dapat diperoleh dari daging buah
kelapa sawit itu sendiri atas dari perasan biji sawitnya yang
disebut dengan minyak biji sawit.
Gambar 05. Produksi Minyak NabatiPerlu Perawatan KhususAslinya
tumbuhan kelapa sawit berasal dari Afrika. Namun sekarang kelapa
sawit juga sudah banyak ditanam di Amerika dan terutama di Asia
Tenggara. Tumbuhan kelapa sawit membutuhkan iklim lembab tropis dan
dapat menghasilkan hingga ribuan buah hanya pada satu pohon,
sehingga beratnya dapat mencapai 50 kg. Karena lemak yang terdapat
dalam buah kelapa sawit cepat sekali rusak akibat suatu enzym, maka
setelah panen, buah kelapa sawit tersebut harus diolah dalam waktu
24 jam. Biasanya pohon kelapa sawit pertama kali berbuah sesudah
berumur 3 4 tahun dan pada umur 10 18 tahun kelapa sawit
menghasilkan panen yang maksimal. Investasi yang diperlukan untuk
satu hektar lahan kelapa sawit hingga perolehan panen pertamanya
berkisar antara 4000 8000 USD (USDA 2009; World Bank 2010:
28).Faktor-faktor seperti kualitas dan umur pohon kelapa sawit,
perawatan perkebunan, ketersediaan pupuk dan obat semprot sangat
menentukan jumlah panen. Hasil panen minyak dari dua negara penanam
kelapa sawit terbesar yaitu Malaysia dan Indonesia masing-masing
pertahun 4,1 ton / hektar dan 3,5 ton / hektar. Para ahli bahkan
menaksir sampai 8 ton minyak per hektar (Teoh 2010: 25; USDA 2009).
Dengan demikian jumlah panennya jauh lebih besar dibandingkan
dengan hasil panen tumbuhan lain yang juga menghasilkan minyak.
Berdas- arkan perkiraan, pohon kelapa sawit ditanam hanya pada
areal seluas 5 persen dari keseluruhan areal untuk tumbuhan
penghasil minyak nabati lainnya, tetapi mampu menghasilkan produksi
sejumlah 38 persen dari total panen minyak nabati di seluruh dunia
(Nestl 2010).Tabel 1: Produksi minyak (hasil panen dalam kilogram
per hektar)Kelapa sawit3.500 8.000
Lobak (rapa)1.000
Kacang tanah980
Bunya matahari800
Kelapa395
Kacang kedelai375
Kapas173
Wijen159
Sumber: CIFOR 2009: 11 / USDA 2009Lahan Tanam, Produksi dan
EksporData mengenai luas lahan kelapa sawit sangat bervariasi,
tergantung sumbernya. Departemen Pertanian Amerika Serikat
memperkirakan bahwa Indonesia pada tahun 2009 telah menanam kelapa
sawit pada lahan seluas kira- kira 7,3 juta hektar.
Organisasi-organisasi non-pemerintah bahkan memperhitungkan sampai
9,2 juta hektar (USDA 2009; SPKS 2010). Dinas pemerintah di
Malaysia menaksir lahan perkebunan di Malaysia mencapai 4,7 juta
hektar pada akhir tahun 2009 (Husain 2010). Indonesia melonjak naik
menjadi produsen ekspor minyak kelapa sawit terbesar di dunia. Pada
musim panen 2009/10 negara kepulauan ini menghasilkan 21 juta ton
minyak kelapa sawit, yaitu hampir separuh dari produksi minyak
kelapa sawit dunia yang berjumlah 45 juta ton. Sebanyak 18 juta ton
lainnya berasal dari Malaysia. Di samping minyak kelapa sawit yang
dihasilkan dari perasan buah kelapa sawit, pada tahun panen 2009/10
juga terhitung 5,3 juta ton minyak biji sawit yaitu minyak dari
perasan biji sawit yang masuk ke pasar dunia. Indonesia mendominasi
pasar ini dengan 2,3 juta ton produksi, disusul Malaysia dengan
angka 2,1 juta ton (USDA 2010a; Toepfer 2009: 35).Lebih dari 90
persen ekspor dunia berasal dari Malaysia dan Indonesia. Patut
diamati bahwa Indonesia mengalami pertumbuhan ekspor yang luar
biasa antara tahun 2003 dan 2010 yaitu berlipat ganda menjadi 16,2
juta ton (musim panen 2009 / 2010) dan berdasarkan perkiraan akan
terus meningkat (Tabel 2).Tabel 2: Ekspor Minyak kelapa sawit
(dalam 1000 ton)1982 841992 942003 / 0412010 / 11
Dunia4.53610.11321.61037.440
Indonesia4351.8157.85618.000
Malaysia2.9816.29111.60216.100
Benintidak ada datatidak ada datatidak ada data480
Papua Nuginitidak ada datatidak ada datatidak ada data426
Thailandtidak ada datatidak ada datatidak ada data312
1 Perkiraan
Multi GunaSalah satu sebab meningkatnya pemakaian minyak kelapa
sawit adalah karena kegunaannya yang sangat beragam. Mulai dari
penggunaannya untuk kebutuhan rumah tangga seperti minyak goreng
dan lemak, sampai penggunaannya dalam produk-produk industri
seperti margarin, kue-kue kering, gula-gula, produk sereal,
delikates dan mayones. Lebih lanjut, minyak kelapa sawit dipakai
dalam industri-industri kimia untuk mem- produksi cat, sabun, sabun
cuci, produk-produk farmasi, minyak hidrolis dan minyak pelumas
hingga peng- gunaannya sebagai bahan bakar. Pada pembangkit tenaga
listrik yang digerakkan oleh bahan bakar minyak nabati, maka
tergantung dari modelnya, ada minyak kelapa sawit yang dapat
digunakan langsung tanpa perlu melakukan banyak perubahan teknis.
Namun untuk kendaraan yang mengunakan biodiesel, sebagai bahan
bakarnya, maka minyak kelapa sawit -karena sifat kimianya- hanya
dapat dipakai dalam jumlah kecil saja di dalam biodiesel. 71 persen
dari minyak kelapa sawit dan minyak biji sawit dipergunakan dalam
produksi bahan-bahan makanan, 24 persen untuk memproduksi barang
kebutuhan sehari- hari seperti sabun, kosmetik, lilin dan
sebagainya, dan sisanya 5 persen digunakan untuk menghasilkan
energi (Agentur fr Erneuerbare Energie 2010: 20).Di negara-negara
Uni Eropa besarnya tingkat penggunaan minyak kelapa sawit untuk
keperluan industri berjumlah sekitar 45 persen, jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan jumlah rata-rata penggunaan minyak kelapa sawit
untuk keperluan industri dari negara-negara di luar Uni Eropa.
Demikian juga Cina dan negara-negara Asia Tenggara mencatat
penggunaan minyak kelapa sawit dalam industri sebesar 35 persen.
Sedangkan di India dan di Timur Tengah, minyak kelapa sawit
terutama hanya digunakan sebagai bahan pangan (USDA 2010a: Tabelle
24 28).Lebih dari separuh impor dunia masuk ke negara-negara
seperti Cina, India, Uni Eropa dan Pakistan. Cina dan India
masing-masing mengimpor minyak kelapa sawit sebesar 6,3 juta ton
dan 7,6 juta ton (2010 / 2011), melebihi angka impor untuk 27
negara-negara Uni Eropa yang hanya berjumlah 5,4 juta ton. Sejak
tahun 2003 angka impor ke negara-negara tersebut terus naik
melampaui angka impor ke negara-negara Uni Eropa.Tabel 3: Impor
minyak kelapa sawit dalam 1.000 ton1982 841992 942003 / 042010 /
111
Dunia4.3369.48921.73336.770
India6282373.4867.600
Cina321.2963.7106.250
Uni Eropa840 21.668 33.3715.400
Pakistan3811.0511.2972.300
Malaysiatidak ada datatidak ada datatidak ada data1.250
Amerika Serikattidak ada datatidak ada datatidak ada
data1.025
Bangladeshtidak ada datatidak ada datatidak ada data900
Mesirtidak ada datatidak ada datatidak ada data850
Irantidak ada datatidak ada datatidak ada data620
Jepangtidak ada datatidak ada datatidak ada data580
Lain laintidak ada datatidak ada datatidak ada data9.995
1 Perkiraan; 2 dulu 10 negara anggota Uni Eropa; 3 15 negara
anggota Uni Eropa
Masalah yang kompleks di IndonesiaPada tahun 2008 tercatat
sekitar 1,5 juta petani kecil di Indonesia yang menanam kelapa
sawit dalam lahannya yang rata-rata hanya seluas 2 hektar. Sebagai
bandingan, besarnya lahan yang dimiliki para pengusaha besar
perkebunan dapat mencapai lebih dari 200.000 hektar (World Bank
2010: 14 23, USDA 2009). Sejumlah pemilik modal utama dari
perusahaan-perusahaan kelapa sawit tersebut terhitung sebagai
orang-orang terkaya di Indonesia. Perusahaan-perusahaan raksasa
tersebutlah yang merupakan motor dari semakin meluasnya lahan
perkebunan di Indonesia (FoE / Walhi 2009; EIA / Telepak 2009;
Greenpeace 2010).Hukum lemahSebenarnya hutan Indonesia dilindungi.
Tetapi pemerin- tah mengizinkan penebangan hutan untuk keperluan
perkebunan. Hal ini dimanfaatkan dengan baik oleh
perusahaan-perusahaan besar dengan menebangi hutan, namun tidak
membuka perkebunan. Diperkirakan hampir 12 juta hektar telah
ditebang tanpa ditanami (World Bank 2010:14). Selalu saja terjadi
pelanggaran hukum di lokasi-lokasi perkebunan kelapa sawit. Dalam
25 tahun terakhir ini, propinsi Riau di Sumatra kehilangan areal
hutannya sebesar 65 persen untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit
atau perkebunan akasia. Penebangan hutan bahkan juga terjadi di
tempat-tempat yang sebenarnya termasuk dalam kawasan hutan lindung
(WBGU 2008: 81).Di pulau Kalimantan, di bagian wilayahnya yang
termasuk ke dalam negara Indonesia, juga sering ditandai dengan
pelanggaran hukum, korupsi dan kekerasan (FoE / Walhi 2009),
demikian juga di Papua (EIA/Telepak 2009). Jika terjadi pelanggaran
hukum, maka perusahaan- perusahaan tersebut kerap mendapat dukungan
dari aparat keamanan. Disinyalir adanya dugaan praktek korupsi
dalam politik, dalam pemerintah daerah dan juga dalam aparat hukum
(Marti 2008). Dalam indeks korupsi yang disusun oleh organisasi
non-pemerintah Trans parency International, Indonesia memperoleh
angka 2,8 dari total nilai 10 dan dengan demikian menduduki
peringkat 111 dari 180 negara-negara yang disurvei tingkat
korupsinya di dunia (TI 2010 262 267, TI 2010: 49).Penebangan Hutan
Hujan TropisSaat ini Indonesia merupakan negara ketiga terbesar di
dunia yang mengeluarkan emisi gas-gas rumah kaca yang membahayakan
iklim. 85 persen dari gas-gas tersebut dihasilkan akibat
penggarapan lahan yang sebagian besar dilakukan dengan penebangan
hutan hujan tropis dan perusakan tanah gambut (Greenpeace 2010a:
1). Selain itu banyak habitat tumbuh-tumbuhan dan hewan langka yang
ikut punah karena tidak dapat bertahan dalam lingkungan monokultur
perkebunan kelapa sawit.Berdasarkan perkiraan Bank Dunia, terdapat
70 persen perkebunan kelapa sawit yang dibangun di atas areal hutan
(4,2 juta hektar), 25 persen bahkan dibangun di atas lahan gambut
(World Bank 2010: 14). Hanya sepertiga dari perusahaan-perusahaan
yang menggunakan lahan tandus atau lahan yang sebelumnya ditanami
dengan dengan tumbuhan lain (UNEP 2009: 65). Pada tahun- tahun
terakhir, besarnya lahan gambut yang dipakai untuk perkebunan baru
meningkat paling tidak menjadi 33 persen, di Riau, Sumatra bahkan
mencapai 80 persen (Edwards / Mulligan / Marelli 2010:
141).Walaupun demikian, pemerintah Indonesia masih menganggap
mungkin untuk memperluas perkebunan sampai 24 juta hektar (Tabel
4).Jaminan pangan terancamMenurut Bank Dunia, secara teori
Indonesia mempunyai hampir 20 juta hektar tanah yang tidak
digunakan atau tanah yang tidak produktif (World Bank 2010: 14 15).
Walaupun demikian, banyak perusahaan-perusahaan sawit raksasa yang
tetap memilih areal hutan untuk membuka perkebunan baru. Hal ini
dikarenakan tanah hutan tidak memerlukan pupuk yang banyak jika
dibandingkan dengan tanah tandus, sehingga mereka bisa memetik
keuntungan yang lebih besar (UNEP 2009: 64). Selain itu, hasil
penjualan dari penebangan kayu dapat dijadikan modal awal untuk
membuka perkebunan.Perambahan hutan untuk perkebunan-perkebunan
baru di Indonesia telah menyebabkan timbulnya perlawanan keras dari
penduduk. Hal ini dikarenakan hutan masih berfungsi sebagai pemberi
kehidupan bagi penduduk sekitarnya. Bahkan pada tanah kosong yang
sepintas lalu berkesan tandus dan tidak produktif tetap merupakan
sumber kehidupan penting untuk menjamin kelangsungan hidup manusia
di sekitarnya (Colchester et al. 2006, FoE/I 2009, EIA/Telepak
2009).Tabel 4: Besar lahan potensial untuk perluasan perkebunan
berdasarkan wilayahKalimantan10,3 juta ha
Sumatra7,2 juta ha
Papua6,3 juta ha
Sulawesi0,37 juta ha
Java0,29 juta ha
Pengabaian Hak Asasi ManusiaSituasi di Papua menunjukkan bahwa
hak asasi manusia merupakan masalah mendasar bagi kita semua.
Bagian barat dari pulau Nugini ini termasuk ke dalam wilayah
Indonesia. Luas Papua meliputi sekitar 422.248 km, lebih luas dari
negara Jerman dan sebagian besar masih tertutupi dengan hutan.
Pemerintah Indonesia memperkirakan 5 sampai 9,3 juta hektar lahan
di Papua bisa ditanami dengan kelapa sawit (Klute 2008: 7).
Banyaknya kesimpangsiuran dalam pemerintahan propinsi dan dalam
reformasi pemerintah daerah, korupsi serta kebijakan politik
tertentu dari pemerintah pusat di Jakarta menyebabkan terhambatnya
pembentukan konsep penggunaan hutan yang berkelanjutan. Sementara
ini sangat tidak memungkinkan untuk mendapatkan data yang akurat
tentang lokasi penebangan hutan atau lokasi perkebunan yang
mendapat izin resmi atau tanpa izin resmi dari pemerintah. Oleh
karena itu, hak-hak penduduk asli di banyak wilayah diabaikan
begitu saja.Masyarakat Indonesia sendiri tidak mendapat keuntungan
yang banyak dari sektor produksi baru ini. Harga-harga sewa tanah
jauh di bawah harga pasaran yang sebenarnya. Untuk mendapatkan izin
penggunaan tanah, masyarakat dijanjikan dengan pendirian
sekolah-sekolah, pengadaan listrik dan rumah baru sebuah janji yang
jarang sekali ditepati. Banyak orang yang tidak mengerti dengan apa
yang telah ditandatanganinya, bahkan tidak tahu, sejauh mana dan
resiko apa saja yang bisa terjadi dengan pemberian tanda tangan
mereka tersebut. Perusahaan- perusahaan yang bekerja dengan cara
seperti ini menjalin hubungan yang sangat erat dengan para
politikus, sehingga penduduk biasa tidak akan berdaya sama sekali
melawan mereka (EIA/Telepak 2009: 1).Konflik berikutnya yang muncul
adalah tingginya arus pendatang. Penanaman kelapa sawit adalah
suatu proses kerja yang sangat intensif. Untuk lahan seluas seribu
hektar dibutuhkan sekitar 350 pekerja (World Bank 2010: 28). Saat
ini propinsi Papua memiliki sekitar 2,9 juta penduduk. Seandainya
perkebunan kelapa sawit benar- benar akan dikembangkan seluas 5
juta hektar, maka untuk itu akan dibutuhkan sekitar 1,75 juta
tenaga kerja yang sebagian besar harus didatangkan dari daerah-
daerah lain di Indonesia. Akibatnya akan menambah ketegangan yang
memang sudah ada diantara penduduk asli dan para pendatang
(EIA/Telepak 2009: 7-8).Berdasarkan perkiraan, terdapat hampir 3
juta orang di Indonesia yang bekerja di perkebunan kelapa sawit
(Teoh 2010: 9). Di samping pekerja tetap, terdapat pekerja musiman
atau pekerja harian yang direkrut untuk perkebunan-perkebunan
tersebut. Banyak diantara mereka yang bekerja dalam kondisi kerja
yang sangat buruk, terutama para pekerja perempuan. Seringkali upah
yang dibayarkan di bawah rata-rata upah minimum yang telah
ditetapkan. Selain itu, pemakaian pupuk dan pestisida sangat
beresiko terhadap kesehatan para pekerja yang biasanya bekerja
tanpa memakai baju pelindung dan tanpa pengarahan yang memadai
(Mardi 2008: 76-84).Mendukung metode yang berkelanjutanBanyaknya
kritik terhadap dampak pengembangan kebun kelapa sawit telah
menyebabkan dibentuknya Roundtable on Sustainable Palm Oil, RSPO
pada tahun 2003, yaitu suatu forum untuk membahas produksi minyak
kelapa sawit secara berkelanjutan. Yang terlibat di dalamnya adalah
sejumlah perusahaan dan perkumpulan sektor kelapa sawit, para
pengusaha industri minyak kelapa sawit serta organisasi-organisasi
non-pemerintah.Tujuannya adalah untuk mewujudkan metode penanaman
kelapa sawit yang berkelanjutan. Pada tahun 2009 terhitung 1,4 juta
ton minyak kelapa sawit bersertifikat RSPO yang masuk ke pasar
dunia. Angka tersebut mencakup 3,2 persen dari kesuluruhan panen
dunia. Jumlah ini diharapkan akan berlipat ganda pada tahun 2010.
Namun demikian banyak kritik tajam yang berulang kali dilontarkan
pada RSPO. Greenpeace mengkritik kriteria- kriteria yang disusun
RSPO tidak cukup ketat. Selain itu organisasi-organisasi lingkungan
hidup berhasil membuktikan adanya kelompok perusahaan yang walaupun
pada sebagian produksinya telah memiliki sertifikat RSPO, namun
perusahaan-perusahaan cabang lainnya tetap menebangi hutan-hutan
tropis untuk memperluas lahan perkebunannya.Oleh karena itu,
sekumpulan perusahaan yang bergerak di sektor pangan seperti Nestl,
Rewe dan Edeka berusaha menyusun sebuah standar yang jauh melampaui
ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan RSPO (Burger 2010).Dampak
Biodiesel terhadap IklimPenggunaan minyak kelapa sawit dapat
dikembangkan lebih lanjut yaitu untuk menghasilkan energi. Dalam
hal ini yang menjadi perdebatan adalah dampak peng- gunaannya
terhadap iklim dunia. Pada saat pembakaran biodiesel dari minyak
kelapa sawit, jumlah karbon dioksida yang dilepaskan memang tidak
lebih besar dari jumlah karbon dioksida yang diikat sebelumnya oleh
tumbuh-tumbuhan tersebut. Namun harus diingat bahwa pada saat
tanam, panen, peras, transportasi atau pada pengolahan lanjutan,
banyak terbuang gas-gas rumah kaca yang dapat mempengaruhi iklim.
Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa pada pembakaran minyak
kelapa sawit untuk energi, dihasilkan emisi gas rumah kaca yang
jauh lebih kecil dibandingkan dengan jumlah emisi yang dikeluarkan
dari bahan bakar fosil (IFPRI 2010;64 66). Analisa lainnya
menyebutkan bahwa neraca iklim yang positif hanya dapat dicapai,
jika penanaman kelapa sawit dilakukan pada lahan yang sebelumnya
tidak digunakan dan tidak pada lahan hutan.Yang lebih diperdebatkan
lagi adalah jika melihat dampak tidak langsung yang disebabkan oleh
penggunaan minyak kelapa sawit untuk menghasilkan energi. Untuk
setiap satu liter minyak nabati yang digunakan dalam campuran
biodiesel sebagai bahan bakunya, maka harus dibayar dengan lahan
perkebunan yang cukup luas. Hal ini menyebabkan terdesaknya
ekosistem yang kaya akan karbon seperti hutan dan tanah gambut yang
sebenarnya bisa digunakan untuk menanam bahan pangan yang lain atau
untuk menghasilkan produk-produk pertanian lainnya. Sejumlah
penelitian menyimpulkan bahwa penggunaan minyak kelapa sawit untuk
menghasilkan energi mempunyai dampak yang negatif terhadap iklim
(ko-Institut 2010: 17; Bowyer 2010).Permintaan meningkatDi Eropa,
tingkat konsumsi minyak dan lemak nabati terhitung sebesar 59,3 kg
per orang per tahun, sementara jumlah konsumsi rata-rata di seluruh
dunia hanya 23,8 kg per orang. Negara-negara berkembang seperti
India, Pakistan atau Nigeria mengkonsumsi jumlah yang jauh lebih
sedikit: India (13,4 kg), Pakistan (19,9 kg) dan Nigeria (12,5 kg).
Namun akibat pertambahan penduduk yang sangat pesat di
negara-negara tersebut telah menyebabkan meningkatnya kebutuhan
akan minyak kelapa sawit. Selain itu, seiring dengan membaiknya
ekonomi seseorang, maka banyak konsumen yang beralih dari
penggunaan minyak nabati bermutu rendah ke minyak kelapa sawit yang
mutunya lebih baik.Diperkirakan sampai tahun 2020, kebutuhan dunia
terhadap minyak nabati akan bertambah hingga sebesar 27,7 juta ton.
Untuk menutupi kebutuhan tersebut diperlukan lahan untuk
memproduksi minyak kelapa sawit sebesar 6,3 juta hektar atau lahan
untuk minyak kedelai seluas 42 juta hektar (Teoh 2010: 9
10).Biodiesel memicu permintaan15 persen dari produksi minyak
nabati dunia digunakan sebagai bahan bakar. Sejak tahun 2003,
penggunaannya terus meningkat dari sekitar 2 juta ton menjadi 18
juta ton pada tahun panen 2009 / 2010. Dari jumlah tersebut 1,8
juta ton adalah minyak kelapa sawit. Memang jumlah ini masih
terhitung relatif sedikit jika dibandingkan dengan hasil panen
dunia dari minyak kelapa sawit dan minyak biji sawit yang berjumlah
sekitar 50 juta ton. Walaupun demikian, lima tahun sebelumnya belum
ada minyak kelapa sawit yang diolah untuk bahan bakar (Nestl
2010).Kalau seandainya semua rencana yang bertujuan untuk
menggunakan minyak nabati sebagai bahan campuran dalam biodiesel
terlaksana, maka tingkat kebutuhannya akan melonjak drastis. Dan
jika hanya mengambil minyak kelapa sawit saja sebagai bahan
campuran biodiesel, maka akan diperlukan perkebunan kelapa sawit
seluas 4 juta hektar, itupun hanya cukup untuk menutupi kebutuhan
di Uni Eropa (Teoh 2010: 10; IFPRI 2010: 114).Terlepas daripada
itu, permintaan minyak kelapa sawit tetap akan terus bertambah. Hal
ini disebabkan oleh semakin banyaknya minyak nabati lain yang
diolah sebagai bahan bakar dan tidak lagi digunakan sebagai bahan
makanan (IFPRI 2010: 26).Karena harga minyak kelapa sawit relatif
rendah, maka kebutuhan minyak nabati yang terus meningkat akan
ditutup dengan minyak kelapa sawit. Penawaran terbesar untuk
memasok minyak kelapa sawit datang dari Indonesia. Berdasarkan
kecendrungan selama ini, maka di Indonesia akan dibangun sampai 9
juta hektar perkebunan dalam sepuluh tahun mendatang. Sebagian
besar perkebunan itu dibangun dengan menebangi hutan-hutan tropis
(Greenpeace 2010a: 43).Tuntutan-tuntutanPada bulan Agustus 2010,
sekumpulan organisasi non- pemerintah Indonesia menyusun
tuntutan-tuntutan untuk diajukan pada pemerintah dan juga ditujukan
pada perusahaan-perusahaan bisnis kelapa sawit. Tuntu- tan-tuntutan
tersebut antara lain adalah:1. Ganti rugi atas kerusakan-kerusakan
yang telah ditimbulkan: masalah terbesar adalah perampasan tanah
penduduk asli dan konflik-konflik lahan. Pemerintah seharusnya
menanggapi dengan serius persoalan-persoalan yang terjadi tersebut
dan harus bekerja keras agar hal itu tidak terulang lagi di masa
yang akan datang.2. Memperketat aturan-aturan dan penegakan hukum:
setiap investasi di sektor kelapa sawit harus sesuai dengan standar
internasional, antara lain patuh pada undang-undang nasional dan
perjanjian internasional. Selain itu harus melampirkan surat
rekomendasi yang mencakup dampak sosial dan lingkungan dari
investasi tersebut serta uraian hasil pelaksanaannya. Pemin- dahan
paksa penduduk harus dihindari dan pelepasan tanah harus
berdasarkan proses hukum dan adanya persetujuan sukarela.
Menghindari terjadinya konflik wilayah dan mencari solusi atas
konflik-konflik yang sudah ada dengan menghormati hak-hak penduduk
asli. Bagi masyarakat yang bersangkutan, sebelumnya harus diberikan
informasi yang menyeluruh sehingga mereka bisa dengan bebas dan
sukarela menyatakan penolakan atau persetuju