STUDI HUKUM TERHADAP PELAKU KELALAIAN KEPEMILIKAN SENJATA API ILEGAL (Analisis Putusan Pengadilan Nomor 4/Pid.B/2020/PN Bnt) Skripsi Di ajukan kepada Fakultas Syariah & Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H) Oleh: AHMAD SYAIFULLOH NIM: 11140450000090 PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM FAKULTAS SYARIAH & HUKUM UIN SYARIFHIDAYATULLAH JAKARTA 2021/1442 H
102
Embed
STUDI HUKUM TERHADAP PELAKU KELALAIAN KEPEMILIKAN SENJATA …
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
STUDI HUKUM TERHADAP PELAKU KELALAIAN KEPEMILIKAN
SENJATA API ILEGAL
(Analisis Putusan Pengadilan Nomor 4/Pid.B/2020/PN Bnt)
6 Wijono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, h., 9.
7 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, h., 22.
21
b. Jenis-Jenis Tindak Pidana
Macam-macam jenis tindak pidana dapat dibedakan menjadi beberapa bagian
yaitu:
1) Delik kejahatan dan delik pelanggaran
Delik kejahatan adalah perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan
keadilan, terlepas apakah perbuatan itu diancam pidana dalam suatu undang-
undang atau tidak. Sementara pelanggaran adalah perbuatan yang oleh masyarakat
baru disadari sebagai perbuatan pidana karena undang-undang merumuskannya
sebagai delik. Perbedaan keduanya terletak pada sistematika KUHP: buku II
memuat delik-delik yang disebut dengan kejahatan (misdrijven), sedangkan buku
III KUHP memuat delik-delik yang disebut pelanggaran (overtredingen).8
2) Delik formil dan delik materil
Tindak pidana formil adalah perbuatan pidana yang perumusannya
dititikberatkan pada perbuatan yang dilarang yaitu tindak pidana telah dianggap
selesai dengan telah dilakukannya perbuatan yang dilarang oleh undang-undang
tanpa mempersoalkan akibatnya. Sementara tindak pidana materil adalah
perbuatan pidana yang perumusannya dititkberatkan pada akibat yang dilarang.
Tindak pidana baru dianggap telah selesai apabila akibat yang dilarang itu telah
terjadi.9
Contoh tindak pidana formil terdapat dalam Pasal 362 KUHP tentang
pencurian. Dengan melakukan perbuatan berupa “mengambil, maka perbuatan
tersebut sudah menjadi delik selesai. Sedangkan contoh tindak pidana materil
adalah pembunuhan. Pembunuhan dikatakan telah selesai setelah adanya orang
mati.
3) Delik aduan dan delik bukan aduan
8Franz Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press,
2013), h. 69. 9Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jogjakarta: Bumi Aksara, 2015), h. 102
22
Delik aduan adalah delik yang hanya dapat dituntut jika ada pengaduan dari
pihak yang berkepentingan. Jika tidak ada pengaduan, maka perbuatan itu tidak
dapat dituntut di depan pengadilan. Delik aduan dibedakan dalam dua jenis, yaitu
delik aduan absolute dan delik aduan relative. Delik aduan absolute adalah delik
yang mempersyaratkan secara absolute adanya pengaduan untuk penuntutannya.
Sedangkan delik aduan relative adalah delik yang dilakukan masih dalam
lingkungan keluarga.
Dalam KUHP, aturan umum tentang delik aduan diatur dalam Buku I Bab VII
dalam Pasal 72-75. Adapun delik bukan aduan atau delik biasa, adalah delik yang
tidak mempersyaratkan adanya pengaduan untuk penuntutannya.10
4) Delik sengaja dan delik kealpaan
Delik sengaja adalah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja. Contohnya Pasal
338 KUHP yang menentukan bahwa barangsiapa dengan sengaja merampas
nyawa orang lain diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama
15 tahun. Sedangkan delik kealpaan adalah perbuatan yang dilakukan dengan
kealpaan atau culpa. Contohnya dalam Pasal 359 KUHP yang menentukan bahwa
barangsiapa karena kealpaan menyebabkan matinya orang, diancam pidana
penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.
5) Delik komisi dan delik omisi
Delik komisi atau commise delict adalah delik yang mengancamkan pidana
terhadap dilakukannya suatu perbuatan berupa perbuatan aktif. Dengan kata lain,
delik komisi adalah delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan yaitu berbuat
sesuatu yang dilarang. Sedang delik omisi adalah delik berupa pelanggaran
terhadap perintah, yaitu tidak berbuat sesuatu yang diperintah.
Contoh delik komisi adalah adanya norma yang bersifat larangan seperti pasal
pencurian. Seseorang diancam pidana karena melakukan sesuatu, yaitu mengambil
suatu barang. Sementara contoh delik omisi terdapat dalam Pasal 531 KUHP yang
10
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, h. 102.
23
mengancam pidana terhadap seseorang yang melihat orang lain dalam keadaan
maut namun tidak memberikan pertolongan.
6) Delik selesai dan delik percobaan
Delik selesai adalah perbuatan yang sudah memenuhi semua unsur dari suatu
tindak pidana. Sedangkan delik percobaan adalah delik yang pelaksanaannya tidak
selesai. Hanya saja dalam KUHP tidak memberikan defenisi pasti tentang
percobaan atau poging.11
7) Delik berlangsung terus menerus dan delik tidak berlangsung terus
Perbuatan pidana yang berlangsung terus menerus memiliki ciri bahwa
perbuatan yang terlarang itu terus berlangsung. Misalnya, delik merampas
kemerdekaan seseorang. Sedangkan perbuatan pidana yang tidak berlangsung
terus menerus adalah perbuatan pidana yang memiliki ciri bahwa keadaan yang
terlarang itu tidak berlangsung terus menerus seperti pencurian dan pembunuhan.12
c. Unsur-Unsur Tindak Pidana
Dalam perbuatan pidana, memiliki unsur-unsur sehingga dapat dibedakan
dengan perbuatan biasa. Berikut ini unsur-unsur tindak pidana menurut para ahli
hukum: Menurut Lamintang, bahwa tindak pidana yang terangkum dalam KUHP
umumnya unsur-unsurnya menjadi dua macam yaitu unsur subjektif dan objektif.
Yang dimaksud dengan unsur-unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada
diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku termasuk segala sesuatu
yang terkandung dalam hatinya. Sementara unsur objektif adalah unsur-unsur yang
ada hubungannya dengan keadaan-keadaan dimana tindakan si pelaki itu harus
dilakukan.13
Hal yang sama dikemukakan Satochid Kartanegara bahwa unsur tindak pidana
terdiri atas unsur objektif dan unsur subjektif. Unsur objektif adalah unsur yang
terdapat di luar diri manusia yang berupa: Suatu tindakan, Suatu akibat, Keadaan
11
Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press,
2013), h. 69-82. 12
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, h. 103. 13
Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Sinar Baru, 1984), h. 183
24
(omstandigheid). Sementara unsur subjektif adalah unsur-unsur dari perbuatan yaitu:
kemampuan, dan kesalahan.14
Selanjutnya menurut Lamintang, unsur subjektif dari
suatu tindak pidana yaitu:
1) Kesengajaan (dolus) atau ketidaksengajaan (culpa);
2) Maksud atau Voornemen pada suatu percobaan atau poging;
3) Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachtteraad;
4) Perasaan takut.
Unsur objektif dari suatu tindak pidana adalah: pertama, sifat melawan hukum
atau wederrechttelijkheid. Kedua, kualitas dari pelaku, misalnya keadaan sebagai
seorang pegawai negeri. Ketiga, kausalitas yakni hubungan antara suatu tindak pidana
sebagai penyebab dengan suatu kenyataan . Menurut Moeljanto, unsur-unsur tindak
pidana antara lain: pertama, Perbuatan itu harus merupakan perbuatan manusia.
Kedua, perbuatan itu harus dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-
undang. Ketiga, perbuatan itu bertentangan dengan hukum. Ketiga, Harus dilakukan
oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan. Keempat, Perbuatan itu harus
dipersalahkan kepada si pembuat,15
akan tetapi perlu dipertegas bahwa unsur-unsur
dari strafbaar feit sangat dipengaruhi oleh oleh aliran monistis dan dualistis
sebagaimana yang telah diterangkan sebelumnya. Salahsatu penganut aliran monistis
adalah Simons. Menurutnya, unsur-unsur tindak antara lain:
1) Perbuatan manusia
2) Diancam dengan pidana
3) Melawan hukum
4) Dilakukan dengan kesalahan
5) Oleh orang yang mampu bertanggungjawab.
Dari unsur-unsur ini, Simons kemudian membedakan antara unsur objektif dan
subjektif. Unsur objektif dari strafbaar feit adalah perbuatan orang, akibat yang
14
Leden Marpaung, Asas Teori Praktik Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 10. 15
Erdianto Effendi, Hukum Pidana Indonesia Suatu Pengantar, (Bandung: PT Refika Aditama,
2011), h., 98.
25
nampak dari perbuatan, adanya keadaan tertentu yang menyertai perbuatan-
perbuatan. Sementara unsur subjektif adalah orang yang mampu bertanggungjawab,
dan adanya kesalahan. Penganut aliran dualistis, seperti H.B. Vos menyebutkan,
bahwa strafbaarfeit hanya berunsurkan kelakuan manusia dan diancam dengan
pidana dalam undang-undang. Penganut aliran dualistis di Indonesia seperti R. Tresna
juga memberikan pandangan yang sama, bahwa unsur tindak pidana meliputi
perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan diadakan
tindakan hukuman.16
Maka itu, pandangan sarjana yang beraliran dualistis dengan
tegas memisahkan antara criminal act dan criminal responsibility.17
Menurut prespektif penulis sendiri, memang sudah seharusnya diadakan
pemisahan antara perbuatan dan pertanggungjawaban pidana. Cara demikian akan
membuat pengambilan keputusan lebih sistematis dan penuh dengan tuntutan
ketelitian hakim untuk menjatuhkan putusan sebagai pertanggungjawaban pidana.
2. Tindak Pidana Dalam Hukum Islam
a. Pengertian Jarimah
Hukum pidana Islam dalam bahasa Arab disebut dengan jarimah atau jinayah
yang berasal dari kata jarama-yajrimu-jarimatan artinya “berbuat” dan “memotong”.
Secara khusus digunakan terbatas pada “perbuatan dosa” atau “perbuatan yang
dibenci”. Kata jarimah juga berasal dari kata ajrama-yajrimu artinya “melakukakn
sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran, keadilan, dan menyimpang dari jalan
yang lurus”.18
Istilah jarimah oleh sebagian ahli fiqh dianggap sama dengan istilah jinayah.
Menurut Wahbah Al-Zulhaili jarimah berarti dosa, kemaksiatan, atau semua jenis
perbuatan manusia berupa kejahatan yang dilakukan. Kata jarimah dalam bentuk
16
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana: Dua Pengertian Dasar
dalam Hukum Pidana, (Jakarta: Aksara Baru, 1981), h., 13. 17
Sudarto, Hukum Pidana 1A- 1B, Fakultas Hukum Universitas Jenderal Sudirman Purwokerto,
h. 33. 18
Mardani, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Prenada Media Group, 2019), h., 1.
26
kata kerjanya disebutkan dalam firman Allah Qs. Al-Maidah (5): 8 :19
ول يرمناكم شنا ن ق وم عل ى الا ت عدلوا اعدلوا هو اق رب ي ها الاذين ا من وا كون وا ق واامي لل شهداء بلقسط ي
ر با ت عملون خبي انا الل للت اقو ى وات اقوا الل Artinya: “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang
selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan
janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk
Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan
bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan.”
Secara terminologis, jarimah merupakan larangan-larangan syara‟ yang
diancam oleh Allah dengan hukuman hudud dan takzir. Menurut Qanun no. 6 Tahun
2014 tentang Hukum Jinayat, bahwa jarimah adalah perbuatan yang dilarang oleh
syariat Islam yang dalam qanun ini diancam dengan uqubah hudud dan atau tazir.20
Menurut Qanun No. 7 Tahun 2013 tentang Hukum Acara Jinayat, jarimah adalah
melakukan perbuatan yang diperintahkan oleh syariat Islam dalam Qanun Jinayat
diancam uqubah hudud, qisash, diyat, dan atau tazir.21
Definisi jarimah menurut
fuqaha ialah melakukan perbuatan yang diharamkan dan diancam dengan sanksi
diperintahkan dan diancam dengan sanksi hukum atas tindakan tidak
melakukan.22
Menurut pendapat Al-Mawardi, jarimah (tindakan criminal) adalah semua
yang diharamkan oleh syariat. Allah Swt mencegah terjadinya tindak criminal
dengan menjatuhkan hudud atau ta‟zir kepada pelakunya. Adapun menurut Abdul
Qadir „Audah, jarimah ialah melakukan perbuatan yang diharamkan yang apabila
melakukannya mengakibatkan ancaman sanksi hukum tertentu, atau tidak melakukan
perbuatan yang dilarang, yang diancam sanksi hukum tertentu apabila tidak
19
M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: AMZAH, 2016), h., 7. 20
Qanun Aceh No. 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat 21
Qanun Aceh No. 7 Tahun 2013 tentang Acara Jinayat 22
M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, h., 10.
27
melakukannya atau dengan kata lain, melakukan atau meninggalkan (perbuatan)
yang keharamannya telah ditetapkan oleh syariat dan adanya ancaman hukuman
tertentu23
Sedangkan menurut Muhammad Abu Zahrah, jarimah ialah melakukan
perbuatan yang dilarang Allah, membangkang perintah Allah, atau dengan kata lain
membangkang terhadap perintah Allah yang ditetapkan dalam hukum syara‟ yang
mulia. Menurut kamus Al-Arabiyyah Al-Muyassarah, jarimah dalam arti luas adalah
pelanggaran terhadap prinsip-prinsip kemasyarakatan. Dalam masyarakat modern
jarimah dipahami sebagai pelanggaran terhadap undang-undang. Secara yuridis suatu
tindakan bisa dipandang sebagai pidana, tindakan itu harus dilakukan oleh orang
yang mampu mempertanggung jawabkannya, yaitu orang yang dewasa dan berakal
sehat. Sanksi pidana yang akan dikenakan kepada pelaku harus diselenggarakan oleh
pemerintah atau melalui undang-undang.24
b. Unsur-Unsur Jarimah
Menurut pendapat M. Nurul Irfan unsur-unsur jarimah jika ditinjau
berdasarkan objek utama fiqh jinayah dapat dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu:25
1) Al-rukn al-syar‟i atau unsur formil ialah unsur yang menyatakan bahwa
seseorang dapat dinyatakan sebagai pelaku jarimah jika ada undang-undang
yang secara tegas melarang dan menjatuhkan sanksi kepada pelaku tindak
pidana.
2) Al-rukn al-madi atau unsur materiil ialah unsur yang menyatakan bahwa
seseorang dapat dijatuhkan pidana jika ia benar-benar terbukti melakukan
sebuah jarimah, baik yang bersifat positif (aktif dalam melakukan sesuatu)
maupun yang bersifat negatif (pasif dalam melakukan sesuatu).
3) Al-rukn al-adabi atau unsur moril ialah unsur yang menyatakan bahwa
23
Mustofa Hasan dan Beni Ahmad Saebani, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), (Jakarta:
Pustaka Setia, 2013), h., 15. 24
M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, h., 11. 25
M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, (Jakarta: AMZAH, 2016), h., 2.
28
seseorang dapat dipersalahkan jika ia bukan orang gila, anak dibawah umur,
atau sedang berada dibawah ancaman.
Pelaku jarimah dalam unsur formal megharuskan adanya nash. Allah SWT
mengajarkan bahwa tidak akan menyiksa hamba-Nya sebelum mengutus utusan-Nya
untuk memberikan hukuman yang akan ditimpakan kepada mereka yang
membangkang ajaran Rasul Allah. Khusus jarimah ta‟zir harus ada peraturan dan
undang-undang yang telah dibuat oleh penguasa. Firman Allah SWT dalam Qs. Al-
Isra (17): 15:26
ي وما كناا معذ ها ول تزر وازرة وزر أ خرى ا يضل علي ا ي هتدى لن فسهۦ ومن ضلا فإنا مان ٱهتدى فإناعث رسول حتا ن ب
Artinya: “Barang siapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), Maka
Sesungguhnya Dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan Barangsiapa
yang sesat Maka Sesungguhnya Dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. dan
seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan
meng'azab sebelum Kami mengutus seorang rasul.”
Pada unsur materiil perbuatan melawan hukum yang benar-benar telah
dilakukan. Hadis Nabi riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah mengajarkan
bahwa Allah melewatkan hukuman untuk umat Nabi Muhammad SAW atas sesuatu
yang masih terkandung dalam hati, selagi ia tidak mengatakan dengan lisan atau
mengerjakan dengan nyata. Dalam unsur moral yang terpenting merupakan adanya
niat pelaku untuk berbuat tindak pidana atau jarimah.27
Secara garis besar unsur-unsur tindak pidana harus memenuhi syarat pada
setiap tindak pidana. Antara unsur formal, materiil dan moral saling berkaitan satu
sama lain. Dan ketiga unsur tersebut jika diklasifikasikan menjadi unsur umum
dalam sebuah tindak pidana. Menurut pendapat Asep Saepudin Jahar sebagaimana
dikutip oleh Mardani dalam unsur-unsur tindak pidana terdapat 3 hal ruang lingkup,
26
Mustofa Hasan dan Beni Ahmad Saebani, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), h.,84 27
Mustofa Hasan dan Beni Ahmad Saebani, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), h., 85.
29
yaitu:28
1) Subjek perbuatan ialah pelaku atau menyangkut pertanggung jawaban pidana,
merupakan keadaan yang membuat seseorang dapat dipidana serta alasan-
alasan dan keadaan apa saja yang membuat seseorang terbukti melakukn tindak
pidana dapat dipidana.
2) Objek perbuatan, ialah perbuatan yang dilarang dan lazim disebut sebagai
tindak pidana, perbuatan pidana atau peristiwa pidana.
3) Saksi hukuman merupakan hukuman atau sanksi yang dapat dijatuhkan kepada
seseorang yang melakukan tindak pidana dan kepadanya dianggap
bertanggungjawab.
c. Jenis-Jenis Jarimah
Ruang lingkup fiqh jinayah merupakan pondasi terpenting dalam menentukan
seseorang melakukan tindak pidana. Kajian-kajian tersebut memiliki tiga kunci
utama, sebagai berikut:
1) Jarimah Qisash,
Jarimah qisash secara bahasa berasal dari kata qashasha-yaqushshu-
qishashan yang artinya mengikuti dan menelusuri jejak kaki. Qisash berarti
menelusuri jejak kaki manusia atau hewan, dimana antara jejak kaki dan telapak kaki
pasti memiliki kesamaan bentuk. Qishash merupakan suatu ketentuan Allah
berkenaan dengan kesamaan antara perbuatan pidana dan sanksi hukumannya.
Menurut pendapat Al-Jurjani, qisash ialah mengenakan sebuah tindakan (sanksi
hukum) kepada pelaku persis seperti tindaka yang dilakukan oleh pelaku terhadap
korban. Selain itu, Al-Mu‟jam Al-Wasith mengartikan qisash dengan menjatuhkan
sanksi hukum kepada pelaku tindak pidana sama persis dengan tindak pidana yang
dilakukan; nyawa dengan nyawa dan anggota tubuh dibalas dengan anggota tubuh.29
Pada dasarnya, seseorang haram menghilangkan nyawa orang lain tanpa alasan
sya‟ra bahkan Allah mengatakan tidak ada dosa yang lebih besar lagi setelah
28
Mardani, Hukum Pidana Islam, h., 8 29
M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, h., 30.
30
kekafiran selain pembunuhan terhadap orang mukmin. Dalam Islam, pemberlakuan
hukum mati terhadap pelaku pembunuhan sengaja tidak bersifat mutlak jika korban
atau wali korban memaafkan, sehingga hukuman dapat gugur atau diganti (diyat).
Diyat merupakan hukuman pengganti (uqubah badaliah) dari hukuman asli (uqubah
ashliyah) dengan syarat adanya pemberian maaf dari korban atau wali korban.
Jarimah qisash terbatas jumlah dan hukumannya tidak mengenal batas tertinggi atau
terendah untuk setiap jarimah. Qisash mengenal hak perseorangan hanya diberikan
kepada korban atau wali korban, bahkan kepala negara tidak berkuasa memberikan
pengampunan kecuali ia merupakan wali korban. Kekuasaan hakim terbatas pada
penjatuhan hukuman apabila perbuatan yang dituduhkan dapat dibuktikan. Sebagai
pengganti penghapusan semua hukuman, hakim dapat menjatuhkan ta‟zir yang
tujuannya sebagai ta‟dib (memberi pengajaran). Sehingga qisash merupakan bentuk
hukuman bagi pelaku jarimah terhadap jiwa dan anggota badan yang dilakukan
dengan sengaja. Dalam menerapkan jarimah qisash diyat hakim harus hati-hati dan
yakin akan kesalahan terdakwa karena sifat asas legalitas jarimah sangat ketat untuk
menghindari kesalah putusan.30
Terdapat beberapa macam jarimah qisash, yaitu:31
a) Pembunuhan Sengaja (al-qathlu al-„amdu)
b) Pembunuhan Semi Sengaja (al-qathlu syibhu al-„amdi)
c) Pembunuhan Tidak Sengaja (al-qathu khata)
d) Penganiayaan Sengaja (al-jarhu al-amdu‟)
e) penganiyaan Tidak Sengaja (al-jarhu khata)
Dasar pelaksanaan qisash dari QS. Al-Baqarah (2) ayat 178:
ل ب ع ت وا ك ن ين آم ا الاذ ي ه د ي أ ب ع ل د ب ب ع ل لر وا الر ب ى ل ت ق ل اص ف ا ص ق م ال ك يه ي ل اء إ د روف وأ ع م ل اع ب اتب ء ف ي يه ش خ ن أ ه م ي ل ف ن ع م ف ى ث لن ى ب ث والن
ف م ورحة ك ن ر يف م ك تف ل ان ذ س يم بح ل اب أ ذ ه ع ل ك ف ل د ذ ع ى د ت ع ن ا م
30
Mustofa Hasan dan Beni Ahmad Saebani, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), h.,72. 31
Mardani, Hukum Pidana Islam, ..., h.12
31
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan
dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba
dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa yang mendapat suatu
pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara
yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang
memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu
keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas
sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih.”
2) Jarimah Hudud
Jarimah Hudud, kata hudud bentuk jamak dari kata had yang berarti cegahan.
Hudud merupakan hukuman yang telah ditetapkan syariat untuk mencegah
kejahatan. Menurut Imam Taqiyuddin Abi Bakar bin Muhammad al-Husaini, hudud
dapat mencegah seseorang dari perbuatan keji (dosa), dan juga karena Allah telah
menentukan hukumannya, sehingga tidak bisa ditambah dan dikurang. Dalam Qanun
No. 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat, hudud adalah jenis hukuman yang bentuk
dan besarnya telah ditentukan dalam qanun secara jelas.81
Secara mendasar terdapat
dua jenis hudud yaitu hudud yang termasuk hak Allah seperti, hudud atas jarimah
zina, meminum minuman keras, pencurian dan pembrontakan.32
Dan yang termasuk
hak manusia seperti had qadzf dan qisash. Jarimah hudud ada tujuh macam, sebagai
berikut:33
a) Jarimah Zina adalah hubungan badan yang diharamkan (diluar pernikahan) dan
disengaja oleh pelakunya. Zina terdapat dua kategori, yaitu zina muhshan
merupakan zina yang dilakukan seorang suami, istri, duda, atau janda artinya
yang masih dalam status pernikahan atau pernah menikah secara sah. Sanksi
(uqubah) dari zina muhshan adalah hukuman rajam yaitu pelaku dikubur sebatas
bahu lalu dilempari batu hingga meninggal. Yang kedua zina ghairu muhsan
merupakan zina yang pelakunya masih berstatus perjaka atau gadis. Sanksi
32
M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, h., 16 33
M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, h., 48-92.
32
(uqubah) dari zina ghairu muhsan adalah hukuman cambuk sebanyak serratus
kali dan diasingkan selama setahun.
b) Jarimah Qadzf (Penuduhan Zina) ialah menuduh berzina pihak lain tanpa bukti
yang bisa diterima. Syaratnya penuduh harus mendatangkan empat orang saksi
jika tidak bisa maka penuduh mendapatkan hukuman. Sanksi (uqubah) jarimah
qadzf berupa cambuk sebanyak delapan puluh kali.
c) Jarimah Syurb Al-Khamr (Meminum Minuman Keras) menurut jumhur ulama
meminum khamr dalam jumlah banyak atau sedikit tetap saja haram, baik
mabuk maupun tidak. Sanksi hukuman bagi pelaku jarimah khamr delapan puluh
kali cambuk. Namun kelompok Syafi‟yah berpendapat bahwa sanksinya empat
puluh kali cambuk.
d) Jarimah Al-Baghyu (Pembrontakan) adalah sikap menolak untuk tunduk
terhadap seorang pemimpin yang sah tidak dengan kemaksiatan, tetapi dengan
perlawanan, walaupun alasannya kuat. Unsur terpenting jarimah pemberontakan
yaitu pemberontakan terhadap pemimpin negara yang sah dan berdaulat, sikap
pemberontakan yang demonstratif dan unsur melawan hukum.
e) Jarimah Riddah (Murtad) adalah orang yang kembali dan agama Islam kepada
kekufuran, seperti orang yang mengingkari eksistensi Allah sebagai pencipta.
Tidak mengakui para utusan Allah. Serta mengharamkan segala sesuatu yang
diharamkan. Sanksi (uqubah) jarimah riddah merupakan hukuman mati namun
hukuman pelaku tidak diterapkan sebelum dianjurkan bertobat dan kembali ke
agama Islam.
f) Jarimah Sariqah (Pencurian) adalah mengambil harta milik seseorang dengan
sembunyi-sembunyi dan tipu daya. Sanksi (uqubah) jarimah sariqah dihukum
potong tangan apabila seorang pencuri terbukti dan memenuhi batas minimal
(nisab).
g) Jarimah Hirabah (Perampokan) adalah tindak kekerasan yang dilakukan oleh
seseorang atau kelompok orang kepada pihak lain, baik dilakukan didalam
maupun diluar rumah, dengan tujuan menguasai harta korban, membunuh
33
korban, atau meneror korban. Sanksi (uqubah) jarimah hirabah terdapat empat
macam yaitu dihukum mati, disalib, dipotong tangan dan kaki secara bersilang,
dan diasingkan tergantung bentuk tindakan yang dilakukan.
3) Jarimah Ta’zir
Jarimah ta‟zir, secara bahasa berarti menolak dan mencegah. Dalam kamus
Al-Mu‟jam Al-Wasith, mendefinisikan takzir sebagai pengajaran yang tidak sampai
pada ketentuan had syar‟i seperti pengajaran terhadap seseorang yang mencaci-maki
pihak lain tetapi bukan berupa tuduhan berzina. Takzir berlaku atas semua orang
untuk mencegah orang lain agar tidak melakukan jarimah, membuat pelaku jera
sehingga tidak mengulangi, dan memberikan pendidikan untuk memperbaiki pola
hidup. Ada dua macam jarimah takzir, yaitu jarimah takzir yang menyinggung hak
Allah artinya semua perbuatan yang berkaitan dengan kepentingan dan kemaslahatan
umum. Misalnya membuat kerusakan di muka bumi, penimbunan bahan-bahan
pokok dan penyelundupan. Kedua, jarimah takzir yang menyinggung hak individu
artinya setiap perbuatan yang mengakibatkan kerugian kepada orang tertentu, bukan
orang banyak. Misalnya pencemaran nama baik, penghinaan, penipuan, dan
pemukulan. Sanksi (uqubah) jarimah takzir juga terbagi empat macam, sebagai
berikut:
a) Sanksi takzir yang berkaitan dengan badan, yaitu hukuman mati dengan syarat
perbuatan itu dilakukan berulang-ulang, dampak kemaslahatan masyarakat serta
pencegahan kerusakan yang menyebar dimuka bumi. Selain itu, hukuman
cambuk memberikan efek jera, penerapan hukuman cambuk sangat praktis dan
tidak membutuhkan anggaran yang besar serta tidak bersifat kaku karena
penguasa atau hakim diberi kewenangan untuk menentukan jumlah cambukan
sesuai dengan tindak pidananya.
b) Sanksi takzir yang berkaitan dengan kemerdekaan seseorang, yaitu hukuman
penjara bermakna menahan seseorang untuk tidak melakukan perbuatan hukum.
Hukuman penjara dalam syariat islam terbagi menjadi dua yaitu hukuman
penjara terbatas dan hukuman penjara tidak terbatas. Selain itu, hukuman
34
pengasingan dijatuhkan kepada pelaku jarimah membawa pengaruh buruk
kepada orang lain sehingga pelakunya harus diasingkan.
c) Sanksi tazir yang berkaitan dengan harta, secara syariat Islam tidak menetapkan
batas terendah atau tertinggi dari hukuman denda.
d) Sanksi tazir dalam bentuk lain, seperti peringatan keras, dihadirkan dihadapan
sidang, nasihat, celaan, pengucilan, pemecatan atau pengumuman kesalahan
secara terbuka seperti diberitakan di media cetak dan elektronik.
3. Tindak Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing disebut dengan
teorokenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan
pelaku dengan maksud untuk menentukan apakah seorang terdakwa atau tersangka
dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak.34
Menurut
Romli Atmasasmita,35
pertanggungjawaban pidana diartikan sebagai suatu kewajiban
untuk membayar pembalasan yang akan diterima pelaku dari seseorang yang telah
dirugikan.
Pertanggungjawaban pidana tidak bisa dilepaskan dari perbuatan pidana, sebab
seseorang tidak bisa dimintai pertanggungjawaban pidana tanpa terlebih dahulu
melakukan perbuatan pidana. Dengan demikian, sangat dirasakan tidak adil jika tiba-
tiba seseorang harus bertanggung jawab atas suatu tindakan tanpa melalukan tindakan
tersebut.36
Dalam hukum pidana konsep “pertanggungjawaban” itu merupakan konsep
sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan. Dalam bahasa latin ajaran kesalahan
dikenal dengan mens rea. Doktrin mens rea dilandaskan pada suatu perbuatan tidak
mengakibatkan seseorang bersalah kecuali jika pikiran orang itu jahat. Dalam bahasa
34
Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana: Memahami Tindak Pidana Dan Pertanggungjawaban
Sebagai Syarat Pemidanaan, (Yogyakarta: Rangkang Education Yogyakarta & PuKAP Indonesia,
2012, Cet. Pertama), h.,71. 35
Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana, (Bandung: Mandar Maju, 2000, Cet.
Kedua), h., 65. 36
Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, (Jakarta: Bina Aksara,
1983), h., 25.
35
Inggris doktrin tersebut dirumuskan dengan an act does not make a person guilty,
unless the mind legally bla,eworthy. Berdasarkan asas tersebut, ada dua syarat yang
harus dipenuhi untuk dapat memidana seseorang, yaitu ada perbuatan lahiriah yang
terlarang/perbuatan pidana (actus reus), dan ada sikap batin (mens rea).37
Dalam tindak pidana, pelaku dapat dipidana jika memenuhi unsur-unsur delik
yang telah ditentukan dalam Undang-undang. Mahrus Ali mengatakan bahwa
dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan
yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Dengan demikian,
meskipun perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik dalam Undang-undang,
namun hal tersebut belum bisa memenuhi penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan
masih perlu adannya syarat untuk penjatuhan pidana, yaitu orang yang melakukan
perbuatan itu harus memenuhi unsur kesalahan atau bersalah. Orang tersebut harus
mempertanggungjawabkan atas perbuatannya jika dilihat dari sudut perbuatannya
dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut.38
Dalam pertanggungjawaban pidana diperlukan syarat bahwa si pelaku mampu
bertanggungjawab. Dikatakan mampu bertanggungjawab karena seseorang mampu
menilai dengan fikirannya atau perasaannya bahwa perbuatan yang dilakukannya
dilarang artinya tidak dikehendaki oleh Undang-undang karena pada dasarnya
seorang terdakwa dianggap mampu bertanggungjawab kecuali dinyatakan sebaliknya
bahwa seseorang tidak mampu bertanggungjawab.39
Pemahaman kemampuan bertanggung jawab menurut beberapa pandangan
adalah sebagai berikut. Menurut Pompe kemampuan bertanggungjawab pidana harus
mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:40
37
Hanafi, “Reformasi Sistem Pertanggungjawaban Pidana”, Jurnal Hukum, VI, 11, (Februari
Perbuatan yang termasuk dalam unsur perbuatan pidana dapat menjerat pelaku
suatu hukuman yang telah ditetapkan dalam undang-undang dan juga disebut sebagai
perbuatan melawan hukum. Dengan kata lain siapapapun yang melakukan kejahatan
ataupun pelanggaran hukum pidana untuk menghukum dari perbuatan melawan
hukum tersebut. Mempelajari berbagai macam tindak pidana dalam hukum pidana
Islam terbagi menjadi dua macam yaitu, jarimah dan jinayah. Keduanya mempunyai
pengertian yang berbeda dalam proses hukumnya, tindak pidananya dan proses
hukuman pidananya. Jarimah sendiri artinya berbuat jahat ataupun berbuat dosa
dan jarimah secara terminologi memiliki pengertian yaitu tindak pidana ataupun
kejahatan yang Allah mengancam dengan hukuman ta‟zir dan hukuman had apabila
melanggar hukum pidana Islam.23
Sebuah kejahatan dapat dikategorikan jarimah apabila seseorang melakukan
ataupun tidak melakukan, mengerjakan atau meninggalkan, bersifat aktif maupun
pasif. Dengan demikian, perbuatan jarimah tidak hanya berlaku untuk seseorang
yang melanggar dan melakukan pelanggaran melainkan dengan meninggalkan
kewajiban yang harus dilakukan adalah sebuah pelanggaran hukum pidana Islam
yang masuk dalam kategori jarimah.24
Menurut pendapat Abdul Qadir Al-Audah
adalah menjelaskan bahwa jarimah berasal dari suatu hal yang melanggar hukum
yang telah ditetapkan ataupun tidak melakukan hal yang seharusnya dikerjakan
ataupun diperintahkan. Menurut Abdul Al Qadir Audah dalam kitabnya at-Tasyri Al-
Jinaiy Al-Islamy menjelaskan bahwa jinayah adalah suatu perbuatan kejahatan yang
menimbulkan dosa dan perbuatan tersebut diharamkan oleh syara‟ baik yang
langsung berkenaan dengan jiwa dan harta maupun yang tidak berkenaan dengan hal
tersebut.25
23
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fiqh Jinayah, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2004), h., 9-11. 24
Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam , (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), h., 14. 25
Abd al-Qadir Audah, at-Tasyri Al-Jinaiy Al-Islamy, Juz I, (Al-Arabi: Dar al-Kitab al-
Ilmiyah, tt), h., 21.
66
Larangan perbuatan kejahatan ini juga mengenai hal yang dilarang maupun
yang harus dikerjakan dan diperintahkan namun tidak dilaksanakan sebagai larangan
dan perintah agama, yang mengakibatkan hukuman dunia dan ukhrawi. Menurut para
ahli fiqh jinayah sebenarnya mengenai kejahatan yang berkenaan dengan jiwa dan
dan harta benda, akan tetapi kadangkala para ahli fikih lain berpendapat bahwa
jinayah hanya kejahatan yang berkenaan dengan jiwa manusia sendiri seperti fisik
yang dilukai, dibunuh, dianiaya, dan sebagainya. Islam sendiri sebagai agama yang
rahmatan lil alamin lebih mendahulukan kemaslahatan masyarakat umum daripada
kepentingan perorangan dengan melihat dari sisi kejahatan yang dapat menggangu
kenyamanan dan ketentraman umum karena dari situ pula hukum pidana Islam lebih
menekankan hukuman yang keras bagi kejahatan yang mengganggu kedamaian dan
ketentraman masyarakat serta kejahatan itu pula dianggap sebagai kejahatan terhadap
Allah jika mengenai gangguan keamanan terhadap masyarakat umum yang luas.26
Jarimah adalah sebuah perbuatan dosa, jahat dan salah yang berkenaan
dengan jiwa, harta benda maupun kejahatan yang tidak berkenaan terhadap jiwa dan
harta benda. Perlu diketahui bahwa kejahatan terhadap masyarakat umum berarti
dianggap kejahatan terhadap Allah Swt yang diancam dengan hukuman sesuai
dengan firman Allah Swt dalam al-Qur‟an Q.s. Al An‟am (6): 151, yaitu:
ان و س ح ن إ ي د ل وا ل وب ا ئ ي ه ش وا رك ش لا ت م أ ك ي ل م ع ك رام ر ا ح ل م ت وا أ ال ع ل ت ل قول وا أ ل ت ق ا ت ه ن ر م ه ا ظ ش م واح ف ل وا ا ر ق م ول ت ه يا م وإ ك رزق ن ن ق ن ل م ن إ م م دك
م لاك ع ه ل م اك م وصا ك ل لق ذ لا ب إ رام اللا س الات ح ف وا الن ا ل ت ق ن ول ت ط ا ومون ل ق ع ت
Artinya: “Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh
Tuhanmu Yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat
baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak
kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada
mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang
26
Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), h., 14.
67
nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh
jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab)
yang benar, demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu
memahami(nya).”
Pemilik senjata api yang tidak memiliki izin, senjata api bisa melukai
seseorang karena pemilik senjata api tersebut tidak berkompeten dalam menggunakan
senjata api dan senjata api dapat disalahgunakan. Oleh sebab itu kepemilikan senjata
api tanpa izin selama memiliki dampak yang buruk terhadap umat muslim
meresahkan umat muslim merupakan suatu jinayah atau jarimah, karena
menimbulkan keresahan dalam masyarakat terkait dengan kemaslahatan umat
manusia dan juga melanggar peraturan yang dibuat oleh pemerintah. Dengan
demikian, jarimah tersebut merupakan jarimah ta‟zir karena tidak dijelaskan secara
spesifik dalam al-Qur‟an dan as-Shunnah sedangkan dalam hukum pidana Islam,
kepemilikan senjata api secara ilegal tidak didefinisikan secara khusus namun pada
intinya Islam selalu memerintahkan pada umatnya untuk selalu menjaga alam dan
mengutamakan kemaslahatan umum dengan cara menjaga keamanan dan ketertiban
umum serta tidak berbuat zalim di muka bumi ini agar tidak meresahkan sesama umat
manusia yang rahmatan lil alamin, hal tersebut dijelaskan dalam firman Allah Swt
Q.s. Yunus (10): 23, yaitu:
ي ه غون ف ٱلرض غي ٱلق ي هم إذا هم ي ب ة ف لماا أنجى ع ٱلي و ا غيكم على أنفسكم مات ا ٱلنااس إنانا مرجعكم ف ن ن بئكم با كنتم ت عملون ن يا ثا إلي ٱلد
Artinya: “Maka tatkala Allah menyelamatkan mereka, tiba-tiba mereka membuat
kezaliman di muka bumi tanpa (alasan) yang benar. Hai manusia, Sesungguhnya
(bencana) kezalimanmu akan menimpa dirimu sendiri; (hasil kezalimanmu) itu
hanyalah kenikmatan hidup duniawi, kemudian kepada Kami-lah kembalimu, lalu
Kami kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.”
Berdasarkan dari ayat al-Qur‟an di atas menjelaskan bahwa harus selalu
menjaga diri agar terselamatkan dari hukuman duniawi maupun akhirat akibat
68
perilaku kejahatan seperti berbuat zalim di muka bumi yang dapat menggangu
keamanan dan ketertiban umum berwarga negara Indonesia, karena tindakan
kejahatan seperti kepemilikan senjata api ilegal mempunyai dampak meresahkan
masyarakat. Tindakan kejahatan tersebut bisa tergolong dalam suatu Jinayah
maupun jarimah karena menimbulkan keresahan pada masyarakat terkait
kemaslahatan masyarakat, dan juga melanggar peraturan pemerintah yang telah
ditetapkan di sebuah negara. Maka dari itu kejahatan ini termasuk pada jarimah
ta‟zir karena hukumannya tidak ditentukan dalam al-Qur‟an dan as-Shunnah yang
hukumannya diputus oleh penguasa negara melalui ijtihadnya. Secara ringkas
dikatakan bahwa hukuman takzir adalah hukuman yang belum ditetapkan oleh syara‟,
melainkan diserahkan kepada ulil amri, baik penentuan maupun pelaksanaannya.27
Penentuan hukuman tersebut, penguasa hanya menetapkan hukumannya secara global
saja, artinya pembuat Undang-Undang tidak menetapkan hukuman untuk masing-
masing jarimah ta‟zir melainkan hanya menetapkan pengadilan ataupun jenis tindak
pidana yang dapat ditunjukkan dalam Undang-Undang.28
Pemberian kekuasaan
dalam menentukan bentuk jarimah ini kepada penguasa agar mereka merasa leluasa
mengatur pemerintahan sesuai dengan kondisi dan situasi wilayahnya, serta
kemaslahatan daerahnya masing-masing.
Dengan demikian, maksud dari
dilakukannya ta‟zi>r adalah agar pelaku mau menghentikan kejahatannya dan hukum
Allah tidak dilanggarnya. Pelaksanaan hukuman ta‟zi>r bagi imam sama dengan
pelaksanaan sanksi hudud., ataupun orang tua terhadap anaknya, suami terhadap
istrinya, majikan terhadap budaknya, hanya sebatas pada sanksi ta‟zir> , tidak sampai
pada sanksi hudud.29
27
A. Djazuli, Fiqh Jinayah Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam (Jakarta: PT Raja
Grafindo, 1997), h., 160-161. 28
Abdur Rahman I Doi, Tindak Pidana dalam Syari‟at Islam (Jakarta: Rineka Cipta, 1992),
Pembunuhan semi sengaja (syibhu al-amd) ialah seorang mukallaf bermaksud
membunuh orang yang terlindungi darahnya dengan cara dan alat yang biasanya tidak
membunuh. Hal ini bisa jadi karena bermaksud mencelakakannya atau bermaksud
menghajarnya, seperti memukul dengan cambuk, tongkat, batu kecil, atau dengan
tangan, dan dengan seluruh cara atau alat tidak membunuh secara umumnya.
Pembunuhan karena kelalaian merupakan perbuatan yang dilakukan oleh
seseorang dengan tidak ada unsur kesengajaan yang mengakibatkan orang lain
meninggal dunia serta menggunakan alat lazim yang tidak mematikan. Pada dasarnya
dalam pembunuhan ini hilangnya nyawa seseorang tersebut bukanlah tujuan dari
pelaku, akan tetapi karena kelalainnya dalam bertindak mengakibatkan hilangnya
nyawa seseorang.7 Menurut Abdul Qadir Audah,
8 pembunuhan karena kesalahan
adalah pembunuhan karena kekeliuran dimana pelaku sengaja melakukan suatu
perbuatan, tetapi tidak ada maksud untuk mengenai orang melainkan karena terjadi
kekeliuran baik dalam perbuatannya maupun dalam dugaannya. Pengertian yang
diberikan oleh Abdul Qadir Audah dipertegas oleh Wahbah Zuhaili yaitu
pembunuhan karena kesalahan adalah pembunuhan yang terjadi tanpa maksud
melawan hukum, baik dalam perbuatannya maupun objeknya.9 Unsur-unsur
pembunuhan karena kesalahan sebagaimana yang dikemukan oleh Abdul Qadir
Audah antara lain;10
Pertama, „Adanya Perbuatan yang Mengakibatkan Matinya
Korban‟. Untuk terwujudnya tindak pidana pembunuhan karena kesalahan
diisyaratkan adanya perbuatan yang dilakukan oleh pelaku terhadap korban, baik
dikehendaki perbuatan tersebut maupun tidak. Pembunuhan karena kelalaian juga
7 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005, Cet. Pertama),
h., 143-144. 8 Abd Al-Qadir Audah, At-Tasyri Al-Jinaiy Al-Islamiy, Juz II, (Al-Arabi: Dar al-Kitab al-
Ilmiyah, tt), h., 104. 9 Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Juz VI, (Damaskus, Dar Al-Fikr, 1989),
h., 223. 10
Abd Al-Qadir Audah, At-Tasyri Al-Jinaiy Al-Islamiy, Juz II, (Al-Arabi: Dar al-Kitab al-
Ilmiyah, tt), h., 108-109.
83
diisyaratkan mengakibatkan kematian, baik pada saat itu maupun sesudahnya, apabila
korban tidak mati maka tindak pidana tersebut termasuk dalam tindak pidana atas
selain jiwa karena kesalahan, bukan pembunuhan.
Kedua, Perbuatan Tersebut Terjadi Karena Kelalaian‟ Unsur kelalaian ini
terdapat apabila dari suatu perbuatan timbul akibat yang tidak dikehendaki oleh
pelaku. Dengan demikian, dalam pembunuhan ini kematian terjadi akibat kelalaian
pelaku karena kurang berhati-hati. Ketidakhati-hatian itu sendiri pada dasarnya tidak
menyebabkan adanya hukuman, kecuali apabila terdapat kerugian kepada pihak lain.
Dengan demikian apabila terdapat kerugian maka terdapatlah pertanggungjawaban
dari kelalaian dan apabila tidak ada kerugian maka tidaklah ada pertanggungjawaban.
Ketiga, „Adanya Hubungan Sebab Akibat Antara Kekeliuran dan Kematian‟.
Untuk adanya pertanggungjawaban bagi pelaku dalam pembunuhan karena kelalaian
diisyaratkan bahwa kematian merupakan akibat dari kelalaian tersebut. Dengan
demikian, kelalaian merupakan penyebab bagi kematian terdapat hubungan sebab
akibat, apabila hubungan tersebut terputus maka tidak ada pertanggungjawaban bagi
pelaku.
Sanksi bagi pelaku al-qatl al-khata terbagi menjadi 2 macam yaitu sanksi
pokok dan sanksi tambahan. Sanksi pokok terhadap pembunuhan karena kesalahan
yaitu diyat dan kifarat. Hukuman diyat karena kesalahan adalah diyat mukhaffafah,
yaitu diyat yang diperingan.11
Dasar disyariatkannya perintah diyat terdapat dalam
firman Allah Swt yaitu dalam Q.s. An-Nisa (5): 92:
ا ومن ق تل مؤمنا خط ا ف تحرير رق بة مؤمن وما كان لمؤمن أن ي قتل مؤمنا إلا خط ة ودية مسلامة إقوا فإن كان من ق وم عدو لاكم وهو مؤمن ف تحرير رق بة مؤمنة أ وإن كان من ق وم هلهۦ إلا أن يصادا
أهلهۦ وترير رق بة مؤمنة يث ق فدية مسلامة إ ن هم م نكم و ي د فصيام شهرين مت تاعي ت وة ي فمن ا ي عليما حكيما وكان ٱللا ن ٱللا م
11
A. Djazuli, Fiqh Jinayah Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam, (Jakarta, PT Raja
Grafindo Persada, 1997), h., 41.
84
Artinya: “Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang
lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan Barangsiapa membunuh seorang
mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang
beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu),
kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. jika ia (si terbunuh) dari kaum
(kafir) yang ada Perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, Maka (hendaklah
si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh)
serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak
memperolehnya, Maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-
turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. dan adalah Allah Maha mengetahui
lagi Maha Bijaksana.”
Diyat mukhaffah adalah diyat yang berlaku pada pembunuhan karena
kelalaian yang dibebankan kepada ahli waris pelaku pembunuhan dan dibayar dengan
jumlah diyat 100 ekor unta yang jika diperinci adalah 20 ekor unta bintu ma‟khad
Pembayaran diyat dibebankan kepada aqilah. Sayid sabiq menjelaskan bahwa aqilah
adalah kelompok yang secara bersama-sama menanggung pembayaran diyat dan
mereka adalah kelompok ashabah, yaitu semua kerabat laki-laki dari pihak bapak
yang balig, berakal, dan mampu. Dengan demikian, pihak perempuan, anak kecil,
orang gila, dan miskin tidak termasuk dalam kelompok aqilah.13
Pembebanan diyat
kepada aqilah dalam pembunuhan karena kelalaian didasarkan kepada hadist yang
diriwayatkan oleh Abu Dawud sebagai berikut:
12
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, h., 176 13
Sayid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, Juz II, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1980), h., 470.
85
هما زوخ وولد فجعل رسول وعن جار ، أنا امرأت ي من هذ يل ق ت لت أحداه ا ال خرى ولكل واحدة من راث ها الله ص م د ية المقت و لة على عا قلة القا تلة و رأ ز وجها و و لد ها قال ف قال عا قلة قت و لة مي
المرا ث ها لزو جها و و لد ها لنا ف قا ل رسو ل الله ص م ل مي
Artinya: “Dari Jabir bahwa dua orang perempuan dari kabilah Hudzail salah
satunya membunuh yang lainnya, dan wanita itu masing-masing mempunyai suami
dan anak. Maka Rasulullah Saw menjadikan diat si terbunuh atas „aqilah (keluarga)
pembunuh, sedangkan suami dan anaknya dibebaskan dari kewajiban membayar
diat. Berkata Jabir: Berkata „aqilah korban (terbunuh): Apakah warisannya jatuh ke
tangan kami? Maka Rasulullah Saw bersabda: Tidak, warisannya tetap untuk suami
dan anaknya.” (H.r. Abu Dawud).14
Kewajiban kifarat dilakukan dengan memerdekakan hamba sahaya yang
mukmin, namun apabila tidak tidak diperoleh hamba sahaya maka penggantinya
adalah berpuasa selama dua bulan berturut-turut. Allah berfirman dalam dalil yang
sama, yaitu dalam Al-qur‟an Q.s. An-Nisa (5): 92, yaitu:
عليما حكيما ن ٱللا وكان ٱللا د فصيام شهرين مت تاعي ت وة م فمن ا يArtinya: “Barangsiapa yang tidak memperolehnya, Maka hendaklah ia (si
pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada
Allah. dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Kifarat ini disesuaikan dengan jumlah korban meninggal menurut pendapat
sebagian ulama, jadi misalnya dalam kasus kecelakaan yang meninggal sebanyak dua
orang, maka pelaku harus membebaskan dua hamba sahaya mukmin atau berpuasa
dua bulan berturut-turut dua kali. Pendapat yang kedua mengatakan bahwa cukup
satu kifarat saja
Hukuman tambahan untuk tindak pidana pembunuhan karena kesalahan adalah
penghapusan hak waris dan wasiat. Namun dalam masalah ini, seperti dikemukakan
dalam hukuman pembunuhan sengaja, tidak ada kesepakatan dalam kalangan fuqaha.
14
Muhammad ibn Ali Asy-Syaukani, Nail Al-Authar, Juz VII, (Saudi Arabia: Idarah Al-
Bhutus Al-Ilmiah, tt), h., 242.
86
Menurut jumhur ulama, pembunuhan karena keslahan dikenakan hukuman tambahan
karena pembunuhan ini termasuk dalam pembunuhan yang melawan hukum. Dengan
demikian, walaupun pembunuhan terjadi karena kesalahan, penghapusan hak waris
dan wasiat tetap diterapkan kepada pelaku, akan tetapi Imam Malik berpendapat
pembunuhan karena kesalahan tidak menyebabkan hilangnya hak waris dan wasiat
karena pelaku sama sekali tidak berniat melakukan perbuatan yang dilarang yaitu
pembunuhan.15
Bila dihubungkan dengan kelalaian dalam penggunaan senjata api yang tidak
berizin sehingga menyebabkan hilangnya nyawa orang lain dalam putusan nomor
4/Pid.B/2020/PN.Bnt yang dilakukan oleh terdakwa Roketson anak dari kekem maka
perlu diuraikan penjelasannya. Pelaku pada faktanya tidak memiliki keahlian serta
tidak mempunyai surat izin dalam penggunaan senjata api sehingga menyebabkan
korban meninggal dunia serta membuat pihak keluarga merasa sangat kehilangan,
sehingga boleh dikategorikan tindakan pelaku tersebut adalah tindakan pembunuhan
karena kesalahan dalam hukum pidana Islam.
Pada tataran pembunuhan karena kelalaian yang terjadi dalam keadaan apapun,
dalam hukum pidana Islam pelaku dikategorikan dalam Jarimat Diyat. Jarimah Diyat
adalah jarimah yang diancam dengan dengan hukuman diyat dan sudah diatur
hukumannya oleh syara‟. Perbedaannya dengan hukuman had adalah bahwa
hukuman had merupakan hak Allah (hak masyarakat) sedangkan diyat merupakan
hak individu. Diyat merupakan hak manusia maka hukuman tersebut bisa dimaafkan
atau digugurkan oleh korban atau keluarganya.
15
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, h., 178.
87
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Penerapan hukum oleh Majelis Hakim dalam putusan pengadilan nomor
4/Pid.B/2020/PN.Bnt perihal kelalaian dalam menggunakan senjata api yang
tidak memiliki izin hingga menyebabkan hilangnya nyawa orang lain yang
dilakukan terdakwa Roketson anak dari Kekem adalah pasal 359 KUHP dan
pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 sudah tepat.
Terdakwa Roketson anak dari Kekem telah terbukti sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana karena kelalaiannya menyebabkan matinya orang dan
mempergunakan senjata api tanpa izin serta berdasarkan fakta-fakta yang
terungkap dalam persidangan, alat bukti yang diajukan oleh jaksa penuntut
umum dan hasil visum et repertum, selain itu terdakwa dianggap sehat secara
jasmani maupun rohani sehingga dianggap mampu untuk
mempertanggungjawabkan perbuatannya. Dalam putusan pengadilan nomor
4/Pid.B/2020/PN.Bnt perihal kelalaian dalam menggunakan senjata yang tidak
berizin hingga menyebabkan hilangnya nyawa orang lain yaitu menjatuhkan
pidana kepada terdakwa Roketson anak dari Kekem dengan pidana penjara
selama 1 (satu) tahun dan 2 (dua) bulan serta menetapkan terdakwa tetap ditahan
2. Sanksi yang dijatuhkan kepada terdakwa Roketson anak dari Kekem dalam
perbuatannya melakukan kelalaian dalam menggunakan senjata api yang tidak
memiliki izin hingga menyebabkan hilangnya nyawa orang lain didasarkan pada
pasal 359 KUHP dan pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun
1951. Berdasarkan pasal tersebut Majelis Hakim Pengadilan Negeri Barito
Selatan menganggap kualifikasinya telah terpenuhi sehingga menjatuhkan sanksi
pidana penjara selama satu tahun dan dua bulan menetapkan masa penangkapan
dan penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa dikurangkan seluruhnya dari
88
pidana yang dijatuhkan. Menurut penulis, hukuman yang dijatuhkan oleh majelis
hakim dalam putusan pengadilan nomor 4/Pid.B/2020/PN.Bnt hanya satu tahun
dua bulan dari hukuman maksimal setinggi-tingginya dua puluh tahun penjara
tidak memberikan efek jera, padahal salah satu tujuan adanya penegakan adalah
memberikan efek jera bagi pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya.
Demikian ini menjadi sanksi yang dijatuhkan kepada terdakwa ditinjau dari
hukum positif. Ditinjau dari hukum pidana Islam, terdakwa Roketson anak dari
Kekem dikategorikan pembunuhan karena kesalahan karena tidak ada niat sama
sekali dari pelaku untuk melakukan pembunuhan. Sanksi bagi pelaku
pembunuhan karena kesalahan dalam hukum pidana Islam adalah diyat
mukhafafah dengan 100 ekor unta dan kafarat dengan cara memerdekan hamba
sahaya atau berpuasa selama dua bulan berturut-turut yang kedua pelaksanaan
hukumannya tersebut dibebankan aqilah.
B. Saran
1. Kepada para penegak hukum dan pemerintah agar bisa memberikan hukum
yang setimpal bagi pelaku tindak pidana kelalaian dalam menggunakan senjata
api yang tidak berizin hingga menyebabkan hilangnya nyawa supaya dapat
memberikan efek jera dan memenuhi rasa keadilan. Pemerintah bersama aparat
penegak hukum juga harus memperhatikan langkah-langkah preventif untuk
kedepannya sehinngga tidak ada lagi pelaku tindak pidana kelalaian dalam
menggunakan senjata api yang tidak berizin hingga menyebabkan hilangnya
nyawa dikemudian hari.
2. Kepada masyarakat luas, diperlukan peran serta masyarakat luas untuk
melaporkan setiap aksi tindak pidana tersebut serta lembaga-lembaga pengawas
yang konsisten melakukan pengawasan terhadap masyarakat yang memiliki
senjata api supaya peristiwa tersebut tidak terjadi lagi.
89
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur‟an & Hadist
Airini Batubara, Sonya, “Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Kepemilikan
Senjata Api Tanpa Hak Oleh Masyarakat Sipil”, Jurnal Hukum Kaidah,
Volume 18, Nomor 3, (Februari 2017)
Al-Faruk, Assadullah, Hukum Pidana Dalam Sistem Hukum Islam, Bogor: Ghalia
Indonesia, 2009.
Ali, Achmad, Keterpurukan Hukum Di Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002.
Ali, Mahrus, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2011.
Qadir Audah, Abdul, At-Tasyri Al-Jinaiy Al-Islamiy, Juz II, Al-Arabi: Dar al-Kitab
al-Ilmiyah, tt.
Amantha, Rizky, “Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Penjualan Senjata Api
Ilegal Melalui Media Online Facebook”, Law Journal Universitas Bandar
Lampung, VII, 8, (Februari 2018).
Arianingsih, Putri, “Upaya Indonesia Dalam Mencegah Perdagangan Ilegal Senjata
Api Berkaliber Kecil Dan Ringan”, Jurnal Hubungan Internasional, Vol. 1,
No. 2, (Januari 2015)
Aripin, Jaenal dkk, Metode Penelitian Hukum, Ciputat: Lembaga Penelitian UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.
Atmasasmita, Romli, Perbandingan Hukum Pidana, Bandung: Mandar Maju, 2000.
Awaloedin, Djamin, Sistem Administrasi Kepolisian, Jakarta: YPKIK, 2011.
Babiej, Ahmad, “Sejarah Problematika Hukum Pidana Material Di Indonesia”,
SOSIO-RELIGIA, Vol. 5, No. 2, (Februari 2006).
Chazawi, Adam, Pelajaran Pengantar Hukum Pidana I, Jakarta: PT Raja Grafindo,
2002.
CST Kansil, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, 2011.
90
Djazuli, Ahmad, Fiqh Jinayah Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam,
Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 1997.
Effendi, Erdianto, Hukum Pidana Indonesia Suatu Pengantar, Bandung: PT Refika
Aditama, 2011
Effendy, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktik, Bandung: PT Remaja Rosdyakarya,
2004.
Effendy, Rusli, Asas-Aas Hukum Pidana, Ujung Pandang: Lembaga Penelitian
Universitas Muslim Indonesia, 1989.
Eko, Nurdianto, “Pengawasan Penggunaan Senjata Api Ilegal Di Wilayah Hukum
Kepolisian Daerah Metro Jaya”, Jurnal Dialektika, Vol. 14, No. 1, (April
2019).
Emong Supardjadja, Komariah, Ajaran Melawan Hukum Dalam Hukum Pidana
Indonesia, Bandung: Alumni, 2002.
Fuady, Munir, Aliran Hukum Kritis Paradigma Ketidakberdayaan Hukum, Bandung:
PT. Citra Aditya Bakti, 2003.
Gaarder, Joerstein, Dunia Shopie Terjemahan Rahmani Astuti, Bandung: Mizan,
1996.
Hakim, Rahmat, Hukum Pidana Islam Bandung: CV Pustaka Setia, 2010.
Hamzah, Andi, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2015.
Hanafi, “Reformasi Sistem Pertanggungjawaban Pidana”, Jurnal Hukum, VI, 11,
(Februari 1999).
Huda, Chairul, Dari Tiada Pidana Tanpa kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Jakarta: Kencana, 2006.
Ilyas, Amir, Asas-Asas Hukum Pidana: Memahami Tindak Pidana Dan
Pertanggungjawaban Sebagai Syarat Pemidanaan, Yogyakarta: Rangkang
Education Yogyakarta & PuKAP Indonesia, 2012.
Irfan, M. Nurul & Masyrofah, Fiqh Jinayah (Jakarta: Amzah, 2014).
Karni, Risalah Tentang Hukum Pidana, (Jakarta: Balai Buku Indonesia, 1958).
Kartanegara, Satochid, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah, (Jakarta: Balai Lektur
Mahasiswa, 2001).
91
Latifah, Marfuatul, “Kepemilikan Dan Penyalahgunaan Senjata Api Di Indonesia”,
Jurnal Info Singkat Hukum, IX, No.22, (November 2017).
Maramis, Frans, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, Jakarta: Rajawali
Press, 2013.
Marbun, Rocky, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Jakarta: Setara Press, 2015.
Marpaung, Leden, Asas Teori Praktik Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2005.
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Group, 2008.
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2008.
Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Jakarta: Bina
Aksara, 1983.
Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Remaja Roda Karya, 2004.
Mourits, Marcelino, “Hak Dan Perlindungan Bagi Pengguna Senjata Api Yang Sudah
Mempunya Izin Pakai”, Lex Crimen, (April 2019).
Muhammad ibn Ali Asy-Syaukani, Nail Al-Authar, Juz VII, Saudi Arabia: Idarah Al-
Bhutus Al-Ilmiah, tt.
Munandar, Evan, “Penanggulangan Tindak Pidana Kepemilikan Dan Penggunaan
Senjata Api Tanpa Izin Dalam Sistem Peradilan Pidana”, Syiah Kuala Law
Journal, Volume II, Nomor 3, (Desember 2018).
Murdiana, Elfa, “Pertanggungjawaban Pidana Dalam Perspektif Hukum Islam Dan
Relevansinya Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia”, AL-