-
No : 1849 / 0412 / D / 2012
STUDI EVALUASI DAN PERBAIKAN INSTALASI
PENGOLAHAN LINDI TPA
(STUDI KASUS : TPA SUWUNG KOTA DENPASAR)
TUGAS AKHIR
Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
sarjana
disusun oleh :
Camelia Indah Murniwati
15307066
PROGRAM STUDI TEKNIK LINGKUNGAN
FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2012
-
iii
ABSTRAK
TPA Suwung merupakan tempat pemrosesan akhir sampah yang
ditujukan untuk
wilayah Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan. TPA Suwung
terletak di wilayah
Desa Suwung Kauh, Kecamatan Denpasar Selatan. TPA Suwung sudah
dilengkapi
dengan instalasi pengolahan lindi dengan konfigurasi unit
pengolahan yang terdiri
dari kolam anaerob, kolam fakultatif, kolam aerob, constructed
wetland, dan kolam
penampung. Unit pengolahan lindi TPA Suwung masing-masing
terdiri dari dua unit
yang terletak paralel satu sama lain dengan debit total lindi
sebesar 3,4 L/detik. Hasil
evaluasi terhadap karakteristik lindi menunjukkan bahwa pada Mei
2011, konsentrasi
BOD dan COD efluen IPL belum memenuhi baku mutu. Setelah
dilakukan evaluasi
desain IPL, terlihat bahwa secara umum desain IPL TPA Suwung
tidak sesuai
dengan kriteria desain oleh sebab itu perlu diredesain.
Konfigurasi IPL setelah
dilakukan redesain secara berurutan terdiri dari tangki
ekualisasi, kolam anaerob,
aerated lagoon, kolam sedimentasi, subsurface flow constructed
wetland, dan kolam
penampung. Total biaya redesain IPL TPA Suwung adalah sebesar
Rp
621.607.500,00.
Kata kunci : Aerated lagoon, Kolam anaerob, Kolam sedimentasi,
Lindi, Subsurface
flow constructed wetland, Tangki ekualisasi.
-
iv
ABSTRACT
Suwung Landfill is a place of processing waste for Denpasar,
Badung, Gianyar, and
Tabanan areas. Suwung Landfill is located in Desa Suwung Kauh,
Kecamatan
Denpasar Selatan. Suwung Landfill has been completed with
leachate treatment
plant with the configuration of plant is anaerobic ponds,
facultative ponds, aerobic
ponds, constructed wetlands, and collection pond. Each of
leachate treatment unit in
Suwung Landfill consists of two units, placed in parallel to
each other with the total
quantity of leachate is 3,4 L/s. The result of leachate
characteristics evaluation
shows that in May 2011, BOD and COD concentration of effluent
from leachate
treatment plant did not comply to the quality standard. After
evaluated the leachate
treatment design, seen that leachate treatment design in Suwung
landfill does not
comply to the design criteria in order that it is necessary to
redesign the leachate
treatment plant. The configuration of leachate treatment plant
after redesign is
equalization tank, anaerobic ponds, aerated lagoons,
sedimentation ponds,
subsurface flow constructed wetlands, and collection pond. The
total budget for
redesigning leachate treatment plant of Suwung Landfill is Rp
621.607.500,00.
Key words : Aerated lagoons, Anaerobic ponds, Equalization tank,
Sedimentation
ponds, Subsurface flow constructed wetlands, Leachate.
-
Persembahan
Tugas akhir ini saya persembahkan untuk orang-orang yang paling
saya cintai.
Orang tua saya, Ir. H. Chaidir Djakaria dan Hj. Melyani Ida,
S.E. Papa dan
Mama terhebat yang tak henti-hentinya memanjatkan doa dan
memberikan kasih
sayang dan dukungan untuk kebahagiaan dan kesuksesan anaknya.
Terima kasih
Papa dan Mama. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan
lindungan-Nya
kepada Papa dan Mama.
Adik saya, Muhammad Faisal Rahman. Adik tersayang yang selalu
mendukung
kakak dan menemani kakak dalam suka dan duka. Terima kasih
Faisal. Semoga apa
yang Faisal cita-citakan dapat terwujud dan mendapat ridho dari
Allah SWT.
-
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas
karunia dan
ridho-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan tugas akhir yang
berjudul Studi
Evaluasi dan Perbaikan Instalasi Pengolahan Lindi TPA (Studi
Kasus : TPA Suwung
Kota Denpasar) sebagai syarat untuk mendapatkan gelar sarjana
pada Program
Studi Teknik Lingkungan ITB. Penulis mengucapkan terima kasih
kepada semua
pihak yang telah membantu dalam penyusunan laporan tugas akhir
ini, khususnya
kepada :
Dr. Ir. Tri Padmi Damanhuri, selaku Dosen Pembimbing dan Dosen
Wali
Akademik yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan masukan
selama
pengerjaan tugas akhir.
Dr. Herto Dwi Ariesyady, S.T., M.T., selaku Ketua Program Studi
Teknik
Lingkungan ITB.
Ir. Djoni Kusmulyana Usman, M.Eng., selaku Koordinator Tugas
Akhir.
Rofiq Iqbal, S.T., M.Eng., Ph.D., selaku Koordinator Sidang
Sarjana dan Dosen
Penguji yang telah memberikan arahan dan masukan untuk tugas
akhir ini.
Prof. Dr. Ir. Enri Damanhuri, selaku Dosen Penguji yang telah
memberikan
arahan dan masukan untuk tugas akhir ini.
Bpk. Sukrul Amin, Ibu Emah, Bpk. Rudi, Ibu Terra, Bpk. Dino,
dari Direktorat
Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum yang membantu
penulis
dalam memperoleh data-data yang dibutuhkan dalam tugas
akhir.
Bpk. Runtung, Bpk. Setiawan, Bpk. Made dari PU Bali dan Bli
Putu, yang
membantu penulis selama melakukan sampling di TPA Suwung.
Ibu Titi, selaku Staf Tata Usaha yang membantu dalam pembuatan
kelengkapan
administrasi untuk kepentingan tugas akhir.
Ibu Sri dan Bpk. Lili, selaku Staf Perpustakaan yang telah
memberi kemudahan
dalam peminjaman buku sebagai literatur dalam tugas akhir.
-
vi
Mas Budi dan Mas Andri, selaku Analis Laboratorium Kualitas Air
TL ITB dan
Aa Nugi, selaku Analis Laboratorium Limbah Padat dan B3 TL ITB
yang
membantu penulis selama melakukan penelitian karakteristik
lindi.
Teman-teman TL 2007 (Savakra) khususnya Tresna, Anggi Yoyo,
Audra, Elsa,
Riri, Kiki, Nana, Cae, Tyas, Mira, Yanita, Dara, Luci, Stisya,
Marsel, Merry,
Dachi, Vanny, Disa, Ami, Icha Yulianis, teman-teman HMTL ITB,
dan teman-
teman Keluarga Paduan Angklung ITB.
Ariesty Asikin, selaku kakak sepupu dan teman kostan yang telah
memberikan
masukan dalam pembuatan tugas akhir dan teknik
berpresentasi.
Penulis berharap semoga laporan tugas akhir ini bermanfaat
dalam
pengembangan ilmu pengetahuan.
Bandung, 25 Januari 2012
Penulis
-
vii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ii
ABSTRAK iii
KATA PENGANTAR v
DAFTAR ISI vii
DAFTAR TABEL xii
DAFTAR GAMBAR xv
DAFTAR LAMPIRAN xvii
BAB I PENDAHULUAN I-1
I.1 Latar Belakang I-1
I.2 Maksud dan Tujuan I-2
I.3 Ruang Lingkup I-2
I.4 Sistematika Pembahasan I-2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA II-1
II.1 Timbulan Lindi II-1
II.2 Karakteristik Lindi II-2
II.2.1 BOD II-2
II.2.2 COD II-3
II.2.3 Zat padat II-4
II.2.4 Nitrogen II-4
II.2.5 Fosfat II-4
II.2.6 pH II-5
II.2.7 Temperatur II-5
II.2.8 Daya hantar listrik II-5
II.2.9 Klorida II-6
II.2.10 Sulfat II-6
II.3 Kolam Stabilisasi II-6
-
viii
II.3.1 Kolam anaerob II-7
II.3.2 Kolam fakultatif II-8
II.3.3 Kolam aerob II-9
II.4 Aerated Lagoon II-10
II.4.1 Facultative partially mixed lagoon II-11
II.4.2 Aerobic flow-through aerated lagoon II-11
II.4.3 Aerobic lagoon dengan resirkulasi lumpur dan
complete mixing II-11
II.5 Constructed Wetland II-11
II.5.1 Free water surface II-12
II.5.2 Subsurface flow system II-14
II.6 Kualitas Efluen Instalasi Pengolahan Lindi II-17
BAB III METODOLOGI III-1
III.1 Tahapan Studi III-1
III.2 Lokasi dan Waktu Pengambilan Sampel III-2
III.3 Parameter yang Diperiksa III-2
III.4 Evaluasi IPL Eksisting III-2
III.5 Perbaikan IPL III-2
III.6 Perhitungan Biaya dan Penyusunan Spesifikasi Teknis
III-3
BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK STUDI IV-1
IV.1 Gambaran Umum Kota Denpasar IV-1
IV.2 Gambaran Umum Pengelolaan Sampah di Kota Denpasar IV-3
IV.3 Gambaran Umum TPA Suwung IV-4
IV.4 Kondisi Eksisting Instalasi Pengolahan Lindi TPA Suwung
IV-5
IV.4.1 Kolam anaerob IV-6
IV.4.2 Kolam fakultatif IV-8
IV.4.3 Kolam aerob IV-8
IV.4.4 Constructed wetland IV-9
-
ix
BAB V EVALUASI UNIT PENGOLAHAN V-1
V.1 Karakteristik Lindi V-1
V.2 Konfigurasi Pengolahan Lindi IPL TPA Suwung V-4
V.3 Evaluasi Kinerja Pengolahan Lindi IPL TPA Suwung V-6
V.3.1 Solid V-6
V.3.2 Temperatur V-7
V.3.3 Daya hantar listrik V-10
V.3.4 pH V-10
V.3.5 Dissolved oxygen V-11
V.3.6 BOD V-11
V.3.7 COD V-12
V.3.8 Nitrogen V-13
V.3.9 Fosfat V-15
V.3.10 Klorida V-15
V.3.11 Sulfat V-16
V.3.12 Logam V-16
V.4 Evaluasi Unit Pengolahan IPL TPA Suwung V-19
V.4.1 Struktur inlet IPL V-19
V.4.2 Kolam anaerob V-21
V.4.3 Kolam fakultatif V-25
V.4.4 Kolam aerob V-29
V.4.5 Constructed wetland V-32
V.4.6 Struktur outlet IPL V-36
BAB VI SARAN PERBAIKAN VI-1
VI.1 Hasil Evaluasi VI-1
VI.2 Redesain IPL VI-2
VI.2.1 Penambahan unit tangki ekualisasi VI-2
VI.2.2 Redesain kolam anaerob VI-5
VI.2.3 Redesain kolam fakultatif VI-6
VI.2.4 Redesain kolam aerob VI-13
VI.2.5 Redesain constructed wetland VI-18
-
x
VI.3 Mekanisme By Pass VI-24
VI.4 Perubahan Konfigurasi pada IPL VI-25
BAB VII SPESIFIKASI TEKNIS VII.1
VII.1 Persyaratan Umum VII.1
VII.1.1 Nama pekerjaan dan lokasi proyek VII.1
VII.1.2 Pemberi tugas VII.1
VII.1.3 Pemborong VII.1
VII.1.4 Pengawasan lapangan VII.1
VII.1.5 Bangunan sementara VII-2
VII.1.6 Ketentuan penyelidikan alat dan bahan VII-2
VII.1.7 Gambar VII-3
VII.1.8 Rencana kerja VII-3
VII.1.9 Peraturan yang terkait VII-3
VII.2 Spesifikasi Teknis Material VII-4
VII.2.1 Umum VII-4
VII.2.2 Agregat kasar, pasir, dan batu VII-4
VII.2.3 Baja tulangan VII-6
VII.2.4 Baja struktur profil VII-6
VII.3 Pekerjaan Sipil/Konstruksi VII-6
VII.3.1 Pekerjaan persiapan VII-6
VII.3.2 Pekerjaan pondasi VII-7
VII.3.3 Pekerjaan beton VII-7
VII.3.4 Pekerjaan bata dan plesteran VII-9
VII.4 Pekerjaan Mekanikal dan Elektrikal VII-9
VII.4.1 Pemasangan pipa VII-9
VII.4.2 Surface aerator VII-11
BAB VIII RENCANA ANGGARAN BIAYA VIII-1
VIII.1 Biaya Pekerjaan Persiapan VIII-1
VIII.2 Biaya Konstruksi Instalasi VIII-2
VIII.2.1 Tangki ekualisasi dan pipa by pass VIII-2
-
xi
VIII.2.2 Kolam anaerob VIII-2
VIII.2.3 Aerated lagoon VIII-3
VIII.2.4 Kolam sedimentasi VIII-3
VIII.2.5 Subsurface flow constructed wetland VIII-4
VIII.3 Biaya upah kerja proyek VIII-4
VIII.4 Rekapitulasi biaya VIII-5
BAB IX SIMPULAN IX-1
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
-
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Karakteristik lindi II-2
Tabel 2.2 Kriteria desain kolam anaerob II-8
Tabel 2.3 Kriteria desain kolam fakultatif II-9
Tabel 2.4 Kriteria desain kolam aerob II-10
Tabel 2.5 Kriteria desain aerated lagoon II-10
Tabel 2.6 Ringkasan prinsip penyisihan dan mekanisme
transformasi bahan pencemar air limbah dalam sistem
pengolahan wetlands II-12
Tabel 2.7 Kriteria desain free water surface II-13
Tabel 2.8 Karakteristik media subsurface flow system II-15
Tabel 2.9 Kriteria desain subsurface flow system II-15
Tabel 2.10 Baku mutu efluen IPL II-18
Tabel 4.1 Angka perbandingan curah hujan di Kota Denpasar
IV-2
Tabel 4.2 Angka perbandingan temperatur di Kota Denpasar
IV-3
Tabel 4.3 Dimensi kolam anaerob IV-6
Tabel 4.4 Dimensi kolam fakultatif IV-8
Tabel 4.5 Dimensi kolam aerob IV-9
Tabel 4.6 Dimensi constructed wetland IV-10
Tabel 4.7 Dimensi kolam penampung IV-11
Tabel 5.1 Karakteristik lindi TPA Suwung pada Desember 2010
V-2
Tabel 5.2 Karakteristik lindi TPA Suwung pada Mei 2011 V-3
Tabel 5.3 Konsentrasi logam tipikal pada lindi sampah kota
V-4
Tabel 5.4 Unit operasi dan unit proses untuk menyisihkan
parameter pencemar lindi V-6
Tabel 5.5 Karakteristik lindi IPL pada Desember 2010 V-8
Tabel 5.6 Karakteristik lindi IPL pada Mei 2011 V-9
Tabel 5.7 Efisiensi penyisihan IPL V-18
Tabel 5.8 Dimensi saluran inlet V-19
-
xiii
Tabel 5.9 Dimensi box influen V-21
Tabel 5.10 Data desain kolam anaerob V-23
Tabel 5.11 Perbandingan hasil perhitungan dengan kriteria
desain
unit kolam anaerob V-24
Tabel 5.12 Dimensi box efluen kolam anaerob V-25
Tabel 5.13 Data desain kolam fakultatif V-26
Tabel 5.14 Dimensi kolam fakultatif V-27
Tabel 5.15 Perbandingan hasil perhitungan dengan kriteria
desain
unit kolam fakultatif V-28
Tabel 5.16 Data desain kolam aerob V-30
Tabel 5.17 Perbandingan hasil perhitungan dengan kriteria
desain
unit kolam aerob V-31
Tabel 5.18 Data desain constructed wetland V-33
Tabel 5.19 Perbandingan hasil perhitungan dengan kriteria
desain
subsurface flow constructed wetland V-34
Tabel 5.20 Data desain kolam penampung V-36
Tabel 6.1 Hasil evaluasi IPL TPA Suwung VI-1
Tabel 6.2 Kriteria desain tangki ekualisasi tipe flow through
VI-2
Tabel 6.3 Data perencanaan tangki ekualisasi tipe flow through
VI-3
Tabel 6.4 Rekapitulasi dimensi tangki ekualisasi tipe flow
through VI-4
Tabel 6.5 Pertimbangan pemilihan tipe aerated lagoon VI-7
Tabel 6.6 Kriteria desain aerobic flow-through partially mixed
lagoon VI-8
Tabel 6.7 Data perencanaan aerobic flow-through partially mixed
lagoon VI-8
Tabel 6.8 Rekapitulasi dimensi aerobic flow-through
partially
mixed lagoon VI-12
Tabel 6.9 Kriteria desain unit kolam sedimentasi VI-14
Tabel 6.10 Data perencanaan unit kolam sedimentasi VI-14
Tabel 6.11 Rekapitulasi dimensi kolam sedimentasi VI-16
Tabel 6.12 Pertimbangan pemilihan tipe constructed wetland
VI-18
Tabel 6.13 Kriteria desain subsurface flow constructed wetland
VI-19
Tabel 6.14 Data perencanaan subsurface flow constructed wetland
VI-19
Tabel 6.15 Karakteristik media gravelly sand VI-19
-
xiv
Tabel 6.16 Rekapitulasi dimensi subsurface flow constructed
wetland IPL 1VI-22
Tabel 6.17 Rekapitulasi dimensi subsurface flow constructed
wetland IPL 2VI-22
Tabel 7.1 Kehalusan pasir beton VII-4
Tabel 7.2 Kehalusan pasir pasangan VII-5
Tabel 7.3 Jenis beton dan spesifikasinya VII-9
Tabel 8.1 Perkiraan biaya pekerjaan persiapan VIII-1
Tabel 8.2 Perkiraan biaya konstruksi tangki ekualisasi dan pipa
by pass VIII-2
Tabel 8.3 Perkiraan biaya konstruksi redesain kolam anaerob
VIII-2
Tabel 8.4 Perkiraan biaya konstruksi aerated lagoon VIII-3
Tabel 8.5 Perkiraan biaya konstruksi kolam sedimentasi
VIII-3
Tabel 8.6 Perkiraan biaya konstruksi subsurface flow constructed
wetlandVIII-4
Tabel 8.7 Perkiraan biaya upah kerja proyek VIII-4
Tabel 8.8 Rekapitulasi biaya VIII-5
-
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Komponen kelembaban pada sanitary landfill II-1
Gambar 2.2 Hubungan umur landfill dan komposisi lindi II-3
Gambar 2.3 Free water surface constructed wetland II-14
Gambar 2.4 Subsurface flow constructed wetland II-16
Gambar 3.1 Metodologi III-1
Gambar 4.1 Peta Propinsi Bali IV-1
Gambar 4.2 Diagram alir teknik operasional pengelolaan
sampah
di Kota Denpasar IV-3
Gambar 4.3 Diagram alir IPL TPA Suwung IV-6
Gambar 4.4 Saluran inlet IPL TPA Suwung IV-7
Gambar 4.5 Alat ukur debit v-notch IV-7
Gambar 4.6 Kolam aerob IPL TPA Suwung IV-7
Gambar 4.7 Kolam fakultatif IPL TPA Suwung IV-8
Gambar 4.8 Kolam aerob IPL TPA Suwung IV-9
Gambar 4.9 Constructed wetland IPL TPA Suwung IV-10
Gambar 4.10 Kolam penampung dan saluran outlet IPL TPA Suwung
IV-11
Gambar 5.1 Desain konfigurasi dan diagram alir IPL TPA Suwung
V-5
Gambar 5.2 Konfigurasi kolam stabilisasi V-5
Gambar 5.3 Kondisi BOD V-12
Gambar 5.4 Kondisi COD V-13
Gambar 5.5 Sketsa V notch V-20
Gambar 5.6 Sketsa box influen V-20
Gambar 5.7 Sketsa inlet kolam anaerob V-22
Gambar 5.8 Sketsa kolam anaerob V-23
Gambar 5.9 Sketsa box efluen kolam anaerob V-25
Gambar 5.10 Sketsa kolam fakultatif V-26
Gambar 5.11 Sketsa kolam aerob V-30
Gambar 5.12 Sketsa constructed wetland V-33
-
xvi
Gambar 5.13 Sketsa kolam penampung V-37
Gambar 6.1 Sketsa tangki ekualisasi VI-3
Gambar 6.2 Sketsa aerobic flow-through partially mixed lagoon
VI-12
Gambar 6.3 Sketsa kolam sedimentasi VI-16
Gambar 6.4 Sketsa constructed wetland VI-23
Gambar 6.5 Cyperus papyrus kerdil VI-24
Gambar 6.6 Konfigurasi IPL eksisting VI-26
Gambar 6.7 Konfigurasi IPL setelah redesain VI-26
-
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran A Peraturan dan Baku Mutu A-1
Lampiran B Hasil Pemeriksaan Karakteristik Lindi Desember 2010
B-1
Lampiran C Metode Pemeriksaan Parameter C-1
Lampiran D Hasil Pemeriksaan Karakteristik Lindi Mei 2011
D-1
Lampiran E Perhitungan Profil Hidrolis E-1
Lampiran F As Built Drawing IPL TPA Suwung Eksisting F-1
Lampiran G Gambar Teknik IPL TPA Suwung Redesain G-1
-
I-1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Masalah utama yang dijumpai dalam aplikasi
penimbunan/pengurugan
sampah atau limbah padat lainnya ke dalam tanah adalah
kemungkinan pencemaran
air tanah oleh lindi yaitu limbah cair yang timbul akibat
masuknya air eksternal ke
dalam timbunan sampah, terutama di daerah yang curah hujan dan
muka air tanahnya
tinggi. Timbulan lindi serta karakteristik lindi yang keluar
dari timbunan sampah
sangat berfluktuasi, bergantung pada curah hujan serta
karakteristik sampah yang
ditimbun. Kaitan antara banyaknya hujan dan timbulan lindi perlu
diketahui dalam
merancang kapasitas penanganan lindi, demikian juga beban
cemaran lindi yang
akan digunakan dalam perancangan (Damanhuri, 2008).
Pengadaan sistem pengolahan lindi sangat diperlukan untuk
mengurangi
beban pencemaran terhadap badan air penerima. Lindi yang telah
terkumpul diolah
terlebih dahulu sehingga mencapai standar aman untuk kemudian
dibuang ke dalam
badan air penerima. Diharapkan setelah dilakukan pengolahan
tidak terjadi
pencemaran terhadap lingkungan sekitar.
Beberapa Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) sampah di Indonesia yang
masih
beroperasi telah dilengkapi dengan sarana pengolah lindi. Salah
satu TPA yang
dilengkapi dengan sarana pengolah lindi adalah TPA Suwung,
Denpasar. Rangkaian
pengolahan lindi yang ada di TPA Suwung adalah kolam anaerob,
kolam fakultatif,
kolam aerob, dan constructed wetland.
Hasil pemantauan yang dilakukan pada instalasi pengolahan lindi
TPA
Suwung menyimpulkan bahwa instalasi tersebut belum dapat
berfungsi sebagaimana
diharapkan, yang mungkin disebabkan oleh beberapa hal antara
lain pengambilan
kriteria rancangan yang mungkin belum sesuai serta pengoperasian
yang belum
sistematis. Oleh sebab itu, perlu dilakukan evaluasi dan
perbaikan instalasi
pengolahan lindi yang ada di TPA Suwung.
-
I-2
I.2 Maksud dan Tujuan
Maksud dari tugas akhir ini adalah memberikan hasil evaluasi dan
masukan
alternatif perbaikan instalasi pengolahan lindi di TPA Suwung.
Tujuan dari penulisan
tugas akhir ini adalah sebagai berikut :
1. Menyusun evaluasi terhadap instalasi pengolahan lindi yang
sudah ada di
TPA Suwung.
2. Membuat rencana perbaikan instalasi pengolahan lindi.
3. Membuat rancangan biaya yang dibutuhkan untuk perbaikan
instalasi
pengolahan lindi.
I.3 Ruang Lingkup
Kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan dalam studi evaluasi
dan
perbaikan Instalasi Pengolahan Lindi TPA Suwung adalah sebagai
berikut :
1. Studi gambaran umum TPA Suwung yang berhubungan dengan
desain
Instalasi Pengolahan Lindi (IPL).
2. Analisis karakteristik lindi yang masuk ke IPL serta yang ada
pada masing-
masing inlet dan outlet kolam pengolahan.
3. Desain perencanaan perbaikan IPL yang meliputi penentuan
kriteria desain
pengolahan, perhitungan dimensi unit-unit pengolahan,
spesifikasi teknis, dan
alat-alat yang diperlukan di setiap unit pengolahan.
4. Pembuatan gambar desain perbaikan IPL.
5. Perhitungan rencana anggaran biaya perbaikan IPL.
I.4 Sistematika Pembahasan
Sistematika pembahasan dalam laporan adalah sebagai berikut
:
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini bersisi tentang latar belakang, maksud, dan tujuan tugas
akhir ini,
ruang lingkup yang akan dibahas, dan sistematika pembahasan
dalam laporan
tugas akhir.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini berisi teori yang mendukung tentang timbulan lindi,
karakteristik
lindi, dan teknologi pengolahan lindi.
-
I-3
BAB III METODOLOGI
Bab ini menjelaskan tahapan yang digunakan dalam pelaksanaan
studi
evaluasi dan perbaikan instalasi pengolahan lindi TPA
Suwung.
BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK STUDI
Bab ini berisi tentang gambaran umum Kota Denpasar dan
sistem
pengelolaan persampahannya, gambaran umum TPA Suwung, dan
kondisi
eksisting instalasi pengolahan lindi TPA Suwung.
BAB V EVALUASI UNIT PENGOLAHAN
Bab ini berisi tentang evaluasi karakteristik lindi TPA Suwung,
evaluasi
konfigurasi dan kinerja pengolahan lindi, dan evaluasi desain
masing-masing
unit pengolahan.
BAB VI SARAN PERBAIKAN
Bab ini berisi tentang saran-saran perbaikan instalasi
pengolahan lindi yang
dapat dilakukan untuk mengoptimalkan efisiensi penyisihan
parameter-
parameter pencemar yang terkandung dalam lindi.
BAB VII SPESIFIKASI TEKNIS
Bab ini berisi tentang ketentuan pelaksanaan, spesifikasi teknis
material,
pekerjaan sipil/konstruksi, dan pekerjaan
mekanikal/elektrikal.
BAB VIII RENCANA ANGGARAN BIAYA
Bab ini menerangkan tentang analisis biaya pekerjaan persiapan,
biaya
konstruksi instalasi, dan biaya pengelolaan.
BAB IX SIMPULAN
Bab ini berisi simpulan dari hasil evaluasi dan saran perbaikan
yang dapat
dilakukan pada instalasi pengolahan lindi TPA Suwung.
-
II-1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Timbulan Lindi
Lindi adalah limbah cair yang timbul akibat masuknya air
eksternal ke dalam
timbunan sampah, melarutkan dan membilas materi-materi terlarut,
termasuk juga
materi organik hasil proses dekomposisi biologis (Damanhuri,
2008). Timbulan lindi
akan banyak tergantung pada masuknya air dari luar yang sebagian
besar dari air
hujan. Selain itu, timbulan lindi juga dipengaruhi oleh aspek
operasional yang
diterapkan seperti aplikasi tanah penutup, kemiringan permukaan,
kondisi iklim, dan
sebagainya.
Komponen kelembaban pada landfill dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Sumber
utama kelembaban adalah presipitasi. Sebagian dari presipitasi
menjadi run off,
sebagian lain kembali ke atmosfer melalui proses
evapotranspirasi, dan sebagian lagi
akan masuk ke dalam tanah penutup melalui infiltrasi atau
irigasi sampai mencapai
field capacity. Field capacity adalah maksimum kelembaban yang
dapat ditahan.
Ketika field capacity tanah penutup terlampaui, air akan
berperkolasi ke lapisan di
bawahnya yaitu lapisan sampah. Penambahan air ke dalam lapisan
sampah akan
menjenuhkan lapisan sampah tersebut hingga mencapai field
capacity sampah.
Setelah field capacity sampah terlampaui, kandungan air dalam
sampah akan keluar
sebagai lindi atau leachate (Qasim & Chiang, 1994).
Gambar 2.1 Komponen kelembaban pada sanitary landfill
(Fenn et al., 1975 dalam Qasim & Chiang, 1994)
-
II-2
II.2 Karakteristik Lindi
Karakteristik lindi akan tergantung dari beberapa hal, seperti
variasi dan
proporsi komponen sampah yang ditimbun, curah hujan dan musim,
umur timbunan,
pola operasional, serta waktu dilakukannya sampling (Damanhuri,
2008). Tipikal
karakteristik lindi tercantum dalam Tabel 2.1. Lu et al. (1984)
dalam Qasim &
Chiang, 1994 melaporkan bahwa konsentrasi polutan pada lindi
mencapai puncak
pada tahun-tahun awal yaitu pada usia landfill 2 3 tahun,
diikuti dengan penurunan
secara gradual pada tahun-tahun berikutnya. Pola tersebut
terjadi pada banyak
pencemar khususnya indikator organik seperti BOD, COD dan
TOC.
Tabel 2.1 Karakteristik lindi
(Tchobanoglous, 1993 dalam Qasim & Chiang, 1994)
Nilai, mg/L
Landfill Baru (kurang dari 2 tahun) Landfill Lama (lebih
dari
10 tahun) Parameter Range Tipikal
BOD5 2.000 30.000 10.000 100 - 200
TOC 1.500 20.000 6.000 80 - 160
COD 3.000 60.000 18.000 100 - 500
TSS 200 2.000 500 100 - 400
Nitrogen Organik 10 - 800 200 80 - 120
Nitrogen Amoniak 10 - 800 200 20 - 40
Nitrat 5 - 40 25 5 - 10
P-total 5 - 100 30 5 - 10
P-ortho 4 - 80 20 4 - 8
Alkalinitas - CaCO3 1.000 10.000 3.000 200 1.000
pH 4.5 - 7.5 6 6.6 - 7.5
Kesadahan total - CaCO3 300 10.000 3.500 200 - 500
Kalsium 200 3.000 1.000 100 - 400
Magnesium 50 1.500 250 50 - 200
Kalium 200 1.000 300 50 - 400
Natrium 200 2.500 500 100 - 200
Klorida 200 3.000 500 100 - 400
Sulfat 50 1.000 300 20 - 50
Besi total 50 1.200 60 20 - 200
II.2.1 BOD
BOD didefinisikan sebagai banyaknya oksigen yang dibutuhkan
oleh
mikroorganisme (terutama bakteri), selama mikroorganisme
tersebut menguraikan
senyawa organik. Menurut Tchobanoglous (1993) dalam Qasim &
Chiang (1994),
BOD lindi yang berasal dari landfill berusia kurang dari dua
tahun (landfill baru)
berkisar antara 2.000 30.000 mg/L dengan nilai BOD tipikal
adalah 10.000 mg/L.
-
II-3
Sedangkan, BOD yang berasal dari landfill lama yang berusia
lebih dari 10 tahun
berkisar antara 100 200 mg/L.
II.2.2 COD
Parameter COD digunakan secara luas untuk menentukan tingkat
pencemaran
oleh senyawa organik dari suatu air limbah domestik maupun air
limbah industri.
COD adalah parameter untuk mengetahui konsentrasi senyawa
organik yang dapat
dioksidasi oleh oksidator kuat dalam suasana asam. Menurut
Tchobanoglous (1993)
dalam Qasim & Chiang (1994), COD lindi yang berasal dari
landfill berusia kurang
dari dua tahun (landfill baru) berkisar antara 3000 60.000 mg/L
dengan nilai COD
tipikal adalah 18.000 mg/L. Sedangkan, COD yang berasal dari
landfill lama yang
berusia lebih dari 10 tahun berkisar antara 100 500 mg/L.
Hubungan umur landfill
dan komposisi lindi untuk parameter BOD dan COD dapat dilihat
pada Gambar 2.2.
(a) (b)
Gambar 2.2 Hubungan umur landfill dan komposisi lindi
(a) BOD dan (b) COD
(Lu et al., 1984 dalam Qasim & Chiang, 1994)
Nilai COD dapat digunakan untuk menentukan alternatif
pengolahan.
Menurut Grady & Liem (1985), jika konsentrasi COD dalam air
limbah 4000 mg/L
maka proses anaerob lebih ekonomis. Jika konsentrasi COD dalam
air limbah < 4000
mg/L maka proses aerob lebih ekonomis.
-
II-4
II.2.3 Zat padat
Pengertian zat padat dalam air atau solid adalah materi yang
tersisa (residu)
jika contoh air diuapkan dan dikeringkan pada temperatur 103 105
oC (Sawyer et
al., 1994). Residu dari penguapan dan pemanasan (solid) dapat
berupa senyawa
organik atau anorganik, baik dalam bentuk terlarut atau
tersuspensi di dalam air.
Menurut Tchobanoglous (1993) dalam Qasim & Chiang (1994),
Total Suspended
Solid (TSS) lindi yang berasal dari landfill berusia kurang dari
dua tahun (landfill
baru) berkisar antara 200 2000 mg/L dengan nilai TSS tipikal
adalah 500 mg/L.
Sedangkan, TSS yang berasal dari landfill lama yang berusia
lebih dari 10 tahun
berkisar antara 100 400 mg/L.
II.2.4 Nitrogen
Kandungan nitrogen berfungsi sebagai nutrien yang penting
untuk
pertumbuhan mikroorganisme, tumbuhan, dan hewan. Data nitrogen
diperlukan
untuk mengevaluasi kelayakan suatu pengolahan biologi air
limbah. Berbagai jenis
senyawa nitrogen berada dalam air (Sawyer et al., 1994) :
a. Nitrogen organik (protein, asam amino, dan lain-lain)
b. Amoniak (NH3)
c. Amonium (NH4+)
d. Nitrit (NO2-)
e. Nitrat (NO3-)
Senyawa N-organik di dalam air akan terurai oleh
mikroorganisme
membentuk senyawa amoniak. Senyawa amoniak di dalam air dalam
suasana asam
(pH rendah) akan berubah menjadi amonium (NH4+). Amoniak dengan
adanya
bakteri Nitrosomonas akan teroksidasi membentuk senyawa nitrit.
Selanjutnya
senyawa nitrit akan teroksidasi dengan adanya Nitrobacter
membentuk senyawa
nitrat. Dalam kondisi anaerob, nitrat dan nitrit dapat tereduksi
dalam proses
denitrifikasi membentuk gas N2.
II.2.5 Fosfat
Fosfat merupakan senyawa yang penting dalam pengolahan air
limbah secara
biologis karena senyawa fosfat digunakan oleh mikroorganisme
sebagai nutrien dan
-
II-5
berperan dalam pertumbuhan mikroorganisme. Senyawa fosfat di
dalam air
dibedakan atas orthofosfat, polifosfat, dan senyawa fosfat
organik. Senyawa-senyawa
polifosfat di dalam air akan terhidrolisa menjadi ortofosfat,
demikian pula senyawa
organik fosfat dengan bantuan mikroorganisme akan terurai dan
hasil akhirnya
adalah senyawa orthofosfat (Sawyer et al., 1994).
II.2.6 pH
pH merupakan parameter untuk menyatakan suatu keasaman dalam air
dan
untuk menyatakan banyaknya ion H+ di dalam air. Semakin banyak
ion H
+ di dalam
air, semakin rendah pH air. pH yang cocok untuk kehidupan
biologi berkisar antara 6
9. Untuk efluen pengolahan, pH air yang diizinkan dapat dibuang
ke badan air
berkisar antara 6,5 8,5 (Metcalf & Eddy, 2003). Tipikal pH
lindi landfill di
Indonesia cenderung basa (Damanhuri, 2008).
II.2.7 Temperatur
Temperatur air merupakan parameter penting karena pengaruhnya
pada
reaksi kimia dan laju reaksi, kehidupan akuatik, dan
kesesuaiannya untuk
pemanfaatan air. Temperatur optimum untuk aktivitas bakteri
berkisar antara 25
35oC. Degradasi secara aerob dan nitrifikasi akan terhenti
ketika temperatur
mencapai 50oC. Ketika temperatur turun hingga mencapai 15
oC, bakteri yang
memproduksi metan akan menjadi tidak aktif dan pada temperatur
sekitar 5oC,
bakteri nitrifikasi autotrof berhenti berfungsi. Pada temperatur
2oC, bakteri
kemoheterotrof yang mendegradasi karbon menjadi tidak aktif
(Metcalf & Eddy,
2003).
II.2.8 Daya hantar listrik
Daya hantar listrik adalah kemampuan air untuk menghantarkan
arus listrik.
Karena arus listrik ditransportasikan oleh ion-ion dalam air,
maka daya hantar listrik
meningkat dengan meningkatnya konsentrasi ion-ion dalam air
(Metcalf & Eddy,
2003). Nilai daya hantar listrik menunjukkan banyaknya ion-ion
yang terlarut dalam
air atau banyaknya mineral yang terlarut.
-
II-6
II.2.9 Klorida
Klorida merupakan salah satu parameter yang menjadi perhatian
dalam air
limbah karena dapat mempengaruhi kegunaan dari air olahan.
Klorida dalam air
alami berasal dari hasil pelindian klorida yang terkandung dalam
batuan dan tanah
yang berkontak dengan air dan juga berasal dari intrusi air laut
pada daerah pantai.
Air limbah domestik, industri, maupun pertanian yang mengalir ke
air permukaan
merupakan sumber klorida dalam air. Kandungan klorida meningkat
seiring
meningkatnya mineral dalam air (Sawyer et al., 1994).
II.2.10 Sulfat
Sulfat di dalam air sering dihubungkan dengan masalah
pengelolaan air
limbah. Sulfat dengan konsentrasi tinggi di dalam air limbah
dalam suasana
anaerobik dan dengan bantuan mikroorganisme akan tereduksi
membentuk hidrogen
sulfida yang berbau dan bersifat korosif.
II.3 Kolam Stabilisasi
Lindi yang timbul dari landfill harus ditangani agar tidak
mencemari
lingkungan. Salah satu cara penanganan lindi adalah dengan
mengolah lindi dengan
suatu sistem pengolahan tersendiri. Jenis pengolahan lindi yang
umum digunakan di
Indonesia adalah pengolahan dengan sistem kolam stabilisasi
seperti yang ada di
TPA Sukamiskin Bandung, TPA Sanden Magelang, dan TPA Putri Cempo
Solo
(Damanhuri, 2008). Sistem pengolahan dengan kolam stabilisasi
adalah sistem
pengolahan dengan menggunakan kolam yang direkayasa dan
dikonstruksikan untuk
mengolah air limbah. Pengelompokan sistem kolam stabilisasi
berdasarkan
keberadaan dan sumber oksigen yaitu kolam anaerob, kolam
fakultatif, kolam aerob,
dan kolam aerasi.
Kelebihan sistem kolam stabilisasi adalah biaya rendah,
pengoperasian dan
kemampuan mengoperasikannya yang sederhana, jangka waktu
pembuangan lumpur
yang lama yaitu 10 sampai 20 tahun, dan cocok dengan proses land
treatment dan
aquatic treatment. Kekurangan sistem kolam stabilisasi adalah
membutuhkan lahan
yang luas, kemungkinan dihasilkannya konsentrasi alga yang
tinggi yang dapat
-
II-7
mengganggu debit permukaan, kolam yang tidak teraerasi
seringkali tidak bisa
memenuhi baku mutu efluen, dapat mempengaruhi air tanah jika
tidak digunakan
pelapis dasar atau liners yang baik, serta desain dan
pengoperasian yang tidak sesuai
dapat menyebabkan timbulnya bau (Crites & Tchobanoglous,
1998).
II.3.1 Kolam anaerob
Kolam anaerob adalah kolam dengan kondisi anaerob, yaitu dengan
beban
BOD yang melebihi produksi oksigen dari fotosintesis.
Fotosintesis dikurangi
dengan mengurangi luas permukaan kolam dan menambah kedalaman
kolam
sehingga tidak ada penetrasi cahaya matahari ke dalam kolam dan
pertumbuhan alga
menjadi terhenti.
Proses anaerob berlangsung dalam 4 tahap yaitu hidrolisis,
asidogenesis,
asetogenesis, dan metanogenesis. Hidrolisis adalah proses
pelarutan organik tak
terlarut dan pemecahan senyawa-senyawa organik rantai panjang
(kompleks) seperti
protein, karbohidrat, lemak, selulosa, dan hemiselulosa menjadi
materi bermolekul
lebih kecil atau menjadi senyawa mudah larut dan berantai lebih
sederhana, seperti
glukosa, asam lemak, alkohol, dan asam amino. Reaksi ini
dikatalisis oleh enzim
ekstraseluler yang dilepaskan oleh bakteri ke dalam media.
Bakteri yang bekerja
adalah bakteri penghidrolisis. Senyawa hasil proses hidrolisis
akan difermentasikan
oleh mikroorganisme penghasil asam menjadi asam-asam organik
terutama asam
volatil rantai pendek (asetat, propionat, dan butirat), hidrogen
(H2), karbondioksida
(CO2), alkohol, dan senyawa dengan berat molekul lebih rendah
lainnya. Bakteri
yang bekerja adalah bakteri asidogenik. Pada tahap asetogenesis,
asam-asam lemak
berantai pendek, butirat, dan propionat kemudian akan dioksidasi
oleh jenis
mikroorganisme asetogenik menghasilkan asam asetat,
karbondioksida (CO2), dan
hidrogen (H2). Semua hasil dari tahap-tahap sebelumnya digunakan
oleh bakteri
metanogenik dan diubah menjadi gas CH4 dan CO2 dengan kondisi
yang harus
anaerobic strict (Tri Padmi, 2008). Transformasi dekomposisi
materi organik pada
air limbah secara sederhana pada kondisi anaerob terjadi menurut
reaksi :
mikroorganisme
materi organik + H2O + nutrien materi organik stabil + sel baru
+ H2O
+ CO2 + NH3 + H2S + CH4 + panas
-
II-8
Pengolahan secara anaerob memiliki beberapa keuntungan antara
lain lumpur
yang dihasilkan rendah, efisiensi pengolahan tinggi, biaya
rendah, tidak
membutuhkan oksigen, dihasilkan metan, persyaratan nutrien yang
rendah, dan biaya
operasi yang rendah. Sebelum menetapkan pengolahan anaerob
sebagai alternatif
pengolahan air limbah, perlu diketahui terlebih dahulu beberapa
faktor yaitu asal air
limbah, konsentrasi polutan organik, temperatur air limbah,
konsentrasi padatan
tersuspensi, keberadaan komponen toksik, efisiensi pengolahan
yang diharapkan,
prodiksi biogas dan lumpur, serta debit polutan organik.
Efluen dari pengolahan anaerob masih mengandung residu organik
yang tidak
terdegradasi dalam jumlah yang tinggi. Dengan konsentrasi air
limbah yang sangat
tinggi, total penyisihan BOD akan lebih tinggi, tetapi residu
konsentrasi BOD masih
cukup tinggi. Oleh karena itu, pengolahan secara anaerob hanya
dapat menjadi
bagian dari suatu sistem pengolahan (Malina & Pohland,
1992). Residu kontaminan
setelah pengolahan anaerob selanjutnya dapat diolah dengan
proses biologi secara
aerob atau teknologi fisika kimia. Untuk limbah dengan
konsentrasi tinggi,
pengolahan awal secara anaerob dapat mereduksi beban BOD secara
ekonomis,
sehingga mengurangi ukuran dan biaya pengolahan selanjutnya.
Meskipun mikroorganisme pembentuk metan aktif pada temperatur
8oC, pada
umumnya, sistem pengolahan anaerob didesain untuk beroperasi
pada temperatur
optimal untuk mesofilik yaitu antara 30 sampai 40 oC (Malina
& Pohland, 1992).
Kriteria desain untuk kolam anaerob dapat dilihat pada Tabel
2.2.
Tabel 2.2 Kriteria desain kolam anaerob
Parameter Satuan Qasim,
1985
Metcalf &
Eddy, 2003
WHO,
1987
Crites &
Tchobanoglous, 1998 Kedalaman meter 2,5 - 5 2,5 - 5 5 - 10
Waktu detensi hari 20 - 50 5 - 50 2 5 20 - 50
Organic Loading Rate Kg/m3.hari 0,005 0,015 0,3
BOD Removal % 60 - 90
II.3.2 Kolam fakultatif
Kolam fakultatif mempunyai 3 zona yaitu zona anaerobik di bagian
paling
bawah, zona fakultatif di tengah, dan zona aerobik di bagian
atas. Kedalaman kolam
-
II-9
berkisar antara 1 2 meter. Kolam fakultatif berguna untuk
menghilangkan BOD
dan kuman patogen. Kolam ini dapat berupa kolam pertama, ataupun
kolam yang
menerima air dari kolam anaerob. Proses pengolahan berlangsung
akibat adanya
bakteri pada lapisan aerob di bagian atas dan pada lapisan bawah
yang dapat bersifat
anoksik atau anaerob, tergantung keberadaan angin. Oksigen
tersedia dengan adanya
aerasi pada permukaan secara alami dan fotosintesis (Crites
& Tchobanoglous,
1998).
Pada kolam ini, sebagian zat padat tersuspensi (SS) akan
mengendap ke dasar
kolam dan dicerna secara anaerob. Lapisan dasar kolam ini
disebut sebagai lapisan
anaerob. Tiga puluh persen pengurangan BOD dalam kolam terjadi
di dalam lapisan
ini. Pada bagian atas lapisan anaerob terdapat lapisan yang
mengandung oksigen.
Ganggang yang tumbuh di lapisan ini berfotosintesis sambil
membentuk oksigen.
Ganggang mendapatkan zat hara dari hasil penguraian bakteri
aerob yang hadir di
lapisan ini. Untuk dapat hidup, bakteri aerob memerlukan oksigen
yang didapatnya
dari hasil fotosintesis ganggang/algae. Kriteria desain untuk
kolam fakultatif
ditunjukkan pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3 Kriteria desain kolam fakultatif
Parameter Satuan
Benefield &
Randall, 1980
Qasim,
1985
Crites &
Tchobanoglous, 1998
Kedalaman meter 0,9 - 2,4 1 - 2 1,5 - 2,5
Waktu detensi hari 7 - 50 10 - 30
Organic Loading Rate kg/ha.hari 22 - 56 15 - 120
BOD Removal % 70 - 95 70 - 90
II.3.3 Kolam aerob
Kolam aerob merupakan kolam yang cukup dangkal sehingga
penetrasi
cahaya matahari sampai ke seluruh bagian kolam. Akibatnya, kolam
aerob memiliki
aktivitas fotosintesis yang aktif di seluruh bagian kolam selama
ada cahaya matahari.
Kedalaman kolam berkisar antara 0,3 1 meter. Oksigen yang
dihasilkan dari proses
fotosintesis membuat bakteri mendegradasi senyawa organik secara
aerob. Selama
matahari bersinar, nilai dissolved oxygen dan pH meningkat dan
mencapai puncak
kemudian menurun di malam hari. Kolam aerob biasanya
dikombinasikan dengan
-
II-10
kolam lainnya dan terbatas hanya di tempat yang beriklim tropis
(Crites &
Tchobanoglous, 1998). Kriteria desain untuk kolam aerob
ditunjukkan pada Tabel
2.4.
Tabel 2.4 Kriteria desain kolam aerob
Parameter Satuan
Benefield &
Randall, 1980 Qasim, 1985
Crites &
Tchobanoglous, 1998
Kedalaman meter 0,15 - 0,46 0,3 - 1,0 0,3 - 0,6
Waktu detensi hari 2 - 6 5 - 20 5
Organic Loading Rate kg/ha.hari 112 - 224 40 - 120
BOD Removal % 80 - 95 40 - 80
II.4 Aerated Lagoon
Selain kolam stabilisasi, kolam aerasi secara mekanis atau
aerated lagoon
juga digunakan untuk mengolah lindi di Indonesia seperti di TPA
Bantar Gebang
Jakarta (Damanhuri, 2008). Aerated lagoon adalah kolam
pengolahan limbah dengan
kedalaman 2 5 m dan dilengkapi dengan aerator mekanis. Aerator
mekanis
digunakan untuk menyediakan oksigen untuk pengolahan biologi
limbah dan untuk
menjaga padatan biologi berada dalam bentuk tersuspensi. Tipe
dasar aerated lagoon
yang dikelompokkan berdasarkan cara padatan atau lumpur
ditanggulangi terdiri dari
facultative partially mixed, aerobic flow through with partial
mixing, dan aerobic
dengan resirkulasi lumpur dan complete mixing (Metcalf &
Eddy, 2003). Kriteria
desain untuk masing-masing tipe aerated lagoon dapat dilihat
pada Tabel 2.5.
Tabel 2.5 Kriteria desain aerated lagoon
(Metcalf & Eddy, 2003)
Parameter Satuan Facultative Aerobic flow
through
Aerobic dengan
resirkulasi lumpur
Kedalaman kolam m 2 5 2 5 2 5
SRT hari 3 6 10 30
HRT hari 4 10 3 6 0,25 2
Koef. temperatur 1,04 1,04 1,04
Mixing regime Partially
mixed
Partially
mixed
Complete mixed
Energi input min. kW/103m
3 1 1,25 5 8 16 20
-
II-11
II.4.1 Facultative partially mixed lagoon
Pada facultative partially mixed lagoon, energi input hanya
cukup untuk
mentransfer sejumlah oksigen yang diperlukan untuk pengolahan
biologi, tetapi tidak
cukup untuk mempertahankan padatan dalam bentuk tersuspensi.
Oleh karena itu,
padatan tersuspensi yang masuk ke kolam dan padatan baru yang
terbentuk di dalam
kolam sebagai hasil dari penyisihan substrat akan mengendap dan
terdekomposisi
secara anaerobik di dasar kolam. Konversi limbah secara biologi
di dalam kolam
sebagian terjadi secara aerob dan sebagian anaerob sehingga
dinamakan fakultatif.
Oleh karena tidak ada cara yang mutlak untuk mengatur faktor
yang mempengaruhi
kolam seperti pola sirkulasi arah angin, penggunaan facultative
lagoon telah
berkurang, khususnya jika standar baku mutu harus dipenuhi
secara tepat.
II.4.2 Aerobic flow-through partially mixed lagoon
Pada aerobic flow through aerated lagoon, energi input cukup
besar sehingga
dapat mendifusikan oksigen yang dibutuhkan ke dalam likuid dan
dapat membuat
padatan dalam bentuk tersuspensi namun tidak semua padatan.
Secara operasional,
waktu retensi hidrolik dan waktu retensi lumpur sama (SRT =
HRT). Padatan yang
terkandung di dalam efluen disisihkan secara utama pada sebuah
fasilitas sedimentasi
eksternal.
II.4.3 Aerobic lagoon dengan resirkulasi lumpur dan complete
mixing
Pada aerobic lagoon dengan resirkulasi lumpur, energi input
lebih besar dari
energi input pada tipe-tipe aerated lagoon yang telah dijelaskan
sebelumnya. Hampir
semua padatan berada dalam bentuk tersuspensi karena terjadi
complete mixing. Tipe
ini dilengkapi dengan unit pengendapan dan resirkulasi
lumpur.
II.5 Constructed Wetland
Constructed wetland adalah sistem pengolahan air limbah
dengan
menggunakan tanaman. Tipe dasar constructed wetland meliputi
free-water-surface
constructed wetland dan subsurface-flow constructed wetland
(Crites &
Tchobanoglous, 1998). Ringkasan prinsip penyisihan dan atau
mekanisme
-
II-12
transformasi untuk masing-masing bentuk constructed wetland
dapat dilihat pada
Tabel 2.6.
Tabel 2.6 Ringkasan prinsip penyisihan dan mekanisme
transformasi bahan
pencemar air limbah dalam constructed wetland
(Crites & Tchobanoglous, 1998)
Bahan Pencemar Free Water Surface Subsurface Flow
System
Organik
Biodegradable
Biokonversi oleh bakteri
aerob, fakultatif, dan
anaerob, adsorpsi, filtrasi,
sedimentasi
Biokonversi oleh bakteri
fakultatif dan anaerob
Padatan
Tersuspensi
Sedimentasi, filtrasi Filtrasi, sedimentasi
Nitrogen Nitrifikasi / denitrifikasi,
volatilisasi, plant uptake
Nitrifikasi /
denitrifikasi, volatilisasi,
plant uptake
Fosfor Sedimentasi, plant uptake Filtrasi, sedimentasi,
plant uptake
Logam Berat Adsorpsi oleh tanaman,
sedimentasi
Adsorpsi, biodegradasi
Trace Organic Volatilisasi, adsorpsi,
biodegradasi
Adsorpsi, biodegradasi
Patogen Sedimentasi, ekskresi
antibiotik oleh akar,
kematian alami, predasi
Sedimentasi, ekskresi
antibiotik oleh akar,
kematian alami, predasi
II.5.1 Free water surface
Free water surface (FWS) merupakan sebuah saluran atau kolam
yang
paralel dan memiliki lapisan penahan yang bersifat impermeabel
untuk mencegah
terjadinya rembesan. Pada tipe ini, permukaan air tidak
terlindung atau bersentuhan
dengan udara luar. Kolam berisi tanaman terapung. Lapisan tanah
di dasar kolam
berfungsi sebagai media akar. Kedalaman air berkisar dari hanya
beberapa sentimeter
sampai 0,8 meter atau lebih tergantung dari tujuan dibangunnya
wetlands.
Kedalaman yang biasa dipakai adalah 0,3 meter. Debit aliran air
yang masuk ke FWS
berkisar dari 4 m3/det sampai lebih dari 75.000 m
3/det. Pengolahan air limbah
biasanya digunakan terlebih dahulu dan selanjutnya terjadi
pengolahan dimana air
-
II-13
limbah mengalir secara perlahan melalui batang dan akar tanaman
yang ditanam di
atas kolam.
Batang dan daun yang mengapung di air dan juga sampah dapat
dijadikan
sebagai media pendukung untuk perlekatan dan pertumbuhan
bakteri. Untuk
mendukung pertumbuhan tanaman maka transportasi oksigen
dilakukan melalui daun
menuju ke bawah daerah akar. Jumlah oksigen yang terbatas
memungkinkan batang
yang berada di bawah permukaan air menjadi keluar untuk membantu
petumbuhan
bakteri terlekat.
Pengolahan primer untuk FWS biasanya merupakan pengendapan
(tangki
septik atau tangki imhoff), penyaringan menggunakan rotary disk
filter, atau kolam
stabilisasi. Karena sumber utama dari oksigen berasal dari
proses aerasi permukaan
terhadap udara bebas yang ada di atmosfer dan juga mengingat
pertumbuhan dari
alga, maka beban BOD yang dibutuhkan secara umum harus berada di
bawah 100
lb/ac.day. Jenis tanaman yang paling banyak digunakan adalah
cattails, bulrush,
reeds, arrowhead, dan sedges. FWS memiliki kemampuan mereduksi
BOD sebesar
60 80 %, TSS 50 90 % (dipengaruhi oleh lingkungan dan
konsentrasi influen
TSS), nitrogen dalam bentuk amonia 25 75 % (waktu detensi 10
hari), fosfor 14 %,
dan fecal coliform 90 99,9 %. Kriteria desain FWS dapat dilihat
pada Tabel 2.7.
Sedangkan, struktur FWS ditunjukkan pada Gambar 2.3.
Tabel 2.7 Kriteria desain free water surface
(Crites & Tchobanoglous, 1998)
Parameter Satuan Besaran
Waktu Detensi hari 2 5 (BOD) 7 14 (N)
Tinggi Muka Air m 0,1 0,5
Beban BOD kg/ha.hari < 110
Kontrol Nyamuk Diperlukan
Harvesting Interval tahun 3 - 5
-
II-14
Gambar 2.3 Free water surface constructed wetland
(US EPA, 1999)
II.5.2 Subsurface flow system
Constructed wetlands dengan aliran bawah permukaan dengan media
kerikil
atau pasir dikenal sebagai sistem subsurface-flow system (SFS).
Pada tipe kedua ini,
kolam digali sampai kedalaman tertentu untuk kemudian diisi
dengan media
penyerap, biasanya kerikil dan tinggi permukaan air
dipertahankan berada di bawah
media kerikil teratas. Kedalaman dari media berkisar antara 0,3
0,6 meter. Debit
aliran air limbah yang masuk ke SFS dapat mencapai 13.000
m3/detik.
SFS didesain untuk menjadi pengolahan limbah tingkat kedua
atau
pengolahan tambahan. SFS terdiri dari saluran atau parit dengan
lapisan kedap di
bagian bawah yang terisi oleh pasir atau kerikil dimana untuk
mendukung tanaman
yang akan ditanam di atasnya. SFS memiliki kelebihan dan
kekurangan
dibandingkan dengan FWS. Kelebihan dari sistem ini adalah lahan
yang diperlukan
relatif kecil, dan dapat mengurangi masalah bau dan juga nyamuk.
Sedangkan
kekurangannya adalah biaya operasional yang tinggi untuk media
kerikil dan potensi
terjadinya clogging pada media cukup besar.
Jenis vegetasi untuk SFS ini sama dengan jenis vegetasi untuk
FWS yaitu
bulrush, reeds, dan beberapa jenis cattails. Alasan dipilihnya
jenis vegetasi ini
karena mampu menyediakan oksigen melalui daerah akar. Selain
itu, area permukaan
dari akar dapat dijadikan sebagai pertumbuhan biologi.
Media yang dapat digunakan untuk SFS adalah kerikil tetapi pada
SFS awal
digunakan pasir. Ukuran kerikil bervariasi dari 0,12 1,25 inchi
(3 32 mm). Untuk
zona inlet, ukuran kerikil sebesar 2 inchi (50 mm). Pada daerah
inlet, ukuran
diameter media harus lebih besar untuk meminimumkan potensi
clogging.
Karakteristik media untuk SFS dapat dilihat pada Tabel 2.8.
-
II-15
Tabel 2.8 Karakteristik media subsurface flow system
(Crites & Tchobanoglous, 1998)
Jenis Media Ukuran Efektif
d10, mm
Porositas
Effluen
Konduktivitas
Hidrolik, ft/d
K20
Sand 1 0,30 1.640 1,84
Coarse sand 2 0,32 3.280 1,35
Gravelly sand 8 0,35 16.400 0,86
Gravel 32 0,40 32.800
Coarse gravel 128 0,45 328.000 Keterangan: d10 adalah diameter
partikel dalam distribusi berat partikel yang lebih kecil dari 10
%
berat semua partikel.
Dengan menggunakan media kerikil yang memiliki area permukaan
yang
lebih besar dibandingkan media pada FWS, media kerikil akan
menghasilkan
kecepatan reaksi lebih cepat sehingga mengakibatkan luas area
yang dibutuhkan
pada SFS lebih kecil dibandingkan dengan FWS. Keuntungan SFS
yang lain adalah
ketiadaan vektor nyamuk dan beberapa jenis serangga karena
permukaan air di SFS
berada di bawah lapisan media teratas. Efisiensi dari unit ini
adalah 65 88 % untuk
BOD, 86 % untuk nitrogen organik yang berasal dari efluen
pengolahan tingkat I, 10
40 % untuk fosfat, dan 99 % untuk total coliform (Crites &
Tchobanoglous, 1998).
Kriteria desain SFS dapat dilihat pada Tabel 2.9. Sedangkan,
struktur SFS
ditunjukkan pada Gambar 2.4.
Tabel 2.9 Kriteria desain subsurface flow system
(Crites & Tchobanoglous, 1998)
Parameter Satuan Besaran
Waktu Detensi hari 3 4 (BOD) 6 10 (N)
Tinggi Muka Air m 0,3 0,6
Tinggi Media m 0,5 0,8
Beban BOD kg/ha.hari < 112
-
II-16
Gambar 2.4 Subsurface flow constructed wetland
(Farooqi, et.al., 2008)
Subsurface flow constructed wetland terdiri dari dua tipe
aliran. Tipe aliran
tersebut adalah aliran horizontal dan aliran vertikal. Pada
constructed wetland aliran
vertikal, aliran vertikal dapat dibuat melalui dua cara yaitu
dengan aliran vertikal
menurun dan vertikal menanjak.
Pada constructed wetland aliran horizontal, air limbah masuk
dari inlet
kemudian secara perlahan mengalir melalui media berpori di bawah
permukaan
tanah sampai ke outlet. Salah satu kelemahan tipe aliran
horizontal adalah
kemungkinan terjadinya aliran pendek, yaitu air limbah melewati
jalur terpendek
untuk keluar dari sistem. Hal ini menyebabkan air limbah tidak
mencapai zona akar
secara merata dan proses pengolahan menjadi kurang efektif.
Pada aliran vertikal menurun, air limbah dialirkan ke dalam
lahan basah
buatan dari lapisan atas media sampai ke saluran outlet yang
berada di dasar media.
Air akan mengalir ke bawah dengan melewati zona akar dengan gaya
gravitasi. Akan
tetapi, aliran air dari atas media juga masih ada kemungkinan
untuk mengalir
langsung ke bawah tanpa tersebar dengan merata di zona akar
(Cooper, 1999 dalam
D. Savitri R., 2007).
Pada aliran vertikal menanjak, air limbah masuk melalui pipa
yang berada di
lapisan dasar media, menggenang di dasar, kemudian secara
perlahan-lahan naik dari
lapisan bawah ke lapisan atas melalui zona akar. Jika genangan
sudah mencapai
lapisan paling atas media, dengan sendirinya air akan keluar
melalui saluran outlet
yang berada di atas. Dalam sistem aliran vertikal menanjak ini,
air akan mempunyai
kesempatan yang lebih lama berkontak dengan zona akar (Cooper,
1999 dalam D.
Savitri R., 2007).
-
II-17
Salah satu vegetasi yang dapat digunakan dalam subsurface flow
constructed
wetland adalah Cyperus papyrus. Cyperus papyrus termasuk ke
dalam genus
Cyperaceae (Sedges). Genus ini termasuk ke dalam tanaman yang
muncul di
permukaan (emergent species). Tanaman ini hidup pada pH optimum
5 7,5.
Cyperus papyrus merupakan tanaman monokotil dengan sistem
perakaran rhizoma
dan batang keras. Tanaman ini akan menutupi area wetland kurang
lebih satu tahun
bila jarak antar tanaman 0,15 m. Tanaman ini dapat digenangi air
secara terus
menerus atau permanen namun juga dapat bertahan dalam kondisi
tidak ada air
(Reed, 1995 dalam Syarifa, 2010). Tanaman ini bertoleransi
terhadap nutrisi dan
dapat hidup dalam cahaya matahari penuh ataupun dengan sinar
matahari sebagian
saja. Perakaran tanaman tersebut cukup dalam, bisa mencapai 0,7
m untuk penetrasi
pada media pasir atau tanah sehingga cocok untuk digunakan
sebagai tanaman
wetland buatan dengan sistem aliran bawah permukaan atau
subsurface flow
constructed wetland (Syarifa, 2010).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Syarifa (2010),
subsurface flow
constructed wetland dengan aliran vertikal dengan menggunakan
tanaman Cyperus
papyrus dapat menyisihkan COD, BOD, NTK, TSS, warna pada lindi
berturut-turut
sebesar 95,75%, 89,08%, 85,33%, 92,24%, 99%. Selain itu, juga
terjadi penyisihan
logam Fe, Cu, Zn sebesar 91,38%, 98,15% dan 97,71% (Risnawati,
2010).
Penggunaan vegetasi selain berfungsi menyerap pencemar juga
berfungsi
menggemburkan media tanah dan mendifusikan oksigen ke dalam
tanah melalui akar
sehingga degradasi pencemar secara aerob dapat terjadi.
II.6 Kualitas Efluen Instalasi Pengolahan Lindi
Oleh karena belum adanya baku mutu efluen lindi dari sebuah
landfill
sampah kota, maka untuk efluen IPL digunakan persyaratan seperti
tercantum dalam
Tabel 2.10. Bila efluen lindi dibuang ke badan air penerima
untuk peruntukkan
tertentu, maka efluen tersebut harus sesuai dengan baku mutu
peruntukkan badan air
penerima, misalnya badan air penerima diperuntukkan sebagai air
baku air minum,
maka kualitas badan air penerima harus tetap memenuhi kualitas
baku mutu air
tersebut (Damanhuri, 2008).
-
II-18
Tabel 2.10 Baku mutu efluen IPL
(KEP-51/MENLH/10/1995 tentang baku mutu limbah cair golongan
II)
Komponen Satuan Baku Mutu
Zat Padat Terlarut mg/L 4.000
Zat Padat Tersuspensi mg/L 400
pH - 6 9
N-NH3 mg/L 5
N-NO3 mg/L 30
N-NO2 mg/L 3
BOD mg/L 150
COD mg/L 300
-
III-1
BAB III
METODOLOGI
III.1 Tahapan Studi
Dalam studi ini dilakukan beberapa tahapan. Tahapan studi
tersebut dapat
dilihat pada diagram alir dalam Gambar 3.1.
Gambar 3.1 Metodologi
-
III-2
III.2 Waktu dan Lokasi Pengambilan Sampel
Untuk membandingkan data konsentrasi pemcemar lindi TPA Suwung
pada
Desember 2010 yang berasal dari Puslitbang Permukiman
Kementerian Pekerjaan
Umum, dilakukan pengambilan sampel lindi secara langsung pada 25
Mei 2011 di
lokasi yang sama. Pengambilan sampel dilakukan sebanyak tiga
kali yaitu pada pagi
hari, siang hari, dan sore hari pukul 09.00 WITA, 12.00 WITA,
dan 16.00 WITA di
setiap lokasi. Cuaca pada saat pengambilan sampel adalah
cerah.
Lokasi pengambilan sampel berada pada masing-masing inlet dan
outlet unit
pengolahan pada Instalasi Pengolahan Lindi (IPL) TPA Suwung yang
dibangun
Tahun 2010 (IPL 2). Terdapat lima lokasi pengambilan sampel.
Lokasi tersebut
adalah inlet kolam anaerob, outlet kolam anaerob, outlet kolam
fakultatif, outlet
kolam aerob, dan outlet constructed wetland.
III.3 Parameter yang Diperiksa
Parameter yang diperiksa terdiri dari parameter fisika dan
parameter kimia.
Parameter fisika terdiri dari temperatur, total dissolved solid
(TDS), total suspended
solid (TSS), dan daya hantar listik. Parameter kimia terdiri
dari pH, amonium,
amoniak, nitrat, nitrit, nitrogen organik, nitrogen total
kjeldahl (NTK), total fosfat,
ortho fosfat, dissolved oxygen (DO), biological oxygen demand
(BOD), chemical
oxygen demand (COD), sulfat, klorida, dan besi. Pemeriksaan
parameter dilakukan di
Laboratorium Kualitas Air dan Laboratorium Limbah Padat dan B3
Teknik
Lingkungan ITB.
III.4 Evaluasi IPL Eksisting
Berdasarkan data-data primer dan sekunder yang telah diperoleh,
dilakukan
pengolahan data karakteristik lindi di sumber dan di
masing-masing unit pengolahan
untuk mengetahui efisiensi penyisihan polutan. Setelah itu,
dilakukan evaluasi
instalasi yang ada apakah sudah memenuhi kriteria atau belum
memenuhi kriteria.
III.5 Perbaikan IPL
Alternatif pengolahan disusun sebagai rencana perbaikan
instalasi agar
instalasi yang sudah ada dapat teroptimalkan. Dari beberapa
alternatif, dipilih satu
-
III-3
alternatif pengolahan yang memungkinkan untuk diterapkan di
wilayah studi. Setelah
didapat unit pengolahan terpilih, dilakukan perhitungan dimensi
unit pengolahan.
Dimensi unit pengolahan dihitung berdasarkan kriteria desain
pengolahan, debit dan
karakteristik lindi, standar kualitas, dan efisiensi pengolahan.
Perlengkapan
pengolahan seperti aerator juga perlu direncanakan dan dihitung
agar proses
pengolahan dapat berjalan secara optimal. Pembuatan gambar
desain unit pengolahan
perlu dilakukan agar dapat terlihat dengan jelas bagaimana
rancangan unit
pengolahan yang telah didesain. Profil hidrolis juga perlu
dibuat untuk menunjukkan
tinggi muka air di masing-masing unit pengolahan.
III.6 Perhitungan Biaya dan Penyusunan Spesifikasi Teknis
Perhitungan biaya perlu dilakukan agar dapat diketahui kisaran
biaya yang
dibutuhkan untuk perbaikan instalasi pengolahan lindi di TPA
Suwung. Selain itu,
diperlukan pula ketentuan pelaksanaan, spesifikasi teknis
material, pekerjaan
sipil/konstruksi, dan pekerjaan mekanikal/elektrikal.
-
IV-1
BAB IV
GAMBARAN UMUM OBJEK STUDI
IV.1 Gambaran Umum Kota Denpasar
Kota Denpasar terletak di belahan selatan Pulau Bali dan
merupakan Ibukota
Propinsi Bali (Gambar 4.1). Secara geografis, wilayah Kota
Denpasar berada di
antara 8o3531 8o4449LS dan 115o1023 115o1627BT dengan luas
wilayah 127,78 km2 dengan batas-batas sebagai berikut :
Batas Utara : Kabupaten Badung
Batas Selatan : Selat Badung
Batas Timur : Kabupaten Gianyar
Batas Barat : Kabupaten Badung
Gambar 4.1 Peta Propinsi Bali
(Atlas Pintar Indonesia Dunia, 2011)
-
IV-2
Denpasar terdiri dari 4 kecamatan dan 43 desa/kelurahan.
Kecamatan tersebut
yaitu Denpasar Utara, Denpasar Selatan, Denpasar Timur, dan
Denpasar Barat.
Jumlah penduduk Kota Denpasar sebesar 612.634 jiwa dengan
kepadatan penduduk
sebesar 4.941 jiwa/Km2.
Ditinjau dari topografi, keadaan Kota Denpasar secara umum
miring ke arah
selatan dengan ketinggian berkisar antara 0 75 m di atas
permukaan laut. Morfologi
landai dengan kemiringan lahan sebagian besar berkisar antara 0
5% namun di
bagian tepi kemiringannya bisa mencapai 15%.
Jumlah curah hujan tahun 2006 di Kota Denpasar adalah 1.433
mm.
Temperatur rata-rata pada tahun 2005 berkisar antara 24,7oC
28,7oC dengan rata-
rata 26,6oC. Kota Denpasar termasuk beriklim tropis yang
dipengaruhi angin musim.
Data curah hujan dan temperatur tahun 2007 dan rata-rata tahun
1999 2000 di
Kota Denpasar yang berasal dari Stasiun Meteorologi Kelas I
Ngurah Rai dengan
posisi geografis 8o44 LS dapat dilihat pada Tabel 4.1 dan Tabel
4.2.
Tabel 4.1 Angka perbandingan curah hujan di Kota Denpasar
(Dinas Meteorologi dan Geofisika Kota Denpasar, 2007 dalam
Kementerian
Pekerjaan Umum, 2009)
Bulan
Curah Hujan (mm)
2007 Rata-rata
(1990 2000)
Januari 120 405
Februari 73 331
Maret 427 194
April 97 116
Mei 26 76
Juni 21 41
Juli 6 22
Agustus 18 6
September 0 24
Oktober 44 131
November 266 227
Desember 466 318
-
IV-3
Tabel 4.2 Angka perbandingan temperatur di Kota Denpasar
(Dinas Meteorologi dan Geofisika Kota Denpasar, 2007 dalam
Kementerian
Pekerjaan Umum, 2009)
Bulan
Temperatur (oC)
2007 Rata-rata
(1990 2000)
Januari 28,7 28,4
Februari 32,85 32,58
Maret 29,25 31,38
April 28,5 27,4
Mei 28,8 28
Juni 27,1 29,15
Juli 26,3 27,45
Agustus 26,4 26,6
September 27,05 27,25
Oktober 28,35 28,2
November 29,6 28,75
Desember 28,65 28,45
IV.2 Gambaran Umum Pengelolaan Sampah di Kota Denpasar
Pola pengelolaan saat ini masih menetapkan paradigma lama
dengan
mengandalkan kumpul-angkut-buang. Timbunan sampah total yang
masuk ke TPA
Suwung pada tahun 2008 adalah 2.634 m3/hari. Institusi yang
menangani masalah
persampahan di Kota Denpasar adalah Bidang Kebersihan dan
Pertamanan di bawah
Dinas Lingkungan Hidup, Kebersihan, dan Pertamanan (DLHKP).
Teknik
operasional pengelolaan sampah di Kota Denpasar dapat dilihat
pada Gambar 4.2.
Gambar 4.2 Diagram alir teknik operasional pengelolaan sampah di
Kota Denpasar
(Kementerian Pekerjaan Umum, 2009)
-
IV-4
IV.3 Gambaran Umum TPA Suwung
Berdasarkan Kementerian Pekerjaan Umum (2009), TPA Suwung berada
di
wilayah Desa Suwung Kauh, Kecamatan Denpasar Selatan. Status
kepemilikan tanah
yang dimanfaatkan untuk TPA Suwung adalah milik Pemda (Dinas
Kehutanan).
Jenis tanah di lokasi TPA adalah campuran pasir atau lanau/silt
dan topografinya
relatif datar (dekat pantai) dengan menempati area kawasan hutan
bakau (mangrove).
TPA Suwung mulai dioperasikan pada tahun 1986. TPA Suwung
merupakan
TPA regional yang ditujukan untuk melayani wilayah Denpasar,
Badung, Gianyar,
dan Tabanan (Sarbagita). Jarak dari lokasi permukiman sekitar
1,2 km ke arah utara
yaitu dari Desa Sesetan. Tempat ini merupakan daerah terbuka.
Sebagian besar
daerah di sekitar area TPA Suwung ditumbuhi tanaman bakau
(mangrove). Selain
itu, di sekitar lokasi juga terdapat bekas tambak dan
penggaraman. Lokasi TPA
Suwung dengan sumber sampah berada pada jangkauan jarak 9 km
dengan batas-
batas sebagai berikut :
Utara : Sawah
Timur : Jalan ke Pulau Serangan
Selatan : Hutan bakau
Barat : Lokasi penggaraman
dengan jarak dari lokasi :
Permukiman terdekat : 0,5 km
Sungai / badan air terdekat : 0,5 km
Pantai : 0,5 km
Lapangan terbang : 10 km
Pusat kota : 9 km
Pengelolaan sampah di TPA Suwung masih menggunakan metode
open
dumping, dimana sampah hanya dihamparkan pada suatu lokasi,
dibiarkan terbuka
tanpa pengamanan, dan ditinggalkan setelah lokasi tersebut
penuh. Cara ini masih
diterapkan karena keterbatasan sumber daya (manusia, dana, dan
lain-lain). Akan
tetapi, TPA Suwung sudah mulai direvitalisasi agar menjadi TPA
dengan sistem
sanitary landfill yang mempertimbangkan faktor sanitasi
lingkungan mengingat
banyaknya potensi pencemaran yang ditimbulkan oleh sistem open
dumping.
-
IV-5
Lahan efektif landfill sampah kota pada TPA Suwung terdiri atas
dua blok
landfill dengan luas keseluruhan seluas 28 ha. Dasar landfill
terletak pada elevasi +
15 m sampai + 35 m. Landfill terdiri dari 3 4 lift dengan
ketinggian timbunan 15
20 m dari dasar pengupasan lahan. TPA Suwung dapat menampung
sampah sekitar
4.764,7 m3/hari sampah kota atau dapat melayani wilayah
Sarbagita sampai dengan
tahun 2020.
Lapisan liner dibentuk dari material dengan permeabilitas dan
kelulusan yang
rendah. Lapisan dasar lahan terdiri dari tiga jenis pelapisan
yaitu :
a. Lapisan kedap, lapisan terbawah yang berfungsi sebagai
penahan resapan lindi ke
lapisan tanah di bawahnya.
b. Lapisan pasir, berfungsi sebagai tempat pengaliran lindi
menuju ke saluran
pengumpul.
c. Lapisan tanah, berfungsi sebagai lapisan kedap dari
pelintasan kendaraan dan
gangguan-gangguan lainnya.
Tanah penutup berasal dari lokasi dan sekeliling lokasi. Tanah
ini telah
memenuhi syarat untuk digunakan sebagai tanah penutup dengan
karakteristik sama
dengan pelapis dasar yaitu sandy loam. Ketebalan tanah penutup
antara adalah 0,30
m. Ketebalan tanah penutup akhir adalah 0,60 m. Kemiringan
lapisan sampah adalah
15 25 % untuk lapisan harian dan lapisan antara. Lapisan akhir
memiliki
kemiringan 20 30 %. Kemiringan permukaan tanah datar adalah 3
%.
IV.4 Kondisi Eksisting Instalasi Pengolahan Lindi TPA Suwung
Pengolahan lindi TPA Suwung ditempatkan di titik terendah dari
lokasi TPA
dengan demikian pengalirannya dapat dilakukan secara gravitasi.
Sistem pengolahan
lindi berfungsi untuk menurunkan kadar BOD dari lindi sebelum
dibuang ke badan
air penerima. Rangkaian pengolahan lindi TPA Suwung meliputi
(Gambar 4.3) :
1. Kolam anaerob
2. Kolam fakultatif
3. Kolam aerob
4. Constructed wetland
Pengolahan lindi terdiri atas dua instalasi yang dibangun pada
tahun 2009
(IPL 1) dan tahun 2010 (IPL 2) dengan kapasitas total 3,4
L/detik. Debit masing-
-
IV-6
masing instalasi adalah 1,7 L/detik. Rangkaian pengolahan lindi
tersebut dipilih
dengan pertimbangan tersedianya sinar matahari yang cukup untuk
proses
fotosintesis serta biaya pembangunan yang relatif murah dan
mudah
pengoperasiannya.
Gambar 4.3 Diagram alir IPL TPA Suwung
(Kementerian Pekerjaan Umum, 2009)
IV.4.1 Kolam anaerob
IPL Suwung memiliki dua kolam anaerob yang terletak paralel satu
sama lain
dan memiliki dimensi yang sama. Kolam berbentuk segi empat yang
terbagi dalam
lima kompartemen yang dipisahkan dengan bafel. Lindi dari pipa
pengumpul
disalurkan ke inlet kolam anaerob kemudian lindi tersebut
mengalir secara gravitasi
melalui kompartemen-kompartemen dan keluar melalui outlet kolam
anaerob menuju
inlet kolam pengolahan selanjutnya. Dimensi kolam anaerob dapat
dilihat pada
Tabel 4.3. Kondisi di lapangan saluran inlet, alat ukur debit,
dam kolam anaerob
dapat dilihat pada Gambar 4.4, Gambar 4.5, dan Gambar 4.6.
Tabel 4.3 Dimensi kolam anaerob
(Kementerian Pekerjaan Umum, 2009)
Parameter Nilai
Panjang (m) 25
Lebar (m) 20
Kedalaman (m) 2,5
Panjang bafel (m) 16
Lebar bafel (m) 0,2
Jumlah bafel 4
Jumlah unit kolam 2
-
IV-7
Gambar 4.4 Saluran inlet IPL TPA Suwung
Gambar 4.5 Alat ukur debit v-notch
Gambar 4.6 Kolam aerob IPL TPA Suwung
-
IV-8
IV.4.2 Kolam fakultatif
Terdapat dua kolam fakultatif dengan kedalaman yang dangkal yang
terletak
paralel satu sama lain dan memiliki dimensi yang sama. Kolam
fakultatif terbagi
menjadi lima kompartemen dengan elevasi yang semakin rendah
sehingga lindi dapat
mengalir secara gravitasi. Masing-masing kompartemen dipisahkan
dengan suatu
ambang. Dimensi kolam fakultatif ditunjukkan pada Tabel 4.4.
Sedangkan kondisi
kolam fakultatif di lapangan dapat dilihat pada Gambar 4.7.
Tabel 4.4 Dimensi kolam fakultatif
(Kementerian Pekerjaan Umum, 2009)
Parameter Nilai
Panjang (m) 25
Lebar (m) 15
Jumlah kompartemen 5
Panjang tiap kompartemen (m) 15
Lebar tiap kompartemen (m) 4,5 4,75
Kedalaman tiap kompartemen (m) 0,4 0,75
Jumlah unit kolam 2
Gambar 4.7 Kolam fakultatif IPL TPA Suwung
IV.4.3 Kolam aerob
Kolam pengolahan lindi selanjutnya adalah kolam aerob. Kolam
aerob
terdiri dari dua kolam yang terletak paralel satu sama lain dan
memiliki dimensi yang
-
IV-9
sama. Kolam aerob berbentuk segi empat dengan hanya satu
kompartemen. Kolam
aerob berbatasan langsung dengan kolam fakultatif dan dibatasi
dengan ambang.
Lindi yang beasal dari kolam fakultatif mengalir secara
gravitasi dan melewati
ambang kemudian mengalir ke kolam aerob dengan membentuk
terjunan. Dimensi
kolam aerob ditunjukkan pada Tabel 4.5. Sedangkan kondisi kolam
fakultatif di
lapangan dapat dilihat pada Gambar 4.8.
Tabel 4.5 Dimensi kolam aerob
(Kementerian Pekerjaan Umum, 2009)
Parameter Nilai
Panjang (m) 12,5
Lebar (m) 7,95
Kedalaman (m) 1,4
Jumlah unit kolam 2
Gambar 4.8 Kolam aerob IPL TPA Suwung
IV.4.4 Constructed wetland
Guna menyisihkan pencemar yang belum dapat tersisihkan di
pengolahan
sebelumnya, maka dibuat pengolahan tambahan dengan constructed
wetland dengan
menggunakan vegetasi Rumput Gajah (Penisetum purpureum).
Constructed wetland
eksisting bertipe subsurface flow dengan aliran vertikal
menurun. Desain constructed
-
IV-10
wetland IPL TPA Suwung dapat dilihat pada Tabel 4.6. Kondisi di
lapangan,
constructed wetland IPL TPA Suwung sudah menyerupai kolam dan
tidak ada lagi
vegetasi yang tumbuh di atasnya seperti yang terlihat pada
Gambar 4.9.
Tabel 4.6 Dimensi constructed wetland
(Kementerian Pekerjaan Umum, 2009)
Parameter Nilai
Panjang (m) 15
Lebar (m) 10
Ketebalan lapisan (m) :
Top soil dengan rumput gajah
Batu marmer / batu kapur
Tanah
0,30
0,40
0,60
Jumlah unit 2
Gambar 4.9 Constructed wetland IPL TPA Suwung
Setelah melalui unit pengolahan constructed wetland, lindi yang
berasal dari
IPL 1 dan IPL 2 seluruhnya dialirkan ke kolam penampung.
Selanjutnya dari kolam
penampung tersebut lindi dialirkan ke badan air yaitu laut.
Dimensi kolam
penampung dapat dilihat pada Tabel 4.7. Sedangkan kondisi kolam
penampung di
lapangan dapat dilihat pada Gambar 4.10.
-
IV-11
Tabel 4.7 Dimensi kolam penampung
(Kementerian Pekerjaan Umum, 2009)
Parameter Nilai
Panjang (m) 15
Lebar (m) 10
Kedalaman total (m) 2
Jumlah unit kolam 1
Gambar 4.10 Kolam penampung IPL TPA Suwung
-
V-1
BAB V
EVALUASI UNIT PENGOLAHAN
V.1 Karakteristik Lindi
Karakteristik lindi yang masuk ke dalam Instalasi Pengolahan
Lindi (IPL)
TPA Suwung pada Desember 2010 ditunjukkan pada Tabel 5.1. Pada
Mei 2011
dilakukan kembali pemeriksaan karakteristik lindi yang masuk ke
IPL TPA Suwung.
Hasil pemeriksaan ditunjukkan pada Tabel 5.2. Berdasarkan hasil
analisis
karakteristik fisik dan kimia lindi tersebut terlihat bahwa
lindi mempunyai sifat
cenderung basa yang merupakan tipikal lindi di Indonesia namun
nilai pH masih
berada pada rentang pH yang cocok untuk kehidupan biologi yaitu
6 9. Temperatur
lindi berada pada kisaran temperatur optimum untuk akivitas
bakteri yaitu 25 35
oC. Nilai TDS dan TSS lindi IPL TPA Suwung tergolong lindi segar
(umur landfill
satu tahun) yaitu berada pada kisaran 10.000 14.000 mg/L untuk
TDS dan 100
700 mg/L untuk TSS (Chian & Dewalle, 1976 dalam Qasim &
Chiang, 1994).
Pada pemeriksaan lindi bulan Desember 2010 seperti ditunjukkan
pada Tabel
5.1, nilai BOD dan COD lindi sangat rendah yaitu hanya sebesar
198,4 mg/L untuk
BOD dan 224,2 mg/L untuk COD. Nilai tersebut tidak sesuai dengan
nilai tipikal
BOD dan COD lindi yang nilainya dapat mencapai ribuan bahkan
puluhan ribu.
Setelah dilakukan pemeriksaan kembali karakteristik lindi pada
bulan Mei 2011
seperti ditunjukkan pada Tabel 5.2, didapat nilai BOD lindi TPA
Suwung yang
sangat tinggi dan mencapai 3.667,67 mg/L, sedangkan nilai COD
mencapai 8.341,33
mg/L. Menurut Grady & Liem (1980), jika konsentrasi COD
dalam air limbah
4.000 mg/L maka proses anaerob lebih ekonomis. Jika didapat
karakteristik lindi
untuk parameter BOD dan COD yang rendah seperti pada Desember
2010 maka lindi
tidak perlu diolah dengan kolam anaerob. Nilai BOD/COD pada
Desember 2010
(Tabel 5.1) adalah 0,88. Sedangkan, nilai BOD/COD pada Mei 2011
(Tabel 5.2)
adalah 0,44. Nilai tersebut menunjukkan bahwa lindi dapat diolah
dengan
pengolahan biologis.
-
V-2
Tabel 5.1 Karakteristik lindi TPA Suwung pada Desember 2010
(Puslitbang Permukiman Kementerian Pekerjaan Umum, 2010)
No. Parameter Satuan Hasil Pemeriksaan
Fisika
1 Temperatur oC 29
2 TDS mg/L 4.180,4
3 TSS mg/L 525,25
Kimia
1 pH 7,6
2 Besi terlarut (Fe) mg/L 4,1
3 Mangan terlarut (Mn) mg/L 3,45
4 Barium (Ba) mg/L 0
5 Tembaga (Cu) mg/L 2,6
6 Seng (Zn) mg/L 6,7
7 Krom heksavalen (Cr6+
) mg/L 0,9
8 Krom total (Cr) mg/L 1,2
9 Cadmium (Cd) mg/L 0,16
10 Raksa (Hg) mg/L TTD
11 Timbal (Pb) mg/L 0,45
12 Stanum mg/L TTD
13 Arsen mg/L 0,75
14 Selenum mg/L 0,7
15 Nikel (Ni) mg/L TTD
16 Kobalt (Co) mg/L TTD
17 Sianida (CN) mg/L 0,9
18 Sulfida (H2S) mg/L 1,9
19 Flourida (F) mg/L TTD
20 Klorin bebas (Cl2) mg/L TTD
21 Amoniak (NH3-N) mg/L 19,75
22 Nitrat (NO3-N) mg/L 16,2
23 Nitrit (NO2-N) mg/L 4
24 BOD5 mg/L 198,4
25 COD mg/L 224,2
26 Fenol mg/L 1,8
27 Minyak nabati mg/L 1,2
28 Minyak mineral mg/L
Keterangan :
TTD : Tidak terdeteksi
-
V-3
Tabel 5.2 Karakteristik lindi TPA Suwung pada Mei 2011
No. Parameter Satuan Hasil Pemeriksaan
Fisika
1 Temperatur oC 30,8
2 TDS mg/L 13.161,78
3 TSS mg/L 533,33
4 Daya Hantar Listrik S/cm 22,81
Kimia
1 pH 8,07
2 Amonium (NH4-N) mg/L 360,91
3 Amoniak (NH3-N) mg/L 53,15
4 Nitrat (NO3-N) mg/L 20,26
5 Nitrit (NO2-N) mg/L 1,77
6 Nitrogen Organik mg/L 431,17
7 Nitrogen Total Kjeldahl mg/L 484,33
8 Total Fosfat (PO4-3-P) mg/L 1,41
9 Ortho Fosfat (PO4-3-P) mg/L 0,81
10 DO mg/L 1,75
11 BOD5 mg/L 3.667,67
12 COD mg/L 8.341,33
13 Sulfat mg/L 1.061,96
14 Klorida mg/L 1.405,8
15 Besi mg/L 36,9
Lindi IPL TPA Suwung juga mengandung senyawa nitrogen dan fosfat
yang
berfungsi sebagai nutrien yang berperan dalam pertumbuhan
mikroorganisme.
Perbandingan BOD : N : P adalah 100 : 12,4 : 0,02. Berdasarkan
literatur, komposisi
BOD : N : P yang sesuai untuk pengolahan biologis adalah 100 : 5
: 1 (Wisjnuprapto,
2010).
Lindi TPA Suwung juga mengandung pencemar lain seperti klorida,
sulfat,
dan logam. Seperti ditunjukkan pada Tabel 5.2, kandungan klorida
pada lindi
menunjukkan bahwa lindi tersebut berasal dari timbunan sampah
yang berusia
kurang dari dua tahun karena karakteristik lindi dari landfill
baru memiliki
kandungan klorida yang berkisar antara 200 3.000 mg/l
(Tchobanoglous, 1993
dalam Qasim & Chiang, 1994). Demikian juga dengan parameter
sulfat yang
memiliki nilai 50 1.000 mg/L pada lindi yang berasal dari
landfill baru, lindi TPA
Suwung mendekati rentang tersebut.
-
V-4
Seperti ditunjukkan pada Tabel 5.1 dan Tabel 5.2, lindi TPA
Suwung
mengandung unsur logam seperti besi dan juga logam berat seperti
tembaga, seng,
krom, cadmium, dan timbal. Unsur logam ini kemungkinan berasal
dari sampah
elektronik, baterai, dan barang-barang lain yang mengandung
logam yang terbawa
sampai ke TPA. Konsentrasi tipikal unsur logam pada lindi sampah
kota dapat dilihat
pada Tabel 5.3. Konsentrasi logam besi, seng, dan timbal pada
lindi TPA Suwung
memiliki nilai yang lebih rendah dari konsentrasi tipikal lindi
sampah kota pada tabel
berdasarkan U.S. EPA. Sedangkan, untuk parameter krom dan
cadmium, lindi TPA
Suwung memiliki konsentrasi yang lebih besar dari konsentrasi
tipikal lindi sampah
kota pada tabel berdasarkan U.S. EPA. Logam tersebut bersifat
toksik dan harus
diturunkan konsentrasinya sampai memenuhi kadar yang
diperbolehkan untuk
dibuang ke lingkungan dan tidak menimbulkan efek terhadap
makhluk hidup. Akan
tetapi, logam tersebut juga merupakan sumber nutrien mikro yang
dibutuhkan
mikroorganisme untuk pertumbuhannya seperti krom, timbal, dan
seng sedangkan
logam besi merupakan sumber nutrien makro (Crites &
Tchobanoglous, 1998).
Kandungan logam pada lindi dapat dihilangkan dengan sedimentasi
pada kolam
stabilisasi atau dengan filtrasi pada constructed wetland.
Tabel 5.3 Konsentrasi logam tipikal pada lindi sampah kota
(U.S. EPA, 1988)
Parameter Satuan Nilai
Besi (Fe) mg/L 221
Seng (Zn) mg/L 8,32
Krom (Cr) mg/L 0,175
Cadmium (Cd) mg/L 0,022
Timbal (Pb) mg/L 0,162
V.2 Konfigurasi Pengolahan Lindi IPL TPA Suwung
TPA Suwung memiliki instalasi pengolahan lindi (IPL) untuk
mencegah
terjadinya pencemaran air tanah dan air permukaan di sekitar
TPA. IPL TPA Suwung
terletak pada elevasi yang terendah dari keseluruhan wilayah TPA
agar lindi dapat
mengalir secara gravitasi. IPL Suwung didesain berjumlah dua
unit untuk masing-
masing jenis pengolahan yang terletak paralel satu sama
lain.
-
V-5
IPL TPA Suwung memiliki konfigurasi dan diagram alir seperti
ditunjukkan
pada Gambar 5.1. Setelah lindi terkumpul pada pipa pengumpul
lindi, lindi tersebut
akan masuk ke dalam unit pengolahan yang terdiri dari kolam
anaerob, kolam
fakultatif, kolam aerob, dan constructed wetland. Setelah
melalui pengolahan, lindi
tersebut akan mengalir ke laut sebagai badan air penerima.
Konfigurasi IPL TPA
Suwung sudah sesuai seperti konfigurasi kolam stabilisasi
menurut Pescod & Mara
(1988) dalam http://stabilizationponds.sdsu.edu/ yang
ditunjukkan pada Gambar 5.2.
Akan tetapi, IPL TPA Suwung tidak dilengkapi dengan tangki
ekualisasi sebelum
kolam pengolahan. Oleh sebab itu, tidak ada pemerataan
konsentrasi lindi yang
masuk. Lindi dengan konsentrasi BOD tinggi maupun rendah
langsung masuk ke
dalam unit kolam anaerob.
Gambar 5.1 Desain konfigurasi dan diagram alir IPL TPA
Suwung
Gambar 5.2 Konfigurasi kolam stabilisasi
(Pescod & Mara, 1988 dalam
http://stabilizationponds.sdsu.edu/)
Ket.
AN : Kolam Anaerob
F : Kolam Fakultatif
M : Kolam Maturasi/Aerob
-
V-6
IPL TPA Suwung dirancang untuk mengolah lindi yang dihasilkan
dari TPA
yang nantinya lindi tersebut akan dibuang ke laut. Oleh karena
itu, kesesuaian
penggunaan unit pengolahan harus tepat untuk setiap parameter
pencemar agar lindi
yang dibuang ke laut sudah aman. Unit pengolahan yang digunakan
untuk
menyisihkan parameter pencemar berdasarkan literatur ditunjukkan
pada Tabel 5.4.
Unit operasi dan unit proses yang digunakan di IPL TPA Suwung
adalah unit-unit
yang diperlukan seperti pada Tabel 5.4.
Tabel 5.4 Unit operasi dan unit proses untuk menyisihkan
parameter pencemar lindi
(Crites & Tchobanoglous, 1998)
Parameter Unit Operasi dan Unit Proses Biodegradable
organic
Pengolahan biologis dengan kolam stabilisasi (anaerob,
fakultatif, aerob);
biokonversi oleh bakteri pada tanaman wetland.
Suspended solid Sedimentasi pada kolam stabilisasi, filtrasi dan
sedimentasi pada wetland.
Nitrogen Nitrifikasi dan denitrifikasi pada kolam stabilisasi;
nitrifikasi/denitrifikasi,
plant uptake, volatilisasi pada wetland.
Fosfor Biological phosphorus removal pada kolam stabilisasi;
filtrasi, sedimentasi,
plant uptake pada wetland.
Logam berat Sedimentasi pada kolam stabilisasi; adsorpsi oleh
akar tanaman dan
sedimentasi pada wetland.
Patogen UV irradiation pada kolam aerob; natural decay,
predation, sedimentasi,
ekskresi antibiotik oleh akar tanaman pada wetland.
V.3 Evaluasi Kinerja Pengolahan Lindi IPL TPA Suwung
Pengolahan yang dilakukan pada IPL adalah pengolahan secara
biologis.
Tahapan pengolahan biologis tersebut meliputi pengolahan pada
kolam anaerob,
pengolahan pada kolam fakultatif, pengolahan pada kolam aerob,
dan pengolahan
pada constructed wetland. Pada inlet dan outlet masing-masing
kolam pengolahan
dilakukan pengambilan sampel untuk diuji karakteristiknya
sehingga dapat diketahui
kinerja pengolahan lindi IPL TPA Suwung. Karakteristik lindi
pada setiap inlet dan
outlet unit pengolahan dapat dilihat pada Tabel 5.5 untuk
Desember 2010 dan Tabel
5.6 untuk Mei 2011. Nilai setiap parameter efluen IPL
dibandingkan dengan baku
mutu KEP-51/MENLH/10/1995 tentang baku mutu limbah cair golongan
II.
V.3.1 Solid
Solid terdiri dari total suspended solid (TSS) dan total
dissolved solid (TDS).
Berdasarkan Kep-51/MENLH/10/1995 tentang baku mutu limbah cair
golongan II,
-
V-7
baku mutu TSS adalah 400 mg/L sedangkan baku mutu TDS adalah
4.000 mg/L.
Nilai TSS lindi pada bulan Desember 2010 lebih rendah dari pada
TSS lindi di bulan
Mei 2011. Pada Desember 2010, nilai TSS menurun hingga akhir
pengolahan dan
sudah memenuhi baku mutu efluen. Pada Mei 2011, nilai TSS
meningkat di outlet
kolam fakultatif. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh alga di
bagian atas kolam
atau lumpur di dasar kolam yang sudah terlalu tinggi. Nilai TSS
lindi pada outlet
constructed wetland meningkat menjadi 792 mg/L dan belum
memenuhi baku mutu.
Peningkatan nilai TSS ini kemungkinan disebabkan oleh vegetasi
pada constructed
wetland yang mati dan masih berada di dalam media terbawa oleh
aliran lindi.
Nilai TDS lindi pada bulan Desember 2010 lebih rendah dari pada
TDS lindi
di bulan Mei 2011. Pada Desember 2010, nilai TDS menurun hingga
akhir
pengolahan dan sudah memenuhi baku mutu efluen. Pada Mei 2011,
nilai TDS
cenderung meningkat hingga akhir pengolahan. Hal ini kemungkinan
disebabkan
oleh letak instalasi yang berada di dekat laut sehingga mendapat
pengaruh garam-
garam laut.
V.3.2 Temperatur
Temperatur dipengaruh oleh tingkat dan jenis aktivitas
mikroorganisme dan
lingkungannya. Temperatur merupakan salah satu kondisi yang
menentukan
kecepatan metabolisme materi alami. Temperatur optimum untuk
aktivitas bakteri
berkisar antara 25 35oC. Temperatur lindi IPL TPA Suwung berada
pada kisaran
temperatur optimum untuk aktivitas bakteri. Temperatur di luar
temperatur optimum
akan menyebabkan proses pengolahan tidak berjalan. Temperatur
lindi pada IPL
TPA Suwung berada di dalam kisaran temperatur optimum. Jenis
mikroorganisme
yang tumbuh merupakan mikroorganisme mesofilik yang tumbuh baik
pada
temperatur 20 40 oC. Dengan meningkatnya temperatur, maka
kecepatan reaksi pun
meningkat. Pada kolam anaerob, temperatur harus dipertahankan
selalu berada di
atas 20oC agar metan dapat diproduksi. Kecepatan produksi metan
naik menjadi dua
kali lipat setiap peningkatan temperatur sebesar 10oC pada
kisaran mesofilik (Droste,
1997 dalam http://stabilizationponds.sdsu.edu/).
-
V-8
Tabel 5.5 Karakteristik lindi IPL pada Desember 2010
(Puslitbang Permukiman Kementerian Pekerjaan Umum, 2010)
No. Parameter Satuan Influen
Anaerob
Efluen
Anaerob
Efluen
Fakultatif
Efluen
Aerob
Efluen
Constructed
Wetland
Baku Mutu Keterangan
Fisika
1 Temperatur oC 29 29 40
2