STUDI ANALISIS TERHADAP PRODUK MAKANAN DAN MINUMAN OLAHAN YANG BELUM BERSERTIFIKAT HALAL (Studi Kasus Pada IKM di Kota Semarang) SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1 dalam Ilmu Syari’ah Oleh : MUHAMMAD KHOLIQ NIM : 2104020 JURUSAN MU’AMALAH FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2010
203
Embed
STUDI ANALISIS TERHADAP PRODUK MAKANAN DAN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/93/jtptiain-gdl... · studi analisis terhadap produk makanan dan minuman olahan yang belum
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
STUDI ANALISIS TERHADAP PRODUK MAKANAN
DAN MINUMAN OLAHAN YANG BELUM
BERSERTIFIKAT HALAL
(Studi Kasus Pada IKM di Kota Semarang)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat
�*�+,-#�. �� ���$#&� �/� �0�+ �1 #�2�3�+ �����1 �+��&�� �4�5�$�1 �6�+ �� &���4� �6�) 8�#9��� :���( “Dari Abu Hurairah ra.: Nabi SAW bersabda: Akan datang suatu zaman ketika orang-orang
tidak lagi peduli apakah ia memperoleh hartanya (kekayaannya) dengan cara halal atau
haram”. (HR. Bukhari)1
�<&�����=>� &� �?�@�A=-# �B���C �D�+#��
“Hendaklah manusia memperhatikan makanannya”. (QS. Abasa: 24)2
Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) di bidang
pangan, obat-obatan dan kosmetika dewasa ini sungguh sangat luar biasa. Jika
dahulu pengolahan serta pemanfaatan bahan-bahan baku sangat sederhana dan
apa adanya dari alam, maka sekarang manusia dengan IPTEK-nya telah dapat
merekayasa apa yang terdapat dalam alam, sampai hal-hal yang mikro
sekalipun. Dengan demikian pengidentifikasian tentang proses dan bahan yang
digunakan dalam suatu industri pangan, obat-obatan dan kosmetika tidak lagi
menjadi sesuatu yang sederhana. Jika dahulu untuk mengetahui kehalalan dan
kesucian ketiga hal tersebut bukan merupakan persoalan, karena bahan-
bahannya dapat diketahui secara jelas, serta prosesnya tidak terlalu rumit, kini
persoalannya tidak sesederhana itu.4
Tuntutan zaman untuk pangan, obat-obatan dan kosmetika saat ini
harus mudah disajikan, berpenampilan menimbulkan selera, bertahan segar
dengan warna, aroma, rasa dan tekstur yang diinginkan. Untuk memenuhi
tuntutan tersebut dibutuhkan ilmu pengetahuan dan teknologi.5
4 Lukmanul Hakim, “Sertifikasi Halal MUI Sebagai Upaya Jaminan Produk Halal”
dalam Ichwan Sam, et. al., Ijma’ Ulama Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia
III Tahun 2009, Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, Cet. ke-1, 2009, h. 274. 5 Tim LP POM MUI, “Urgensi Sertifikasi Halal”, dalam Ichwan Sam, et. al., Ijma’
Ulama Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia III Tahun 2009, Jakarta: Majelis
Ulama Indonesia, Cet. ke-1, 2009, h. 258. Teknologi dapat diartikan segenap pengetahuan
ilmiah dan kerekayasaan yang diterima dan disesuaikan untuk penggunaan komersial (Thee
Kian Wie, Industrialisasi di Indonesia Beberapa Kajian, Jakarta: LP3ES, Cet. ke-1, 1994, h.
233). Armahedi Mahzar mendefinisikan teknologi adalah ilmu tentang cara menerapkan sains
2
Kemajuan teknologi yang begitu pesat saat ini telah mampu
menghasilkan sumber bahan pangan yang berasal dari tumbuhan, hewan,
bahan sintetik kimia, mikrobial dan manusia. Sementara informasi hasil
teknologi pangan tidak dapat diketahui secara utuh, baik oleh produsen
maupun konsumen. Misalnya, pengembang roti atau donut yang mengandung
asam amino dari rambut manusia (sistein), nama lain dari kelompok khamer
seperti angciu dan rhum, angciu sering dipakai pada masakan ikan laut (sea
food) dan nasi goreng sedangkan rhum sering dipakai pada produk-produk kue
seperti sus dan black forrest, emulsifier yang berasal dari lemak babi yang
dipakai pada produk-produk susu, es krim, dll.6
Perkembangan ekonomi saat ini juga telah mampu menghasilkan
berbagai jenis dan variasi dari masing-masing jenis barang dan jasa yang dapat
dikonsumsi. Barang dan jasa tersebut pada umumnya merupakan barang dan
jasa yang sejenis maupun yang bersifat komplementer satu terhadap yang
lainnya. Dengan diversifikasi produk yang sedemikian luasnya dan dengan
dukungan kemajuan teknologi telekomunikasi dan informatika, dimana terjadi
perluasan ruang gerak arus transaksi barang dan jasa melintasi batas-batas
wilayah suatu negara, pada akhirnya konsumen dihadapkan pada berbagai
jenis barang dan jasa yang ditawarkan secara variatif, baik yang berasal dari
untuk memanfaatkan alam bagi kesejahteraan dan kenyamanan manusia (Armahedi Mahzar,
“Teknologi dan Islam: Sebuah Refleksi Pengantar”, dalam Ahmad Y. Hassan dan Donald R.
Hill, Islamic Technology: An Illustrated History, terj. Yuliani Liputo, Teknologi dalam
Sejarah Islam, Bandung: Mizan, Cet. ke-1, 1993, h. 17). 6 Tim LP POM MUI, op. cit., h. 258-259.
3
produksi domestik dimana konsumen berkediaman maupun yang berasal dari
luar negeri.7
Kondisi seperti ini, pada satu sisi memberikan manfaat bagi konsumen
karena kebutuhan akan barang atau jasa yang diinginkan dapat terpenuhi serta
semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis dan kualitas
barang dan jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsumen. Namun
pada sisi lain dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen
menjadi tidak seimbang, di mana konsumen berada pada posisi yang lemah.
Konsumen menjadi objek aktifitas bisnis untuk meraup keuntungan yang
sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi, cara penjualan serta
penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen.8
Kelemahan konsumen juga bisa disebabkan oleh tingkat kesadaran dan
tingkat pendidikan konsumen yang relatif masih rendah yang diperburuk
dengan anggapan sebagian pengusaha yang rela melakukan apapun demi
produk mereka, tanpa memperhitungkan kerugian-kerugian yang akan dialami
oleh konsumen. Selain itu, pemahaman tentang etos-etos bisnis yang tidak
benar seperti anggapan bahwa bisnis harus memperoleh keuntungan semata,
bisnis tidak bernurani, atau anggapan bahwa bisnis itu memerlukan banyak
biaya maka akan merugikan apabila dibebani dengan biaya-biaya sosial dan
sebagainaya.9
7 Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen,
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000, Cet. ke-3, h. 11. 8 Ibid., h. 12. 9 Neni Sri Imaniyati, Hukum Ekonomi dan Ekonomi Islam dalam Perkembangan,
Bandung : Mandar Maju, 2002, Cet. ke-1, h. 161.
4
Pada kenyatannya, semakin marak produk makanan dan minuman
olahan yang beredar di masyarakat dengan berbagai merek dan jenisnya.
Diantara produk tersebut sering kali ditemukan produk yang menggunakan
bahan haram dan berbahaya dalam produksinya. Beberapa penelitian telah
membuktikan bahwa ternyata konsumen sering dihadapkan pada penjualan
atau peredaran produk makanan olahan yang mengandung bahan haram atau
dapat menggangu kesehatan konsumen.
Menurut laporan Kepala Bidang Pengujian Pangan dan Bahan
Berbahaya Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), selama tahun
2002, dari 29 sampel mie basah yang ditemukan di pasar dan supermarket di
Jawa Barat, 25 diantaranya (86,2%) mengandung formalin dan boraks dan
terasi 53,33% mengandung zat pewarna tekstil rhodamin B.10
Fakta lain menjelaskan ketika kasus Ajinomoto menghebohkan di awal
bulan Januari 2001 lalu. Melalui fatwanya, MUI menyatakan Ajinomoto
sebagai makanan haram dikarenakan dalam proses pembuatannya terdapat
pemanfaatan unsur porcine (babi). Pada bulan Februari 2003 ditemukan
daging yang mengandung bakteri antraks dan kasus penjualan babi hutan yang
disamarkan sebagai daging sapi.11
Juga kasus minuman “Kratingdaeng” yang
mengandung kafein melebihi ketentuan yang diizinkan oleh Departemen
10 Sentot Yulianugroho, Penyelesaian Sengketa Konsumen di Indonesia, dalam
Jurnal Media Hukum, Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta,
Vol. 14 No. 1, Juni 2007, h. 90. 11 Ibid., h. 91.
5
Kesehatan.12
Peristiwa tersebut merupakan bagian kecil dari kasus-kasus
produk makanan dan minuman yang telah meresahkan masyarakat.
Makanan adalah barang yang dimaksudkan untuk dimakan atau
diminum oleh manusia serta bahan yang digunakan dalam produksi makanan
dan minuman. Makanan olahan adalah makanan dan minuman yang diolah
berasal dari bahan baku dengan proses teknologi yang sesuai dan atau
ditambah dengan bahan pengawet dan atau bahan penolong serta tahan untuk
disimpan.13
Dalam Undang-undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan
menyebutkan pangan olahan adalah makanan atau minuman hasil proses
dengan cara atau metode tertentu dengan atau tanpa bahan tambahan.14
Secara yuridis, Indonesia sebenarnya cukup produktif dalam membuat
perangkat undang-undang atau peraturan yang memberi perlindungan terhadap
masyarakat. Saat ini Indonesia telah memiliki ketentuan perundang-undangan
yang mengatur dan memberikan perlindungan bagi konsumen. Tepatnya sejak
Indonesia membentuk dan menetapkan UU No. 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan, UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan, UU No. 8 Tahun 1999
12 Thabieb Al-Asyhar, Bahaya Makanan Haram bagi Kesehatan Jasmani dan
Kesucian Rohani, Jakarta: PT. Al-Mawardi Prima, 2002, h. 18-19. 13 Bagian Proyek Sarana dan Prasarana Produk Halal Direktorat Jenderal Bimbingan
Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Modul Pelatihan Auditor Internal Halal,
Jakarta: Departemen Agama RI., 2003, h. 134. 14 Lihat Undang-undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan pasal
1 butir (2). Bahan baku adalah bahan mentah termasuk penanganan pasca panenannya
maupun bahan olahan yang diproduksi melalui proses industri (Bagian Proyek Sarana dan
Prasarana Produk Halal Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan
Penyelenggaraan Haji, Petunjuk Teknis Pedoman Sistem Produksi Halal, Jakarta: Departemen
Agama RI., 2003, h. 3.). Bahan Tambahan Makanan adalah bahan atau campuran bahan yang
secara alami bukan merupakan bagian dari bahan baku pangan tetapi ditambahkan ke dalam
pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan, antara lain: bahan pewarna, pengawet,
penyedap rasa, anti gumpal, pemucat dan pengental (Lihat Keputusan Menteri Kesehatan No.
722/MenKes/Per/IX/88 tanggal 20 September 1988 tentang Bahan Tambahan Pangan).
6
tentang Perlindungan Konsumen, Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1999
tentang Label dan Iklan Pangan dan peraturan pelaksanaan lainnya, masalah
kehalalan produk tidak hanya menjadi tanggung jawab individu dan tokoh
agama tetapi juga menjadi tanggung jawab pemerintah.15
Adanya undang-undang dan peraturan pelaksanaan lainnya tersebut
menyatakan bahwa Indonesia telah memberikan perlindungan terhadap
konsumen. Dibentuknya undang-undang tersebut sebagai hukum positif yang
berlaku di Indonesia sekaligus menegaskan sikap Indonesia untuk mengakui
dan melindungi hak-hak konsumen. Namun yang terjadi kemudian, masih
banyak pelanggaran dan kasus-kasus makanan dan minuman haram yang
merugikan masyarakat.
Atas keprihatinan terhadap produk makanan dan minuman olahan ini,
berbagai elemen, akademisi dan lembaga swadaya masyarakat berupaya agar
ada suatu kesadaran bersama terhadap pentingnya perlindungan konsumen
dari produk makanan haram. Salah satu dari mereka adalah lembaga para
ulama yang ada di Indonesia, yakni Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Majelis Ulama Indonesia melaui Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-
obatan dan Kosmetika (LP POM) dan Komisi Fatwa telah berikhtiyar untuk
memberikan jaminan makanan halal bagi konsumen muslim melalui
instrumen sertifikat halal. Sertifikat halal merupakan fatwa tertulis Majelis
Ulama Indonesia yang menyatakan kehalalan suatu produk sesuai dengan
syari’at Islam. Sertifikat halal ini bertujuan untuk memberikan kepastian
15 Bagian Proyek Sarana dan Prasarana Produk Halal Direktorat Jenderal Bimbingan
Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Modul Pelatihan Auditor Internal Halal, op. cit.,
h. 62.
7
kehalalan suatu produk sehingga dapat menenteramkan batin yang
mengkonsumsinya.16
Dalam pelaksanaanya, LP POM melakukan pengkajian dan
pemeriksaan dari tinjauan sains terhadap produk yang akan disertifikasi. Jika
berdasarkan pendekatan sains telah didapatkan kejelasan maka hasil
pengkajian dan pemeriksaan tersebut dibawa ke Komisi Fatwa untuk dibahas
dari tinjauan syari’ah. Pertemuan antara sains dan syari’ah inilah yang
dijadikan dasar penetapan oleh Komisi Fatwa, yang selanjutnya dituangkan
dalam bentuk sertifikat halal oleh MUI.17
Maka dengan adanya ketentuan MUI tentang sertifikasi halal ini,
menimbulkkan akibat moral yang cukup efektif dalam penegakan hukum,
khususnya dalam kerangka kesadaran masyarakat akan pentingnya produk
halal. Diantaranya :
Pertama, dari sisi normatif. Dalam perspektif ini melihat secara kasat
mata, sebagian besar pelaku usaha, bisnis dan masyarakat yang bersentuhan
dengan kegiatan ekonomi, industri dan teknologi adalah beragama Islam.
Maka dari sisi normatif keagamaan, telah jelas bahwa umat Islam diwajibkan
mengkonsumsi makanan halal, bukan makanan yang diharamkan atau najis.
Dalam Surat An-Nahl ayat 114 Allah SWT berfirman :
���+&����A���N � _6��� =i�3�8� &�#�4� �3�� �j#�l�S�A�� �@�'�< �6ٰ m �n��)/� :���!�A(١٩ Artinya: “Abu Kuraib Muhammad bin Al-‘Ala’ menceritakan kepadaku, Abu
Usamah menceritakan kepada kita, Fudhail bin Marzuqi
menceritakan kepada kita, ‘Adiy bin Tsabit menceritakan kepadaku
dari Abi Hazm dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah bersabda:
Wahai manusia, sesungguhnya Allah itu Maha Baik, Dia tidak
menerima kecuali yang hal yang baik-baik. Sesungguhnya Allah
memerintahkan kepada orang-orang yang beriman sebagaimana ia
memerintahkan kepada para rasul. Allah berfirman: Wahai para
rasul, makanlah dari sesuatu yang baik-baik dan lakukanlah amal
yang shaleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui terhadap apa
yang kalian lakukan. Dan firman-Nya: Wahai orang-orang yang
beriman, makanlah hal yang baik-baik dari apa yang kami rizkikan
kepadamu. Kemudian Rasulullah menyebutkan seseorang yang jauh
perjalanannaya dan rambutnya yang acak-acakan berdo’a dengan
menengadahkan tangannya ke langit (sambil berkata) Wahai Tuhan
Wahai Tuhan. Sedangkan makanan, minuman dan pakainnya
adalah sesuatu yang haram. Maka bagaimana mungkin do’anya
terkabulkan ?”. (HR. Muslim)
18 Al-Quran dan Terjemahnya, Jakarta: Departemen Agama RI., 19٩٣, h. 419. 19 Al-Imam Abi Al-Husain Muslim bin Al-Hajjaj Al-Qusyairi Al-Yasaburi, Shahih
Muslim, Juz II, Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyyah, 1992, h. 703.
Indonesia III Tahun 2009, Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, Cet. ke-1, 2009, h. 84.
12
fokus. Ini dimaksudkan agar pembahasan dalam karya tulis ini tidak melebar
dari apa yang dikehendaki. Dari latar belakang yang telah disampaikan di atas,
ada beberapa rumusan masalah yang diambil :
1. Apa hukum produk makanan dan minuman olahan yang belum
bersertifikat halal ?
2. Mengapa produk makanan dan minuman olahan pada Industri Kecil dan
Menengah (IKM) di Kota Semarang belum bersertifikat halal ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan permasalahan diatas, maka tujuan penelitian skripsi
ini adalah sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui apa hukum produk makanan dan minuman olahan
yang belum bersertifikat halal.
b. Untuk mengetahui alasan mengapa produk makanan dan minuman
olahan pada IKM di Kota Semarang belum bersertifikat halal.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian skripsi ini adalah sebagai berikut :
a. Secara ilmiah penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran serta informasi bagi semua pihak terutama pemerhati hukum
Islam dan juga sebagai evaluasi terhadap pelaksanaan sertifikasi halal
MUI pada IKM di Kota Semarang sekaligus sebagai acuan dan
masukan dalam membuat kebijakan yang akan datang.
13
b. Secara praktis penelitian ini dapat dijadikan wawasan pengetahuan
bagi penulis pada khususnya dan masyarakat pada umumnya, serta
dapat dijadikan sebagai acuan bagi para pelaku bisnis dalam penerapan
hukum Islam khususnya menyangkut hukum makanan dan minuman.
c. Sebagai bahan informasi untuk penelitian lebih lanjut.
D. Tinjauan Pustaka
Untuk mendukung penelitian yang lebih akurat sebagaimana yang
telah dikemukakan pada latar belakang masalah, maka diperlukan karya-karya
pendukung yang memiliki relefansi terhadap tema yang dikaji dan untuk
memastikan tidak adanya kesamaan dengan penelitian-penelitian yang telah
ada, maka di bawah ini penulis paparkan beberapa tinjauan pustaka yang
terkait dengan permasalahan dalam penelitian penulis. Tela’ah pustaka ini
dapat berupa hasil penelitian yang telah dibukukan, antara lain :
Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA., dalam buku Kriteria Halal-
Haram untuk Pangan, Obat dan Kosmetika Menurut Al-Quran dan Hadist.
Beliau menjelaskan kriteria halal dan haramnya pangan, obat dan kosmetika
dilihat dari thayyib dan khabaits, dharar (bahaya), najasah (najis), Iskar
(memabukkan) dan organ tubuh manusia.
Thobieb Al-Asyhar dalam bukunya Bahaya Makanan Haram Bagi
Kesehatan Jasmani dan Kesucian Rohani. Beliau mengemukakan beberapa
penemuan produk makanan dan minuman yang mengandung babi dan bahan
14
berbahaya lain yang dapat digunakan sebagai pijakan terhadap pembahasan
tentang produk makanan dan minuman olahan yang belum bersertifikat halal.
Sementara itu, teori tentang makanan dan minuman halal dalam hukum
Islam telah banyak dibahas oleh para ulama, diantaranya: Muhammad Yusuf
Qardhawi dalam karyanya Al Halal wal Haram fil Islam, Imam Al-Ghazali
dalam karyanya Ihya ‘Ulumuddin, dalam bab halal dan haram, Abdurrahman
Ar-Rasyid dalam bukunya Halal Haram Menurut Al-Quran dan Hadist, dan
beberapa literatur lain. Penulis juga merujuk pada buku-buku dan literatur
yang membahas mengenai produk halal, antara lain: buku Pedoman Fatwa
Produk Halal, buku Petunjuk Teknis Pedoman Sistem Produksi Halal dan
buku Panduan Sertifikasi Halal yang diterbitkan oleh Departeman Agama RI
tahun 2003, kemudian buku Himpunan Keputusan Musyawarah Daerah VII
Majelis Ulama Indonesia Provinsi Jawa Tengah Tahun 2006 dan Ijma’ Ulama
Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia III Tahun 2009 yang
diterbitkan Majelis Ulama Indonesia serta beberapa literatur lain.
Untuk menghindari duplikasi, maka penulis sertakan judul skripsi yang
ada relevansinya dengan penelitian ini :
Skripsi dengan judul “Analisis UU No. 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen Relevansinya Terhadap Jaminan Kehalalan Produk
Bagi Konsumen Muslim” yang ditulis oleh Erna Karuniawati. Dalam
skripsinya menyimpulkan bahwa relevansi undang-undang perlindungan
konsumen terhadap jaminan kehalalan produk bagi konsumen muslim masih
sangat minim. Karena begitu sedikitnya point yang membahas kewajiban
15
pelaku usaha untuk memproduksi secara halal sebagaimana “halal” yang
dicantumkan dalam label.
Skripsi yang ditulis oleh Rini Setyaningsih mahasiswi IAIN Walisongo
Semarang dengan judul “Analisis Terhadap Keputusan Ijtima’ Ulama Se-
Indonesia Tahun 2009 Tentang Pengharaman Merokok (Studi Kasus Tentang
Pengharaman Merokok di Tempat Umum, Bagi Anak-anak dan Wanita
Hamil”. Dalam skripsinya menyimpulkan bahwa merokok diharamkan karena
merusak kesehatan antara lain dapat menimbulkan kanker, mengandung bahan
pengiritasi mata dan pernapasan, menjadikan sifat anak menjadi pemboros dan
pemalas serta berpengaruh peda wanita hamil dan janin, salah satunya adalah
kematian bayi.
Demikian hasil dari penelusuran pustaka yang penulis dapatkan
sebagai bahan acuan dalam pembuatan skripsi ini.
E. Metode Penelitian
Metode penelitian adalah semua asas, peraturan dan tehnik-tehnik yang
perlu diperhatikan dan diterapkan dalam usaha pengumpulan data dan
analisis.24
Sebagai dasar cara kerja untuk menata informasi secara runtut,
mulai dari penyusunan dan perumusan fokus penelitian sampai perumusan
hasil penelitian serta untuk memperoleh data yang akurat mengenai
24 Dolet Unaradjan, Pengantar Metode Penelitian Ilmu Sosial, Jakarta: PT. Grasindo,
2000, h. 1.
16
permasalahan di atas, maka dalam penelitian ini penulis menggunakan metode
penelitian yang relevan dengan judul di atas :
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian lapangan (field research)
yaitu sebuah penelitian yang data-data pokoknya digali melalui
pengamatan-pengamatan dan sumber-sumber data di lapangan dan bukan
berasal dari sumber-sumber kepustakaan. Penelitian dilakukan dengan
berada langsung pada objeknya, sebagai usaha untuk mengumpulkan data
dan berbagai informasi. Dengan kata lain peneliti turun dan berada di
lapangan atau berada langsung di lingkungan yang mengalami masalah
atau yang akan diperbaiki atau disempurnakan.25
Penelitian dilakukan pada Industri Kecil dan Menengah (IKM) di
Kota Semarang yang bergerak dibidang pengolahan makanan dan
minuman dengan upaya untuk memberikan pembuktian mengenai alasan
mengapa sebagian besar produk makanan dan minuman olahan pada IKM
di Kota Semarang belum bersertifikat halal. Diantara IKM yang penulis
jadikan objek penelitian adalah industri roti “Julian Bakery” di Jl.
Kumudasmoro Selatan no. 24 Semarang, industri roti “Seruni” di Jl.
Pusponjolo Barat Raya no. 15 Semarang, Depot Air Minum (DAM) “Tirta
Yoga” di Jl. Mintojiwo Timur no. 5 Semarang, industri sirup “Subur Jaya”
di Jl. Wr. Supratman no. 47 Semarang, industri roti “PUSPA” di Jl.
Puspowarno no. 2 Semarang, industri mie “Lonceng” di Jalan Puspowarno
25 Hadari Nawawi dan Mimi Martini, Penelitian Terapan, Yogyakarta: Gajah Mada
University Press, 1996, h. 24
17
1 no. 25 Semarang, industri Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) “PT.
Sarika” di Jl. Puspowarno Selatan no. 55 Semarang, home industry bakso
“Pak Geger” di Jl. Mintojiwo Raya/Gisikdrono Semarang, industri Air
Minum Dalam Kemasan (AMDK) “PT Estima” di Jl. Menteri Supeno no.
50 Semarang dan home industry roti Pia dan kue Bolu di Jl. Bongsari no. 4
Semarang.
2. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
a. Data Primer
Data primer yaitu data pokok yang berkaitan dan diperoleh
secara langsung dari masyarakat. Data ini memerlukan analisa lebih
lanjut.26
Sumber data primer dalam penelitian ini adalah pihak yang
terkait dengan pelaksanaan sertifikasi halal. Dalam hal ini penulis
melakukan wawancara dengan pihak produsen makanan dan minuman
pada IKM di Kota Semarang dan pihak MUI Provinsi Jawa Tengah.
Adapun pihak produsen yang penulis wawancarai adalah Hesti
Sukaryani selaku pemilik industri roti “Julian Bakery” di Jl.
Kumudasmoro Selatan no. 24 Semarang, Anis Widyastuti selaku
pimpinan industri roti “Seruni” di Jl. Pusponjolo Barat Raya no. 15
Semarang, Hj. Siti Atkonah selaku pemilik Depot Air Minum (DAM)
“Tirta Yoga” di Jl. Mintojiwo Timur no. 5 Semarang, Nani Nurhayati
selaku pemilik industri sirup “Subur Jaya” di Jl. Wr. Supratman no. 47
26 P. Joko Subagyo, Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek, Jakarta: Rineka
Cipta, 1991, h. 87-88.
18
Semarang, Kuniati selaku kayawan industri roti “PUSPA” di Jl.
Puspowarno no. 2 Semarang, Budhi Suryono selaku pengelola industri
mie “Lonceng” di Jalan Puspowarno 1 no. 25 Semarang, Bapak
Ratman selaku kepala produksi “PT. Sarika” di Jl. Puspowarno Selatan
no. 55 Semarang, Nanang Yulianto selaku pengelola home industry
bakso “Pak Geger” di Jl. Mintojiwo Raya/Gisikdrono Semarang,
Bapak Yukana selaku pimpinan “PT Estima” di Jl. Menteri Supeno no.
50 Semarang dan Ibu Yuliana selaku pemilik home industry roti Pia
dan kue Bolu di Jl. Bongsari no. 4 Semarang.
Sementara dari Pihak MUI yang penulis wawancarai adalah
Bapak Sukirman selaku Kepala Sekretariat LP POM MUI Provinsi
Jawa Tengah dan Dr. Zuhad, MA., selaku Anggota Komisi Fatwa MUI
Provinsi Jawa Tengah.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari pihak lain. Data
sekunder biasanya berwujud data dokumentasi atau data laporan yang
telah tersedia.27
Pada umumnya, data sekunder ini sebagai penunjang
data primer. Data ini penelis ambil dari buku-buku, fatwa, jurnal dan
sumber lain yang dianggap relevan dengan permasalahan.
3. Metode Pengumpulan Data
27 Ibid.
19
Metode pengumpulan data merupakan suatu cara atau proses yang
sistematis dalam pengumpulan, pencatatan, dan penyajian fakta untuk
tujuan tertentu.28
Adapun metode yang penulis gunakan yaitu :
a. Metode Dokumentasi
Pengumpulan data dengan metode dokumentasi yaitu mencari
data mengenai hal-hal atau variable yang berupa catatan, transkrip,
buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, agenda dan lain
sebagainya.29
Dalam hal ini khususnya dokumen yang berkaitan
dengan sertifikasi halal dan IKM di Kota Semarang.
b. Metode Observasi
Observasi yaitu pengamatan yang dilakukan secara sengaja,
sistematis mengenai fenomena sosial dengan gejala-gejala psikis untuk
kemudian dilakukan pencatatan.30
Dalam hal ini, untuk mengumpulkan
data penulis mengamati beberapa produk makanan dan minuman
olahan yang dijual di tempat pemasaran, yaitu pada swalayan “ADA”
di Jl. Soegyopranoto Semarang.
c. Interview
Interview atau wawancara yaitu percakapan dengan maksud
tertentu.31
Untuk itu penulis melakukan wawancara dengan pihak
produsen makanan dan minuman olahan dan pihak MUI untuk
28 Sonny Sumarsono, Metode Riset Sumber Daya Manusia, Yogyakarta: Graha Ilmu,
Cet. ke-1, 2004, h. 66. 29 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: PT.
Rineka Cipta, 2002, h. 206. 30 P. Joko Subagyo, op. cit., h. 63. 31 Lexy J. Moloeng, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: CV. Remaja
Rosdakarya, 2000, h. 148.
20
memperoleh data yang penulis perlukan dalam penelitian ini. Diantara
pihak produsen yang penulis wawancarai adalah Hesti Sukaryani
selaku pemilik industri roti “Julian Bakery” di Jl. Kumudasmoro
Selatan no. 24 Semarang, Anis Widyastuti selaku pimpinan industri
roti “Seruni” di Jl. Pusponjolo Barat Raya no. 15 Semarang, Hj. Siti
Atkonah selaku pemilik Depot Air Minum (DAM) “Tirta Yoga” di Jl.
Mintojiwo Timur no. 5 Semarang, Nani Nurhayati selaku pemilik
industri sirup “Subur Jaya” di Jl. Wr. Supratman no. 47 Semarang,
Kuniati selaku kayawan industri roti “PUSPA” di Jl. Puspowarno no. 2
Semarang, Budhi Suryono selaku pengelola industri mie “Lonceng” di
Jalan Puspowarno 1 no. 25 Semarang, Bapak Ratman selaku kepala
produksi “PT. Sarika” di Jl. Puspowarno Selatan no. 55 Semarang,
Nanang Yulianto selaku pengelola home industry bakso “Pak Geger”
di Jl. Mintojiwo Raya/Gisikdrono Semarang, Bapak Yukana selaku
pimpinan “PT Estima” di Jl. Menteri Supeno no. 50 Semarang dan Ibu
Yuliana selaku pemilik home industry roti Pia dan kue Bolu di Jl.
Bongsari no. 4 Semarang. Sementara dari Pihak MUI, penulis
melakukan wawancara dengan Bapak Sukirman selaku Kepala
Sekretariat LP POM MUI Provinsi Jawa Tengah dan Dr. Zuhad, MA.,
selaku Anggota Komisi Fatwa MUI Provinsi Jawa Tengah
4. Metode Analisis Data
Sebagai tindak lanjut pengumpulan data, maka analisis data menjadi
sangat signifikan untuk menuju penelitian ini dan dalam menganalisa data
21
penulis menggunakan metode deskriptif analitik.32
Kerja dari metode
deskriptif analitik adalah dengan cara menganalisis data yang diteliti
dengan memaparkan data-data tersebut kemudian diperoleh kesimpulan.33
Metode deskriptif analitik ini akan penulis gunakan untuk melakukan
pelacakan dan analisa terhadap alasan mengapa sebagian besar produk
makanan dan minuman olahan pada IKM di Kota Semarang belum
bersertifikat halal. Untuk menganalisis data dalam penelitian ini penulis
menggunakan pola berfikir induktif.34
Metode analisis dengan pola berfikir
induktif merupakan metode analisis yang menguraikan dan menganalisis
data-data yang diperoleh dari lapangan dan bukan dimulai dari deduksi
teori.
F. Sistematika Penulisan
Untuk memperoleh gambaran yang bersifat utuh dan menyeluruh serta
ada keterkaitan antar bab yang satu dengan yang lain dan untuk lebih
32
Deskriptif berarti menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan,
gejala atau kelompok tertentu, dan untuk menentukan frekuensi penyebaran suatu gejala
dengan gejala lain dalam masyarakat. Analisis adalah jalan yang dipakai untuk mendapatkan
ilmu pengetahuan ilmiah dengan mengadakan pemerincian terhadap obyek yang diteliti
dengan jalan memilah-milah antara pengertian yang satu dengan pengertian yang lain untuk
sekedar memperoleh kejelasan mengenai halnya (Sudarto, Metode Penelitian Filsafat, Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 1996, h. 47-59). 33 Suharsimi Arikunto, op. cit., h. 51. 34 Berfikir induktif adalah proses logika yang berangkat dari data empirik lewat
observasi menuju kepada suatu teori. Dengan kata lain induksi adalah proses
mengorganisasikan fakta-fakta atau hasil-hasil pengamatan yang terpisah-pisah menjadi suatu
rangkaian hubungan atau suatu generalisasi. Pola berfikir induktif berkebalikan dengan pola
berfikir deduktif yaitu proses pendekatan yang berangkat dari kebenaran umum mengenai
suatu fenomena (teori) dan menggeneralisasikan kebenaran tersebut pada suatu peristiwa atau
data tertentu yang berciri sama dengan fenomena yang bersangkutan (prediksi) (Saifudin
Azwar, Metode Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. ke-1, 1998, h. 40).
22
mempermudah dalam proses penulisan skripsi ini, perlu adanya sistematika
penulisan. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :
Penulisan hasil penelitian ini meliputi bagian awal, bagian utama dan
bagian akhir. Bagian awal dari skripsi ini terdiri dari: halaman judul skripsi,
halaman persembahan, halaman deklarasi, halaman abstrak, halaman kata
pengantar dan halaman daftar isi.
Bagian utama skripsi ini meliputi pokok dari skripsi yang tertuang
dalam lima bab yaitu :
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini merupakan gambaran secara keseluruhan skripsi yang
meliputi: latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan
sistematika penulisan skripsi.
BAB II : KONSEP TENTANG MAKANAN DAN MINUMAN HALAL
DAN KONSEP SYUBHAT DALAM ISLAM
Bab ini membahas secara teoritis tentang konsep makanan dan
minuman halal meliputi pengertian makanan dan minuman halal,
dasar hukum makanan dan minuman halal, syarat-syarat dan
kriteria makanan dan minuman halal serta fatwa Majelis Ulama
Indonesia tentang produk halal. Dalam bab ini juga dibahas
bagaimana konsep syubhat dalam Islam meliputi pengertian dan
23
dasar hukum tentang syubhat serta sumber-sumber perkara
syubhat.
BAB III : SERTIFIKASI HALAL MUI PADA INDUSTRI KECIL DAN
MENENGAH (IKM) DI KOTA SEMARANG
Bab ini membahas gambaran umum Industri Kecil dan Menengah
(IKM) di Kota Semarang membahas dan pelaksanaan sertifikasi
halal MUI di lapangan meliputi penjelasan singkat tentang LP
POM dan Komisi Fatwa MUI, sistem dan prosedur sertifikasi halal
serta pelaksanaan sertifikasi halal MUI pada IKM di Kota
Semarang.
BAB IV : ANALISIS TERHADAP PRODUK MAKANAN DAN
MINUMAN OLAHAN YANG BELUM BERSERTIFIKAT
HALAL (Studi Kasus Pada IKM di Kota Semarang)
Analisis yang dibahas meliputi: analisis terhadap produk makanan
dan minuman olahan yang belum bersertifikat halal dan analisis
alasan produk makanan dan minuman olahan pada IKM di Kota
Semarang belum bersertifikat halal.
BAB V : PENUTUP
Bab ini merupakan rangkaian akhir dari penulisan skripsi yang
meliputi: kesimpulan, saran-saran dan penutup. Sedangkan pada
akhir skripsi ini berisi daftar pustaka, lampiran-lampiran dan daftar
riwayat hidup.
24
BAB II
KONSEP TENTANG MAKANAN DAN MINUMAN HALAL
DAN KONSEP SYUBHAT DALAM ISLAM
A. Konsep Islam tentang Makanan dan Minuman Halal
1. Pengertian Makanan dan Minuman Halal
Secara etimologi makan berarti memasukkan sesuatu melalui mulut,
sedangkan makanan ialah segala sesuatu yang boleh dimakan.35
Dalam
bahasa arab makanan berasal dari kata at-ta’am (6#Dc��) dan jamaknya al-
at’imah (UMDC.�) yang artinya makanan-makanan.36
Sedangkan dalam
ensiklopedi hukum Islam makanan ialah segala sesuatu yang boleh
dimakan oleh manusia atau sesuatu yang menghilangkan lapar.37
Minum, secara etimologi berarti meneguk barang cair dengan mulut,
sedangkan minuman adalah segala sesuatu yang boleh diminum.38
Dalam
bahasa arab minuman berasal dari kata al-asyribah (U P.�) dan jamaknya
35 Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN, Ilmu
Fiqh, Jakarta: Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, 1983, h. 525. 36 Ali Mutahar, Kamus Mashur, Kamus Arab Indonesia, Jakarta: Hikmah, 2005, Cet.
ke-1, h. 130. 37 Abdul Azis Dahlan, et. al., Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ikhtiar Baru van
Hoeve, 1996, Cet. ke-1, h. 1071. 38 Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/ IAIN, loc. cit.
25
al-syarb (j k��) yang artinya minuman-minuman.39
Sedangkan dalam
ensiklopedi hukum Islam diartikan dengan jenis air atau zat cair yang bisa
diminum.40
Halal berasal dari bahasa arab ($5u�) secara etimologi berarti
melepaskan ikatan, dibolehkan, tidak dilarang menurut hukum agama.41
Sedangkan dalam ensiklopedi hukum Islam ialah segala sesuatu yang
menyebabkan seseorang tidak dihukum jika menggunakannya atau sesuatu
yang boleh dikerjakan menurut syara’.42
Dalam buku Petunjuk Teknis Pedoman Sistem Produksi Halal yang
diterbitkan oleh Departemen Agama disebutkan makanan adalah barang
yang dimaksudkan untuk dimakan atau diminum oleh manusia, serta bahan
yang digunakan dalam produksi makanan dan minuman. Sedangkan halal
adalah sesuatu yang dibolehkan menurut ajaran Islam.43
Jadi pada intinya makanan dan minuman halal adalah makanan dan
minuman yang baik yang dibolehkan memakan atau meminumnya
menurut ajaran Islam yaitu sesuai dengan yang diperintahkan dalam Al-
Quran dan Hadits.
2. Dasar Hukum tentang Makanan dan Minuman Halal
39 Ali Mutahar, op. cit., h. 649. 40 Abdul Azis Dahlan, et. al, op. cit., h. 1179. 41 Mochtar Effendy, Ensiklopedi Agama dan Filsafat, Jakarta: Universitas Sriwijaya,
2001, h. 285. 42 Abdul Azis Dahlan, et. al, op. cit., h. 505-506. 43 Bagian Proyek Sarana dan Prasarana Produk Halal Direktorat Jenderal Bimbingan
Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Petunjuk Teknis Pedoman Sistem Produksi
Halal, Jakarta: Departemen Agama RI, 2003, h. 3.
26
Prinsip pertama yang ditetapkan Islam adalah bahwa pada asalnya
segala sesuatu yang diciptakan Allah itu halal dan mubah, tidak ada yang
haram, kecuali jika ada nash (dalil) yang shahih (tidak cacat
periwayatannya) dan sharih (jelas maknanya) yang mengharamkannya.44
Sebagaimana dalam sebuah kaidah fikih :
��&��#��=Z�< &�� �#�P���0#&�� �#��N#=U�N �S�� �Tv$�T�� ����=Z�� �� ���S�4� ���! Artinya: “Pada asalnya, segala sesuatu itu boleh (mubah) sehingga ada
dalil yang mengharamkannya”. ٤٥
Para ulama dalam menetapkan prinsip bahwa segala sesuatu asal
hukumnya boleh merujuk pada dalil yang berbunyi :
���L��� �3�w�2 ���x�� =K�! �+�< #&�� �#���y�f �M��GD # Artinya: “Dialah yang menciptakan untuk kalian segala sesuatu di bumi”.
(Al-Baqarah: 29)46
�+# ���N�Z ��� �<�]�L �N�5,$ ���+# �N� �6 �<�]�L �N� _6� ���+# � �K�Q ������ �<�]�L ��&g_L Artinya:“Apa yang dihalalkan Allah adalah halal dan apa yang
diharamkan-Nya adalah haram, sedangkan apa yang
didiamkannya adalah dimaafkan”. ٤٧
Halal dan haram adalah masalah yang hanya ditentukan oleh Allah
semata, tidak ada suatu makhluk yang ikut campur dalam menentukan
halal dan haram ini atau menentukan hukum lainnya yang bersumber dari
keduanya, kecuali dengan cara merujuk pada kaidah-kaidah yang telah
44 Yusuf Qardhawi, Al Halal wal Haram fil Islam terj. Muammal Hamidy, Halal
Haram dalam Islam, Surakarta: PT. Bina Ilmu, 1993, h. 14. 45 Syeikh Abu Bakar bin Abil Qasim bin Ahmad bin Muhammad bin Abi Bakar bin
Muhammad bin Sulaiman bin Abil Qasim bin Umar Al-Ahdal, Al-Faraidul Bahiyyah, terj.
Moh. Adib Bisri, Terjemah Al-Faraidul Bahiyyah, Kudus: Menara Kudus, 1977, h. 11. 46 Al-Quran dan Terjemahnya, Jakarta: Departemen Agama RI., 1993. h. 13. 47 Syeikh Abu Bakar bin Abil Qasim bin Ahmad bin Muhammad bin Abi Bakar bin
Muhammad bin Sulaiman bin Abil Qasim bin Umar Al-Ahdal, loc. cit.
27
ditentukan Allah SWT, yaitu tatkala tidak ada nash yang jelas baik dalam
Artinya: “Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang
Allah telah rizkikan kepadamu, dan bertakwalah kepada
Allah yang kamu beriman kepada-Nya”.(QS. Al-Maidah:
88)54
O.�5�N ��� �!=K�"�*�� #�M�+ ��L=�=K�< #G����C ���� =K�P����-���T���D�( �:#���B �!�S��=R &-�B ��� �Q�M�D�@ Artinya: “Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezki yang telah
diberikan Allah kepadamu dan syukurilah nikmat Allah, jika
kamu hanya kepada-Nya menyembah”.(QS. An-Nahl: 114 )55
Artinya: “Hukum asal sesuatu yang bermanfaat adalah boleh, hukum
asal sesuatu yang berbahaya adalah haram”. ٦١
59 Ibid., h. 784. 60 Syeikh Abu Bakar bin Abil Qasim bin Ahmad bin Muhammad bin Abi Bakar bin
Muhammad bin Sulaiman bin Abil Qasim bin Umar Al-Ahdal, op. cit., h. 11. 61 Proyek Pembinaan Pangan Halal Ditjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji,
Pedoman Fatwa Produk Halal, Derpartemen Agama RI, 2003, h. 76.
31
�+ �����T�� �!&K�4&����F#G+��T���� �Go�L�f�� ���S���� Artinya: “Hukum itu berputar bersama alasannya, ada dan tidaknya
alasan”.62
�0���k�� �!&K�N�� ���S�4���s�+�� ���( �T�A&g�+ ���� � =>����&��< _�#���+ ���� _6�� �N �L�� Artinya: “Hukum sesuatu apakah itu haram atau boleh, lihatlah pada
mafsadatnya dan kemaslahatannya”. ٦٣
Menurut Yusuf Qardhawi, hukum halal dan haram didasarkan pada :
“Pada dasarnya segala sesuatu boleh hukumnya, Penghalalan dan
man hanyalah wewenang Allah, Mengharamkan yang halal dan
menghalalkan yang haram adalah perbuatan syirik kepada Allah,
Sesuatu diharamkan karena ia buruk dan berbahaya, Pada sesuatu
yang halal maka tidak lagi membutuhkan yang haram, Sesuatu yang
mengantarkan kepada yang haram maka haram pula hukumnya,
Mensiasati yang haram maka haram pula hukumnya, Niat baik tidak
menghapuskan hukum haram, Hati-hati kepada yang syubhat agar
tidak terjatuh pada yang haram, Yang haram adalah haram untuk
semua, Darurat mengakibatkan yang haram menjadi boleh”.64
3. Syarat-syarat dan Kriteria Makanan dan Minuman Halal
Sebagian rahmat Allah kepada umat manusia ialah Dia tidak
membiarkan manusia dalam kebimbangan tentang hukum halal dan haram.
Sebaliknya, Dia menjelaskan yang halal dan menguraikan yang haram
dalam Al-Quran Pedoman Menuju Akhlak Muslim, Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2004,
h. 476-477. 71 Al-Quran dan Terjemahnya, op. cit., h. 176. 72 Al-Imam Abi Abdirrahman Ahmad bin Syu’aib An-Nasai, As-Sunan Al-Kubra, Juz
III, Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyyah, 1991, h. 212.
35
Dalam hal untuk kepentingan penetapan fatwa halal, MUI hanya
memperhatikan apakah suatu produk mengandung unsur-unsur benda
haram li-zatih atau haram li-ghairih yang karena cara penanganannya tidak
sejalan dengan syari’at Islam atau tidak. Dengan arti kata, MUI tidak
sampai mempersoalkan dan meneliti keharamannya dari sudut haram li-
ghairih, sebab masalah ini sulit dideteksi dan bukan merupakan
kewenangan MUI, karena itu persoalannya diserahkan kepada pihak-pihak
yang berkepentingan.73
Kriteria makanan halal menurut para ahli di LP
POM MUI didasarkan pada bahan baku yang digunakan, bahan tambahan,
bahan penolong, proses produksi dan jenis pengemas produk makanan.74
Produk halal yang dimaksud adalah :
a. Tidak mengandung babi dan bahan yang berasal dari babi.
b. Tidak mengandung bahan-bahan yang diharamkan seperti bahan-bahan
yang berasal dari organ manusia, darah, kotoran-kotoran dan lain
sebagainya.
c. Semua bahan yang berasal dari hewan halal yang disembelih menurut
tatacara syari’at Islam.
d. Semua tempat penyimpanan, tempat penjualan, pengolahan dan
transportasinya tidak boleh digunakan untuk babi. Jika pernah
digunakan untuk babi barang yang tidak halal lainnya terlebih dahulu
harus dibersihkan dengan tatacara yang diatur dalam syari’at Islam.
73 Proyek Pembinbaan Pangan Halal Ditjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji,
Pedoman Fatwa Produk Halal, op. cit. h. 33. 74 Thobieb Al-Asyhar, op. cit., h. 136-137.
36
e. Semua makanan dan minuman yang tidak mengandung khamar.75
Jadi dapat disimpulkan bahwa syarat-syarat produk pangan halal
menurut syariat Islam adalah :
a. Halal dzatnya b. Halal cara memperolehnya
c. Halal dalam memprosesnya
d. Halal dalam penyimpanannya
e. Halal dalam pengangkutannya
f. Halal dalam penyajiannya.76
Umat Islam harus berhati-hati dalam memilih makanan, terutama
pada era teknologi dan globalisasi seperti sekarang ini kehalalan dan
kesucian produk makanan olahan yang dibuat oleh industri tidak dapat
diketahui secara jelas. Bisa saja dalam produksinya terkandung zat-zat
yang membahayakan maupun zat-zat yang berasal dari bahan yang haram.
Makanan yang kita makan dapat mempengaruhi sikap dan perilaku
yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT baik di dunia
maupun di akhirat. Menurut M. Rusli Amin, ada beberapa kerugian atau
bahaya yang ditimbulkan dari sesuatu yang haram, antara lain:
a. Menimbulkan dosa, karena melakukan perbuatan yang dilarang.
75 Bagian Proyek Sarana Dan Prasarana Produk Halal Direktorat Jenderal Bimbingan
Masyarakat Islam Dan Penyelenggaraan Haji, Panduan Sertifikasi Halal, Jakarta: Departemen
Agama RI, 2003, h. 2. 76 Bagian Proyek Sarana dan Prasarana Produk Halal Direktorat Jenderal Bimbingan
Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Tanya Jawab Seputar Produk Halal, Jakarta:
Departemen Agama RI., 2003, h. 17.
37
b. Memperoleh murka dan azab dari Allah, yaitu mendapat siksa dari
Allah dan masuk neraka.
c. Bahaya bagi kesehatan jasmani, yaitu munculnya berbagai penyakit
dalam tubuh.
d. Bahaya bagi kesehatan ruhani, yaitu: kerugian spiritual seperti dilanda
berbagai kesusahan di dalam kehidupan, terhalangnya ilmu, hati
menjadi gelap karena dosa serta mempengaruhi mental dan perilaku
menjadi buruk.77
4. Fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang Produk Halal
Fatwa menurut bahasa adalah suatu jawaban dalam suatu kejadian
(peristiwa).78
Sedangkan fatwa menurut arti syari’at ialah menerangkan
hukum syara’ dalam suatu persoalan sebagai jawaban dari suatu
pertanyaan, baik si penanya itu jelas identitasnya maupun tidak, baik
perseorangan maupun kolektif.79
Fatwa produk halal adalah fatwa yang ditetapkan oleh Komisi Fatwa
MUI mengenai produk makanan, minuman, obat, kosmetika dan produk
lainnya. Fatwa tersebut ditetapkan setelah dilakukan serangkaian
pembahasan dalam rapat Komisi Fatwa yang didahului dengan laporan
hasil auditing oleh LP POM MUI dan peserta rapat memandang bahwa
77 M. Rusli Amin, Waspadai Makanan Haram di Sekitar Kita, Panduan Meraih
Hidup Sehat, Berkah dan Selamat, Jakarta: PT. Al-Mawardi Prima, 2004, h. 156-175. 78 Rohadi Abdul Fatah, Analisis Fatwa Keagamaan dalam Fiqih Islam, Jakarta: PT.
Bumi Aksara, 2006, h. 7. 79 Yusuf Qardhawi, Fatwa antara Ketelitian dan Kecerobohan, Jakarta: Gema Insani
Press, 1997, Cet. ke-1, h. 5.
38
produk dimaksud tidak mengandung hal-hal yang diharamkan, baik dari
aspek bahan maupun dalam proses produksinya.80
Setelah ditetapkan kehalalanya dalam rapat, dibuatlah satu
keputusan fatwa untuk produk-produk yang diputuskan dalam rapat secara
tertulis sebagaimana keputusan fatwa pada umumnya. Selanjutnya
dibuatkan sertifikat yang disebut dengan “Sertifikat Halal”. Dengan
semikian dapat dikatakan fatwa produk halal merupakan keputusan yang
diwujudkan dalam bentuk sertifikat halal.81
Dalam pelaksanaan sertifikasi halal pada umumnya MUI hanya
menetapkan fatwa halal, sebab apabila laporan hasil auditing dipandang
masih meragukan atau ternyata ditemukan indikasi ada unsur haram dalam
produk yang dilaporkan ataupun proses produksinya diduga tidak sejalan
dengan ketentuan halal, Komisi Fatwa meminta LP POM untuk melakukan
audit kembali. Dari sini diketahui bahwa pada dasarnya MUI tidak pernah
mengeluarkan fatwa produk haram. Akan tetapi untuk kasus tertentu
terkadang MUI menetapkan pula fatwa haram sebagaimana dalam kasus
MSG Ajinomoto yang menggunakan bacto soytone. Penetapan fatwa
haram seperti ini didasarkan pada maslahah ’ammah.82
Berkaitan dengan produk halal, Majelis Ulama Indonesia Provinsi
Jawa Tengah menetapkan Keputusan Fatwa No. 01/MUSDA VII/MUI-
JATENG/II/2006 berdasarkan Musyawarah Daerah VII MUI Provinsi
80 Proyek Pembinaan Pangan Halal Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam
dan Penyelenggaraan Haji, Pedoman Fatwa Produk Halal, op. cit., h. 21. 81 Ibid. 82 Ibid., h. 22.
39
Jawa Tengah tahun 2006 tentang makanan dan minuman yang
mengandung zat berbahaya.83
Keputusan Fatwa tersebut menetapkan
bahwa :
1. Pada dasarnya formalin, boraks, rhodamin B, dan metanil yellow
adalah netral dan mubah apabila digunakan sebagaimana mestinya.
Apabila bahan-bahan tersebut disalahgunakan untuk mencampur
makanan dan minuman maka hukumnya adalah haram.
2. Memproduksi dan memperdagangkan makanan dan minuman yang
menggunakan bahan tambahan yang mengandung zat berbahaya bagi
kesehatan seperti formalin, boraks, rhodamin B dan metanil yellow
merupakan perbuatan tercela dan haram.84
Selain itu, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia dalam rapat
Komisi bersama LP POM MUI pada tanggal 17 Ramadhan 1421 H yang
bertepatan dengan tanggal 13 Desember 2002 M, juga menetapkan
Keputusan Fatwa tentang Penetapan Produk Halal. Dalam keputusan fatwa
tersebut menyatakan :
1. Produk-produk sebagaimana tersebut dalam lampiran keputusan fatwa
ini ditetapkan kehalalannya dan kesuciannya.
83 Himpunan Keputusan Musyawarah Daerah VII Majelis Ulama Indonesia Propinsi
Jawa Tengah, Semarang: Majelis Ulama Indonesia, 2006, h. 52. 84 Ibid., h. 59.
40
2. Keputusan ini berlaku sejak ditetapkan, dengan ketentuan jika
dikemudian hari ternyata terdapat kekeliruan akan diperbaiki dan
disempurnakan sebagaimana mestinya.85
Diantara produk yang difatwakan antara lain produk penyedap rasa
(Monosodium Glutamate, MSG) dari PT. Ajinomoto Indonesia yang
menggunakan Bacto Soytone (ditetapkan haram) dan yang menggunakan
Mameno (ditetapkan halal), kepiting (ditetapkan halal sepanjang tidak
menimbulkan bahaya bagi kesehatan manusia), cacing (budidaya cacing
untuk diambil manfaatnya tidak untuk dimakan hukumnya mubah) dan
jangkrik (ditetapkan halal sepanjang tidak menimbulkan madharat).86
Dengan adanya fatwa MUI tersebut diharapkan dapat dijadikan
sebagai pedoman dan rujukan bagi masyarakat untuk mengkonsumsi
produk/makanan halal serta mampu mengurangi dan meminimalisir kasus-
kasus peredaran produk makanan atau minuman yang mengandung bahan
haram.
B. Konsep Syubhat dalam Islam
1. Pengertian dan Dasar Hukum tentang Syubhat
Kata syubhat berasal dari bahasa arab (U]�k��) artinya keadaan
sama, serupa, keadaan gelap, kabur, samar, tidak jelas.87
Dalam
85 Proyek Pembinaan Pangan Halal Ditjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji,
Pedoman Fatwa Produk Halal, op. cit., h. 77-78. 86 Ibid., h. 79-120. 87 Ahmad Warson Munawwar, Al-Munawwir, Kamus Arab-Indonesia, 1984, h. 740.
41
ensiklopedi hukum Islam syubhat berarti sesuatu yang ketentuan
hukumnya tidak diketahui secara pasti, apakah dihalalkan atau
diharamkan. Dalam pengertian yang lebih luas syubhat ialah sesuatu yang
tidak jelas apakah benar atau tidak, atau masih mengandung kemungkinan
benar atau salah.88
Abdurrahman Ar-Rasyid dalam bukunya Halal Haram
Menurut Al-Quran dan Hadist mendefinisikan syubhat adalah setiap
perkara yang tidak begitu jelas antara halal dan haramnya bagi manusia.
Hal ini dapat terjadi karena tidak jelasnya dalil dan mungkin karena tidak
jelasnya jalan untuk memahami nash atau dalil yang ada terhadap suatu
���+��#�4�+ ��� �M�N �-���� �.�1 GM�N Wn���+ qZ=K�� �-���� �.�1)83+ S�� :���(٩١ Artinya: “Qutaibah bin Sa’id menceritakan kepada kita, Hammad bin
Zaid mengabarkan kepada kita dari Mujalid dari Sya’bi dari
Nu’man bin Basyir berkata: Saya mendengar Rasulullah SAW
bersabda: Halal itu jelas dan haram itu jelas pula, dan diantara
keduanya ada perkara-perkara syubhat (yang samara-samar),
banyak orang yang tidak mengetahuinya. Maka barangsiapa
yang meninggalkannya, maka ia telah membersihkan dirinya
untuk agamanya dan kehormatannya, maka selamatlah dia dan
barang siapa jatuh kepada hal syubhat, maka ia seakan-akan
jatuh kepada yang haram. Umpama seorang yang menggembala
dekat daerah yang terlarang, seakan ia nyaris jatuh (memasuki)
daerah itu. Ketahuilah bahwa setiap negara ada tapal batasnya,
dan tapal batas Allah adalah yang diharamkannya”. (HR. At-
Turmudzi)
Terhadap persoalan syubhat, Islam memberikan suatu garis yang
disebut wara’ (sikap berhati-hati karena takut berbuat haram). Di mana
dengan sifat ini seorang muslim diharuskan menjauhkan diri dari masalah
yang masih syubhat sehingga ia tidak akan terseret kepada perbuatan yang
haram.92
Pengertian wara’ menurut Imam Muhammad bin Ismail adalah :
W6� �4�+ ���< ���L="�L&�� ���L�2 �d#�]��\k�� �X���l�( �����L&���٩٣ Artinya: “Wara’ adalah menjauhkan diri dari hal-hal yang belum jelas
halal dan haramnya karena takut terjatuh pada perkara yang
haram”.
91 Abi ’Isa Muhammad bin ’Isa bin Saurah, Al-Jami’ As-Shahih wa Huwa Sunan At-
Tirmidzi, Juz III, Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyyah, tt., h. 511. 92 Yusuf Qardhawi, Al Halal wal Haram fil Islam, terj. Wahid Ahmadi, op. cit., h. 62. 93 Al-Imam Muhammad bin Ismail Al-Amir Al-Yamny Ash-Shan’any, Subulus
Salam Syarhu Bulughul Maram Min Jam’i Adillati Al-Ahkam, Juz IV, Beirut: Darul Kutub Al-
Ilmiyyah, Cet. ke-I, 1988, h. 314.
43
Dalam hadist yang diriwayatkan oleh Imam Turmudzi Rasulullah
SAW memerintahkan kepada umatnya agar menjauhi dan meninggalkan
yang samar) maka sungguh ia telah menjaga agamanya dan
kehormatannya”. Dan perbuatan ini akan mengantarkannya kepada sikap
wara’.
Maka sesuatu yang masih diragukan kehalalan atau keharamannya
harus dibuktikan kebenaran akan halal atau haramnya sehingga seseorang
menjadi jelas dan yakin untuk melakukannya apabila termasuk barang
halal dan meninggalkan apabila itu telah jelas keharamannya. Sesuai
dengan kaidah fiqh :
�n�k�#� =$��r�� �. �����̀ ��&��� Artinya: “Keyakinan itu tidak dapat dihilangkan dengan keraguan”.
٩٥
Menurut Ahmad Batahi Al-Khatabi, hukum meninggalkan syubhat
ada tiga, yaitu: wajib, sunah dan makruh. Jika yang syubhat itu diyakini
membawa pada yang haram, maka meninggalkannya adalah wajib. Jika
yang syubhat itu lebih berat kepada yang haram, maka meninggalkannya
adalah sunah. Jika lebih berat kepada yang halal, maka meninggalkannya
adalah makruh. 96
2. Sumber-sumber Perkara Syubhat
Keraguan (syak) itu adalah suatu ungkapan untuk dua keyakinan
yang saling bertentangan yang bersumber dari dua sebab. Oleh karena itu
mana yang tidah mempunyai sebab atau bukti tidak dapat menjadi
95 Peunoh Daly dan Quraisy Syihab (eds.), Ushul Fiqh II, Jakarta: Departemen
Agama,1986, h. 194. 96 Al-Imam Muhammad bin Ismail Al-Amir Al-Yamny Ash-Shan’any, op. cit., h.
317.
45
ketetapan yang mengimbangi keyakinan yang berlawanan sehingga
kemudian menjadi syak (ragu).97
Batasan syubhat (haddusy-syubhat) menurut Ibnu Qudamah
adalah:
�N\T\k�� ���]�U�+ �( #�D��#�y�< ������ ���S�̀�o#�-��� �TG��� ����P ���~�����+ &̀�S�[�������� �#���S�̀�o#����٩٨ Artinya: “Batasan syubhat adalah sesuatu yang dipertentangkan dua
keyakinan, berasal dari dua hal yang memang selaras dengan
keyakinan itu”.99
Perkara syubhat dapat ditetapkan melalui beberapa sumber. Imam
Al-Ghazali dalam Ihya ’Ulumuddin menjelaskan sumber syubhat itu
antara lain :
a. Keraguan dalam sebab yang menghalalkan dan yang mengharamkan
)6 ��� Z��� X�A�� � nk��( .100
Keraguan tersebut tidak terlepas dari dua kemungkinan, yaitu
setara atau kecenderungan pada salah satu dari dua kemungkinan. Jika
kedua kemungkinan itu setara/sama, maka hukumnya adalah
berdasarkan yang dikenal sebelumnya. Jika salah satu dari dua
kemungkinan itu lebih kuat maka hukumnya adalah bagi yang lebih
97 Imam Al-Ghazali, Al Halal wal Haram, terj. Abdul hamid zahwan, Halal, Haram
dan Syubhat, Solo: CV. Pustaka Mantiq, Cet. ke-1, 1995, h. 45. 98 Al-Imam Asy-Syaikh Ahmad bin Abdurrahman bin Qudamah Al-Maqdisy,
Mukhtashar Minhajul Qashidin, Beirut: Maktabah Darul Bayan, 1978, h. 89. 99 Al-Imam Asy-Syaikh Ahmad bin Abdurrahman bin Qudamah Al-Maqdisy,
Mukhtashar Minhajul Qashidin, terj. Katur Suhardi, Minhajul Qashidin Jalan Orang-orang
yang Mendapat Petunjuk, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, Cet. ke-1, 2006, h. 107. 100 Al-Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Ihya ‘Ulumuddin,
loc. cit.
46
kuat. Contoh: Dilemparkan anak panah pada buruan. Buruan itu
terluka lalu terjatuh ke air dan ditemukan telah menjadi bangkai. Tidak
ada yang tahu apakah buruan itu mati karena tenggelam atau karena
lukanya. Maka buruan ini adalah haram karena asalnya yang haram.101
b. Keraguan yang ditimbulkan oleh percampuran )k�+ nPa2.� :S�5(
Yaitu bercampurnya yang haram dan yang halal sehingga tidak
dapat dibedakan lagi antara keduanya sehingga muncul keraguan
apakah sesuatu itu halal atau haram. Contoh: Daging bangkai seekor
kambing bercampur dengan daging beberapa ekor kambing yang
disembelih secara halal. Maka keraguan dalam hal ini harus dijauhi
karena tidak ada tanda pada daging dari bangkai yang bercampur.
Apabila ada keraguan yang beralasan bahwa daging bangkai kambing
itu telah bercampur maka hal tersebut haram.102
c. Keraguan karena adanya hubungan kemaksiatan dengan sebab yang
menghalalkan )U�sD+ Z��� X�A�# ZsS� -�(
Hubungan itu dapat terlihat pada sesuatu itu sendiri, pada
tujuannya, pada permulaannya atau pada persoalan jual beli. Namun
maksiat ini bukan sejenis maksiat yang merusak aqad (ikatan
perjanjian) atau membatalkan sebab yang menghalalkan sesuatu.
Kabupaten/Kota Semarang Jawa Tengah, h. 2, dikutip tanggal 4 November 2009.
49
TABEL I
JUMLAH PENDUDUK PERKECAMATAN TAHUN 2001107
Penduduk No. Kecamatan Luas
(Km2) Jumlah Kepadatan
1 Mijen 62,15 38.843 625
2 Gunung Pati 53,99 58.130 1076
3 Banyumanik 25,13 106.834 4.251
4 Gajah Mungkur 8,53 58.482 6.856
5 Semarang Selatan 8,48 84.103 9.917
6 Candisari 5,56 78.336 14.089
7 Tembalang 44,20 106.090 2.400
8 Pedurungan 19,85 141.695 7.138
9 Genuk 27,38 63.904 2.333
10 Gayamsari 6,36 64.104 10.079
11 Semarang Timur 7,7 84.044 10.914
12 Semarang Utara 10,46 122.929 11.752
13 Semarang Tengah 6,05 76.810 12.695
14 Semarang Barat 23,87 148.753 6.231
15 Tugu 31,29 24.400 799
16 Ngaliyan 32,07 92.548 2.885
Total 373,70 1.350.005 3.613
Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Semarang, 2001
Secara umum industri di Kota Semarang dapat diklasifikasikan
menjadi industri kecil, industri menengah dan industri besar.108
Jenis usaha
107 Ibid., h. 4-5. 108 Industri adalah suatu kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan
baku, barang setengah jadi, dan/atau barang jadi menjadi barang dengan nilai yang lebih tinggi
untuk penggunaannya, termasuk kegiatan rancangan bangun dan perekayasaan industri
(C.S.T. Kansil, Hak Milik Intelektual Hak Milik Perindustrian dan Hak Cipta, Jakarta: Sinar
Grafika, Cet. ke-1, 1997, h. 405).
Di Indonesia, secara umum industri dapat dikelompokkan menjadi industri dengan
skala besar, skala menengah dan skala kecil. Batasan skala usaha didasarkan pada kriteria
jumlah tenaga kerja, sebagai berikut: Industri skala kecil mempekerjakan 1-10 pekerja,
50
industri yang ada di Kota Semarang meliputi industri kimia dan barang kimia,
industri makanan dan minuman, furniture dan barang dari kayu, kulit dan
barang dari kulit, percetakan, logam, elektronika, alat angkut, industri tekstil
dan produk tekstil, aneka industri dan industri lainnya. Potensi industri di Kota
Semarang berdasarkan kelompok dan jumlah unit usaha pada tahun 2007
dapat dilihat dalam tabel berikut :
Industri skala menengah mempekerjakan 10-50 pekerja dan Industri skala besar
mempekerjakan 50 pekerja atau lebih (M. Dawam Rahardjo dan Fachri Ali, “Faktor-faktor
Keuangan yang Mempengaruhi Usaha Kecil dan Menengah di Indonesia”, dalam Kenneth
James, Aspek-aspek Finansial Usaha Kecil dan Menengah: Studi Kasus Asean, Jakarta:
LP3ES, 1992, h. 16-17).
Oleh karena Industri Kecil Menengah tergolong dalam batasan Usaha Kecil dan
Menengah, maka batasan Industri Kecil Menengah dapat didefinisikan menurut batasan Usaha
Kecil dan Menengah. Berdasarkan surat edaran Bank Indonesia kepada semua Bank Umum di
Indonesia No. 3/9/BKr, tanggal 17 Mei 2001, Usaha Kecil adalah usaha yang memenuhi
kriteria sebagai berikut :
1. Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) tidak
termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.
2. Memeliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).
3. Milik Warga Negara Indonesia
4. Berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki,
dikuasai atau berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha menengah
atau usaha besar.
5. Berbentuk usaha perorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum, atau badan usaha
yang berbadan hukum termasuk koperasi.
Sedangkan Usaha Menengah, menurut Instruksi Presiden No. 10 Tahun 1999 adalah
usaha yang memenuhi kriteria sebagai berikut :
1. Memiliki kekayaan bersih lebih besar dari Rp. 200.000.000,00 sampai dengan paling
banyak Rp. 10.000.000.000,00, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.
2. Milik Warga Negara Indonesia.
3. Berdiri sendiri dan bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang
dimiliki, dikuasai atau berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha
besar.
4. Berbentuk usaha perseorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum, dan/atau badan
usaha yang berbadan hukum (M. Kwartono Adi, Analisis Usaha Kecil dan Menengah,
Yogyakarta: CV. Andi Offset, 2007, h. 12-13).
51
TABEL II
POTENSI INDUSTRI
KOTA SEMARANG SEMESTER I TAHUN 2007109
Jumlah Unit Usaha
Industri Kecil
No. Kelompok
Industri
Non
Formal
Formal
Industri
Menengah
Industri
Besar
Potensi
Industtri
%
Potensi
Industri
1 Kimia dan
barang
kimia
3 140 48 12 203 6,430
2 Minuman 316 236 74 15 641 20,304
3 Makanan 365 270 62 9 705 22,363
4 Furniture
dan barang
dari kayu
167 195 157 20 539 17,073
5 Kulit dan
barang dari
kulit
7 - 12 - 19 1,394
6 Percetakan - 125 105 8 238 7,539
7 Logam 13 180 89 16 298 9,439
8 Elektronika - 12 16 3 31 0,982
9 Alat
angkut
- 1 2 9 12 0,380
10 Tekstil dan
produk
tekstil
34 65 13 6 118 3,738
11 Aneka 110 99 49 19 277 8,774
12 Industri
lain
19 - - - 19 1,584
Jumlah 1.034 1.323 617 117 3.091 100,00
Sumber: Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Semarang, 2009
Dari tabel di atas terlihat industri makanan memiliki potensi paling
besar yaitu sebesar 22,363 % disusul industri minuman sebesar 20,304 %.
109 Dinas Perindustrian dan Perdagangan, brosur Potensi Industri Kota Semarang
Semester I Tahun 2007, Pemerintah Kota Semarang.
52
Menurut data yang penulis peroleh dari Dinas Perindustrian dan
Perdagangan Kota Semarang pada Bulan Agustus 2009, jumlah industri
makanan dan minuman di Kota Semarang adalah sebagai berikut :
⇒ Jumlah industri kecil sebanyak 746 perusahaan, terdiri dari 285 industri
makanan, 428 industri minuman dan 33 industri rokok.
⇒ Jumlah industri menengah sebanyak 178 perusahaan terdiri dari 65
industri makanan, 81 industri minuman dan 22 industri rokok.
⇒ Sedangkan untuk industri besar berjumlah 24 perusahaan, terdiri dari 9
industri makanan, 11 industri minuman dan 4 industri rokok. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat dalam tabel berikut ini :
TABEL III
JUMLAH INDUSTRI MAKANAN DAN MINUMAN
KOTA SEMARANG, AGUSTUS 2009110
Jumlah Unit Usaha No. Jenis Usaha
Industri
Kecil
Industri
Menengah
Industri
Besar
1 Makanan 285 65 9
2 Minuman 428 81 11
3 Rokok 33 22 4
Jumlah 746 178 24
Sumber: Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Semarang, 2009 (Data olahan)
Dari tabel di atas dapat dijelaskan industri makanan dan minuman di
Kota Semarang pada Bulan Agustus 2009 berjumlah 948 perusahaan. Di sisi
lain data industri/perusahaan makanan dan minuman Kota Semarang yang
110 Data diperoleh pada tanggal 27 Agustus 2009.
53
bersertifikat halal di LP POM MUI Provinsi Jawa Tengah pada Bulan Agustus
2009 berjumlah 71 perusahaan.111
Kaitannya industri makanan dan minuman di Kota Semarang dengan
sertifikasi halal bahwa ternyata sertifikat halal MUI kurang mendapat
perhatian dari para produsen. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya industri
yang belum melaksanaan sertifikasi halal, bahkan ada produsen yang tidak
mengetahui sama sekali tentang sertifikat halal MUI.
Untuk mengetahui mengapa banyak industri makanan dan minuman di
Kota Semarang yang belum melaksanakan sertifikat halal, penulis mendatangi
beberapa IKM untuk melakukan wawancara. Diantara industri makanan dan
minuman yang penulis wawancarai adalah :
1. Industri roti “Julian Bakery” di Jl. Kumudasmoro Selatan No. 24
Semarang.
2. Industri roti “Seruni” di Jl. Pusponjolo Barat Raya No. 15 Semarang.
3. Depot Air Minum (DAM) “Tirta Yoga” di Jl. Mintojiwo Timur No. 5
Semarang.
4. Industri sirup “Subur Jaya” di Jl. Wr. Supratman No. 47 Semarang.
5. Industri roti “PUSPA” di Jl. Puspowarno No. 2 Semarang.
6. Industri mie “Lonceng” di Jalan Puspowarno 1 No. 25 Semarang.
7. Industri Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) “PT. Sarika” di Jl.
Puspowarno Selatan No. 55 Semarang.
111 Data Perusahaan Sertifikasi Halal MUI Provinsi Jawa Tengah, diperoleh pada
tanggal 24 Agustus 2009.
54
8. Home industry bakso sapi “Pak Geger” di Jl. Mintojiwo Raya/Gisikdrono
Semarang.
9. Industri Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) “PT Estima” di Jl. Menteri
Supeno No. 50 Semarang.
10. Home industry Roti Pia dan Kue Bolu di Jl. Bongsari No. 4 Semarang.
B. Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia Pada IKM di Kota Semarang.
1. Sekilas tentang LP POM dan Komisi Fatwa MUI
Majelis Ulama Indonesia (MUI) adalah organisasi keulamaan yang
didirikan di Jakarta pada tanggal 17 Rajab 1395 H, bertepatan dengan 26
Juli 1975 M. Majelis Ulama Indonesia hadir ke pentas sejarah ketika
bangsa Indonesia tengah berada pada fase kebangkitan kembali setelah
selama tiga puluh tahun sejak kemerdekaan energi bangsa terserap dalam
perjuangan politik baik di dalam negeri maupun di dalam forum
internasional, sehingga kurang mempunyai kesempatan untuk membangun
menjadi bangsa yang maju dan berakhlak mulia.112
Ulama Indonesia menyadari keberadaannya sebagai ahli waris para
nabi (waratsatul anbiya), pelayan umat (khadim al-ummah) dan penerus
misi yang diemban Rasulullah Muhammad SAW. Mereka terpanggil
untuk memberikan peran-peran kesejarahan baik pada masa penjajahan,
pergerakan kemerdekaan dan seluruh perkembangan dalam dalam
kehidupan kebangsaanmelalui berbagai potensi dan ikhtiar-ikhtiar
112 Himpunan Keputusan Musyawarah Daerah VII Majelis Ulama Indonesia Propinsi
Jawa Tengah, Semarang: Majelis Ulama Indonesia, 2006, h. 114-115.
55
kebajikan bagi terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhai Allah
SWT.
Ulama Indonesia menyadari, kemajemukan dan keberagaman umat
Islam dalam pikiran dan faham keagamaan merupakan rahmat bagi umat
yang harus diterima sebagai pelangi dinamika untuk mencapai kebenaran
hakiki. Sebab sikap menghormati berbagai pikiran dan pandangan
merupakan wasilah bagi terbentuknya kehidupan kolektif yang dilandasi
semangat persaudaraan (ukhuwah) tolong menolong (ta'awun) dan
toleransi (tasamuh).
Ulama Indonesia menyadari, kewajiban untuk menegakkan
kebenaran dan keadilan dengan cara yang baik dan teruji adalah kewajiban
bersama. Oleh karena itu, kepemimpinan umat Islam yang bersifat kolektif
merupakan kewajiban dalam rangka mewujudkan masyarakat madani
(khair al-ummah) yang menekankan nilai-nilai persamaan (al-musawah),
keadilan (al-'adalah) dan demokrasi (syura).113
Atas dasar itu dibentuklah Majelis Ulama Indonesia yang secara
singkat dijelaskan dalam Pedoman Dasar Majelis Ulama Indonesia pasal
5 bahwa tujuan didirikannya Majelis Ulama Indonesia adalah untuk
terwujudnya masyarakat yang berkualitas (khaira ummah) dan negara
yang aman, damai, adil dan makmur rohaniah dan jasmaniah yang diridhai
oleh Allah SWT (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur).114
113 Ibid., h. 124-125. 114 Ibid., h. 127.
56
Dalam kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara di era
reformasi, muncul indikasi adanya keinginan kuat untuk membangun
suatu masyarakat yang adil, sejahtera, demokratis dan berakhlak mulia.
Menyikapi fenomena tersebut, Majelis Ulama Indonesia mempunyai
obsesi menempatkan dirinya pada posisi berperan aktif dalam membangun
masyarakat baru. Peran aktif MUI yang dimaksud adalah peran sertanya
dalam melaksanakan visi dan misinya, yaitu :
1) Visi
Terciptanya kondisi kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan
dan kenegaraan yang baik, memperoleh ridho dan ampunan Allah
SWT (baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur) menuju masyarakat
berkualitas (khaira ummah) demi terwujudnya kejayaan Islam dan
kaum muslimin (izzul Islam wal-muslimin) dalam wadah Negara
Kesatuan Republik Indonesia sebagai manifestasi dari rahmat bagi
seluruh alam (rahmatan lil ’alamin).
2) Misi
Mengerahkan kepemimpinan dan kelembagaan Islam secara
efektif, sehingga mampu mengarahkan dan membina umat Islam
dalam menanamkan dan memupuk akidah Islamiyah, serta
menjalankan syari’at Islamiyah, dan menjadikan ulama sebagai
panutan dalam mengembangkan akhlak karimah, agar terwujud
masyarakat yang berkualitas (khair al-ummah).115
115 Ibid., h. 117.
57
Untuk merealisasikan peran ini MUI memerlukan program-
program riil yang dalam pelaksanaanya diharapkan dapat menggerakkan
kepemimpinan dan kelembagaan ormas Islam yang berada di Indonesia
agar dinamis dan efektif, di mana MUI akan menempatkan diri sebagai
motifator, dinamisator, katalisator dan akan menjadi lembaga penegak
amar ma’ruf nahi munkar serta menjadi panutan dalam mengembangkan
akhlakul karimah.
Salah satu program yang dilaksanakan oleh MUI dalam bidang
Penetapan Fatwa dan Nasehat Hukum Islam adalah mengoptimalkan
fungsi Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika (LP
POM).116
LP POM MUI atau Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan
Kosmetika Majelis Ulama Indonesia merupakan sebuah lembaga yang
dibentuk oleh MUI dengan tugas menjalankan fungsi MUI untuk
melindungi konsumen muslim dalam mengkonsumsi makanan, minuman,
obat-obatan maupun kosmetika.117
LP POM MUI dibentuk pada tanggal 6 Januari 1989. Lembaga ini
bertugas mengadakan inventarisasi, klasifikasi, dan pengkajian terhadap
makanan, minuman, obat-obatan dan kosmetika yang beredar di
masyarakat, mengkaji dan menyusun konsep yang berkaitan dengan
peraturan mengenai penyelenggaraan rumah makan (restoran), perhotelan,
hidangan, dalam pelayaran dan penerbangan, pemotongan hewan serta
116 Ibid., h. 29. 117 Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika, Panduan Umum Sistem
Jaminan Halal LP POM MUI, Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, 2008, h. 9-10.
58
penggunaan berbagai jenis bahan bagi pengolahan pangan, obat-obatan
dan kosmetika yang dipergunakan oleh masyarakat, khususnya umat Islam
agar terjamin halal.118
Lembaga ini beranggotakan para ahli di bidang
pangan, kimia, biokimia, teknologi dan lain-lain.
Dalam menjalankan fungsinya, LP POM melakukan pengkajian
dan pemeriksaan dari tinjauan sains terhadap produk yang akan
disertifikasi. Jika berdasarkan pendekatan sains telah didapatkan kejelasan
maka hasil pengkajian dan pemeriksaan tersebut dibawa ke Komisi Fatwa
untuk dibahas dari tinjauan syari’ah. Pertemuan antara sains dan syari’ah
inilah yang dijadikan dasar penetapan oleh Komisi Fatwa, yang
selanjutnya dituangkan dalam bentuk sertifikat halal oleh MUI.119
Sebagai lembaga yang dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia, LP
POM dalam melaksanakan sertifikasi halal tidak berjalan sendiri. LP POM
bekerjasama dengan Komisi Fatwa untuk menentukan dan ditetapkannya
fatwa halal terhadap produk yang telah dikaji dan diteliti olehnya.
Komisi adalah Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia atau Komisi
Fatwa Majelis Ulama Daerah. Fatwa adalah jawaban atau penjelasan dari
ulama mengenai masalah keagamaan dan berlaku untuk umum. Keputusan
Fatwa adalah fatwa MUI tentang suatu masalah keagamaan yang telah
118 Thabieb Al-Asyhar, Bahaya Makanan Haram bagi Kesehatan Jasmani dan
Kesucian Rohani, Jakarta: PT. Al-Mawardi Prima, 2002, h. 142. 119 Lukmanul Hakim, “Sertifikasi Halal MUI Sebagai Upaya Jaminan Produk
Halal” dalam Ichwan Sam, et. al., Ijma’ Ulama Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Se-
Indonesia III Tahun 2009, Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, Cet. ke-1, 2009, h. 279-280.
59
disetujui oleh anggota Komisi dalam rapat.120
Komisi Fatwa MUI adalah
salah satu komisi dalam MUI yang bertugas memberikan nasehat hukum
Islam dan ijtihad untuk menghasilkan suatu hukum terhadap persoalan-
persoalan yang sedang dihadapi umat Islam. Kenggotaan komisi fatwa
mewakili seluruh organisasi Islam yang ada di Indonesia.121
Adapun kewenangan dan wilayah fatwa Majelis Ulama Indonesia
adalah sebagai berikut :
1) MUI berwenang menetapkan fatwa mengenai masalah-masalah
keagamaan secara umum, terutama masalah hukum (fiqh) dan masalah
akidah yang menyangkut kebenaran dan kemurnian keimananumat
Islam.
2) MUI berwenang menetapkan fatwa mengenai masalah-masalah
keagamaan seperti tersebut pada nomor 1 yang menyangkut umat
Islam Indonesia secara nasional atau masalah-masalah keagamaan di
suatu daerah yang diduga dapat meluas ke daerah lain.
3) Terhadap masalah yang telah ada keputusan fatwa MUI, MUI Daerah
hanya berhak melaksanaannya.
4) Jika karena faktor-faktor tertentu keputusan fatwa MUI sebagaimana
dimaksud nomor 3 tidak dapat dilaksanakan, MUI Daerah boleh
menetapkan fatwa yang berbeda setelah berkonsultasi dengan MUI.
120 Proyek Pembinaan Pangan Halal Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam
dan Penyelenggaraan Haji, Pedoman Fatwa Produk Halal, Jakarta: Departemen Agama RI.,
2003, h. 59. 121 Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika, loc. cit.
60
5) Dalam hal belum ada keputusan fatwa MUI, MUI Daerah berwenang
menetapkan fatwa.
6) Khusus mengenai masalah-masalah yang musykil dan sensitif,
sebelum menetapkan fatwa, MUI Daerah diharapkan terlebih dahulu
melakukan konsultasi dengan MUI.122
Komisi Fatwa bertugas mengkaji dan memberikan keputusan
hukum terhadap persoalan yang tidak secara sharih (nyata) terdapat dalam
Al-Quran maupun Sunnah. Lembaga fatwa ini merupakan lembaga yang
independen yang terdiri dari para ahli ilmu dan merupakan kelompok yang
berkompeten yang memiliki otoritas yang memadai untuk memberikan
keputusan-keputusan ilmiah.123
2. Sistem dan Prosedur Sertifikasi Halal MUI
Sertfikat halal adalah fatwa tertulis Majelis Ulama Indonesia yang
menyatakan kehalalan suatu produk sesuai dengan syari’at Islam.
Sertifikat halal bertujuan untuk memberikan kepastian kehalalan suatu
produk sehingga dapat menenterampkan batin yang mengkonsumsinya.124
Yang dimaksud produk halal adalah produk yang memenuhi syarat
kehalalan sesuai dengan syari’at Islam, yaitu :
a) Tidak mengandung babi dan bahan yang berasal dari babi.
122 Proyek Pembinaan Pangan Halal Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam
dan Penyelenggaraan Haji, Pedoman Fatwa Produk Halal, op. cit., h. 64. 123 Bagian Proyek Sarana dan Prasarana Produk Halal Direktorat Jenderal Bimbingan
Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Modul Pelatihan Auditor Internal Halal,
Jakarta: Departemen Agama RI., 2003, h. 56-57. 124 Bagian Proyek Sarana Dan Prasarana Produk Halal Direktorat Jenderal Bimbingan
Masyarakat Islam Dan Penyelenggaraan Haji, Panduan Sertifikasi Halal, Jakarta: Departemen
Agama RI, 2003, h. 1.
61
b) Tidak mengandung bahan-bahan yang diharamkan seperti bahan-bahan
yang berasal dari organ manusia, darah, kotoran-kotoran dan lain
sebagainya.
c) Semua bahan yang berasal dari hewan halal yang disembelih menurut
tatacara syari’at Islam.
d) Semua tempat penyimpanan, tempat penjualan, pengolahan dan
transportasinya tidak boleh digunakan untuk babi. Jika pernah
digunakan untuk babi barang yang tidak halal lainnya terlebih dahulu
harus dibersihkan dengan tatacara yang diatur dalam syari’at Islam.
e) Semua makanan dan minuman yang tidak mengandung khamar.125
Dengan kata lain produk halal adalah produk pangan, obat,
kosmetika dan produk lain yang tidak mengandung unsur atau barang
haram atau dilarang untuk dikonsumsi, digunakan atau dipakai umat Islam
baik yang menyangkut bahan baku, bahan tambahan, bahan bantu dan
bahan penolong lainnya termasuk bahan produksi yang diolah melalui
proses rekayasa genetika dan iradiasi yang pengolahannya dilakukan
sesuai dengan syariat Islam.126
Proses, prosedur dan mekanisme penetapan fatwa produk halal
pada prinsipnya sama dengan penetapan fatwa pada umumnya. Hanya
saja, rapat penetapan fatwa dilakukan bersama antara Komisi Fatwa
dengan LP POM. LP POM terlebih dahulu melakukan penelitian dan audit
125 Ibid, h. 2. 126 Bagian Proyek Sarana Dan Prasarana Produk Halal Direktorat Jenderal Bimbingan
Masyarakat Islam Dan Penyelenggaraan Haji, Petunjuk Teknis Pedoman Sistem Produksi
Halal Jakarta: Departemen Agama RI, 2003, h. 131.
62
ke pabrik (perusahaan) yang telah mengajukan permohonan seretifikasi
halal. Hasil audit setelah dibahas di LP POM dituangkan dalam “Laporan
Hasil Auditing” yang selanjutnya dibawa ke dalam rapat Komisi Fatwa.127
Setelah ditetapkan kehalalanya dalam rapat, dibuatlah satu
keputusan fatwa untuk produk-produk yang diputuskan dalam rapat secara
tertulis sebagaimana keputusan fatwa pada umumnya. Selanjutnya
dibuatkan sertifikat yang disebut dengan “Sertifikat Halal”.
Pemegang sertifikat halal MUI bertanggung jawab untuk
memelihara kehalalan produk yang diproduksinya dan sertifikat halal
tersebut tidak dapat dipindahtangankan. Sertifikat halal yang sudah
berakhir masa berlakunya termasuk fotokopinya tidak boleh digunakan
atau dipasang untuk maksud-maksud tertentu.128
Untuk lebih jelasnya sistem, prosedur dan mekanisme sertifikasi
halal Majelis Ulama Indonesia secara rinci dapat dijelaskan sebagai
berikut : a. MUI memberikan pembekalan pengetahuan kepada para auditor LP
POM tentang benda-benda haram menurut syari’at Islam. Dalam hal
ini benda haram li-zatih dan haram li-ghairih yang karena cara
penanganannya tidak sejalan dengan syari’at Islam. Dengan arti kata,
para auditor harus mempunyai pengetahuan memadai tentang benda-
benda haram tersebut.
127 Proyek Pembinaan Pangan Halal Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam
dan Penyelenggaraan Haji, Pedoman Fatwa Produk Halal, op. cit., h. 33-34. 128 Bagian Proyek Sarana Dan Prasarana Produk Halal Direktorat Jenderal Bimbingan
Masyarakat Islam Dan Penyelenggaraan Haji, Panduan Sertifikasi Halal, op. cit., h. 2.
63
b. Para auditor melakukan penelitian dan audit ke pabrik-pabrik
(perusahaan) yang meminta sertifikasi halal, pemeriksaan yang
dilakukan meliputi :
1. Pemeriksaan secara seksama terhadap bahan-bahan produk, baik
bahan baku maupun bahan tambahan (penolong).
2. Pemeriksaan terhadap bukti-bukti pembelian bahan produk.
3. Cara pemotongan hewan untuk produk hewani atau mengandung
unsur hewani.
c. Bahan-bahan tersebut kemudian diperiksa di laboratorium, terutama
bahan-bahan yang dicurigai sebagai benda haram atau mengandung
benda haram (najis), untuk mendapat kepastian.
d. Pemeriksaan terhadap suatu perusahaan tidak jarang dilakukan lebih
dari satu kali, dan tidak jarang pula auditor (LP POM) menyarankan
bahkan mengharuskan agar mengganti suatu bahan yang dicurigai atau
diduga mengandung bahan yang haram (najis) dengan bahan yang
diyakini kehalalannya atau sudah bersertifikat halal dari MUI atau dari
lembaga lain yang dipandang berkompeten, jika perusahaan tersebut
tetap menginginkan mendapat sertifikat halal dari MUI.
e. Hasil pemeriksaan dan audit LP POM tersebut kemudian dituangkan
dalam sebuah Laporan Hasil Auditing, dan kemudian Laporan Hasil
Auditing itu diajukan ke Komisi Fatwa MUI untuk disidangkan.
64
f. Dalam sidang Komisi Fatwa, LP POM menyampaikan dan
menjelaskan isi Laporan Hasil Auditing dan kemudian dibahas secara
teliti dan mendalam oleh sidang komisi.
g. Suatu produk yang masih mengandung bahan yang diragukan
kehalalannya, atau terdapat bukti-bukti pembelian bahan produk yang
dipandang tidak transparan oleh Sidang Komisi, dikembalikan kepada
LP POM untuk dilakukan penelitian atau auditing ulang ke perusahaan
bersangkutan.
h. Produk yang telah diyakini kehalalannya oleh Sidang Komisi,
diputuskan fatwa halalnya oleh Sidang Komisi.
i. Hasil rapat Komisi tersebut kemudian dituangkan dalam Surat
Keputusan Fatwa Produk Halal yang ditandatangani oleh Ketua dan
Sekretaris Komisi Fatwa, selanjutnya diterbitkan Sertifikat Halal.129
Lebih jelasnya alur proses sertifikasi halal Majelis Ulama
Indonesia dapat dilihat pada Bagan Proses Sertifikasi Halal berikut ini :
129 Proyek Pembinaan Pangan Halal Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat
Islam dan Penyelenggaraan Haji, Pedoman Fatwa Produk Halal, op. cit., h. 34-35.
65
BAGAN PROSES SERTIFIKASI HALAL130
Revisi
Produsen
LP POM MUI
Revisi
Revisi
130 Bagian Proyek Sarana Dan Prasarana Produk Halal Direktorat Jenderal Bimbingan
Masyarakat Islam Dan Penyelenggaraan Haji, Panduan Sertifikasi Halal, op. cit., h. 11.
RENCANA PENGAJUAN
SERTIFIKAT HALAL
RENCANA SISTEM
JAMINAN HALAL
PENYUSUNAN MANUAL HALAL DAN
PROSEDUR BAKU PELAKSANAANYA
PEMASYARAKATAN DAN UJI COBA MANUAL HALAL
DAN PROSEDUR BAKU PELAKSANAANYA
PENGAJUAN SERTIFIKAT HALAL
AUDIT DI LOKASI PRODUKSI
FATWA MUI
AUDIT INTERNAL
DAN EVALUASI
EVALUASI
SERTIFIKAT HALAL
CEK SISTEM
JAMINAN HALAL
66
Untuk menjamin kehalalan suatu produk yang telah mendapat
sertifikat halal, selain menunjuk Auditor Internal di setiap perusahaan
yang bertugas mengawasi kehalalan produknya, MUI menetapkan dan
menekankan bahwa jika sewaktu-waktu ternyata diketahui produk-produk
tersebut mengandung unsur-unsur barang haram (najis), MUI berhak
mencabut sertifikat halal produk bersangkutan. Disamping itu, setiap
produk yang telah mendapat sertifikat halal diharuskan pula
memperbaharui atau memperpanjang sertifikat halalnya setiap dua tahun,
dengan prosedur dan mekanisme yang sama. Jika setelah dua tahun
terhitung sejak berlakunya sertifikat halal, perusahaan yang bersangkutan
tudak mengajukan permohonan (perpanjangan) sertifikat halal, perusahaan
itu dipandang tidak lagi berhak atas sertifikat halal dan kehalalan produk-
produknya di luar tanggung jawab MUI.131
Demikianlah sistem dan prosedur sertifikasi halal yang dilakukan
oleh MUI dalam rangka melindungi konsumen muslim agar hanya
mengkonsumsi makanan halal.
3. Sertifikasi Halal MUI Pada IKM di Kota Semarang.
Sekarang ini umat Islam menghadapi masalah yang semakin rumit
dan kompleks. Termasuk masalah yang paling rawan adalah mengenai
beredarnya berbagai jenis produk olahan yang tidak jelas kehalalannya
atau bahkan mengandung bahan haram dan berbahaya. Di tengah kondisi
perekonomian yang semakit sulit akibat adanya persaingan usaha, biaya
131 Proyek Pembinaan Pangan Halal Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam
dan Penyelenggaraan Haji, Pedoman Fatwa Produk Halal, op. cit., h. 53-54.
67
kebutuhan hidup yang semakin tinggi dan lain-lain menyebabkan para
pelaku usaha menghalalkan berbagai cara untuk mencari keuntungan yang
sebesar-besarnya dengan biaya sekecil mungkin demi mendapatkan apa
yang mereka inginkan. Sehingga untuk mencapai tujuan tersebut mereka
menggunakan cara-cara tertentu yang dilarang baik oleh pemerintah
ataupun agama. Dalam hal pengolahan makanan atau minuman, seringkali
digunakan bahan-bahan haram dan berbahaya dalam produksinya.
Menurut laporan Kepala Bidang Pengujian Pangan dan Bahan
Berbahaya Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), selama tahun
2002, dari 29 sampel mie basah yang ditemukan di pasar dan supermarket
di Jawa Barat, 25 diantaranya (86,2%) mengandung formalin dan boraks
dan terasi 53,33% mengandung zat pewarna tekstil rhodamin B.132
Fakta lain misalnya kasus Ajinomoto yang menghebohkan di awal
Bulan Januari 2001 lalu. Melalui fatwanya, MUI menyatakan Ajinomoto
sebagai makanan haram dikarenakan dalam proses pembuatannya terdapat
pemanfaatan unsur porcine (babi). Pada Bulan Februari 2003 ditemukan
daging yang mengandung bakteri antraks dan kasus penjualan babi hutan
yang disamarkan sebagai daging sapi.133
Juga kasus minuman
“Kratingdaeng” yang mengandung kafein melebihi ketentuan yang
diizinkan oleh Departemen Kesehatan.134
132 Sentot Yulianugroho, Penyelesaian Sengketa Konsumen di Indonesia, dalam
Jurnal Media Hukum, Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta,
Vol. 14 No. 1, Juni 2007, h. 90. 133 Ibid., h. 91. 134 Thabieb Al-Asyhar, op. cit., h. 18-19.
68
Mengkonsumsi produk-produk haram atau belum jelas
kehalalannya adalah hal yang harus dihindari oleh setiap muslim. Hal itu
karena mengkonsumsi produk-produk tersebut tidak hanya akan
membahayakan secara fisik bagi yang bersangkutan tetapi juga membawa
konsekuensi ukhrawi. Umat Islam Indonesia sekarang ini banyak
kehilangan kebijakan terutama pada kebutuhan mengkonsumsi jenis
produk yang halal, di mana umat Islam terkena dampak akibat permainan
bisnis produsen yang sengaja atau tidak sengaja menggunakan atau
mencampurkan bahan haram dalam produksinya.
Produk yang tidak jelas halal atau haramnya harus segera dicari
kejelasan statusnya, karena hal ini akan menimbulkan kerugian bagi
masyarakat khususnya umat Islam. Sehingga persoalan tersebut harus
segera mendapat jawabannya. Membiarkan persoalan tanpa jawaban dan
membiarkan umat dalam kebingungan atau ketidakpastian tidak dapat
dibenarkan, baik secara syar’i maupun secara i’tiqodi. Atas dasar itu,
Majelis Ulama Indonesia melalui LP POM dan Komisi Fatwa telah
berikhtiyar untuk memberikan jaminan makanan halal bagi konsumen
muslim melalui instrumen sertifikat halal.
Namun sampai saat ini masih banyak industri makanan yang belum
melaksanakan sertifikasi halal, seperti yang dilakukan oleh sebagian besar
(untuk tidak mengatakan seluruhnya) industri kecil dan menengah (IKM)
di Kota Semarang. Berdasarkan data dari Dinas Perindustrian dan
Perdagangan jumlah industri makanan dan minuman di Kota Semarang
69
pada Bulan Agustus 2009 adalah 948 perusahaan.135
Sementara menurut
data yang penulis peroleh dari LP POM MUI Jawa Tengah menjelaskan
dari sekian banyak industri/perusahaan makanan dan minuman di Kota
Semarang hanya 71 perusahaan saja yang telah melaksanakan sertifikasi
halal.136
Dari informasi di lapangan diketahui bahwa pengusaha industri dan
karyawannya ada yang berasal dari golongan muslim dan non-muslim.
Secara umum mereka sebenarnya sudah mengerti tentang konsep halal
dalam makanan atau minuman meskipun mereka bukan dari golongan
muslim. Mereka juga meyadari bahwa kehalalan suatu makanan atau
minuman yang dikonsumsi adalah wajib dan penting untuk diperhatikan.
Terhadap sertifikasi halal MUI, sebagian pengusaha non muslim
pun sebenarnya berminat untuk melaksanakan sertifikasi halal karena
mereka memahami keinginan masyarakat (konsumen) untuk
mengkonsumsi makanan halal sangat tinggi sehingga mereka ingin
meyakinkan konsumen bahwa produk yang mereka hasilkan adalah halal
dan layak dikonsumsi khususnya oleh umat Islam.137
Jadi secara umum
sebenarnya pihak industri mengakui bahwa kehalalan suatu produk
makanan atau minuman sangatlah penting mengingat mayotitas atau
135 Lihat data Industri Makanan dan Minuman Kota Semarang, Agustus 2009, Dinas
Perindustrian dan Perdagangan Pemerintah Kota Semarang, tanggal 27 Agustus 2009. 136 Data Perusahaan Sertifikasi Halal MUI Provinsi Jawa Tengah, diperoleh pada
tanggal 24 Agustus 2009. 137 Dalam wawancara Penulis dengan Anis Widyastuti selaku pimpinan industri roti
Seruni, ia mengatakan bahwa pihaknya setuju jika sertifikat halal diwajibkan, supaya
pelanggan atau pembeli tahu bahwa makanan yang dijual di tempatnya adalah halal karena
pemilik industri tersebut orang Cina (Kristen Cina) dan dari pihak industrinya sudah ada niat
atau rencana untuk melaksanakan sertifikasi (Hasil wawancara pada tanggal 5 Januari 2010).
70
sebagian besar penduduk Indonesia adalah muslim. Bahkan sebagian dari
mereka juga setuju jika sertifikat halal diwajibkan kepada perusahaan.
Meskipun demikian, dari hasil wawancara yang penulis lakukan di
lapangan pada beberapa IKM di Kota Semarang, ada beberapa alasan yang
dapat penulis kemukakan mengapa produk makanan dan minuman pada
IKM di Kota Semarang banyak yang belum bersertifikat halal, antara lain :
1. Pengetahuan IKM tentang sertifikat halal MUI.
Hasil wawancara yang penulis lakukan menunjukkan ada
sebagian IKM yang belum mengetahui tentang sertifikat halal MUI,
ada juga sebagian lain yang mengetahui tetapi tidak secara rinci
mengetahui bagaimana tata cara, proses dan prosedur pelaksanaan
sertifikat halal. Nani Nurhayati, seorang pemilik industri sirup ini
mengatakan bahwa ia belum tahu tentang sertifikat halal MUI.138
Ibu
Yuliana seorang pengusaha/pemilik industri roti pia dan kue bolu juga
mengatakan ia belum mengenal sertifikat halal MUI.139
Sementara
seorang pengelola industri mie bernama Budi Suryono mengatakan ia
sebenarnya sudah tahu tentang sertifikat halal dan berniat untuk
melaksanakannya, tetapi ia tidak tahu bagaimana cara mengurusnya,
apa saja yang diperlukan, surat-surat dan bahan-bahan yang harus
diajukan untuk sertifikat halal.140
Hal serupa dikatakan oleh Bapak
Ratman selaku Kepala Produksi PT. Sarika bahwa pihaknya belum
melaksanakan sertifikasi halal karena tidak tahu bagaimana prosedur
138 Hasil wawancara pada tanggal 6 Januari 2010. 139 Hasil wawancara pada tanggal 20 Maret 2010. 140 Hasil wawancara pada tanggal 20 Februari 2010.
71
pelaksanaannya, kepada siapa harus diajukan, di mana lokasinya,
berapa biayanya, dan lain-lain.141
Ketidaktahuan pihak IKM tentang upaya sertifikasi halal MUI
merupakan satu alasan yang mendasar mengapa produk makanan dan
minuman di Kota Semarang belum bersertifikat halal. Bagaimana
mungkin akan mengajukan kalau tidak tahu sistem dan prosedur yang
harus dilakukan ?
Menurut keterangan Bapak H. Sukirman selaku Kepala
Sekretariat LP POM MUI Provinsi Jawa Tengah sebenarnya pihak LP
POM sudah melakukan pendekatan-pendekatan dan upaya untuk
mensosialisasikan sertifikat halal kepada masyarakat. Sosialisasi
dilakukan melalui beberapa media seperti majalah, pemasangan
spanduk, dengan media elektronik seperti informasi melalui internet
dan lain-lain. Beliau menambahkan bahwa dalam rangka
meningkatkan sosialisasi sertifikat halal ini, pihaknya juga bekerja
sama dengan lembaga/instansi lain seperti BPOM, Dinas/Departemen
Kesehatan, Departemen Agama, Departemen Perindustrian dan
instansi-instansi lainya.142
Meski demikian, masih ada IKM yang
belum tahu tentang sertifikat halal. Bapak Yukana, salah seorang
pengusaha minuman mengharapkan supaya MUI lebih
mensosialisasikan sertifikasi halal karena perusahaannya masih belum
mengetahui bagaimana prosedur pelaksanaannya dan mengharapkan
141 Hasil wawancara pada tanggal 27 Februari 2010. 142 Hasil wawancara pada tanggal 15 Januari 2010.
72
biaya sertifikat halal dikenakan semurah mungkin. Ia juga berharap
agar tidak dipersulit dalam kepengurusannya.143
2. Adanya IKM yang belum atau enggan melaksanakan sertifikasi halal
karena alasan biaya.
Biaya sertifikasi dirasakan menjadi beban tambahan bagi
perusahaan karena akan menambah pengeluaran perusahaan atau
mengurangi pendapatan mereka. Salah satu pengusaha roti bernama
Hesti Sukaryani mengaku bahwa sebenarnya ia berminat sekali untuk
melaksanakan sertifikasi namun karena menyangkut birokrasi,
administrasi juga luas wilayah (jarak), ia jadi pikir-pikir dulu.
Pengusaha roti ini menuturkan bahwa ketika perusahaan disodorkan
dengan angka, perusahaan tentunya akan memperhitungkan baik dan
buruknya bagi perkembangan perusahaan.144
Bapak Ratman selaku
Kepala Produksi PT. Sarika mengungkapkan secara singkat bahwa
biaya sertifikat halal bagi perusahaan besar mungkin tidak menjadi
masalah tetapi bagi perusahaan kecil akan merasa keberatan jika
dibebani dengan biaya tersebut.145
Yuliana seorang pengusaha roti pia
dan kue bolu mengungkapkan bahwa dana usahanya lebih difokuskan
untuk menambah modal, memutar atau mengembangkan usaha yang
sedang dijalaninya. Menurutnya dana untuk pelaksanaan sertifikasi
143 Hasil wawancara pada tanggal 1 Maret 2010. 144 Hasil wawancara pada tanggal 4 Januari 2010. 145 Hasil wawancara pada tanggal 27 Februari 2010.
73
halal akan menambah pengeluaran perusahaan yang dianggap sebagai
dana/uang mati (tidak bisa berkembang lagi).146
Menanggapi hal ini Bapak Sukirman mengatakan pihak LP
POM sangat terbuka dalam hal biaya atau administrasi. Rincian biaya
yang akan dikenakan kepada perusahaan baik untuk auditor lapangan,
sidang Komisi Fatwa, biaya transportasi dan segala peruntukannya
akan dijelaskan secara terbuka kepada perusahaan/produsen yang akan
mengajukan sertifikat halal. Selain itu dalam biaya sertifikat halal ini
pihaknya juga melihat dan mempertimbangkan sejauh mana
kemampuan perusahaan serta selalu terbuka untuk memberikan solusi
apabila perusahaan mendapatkan kesulitan berkaitan dengan sertifikat
halal.147
3. Adanya IKM yang merasa tidak atau belum perlu sertifikat halal.
Dari wawancara yang penulis lakukan, selain biaya ada
beberapa hal yang menjadi pertimbangan mengapa pihak IKM di Kota
Semarang tidak atau belum memerlukan sertifikat halal, antara lain :
a. Tidak adanya keharusan (kewajiban) untuk melaksanakan sertifikat
halal.148
146 Hasil wawancara pada tanggal 20 Maret 2010. 147 Hasil wawancara pada tanggal 15 Januari 2010. 148 Dalam wawancara dengan Nani Nurhayati pemilik industri sirup UD. Subur Jaya,
tanggal 6 Januari 2010. Dia mengatakan bahwa kalau memang sertifikat halal itu diharuskan
maka akan dilaksanakan, kalau tidak diharuskan maka tidak perlu karena akan menambah
biaya pengeluaran lagi. Sementara Bapak Nanang Yulianto saat ditanya kesediaannya
melaksanakan sertifikat halal, dia mengatakan “kalau dengan terpaksa harus dilaksanakan ya
tidak apa-apa, tapi kalau tidak diharuskan ya tidak perlu. Sertifikat halal itu untuk usaha skala
besar. Kalau industri sudah skala menengah ke atas mungkin bisa melaksanakan sertifikat
halal” (Hasil wawancara pada tanggal 28 Februari 2010). Dia juga menambahkan untuk
produk yang berskala nasional atau internasional yang beredar atau dimasukkan di Indonesia,
74
b. Mereka telah memiliki izin produksi (surat izin usaha) dan
mendapat pembinaan dari dinas terkait, seperti Dinas Kesehatan.149
c. Sebagian mereka (pengusaha dan atau karyawan) yang bekerja
adalah muslim.150
d. Produk yang dihasilkan selain dijual juga dikonsumsi sendiri.151
e. Sepinya penjualan.152
f. Kecilnya keuntungan yang diperoleh perusahaan/produsen, dll.153
Hal ini kembali kepada produsen (IKM) itu sendiri sejauh
mana kebutuhan mereka terhadap sertifikat halal. Namun dalam
kondisi sekarang ini pihak LP POM menghimbau dan mengarahkan
produk tersebut harus bersertifikat halal. Bapak Yukana selaku pimpinan perusahaan
minuman ini justru bertanya: kenapa pemerintah tidak mewajibkan sertifikat halal ? padahal
kehalalan makanan bagi seorang muslim adalah wajib. Bagi perusahaannya, selama sertifikat
halal masih bersifat sukarela pihaknya tidak perlu mensertifikasi produknya (hasil wawancara
pada tanggal 1 Maret 2010). 149 Hasil wawancara dengan Hesti Sukaryani dan Siti Atkonah tanggal 4 Januari 2010
serta Nani Nurhayati tanggal 6 Januari 2010. Sementara Bapak Yukana telah menerapkan SNI
(Standar Nasional Indonesia) dalam produksi minumannya (hasil wawancara pada tanggal 1
Maret 2010). 150 Dalam wawancara penulis dengan Hesti Sukaryani yang beragama Katolik tanggal
4 Januari 2010 dia mengatakan: semua karyawannya beragama Islam. Begitu juga dengan
Anis Widyastuti yang mengatakan bahwa semua karyawan yang bekerja di tempatnya
beragama Islam kecuali pemiliknya yang beragama Kristen (Kristen Cina). Dalam hal ini
sebagai seorang muslim yang mengetahui kehalalan makanan tentunya tidak akan
menggunakan barang haram sebagai bahan produksinya. 151 Hesti Sukaryani misalnya, mengatakan bahwa selain dijual produknya juga
dikonsumsi sendiri dan keluarganya (Hasil wawancara pada tanggal 4 Januari 2010). 152 Hasil wawancara dengan Nani Sukaryani tanggal 6 Januari 2010. Sepinya
penjualan ini juga diungkapkan oleh Kuniati seorang karyawan industri roti Puspa (Hasil
wawancara pada tanggal 5 Januari 2010). Dia menuturkan hal tersebut terjadi dikarenakan
banyaknya toko-toko baru yang buka. Bapak Yukana mengatakan semakin banyak perusahaan
sejenis yang buka memunculkan terjadinya persaingan usaha dan membuat suatu perusahaan
maju-mundur (hasil wawancara pada tanggal 1 Maret 2010). 153 Hasil wawancara dengan Siti Atkonah tanggal 6 Januari 2010. Menurut Budi
Suryono, seorang pengelola industri mie yang sudah berdiri sejak tahun 1975 ini mengatakan
bahwa pada intinya dalam perkembangan industri sekarang ini perusahaan kecil kalah
bersaing dengan perusahaan besar, baik dari sisi modal, harga, menejemen, dll. (Hasil
wawancara pada tanggal 20 Februari 2010). Kecilnya keuntungan yang diperoleh perusahaan
juga dapat disebabkan karena naiknya harga bahan-bahan baku yang tidak diimbangi dengan
naiknya harga jual produk (hasil wawancara dengan Ibu Yuliana pada tanggal 20 Maret 2010).
75
supaya perusahaan melaksanakan sertifikat halal dan mencantumkan
label halal dalam produknya, terutama bagi IKM yang produknya
sudah dijual dan diedarkan secara luas. Karena kebutuhan terhadap
produk halal sekarang ini sudah menjadi keinginan dan tuntutan
konsumen.154
4. Sebagian IKM merupakan industri makanan atau minuman yang
dilarang dalam hukum Islam.
Dari data industri makanan dan minuman yang penulis peroleh
dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan, ada sebagian IKM di Kota
Semarang yang memproduksi dan mengembangkan jenis makanan
atau minuman yang dilarang dalam syari’at Islam seperti industri
Ajaran Islam juga memerintahkan kepada manusia agar memakan dari
rizki yang halal dan baik, sebagaimana dalam firman Allah dalam Surat An-
Nahl ayat 114 :
�!=K�"�*�� #�M�+ ��L=�=K�< #G����C O.�5�N ��� ���� =K�P����-���T���D�( �:#���B �!�S��=R &-�B ��� �Q�M�D�@ Artinya: “Maka Makanlah yang halal lagi baik dari rezki yang telah
diberikan Allah kepadamu dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu
hanya kepada-Nya menyembah”.(QS. An-Nahl: 114)161
Kemajuan teknologi yang begitu pesat saat ini telah mampu
menghasilkan sumber bahan pangan yang berasal dari tumbuhan, hewan,
159 Ibid., h. 273-274. 160 Al-Quran dan Terjemahnya, Jakarta: Departemen Agama RI., 1993, h. 1025. 161 Ibid., h. 419.
79
bahan sintetik kimia, mikrobial dan manusia. Bahkan dengan rekayasa
genetika dan teknologi pangan saat ini, telah memungkinkan semua yang ada
di muka bumi ini dijadikan sebagai bahan baku makanan yang bisa
dikonsumsi manusia. Sementara informasi hasil teknologi pangan tidak dapat
diketahui secara utuh, baik oleh produsen maupun konsumen.
Perkembangan ekonomi saat ini juga telah mampu menghasilkan
berbagai jenis dan variasi dari masing-masing jenis barang dan jasa yang
dapat dikonsumsi. Barang dan jasa tersebut pada umumnya merupakan
barang dan jasa yang sejenis maupun yang bersifat komplementer satu
terhadap yang lainnya. Dengan diversifikasi produk yang sedemikian luasnya
dan dengan dukungan kemajuan teknologi telekomunikasi dan informatika,
dimana terjadi perluasan ruang gerak arus transaksi barang dan jasa melintasi
batas-batas wilayah suatu negara, pada akhirnya konsumen dihadapkan pada
berbagai jenis barang dan jasa yang ditawarkan secara variatif, baik yang
berasal dari produksi domestik dimana konsumen berkediaman maupun yang
berasal dari luar negeri.
Kondisi seperti ini, pada satu sisi memberikan manfaat bagi konsumen
karena kebutuhan akan barang atau jasa yang diinginkan dapat terpenuhi
serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis dan
kualitas barang dan jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsumen.
Namun pada sisi lain dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan
konsumen menjadi tidak seimbang, di mana konsumen berada pada posisi
yang lemah. Konsumen menjadi objek aktifitas bisnis untuk meraup
80
keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi,
cara penjualan serta penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen.
Kelemahan konsumen juga bisa disebabkan oleh tingkat kesadaran dan
tingkat pendidikan konsumen yang relatif masih rendah yang diperburuk
dengan anggapan sebagian pengusaha yang rela melakukan apapun demi
produk mereka, tanpa memperhitungkan kerugian-kerugian yang akan
dialami oleh konsumen. Selain itu, pemahaman tentang etos-etos bisnis yang
tidak benar seperti anggapan bahwa bisnis harus memperoleh keuntungan
semata, bisnis tidak bernurani, atau anggapan bahwa bisnis itu memerlukan
banyak biaya maka akan merugikan apabila dibebani dengan biaya-biaya
sosial dan sebagainaya.
Pada kenyatannya, umat Islam sering dihadapkan pada penjualan atau
peredaran produk-produk makanan yang mengandung bahan haram dan
dapat menggangu kesehatan konsumen. Diantara bahan haram atau
berbahaya yang sering digunakan atau disalahgunakan untuk produk
makanan antara lain: babi, alkohol, formalin, borak, pewarna rhodamin B
dan metanil yellow, dll.
Maka pada era teknologi sekarang ini yang perlu diperhatikan terhadap
suatu produk adalah bahan dan prosesnya. Dalam hal bahan, akan mudah
penetapan status kehalalannya bila bahan yang digunakan tersebut
merupakan bahan segar tanpa melalui proses pengolahan. Lain halnya jika
bahan segar tersebut mengalami proses pengolahan. Dalam proses
pengolahan terkadang ditambahkan bahan tambahan atau bahan penolong
81
sehingga perlu pengkajian lebih lanjut dalam penetapan status kehalalannya.
Dalam hal proses pengolahan pangan, yang menjadi perhatian adalah
terjadinya percampuran (ikhtilath) atau jika bahan tersebut dikeluarkan
kembali dari produk, setidaknya akan terjadi pemanfaatan (intifa’) bahan
yang mungkin berasal dari bahan yang haram atau najis. Kedua kondisi ini
membuat status kehalalan produk menjadi sulit. Terlebih lagi perkembangan
teknologi pangan pada saat ini telah sampai pada kondisi dimana begitu
banyak bahan baku dan bahan tambahan yang digunakan dalam industri
makanan olahan.162
Allah SWT telah menghalalkan makanan dan mengharamkan
sebagian, menghalalkan minuman dan mengharamkan sebagian, kemudian
manusia mengolah makanan dan minuman hingga merusaknya, yang mana
dengan demikian banyak menjadikan yang halal menjadi syubhat bahkan
haram. Hal ini sebagaimana telah digambarkan dalam firman Allah :
Indonesia III Tahun 2009, Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, Cet. ke-1, 2009, h. 85. 169 Hasil wawancara pada tanggal 8 Maret 2010. Dalam hal ini beliau mengatakan ada
bahasa Al-Quran yaitu “taqwa”. Taqwa tersebut berarti menghindari siksa dunia dan akhirat.
Siksa dunia berkaitan dengan hukum kausalitas. Kaitannya dengan makanan seperti
makanan basi, tidak sehat, membahayakan, dan dampak buruk lainnya dari makanan
tersebut.
85
benar atau salah.170
Abdurrahman Ar-Rasyid mendefinisikan syubhat adalah
setiap perkara yang tidak begitu jelas antara halal dan haramnya bagi
manusia. Hal ini dapat terjadi mungkin karena tidak jelasnya dalil dan
mungkin karena tidak jelasnya jalan untuk memahami nash atau dalil yang
ada terhadap suatu peristiwa.171
Syubhat menurut Imam Al-Ghazali adalah sesuatu yang masalahnya
tidak jelas karena di dalamnya terdapat dua macam keyakinan yang
berlawanan yang timbul dari dua faktor yang menyebabkan adanya dua
keyakinan tersebut.172
Sedangkan batasan syubhat menurut Ibn Qudamah
adalah sesuatu yang dipertentangkan dua keyakinan, berasal dari dua hal
yang memang selaras dengan keyakinan itu.173
Menurut Imam Al-Ghazali perkara syubhat dapat ditetapkan melalui
beberapa sumber, yaitu :
e. Keraguan dalam sebab yang menghalalkan dan yang mengharamkan.
f. Keraguan yang ditimbulkan oleh percampuran antara yang halal dan
haram.
g. Keraguan karena adanya hubungan kemaksiatan dengan sebab yang
menghalalkan.
170 Abdul Azis Dahlan, et. al., Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ikhtiar Baru van
Hoeve, 1996, Cet. ke-1, h. 1759. 171 Abdurrahman Ar Rasyid, Halal Haram Menurut Al-Quran dan Hadist, Jakarta:
Prestasi Pustaka, 2006, h. 47. 172 Al-Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Ihya ’Ulumuddin,
Jilid II, Beirut: Darul Fikr, Cet. ke-1, 1989, h. 112. 173 Al-Imam Asy-Syaikh Ahmad bin Abdurrahman bin Qudamah Al-Maqdisy,
Mukhtashar Minhajul Qashidin, terj. Katur Suhardi, Minhajul Qashidin Jalan Orang-orang
yang Mendapat Petunjuk, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, Cet. ke-1, 2006, h. 107.
86
h. Keraguan karena perbedaan dalam berbagai dalil.174
Dari definisi, batasan dan penjelasan sumber-sumber penetapan
syubhat di atas maka dapat dipahami bahwa produk makanan dan minuman
olahan yang belum bersertifikat halal merupakan produk yang hukumnya
tidak jelas halal haramnya. Hal ini dilandasi karena :
a. Produk olahan yang belum bersertifikat halal tidak diketahui secara jelas
bahan-bahan yang digunakan untuk memproduksinya, apakah halal atau
haram. Hal ini diperparah dengan adanya informasi hasil rekayasa
genetika dan teknologi pangan yang tidak dapat diketahui secara utuh
baik oleh produsen maupun konsumen.
b. Produk tersebut tidak diketahui secara jelas asal bahan yang digunakan
untuk memproduksinya. Bisa saja berasal dari negeri atau daerah yang
mayoritas penduduknya non muslim, sebab sekalipun bahan tersebut suci
dan halal tidak tertutup kemungkinan dalam proses pengolahan,
pembuatan, penyimpanan, penyajian dan medianya tercampur atau
menggunakan bahan haram atau najis.
c. Produk tersebut secara teknis (prosesnya) tidak diketahui secara jelas cara
pengolahannya. Bisa saja tercampur dengan barang haram atau najis atau
diolah dengan cara yang tidak sesuai dengan ketentuan syariat Islam.
Maka dengan adanya realitas dan alasan-alasan terhadap penetapan
hukum produk makanan atau minuman olahan di atas membuat status hukum
makanan yang semula dan pada dasarnya mubah (boleh) berubah menjadi
174 Al-Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, op. cit., h. 112-128.
87
syubhat (samar) dan dapat pula berubah menjadi haram apabila terbukti
mengandung zat atau bahan yang dilarang dalam syari’at Islam. Hal ini
sesuatu dengan kaidah :
�+ �����T�� �!&K�4&����F#G+��T���� �Go�L�f�� ���S���� Artinya: “Hukum itu berputar bersama alasannya, ada dan tidaknya
alasan”. ١٧٥
�0���k�� �!&K�N�� �� �N �L�����S�4���s�+�� ���( �T�A&g�+ ���� � =>����&��< _�#���+ ���� _6 Artinya: “Hukum sesuatu apakah itu haram atau boleh, lihatlah pada
mafsadatnya dan kemaslahatannya”. ١٧٦
Sebagai langkah awal produk olahan baik makanan atau minuman
yang belum jelas kehalalannya harus dihindari agar tidak terjerumus ke
dalam perkara yang haram karena setiap konsumen muslim hanya boleh
mengkonsumsi produk halal. Rasulullah SAW bersabda :
jiwa, diantaranya adalah 87 % kaum muslimin, yaitu sekitar 200 juta jiwa
beragama Islam.193
Setiap konsumen muslim mempunyai hak untuk
memperoleh jaminan bahwa produk-produk yang dikonsumsinya adalah
halal. Sementara tidak semua konsumen seiring dengan rumitnya masalah
teknologi pangan yang terus berkembang dapat mengetahui kehalalan produk
makanan.194
Majelis Ulama Indonesia melaluai Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-
obatan dan Kosmetika (LP POM) dan Komisi Fatwa telah berikhtiar untuk
memberikan jaminan makanan halal bagi konsumen muslim melalui
instrumen sertifikat halal.
Sertifikat halal bertujuan melindungi masyarakat terutama masyarakat
Islam agar tidak mengkonsumsi makanan yang tidak halal. Sertifikat halal
memberikan manfaat baik bagi produsen maupun konsumen. Bagi produsen
yang betul-betul membuat makanan yang sesuai kategori halal, dia tidak akan
dirugikan dan akan diuntungkan karena tingkat kepercayaan konsumen akan
lebih tinggi terhadap produk tersebut, sehingga produknya akan laku.
Sebaliknya kalau tidak jelas kehalalannya masyarakat akan ragu. Masyarakat
muslim yang hati-hati dengan makanan dan minuman akan selektif sekali
dalam memilih makanan. Bukan hanya menghindari yang haram tetapi juga
menghindari makanan yang tidak sehat. Dengan adanya sertifikat halal ini
konsumen tidak perlu berfikir panjang untuk mengkonsumsinya karena
193 Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA., Kriteria Halal-Haram untuk Pangan,
Obat dan Kosmetika Menurut Al-Quran dan Hadist, Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, Cet. ke-1,
2009, h. 256. 194 Ichwan Sam, et. al., op. cit., h. 84.
99
sudah jelas halalnya. Jadi masyarakat dilindungi dari dua hal, yaitu halal dari
segi hukum dan kesehatan. Hal ini sesuai dengan konsep halalan
thayyiban.195
Selama kurang lebih 20 tahun MUI menerapkan sertifikat halal, telah
membuahkan hasil yang nyata. Upaya ini mampu mengurangi peredaran
produk-produk haram dan berbahaya, sekaligus menjawab keraguan
masyarakat terhadap produk yang beredar selama ini.196
Namun sampai
sekarang masih banyak industri makanan dan minuman yang belum
melaksanakan sertifikat halal. Seperti yang dilakukan oleh sebagian besar
industri kecil dan menengah (IKM) di Kota Semarang.
Berdasarkan perbandingan data jumlah industri makanan dan minuman
di Kota Semarang dengan data jumlah perusahaan makanan dan minuman
bersertifikat halal di LP POM MUI Provinsi Jawa Tengah pada Bulan
Agustus 2009 menunjukkan bahwa dari 948 industri makanan dan minuman
di Kota Semarang hanya 71 perusahaan saja yang telah memiliki sertifikat
halal. Dapat dikatakan ini merupakan sebuah ketidakseimbangan antara
peraturan atau kebijakan dengan implementasi dari peraturan dan kebijakan
itu sendiri.
195 Hasil wawancara dengan DR. Zuhad, MA., selaku anggota Komisi Fatwa MUI
Provinsi Jawa Tengah pada tanggal 8 Maret 2010. 196 Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Tengah sampai Bulan Agustus
2009 telah berhasil mensertifikasi 262 produk yang dihasilkan oleh perusahaan (lihat data
perusahaan yang sudah dapat sertifikat halal dari MUI Jawa Tengah). Dalam lingkup yang
lebih luas LP POM MUI sejak didirikan sampai akhir Februari 2008 telah menerbitkan 4.724
sertifikat halal. Proposal untuk memperoleh sertifikat halal ini datang dari dalam dan luar
negeri. Hal ini berarti bahwa Komisi Fatwa, LP POM dan MUI telah melindungi para
konsumen muslim dari produk-produk haram (lihat Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA.,
op. cit., h. 265).
100
Menurut data dan hasil wawancara yang penulis lakukan pada
beberapa IKM di Kota Semarang, ada beberapa alasan yang dapat
dikemukakan mengapa produk makanan dan minuman pada IKM di Kota
Semarang belum bersertifikat halal, sebagai berikut :
5. Adanya IKM yang belum mengetahui tentang sertifikat halal MUI.
6. Adanya IKM yang belum atau enggan melaksanakan sertifikasi halal
karena alasan biaya.
7. Adanya IKM yang merasa tidak atau belum perlu sertifikat halal dengan
pertimbangan-pertimbangan antara lain tidak adanya kewajiban untuk
melaksanakan sertifikasi halal, adanya izin produksi dan mendapatkan
pembinaan dari dinas terkait, sebagian mereka adalah muslim, selain
dijual produknya juga dikonsumsi sendiri, sepinya penjualan, kecilnya
keuntungan yang diperoleh, dll.
8. Sebagian IKM merupakan industri makanan atau minuman yang dilarang
dalam hukum Islam.
Dengan adanya alasan-alasan tersebut menunjukkan bahwa
pelaksanaan sertifikasi halal MUI terhadap produk makanan dan minuman
olahan pada IKM di Kota Semarang saat ini masih mengalami beberapa
kendala dan hambatan. Sehingga diperlukan kebijakan-kebijakan baru untuk
mengatasi kendala dan hambatan tersebut. Dalam hal ini penulis
menyimpulkan ada beberapa faktor yang mempengaruhi alasan mengapa
sebagian produk makanan dan minuman olahan pada IKM di Kota Semarang
belum bersertifikat halal, sebagai berikut :
101
1. Sosialisasi Sertifikat Halal
Sebagaimana diketahui bahwa masih ada sebagian masyarakat
(produsen) yang belum mengetahui pelaksanaan sertifikat halal, maka
Majelis Ulama Indonesia mempunyai tugas untuk melahirkan kebijakan-
kebijakan baru menyangkut pelaksanaan sertifikasi halal. Kebijakan ini
yang akan menuntun dan membantu umat untuk menemukan mana yang
benar dan mana yang salah.
Dalam tataran komunikasi, berbagai pendekatan sebenarnya sudah
dilakukan untuk mensosialisasikan sertifikat halal melalui beberapa
media seperti majalah, buku, spanduk, informasi melalui internet dan
lain-lain termasuk mengadakan kerja sama dengan lembaga/instansi lain.
Namun kurangnya fasilitas, sarana dan prasarana masih menjadi kendala
sosialisasi dan pelaksanaan sertifikat halal saat ini.197
Sehingga dalam
wilayah praktis atau di lapangan masih ada sebagian masyarakat yang
belum mengenal kebijakan MUI tentang sertifikasi halal. Walaupun ada
yang mengetahui mereka hanya tahu secara umum, tidak mengetahui
secara rinci teknis dan maksud dari kebijakan tersebut. Maka diperlukan
197 Hasil wawancara dengan Kepala Sekretariat LP POM MUI Jateng Bapak H.
Sukirman, pada tanggal 15 Januari 2010. DR. Zuhad, MA., mengatakan dari segi fasilitas LP
POM MUI Provinsi Jawa Tengah sendiri saat ini belum bisa meneliti secara langsung dan
rinci unsur-unsur yang terkandung di dalam suatu bahan atau produk makanan. Saat ini LP
POM masih mengkaji produk yang bahannya sudah jelas. Rencana ke depan LP POM Jawa
Tengah akan mempunyai Laboratorium sendiri dan diharapkan juga adanya laboratorium di
setiap provinsi agar bisa mandiri. Namun rencana tersebut belum bisa tercapai karena
mahalnya biaya yang masih menjadi kendala. Saat ini yang sudah memiliki adalah LP POM
MUI Pusat di Jakarta dan juga Bandung (hasil wawancara pada tanggal 8 Maret 2010).
Beliau menambahkan faktor lain yang masih menjadi kendala adalah pihak industri masih
belum bisa diatur dan mereka semaunya sendiri. Hal ini menyangkut kepentingan ekonomi
dan sosial, misalnya sertifikasi halal akan selalu mengikat perusahaan, kalau memakai
bahan/produk harus sesuai ketentuan/aturan, dll.
102
langkah sosialisasi yang lebih intensif agar masyarakat tahu dan faham
secara benar tentang kebijakan MUI tersebut.
Sosialisasi yang dilakukan MUI saja belum cukup agar kebijakan
yang telah ada bisa berjalan sesuai dengan tujuan dari kebijakan tersebut
dikeluarkan. Untuk mengetahui sejauh mana hal itu berjalan di
masyarakat, perlu adanya tindak lanjut atau evaluasi secara berkala
setelah kebijakan tersebut dikeluarkan, karena bagaimanapun juga
evaluasi sangat diperlukan untuk mengukur tujuan dari dikeluarkannya
kebijakan yang sebenarnya. Disamping itu perlu adanya fasilitas, sarana
dan prasarana serta dukungan dari berbagai pihak.
2. Lemahnya kondisi ekonomi perusahan dan biaya sertifikat halal.
Biaya (cost) sering dipermasalahkan oleh sebagian industri kecil
dan menengah karena dirasakan menjadi beban pengeluaran perusahaan.
Namun menurut penulis masalah biaya atau administrasi merupakan hal
yang wajar bagi setiap orang atau lembaga yang melakukan usaha. Begitu
juga dengan pelaksanaan sertifikasi halal pada industri kecil menengah
(IKM) di Kota Semarang. Di satu sisi IKM merupakan industri atau
perusahan kecil menengah yang menjalankan usaha dengan modal dan
pendapatan yang relatif kecil dibanding perusahaan-perusahaan besar. Di
sisi lain MUI juga bukan merupakan lembaga pemerintah. Maka dalam
hal ini, masalah biaya dan administrasi dapat dibicarakan secara bersama-
sama antara kedua belah pihak. Apalagi menyangkut biaya sertifikasi
halal Bapak H. Sukirman menuturkan bahwa pihak MUI dalam hal ini
103
sangat terbuka kepada perusahaan atau produsen. Segala sesuatu yang
berkaitan dengan biaya sertifikasi halal dijelaskan secara rinci kepada
perusahaan yang bersangkutan. Pihak MUI juga bersikap terbuka untuk
memberikan solusi-solusi kepada produsen apabila ada kesulitan
menyangkut pelaksanaan sertifikat halal.198
Selain biaya, lemahnya kondisi ekonomi perusahaan juga menjadi
alasan mengapa pihak IKM di Kota Semarang tidak atau belum
memerlukan sertifikat halal. Hal ini terutama karena sepinya penjualan
atau kecilnya keuntungan yang diperoleh industri kecil menengah yang
antara lain disebabkan kecilnya modal, adanya persaingan usaha serta
semakin mahalnya harga bahan-bahan baku makanan. Sehingga perlu
dipahami bahwa sebelum dibentuk atau diciptakan suatu peraturan atau
kebijakan menyangkut industri kecil menengah, maka harus dilihat
terlebih dahulu sejauh mana kemampuan IKM untuk melaksanakan
peraturan atau kebijakan tersebut.
Menanggapi hal ini, DR. Zuhad, MA., mengatakan bahwa dengan
adanya produk berlabel halal konsumen akan lebih percaya terhadap
produk tersebut dan hal ini akan menjadi daya tarik dan poin untuk bisa
bersaing dengan produk yang lain. Sertifikat halal ini sebenarnya telah
membantu dua pihak. Pertama pihak industri supaya ekonominya bisa
lebih meningkat dan tambah maju dan kedua konsumen juga akan
terlindungi. Jadi sertifikat halal jangan dianggap akan menghambat,
198 Hasil wawancara pada tanggal 15 Januari 2010.
104
sebaliknya hal ini sebenarnya melindungi dari sisi hukum dan dari segi
kemampuan peningkatan ekonomi.199
MUI juga mempunyai program dalam pelaksanaan sertifikasi halal
ini, antara lain dengan mengajukan anggaran kepada pemerintah dan
bekerja sama dengan departemen-departemen terkait. Setiap tahun MUI
mengajukan anggaran untuk program tersebut dan sudah beberapa kali
program tersebut dilaksanakan. Dengan adanya program tersebut, bagi
produsen terutama industri kecil atau home industry tidak dikenai biaya.
Kepada pihak industri/produsen diharapkan supaya segara mendaftarkan
sertifikat halal ke MUI dan jangan takut untuk mengajukan sertifikat
halal.200
Berkaitan dengan produk makanan olahan, yang harus diingat dan
menjadi perhatian lebih dari sekedar biaya atau administrasi bahwa
produk-produk makanan dan minuman olahan yang dihasilkan oleh
industri harus bisa menjamin mutu, kesehatan, kehalalan dan keselamatan
konsumen khusunya umat Islam. Karena jika tidak demikian akan
berdampak negatif tidak hanya bagi konsumen tetapi juga bagi
produsen/perusahaan itu sendiri. Bahkan dengan adanya label halal akan
lebih meyakinkan konsumen dan akan menjadi daya tarik dan poin untuk
bisa bersaing dengan produk yang lain. Apalagi mayoritas pembeli/
konsumennya adalah muslim.
199 Hasil wawancara pada tanggal 8 Maret 2010. 200 Hasil wawancara dengan DR. Zuhad, MA., pada tanggal 8 Maret 2010.
105
3. Kurangnya pemahaman dan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya
produk halal maupun sertifikasi halal.
Dengan warna, aroma, rasa, tekstur dan penampilan yang menarik
dan memikat dari suatu produk makanan olahan, konsumen seolah tidak
peduli dengan apa yang dikonsumsinya. Mereka tidak menyadari atau
memperhatikan apakah makanan yang mereka konsumsi tersebut halal
atau tidak. Padahal dengan kondisi demikian itu, suatu produk bisa
dengan mudah menipu.
Minimnya informasi dan pengetahuan masyarakat terhadap bahan
atau makanan hasil olahan menyebabkan masyarakat kehilangan
kebijakan dalam memilih, menggunakan atau mengkonsumsinya dalam
kehidupan sehari-hari. Pemahaman sebagian masyarakat terhadap
kehalalan atau keharaman suatu bahan atau produk makanan olahan saat
ini hanya didasarkan pada asumsi suka atau tidak suka, halal atau tidak
atau anggapan baik dan buruk semata tanpa adanya “greget” dari
masyarakat untuk membuktikan apakah bahan atau produk makanan
tersebut mengandung bahan haram atau tidak. Hal ini sesungguhnya
merupakan tempat keraguan dan ketidakjelasan. Dan sesungguhnya di
sinilah peranan dan fungsi dari sertifikat halal Majelis Ulama Indonesia.
Kesadaran masyarakat khususnya umat Islam tentang pentingnya
produk halal sangatlah besar pengaruhnya terhadap sukses atau tidaknya
pelaksanaan sertifikat halal sebab tanpa kesadaran dari masyarakat akan
sangat sulit sekali sebuah kebijakan atau aturan dapat dilaksanakan
106
dengan berhasil. Apalagi pelaksanaan sertifikat halal saat ini masih
bersifat sukarela (tanpa paksaan) sehingga tidak semua produsen bersedia
melaksanakan sertifikasi halal.201
Hal ini berarti meskipun sudah ada ketentuan dan kebijakan yang
mengatur atau menghimbau masyarakat untuk mengkonsumsi produk/
makanan halal ternyata tidak semua anggota masyarakat patuh pada
ketentuan dan kebijakan tersebut. Bahwa kesadaran seseorang terhadap
ketentuan atau kebijakan ternyata tidak serta merta membuat seseorang
tersebut mematuhinya karena banyak indikator-indikator lain yang
mempengaruhi.202
Maka dapat difahami bersama bahwa kesadaran
hukum masyarakat tidak identik dengan kepatuhan hukum masyarakat itu
sendiri.
Keberhasilan yang timbul dari kesadaran masyarakat ada kalanya
timbul dari dalam diri masyarakat sendiri dan ada kalanya timbul dari
faktor lain yang dapat menumbuhkan kesadaran masyarakat tersebut.
Menurut penulis salah faktor terpenting yang bisa mempengaruhi
peningkatan produk bersertifikat halal adalah meningkatkan kesadaran
masyarakat untuk mengkonsumsi produk halal (berlabel halal). Produk
bersertifikat halal akan mengalami peningkatan jika ada tuntutan dari
201 Ichwan Sam, et. al., op. cit., h. 85. 202 Sekarang ini yang namanya etika bisnis tidak semua orang bersedia mentaati
peraturan dan banyak orang yang mencari keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa
menghiraukan peraturan yang ada. Jadi persoalannya bukan hanya persaingan usaha,
keinginan orang untuk dapat untung banyak. Bahkan penimbunan pun juga sering dilakukan
oleh orang Islam, baik tahu atau tidak tahu. Cina saja yang merupakan negara besar juga
memproduksi produk bermelamin, membahayakan dan itu di ekspor dan di impor ke
Indonesia. Artinya masyarakat Indonesia menjadi korban. Ungkap DR. Zuhad saat
menanggapi masalah beredarnya produk-produk minuman beralkohol, mengandung babi,
rokok, dll. (hasil wawancara pada tanggal 8 Maret 2010).
107
masyarakat khususnya konsumen. Tuntutan konsumen menjadi salah satu
pemicu bagi para IKM untuk melaksanakan sertifikasi halal sebab
konsumen kini semakin cerdas dan hak konsumen inilah yang mutlak
harus dilindungi.203
Sehingga segala dukungan baik dari masyarakat,
lembaga maupun pemerintah masih sangat diperlukan.
Sertifikasi halal saat ini memang bukan suatu keharusan. Hal ini
muncul karena adanya kasus banyak makanan yang tidak sehat, banyak
makanan yang tidak halal. Adanya problem di sini dan melibatkan
masyarakat banyak yang tidak berdosa. Kalau produk alami misalnya
hanya menjual air dari sumbernya mungkin tidak perlu disertifikasi.
Tetapi kalau meramu dari berbagai unsur yang terkait banyak hal (bahan
dan proses) maka perlu dikaji lebih lanjut. Sebab sesuatu yang halal jika
dicampur bisa menjadi tidak halal. Sebagaimana buah anggur itu halal
tetapi ketika diproses menjadi sesuatu minuman bisa menjadi tidak halal.
Hal ini yang harus dijelaskan kepada produsen bahwa mereka ketika
menjual produk itu mempunyai tanggung jawab tidak hanya kepada
masyarakat (hak konsumen) tetapi juga kepada Tuhan.204
Pelaksanaan sertifikat halal saat ini juga lebih banyak mengundang
kesadaran semua pihak, produsen sadar tentang itu, konsumen juga sadar
terhadap apa yang akan dikonsumsi. Kalau konsumen sudah sadar
203 Hak konsumen menurut Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konumen antara lain hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa (pasal 4 huruf (a)). Dalam pasal 4 huruf (c) juga
disebutkan bahwa konsumen berhak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai
kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. 204 Hasil wawancara dengan DR. Zuhad, MA., selaku Anggota Komisi Fatwa MUI
Provinsi Jawa tengah, pada tanggal 8 Mei 2010.
108
terhadap pentingnya produk halal, produsen otomatis akan mengikuti
keinginan konsumen untuk mengkonsumsi produk halal.205
Dengan memahami keterangan di atas, maka diperlukan sosialisasi
dan kesadaran bersama oleh semua pihak terhadap pentingnya
mengkonsumsi produk/makanan yang halal. Hal ini dilakukan supaya
pelaksanaan sertifikat halal dapat meningkat serta produsen maupun
konsumen sendiri juga terhindar dari produk makanan yang haram atau
berbahaya.
4. Undang-undang dan peraturan pemerintah.
Di Indonesia sebenarnya telah banyak undang-undang dan
peraturan pemerintah yang mengatur tentang produk makanan, seperti
Undang-undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, Undang-undang
No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-undang No.
7 Tahun 1996 tentang Pangan, Intruksi Presiden No. 2 Tahun 1991
tentang Peningkatan Pembinaan dan Pengawasan Produksi dan Peredaran
Makanan Olahan, Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1999 Tentang
Label dan Iklan Pangan, dan beberapa peraturan pelaksanaan lainnya.206
Namun menurut Bapak H. Sukirman undang-undang yang
mengatur tentang jaminan produk halal (sertifikat halal) sampai saat ini
belum dikeluarkan oleh pemerintah. Undang-undang yang ada saat ini
205 Hasil wawancara dengan DR. Zuhad, MA., pada tanggal 8 Maret 2010. 206 Bagian Proyek Sarana dan Prasarana Produk Halal Direktorat Jenderal Bimbingan
Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Modul Pelatihan Auditor Internal Halal,
Jakarta: Departemen Agama RI., 2003, h. 62.
109
masih bersifat menganjurkan atau menghimbau kepada masyarakat untuk
mengurus sertifikat halal sedangkan pelaksanaan sertifikat halal itu
sendiri saat ini masih bersifat sukarela.207
MUI sendiri juga susah
(kesulitan) untuk memaksakan karena secara politik MUI tidak punya
kekuatan untuk itu. MUI bukanlah lembaga politik melainkan merupakan
lembaga sosial agama.208
Jadi belum ada undang-undang atau peraturan
pemerintah yang mewajibkan kepada produsen untuk melaksanakan
sertifikasi halal. Hal ini berarti kurang adanya kekuatan hukum (power of
law) yang mendorong para produsen untuk melaksanakan sertifikasi
halal. Diperlukan adanya undang-undang dan peraturan yang tegas,
mengikat dan benar-benar menjamin agar pelaksanaan sertifikat halal ini
dapat berjalan dengan baik sesuai dengan yang diharapkan.
Secara normatif peraturan yang diterapkan di Indonesia dan
berlaku secara universal meliputi semua aspek kehidupan bangsa adalah
undang-undang dan peraturan negara, bukan peraturan agama Islam yang
hanya berlaku bagi umatnya. Sebab Indonesia bukanlah negara Islam.
Sehingga setiap permasalahan yang menyangkut kepentingan seluruh
bangsa penyelesaiannya dikembalikan pada undang-undang dan
peraturan pemerintah.209
Indonesia bukan negara Islam dalam arti negara yang konstitusinya
Islam tetapi masyarakatnya Islam. Indonesia dari segi papan nama
207 Hasil wawancara pada tanggal 15 Januari 2010. 208 Hasil wawancara dengan DR. Zuhad, MA., pada tanggal 8 Maret 2010. 209 Menurut penuturan Bpk. Sukirman saat menanggapi peredaran produk minuman
keras (mengandung alkohol), produk mengandung babi, produk rokok, dll. (Hasil
wawancara pada tanggal 15 Januari 2010).
110
bukanlah negara Islam tetapi dari segi sosial kemasyarakatan, mayoritas
masyarakatnya muslim. Kalau mayoritas muslim otomatis yang namanya
ajaran Islam sebenarnya berjalan. Islam di Indonesia adalah Islam realitas
dan bukan Islam papan nama. Hal ini sebenarnya yang harus lebih
dikondusifkan supaya ajarannya lebih berlaku lagi di masyarakat.210
Terhadap kehalalan produk makanan atau minuman, undang-
undang dan peraturan pemerintah memiliki ketentuan yang berbeda
dengan kaidah hukum Islam. Misalnya ketentuan mengenai produk
minuman beralkohol dan produk yang mengandung babi. Dalam Islam
mengkonsumsi minuman yang mengandung alkohol baik banyak atau
pun sedikit adalah haram, sedangkan menurut peraturan pemerintah
diperbolehkan asal tidak melebihi batas atau memenuhi syarat dan
ketentuan yang telah ditetapkan.211
Demikian juga babi dalam Islam
diharamkan tetapi bagi agama atau kepercayaan tertentu yang menurut
keyakinannya babi boleh dikonsumsi, pemerintah tidak melarang karena
negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
210 Hasil wawancara dengan DR. Zuhad, MA., pada tanggal 8 Maret 2010. 211 Rasulullah bersabda dalam hadist yang diriwayatkan oleh Ibn Majah: “setiap yang
memabukkan itu haram, dan sesuatu (minuman) jika banyaknya memabukkan maka yang
sedikitnya pun haram” (Lihat Al-Hafidz Abi Abdillah Muhammad bin Yazid Al-Qazwini
Ibn Majah, Sunnah Ibnu Majah, Juz II, Beirut: Darul Fikr, tt., h. 1124). Sedangkan menurut
Peraturan Menteri Kesehatan No. 86/Men.Kes/Per/IV/1977 tentang Minuman Keras, pasal
20 menyebutkan beberapa larangan terhadap minuman keras, yaitu: 1) Dilarang
memproduksi atau mengimpor minuman keras tanpa izin Menteri, 2) Dilarang mengeluarkan
minuman keras yang mengandung etanol lebih dari 0,1% (satu sepersepuluh persen) dihitung
terhadap kadar etanol (C2H5OH), 3) Dilarang menjual atau menyerahkan minuman keras
kepada anak di bawah umur 16 (enam belas) tahun, 4) Dilarang mengiklankan minuman
keras golongan C (Lihat Peraturan Menteri Kesehatan No. 86/Men.Kes/Per/IV/77 tentang
Minuman Keras, dalam Proyek Pembinaan Pangan Halal Ditjen Bimas Islam dan
Penyelenggaraan Haji, Pedoman Fatwa Produk Halal, Derpartemen Agama RI., 2003, h.
282). Menurut Peraturan Menteri Keseharan tersebut minuman keras dibedakan menjadi tiga
golongan: 1) Golongan A dengan kadar alkohol 1-5 %, 2) Golongan B dengan kadar alkohol
5-20% dan 3) Golongan C dengan kadar alkohol 20-55 %.
111
agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan
kepercayaannya itu (Pasal 29 ayat 2 Undang-undang Dasar 1945).
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang berbhineka.
Kemajemukannya antara lain terletak pada keyakinan dan agama.
Agama-agama yang dianut di Indonesia antara lain Islam, Katolik,
Protestan, Hindu dan Budha. Disamping itu ada aliran-aliran kepercayaan
yang bersumber bukan pada ajaran agama tetapi bersumber pada
keyakinan yang tumbuh di kalangan masyarakat sendiri, yaitu
kepercayaan yang oleh pemerintah digolongkan kepada kepercayaan
yang merupakan bagian dari kebudayaan.
Dalam rangka usaha pembinaan dan pengembangan kehidupan
beragama di seluruh wilayah Republik Indonesia pemerintah tidak hanya
menjamin kebebasan tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-
masing dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaanya itu
melainkan sekaligus menjamin, melindungi, membina, mengembangkan
serta memberikan bimbingan dan pengarahan agar kehidupan beragama
lebih berkembang dan serasi dengan kebijakan pemerintah dalam
membina kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila.212
Ketentuan yang lain adalah mengenai produk rokok yang menurut
hasil Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia III sepakat bahwa
212 Ahmad Sukardja, ”Keberlakuan Hukum Agama dalam Tata Hukum Indonesia”,
dalam Cik Hasan Bisri, (ed.), Hukum Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, Jakarta:
Logos, Cet. ke-1, 1998, h. 34-35.
112
merokok hukumnya haram (jika dilakukan di tempat umum, oleh anak-
anak dan wanita hamil).213
Maka dengan memperhatikan perbedaan beberapa ketentuan
hukum tersebut, dapat dipahami bahwa suatu produk yang dalam hukum
Islam diharamkan (dilarang) belum tentu dilarang dalam undang-undang
atau peraturan pemerintah Indonesia. Hal ini dapat dibuktikan dengan
kenyataan bahwa di tempat-tempat penjualan/pemasaran masih bisa kita
temukan produk makanan yang mengandung alkohol dan babi seperti
produk minuman beralkohol merek Vodka Mixmax, Mansion House
(MH), Guinness, Anker, Heineken, San Miguel, Pu Tau Chew Chiew,
Carlsberg, Black Cooler dan lain-lain juga produk makanan seperti Ma
Ling Canned Pork Luncheon Meat dan Gulong Pork Luncheon Meat
yang mengandung babi.214
Selain itu berbagai jenis dan merek produk
rokok dapat dengan mudah dijumpai di toko atau tempat pemasaran
lainnya.
Beberapa ketentuan yang berbeda terhadap produk makanan
tersebut merupakan bagaian dari faktor penyebab mengapa permasalahan
sertifikasi halal produk makanan di Indonesia sulit untuk diselesaikan
karena menyangkut pluralisme dan kepentingan golongan tertentu yang
berbeda-beda terhadap kebutuhan makanan. Oleh karena itu, sudah
213 Keputusan Komisi B Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI Se-Indonesia III tentang
Hukum Merokok, dalam Ichwan Sam, et. al., Ijma’ Ulama Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi
Fatwa Se-Indonesia III Tahun 2009, Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, Cet. ke-1, 2009, h.
57. 214 Hasil Pengamatan tanggal 11 Januari 2010 pada swalayan “ADA” di Jl.
Soegyopranoto Semarang.
113
sepantasnya permasalahan ini dikembalikan pada tujuan hukum yang
sebenarnya yaitu terwujudnya kemaslahatan manusia seluruhnya
(rahmatan lil’alamin) tanpa ada yang dirugikan.215
Maka dalam rangka menjamin dan melindungi kemerdekaan
penduduk muslim di Indonesia untuk beribadah menurut agama dan
kepercayaannya dalam kaitannya dengan masalah produk makanan dan
minuman pemerintah harus memberikan jaminan dan perlindungan
produk halal kepada umat Islam. Salah satunya dapat dilakukan dengan
mencantumkan label halal atau mengandung bahan tertentu yang dilarang
bagi umat Islam pada setiap produk makanan atau minuman
(misalnya).216
Sehingga konsumen muslim dapat memilih (hak khiyar)
produk makanan atau minuman sesuai dengan agama dan kepercayaanya
itu. Dengan demikian, dalam memilih dan mengkonsumsi produk
makanan olahan konsumen tidak hanya berdasarkan pada asumsi semata
tetapi benar-benar yakin akan kehalalan atau keharaman makanan yang
dikonsumsinya.
Peranan Majelis Ulama Indonesia sendiri secara sosial politik tidak
seperti lembaga-lembaga yang lain. Bahkan yang namanya MUI tidak
215 Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 1999,
h. 65. 216 Dalam pasal 7 huruf (b) Undang-undang RI. No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen disebutkan: “Pelaku usaha berkewajiban memberikan informasi
yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa serta
memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan”. Selain itu keterangan
tentang “halal” juga disebutkan dalam pasal 30 ayat 2 Undang-undang RI. No. 7 Tahun
1996 Tentang Pangan bahwa label sebagaimana dimaksud dalam pasal 1, memuat sekurang-
kurangnya keterangan mengenai: nama produk, daftar bahan yang digunakan, berat bersih
atau isi bersih, nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke
dalam wilayah Indonesia, keterangan tentang halal, serta tanggal, bulan dan tahun
kadaluarsa.
114
mempunyai pegawai tetap dan merupakan pegawai lepas. Mereka adalah
orang-orang yang melaksanakan jihad fi sabilillah. Orang-orang yang
bekerja bukan digaji, bukan pegawai tetap, orang yang diambil dari
berbagai lembaga untuk bekerja di dalamnya. Mereka adalah volunter
(sukarelawan) yang berjihad di jalan Allah dalam rangka membantu dan
mengayomi masyarakat khususnya umat Islam.217
Pelaksanaan sertifikat halal sebenarnya mudah dan tujuannya
adalah melindungi produsen dan konsumen bukan menghambat
perekonomian mereka. Dengan adanya sertifikasi halal diharapkan
perkembangan industri makanan dan minuman khususnya industri kecil
menengah dapat meningkat, lebih mapan, lebih dipercaya oleh
masyarakat dan mampu meningkatkan kemampuan ekonomi masyarakat
Indonesia. Untuk mewujudkan hal tersebut maka diperlukan bantuan dan
dukungan dari semua pihak baik masyarakat, lembaga maupun
pemerintah.
Selanjutnya mengingat tingginya kepentingan umat Islam dalam
mengkonsumsi produk halal sebagaimana dijelaskan di atas, maka sudah
sewajarnya semua produk yang beredar di masyarakat memiliki status
kehalalan yang jelas. Sebagaimana dijelaskan dalam pasal 4 huruf (a)
Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
bahwa: “hak konsumen adalah hak atas kenyamanan, keamanan, dan
keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa”, pasal ini
217 Hasil wawancara dengan Dr. Zuhad, MA., pada tanggal 8 Maret 2010.
115
menunjukkan bahwa setiap konsumen termasuk konsumen muslim yang
merupakan mayoritas konsumen di Indonesia berhak untuk mendapatkan
barang yang nyaman dikonsumsi olehnya. Salah satu pengertian nyaman
bagi konsumen muslim adalah bahwa barang tersebut tidak bertentangan
dengan kaidah agamanya atau halal menurut syari’at Islam.
Dalam pasal 4 huruf (c) Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen juga disebutkan bahwa: “Konsumen juga berhak
atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa”. Hal ini memberikan pengertian bahwa
keterangan halal yang diberikan oleh perusahaan haruslah benar atau
teruji kehalalannya terlebih dahulu. Sementara pasal 8 ayat 1 huruf (h)
Mabrur, Mabrur Ideal, Mabrur Haji Stt; Cokalt, Kombinasi, Melon, Prima Kombina si Viva; Spesial, ElegantTiga Kali Tiga Mubarok; Besar, Kecil Exslusive, Spesial,Kombinasi, Lebaran, Durian, Susu, Pandan, Mossa,Stobery, Capocino, Graffe/Anggur, Taples Wafer
Stick Balado, Snack Ring, Snack Ball, Stick Pandan, Potato Rol Balado, Potato Rol Barbeque, Ring Barbeque, Stick Barbeque Stick Coklat, Pilo Coklat, Cheesco, Pilo keju, Pilus Austtralia Rasa Barbeque, Pilus Australia Rasa Balado, Kentang Keju, Kentang Bumbu,Kentang Keriting keju, Kentang keriting Bumbu, Singkong Bakar Balado, Singkong Bakar Jagung, Cumi, Cumi, Keciput Panjuang, Keciput Bulat, Keciput Ring, Emping Singkong PDS, Intip Manis, Intip Asin, Sempe Rasa Pandan, Sempe Rasa Durian, Sempe Rasa Pisang, Sempe Rasa Kopi Mocca, Sempe Rasa Strobery,.
25 Agustus 2009
96 15 11 103 09 07 ADA RASA Jl.Kumpul Rejo No. 29 Salatiga
GULA JAWA Gula Jawa Plm Sugar 5 September 2009
97 15 01 104 09 07 PERUSHAAN DENDENG SAPI SUKASARI Jl. Sukarno Hata Km 3 Sidoharjo Salatiga