Page 1
STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTHOS PADA
MIKROEKOSISTEM TIDEPOOL DI PANTAI BATU KUKUMBUNG,
CAGAR ALAM BOJONGLARANG JAYANTI, KABUPATEN CIANJUR,
JAWA BARAT
Laporan Penelitian Kuliah Kerja Lapangan (KKL) 2015
Di Cagar Alam Bojonglarang Jayanti dan Desa Karangwangi Cianjur, Jawa Barat
10 – 17 Mei 2015
Disusun oleh :
AUFA AULIA KANZA
140410120019
PROGRAM STUDI SARJANA BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2015
Page 2
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN PENELITIAN KULIAH KERJA LAPANGAN
Nama : Aufa Aulia Kanza
NPM : 140410120019
Bidang : Ekologi Perairan
Judul : Struktur Komunitas Makrozoobenthos pada Mikroeko-
sistem Tidepool di Pantai Batu Kukumbung, Cagar Alam
Bojonglarang Jayanti, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat
Tempat Penelitian : Cagar Alam Bojonglarang Jayanti dan Desa Karangwangi,
Cianjur, Jawa Barat
Waktu Penelitian : 10 – 17 Mei 2015
Telah diperiksa dan disahkan :
Jatinangor, Juni 2015
Menyetujui,
Dosen Pembimbing Laporan
KKL 2015
Dr.rer.nat. Tri Dewi K. Pribadi
NIP. 19740211 200501 2 001
Dosen Pembimbing Lapangan
KKL 2015
Sunardi, M.Si, Ph.D.
NIP. 19690530 199702 1 001
Mengetahui,
Ketua Rombongan KKL 2015
Prof. Dr. Erri Noviar Megantara
NIP. 19571103 198603 1 004
Page 3
STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTHOS PADA
MIKROEKOSISTEM TIDEPOOL DI PANTAI BATU KUKUMBUNG,
CAGAR ALAM BOJONGLARANG JAYANTI, KABUPATEN CIANJUR,
JAWA BARAT
Aufa Aulia Kanza, Tri Dewi K. Pribadi, Sunardi
Program Studi Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Universitas Padjadjaran
ABSTRAK
Penelitian struktur komunitas makrozoobenthos pada mikroekosistem tidepool di
pantai Batu Kukumbung dilakukan pada tanggal 10-17 Mei 2015. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui struktur komunitas makrozoobenthos,
keanekaragaman makrozoobenthos, dan kondisi lingkungan yang
mempengaruhinya. Penelitian ini menggunakan metode deksriptif kuantitatif,
dengan pengumpulan data menggunakan metode survey. Penelitian dilakukan
dengan memasang transek sepanjang 200 meter sejajar dengan garis pantai. Pada
tiap tidepool yang mengenai transek garis, dilakukan pengamatan, pengukuran
parameter fisika kimia perairan, serta pengambilan sampel benthos. Parameter
fisik yang diukur antara lain luas tidepool, kedalaman tidepool, suhu air, suhu
udara, intensitas cahaya, salinitas dan konduktivitas, sedangkan parameter kimia
yang diukur yaitu pH dan kandungan oksigen terlarut (DO). Dilakukan analisis
terhadap kelimpahan jenis, nilai penting, dominansi jenis, indeks kekayaan jenis,
indeks keanekaragaman jenis, indeks dominansi makrozoobenthos, dan penutupan
makroalga. Hasil pengukuran parameter fisik menunjukkan suhu air, intensitas
cahaya, dan konduktivitas pada kategori tinggi yang dapat membahayakan
kehidupan makrozoobenthos, sedangkan suhu udara, salinitas dan kedalaman
perairan dalam kategori normal, sehingga mampu mendukung kehidupan
makrozoobenthos. Nilai pH dan DO juga menunjukkan hasil yang sesuai dengan
kehidupan makrozoobenthos. Dari analisis sampel, didapatkan 39 jenis
makrozoobenthos dari 21 famili dan 6 kelas, dengan nilai kelimpahan tertinggi
pada jenis Ophionereis dubia sebesar 0,51 individu/338 m2, nilai penting pada
jenis Ophionereis dubia sebesar 43,97%, indeks kekayaan jenis sebesar 6,09,
indeks keanekaragaman jenis sebesar 2,53, dan indeks dominansi sebesar 0,85.
Penutupan makroalga didominasi oleh jenis Sargassum polycystum dengan
penutupan 7,62%.
Kata kunci : makrozoobenthos, pantai Batu Kukumbung, struktur komunitas,
tidepool
Page 4
i
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, Puji dan Syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah
SWT karena berkat rahmat, nikmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan
Laporan Penelitian Kuliah Kerja Lapangan 2015 yang berjudul “Struktur
Komunitas Makrozoobenthos pada Mikroekosistem Tidepool di Pantai Batu
Kukumbung, Cagar Alam Bojonglarang Jayanti, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat”
pada tanggal 10-17 Mei 2015.
Laporan penelitian ini disusun untuk memenuhi persyaratan dalam
menyelesaikan mata kuliah Kuliah Kerja Lapangan, Program Studi Sarjana
Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas
Padjadjaran, serta untuk memberikan informasi mengenai struktur komunitas dan
keanekaragaman makrozoobenthos pada mikroekosistem tidepool di pantai Batu
Kukumbung, Cagar Alam Bojonglarang Jayanti.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan laporan penelitian ini masih
jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran
yang membangun dari semua pihak demi kesempurnaan penelitian ini dan
perbaikan kedepannya. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak
yang membutuhkannya dan dapat dijadikan pedoman untuk penelitian
selanjutnya.
Jatinangor, Juni 2015
Penulis
Page 5
ii
UCAPAN TERIMA KASIH
Dalam penyusunan laporan ini, banyak pihak terkait yang telah membantu
penulis dalam pelaksanaan Kuliah Kerja Lapangan 2015 maupun penyelesaian
laporan penelitian ini. Merupakan suatu kehormatan untuk menyampaikan ucapan
terima kasih kepada :
1. Bapak Dr. Teguh Husodo, M. Si., Ketua Program Studi Biologi, FMIPA
Universitas Padjadjaran yang telah memberi kesempatan kepada
mahasiswa dalam melaksanakan Kuliah Kerja Lapangan 2015.
2. Bapak Prof. Dr. Erri Noviar Megantara, Ketua Rombongan Kuliah Kerja
Lapangan 2015 atas kesediaan dan bimbingan dalam pelaksanaan KKL
2015.
3. Bapak Dr. Ruhyat Partasasmita, M. Si., Ketua Komisi Kuliah Kerja
Lapangan 2015 yang telah membimbing panitia dan peserta KKL 2015.
4. Ibu Dr.rer.nat. Tri Dewi K. Pribadi, Dosen Pembimbing Laporan atas
kesediaannya meluangkan waktu, pikiran, bimbingan, pengarahan serta
nasehat dalam penyusunan laporan ini.
5. Bapak Sunardi, M.Si, Ph.D., Dosen Pembimbing Lapangan atas
bimbingan, pengarahan, serta masukan kepada penulis selama kegiatan di
lapangan.
6. Bapak dan Ibu Dosen Pembimbing Lapangan KKL 2015 atas bimbingan,
nasehat dan pengarahannya selama di lapangan.
Page 6
iii
7. Pimpinan dan seluruh staff Cagar Alam Bojonglarang Jayanti atas
kerjasama dan izinnya dalam pelaksanaan Kuliah Kerja Lapangan 2015.
8. Keluarga tercinta, Mama, (Alm) Papa, kakak-kakak dan adik yang telah
memberikan doa, semangat, dan dukungan kepada penulis.
9. Rekan-rekan tim Ekologi Perairan KKL 2015 (Akbar, Fitri, Ica, Venny,
Ratu, Wulan, Azalea, Syafitri, Cynthia, dan Teh Tanda) yang telah
berjuang bersama-sama, memberikan semangat, serta banyak membantu
penulis dalam penelitian dan penyusunan laporan ini.
10. Faris Muladi dan seluruh panita Kuliah Kerja Lapangan 2015 yang telah
berjuang dan mempersiapkan segala kebutuhan dalam pelaksanaan KKL
2015.
11. Teman-teman KLOROBLAS untuk semua kebersamaan, kerjasama, dan
bantuannya sehingga KKL 2015 dapat terlaksana dengan baik.
12. Seluruh pihak terkait dalam pelaksanaan KKL 2015 ini yang tidak bisa
disebutkan satu per satu atas semua dukungan moril dan materil dalam
pelaksanaan dan penyusunan laporan ini.
Semoga segala bantuan dan amal sholehnya mendapat balasan yang
terbaik dari Allah SWT. Aamiin ya Rabbal Alamin.
Jatinangor, Juni 2015
Penulis
Page 7
iv
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN
ABSTRAK
KATA PENGANTAR ........................................................................................ i
UCAPAN TERIMA KASIH ............................................................................ ii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... vii
DAFTAR TABEL .......................................................................................... viii
DAFTAR DIAGRAM ...................................................................................... ix
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2 Identifikasi Masalah ................................................................................. 2
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian ................................................................. 2
1.4 Kegunaan Penelitian ................................................................................ 3
1.5 Metodologi Penelitian .............................................................................. 3
1.6 Waktu dan Lokasi Penelitian ................................................................... 4
BAB II TINJAUAN LOKASI .......................................................................... 5
2.1 Letak Geografis dan Administratif .......................................................... 5
2.2 Kondisi Fisik ............................................................................................ 6
2.3 Hidrologi .................................................................................................. 6
2.4 Vegetasi .................................................................................................... 7
2.5 Satwa Liar ................................................................................................ 7
Page 8
v
BAB III TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 9
3.1 Ekosistem Laut ......................................................................................... 9
3.2 Perairan Pesisir ....................................................................................... 10
3.3 Zona Litoral/Intertidal ............................................................................ 11
3.4 Mikroekosistem Tidepool ...................................................................... 14
3.5 Makrozoobenthos ................................................................................... 17
3.6 Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Makrozoobenthos ................. 18
3.7 Struktur Komunitas ................................................................................ 20
BAB IV METODE PENELITIAN ................................................................ 22
4.1 Alat dan Bahan ....................................................................................... 22
4.1.1 Alat ................................................................................................. 22
4.1.2 Bahan ............................................................................................. 23
4.2 Metode Penelitian .................................................................................. 24
4.2.1 Pembuatan Transek ........................................................................ 25
4.2.2 Pengamatan Benthos dan Biota Lain pada Tidepool ..................... 26
4.2.3 Pengukuran Parameter Fisik .......................................................... 27
4.2.4 Pengukuran Parameter Kimia ........................................................ 28
4.2.5 Perhitungan Makroalga dan Biota Lain ......................................... 30
4.2.6 Identifikasi Benthos ....................................................................... 30
4.3 Analisis Sampel ..................................................................................... 31
4.3.1 Kelimpahan Jenis ........................................................................... 31
4.3.2 Nilai Penting (NP) .......................................................................... 31
4.3.3 Dominansi Jenis ............................................................................. 32
4.3.4 Indeks Kekayaan Jenis ................................................................... 33
4.3.5 Indeks Keanekaragaman Jenis ....................................................... 33
4.3.6 Indeks Dominansi .......................................................................... 34
4.3.7 Penutupan Makroalga .................................................................... 35
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................... 36
5.1 Hasil ....................................................................................................... 36
5.1.1 Parameter Fisik dan Kimia Perairan .............................................. 36
Page 9
vi
5.1.2 Kekayaan Jenis Makrozoobenthos ................................................. 39
5.1.3 Struktur Komunitas Makrozoobenthos .......................................... 41
5.1.4 Data Makroalga dan Biota Lain ..................................................... 49
5.2 Pembahasan ............................................................................................ 50
5.2.1 Parameter Fisik Perairan ................................................................ 50
5.2.2 Parameter Kimia Perairan .............................................................. 55
5.2.3 Parameter Biologi Perairan ............................................................ 56
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................ 67
6.1 Kesimpulan ............................................................................................ 67
6.2 Saran ...................................................................................................... 68
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 69
LAMPIRAN ..................................................................................................... 74
Page 10
vii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Lokasi penelitian Cagar Alam Bojonglarang Jayanti .................... 4
Gambar 4.1 Transek dan plot pengamatan benthos ........................................ 26
Gambar 4.2 Perhitungan luasan tidepool pada plot pengamatan .................... 26
Page 11
viii
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Alat penelitian struktur komunitas makrozoobenthos ....................... 22
Tabel 4.2 Bahan penelitian struktur komunitas makrozoobenthos ................... 24
Tabel 4.3 Kriteria Indeks Kekayaan Jenis Makrozoobenthos ........................... 33
Tabel 5.1 Hasil Pengukuran Parameter Fsik dan Kimia Perairan ..................... 37
Tabel 5.2 Jenis dan Jumlah Total Makrozoobenthos ........................................ 40
Tabel 5.3 Nilai Kelimpahan Jenis Makrozoobenthos ....................................... 41
Tabel 5.4 Nilai KM, KR, FM, FR, dan NP Jenis Makrozoobenthos ................ 43
Tabel 5.5 Indeks Kekayaan Jenis Makrozoobenthos ........................................ 47
Tabel 5.6 Indeks Keanekaragaman Jenis Makrozoobenthos ............................ 48
Tabel 5.7 Indeks Dominansi Jenis Makrozoobenthos ....................................... 49
Tabel 5.8 Data Makroalga dan Biota Lain ........................................................ 49
Page 12
ix
DAFTAR DIAGRAM
Diagram 5.1 Kelimpahan jenis makrozoobenthos (individu/338 m2) ............. 43
Diagram 5.2 Kerapatan relatif jenis makrozoobenthos.................................... 45
Diagram 5.3 Frekuensi relatif jenis makrozoobenthos .................................... 46
Diagram 5.4 Nilai penting jenis makrozoobenthos ......................................... 46
Page 13
x
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Hasil Pengamatan Makrozoobenthos Tidepool Pantai Batu
Kukumbung ................................................................................... 74
Lampiran 2 Susunan Acara Kuliah Kerja Lapangan (KKL) 2015 ................... 86
Lampiran 3 Peta Lokasi Pengambilan Data ..................................................... 90
Lampiran 4 Data Prediksi Pasang Surut Badan Informasi Geospasial 2015 ... 91
Lampiran 5 Perhitungan Analisis Sampel Makrozoobenthos .......................... 92
Lampiran 6 Dokumentasi Penelitian Lapangan ............................................... 99
Lampiran 7 Dokumentasi Penelitian Laboratorium ....................................... 103
Lampiran 8 Dokumentasi Tim Ekologi Perairan dan Peserta KKL 2015 ...... 104
Page 14
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kelimpahan makrozoobenthos pada ekosistem pantai sangat penting
pengaruhnya terhadap struktur rantai makanan. Makrozoobenthos bersifat relatif
menetap pada dasar perairan. Tekanan ekologis yang berlebihan dapat
mengurangi kelimpahan organisme ini sehingga dapat mengganggu keseimbangan
ekosistem (Ruswahyuni, 2008).
Tujuan dari ekologi komunitas adalah untuk menggambarkan pola-pola
distribusi dan kelimpahan kumpulan jenis, dan untuk memahami proses yang
menimbulkan pola ini (Begon, et al., 1986; Diamond dan Case, 1986 dalam
Metaxas dan Scheibling, 1993). Proses ini termasuk interaksi biologis, seperti
herbivora, predasi dan kompetisi, serta sebagai efek dari lingkungan fisik.
Pantai intertidal berbatu merupakan lingkungan yang ekstrim. Faktor fisik
dan biologis berperan bersama-sama untuk menentukan struktur komunitas
organisme yang mendiaminya (Lewis, 1964; Paine dan Levin, 1981; Denny,
1988; Little dan Kitching, 1996 dalam Castellanos, et al., 2005). Kolam-kolam
terbentuk oleh siklus air pasang pada pantai berbatu, meskipun begitu, berfungsi
sebagai tempat persembunyian dan perlindungan bagi komunitas laut, yang
menetap disana selama periode pasang surut agar terlindung dari paparan
langsung air laut (Metaxas dan Scheibling, 1993 dalam Castellanos et al., 2005).
Page 15
2
Komunitas biotik pada tidepool lebih sedikit dipelajari pada lingkungan
intertidal berbatu. Literatur mengenai komunitas tidepool belum ditinjau sampai
saat ini dan tersebar di beberapa bidang seperti ekologi intertidal berbatu, biologi
perikanan dan sejarah alam. Literatur bahkan telah menyarankan bahwa kolam-
kolam tersebut tidak mewakili habitat intertidal sejak ‘organisme di kolam-kolam
tidak muncul pada saat air surut’ (Underwood, 1981 dalam Metaxas dan
Scheibling, 1993).
Berdasarkan pada hal tersebut, maka diperlukan penelitian untuk
mengetahui struktur komunitas organisme yang terdapat pada mikroekosistem
tidepool, salah satunya makrozoobenthos, serta kondisi lingkungan yang
mempengaruhinya.
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, dapat diidentifikasi
beberapa permasalahan, di antaranya adalah :
1. Jenis makrozoobenthos apa saja yang terdapat pada mikroekosistem
tidepool di pantai Batu Kukumbung, Cagar Alam Bojonglarang
Jayanti.
2. Bagaimana struktur komunitas makrozoobenthos pada mikroekosistem
tidepool di pantai Batu Kukumbung, Cagar Alam Bojonglarang
Jayanti.
Page 16
3
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian
Maksud dari penelitian ini adalah untuk mengetahui struktur komunitas
makrozoobenthos pada mikroekosistem tidepool di pantai Batu Kukumbung,
Cagar Alam Bojonglarang Jayanti, sedangkan tujuan dari penelitian ini adalah
untuk mengetahui kenakearagaman makrozoobenthos dan kondisi lingkungan
yang mempengaruhinya pada mikroekosistem tidepool di pantai Batu
Kukumbung, Cagar Alam Bojonglarang Jayanti.
1.4 Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
struktur komunitas makrozoobenthos dan kaitannya dengan kondisi fisik-kimia
perairan pada mikroekosistem tidepool Cagar Alam Bojonglarang Jayanti, yang
selanjutnya dapat digunakan sebagai acuan kepada pemerintah daerah dan instansi
terkait dalam pengelolaan pengembangan dan pelestarian kawasan perairan Cagar
Alam Bojonglarang Jayanti.
1.5 Metodologi Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deksriptif kuantitatif,
dengan metode pengumpulan data menggunakan metode survey. Pada penelitian
ini dilakukan pengamatan langsung di lokasi, pengambilan sampel, pengukuran
parameter fisika kimia, identifikasi sampel, dan perhitungan terhadap kelimpahan,
nilai penting, kekayaan jenis, keanekaragaman serta dominansi makrozoobenthos.
Kegiatan penelitian terdiri dari pengamatan di lokasi selama 4 hari dan kegiatan
identifikasi, perhitungan oksigen terlarut, serta perhitungan data struktur
komunitas makrozoobenthos.
Page 17
4
1.6 Lokasi dan Waktu Penelitian
Pengambilan data dilakukan di pantai Batu Kukumbung, Cagar Alam
Bojonglarang Jayanti dan waktu pelaksanaan pada tanggal 10 hingga 17 Mei
2015. Sedangkan kegiatan identifikasi sampel, pengukuran oksigen terlarut dan
perhitungan data struktur komunitas makrozoobenthos dilakukan di Laboratorium
Ekologi Perairan, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran Jatinangor serta Laboratorium
Akuatik Program Pascasarjana Ilmu Lingkungan Universitas Padjadjaran Sekeloa,
Bandung.
Gambar 1.1 Lokasi Penelitian Cagar Alam Bojonglarang Jayanti
Pantai Batu
Kukumbung
Page 18
5
BAB II
TINJAUAN LOKASI
2.1 Letak Geografis dan Administratif
Cagar Alam Bojonglarang Jayanti secara geografis berada di Cianjur
Selatan Propinsi Jawa Barat, tepatnya antara 7º 29' 12” - 7º 30' 11" LS - 107º 25'
13” - 107º 25' 12" BT dengan panjang batas alam 2,65 km, panjang batas buatan
13,63 km, secara administratif berada di dua desa, yaitu Desa Cidamar dan Desa
Karangwangi Kecamatan Cidaun. Sebelah Utara, Timur, dan sebagian sebelah
Barat berbatasan dengan wilayah Desa Karangwangi. Sebelah Barat sebagian
berbatasan dengan wilayah Desa Cidamar, Kecamatan Cidaun, Kabupaten
Cianjur. Sebelah Selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia (BKSDA, 2007).
Menurut keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia, Nomor SK.
482/MENHUT-II/2010 tentang Penetapan Kawasan Hutan Cagar Alam
Bojonglarang Jayanti, yang terletak di wilayah Kabupaten Cianjur, Propinsi Jawa
Barat, seluas 732,22 Ha (BKSDA, 2007).
Kawasan hutan Bojonglarang Jayanti ditetapkan sebagai Cagar Alam
berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 516/Kpts/Um/10/1973 pada
tanggal 16 Oktober 1973 seluas 750 Ha. Namun menurut Tim Tata Batas
Direktorat Bina Program, Direktorat Jendral Kehutanan, dan Departemen
Pertanian menyatakan bahwa luas kawasan yang masih berupa hutan hanya seluas
580 ha sisanya 170 ha sudah digarap oleh masyarakat (BKSDA, 2007).
Page 19
6
2.2 Kondisi Fisik
Secara umum, topografi kawasan di Cagar Alam Bojonglarang Jayanti
relatif datar dan berbukit dan terletak di dataran rendah dan berbukit-bukit pada
ketinggian berkisar antara 0-250 mdpl. Menurut klasifikasi yang dilakukan
Smidth and Ferguson, iklim pada daerah ini termasuk klasifikasi tipe iklim B
dengan curah hujan rata-rata 2,645 mm/tahun. Suhu udara sekitar kawasan antara
18oC sampai 31
oC. Jenis tanah di Cagar Alam Bojonglarang Jayanti menurut
Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam adalah podzol merah kuning, laterit
coklat dan laterit merah kuning (BKSDA, 2007).
2.3 Hidrologi
Cagar Alam Bojonglarang Jayanti merupakan hutan pantai yang pada
umumnya selalu kering dan merupakan tadah hujan yang akan ada air apabila
musim hujan, kecuali sungai Cisela selalu mengalir hingga ke laut sebab hulu
sungai berasal dari luar kawasan hanya muaranya berada di dalam kawasan.
Sungai-sungai yang ada di Cagar Alam Bojonglarang Jayanti (BKSDA, 2007):
1. Sungai Cisela
2. Sungai Cikawung
3. Sungai Cigebang
Anak-anak sungai yang ada di Cagar Alam Bojonglarang Jayanti :
1. Cijaya
2. Cijarian
3. Jambesalak
4. Citapen
Page 20
7
5. Cipipisan
6. Cijangkar
7. Cibarengkok
2.4 Vegetasi
Cagar Alam Bojonglarang Jayanti merupakan daerah yang memiliki dua
tipe ekosistem yaitu ekosistem hutan pantai dan hutan dataran rendah. Kedua
ekosistem ini memiliki jenis vegetasi yang mendominasi yaitu Kiara (Ficus
globosa), Laban (Vitex pubescens), Pandan laut (Pandanus tectorius), Bambu duri
(Bambusa blumeana), dan Ketapang (Terminalia catappa). Ekosistem hutan
pantai dan hutan dataran rendah di cagar alam dipertahankan keberadaannya
karena selain memiliki keindahan dan nilai botani, berguna sebagai penyangga
kehidupan dari ancaman tsunami ataupun yang lainnya. Kebakaran yang terjadi
pada lahan seluas 25 ha mempengaruhi habitat satwa liar seperti mammalia, aves,
dan reptile (BKSDA, 2007).
2.5 Satwa Liar
Populasi fauna dalam kawasan Cagar Alam Bojonglarang Jayanti dulu
sangat banyak namun sekarang sudah mulai berkurang karena satwa dalam
kawasan menghilang sehingga saat ini sangat sedikit yang dapat dijumpai. Selain
itu, vegetasi di kawasan cagar alam juga jumlahnya sedikit. Satwa yang masih
terdapat dalam Cagar Alam Bojonglarang Jayanti menurut Badan Konservasi
Sumberdaya Alam Kabupaten Cianjur, jenis mammalia meliputi Babi hutan (Sus
scrofa), Kancil (Tragulus javanicus), Musang luwak (Paradoxurus
hermaphroditus), Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), Lutung budeng
Page 21
8
(Trachypithecus auratus), Bajing kelapa (Callosciurus notatus), Kalong (Pteropus
vampyrus), Landak (Hystrix brachyura), dan Trenggiling (Manis javanica). Jenis
aves adalah Walet linci (Collocalia linchii), Cucak kutilang (Pycnonotus
aurigaster), Bondol jawa (Lonchura leucogastroides), Madu sriganti (Nectarinia
jugularis), dan Elang ular bido (Spilornis cheela) (BKSDA, 2007).
Page 22
9
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Ekosistem Laut
Ekosistem merupakan suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan
timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Tingkatan organisasi
ini dikatakan sebagai suatu sistem karena memiliki komponen-komponen dengan
fungsi berbeda yang terkoordinasi secara baik sehingga masing-masing komponen
terjadi hubungan timbal balik. Hubungan timbal balik terwujudkan dalam rantai
makanan dan jaring makanan yang pada setiap proses ini terjadi aliran energi dan
siklus materi (Soemarwoto, 1983).
Ekosistem perairan adalah suatu sistem lingkungan perairan yang
merupakan tempat berlangsungnya hubungan timbal balik antara jasad hidup
perairan (komponen biotik), dengan lingkungan fisik perairan (komponen
abiotik), dan antar komponen itu sendiri, serta merupakan tatanan kesatuan secara
utuh menyeluruh antara segenap unsur lingkungan hidup yang saling
mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas
lingkungan hidup (Mustofa, 2002 dalam Haruddin, et al., 2011).
Ekosistem laut merupakan sistem akuatik yang terbesar di planet bumi.
Lautan menutupi lebih daripada 80 % belahan bumi selatan tetapi hanya menutupi
61 % belahan bumi utara, di mana terdapat sebagian besar daratan bumi
(Nybakken, 1988).
Page 23
10
3.2 Perairan Pesisir
Wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara ekosistem daratan
dan lautan, yang saling berinteraksi, dan membentuk suatu kondisi lingkungan
(ekologis) yang unik (Dahuri, et al., 1996; Brown, 1996). Definisi wilayah pesisir
yang digunakan di Indonesia adalah daerah pertemuan antara daratan dan laut; ke
arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam
air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan
perembesan air asin; sedangkan ke arah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut
yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di daratan seperti
sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia
di daratan seperti penggundulan hutan dan pencemaran (Soegiarto, 1976; Dahuri,
et al., 2001).
Ciri-ciri wilayah pesisir di antaranya yaitu:
1. Wilayah yang sangat dinamis dengan perubahan-perubahan biologis, kimiawi,
dan geologis yang sangat cepat (Tulungen, 2001).
2. Merupakan ekosistem yang produktif dan beragam, merupakan tempat untuk
bertelur, tumbuh, dan berlindung berbagai jenis jenis organisme perairan
(Tulungen, 2001; Dahuri, et al., 2001).
3. Ekosistemnya terdiri dari terumbu karang, hutan bakau, pantai dan pasir, muara
sungai, lamun, dan sebagainya yang merupakan pelindung alam yang penting
dari erosi, banjir, dan badai serta dapat berperan dalam mengurangi dampak
polusi dari daratan ke laut (Tulungen, 2001; Dahuri, et al., 2001; Idris, et al.,
2007).
Page 24
11
4. Dapat dimanfaatkan sebagai tempat tinggal manusia, sarana transportasi, dan
tempat berlibur atau rekreasi.
3.3 Zona Litoral/Intertidal
Daerah intertidal merupakan suatu daerah yang selalu terkena hempasan
gelombang tiap saat. Daerah ini juga sangat terpengaruh dengan dinamika fisik
lautan, yakni pasang surut. Menurut Nybakken (1992), zona intertidal merupakan
daerah yang paling sempit di antara zona laut yang lainnya. Zona intertidal
dimulai dari pasang tertinggi sampai pada surut terendah. Zona ini hanya terdapat
pada daerah pulau atau daratan yang luas dengan pantai yang landai. Semakin
landai pantainya maka zona intertidalnya semakin luas, sebaliknya semakin terjal
pantainya maka zona intertidalnya akan semakin sempit.
Akibat seringnya hempasan gelombang dan pasang surut maka daerah
intertidal sangat kaya akan oksigen. Pengadukan yang sering terjadi menyebabkan
interaksi antara atmosfer dan perairan sangat tinggi sehingga difusi gas dari
permukaan ke perairan juga tinggi. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Webber
dan Thurman (1991) bahwa pantai berbatu di zona intertidal merupakan salah satu
lingkungan yang subur dan kaya akan oksigen. Selain oksigen daerah ini juga
mendapatkan sinar matahari yang cukup, sehingga sangat cocok bagi beberapa
jenis organisme untuk berkembang biak. Pada daerah berbatu ini banyak terdapat
lingkungan mikro seperti celah-celah cadas dan kubangan pasang surut. Jenis
yang hidup pada lingkungan ini umumnya organisme yang melekat seperti
beberapa jenis keong.
Page 25
12
Pada tiap zona intertidal terdapat perbedaan yang sangat signifikan antara
satu daerah dengan daerah yang lain. Jenis substrat daerah intertidal ada yang
berpasir, berlumpur, berbatu, dan ada pula yang berupa timbunan. Daerah
berlumpur terjadi karena adanya aliran air yang mengandung lumpur dari darat.
Area ini biasanya terjadi di daerah teluk yang tenang atau estuari (Romimohtarto,
2007).
Lingkungan berpasir pada zona litoral mempunyai ukuran partikel yang
lebih besar dibanding partikel lumpur sehingga memungkinkan air mengalir di
antara partikel-partikel pasir, akibatnya pertukaran oksigen sampai pada dasar
pasir. Pada saat siang hari air surut membuat area ini menjadi kering. Gelombang
juga mempengaruhi area ini oleh sebab itu organisme yang hidup di area ini
cenderung dilengkapi dengan cangkang yang kuat, mampu bergerak bersama
butiran pasir atau memendam dalam di bawah permukaan untuk menghindari
penggerusan yang disebabkan oleh gelombang (Romimohtarto, 2007).
Pantai berpasir adalah pantai dengan ukuran substrat 0,002-2 mm. Jenis
pantai berpasir termasuk dalam jenis pantai dengan partikel yang halus. Menurut
Dahl (1952) dan Salvat (1964) dalam Raffaelli dan Hawkins (1996), sama halnya
pada pantai berbatu, pantai berpasir juga dibagi dalam beberapa zonasi yaitu:
1. Mean High Water of Spring Tides (MHWS)
Rata-rata air tinggi pada pasang purnama. Zona ini berada pada bagian
paling atas. Daerah ini berbatasan langsung dengan daerah yang kering dan sering
terpapar sinar matahari.
Page 26
13
2. Mean Tide Level (MLS)
Rata-rata level pasang surut. Zona ini merupakan daerah yang paling
banyak mengalami fluktuasi pasang surut. Pada daerah ini juga dapat ditemukan
berbagai ekosistem, salah satunya ekosistem padang lamun.
3. Mean Water Low of Spring Tides (MLWS)
Rata-rata air rendah pada pasang surut purnama. Zona ini merupakan zona
yang paling bawah. Pada daerah ini fluktuasi pasang surut sangat sedikit yang
berpengaruh karena daerah ini tidak terkena fluktuasi tersebut. Daerah ini juga
biasa ditemukan mikroekosistem terumbu karang.
Pada daerah litoral juga terdapat jenis lingkungan berbatu. Pada dasarnya
pembagian zonasi untuk lingkungan berbatu dilihat dari pasang surut yang terjadi.
Pantai ini didominasi oleh substrat dari batu. Menurut Stephenson (1972) dalam
Raffaelli dan Hawkins (1996), menyatakan bahwa pembagian zona pada daerah
berbatu dibagi menjadi tiga bagian yaitu:
1. A high-shore area (bagian daerah yang paling atas) atau supralittoral fringe.
Zona ini memiliki ciri sebagai tempat tinggal berbagai organisme, di
antaranya yaitu alga yang menjalar seperti Cyanobacteria (bakteri hijau biru),
cacing kecil, dan periwinkles.
2. A broad midshore zone (zona bagian tengah yang lebar) atau midlittoral zone
Pada daerah ini didominasi oleh pemakan suspense seperti bernakel,
kerang atau terkadang tiram.
Page 27
14
3. A narrower low-shore zone (zona bagian bawah yang sempit) atau infralittoral
fringe
Pada daerah ini didominasi oleh alga merah, organisme penghasil kapur,
kebanyakan berbentuk menjalar, terkadang kelp yang lebat (alga coklat) atau
terkadang pada suatu tempat di Hemisfer selatan yaitu penyaring makanan seperti
tunicata (sea squirt).
3.4 Mikroekosistem Tidepool
Pantai pada lautan terus mengalami pergerakan secara konstan. Pantai-
pantai ini merupakan percampuran antara daratan dan lautan yang tidak pernah
sama setiap saat. Batas antara daratan dan laut selalu berubah sejalan dengan
kenaikan pasang dan surut. Ketika pasang, air laut terjebak dalam depresi di
bebatuan membentuk tidepool (kolam pasang). Kolam dangkal ini dan daerah
sekitarnya dihasilkan dari pasang surut dan sering ditemukan banyak hewan dan
tumbuhan, yang harus beradaptasi dengan lingkungan eksterim untuk dapat
bertahan hidup (SPE, 2015).
Tidepool (kolam pasang) atau kolam batu adalah kolam berbatu di tepi laut
yang diisi dengan air laut. Sebagian besar dari kolam ini merupakan kolam
terpisah hanya pada saat air laut surut. Banyak dari tidepool merupakan habitat
beberapa hewan yang telah menarik perhatian para peneliti dan ahli biologi
kelautan (NPCA, 2008).
Kolam pasang surut ini berada pada zona intertidal laut. Zona ini terendam
laut di pasang tinggi dan selama badai, juga hempasan gelombang laut. Di lain
waktu, zona ini dapat mengalami kondisi ekstrim lain, yaitu terkena paparan sinar
Page 28
15
matahari atau terkena angin dingin. Beberapa organisme dapat bertahan hidup
dalam kondisi tersebut (NPCA, 2008).
Zona intertidal merupakan zona yang umum terdapat di seluruh dunia.
Karena adanya isolasi dan pencampuran yang disebabkan oleh pasang surut,
menyebabkan tidepool memiliki kondisi yang sangat berfluktuasi dan
menciptakan ekosistem tersendiri. Populasi dalam tidepool mampu bertahan
dalam lingkungan yang ekstrim sehingga membentuk suksesi. Kemudahan dalam
pengambilan sampel dan investigasi menyebabkan tidepool sering dijadikan
sebuah sistem model untuk studi populasi (Johnson, 2000 dalam Chao, et al.,
2013).
Menurut Laguna Ocean Foundation (2007), tidepool dapat dibagi menjadi
empat zona sebagai berikut:
1. Splash Zone
Splash Zone merupakan daerah di atas batas pasang tertinggi dan
terutama berada pada daerah percikan air laut. Karakteristik dari jenis dalam zona
ini adalah teritip acorn kecil (Cthamalus dalli), selada laut (Ulva sp.), dan siput
periwinkle (Littorina sp.). Semua jenis ini dapat beradaptasi dan menahan paparan
dalam jangka panjang.
2. High Zone
Zona pasang tinggi adalah daerah yang terkena banjir selama pasang
laut. Organisme harus bertahan dari hempasan gelombang, arus, dan paparan sinar
matahari. Zona ini didominasi oleh rumput laut dan invertebrata, seperti anemon
laut, bintang laut, Chiton, kepiting, ganggang hijau, dan kerang. Ganggang laut
Page 29
16
memberikan perlindungan bagi nudibranch dan umang-umang. Gelombang yang
sama dan arus menjadikan zona pasang sulit membawa makanan bagi organisme
filter feeder dan organisme intertidal lainnya.
3. Mid Zone
Pada Mid Zone, ditandai dengan jenis yang sangat dikenali, seperti
bintang laut (Pisaster sp.), kerang (Mytilus californianus), dan teritip gooseneck
(Pollicipes polymerus).
4. Low Zone
Disebut juga Zona Litoral Bawah. Pada daerah ini biasanya hanya
terkena ketika air pasang sangat rendah. Sub wilayah ini sebagian besar terendam,
tetapi terkena hanya saat air surut dan sering penuh dengan kehidupan dan
memiliki lebih banyak vegetasi laut, khususnya rumput laut. Terdapat
keanekaragaman hayati yang lebih besar. Organisme dalam zona ini tidak
memiliki kemampuan adaptasi yang baik dengan kekeringan dan suhu ekstrem.
Organisme pada zona surut termasuk abalone, anemon, rumput laut coklat,
Chiton, kepiting, ganggang hijau, Hidroid, Isopoda, keong dan kerang. Makhluk-
makhluk ini bisa tumbuh hingga ukuran yang lebih besar karena tersedia banyak
energi dan cakupan air yang lebih baik. Air cukup dangkal untuk memungkinkan
lebih banyak sinar matahari untuk kegiatan fotosintesis dan salinitas hampir pada
tingkat normal. Daerah ini juga relatif terlindungi dari predator besar karena
gelombang dan air dangkal.
Page 30
17
3.5 Makrozoobenthos
Makrozoobentos adalah fauna yang menghuni bagian dasar perairan yang
berukuran diameter tubuh lebih besar dari 1 mm atau yang tertahan pada ayakan
dengan ukuran lubang 1 mm (Collignon, 1991 dalam Lumingas, et al., 2011).
Fauna ini umumnya hidup melata, menetap, menempel, memendam, dan meliang
di dasar perairan baik substrat lunak maupun substrat keras. Komunitas
makrozoobentik laut umumnya terdiri atas empat kelompok utama, yakni
Mollusca, Annelida (Polychaeta), Crustacea, Echinodermata dan kelompok lain
yang terdiri atas berbagai filum kecil lainnya seperti Sipunculida, Cnidaria, dan
Nemertea (Lumingas, 1990 dalam Lumingas, et al., 2011).
Lind (1979) memberikan definisi makrozoobenthos sebagai organisme
yang hidup pada lumpur, pasir, batu, kerikil, maupun sampah organik baik di
dasar perairan laut, danau, kolam, ataupun sungai, merupakan hewan melata,
menetap, menempel, memendam, dan meliang di dasar perairan tersebut. Menurut
Venberg dalam Fachrul (2007), berdasarkan ukurannya, benthos dibedakan
menjadi tiga jenis, yaitu makrozoobenthos, mesobenthos, dan mikrobenthos.
Makrozoobenthos adalah organisme yang hidup di dasar perairan dan tersaring
oleh saringan yang berukuran mata saring 1,0 x 1,0 milimeter yang pada
pertumbuhan dewasanya berukuran 3-5 milimeter. Berdasarkan letaknya hewan
ini dibedakan menjadi dua macam, yaitu makrobenthik infauna dan epifauna.
Makrobenthik infauna adalah kelompok makrozoobenthos yang hidup dengan
membenamkan diri di bawah lumpur/sedimen (subsurface deposit feeders),
membuat lubang (burrowers) atau membuat tabung (tube builders). Epifauna
Page 31
18
adalah kelompok makrozoobenthos yang hidup di permukaan substrat, baik
sebagai pemakan deposit (deposit feeders) maupun sebagai pemakan materi
organik terlarut (suspension feeders) (Putro, 2014).
Makrozoobenthos memiliki peranan penting dalam jaring-jaring makanan.
Fase larva dari makrozoobenthos menjadi sumber makanan bagi sebagian besar
organisme yang hidup di daerah estuari. Di samping itu, makrozoobenthos juga
meningkatkan kadar oksigen di dalam sedimen atau substrat dengan membuat
lubang pada substrat (bioturbasi). Makrozoobenthos yang memiliki habitat hidup
relatif menetap, pergerakan terbatas, serta hidup di dalam dan di dasar perairan
sangat baik digunakan sebagai indikator biologis suatu perairan. Kelimpahan dan
keanekaragaman makrozoobenthos pun sangat dipengaruhi oleh perubahan
kualitas air dan substrat tempat hidupnya (Ulfah, et al., 2012).
3.6 Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Makrozoobenthos
a. Suhu
Suhu merupakan parameter fisik yang sangat mempengaruhi pola
kehidupan organisme perairan, seperti distribusi, komposisi, kelimpahan, dan
mortalitas. Suhu juga akan menyebabkan kenaikan metabolisme organisme
perairan, sehingga kebutuhan oksigen terlarut menjadi meningkat (Nybakken,
1988). Kelas Polychaeta akan melakukan adaptasi terhadap kenaikan suhu atau
salinitas dengan aktivitas membuat lubang dalam lumpur dan membenamkan diri
di bawah permukaan substrat (Alcantara dan Weiss, 1991). Peningkatan suhu
perairan akan meningkatkan kecepatan metabolisme tubuh organisme yang hidup
di dalamnya, sehingga konsumsi oksigen menjadi lebih tinggi. Peningkatan suhu
Page 32
19
perairan sebesar 10°C menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen
oleh organisme akuatik sebanyak dua sampai tiga kali lipat (Effendi, 2003).
b. Salinitas
Salinitas dapat mempengaruhi penyebaran organisme benthos baik secara
horizintal maupun vertikal. Secara tidak langsung mengakibatkan adanya
perubahan komposisi organisme dalam suatu mikroekosistem (Odum, 1993).
Gastropoda yang bersifat mobile mempunyai kemampuan untuk bergerak guna
menghindari salinitas yang terlalu rendah, namun bivalvia yang bersifat sessile
akan mengalami kematian jika pengaruh air tawar berlangsung lama (Effendi,
2003). Menurut Hutabarat dan Evans (1985), kisaran salinitas yang masih mampu
mendukung kehidupan organisme perairan, khususnya fauna makrozoobenthos
adalah 15 - 35‰.
c. pH
pH merupakan faktor pembatas bagi organisme yang hidup di suatu
perairan. Perairan dengan pH yang terlalu tinggi atau rendah akan mempengaruhi
ketahanan hidup organisme yang hidup didalamnya (Odum, 1993). Effendi (2003)
menambahkan bahwa sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH
dan menyukai kisaran pH sekitar 7 – 8,5.
d. Oksigen Terlarut
Oksigen terlarut merupakan variabel kimia yang mempunyai peran penting
sekaligus menjadi faktor pembatas bagi kehidupan biota air (Nybakken, 1988).
Lebih lanjut dinyatakan bahwa daya larut oksigen dapat berkurang dengan
meningkatnya suhu air dan salinitas. Connel dan Miller (1995) menambahkan
Page 33
20
bahwa secara ekologis, konsentrasi oksigen terlarut juga menurun dengan adanya
penambahan bahan organik, karena bahan organik tersebut akan diuraikan oleh
mikroorganisme yang mengkonsumsi oksigen yang tersedia. Pada tingkatan jenis,
masing-masing biota mempunyai respon yang berbeda terhadap penurunan
oksigen terlarut.
3.7 Struktur Komunitas
Menurut Odum (1994) dalam Sinaga (2009), Komunitas adalah populasi
yang hidup pada suatu lingkungan tertentu atau habitat fisik tertentu yang saling
berinteraksi dan secara bersama membentuk tingkat trofik. Di dalam komunitas,
jenis organisme yang dominan akan mengendalikan komunitas tersebut, sehingga
jika jenis organisme yang dominan tersebut hilang akan menimbulkan perubahan-
perubahan penting dalam komunitas, bukan hanya komunitas biotiknya tetapi juga
dalam lingkungan fisik. Menurut Odum (1994), komunitas dapat diklasifikasikan
berdasarkan bentuk atau sifat struktur utama seperti jenis dominan, bentuk-bentuk
hidup atau indikator-indikator, habitat fisik dari komunitas, dan sifat-sifat atau
tanda-tanda fungsional.
Menurut Odum (1994), komunitas dapat dikaji berdasarkan klasifikasi
sifat-sifat struktural (struktur komunitas). Struktur komunitas dapat dipelajari
melalui komposisi, ukuran, dan keanekaragaman jenis. Struktur komunitas juga
terkait erat dengan kondisi habitat. Perubahan pada habitat akan berpengaruh
terhadap struktur komunitas, karena perubahan habitat akan berpengaruh pada
tingkat jenis sebagai komponen terkecil penyusunan populasi yang membentuk
komunitas.
Page 34
21
Konsep komunitas dapat diterapkan untuk menganalisis keadaan
lingkungan, khususnya lingkungan perairan. Hal ini disebabkan komposisi dan
karakter komunitas dapat dijadikan sebagai indikator yang cukup baik untuk
melihat keadaan lingkungan tempat komunitas tersebut berada. Struktur
komunitas mempunyai lima karakteristik yang mencerminkan keadaannya yaitu
keanekaragaman, dominansi, bentuk dan struktur pertumbuhan, kelimpahan
tropik, dan struktur tropik (Kreb, 1972 dalam Susilowati, 2007). Menurut Brower
dan Zar (1977) dalam Ridwan (2004), struktur komunitas dapat dipelajari dengan
mengetahui satu atau dua aspek khusus tentang organisme komunitas yang
bersangkutan, seperti keanekaragaman jenis, zonasi, dan kelimpahan.
Stirn (1981) dalam Susilowati (2007) menyatakan bahwa mikroekosistem
yang stabil dicirikan oleh keanekaragaman komunitas yang tinggi, tidak ada
dominansi jenis, dan jumlah individu per jenis terbagi merata. Selanjutnya
dikatakan pula bahwa komunitas pada lingkungan tercemar dicirikan oleh
keanekaragaman yang rendah dan adanya perubahan struktur komunitas dari yang
mantap menjadi tidak mantap.
Page 35
22
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Alat dan Bahan
4.1.1 Alat
Berikut alat-alat yang digunakan dalam penelitian struktur komunitas
makrozoobenthos pada mikroekosistem tidepool pantai Batu Kukumbung, Cagar
Alam Bojonglarang Jayanti.
Tabel 4.1 Alat penelitian struktur komunitas makrozoobenthos
No Alat Keterangan Fungsi
1 Alat Tulis Mencatat data pengamatan
2 Botol Winkler Menampung sampel air
3 Buku Identifikasi Mengidentifikasi sampel benthos
4 Bulb Pipet Memipet cairan
5 Buret Alat titrasi larutan
6 Cool Box Menyimpan sampel benthos sementara
7 Erlenmeyer 500 ml Menampung larutan yang akan dititrasi
8 GPS Menentukan koordinat lokasi pengambilan
sampel dan menentukan waktu pasang surut
laut
9 Kamera Mendokumentasikan sampel dan area kerja
10 Klem Menjepit buret pada sfatif
11 Kotak Alat Menyimpan peralatan gelas dan reagen
12 Label Memberikan kode dan keterangan pada
sampel benthos yang diambil
13 Lup/Kaca Pembesar Mengamati sampel untuk identifikasi
14 Lux Meter Mengukur intensitas cahaya perairan
Page 36
23
15 Meteran Mengukur panjang dan lebar area tidepool
16 Penggaris Mengukur ukuran sampel benthos
17 pH Indikator Mengukur derajat keasaman perairan
18 Pinset Mengambil sampel benthos
19 Pipet Tetes Mengambil zat cair
20 Pipet Volume Mengukur zat cair yang akan dipindahkan
21 Plastik Sampel Menyimpan sampel benthos
22 Plot 1m x 1m Plot kuadrat sebagai tempat pengambilan
sampel
23 Sarung Tangan Melindungi tangan saat pengambilan sampel
24 SCT Meter Mengukur salinitas, konduktivitas dan suhu
perairan
25 Sekop Mengambil sampel benthos
26 Sikat Membersihkan sampel benthos
27 Spidol Menulis keterangan sampel benthos
28 Statif Menyangga buret pada saat titrasi
29 Tali Rafia Membuat garis transek
30 Termometer Mengukur suhu perairan dan udara
31 Tongkat berskala Mengukur kedalaman tidepool
4.1.2 Bahan
Berikut bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian struktur komunitas
makrozoobenthos pada mikroekosistem tidepool pantai Batu Kukumbung, Cagar
Alam Bojonglarang Jayanti.
Page 37
24
Tabel 4.2 Bahan penelitian struktur komunitas makrozoobenthos
No Bahan Keterangan Fungsi
1 Alkohol 70% Mengawetkan sampel benthos
2 Aquades Mengencerkan larutan
3 Formalin 4% Mengawetkan sampel benthos
4 H2SO4 Pekat Melarutkan endapan sampel air pada
penentuan kadar DO
5 Indikator Amilum 1% Larutan indikator pada penentuan kadar DO
6 MnSO4 50% Larutan penentuan kadar DO
7 Na-Thiosulfat 0,01 N Larutan titran pada penentuan kadar DO
8 Reagen O2 Melarutkan reagen yang ditambahkan pada
sampel untuk mengukur kadar oksigen
9 Sampel air Objek penelitian kualitas perairan
10 Sampel benthos Objek penelitian
4.2 Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deksriptif kuantitatif,
dengan metode pengumpulan data menggunakan metode survey. Penelitian
dilakukan dengan memasang transek sepanjang 200 meter sejajar dengan garis
pantai. Pada tiap tidepool yang mengenai transek garis, dihitung luasan tidepool
tersebut. Tidepool yang memiliki luasan lebih dari 1m2 dilakukan pengamatan,
pengukuran parameter fisika kimia perairan, serta pengambilan sampel benthos.
Metode perhitungan makrozoobenthos mengikuti metode perhitungan penutupan
makroalga yang dikembangkan oleh Atobe (1970) dalam English (1994), dengan
transek 1x1 meter dan kisi sebesar 10x10 cm. Pada tiap tidepool yang akan
diamati, dipasang plot kuadrat 1m x 1m untuk menghitung luasan dan jumlah
Page 38
25
benthos dalam tidepool. Selain itu juga dilakukan perhitungan terhadap makroalga
dan biota lain yang terdapat pada tidepool.
Penelitian dilakukan saat pasang surut air laut dengan waktu yang
ditentukan dari data prediksi pasang surut Badan Informasi Geospasial 2015 dan
data pasang surut GPS. Kegiatan ini dilakukan selama 4 hari pengamatan. Setelah
didapatkan data dan sampel benthos, dilakukan kegiatan identifikasi sampel
benthos, pengukuran kadar oksigen terlarut dan perhitungan data struktur
komunitas benthos. Adapun tahapan penelitian yang dilakukan antara lain sebagai
berikut:
4.2.1 Pembuatan Transek
1. Membuat transek dengan cara menarik garis lurus sejajar dengan garis pantai
pada saat pasang surut laut sepanjang 200 meter.
2. Menghitung luasan tidepool pada setiap tidepool yang mengenai transek garis,
memilih tidepool dengan luasan lebih dari 1 m2, dan meletakkan plot
berukuran 1m x 1m pada setiap tidepool yang dipilih (Gambar 4.1).
3. Mencatat koordinat tiap tidepool yang diamati dengan menggunakan GPS agar
pengamatan dapat dilanjutkan pada hari selanjutnya.
Page 39
26
Gambar 4.1 Transek dan plot pengamatan benthos
Gambar 4.2 Perhitungan luasan tidepool pada plot pengamatan
4.2.2 Pengamatan Benthos dan Biota Lain pada Tidepool
1. Mengamati, mencatat, menghitung, menginventarisasi dan mendokumentasikan
benthos pada setiap plot kuadrat dalam tidepool pengamatan.
Page 40
27
2. Menyimpan sampel benthos yang ditemukan ke dalam plastik sampel dan
mengawetkannya dengan larutan formalin 4%.
3. Memberikan label pada plastik sampel dengan menuliskan keterangan nama
dan plot sampel.
4. Mengamati, mencatat, menghitung, dan mendokumentasikan makroalga serta
biota lain yang berada pada plot pengamatan dalam setiap tidepool yang
diamati.
4.2.3 Pengukuran Parameter Fisik
Pengukuran parameter fisik perairan dilakukan secara langsung di
lapangan yaitu: luas tidepool, kedalaman tidepool, suhu air, suhu udara, dan
intensitas cahaya. Sedangkan pengukuran konduktivitas dan salinitas dilakukan di
laboratorium setelah pengamatan lapangan dilakukan.
1. Pengukuran Kedalaman Tidepool
Pengukuran dilakukan dengan menggunakan tongkat berskala. Tongkat
dimasukkan ke dalam air hingga menyentuh dasar tidepool kemudian ditandai
pada batas air lalu dicatat angka kedalamannya.
2. Pengukuran Suhu Air dan Udara
Pengukuran dilakukan dengan menggunakan termometer air raksa. Pada
pengukuran suhu udara, termometer dibiarkan selama 5 menit di udara.
Sedangkan pada suhu air, termometer dicelupkan ke dalam perairan dan
didiamkan selama 5 menit.
Page 41
28
3. Pengukuran Konduktivitas (Daya Hantar Listrik)
Konduktivitas perairan diukur dengan menggunakan SCT meter (Salinity,
Conductivity, Thermometer) yang dicelupkan ke dalam air dengan mencelupkan
elemen SCT meter setelah memutar tombolnya ke arah parameter konduktivitas
dari off ke on dan mengatur jarum penunjuk skala DHL.
4. Pengukuran Salinitas
Salinitas perairan diukur dengan menggunakan SCT meter (Salinity,
Conductivity, Thermometer) yang dicelupkan ke dalam air dengan mencelupkan
elemen SCT meter setelah memutar tombolnya ke arah parameter salinitas dari off
ke on dan mengatur jarum penunjuk skala salinitas.
5. Pengukuran Intensitas Cahaya
Pengukuran intensitas cahaya menggunakan lux meter. Bagian sensor
cahaya pada lux meter di letakkan pada sumber cahaya dan tunggu beberapa saat
sampai angka digital stabil.
4.2.4 Pengukuran Parameter Kimia
Pengukuran parameter kimia perairan yang dilakukan secara langsung di
lapangan yaitu derajat keasaman (pH) dan pengukuran di laboratorium yaitu
kandungan oksigen terlarut (DO).
1. Pengukuran Derajat Keasaman (pH)
Pengukuran dapat dilakukan dengan menggunakan indikator universal.
Pita indikator dicelupkan ke dalam sampel air dari lokasi pengamatan. Perubahan
Page 42
29
warna pada pita indikator diamati dan dicocokkan dengan skala pH pada wadah
pita indikator universal.
2. Pengukuran Oksigen Terlarut (Dissolve Oxygen)
Botol winkler diisi sampai penuh dengan sampel air dari lokasi
pengamatan, lalu ditutup dengan hati-hati sehingga tidak terdapat gelembung
udara didalamnya. Ke dalam sampel ditambahkan larutan MnSO4 50% sebanyak
1 ml dan larutan reagen O2 sebanyak 1 ml. Botol lalu ditutup dan dikocok sampai
larutan benar-benar tercampur, kemudian didiamkan selama 15 menit hingga
terbentuk endapan. Kemudian ditambahkan H2SO4 pekat sebanyak 2 ml sampai
larutan menjadi kuning tua untuk melarutkan endapan. Setelah larutan kembali
jernih, dilakukan titrasi.
Untuk kegiatan titrasi, larutan sampel diambil sebanyak 50 ml dengan
pipet volume, lalu dimasukkan ke dalam erlenmeyer. Titrasi dilakukan dengan
menggunakan larutan Na Thiosulfat 0,01 N sebagai titran. Ketika larutan sampel
telah berubah warna dari kuning menjadi kuning pucat, titrasi dihentikan dan
larutan ditambahkan 1-2 tetes amilum 1% sampai berubah warna menjadi bening
dan dicatat berapa total Na Thiosulfat yang terpakai. Untuk menghitung kadar DO
(Dissolved Oxygen) digunakan rumus:
Keterangan : Volume sampel = 50 ml
N Na Thiosulfat = 0,01 N
Page 43
30
4.2.5 Perhitungan Makroalga dan Biota Lain
Selain makrozoobenthos, juga dilakukan pendataan dan perhitungan
terhadap jenis makroalga dan biota lain yang terdapat dalam tidepool. Pendataan
ini dilakukan pada setiap tidepool pengamatan. Untuk makroalga, dilakukan
perhitungan terhadap penutupannya dalam setiap plot pengamatan. Pengambilan
data dilakukan dengan metode sistematis sampling, dimana metode ini bertujuan
untuk melihat kondisi sebaran dan penutupan makroalga pada mikroekosistem
tidepool. Jenis makroalga yang ditemukan dicatat selanjutnya dilakukan
pengukuran koloni makroalga dengan mengukur panjang dan lebar koloni dalam
bentuk model persegi dalam satu grid (English, 1994).
Dalam penelitian ini satu koloni makroalga dianggap satu individu. Jika
satu koloni dari jenis yang sama dipisahkan oleh satu koloni lainnya maka tiap
bagian yang terpisah itu dianggap sebagai satu individu tersendiri. Jika dua koloni
atau lebih tumbuh di antara koloni yang lain, maka masing-masing koloni tetap
dihitung sebagai koloni yang terpisah. Sedangkan biota lain pada mikroekosistem
tidepool seperti ikan dan karang dihitung secara langsung lalu medokumentasikan
dan mengidentifikasi jenis biota tersebut.
4.2.6 Identifikasi Benthos
1. Melakukan pencucian dan penyaringan sampel benthos untuk membersihkan
substrat dan larutan formalin 4%.
2. Mengidentifikasi sampel benthos yang didapatkan dengan menggunakan
lup/kaca pembesar dan buku identifikasi “Siput dan Kerang Indonesia
(Indonesian Shells)” (Dharma B., 1988).
Page 44
31
3. Menghitung jumlah individu dan jenis benthos untuk mengetahui struktur
komunitas benthos.
4.3 Analisis Sampel
4.3.1 Kelimpahan Jenis
Kelimpahan jenis makrozoobenthos didefinisikan sebagai jumlah individu
jenis stasiun dalam satuan persegi atau kubik. Kelimpahan jenis dihitung dengan
formulasi berikut (Brower dan Zar, 1977):
Keterangan : D = kelimpahan jenis ke-i (individu/m2)
ni = jumlah jenis ke-i
A = luas plot pengamatan sampel (m2)
4.3.2 Nilai Penting (NP)
Nilai Penting (NP) digunakan untuk mengetahui keadaan penguasaan jenis
makrozoobenthos dalam komunitas di habitatnya. NP menggambarkan kedudukan
ekologis suatu jenis di dalam komunitas. Semakin tinggi nilai NP jenis maka
semakin besar peran jenis tersebut dalam komunitasnya. NP dihitung berdasarkan
jumlah nilai kerapatan relatif dan frekuensi relatif, sebagai berikut (Haili, et al.,
2014):
Page 45
32
Keterangan : KM = Kerapatan mutlak jenis
KR = Kerapatan relatif jenis
FM = Frekuensi mutlak jenis
FR = Frekuensi relatif jenis
NP = Nilai penting
4.3.3 Dominansi Jenis
Suatu komunitas dapat didominasi oleh satu atau lebih jenis. Jenis-jenis
yang dominan ini paling banyak jumlahnya, paling tinggi biomassanya,
menempati paling banyak ruang, paling berperan dalam aliran energi dan siklus
hara atau dengan kata lain menguasai anggota-anggota lain dari komunitas. Jenis
yang dominan ialah jenis-jenis yang dapat menempatkan/memanfaatkan sumber
daya lingkungan yang ada lebih efisien dibandingkan dengan jenis-jenis lain (Fajri
dan Agustina, 2013).
Dominan atau tidaknya suatu jenis dalam suatu ekosistem dapat diukur
dengan berbagai cara yaitu (Fajri dan Agustina, 2013):
1. Dengan menentukan banyaknya individu dari jenis (abundance)/satuan luas.
2. Dengan melihat luas areal yang ditempati oleh masing-masing jenis.
3. Sering atau tidaknya suatu jenis tersebut dijumpai.
Page 46
33
4.3.4 Indeks Kekayaan Jenis
Indeks kekayaan jenis adalah ukuran kekayaan jenis yang bergantung pada
hubungan langsung antara jumlah jenis dan logaritma luas area pengambilan
sampel. Kriteria indeks kekayaan jenis dapat dilihat pada Tabel 4.3. Indeks kekayaan
jenis dihitung dengan formulasi Margalef (English, et al., 1994) :
Keterangan: d = Indeks kekayaan jenis
S = jumlah jenis
N = jumlah individu
Tabel 4.3 Kriteria Indeks Kekayaan Jenis Makrozoobenthos
Kriteria Indeks Kekayaan Jenis
Baik > 4,0
Moderat 2,5 – 4,0
Buruk < 2,5
Sumber: Jorgensen, et al., (2005) dalam Taqwa (2010).
4.3.5 Indeks Keanekaragaman Jenis
Keanekaragaman jenis komunitas diukur dengan memakai pola distribusi
beberapa ukuran kelimpahan di antara jenis (Odum, 1993). Indeks
keanekaragaman jenis dihitung dengan formulasi Shannon (English, et al., 1994) :
Page 47
34
Keterangan: H’ = Indeks keanekaragaman jenis.
Pi = rasio antara jumlah individu jenis-i (ni) dengan jum-lah
individu dalam komunitas (N).
Kriteria indeks kenanekaragaman jenis fauna makrozoobenthos menurut
Shannon-Wiener (1949) dalam Dahuri (1994):
H’ < 1 : Keragaman jenis/generanya rendah, penyebaran jumlah individu tiap
jenis atau genera rendah, kestabilan komunitas rendah dan keadaan
perairan telah tercemar berat.
1 < H’ < 3 : Keragaman sedang, penyebaran jumlah individu tiap jenis atau genera
sedang, kestabilan komunitas sedang dan keadaan perairan telah
tercemar sedang.
H’ > 3 : Keragaman tinggi, penyebaran jumlah individu tiap jenis atau genera
tinggi dan perairannya masih bersih/belum tercemar.
4.3.6 Indeks Dominansi
Indeks dominansi (C) digunakan untuk memperoleh informasi mengenai
famili yang mendominansi dalam suatu komunitas (Odum, 1993). Nilai C berkisar
antara 0 dan 1. Jika nilai C mendekati 0 berarti hampir tidak ada individu yang
mendominansi. Bila nilai C = 1 berarti ada salah satu genus yang mendominasi.
Indeks dominansi dihitung berdasarkan rumus index of dominance dari Simpson
(Odum, 1971), yaitu :
Page 48
35
C = 1 – D
Keterangan : C = Indeks dominansi
ni = Jumlah individu ke-i
N = Jumlah total individu
4.3.7 Penutupan Makroalga
Estimasi persen penutupan makroalga digunakan estimasi yang
dikembangkan oleh Atobe (1970) dalam English (1994), dengan transek 1x1
meter dan kisi sebesar 10x10 cm. Selanjutnya persen tutupan dihitung dengan
menggunakan persamaan sebagai berikut :
Dimana :
C = Persentase tutupan
ΣCi = Jumlah unit tutupan setiap kisi-kisi setiap jenis makroalga
A = Jumlah total kisi-kisi yang digunakan (100 unit)
Page 49
36
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Hasil
5.1.1 Parameter Fisik dan Kimia Perairan
Pengukuran parameter fisik dan kimia perairan dalam tidepool dilakukan
pada semua tidepool pengamatan yang mengenai garis transek. Pada tiap tidepool
pengamatan dilakukan pengukuran parameter fisik (luas tidepool, kedalaman
tidepool, suhu air, suhu udara, intensitas cahaya, salinitas, dan konduktivitas) serta
parameter kimia (pH dan DO). Hasil pengukuran parameter fisik dan kimia
tidepool dapat dilihat pada Tabel 5.1.
Berdasarkan hasil pengukuran parameter fisik, didapatkan data yang
cukup beragam. Luas tidepool pengamatan yang diukur berkisar antara 0,84
hingga 121,3 m2. Suhu udara di sekitar tidepool pengamatan berkisar antara 26-
32°C. Suhu air berkisar antara 20,5-38,5°C. Kedalaman tidepool yang diukur juga
cukup beragam, yaitu antara 18-39 cm. Salinitas air yang diukur menggunakan
SCT meter menunjukkan hasil yang berkisar antara 24-35‰. Sedangkan nilai
konduktivitas yang juga diukur menggunakan SCT meter menunjukkan hasil yang
tidak jauh berbeda, yaitu antara 35000 hingga lebih dari 50000 µmhos. Intensitas
cahaya yang diukur dengan lux meter menunjukkan hasil antara 22163 hingga
169200 lux.
Page 50
Tabel 5.1 Hasil Pengukuran Parameter Fisik dan Kimia Perairan
Parameter Hasil
Tidepool ke- 1 2 3 4 5 6 7 8
Koordinat 07° 65’ 13.0” LS
91° 70' 29.8" BT
07° 65’ 11,7” LS
91° 70’ 30,9” BT
07° 65’ 11,8” LS
91° 70’ 31,0” BT
07° 65’ 11,6” LS
91° 70’ 31,1” BT
07° 65’ 11,5” LS
91° 70’ 31,2” BT
07° 65’ 10,8” LS
91° 70’ 31,8” BT
07° 65’ 10,3” LS
91° 70’ 32,4” BT
07° 65’ 09,7” LS
91° 70’ 33,1” BT
Elevasi (m) 748 748 749 747 747 747 747 746
Luas Tidepool (m2) 95,06 9 0,84 2,24 4,6 23,4 20,776 14,4
Suhu Udara (°C) 26 30,5 31 32 32 32 29,5 29
Suhu Air (°C) 20,5 29 30 29 29 29 29 30
Kedalaman (cm) 36,3 26 25 28 27 32,5 36 39
Salinitas (‰) 34 35 34 35 24 35 32,5 32
Intensitas Cahaya
(lux) 22163 23600 27900 35200 30800 35700 45700 67800
Konduktivitas
(µmhos) 47000 35000 > 50000 48500 37000 37000 > 50000 50000
pH 7,5 7 7,5 7 7 7,5 7,5 7,5
DO (mg/L) 10,24 - - - - - - -
Page 51
Parameter Hasil
Tidepool ke- 9 10 11 12 Tide 13 Tide 14 Tide 15 Tide 16
Koordinat 07° 65’ 07,4” LS
91° 70’ 35,7” BT
07° 65’ 07,0” LS
91° 70’ 36,2” BT
07° 65’ 06,1” LS
91° 70’ 36,4” BT
07° 65’ 05,7” LS
91° 70’ 36,9” BT
07° 65’ 05,2” LS
91° 70’ 37,2” BT
07° 65’ 04,5” LS
91° 70’ 37,7” BT
07° 65’ 04,0” LS
91° 70’ 38,1” BT
07° 65’ 03,6” LS
91° 70’ 39,1” BT
Elevasi (m) 745 746 747 746 745 747 746 745
Luas Tidepool (m2) 3 33,84 121,3 21,2 28,6 33,8 43,7 47,1
Suhu Udara (°C) 32 30 29,5 28 28 29 29 29
Suhu Air (°C) 32 32 32 32 32,5 38,5 34,5 34,5
Kedalaman (cm) 31 23 22 32 18 18 25 26
Salinitas (‰) 33,5 30 33 33 34,1 34,5 33 33
Intensitas Cahaya
(lux) 138400 145800 43300 81000 75000 133300 84900 169200
Konduktivitas
(µmhos) 35000 49000 > 50000 >50000 >50000 > 50000 >50000 >50000
pH 7,5 7,5 7,5 8 8 7,5 7,5 7
DO (mg/L) - 8,32 - - - - - 12,8
Page 52
39
Parameter kimia perairan yang diukur pada penelitian ini adalah pH dan
kandungan oksigen terlarut (disslove oxygen) dalam air. Pengukuran pH dilakukan
pada semua tidepool pengamatan dengan menggunakan kertas pH indikator
universal. Sedangkan pengukuran DO hanya dilakukan pada tiga titik, yaitu titik
awal transek (tidepool 1), titik tengah transek (tidepool 10), dan titik akhir transek
(tidepool 16). Pengukuran DO hanya dilakukan pada tiga titik dengan
pertimbangan nilai DO yang relatif sama pada semua tidepool dan keterbatasan
jumlah reagen untuk kegiatan titrasi sampel air.
Dari hasil pengukuran parameter kimia perairan dapat diketahui bahwa
nilai pH perairan pada semua tidepool pengamatan tidak jauh berbeda, yaitu
antara pH 7-8. Selain itu, nilai DO setelah titrasi dan perhitungan juga
menunjukkan nilai yang tidak jauh berbeda, dengan nilai DO titik awal sebesar
10,24 mg/L, titik tengah sebesar 8,32 mg/L, dan titik akhir sebesar 12,8 mg/L.
5.1.2 Kekayaan Jenis Makrozoobenthos
Kegiatan yang dilakukan setelah pengamatan dan pengambilan sampel
benthos adalah identifikasi dan perhitungan jumlah benthos tiap jenisnya. Proses
identifikasi dilakukan hingga tingkat jenis, namun ada beberapa spesimen yang
hanya dapat diidentifikasi hingga tingkat genus saja. Buku referensi yang
digunakan antara lain buku Siput dan Kerang Indonesia (Indonesian Shells)
(Dharma, 1988), Recent & Fossil Indonesian Shell (Dharma, 2005) dan sumber
internet. Setelah dilakukan sampling dan identifikasi jenis, didapat data hasil
jumlah individu dari keseluruhan tidepool yang dapat dilihat pada Tabel 5.2.
Page 53
40
Tabel 5.2 Jenis dan Jumlah Total Makrozoobenthos
Kelas Famili Nama Jenis Jumlah
Polyplacophora Chitonidae
Chiton sp. A 11
Chiton sp. B 1
Chiton sp. C 1
Chiton sp. D 2
Gastropoda
Cerithiidae Clypeomorus subbrevicula 10
Clypeomorus bifasciata 3
Columbellidae
Anachis terpsichore 11
Euplica varians 3
Pyrene decussata 3
Conidae Conus ebraeus 2
Conus glaucus 6
Mitridae Mitra litterata 2
Muricidae
Semiricinula fusca 68
Semiricinula marginatra 4
Drupella cornus 24
Morula anaxeres 2
Morula funiculata 14
Morula granulata 1
Nacellidae Cellana radiata 19
Neritidae Nerita albicilla 1
Patellidae Patella ferruginea 1
Ranellidae Gyrineum natator 1
Siphonariidae Siphonaria sirius 2
Trochidae Pseudostomatella papyracea 2
Bivalvia
Arcidae Barbatia bistrigata 3
Mytilidae Ciboticola lunata 1
Veneridae Marcia hiantina 3
Echinoidea Stomopneustidae Stomopneustes variolaris 4
Ophiuroidea
Ophiotrichidae Ophiothrix fragilis 20
Ophionereididae Ophionereis dubia 173
Ophiocomidae Ophiocoma scolopendrina 26
Ophiocoma echinata 55
Malacostraca
Epialtidae Loxorhynchus sp. 2
Paguridae
Pagurus sp. A 13
Pagurus sp. B 10
Pagurus sp. C 3
Pagurus sp. D
1
Page 54
41
Pagurus sp. E 2
Pagurus sp. F 2
TOTAL 512
5.1.3 Struktur Komunitas Makrozoobenthos
1. Kelimpahan Makrozoobenthos
Berikut hasil perhitungan kelimpahan jenis makrozoobenthos pada
mikroekosistem tidepool di pantai Batu Kukumbung CA Bojonglarang Jayanti:
Tabel 5.3 Nilai Kelimpahan Jenis Makrozoobenthos
No Nama Jenis D
1 Chiton sp. A 0,03
2 Chiton sp. B 0,00
3 Chiton sp. C 0,00
4 Chiton sp. D 0,01
5 Clypeomorus subbrevicula 0,03
6 Clypeomorus bifasciata 0,01
7 Anachis terpsichore 0,03
8 Euplica varians 0,01
9 Pyrene decussata 0,01
10 Conus ebraeus 0,01
11 Conus glaucus 0,02
12 Mitra litterata 0,01
13 Semiricinula fusca 0,20
14 Semiricinula marginatra 0,01
15 Drupella cornus 0,07
16 Morula anaxeres 0,01
17 Morula funiculata 0,04
18 Morula granulata 0,00
19 Cellana radiata 0,06
20 Nerita albicilla 0,00
21 Patella ferruginea 0,00
22 Gyrineum natator 0,00
23 Siphonaria sirius 0,01
24 Pseudostomatella papyracea 0,01
25 Barbatia bistrigata 0,01
Page 55
42
26 Ciboticola lunata 0,00
27 Marcia hiantina 0,01
28 Stomopneustes variolaris 0,01
29 Ophiothrix fragilis 0,06
30 Ophionereis dubia 0,51
31 Ophiocoma scolopendrina 0,08
32 Ophiocoma echinata 0,16
33 Loxorhynchus sp. 0,01
34 Pagurus sp. A 0,04
35 Pagurus sp. B 0,03
36 Pagurus sp. C 0,01
37 Pagurus sp. D 0,00
38 Pagurus sp. E 0,01
39 Pagurus sp. F 0,01
Berdasarkan pengamatan didapatkan 39 jenis makrozoobenthos yang
terdiri dari 21 famili. Dari jenis-jenis ini kemudian dilakukan perhitungan
terhadap kelimpahan jenis makrozoobenthos dari semua tidepool pengamatan.
Setelah dilakukan perhitungan, diketahui jenis yang memiliki nilai kelimpahan
tertinggi adalah Ophionereis dubia dari famili Ophionereididae sebesar 0,51
individu/338m2. Jenis ini memiliki jumlah sebanyak 173 individu dari seluruh
tidepool pengamatan. Selain itu, jenis dari famili Muricidae, yaitu Semiricinula
fusca memiliki nilai kelimpahan sebesar 0,20 individu/338 m2 disusul Ophiocoma
echinata dari famili Ophiocomidae sebesar 0,16 individu/338 m2. Nilai
kelimpahan dari jenis lain cenderung lebih rendah, yaitu lebih kecil dari 0,1
individu/338 m2. Berikut diagram lingkaran kelimpahan jenis makrozoobenthos.
Page 56
43
Diagram 5.1 Kelimpahan jenis makrozoobenthos (individu/338m2)
2. Nilai Penting Makrozoobenthos
Selain kelimpahan, dilakukan pula perhitungan nilai kerapatan mutlak
(KM), kerapatan relatif (KR), frekuensi mutlak (FM), frekuensi relatif (FR), dan
nilai penting (NP) dari semua jenis makrozoobenthos. Hasil perhitungan KM, KR,
FM, FR, dan NP jenis makrozoobenthos dapat dilihat pada Tabel 5.4.
Tabel 5.4 Nilai KM, KR, FM, FR, dan NP Jenis Makrozoobenthos
No Nama Jenis KM KR FM FR NP
1 Chiton sp. A 0,03 2,15 0,25 3,70 5,85
2 Chiton sp. B 0,00 0,20 0,06 0,93 1,12
3 Chiton sp. C 0,00 0,20 0,06 0,93 1,12
4 Chiton sp. D 0,01 0,39 0,06 0,93 1,32
5 Clypeomorus subbrevicula 0,03 1,95 0,06 0,93 2,88
6 Clypeomorus bifasciata 0,01 0,59 0,13 1,85 2,44
7 Anachis terpsichore 0,03 2,15 0,13 1,85 4,00
8 Euplica varians 0,01 0,59 0,06 0,93 1,51
9 Pyrene decussata 0,01 0,59 0,06 0,93 1,51
Page 57
44
10 Conus ebraeus 0,01 0,39 0,13 1,85 2,24
11 Conus glaucus 0,02 1,17 0,19 2,78 3,95
12 Mitra litterata 0,01 0,39 0,06 0,93 1,32
13 Semiricinula fusca 0,20 13,28 0,56 8,33 21,61
14 Semiricinula marginatra 0,01 0,78 0,06 0,93 1,71
15 Drupella cornus 0,07 4,69 0,50 7,41 12,09
16 Morula anaxeres 0,01 0,39 0,13 1,85 2,24
17 Morula funiculata 0,04 2,73 0,13 1,85 4,59
18 Morula granulata 0,00 0,20 0,06 0,93 1,12
19 Cellana radiata 0,06 3,71 0,38 5,56 9,27
20 Nerita albicilla 0,00 0,20 0,06 0,93 1,12
21 Patella ferruginea 0,00 0,20 0,06 0,93 1,12
22 Gyrineum natator 0,00 0,20 0,06 0,93 1,12
23 Siphonaria sirius 0,01 0,39 0,13 1,85 2,24
24 Pseudostomatella papyracea 0,01 0,39 0,13 1,85 2,24
25 Barbatia bistrigata 0,01 0,59 0,19 2,78 3,36
26 Ciboticola lunata 0,00 0,20 0,06 0,93 1,12
27 Marcia hiantina 0,01 0,59 0,06 0,93 1,51
28 Stomopneustes variolaris 0,01 0,78 0,06 0,93 1,71
29 Ophiothrix fragilis 0,06 3,91 0,31 4,63 8,54
30 Ophionereis dubia 0,51 33,79 0,69 10,19 43,97
31 Ophiocoma scolopendrina 0,08 5,08 0,19 2,78 7,86
32 Ophiocoma echinata 0,16 10,74 0,63 9,26 20,00
33 Loxorhynchus sp. 0,01 0,39 0,13 1,85 2,24
34 Pagurus sp. A 0,04 2,54 0,31 4,63 7,17
35 Pagurus sp. B 0,03 1,95 0,13 1,85 3,80
36 Pagurus sp. C 0,01 0,59 0,19 2,78 3,36
37 Pagurus sp. D 0,00 0,20 0,06 0,93 1,12
38 Pagurus sp. E 0,01 0,39 0,13 1,85 2,24
39 Pagurus sp. F 0,01 0,39 0,13 1,85 2,24
∑ 1,51 100 6,75 100 200
Berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan, dapat diketahui jenis
makrozoobenthos yang memiliki nilai kerapatan mutlak dan kerapatan relatif
tertinggi adalah Ophionereis dubia, masing-masing sebesar 0,51 dan 33,79%.
Dari perhitungan nilai frekuensi mutlak dan frekuensi relatif, jenis yang memiliki
Page 58
45
nilai terbesar adalah Ophionereis dubia, masing-masing sebesar 0,69 dan 10.19%.
Ophionereis dubia memiliki persebaran yang lebih luas dibandingkan jenis lain,
yaitu ditemukan pada 11 dari total 16 tidepool pengamatan. Sedangkan dari
perhitungan nilai penting, jenis yang mempunyai nilai penting terbesar merupakan
jenis yang sama, yaitu Ophiothrix dubia sebesar 43,97%, disusul dengan jenis
Semiricinula fusca sebesar 21,61% dan Ophiocoma echinata sebesar 20%.
Perbandingan KR, FR, dan MR jenis makrozoobenthos dapat dilihat pada diagram
berikut.
Diagram 5.2 Kerapatan relatif jenis makrozoobenthos
Page 59
46
Diagram 5.3 Frekuensi relatif jenis makrozoobenthos
Diagram 5.4 Nilai penting jenis makrozoobenthos
Page 60
47
3. Dominansi Jenis Makrozoobenthos
Setelah dilakukan perhitungan terhadap nilai kelimpahan, kerapatan
mutlak, kerapatan relatif, frekuensi mutlak, frekuensi relatif, dan nilai penting,
dapat diketahui jenis makrozoobenthos yang mendominasi pada seluruh tidepool
pengamatan di pantai Batu Kukumbung adalah Ophionereis dubia, disusul dengan
Semiricinula fusca dan Ophiocoma echinata. Hal ini dapat terlihat dari jumlah
total jenis tersebut dibandingkan jenis-jenis lain, luas total tidepool pengamatan,
dan persebaran jenis tersebut di seluruh tidepool pengamatan.
4. Indeks Kekayaan Jenis Makrozoobenthos
Analisis sampel yang dilakukan selanjutnya adalah perhitungan indeks
kekayaan jenis makrozoobenthos pada tidepool pengamatan di pantai Batu
Kukumbung. Didapatkan nilai indeks kekayaan jenis makrozoobenthos sebesar
6,09. Nilai indeks ini didapatkan dari data jumlah jenis makrozoobenthos
dikurangi satu, dibagi dengan nilai ln dari jumlah total individu makrozoobenthos.
Tabel perhitungan indeks kekayaan jenis makrozoobenthos dapat dilihat pada
Tabel 5.5.
Tabel 5.5 Indeks Kekayaan Jenis Makrozoobenthos
Jumlah Jenis (S) 39
Jumlah Individu (N) 512
S – 1 38
ln N 6,24
d 6,09
Page 61
48
5. Indeks Keanekaragaman Jenis Makrozoobenthos
Analisis sampel selanjutnya adalah perhitungan indeks keanekaragaman
jenis makrozoobenthos pada tidepool pengamatan di Pantai Batu Kukumbung.
Nilai indeks keanekaragaman jenis ini menggunakan formulasi Shannon Wiener
dari data jumlah tiap jenis makrozoobenthos dan jumlah total individu
makrozoobenthos. Berdasarkan perhitungan didapatkan nilai indeks
keanekaragaman jenis makrozoobenthos sebesar 2,53. Tabel perhitungan indeks
keanekaragaman jenis makrozoobenthos dapat dilihat pada Tabel 5.6.
Tabel 5.6 Indeks Keanekaragaman Jenis Makrozoobenthos
Jumlah Individu (N) 512
∑ (Pi ln Pi) -2,53
H’ = - ∑ (Pi ln Pi)
H’ = - (-2,53) = 2,53
6. Indeks Dominansi Makrozoobenthos
Analisis sampel terakhir yang dihitung adalah indeks dominansi
makrozoobenthos pada tidepool pengamatan di pantai Batu Kukumbung, dengan
menggunakan rumus index of dominance dari Simpson. Data yang diperlukan
untuk perhitungan indeks ini antara lain data jumlah tiap jenis makrozoobenthos
dan jumlah total individu makrozoobenthos. Setelah dilakukan perhitungan,
didapatkan nilai indeks dominansi makrozoobenthos sebesar 0,85.
Page 62
49
Tabel 5.7 Indeks Dominansi Makrozoobenthos
Jumlah Individu (N) 512
C 0,15
D = 1 – C
D = 1 – 0,15 = 0,85
5.1.4 Data Makroalga dan Biota Lain
Setelah perhitungan data makrozoobenthos, dilanjutkan dengan
perhitungan data makroalga dan biota lain yang terdapat dalam tidepool
pengamatan. Hasil perhitungan data makroalga dan biota lain dapat dilihat pada
Tabel 5.8.
Tabel 5.8 Data Makroalga dan Biota Lain
No Makroalga Biota Lain
Jenis Penutupan Ikan Jumlah Karang Jumlah
1 Sargassum polycystum 7,62% Istigobius decoratus 35 Favites sp. 6
2 Padina boryana 6,08% Chromis viridis 18
3 Turbinaria ornata 0,075% Abudefduf sp. 2
4 Boergesenia forbesii 0,027% Bodianus axillaris 14
5 Gracilaria gigas 0,007%
6 Gracilaria verrucosa 0,0025%
6 Gracilaria coronopifolia 0,025%
7 Ulva sp. 0,055%
Dari hasil pendataan makroalga pada semua tidepool, terdapat 7 jenis
makroalga yang telah diidentifikasi, antara lain Sargassum polycystum, Padina
boryana, Turbinaria ornata, Boergesenia forbesii, Gracilaria gigas, Gracilaria
verrucosa, Gracilaria coronopifolia, dan Ulva sp. Sedangkan dari hasil
Page 63
50
perhitungan penutupan makroalga, diketahui bahwa jenis yang mendominasi
adalah Sargassum polycystum dengan total penutupan sebesar 7,62% dari seluruh
tidepool. Jenis ini ditemukan hampir pada semua tidepool pengamatan dalam
jumlah yang cukup banyak. Jenis lain yang juga cukup mendominasi adalah
Padina boryana, dengan total penutupan sebesar 6,08%.
Sementara itu, dari pendataan biota lain, dalam tidepool pengamatan
terdapat beberapa jenis ikan dan satu jenis karang. Ikan yang ditemukan antara
lain Istigobius decoratus, Chromis viridis, Abudefduf sp., dan Bodianus axillaris.
Jenis yang paling mendominasi dalam tidepool adalah Istigobius decoratus yang
ditemukan sebanyak 35 individu. Selain itu juga terdapat karang Favites sp.
sebanyak 6 individu.
5.2 Pembahasan
5.2.1 Parameter Fisik Perairan
Kelangsungan hidup makrozoobenthos sangat ditentukan oleh kondisi
lingkungannya agar organisme ini dapat hidup dan berkembang dengan baik.
Suhu merupakan salah satu parameter yang penting bagi keberlangsungan hidup
biota laut. Suhu dapat mempengaruhi proses-proses seperti fotosentesis dan
respirasi (Aksornkoae, 1993). Suhu perairan dipengaruhi oleh musim, lintang,
waktu dalam satu hari, sirkulasi udara, penutupan awan, aliran dan kedalaman
badan air. Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses fisika, kimia dan biologi
perairan (Effendi, 2003). Dari hasil pengukuran suhu air pada semua tidepool,
didapatkan nilai yang cukup bervariasi, dengan suhu terendah sebesar 20,5°C
(tidepool 1) dan suhu tertinggi sebesar 38,5°C (tidepool 14). Perbedaan nilai suhu
Page 64
51
ini dipengaruhi oleh waktu pengukuran suhu air dan cuaca. Kegiatan pengukuran
suhu air pada tidepool 1 dilakukan pada pagi hari sedangkan tidepool 14 pada
siang hari, di mana intensitas cahaya matahari yang diterima oleh permukaan air
cukup tinggi menyebabkan tingginya suhu air. Variasi suhu ini juga disebabkan
oleh kondisi cuaca yang sangat cerah (tanpa awan) dan juga langsung terkenanya
termometer oleh sinar matahari. Menurut Welch (1992), suhu yang berbahaya
bagi makrozoobenthos adalah suhu yang berkisar antara 35-40°C. Hal ini
didukung dengan Kep MENLH No.51 (2004) menetapkan ambang batas suhu
bagi kehidupan biota laut adalah alami atau sekitar 28-32°C. Dari hasil
perhitungan suhu air tersebut dapat diketahui bahwa suhu air tersebut berada pada
kisaran suhu yang berbahaya bagi makrozoobenthos, sehingga hal ini dapat
berpengaruh terhadap kelimpahan dan distribusi makrozoobenthos dalam
tidepool.
Dari pengukuran suhu udara, didapatkan nilai yang tidak terlalu jauh
berbeda. Nilai suhu udara terendah yang diukur sebesar 26°C dan nilai suhu udara
tertinggi sebesar 32°C. Nilai rata-rata suhu udara berdasarkan perhitungan sebesar
29,78°C. Suhu udara ini juga dipengaruhi oleh perbedaan waktu pengukuran dan
intensitas cahaya matahari. Dari hasil ini diketahui bahwa nilai suhu udara lebih
kecil dibandingkan dengan suhu air. Hal ini dapat disebabkan karena aktivitas
makrozoobenthos di dalam tidepool dan penetrasi cahaya yang lebih tinggi
sehingga mengakibatkan suhu menjadi lebih tinggi di dalam perairan. Effendi
(2003) menyatakan bahwa cahaya matahari yang masuk ke perairan akan
mengalami penyerapan dan perubahan menjadi energi panas sehingga
Page 65
52
mempengaruhi suhu. Tingginya nilai suhu juga diduga akibat tidak adanya
tanaman air ataupun pepohonan yang dapat mengurangi penetrasi cahaya matahari
yang masuk ke dalam perairan. Dengan demikian, perairan menerima panas lebih
banyak dan penguapan pun jauh lebih besar.
Cahaya matahari merupakan sumber panas yang utama di perairan, karena
cahaya matahari yang diserap oleh badan air akan menghasilkan panas di perairan
(Odum, 1993). Intensitas cahaya berhubungan kuat dengan perbedaan suhu udara
dan air. Semakin tinggi intensitas cahaya yang ada, maka suhu udara dan perairan
juga akan semakin meningkat. Dari hasil pengukuran intensitas cahaya
menggunakan lux meter, didapatkan nilai yang cukup tinggi, yaitu berkisar antara
23600 hingga 169200 lux. Perbedaan nilai ini juga dipengaruhi oleh waktu
pengukuran. Sebagian besar pengukuran intensitas cahaya dilakukan pada siang
hari sehingga nilai yang didapatkan cukup tinggi.
Kedalaman perairan mempengaruhi kelimpahan dan distribusi
makrozoobenthos. Dasar perairan yang kedalamannya berbeda akan dihuni oleh
makrozoobenthos yang berbeda pula, sehingga terjadi stratifikasi komunitas
menurut kedalaman (Wright, 1984). Intensitas cahaya yang masuk ke dalam
kolom air akan semakin berkurang dengan semakin bertambahnya kedalaman.
Dari pengukuran yang dilakukan, kedalaman tidepool pengamatan berkisar antara
18-39 cm, yang menunjukka bahwa perairan ini cukup dangkal. Dengan
kedalaman yang dangkal dan tidak adanya penutupan pada tidepool
mengakibatkan penetrasi cahaya yang masuk lebih besar, sehingga suhu air dan
udara pada tidepool juga semakin meningkat. Oleh karena itu hal ini akan
Page 66
53
berpengaruh terhadap kelangsungan hidup makrozoobenthos di dalamnya akibat
kondisi tersebut.
Parameter fisika yang selanjutnya diukur adalah salinits air. Berdasarkan
pengukuran yang telah dilakukan, didapatkan nilai salinitas air pada tidepool
berkisar antara 24 hingga 35‰. Umumnya nilai salinitas yang diukur tidak jauh
berbeda, yaitu dengan rata-rata sebesar 32,85‰. Kisaran salinitas yang terdapat
pada tidepool pengamatan merupakan kisaran yang mampu mendukung
kehidupan makrozoobenthos. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hutabarat dan
Evans (1985), kisaran salinitas yang masih mampu mendukung kehidupan
organisme perairan, khususnya fauna makrozoobenthos adalah 15-35‰. Nilai
kisaran ini mampu mendukung hidup yang layak dalam ekosistem di mana
mereka hidup. Menurut Syukur (2012), meskipun konstan di laut, variasi salinitas
dipertimbangkan pada zona intertidal, di mana secara langsung mempengaruhi
kehidupan pantai. Salinitas akan meningkat melalui evaporasi atau menurun
melalui pencampuran air tawar atau hujan. Banyak organisme invertebrata
beradaptasi untuk hidup pada lingkungan salinitas yang berfluktuatif. Organisme
tersebut memiliki adaptasi mekanikal termasuk kemampuan untuk menutup
cangkang atau menggali lubang pada saat salinitas ekstrim. Secara tidak langsung
salinitas akan mempengaruhi tingkah laku baik berupa distribusi maupun
kepadatan suatu organisme.
Konduktivitas (Daya Hantar Listrik/DHL) adalah gambaran numerik dari
kemampuan air untuk meneruskan aliran listrik (Irwan dan Sari, 2013).
Konduktivitas perairan laut memiliki nilai yang sangat tinggi karena banyak
Page 67
54
mengandung garam terlarut karena garam-garam tersebut dapat terionisasi,
ionisasi inilah yang menyebabkan tingginya konduktivitas perairan ini (Effendi,
2003 dalam Sudirman dan Husrin, 2014). Berdasarkan pengukuran, didapatkan
nilai konduktivitas air pada tidepool pengamatan berkisar antara 35000 hingga
lebih dari 50000 µmhos. Hal ini menunjukkan bahwa konduktivitas air pada
tidepool termasuk dalam kategori besar. Selain itu, hasil tersebut menunjukkan
bahwa garam-garam yang terlarut di dalam perairan tidepool cukup besar dan
memiliki potensi sebagai penghantar arus listrik yang baik.
Menurut Irwan dan Sari (2013), semakin banyak garam-garam (mineral)
terlarut yang dapat terionisasi semakin tinggi pula nilai DHLnya. Perairan laut
memiliki nilai DHL yang sangat tinggi karena banyaknya garam-garam terlarut di
dalamnya. Pendapat ini sesuai dengan hasil pengukuran salinitas yang dilakukan,
di mana nilai salinitas air pada tidepool pengamatan menunjukkan nilai yang
cukup tinggi, sehingga mempengaruhi nilai konduktivitas perairan tersebut. Selain
itu, menurut Tebbut (1992) dalam Sudirman dan Husrin (2014), nilai
konduktivitas berhubungan erat dengan nilai padatan terlarut total, di mana nilai
konduktivitas berbanding terbalik dengan nilai padatan terlarut total. Namun pada
penelitian ini tidak dilakukan pengukuran terhadap nilai padatan terlarut total
sehingga tidak dapat diketahui hubungan antara padatan terlarut perairan dengan
nilai konduktivitasnya
Konduktivitas air yang baik bagi kehidupan suatu mahluk hidup di
perairan yaitu di bawah 400μs. Konduktivitas perairan yang melebihi atau di atas
400μs mahluk hidup atau organisme yang hidup di perairan akan stress dan mati.
Page 68
55
Jika di perairan sungai terdapat banyak partikel maka hantaran listrik tinggi
(Ewuise, 1990). Berdasarkan nilai konduktivitas air yang diukur, dapat diketahui
bahwa nilai konduktivitas yang sangat tinggi akan mengancam kehidupan
organisme dalam tidepool pengamatan, sehingga hanya organisme tertentu yang
mampu bertahan dalam kondisi tersebut.
5.2.2 Parameter Kimia Perairan
Parameter kimia perairan yang diukur dalam penelitian ini adalah nilai pH
dan kandungan oksigen terlarut (dissolve oxygen) dalam perairan. Berdasarkan
nilai pH yang telah diukur, didapatkan nilai pH perairan pada semua tidepool
pengamatan tidak jauh berbeda, yaitu antara pH 7 hingga 8. Hal ini menunjukkan
bahwa perairan dalam semua tidepool pengamatan bersifat netral dan normal.
Nilai pH ini dapat mendukung kehidupan makrozoobenthos di dalam perairan.
Hal ini sesuai dengan pendapat Effendi (2003) bahwa sebagian besar biota
akuatik, termasuk dalam hal ini makrozoobenthos sensitif terhadap perubahan pH
dan menyukai pH sekitar 7 – 8,5. Selain itu menurut Wahab (2005) dalam
Sudirman dan Husrin (2014), pH normal perairan laut berada pada kisaran 5,6-
8,3.
Parameter kimia yang selanjutnya diukur adalah kandungan oksigen
terlarut (DO) dalam perairan. Kadar oksigen terlarut dapat dipengaruhi oleh
dekomposisi bahan organik dan oksidasi bahan anorganik (Effendi, 2003).
Oksigen terlarut penting untuk respirasi sebagian besar organisme air. Kelarutan
oksigen di dalam air sangat dipengaruhi temperatur. Kelarutan maksimum oksigen
di dalam air pada temperatur 0°C sebesar 14,16 mg/L O2, kelarutan ini akan
Page 69
56
menurun jika temperatur air meningkat (Barus, 2004). Pengukuran nilai DO
menggunakan metode winkler dan titrasi. Dari hasil titrasi dan perhitungan,
didapatkan nilai DO pada tiga titik tidepool, yaitu titik awal sebesar 10,24 mg/L,
titik tengah sebesar 8,32 mg/L, dan titik akhir sebesar 12,8 mg/L. Dari hasil
tersebut dapat diketahui bahwa kandungan oksigen dalam perairan pada tidepool
pengamatan dalam kategori tinggi dan baik untuk mendukung kehidupan biota,
salah satunya makrozoobenthos. Hal ini sesuai dengan pendapat Sanusi (2004)
mengatakan bahwa nilai DO yang berkisar di antara 5,45-7,00 mg/L cukup baik
bagi proses kehidupan biota perairan. Barus (2004) menegaskan bahwa nilai
oksigen terlarut di perairan sebaiknya berkisar antara 6-8 mg/L. Makin rendah
nilai DO maka makin tinggi tingkat pencemaran ekosistem perairan tersebut.
5.2.3 Parameter Biologi Perairan
1. Kekayaan Jenis Makrozoobenthos
Dari hasil penelitian pada mikroekosistem tidepool di pantai Batu
Kukumbung, diperoleh jumlah total makrozoobentos sebanyak 39 jenis. Jenis-
jenis ini terdiri dari 21 famili dan 6 kelas, yaitu kelas Polyplacophora, Gastropoda,
Bivalvia (filum Mollusca), Echinoidea, Ophiuroidea (filum Echinodermata), dan
Malacostraca (filum Arthropoda, sub kelas Crustacea). Selain itu dilakukan
pendataan dan perhitungan masing-masing jenis pada tiap tidepool pengamatan
untuk menentukan nilai kelimpahan jenis, nilai penting, indeks kekayaan jenis,
indeks keanekaragaman jenis, dan indeks dominansi jenis makrozoobenthos.
Berdasarkan hasil pendataan dan perhitungan jenis, diketahui bahwa kelas
dengan jenis terbanyak dari seluruh tidepool pengamatan adalah kelas
Page 70
57
Gastropoda, yaitu sebanyak 20 jenis, disusul oleh kelas Malacostraca, Bivalvia,
Ophiuroidea, dan Polyplacophora. Sedangkan dari jumlah individu, kelas yang
mendominasi pada seluruh tidepool pengamatan adalah kelas Ophiuroidea
sebanyak 274 individu, disusul oleh kelas Gastropoda sebanyak 179 individu.
Menurut Aziz (1991), Ophiuroidea dapat menempati ekosistem terumbu
karang atau hidup bebas di dasar perairan lepas pantai. Di daerah ekosistem
terumbu karang hewan ini menempati berbagai macam habitat seperti, karang
hidup, karang mati, pecahan karang, dan daerah lamun. Pada perairan lepas pantai
hewan ini dapat menempati dasar berlumpur, berpasir, atau campuran lumpur dan
pasir. Oleh karena itu jumlah individu dari kelas ini dapat mendominasi
dibandingkan kelas yang lain.
Sementara itu, jumlah Gastropoda yang tinggi dapat disebabkan karena
tersedianya makanan yang cukup bagi organisme tersebut. Menurut Hemminga
dan Duarte (2000), kelompok Gastropoda bersifat karnivora pemakan daging,
pemakan bangkai (scaveger) atau pemakan detritus dan mikroalga yang
menempel di daun lamun (detritivor). Kelas Gastropoda dapat mendominasi
karena area pengamatan lebih terbuka yang memungkinkan organisme ini
mendapatkan makanan yang lebih banyak. Sementara itu menurut Nyabakken
(1988), gastropoda mempunyai operkulum yang menutup rapat celah cangkang.
Ketika pasang turun mereka masuk kedalam cangkang lalu menutup celah
menggunakan operkulum sehingga kekurangan air dapat diatasi.
Page 71
58
2. Kelimpahan Jenis Makrozoobenthos
Berdasarkan nilai kelimpahan jenis makrozoobenthos dari seluruh tidepool
pengamatan, diketahui jenis yang memiliki nilai kelimpahan tertinggi adalah
Ophionereis dubia dengan jumlah terbanyak yaitu 173 individu. Nilai kelimpahan
dari jenis Ophionereis dubia sebesar 0,51 individu/338 m2, yang menunjukkan
bahwa dari luas total tidepool pengamatan (338 m2), terdapat jenis Ophionereis
dubia sebanyak 0,51 individu. Ophionereis dubia merupakan satu-satunya jenis
bintang ular laut yang ditemukan dari famili Ophionereididae. Pada tidepool
pengamatan, jenis ini ditemukan pada 11 tidepool. Dari tidepool-tidepool tersebut,
jumlah terbanyak ditemukannya jenis Ophionereis dubia adalah pada tidepool 11,
yaitu sebanyak 57 individu. Berdasarkan kondisi fisik dan kimia, tidepool 11
memiliki luasan yang cukup besar, yaitu 121,3 m2, menyebabkan jenis
Ophionereis dubia dapat hidup dan berkembang lebih banyak pada tidepool ini.
Selain itu, faktor suhu air, kedalaman, dan pH air juga berpengaruh pada jumlah
Ophionereis dubia. Suhu air yang diukur menunjukkan nilai 29,5°C yang
merupakan kondisi suhu yang masih aman bagi kehidupan organisme ini.
Kedalaman yang diukur pada tidepool 11 yaitu 22 cm, menunjukkan tidepool ini
tidak terlalu dalam sehingga jenis ini dapat hidup lebih banyak. Nilai pH air pada
tidepool 11 menunjukkan angka 7,5 yang berarti perairan dalam tidepool tersebut
bersifat normal dan sesuai bagi kehidupan organisme yang hidup di dalamnya.
Jenis kedua yang memiliki nilai kelimpahan tertinggi adalah Semiricinula
fusca dari famili Muricidae sebesar 0,2 individu/338 m2, dengan total 71 individu.
Menurut NBIN LIPI (2008), Muricidae adalah salah satu famili dari Gastropoda
Page 72
59
kelas Prosobranchia, yang terdistribusi di daerah terumbu karang. Digolongkan
hewan karnivora, misalnya Drupella cornus yang memanfaatkan polip karang
sebagai sumber makanannya. Ada juga yang menjadi sebagai tempat berlindung,
memijah sekaligus menjadikan karang sebagai tempat tinggalnya (mikrohabitat).
Oleh karena jenis ini bersifat predator bagi gastropoda dan organisme lain,
menyebabkan jenis ini memiliki jumlah dan kelimpahan yang lebih banyak.
Pada tidepool pengamatan, jumlah Semiricinula fusca terbanyak terdapat
pada tidepool 7 (21 individu). Berdasarkan pengamatan, diketahui bahwa tidepool
7 memiliki jenis makrozoobenthos sebanyak 20 jenis dengan total 74 individu.
Hal ini dapat memungkinkan jenis ini memiliki jumlah makanan yang banyak.
Selain itu, kondisi fisik dan kimia, tidepool 7 juga dapat mendukung kehidupan
jenis ini, antara lain suhu air sebesar 29°C, kedalaman tidepool 36 cm, salinitas
32,5‰, dan pH air dengan nilai 7,5.
Semiricinula fusca adalah salah satu jenis siput laut, termasuk moluska
gastropoda laut famili Muricidae, sering disebut dengan siput batu (WoRMS,
2015). Siput kecil ini kadang-kadang terlihat pada batu-batu besar di beberapa
pantai. Kata fuscus berarti kehitaman, gelap atau hitam, mengacu pada warna
cangkang yang relatif gelap. Siput ini berukuran 2-3 cm, cangkang tebal dengan
benjolan persegi. Bukaan cangkang lebar dan biasanya berwarna ungu gelap.
Menurut penelitian Brian Ong, jenis ini di Pulau St. John ditemukan memakan
beberapa jenis keong, seperti Siphonaria javanica dan Siphonaria guamensis.
Jenis ini juga kadang memakan kerang kecil dan kerang. Dalam studi Brian,
ditemukan bahwa siput ini menggali lubang melalui cangkangnya, atau dengan
Page 73
60
menyelipkan proboscis di bawah cangkang. Brian menemukan bahwa jenis ini
tidak terlalu memilih tentang ukuran mangsa mereka (Wild Singapore, 2008).
Berdasarkan sumber tersebut, diketahui bahwa Semiricinula fusca memiliki
kelimpahan besar karena bersifat predator terhadap jenis gastropoda dan bivalvia
lainnya.
Jenis ketiga yang mempunyai nilai kelimpahan tertinggi adalah
Ophiocoma echinata sebesar 0,16 individu/338 m2 sebanyak 55 individu. Jenis
Ophiocoma echinata ditemukan pada 10 dari total 16 tidepool, dengan jumlah
individu pada masing-masing tidepool cukup merata, yaitu antara 2 hingga 9
individu.
Nilai kelimpahan dari famili dan jenis selain yang disebutkan di atas
cenderung menunjukkan nilai yang rendah, secara umum kurang dari 0,1
individu/338 m2. Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan rendahnya
kelimpahan makrozoobenthos tersebut, antara lain kurangnya makanan, kondisi
fisik dan kimia yang kurang sesuai dengan kehidupan organisme tersebut, serta
adanya predasi dan seleksi alam yang terjadi pada mikroekosistem tidepool.
3. Nilai Penting Makrozoobenthos
Nilai penting digunakan untuk melihat seberapa besar peran dan
kedudukan ekologis suatu jenis atau famili dalam komunitasnya. Untuk
menentukan nilai penting, perlu diketahui terlebih dahulu nilai kerapatan mutlak
(KM), kerapatan relatif (KR), frekuensi mutlak (FM), dan frekuensi relatif (FR)
dari masing-masing jenis makrozoobenthos.
Page 74
61
Berdasarkan perhitungan kerapatan mutlak (KM) dan kerapatan relatif
(KR), didapatkan nilai terbesar pada jenis Ophionereis dubia, masing-masing
sebesar 0,51 individu/338 m2 dan 33,79%. Ophionereis dubia memiliki kerapatan
jenis terbesar dan merupakan jenis yang paling banyak ditemukan dari seluruh
tidepool pengamatan dibandingkan jenis makrozoobenthos lainnya.
Sedangkan dari perhitungan frekuensi mutlak (FM) dan frekuensi relatif
(FR), jenis yang memiliki nilai FM dan FR tertinggi adalah Ophionereis dubia,
masing-masing sebesar 0,69 individu/338m2 dan 10,19%. Jenis ini ditemukan
pada 11 dari total 16 tidepool pengamatan. Dari hasil ini juga dapat diketahui
bahwa Ophionereis dubia merupakan makrozoobenthos yang bersifat kosmopolit
dan dapat beradaptasi dengan baik. Hal ini disebabkan jenis bintang ular laut ini
banyak hidup pada habibat bebatuan dan dapat melakukan pergerakan yang lebih
luas dibandingkan jenis makrozoobenthos lainnya. Menurut Barnes dan Ruppert
(1994), Ophiuroidea merupakan hewan Echinodermata yang paling banyak
bergerak. Bintang ular bergerak dengan menggunakan lengan mereka. Lengan
bintang ular dapat bergerak kesegala arah dan tidak menunjukkan dominansi. Saat
akan bergerak keatas batu, seaweed, ataupun terumbu karang lengan bagian ujung
yang lentur dapat melilit sehingga pergerakan akan semakin mudah.
Dari perhitungan nilai penting, didapatkan jenis yang memiliki nilai
penting terbesar adalah jenis yang sama, yaitu Ophionereis dubia sebesar 43,97%.
Hal ini menunjukkan bahwa Ophionereis dubia memiliki nilai kelimpahan dan
kehadiran yang tinggi, serta memiliki peranan yang lebih besar dibandingkan jenis
lain dalam mikroekosistem tidepool pengamatan. Selain itu tingginya nilai penting
Page 75
62
menunjukkan Ophionereis dubia merupakan jenis yang paling adaptif di
habitatnya dan mampu bertahan jika terjadi gangguan pada ekosistemnya.
Menurut Magnus (1967), Ophiuroidea sering ditemukan bersembunyi di bawah
batu atau lubang pasir, hal ini dikarenakan Ophiuroidea memiliki sifat fototaksis
negatif sehingga sering hidup bersembunyi di habitatnya. Selain itu bintang ular
menjadikan lubang pasir dan pecahan batu karang sebagai tempat
perlindungannya dari predator.
4. Dominansi Jenis Makrozoobenthos
Berdasarkan hasil data kelimpahan, kerapatan, frekuensi, dan nilai penting,
diketahui jenis yang mendominasi pada mikroekosistem tidepool di pantai Batu
Kukumung adalah Ophionereis dubia. Jumlah jenis ini jauh lebih banyak
dibandingkan jenis makrozoobenthos lain.
Ophionereis dubia memiliki panjang lengan sampai 12 cm, diameter cakram
sekitar 10 mm. Cakram halus dengan scale mikroskopis dan pola seperti jaring
dari garis-garis gelap pada abu-abu dengan speckling kuning kecil. Lengan
berwarna pucat, terdapat garis-garis gelap setiap sendi kelima. Lengan duri
cenderung pendek. Dalam Tortonese (1980) dalam Clark dan Rowe (1971), pola
warna digambarkan garis coklat dan kadang-kadang juga bintik-bintik di sisi
dorsal dari cakram yang membentuk pola. Habitat jenis ini adalah di daerah
eulittoral rendah dan substrat yang beragam. Ophionereis dubia bersifat bentik
dan banyak hidup di perairan pantai. Oleh karena itu habitat yang sesuai dengan
kehidupannya, Ophionereis dubia memiliki tingkat dominasi yang paling tinggi.
Page 76
63
5. Indeks Kekayaan Jenis Makrozoobenthos
Berdasarkan perhitungan, didapatkan nilai indeks kekayaan jenis
makrozoobenthos tidepool pengamatan sebesar 6,09. Nilai indeks ini didapatkan
dari jumlah tiap jenis makrozoobenthos dan jumlah total individu
makrozoobenthos, yaitu sebanyak 512 individu. Nilai indeks kekayaan jenis pada
tidepool pengamatan menunjukkan status ekosistem dalam kondisi baik karena
nilai indeks lebih dari 4,0 yang berarti bahwa komponen-komponen penyusun
komunitas fauna makrozoobenthos belum mengalami gangguan lingkungan.
Jumlah jenis maupun jumlah individu setiap jenis fauna makrozoobenthos tidak
akan mudah berubah meskipun mengalami peningkatan gangguan lingkungan.
6. Indeks Keanekaragaman Jenis Makrozoobenthos
Nilai indeks keanekaragaman jenis makrozoobenthos yang didapatkan dari
perhitungan sebesar 2,53. Berdasarkan pendapat Shannon-Wiener (1949) dalam
Dahuri (1994), nilai tersebut tergolong antara indeks 1 dan 3, menunjukkan bahwa
keanekaragaman jenis makrozoobenthos pada mikroekosistem tidepool
pengamatan dalam kategori sedang, penyebaran jumlah individu tiap jenis dalam
kategori sedang, kestabilan komunitas sedang dan keadaan perairan telah tercemar
sedang.
Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan tingkat keanekaragaman
jenis makrozoobenthos tidak terlalu tinggi, antara lain terjadinya isolasi dalam
mikroekosistem tidepool sehingga persebaran dari banyak jenis menjadi kecil,
kondisi fisik lingkungan yang cukup ekstrim bagi kehidupan biota laut dalam
tidepool, seperti suhu air dan udara yang cukup tinggi, salinitas air yang tinggi,
Page 77
64
intensitas cahaya yang tinggi, serta tingginya konduktivitas air yang akan
berdampak pada tingkatan stress makrozoobenthos yang hidup di dalamnya.
Selain itu faktor lain yang berpengaruh adalah sumber makanan yang sedikit serta
adanya seleksi dan predasi sehingga hanya jenis tertentu yang dapat hidup dalam
mikroekosistem tidepool tersebut.
7. Indeks Dominansi Makrozoobenthos
Berdasarkan perhitungan, didapatkan nilai indeks dominansi
makrozoobenthos sebesar 0,85. Hal ini menunjukkan bahwa pada mikroekosistem
tidepool pengamatan mempunyai nilai indeks cenderung mendekati 1 artinya ada
jenis yang mendominansi perairan yang berarti setiap individu pada tidepool
pengamatan tidak mempunyai kesempatan yang sama dan secara maksimal dalam
memanfaatkan sumberdaya yang ada di dalam perairan tersebut. Dari hasil
pengamatan dan perhitungan, terlihat bahwa ada jenis yang paling mendominasi
dibandingkan jenis lain, yaitu Ophionereis dubia. Jenis ini kemungkinan dapat
mengganggu keseimbangan dalam ekosistem dan mengancam kehidupan jenis
makrozoobenthos yang lain. Hal ini sesuai dengan peryataan Odum (1993) yang
menyatakan bahwa nilai indeks dominansi yang tinggi menyatakan konsentrasi
dominansi yang tinggi (ada individu yang mendominansi), sebaliknya nilai indeks
dominansi yang rendah menyatakan konsentrasi yang rendah (tidak ada yang
dominan).
Page 78
65
8. Pengaruh Makroalga dan Biota Lain Terhadap Struktur Komunitas
Makrozoobenthos
Penutupan makroalga dan biota lain yang ada pada mikroekosistem
tidepool secara tidak langsung berhubungan terhadap struktur komunitas
makrozoobenthos yang hidup di dalamnya. Sumber makanan utama untuk benthos
adalah alga dan organik limpasan dari tanah. Selain itu, manfaat penutupan
makroalga adalah sebagai kanopi dalam tidepool sehingga suhu dalam perairan
tidak terlalu meningkat akibat penetrasi cahaya yang langsung masuk ke dalam
tidepool. Dengan suhu yang tidak terlalu tinggi, maka semakin banyak jumlah dan
jenis makrozoobenthos yang dapat hidup dalam mikroekosistem tidepool dan
berpengaruh terhadap kelimpahan, kerapatan, frekuensi, kekayaan, dan
keanekaragaman jenis makrozoobenthos. Makroalga juga dapat melakukan
fotosintesis sehingga menghasilkan oksigen. Jumlah oksigen yang banyak dapat
meningkatkan kualitas perairan dan dapat dipergunakan oleh makrozoobenthos
untuk melangsungkan kehidupannya.
Biota lain yang ada pada tidepool adalah beberapa jenis ikan dan karang.
Ikan merupakan salah satu biota penting dalam ekosistem laut. Sebagai konsumen
dari produsen, ikan herbivora merupakan penghubung antara aliran energi yang
berasal dari produsen ke konsumen tingkat 2 (karnivora). Ikan dapat
mempengaruhi penyebaran, ukuran, komposisi dan makrozoobenthos. Dengan
adanya jenis ikan dalam tidepool, maka rantai makanan dalam mikroekosistem ini
dapat berlangsung dengan baik. Selain ikan, terdapat satu jenis karang dalam
tidepool pengamatan. Karang juga berpengaruh terhadap struktur komunitas
Page 79
66
makrozoobenthos, yaitu sebagai tempat perlindungan beberapa jenis
makrozoobenthos dari predator, sehingga dapat berpengaruh terhadap kelimpahan
jenis makrozoobenthos tersebut.
Tidepool merupakan mikroekosistem yang terbentuk akibat aktivitas
pasang surut laut. Mikroekosistem ini memiliki karakteristik yang cukup unik
dibandingkan ekosistem laut lainnya. Keunikan tersebut disebabkan oleh kondisi
lingkungan perairan tidepool yang ekstrim. Kondisi ini tentu berpengaruh
terhadap struktur komunitas makrozoobenthos yang hidup di dalamnya, sehingga
hanya jenis tertentu yang dapat bertahan hidup dan berkembang dalam tidepool.
Dengan mempelajari struktur komunitas makrozoobenthos ini, dapat diketahui
jenis makrozoobenthos apa saja yang dapat hidup dalam kondisi tidepool tersebut.
Page 80
67
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian struktur komunitas makrozoobenthos pada
mikroekosistem tidepool di pantai Batu Kukumbung, dapat disimpulkan beberapa
hal antara lain :
1. Terdapat 39 jenis makrozoobenthos pada mikroekosistem tidepool di
pantai Batu Kukumbung, yang terdiri dari 21 famili dan 6 kelas, yaitu
kelas Polyplacophora, Gastropoda, Bivalvia, Echinoidea Ophiuroidea, dan
Malacostraca.
2. Berdasarkan penelitian struktur komunitas, dari perhitungan nilai
kelimpahan jenis, kerapatan, frekuensi dan nilai penting, jenis yang
memiliki nilai terbesar adalah Ophionereis dubia. Nilai indeks kekayaan
jenis menunjukkan status ekosistem dalam kondisi baik. Nilai indeks
keanekaragaman jenis menunjukkan keanekaragaman jenis
makrozoobenthos dalam kategori sedang, penyebaran jumlah individu tiap
jenis dalam kategori sedang, kestabilan komunitas sedang dan keadaan
perairan telah tercemar sedang. Sedangkan nilai indeks dominansi
menunjukkan terdapat jenis yang mendominansi perairan, yaitu
Ophionereis dubia yang dapat berpengaruh terhadap jenis
makrozoobenthos lainnya.
Page 81
68
6.2 Saran
1. Pelu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai struktur komunitas
makrozoobenthos pada mikroekosistem tidepool, karena ekosistem ini
memiliki karakteristik khas tersendiri dibandingkan ekosistem laut
lainnya.
2. Penelitian yang dilakukan tidak hanya mengenai mekrozoobenthos, namun
juga biota dan organisme lainnya seperti jenis ikan, makroalga, lamun, dan
mikroalga sehingga dapat diketahui keanekaan dalam mikroekosistem
tidepool.
3. Dilakukan penelitian dalam skala yang lebih besar lagi, tidak hanya
dilakukan di pantai Batu Kukumbung atau Cagar Alam Bojonglarang
Jayanti, namun juga pada lokasi-lokasi lainnya di Indonesia.
4. Perlu dilakukannya langkah-langkah konservasi dan pemeliharaan
ekosistem tidepool dari pencemaran laut, sehingga keunikan ekosistem ini
dapat menjadi potensi wisata alam yang menarik.
Page 82
69
DAFTAR PUSTAKA
Alcantara, P. H., dan Weiss, V. S. 1991. Ecological Aspects of The Polychaeta
Population Associated with The Red Mangrove Rhizosphora mangle at
Lagune de Terminos, Southren Part of The Gulf of Mexico. Ophelia 5:
451-462.
Aksornkoe. 1993. Ecology and management of mangrove. IUCN. Bangkok.
Thailand.
Aziz, A. 1991. Beberapa Catatan tentang Bintang Mengular (Ophiuroidea)
sebagai Biota Bentik. Oseana 17 (1).
Balai KSDA (BKSDA) Jawa Barat. 2007. Bojonglarang Jayanti. Data Sekunder
dan Data Primer. Balai Besar KSDA, Jawa Barat. Bogor.
Barnes, D. R., dan E. E. Ruppert. 1994. Invertebrate Zoology Sixth Edition.
Sounders College Publishing. USA.
Barus, T. A. 2004. Pengantar Limnologi Studi Tentang Ekosistem Air Daratan.
USU Press. Medan.
Brower J. E., dan Zar, J. H. 1977. Field and Laboratory Methods for General
Ecology. Brown Co Publisher. Iowa.
Brown, B. E. 1996. Integrated Coastal Management : South Asia. University of
Newcastle. Newcastle Upon Tyne.
Castellanos-Ganilndo, G. A., A. Giraldo., dan E. A. Rubio. 2005. Community
structure of an assemblage of tidepool fishes on a tropical eastern Pacific
rocky shore, Colombia. Journal of Fish Biology 67: 392-408.
Chao, C., Bo-Wei W., Chao-Hsiung C., dan Kuo-Ping C. 2013. The Diel
Dynamics of Ciliate Community in a Tide-pool. Journal of Marine
Science and Technology 21: 216-222.
Clark, A.M. dan Rowe, F.W.E. 1971. Monograph of Shallow-water Indo-West
Pacific Echinoderms. Trustees of the British Museum (Natural History).
London.
Connel, D. W., dan Miller, G. J. 1995. Kimia dan Ekotoksikologi. Penerjemah
Koestoer Y. dan Sehati. Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Dahuri. 1994. Analisa Biota Perairan. Fakultas Perikanan IPB. Bogor.
Dahuri, R., Rais J., Ginting S. P., dan Sitepu M. J. 1996. Pengelolaan
Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Pramadya
Paramita. Jakarta.
Page 83
70
Dahuri, R., Rais J., Ginting S. P., dan Sitepu M. J. 2001. Pengelolaan
Sumberdaya Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pramadya
Paramita. Jakarta.
Dharma, B. 1988. Siput dan Kerang Indonesia (Indonesian Shells). PT. Sarana
Graha. Jakarta.
Dharma, B. 2005. Recent & Fossil Indonesian Shells. ConchBooks. Hackenheim.
Germany.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pegelolaan Sumber Daya Lingkungan
Perairan. Kanisius. Yogyakarta.
English, S., C. Wilkinson dan V. Baker. 1994. Survey Manual for Tropical
Marine Resources. Australian Institute of Marine Science. Townsville.
Ewusie, J. K. 1990. Pengantar Ekologi Tropika (terjemahan). ITB. Bandung.
Fajri., dan Agustina. 2013. Penuntun Pratikum Ekologi Perairan. UNRI Press.
Pekanbaru.
Haili, M., Ida, I. D. A., dan Bagyo, Y. 2014. Diversitas Arthropoda Tanah di
Lahan Kebakaran dan Lahan Transisi Kebakaran Jalan HM 36 Taman
Nasional Baluran. Jurnal Biotropika 2 (1) : 20-25.
Haruddin, A., Edi, P., dan Sri B., 2011. Dampak Kerusakan Mikroekosistem
Terumbu Karang Terhadap Hasil Penangkapan Ikan Oleh Nelayan Secara
Tradisional Di Pulau Siompu Kabupaten Buton Propinsi Sulawesi
Tenggara. Jurnal Ekosains 3: 29-41.
Hemminga, M. A., dan Duarte C. M. 2000. Seagrass Ecology. Cambridge
University Press. London.
Hutabarat, S., dan S. M. Evans. 1985. Pengantar Oseanografi. Universitas
Indonesia Press. Jakarta.
Idris I, Ginting S. P., dan Budiman. 2007. Membangunkan Raksasa Ekonomi:
Sebuah Kajian Terhadap Perundang-undangan Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Penerbit Buku Ilmiah Populer. 296 hal.
Irawan, A., dan L. I. Sari. 2013. Karakteristik Distribusi Horizontal Parameter
Fisika-Kimia Perairan Permukaan di Pesisir Bagian Timur Balikpapan.
Jurnal Ilmu Perikanan Tropis 18 (2) : 21-27.
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51/I/2004. Tentang Pedoman
Penetapan Baku Mutu Air Laut. Jakarta. 12 hal.
Laguna Ocean Foundation. 2007. Tidepool Ecology & Common Organisms.
http://www.lagunaoceanfoundation.org/tidepool_ecology.html. Diakses
pada 1 Maret 2015 Pukul 22.54 WIB.
Page 84
71
Lumingas, Lawrence J. L., Ruddy D. M., dan Alex D. K. 2011. Efek Stres
Anthropogenik Terhadap Struktur Komunitas Makrozoobentik Substrat
Lunak Perairan Laut Dangkal di Teluk Buyat, Teluk Totok dan Selat
Likupang (Semenanjung Minahasa, Sulawesi Utara). Jurnal Matematika
& Sains 16: 95-105.
Metaxas, A., dan R. E. Scheibling. 1993. Community structure and organization
of tidepools. Marine Ecology Proggress Series 98: 187-198.
National Parks Conservation Association. 2008. Tide pools. http://www.npca.org/
marine_and_coastal/beaches/tide_pools.html. Diakses tanggal 27
Februari 2015 Pukul 22.36 WIB.
NBIN LIPI. 2008. Komposisi Jenis dan Siput Famili Muricidae di daerah
Terumbu Karang pulau Salibabu. http://nbin.lipi.go.id/index.php?x=pisp
_meta&met=448. Diakses tanggal 19 Juni 2015 Pukul 1.11 WIB.
Nybakken, J. W. 1988. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Diterjemahkan
dari Marine Biology and Ecological Approach oleh M. Eidman. PT
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Nybakken, J. W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Alih Bahasa: M.
Eidman, Koesoebiono, D.G. Bengen dan M. Hutomo. PT Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta.
Odum, E. P. 1971. Fundamental of Ekology. Third Edition, W.B. Saunders
Company. Toronto Florida.
Odum, E. P. 1993. Dasar-dasar Ekologi. Diterjemahkan dari Fundamental of
Ecology oleh T. Samingan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Odum, E. P. 1994. Dasar-dasar Ekologi. Edisi Ketiga. Terjemahan oleh
Koesbiono, D.G. Bengon, M. Eidmen & S. Sukarjo. PT Gramedia.
Jakarta.
Putro, S. P. 2014. Metode Sampling Penelitian Makrobenthos dan Aplikasinya.
Graha Ilmu. Yogyakarta.
Rachmawaty. 2011. Indeks Keanekaragaman Makrozoobentos sebagai
Bioindikator Tingkat Pencemaran di Muara Sungai Jeneberang. FMIPA-
UNM. Makassar.
Raffaelli, D., dan Hawkins, S. J. 1996. Intertidal Ecology. Chapman and Hall.
London.
Ridwan, D. 2004. Komunitas Makrozoobentos Sebagai Indikator Biologi Perairan
Sungai Ciliwung. Skripsi. FPIK-IPB. Bogor.
Romimohtarto, K dan Juwana, S. 2007. Biologi Laut : Ilmu Pengetahuan tentang
Biota Laut. Djambatan. Jakarta.
Page 85
72
Ruswahyuni. 2008. Struktur Komunitas Makrozoobentos yang Berasosiasi dengan
Lamun pada Pantai Berpasir di Jepara. Jurnal Saintek Perikanan. 3: 33-
36.
Sanusi, H. 2004. Karakteristik Kimiawi dan Kesuburan Perairan Teluk
Pelabuhan Ratu pada Musim barat dan Timur. Jurnal Ilmu-ilmu
Perairan dan Perikanan Indonesia. Departemen Sumber Daya Perairan
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB-Bogor.
Seaworld Parks and Entertainment (SPE). 2015. Tide Pools: What is a tide pool?.
http://seaworld.org/en/animal-info/ecosystem-infobooks/tide-pools/what-
is-a-tide-pool/. Diakses tanggal 27 Februari 2015 Pukul 21.15 WIB.
Sinaga, T. 2009. Keanekaragaman Makrozoobentos Sebagai Indikator Kualitas
Perairan Danau Toba Balige Kabupaten Toba Samosir. Tesis. Universitas
Sumatera Utara. Medan.
Soegianto, A. 1994. Ekologi Kuantitatif. Usaha Nasional. Surabaya.
Soegiarto A. 1976. Pedoman Umum Pengelolaan Wilayah Pesisir. Lembaga
Oseanologi Nasional, Yakarta.
Soemarwoto, O. 1983. Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Penerbit
Djambatan. Jakarta.
Sudirman, N., dan S. Husrin. 2014. Status Baku Mutu Air Laut Untuk Kehidupan
Biota dan Indeks Pencemaran Perairan di Pesisir Cirebon pada Musim
Kemarau. Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan 6 (2) : 149-154.
Susilowati, E. 2007. Struktur Komunitas Makrozoobentos Sebagai Indokator
Biologi Perairan di Hulu Sungai Cisadane Bogor. Skripsi. PFIK-IPB.
Bogor.
Syukur. 2012. Permasalahan Ekologis Pantai Intertidal Berbatu.
http://syukuridrus.blogspot.com/2012/11/permasalahan-ekologis-pantai-
berbatu.html. Diakses tanggal 18 Juni 2015 Pukul 19.51 WIB.
Taqwa, A. 2010. Analisis Produktivitas Primer Fitoplankton dan Struktur
Komunitas Fauna Makrobentos Berdasarkan Kerapatan Mangrove di
Kawasan Konservasi Mangrove dan Bekantan Kota Tarakan, Kalimantan
Timur. Tesis. Universitas Diponegoro. Semarang.
Tulungen J. J. 2001. Program Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir Terpadu
dan Berbasis Masyarakat: Telaah Kasus di Kabupaten Minahasa,
Sulawesi Utara. Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir
Terpadu. Bogor, 29 Oktober – 3 November 2001).
Page 86
73
Ulfah, Y., Widyaningsih., dan M. Zainuri. 2012. Struktur Komunitas
Makrozoobenthos di Perairan Wilayah Morosari Desa Bedono
Kecamatan Sayung Demak. Journal of Marine Research 1: 188-196.
Weber, H.H., dan H.V. Thurman. 1991. Marine Biology. Harper Collins
Publisher, Inc. New York.
Welch, E. B and T. Lindell. 1992. Ecological Effects of Wastewater : Applied
Limnology and Pollutant Effects. Taylor and Francis Group LLC.
Washington. USA.
Wild Singapore. 2008. Dark Drill Semiricinula fusca. http://www.wildsingapore.
com/wildfacts/mollusca/gastropoda/muricidae/fusca.htm. Diakses tanggal
25 Juni 2015 Pukul 13.03 WIB.
World Register of Marine Species (WoRMS). 2015. Semiricinula fusca (Küster,
1862). http://www.marinespecies.org/aphia.php?p=taxdetails&id=397049
Diakses tanggal 25 Juni 2015 Pukul 13.01 WIB.
Wright, J. B. 1984. Oseanography: Unit 10 The Benthic System. The Open
University. Great Britain.
Page 87
74
LAMPIRAN
Lampiran 1
Hasil Pengamatan Makrozoobenthos Tidepool Pantai Batu Kukumbung
Tabel 7.1 Jenis Makrozoobenthos Tidepool 1-16 Pantai Batu Kukumbung
No Foto Tidepool ke-
Jumlah Klasifikasi 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
1
4 2 0 1 0 0 3 5 0 2 5 2 0 0 0 0 24
Kingdom Animalia
Phylum Mollusca
Class Gastropoda
Ordo Neogastropoda
Family Muricidae
Genus Drupella
Species Drupella cornus
(Röding, 1798)
2
0 0 0 0 0 6 21 14 8 4 9 1 0 0 3 1 68
Kingdom Animalia
Phylum Mollusca
Class Gastropoda
Ordo Neogastropoda
Family Muricidae
Genus Semiricinula
Species Semiricinula fusca
(Küster, 1862)
Page 88
75
3
1 0 0 0 0 0 3 1 3 0 11 0 0 0 0 0 19
Kingdom Animalia
Phylum Mollusca
Class Gastropoda
Ordo Patellogastropoda
Family Nacellidae
Genus Cellana
Species Cellana radiata
(Born, 1778)
4
0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1
Kingdom Animalia
Phylum Mollusca
Class Gastropoda
Ordo Littorinimorpha
Family Ranellidae
Genus Gyrineum
Species Gyrineum natator
(Röding, 1798)
5
0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 2
Kingdom Animalia
Phylum Mollusca
Class Gastropoda
Ordo Neogastropoda
Family Muricidae
Genus Morula
Species Morula anaxeres
(Kiener, 1835)
Page 89
76
6
4 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 4
Kingdom Animalia
Phylum Echinodermata
Class Echinoidea
Ordo Stomopneustoida
Family Stomopneustidae
Genus Stomopneustes
Species Stomopneustes variolaris
(Lamarck, 1816)
7
0 1 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 2
Kingdom Animalia
Phylum Mollusca
Class Gastropoda
Ordo Vetigastropoda
Family Trochidae
Genus Pseudostomatella
Species P. papyracea
(Gmelin, 1791)
8
0 0 0 1 0 0 0 1 1 0 8 0 0 0 0 0 11
Kingdom Animalia
Phylum Mollusca
Class Polyplacophora
Ordo Neoloricata
Family Chitonidae
Genus Chiton
Species Chiton sp. A
(Blainville, 1816)
9
0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 2
Kingdom Animalia
Phylum Mollusca
Class Gastropoda
Ordo Neogastropoda
Family Conidae
Page 90
77
Genus Conus
Species Conus ebraeus
(Linneaus, 1758)
10
0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 4 0 0 0 0 0 6
Kingdom Animalia
Phylum Mollusca
Class Gastropoda
Ordo Neogastropoda
Family Conidae
Genus Conus
Species Conus glaucus
(Linneaus, 1758)
11
0 1 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 3
Kingdom Animalia
Phylum Mollusca
Class Bivalvia
Ordo Arcoida
Family Arcidae
Genus Barbatia
Species Barbatia bistrigata
(Dunker, 1866)
12
0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 2
Kingdom Animalia
Phylum Arthropoda
Class Malacostraca
Ordo Decapoda
Family Epialtidae
Genus Loxorhynchus
Species Loxorhynchus sp.
(Stimpson, 1857)
Page 91
78
13
0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1
Kingdom Animalia
Phylum Mollusca
Class Gastropoda
Ordo Cycloneritimorpha
Family Neritidae
Genus Nerita
Species Nerita albicilla
(Linneaus, 1758)
14
0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 2
Kingdom Animalia
Phylum Mollusca
Class Gastropoda
Ordo Pulmonata
Family Siphonariidae
Genus Siphonaria
Species Siphonaria sirius
(Pilsbry, 1894)
15
0 0 0 0 0 0 10 0 0 0 0 0 0 0 0 0 10
Kingdom Animalia
Phylum Mollusca
Class Gastropoda
Ordo Caenogastropoda
Family Cerithiidae
Genus Clypeomorus
Species C. subbrevicula
(Oostingh, 1925)
16
0 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2
Kingdom Animalia
Phylum Mollusca
Class Gastropoda
Ordo Neogastropoda
Family Mitridae
Page 92
79
Genus Mitra
Species Mitra litterata
(Lamarck, 1811)
17
0 0 0 0 0 0 2 9 0 0 0 0 0 0 0 0 11
Kingdom Animalia
Phylum Mollusca
Class Gastropoda
Ordo Neogastropoda
Family Columbellidae
Genus Anachis
Species Anachis terpsichore
(G. B. Sowerby II, 1822)
18
0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1
Kingdom Animalia
Phylum Mollusca
Class Gastropoda
Ordo Neogastropoda
Family Muricidae
Genus Morula
Species Morula granulata
(Duclos, 1832)
19
0 0 0 0 0 0 3 11 0 0 0 0 0 0 0 0 14
Kingdom Animalia
Phylum Mollusca
Class Gastropoda
Ordo Neogastropoda
Family Muricidae
Genus Morula
Species Morula funiculata
(Reeve, 1846)
Page 93
80
20
0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1
Kingdom Animalia
Phylum Mollusca
Class Gastropoda
Ordo Patellogastropoda
Family Patellidae
Genus Patella
Species Patella ferruginea
(Gmelin, 1791)
21
0 0 0 0 0 0 0 2 0 0 1 0 0 0 0 0 3
Kingdom Animalia
Phylum Mollusca
Class Gastropoda
Ordo Neogastropoda
Family Columbellidae
Genus Euplica
Species Euplica varians
(Sowerby I, 1832)
22
0 0 0 0 0 0 0 3 0 0 0 0 0 0 0 0 3
Kingdom Animalia
Phylum Mollusca
Class Gastropoda
Ordo Neogastropoda
Family Columbellidae
Genus Pyrene
Species Pyrene decussata
(Sowerby I, 1844)
23
0 0 0 0 0 0 0 4 0 0 0 0 0 0 0 0 4
Kingdom Animalia
Phylum Mollusca
Class Gastropoda
Ordo Neogastropoda
Family Muricidae
Page 94
81
Genus Semiricinula
Species Semiricinula marginatra
(Blainville, 1832)
24
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 0 0 0 1 0 3
Kingdom Animalia
Phylum Mollusca
Class Gastropoda
Ordo Caenogastropoda
Family Cerithiidae
Genus Clypeomorus
Species Clypeomorus bifasciata
(G. B. Sowerby II, 1855)
25
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1
Kingdom Animalia
Phylum Mollusca
Class Polyplacophora
Ordo Neoloricata
Family Chitonidae
Genus Chiton
Species Chiton sp. B
(Blainville, 1816)
26
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1
Kingdom Animalia
Phylum Mollusca
Class Polyplacophora
Ordo Neoloricata
Family Chitonidae
Genus Chiton
Species Chiton sp. C
(Blainville, 1816)
Page 95
82
27
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0 1
Kingdom Animalia
Phylum Mollusca
Class Polyplacophora
Ordo Neoloricata
Family Chitonidae
Genus Chiton
Species Chiton sp. D
(Blainville, 1816)
28
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 3 0 0 0 0 0 3
Kingdom Animalia
Phylum Mollusca
Class Bivalvia
Ordo Veneroida
Family Veneridae
Genus Marcia
Species Marcia hiantina
(Lamarck, 1818)
29
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1
Kingdom Animalia
Phylum Mollusca
Class Bivalvia
Ordo Mytiloida
Family Mytilidae
Genus Ciboticola
Species Ciboticola lunata
(Hedley, 1902)
Page 96
83
30
6 0 0 5 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 13
Kingdom Animalia
Phylum Arthropoda
Class Malacostraca
Ordo Decapoda
Family Paguridae
Genus Pagurus
Species Pagurus sp. A
(Fabricius, 1775)
31
6 0 0 0 0 0 0 4 0 0 0 0 0 0 0 0 10
Kingdom Animalia
Phylum Arthropoda
Class Malacostraca
Ordo Decapoda
Family Paguridae
Genus Pagurus
Species Pagurus sp. B
(Fabricius, 1775)
32
1 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 3
Kingdom Animalia
Phylum Arthropoda
Class Malacostraca
Ordo Decapoda
Family Paguridae
Genus Pagurus
Species Pagurus sp. C
(Fabricius, 1775)
Page 97
84
33
1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1
Kingdom Animalia
Phylum Arthropoda
Class Malacostraca
Ordo Decapoda
Family Paguridae
Genus Pagurus
Species Pagurus sp. D
(Fabricius, 1775)
34
1 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2
Kingdom Animalia
Phylum Arthropoda
Class Malacostraca
Ordo Decapoda
Family Paguridae
Genus Pagurus
Species Pagurus sp. E
(Fabricius, 1775)
35
1 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2
Kingdom Animalia
Phylum Arthropoda
Class Malacostraca
Ordo Decapoda
Family Paguridae
Genus Pagurus
Species Pagurus sp. F
(Fabricius, 1775)
36
0 0 8 0 0 5 1 0 0 3 3 0 0 0 0 0 20
Kingdom Animalia
Phylum Echinodermata
Class Ophiuroidea
Ordo Ophiurida
Family Ophiotrichidae
Page 98
85
Genus Ophiothrix
Species Ophiothrix fragilis
(Abildraagrd, 1789)
37
0 0 22 0 2 14 13 0 5 8 57 6 26 3 0 17 173
Kingdom Animalia
Phylum Echinodermata
Class Ophiuroidea
Ordo Ophiurida
Family Ophionereididae
Genus Ophionereis
Species Ophionereis dubia
(Müller & Troschel, 1842)
38
0 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 18 0 6 26
Kingdom Animalia
Phylum Echinodermata
Class Ophiuroidea
Ordo Ophiurida
Family Ophiocomidae
Genus Ophiocoma
Species O. scolopendrina
(Lamarck, 1816)
39
0 0 6 0 3 6 4 0 6 0 6 5 8 2 0 9 55
Kingdom Animalia
Phylum Echinodermata
Class Ophiuroidea
Ordo Ophiurida
Family Ophiocomidae
Genus Ophiocoma
Species Ophiocoma echinata
(Lamarck, 1816)
Page 99
86
Lampiran 2
Susunan Acara Kuliah Kerja Lapangan (KKL) 2015
MINGGU, 10 MEI 2015
NO. WAKTU KEGIATAN
1. 06.00 – 06.30 (30’) Kumpul Peserta KKL 2015
2. 06.30 - 07.00 (30’) Sarapan Pagi
3. 07.00 – 07.30 (30’) Persiapan dan Mobilisasi Barang
4. 07.30 – 08.00 (30’) Pembukaan KKL 2015 dan Pelepasan KKL 2015
5. 08.00-16.00 (480’) Perjalanan Menuju Cagar Alam Bojonglarang Jayanti
6. 16.00 Tiba di Cagar Alam Bojonglaramg Jayanti
7 16.00 – 18.00 (120’) Mobilisasi Barang KKL 2015
8. 18.00 – 20.00 (120’) Istirahat, Solat, dan Makan
9 20.00 - 21.30 (90’) Sambutan oleh Kepala Desa dan Kepala CA, Kumpul
Peserta KKL 2015 dan Persiapan Untuk Hari ke-2
10 21.30 Istirahat
SENIN, 11 MEI 2015
NO. WAKTU KEGIATAN
1. 04.00-04.30 (30’) Persiapan Peserta KKL 2015
2. 04.30-05.00 (30’) Shalat Subuh, Kultum dan Doa Bersama
3. 05.00-06.00 (60’) Persiapan Penelitian
4. 06.00-07.00 (60’) Sarapan Pagi
4. 07.00-18.00 (660’) Orientasi Medan, Penelitian, dan Pengamatan di
Lapangan (Dikembalikan pada bidang masing-masing)
5. 18.00-20.00 (90’) Istirahat, Sholat, dan Makan Malam
6. 20.00-21.30 (90’) Diskusi dan Evaluasi bersama Dosen Pembimbing
7. 21.30-22.00 (30’) Briefing serta Persiapan Alat dan Barang
8. 22.00 Istirahat
Page 100
87
SELASA, 12 MEI 2015
NO. WAKTU KEGIATAN
1. 04.00-04.30 (30’) Persiapan Peserta KKL 2015
2. 04.30-05.00 (30’) Shalat Subuh, Kultum dan Doa Bersama
3. 05.00-06.00 (60’) Persiapan Penelitian
4. 06.00 – 07.00 (60’) Sarapan Pagi
4. 07.00-18.00 (660’) Penelitian dan Pengamatan di Lapangan
5. 18.00-20.00 (90’) Istirahat, Sholat, dan Makan Malam
6. 20.00-21.30 (90’) Diskusi dan Evaluasi bersama Dosen Pembimbing
7. 21.30-22.00 (30’) Briefing serta Persiapan Alat dan Barang
8. 22.00 Istirahat
RABU, 13 MEI 2015
NO. WAKTU KEGIATAN
1. 04.00-04.30 (30’) Persiapan Peserta KKL 2015
2. 04.30-05.00 (30’) Shalat Subuh, Kultum dan Doa Bersama
3. 05.00-06.00 (60’) Persiapan Penelitian
4. 06.00 – 07.00 (60’) Sarapan Pagi
4. 07.00-18.00 (660’) Penelitian dan Pengamatan di Lapangan
5. 18.00-20.00 (90’) Istirahat, Sholat, dan Makan Malam
6. 20.00-21.30 (90’) Diskusi dan Evaluasi bersama Dosen Pembimbing
7. 21.30-22.00 (30’) Briefing serta Persiapan Alat dan Barang
8. 22.00 Istirahat
Page 101
88
KAMIS, 14 MEI 2015
NO. WAKTU KEGIATAN
1. 04.00-04.30 (30’) Persiapan Peserta KKL 2015
2. 04.30-05.00 (30’) Shalat Subuh, Kultum dan Doa Bersama
3. 05.00-06.00 (60’) Persiapan Penelitian
4. 06.00 – 07.00 (60’) Sarapan Pagi
4. 07.00-18.00 (660’) Penelitian dan Pengamatan di Lapangan
5. 18.00-20.00 (90’) Istirahat, Sholat, dan Makan Malam
6. 20.00-21.30 (90’) Diskusi dan Evaluasi bersama Dosen Pembimbing
7. 21.30-22.00 (30’) Briefing serta Persiapan Alat dan Barang
8. 22.00 Istirahat
JUMAT, 15 MEI
NO. WAKTU KEGIATAN
1. 04.00-04.30 (30’) Persiapan Peserta KKL 2015
2. 04.30-05.00 (30’) Shalat Subuh, Kultum dan Doa Bersama
3. 05.00-06.00 (60’) Persiapan Penelitian
4. 06.00 – 07.00 (60’) Sarapan Pagi
4. 07.00-18.00 (660’) Penelitian dan Pengamatan di Lapangan
5. 18.00-20.00 (90’) Istirahat, Sholat, dan Makan Malam
6. 20.00-21.30 (90’) Diskusi dan Evaluasi bersama Dosen Pembimbing
7. 21.30-22.00 (30’) Briefing serta Persiapan Alat dan Barang
8. 22.00 Istirahat
Page 102
89
SABTU, 16 MEI 2015
NO. WAKTU KEGIATAN
1. 04.00-05.00 (60’) Shalat Subuh, Kultum dan Doa Bersama
2. 05.00-05.30 (30’) Persiapan Kepulangan Peserta KKL 2015
3. 05.30-07.00 (90’) Penyelesaian Penelitian dan Pengambilan Sampel
4. 07.00-08.00 (60’) Sarapan Pagi
5. 08.00 – 10.00 (120’) Penyelesaian Penelitian dan Pengambilan Sampel
6. 10.00 – 12.00 (120’) Packing Akhir Barang dan Logistik KKL
7. 12.00-13.00 (60’) Sholat Dzuhur dan Makan Siang
8. 13.00-15.00 (120’) Packing Akhir Peserta
9. 15.00-18.00 (180’) Free Time
10. 18.00-20.00 (120’) Solat dan Makan Malam
11. 20.00-22.00 (120’) Acara Penutupan KKL 2015
12. 22.00 Istirahat
MINGGU, 17 MEI 2015
NO. WAKTU KEGIATAN
1. 04.00-05.00 (60’) Shalat Subuh, Kultum dan Doa Bersama
2. 05.00-07.00 (60’) Persiapan Kepulangan Peserta KKL 2015 dan
Mobilisasi Barang
3. 07.00-08.00 (60’) Sarapan Pagi
4. 08.00-09.00 (60’) Penutupan KKL 2015 Bersama Kepala Desa dan
BKSDA
5. 09.00-17.00 (480’) Perjalanan Pulang menuju Jatinangor
6. 17.00 Tiba di Kampus Unpad Jainangor
Page 103
90
Lampiran 3
Peta Lokasi Pengambilan Data
Gambar 7.1 Peta lokasi dan transek pengamatan makrozoobenthos
di pantai Batu Kukumbung (Sumber : Google Earth)
Page 104
91
Lampiran 4
Data Prediksi Pasang Surut Badan Informasi Geospasial 2015
Gambar 7.2 Data prediksi pasang surut Badan Informasi Geospasial 2015
Page 105
92
Lampiran 5
Perhitungan Analisis Sampel Makrozoobenthos
A. Perhitungan Kelimpahan Jenis Makrozoobenthos
Tabel 7.2 Perhitungan Kelimpahan Jenis Makrozoobenthos
No Nama Jenis ni A D
1 Chiton sp. A 11
338
0,03
2 Chiton sp. B 1 0,00
3 Chiton sp. C 1 0,00
4 Chiton sp. D 2 0,01
5 Clypeomorus subbrevicula 10 0,03
6 Clypeomorus bifasciata 3 0,01
7 Anachis terpsichore 11 0,03
8 Euplica varians 3 0,01
9 Pyrene decussata 3 0,01
10 Conus ebraeus 2 0,01
11 Conus glaucus 6 0,02
12 Mitra litterata 2 0,01
13 Semiricinula fusca 68 0,20
14 Semiricinula marginatra 4 0,01
15 Drupella cornus 24 0,07
16 Morula anaxeres 2 0,01
17 Morula funiculata 14 0,04
18 Morula granulata 1 0,00
19 Cellana radiata 19 0,06
20 Nerita albicilla 1 0,00
21 Patella ferruginea 1 0,00
22 Gyrineum natator 1 0,00
23 Siphonaria sirius 2 0,01
24 Pseudostomatella papyracea 2 0,01
25 Barbatia bistrigata 3 0,01
26 Ciboticola lunata 1 0,00
27 Marcia hiantina 3 0,01
28 Stomopneustes variolaris 4 0,01
29 Ophiothrix fragilis 20 0,06
30 Ophionereis dubia 173 0,51
31 Ophiocoma scolopendrina 26 0,08
32 Ophiocoma echinata 55 0,16
Page 106
93
33 Loxorhynchus sp. 2 0,01
34 Pagurus sp. A 13 0,04
35 Pagurus sp. B 10 0,03
36 Pagurus sp. C 3 0,01
37 Pagurus sp. D 1 0,00
38 Pagurus sp. E 2 0,01
39 Pagurus sp. F 2 0,01
∑ 512
B. Perhitungan Nilai Penting Makrozoobenthos
Tabel 7.3 Perhitungan Kerapatan Mutlak dan Relatif Makrozoobenthos
No Nama Jenis ni A KM KR
1 Chiton sp. A 11
338
0,03 2,15
2 Chiton sp. B 1 0,00 0,20
3 Chiton sp. C 1 0,00 0,20
4 Chiton sp. D 2 0,01 0,39
5 Clypeomorus subbrevicula 10 0,03 1,95
6 Clypeomorus bifasciata 3 0,01 0,59
7 Anachis terpsichore 11 0,03 2,15
8 Euplica varians 3 0,01 0,59
9 Pyrene decussata 3 0,01 0,59
10 Conus ebraeus 2 0,01 0,39
11 Conus glaucus 6 0,02 1,17
12 Mitra litterata 2 0,01 0,39
13 Semiricinula fusca 68 0,20 13,28
14 Semiricinula marginatra 4 0,01 0,78
15 Drupella cornus 24 0,07 4,69
16 Morula anaxeres 2 0,01 0,39
17 Morula funiculata 14 0,04 2,73
18 Morula granulata 1 0,00 0,20
19 Cellana radiata 19 0,06 3,71
20 Nerita albicilla 1 0,00 0,20
21 Patella ferruginea 1 0,00 0,20
22 Gyrineum natator 1 0,00 0,20
23 Siphonaria sirius 2 0,01 0,39
24 Pseudostomatella papyracea 2 0,01 0,39
25 Barbatia bistrigata 3 0,01 0,59
26 Ciboticola lunata 1 0,00 0,20
Page 107
94
27 Marcia hiantina 3 0,01 0,59
28 Stomopneustes variolaris 4 0,01 0,78
29 Ophiothrix fragilis 20 0,06 3,91
30 Ophionereis dubia 173 0,51 33,79
31 Ophiocoma scolopendrina 26 0,08 5,08
32 Ophiocoma echinata 55 0,16 10,74
33 Loxorhynchus sp. 2 0,01 0,39
34 Pagurus sp. A 13 0,04 2,54
35 Pagurus sp. B 10 0,03 1,95
36 Pagurus sp. C 3 0,01 0,59
37 Pagurus sp. D 1 0,00 0,20
38 Pagurus sp. E 2 0,01 0,39
39 Pagurus sp. F 2 0,01 0,39
∑ 512 1,51 100
Tabel 7.4 Perhitungan Frekuensi Mutlak dan Relatif Makrozoobenthos
No Nama Jenis Plot
Ditemukan ∑ Plot FM FR
1 Chiton sp. A 4
16
0,25 3,70
2 Chiton sp. B 1 0,06 0,93
3 Chiton sp. C 1 0,06 0,93
4 Chiton sp. D 1 0,06 0,93
5 Clypeomorus subbrevicula 1 0,06 0,93
6 Clypeomorus bifasciata 2 0,13 1,85
7 Anachis terpsichore 2 0,13 1,85
8 Euplica varians 1 0,06 0,93
9 Pyrene decussata 1 0,06 0,93
10 Conus ebraeus 2 0,13 1,85
11 Conus glaucus 3 0,19 2,78
12 Mitra litterata 1 0,06 0,93
13 Semiricinula fusca 9 0,56 8,33
14 Semiricinula marginatra 1 0,06 0,93
15 Drupella cornus 8 0,50 7,41
16 Morula anaxeres 2 0,13 1,85
17 Morula funiculata 2 0,13 1,85
18 Morula granulata 1 0,06 0,93
19 Cellana radiata 6 0,38 5,56
20 Nerita albicilla 1 0,06 0,93
21 Patella ferruginea 1 0,06 0,93
Page 108
95
22 Gyrineum natator 1 0,06 0,93
23 Siphonaria sirius 2 0,13 1,85
24 Pseudostomatella papyracea 2 0,13 1,85
25 Barbatia bistrigata 3 0,19 2,78
26 Ciboticola lunata 1 0,06 0,93
27 Marcia hiantina 1 0,06 0,93
28 Stomopneustes variolaris 4 0,06 0,93
29 Ophiothrix fragilis 5 0,31 4,63
30 Ophionereis dubia 11 0,69 10,19
31 Ophiocoma scolopendrina 3 0,19 2,78
32 Ophiocoma echinata 10 0,63 9,26
33 Loxorhynchus sp. 2 0,13 1,85
34 Pagurus sp. A 5 0,31 4,63
35 Pagurus sp. B 2 0,13 1,85
36 Pagurus sp. C 3 0,19 2,78
37 Pagurus sp. D 1 0,06 0,93
38 Pagurus sp. E 2 0,13 1,85
39 Pagurus sp. F 2 0,13 1,85
∑ 512 6,75 100
Tabel 7.5 Perhitungan Kerapatan Mutlak dan Relatif Makrozoobenthos
No Nama Jenis KR FR NP
1 Chiton sp. A 2,15 3,70 5,85
2 Chiton sp. B 0,20 0,93 1,12
3 Chiton sp. C 0,20 0,93 1,12
4 Chiton sp. D 0,39 0,93 1,32
5 Clypeomorus subbrevicula 1,95 0,93 2,88
6 Clypeomorus bifasciata 0,59 1,85 2,44
7 Anachis terpsichore 2,15 1,85 4,00
8 Euplica varians 0,59 0,93 1,51
9 Pyrene decussata 0,59 0,93 1,51
10 Conus ebraeus 0,39 1,85 2,24
11 Conus glaucus 1,17 2,78 3,95
12 Mitra litterata 0,39 0,93 1,32
13 Semiricinula fusca 13,28 8,33 21,61
14 Semiricinula marginatra 0,78 0,93 1,71
15 Drupella cornus 4,69 7,41 12,09
16 Morula anaxeres 0,39 1,85 2,24
Page 109
96
17 Morula funiculata 2,73 1,85 4,59
18 Morula granulata 0,20 0,93 1,12
19 Cellana radiata 3,71 5,56 9,27
20 Nerita albicilla 0,20 0,93 1,12
21 Patella ferruginea 0,20 0,93 1,12
22 Gyrineum natator 0,20 0,93 1,12
23 Siphonaria sirius 0,39 1,85 2,24
24 Pseudostomatella papyracea 0,39 1,85 2,24
25 Barbatia bistrigata 0,59 2,78 3,36
26 Ciboticola lunata 0,20 0,93 1,12
27 Marcia hiantina 0,59 0,93 1,51
28 Stomopneustes variolaris 0,78 0,93 1,71
29 Ophiothrix fragilis 3,91 4,63 8,54
30 Ophionereis dubia 33,79 10,19 43,97
31 Ophiocoma scolopendrina 5,08 2,78 7,86
32 Ophiocoma echinata 10,74 9,26 20,00
33 Loxorhynchus sp. 0,39 1,85 2,24
34 Pagurus sp. A 2,54 4,63 7,17
35 Pagurus sp. B 1,95 1,85 3,80
36 Pagurus sp. C 0,59 2,78 3,36
37 Pagurus sp. D 0,20 0,93 1,12
38 Pagurus sp. E 0,39 1,85 2,24
39 Pagurus sp. F 0,39 1,85 2,24
∑ 100 100 200
C. Perhitungan Indeks Kekayaan Jenis Makrozoobenthos
Tabel 7.6 Perhitungan Indeks Kekayaan Jenis Makrozoobenthos
Jumlah Spesies 39
Jumlah Individu 512
S – 1 38
ln N 6,24
d 6,09
Page 110
97
D. Perhitungan Indeks Keanekaragaman Jenis Makrozoobenthos
Tabel 7.7 Perhitungan Indeks Keanekaragaman Jenis Makrozoobenthos
No Nama Jenis ni A Pi ln Pi Pi ln Pi
1 Chiton sp. A 11
512
0,021484375 -3,840429352 -0,082509224
2 Chiton sp. B 1 0,001953125 -6,238324625 -0,012184228
3 Chiton sp. C 1 0,001953125 -6,238324625 -0,012184228
4 Chiton sp. D 2 0,00390625 -5,545177444 -0,021660849
5 Clypeomorus subbrevicula 10 0,01953125 -3,935739532 -0,076869913
6 Clypeomorus bifasciata 3 0,005859375 -5,139712336 -0,030115502
7 Anachis terpsichore 11 0,021484375 -3,840429352 -0,082509224
8 Euplica varians 3 0,005859375 -5,139712336 -0,030115502
9 Pyrene decussata 3 0,005859375 -5,139712336 -0,030115502
10 Conus ebraeus 2 0,00390625 -5,545177444 -0,021660849
11 Conus glaucus 6 0,01171875 -4,446565156 -0,052108185
12 Mitra litterata 2 0,00390625 -5,545177444 -0,021660849
13 Semiricinula fusca 68 0,1328125 -2,01881692 -0,268124122
14 Semiricinula marginatra 4 0,0078125 -4,852030264 -0,037906486
15 Drupella cornus 24 0,046875 -3,060270795 -0,143450194
16 Morula anaxeres 2 0,00390625 -5,545177444 -0,021660849
17 Morula funiculata 14 0,02734375 -3,599267295 -0,098417465
18 Morula granulata 1 0,001953125 -6,238324625 -0,012184228
19 Cellana radiata 19 0,037109375 -3,293885646 -0,122234038
20 Nerita albicilla 1 0,001953125 -6,238324625 -0,012184228
21 Patella ferruginea 1 0,001953125 -6,238324625 -0,012184228
22 Gyrineum natator 1 0,001953125 -6,238324625 -0,012184228
23 Siphonaria sirius 2 0,00390625 -5,545177444 -0,021660849
24 Pseudostomatella papyracea 2 0,00390625 -5,545177444 -0,021660849
25 Barbatia bistrigata 3 0,005859375 -5,139712336 -0,030115502
26 Ciboticola lunata 1 0,001953125 -6,238324625 -0,012184228
27 Marcia hiantina 3 0,005859375 -5,139712336 -0,030115502
28 Stomopneustes variolaris 4 0,0078125 -4,852030264 -0,037906486
29 Ophiothrix fragilis 20 0,0390625 -3,242592351 -0,126663764
30 Ophionereis dubia 173 0,337890625 -1,085033031 -0,366622489
31 Ophiocoma scolopendrina 26 0,05078125 -2,980228087 -0,151339708
32 Ophiocoma echinata 55 0,107421875 -2,23099144 -0,239657284
33 Loxorhynchus sp. 2 0,00390625 -5,545177444 -0,021660849
34 Pagurus sp. A 13 0,025390625 -3,673375268 -0,093269294
35 Pagurus sp. B 10 0,01953125 -3,935739532 -0,076869913
36 Pagurus sp. C 3 0,005859375 -5,139712336 -0,030115502
Page 111
98
37 Pagurus sp. D 1 0,001953125 -6,238324625 -0,012184228
38 Pagurus sp. E 2 0,00390625 -5,545177444 -0,021660849
39 Pagurus sp. F 2 0,00390625 -5,545177444 -0,021660849
∑ 512 -2,53
H’ = - ∑ (Pi ln Pi)
H’ = - (-2,53) = 2,53
E. Perhitungan Indeks Dominansi Makrozoobenthos
Tabel 7.8 Perhitungan Indeks Dominansi Makrozoobenthos
Jumlah Individu (N) 512
C 0,15
D = 1 – C
D = 1 – 0,15 = 0,85
Page 112
99
Lampiran 6
Dokumentasi Penelitian Lapangan
1. Orientasi medan dan pembuatan plot pengamatan (11 Mei 2015)
(a) (b) (c)
Gambar 7.3 (a) kondisi pantai Batu Kukumbung; (b) pengamatan tidepool;
dan (c) pembuatan plot pengamatan 1x1 m
2. Pembuatan transek pengamatan
Gambar 7.4 Pembuatan transek pengamatan
3. Pengukuran data fisik perairan
(a) (b) (c)
Gambar 7.5 (a) pengukuran kedalaman tidepool; (b) pengukuran suhu udara;
dan (c) pengukuran suhu perairan
Page 113
100
4. Pengambilan data kimia perairan
(a) (b)
Gambar 7.6 (a) pengambilan data pH perairan; (b) pengambilan sampel air
untuk pengukuran DO
5. Pengambilan data biologi
(a) (b) (c)
(d) (e)
Gambar 7.7 (a) pengamatan tidepool dengan plot; (b) dan (c) pengambilan data
makrozoobenthos; (d) pendataan makroalga; (e) pendataan biota lain dalam
tidepool
Page 114
101
6. Tidepool pengamatan
(a) (b) (c)
(d) (e) (f)
(g) (h) (i)
(j) (k) (l)
Page 115
102
(m) (n) (o)
(p)
Gambar 7.8 Tidepool pengamatan (tidepool 1 – 16)
Page 116
103
Lampiran 7
Dokumentasi Penelitian Laboratorium
1. Pengukuran data fisik perairan
Gambar 7.9 Pengukuran data salinitas dan konduktivitas dengan SCT Meter
2. Pengukuran data kimia perairan
Gambar 7.8 Pengukuran pH air dengan pH indikator
Gambar 7.10 Kegiatan titrasi sampel air untuk menentukan nilai DO
Page 117
104
Lampiran 8
Dokumentasi Tim Ekologi Perairan dan Peserta KKL 2015
Gambar 7.11 Tim ekologi perairan Kuliah Kerja Lapangan 2015
Gambar 7.12 Peserta Kuliah Kerja Lapangan Biologi UNPAD 2015
(Angkatan 2012)