Top Banner
1 STRATEGI TERPADU PENANGANAN PERMUKIMAN BANTARAN KANAL BANJIR TIMUR DI KOTA SEMARANG Integrated Stratetegic Arrangement Of The Riverbanks Settlement Of East Flood Canal In Semarang City Nino Heri Setyoadi Balai Litbang Penerapan Teknologi Permukiman Puslitbang Kebijakan dan Penerapan Teknologi Balitbang PUPR Jalan Laksda Adisucipto No.165 Yogjakarta 55281 Email : [email protected] ABSTRACT East Flood Canal handling of Semarang will not be effective without arranging illegal settlements on the riverbanks of east flood canal. Settlements arrangement on the riverbanks of east flood canal should be a priority. Settlements arrangement on the riverbanks has not been optimal. The pattern of arrangement is still sporadic, not well planed, and lack of effective coordination. This paper is designed to provide policy advice and strategies to enhance effectiveness of the settelement arrangement on the riverbanks of east flood canal. The data collection was done with secondary data documentation, indepth interviews, and observations of the condition of settlement. To analyze the data, the methods used are the technique of multi- criteria evaluation and analysis of qualitative data. In order to improve the effectiveness of the settlement arrangement, priority locations starting from the village area of Peterongan, Kedungmundu and Lamper Tengah. For the area is dominated by residential area, recommended strategy is relocating to the apartment. For the area is dominated by business activities, strategy recommended is relocating to the center of street vendors or traditional markets. For the area with a combination of residential and business activities, the recommended strategy is to integrate appartment with the center of street vendors or traditional markets in an integrated area or to ensure ease of access between appartment with the center of street vendors or traditional markets. Keywords : settlements arrangement, illegal settlement, relocation, appartment and traditional market ABSTRAK Upaya penanganan Kanal Banjir Timur kota Semarang tidak akan efektif tanpa menata permukiman di bantaran kanal banjir timur. Penataan permukiman di bantaran kanal banjir timur harus menjadi prioritas penanganan banjir kota Semarang. Penanganan permukiman bantaran kanal banjir timur selama ini belum optimal. Pola penanganan masih sporadis, belum terencana, dan belum terkoordinasi dengan efektif. Tulisan ini disusun untuk memberikan masukan kebijakan dan strategi dalam meningkatkan efektifitas penanganan permukiman bantaran kanal banjir timur. Metode pengumpulan data yang dilakukan berupa dokumentasi data sekunder, wawancara mendalam, dan pengamatan kondisi permukiman. Analisis data menggunakan teknik multi criteria evaluation dan analisis data kualitatif. Untuk meningkatkan efektifitas maka lokasi prioritas penanganan dimulai dari wilayah kelurahan Peterongan, Kedungmundu dan Lamper Tengah. Untuk wilayah dengan dominasi hunian strategi yang dilakukan berupa relokasi ke rumah susun. Pada wilayah yang di dominasi oleh kegiatan usaha, strategi yang dilakukan berupa relokasi ke sentra PKL/pasar tradisional. Wilayah dengan kombinasi antara hunian dan kegiatan usaha strategi yang dilakukan adalah mengintegrasikan rumah susun dengan sentra PKL/pasar tradisional di suatu kawasan terpadu atau dengan menjamin kemudahan akses antara rumah susun dengan sentra PKL/pasar tradisional. Kata Kunci : penanganan permukiman, permukiman ilegal, relokasi, rumah susun dan pasar tradisional
10

STRATEGI TERPADU PENANGANAN PERMUKIMAN BANTARAN …

Oct 24, 2021

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: STRATEGI TERPADU PENANGANAN PERMUKIMAN BANTARAN …

1

STRATEGI TERPADU PENANGANAN PERMUKIMAN BANTARAN KANAL

BANJIR TIMUR DI KOTA SEMARANG

Integrated Stratetegic Arrangement Of The Riverbanks Settlement Of East

Flood Canal In Semarang City

Nino Heri Setyoadi

Balai Litbang Penerapan Teknologi Permukiman Puslitbang Kebijakan dan Penerapan Teknologi Balitbang PUPR

Jalan Laksda Adisucipto No.165 Yogjakarta 55281 Email : [email protected]

ABSTRACT

East Flood Canal handling of Semarang will not be effective without arranging illegal settlements on the riverbanks of east

flood canal. Settlements arrangement on the riverbanks of east flood canal should be a priority. Settlements arrangement on

the riverbanks has not been optimal. The pattern of arrangement is still sporadic, not well planed, and lack of effective

coordination. This paper is designed to provide policy advice and strategies to enhance effectiveness of the settelement

arrangement on the riverbanks of east flood canal. The data collection was done with secondary data documentation, indepth

interviews, and observations of the condition of settlement. To analyze the data, the methods used are the technique of multi-

criteria evaluation and analysis of qualitative data. In order to improve the effectiveness of the settlement arrangement,

priority locations starting from the village area of Peterongan, Kedungmundu and Lamper Tengah. For the area is dominated

by residential area, recommended strategy is relocating to the apartment. For the area is dominated by business activities,

strategy recommended is relocating to the center of street vendors or traditional markets. For the area with a combination of

residential and business activities, the recommended strategy is to integrate appartment with the center of street vendors or

traditional markets in an integrated area or to ensure ease of access between appartment with the center of street vendors or

traditional markets.

Keywords : settlements arrangement, illegal settlement, relocation, appartment and traditional market

ABSTRAK

Upaya penanganan Kanal Banjir Timur kota Semarang tidak akan efektif tanpa menata permukiman di bantaran kanal

banjir timur. Penataan permukiman di bantaran kanal banjir timur harus menjadi prioritas penanganan banjir kota

Semarang. Penanganan permukiman bantaran kanal banjir timur selama ini belum optimal. Pola penanganan masih

sporadis, belum terencana, dan belum terkoordinasi dengan efektif. Tulisan ini disusun untuk memberikan masukan

kebijakan dan strategi dalam meningkatkan efektifitas penanganan permukiman bantaran kanal banjir timur. Metode

pengumpulan data yang dilakukan berupa dokumentasi data sekunder, wawancara mendalam, dan pengamatan kondisi

permukiman. Analisis data menggunakan teknik multi criteria evaluation dan analisis data kualitatif. Untuk meningkatkan

efektifitas maka lokasi prioritas penanganan dimulai dari wilayah kelurahan Peterongan, Kedungmundu dan Lamper

Tengah. Untuk wilayah dengan dominasi hunian strategi yang dilakukan berupa relokasi ke rumah susun. Pada wilayah yang

di dominasi oleh kegiatan usaha, strategi yang dilakukan berupa relokasi ke sentra PKL/pasar tradisional. Wilayah dengan

kombinasi antara hunian dan kegiatan usaha strategi yang dilakukan adalah mengintegrasikan rumah susun dengan sentra

PKL/pasar tradisional di suatu kawasan terpadu atau dengan menjamin kemudahan akses antara rumah susun dengan

sentra PKL/pasar tradisional.

Kata Kunci : penanganan permukiman, permukiman ilegal, relokasi, rumah susun dan pasar tradisional

Page 2: STRATEGI TERPADU PENANGANAN PERMUKIMAN BANTARAN …

2

PENDAHULUAN

Kanal Banjir Timur (KBT) merupakan bagian sistem pengendalian banjir/drainase kota Semarang yang dibangun pada tahun 1896 – 1903. KBT di bangun untuk melindungi wilayah Semarang bagian Timur serta kawasan Pelabuhan Semarang. KBT merupakan salah satu bagian dari sistem drainase Semarang Timur yang terdiri dari 5 segmen saluran meliputi KBT, kali Tenggang, kali Sringin, kali Babon dan kali Pedurungan. KBT memiliki luas daerah aliran sungai (DAS) sebesar 3.704,80 ha. Kondisi KBT saat ini sudah tak mampu lagi menampung debit banjir yang ada. Terakhir pada akhir Maret 2015 lalu, KBT meluap hingga menggenangi daerah pemukiman di sekitarnya. Berkurangnya kapasitas KBT tersebut diakibatkan tingginya sedimentasi, pemanfaatan ruang sungai yang tidak tepat, serta banyaknya sampah (Adijaya et al, 2015)

Untuk mengembalikan fungsi utama KBT sebagai floodway di wilayah Semarang timur, ada beberapa upaya yang akan dilakukan. Berdasarkan rencana induk drainase kota Semarang, beberapa upaya tersebut meliputi ; pengerukan sedimen dan pembersihan saluran dari sampah dan tumbuhan liar, perbaikan tanggul di kanan kiri kali KBT dari Jalan Brigjen Sudiarto sampai muara, penurunan debit yang masuk ke KBT dengan membangun 4 embung masing–masing 2 embung di Kelurahan Sambiroto seluas 6,19 ha dan 0,49 ha, Kelurahan Mangunharjo seluas 0,2 ha, dan Kelurahan Jangli seluas 3,86 ha, dalam jangka panjang, setelah Kali Dombo-Sayung difungsikan, pintu air di Bendung Pucanggading ke Banjir Kanal Timur ditutup. Banjir Kanal Kebon Batur dibalik arah alirannya, semula dari Kali Dolok ke Kali Penggaron menjadi dari kali Penggaron ke Kali Dolok, dan kapasitas kali Dolok Hilir ditingkatkan, penataan bangunan-bangunan liar disepanjang sungai dan meningkatkan keterlibatan dan peran serta masyarakat dalam operasi dan pemeliharaan drainase dan pengembangan prasarana pemanenan air hujan.

Berbagai upaya teknis tidak akan efektif tanpa adanya kesungguhan dalam menata permukiman ilegal di sepanjang KBT. Permasalahan utama dalam penanganan KBT berupa problem sosial permukiman ilegal di sepanjang bantaran KBT. Dalam data yang tercatat di Dinas PSDA Provinsi Jawa Tengah terdapat 4097 bangunan/bidang liar tersebar di sepanjang

KBT. Permukiman ilegal di bantaran KBT di dipadati penduduk dengan berbagai kegiatan sektor informal seperti PKL, pedagang barang bekas (BARITO), karaoke liar (Jl. Unta Raya), pengrajin bata dan ternak kerbau (Sambirejo) dan sektor formal buruh, nelayan (Tanjung Mas). Bangunan yang berada di bantaran KBT bersifat darurat, semi permanen dan permanen dengan ukuran yang bervariasi mulai dari 3 x 3 meter hingga 12 x 10 meter.

Dalam penanganan permukiman ilegal di KBT, pemerintah kota Semarang berencana untuk melakukan penataan menyeluruh dengan merelokasi warga dari bantaran KBT. Permukiman ilegal di KBT di setiap kelurahan memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut perlu dipahami secara lebih obyektif supaya dapat dicapai kebijakan dan strategi penanganan yang lebih efektif. Dalam melakukan upaya penataan permukiman bantaran KBT, dibutuhkan strategi yang tepat meliputi pemilihan lokasi prioritas penanganan, strategi penanganan dan tahapan penanganan.

Selama ini, upaya penanganan permukiman bantaran KBT belum optimal yang ditunjukkan dengan beberapa hal. Pola penanganan masih sporadis dan belum terkoordinasi dengan baik sebagai contoh dalam penanganan kelurahan Pandean Lamper. Upaya penanganan permukiman liar bantaran KBT di Pandean Lamper selama ini terhambat oleh ulah para oknum aparat dan preman-preman yang menjadi backing kegiatan usaha seperti karaoke liar dan panti pijat. Selain itu sambungan instalasi listrik PLN juga telah menghambat upaya penertiban karena memanfaatkan program bantuan listrik untuk masyarakat. Untuk itu diperlukan penyatuan pemahaman dan koordinasi/kerjasama lebih intensif didalam jajaran pemerintah kota Semarang dan institusi lain seperti PLN, Kepolisian, dan sebagainya.

Berdasarkan permasalahan tersebut, tulisan ini disusun untuk memberikan masukan kebijakan dalam meningkatkan efektifitas penanganan permukiman bantaran KBT. Dalam penanganan bantaran KBT kota Semarang membutuhkan strategi penanganan yang sistematis sehingga memberikan dampak perubahan yang signifikan. Pertama, strategi yang harus diputuskan berupa pemilihan lokasi prioritas penanganan. Lokasi prioritas tersebut harus menjadi wilayah

Page 3: STRATEGI TERPADU PENANGANAN PERMUKIMAN BANTARAN …

3

percontohan yang memiliki dampak positif signifikan terhadap wilayah-wilayah bantaran KBT lainnya. Kedua, perumusan strategi penanganan berdasarkan karakteristik masing-masing permukiman bantaran KBT berbasiskan klusterisasi pemanfaatan bangunan/lahan dan jenis-jenis kegiatan usaha. Ketiga menyusun tahapan-tahapan penanganan agar para pelaksana dapat menjalankan upaya penataan secara efektif berdasarkan kemampuan dan sumberdaya yang tersedia.

METODE

Dalam menjawab tujuan penelitian, metode yang digunakan disesuaikan dengan masing-masing tujuan. Untuk memilih lokasi prioritas penanganan, metode yang digunakan berupa multi criteria evaluation (MCE) yang dikombinasikan dengan analisis data kualitatif. Pertimbangan pemilihan lokasi dengan MCE didasarkan pada aspek fisik permukiman dengan 3 (tiga) kriteria utama yang dipertimbangkan berupa ; luas wilayah permukiman, kondisi fisik bangunan/lahan, dan kompleksitas peruntukkan bangunan/lahan.

Asumsi dasar kriteria luas permukiman adalah semakin besar luas wilayah bangunan/lahan yang harus ditangani maka semakin besar resiko sosial dan tingkat kesulitannya. Asumsi dasar dari kondisi bangunan (darurat, semi permanen, permanen) adalah semakin permanen kondisi bangunan yang ada maka semakin besar resiko dan biaya untuk pembongkaran bangunan tersebut. Untuk kriteria peruntukkan bangunan asumsi dasarnya adalah untuk hunian murni atau usaha murni di asumsikan lebih mudah ditangani dibandingkan dengan campuran/kombinasi hunian dan ruang usaha. Penduduk yang murni menempati bantaran KBT cenderung membutuhkan hunian baru sebagai solusi seperti rumah susun. Peduduk yang hanya menggunakan bangunan untuk kios/toko lebih membutuhkan ruang usaha baru seperti sentra PKL atau pasar tradisional sesuai dengan jenis komoditas yang mereka jual belikan.

Selanjutnya hasil perhitungan lokasi prioritas selanjutnya di analisis secara kualitatif dengan melihat tingkat kesiapan warga KBT, tingkat dukungan masyarakat terdampak banjir, peran tokoh dan aparat pemerintah tingkat kelurahan/kecamatan sebagai ujung tombak pemerintah kota.

Perumusan strategi dan tahapan penanganan permukiman KBT menggunakan analisis data kualitatif. Pada tahap ini, data permukiman dibedakan berdasarkan jenis pemanfaatan bangunan/lahan dan kegiatan usaha. Adapun klusterisasi yang ditetapkan berupa kategori hunian murni, ruang usaha dan kombinasi antara hunian dan ruang usaha. Perbedaan kategori pemanfaatan bangunan/lahan dan kegiatan usaha tersebut mencerminkan perbedaan kebutuhan ruang dan fungsi yang memfasilitasi kegiatan dominan. Perumusan tahapan penanganan dirumuskan dengan melihat praktik-praktik terbaik proses relokasi diberbagai daerah seperti Surabaya, Bandung, dan sebagainya (bench marking). Dengan mempelajari praktik terbaik tersebut dan dikontekstualisasikan dengan kasus KBT Semarang diharapkan mendapatkan hasil yang positif.

Teknik pengambilan data menggunakan beberapa metode meliputi dokumentasi data sekunder, wawancara mendalam dan pengamatan lapangan. Dokumentasi data sekunder dilakukan di beberapa instansi seperti Dinas PSDA Provinsi Jawa Tengah, BBWS Pemali Juana dan Dinas PSDA ESDM kota Semarang. Wawancara mendalam dilakukan kepada lurah, tokoh warga KBT seperti ketua RT dan RW di kelurahan Pandeyan Lamper, Sambirejo, Kaligawe, Tambakrejo dan Sawah Besar kota Semarang. Sementara untuk pengamatan lapangan dilakukan di kelurahan tersebut dengan mengamati kondisi fisik bangunan, sarana prasarana maupun berbagai aktifitas warga bantaran KBT.

STUDI PUSTAKA

Karakteristik Permukiman Ilegal

Permukiman di bantaran sungai atau kanal banjir merupakan permukiman ilegal (squatters). Meskipun memiliki kesamaan pada ciri-ciri kondisi fisik bangunan dan pelayanan infrastruktur dasar, squatters dibedakan dengan permukiman kumuh (slums area). Dalam berbagai literatur karakteristik squatters ditekankan pada aspek legalitas kepemilikan lahan/bangunan dan pelayanan infrastruktur dasar. Squatters merupakan permukiman yang berasal dari invasi tanah secara paksa dengan melanggar aturan kepemilikan lahan yang berlaku (Navarro and Turnbull, 2013). Dalam UU No 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman

Page 4: STRATEGI TERPADU PENANGANAN PERMUKIMAN BANTARAN …

4

kawasan kumuh merupakan permukiman yang tidak layak huni karena ketidakteraturan bangunan, tingkat kepadatan bangunan yang tinggi, dan kualitas bangunan serta sarana dan prasarana yang tidak memenuhi syarat.

Kemunculan permukiman ilegal seringkali disebabkan oleh proses urbanisasi melalui jalur migrasi penduduk pedesaan ke kota untuk mendapatkan mata pencaharian yang dinilai lebih baik. Dengan keterbatasan ketrampilan yang dimiliki, maka penduduk desa tersebut tidak dapat diterima di sektor-sektor formal pekerjaan di perkotaan. Untuk mempertahankan hidup diperkotaan, mereka melakukan pekerjaan sektor informal seperti pedagang kaki lima, buruh serabutan, tukang becak dan sebagainya. Dengan pendapatan yang kecil, akses mereka ke perumahan formal sangat terbatas, sehingga membuat mereka melakukan okupasi ruang-ruang publik secara ilegal (Navarro and Turnbull, 2013). Dengan demikian fokus penanganan masalah squatters bukan pada kualitas lingkungan atau sarana prasarana namun pada aspek legalitas kepemilikan lahan (secure tenure).

Letak permukiman ilegal di pusat perkotaan yang strategis seringkali menjadi alasan penduduk tetap bertahan meski kondisi lingkungan permukiman terus menurun kualitasnya. Hasil penelitian Sulestianson dan Indrajati (2014) menunjukkan bahwa secara spasial lokasi permukiman kumuh secara spasial memiliki kedudukan penting terhadap kawasan sekitarnya, dekat dengan tempat bekerja penghuni, sehingga biaya transportasi menjadi murah. Dengan demikian mendekatkan tempat hunian dengan lokasi bekerja atau memudahkan aksesibilitasnya harus dipertimbangkan dalam penataan permukiman kumuh.

Penanganan Permukiman Ilegal

Dalam penanganan permukiman ilegal, peran pemerintah daerah sangat besar karena pemerintah daerah yang memiliki pengalaman dan kemampuan lengkap mengenai permukiman ilegal tersebut. Meskipun demikian, kemitraan dengan organisasi-organisasi komunitas yang bergerak dalam pengentasan kaum miskin kota menjadi penting. Peran pemimpin lokal seperti tokoh masyarakat berpotensi menjadi jembatan kemitraan antara pemerintah dan organisasi

komunitas dalam penanganan permukiman ilegal (Sikder et al, 2015).

Dalam penanganan permukiman ilegal, solusi yang dimunculkan supaya komprehensif dan berkelanjutan harus memperhitungkan konteks dan sumberdaya lokal yang tersedia (Sikder el al, 2015). Dengan demikian pelibatan aktor-aktor lokal dengan kemampuan dan sumberdaya yang mereka miliki harus diperhitungkan dalam penanganan permukiman ilegal. Upaya ini diharapkan dapat meningkatkan dukungan dan pemanfaatan sumberdaya lokal untuk mengatasi berbagai hambatan dalam penanganan permukiman ilegal.

Terdapat suatu pemahaman umum bahwa proses permukiman kembali melalui relokasi berdampak negatif secara sosio kultural khususnya pada kasus-kasus seperti pembangunan bendungan besar. Proses relokasi telah mencerabut masyarakat dari akar dan ikatan sosial budaya yang sudah terbangun lama (Galipeau, et al, 2013). Selain itu dalam proses relokasi sangat penting memperhatikan dampak terhadap tingkat pendapatan. Upaya rehabilitasi dan restorasi pendapatan dan peningkatan kapasitas adaptasi harus dilakukan agar kondisi ekonomi warga yang direlokasi tidak menjadi lebih buruk dari kondisi sebelumnya (Modi, 2011). Kajian yang dilakukan oleh Rianto (2012) menunjukkan hasil yang sebaliknya, upaya rekolasi yang di dahului dengan tuntasnya pembebasan lahan justru meningkatkan kesejahteraan penduduk dilihat dari aspek pekerjaan, kepemilikan aset rumah tangga dan akses ke pelayanan publik.

Pengalaman peningkatan kulitas permukiman informal secara in situ di Cape Town Afrika Selatan tanpa dukungan lingkungan sekitar justru meningkatkan ketegangan antar komunitas. Keberhasilan proses peningkatan kualitas permukiman informal tidak saja terletak pada peningkatan kapasitas penduduk yang ditata, namun juga pada komunitas lingkungan sekitar dan infrastruktur dasarnya (Shortt dan Hammett, 2013). Dengan demikian, upaya penataan permukiman ilegal harus mendapatkan dukungan dari lingkungan sekitar yang menempati permukiman formal.

Pada kasus relokasi ruang usaha seperti pasar tradisional atau PKL maka beberapa kajian bisa menjadi rujukan. Penelitian oleh Hanifah dan

Page 5: STRATEGI TERPADU PENANGANAN PERMUKIMAN BANTARAN …

5

Musaddun (2014) terkait relokasi PKL secara fisik dari sudut pandang pedagang dinilai berhasil makanala lokasi relokasi dekat dengan tempat tinggal dan sarana prasarana yang memuaskan. Keberhasilan secara fisik juga harus diikuti dengan keberhasilan secara ekonomi meliputi peningkatan omset dan keuntungan serta retribusi yang terjangkau. Sementara untuk faktor-faktor yang dapat menghambat proses relokasi PKL meliputi kurang akuratnya pendataan pedagang, kelayakan tempat usaha yang baru dan keterjangkauan sewa kios/los/lapak untuk pedagang (Dewi, 2015).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Profil Permukiman Bantaran KBT

Permukiman di bantaran KBT berdasarkan data inventarisasi pendataan bangunan tahun

2015 oleh Dinas PSDA Provinsi Jawa Tengah di sepanjang bantaran KBT dan hasil survey yang sudah dilakukan meliputi 7 wilayah kecamatan yang terdiri dari 19 kelurahan. Perkiraan luasan wilayah bantaran tersebut secara keseluruhan seluas 144.898,70 m2. Kecamatan dengan permukiman bantaran paling luas KBT adalah Kecamatan Gayamsari dengan luasan sebesar 45.647 m2. Wilayah kedua adalah kecamatan Semarang Timur dengan luas 39.396 m2, kecamatan ketiga adalah kecamatan Pedurungan dengan luas 29.912 m2. Kemudian 4 kecamatan lain mempunyai luas lebih kecil dari pada ketiga kecamatan tersebut, yaitu kecamatan Semarang Selatan dengan luasan 14.669 m2, Tembalang dengan luasan wilayah 7.467m2, Semarang Utara dengan luasan 6.259m2, dan kecamatan Genuk seluas 1.548 m2. Gambaran secara spasial wilayah permukiman KBT dapat dilihat pada gambar 1.

Gambar 1. Peta Permukiman KBT Sumber : PKPT, 2016

Page 6: STRATEGI TERPADU PENANGANAN PERMUKIMAN BANTARAN …

6

Jumlah bangunan berdasarkan pendataan oleh Dinas PSDA dalam dokumen inventarisasi pendataan bangunan di bantaran Kanal Banjir Timur secara keseluruhan berjumlah 3.787 unit bangunan. Kecamatan dengan bangunan terdampak terbanyak adalah di Kecamatan Semarang Timur dengan jumlah 1616 unit bangunan, diikuti Kecamatan Gayamsari dengan 958 unit, dan Kecamatan Pedurungan dengan 521 unit bangunan. Kecamatan dengan unit bangunan di bantaran KBT paling sedikit ada di Kecamatan Genuk dengan 53 unit bangunan.

Berdasarkan data, jumlah bangunan di bantaran KBT terbagi menjadi beberapa kondisi rumah yaitu darurat (rumah non permanen) berjumlah 80 unit, rumah semi permanen 2.034 unit, dan rumah permanen 1.624 unit. Dari data tersebut, terlihat bahwa kebanyakan bangunan di bantaran KBT berupa bangunan permanen. Jumlah bangunan rumah permanen dan semi permanen terbanyak terdapat di Kecamatan Semarang Timur, sedangkan paling sedikit dijumpai pada Kecamatan Genuk. Bangunan-bangunan tersebut tidak hanya digunakan sebagai hunian rumah, beberapa diantaranya digunakan sebagai tempat usaha (kios, warung, bengkel, gudang dan sebagainya).

Gambar 2. Kondisi Bangunan Permukiman KBT

sumber : PKPT, 2016

Berdasarkan peruntukkan atau pemanfaatan lahan dan bangunan, terdapat 2 (dua) kategori besar yakni bangunan dan lahan yang dimanfaatkan hanya sebagai hunian dan bangunan/lahan yang dimanfaatkan sebagai hunian dan non hunian (ruang usaha, kios/toko, warung makan, tempat hiburan, fasum/fasos serta

lahan kosong). Warga KBT yang memanfaatkan bangunan dan lahan hanya sebagai hunian saja sejumlah 1869 KK yang tersebar di berbagai wilayah bantaran KBT. Mayoritas hunian ini berada di kecamatan Semarang Timur khususnya di kelurahan Pandean Lamper, kecamatan Pedurungan (Gemah), kecamatan Gayamsari (Sambirejo) dan Semarang Utara (Tanjung Mas). Sementara warga bantaran KBT yang memanfaatkan bangunan dan lahan untuk hunian dan ruang usaha serta yang murni sebagai tempat usaha memiliki beberapa variasi jenis usaha. Variasi jenis usaha tersebut meliputi kios/toko yang menjual berbagai macam kebutuhan dan jasa seperti menjual sembako, sayuran, pulsa dan aksesoris HP, elektronik, onderdil kendaraan, gas elpiji, bengkel kendaraan dan tukang cukur dan sebagainya. Berdasarkan wilayahnya, warga bantaran KBT yang bergantung dari berbagai jenis usaha penjualan barang dan jasa di KBT meliputi wilayah kecamatan Semarang Timur, Gayamsari, Semarang Selatan, Semarang Utara (PKPT, 2016).

Gambar 3. Peruntukkan Bangunan/Lahan KBT Sumber : PKPT, 2016

Pengidupan warga bantaran KBT Semarang dapat diamati dari peruntukkan bangunan dan lahan yang dimanfaatkan selama ini. Warga yang memanfaatkan bangunan dan lahan hanya sebagai hunian memiliki mata pencaharian yang bervariasi. Secara umum bekerja sebagai pemulung sampah, buruh serabutan, buruh pabrik, tukang batu, tukang becak, dan pengangguran. Khusus di wilayah Tanjung Mas banyak berprofesi sebagai nelayan atau pembudidaya ikan. Sebagaimana di jelaskan sebelumnya penghidupan warga yang memanfaatkan bangunan dan lahan untuk ruang usaha memiliki mata pencaharian bervariasi mulai

Page 7: STRATEGI TERPADU PENANGANAN PERMUKIMAN BANTARAN …

7

dari pedagang, jasa, pengrajin industri kecil dan sebagainya (PKPT, 2016).

Strategi dan Tahapan Penanganan

Dalam penanganan bantaran KBT kota Semarang membutuhkan strategi penanganan yang sistematis sehingga memberikan dampak perubahan yang signifikan. Salah satu strategi yang harus diputuskan berupa pemilihan lokasi prioritas penanganan. Lokasi prioritas tersebut harus menjadi wilayah percontohan yang memiliki dampak positif signifikan terhadap wilayah-wilayah bantaran KBT lainnya. Dalam memilih lokasi prioritas terdapat beberapa pertimbangan utama berupa lokasi yang dipilih memiliki resiko minimal baik secara fisik, sosial dan ekonomi dan memiliki potensi keberhasilan paling tinggi.

Berdasarkan analisis multi kriteria evaluasi dan analisis data kualitatif maka dapat di susun lokasi prioritas penanganan dan tahapan per lokasi. Adapun lokasi-lokasi tersebut dapat dilihat dalam tabel 1.

Tabel 1. Pemilihan Lokasi Prioritas

Sumber : Dinas PSDA, 2015

Lokasi prioritas tahap I di kelurahan Peterongan, Kedungmundu dan Lamper Tengah. Ketiga kelurahan tersebut berada di kecamatan Semarang Selatan. Ketiga lokasi ini dipilih karena memiliki resiko sosial ekonomi lebih kecil dibanding wilayah lainnya. Selain itu ketiga wilyah tersebut memiliki kesamaan karakteristik berada di antara pusat kota dan wilayah Semarang atas. Pelaksanaan relokasi di wilayah ini diharapkan berjalan dengan lancar dan berhasil sehingga memberikan dampak signifikan kepada wilayah-wilayah lain untuk mengikuti proses yang sama.

Lokasi prioritas tahap II di kelurahan Terboyo Kulon, Tanjung Mas dan Bugangan. Ketiga wilayah ini memang berada di kecamatan yang berbeda-beda, namun memiliki karakteristik yang hampir sama. Ketiga wilayah tersebut berada di daerah pesisir sehingga pendekatannya akan berbeda dengan wilayah lainnya. Lokasi prioritas tahap III di kelurahan-kelurahan di wilayah kecamatan Gayamsari ditambah dengan kelurahan Karangtempel dan Pandean Lamper. Wilayah ini merupakan wilayah paling berat untuk di tangani berdasarkan data-data dalam tabel maupun dari pengalaman selama ini. Namun dengan asumsi tahap I dan II berjalan dengan sukses, diharapkan warga KBT di wilayah ini akan tergerak untuk mengikuti proses relokasi secara mantap. Lokasi prioritas tahap IV di kelurahan-kelurahan yang belum dilakukan relokasi di tahap I – III seperti Rejosari, Mlatiharjo, Kemijen, Pedurungan Kidul, Gemah dan Sendaguwo. Proses pelaksaan di wilayah terakhir ini diharapkan bisa lebih mudah karena diasumsikan pemerintah kota sudah berpengalaman matang dalam melaksanakan proses-proses relokasi.

Pada kelurahan-kelurahan yang warga bantaran KBT memanfaatkan bangunan/lahan dominan untuk hunian seperti di kelurahan Peterongan, Kedungmundu (kec. Semarang Selatan ), Terboyo Kulon (kec. Genuk), Pedurungan Kidul dan Gemah (kec. Pedurungan), Sendangguwo (kec. Tembalang) serta Tanjung Mas (kec. Semarang Utara) maka strategi penanganan yang dilakukan berupa relokasi ke rumah susun. Berdasarkan hasil wawancara dengan warga bantaran KBT, mereka tidak memiliki hunian selain yang ditempati saat ini. Oleh karena itu jika hendak di relokasi maka solusinya hunian diganti dengan hunian seperti rumah susun. Pada kelurahan dimana warga bantaran KBT dominan memanfaatkan bangunan/lahan untuk ruang usaha seperti kios/toko dan gudang seperti kelurahan Lamper Tengah dan Sambirejo (kec. Semarang Selatan), Karangtempel, Rejosari, Bugangan, dan Kemijen (kec. Semarang Timur) maka perlu strategi relokasi ke sentra-sentra PKL baru atau pasar tradisional berbasis klusterisasi komoditas. Pada wilayah kelurahan dengan penggunaan campuran antara hunian dan ruang usaha seperti kelurahan-kelurahan di kecamatan Gayamsari dan sebagian Semarang Timur (kelurahan Pandean Lamper dan Mlatiharjo) maka dibutuhkan integrasi atau kemudahan akses

Page 8: STRATEGI TERPADU PENANGANAN PERMUKIMAN BANTARAN …

8

Tahapan Aktifitas Hasil Yang Diharapkan

Perencanaan Pendataan dan pemetaan profil permukiman ilegal sepanjang KBT

Profil permukiman yang akurat untuk analisis pengambilan keputusan

Penyusunan Land Acquisition and Resettlement Action Plan (LARAP)

Dokumen LARAP yang legitimate

Penyusunan DED Rumah Susun dan Sentra PKL/Pasar Tradisional

DED Rusun dan Sentra PKL/Pasar Tradisional yang legitimate

Pelaksanaan Pembangunan rumah susun dan sentra PKL / Pasar Tradisional

Rusun dan Sentra PKL/Pasar Tradisional yang layak dan terjangkau

Sosialisasi rencana relokasi warga KBT Kesepakatan bulat seluruh pihak terkait rencana relokasi

Penyiapan calon penghuni dan pengelola rumah susun

Meningkatkan kapasitas adaptasi calon penghuni rusun dan kompetensi pengelola rusun

Persiapan pembongkaran bangunan (waktu jeda)

Semua properti warga yang akan di pindahkan sudah siap dipindahkan

Pelaksanaan rekolasi dan pembongkaran bangunan

Proses relokasi dan pembongkaran bangunan berlangsung kondusif

Penghunian dan Operasional Rusun dan Sentra PKL/Pasar

Pendayagunaan rumah susun dan sentra PKL/pasar tradisional yang dijalankan dengan program pemberdayaan sosial ekonomi

Meningkatnya kondisi penghidupan warga KBT dibandingkan ketika tinggal di KBT

Monitoring dan Evaluasi Pasca Relokasi

Melakukan evaluasi guna melihat perbaikan / peningkatan taraf penghidupan warga KBT

Rekomendasi perbaikan program pemberdayaan dan operasional rusun dan sentra PKL/pasar yang efektif

antara relokasi hunian dengan sentra PKL/Pasar. Jika masih terdapat lahan yang memungkinkan maka dapat di bangun rumah susun yang terintegrasi dengan ruang usaha seperti sentra PKL di dalam satu kawasan terpadu.

Upaya penanganan permukiman bantaran KBT dilaksanakan dengan memperhatikan

tahapan-tahapan yang jelas dan terukur. Tahapan-tahapan penanganan permukiman ilegal KBT meliputi tahap perencanaan, tahapan pelaksanaan relokasi, tahap penghunian rumah susun dan operasional sentra PKL/Pasar Tradisonal serta monitoring dan evaluasi pasca relokasi. Gambaran tahapan penanganan permukiman ilegal dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Tahapan Penanganan

Sumber : Analisis Peneliti, 2016

Pada kegiatan di setiap tahapan dibutuhkan strategi yang sesuai. Pada kegiatan pemetaan, aspek yang dipetakan meliputi kondisi fisik bangunan, karakteristik usaha, kependudukan, kepemilikan aset dan sebagainya. Pemetaan melibatkan peran tokoh setempat yang sudah mengenal baik karakteristik lokasi sehingga hasilnya akurat sebagai bahan analisis pengambilan keputusan. Pemetaan karakteristik usaha harus mampu mengidentifikasi jenis usaha, ikatan jenis usaha dengan lokasi, ikatan jenis usaha dengan pelanggan, dan jejaring antar komoditas. Jika dilihat dari data jenis usaha, kelompok usaha seperti penjual onderdil kendaraan, bengkel kendaraan, alat-alat dan perkakas rumah tangga dapat di satukan dalam satu sentra PKL. Jenis usaha lain yang dapat di satukan bersama dengan kelompok tersebut bisa

berupa usaha warung makan, konter hp/pulsa, dan warung barang pecah belah. Namun untuk jenis usaha penjualan satwa, pemotongan ayam, penjual ikan hias ditempatkan pada sentra PKL yang berbeda.

Dalam penyusunan LARAP dan DED dibutuhkan koordinasi yang efektif antar SKPD seperti Bappeda, Dinas Tata Kota, dan Dinas Pasar. Lokasi untuk relokasi penduduk dan kegiatan usaha harus mudah diakses oleh penduduk. Penyediaan transportasi murah dan khusus untuk warga relokasi akan sangat membantu mengurangi beban pengeluaran rumah tangga. Penyediaan sarana dan prasarana di rumah susun dan sentra PKL/pasar tradisional yang layak dan terjangkau akan memudahkan kegiatan rumah tangga dan usaha seperti listrik, air minum, sanitasi dan telekomunikasi.

Page 9: STRATEGI TERPADU PENANGANAN PERMUKIMAN BANTARAN …

9

Pada proses sosialisasi rencana relokasi, melibatkan unsur SKPD terkait, Dinas PSDA Jateng dan BBWS Pemali Juana. Sosialisasi harus memanfaatkan semua kanal media yang otoritatif termasuk media sosial yang resmi. Peran penduduk sekitar KBT yang selama ini menjadi korban banjir guna memberikan dukungan terhadap proses relokasi juga penting dalam proses sosialisasi ini. Dengan dukungan dari warga kota terhadap proses relokasi akan meningkatkan legitimasi sekaligus kekuatan sosial politik bagi pemerintah kota Semarang.

Warga bantaran KBT juga harus disiapkan dahulu sebelum pindah ke rumah susun melalui pelatihan yang interaktif, simulasi penghunian dan kunjungan ke rusun yang beroperasi dengan optimal. Dengan penyiapan ini diharapkan warga bantaran KBT telah memiliki kapasitas adaptasi minimal untuk menghuni dan mendayagunakan rumah susun secara benar. Selain itu pemerintah kota juga harus menyiapkan calon pengelola rumah susun agar memiliki kompetensi minimal agar mampu mengelola rumah susun secara profesional.

Ketika proses relokasi akan berlangsung, dibutuhkan waktu jeda kepada warga agar dapat melakukan berbagai persiapan seperti mengemasi barang-barang dan dokumen penting. Pemerintah kota dapat menawarkan bantuan melalui petugas untuk ikut membantu pengemasan dan pemindahan barang-barang penting tersebut. Selain itu pemerintah kota dapat menyediakan jasa transportasi pemindahan secara gratis. Pendekatan budaya dapat dilakukan pada proses relokasi. Sebelum relokasi dan pembangkaran bangunan di bantaran KBT maka didahului dengan pendekatan budaya seperti kirab dan selamatan pindahan warga KBT. Pendekatan ini akan menghilangkan kesan bahwa relokasi dan pembongkaran bangunan merupakan “penggusuran yang tidak manusiawi”.

Pasca relokasi, untuk memastikan peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan warga bantaran KBT maka harus dilakukan program pemberdayaan sosial ekonomi yang sistematis. Program ini dilakukan untuk memulihkan kondisi ekonomi khususnya tingkat pendapatan rumah tangga dan pelayanan sosial seperti pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Pada tahap ini pemerintah kota dapat menggalang kemitraan dengan berbagai pihak seperti CSR sehingga

semakin banyak sumberdaya yang dapat membantu kesejahteraan warga pasca relokasi. Upaya tersebut disertai dengan monitoring dan evaluasi agar program pemberdayaan dapat berjalan efektif dan berkelanjutan.

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil dan pembahasan tersebut dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :

1. Lokasi prioritas penanganan bantaran KBT di susun secara bertahap dimulai dari lokasi-lokasi yang memiliki resiko sosial ekonomi paling kecil, kedekatan posisi geografis dan kesamaan karakteristik permukiman.

2. Pada wilayah yang di dominasi oleh hunian, maka strategi yang dilakukan berupa relokasi ke rumah susun yang dilengkapi dengan sarana prasarana permukiman yang layak, terjangkau dan kemudahan akses transportasi ke tempat bekerja/berusaha. Untuk wilayah dengan dominasi ruang usaha maka perlu strategi relokasi ke sentra-sentra PKL atau pasar tradisional baru berbasis klusterisasi komoditas. Sedangkan untuk wilayah dengan penggunaan campuran antara hunian dan ruang usaha dibutuhkan integrasi atau kemudahan akses antara relokasi hunian dengan sentra PKL/pasar tradisional.

3. Tahapan penanganan permukiman bantaran

KBT dimulai dari ; tahap perencanaan yang

meliputi kegiatan pemetaan profil

permukiman, penyusunan LARAP dan DED;

tahap pelaksanaan meliputi kegiatan

pembangunan rumah susun dan sentra

PKL/pasar tradisional, sosialisasi terpadu,

penyiapan calon penghuni dan pengelola

rumah susun, persiapan pembongkaran

bangunan, dan pelaksanaan relokasi dan

pembongkaran bangunan; tahap penghunian

dan operasional rumah susun dan sentra

PKL/pasar tradisional; tahap monitoring dan

evaluasi pasca relokasi.

Untuk meningkatkan keterpaduan seluruh strategi penanganan permukiman bantaran KBT maka dirokemendasikan beberapa hal sebagai berikut :

1. Kepemimpinan penanganan permukiman

bantaran KBT harus dilakukan oleh Walikota

Page 10: STRATEGI TERPADU PENANGANAN PERMUKIMAN BANTARAN …

10

2. Semarang agar upaya penanganan berjalan

efektif dan berkelanjutan.

3. Perlu dibentuk kelompok kerja penanganan permukiman KBT yang berada langsung dibawah kendali Walikota terdiri dari unsur SKPD terkait seperti Bappeda, Dinas Tata Kota, Dinas Pasar dan Dinas PSDA ESDM kota Semarang. Kelompok kerja juga melibatkan Dinas PSDA Provinsi Jawa Tengah dan BBWS Pemali Juana.

4. Melakukan upaya kemitraan khususnya

dengan masyarakat dan swasta yang selama

ini dirugikan akibat banjir KBT untuk

meningkatkan dukungan upaya penanganan

permukiman KBT secara komprehensif.

Selain itu kemitraan dilakukan pada saat

relokasi dan pasca relokasi untuk

menggalang program-program

pemberdayaan bagi warga relokasi KBT yang

menghuni rumah susun dan memanfaatkan

sentra PKL/pasar tradisional.

UCAPAN TERIMAKASIH

Terimakasih kepada tim Advis Teknis PKPT : Penanganan Banjir kota Semarang, para informan dan nara sumber instansi Bappeda, Dinas PSDA ESDM kota Semarang, dan Dinas PSDA Provinsi Jawa Tengah.

A. DAFTAR PUSTAKA Adijaya et al, 2015. Penataan Kanal Banjir Timur

Semarang. Jurnal Karya Teknik Sipil 4 (4) :

313 - 323

Dewi, Mustika, 2015. Resistensi Pedagang

Terhadap Implementasi Kebijakan Relokasi

Pasar Waru Sidoarjo. Jurnal Politik Muda 4

(1) : 126-136

Dinas PSDA Provinsi Jateng, 2015. Dokumen

Inventarisasi Pendataan Bangunan di

Sepanjang Bantaran KBT Tahun 2015

Galipeau, et al, 2013. Dam-Induced Displacement

and Agricultural Livelihoods in China’s

Mekong Basin. Journal of Human Ecology 41

: 437 – 446

Hanifah dan Musaddun, 2014. Penilaian Tingkat

Keberhasilan Relokasi PKL di Kawasan

Pasar Waru dan Simpang Lima, Semarang.

Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota 25 (3)

: 228-242

Modi, Renu, 2011. The Best and the Worst of the

World Bank: Involuntary resettlement and

the Mumbai Urban Transport Project

(MUTP), India. Journal of Development 54

(3) : 400–406

Navarro and Turnbull, 2013. Properti Rights and

Urban Development : Initial Quality Matters

Even When it No Longer Matters. Journal of

Real Estate and Financial Economy 49 : 1 –

22

[PKPT]. Pusat Penelitian dan Pengembangan

Kebijakan dan Penerapan Teknologi. 2016.

Laporan Advis : Kajian Dampak Rencana

Pembangunan Tanggul Laut dan Rencana

Penataan Permukiman Kumuh Bantaran

Kanal Banjir Timur (KBT) Dalam Rangka

Penanganan Banjir Kota Semarang

Republik Indonesia, 2011. Undang-undang Nomor

1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan

Kawasan Permukiman

Rianto, Nanang, 2012. Ujicoba Instrumen

Pengukuran Perubahan Tingkat

Kesejahteraan Masyarakat Pasca

Pembebasan Lahan Untuk Pembangunan

Infrastruktur Pekerjaan Umum Dan

Permukiman. Jurnal Sosial Ekonomi

Pekerjaan Umum 4 (3) : 197 – 206

Shortt and Hammett, 2013. Housing and Health in

an Informal Settlement Upgrade in Cape

Town, South Africa. Journal of Housing and

Built Environment 28 : 615–627

Sikder, Sujit Kumar et, al, 2015. Stakeholders

Participation for Urban Climate Resilience:

A Case of Informal Settlements

Regularization in Khulna City, Bangladesh.

Journal of Urban and Regional Analysis VII

(1) : 5 - 20

Sulestianson dan Indrajati, 2014. Penanganan

Permukiman Kumuh Dengan Karakteristik

dan Faktor Penyebab Kekumuhan (Studi

Kasus : Permukiman Kumuh di Kelurahan

Tamansari dan Kelurahan Braga). Jurnal

Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK ITB

3 (2) : 261 – 270