1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan industri penggilingan padi dimulai sejak akhir tahun 1960. Produksi gabah pada tahun itu melimpah akibat berhasilnya revolusi hijau sehingga diperlukan penggilingan padi untuk mengolah gabah menjadi beras. Pemerintah membangun penggilingan padi karena lebih modern, lebih cepat menyerap gabah dan hasil beras lebih baik dari pada beras tumbuk (Nataatmadja et al. 1988; Sumardi dan Tharir 1993). Sejak tahun 1960 sampai tahun 2012, jumlah penggilingan telah mencapai 182 ribu unit didominasi oleh penggilingan padi kecil (PPK) sebesar 94 persen (BPS 2012). Persatuan Pengusaha Penggilingan Padi dan Beras (PERPADI) menaksir kapasitas giling penggilingan padi melebihi produksi gabah tahunan. Dengan asumsi jumlah gabah tahunan 75.4 juta ton GKG (gabah kering giling), maka jumlah penggilingan padi yang ideal adalah 45,452 unit. Hal ini menyebabkan hanya 40 persen unit yang beroperasi dengan kapasitas penuh dan harus berhenti giling pada bulan-bulan tertentu atau 3-4 bulan produksi per tahun (Thahir 2013). Tingginya jumlah PPK tidak diikuti rendemennya yaitu hanya 62.74 persen dan broken di atas 20 persen (Pusdatin 2017). Patiwiri (2008) mengatakan bahwa rendemen giling di Indonesia lebih rendah dari pada Vietnam (66.6 persen) dan Thailand (69.1 persen). Saat ini pemerintah (melalui BULOG) bersedia membeli beras kualitas rendah dengan HPP yang terus dinaikan. Hal ini membuat pangsa pasar beras kualitas rendah semakin besar sehingga memperlambat modernisasi PPK di Indonesia (Sawit 2011). Faktanya selera masyarakat cenderung berubah dalam mengkonsumsi beras (Krisnamurthi dan Sawit 2016). Mutu menjadi pertimbangan utama bagi konsumen dalam pengambilan keputusan mengkonsumsi beras (Napitupulu 2016). Pada penelitian Wibowo (2007), masyarakat menyukai beras dengan kualitas medium yaitu kadar air kurang dari 14 persen, berwarna putih (derajat sosoh >95 persen), beras kepala (>70 persen). Tingkat pendapatan dan usia konsumen merupakan faktor yang berpengaruh terhadap konsumsi pangan rumah tangga (Kassali et al. 2010). Saat ini pendapatan masyarakat semakin meningkat sehingga menginginkan beras dengan kualitas lebih baik (premium). Beras premium dapat dihasilkan dengan mudah oleh penggilingan padi yang memiliki teknologi modern seperti PPB (penggilingan padi besar) (Litbangtan 2015). PPK tidak bisa menghasilkan beras mutu tinggi (premium) dengan kehilangan tinggi pada tahap penggilingan dan pengeringan karena keterbatasan teknologi penggilingan (Hasbullah dan Bantacut 2006). PPK tersebar di daerah sentra produksi padi salah satunya di Provinsi Jawa Barat (Tabel 1). Pada tahun 2015 Provinsi Jawa Barat memiliki luas sawah 1.9 juta ha dengan produktivitas 6.1 ton per ha. Indramayu, Subang dan Cirebon merupakan salah satu sentra produksi padi terbesar di Jawa Barat. Total luas lahan Indramayu pada tahun 2014 mencapai 117 792 ha diikuti Subang seluas 84 750 ha dan Cirebon seluas 53 368 ha (BPS 2016a). Produksi padi di Indramayu pada tahun 2015 mencapai 1.3 juta ton dan diprediksi akan meningkat karena adanya perbaikan infrastruktur pertanian oleh Dinas Pertanian Kabupaten Indramayu. Perbaikan yang
5
Embed
Strategi penguatan usaha penggilingan padi kecil di ...repository.sb.ipb.ac.id/3335/5/R57-05-Firdaus...pada tahap penggilingan dan pengeringan karena keterbatasan teknologi penggilingan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pembangunan industri penggilingan padi dimulai sejak akhir tahun 1960.
Produksi gabah pada tahun itu melimpah akibat berhasilnya revolusi hijau sehingga
diperlukan penggilingan padi untuk mengolah gabah menjadi beras. Pemerintah
membangun penggilingan padi karena lebih modern, lebih cepat menyerap gabah
dan hasil beras lebih baik dari pada beras tumbuk (Nataatmadja et al. 1988; Sumardi
dan Tharir 1993).
Sejak tahun 1960 sampai tahun 2012, jumlah penggilingan telah mencapai
182 ribu unit didominasi oleh penggilingan padi kecil (PPK) sebesar 94 persen
(BPS 2012). Persatuan Pengusaha Penggilingan Padi dan Beras (PERPADI)
menaksir kapasitas giling penggilingan padi melebihi produksi gabah tahunan.
Dengan asumsi jumlah gabah tahunan 75.4 juta ton GKG (gabah kering giling),
maka jumlah penggilingan padi yang ideal adalah 45,452 unit. Hal ini menyebabkan
hanya 40 persen unit yang beroperasi dengan kapasitas penuh dan harus berhenti
giling pada bulan-bulan tertentu atau 3-4 bulan produksi per tahun (Thahir 2013).
Tingginya jumlah PPK tidak diikuti rendemennya yaitu hanya 62.74 persen dan
broken di atas 20 persen (Pusdatin 2017). Patiwiri (2008) mengatakan bahwa
rendemen giling di Indonesia lebih rendah dari pada Vietnam (66.6 persen) dan
Thailand (69.1 persen).
Saat ini pemerintah (melalui BULOG) bersedia membeli beras kualitas
rendah dengan HPP yang terus dinaikan. Hal ini membuat pangsa pasar beras
kualitas rendah semakin besar sehingga memperlambat modernisasi PPK di
Indonesia (Sawit 2011). Faktanya selera masyarakat cenderung berubah dalam
mengkonsumsi beras (Krisnamurthi dan Sawit 2016). Mutu menjadi pertimbangan
utama bagi konsumen dalam pengambilan keputusan mengkonsumsi beras
(Napitupulu 2016). Pada penelitian Wibowo (2007), masyarakat menyukai beras
dengan kualitas medium yaitu kadar air kurang dari 14 persen, berwarna putih
(derajat sosoh >95 persen), beras kepala (>70 persen). Tingkat pendapatan dan usia
konsumen merupakan faktor yang berpengaruh terhadap konsumsi pangan rumah
tangga (Kassali et al. 2010). Saat ini pendapatan masyarakat semakin meningkat
sehingga menginginkan beras dengan kualitas lebih baik (premium). Beras
premium dapat dihasilkan dengan mudah oleh penggilingan padi yang memiliki
teknologi modern seperti PPB (penggilingan padi besar) (Litbangtan 2015). PPK
tidak bisa menghasilkan beras mutu tinggi (premium) dengan kehilangan tinggi
pada tahap penggilingan dan pengeringan karena keterbatasan teknologi
penggilingan (Hasbullah dan Bantacut 2006).
PPK tersebar di daerah sentra produksi padi salah satunya di Provinsi Jawa
Barat (Tabel 1). Pada tahun 2015 Provinsi Jawa Barat memiliki luas sawah 1.9 juta
ha dengan produktivitas 6.1 ton per ha. Indramayu, Subang dan Cirebon merupakan
salah satu sentra produksi padi terbesar di Jawa Barat. Total luas lahan Indramayu
pada tahun 2014 mencapai 117 792 ha diikuti Subang seluas 84 750 ha dan Cirebon seluas 53 368 ha (BPS 2016a). Produksi padi di Indramayu pada tahun 2015
mencapai 1.3 juta ton dan diprediksi akan meningkat karena adanya perbaikan
infrastruktur pertanian oleh Dinas Pertanian Kabupaten Indramayu. Perbaikan yang
2
dilakukan adalah 276 infrastruktur pertanian. Program perbaikan didanai dari dana
alokasi khusus APBN tahun 2015 untuk peningkatan produksi padi, jagung dan
kedelai (Pajale) di Kabupaten Indramayu yang harus tercapai tahun 2017. Sarana
dan prasarana komoditas padi di Indramayu yang mendukung harus diimbangi oleh
penanganan pascapanen yang baik (Sulardjo 2014; Kumar 2017).
Tabel 1 Produksi sentra padi menurut kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat tahun