STRATEGI PENGHIMPUNAN ZAKAT OLEH LAZIS SABILILLAH DI KOTA MALANG JURNAL ILMIAH Disusun oleh: Maya Murti Pusparani 115020500111015 PROGRAM STUDI EKONOMI ISLAM JURUSAN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2017
STRATEGI PENGHIMPUNAN ZAKAT
OLEH LAZIS SABILILLAH DI KOTA MALANG
JURNAL ILMIAH
Disusun oleh:
Maya Murti Pusparani
115020500111015
PROGRAM STUDI EKONOMI ISLAM
JURUSAN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
LEMBAR PENGESAHAN PENULISAN ARTIKEL JURNAL
Artikel Jurnal dengan judul:
STRATEGI PENGHIMPUNAN ZAKAT OLEH LAZIS SABILILLAH DI
KOTA MALANG
Yang disusun oleh:
Nama : Maya Murti Pusparani
NIM : 115020500111015
Fakultas : Ekonomi dan Bisnis
Jurusan : S1 Ilmu Ekonomi
Program Studi : Ekonomi Islam
Bahwa artikel Jurnal tersebut dibuat sebagai persyaratan ujian skripsi yang
dipertahankan di depan Dewan Penguji pada tanggal 23 Januari 2017.
Malang, 23 Januari 2017
Dosen Pembimbing,
Dr. Multifiah, SE., MS.
NIP. 19550527 198103 2 001
STRATEGI PENGHIMPUNAN ZAKAT OLEH LAZIS SABILILLAH
DI KOTA MALANG
Maya Murti Pusparani
Multifiah
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya
Email: [email protected]
ABSTRAKSI
Zakat merupakan kewajiban umat Islam yang di samping memiliki nilai ibadah, juga
memiliki kemanfaatan sosial. Dalam kerangka Ekonomi Islam, zakat berpotensi untuk
menyejahterakan kehidupan mustahiq jika dikelola secara terstruktur dan tepat guna. Untuk
mencapai tujuan tersebut, LAZIS Sabilillah Malang melakukan penghimpunan zakat dengan
jumlah yang meningkat setiap tahunnya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana strategi penghimpunan zakat oleh
LAZIS Sabilillah di Kota Malang serta faktor-faktor pendukung dan penghambat yang
mengikutinya. Metode penelitian berjenis field research dengan pendekatan kualitatif. Data
diperoleh melalui wawancara terhadap informan dan kajian dokumen.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa LAZIS Sabilillah telah melakukan komunikasi
dalam hal publikasi dan sosialisasi layanan zakat secara ekspansif di berbagai media. Selain itu,
LAZIS Sabilillah juga mengandalkan pelayanan berazas kekeluargaan untuk menjaga muzakki.
Kekurangan LAZIS Sabilillah dalam penghimpunan zakat ialah kekurangan SDM serta
komunikasi yang kurang merata kepada muzakki pascadonasi. Namun antusiasme masyarakat
dalam berzakat di Bulan Ramadhan memberikan dampak yang signifikan terhadap total
penghimpunan zakat. Di sisi lain, ada pula masyarakat sekitar LAZIS Sabilillah yang memilih
untuk mendistribusikan zakatnya secara mandiri dan independen.
Kata kunci: Zakat, Amil Zakat, Fundraising.
A. PENDAHULUAN
Zakat adalah salah satu perintah dari rukun Islam yang harus dilaksanakan oleh kaum
muslimin. Dalam Al-Qur‟an, zakat sering disebut bersamaan dengan shalat. Keduanya merupakan
ibadah maliyah, namun zakat lebih menjurus pada aspek sosial kemasyarakatan (ijtima’iyah).
Sedangkan shalat lebih menjurus pada kepribadian yang mulia dan bersifat personal (fardiyah).
Karena itu, perintah untuk mengeluarkan zakat sama wajibnya dengan melaksanakan shalat lima
waktu (Fakhrruddin, 2008).
Zakat terbagi menjadi dua macam yaitu zakat nafs atau lebih dikenal dengan zakat fitrah di
Indonesia, serta zakat maal (harta benda). Dikutip dari Hasbi (2008), mayoritas ulama berpendapat
bahwa zakat mulai disyariatkan pada tahun kedua Hijriyah. Pada tahun tersebut zakat fitrah
diwajibkan di Bulan Ramadhan, sedangkan zakat maal telah diwajibkan pada bulan setelahnya
yaitu Syawal. Sebelumnya, perintah zakat maal pertama kali sudah turun di Mekkah. Namun saat
itu zakat maal tidak memiliki batasan mengenai harta yang wajib dizakati serta ketentuan
kadarnya. Kaum muslimin menyerahkan zakat sesuai kesadaran dan kemurahan hati mereka.
Barulah mulai tahun kedua setelah hijrah ke Madinah, ditetapkan ketentuan terperinci terhadap
besar dan jumlah tiap jenis harta yang wajib dizakati.
Kemudian menurut Fakhrruddin (2008), pada tahun kesembilan Hijriyah turun ayat Q.S. Al-
Taubah ayat 60 yang menerangkan golongan yang berhak mengambil dan menerima zakat. Dari
delapan golongan yang disebutkan Q.S. Al-Taubah ayat 60, salah satu di antaranya adalah amil.
Menurut Sayid Sabiq, amil adalah orang-orang yang diangkat oleh penguasa atau wakil penguasa
untuk bekerja mengumpulkan zakat dari orang-orang kaya. Dalam fiqh klasik, amil sering
dideskripsikan dengan kelompok yang diberi mandat secara khusus oleh penguasa, sehingga amil
memiliki kewenangan untuk mengumpulkan zakat dari para penduduk. Melalui kewenangan itu
pula amil dapat mengambil zakat secara paksa dari orang-orang yang menolak membayar zakat
(Tuasikal, tanpa tahun).
Berdasarkan ketentuan tersebut, muncul pendapat yang menyatakan bahwa zakat baru boleh
dikelola oleh negara yang berazaskan Islam. Namun pendapat lain mengatakan bahwa pada
prinsipnya zakat harus diserahkan kepada amil, terlepas dari persoalan apakah amil itu ditunjuk
oleh negara atau bekerja secara independen dalam masyarakat. Ada juga pendapat ketiga yang
menyatakan bahwa pengumpulan zakat dapat dilakukan oleh badan-badan hukum swasta di bawah
pengawasan pemerintah (Fakhrruddin, 2008). Beragam pendapat tersebut mewarnai khazanah
pemikiran hukum Islam seputar kewenangan pengelolaan zakat oleh penguasa, yang mana
diharapkan dapat dijadikan pedoman bagi masyarakat muslim untuk melaksanakan kewajiban
zakat dalam lingkup bernegara.
Salah satu negara yang berusaha untuk merealisasikan kewajiban zakat secara nasional
adalah Indonesia. Meskipun Indonesia bukan negara Islam yang secara formal memberlakukan
syariah Islam, namun ada keterlibatan negara dalam batas tertentu untuk memfasilitasi umat Islam
melaksanakan ajaran agama (Fakhrruddin, 2008). Dalam Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945,
Pasal 29, dinyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk beribadat
menurut agamanya masing-masing. Pemerintah RI juga telah menerbitkan Undang-Undang
Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, yang kemudian diamandemen menjadi
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011. Dalam undang-undang ini, lembaga pengelola zakat yang
diakui negara adalah Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ).
Menurut Pasal 6, BAZNAS merupakan lembaga yang berwenang melakukan tugas pengelolaan
zakat secara nasional. Sedangkan LAZ merupakan lembaga pengelola zakat bentukan masyarakat
yang berfungsi untuk membantu BAZNAS dalam pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan
pendayagunaan zakat sebagaimana tertera dalam Pasal 17. Baik BAZNAS maupun LAZ, selain
menerima zakat juga dapat menerima infaq, shadaqah, serta dana sosial keagamaan lainnya
sebagaimana diatur dalam Pasal 28. Karena itu tidak jarang dijumpai lembaga pengelola zakat,
khususnya LAZ, yang menamakan dirinya lembaga amil zakat, infaq, dan shadaqah (LAZIS).
Namun, baik BAZNAS maupun LAZIS tidak memiliki kewenangan memaksa agar seseorang
membayar zakat sebagaimana dalam tinjauan fiqh klasik mengenai peran amil. Dalam Undang-
Undang Nomor 38 Tahun 1999, para wajib zakat tidak didaftar dan diatur seperti halnya wajib
pajak. Undang-undang tersebut juga tidak mencantumkan sanksi bagi orang-orang yang tidak mau
mengeluarkan zakat, sehingga potensi zakat belum dapat direalisasikan secara maksimal
(Ramadhita, 2012). Setelah Undang-Undang tentang Pengelolaan Zakat diamandemen menjadi
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011, kedua ketentuan tersebut juga masih tidak disebutkan.
Keadaan ini menempatkan lembaga pengelola zakat di Indonesia termasuk dalam kategori
lembaga nirlaba. Karakteristik lembaga nirlaba ialah memiliki sumber daya seperti dana, barang,
dan lain-lainnya yang berasal dari para donatur. Lembaga nirlaba juga menghasilkan jasa dalam
bentuk pelayanan masyarakat meski tidak bertujuan mencari laba. Yang membedakan lembaga
pengelola zakat dengan lembaga nirlaba lain adalah adanya ketentuan syariah Islam mengenai
zakat, antara lain muzakki (donatur), jenis barang yang harus dizakati, ukuran dan nilai zakat yang
harus dibayarkan, dan pihak-pihak yang berhak menerima zakat (mustahiq) (Mubarok dan Fanani,
2014). Dengan demikian, BAZNAS dan LAZIS harus melakukan pendekatan manajemen lembaga
nirlaba untuk menarik muzakki agar bersedia mengeluarkan zakat.
Salah satu lembaga pengelola zakat yang memiliki progress cukup bagus dalam
penghimpunan zakat adalah LAZIS Sabilillah. LAZIS yang berkedudukan di Kota Malang ini
mengalami peningkatan penerimaan dana zakat selama tiga tahun terakhir. Pada tahun 2013 dana
ZIS yang diterima LAZIS Sabilillah sebesar Rp 884.553.154,00. Dari jumlah tersebut, zakat
menempati proporsi terbesar yakni 44% senilai Rp 389.203.387,76. Kemudian di tahun 2014,
penerimaan dana zakat meningkat sebesar 30,67% dari tahun sebelumnya menjadi Rp
508.581.656,00. Kemudian laporan keuangan terakhir dari LAZIS Sabilillah menyatakan bahwa
pada tahun 2015 zakat yang diterima mencapai nominal Rp 618.724.680,00.
Maka berdasarkan pengamatan tersebut, penelitian ini hendak mencari tahu mengenai strategi
penghimpunan zakat yang dilakukan oleh LAZIS Sabilillah serta faktor pendukung dan
penghambat yang menyertainya. Dengan demikian, penelitian yang berjudul “Strategi
Penghimpunan Zakat oleh LAZIS Sabilillah di Kota Malang” perlu untuk dilakukan.
B. TINJAUAN PUSTAKA
Kewajiban Mengeluarkan Zakat Zakat dalam Bahasa Arab berasal dari kata “az-zakah”. Kata tersebut memiliki beberapa
makna, di antaranya “an-numuww” (tumbuh), “az-ziyadah” (bertambah), “ath-thaharah”
(bersih), “al-madh” (pujian), “al-barakah” (berkah), dan “ash-shulh” (baik) (Afifi dan Ika,
2010). Ditinjau dari segi terminologi fiqh, zakat berarti “sejumlah harta tertentu yang diserahkan
kepada orang-orang yang berhak dengan syarat tertentu” (Al-Dimasyqi dalam Sudirman, 2007).
Jumlah yang dikeluarkan dari kekayaan disebut dengan zakat karena yang dikeluarkan itu
menambah banyak, membuat lebih berarti, dan melindungi kekayaan itu dari kebinasaan
(Qardhawi dalam Sudirman, 2007).
Kemudian Sudirman (2007) menambahkan bahwa arti tumbuh dan suci sebenarnya tidak
hanya digunakan untuk harta kekayaan, tetapi kata itu bisa juga dipakai untuk menerangkan jiwa
orang yang mengeluarkan zakat (muzakki), sesuai dengan firman Allah dalam surat At-Taubah (9):
103.
Terdapat dua macam zakat, yaitu zakat maal (zakat harta) dan zakat nafs (zakat jiwa) yang
dikenal masyarakat Indonesia sebagai zakat fitrah. Zakat fitrah wajib ditunaikan pada Bulan
Ramadhan dan wajib bagi semua muslim, baik dewasa maupun anak-anak, laki-laki maupun
perempuan, merdeka maupun hamba sahaya yang masih memiliki perbekalan sampai Hari Raya
Idul Fitri (Afifi dan Ika, 2010). Zakat fitrah dikeluarkan dari makanan pokok orang yang
mengeluarkannya. Berdasarkan pendapat jumhur ulama besaran zakat fitrah ialah satu sha’, yaitu
3,362 liter menurut Hanafiyah atau 2, 748 liter menurut ulama selain Hanafiyah (Hasbi, 2008).
Zakat maal (harta) adalah bagian dari harta kekayaan seseorang (juga badan hukum) yang
wajib dikeluarkan untuk golongan orang-orang tertentu setelah dipunyai selama jangka waktu
tertentu dalam jumlah minimal tertentu. Harta dalam Bahasa Arab disebut al-amwal yang
merupakan bentuk plural dari kata al-mal. Menurut Qardhawi, yang dimaksud dengan al-amwal
adalah segala sesuatu yang diinginkan sekali oleh manusia untuk menyimpan dan memilikinya
(Fakhrruddin, 2008). Dari segi ekonomi, zakat dapat mencegah pemilik harta untuk menumpuk
harta serta menahannya dari peredaran dan pengembangan (Hasbi, 2008).
Kitab-kitab fiqh klasik pada umumnya menyebut lima jenis harta yang dikenakan zakat maal,
yaitu emas-perak, pertanian, peternakan, perdagangan, dan barang temuan. Kemudian seiring
perkembangan zaman muncul berbagai metode mencari penghasilan yang hasilnya jauh lebih
besar dari kelima harta tersebut, namun tidak disebutkan dalam kitab-kitab fiqh klasik (Sudirman,
2007).
Melihat fenomena ini, maka lahirlah gagasan dari para cendekiawan muslim kontemporer
untuk memaknai ulang zakat dalam hal-hal yang bersifat praktis. Dengan kata lain hukum zakat
tetap wajib, namun perlu pemikiran ulang mengenai jenis-jenis harta yang perlu dizakati. Ini perlu
dilakukan untuk mewujudkan keadilan dalam kehidupan masyarakat muslim, khususnya dalam hal
kesejahteraan ekonomi.
Peran Zakat dalam Redistribusi Pendapatan
Faridi (1983) menelaah bahwa perekonomian modern umumnya mengandalkan dua institusi
untuk mengatasi masalah alokasi dan distribusi yang disebut dengan pasar dan pemerintah. Kedua
institusi tersebut juga dapat disebut dengan sektor privat dan sektor publik. Dalam ekonomi
komando, peran sektor publik sangat mendominasi atas kegiatan alokasi dan distribusi. Sebaliknya
dalam ekonomi laissez-faire, sektor privat berperan utama dalam mekanisme alokasi dan
distribusi. Kelebihan, kekurangan, dan distorsi yang terjadi dalam pasar dikoreksi oleh sektor
publik.
Berbeda dengan kedua sistem ekonomi tersebut, sistem ekonomi Islam dicirikan dengan tiga
sektor. Ketiga sektor tersebut adalah sektor publik, sektor privat, dan sektor kesukarelaan yang
berasal dari institusi ekonomi kesukarelaan. Karakter perekonomian tiga sektor ini diderivasi dari
premis nilai masyarakat Islam yang melibatkan aliran kesukarelaan dari sebagian besar jumlah
sumber daya dalam suatu kegiatan yang dipahami tidak hanya sebagai upaya mencapai
kebahagiaan akhirat, namun juga memiliki dampak ekonomi yang signifikan terhadap masyarakat.
Beberapa instrumen yang dimaksud dalam sektor kesukarelaan ini adalah zakat, sedekah, dan
wakaf (Faridi, 1983).
Zakat sebagai salah satu instrumen redistribusi pendapatan ditegaskan dalam Surat Al Hasyr
ayat 7 sebagai pencegah konsentrasi kekayaan di tengah masyarakat. Dengan ini, maka zakat
menjadi instrumen yang bersifat direct redistribution (Almas dan Burhan, 2015). Dalam tinjauan
sejarah, zakat beserta ghanimah, fai’, dan jizyah yang disalurkan pada Baitul Mal menjadi sumber
pembiayaan negara di masa Rasulullah dan empat khalifah sesudahnya. Lalu dalam kajian
ekonomi kontemporer, zakat dirancang sebagai salah satu instrumen fiskal sejalan dengan konsep
ekonomi tiga sektor yang dikemukakan oleh Faridi (1983). Zakat juga lebih relevan sepanjang
waktu dibandingkan dengan harta rampasan perang seperti fai’ dan ghanimah (El-Ashker dan
Wilson, 2006).
Namun dalam kebijakan fiskal, zakat memiliki keterbatasan yakni (Metwally, 1983):
1. Zakat merupakan pungutan yang berasal dari hukum agama. Zakat dipungut pihak muslim
yang berwenang terlepas dari situasi ekonomi saat itu.
2. Rasio (nishab) zakat bersifat tetap. Tingkat pungutannya tidak dapat diubah-ubah untuk
mencapai suatu target ekonomi.
3. Penerima zakat ditetapkan secara eksplisit dan terbatas pada delapan golongan saja.
Pengertian Amil Zakat
Amil dalam Bahasa Arab bermakna pekerja. Seseorang maupun sekelompok orang dapat
disebut amil jika ia diangkat dan diberi otoritas oleh penguasa untuk mengambil dan
mendistribusikan zakat (Tuasikal, tanpa tahun). Termasuk dari amil adalah para pemungut zakat,
penyimpan, penggembala zakat ternak, dan pengurus administrasi (Hasbi, 2008). Bagi amil,
memiliki otoritas untuk mengambil dan mengumpulkan zakat adalah sebuah keniscayaan karena ia
memiliki kewajiban untuk mengambil zakat secara paksa dari orang-orang yang menolak
membayar zakat (Munandar dalam Tuasikal, tanpa tahun).
Dalam artikel Hizbut Tahrir (2009) disebutkan bahwa tugas amil dalam mengambil dan
mendistribusikan zakat adalah wakalah (mewakili) tugas yang seharusnya dijalankan oleh
penguasa. Ini merujuk pada firman Allah dalam Q.S. At-Taubah ayat 103 yang merupakan
perintah kepada Rasulullah saw. dalam kapasitasnya sebagai kepala negara di Madinah: “Ambillah
zakat dari sebagian harta mereka, yang dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan
mereka.”
Apabila amil zakat tidak ada karena ketiadaan mandat dari penguasa, maka yang tersisa
adalah muzakki dan mustahiq. Muzakki bisa menyerahkan zakatnya kepada mustahiq tanpa
perantara amil. Ada pula muzakki dapat mewakilkan penyerahan zakatnya kepada orang-orang
tertentu, namun status wakalah mereka berbeda dengan wakalah penguasa kepada amil zakat.
Wakalah muzakki hanya sebatas mendistribusikan zakat sesuai amanah muzakki, sedangkan
wakalah penguasa meliputi mengambil zakat secara paksa dan mendistribusikan kepada yang
berhak (mustahiq) (Hizbut Tahrir, 2009).
Adapun pendapat lain dikemukakan oleh Fakhruddin (2008). Apabila pemerintah tidak
memainkan perannya dalam mengurus zakat, maka boleh didirikan badan, institusi, lembaga,
asosiasi, atau panitia yang melaksanakan tanggung jawab tersebut. Badan-badan semacam ini
dinilai lebih mampu dalam mengembangkan sumber-sumber zakat dan menyalurkannya kepada
mustahiq secara syar‟i. Selain itu, keberadaan amil yang ditunjuk pemerintah dimaksudkan untuk
membantu masyarakat muslim yang kurang paham tentang zakat dapat menunaikan zakat dengan
benar.
Keberadaan dan Hak Amil Zakat dalam Islam
Keberadaan amil zakat diperintahkan langsung oleh Allah swt. dalam Q.S. At-Taubah ayat
60:
Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin,
pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak,
orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam
perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Bijaksana.
Berdasarkan ayat tersebut amil termasuk dalam kategori delapan ashnaf, yaitu orang-orang
yang berhak menerima zakat (mustahiq). Zakat yang diberikan kepada amil dimaksudkan sebagai
upah mereka dalam menjalankan tugas, sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Busr bin Sa‟id
dari Ibnu Al-Sa‟dy Al-Maliki:
“Umar pernah mengangkat aku untuk mengurus zakat (amil). Ketika usai pekerjaanku dan
kulaporkan kepadanya, maka dia kemudian mengirimi aku upah. Maka aku mengatakan,
„Sungguh aku melakukan tugas ini karena Allah.‟ Maka Umar berkata, „Ambillah apa yang
telah diberikan kepadamu. Aku dulu juga pernah menjadi amil Rasulullah saw, dan beliau
memberi upah untuk tugas itu. Ketika kukatakan kepada beliau seperti yang kau katakan tadi,
maka Rasulullah saw berkata, bila engkau diberi sesuatu yang tak kau pinta, maka makanlah
dan sedekahkanlah.‟” (H.R. al-Bukhari dan Muslim).
Terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama mengenai besaran proporsi zakat yang
diberikan untuk amil. Menurut Imam Syafi‟i, amil diberi zakat sebesar bagian kelompok lainnya
berdasarkan pendapatnya yang menyamakan bagian semua golongan mustahiq zakat. Jika upah itu
lebih besar dari bagian tersebut, maka harus diambilkan dari harta di luar zakat. Sedangkan
menurut jumhur ulama, amil diberi zakat sesuai dengan haknya sebagaimana dalam nash Al-
Qur‟an meskipun lebih besar daripada batas yang ditentukan (Hasbi, 2008).
Pendapat lain menyatakan bahwa imbalan kerja amil zakat ditentukan oleh kebijakan negara
atau lembaga yang menaunginya. Kebijakan ini harus memerhatikan kemaslahatan umum yang
meliputi golongan mustahiq lainnya seperti fakir dan miskin yang jumlahnya sangat banyak, orang
yang terlilit hutang, serta kemaslahatan amil zakat itu sendiri (An-Najah, 2012).
Peran amil zakat diperlukan agar zakat terdistribusi secara tepat sasaran. Walaupun muzakki
dapat memberikan zakatnya langsung kepada mustahiq, namun masih ada kemungkinan bahwa
zakat akan menumpuk pada mustahiq tertentu sedangkan mustahiq lain tidak memperoleh zakat
karena tidak dikenal muzakki. Selain itu, ada mustahiq yang berani terang-terangan meminta dan
ada pula mustahiq yang merasa berat (malu) untuk meminta sebagaimana ditunjukkan dalam Q.S.
Al-Ma‟arij ayat 24-25. Maka dari itu, mungkin saja muzakki hanya memberi kepada mereka yang
terang-terangan meminta, sementara yang merasa berat meminta menjadi tidak diperhatikan
(Fakhruddin, 2008).
Gambaran Umum Pengelolaan Zakat di Indonesia
Indonesia sebagai Negara berpenduduk mayoritas muslim telah mempraktikkan pengelolaan
zakat, walaupun pada awalnya masih dilakukan dengan sangat sederhana dan alamiah. Setelah
masa kemerdekaan pemerintah mulai menghimbau masyarakat melalui untuk mengawasi
pengelolaan zakat agar sesuai dengan hukum agama. Dengan demikian, pemungutan dan
pendistribusian zakat belum dilakukan oleh sebuah lembaga dan masih bersifat sporadis
(Ramadhita, 2012).
Pada tahun 1968, pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 4
Tahun 1968 tentang Pembentukan Badan Amil Zakat (BAZ) dan PMA Nomor 5 Tahun 1968
tentang Pembentukan Bait al-Mal. BAZ dan Bait al-Mal yang dimaksud dalam kedua PMA
tersebut mempunyai kaitan erat, yaitu Bait al-Mal berfungsi sebagai penerima dan penampung
zakat, kemudian disetorkan kepada BAZ. Bait al-Mal ini juga berstatus yayasan dan bersifat
semiresmi (Fakhruddin, 2008). Di sisi lain, kedua PMA ini memberikan peluang lahirnya sejumlah
Lembaga Amil Zakat (LAZ) di Indonesia seperti Yayasan Baitul Mal Umat Islam Bank Negara
Indonesia (BAMUIS BNI) pada tanggal 5 Oktober 1967 di Jakarta, Yayasan Dana Sosial al-Falah
(YDSF) pada tanggal 1 Maret 1987 di Surabaya, dan Dompet Dhuafa Republika pada tanggal 14
September 1994 di Jakarta (Ramadhita, 2012).
Pada era Reformasi diterbitkan Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan
Zakat. Sejak lahirnya undang-undang ini, institusi pengelola zakat baik yang dibentuk oleh
pemerintah (BAZ) maupun swadaya masyarakat (LAZ) di berbagai tingkat administrasi mulai
bermunculan dan mendapat legalitas dari negara. Khususnya LAZ, karena keberadaannya diakui
dan memperoleh payung hukum, dengan syarat dikukuhkan lebih dahulu oleh pemerintah
sebagaimana dalam Pasal 21 ayat (1) Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 373
Tahun 2003 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan
Zakat. Dalam Undang-undang ini pula peran dan kedudukan antara BAZ dan LAZ sama, yakni
membantu pemerintah mengelola zakat. Keduanya berdiri sendiri dalam mengelola aset zakat
(Ramadhita, 2012).
Selama beberapa tahun berjalan, Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 dinilai memiliki
banyak kekurangan amat ringkas. Tahun 2007, Forum Zakat dan BAZNAS menyusun konsep
amandemen Undang-undang Pengelolaan dan diajukan ke DPR. Menurut Juwaini (2011) ada tiga
isu sentral yang diusung dalam draft revisi Undang-undang Pengelolaan Zakat: (1) Adanya sanksi
bagi muzakki yang ingkar, baik dari sanksi administrasi maupun sanksi finansial; (2) penataan
organisasi pengelola zakat dan pemisahan fungsi regulator atau pengawas, operator, dan
koordinator; (3) menjadikan zakat sebagai pengurang pajak (Ramadhita, 2012). Akhirnya pada
tanggal 25 November 2011, pemerintah secara resmi mensahkan Undang-undang Nomor 23
Tahun 2 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat dan mencabut Undang-undang Nomor 38 Tahun
1999. Adanya amandemen undang-undang pengenlolaan zakat ini juga mengubah peran antara
BAZ dan LAZ, sebagaimanan disebutkan dalam Pasal 17 bahwa LAZ bertugas untuk membantu
BAZ dalam pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat.
Pengertian Lembaga Amil Zakat (LAZ) Menurut Sudirman (2007), LAZ merupakan institusi pengelola zakat yang dibentuk oleh
masyarakat sehingga tidak memiliki afiliasi dengan BAZ. Dalam penjelasan Pasal 7 Ayat (1)
Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, disebutkan bahwa LAZ adalah
institusi pengelolaan zakat yang sepenuhnya dibentuk atas prakarsa masyarakat dan oleh
masyarakat. Dalam Pasal 7, LAZ dapat dikukuhkan, dibina, dan dilindungi oleh pemerintah
apabila telah memenuhi syarat yang ditentukan oleh menteri. Selanjutnya pada Pasal 8, LAZ
bersama BAZ memiliki tugas pokok untuk mengumpulkan, mendistribusikan, dan
mendayagunakan zakat sesuai dengan ketentuan agama. Dengan demikian, kedudukan antara BAZ
dan LAZ sejajar, yakni membantu pemerintah mengelola zakat dan masing-masing berdiri sendiri
dalam mengelola aset zakat (Ramadhita, 2012).
Definisi LAZ mengalami perubahan setelah Undang-undang tentang Pengelolaan Zakat
diamandemen menjadi Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011. Pasal 1 Ayat (8) menyebutkan
bahwa LAZ adalah lembaga yang dibentuk masyarakat yang memiliki tugas membantu
pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat. Peran LAZ ditegaskan kembali pada
Pasal 17 yaitu, “Untuk BAZNAS dalam pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan
pendayagunaan zakat, masyarakat dapat membentuk LAZ”. Konsekuensi peran LAZ tersebut
dijabarkan pada Pasal 19, di mana LAZ wajib melaporkan pelaksanaan pengumpulan,
pendistribusian, dan pendayagunaan zakat yang telah diaudit kepada BAZNAS secara berkala.
Manajemen Penghimpunan Dana pada Intitusi Pengelola Zakat
Manajemen erat kaitannya dengan organisasi. Menurut Soffer dalam Solihin (2009),
organisasi adalah persekutuan atau perkumpulan orang-orang yang masing-masing diberi peranan
tertentu dalam suatu sistem kerja dan pembagian kerja di mana pekerjaan (yang terdapat dalam
organisasi tersebut) dipilah-pilah menjadi tugas dan dibagikan kepada para pelaksana tugas atau
pemegang jabatan untuk mendapatkan suatu kesatuan hasil. Sedangkan manajemen ialah proses
perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan, dan pengendalian dari berbagai sumber daya
organisasi untuk mencapai tujuan secara efektif dan efisien (Solihin, 2009).
Kemudian dalam kajian ilmu manajemen, terdapat suatu konsentrasi yang disebut
manajemen strategi. Para ahli dalam ilmu manajemen membedakan pengertian antara strategi dan
manajemen strategi. Menurut Amirullah (2015) strategi adalah suatu kesatuan rencana perusahaan
(organisasi) yang menyeluruh, komprehensif, dan terpadu yang digunakan untuk mencapai tujuan
organisasi. Sedangkan manajemen strategi adalah seni dan ilmu dalam pembuatan (formulating),
penerapan (implementing), dan evaluasi (evaluating) keputusan-keputusan strategi antar fungsi
yang memungkinkan sebuah organisasi mencapai tujuan di masa mendatang.
Selanjutnya dalam ilmu manajemen, pembahasan organisasi lebih dominan pada sektor bisnis
yang berorientasi laba. Sedangkan organisasi nirlaba juga memerlukan penerapan ilmu manajemen
untuk menghadapi berbagai masalah. Sule dan Saefullah (2010) mendefinisikan organisasi nirlaba
sebagai lembaga yang tujuannya lebih menekankan pada pencapaian manfaat bagi para anggota
dan masyarakat daripada aspek keuangan. Manfaat tersebut dapat berupa manfaat sosial,
pendidikan, keagamaan, maupun kesehatan.
Salah satu kegiatan utama dari lembaga pengelola zakat sebagai lembaga nirlaba ialah
menghimpun dana, atau dapat disebut dengan fundraising. Menurut Juwaini (2005), fundraising
bisa diartikan sebagai kegiatan dalam rangka menghimpun dana dan sumber daya lainnya dari
masyarakat (baik individu, kelompok, organisasi, perusahaan, atau pemerintah) yang akan
digunakan untuk membiayai program dan kegiatan operasional lembaga sehingga mencapai
tujuan.
Kegiatan penghimpunan zakat yang dilakukan oleh lembaga penghimpunan zakat
memerlukan suatu manajemen strategi untuk mengeksekusinya. Diterangkan oleh Muhammad dan
Abubakar (2011), manajemen strategi penghimpunan zakat dapat dilakukan melalui empat tahapan
yakni:
1. Tahap pertama:
Memetakan muzakki untuk memudahkan amil menghimpun zakat dengan cara:
a) Menentukan segmen dan target muzakki.
b) Menetapkan positioning strategy, terutama menyangkut keunggulan lembaga pengelola
zakat.
2. Tahap kedua:
a) Menyiapkan SDM dan sistem operasi yang mampu meraih kepercayaan dari muzakki,
antara lain:
b) Menyusun atau membenahi SDM yang memiliki moral dan kompetensi yang tepat.
c) Memilih pengurus lembaga pengelola zakat yang memiliki komitmen dan kompetensi
untuk mengembangkan organisasi zakat terutama dalam mengelola dan
menyosialisasikan visi dan misi lembaga.
d) Membangun sistem dan prosedur yang baik untuk mendukung standarisasi operasional,
menghindari penyimpangan, dan membuat dokumentasi.
e) Mengadakan pelatihan bagi pengurus lembaga pengelola zakat tentang tata cara
penghimpunan zakat.
3. Tahap ketiga:
Membangun sistem komunikasi yang menekankan pada:
a) Pembangunan database orang-orang yang termasuk dalam kriteria muzakki utama yang
akan menjadi sasaran kegiatan komunikasi.
b) Membangun sistem komunikasi yang permanen untuk memungkinkan masyarakat
mengetahui kegiatan lembaga pengelola zakat secara utuh.
c) Membuat atau memilih media yang tepat untuk mengomunikasikan secara efektif dan
efisien, contohnya bulletin lembaga yang memuat informasi kegiatan lembaga pengelola
zakat secara lengkap.
d) Melakukan proses komunikasi secara tepat dan teratur, semisal komunikasi mingguan
dan bulanan.
e) Melakukan kerja sama dengan media massa.
4. Tahap keempat:
Yaitu tahapan actuating (menyusun dan melakukan pelayanan) dengan tetap mengacu pada:
a) Segmen dan target muzakki utama.
b) Jenis pelayanan yang sesuai dengan muzakki utama, contohnya penjemputan zakat
secara langsung atau melalui rekening bank.
Untuk membantu mengatur informasi dan menilai strategi penghimpunan zakat, dapat
digunakan analisis SWOT. Menurut Allison dan Kaye (2005), analisis SWOT (singkatan dari
Strengths, Weakneses, Opportunities, and Threats) adalah pandangan sekilas tentang kekuatan dan
kelemahan internal terpenting dan peluang serta ancaman eksternal paling penting. Analisis ini
dapat dilakukan pada tingkat seluruh organisasi atau setiap program.
1. Strengths: kekuatan internal organisasi, yaitu apa yang bisa dilakukan organisasi dengan
baik.
2. Weaknesses: kelemahan internal organisasi, yaitu apa yang bisa diperbaiki dalam organisasi.
3. Opportunities: perubahan di lingkungan eksternal yang memungkinkan organisasi mencapai
tujuan dengan lebih baik.
4. Threats: perubahan di lingkungan eksternal yang perlu dibentengi atau diantisipasi untuk
mencapai tujuan.
C. METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang dipilih adalah field research dengan pendekatan kualitatif. Menurut
Wirartha (2006), penelitian kualitatif adalah penelitian yang dilakukan pada kondisi obyek yang
alami dan menggunakan peneliti sebagai instrumen kunci. Sasaran penelitian kualitatif terbatas,
namun data sasaran penelitian dapat digali sebanyak dan sedalam mungkin. Dalam analisisnya,
penelitian kualitatif lebih menekankan pada proses penyimpulan deduktif dan induktif serta
dinamika hubungan antarfenomena yang diamati. Metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah studi kasus, yaitu mengadakan telaah secara mendalam tentang suatu kasus yang bersifat
terbatas, dimana kesimpulan yang ditarik hanya berlaku atau terbatas pada kasus tertentu saja
(Wirartha, 2006). Metode studi kasus dinilai tepat dalam penelitian ini karena peneliti hendak
menggambarkan aktivitas LAZIS Sabilillah dalam upaya menggalang zakat dari muzakki di Kota
Malang.
Unit analisis merujuk pada pemilihan partisipan atau responden penelitian (Wahyuni, 2012).
Penelitian ini mengangkat penghimpunan zakat sebagai topik utamanya, sedangkan unit analisis
yang digunakan lembaga, yaitu LAZIS Sabilillah. Informan dipilih berdasarkan kriteria yang
relevan terhadap rumusan masalah. Banyaknya informan bisa jadi tidak ditentukan secara mutlak
sebelum pengumpulan data, karena informan umumnya ditentukan dari tingkat kejenuhan teoritis
(theoretical saturation), yakni tercapainya suatu titik di mana data baru yang dikumpulkan sudah
tidak lagi mampu memberikan wawasan baru terhadap rumusan masalah (Wahyuni, 2012).
Dengan demikian, penelitian ini memilih pimpinan LAZIS Sabilillah serta kepala divisi
penghimpunan zakat sebagai informan yang mengetahui seluk-beluk mengenai strategi fundraising
zakat.
Untuk memperoleh data, peneliti menggunakan dua macam instrumen yaitu wawancara dan
kajian dokumen. Data penelitian kualitatif yang berupa pernyataan, perilaku, maupun kejadian
kemudian dianalisis kebenarannya. Alat yang digunakan untuk mengecek keabsahan data adalah
trianggulasi. Metode trianggulasi yang digunakan adalah trianggulasi sumber. Trianggulasi sumber
dilakukan dengan cara mencari data penelitian yang sama kepada lain subyek. Data tertentu
ditanyakan kepada responden yang berbeda atau dengan bukti dokumentasi, lalu dibandingkan
untuk membuktikan kebenarannya.
D. HASIL DAN PEMBAHASAN
Lembaga Amil Zakat, Infaq, dan Shodaqoh (LAZIS) Sabilillah Malang merupakan lembaga
sosial yang berada di bawah naungan Yayasan Masjid Sabilillah Malang. Adapun Yayasan Masjid
Sabilillah Malang adalah lembaga dengan sejarah panjang dan didirikan oleh tokoh-tokoh
nasional. Yayasan Masjid Sabilillah sendiri menaungi berbagai lembaga pelayanan masyarakat,
seperti Sekolah Islam Sabilillah, koperasi, klinik dan apotek, dan lain-lain. Masjid Sabilillah
sendiri telah menjadi salah satu masjid monumen dalam perjuangan kemerdekaan Republik
Indonesia, berlokasi di Jalan Ahmad Yani No. 15 Kecamatan Blimbing, Kota Malang. Lokasi
masjid ini terletak strategis di jalur transportasi utama Kota Malang, serta dikelilingi oleh berbagai
kegiatan perniagaan terutama karena dekat dengan Pasar Blimbing.
Penelitian dilakukan pada tanggal 11 hingga 28 Mei 2016, berlokasi di sekretariat LAZIS
Sabilillah Malang serta lingkungan sekitar Masjid Sabilillah yang meliputi Jalan Borobudur dan
Jalan Candi Kalasan. Informan yang bersedia diwawancara adalah sebanyak lima orang, terdiri
dari dua orang pengurus LAZIS Sabilillah dan tiga orang warga muslim sekitar Masjid Sabilillah.
Metode penelitian dilakukan dengan wawancara semi terstruktur, di mana terdapat beberapa
pertanyaan acuan dan pertanyaan lain yang berkembang dari maupun di luar pertanyaan acuan.
Pertanyaan yang dibuat mengacu pada empat tahap manajemen strategi penghimpunan zakat yang
dirumuskan oleh Muhammad dan Abu Bakar (2011) dengan beberapa penyesuaian.
Gambaran Umum Kegiatan Penghimpunan Zakat LAZIS Sabilillah
LAZIS Sabilillah beroperasi setiap hari mulai dari pukul 9.00 hingga 16.00. Untuk
penghimpunan zakat, LAZIS Sabilillah memiliki beberapa layanan, yakni penerimaan zakat di
kantor sekretariat, baik secara tunai maupun debit perbankan; jemput zakat yang dilakukan oleh
tenaga volunteer ke tempat muzakki; serta melalui transfer rekening bank.
Pada waktu selain Bulan Ramadhan, LAZIS Sabilillah fokus pada kegiatan publikasi dan
eksekusi program santunan selain zakat seperti wakaf ambulans. Sedangkan kegiatan yang
berkenaan dengan zakat dilakukan lebih gencar saat Bulan Ramadhan. Ini disebabkan oleh
antusiasme masyarakat yang menunaikan zakat fitrah sekaligus dengan zakat maal di bulan
tersebut. Perilaku masyarakat ini didasarkan pada pemahaman bahwa sedekah (termasuk zakat)
yang ditunaikan di Bulan Ramadhan akan bernilai pahala berkali lipat. Maka dari itu, LAZIS
Sabilillah menilai bahwa masyarakat Kota Malang lebih siap untuk menunaikan sedekah saat
Ramadhan, sehingga LAZIS Sabilillah bersikap responsif dengan cara meningkatkan kegiatan
publikasi, edukasi, dan pelayanan di bulan itu. Dengan demikian, penerimaan zakat LAZIS
Sabilillah mencapai puncaknya pada waktu Ramadhan apabila dibandingkan dengan bulan-bulan
lainnya.
Berdasarkan keterangan dari pihak LAZIS Sabilillah, publikasi layanan zakat yang dilakukan
memberi pengaruh signifikan terhadap penambahan jumlah muzakki. Publikasi tersebut antara lain
pemasangan bando di jalan raya, kolom rubrik seputar Ramadhan di surat kabar lokal, serta
tausiyah yang diisi oleh pihak Masjid Sabilillah bekerja sama dengan radio dan TV lokal. Melalui
tausiyah, LAZIS Sabilillah melakukan edukasi mengenai ibadah di Bulan Ramadhan,
menyampaikan berbagai layanan santunan LAZIS yang dapat dijangkau oleh masyarakat, serta
melayani sesi tanya-jawab dengan pendengar atau penonton.
Menurut Fazah, bendahara harian LAZIS Sabilillah, umumnya muzakki mengetahui adanya
layanan zakat di LAZIS Sabilillah dari bando atau spanduk yang membentang terpasang di
beberapa jalan raya Kota Malang. Kemudian dikutip dari Majalah Sabilillah Edisi September
2013, pada tahun tersebut sekitar 25% zakat yang diterima berasal dari warga pendatang dan
jamaah transit, sedangkan 75% sisanya merupakan zakat masyarakat Kota Malang. Dari angka
25% tersebut, muzakki menerima informasi layanan zakat LAZIS Sabilillah dari media-media di
jalan dan televisi. Selain itu, pengurus harian LAZIS Sabilillah melakukan penjagaan muzakki bagi
mereka yang nominal zakatnya melebihi satu juta rupiah. Para pengurus melakukan penjagaan
khusus terhadap kategori muzakki itu disebabkan mereka umumnya hanya datang ke LAZIS
Sabilillah sebanyak satu kali dalam setahun, tepatnya saat bulan puasa. Penjagaan yang dilakukan
meliputi pengiriman majalah LAZIS Sabilillah dan pemberitahuan via SMS mengenai program-
program santunan di luar zakat.
Fazah juga menambahkan bahwa umumnya para muzakki yang baru mengetahui keberadaan
LAZIS Sabilillah dari berbagai macam publikasi sering menanyakan program-program LAZIS.
Pada saat itulah para pengurus harian LAZIS Sabilillah melakukan pengenalan lembaga dan
program kepada muzakki. Tidak lupa pula LAZIS Sabilillah juga melayani muzakki secara
kekeluargaan serta mendoakan kebaikan bagi mereka sewaktu serah-terima zakat.
Strategi Penghimpunan Zakat LAZIS Sabilillah
Berikut adalah data yang diperoleh mengenai pertanyaan yang berkaitan dengan manajemen
strategi penghimpunan zakat.
1) Pemetaan muzakki.
Pemetaan muzakki bertujuan memudahkan lembaga amil zakat dalam membidik target
muzakki potensial. Selain itu, lembaga amil zakat juga melakukan positioning lembaga agar
target muzakki mudah mengenali mereka. LAZIS Sabilillah menempatkan diri sebagai lembaga
sosial, di mana kegiatan lembaga terfokus pada pelayanan kebutuhan sosial terutama bagi
masyarakat muslim Kota Malang.
2) SDM dan sistem operasi.
LAZIS Sabilillah menentukan target penghimpunan zakat setiap tahunnya, di mana
mereka menetapkan peningkatan minimal sebesar 10% dari penerimaan zakat tahun lalu.
Menurut Fazah, target tersebut hanyalah acuan keberhasilan kerja, sedangkan pada praktiknya
LAZIS Sabilillah berupaya untuk melampaui target tersebut. Pada praktiknya, LAZIS
Sabilillah pernah meraih penerimaan zakat sebesar 50% hingga 100% dari angka tahun lalu.
Peningkatan penerimaan zakat LAZIS Sabilillah setiap tahunnya dapat dilihat pada grafik
berikut:
Gambar 1: Grafik Perolehan Zakat LAZIS Sabilillah Malang tahun 2013-
2015 (dalam Rupiah)
Sumber: Majalah Komunitas Sabilillah, diolah penulis.
389203387508581656
618724680
0
20000000
40000000
60000000
80000000
2013 2014 2015
Perolehan zakat
LAZIS Sabilillah memiliki 19 orang karyawan yang dibagi menjadi pengurus inti dan
pengurus harian. Pengurus inti umumnya bertugas mengawasi dan mengevaluasi jalannya
lembaga, sedangkan pengurus harian melaksanakan kegiatan operasional lembaga. Terdapat
sembilan orang pengurus harian. Namun sejauh pengamatan dalam penelitian hanya ada lima
orang yang bertugas di kantor sekretariat, sedangkan empat orang sisanya bertugas di bagian
kerja Yayasan Masjid Sabilillah yang lain seperti koperasi dan Madrasah Quran Sabilillah.
Dalam kegiatan penghimpunan zakat, pengurus harian tidak secara aktif turun ke
lapangan untuk menjemput zakat muzakki. Ini disebabkan pekerjaan pengurus harian lebih
difokuskan pada distribusi ZISWA. Terdapat staf Fundraising dalam struktur organisasi LAZIS
Sabilillah, namun anggotanya bukan merupakan bagian dari pengurus. Staf Fundraising ini
sebatas diminta tolong saja oleh LAZIS Sabilillah untuk menjaring donasi dari lingkungan
korporat. Dari keterangan Fazah, staf ini berakhir mandul, dan pekerjaan mereka diserahkan
pada staf Marketing.
Untuk penghimpunan zakat, LAZIS Sabilillah merekrut volunteer yaitu orang yang
bertugas untuk menjemput zakat muzakki secara door to door. Status volunteer ini disebut
sebagai karyawan LAZIS Sabilillah dan berhak memperoleh imbalan kerja. Berdasarkan
keterangan Mamad, terdapat dua orang volunteer yang aktif mengerjakan tugasnya.
Selain penjemputan zakat secara door to door, LAZIS Sabilillah juga melayani
penerimaan zakat secara langsung di kantor sekretariat dan melaui rekening bank. Untuk
mengantisipasi muzakki yang datang ke kantor sekretariat sewaktu-waktu, Fazah mengatakan
bahwa LAZIS Sabilillah menetapkan kebijakan bahwa setidaknya ada satu orang yang siap
sedia di kantor.
3) Sistem komunikasi.
LAZIS Sabilillah melakukan publikasi dan komunikasi dengan berbagai media, baik
tertulis maupun elektronik. LAZIS Sabilillah mencetak buletin atau majalah hampir setiap
bulan, di mana di dalamnya memuat pemberitaan tentang kegiatan yang telah dilakukan, artikel
dakwah, dan laporan keuangan. Buletin ini umumnya dikirimkan pada muzakki serta diberikan
kepada para muzakki potensial.
Di samping buletin, berita tentang kegiatan LAZIS Sabilillah seperti informasi
penerimaan dan penyaluran dana zakat beserta infaq/sedekah juga disiarkan melalui khotbah
Shalat Jumat. LAZIS Sabilillah juga menyediakan layanan konsultasi zakat saat Bulan
Ramadhan kepada masyarakat melalui kerja sama dengan pihak media massa lokal. Mamad,
selaku sekretaris LAZIS Sabilillah menuturkan:
…dengan iklan, iklan layanan masyarakat. Baik itu kita melalui media cetak, televisi,
radio. Kalo radio bagaimana modelnya, ya kita gunakan sistem yang umum itu tausiyah,
pengajian, itu lewat radio. …Media partner-nya ada Radio Kosmonita, Radio Kencana,
Batu TV, Malang TV, JTV, Radar Malang.
LAZIS Sabilillah juga memiliki database muzakki yang digunakan untuk keperluan
pelaporan keuangan melalui buletin. Namun database ini hanya mere‟kam muzakki yang
melakukan serah-terima zakat secara langsung dengan pihak LAZIS Sabilillah. Muzakki yang
menyerahkan zakat melalui transfer rekening bank sulit untuk dideteksi.
4) Eksekusi.
LAZIS Sabilillah mengedepankan pelayanan yang berazas kekeluargaan. Pada saat
melayani terhadap donatur, pengurus LAZIS berupaya untuk memperlakukan muzakki dengan
lembut dan santun, selayaknya keluarga. Dengan perlakuan tersebut LAZIS Sabilillah dapat
memberi kesan baik terhadap muzakki. Seperti yang diungkapkan oleh Fazah:
Terus itu tadi dari pertama, sifat kekeluargaan kita yang kita terapkan. Kalau misalnya
“hamba Allah aja” ada (donatur) yang kayak gitu, nggak mau disebutkan, kita nggak
kehilangan akal bagaimana mereka nanti bisa lebih dekat dengan kita. “Bu, ya ini saya
tulis Hamba Allah, kalau nanti saya ketemu di jalan masa saya panggil Hamba Allah?”
“Oh, ya mbak nama saya ini.” Akhirnya kan ada interaksi kan? Dengan adanya interaksi
begitu, (mereka) seneng. Terus ketika dia bawa adek kecil, kita basa-basi, kita sapa
adeknya juga. “Adek sudah sekolah di mana?” ditanya. Kita juga berusaha mengenal
keluarga mereka, dan mereka pun biar kenal dengan kita.
Ada kalanya jalinan keakraban tersebut membuat para pengurus LAZIS Sabilillah
dipercaya muzakki untuk melakukan konsultasi masalah agama dan keluarga. Adapun dalam
menghadapi muzakki baru, LAZIS Sabilillah juga berupaya untuk memperkenalkan lembaga
dan program-program saat bertemu tatap muka. Umumnya muzakki baru ini coba-coba untuk
bersedekah di LAZIS Sabilillah, namun para pengurus harian berusaha melakukan penjagaan
melalui pelayanan berazas kekeluargaan pula. Seperti yang diungkapkan oleh Fazah:
Soalnya ada donatur baru itu mesti tanya, “Di sini program-programnya apa? Gini-gini-
gini-gini… Waktu di situlah kita publikasi. Terus kita kasih ini (majalah). Terus ketika
dia mau kasih alamat, ya kita kasih tahu program-program kita, biar dia ingat terus. Kita
menyapa mereka, “Karena yang bapak titipkan, ini…”
Selain menerapkan azas kekeluargaaan, LAZIS Sabilillah memiliki ciri khas dalam
pelayanan zakat, yakni pengurus yang bertugas menerima zakat melakukan doa di depan
muzakki saat tatap muka serah terima zakat. Fazah menambahkan bahwa layanan tersebut
memberikan kesan positif bagi muzakki:
Kalau di sini kan ketika saya menerima atau teman-teman menerima donasi itu
mendoakan mereka. Walaupun itu (donasi) sedikit, kita mendoakan mereka. Ada celetuk
dari donatur, “Oh, enak, di sini itu ada doanya ya… didoakan gitu. Kalau saya bayar di
sana itu ndak, nggak ada pakai doa-doa begini…”
Penerimaan zakat LAZIS Sabilillah mencapai puncaknya pada Bulan Ramadhan. Ini
disebabkan oleh tingginya antusiasme warga Kota Malang untuk membayar zakat fitrah serta
maal di bulan tersebut. Menanggapi fenomena ini, Fazah menuturkan bahwa LAZIS Sabilillah
bersikap responsif dengan cara menggencarkan publikasi penghimpunan zakat:
…terus kalau publikasi spanduk-spanduk gini ini yang gencarnya menjelang Ramadhan.
Kita memang setiap bulannya ada, ini (majalah) juga publikasi, setiap bulannya ada
publikasi. Tapi kenapa kita Ramadhan aja? Kita kan ada zakat fitrah, kebanyakan mereka
yang mau zakat maal juga di Bulan Ramadhan, bulan yang suci. Jadi mereka itu ya
mungkin sekalian zakat fitrah, sekalian zakat maal.
Fazah mengatakan bahwa salah satu penyebab dari memuncaknya penerimaan zakat di
Bulan Ramadhan ialah upaya pengurus LAZIS Sabilillah dalam melakukan penjagaan muzakki,
terutama muzakki yang memiliki nominal zakat di atas satu juta rupiah. Muzakki ini umumnya
jarang datang langsung ke kantor LAZIS Sabilillah untuk menyerahkan zakat. Adapun bentuk
penjagaan yang dilakukan ialah dengan sebisa mungkin meminta kontak muzakki tersebut
untuk menyampaikan majalah dan info program penghimpunan ZIS yang lain. Dengan
demikian, hubungan antara LAZIS Sabilillah dengan muzakki kategori ini dapat terjaga.
Mengenai komunikasi yang dilakukan kepada para muzakki, LAZIS Sabilillah
menerbitkan Majalah Komunitas Sabilillah yang berisi kegiatan lembaga, artikel dakwah, dan
laporan keuangan setiap bulan. Majalah ini umumnya didistribusikan kepada para muzakki dan
donatur sedekah lain sebagai bukti pertanggungjawaban lembaga terhadap amanah yang
diberikan oleh mereka. Namun dalam laporan keuangan yang dilampirkan di majalah tersebut,
hanya memberikan informasi tentang arus kas masuk dan arus kas keluar dengan menyebutnya
sumber penerimaan dana dan rekapitulasi pemanfaatan dana.
Tidak semua muzakki pula memperoleh Majalah Komunitas Sabilillah ini atau bentuk
komunikasi lainnya setelah mereka berzakat di LAZIS Sabilillah. Happy, salah satu muzakki
tetap LAZIS Sabilillah mengaku tidak menerima komunikasi dalam bentuk apapun dari pihak
lembaga:
Nggak sih, biasanya kita begitu bayar, dapat kuitansi langsung pulang.
Analisis SWOT Penghimpunan Zakat LAZIS Sabilillah
Setelah data dari informan mengenai manajemen strategi penghimpunan zakat diperoleh,
berikut adalah data mengenai adanya kelebihan dan kekurangan, baik dari internal maupun
eksternal lembaga yang selanjutnya akan dimasukkan dalam analisis SWOT:
1) Poin Strength (Kekuatan yang dimiliki lembaga).
Peningkatan jumlah penerimaan zakat LAZIS Sabilillah setiap tahunnya tidak lepas dari
usaha publikasi dan sosialisasi yang mereka lakukan. Publikasi dan sosialisasi dilakukan lebih
gencar saat Bulan Ramadhan di mana masyarakat lebih antusias untuk bersedekah.
Sebagaimana dikutip dari Majalah Sabilillah Edisi September 2013, sekitar 2000 muzakki
yang menyerahkan zakat di LAZIS Sabilillah, 25% di antaranya merupakan warga pendatang
dan jamaah transit. Kebanyakan dari mereka mengetahui informasi layanan zakat LAZIS
Sabilillah dari media-media iklan di jalan dan televisi.
Di samping itu pelayanan berazas kekeluargaan yang dilakukan LAZIS Sabilillah
mampu meninggalkan kesan yang baik kepada para muzakki. Pelayanan dan kesan yang baik
ini dirasakan oleh Happy, muzakki tetap LAZIS Sabilillah:
Ya pelayanannya cepet, terus orangnya juga ramah-ramah, seperti itu.
2) Poin Weakness (Kekurangan lembaga yang diupayakan tidak mengganggu jalannya program
kerja)
Kekurangan LAZIS Sabilillah dalam hal penghimpunan zakat ialah kurangnya SDM
untuk melayani penerimaan zakat. Fazah menuturkan bahwa dengan sedikitnya jumlah
pengurus, LAZIS Sabilillah mengalami kesulitan untuk menjangkau muzakki potensial pada
cakupan Malang Raya. Jumlah tenaga volunteer yang sedikit juga menjadi kesulitan tersendiri
untuk meningkatkan pelayanan jemput zakat. Penyebabnya ialah upah yang diberikan dinilai
kurang mencukupi bagi kebutuhan volunteer.
Selain mengenai kekurangan SDM, upaya komunikasi yang dilakukan LAZIS Sabilillah
masih belum tersampaikan kepada semua pihak yang berkepentingan. Salah satunya ialah
adanya muzakki yang tidak menerima pemberitahuan mengenai kegiatan LAZIS Sabilillah
serta laporan keuangannya. Kemudian dari segi pelaporan keuangan lembaga, LAZIS
Sabilillah belum menyajikannya dalam bentuk yang terstandar dengan lima komponen
(neraca, laporan perubahan dana, laporan perubahan aset kelolaan, laporan arus kas, dan
catatan atas laporan keuangan) kepada masyarakat. Dalam Majalah Komunitas Sabilillah yang
memuat laporan keuangan dan terbit setiap bulan, informasi yang disajikan hanya berupa
laporan arus kas masuk dan keluar.
Lebih jauh, menurut Istutik (2013), laporan tersebut juga tidak sesuai dengan aturan
laporan arus kas dalam PSAK 2. Berdasarkan PSAK 2, laporan arus kas harus menyajikan tiga
klasifikasi, yaitu aktivitas operasi, investasi, dan pendanaan (Ikatan Akuntan Indonesia, 2009).
Parmono (2014) memberi contoh untuk arus kas klasifikasi operasi, bagian penerimaan
disajikan dalam kategori penerimaan zakat, infaq, shodaqoh, serta sumber lainnya. Sedangkan
untuk pengeluaran kas disajikan dalam penggunaan untuk fakir-miskin, belanja organisasi dan
personalia (amil), dan lain-lain. Tetapi ketika laporan keuangan LAZIS Sabilillah
dibandingkan dengan contoh tersebut, arus kas operasi bagian penerimaan dikelompokkan
menurut sarana donasi (penerimaan langsung oleh pengurus/volunteer, kotak amal, dan
rekening bank).
Tabel 1: Contoh Pelaporan Penerimaan Kas LAZIS Sabilillah
Sumber: Majalah Komunitas Sabilillah Edisi Maret 2016
Pengelompokan semacam ini dinilai kurang relevan bagi pihak yang berkepentingan,
seperti halnya muzakki. Muzakki tidak dapat mengetahui seberapa besar dana zakat yang telah
dikelola oleh LAZIS Sabilillah. Laporan penggunaan dana zakat yang tidak transparan untuk
publik dapat mengakibatkan ketidakpercayaan pembayar zakat. Oleh karena itu, aturan
pelaporan penggunaan dana zakat diperlakukan pada semua amil di Indonesia (Nikmatuniyah
dalam Istutik, 2013).
3) Poin Opportunity (Peluang yang dapat dimanfaatkan lembaga)
Salah satu faktor pendukung yang menyebabkan perolehan zakat LAZIS Sabilillah
meningkat setiap tahun adalah adanya pandangan masyarakat Kota Malang untuk membayar
zakat fitrah dan maal sekaligus di Bulan Ramadhan. Bulan ini dipandang istimewa bagi umat
muslim yang bersedekah, karena sedekah yang dikeluarkan akan bernilai pahala yang berlipat
ganda daripada bulan-bulan yang lain. Oleh karena itu, sebagian masyarakat Kota Malang
beranggapan untuk sekalian membayar zakat maal pada Bulan Ramadhan. Contohnya Andri:
Zakat maal yang pasti pada saat kita zakat fitrah. Tapi nggak menutup kemungkinan
kalau ada rezeki lebih, kita kan harus menzakati rezeki itu. Cuman kalau yang kayak
gitu itu, saya lebih cenderung ke misalkan panti asuhan, yatim piatu…
Adapun keterangan dari Fazah bahwa LAZIS Sabilillah juga menerima zakat dengan
nominal di atas satu juta rupiah dari beberapa muzakki saat Bulan Ramadhan:
Karena mereka mindset-nya itu zakat itu setahun sekali. Memang kan zakat itu batasnya
satu tahun dikeluarkan. Dan mereka mindset-nya itu Ramadhan. Nah itu bulan yang
lebih afdhol. Makanya saya bilang tadi, ada donatur tahunan. Donatur tahunan itu
biasanya Ramadhan itu tadi.
Menanggapi fenomena tersebut, LAZIS Sabilillah bersikap responsif terhadap
antusiasme masyarakat Kota Malang dalam membayar zakat, yakni dengan menggencarkan
publikasi layanan zakat di Bulan Ramadhan.
4) Poin Threat (Ancaman bagi keberlangsungan program lembaga).
Sebagai LAZ, LAZIS Sabilillah juga bertugas untuk mendistribusikan zakat kepada
golongan yang berhak. Di antara golongan tersebut, terdapat keluarga binaan LAZIS
Sabilillah yang menjadi fokus lembaga dalam pelayanan sosial. Namun bagi masyarakat yang
mengetahui hal ini, LAZIS Sabilillah dipandang masih terbatas dalam segi jangkauan
distribusi zakat. Masyarakat sekitar Masjid Sabilillah berpendapat bahwa masih ada kaum
dhuafa di tempat lain yang layak untuk diberikan zakat. Oleh karena itu, mereka berinisiatif
untuk menyalurkan dana zakat mereka sendiri kepada tujuan yang dikehendaki. Contohnya
Andri bersama keluarga besarnya yang mendistribusikan zakat secara swadaya dan berganti
lokasi tujuan setiap tahun:
Iya, bagi saya kan ya memang mereka mungkin segmen pasarnya sudah banyak. Nah
kita nyoba njarah ke lokasi lainnya yang kita tahu, kan begitu. Karena dari hukumnya
sendiri khususnya zakat fitrah toh? Zakat fitrah apa yang bisa kita makan pada hari raya,
kita wajib berzakat. Cuman kalau di keluarga saya, saya dan keluarga besar saya
sistemnya seperti itu.
Agus pun memiliki pendapat yang sama. Ia bergabung dengan warga lainnya dalam
semacam kelompok pengajian untuk mendistribusikan zakat secara mandiri:
Jadi intinya itu bukan kita tidak percaya dengan kepengurusan yayasan besar, nggak.
Cuman kan kita melihatnya itu kenapa kita tidak melihat yang lain? Dalam artian, kalau
kita selalu ikut ke sini-ke sini, kan akhirnya kepedulian kita ini kan hanya cukup sampai
di situ. Kenapa kita nggak langsung terjun aja? Selama ini program-program yang sudah
dilakukan baik oleh pemerintah maupun apa, kan sasarannya cuma itu-itu aja.
…Padahal yang lainnya kan masih banyak yang belum mendapat bantuan. Sehingga kan
kalau saya pribadi saya melihat, memandangnya itu kan orang-orang dalam penyaluran
itu biasanya tidak ingin ribet. “Wis ndek kono ae, sing biasane ndek kono, yo ndek
kono,” padahal di situ kan sudah mengalami kemajuan.
Andri dan Agus mengakui bahwa kinerja LAZIS Sabilillah cukup baik. Walaupun
mereka memutuskan untuk mendistribusikan zakatnya secara mandiri, komunikasi dengan
pihak LAZIS Sabilillah tetap terjalin dengan baik dan tidak mengucilkan satu sama lain.
Seperti yang diungkapkan oleh Agus:
Ya kita sebagai masyarakat hanya merasa wajib juga lah kita menginformasikan.
Informasi apapun kalau dia itu memang tujuannya untuk pengembangan, supaya
diperhatikan, itu dia sangat terbuka sekali. Sabilillah itu sangat terbuka sekali. Dia
malah berterimakasih kalau kita menginformasikan “ada tempat yang anu pak yang
belum terjangkau oleh masyarakat untuk bantuan ini”. Oh langsung survey dia.
Menyikapi hal tersebut, Fazah selaku pihak LAZIS Sabilillah berujar bahwa tidak
masalah apabila warga memutuskan untuk mendistribusikan zakat mereka sendiri. Namun,
Fazah menekankan bahwa terdapat nilai tambah apabila zakat disalurkan melalui lembaga
amil zakat. LAZIS Sabilillah sendiri memiliki misi untuk mengedukasi kaum dhuafa,
utamanya perihal pengetahuan agama. Maka dari itu, apabila seseorang menerima santunan
dari LAZIS Sabilillah, ia juga memperoleh program pembinaan untuk bekal kehidupannya.
Agus sendiri menilai kemampuan LAZIS Sabilillah dalam melakukan pembinaan
terhadap kaum dhuafa sudah baik. Namun Agus memandang bahwa jumlah SDM Yayasan
Sabilillah secara umum masih terbatas, sedangkan keberadaan kaum dhuafa yang dinilai
jarang menerima zakat juga banyak. Maka dari itu, Agus memutuskan untuk mendistribusikan
zakatnya secara mandiri namun tetap memberi informasi kepada pihak Yayasan Sabilillah
mengenai keberadaan kaum dhuafa tersebut.
Dari penjabaran masing-masing poin, analisis SWOT tersebut dapat dirangkum dalam
gambar berikut:
Tabel 2: Hasil Analisis SWOT Strategi Penghimpunan Zakat LAZIS Sabilillah Malang
Strength
• Publikasi dan sosialisasi yang gencar di
berbagai media
• Pelayanan berazas kekeluargaan
Weakness
• Kekurangan SDM untuk ekspansi
penghimpunan zakat
• Komunikasi terhadap para muzakki kurang
merata, terutama menyangkut laporan
keuangan.
Opportunity
• Mindset muzakki tentang pembayaran
zakat maal di Bulan Ramadhan
Threat
• Pandangan masyarakat terhadap jangkauan
lembaga terhadap mustahiq yang masih
terbatas
Sumber: diolah penulis, 2017.
E. KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Kesimpulan yang bisa ditarik dari hasil penelitian ini adalah:
1. Strategi penghimpunan zakat yang dilakukan LAZIS Sabilillah melalui beberapa proses,
yaitu:
a. LAZIS Sabilillah melakukan positioning lembaga sebagai lembaga sosial berbasis masjid.
b. Target muzakki LAZIS Sabilillah adalah masyarakat Kota Malang secara umum, serta
masyarakat sekitar Masjid Sabilillah secara khusus.
c. LAZIS Sabilillah memiliki beberapa fasilitas yang memudahkan muzakki dalam
membayar zakat, yaitu layanan tatap muka (baik di kantor sekretariat maupun dengan
volunteer yang menjemput zakat) dan transfer rekening bank.
d. LAZIS Sabilillah melakukan upaya publikasi dan komunikasi dengan menyebarkan
buletin. Selain menerbitkan buletin secara berkala setiap bulan, LAZIS Sabilillah juga
mengadakan publikasi dan sosialisasi layanan zakat melalui kerja sama dengan beberapa
media partner, baik media cetak (koran) maupun media elektronik (radio dan TV lokal).
Kerja sama dengan media partner ini khususnya dilakukan saat Bulan Ramadhan.
e. Pengurus LAZIS Sabilillah mengedepankan azas kekeluargaan dalam melayani muzakki
serta mendoakan muzakki saat serah-terima zakat.
2. Faktor pendukung dan penghambat LAZIS Sabilillah dalam penghimpunan zakat ialah:
a. Faktor pendukung internal yang menunjang ialah LAZIS Sabilillah berhasil melakukan
publikasi dan sosialisasi layanan zakat secara ekspansif di berbagai media dan melayani
muzakki berdasarkan azas kekeluargaan.
b. Faktor internal yang menghambat LAZIS Sabilillah ialah kurangnya SDM untuk
melakukan ekspansi layanan zakat. Kurangnya SDM ini disebabkan oleh
ketidakmampuan LAZIS Sabilillah untuk memberikan upah yang melebihi UMR. Ada
pula komunikasi lebih lanjut yang dilakukan LAZIS terhadap muzakki belum merata,
terutama menyangkut pertanggungjawaban LAZIS seperti laporan keuangan.
c. Faktor eksternal yang menunjang penerimaan zakat LAZIS Sabilillah ialah mindset
muzakki salam membayarkan zakat maal khusus di Bulan Ramadhan demi memperoleh
pahala yang berlipat ganda.
d. Faktor eksternal yang mengancam LAZIS Sabilillah dalam penghimpunan zakat adalah
pandangan masyarakat sekitar terhadap LAZIS Sabilillah yang masih terbatas dalam
cakupan pendistribusian zakat kepada mustahiq.
Saran
Saran yang bisa diberikan dari penelitian ini terhadap upaya penghimpunan zakat oleh
LAZIS Sabilillah Malang adalah:
1. Untuk mengatasi kekurangan SDM yang melayani muzakki, LAZIS Sabilillah dapat
memberlakukan keagenan zakat. Keagenan zakat yang dimaksud bertujuan untuk mencapai
efisiensi pekerjaan amil zakat yang berperan untuk melakukan sosialisasi, edukasi, dan
pelayanan zakat kepada muzakki yang masih awam dalam hal pembayaran zakat. Keagenan
zakat ini berprinsip wakalah, yaitu amil mewakilkan pekerjaannya kepada orang di luar
lembaga untuk menjemput zakat. LAZIS Sabilillah juga dapat menerapkan sistem upah
berdasarkan tingkat kontribusi para agen, sehingga dapat memicu agen menjadi lebih
produktif.
2. LAZIS Sabilillah perlu mengupayakan pemerataan informasi mengenai pertanggungjawaban
lembaga terhadap muzakki secara merata. Khususnya laporan keuangan yang disusun secara
terstandar dan transparan. Selain melalui majalah, LAZIS juga dapat mempublikasikan
laporan keuangan lewat situs web resmi lembaga ataupun media massa agar muzakki maupun
masyarakat umum dapat lebih mudah menjangkau informasi.
3. Mengingat adanya masyarakat sekitar yang peduli terhadap pemerataan distribusi zakat,
LAZIS Sabilillah dapat melibatkan peran mereka secara aktif untuk mencari informasi daerah
mana saja yang perlu memperoleh bantuan zakat. LAZIS Sabilillah juga perlu menyampaikan
secara terbuka kepada masyarakat mengenai pentingnya peran lembaga amil zakat dalam
pembinaan mustahiq, bagaimana kondisi keluarga binaan, dan sejauh mana progress
pembinaan yang telah dilakukan. Dengan demikian, kepercayaan masyarakat sekitar terhadap
LAZIS Sabilillah diharapakan dapat meningkat.
DAFTAR PUSTAKA
Afifi, Agus Thayib dan Shabira Ika. 2010. Kekuatan Zakat, Hidup Berkah Rezeki Berlimpah.
Yogyakarta: Pustaka Albana.
Agung Parmono. 2014. Perlakuan Akuntansi Zakat terhadap Lembaga Amil Zakat.
http://ejournal.iain-jember.ac.id/index.php/aliqtishadi/article/download/318/310 diakses pada 8
Januari 2017.
Allison, Michael dan Jude Kaye. 1997. Perencanaan Strategis Bagi Organisasi Nirlaba: Pedoman
Praktis dan Buku Kerja. Terjemahan oleh anonim. 2004. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Almas, Bahrina dan Umar Burhan. 2015. Zakat dan Pajak: Keadilan Redistribusi Perspektif Islam.
Malang: http://jimfeb.ub.ac.id diakses pada 26 Januari 2017.
Amirullah. 2015. Manajemen Strategi: Teori-Konsep-Kinerja. Jakarta: Mitra Wacana Media.
An-Najah, Ahmad Zain. 2012, 30 Juni. Siapa yang Berhak Disebut Amil Zakat.
http://www.ahmadzain.com/read/ilmu/385/siapa-yang-berhak-disebut-amil-zakat/ diakses pada
28 Januari 2016.
El-Ashker, Ahmed, dan Rodney Wilson. 2006. Islamic Economics: a Short History. Leiden:
Koninklijke Brill NV.
Fakhrruddin. 2008. Fiqh dan Manajemen Zakat di Indonesia. Malang: UIN-Press.
Faridi, F. R. 1983. A Theory of Fiscal Policy in Islamic State. Fiscal Policy and Resource
Allocation in Islam. Islamabad: Institute of Policy Studies.
Hasbi, Al-Furqon. 2008. 125 Masalah Zakat. Solo: Tiga Serangkai.
Hizbut Tahrir. 2009, 24 September. Siapakah Amil Zakat? http://hizbut-
tahrir.or.id/2009/09/24/siapakah-amil-zakat/ diakses pada 28 Januari 2016.
Ikatan Akuntan Indonesia. 2008. Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan No. 109 tentang
Akuntansi Zakat dan Infak/Sedekah. Jakarta: Dewan Standar Akuntansi Keuangan.
Ikatan Akuntan Indonesia. 2009. Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan No. 2 tentang Laporan
Arus Kas. Jakarta: Dewan Standar Akuntansi Keuangan.
Istutik. 2013. Analisis Implementasi Akuntansi Zakat dan Infak/Sedekah (PSAK:109) pada
Lembaga Amil Zakat di Kota Malang. Jurnal Akuntansi Aktual; Vol. 2, (No. 1): 19-241.
Juwaini, Ahmad. 2005. Panduan Direct Mail untuk Fundraising. Depok: Piramedia.
Metwally, M. M. 1983. Fiscal Theory in an Islamic Policy. Fiscal Policy and Resource Allocation
in Islam. Islamabad: Institute of Policy Studies.
Mubarok, Abdulloh dan Baihaqi Fanani. 2014. Penghimpunan Dana Zakat Nasional (Potensi,
Realisasi dan Peran Penting Organisasi Pengelola Zakat). Permana; Vol. V, (No. 2): 7-16.
Muhammad dan Abubakar HM. 2011. Manajemen Organisasi Zakat: Perspektif Pemberdayaan
Umat dan Strategi Pengembangan Organisasi Pengelola Zakat. Malang: Madani.
Purhantara, Wahyu. 2010. Metode Penelitian Kualitatif untuk Bisnis. Yogyakarta. Graha Ilmu.
Ramadhita. 2012. Optimalisasi Peran Lembaga Amil Zakat dalam Kehidupan Sosial. Jurisdictie,
Jurnal Hukum dan Syariah; Vol. 3, (No. 1): 24-34.
Solihin, Ismail. 2009. Pengantar Manajemen. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Sudirman. 2007. Zakat dalam Pusaran Arus Modernitas. Malang: UIN-Press.
Sule, Ernie Trisnawati dan Kurniawan Saefullah. 2010. Pengantar Manajemen. Jakarta: Perdana
Media Group.
Tuasikal, Muhammad Abduh. Tanpa tahun. Salah Paham dengan Istilah Amil Zakat.
https://rumaysho.com/1225-salah-paham-dengan-istilah-amil-zakat.html diakses pada 28
Januari 2016.
Wahyuni, Sari. 2012. Qualitative Research Method: Theory and Practice. Jakarta: Salemba
Empat.
Wirartha, I Made. 2006. Metodologi Penelitian Sosial Ekonomi. Yogyakarta: Andi Offset.