STRATEGI DIPLOMASI INDONESIA DALAM PEMBEBASAN 10 ABK WNI DARI KELOMPOK ABU SAYYAF TAHUN 2016 Oleh : Putu Ratih Kumala Dewi Abstrak : Indonesia kembali dikejutkan oleh peristiwa pembajakan kapal dan penyanderaan 10 awak kapal berkewarganegaraan Indonesia oleh kelompok separatis Abu Sayyaf di Filipina Selatan. Ini memang bukan pertama kalinya bagi Indonesia dimana warga negaranya disandera oleh kelompok separatis, namun keberhasilan pemerintah Indonesia dalam membebaskan sandera dari kelompok Abu sayyaf ini menarik untuk dibahas dikarenakan 10 ABK WNI yang menjadi sandera mampu dibebaskan kurang dari 3 bulan sejak kejadian pembajakan kapal, tanpa tebusan dan tanpa kontak senjata. Sehingga timbul pertanyaan bagimanakah strategi diplomasi Indonesia dalam pembebasan 10 ABK WNI dari kelompok Abu Sayyaf? Dalam menjawab pertanyaan diatas, penulis menggunakan konsep diplomasi, multi-track diplomacy dan peace making. Hasil dari penelitian ini adalah strategi diplomasi yang digunakan oleh Indonesia adalah Total Diplomasi dimana selain menjalankan first track diplomacy juga menjalankan second track diplomacy yang melibatkan track dua (aktor non pemerintah dan profesional) dan track empat (penduduk sipil). Kata kunci : Diplomasi Indonesia, Abu Sayyaf, Multi Track Diplomacy, Total Diplomasi,
22
Embed
STRATEGI DIPLOMASI INDONESIA DALAM PEMBEBASAN 10 …
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
STRATEGI DIPLOMASI INDONESIA DALAM PEMBEBASAN 10 ABK WNI DARI
KELOMPOK ABU SAYYAF TAHUN 2016
Oleh : Putu Ratih Kumala Dewi
Abstrak : Indonesia kembali dikejutkan oleh peristiwa pembajakan kapal dan
penyanderaan 10 awak kapal berkewarganegaraan Indonesia oleh kelompok
separatis Abu Sayyaf di Filipina Selatan. Ini memang bukan pertama kalinya bagi
Indonesia dimana warga negaranya disandera oleh kelompok separatis, namun
keberhasilan pemerintah Indonesia dalam membebaskan sandera dari kelompok
Abu sayyaf ini menarik untuk dibahas dikarenakan 10 ABK WNI yang menjadi
sandera mampu dibebaskan kurang dari 3 bulan sejak kejadian pembajakan kapal,
tanpa tebusan dan tanpa kontak senjata. Sehingga timbul pertanyaan bagimanakah
strategi diplomasi Indonesia dalam pembebasan 10 ABK WNI dari kelompok
Abu Sayyaf? Dalam menjawab pertanyaan diatas, penulis menggunakan konsep
diplomasi, multi-track diplomacy dan peace making. Hasil dari penelitian ini
adalah strategi diplomasi yang digunakan oleh Indonesia adalah Total Diplomasi
dimana selain menjalankan first track diplomacy juga menjalankan second track
diplomacy yang melibatkan track dua (aktor non pemerintah dan profesional) dan
track empat (penduduk sipil).
Kata kunci : Diplomasi Indonesia, Abu Sayyaf, Multi Track Diplomacy, Total
Diplomasi,
PENDAHULUAN
Indonesia kembali dikejutkan oleh peristiwa pembajakan kapal dan penyanderaan awak
kapal berkewarganegaraan Indonesia. Pada tanggal 26 Maret 2016 , dua kapal berbendera
Indonesia dibajak oleh kelompok Abu Sayyaf saat sedang berlayar dari Sungai Puting,
Kalimantan Selatan menuju ke Batangas, Filipina selatan. Dua kapal yang dibajak itu adalah
kapal Brahma 12 dan kapal tongkang Anand 12 yang membawa 10 orang awak kapal
berkewarganegaraan Indonesia. Dalam Penyanderaan 10 ABK WNI ini, Pihak pembajak yakni
kelompok Abu Sayyaf menyampaikan tuntutan dalam membebaskan 10 WNI dengan syarat
uang tebusan sebesar 50 juta peso dengan tenggat waktu hingga 31 Maret 2016 (Simanjuntak,
2016).
Keberadaan kelompok gerakan separatis Abu Sayyaf merupakan pecahan dari kelompok
pejuang Moro yang berkonflik di Filipina Selatan. Filipina Selatan adalah sebuah daerah yang
tidak henti-hentinya mengalami konflik. Konflik di Filipima berkaitan erat dengan persaingan
misi agama Islam dan Kristen/ pasca abad ke-13. Diskriminasi negara terhadap kelompok
minoritas Muslim menjadi lebih kentara ketika menyebut mereka sebagai Moro, artinya identik
dengan kelompok Islam yang dulu menduduki Spanyol. Bermula dari inilah konflik terus
berkecamuk. Agama dan identitas etnik bahkan menempati bagian penting dari konflik itu.
Pemberontakan oleh kelompok Muslim Minoritas di Mindanao, Filipina Selatan, misalnya, lebih
karena diperlakukan tidak adil dalam kehidupan ekonomi dan politik, walaupun ada unsur agama
yang cukup berperan.
Orang-orang dalam kelompok Abu Sayyaf merupakan mantan anggota Front
Pembebasan Muslim Moro (MNLF) yang merasa tidak puas dengan cara-cara yang diambil
seniornya di MNLF, sehingga dalam kelompok kecil mereka yang muda-muda membentuk
kelompok baru dan mendapat simpati dari para pendukungnya. Tujuan kelompok Abu Sayyaf
jelas memperjuangkan kelompok minoritas di Filipina dengan menggunakan aksi kekerasan.
Tindakan separatis ini mendapat perlawanan dari pemerintah Filipina. Pemerintah dan militer
negara itu seringkali menurunkan pasukan dengan mesin perang lengkap untuk menekan
pergerakan kelomok ini sehingga menimbulkan kontrak senjata.
Walaupun bermula dari konflik domestik di Filipina namun beberapa waktu terakhir
kelompok ini semakin memperlebar jaringan hingga ke Malaysia dan Indonesia. Kelompok Abu
Sayyaf diduga bertanggung jawab atas serangkaian aksi penyanderaan, kekerasan serta
pembunuhan terutamanya warga negara asing dan sederet aksi kriminal terorisme dan tindak
pidana lainya. Nama kelompok Abu Sayyaf yang telah digolongkan dalam Organisasi Teror
Asing (Foreign Terorist Organizations) kembali mencuat setelah baru baru ini, melakukan
pembajakan terhadap dua kapal dengan 10 ABK WNI yang membawa 7.000 ton batubara
bertolak dari Banjarmasin, Kalimantan Selatan, menuju Filipina pada 15 Maret (Satria Hadi,
2016).
Pemerintah Indonesia dalam mengupayakan pembebasan 10 ABK WNI ini
mengutamakan pendekatan kemanusiaan, kedekatan religius menjadi prioritas melalui upaya
persuasif, negosiasi, diplomasi, sebelum memutuskan mengambil langkah operasi militer sebagai
pilihan terakhir. Hingga pada tanggal 12 Mei 2016 10 ABK WNI dibebaskan tanpa tebusan
atapun kontak senjata.
Ini memang bukan pertama kalinya bagi Indonesia dimana warga negaranya disandera
oleh kelompok separatis, namun keberhasilan pemerintah Indonesia dalam membebaskan
sandera dari kelompok Abu sayyaf ini menarik untuk dibahas dikarenakan 10 ABK WNI yang
menjadi sandera mampu dibebaskan kurang dari 3 bulan sejak kejadian pembajakan kapal, tanpa
tebusan dan tanpa kontak senjata. Sehingga timbul pertanyaan bagimanakah strategi diplomasi
Indonesia dalam pembebasan 10 ABK WNI dari kelompok Abu Sayyaf?
METODE PENELITIAN
Artikel ilmiah ini menggunakan metode penulisan deskriptif atau studi kepustakaan
(library research). Pengumpulan data lebih difokuskan pada informasi-informasi atau kajian
yang diperoleh dari buku, surat kabar elektronik, dan publikasi dari instansi-instansi terkait yang
relevan dengan peristiwa dalam artikel ilmiah ini seperti Kementrian Luar Negeri Indonesia dan
pemerintah Filipina. Selain itu, data-data yang diperoleh berasal dari media internet sebagai
penunjang informasi untuk keperluan analisis.
Adapun kerangka pemikiran yang digunakan untuk menganalisa permasalahan dalam
artikel ilmiah ini adalah konsep diplomasi, multi-track diplomacy dan peace making,. Di dalam
konsep-konsep ini dijabarkan bahwa negara dalam mencapai kepentingan nasionalnya dengan
melalui diplomasi.
Diplomasi merupakan aktivitas politik yang penting dan membutuhkan sumber daya dan
keahlian yang baik. Tujuannya adalah untuk memungkinkan Negara mengamankan kebijakan
luar negerinya tanpa menggunakan kekerasan , perang, propaganda atau hukum (Berridge. 2002:
1). Diplomasi secara teori yaitu praktek pelaksanaan hubungan antar negara melalui perwakilan
resmi. Diplomasi menurut R. P. Barston adalah manajemen hubungan antar negara atau
hubungan antar negara dengan aktor-aktor hubungan internasional lainnya. Adapun sebuah
definisi yang terkait dengan metode yaitu diplomasi mewakili tekanan politik, ekonomi dan
militer kepada negara-negara yang terlibat dalam aktivitas diplomasi, yang diformulasikan dalam
pertukaran permintaan dan konsesi antara para pelaku negosiasi.
Diplomasi juga merupakan teknik operasional untuk mencapai kepentingan nasional di
luar wilayah jurisdiksi sebuah Negara (Olton dan Plano, 1999: 201). Sedangkan pengertian lain
mengatakan diplomasi sangat erat dihubungkan dengan hubungan antar negara, adalah seni
mengedepankan kepentingan suatu negara melalui negosiasi dengan cara-cara damai apabila
mungkin dalam berhubungan dengan negara lain (Roy, 1991: 5). Azeta Cungu dan Tanya
Alfredson mendefinisikan strategi diplomasi sebagai sebuah rencana atau metode yang
digunakan untuk mencapai kebijakan luar negeri (Cungu dan Alfredson, 2008: 6).
Bagi negara manapun, tujuan diplomasi adalah pengamanan kebebasan politik dan
integritas teritorialnya. Ini bisa dicapai dengan memperkuat hubungan dengan negara sahabat,
memelihara hubungan erat dengan negara yang sehaluan dan menetralisir negara yang memusuhi
(Roy, 1991: 5). Beberapa ahli menyimpulkan, unsur diplomasi yaitu negosiasi yang dilakukan
untuk mencapai kepentingan nasional dengan tindakan-tindakan diplomatik yang diambil untuk
menjaga dan memajukan kepentingan nasional sejauh mungkin bisa dilaksanakan dengan sarana
damai, pemeliharaan perdamaian tanpa merusak kepentingan nasional adalah tujuan diplomasi.
Untuk mencapai tujuan kepentingan nasional, diplomasi tidak hanya dilakukan antar
Negara tetapi juga antara Negara dengan subyek hubungan Internasional lainnya, tidak hanya
dilakukan oleh Negara tetapi juga semua subyek hubungan Internasional. Hal ini tercermin
dalam konsep multi track diplomacy. Konsep multi track diplomacy muncul sebagai sebuah
sistem peacemaking (Diamond dan McDonald.1996:12)
Dalam multi track diplomacy, pelaksanaan diplomasi dilakukan melalui beberapa jalur,
diantaranya:
1) Track one: government
Track one atau First Track Diplomacy, yaitu upaya-upaya diplomasi yang dilakukan
berdasarkan interaksi pemerintah secara resmi, (Diamond dan McDonald. 1996: 26)
2) Track two: nongovernment/ professional
Dimana pada jalur ini, seorang professional non-pemerintah mampu mewujudkan perdamaian
melalui resolusi konflik untuk menganalisa, mencegah, menyelesaikan, serta mengakomodasi
konflik internasional dengan cara komunikasi, pemahaman, dan membangun hubungan baik
dalam menghadapi masalah secara bersama-sama. Aktor-aktor disini tentu memiliki potensi
yang besar untuk menciptakan perdamaian dengan caranya tanpa adanya intervensi dari
pemerintah (Diamond dan McDonald. 1996: 52)
3) Track three: business
Dimana dalam menciptakan perdamaian, pada jalur ini menggunakan perdagangan yang juga
dapat membawa keuntungan. Bisnis menjadi lahan yang potensial untuk pencapaian
peacebuilding melalui aspek ekonomi. Tidak hanya itu, hubungan persahabatan dan
pemahaman internasional melalui komunikasi informal juga dapat mendukung berbagai
kegiatan dalam mewujudkan perdamaian. Sebagai contoh ialah kerjasama antara Indonesia
dengan Cina dalam kesepakatan perdagangan bebas. Melalui kesepakatan tersebut, tentu saja
dapat menciptakan simbiosis mutualisme di antara kedua negara sehingga potensi untuk
terjadinya konflik di kedua negara tersebut dapat terhindarkan melalui kerjasama yang
dilakukan. (Diamond dan McDonald. 1996: 52)
4) Track four :private citizen
Track keempat ialah warga negara privat. Dalam jalur ini, pencapaian perdamaian dilakukan
oleh warga negara privat atau personal yang berkontribusi dalam kegiatan pembangunan dan
perdamaian. Pada jalur ini biasanya dilakukan dengan diplomasi yang dilakukan oleh seorang
warga negara melalui program pertukaran, organisasi voluntary privat, NGOs dan berbagai
kelompok kepentingan. Biasanya aktivitas pada jalur ini tidak terlihat oleh mata publik dan
hanya melalui pemahaman saja pencapaian perdamaian dapat dilakukan. Sebagai contoh
program pertukaran pelajar yang ditawarkan institusi tertentu dengan misi menyelesaikan satu
proyek sosial yang bermanfaat tidak hanya bagi negaranya saja akan tetapi juga bagi negara
yang dituju (Diamond dan McDonald. 1996: 60)
5) Track five : research, training and education
Pada jalur ini, menekankan pada proses pembelajaran sebagai wujud terciptanya perdamaian.
Kajiannya meliputi penelitian yang berhubungan dengan institusi pendidikan baik sekolah
maupun universitas dan think tanks yakni penelitian, analisis, dan program studi, serta pusat
penelitian kelompok yang berkepentingan khusus. Think tanks dalam hal ini memiliki banyak
akivitas seperti penelitian dan analisis mengenai situasi dan beberapa konflik yang
berhubungan dengan studi kasus. Selain itu, kegiatan yang dilakukan melalui seminar dan
workshop dimanfaatkan sebagai sarana untuk mengeksplor sebuah masalah. Isu-isu yang ada
dalam komunitas pendidikan juga mengenai bagaimana mendapatkan sebuah keadilan tanpa
harus terjadi kekerasarn. Sebagai contoh ialah program beasiswa yang ditawarkan oleh
institusi tertentu sebagai pelatihan untuk meningkatkan pemikiran yang kritis tergantung
dengan program yang diambil sesuai minat dan bakatnya (Diamond dan McDonald. 1996: 70)
6) Track six : activism
ada jalur ini menekankan pada aktivisme dalam hal HAM, lingkungan hidup, keadilan sosial
dan ekonomi, serta advokasi terhadap kepentingan khusus mengenai kebijakan tertentu yang
diambil pemerintah. Aktivisme tersebut diwujudkan dalam bentuk protes, pendidikan,
advokasi, aturan, dukungan, dan pengawasan (Diamond dan McDonald. 1996: 87)
7) Track seven: religion
Pada jalur ini, kegiatan yang dilakukan berorientasi pada perdamaian oleh komunitas-
komunitas spiritual dan religius dan anti kekerasan. Biasanya gerakan-gerakan tersebut
merujuk pada pacifisme yakni adanya kepercayaan bahwa resolusi konflik dengan jalan damai
adalah yang paling benar dan sanctuary yakni tempat yang dianggap suci dan mampu
melindungi seseorang. Sebagai contoh ialah tindakan sosial berupa kampanye atau diskusi
yang dilakukan komunitas religius (Diamond dan McDonald. 1996: 97)
8) Track eight : funding
Hal ini terkait dengan perwujudan perdamaian melalui pendanaan oleh komunitas tertentu
yang mampu menyediakan dukungan finansial untuk berbagai kegiatan yang dilaksanakan
oleh jalur-jalur lain. Sebagai contoh ialah yayasan Ford Foundation, yakni yayasan yang
bergerak dalam bidang pendidikan dan penelitian dimana berkonsentrasi pada isu-isu
keamanan dan kebijakan publik (Diamond dan McDonald. 1996: 108)
9) Track nine : communication and the media
Pada jalur ini, pelaksanaan perdamaian dilakukan melalui informasi dimana memanfaatkan
media yang ada baik melalui media cetak, elektronik dan lain-lain. Penyebaran informasi yang
dilakukan melalui media tertentu dapat menjadi sarana edukasi misalnya melalui film
dokumenter sejarah atau kebutuhan akan informasi yang dapat diakses dengan cepat melalui
media cetak atau internet (Diamond dan McDonald. 1996: 120)
Kedelapan track mulai dari track 2-9 dapat disebut sebagai Second Track Diplomacy,
yaitu upaya-upaya diplomasi yang dilakukan oleh elemen-elemen non pemerintah secara tidak
resmi. Upaya ini harus melancarkan jalan bagi negosiasi dan persetujuan dalam rangka first track
diplomacy dengan memanfaatkan informasi penting dari para pelaku second track diplomacy.
Hal ini dibutuhkan dalam rangka mencapai kesuksesan dalam menjalankan misi politik luar
negeri. Second-track diplomacy di dalam pelaksanannya melibatkan berbagai aktor dengan latar
belakang yang berbeda-beda, sesuai dengan bidangnya masing-masing, contohnya kaum bisnis
atau profesional, warga negara biasa, kaum akademisi (peneliti, pendidik),NGO, lembaga-
lembaga keagamaan dan keuangan, dan jalur kesembilan yakni media massa. Media massa
dinilai memiliki fungsi yang sangat strategis karena memainkan peran sebagai pemersatu seluruh
aktor diplomasi publik melalui aktivitas komunikasi yang dibuat olehnya. Second Track
Diplomacy dilakukan dengan melibatkan People-to-People Diplomacy untuk melancarkan jalan
bagi negosiasi dan persetujuan dalam rangka menunjangfirst track diplomacy.
Tabel 1. Track I dan Track II Diplomacy
Track I Track II
Aktor
Perwakilan resmi,
pemerintah, organisasi
Multinasional, Elit,
pemimpin lawan
Perwakilan tidak resmi, NGO,
pemimpin lokal dan regional,
kelompok Grassroots
Metode
Insentif positif dan
negative, mediasi,
dukungan politik dan
ekonomi
Diskusi dua-arah, workshop
pendidikan, rekonsiliasi
Grassroots
Arena Konflik Hadir dalam semua arena
akan tetapi lebih
Hadir di semua arena tetapi
lebih berperan dalam
menekankan pada
Peacemaking dan
Peacekeeping ketika aktor
resmi memutuskan untuk
menghentikan-pertikaian,
kedamaian dimungkinkan
dan adanya langkah untuk
bernegosiasi dalam
perjanjian.
pencegahan konflik dan
Peacebuilding ketika aktor
lokal dan regional mendeteksi
adanya tanda bahaya terkait
dengan kekerasan dan dengan
segera dapat mendukung
teknik rekonsiliasi personal
antara pihak yang berlawanan.
Multi track diplomacy merupakan bagian dari peace making, sehingga patut dijelaskan
makna peace making disini. Peace making dalam kaitannya dengan multi-track diplomacy
mempunyai arti yang lebih umum. Peace making memiliki arti tidak hanya serangakaian
tindakan untuk mewujudkan perdamaian diantara pihak yang berlawanan tetapi juga merupakan
serangkaian tindakan untuk mencegah, memanajemen,dan resolusi konflik; untuk rekonsiliasi;
untuk eksplorasi berbagai isu terkait perdamaian umum maupun berbagai tipe konflik yang lebih
khusus; untuk mendidik dan meneliti berbagai isu tersebut; untuk membangun teori dan praktek
langsung; untuk mempengaruhi kebijakan; untuk menyediakan informasi; untuk memfasilitasi
dialog; negosiasi dan mediasi;dan semua tindakan itu didasari dan ditujukan untuk membangun
hubungan yang lebih baik antara Negara maupun masyarakat ((Diamond dan McDonald. 1996:
13). Konsep peace making dalam tulisan ini adalah untuk melihat bagaimana strategi diplomasi
yang dipilih Indonesia dalam usaha pembebasan 10 ABK WNI yang menjadi tahanan ditujukan
untuk mewujudkan peace making yakni mencapai resolusi konflik, memfasilitasi
dialog,negosiasi dan mediasi dalam mencapai tujuan akhir yakni pembebasan sandera tanpa
menggunakan kekerasan.
Konsep diplomasi, multi track diplomacy dan peace making inilah yang akan digunakan
untuk menganalisis bagaimana strategi diplomasi yang digunakan oleh Indonesia dalam
mencapai kepentingan nasionalnya, dalam hal ini adalah untuk menyelamatkan 10 ABK WNI
yang menjadi tawanan.
PEMBAHASAN
Kelompok Abu Sayyaf Dalam Hubungan Internasional
Kelompok Abu Sayyaf merupakan sebuah kelompok militan yang berdiri pada awal tahun
1990-an (Sholahuddin, 2011: 25) dan beroperasi di Filipina Selatan. Kelompok militant berbasis
agama ini mengupayakan berdirinya sebuah negara Islam yang merdeka di Mindanao bagian
Barat dan daerah Sulu, dimana daerah Filipina Selatan merupakan daerah dengan populasi umat
Muslim tertinggi (Manalo, 2004 :32).
Filipina Selatan adalah sebuah daerah yang tidak henti-hentinya mengalami konflik.
Konflik bermula dari persaingan misi agama Islam dan Kristen/ pasca abad ke-13. Diskriminasi
negara terhadap kelompok minoritas Muslim menjadi lebih kentara ketika menyebut mereka
sebagai Moro, artinya identik dengan kelompok Islam yang dulu menduduki Spanyol. Dari
sinilah konflik terus berkecamuk. Agama dan identitas etnik bahkan menempati bagian penting
dari konflik itu. Pemberontakan oleh kelompok Muslim Minoritas di Mindanao, Filipina Selatan,
misalnya, lebih karena diperlakukan tidak adil dalam kehidupan ekonomi dan politik, walaupun
hal yang paling krusial adalah menyangkut agama.
Konflik di Filipina terus berlanjut, setelah Spanyol berkuasa maka beralih kekuasaan
kepada Amerika, Jepang dan sampai Filipina memproklamasikan dirinya sebagai negara yang
merdeka pada tanggal 4 Juli 1946. Konflik di Filipina dimulai dengan kolonisasi yang dilakukan
oleh orang arab dan kemudian oleh Kristen, yangmana keberbedaan kedua agama tersebut,
hingga sekarang masih berkompetisi untuk memperebutkan perhatian penduduk pribumi. Orang-
orang Arab Islam bergeser ke Selatan Filipina ketika orang-orang Kristen menduduki Utara
Filipina. Daerah Selatan yang pada awalnya didominasi oleh Muslim telah terusik dengan
kehadiran agama Kristen sampai ke daerah ini. Pada masa pemerintahan Marcus, konflik awal
terjadi akibat suatu peristiwa pembunuhan di Corregidor. Para sukarelawan Muslim Filipina,
yang dilatih dalam taktik geriliya oleh suatu pasukan resmi, dibunuh atas perintah komandan
pasukan. Mereka menolak di kirim ke Sabah guna melakukan inflirtasi Militer. Karena peristiwa
ini terbentuklah Moro National Liberation Front (MNLF), MNLF adalah sebuah gerakan yang
sangat berpengaruh dalam memperjangkan kebebasan Muslim Moro. Dua kelompok lainnya
adalah Front Pembebasan Islam Moro (MILF) dan yang paling belakangan adalah Abu Sayyaf
yang terbentuk pada tahun 1989 (Anonim, 2016). Ketiga kelompok gerakan ini memiliki tujuan
yang sama yakni ingin mendirikan sebuah Negara teokrasi Islam di Mindanao Filipina Selatan
dan pembangunan ekonomi di wilayah mereka.
Kelompok Abu Sayyaf pertama muncul pada tahun 1989 dibawah kepemimpinan
Abdurajak Janjalani. Abdurrajak Janjalani merupakan mantan anggota MNLF yang tidak
menyetujui dilakukannya proses perdamaian antara MNLF dan Pemerintah Republik Filipina
melalui Tripoli Agreement (Wahjudi, 2003: 85). Dalam Tripoli Agreement, bukan menyepakati
tentang kemerdekaan tetapi disepakati adanya daerah otonomi khusus bagi penduduk Moro di
Filipina Selatan (Atkinson, 2012:6). Ini menyebabkan tujuan dibentuknya negara Islam menjadi
dikorbankan oleh MNLF. Hal ini menyebabkan Abdurrajak Janjalani beserta pengikutnya keluar
dari keanggotaan MNLF.
Sebelum keluar dari MNLF, Abdurrajak Janjalani dan para pengikutnya telah membentuk
Mujaheeden Commando Freedom Fighters (MCFF) pada tahun 1989 dan pada tahun 1991 secara
resmi memisahkan diri dari MNLF. MCFF atau dikenal sebagai Kelompok Janjalani, kelompok
ini berkembang menjadi apa yang kita kenal sebagai kelompok Abu Sayyaf Abdurrajak
Janjalani menggunakan julukan “Abu Sayyaf” untuk menghormati pemimpin pasukan Mujahidin
Afghanistan, Abdul Rasul Sayyaf dimana ia pernah tergabung dalam pasukan mujahidin
pimpinan Abdul Rasul Sayyaf di Afghanistan ketika melawan Uni Soviet (Atkinson, 2012:7).
Kelompok dibawah pimpinan Janjalani menjalankan sebuah pembentukan negara yakni
Islamic Theocratic State of Mindanao (MIS), dan memasukan kepercayaan agama yang
meneriakan intoleransi dengan tujuan untuk menyebarkan Islam melalui Jihad (Hasbullah, 2003 :
242), dimana yang menjadi target sasarannya adalah semua umat Kristen Filipina. Dalam
pencarian objeknya, Kelompok ini telah menetapkan ideologinya dengan tegas dan agenda
operasional yang terikat pada sebuah maksud usaha pengabungan yang memaksa dominasi Islam
di dunia melalui perlawanan bersenjata (Manalo,2004 : 32).
Kelompok Janjalani, atau MCFF kemudian dikenal sebagai kelompok Abu Sayyaf pada
bulan Agustus 1991 ketika mereka melakukan pengeboman terhadap “M/V Doulos”, sebuah
kapal misionaris Kristen yang berlabuh di Zamboanga, Filipina Selatan (Atkinson, 2012 : 7).
Antara tahun 1991 dan 1998, kelompok militant ini mulai memperluas dan mengembangkan
kemampuannya, dilihat dari pergerakannya kelompok ini rapi dalam melancarkan serangkaian
serangan kecil terhadap warganegara asing. Pada tahun-tahun pertama, kelompok Abu Sayyaf
banyak melakukan penculikan penduduk local, dan level kemampuan mereka meningkat
disebabkan oleh banyaknya angota mereka adalah direkrut dari kelompok-kelompok yang tidak
sejalan dengan perjuangan MNLF ataupun MILF (Manalo,2004 : 35).
Saat ini Kelompok Abu Sayyaf dipimpin oleh Khadafi Janjalani, dikenal kelompok
separatis Islam yang sangat radikal di Filipina Selatan. Mereka melakukan berbagai tindak
kekerasan, seperti pemboman, penculikan, pembunuhan, dan pemerasan dalam mengupayakan
berdirinya sebuah negara Islam (Council of Foreign Relations, 2009). Kelompok Abu Sayyaf di
Filipina ini telah sangat meresahkan warga Filipina dengan aksi-aksi pengeboman, penculikan
dan pengeksekusian terhadap sandera. Kelompok Abu Sayyaf ini digolongkan dalam Organisasi
Teror Asing (Foreign Terorist Organizations) oleh pemerintah Amerika serikat.1
Menurut Charles W Kigley Jr dan Eugene R Wirtkopf, terorisme adalah suatu
penggunaan ancaman kekerasan, suatu metode pertempuran atau strategi untuk meraih tujuan
tertentu, yang ditujukan untuk menimbulkan keadaan takut di pihak korban (Kegley dan
Wittkopf, 2001: 222). Ranstop berpendapat bahwa fanatisme agama adalah sebuah motif utama
dari terorisme, dan dinyatakan dengan tegas oleh keberagaman keyakinan, seperti Islam, Yahudi,
Kristen, dan keyakinan lain, acapkali menempuh aksi terorisme. Ia berpendapat bahwa terorisme
agama adalah suatu tipe kekerasan politik yang dimotivasi oleh rasa krisis spiritual dan sebuah
reaksi terhadap perubahan sosial dan politik (Manalo, 2004:31).
Menurut Ronald Gottersman, terdapat dua jenis organisasi teroris yaitu domestik dan
internasional. Teroris dari organisasi berjenis domestik melakukan aktifitasnya hanya di dalam
negeri tempat ia berdomisili. Sedangkan teroris dari organisasi berjenis internasional menyerang
musuh mereka dimana saja dan kapan saja. Sedangkan Atif M Mir membedakan lingkup gerakan
dalam dua bagian yaitu domestic terorism dan International Terorism. Domestic Terorism yaitu
gerakan terorisme yang dilakukan didalam batas teritorial suatu negara dan dilakukan oleh
perseorangan atau kelompok dengan tujuan-tujuan khusus politik, ekonomi atau
agama. Internasional terorism yaitu gerakan terorisme yang dihubungkan dengan penyerangan-
penyerangan terhadap susunan-susunan pihak ketiga (Third Party Target) di wilayah atau
teritorial asing dan dapat pula di dukung serta disponsori oleh suatu Negara (Wahjudi, 2003:81).
Jadi, pada domestic terrorism tidak dijumpai unsur asing baik korban maupun dan pada
1 Organisasi Teroris Asing ( FTOs ) adalah organisasi asing yang disebut oleh Menteri Luar Negeri sesuai dengan Pasal 219 Undang- Undang Imigrasi dan Kewarganegaraan ( INA ) , sebagaimana telah diubah . Sebutan FTO memainkan peran penting dalam perjuangan melawan terorisme dan merupakan cara yang efektif untuk membatasi dukungan untuk kegiatan teroris dan menekan kelompok untuk keluar dari bisnis terorisme . Dikutip dari Departemen Luar Negeri AS, "Patterns of Global Terorism 2003 pada http://www.state.gov/j/ct/rls/other/des/123085.htm