STRATEGI BANK DALAM MENGHADAPI PENYELESAIAN KREDIT MACET SERTA PENGAMANAN BENDA JAMINAN, SUATU TINJAUAN PRAKTIS BERACARA DI PENGADILAN NEGERI SAMPAI PADA TINGKAT PENINJAUAN KEMBALI A. Kredit dan Jaminan Pada Umumnya 1. Kredit dan Fungsi Kredit Pengertian kredit menurut UU 10 tahun 1998 tentang Perbankan Pasal 1 angka 11, adalah “penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”. Kredit yang diberikan oleh bank didasarkan atas kepercayaan sehingga pemberian kredit merupakan pemberian kepercayaan kepada nasabah. Oleh karena pemberian kredit oleh bank dimaksudkan sebagai salah satu usaha untuk mendapatkan keuntungan, maka bank hanya boleh meneruskan simpanan masyarakat kepada nasabahnya dalam bentuk kredit jika ia betul-betul yakin bahwa si debitur akan mengembalikan pinjaman yang diterimanya sesuai dengan jangka waktu dan syarat-syarat yang telah disetujui oleh kedua belah pihak. Hal tersebut menunjukkan perlu diperhatikannya faktor kemampuan dan kemauan, sehingga tersimpul kehati-hatian dengan menjaga unsur keamanan dan sekaligus unsur keuntungan. 1
37
Embed
Strategi Bank Mengatasi Kredit Macet Serta Pengamanan Benda Jaminan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
STRATEGI BANK DALAM MENGHADAPI PENYELESAIAN KREDIT MACET SERTA
PENGAMANAN BENDA JAMINAN,
SUATU TINJAUAN PRAKTIS BERACARA DI PENGADILAN NEGERI
SAMPAI PADA TINGKAT PENINJAUAN KEMBALI
A. Kredit dan Jaminan Pada Umumnya
1. Kredit dan Fungsi Kredit
Pengertian kredit menurut UU 10 tahun 1998 tentang
Perbankan Pasal 1 angka 11, adalah “penyediaan uang atau
tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dan
pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi
utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian
bunga”.
Kredit yang diberikan oleh bank didasarkan atas
kepercayaan sehingga pemberian kredit merupakan pemberian
kepercayaan kepada nasabah. Oleh karena pemberian kredit oleh
bank dimaksudkan sebagai salah satu usaha untuk mendapatkan
keuntungan, maka bank hanya boleh meneruskan simpanan
masyarakat kepada nasabahnya dalam bentuk kredit jika ia
betul-betul yakin bahwa si debitur akan mengembalikan pinjaman
yang diterimanya sesuai dengan jangka waktu dan syarat-syarat
yang telah disetujui oleh kedua belah pihak. Hal tersebut
menunjukkan perlu diperhatikannya faktor kemampuan dan
kemauan, sehingga tersimpul kehati-hatian dengan menjaga unsur
keamanan dan sekaligus unsur keuntungan.
1
Unsur kredit yang paling esensial adalah “kepercayaan”
dari bank/kreditor terhadap nasabah peminjam/debitu.
Kepercayaan tersebut timbul karena dipenuhinya segala
ketentuan dan persyaratan untuk memperoleh kredit bank oleh
debitur, antara lain, jelasnya tujuan peruntukan kredit,
adanya benda jaminan atau agunan, dan lain-lain. Unsur-unsur
kredit terdiri atas :
a. Kepercayaan.
b. Tenggang Waktu.
c. Degree of risk (tingkat resiko).
d. Prestasi atau objek kredit.
Dalam sektor perbankan yang lebih luas, unsur-unsur
kredit juga meliputi: organisasi dan manajemen perkreditan,
dokumen dan administrasi kredit, perjanjian kredit, agunan,
penyelesaian kredit macet, dan unsur lainnya. Dalam
perkreditan ditemukan banyak ketentuan yang mengatur dan
membatasinya, hal itu karena memang bidang perbankan merupakan
kegiatan usaha yang paling banyak diatur dan dibatasi
ketentuan perundang-undangan. Dengan kondisi seperti itu maka
peraturan perundang-undangan merupakan salah satu unsur utama
dari kegiatan perkreditan.
2. Hukum Jaminan Pada Umumnya
Pengaturan hukum jaminan tidak hanya terdapat dalam
KUHPer, yaitu Buku II KUHPer, melainkan juga terdapat di luar
KUHPer. Di dalam buku II KUHPer mengatur mengenai jaminan
kebendaan, yang meliputi piutang-piutang yang diistimewakan
2
(BAB XIX), tentang gadai (BAB XX), dan tentang hipotek (BAB
XXI). Adapun buku III KUHPer mengatur mengenai jaminan
perseorangan, yaitu penanggungan utang(Borgtocht) (BAB XVII). Di
luar KUHper, pengaturan hukum jaminan antara lain dapat
dijumpai dalam :
1. KUHD.
2. UU Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun.
3. UU Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman jo.
UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman.
4. UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah
diubah dengan UU Nomor 10 Tahun 1998.
5. UU Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan.
6. Undang-Undang Nomor 17 Tahun Tahun 2008 tentang
Pelayaran.
7. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan
Tanah.
8. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan
Fidusia.
B. Penyelesaian Kredit Macet
Penyelesaian Kredit Macet, jika kreditur memegang jaminan
kebendaan berupa jaminan hak tanggungan atau jaminan fidusia
3
maka kreditur tersebut memiliki hak untuk mengeksekusi barang
jaminan untuk dijual secara lelang guna pembayaran utang
debitur jika debitur lalai melaksanakan kewajibannya
berdasarkan perjanjian kredit atau biasa disebut dengan
wanprestasi. Pemberian hak kepada kreditur untuk mengeksekusi
jaminan kebendaan yang diberikan oleh debitur dapat kita lihat
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) serta
beberapa peraturan perundang-undangan berikut ini:
1. Pasal 1155 KUHPer: Kreditur sebagai penerima benda gadai
berhak untuk menjual barang gadai, setelah lewatnya
jangka waktu yang ditentukan, atau setelah dilakukannya
peringatan untuk pemenuhan perjanjian dalam hal tidak ada
dalam bukunya yang berjudul Hukum Perbankan di Indonesia (hal. 553-
573), sebagaimana kami sarikan, mengatakan bahwa
mengenai kredit bermasalah dapat dilakukan penyelesaian
secara administrasi perkreditan, dan terhadap kredit yang
sudah pada tahap kualitas macet maka penanganannya lebih
ditekankan melalui beberapa upaya yang lebih
bersifat pemakaian kelembagaan hukum (penyelesaian melalui
jalur hukum).
8
Menurut Djumhana, penyelesaian secara administrasi
perkreditan antara lain sebagai berikut:
4. Penjadwalan kembali (rescheduling), yaitu perubahan syarat
kredit yang menyangkut jadwal pembayaran dan atau jangka
waktu termasuk masa tenggang, baik meliputi perubahan
besarnya angsuran maupun tidak;
5. Persyaratan kembali (reconditioning), yaitu perubahan
sebagian atau seluruh syarat-syarat kredit yang tidak
terbatas pada perubahan jadwal pembayaran, jangka waktu,
dan atau persyaratan lainnya sepanjang tidak menyangkut
perubahan maksimum saldo kredit dan konversi seluruh atau
sebagian dari pinjaman menjadi penyertaan bank;
6. Penataan kembali (restructuring), yaitu perubahan syarat-
syarat kredit berupa penambahan dana bank; dan/atau
konversi seluruh atau sebagian tunggakan bunga menjadi
pokok kredit baru, dan/atau konversi seluruh atau
sebagian dari kredit menjadi penyertaan dalam perusahaan.
Memang barang jaminan dapat dilelang sebelum lewat jangka
waktu pembayaran kredit dalam hal debitur melakukan tindakan
wanprestasi lainnya. Meski demikian, ada baiknya ditempuh
upaya-upaya secara administrasi terlebih dahulu untuk
menyelesaikan kredit yang bermasalah sebelum melakukan gugatan
ke pengadilan dan mengeksekusi barang jaminan.
Menurut Penulis ada 3 langkah yang bisa dilakukan dalam
menyelesaikan kredit macet yakni :
1. Penyelesaian kredit macet melalui penjualan jaminan
secara sukarela (penjualan dibawah tangan.
2. Penyelesaian kredit macet melalui Parate Executie.
9
3. Penyelesaian kredit macet melalui gugatan perdata di
Pengadilan.
1. Penyelesaian Kredit Macet melalui Penjualan Jaminan
Secara Sukarela (Penjualan Dibawah Tangan)
Penjualan obyek hak tanggungan dapat dilaksanakan dibawah
tangan jika diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua
pihak. Demikian ditentukan oleh Pasal 20 Ayat (2) UUHT. Yang
dimaksud dengan penjualan dibawah tangan adalah penjualan atas
tanah yang dijadikan sebagai jaminan dan dibebani dengan hak
tanggungan oleh kreditor sendiri secara langsung kepada orang
atau pihak lain yang berminat, tetapi dibantu juga oleh
pemilik tanah dan bangunan dimaksud.
Oleh karena penjualan dibawah tangan dari obyek hak
tanggungan hanya dapat dilaksanakan bila ada kesepakatan
antara pemberi dan pemegang hak tanggungan, maka bank tidak
mungkin melakukan penjualan dibawah tangan terhadap obyek hak
tanggungan atau agunan kredit apabila debitor tidak
menyetujuinya. Dalam praktek apabila terjadi kredit macet,
debitor tidak kooperatif sehingga bank sulit untuk mendapatkan
atau memperoleh persetujuan dari nasabah debitor. Syarat untuk
dapat dilakukan penjualan dibawah tangan obyek hak tanggungan
adalah adanya kesepakatan atau persetujuan antara pemberi dan
pemegang hak tanggungan agar diperoleh harga tertinggi yang
menguntungkan semua pihak. Dalam keadaan-keadaan tertentu
justru menurut pertimbangan bank lebih baik agunan dijual
dibawah tangan daripada dijual melalui pelelangan umum,
apabila menurut pertimbangan bank hasil penjulan di bawah
tangan lebih tinggi dibandingkan melalui pelengan umum. Bank
10
sendiri berkepentingan agar hasil penjualan agunan tersebut
cukup jumlahnya untuk membayar seluruh jumlah kredit yang
terutang.
Pelaksanaan penjualan jaminan di bawah tangan ini harus
didahului dengan pemberitahuan kepada pihak-pihak terkait dan
diumumkan dalam 2 (dua) surat kabar yang terbit di daerah
tempat lokasi tanah dan bangunan atau obyek hak tanggungan
berada. Hal ini dilakukan minimal 1 (satu) bulan sebelum
penjualan dilakukan serta tidak ada sanggahan dari pihak
manapun. Apabila tidak dilakukan, penjualan dapat dikatakan
batal demi hukum sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam
Pasal 20 UUHT.
Syarat untuk dapat dilakukan penjualan di bawah tangan
obyek hak tanggunganadalah adanya kesepakatan atau persetujuan
antara pemberi dan pemegang hak tanggungan agar diperoleh
harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak. Kesulitan
untuk memperoleh persetujuan dari nasabah debitor dapat
terjadi karena, misal :
a. Nasabah debitor dan atau pemilik agunan tidak mempunyai
iktikad baik sehingga sulit ditemui atau tidak
kooperatif;
b. Nasabah debitor dan atau pemilik agunan tidak diketahui
keberadaannya.
Agar bank kelak dikemudian hari setelah kredit yang
diberikan tidak mengalami kesulitan yang demikian, pada waktu
kredit diberikan bank mensyaratkan agar di dalam perjanjian
kredit diperjanjikan bahwa bank diberi kewenangan untuk dapat
menjual sendiri agunan tersebut secara dibawah tangan atau
11
meminta kepada debitor untuk memberikan surat kuasa khusus
yang memberikan kekuasaan kepada bank untuk dapat menjual
sendiri agunan tersebut secara di bawah tangan. Bank melakukan
tindakan seperti itu dengan alasan “jaga-jaga” yang tidak akan
dipergunakan jika debitor membayar utangnya dengan lancar.
Alasan lainnya yang biasa disampaikan oleh bank adalah sebagai
tindakan “shocktherapy” bagi debitor, agar tidak melakukan
tindakan wanprestasi.
Yang dimaksud dengan surat kuasa menjual yaitu: pemberian
kuasa kepada pihak lain oleh atau penerima kuasa untuk
melakukan perbuatan hukum yaitu menjual suatu obyek tertentu.
Pada prinsipnya sebenarnya kuasa untuk menjual diberikan oleh
karena pihak penjual ( pemilik tanah) tidak dapat hadir
sendiri pada saat pembuatan akta jual beli karena alasan-
alasan tertentu. Namun dalam praktek alasan pemberian kuasa
berkembang sesuai kebutuhan praktek.
Surat kuasa menjual, tunduk pada pengaturan surat kuasa
dalam Pasal 1792 KUHPerdata, berbunyi sebagai berikut :
“Pemberian kuasa adalah suatu persetujuan dengan mana seorang meberikan
kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya, untuk dan atas namanya
menyelenggarakan suatu urusan”
Dari pasal tersebut kita dapat melihat bahwa unsur-unsur
dari pemberian kuasa adalah:
a. Persetujuan;
b. Memberikan kekuasaan untuk menyelenggarakan suatu urusan;
dan
c. Atas nama pemberi kuasa.
12
Pertama-tama, haruslah unsur-unsur dan syarat-syarat
untuk sahnya suatu persetujuan sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 1320 KUHPerdata dipenuhi, yaitu :
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
b. Kecakapan untuk membuat suatau perikatan;
c. Suatu hal tertentu; dan
d. Suatu sebab yang halal.
Unsur kedua dari pemberian kuasa, yaitu mengenai
memberikan kekuasaan untuk menyelenggarakan suatu urusan
adalah sesuai dengan yang telah disetujui oleh para pihak,
baik yang dirumuskan secara umum maupun dinyatakan dengan
kata-kata yang tegas.
Unsur ketiga di mana penerima kuasa melakukan tindakan
hukum tersebut untuk dan atas nama pemberi kuasa. Penerima
kuasa diberi wewenang untuk mewakili pemberi kuasa. Akibatnya,
tindakan hukum yang dilakukan oleh penerima kuasa merupakan
tindakan hukum dari pemberi kuasa. Apakah penerima kuasa dalam
melakukan sesuatu tindakan hukum tersebut selalu untuk
kepentingan pemberi kuasa semata-mata, disamping melakukannya
atas nama pemberi kuasa? Ada kemungkinan pemberian kuasa
tersebut dilakukan atas nama pemberi kuasa, tetapi untuk
kepentingan penerima kuasa sehingga dalam hal-hal tertentu
justru kepentingan penerima kuasa tersebut merupakan tujuan
dari pemberian kuasa tersebut, misalnya :
a. Suatu utang-piutang di mana kepada bank diberikan sebagai
jaminan hak atas tagihan dari debitor, yang untuk
keperluan mana debitor memberi kuasa kepada bank untuk
13
menagih piutang tersebut dan hasilnya diperhitungkan
dengan utang debitor;
b. Pasal 1178 Ayat (2) KUHPerdata menyebutkan bahwa pemegang
hipotik pertama diberi kuasa mutlak oleh pemberi hipotik
untuk menjual persil yang dihipotikkan apabila debitor
tidak memenuhi kewajibannya.
Untuk lebih jelasnya, kami kutip Pasal 1178 Ayat (2)
KUHPerdata tersebut:
“Namun demikian, diperkenankanlah kepada si berpiutang hipotik pertama untuk,
pada waktu diberikannya hipotik dengan tegas minta diperjanjikan bahwa jika
uang tidak dilunasi semestinya atau jika bunga pokok tidak dilunasi semestinya
atau jika bunga yang terutang tidak dibayar, ia secara mutlak akan dikuasakan
menjual persil yang diperikatkan.”
Adapun dengan berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta
Benda-Benda yang berkaitan dengan Tanah (UUHT), maka ketentuan
Pasal 1178 KUHPerdatatersebut tidak berlaku untuk jaminan
berupa hak atas tanah dan bangunan. Pasal 6 UUHT menyebutkan
senada dengan ketentuan Pasal 1178 Ayat (2) KUHPerdata bahwa :
“Apabila debitor cidera janji, pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak
untuk menjual obyek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan
umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.”
Suatu perjanjian pendahuluan di mana para pihak berjanji
dan mengikatkan diri akan melakukan suatu perjanjian lainnya
(kemungkinan menunggu syarat tertentu telah dipenuhi).
Umpamanya, dalam hal jual-beli sebidang tanah, di mana bakal
penjual dan bakal pembeli bersetuju untuk melakukan jual-beli
14
di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), tetapi syarat-
syarat yang diperlukan untuk pelaksanaan jual-beli tersebut
belum dipenuhi (sertipikat tanah hak atas nama penjual belum
selesai, harga jual-beli belum lunas dan sebagainya). Dalam
hal demikian, para pihak mengadakan perjanjian. pendahuluan
(perjanjian pengikatan jual-beli). Dalam perjanjian tersebut
penjual memberi kuasa kepada pembeli apabila syarat-syarat
tersebut telah terpenuhi (sertipikat tanah hak telah selesai
tertulis atas nama penjual, harga jual beli telah dilunasi
seluruhnya) mewakili penjual sebagai pemilik tanah hak
tersebut guna melaksanakan jual beli di hadapan PPAT.
Dari contoh-contoh tersebut di atas dapat kita lihat
bahwa penerima kuasa tidak saja mempunyai kekuasaan mewakili.
(vertegenwoordigingsmacht), tetapi juga hak mewakili
(vertegenwwoordigingsrecht). Di sini kepentingan penerima kuasa
perlu diperhatikan mengingat berakhirnya suatu kuasa
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1813 KUHPerdata, di
antaranya, karena ditariknya kembali kuasanya oleh pemberi
kuasa. Hal tersebut diatur pula dalam Pasal 1814 KUHPerdata
yang menyebutkan bahwa si pemberi kuasa dapat menarik kembali
kuasanya manakala itu dikehendakinya. Jika terjadi demikian,
akan mengakibatkan hak-hak dari penerima kuasa (kreditor atau
bakal pembeli dalam contoh di atas) sangat dirugikan.
Pemberian kuasa yang diberikan dalam rangka suatu perjanjian,
dimana pemberian kuasa tersebut merupakan bagian yang tidak
dapat dipisahkan dari perjanjian tersebut (integrerend deel),
karena tanpa adanya kuasa tersebut kepentingan penerima kuasa
akan sangat dirugikan, perlulah pemberian kuasa tersebut
15
diberikan syarat bahwa kuasa tersebut tidak dapat dicabut
kembali atau yang sekarang dikenal atau disalahartikan dengan
“kuasa mutlak”.
Larangan kuasa mutlak yang dimaksud disini adalah
larangan terhadap kuasa sebagaimana diatur dalam Instruksi
Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 tentang Larangan
Penggunaan Kuasa Mutlak sebagai pemindahan Hak Atas Tanah yang
sekarang telah dimuat di dalam Pasal 39 huruf d peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Kuasa mutlak tersebut pada hakikatnya merupakan pemindahan hak
atas tanah, dengan ciri-ciri yang disebutkan dalam Instruksi
Menteri Dalam Negeri tersebut, yaitu:
“Kuasa mutlak yang dimaksud dalam diktum pertama adalah kuasa yang di
dalamnya mengandung unsur tidak dapat ditarik kembali oleh pemberi kuasa.
Kuasa mutlak yang pada hakikatnya merupakan pemindahan hak atas tanah
adalah kuasa mutlak yang memberikan kewenangan kepada penerima kuasa untuk
menguasai dan menggunakan tanahnya serta melakukan segala perbuatan hukum
yang menurut hukum hanya dapat dilakukan oleh pemegang haknya.”
2. Pelaksanaan Eksekusi Jaminan Kredit Melalui Parate
Eksekusi
Permasalahan parate eksekusi jaminan kredit bagi bank
sangat penting karena sesuai dengan fungsi hak jaminan
berkaitan dengan pemberian kredit adalah sebagai pengaman
terakhir kredit yang diberikan oleh bank tersebut dapat
kembali dan menguntungkan, yaitu dengan cara eksekusi/menjual
agunan kredit tersebut dan hasilnya diperuntukan bagi
pelunasan utang debitur, sedangkan apabila dari hasil
16
penjualan terdapat sisa setelah digunakan pembayaran utangnya,
maka sisa itu dikembalikan kepada debitu. Jika dari hasil
penjualan terdapat kekurangan, maka kekurangannya wajib
dibayar debitur, berdasarkan pasal 1131 KUHPer.
Dalam kenyataannya, hak-hak yang melekat pada agunan
kredit tersebut tidak sepenuhnya mudah untuk dilaksanakan.
Sekalipun jelas sekali undang-undang mengatur mengenai
kemudahan bagi kreditor untuk melakukan penjualan objek
jaminan kredit, baik yang dilakukan melalui kantor lelang
maupun penjualan di bawah tangan, tetapi dalam praktik, hal
tersebut masih terdapat kendala, yaitu masih diperlukannya
fiat eksekusi dari Pengadilan. Berdasarkan penjelasan pasal 14
ayat (2) dan (3) Undang-Undang Hak Tanggungan, bahwa terdapat
kata-kata “melalui tata cara dan dengan menggunakan lembaga
parate executie sesuai dengan peraturan hukum acara perdata.” Ini
berarti, sekalipun debitur telah cidera janji, penjualan objek
hak jaminan tersebut belum serta merta dapat dilakukan. Dalam
praktik, pihak kantor lelang akan meminta adanya fiat
pengadilan mengenai eksekusi jaminan kredit. Tanpa adanya
penetapan pengadilan mengenai eksekusi jaminan kredit,
pelaksanaan penjualan akan mengalami kesulitan dan masih
terdapat permasalahan hukum. Sering terjadi, walaupun
pengadilan telah menetapkan adanya eksekusi atas objek jaminan
kredit, pihak debitur mengadakan upaya bantahan mengenai
penetapan eksekusi tersebut dengan alasan-alasan yang dapat
diterima hakim. Hal demikian juga akan memperpanjang
pelaksanaan eksekusi jaminana kredit.
17
Dasar dilakukannya lelang terdapat dalam undang-undang
yang mengatur mengenai hak jaminan, misalnya dalam Undang-
Undang Nomor 4 tahun 1996, penjualan melalui lelang atas hak
tanggungan berdasarkan janji, yang diatur dalam Pasal 6, yang
intinya adalah apabila debitur cidera janji, kreditor
(pemegang hak tanggungan) atas kekuasaan sendiri menjual
melalui lelang umum serta mengambil pelunasan piutangnya.
Berdasarkan Pasal 14 ayat 3 Undang-Undang No. 4 Tahun
1996, sertifikat hak tanggungan disamakan dengan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Namun,
dalam penjelasan tersebut antara lain dinyatakan tata cara
pelaksanannya dengan menggunakan lembaga parate eksekusi
sesuai dengan peraturan hukum acara perdata.
3. Penyelesaian Kredit Macet Melalui Gugatan Perdata di
Pengadilan
Mengajukan gugatan perdata melalui Pengadilan Negeri (PN)
atas dasar wanprestasi (ingkar janji/cedera janji) dapat
dijadikan opsi oleh Bank untuk menyelesaikan portfolio kredit
macet. Opsi ini dapat ditempuh manakala pihak bank tidak dapat
melakukan eksekusi grosse akta melalui Pengadilan Negeri
disebabkan antara lain perjanjian kreditnya tidak diiringi
pembuatan grosse akta pengakuan utang yang dibuat secara
notarial.
Penyelesaian kredit macet melalui gugatan di Pengadilan
Negeri, dalam teorinya, asas peradilan adalah asas sederhana,
cepat, dan biaya ringan sebagaimana ketentuan Pasal 4 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Keuasaan Kehakiman.
18
Namun demikian dalam praktiknya bersengketa di Pengadilan bisa
memakan waktu bertahun-tahun dan dengan biaya tidak sedikit.
Proses mediasi harus terlebih dahulu dilalui yang jangka
waktunya paling lama 40 hari, sebagaimana diatur dalam PERMA
No. 1 Tahun 2008. Setelah mediasi dilalui sebenarnya dalam
melakukan pemeriksaan dan memutus perkara perdata apabila
berjalan lancar dapat diselesaikan selama delapan minggu atau
delapan kali persidangan.
Adapun rincian acara persidangan dimaksud, apabila dapat
berjalan lancar setiap sekali seminggu sebagai berikut :
1. Sidang pertama : Pemeriksaan identitas para pihak
bersengketa dan penunjukan
Mediator.
2. Mediasi dengan mediator paling lama selama 40 (empat
puluh) hari
3. Sidang kedua : Jawaban tergugat.
4. Sidang ketiga : Replik.
5. Sidang keempat : Duplik.
6. Sidang kelima : Pembuktian oleh penggugat.
7. Sidang keenam : Pembuktian oleh tergugat.
8. Sidang ketujuh : Kesimpulan masing-masing pihak.
9. Sidang kedelapan : Putusan.
Hambatan dalam memeriksa perkara dengan cepat dalam
perkara perdata sebagaimana dimaksud diatas, pada umumnya
berasal dari para pihak yang berperkara itu sendiri. Salah
satu yang sering ditemui dalam persidangan antara lain salah
satu pihak berhalangan hadir, belum siap
jawaban/replik/duplik, belum siap bukti dan saksi, yang
19
kesemuanya menyebabkan sidang ditunda paling cepat satu minggu
dan bisa lebih lama dari itu.
Setelah diputus oleh Pengadilan Negeri maka pihak yang
tidak puas terhadap putusan tersebut dapat mengajukan upaya
hukum banding ke Pengadilan Tinggi. Yang perlu diperhatikan
adalah tata cara pengajuan banding sebagai berikut :
1. Mengajukan Permohonan Banding dengan membuat akta
pernyataan banding di Kepaniteraan Pengadilan Negeri yang
memutus perkara tersebut dalam waktu paling lambat 14
hari sejak putusan dibacakan (jika prinsipal atau
kuasanya hadir di persidangan) atau sejak relaas putusan
diterima jika putusan dibacakan secara verstek. Jika lewat
waktu maka berakibat permohonan banding tidak dapat
diterima.
2. Kuasa hukum dapat mewakili prinsipal untuk membuat
permohonan banding dan membuat memori banding dengan
surat kuasa khusus untuk itu.
3. Penyerahan memori banding tidak harus dilakukan secara
bersamaan dengan pembuatan akta banding, penyerahan
memori banding dapat dilakukan kapan saja asalkan selama
perkara banding tersebut belum diputus pengadilan tinggi.
Hal ini didasarkan pada Putusan MA No. 39 K/Sip/1973 yang
menyatakan undang-undang tidak menentukan batas waktu
penyampaian memori banding, sehubungan dengan itu, memori
banding dapat diajukan selama pengadilan tinggi dalam
tingkat banding belum memutus perkara tersebut.
20
4. Kontra memori banding dapat dilakukan kapan saja selama
perkara banding tersebut belum diputus di Pengadilan
Tinggi.
5. Membayar biaya perkara banding.
Setelah diputus di tingkat banding yakni di Pengadilan
Tinggi, maka apabila ada dari pihak yang bersengketa tidak
puas dengan putusan tingkat banding maka dapat mengajukan
upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung. Hal-hal yang perlu untuk
diperhatikan adalah sebagai berikut :
1. Mengajukan Permohonan Kasasi dengan membuat akta
pernyataan kasasi di Kepaniteraan Pengadilan Negeri yang
memutus perkara dalam tingkat pertama, tenggang waktunya
adalah paling lambat 14 hari sejak putusan diterima.
2. Kuasa hukum dapat mewakili prinsipal untuk membuat
pemohonan kasasi dan membuat memori kasasi dengan surat
kuasa khusus untuk itu.
3. Pemohon kasasi wajib menyerahkan memori kasasi dengan
tenggang waktu 14 hari setelah permohonannya didaftar.
4. Kontra memori kasasi wajib diserahkan dalam waktu
selambat-lambatnya 14 hari setelah Salinan memori kasasi
diterima.
5. Membayar biaya perkara kasasi.
Terhadap putusan tingkat Kasasi Oleh Mahkamah Agung dapat
diajukan Peninjauan Kembali (PK) dengan ketentuan Pasal 67 UU
No.14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah UU No. 5 Tahun 2004
tentang Mahkamah Agung menyatakan sebagai berikut :
21
”Permohonan peninjauan kembali putusan perkara perdata yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap dapat diajukan hanya berdasarkan alasan-alasan sebagai
berikut:
a. apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat
pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan
pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;
b. apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang
bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat
ditemukan;
c. apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari
pada yang dituntut;
d. apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa
dipertimbangkan sebab-sebabnya;
e. apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama,
atas dasar yang sama oleh Pengadilan yang sama atau sama tingkatnya
telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain;
f. apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan Hakim atau suatu
kekeliruan yang nyata.”
Selanjutnya, Pasal 69 UU No.14 Tahun 1985 sebagaimana
telah diubah UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung
menyatakan :
“Tenggang waktu pengajuan permohonan peninjauan kembali yang didasarkan
atas alasan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 67 adalah 180 (seratus
delapan puluh) hari untuk :
a. yang disebut pada huruf a sejak diketahui kebohongan atau tipu muslihat
atau sejak putusan Hakim pidana memperoleh kekuatan hukum tetap,
dan telah diberitahukan kepada para pihak yang berperkara;
22
b. yang disebut pada huruf b sejak ditemukan surat-surat bukti, yang
hari serta tanggal ditemukannya harus dinyatakan di bawah sumpah
dan disahkan oleh pejabat yang berwenang;
c. yang disebut pada huruf c, d, dan f sejak putusan memperoleh kekuatan
hukum tetap dan telah diberitahukan kepada para pihak yang
berperkara;
d. yang tersebut pada huruf e sejak sejak putusan yang terakhir dan
bertentangan itu memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah
diberitahukan kepada pihak yang berperkara.”
Berdasarkan ketentuan tersebut diatas maka hal penting
yang harus diperhatikan dalam pengajuan permohonan PK adalah :
1. Penerapan alasan permohonan peninjauan kembali (PK)
ini terbatas hanya pada bentuk Alat Bukti Surat.
2. Alat Bukti Surat, yang memenuhi alasan permohonan
peninjauan kembali (PK) ini, harus bersifat
menentukan.
3. Hari dan tanggal alat bukti surat itu ditemukan,
harus dinyatakan di bawah sumpah dan disahkan
pejabat yang berwenang.1
1 Catatan Penulis : Pengakuan tersumpah Dikenal juga Affidafit. Adapun terhadap pengertian ”pejabat yang berwenang” pada Pasal 69 huruf b tersebuttidak diberikan penjelasan. Oleh karena tidak diberikan penjelasan, makatidak terdapat pembatasan atas ”pejabat yang berwenang” dalam melakukanpengesahan atas alat bukti surat tersebut. Namun demikian, pada umumnya,jika suatu surat yang akan dijadikan novum berkaitan erat dengan pejabat tertentu, maka pernyataan sumpah dan pengesahannya dilakukan di hadapan danoleh pejabat tersebut. Dikaitkan dengan perkara, jika alat bukti surat yang diajukan sebagainovum adalah berupa akta jual beli, maka pernyataan sumpah dan pengesahannya dapat dilakukan di hadapan dan oleh notaris. Sementara itu,jika alat bukti surat yang diajukan sebagai novum adalah berupa sertipikat hak milik, maka pernyataan sumpah dan pengesahannya dapat dilakukan dihadapan dan oleh pejabat Badan Pertanahan Nasional (BPN).
23
4. Alat bukti surat itu telah ada sebelum proses
pemeriksaan perkara.
Terhadap bagian 3 tersebut di atas, maka pada hari dan
tanggal ditemukan alat bukti surat itu, pemohon PK harus
menyatakan di bawah sumpah dimana :
1. Pernyataan sumpah itu dibuat secara tertulis yang
menjelaskan bahwa pada hari dan tanggal tersebut telah
menemukan alat bukti surat in casu Akta Jual beli ataupun
Sertipikat Hak Milik dengan menyebut tempat atau kantor
dimana alat bukti surat itu ditemukan.
2. Selanjutnya surat pernyataan sumpah itu disahkan oleh
pejabat yang berwenang.
Kedua syarat ini bersifat imperatif dan kumulatif.
Artinya, apabila penemuan surat itu tidak dituangkan dalam
bentuk surat pernyataan di bawah sumpah, kemudian surat
pernyataan sumpah itu tidak disahkan oleh pejabat yang
berwenang, maka alat bukti surat itu tidak memenuhi syarat
sebagai alasan permohonan PK. Sementara itu, pernyataan sumpah
saja oleh Pemohon PK tanpa disahkan oleh pejabat yang
berwenang juga mengakibatkan alat bukti surat tersebut tidak
sah sebagai alasan permohonan PK.
Penyelesaian sengketa melalui Pengadilan dalam praktiknya
memakan waktu lama. Debitur sering memanfaatkan lamanya waktu
penyelesaian perkara di Pengadilan. Bahkan adakalanya debitor
sengaja menggugat kreditor dengan tujuan untuk mengulur-ulur
waktu pembayaran dan menggunakan dalih “masih dalam sengketa”
untuk menghalang-halangi eksekusi jaminan. Oleh karena itu
24
bank dalam menghadapi debitor semacam itu memerlukan strategi
khusus.
Namun demikian Melihat pada ketentuan Pasal 66 ayat (2)
UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah
diubah dengan UU No. 5 Tahun 2004, ditentukan bahwa permohonan
peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan
Pengadilan. Dari ketentuan pasal tersebut dan dari penjelasan
pasalnya yang juga berbunyi “cukup jelas”, maka dapat kita
simpulkan bahwa upaya Peninjauan Kembali (“PK”) tidak akan
menunda pelaksanaan putusan kasasi.
4. Eksekusi Putusan Pengadilan
Sebuah perkara yang telah diputus oleh Pengadilan dan
berkekuatan hukum tetap, maka eksekusinya tidak dilaksanakan
secara otomatis oleh Pengadilan Negeri. Pengadilan Negeri
dalam perkara perdata bersikap pasif, karena eksekusi
putusannya harus diminta oleh pihak yang menang dalam
berperkara yang disebut disebut pemohon eksekusi. Sikap
pengadilan yang demikian, sejalan dengan hukum perdata adalah
hukum pribadi, sehingga terserah kepada pihak yang berperkara
itu sendiri, apakah akan dieksekusi atau tidak putusan
pengadilan.
Dalam hukum acara perdata, putusan hakim terdapat
beberapa jenis sebagaimana diungkapkan oleh Prof. Abdul Kadir
Iswi Hariyani, Restrukturisasi dan Penghapusan Kredit Macet, Kompas, Gramedia, Jakarta, 2010.
J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Pribadi, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003.
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Hak Tanggungan, Kencana, Jakarta, 2008.
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Perdata Menurut Teori dan Praktik Peradilan di Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1997.
Moh.Taufik Makarao, S.H., M.H., Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, Rineka Cipta, Jakarta, 2004.
M.Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan EksekusiBidang Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2006.
M.Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, 2013.
Ropaun Ranbe, Hukum Acara Perdata Lengkap, Sinar Grafika, Jakarta, 2002.
Rachmadi Usman, Hukum Jaminan Keperdataan, Sinar Grafika, Jakarta, 2009.
Siswanto Sutojo, Menangani Kredit Bermasalah, Damar, Jakarta, 2008.Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 2001.Tan Kamello, Hukum Jaminan Fidusia, Alumni, Bandung, 2014.Try Widiyono, Agunan Kredit Dalam Financial Engineering, Ghalia
Indonesia, Bogor, 2009.
Peraturan Perundang-Undangan
Herziene Indonesich Reglement (HIR)
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.UU Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun.
36
UU Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman jo. UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.
UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 10 Tahun 1998.
UU Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan.Undang-Undang Nomor 17 Tahun Tahun 2008 tentang Pelayaran.Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas
Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah.Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan FidusiaKep. Menkeu No. 304/KMK 01/2002 tanngal 13 Juni 2002 jo. Kep.
Menkeu No. 450/KMK 01/2002 tanggal 28 Oktober 2002 jo. Kep. DJPLN No. 35/PL/2002 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Lelang.