Top Banner
STRATEGI BANK DALAM MENGHADAPI PENYELESAIAN KREDIT MACET SERTA PENGAMANAN BENDA JAMINAN, SUATU TINJAUAN PRAKTIS BERACARA DI PENGADILAN NEGERI SAMPAI PADA TINGKAT PENINJAUAN KEMBALI A. Kredit dan Jaminan Pada Umumnya 1. Kredit dan Fungsi Kredit Pengertian kredit menurut UU 10 tahun 1998 tentang Perbankan Pasal 1 angka 11, adalah “penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”. Kredit yang diberikan oleh bank didasarkan atas kepercayaan sehingga pemberian kredit merupakan pemberian kepercayaan kepada nasabah. Oleh karena pemberian kredit oleh bank dimaksudkan sebagai salah satu usaha untuk mendapatkan keuntungan, maka bank hanya boleh meneruskan simpanan masyarakat kepada nasabahnya dalam bentuk kredit jika ia betul-betul yakin bahwa si debitur akan mengembalikan pinjaman yang diterimanya sesuai dengan jangka waktu dan syarat-syarat yang telah disetujui oleh kedua belah pihak. Hal tersebut menunjukkan perlu diperhatikannya faktor kemampuan dan kemauan, sehingga tersimpul kehati-hatian dengan menjaga unsur keamanan dan sekaligus unsur keuntungan. 1
37

Strategi Bank Mengatasi Kredit Macet Serta Pengamanan Benda Jaminan

Apr 23, 2023

Download

Documents

Yulia Dwiyanti
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Strategi Bank Mengatasi Kredit Macet Serta Pengamanan Benda Jaminan

STRATEGI BANK DALAM MENGHADAPI PENYELESAIAN KREDIT MACET SERTA

PENGAMANAN BENDA JAMINAN,

SUATU TINJAUAN PRAKTIS BERACARA DI PENGADILAN NEGERI

SAMPAI PADA TINGKAT PENINJAUAN KEMBALI

A. Kredit dan Jaminan Pada Umumnya

1. Kredit dan Fungsi Kredit 

Pengertian kredit menurut UU 10 tahun 1998 tentang

Perbankan Pasal 1 angka 11, adalah “penyediaan uang atau

tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan

persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dan

pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi

utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian

bunga”.

Kredit yang diberikan oleh bank didasarkan atas

kepercayaan sehingga pemberian kredit merupakan pemberian

kepercayaan kepada nasabah. Oleh karena pemberian kredit oleh

bank dimaksudkan sebagai salah satu usaha untuk mendapatkan

keuntungan, maka bank hanya boleh meneruskan simpanan

masyarakat kepada nasabahnya dalam bentuk kredit jika ia

betul-betul yakin bahwa si debitur akan mengembalikan pinjaman

yang diterimanya sesuai dengan jangka waktu dan syarat-syarat

yang telah disetujui oleh kedua belah pihak. Hal tersebut

menunjukkan perlu diperhatikannya faktor kemampuan dan

kemauan, sehingga tersimpul kehati-hatian dengan menjaga unsur

keamanan dan sekaligus unsur keuntungan.

1

Page 2: Strategi Bank Mengatasi Kredit Macet Serta Pengamanan Benda Jaminan

Unsur kredit yang paling esensial adalah “kepercayaan”

dari bank/kreditor terhadap nasabah peminjam/debitu.

Kepercayaan tersebut timbul karena dipenuhinya segala

ketentuan dan persyaratan untuk memperoleh kredit bank oleh

debitur, antara lain, jelasnya tujuan peruntukan kredit,

adanya benda jaminan atau agunan, dan lain-lain. Unsur-unsur

kredit terdiri atas :

a. Kepercayaan.

b. Tenggang Waktu.

c. Degree of risk (tingkat resiko).

d. Prestasi atau objek kredit.

Dalam sektor perbankan yang lebih luas, unsur-unsur

kredit juga meliputi: organisasi dan manajemen perkreditan,

dokumen dan administrasi kredit, perjanjian kredit, agunan,

penyelesaian kredit macet, dan unsur lainnya. Dalam

perkreditan ditemukan banyak ketentuan yang mengatur dan

membatasinya, hal itu karena memang bidang perbankan merupakan

kegiatan usaha yang paling banyak diatur dan dibatasi

ketentuan perundang-undangan. Dengan kondisi seperti itu maka

peraturan perundang-undangan merupakan salah satu unsur utama

dari kegiatan perkreditan.

2. Hukum Jaminan Pada Umumnya

Pengaturan hukum jaminan tidak hanya terdapat dalam

KUHPer, yaitu Buku II KUHPer, melainkan juga terdapat di luar

KUHPer. Di dalam buku II KUHPer mengatur mengenai jaminan

kebendaan, yang meliputi piutang-piutang yang diistimewakan

2

Page 3: Strategi Bank Mengatasi Kredit Macet Serta Pengamanan Benda Jaminan

(BAB XIX), tentang gadai (BAB XX), dan tentang hipotek (BAB

XXI). Adapun buku III KUHPer mengatur mengenai jaminan

perseorangan, yaitu penanggungan utang(Borgtocht) (BAB XVII). Di

luar KUHper, pengaturan hukum jaminan antara lain dapat

dijumpai dalam :

1. KUHD.

2. UU Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun.

3. UU Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman jo.

UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan

Permukiman.

4. UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah

diubah dengan UU Nomor 10 Tahun 1998.

5. UU Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan.

6. Undang-Undang Nomor 17 Tahun Tahun 2008 tentang

Pelayaran.

7. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan

Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan

Tanah.

8. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan

Fidusia.

B. Penyelesaian Kredit Macet

Penyelesaian Kredit Macet, jika kreditur memegang jaminan

kebendaan berupa jaminan hak tanggungan atau jaminan fidusia

3

Page 4: Strategi Bank Mengatasi Kredit Macet Serta Pengamanan Benda Jaminan

maka kreditur tersebut memiliki hak untuk mengeksekusi barang

jaminan untuk dijual secara lelang guna pembayaran utang

debitur jika debitur lalai melaksanakan kewajibannya

berdasarkan perjanjian kredit atau biasa disebut dengan

wanprestasi. Pemberian hak kepada kreditur untuk mengeksekusi

jaminan kebendaan yang diberikan oleh debitur dapat kita lihat

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) serta

beberapa peraturan perundang-undangan berikut ini:

1. Pasal 1155 KUHPer: Kreditur sebagai penerima benda gadai

berhak untuk menjual barang gadai, setelah lewatnya

jangka waktu yang ditentukan, atau setelah dilakukannya

peringatan untuk pemenuhan perjanjian dalam hal tidak ada

ketentuan jangka waktu yang pasti.

2. Pasal 15 ayat (3) jo. Pasal 29 Undang-Undang No. 42

Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UU Jaminan Fidusia):

yang memberikan hak kepada kreditur untuk mengeksekusi

benda jaminan fidusia jika debitur cidera janji

(wanprestasi).

3. Pasal 6 jo. Pasal 20 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996

tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda

Yang Berkaitan Dengan Tanah: yang memberikan hak kepada

kreditur untuk mengeksekusi benda jaminan fidusia jika

debitur cidera janji (wanprestasi).

Mengenai apa yang dimaksud dengan wanprestasi sendiri,

kita dapat mellihat pada Penjelasan Pasal 21 UU Jaminan

Fidusia, yaitu yang dimaksud dengan "cidera janji"

(wanprestasi) adalah tidak memenuhi prestasi, baik yang

4

Page 5: Strategi Bank Mengatasi Kredit Macet Serta Pengamanan Benda Jaminan

berdasarkan perjanjian pokok, perjanjian Jaminan Fidusia,

maupun perjanjian jaminan lainnya.

Mengenai apa itu prestasi, berdasarkan Pasal 1234 KUHPer,

ada 3 macam bentuk prestasi, yaitu:

1.    Untuk memberikan sesuatu;

2.    Untuk berbuat sesuatu; dan

3.    Untuk tidak berbuat sesuatu.

Melihat pada bentuk-bentuk prestasi pada Pasal 1234

KUHPer, dapat kita lihat bahwa wujud wanprestasi bisa berupa:

1.    Debitur sama sekali tidak berprestasi;

2.    Debitur keliru berprestasi;

3.    Debitur terlambat berprestasi.

Biasanya sebelum membawa perkara kredit yang bermasalah

ke jalur hukum, dilakukan upaya-upaya secara administrasi

terlebih dahulu. Drs. Muhamad Djumhana, S.H., dalam bukunya

yang berjudul Hukum Perbankan di Indonesia (hal. 553-573),

sebagaimana kami sarikan, mengatakan bahwa mengenai kredit

bermasalah dapat dilakukan penyelesaian secara administrasi

perkreditan, dan terhadap kredit yang sudah pada

tahap kualitas macet maka penanganannya lebih ditekankan

melalui beberapa upaya yang lebih bersifat pemakaian

kelembagaan hukum (penyelesaian melalui jalur hukum).

Menurut Djumhana, penyelesaian secara administrasi

perkreditan antara lain sebagai berikut:

1. Penjadwalan kembali (rescheduling), yaitu perubahan syarat

kredit yang menyangkut jadwal pembayaran dan atau jangka

waktu termasuk masa tenggang, baik meliputi perubahan

besarnya angsuran maupun tidak;

5

Page 6: Strategi Bank Mengatasi Kredit Macet Serta Pengamanan Benda Jaminan

2. Persyaratan kembali (reconditioning), yaitu perubahan

sebagian atau seluruh syarat-syarat kredit yang tidak

terbatas pada perubahan jadwal pembayaran, jangka waktu,

dan atau persyaratan lainnya sepanjang tidak menyangkut

perubahan maksimum saldo kredit dan konversi seluruh atau

sebagian dari pinjaman menjadi penyertaan bank;

3. Penataan kembali (restructuring), yaitu perubahan syarat-

syarat kredit berupa penambahan dana bank; dan/atau

konversi seluruh atau sebagian tunggakan bunga menjadi

pokok kredit baru, dan/atau konversi seluruh atau

sebagian dari kredit menjadi penyertaan dalam perusahaan.

Memang barang jaminan dapat dilelang sebelum lewat jangka

waktu pembayaran kredit dalam hal debitur melakukan tindakan

wanprestasi lainnya. Meski demikian, ada baiknya ditempuh

upaya-upaya secara administrasi terlebih dahulu untuk

menyelesaikan kredit yang bermasalah sebelum melakukan gugatan

ke pengadilan dan mengeksekusi barang jaminan.

Pemberian hak kepada kreditur untuk mengeksekusi jaminan

kebendaan yang diberikan oleh debitur dapat kita lihat

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) serta

beberapa peraturan perundang-undangan berikut ini:

4. Pasal 1155 KUHPer: Kreditur sebagai penerima benda gadai

berhak untuk menjual barang gadai, setelah lewatnya

jangka waktu yang ditentukan, atau setelah dilakukannya

peringatan untuk pemenuhan perjanjian dalam hal tidak ada

ketentuan jangka waktu yang pasti.

5. Pasal 15 ayat (3) jo. Pasal 29 Undang-Undang No. 42

Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UU Jaminan Fidusia):

6

Page 7: Strategi Bank Mengatasi Kredit Macet Serta Pengamanan Benda Jaminan

yang memberikan hak kepada kreditur untuk mengeksekusi

benda jaminan fidusia jika debitur cidera janji

(wanprestasi).

6. Pasal 6 jo. Pasal 20 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996

tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda

Yang Berkaitan Dengan Tanah: yang memberikan hak kepada

kreditur untuk mengeksekusi benda jaminan fidusia jika

debitur cidera janji (wanprestasi).

Mengenai apa yang dimaksud dengan wanprestasi sendiri,

kita dapat mellihat pada Penjelasan Pasal 21 UU Jaminan

Fidusia, yaitu yang dimaksud dengan "cidera janji"

(wanprestasi) adalah tidak memenuhi prestasi, baik yang

berdasarkan perjanjian pokok, perjanjian Jaminan Fidusia,

maupun perjanjian jaminan lainnya.

Mengenai apa itu prestasi, berdasarkan Pasal 1234 KUHPer,

ada 3 macam bentuk prestasi, yaitu:

1.    Untuk memberikan sesuatu;

2.    Untuk berbuat sesuatu; dan

3.    Untuk tidak berbuat sesuatu.

Melihat pada bentuk-bentuk prestasi pada Pasal 1234

KUHPer, dapat kita lihat bahwa wujud wanprestasi bisa berupa:

1.    Debitur sama sekali tidak berprestasi;

2.    Debitur keliru berprestasi;

3.    Debitur terlambat berprestasi.

Apabila kredit macet tersebut terjadi karena debitur

tidak melaksanakan prestasinya sebagaimana terdapat dalam

perjanjian kredit, maka sebelum melakukan eksekusi barang

jaminan, debitur harus terlebih dahulu dinyatakan wanprestasi,

7

Page 8: Strategi Bank Mengatasi Kredit Macet Serta Pengamanan Benda Jaminan

yang dilakukan melalui putusan pengadilan. Untuk itu kreditur

harus menggugat debitur atas dasar wanprestasi. Akan tetapi

sebelum menggugat debitur, kreditur harus melakukan somasi

terlebih dahulu yang isinya agar debitur memenuhi prestasinya.

Apabila debitur tidak juga memenuhi prestasinya, maka kreditur

dapat menggugat debitur atas dasar wanpretasi, dengan mana

apabila pengadilan memutuskan bahwa debitur telah wanprestasi,

maka kreditur dapat melakukan eksekusi atas barang jaminan

yang diberikan oleh debitur.

Jadi, dapat atau tidaknya barang jaminan dieksekusi tidak

hanya bergantung pada apakah jangka waktu pembayaran kredit

telah lewat atau tidak. Akan tetapi, apabila debitur melakukan

prestasi yang tidak sesuai dengan yang diperjanjikan, itu juga

merupakan bentuk wanprestasi (keliru berprestasi atau

melakukan tidak sebagaimana yang diperjanjikan) dan dapat

membuat kreditur berhak untuk melaksanakan haknya mengeksekusi

barang jaminan.

Namun, biasanya sebelum membawa perkara kredit yang

bermasalah ke jalur hukum, dilakukan upaya-upaya secara

administrasi terlebih dahulu. Drs. Muhamad Djumhana, S.H.,

dalam bukunya yang berjudul Hukum Perbankan di Indonesia (hal. 553-

573), sebagaimana kami sarikan, mengatakan bahwa

mengenai kredit bermasalah dapat dilakukan penyelesaian

secara administrasi perkreditan, dan terhadap kredit yang

sudah pada tahap kualitas macet maka penanganannya lebih

ditekankan melalui beberapa upaya yang lebih

bersifat pemakaian kelembagaan hukum (penyelesaian melalui

jalur hukum).

8

Page 9: Strategi Bank Mengatasi Kredit Macet Serta Pengamanan Benda Jaminan

Menurut Djumhana, penyelesaian secara administrasi

perkreditan antara lain sebagai berikut:

4. Penjadwalan kembali (rescheduling), yaitu perubahan syarat

kredit yang menyangkut jadwal pembayaran dan atau jangka

waktu termasuk masa tenggang, baik meliputi perubahan

besarnya angsuran maupun tidak;

5. Persyaratan kembali (reconditioning), yaitu perubahan

sebagian atau seluruh syarat-syarat kredit yang tidak

terbatas pada perubahan jadwal pembayaran, jangka waktu,

dan atau persyaratan lainnya sepanjang tidak menyangkut

perubahan maksimum saldo kredit dan konversi seluruh atau

sebagian dari pinjaman menjadi penyertaan bank;

6. Penataan kembali (restructuring), yaitu perubahan syarat-

syarat kredit berupa penambahan dana bank; dan/atau

konversi seluruh atau sebagian tunggakan bunga menjadi

pokok kredit baru, dan/atau konversi seluruh atau

sebagian dari kredit menjadi penyertaan dalam perusahaan.

Memang barang jaminan dapat dilelang sebelum lewat jangka

waktu pembayaran kredit dalam hal debitur melakukan tindakan

wanprestasi lainnya. Meski demikian, ada baiknya ditempuh

upaya-upaya secara administrasi terlebih dahulu untuk

menyelesaikan kredit yang bermasalah sebelum melakukan gugatan

ke pengadilan dan mengeksekusi barang jaminan.

Menurut Penulis ada 3 langkah yang bisa dilakukan dalam

menyelesaikan kredit macet yakni :

1. Penyelesaian kredit macet melalui penjualan jaminan

secara sukarela (penjualan dibawah tangan.

2. Penyelesaian kredit macet melalui Parate Executie.

9

Page 10: Strategi Bank Mengatasi Kredit Macet Serta Pengamanan Benda Jaminan

3. Penyelesaian kredit macet melalui gugatan perdata di

Pengadilan.

1. Penyelesaian Kredit Macet melalui Penjualan Jaminan

Secara Sukarela (Penjualan Dibawah Tangan)

Penjualan obyek hak tanggungan dapat dilaksanakan dibawah

tangan jika diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua

pihak. Demikian ditentukan oleh Pasal 20 Ayat (2) UUHT. Yang

dimaksud dengan penjualan dibawah tangan adalah penjualan atas

tanah yang dijadikan sebagai jaminan dan dibebani dengan hak

tanggungan oleh kreditor sendiri secara langsung kepada orang

atau pihak lain yang berminat, tetapi dibantu juga oleh

pemilik tanah dan bangunan dimaksud.

Oleh karena penjualan dibawah tangan dari obyek hak

tanggungan hanya dapat dilaksanakan bila ada kesepakatan

antara pemberi dan pemegang hak tanggungan, maka bank tidak

mungkin melakukan penjualan dibawah tangan terhadap obyek hak

tanggungan atau agunan kredit apabila debitor tidak

menyetujuinya. Dalam praktek apabila terjadi kredit macet,

debitor tidak kooperatif sehingga bank sulit untuk mendapatkan

atau memperoleh persetujuan dari nasabah debitor. Syarat untuk

dapat dilakukan penjualan dibawah tangan obyek hak tanggungan

adalah adanya kesepakatan atau persetujuan antara pemberi dan

pemegang hak tanggungan agar diperoleh harga tertinggi yang

menguntungkan semua pihak. Dalam keadaan-keadaan tertentu

justru menurut pertimbangan bank lebih baik agunan dijual

dibawah tangan daripada dijual melalui pelelangan umum,

apabila menurut pertimbangan bank hasil penjulan di bawah

tangan lebih tinggi dibandingkan melalui pelengan umum. Bank

10

Page 11: Strategi Bank Mengatasi Kredit Macet Serta Pengamanan Benda Jaminan

sendiri berkepentingan agar hasil penjualan agunan tersebut

cukup jumlahnya untuk membayar seluruh jumlah kredit yang

terutang.

Pelaksanaan penjualan jaminan di bawah tangan ini harus

didahului dengan pemberitahuan kepada pihak-pihak terkait dan

diumumkan dalam 2 (dua) surat kabar yang terbit di daerah

tempat lokasi tanah dan bangunan atau obyek hak tanggungan

berada. Hal ini dilakukan minimal 1 (satu) bulan sebelum

penjualan dilakukan serta tidak ada sanggahan dari pihak

manapun. Apabila tidak dilakukan, penjualan dapat dikatakan

batal demi hukum sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam

Pasal 20 UUHT.

Syarat untuk dapat dilakukan penjualan di bawah tangan

obyek hak tanggunganadalah adanya kesepakatan atau persetujuan

antara pemberi dan pemegang hak tanggungan agar diperoleh

harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak. Kesulitan

untuk memperoleh persetujuan dari nasabah debitor dapat

terjadi karena, misal :

a. Nasabah debitor dan atau pemilik agunan tidak mempunyai

iktikad baik sehingga sulit ditemui atau tidak

kooperatif;

b. Nasabah debitor dan atau pemilik agunan tidak diketahui

keberadaannya.

Agar bank kelak dikemudian hari setelah kredit yang

diberikan tidak mengalami kesulitan yang demikian, pada waktu

kredit diberikan bank mensyaratkan agar di dalam perjanjian

kredit diperjanjikan bahwa bank diberi kewenangan untuk dapat

menjual sendiri agunan tersebut secara dibawah tangan atau

11

Page 12: Strategi Bank Mengatasi Kredit Macet Serta Pengamanan Benda Jaminan

meminta kepada debitor untuk memberikan surat kuasa khusus

yang memberikan kekuasaan kepada bank untuk dapat menjual

sendiri agunan tersebut secara di bawah tangan. Bank melakukan

tindakan seperti itu dengan alasan “jaga-jaga” yang tidak akan

dipergunakan jika debitor membayar utangnya dengan lancar.

Alasan lainnya yang biasa disampaikan oleh bank adalah sebagai

tindakan “shocktherapy” bagi debitor, agar tidak melakukan

tindakan wanprestasi.

Yang dimaksud dengan surat kuasa menjual yaitu: pemberian

kuasa kepada pihak lain oleh atau penerima kuasa untuk

melakukan perbuatan hukum yaitu menjual suatu obyek tertentu.

Pada prinsipnya sebenarnya kuasa untuk menjual diberikan oleh

karena pihak penjual ( pemilik tanah) tidak dapat hadir

sendiri pada saat pembuatan akta jual beli karena alasan-

alasan tertentu. Namun dalam praktek alasan pemberian kuasa

berkembang sesuai kebutuhan praktek.

Surat kuasa menjual, tunduk pada pengaturan surat kuasa

dalam Pasal 1792 KUHPerdata, berbunyi sebagai berikut :

“Pemberian kuasa adalah suatu persetujuan dengan mana seorang meberikan

kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya, untuk dan atas namanya

menyelenggarakan suatu urusan”

Dari pasal tersebut kita dapat melihat bahwa unsur-unsur

dari pemberian kuasa adalah:

a. Persetujuan;

b. Memberikan kekuasaan untuk menyelenggarakan suatu urusan;

dan

c. Atas nama pemberi kuasa.

12

Page 13: Strategi Bank Mengatasi Kredit Macet Serta Pengamanan Benda Jaminan

Pertama-tama, haruslah unsur-unsur dan syarat-syarat

untuk sahnya suatu persetujuan sebagaimana disebutkan dalam

Pasal 1320 KUHPerdata dipenuhi, yaitu :

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

b. Kecakapan untuk membuat suatau perikatan;

c. Suatu hal tertentu; dan

d. Suatu sebab yang halal.

Unsur kedua dari pemberian kuasa, yaitu mengenai

memberikan kekuasaan untuk menyelenggarakan suatu urusan

adalah sesuai dengan yang telah disetujui oleh para pihak,

baik yang dirumuskan secara umum maupun dinyatakan dengan

kata-kata yang tegas.

Unsur ketiga di mana penerima kuasa melakukan tindakan

hukum tersebut untuk dan atas nama pemberi kuasa. Penerima

kuasa diberi wewenang untuk mewakili pemberi kuasa. Akibatnya,

tindakan hukum yang dilakukan oleh penerima kuasa merupakan

tindakan hukum dari pemberi kuasa. Apakah penerima kuasa dalam

melakukan sesuatu tindakan hukum tersebut selalu untuk

kepentingan pemberi kuasa semata-mata, disamping melakukannya

atas nama pemberi kuasa? Ada kemungkinan pemberian kuasa

tersebut dilakukan atas nama pemberi kuasa, tetapi untuk

kepentingan penerima kuasa sehingga dalam hal-hal tertentu

justru kepentingan penerima kuasa tersebut merupakan tujuan

dari pemberian kuasa tersebut, misalnya :

a. Suatu utang-piutang di mana kepada bank diberikan sebagai

jaminan hak atas tagihan dari debitor, yang untuk

keperluan mana debitor memberi kuasa kepada bank untuk

13

Page 14: Strategi Bank Mengatasi Kredit Macet Serta Pengamanan Benda Jaminan

menagih piutang tersebut dan hasilnya diperhitungkan

dengan utang debitor;

b. Pasal 1178 Ayat (2) KUHPerdata menyebutkan bahwa pemegang

hipotik pertama diberi kuasa mutlak oleh pemberi hipotik

untuk menjual persil yang dihipotikkan apabila debitor

tidak memenuhi kewajibannya.

Untuk lebih jelasnya, kami kutip Pasal 1178 Ayat (2)

KUHPerdata tersebut:

“Namun demikian, diperkenankanlah kepada si berpiutang hipotik pertama untuk,

pada waktu diberikannya hipotik dengan tegas minta diperjanjikan bahwa jika

uang tidak dilunasi semestinya atau jika bunga pokok tidak dilunasi semestinya

atau jika bunga yang terutang tidak dibayar, ia secara mutlak akan dikuasakan

menjual persil yang diperikatkan.”

Adapun dengan berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta

Benda-Benda yang berkaitan dengan Tanah (UUHT), maka ketentuan

Pasal 1178 KUHPerdatatersebut tidak berlaku untuk jaminan

berupa hak atas tanah dan bangunan. Pasal 6 UUHT menyebutkan

senada dengan ketentuan Pasal 1178 Ayat (2) KUHPerdata bahwa :

“Apabila debitor cidera janji, pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak

untuk menjual obyek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan

umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.”

Suatu perjanjian pendahuluan di mana para pihak berjanji

dan mengikatkan diri akan melakukan suatu perjanjian lainnya

(kemungkinan menunggu syarat tertentu telah dipenuhi).

Umpamanya, dalam hal jual-beli sebidang tanah, di mana bakal

penjual dan bakal pembeli bersetuju untuk melakukan jual-beli

14

Page 15: Strategi Bank Mengatasi Kredit Macet Serta Pengamanan Benda Jaminan

di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), tetapi syarat-

syarat yang diperlukan untuk pelaksanaan jual-beli tersebut

belum dipenuhi (sertipikat tanah hak atas nama penjual belum

selesai, harga jual-beli belum lunas dan sebagainya). Dalam

hal demikian, para pihak mengadakan perjanjian. pendahuluan

(perjanjian pengikatan jual-beli). Dalam perjanjian tersebut

penjual memberi kuasa kepada pembeli apabila syarat-syarat

tersebut telah terpenuhi (sertipikat tanah hak telah selesai

tertulis atas nama penjual, harga jual beli telah dilunasi

seluruhnya) mewakili penjual sebagai pemilik tanah hak

tersebut guna melaksanakan jual beli di hadapan PPAT.

Dari contoh-contoh tersebut di atas dapat kita lihat

bahwa penerima kuasa tidak saja mempunyai kekuasaan mewakili.

(vertegenwoordigingsmacht), tetapi juga hak mewakili

(vertegenwwoordigingsrecht). Di sini kepentingan penerima kuasa

perlu diperhatikan mengingat berakhirnya suatu kuasa

sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1813 KUHPerdata, di

antaranya, karena ditariknya kembali kuasanya oleh pemberi

kuasa. Hal tersebut diatur pula dalam Pasal 1814 KUHPerdata

yang menyebutkan bahwa si pemberi kuasa dapat menarik kembali

kuasanya manakala itu dikehendakinya. Jika terjadi demikian,

akan mengakibatkan hak-hak dari penerima kuasa (kreditor atau

bakal pembeli dalam contoh di atas) sangat dirugikan.

Pemberian kuasa yang diberikan dalam rangka suatu perjanjian,

dimana pemberian kuasa tersebut merupakan bagian yang tidak

dapat dipisahkan dari perjanjian tersebut (integrerend deel),

karena tanpa adanya kuasa tersebut kepentingan penerima kuasa

akan sangat dirugikan, perlulah pemberian kuasa tersebut

15

Page 16: Strategi Bank Mengatasi Kredit Macet Serta Pengamanan Benda Jaminan

diberikan syarat bahwa kuasa tersebut tidak dapat dicabut

kembali atau yang sekarang dikenal atau disalahartikan dengan

“kuasa mutlak”.

Larangan kuasa mutlak yang dimaksud disini adalah

larangan terhadap kuasa sebagaimana diatur dalam Instruksi

Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 tentang Larangan

Penggunaan Kuasa Mutlak sebagai pemindahan Hak Atas Tanah yang

sekarang telah dimuat di dalam Pasal 39 huruf d peraturan

Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Kuasa mutlak tersebut pada hakikatnya merupakan pemindahan hak

atas tanah, dengan ciri-ciri yang disebutkan dalam Instruksi

Menteri Dalam Negeri tersebut, yaitu:

“Kuasa mutlak yang dimaksud dalam diktum pertama adalah kuasa yang di

dalamnya mengandung unsur tidak dapat ditarik kembali oleh pemberi kuasa.

Kuasa mutlak yang pada hakikatnya merupakan pemindahan hak atas tanah

adalah kuasa mutlak yang memberikan kewenangan kepada penerima kuasa untuk

menguasai dan menggunakan tanahnya serta melakukan segala perbuatan hukum

yang menurut hukum hanya dapat dilakukan oleh pemegang haknya.”

2. Pelaksanaan Eksekusi Jaminan Kredit Melalui Parate

Eksekusi

Permasalahan parate eksekusi jaminan kredit bagi bank

sangat penting karena sesuai dengan fungsi hak jaminan

berkaitan dengan pemberian kredit adalah sebagai pengaman

terakhir kredit yang diberikan oleh bank tersebut dapat

kembali dan menguntungkan, yaitu dengan cara eksekusi/menjual

agunan kredit tersebut dan hasilnya diperuntukan bagi

pelunasan utang debitur, sedangkan apabila dari hasil

16

Page 17: Strategi Bank Mengatasi Kredit Macet Serta Pengamanan Benda Jaminan

penjualan terdapat sisa setelah digunakan pembayaran utangnya,

maka sisa itu dikembalikan kepada debitu. Jika dari hasil

penjualan terdapat kekurangan, maka kekurangannya wajib

dibayar debitur, berdasarkan pasal 1131 KUHPer.

Dalam kenyataannya, hak-hak yang melekat pada agunan

kredit tersebut tidak sepenuhnya mudah untuk dilaksanakan.

Sekalipun jelas sekali undang-undang mengatur mengenai

kemudahan bagi kreditor untuk melakukan penjualan objek

jaminan kredit, baik yang dilakukan melalui kantor lelang

maupun penjualan di bawah tangan, tetapi dalam praktik, hal

tersebut masih terdapat kendala, yaitu masih diperlukannya

fiat eksekusi dari Pengadilan. Berdasarkan penjelasan pasal 14

ayat (2) dan (3) Undang-Undang Hak Tanggungan, bahwa terdapat

kata-kata “melalui tata cara dan dengan menggunakan lembaga

parate executie sesuai dengan peraturan hukum acara perdata.” Ini

berarti, sekalipun debitur telah cidera janji, penjualan objek

hak jaminan tersebut belum serta merta dapat dilakukan. Dalam

praktik, pihak kantor lelang akan meminta adanya fiat

pengadilan mengenai eksekusi jaminan kredit. Tanpa adanya

penetapan pengadilan mengenai eksekusi jaminan kredit,

pelaksanaan penjualan akan mengalami kesulitan dan masih

terdapat permasalahan hukum. Sering terjadi, walaupun

pengadilan telah menetapkan adanya eksekusi atas objek jaminan

kredit, pihak debitur mengadakan upaya bantahan mengenai

penetapan eksekusi tersebut dengan alasan-alasan yang dapat

diterima hakim. Hal demikian juga akan memperpanjang

pelaksanaan eksekusi jaminana kredit.

17

Page 18: Strategi Bank Mengatasi Kredit Macet Serta Pengamanan Benda Jaminan

Dasar dilakukannya lelang terdapat dalam undang-undang

yang mengatur mengenai hak jaminan, misalnya dalam Undang-

Undang Nomor 4 tahun 1996, penjualan melalui lelang atas hak

tanggungan berdasarkan janji, yang diatur dalam Pasal 6, yang

intinya adalah apabila debitur cidera janji, kreditor

(pemegang hak tanggungan) atas kekuasaan sendiri menjual

melalui lelang umum serta mengambil pelunasan piutangnya.

Berdasarkan Pasal 14 ayat 3 Undang-Undang No. 4 Tahun

1996, sertifikat hak tanggungan disamakan dengan putusan

pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Namun,

dalam penjelasan tersebut antara lain dinyatakan tata cara

pelaksanannya dengan menggunakan lembaga parate eksekusi

sesuai dengan peraturan hukum acara perdata.

3. Penyelesaian Kredit Macet Melalui Gugatan Perdata di

Pengadilan

Mengajukan gugatan perdata melalui Pengadilan Negeri (PN)

atas dasar wanprestasi (ingkar janji/cedera janji) dapat

dijadikan opsi oleh Bank untuk menyelesaikan portfolio kredit

macet. Opsi ini dapat ditempuh manakala pihak bank tidak dapat

melakukan eksekusi grosse akta melalui Pengadilan Negeri

disebabkan antara lain perjanjian kreditnya tidak diiringi

pembuatan grosse akta pengakuan utang yang dibuat secara

notarial.

Penyelesaian kredit macet melalui gugatan di Pengadilan

Negeri, dalam teorinya, asas peradilan adalah asas sederhana,

cepat, dan biaya ringan sebagaimana ketentuan Pasal 4 ayat (2)

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Keuasaan Kehakiman.

18

Page 19: Strategi Bank Mengatasi Kredit Macet Serta Pengamanan Benda Jaminan

Namun demikian dalam praktiknya bersengketa di Pengadilan bisa

memakan waktu bertahun-tahun dan dengan biaya tidak sedikit.

Proses mediasi harus terlebih dahulu dilalui yang jangka

waktunya paling lama 40 hari, sebagaimana diatur dalam PERMA

No. 1 Tahun 2008. Setelah mediasi dilalui sebenarnya dalam

melakukan pemeriksaan dan memutus perkara perdata apabila

berjalan lancar dapat diselesaikan selama delapan minggu atau

delapan kali persidangan.

Adapun rincian acara persidangan dimaksud, apabila dapat

berjalan lancar setiap sekali seminggu sebagai berikut :

1. Sidang pertama : Pemeriksaan identitas para pihak

bersengketa dan penunjukan

Mediator.

2. Mediasi dengan mediator paling lama selama 40 (empat

puluh) hari

3. Sidang kedua : Jawaban tergugat.

4. Sidang ketiga : Replik.

5. Sidang keempat : Duplik.

6. Sidang kelima : Pembuktian oleh penggugat.

7. Sidang keenam : Pembuktian oleh tergugat.

8. Sidang ketujuh : Kesimpulan masing-masing pihak.

9. Sidang kedelapan : Putusan.

Hambatan dalam memeriksa perkara dengan cepat dalam

perkara perdata sebagaimana dimaksud diatas, pada umumnya

berasal dari para pihak yang berperkara itu sendiri. Salah

satu yang sering ditemui dalam persidangan antara lain salah

satu pihak berhalangan hadir, belum siap

jawaban/replik/duplik, belum siap bukti dan saksi, yang

19

Page 20: Strategi Bank Mengatasi Kredit Macet Serta Pengamanan Benda Jaminan

kesemuanya menyebabkan sidang ditunda paling cepat satu minggu

dan bisa lebih lama dari itu.

Setelah diputus oleh Pengadilan Negeri maka pihak yang

tidak puas terhadap putusan tersebut dapat mengajukan upaya

hukum banding ke Pengadilan Tinggi. Yang perlu diperhatikan

adalah tata cara pengajuan banding sebagai berikut :

1. Mengajukan Permohonan Banding dengan membuat akta

pernyataan banding di Kepaniteraan Pengadilan Negeri yang

memutus perkara tersebut dalam waktu paling lambat 14

hari sejak putusan dibacakan (jika prinsipal atau

kuasanya hadir di persidangan) atau sejak relaas putusan

diterima jika putusan dibacakan secara verstek. Jika lewat

waktu maka berakibat permohonan banding tidak dapat

diterima.

2. Kuasa hukum dapat mewakili prinsipal untuk membuat

permohonan banding dan membuat memori banding dengan

surat kuasa khusus untuk itu.

3. Penyerahan memori banding tidak harus dilakukan secara

bersamaan dengan pembuatan akta banding, penyerahan

memori banding dapat dilakukan kapan saja asalkan selama

perkara banding tersebut belum diputus pengadilan tinggi.

Hal ini didasarkan pada Putusan MA No. 39 K/Sip/1973 yang

menyatakan undang-undang tidak menentukan batas waktu

penyampaian memori banding, sehubungan dengan itu, memori

banding dapat diajukan selama pengadilan tinggi dalam

tingkat banding belum memutus perkara tersebut.

20

Page 21: Strategi Bank Mengatasi Kredit Macet Serta Pengamanan Benda Jaminan

4. Kontra memori banding dapat dilakukan kapan saja selama

perkara banding tersebut belum diputus di Pengadilan

Tinggi.

5. Membayar biaya perkara banding.

Setelah diputus di tingkat banding yakni di Pengadilan

Tinggi, maka apabila ada dari pihak yang bersengketa tidak

puas dengan putusan tingkat banding maka dapat mengajukan

upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung. Hal-hal yang perlu untuk

diperhatikan adalah sebagai berikut :

1. Mengajukan Permohonan Kasasi dengan membuat akta

pernyataan kasasi di Kepaniteraan Pengadilan Negeri yang

memutus perkara dalam tingkat pertama, tenggang waktunya

adalah paling lambat 14 hari sejak putusan diterima.

2. Kuasa hukum dapat mewakili prinsipal untuk membuat

pemohonan kasasi dan membuat memori kasasi dengan surat

kuasa khusus untuk itu.

3. Pemohon kasasi wajib menyerahkan memori kasasi dengan

tenggang waktu 14 hari setelah permohonannya didaftar.

4. Kontra memori kasasi wajib diserahkan dalam waktu

selambat-lambatnya 14 hari setelah Salinan memori kasasi

diterima.

5. Membayar biaya perkara kasasi.

Terhadap putusan tingkat Kasasi Oleh Mahkamah Agung dapat

diajukan Peninjauan Kembali (PK) dengan ketentuan Pasal 67 UU

No.14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah UU No. 5 Tahun 2004

tentang Mahkamah Agung menyatakan sebagai berikut :

21

Page 22: Strategi Bank Mengatasi Kredit Macet Serta Pengamanan Benda Jaminan

”Permohonan peninjauan kembali putusan perkara perdata yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap dapat diajukan hanya berdasarkan alasan-alasan sebagai

berikut:

a. apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat

pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan

pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;

b. apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang

bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat

ditemukan;

c. apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari

pada yang dituntut;

d. apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa

dipertimbangkan sebab-sebabnya;

e. apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama,

atas dasar yang sama oleh Pengadilan yang sama atau sama tingkatnya

telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain;

f. apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan Hakim atau suatu

kekeliruan yang nyata.”

Selanjutnya, Pasal 69 UU No.14 Tahun 1985 sebagaimana

telah diubah UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung

menyatakan :

“Tenggang waktu pengajuan permohonan peninjauan kembali yang didasarkan

atas alasan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 67 adalah 180 (seratus

delapan puluh) hari untuk :

a. yang disebut pada huruf a sejak diketahui kebohongan atau tipu muslihat

atau sejak putusan Hakim pidana memperoleh kekuatan hukum tetap,

dan telah diberitahukan kepada para pihak yang berperkara;

22

Page 23: Strategi Bank Mengatasi Kredit Macet Serta Pengamanan Benda Jaminan

b. yang disebut pada huruf b sejak ditemukan surat-surat bukti, yang

hari serta tanggal ditemukannya harus dinyatakan di bawah sumpah

dan disahkan oleh pejabat yang berwenang;

c. yang disebut pada huruf c, d, dan f sejak putusan memperoleh kekuatan

hukum tetap dan telah diberitahukan kepada para pihak yang

berperkara;

d. yang tersebut pada huruf e sejak sejak putusan yang terakhir dan

bertentangan itu memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah

diberitahukan kepada pihak yang berperkara.”

Berdasarkan ketentuan tersebut diatas maka hal penting

yang harus diperhatikan dalam pengajuan permohonan PK adalah :

1. Penerapan alasan permohonan peninjauan kembali (PK)

ini terbatas hanya pada bentuk Alat Bukti Surat.

2. Alat Bukti Surat, yang memenuhi alasan permohonan

peninjauan kembali (PK) ini, harus bersifat

menentukan.

3. Hari dan tanggal alat bukti surat itu ditemukan,

harus dinyatakan di bawah sumpah dan disahkan

pejabat yang berwenang.1

1 Catatan Penulis : Pengakuan tersumpah Dikenal juga Affidafit. Adapun terhadap pengertian ”pejabat yang berwenang” pada Pasal 69 huruf b tersebuttidak diberikan penjelasan. Oleh karena tidak diberikan penjelasan, makatidak terdapat pembatasan atas ”pejabat yang berwenang” dalam melakukanpengesahan atas alat bukti surat tersebut. Namun demikian, pada umumnya,jika suatu surat yang akan dijadikan novum berkaitan erat dengan pejabat tertentu, maka pernyataan sumpah dan pengesahannya dilakukan di hadapan danoleh pejabat tersebut. Dikaitkan dengan perkara, jika alat bukti surat yang diajukan sebagainovum adalah berupa akta jual beli, maka pernyataan sumpah dan pengesahannya dapat dilakukan di hadapan dan oleh notaris. Sementara itu,jika alat bukti surat yang diajukan sebagai novum adalah berupa sertipikat hak milik, maka pernyataan sumpah dan pengesahannya dapat dilakukan dihadapan dan oleh pejabat Badan Pertanahan Nasional (BPN).

23

Page 24: Strategi Bank Mengatasi Kredit Macet Serta Pengamanan Benda Jaminan

4. Alat bukti surat itu telah ada sebelum proses

pemeriksaan perkara.

Terhadap bagian 3 tersebut di atas, maka pada hari dan

tanggal ditemukan alat bukti surat itu, pemohon PK harus

menyatakan di bawah sumpah dimana :

1. Pernyataan sumpah itu dibuat secara tertulis yang

menjelaskan bahwa pada hari dan tanggal tersebut telah

menemukan alat bukti surat in casu Akta Jual beli ataupun

Sertipikat Hak Milik dengan menyebut tempat atau kantor

dimana alat bukti surat itu ditemukan.

2. Selanjutnya surat pernyataan sumpah itu disahkan oleh

pejabat yang berwenang.

Kedua syarat ini bersifat imperatif dan kumulatif.

Artinya, apabila penemuan surat itu tidak dituangkan dalam

bentuk surat pernyataan di bawah sumpah, kemudian surat

pernyataan sumpah itu tidak disahkan oleh pejabat yang

berwenang, maka alat bukti surat itu tidak memenuhi syarat

sebagai alasan permohonan PK. Sementara itu, pernyataan sumpah

saja oleh Pemohon PK tanpa disahkan oleh pejabat yang

berwenang juga mengakibatkan alat bukti surat tersebut tidak

sah sebagai alasan permohonan PK.

Penyelesaian sengketa melalui Pengadilan dalam praktiknya

memakan waktu lama. Debitur sering memanfaatkan lamanya waktu

penyelesaian perkara di Pengadilan. Bahkan adakalanya debitor

sengaja menggugat kreditor dengan tujuan untuk mengulur-ulur

waktu pembayaran dan menggunakan dalih “masih dalam sengketa”

untuk menghalang-halangi eksekusi jaminan. Oleh karena itu

24

Page 25: Strategi Bank Mengatasi Kredit Macet Serta Pengamanan Benda Jaminan

bank dalam menghadapi debitor semacam itu memerlukan strategi

khusus.

Namun demikian Melihat pada ketentuan Pasal 66 ayat (2)

UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah

diubah dengan UU No. 5 Tahun 2004, ditentukan bahwa permohonan

peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan

Pengadilan. Dari ketentuan pasal tersebut dan dari penjelasan

pasalnya yang juga berbunyi “cukup jelas”, maka dapat kita

simpulkan bahwa upaya Peninjauan Kembali (“PK”) tidak akan

menunda pelaksanaan putusan kasasi.

4. Eksekusi Putusan Pengadilan

Sebuah perkara yang telah diputus oleh Pengadilan dan

berkekuatan hukum tetap, maka eksekusinya tidak dilaksanakan

secara otomatis oleh Pengadilan Negeri. Pengadilan Negeri

dalam perkara perdata bersikap pasif, karena eksekusi

putusannya harus diminta oleh pihak yang menang dalam

berperkara yang disebut disebut pemohon eksekusi. Sikap

pengadilan yang demikian, sejalan dengan hukum perdata adalah

hukum pribadi, sehingga terserah kepada pihak yang berperkara

itu sendiri, apakah akan dieksekusi atau tidak putusan

pengadilan.

Dalam hukum acara perdata, putusan hakim terdapat

beberapa jenis sebagaimana diungkapkan oleh Prof. Abdul Kadir

Muhammad, S.H. yakni :

1. Putusan Kondemnator (Condemnatoir vonnis, condemnatory verdict).

2. Putusan Deklarator (declaratoir vonnis, declaratory verdict).

3. Putusan Konstitutif (Constitutief vonnis, constitutive verdict).

25

Page 26: Strategi Bank Mengatasi Kredit Macet Serta Pengamanan Benda Jaminan

Terdapat dua jenis eksekusi perdata, yakni eksekusi riil

dan eksekusi pembayaran. M. Yahya Harahap, S.H. menjelaskan :

“Pada dasarnya ada dua bentuk eksekusi ditinjau dari segi sasaran yang

hendak dicapai oleh hubungan hukum yang tercantum dalam putusan pengadilan.

Adakalanya sasaran hubungan hukum yang hendak dipenuhi sesuai dengan amar

atau dictum putusan, yaitu melakukan suatu “tindakan nyata” atau “tindakan riil”,

sehingga eksekusi semacam ini disebut “eksekusi riil”. Adakalanya hubungan hukum

yang mesti dipenuhi sesuai dengan amar putusan, melakukan “pembayaran

sejumlah uang”. Eksekusi yang seperti ini disebut “pembayaran uang”.

Eksekusi merupakan akhir dari gugatan perkara perdata

dimana putusan hakim yang telah mempunyai putusan hukum tetap

(inkracht van gewijsde) dilaksanakan. Tidak semua jenis putusan

hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap tersebut dapat

dieksekusi. Lilik Mulyadi, S.H. berpendapat :

“Pada asasnya putusan hakim hanya yang bersifat “condemnatoir” dengan amar

berisi penghukuman saja yang dapat dieksekusi. Seperti: penghukuman berisi

penyerahan sesuatu barang, mengosongkan sebidang tanah, membayar sejumlah

uang atau melakukan sesuatu perbuatan tertentu dan lain-lain. Sedangkan

terhadap putusan hakim dengan sifat amar “deklaratoir” atau “konstitutif” tidak

memerlukan eksekusi oleh karena pada putusan tersebut mengandung sifat dan

dan keadaan dinyatakan sah serta keadaan baru telah mulai berlaku/tercipta sejak

putusan itu diucapkan dalam persidangan terbuka untuk umum.”

Putusan yang bersifat kondemnator mengandung arti putusan

yang bersifat menghukum. Putusan-putusan yang memiliki sifat

deklarator atau konstitutif tidak perlu dieksekusi, karena

begitu putusan-putusan yang demikian itu begitu diputuskan

oleh hakim, maka keadaan dinyatakan sah oleh putusan dan mulai

26

Page 27: Strategi Bank Mengatasi Kredit Macet Serta Pengamanan Benda Jaminan

berlaku pada saat itu juga. Putusan kondemnator bisa berupa

putusan untuk:

a. Menyerahkan suatu barang.

b. Mengosongkan sebidang tanah.

c. Melakukan suatu perbuatan tertentu.

d. Menghentikan suatu perbuatan/keadaan.

e. Membayar sejumlah uang.

Dari kelima bentuk putusan kondemnator, dari point a

sampai dengan point d adalah penghukuman untuk bentuk eksekusi

riil, sedangkan pada point e adalah eksekusi pembayaran uang.

Ada tiga hal yang membedakan antara eksekusi riil dengan

eksekusi pembayaran. M. Yahya Harahap S.H. menyebutkan yang

membedakaan itu adalah sebagai berikut:

1. Eksekusi riil mudah dan sederhana, sedangkan eksekusi

pembayaran uang memerlukan tahap sita eksekusi dan

penjualan eksekusi.

Jika diperhatikan dengan seksama, menjalankan eksekusi

riil sangat mudah dan sederhana. Ambil contoh penghukuman

pengosongan tanah. Cara eksekusinya sederhana. Prosesnya pun

sangat mudah dengan jalan memaksa tergugat keluar meninggalkan

tanah tersebut. Begitu pula pada bentuk eskekusi riil yang

lain. Pada dasarnya secara teoritis sangat mudah dan

sederhana. Lain halnya mengenai eksekusi pembayaran sejumlah

uang. Adakalanya terhukum sama sekali tidak mempunyai uang

tunai. Yang ada hanya harta benda. Diperlukan syarat dan tata

tertib yang terinci. Secara garis besarnya tahapannya adalah

melalui proses sita jaminan (esxecutorial beslag) dan kemudian

27

Page 28: Strategi Bank Mengatasi Kredit Macet Serta Pengamanan Benda Jaminan

dilanjutkan dengan penjualan lelang yang melibatkan jawatan

lelang.

Penahapan proses itu tidak perlu dalam menjalankan

eskesusi riil. Pada eksekusi riil, Ketua Pengadilan Negeri

cukup mengeluarkan surat penetapan yang memerintahkan

eksekusi. Berdasarkan penetapan itu, panitera atau juru sita

pergi ke lapangan melaksanakan penyerahan atau pembongkaran

secara nyata. Dengan penyerahan atau pembongkaran, eksekusi

sudah dianggap terlaksana. Berbeda halnya dengan ekskusi

pembayaran sejumlah uang. Untuk mendapatkan uang itu, harta

tergugat harus lebih dahulu dilelang dan untuk sampai pada

tahap lelang terdapat tata cara tersendiri.

2. Eksekusi riil terbatas putusan pengadilan, sedang

eksekusi pembayaran uang meliputi akta yang disamakan

dengan putusan pengadilan .

Eksekusi riil hanya terjadi dan mungkin diterapakan

berdasarkan putusan pengadilan yang telah memunyai kekuatan

hukum tetap, bersifat dijalankan lebih dahulu, berbentuk

provisi dan berbentuk akta perdamaian di sidang pengdilan.

Eksekusi pembayaran sejumlah uang tidak hanya didasarkan atas

putusan pengadilan, tetapi juga didasarkan atas bentuk akta

tertentu yang oleh undang-undang disamakan nilainya dengan

putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap yang terdiri dari

grosse akta pengakuan utang, grosse akta hipotek, crediet verband,

hak tanggungan, jaminan fidusia.

Eksekusi riil tidak mungkin dijalankan terhadap grosse

akta. Sebab grosse akta pengakuan utang, hipotek, hak

tanggungan, dan jaminan fidusia adalah ikatan hubungan hukum

28

Page 29: Strategi Bank Mengatasi Kredit Macet Serta Pengamanan Benda Jaminan

utang piutang yang harus diselesaikan dengan jalan pembayaran

sejumlah uang. Jadi, bentuk kelahiran terjadinya grosse akta

itu sendiri sudah menggolongkannya kepada eksekusi pembayaran

sejumlah uang.

3. Sumber hubungan hukum yang disengketakan.

Eksekusi riil merupakan upaya hukum yang mengikuti

persengketaan hak milik atau persengketaan hubungan hukum yang

didasarkan atas perjanjian jual beli, sewa-menyewa atau

perjanjian melaksanakan suatu perbuatan. Adapun eksekusi

pembyaran sejumlah uang, dasar hubungan hukumnya hanya

didasarkan atas persengketaan perjanjian utang-piutang dan

ganti rugi berdsarkan wanprestasi, dan hanya dapat diperluas

berdasarkan ketentuan Pasal 225 HIR dengan nilai sejumlah uang

apabila tergugat enggan menjalankan perbuatan yang dihukumkan

pada waktu tertentu.

Terdapat tata cara dan prosedur untuk menjalankan

eksekusi pembayaran sejumlah uang. Pada dasarnya eksekusi

pembayaran sejumlah uang adalah untuk melaksanakan putusan

pegadilan berupa pembayaran sejumlah uang yang besarnya

ditentukan oleh putusan pengadilan. Apabila pihak terhukum

tidak mau melaksanakan putusan berupa pembayaran sejumlah uang

sebagaimana yang dihukumkan kepadanya, maka pengadilan

berwenang untuk melaksanakan eksekusi pembayaran sejumlah uang

dengan cara penjualan lelang harta kekayaan tergugat di depan

umum. Dari hasil penjualan lelang, dibayarkanlah kepada pihak

yang yang berhak atas pihak yang dihukum sesuai dengan jumlah

yang disebutkan dalam amar putusan.

29

Page 30: Strategi Bank Mengatasi Kredit Macet Serta Pengamanan Benda Jaminan

Tidak serta merta penjualan lelang secara nyata dapat

langsung dilakukan dan hasilnya langsung diperoleh oleh

penerima hak dari pihak yang dihukum. Terdapat tahapan-tahapan

yang harus ditempuh. Bisa dikatakan, bahwa lelang dan

penyerahan hasil lelang kepada penerima hak atas pihak yang

dihukum adalah tahapan terakhir dalam eksekusi. Tahapan-

tahapan itu adalah sebagai berikut :

1. Peringatan (aanmaning).

Peringatan (aanmaning) merupakan tahap awal proses

eksekusi. Proses peringatan merupakan prasyarat yang bersifat

formil pada segala bentuk eksekusi, baik pada eksekusi riil

maupun eksekusi pembayaran sejumlah uang.

Peringatan (aanmaning) baru dapat dilakukan setelah

diterimanya pengajuan permohonan eksekusi dari pihak pemohon

eksekusi. Bentuk pengajuan eksekusi dapat dilakukan baik

secara lisan maupun secara tulisan. Selama belum ada

permohonan eksekusi, proses peringatan tidak dapat dilakukan.

Namun demikian, ketika sudah diajukan permohonan eksekusi maka

Ketua Pengadilan Negeri wajib melakukan peringatan (aanmaning).

Batas waktu masa peringatan “aanmaning” ditentukan oleh ketua

Pengadilan Negeri maksimal adalah 8 (delapan) hari. Hal ini

sesuai dengan Pasal 196 HIR.

Setelah dilakukan peringatan (aanmaning), apabila pihak

tergugat tidak hadir memenuhi panggilan peringatan tanpa

alasan yang sah, atau setelah masa peringatan dilampaui tetap

tidak mau memenuhi pembayran yang dihukumkan kepadanya, sejak

saat itu Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan surat penetapan

30

Page 31: Strategi Bank Mengatasi Kredit Macet Serta Pengamanan Benda Jaminan

yang berisi perintah kepada panitera atau juru sita untuk

melakukan sita eksekusi (executoriale beslag).

2. Sita Eksekusi (executorial beslag)

Sita eksekusi atau (executorial beslag) merupakan tahap

lanjutan dari peringatan dalam proses eksekusi pembayaran

sejumlah uang. Tata cara sita eksekusi bertitik tolak dari

ketentuan Pasal 197 HIR, Pasal 198 HIR, dan Pasal 199 HIR.

Mengenai sita eksekusi (executorial beslag) ada beberapa hal

yang perlu dijelaskan oleh penulis adalah sebagai berikut :

a. Sita Eksekusi berdasarkan surat perintah eksekusi oleh

Ketua Pengadilan Negeri. Pada eksekusi pembayaran

sejumlah uang, surat perintah dilakukan setelah surat

peringatan (aanmaning). Penahapan proses sita eksekusi

harus disusul dengan penahapan surat perintah penjualan

lelang. Setelah penahapan proses perintah penjualan

lelang baru kemudian dilakukan proses penahapan penjualan

lelang oleh jawatan lelang. Mengenai penahapan penjualan

lelang akan dibahas lebih lanjut dalam pemabahasan

tersendiri.

b. Sita Eksekusi dilaksanakan Panitera atau Juru Sita. Jadi,

surat perintah eksekusi berisi perintah kepada panitera

atau juru sita untuk menyita sejumlah atau seluruh harta

kekayaan tergugat yang jumlahnya disesuaikan dengan

patokan batas yang ditentukan pasal 197 ayat (1) HIR.

c. Panitera atau juru sita yang diperintahkan menjalankan

sita eksekusi dibantu dan disaksikan oleh dua orang

saksi. Ketentuan ini adalah syarat formil yang ditentukan

31

Page 32: Strategi Bank Mengatasi Kredit Macet Serta Pengamanan Benda Jaminan

Pasal 197 ayat (6) HIR. Sita eksekusi yang tidak dibantu

dan disaksikan dua orang saksi menurut hukum dianggap

tidak memenuhi syarat. Akibatnya sita eksekusi dianggap

tidak sah.

d. Tata cara pelaksanaan sita eksekusi menentukan

persyaratan tentang keharusan pelaksanaan sita eksekusi

dilakukan di tempat terletaknya barang yang hendak

disita. Syarat ini disimpulkan dari ketentuan Pasal 197

ayat (5) dan ayat (9) HIR. Maksudnya adalah panitera atau

juru sita datang ke tempat di mana barang yang hendak

disita terletak untuk melihat sendiri jenis barang maupun

ukuran dan letak barang yang hendak disita eksekusi

bersama-sama dengan kedua orang saksi yang ditunjuk.

e. Sita eksekusi wajib untuk dibuatkan berita acara sita

eksekusi. Autentikasi sita eksekusi sebagai tindakan

hukum dituangkan dalam berita acara. Berita acara

merupakan bukti autentik kebenaran sita eksekusi. Tanpa

berita acara sita eksekusi dianggap tidak pernah terjadi.

Hal inilah yang disinggung Pasal 197 ayat (5) dan (6)

HIR. Menurut Pasal tersebut, fungsi sita eksekusi yang

dilakukan panitera atau juru sita mesti dilengkapi dengan

pembuatan berita acara.

f. Pasal 197 ayat (5) HIR menentukan berita Acara eksekusi

diberikan kepada tersita eksekusi jika tersita hadir pada

waktu pelaksanaan eksekusi. Walaupun undang-undang

menentukan demikian, namun berita acara eksekusi tetap

diberikan kepada tereksekusi walapun dia tidak hadir.

32

Page 33: Strategi Bank Mengatasi Kredit Macet Serta Pengamanan Benda Jaminan

g. Sita eksekusi dapat dijalankan pelaksanaannya di luar

hadirnya pihak tersita. Pelaksanaan sita eksekusi tidak

digantungkan atas hadirnya pihak tersita. Hadir atau

tidak hadir, sita dapat dijalankan pelaksanaannya.

h. Penjagaan barang yang disita mesti tetap berada di tangan

pihak tersita. Penjagaan dan penguasaan barang yang

disita tidak boleh diserahkan kepada pemohon eksekusi.

Sita eksekusi tidak dapat diartikan pelepasan hak milik

tereksekusi atas barang yang disita. Selama barang yang

disita eksekusi belum dijual lelang, hak milik tersita

masih tatap melekat pada barang yang disita. Hal ini

berdasarkan dengan hak penjagaan dan penguasaan barang

yang disita eksekusi sesuai dengan ketentuan Pasal 197

ayat (9) HIR.

3. Lelang Eksekusi (executoriale verkoop).

Kelanjutan Sita Eksekusi adalah penjualan lelang

(executorial verkoop). Hal ini ditegaskan Pasal 200 ayat (1) HIR

yang berbunyi :

“penjualan barang yang disita dilakukan dengan bantuan kantor lelang, atau

menurut keadaan yang akan dipertimbangkan Ketua, oleh orang yang melakukan

penyitaan itu atau orang lain yang cakap dan dapat melakukan penyitaan itu atau

orang lain yang cakap dan dapat dipercaya, yang ditunjuk oleh Ketua untuk itu dan

berdiam di tempat di mana penjualan itu harus dilakukan atau di dekat tempat

itu.”

Setelah sita eksekusi dilaksanakan, undang-undang

memerintahkan penjualan barang sitaan. Cara penjualannya

33

Page 34: Strategi Bank Mengatasi Kredit Macet Serta Pengamanan Benda Jaminan

dengan perantaraan Kantor Lelang. Penjualannya disebut

penjualan lelang (executorial verkoop).

5. Perlawanan Terhadap Eksekusi

Menurut pasal 195 ayat (6) HIR diberi kemungkinan bagi

pihak ketiga untuk mengajukan perlawanan terhadap eksekusi

yang akan dijalankan. Tidak selamanya perlawanan dapat menunda

eksekusi. Bank perlu cermat dalam menyikapi dan mengambil

langkah hukum apabila berhadapan dengan “debitor nakal” yang

sengaja menunda-nunda eksekusi dengan alasan masih ada

“perlawanan” terhadap eksekusi putusan pengadilan. Syarat agar

perlawanan yang dapat menunda eksekusi adalah sebagai

berikut :

a. Perlawanan diajukan sebelum eksekusi dijalankan.

b. Pihak yang mengajukan perlawanan adalah pihak ketiga yang

tidak ikut dalam perkara dimana pihak ketiga tersebut

memiliki hak terhadap objek eksekusi.

c. Terdapat perdamaian antara para pihak yang bersengketa

mengenai pelaksanaan putusan pengadilan yang telah

berkekuatan hukum tetap.

d. Putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap

telah dijalankan secara sukarela.

34

Page 35: Strategi Bank Mengatasi Kredit Macet Serta Pengamanan Benda Jaminan

DAFTAR PUSTAKA

Sumber BukuAbdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, Citra Aditya

Bakti, Bandung, 2000.Djazuli Bachar, Eksekusi Putusan Perkara Perdata segi hukum dan

penegakannya, Akademika Pressindo, Jakarta, 1987. Gatot Supramono, Perbankan dan Masalah Kredit, Rineka Cipta,

Jakarta, 2009.

35

Page 36: Strategi Bank Mengatasi Kredit Macet Serta Pengamanan Benda Jaminan

H.R. Daeng Naja, Hukum Kredit dan Bank Garansi,Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005.

Herowati Poesoko, Dinamika Parate Executie Obyek Hak Tanggungan, Aswaja PressindoYogyakarta, 2013.

Iswi Hariyani, Restrukturisasi dan Penghapusan Kredit Macet, Kompas, Gramedia, Jakarta, 2010.

J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Pribadi, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003.

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Hak Tanggungan, Kencana, Jakarta, 2008.

Lilik Mulyadi, Hukum Acara Perdata Menurut Teori dan Praktik Peradilan di Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1997.

Moh.Taufik Makarao, S.H., M.H., Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, Rineka Cipta, Jakarta, 2004.

M.Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan EksekusiBidang Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2006.

M.Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, 2013.

Ropaun Ranbe, Hukum Acara Perdata Lengkap, Sinar Grafika, Jakarta, 2002.

Rachmadi Usman, Hukum Jaminan Keperdataan, Sinar Grafika, Jakarta, 2009.

Siswanto Sutojo, Menangani Kredit Bermasalah, Damar, Jakarta, 2008.Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 2001.Tan Kamello, Hukum Jaminan Fidusia, Alumni, Bandung, 2014.Try Widiyono, Agunan Kredit Dalam Financial Engineering, Ghalia

Indonesia, Bogor, 2009.

Peraturan Perundang-Undangan

Herziene Indonesich Reglement (HIR)

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.UU Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun.

36

Page 37: Strategi Bank Mengatasi Kredit Macet Serta Pengamanan Benda Jaminan

UU Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman jo. UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.

UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 10 Tahun 1998.

UU Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan.Undang-Undang Nomor 17 Tahun Tahun 2008 tentang Pelayaran.Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas

Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah.Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan FidusiaKep. Menkeu No. 304/KMK 01/2002 tanngal 13 Juni 2002 jo. Kep.

Menkeu No. 450/KMK 01/2002 tanggal 28 Oktober 2002 jo. Kep. DJPLN No. 35/PL/2002 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Lelang.

37