STRATEGI AICHR DALAM PENANGANAN KRISIS HAM ROHINGYA DI MYANMAR TERKAIT PRINSIP NON-INTERVENSI PERIODE 2014 – 2017 Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Sakhna Fawatihul Bilad 11141130000062 PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2018/1440 H
101
Embed
STRATEGI AICHR DALAM PENANGANAN KRISIS HAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43589/1/SAKHNA... · Diplomasi, Hak Asasi Manusia dan Non-intervensi. Berdasarkan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
STRATEGI AICHR DALAM PENANGANAN KRISIS HAM
ROHINGYA DI MYANMAR TERKAIT PRINSIP NON-INTERVENSI
PERIODE 2014 – 2017
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
Sakhna Fawatihul Bilad
11141130000062
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018/1440 H
i
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Skripsi yang berjudul:
STRATEGI AICHR DALAM PENANGANAN KRISIS HAM ROHINGYA
DI MYANMAR TERKAIT PRINSIP NON-INTERVENSI PERIODE 2014 –
2017
1. Merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 11 Oktober 2018
Sakhna Fawatihul Bilad
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI
Dengan ini, Pembimbing Skripsi menyatakan bahwa mahasiswa:
Nama : Sakhna Fawatihul Bilad
NIM : 11141130000062
Program Studi : Ilmu Hubungan Internasional
Telah menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul:
STRATEGI AICHR DALAM PENANGANAN KRISIS HAM
ROHINGYA DI MYANMAR TERKAIT PRINSIP NON-
INTERVENSI PERIODE 2014 – 2017
dan telah memenuhi syarat untuk diuji,
Jakarta, 11 Oktober 2018
Mengetahui, Menyetujui,
Ketua Program Studi Pembimbing
Ahmad Alfajri, M.A Ahmad Alfajri, M.A NIP: NIP:
iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
SKRIPSI
STRATEGI AICHR DALAM PENANGANAN KRISIS HAM ROHINGYA DI
MYANMAR TERKAIT PRINSIP NON-INTERVENSI PERIODE 2014 – 2017
oleh
Sakhna Fawatihul Bilad
11141130000062
Telah dipertahankan dalam sidang ujian skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal
11 Oktober 2018 Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh
gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada Program Studi Ilmu Hubungan Internasional.
Ketua, Sekretaris,
Ahmad Alfajri, M.A Eva Mushoffa, MHSPS
NIP: NIP:
Penguji I, Penguji II,
Robi Sugara, M.Sc Inggrid Galuh Mustika, MHSPS
NIP: NIP:
Diterima dan dinyatakan memenuhi syarat kelulusan pada tanggal 11 Oktober
2018
Ketua Program Studi Ilmu Hubungan Internasional
Ahmad Alfajri, M.A
NIP:
iv
ABSTRAK
Skripsi ini menganalisis tentang strategi AICHR dalam penanganan krisis
HAM Rohingya di Myanmar terkait prinsip non-intervensi periode 2014-2017.
Penelitian skripsi ini fokus kepada bagaimana strategi AICHR dalam penanganan
kasus tersebut dan jalan keluar dari dilema yang dirasakan oleh AICHR. Metode yang
digunakan dalam penelitian skripsi ini ialah metode kualitatif. Dalam penulisan
skripsi ini, metode pencarian data yang digunakan berdasarkan data primer berupa
wawancara dan data sekunder berupa kajian pustaka. Penelitian skripsi ini dianalisis
berdasarkan beberapa konsep terkait, seperti konsep Organisasi Internasional,
Diplomasi, Hak Asasi Manusia dan Non-intervensi. Berdasarkan kerangka pemikiran
kasus ini ditangani AICHR dengan cara diplomasi. Strategi diplomasi AICHR dalam
menangani krisis hak asasi manusia Rohingya di Myanmar terkait prinsip non-
intervensi Periode 2014-2017 ini dapat dikategorikan menjadi strategi internal yaitu
strategi yang dilakukan oleh AICHR sendiri dan strategi eksternal yang dilakukan
AICHR dengan melibatkan pihak ketiga, serta tidak terlepas dari hambatan yang
dihadapi oleh AICHR dalam usaha penyelesaian kasus tersebut.
Sampai pada saat ini strategi tersebut baik internal maupun eksternal telah
dilakukan dan berhasil membantu dalam kasus tersebut tanpa mengesampingkan
prinsip non-intervensi yang dipegang teguh oleh ASEAN. Walaupun sampai saat ini
kasus Rohingya belum terselesaikan secara permanen dan masih mempunyai dampak
yang besar baik secara nasional maupun internasional.
Kata Kunci : Organisasi Internasional AICHR, Diplomasi, Strategi Internal dan
Eksternal AICHR, Kasus HAM Rohingya di Myanmar, Non-Intervensi.
v
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrrahim, segala puji dan syukur selalu penulis ucapkan
kepada Allah SWT atas segala rakhmat dan nikmatnya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Sholawat serta salam tak lupa dihaturkan kepada Nabi
Muhammad SAW.
Dalam pengerjaan skripsi ini, penulis telah melibatkan beberapa pihak yang
sangat membantu dalam banyak hal. Oleh sebab itu, disini penulis sampaikan rasa
terima kasih sedalam-dalamnya kepada :
1. ALLAH SWT, terimakasih atas rahmat dan kehendakmu sehingga penulis
mampu menyelesaikan skripsi ini.
2. Orang tua penulis, Papah Drs. H Yayat Ruhiat, MM dan Mamah Widi Astuti,
S.pdi yang selalu memberikan dukungan tiada henti secara moril dan materil.
Adik penulis, Muhammad Fadhil Bilad dan Muhammad Hilmi Bilad. Serta
kakek-nenek juga semua saudara penulis yang lainnya yang selalu
memberikan doa dan semangat untuk penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini,
3. Bapak Ahmad Alfajri, M.A, selaku Ketua Program Studi Hubungan
Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta dan selaku Dosen Pembimbing penulis yang telah
membimbing dalam penyusunan skripsi ini hingga selesai dan menyetujui
permohonan penyusunan skripsi,
vi
4. Segenap jajaran staff dan dosen Program Studi HI UIN Jakarta yang telah
memberikan segudang ilmu serta wawasan yang baru kepada penulis, terima
kasih atas segala ilmu yang telah diberikan selama masa perkuliahan,
5. Narasumber wawancara dalam skripsi ini Ibu Dinna Wisnu (Representative
Indonesia for AICHR) yang telah meluangkan waktunya dan membantu juga
melengkapi data dalam skripsi ini,
6. Teman pembimbing Alila Bachsin dan Aldiansyah yang telah membimbing
dan membantu dalam skripsi ini, juga Fiari sebagai asisten dari Ibu Dinna
Wisnu yang membantu menjembatani bertemu dengan Ibu Dinna Wisnu,
7. Teman seperjuangan saat penulisan skripsi, yaitu Zeiskaya Gorlitz dan Vivi
Ataini yang selalu membantu, membimbing dan mengerjakan skripsi bersama,
8. Teman penulis, Jaka Haristyo, Alif Daffa Satria Dores dan Aisyah F, yang
selalu mengingatkan penulis dalam menyusun skripsi maupun membantu
ketika penulis melakukan proses pengumpulan data,
9. Semua teman-teman tercintah penulis sejak SMA, terutama Dwitia NP, terima
kasih atas dukungan semangat dan selalu mengingatkan penulis untuk
mengerjakan skripsi ini,
10. Semua teman-teman tercintah penulis sejak SMP, terutama Maya Ervina dan
Jeanne W, terima kasih atas dukungan semangat dan selalu mengingatkan
penulis untuk mengerjakan skripsi ini,
11. Teman-teman penulis semasa kuliah, anak-anak HI kelas B yaitu, Arman,
Gambar III.C.1 Rohingya Exodus.....................................................................53
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah
Association of South East Asian Nations (ASEAN) sebagai
lembaga regional didirikan agar tercipta kesejahteraan dan kemakmuran di
negara-negara anggota yang terletak di kawasan Asia Tenggara1. Masing-
masing negara anggota saling bekerjasama dan mendukung satu sama lain
sehingga negaranya dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan harapan.
Seperti yang diketahui, ASEAN sebagai organisasi kawasan di
Asia Tenggara memberi banyak harapan bagi terjalinnya hubungan
internasional di kawasan yang semakin stabil. Sebagai bentuk kerjasama
kawasan, ASEAN dianggap sebagai salah satu instrumen yang mampu
menjaga kestabilan dan keamanan kawasan.2
Keberhasilan ASEAN di periode awal pendiriannya ditandai
dengan adanya diplomasi ASEAN yang menekankan pada musyawarah
mufakat, dan prinsip non-intervensi.3 Selain itu, ASEAN menjadikan tugas
dari setiap negara anggota untuk berperan lebih aktif dan memberikan
1ASEAN Declaration, Bangkok, 8 Agustus 1967. Diakses dari http://asean.org/the
aseandeclaration-bangkok-declaration-bangkok-8-august-1967/ pada 2 September 2017 2 M. Leifer, Review works: ASEAN and The Diplomacy of Accomodation by Michael Antolik‟, Royal
Institute of International Affair, Vol.67, No.3, 1991, p. 628 3 T.I. Nischalke, Insight From ASEAN‟s Foreign Policy Co-operation: The “ASEAN Way”, a Real
Spirit or a Phantom?‟, Institute of Southeast Asian Studies, Vol. 22, No.1, April 2000, p.90.
kontribusi yang besar dalam perkembangan ASEAN demi mencapai
tujuan dan cita-citanya.
Dalam Piagam ASEAN Bab I, Pasal 1 (ayat 7) yang dikatakan
sebagai “Komunitas ASEAN” adalah sebuah komunitas yang ditujukan
untuk memperkuat demokrasi dan melindungi hak asasi manusia.
Kemudian, pada Pasal 14 juga disebutkan bahwa untuk memajukan dan
melindungi hak-hak asasi dengan membentuk badan HAM ASEAN.
Sebagai perwujudan dari hal tersebut dan agar tercapainya tujuan dan cita-
cita ASEAN yang mengacu pada Term of Reference (ToR) AICHR4,
ASEAN membentuk organisasi di bawah naungan ASEAN salah satunya
seperti AICHR atau ASEAN Inter-governmental Commission on Human
Rights5 pada 23 Oktober 2009. Kemajuan komitmen ASEAN terhadap hak
asasi manusia juga dapat dilihat dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia
ASEAN (AHRD)6, dan roadmap komunitas ASEAN 2009-2015.
AICHR adalah bagian dari struktur organisasi ASEAN dan
mempunyai peran dalam konsultasi juga bersifat “advisory/memberi
nasehat”. AICHR juga sebagai penaung (overarching) HAM di ASEAN
digunakan untuk memajukan dan melindungi HAM di ASEAN sebagai
tanggung jawab umumnya. Sebagaimana yang diatur dalam TOR AICHR
yang juga mempunyai tujuan, mandat serta fungsi dari AICHR.
4 TOR of AICHR, 2009, ASEAN Secretariat diakses dari
http://hrlibrary.umn.edu/research/Philippines/Terms%20of%20Reference%20for%20the%20ASEAN%20Inter-Governmental%20CHR.pdf pada 6 September 2017 5 Tan Hsien Li, 2011, The ASEAN Inter-Govermental Commission on Human Right:
Institutionalishing Human Rights In Southeast Asia, Cambridge: Cambridge University Press, p.4 6 The Asean Human Right Declaration ditandatangani pada 18 November 2012 dalam KTT ASEAN
ke 21 di Pnom Penh, Kamboja.
3
Skripsi ini, akan mengaitkan AICHR dan prinsip non-intervensi
dengan membahas lebih lanjut tentang kasus yang menyangkut tentang
pelanggaran Etnis Rohingya yang terjadi di Myanmar. Kasus Rohingya di
Myanmar tersebut telah menyita perhatian negara-negara, khususnya
negara anggota ASEAN. Kasus Rohingya ini telah menjadi isu global
yang memang harus mendapat perhatian khusus. Karena kasus ini telah
berjalan lama dan banyak menjatuhkan korban jiwa.
Rohingya adalah etnis yang mendiami wilayah Arakan, yang
berada di Barat Myanmar juga bersampingan dengan Bangladesh.
Rohingya merupakan satu dari 135 etnis yang ada di Myanmar. Etnis ini
disebutkan oleh Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) sebagai the most
persecuted minority dijuluki sebagai the Gypsies of Asia.7 Tindakan
diskriminasi yang didapat oleh Rohingya dilakukan oleh pemerintah
Myanmar maupun warga negara setempat. Memang etnis ini bukan satu-
satunya yang mendapatkan tindakan diskriminasi di Myanmar, terdapat
etnis lain juga seperti Chin, Kachin, Christian Karen, dan Mon8.
Pada Juni tahun 2012 terjadi peningkatan eskalasi konflik
berhubungan dengan tuduhan pemerkosaan yang dilakukan salah satu pria
7 B. Philip, “The Most Persecuted Minority in the World: The Gypsies of Asia‟, The World Crunch
(daring), 26 Juni 2012 8 M. Razvi, “The Problem of Burmese Muslims‟, Pakistan Horizon, Vol. 31, No. 4, 1978, p. 82.
4
etnis Rohingya terhadap etnis Rakhine.9 Setelah kejadiaan itu bus yang
berisi etnis Rohingya diserang sebagai balas dendam dari etnis Rakhine.10
Penyerangan dilakukan kembali oleh pemerintah Myanmar, Ethnic
Rakhine Nasionalist Party, dan Pendeta Buddha yang terjadi pada 23
Oktober 2012. Rumah-rumah dari etnis Rohingya yang berjumlah kurang
lebih 5000 rumah rusak. 70 warga Rohingya yang didalamnya terdapat
sekitar 28 anak-anak terbunuh di Mrauk-U township.11
Sebagai organisasi regional dimana kasus ini terjadi di negara
anggotanya, ASEAN ikut andil untuk menyelesaikan kasus ini dengan
organisasi atau badan khusus yang telah dibentuk oleh ASEAN yaitu
AICHR. ASEAN sebagai institusi regional yang sedang berupaya
menunjukkan keseriusan dalam upaya promosi dan penegakan HAM12
, isu
Etnis Rohingya jelas menjadi tantangan dan sorotan dunia internasional.
Ditemukannya indikasi pelanggaran HAM dengan kondisi
memprihatinkan di negara-negara anggota ASEAN lainnya, Etnis
Rohingya menjadi bahasan dalam beberapa forum pertemuan ASEAN.
Namun yang tidak bisa dipungkiri bahwa dalam ASEAN ada yang
disebut dengan prinsip non-intervensi, hal itu berkaitan dengan tidak
9 B. Brady, “Burma‟s Rohingya Muslims Targeted by Buddhist Mob Violence‟, The Daily Beast
(daring), 27 Juni 2012, 10
Y. R. Kassim, “Plight of the Rohingya: ASEAN Credibillity again at stake‟, RSIS Commentaries – S. Rajaratnam School of International Studies, 6 November 2012, p.2 11
Aljazeera, Report Documents “Rohingya Persecution‟ (daring), 23 April 2013 Aljazeera. Report Documents “Rohingya Persecution‟ (daring). 23 April 2013 dalam http://www.aljazeera.com/news/asia-pacific/2013/04/2013421135240814468.html diakses pda 6 September 2017 12
Tatat Sukarsa dkk, “Indonesia’s Leadership in ASEAN 2011: Political Perspective and Human Rights” Postscript, the Habibi Center, Vol. VIII No. 1, 2011.
adanya campur tangan suatu negara terhadap kedaulatan negara lain13
.
Karena kedaulatan negara secara penuh, bebas dari intervensi negara lain
dan persamaan derajat antara sesama negara14
.
Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia (TAC), dibuat
tanggal 24 Februari 1976 yang tercantum pada Pasal 2 berkaitan dengan
menjalin hubungannya antar anggota, didasari oleh prinsip fundamental
diantaranya: (a) menghormati kebebasan, kedaulatan, kesamaan, kesatuan
wilayah dan identitas nasional setiap bangsa; (b) setiap negara memiliki
hak untuk mengatur penyelenggaraan negaranya bebas dari intervensi
eksternal; (c) adanya prinsip non-intervensi dalam hubungan internal
sesama anggota.15
Adanya pasal itu memberikan pengaruh yang kuat di
ASEAN dalam melakukan setiap tindakan. Topik ini menarik karena
strategi AICHR dan juga Kasus Rohingya di Myanmar yang telah
dijelaskan sebelumnya akan dikaitkan dengan adanya prinsip non-
intervensi ASEAN.
Selain itu sampai saat ini kasus tersebut juga belum terselesaikan.
Maka dalam skripsi kali ini, akan mengangkat judul “Strategi AICHR
dalam Penanganan Krisis HAM Rohingya di Myanmar Terkait Prinsip
Non – Intervensi Periode 2014 -2017”.
13
Steven L. Spiegel, “World Politics in A New Era”, (New Jersey: Harcout Brace College Publishers, 1995), hlm. 395. 14
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, (Bandung: Alumni, 2003), hlm.19. 15
Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia, Pasal 2.
6
B. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan judul dan latar belakang, maka pertanyaan pada
skripsi ini yaitu: Bagaimana strategi AICHR dalam penanganan krisis
HAM Rohingya di Myanmar terkait prinsip non–intervensi periode
2014 -2017?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan skripsi ini adalah:
1. Memberikan pengetahuan tentang kasus krisis hak asasi manusia
Rohingya yang terjadi di Myanmar
2. Mendeskripsikan bagaimana strategi AICHR dalam penanganan
krisis HAM Rohingya di Myanmar terkait adanya prinsip non-
intervensi periode 2014 - 2017
Adapun manfaat skripsi ini adalah:
1. Secara akademis mensajikan pengetahuan juga ilmu tentang kasus
Rohingya di Myanmar dan peran serta strategi AICHR dengan
memakai teori-teori Hubungan Internasional dalam menangani
kasus tersebut
2. Untuk masyarakat luas hasil penelitian ini bisa digunakan untuk
mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang kasus tersebut
7
D. Tinjauan Pustaka
Sebelum membahas lebih lanjut penelitian mengenai strategi
AICHR dalam penanganan Krisis HAM Rohingya di Myanmar terkait
prinsip non-intervensi periode 2014 -2017, dalam beberapa jurnal, buku
maupun artikel yang dianggap dapat melengkapi penelitian ini. Pertama,
tesis karya Aris Pramono tahun 2016 berjudul “Peran UNHCR Dalam
Menangani Pengungsi Myanmar Etnis Rohingya di Bangladesh Periode
1978-2002”16
.
Disini dijelaskan bahwa adanya masalah terhadap pengungsi
Rohingya sebagai alasan mereka untuk mencari tempat lain selain negara
asalnya serta mencari perlindungan yang lebih aman. Hal itu dikarenakan
adanya kekerasan, penahanan, pelanggaran HAM, pelecehan seksual dan
ancaman-ancaman lainnya. Selain itu dalam tesis tersebut juga membahas
tentang Bangladesh sebagai negara tujuan para pengungsi Rohingya
dengan alasan jarak terdekat.
Tesis di atas memiliki relevansi karena berhubungan dengan kasus
Rohingya. Namun skripsi tersebut memiliki perbedaan, secara subjek
penelitian telah menunjukan perbedaan yang mendasar yaitu UNHCR
dengan AICHR serta tesis tersebut lebih memfokuskan pada penanganan
pengungsi bukan penanganan kasus tersebut.
16
Aris Pramono, 2010, “Peran UNHCR Dalam Menangani Pengungsi Myanmar Etnis Rohingya di Bangladesh Periode 1978-2002”, Tesis, Jakarta: Hubungan Internasional. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Indonesia
8
Kedua, skripsi berjudul “Peran OHCHR Dalam Menangani Kasus
HAM Yang Terjadi Pada Etnis Rohingya di Myanmar Tahun 2012” yang
ditulis oleh Bayu Azhari Ramadhani pada tahun 201217
. Dalam skripsi ini
memberikan gambaran tentang peran OHCHR di Myanmar serta
membahas berbagai tindakan yang dilakukan OHCHR untuk
menyelesaikan masalah konflik antar etnis Rohingya dengan etnis
Rakhine. Skripsi ini menggunakan beberapa teori hubungan internasional
dengan mengkaitkannya kepada kasus tersebut pada tahun 2012.
Selain itu dalam skripsi tersebut juga fokus terhadap OHCHR
sebagai organisasi internasional dan membahas tentang peran dari
OHCHR tersebut dalam kasus Rohingya dengan menyatakan bahwa
Rohingya tahun 2012 Rohingya merupakan korban pelanggaran HAM di
tengah konflik yang terjadi.
Skripsi di atas memiliki relevansi karena berhubungan dengan
kasus Rohingya. Namun skripsi tersebut jelas berbeda secara subjek yaitu
OHCHR dengan AICHR serta skripsi tersebut lebih memfokuskan pada
peran organisasi tersebut, bukan strategi dari organisasi tersebut keluar
dari dilema adanya kasus Rohingya selain itu penelitian kali ini akan
ditambahkan dengan adanya dilema ditengah-tengah kasus Rohingya dan
adanya asas non-intervensi ASEAN.
17
Bayu Azhari, 2012, Peran OHCHR Dalam Menangani Kasus HAM Yang Terjadi Pada Etnis Rohingya di Myanmar Tahun 2012, Skripsi, Jakarta: Hubungan Internasional. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
9
Ketiga, skripsi berjudul “Kebijakan Pemerintah Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) dalam Penyelesaian Kekerasan Etnis Muslim Rohingya
di Myanmar” yang ditulis oleh Diah Nurhandayani pada tahun 201318
.
Pada skripsi ini berfokus kepada peran pemerintahan yaitu Indonesia pada
masa jabatan Presiden Indonesia yaitu SBY dalam melihat kasus Rohingya
dan membantu penyelesaian kasus tersebut.
Pada skripsi tersebut juga berfokus pada pemerintahan saja yaitu
kebijakan yang diambil oleh pemerintah Indonesia lewat Presiden SBY.
Hal itu jelas berbeda dengan skripsi yang dibuat saat ini perbedaan jelas
terlihat antara negara sebagai subjek dan organisasi internasional yang saat
ini menjadi subjek. Namun skripsi ini mempunyai kesamaan karena sama-
sama membahas tentang cara penyelesaian dari kasus Rohingya tersebut.
Relevansi studi-studi terdahulu dengan penelitian yang penulis
buat yakni sama-sama membahas tentang kasus Rohingya di Myanmar.
Namun yang membedakan studi-studi terdahulu dengan penelitian yang
dilakukan ialah subjek dari penelitian tersebut serta akan lebih berfokus
pada “Strategi AICHR dalam Penanganan Krisis HAM Rohingya di
Myanmar Terkait Prinsip Non – Intervensi Periode 2014 - 2017”. Selain
itu penelitian ini juga diharapkan akan mampu melengkapi penelitian-
penelitian sebelumnya.
18
Diah Nurhandayani, 2013, Kebijakan Pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam Penyelesaian Kekerasan Etnis Muslim Rohingya di Myanmar, Skripsi, Jakarta: Hubungan Internasional. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
10
E. Kerangka Teoritis
1. Konsep Organisasi Internasional
Organisasi internasional merupakan kerjasama lintas batas-batas
negara, yang diharapkan dapat bekerjasama dan melembaga untuk
mencapai tujuan-tujuan yang disepakati bersama, antara sesama
pemerintah atau nonpemerintah pada negara yang berbeda19
. Menurut
Clive Archer20
, organisasi internasional dapat diklasifikasikan berdasarkan
keanggotaannya, tujuan aktivitas, dan struktur organisasi internasional.
Dilihat dari keanggotaannya bisa dibagi lagi berdasarkan tipe
keanggotaan dan jangkauan keanggotaan (extend of membership).
Menyangkut tipe keanggotaan, organisasi internasional dapat dibedakan
menjadi organisasi internasional dengan wakil pemerintahan negara-
negara sebagai anggota atau Intergovermental Organizations (IGO), serta
organisasi internasional yang anggotanya bukan mewakili pemerintah atau
International Non-Govermental Organizations (INGO). Dalam hal
jangkauan keanggotaan ada yang terbatas dalam wilayah tertentu saja, dan
keanggotaannya mencakup seluruh wilayah di dunia.
Konsep dan praktek dasar yang melandasi IGO modern
melibatkan21
diplomasi, perjanjian, konferensi, aturan-aturan dan hukum
perang, pengaturan penggunaan kekuatan, penyelesaian sengketa secara
19
Teuku May Rudy, Administrasi dan Organisasi Internasional, PT Refika Aditama, Bandung: 2005 20
Clive Archer, International Organization, Georg Allen and Unwin Publisher, London: 1983, hal.35 21
Le Roy A Bannet, International Organization: Principles and Issues, New Jersey: Prentice Hall Inc, 1997, hal.2-4
11
damai, pembangunan hukum internasional, kerjasama ekonomi
internasional, kerjasama sosial internasional, hubungan budaya, perjalanan
lintas negara, komunikasi global, gerakan perdamaian, pembentukan
federasi dan liga, administrasi internasional, keamanan kolektif, dan
gerakan pemerintahan dunia.
Namun selain itu juga, IGO dapat diklasifikasikan ke dalam empat
kategori berdasarkan keanggotaan dan tujuannya, yaitu22
: Organisasi yang
keanggotaannya umum namun mempunyai tujuan terbatas seperti:
Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). Organisasi fungsional karena tujuannya
spesifik atau fokus pada satu tujuan seperti: World Health Organization
(WHO). Organisasi dimana keanggotaannya terbatas tetapi tujuannya
umum, organisasi ini biasanya merupakan organisasi regional atau wilayah
yang memiliki fungsi dan tanggung jawab dalam keamanan, politik dan
sosial ekonominya. Contohnya: ASEAN, Uni Eropa, OKI, dan lain-lain.
Organisasi yang keanggotaan maupun tujuannya terbatas seperti Asosiasi
Perdagangan Bebas Amerika Latin (LAFTA).
Berdasarkan tujuan dan aktivitasnya yang bersifat umum dan
khusus yaitu, berhubungan dengan kerjasama para anggota, meminimalisir
konflik atau menghasilkan konfrontasi sesama anggota atau non-anggota.
Sedangkan klasifikasi berdasarkan struktur organisasi internasional,
berhubungan dengan tingkat keanggotaan suatu anggota, struktur juga
melihat tingkat kemandirian institusi dari anggotannya yang berupa
22
Le Roy A Bannet, International Organization: Principles and Issues, New Jersey: Prentice Hall Inc, 1997, hal.2-4
12
pemerintahan dan melihat keseimbangan antara elemen pemerintahan dan
non-pemerintahan.23
Dalam mencapai tujuannya organisasi internasional mempunyai
struktur yang bisa dikatakan sebagai peranan dan fungsi24
. Peranan
tersebut seperti terjalinnya kerjasama antar negara dalam banyak bidang,
yang memberikan keuntungan bagi sebagian maupun keseluruhan
anggotannya.
Peranan lain yaitu sebagai wadah dibuatnya keputusan , perangkat
administratif terhadap tindakan dan keputusan yang dibuat, dan
penghubung antar pemerintah negara-negara25
. Peranan organisasi
internasional selain untuk memecahkan suatu permasalahan juga sebagai
legitimasi kolektif dari aktivitas organisasi atau anggotanya, organisasi
internasional sebagai penentu agenda internasional, dan sebagai tempat
bagi gabungan antar anggota untuk menentukan karakter dan struktur
kekuasaan global. Dari konsep ini juga nantinya kita dapat kaitkan dengan
masalah yang penulis ajukan pada proposal ini untuk melihat Organisasi
Internasional ASEAN.
23
Clive Archer, International Organization, Georg Allen and Unwin Publisher, London: 1983, hal. 35 24
Le Roy A Bannet, International Organization: Principles and Issues, New Jersey: Prentice Hall Inc, 1997, hal 2-4 25
Le Roy A Bannet, International Organization: Principles and Issues. New Jersey: Prentice Hall Inc. 1997. hal.2-4
13
2. Diplomasi
Pengertian diplomasi26
adalah seni dalam bernegosiasi atau
berunding yang dilakukan oleh seorang diplomat dengan pihak lain untuk
mencapai suatu tujuan tertentu. Arti diplomasi dapat juga didefinisikan
sebagai cara untuk menyampaikan suatu pesan yang punya tujuan khusus
melalui seorang diplomat dalam perundingan. Diplomasi sangat erat
hubungannya dalam kegiatan politik luar negeri atau hubungan
internasional dengan negara lain.
Kegiatan diplomasi dapat dilakukan dengan negara tertentu saja
(bilateral) atau bisa juga dilakukan dengan banyak negara (multilateral).
Pada pelaksanaannya, diplomasi bertujuan untuk menjalin, mempererat,
dan meningkatkan hubungan antara suatu negara dengan negara lainnya
demi mencapai tujuan bersama. Menurut Geoffrey McDermott, pengertian
diplomasi adalah pertimbangan dalam manajemen hubungan internasional,
masing-masing Negara, seberapapun kaliber dan ukurannya, selalu ingin
memelihara atau mengembangkan posisinya dalam lingkup Internasional.
Seperti yang disebutkan pada pengertian diplomasi di atas, tujuan
utama diplomasi adalah membangun hubungan dengan pihak lain.
Menurut S. L. Roy, tujuan diplomasi adalah27
:
26
David Scott (2011), Handbook of India’s International Relations, New York: Routledge, p. 13-32
14
a. Tujuan Politik
Hal ini sangat berhubungan dengan kebebasan dalam politik dan
integritas teritorial suatu negara. Dalam konteks Indonesia,
integritas teritorial ini adalah mempertahankan kemerdekaan dan
melindungi kedaulatan seluruh wilayah NKRI.
b. Tujuan Ekonomi
Hal ini sangat berhubungan dengan pembangunan nasional.
Dengan membangun hubungan internasional maka diharapkan
akan membuka kesempatan untuk menjalin kerjasama ekonomi
dengan negara-negara lain yang pada akhirnya meningkatkan
ekonomi nasional.
c. Tujuan Kultur
Hal ini sangat berkaitan dengan upaya untuk melestarikan dan
memperkenalkan kebudayaan nasional kepada negara-negara lain.
d. Tujuan Ideologi
Setiap negara memiliki ideologi, dalam hal ini Indonesia memiliki
ideologi Pancasila. Diplomasi juga bertujuan untuk
mempertahankan ideologi suatu bangsa.
Menurut Norman dan Howard C Parkins, ada tiga fungsi
diplomasi. Berikut ini adalah fungsi diplomasi tersebut28
:
a. Fungsi Representasi
28
David Scott (2011), Handbook of India’s International Relations, New York: Routledge, p.13-32
15
Diplomat bertindak sebagai mewakili suatu negara dalam
perundingan dan merepresentasikan negaranya kepada negara lain.
b. Fungsi Negosiasi
Melalui kegiatan diplomasi maka sebuah negara dapat melakukan
negosiasi atau berunding dengan negara lain.
c. Fungsi Reporting
Sebagai bentuk laporan dan perlindungan terhadap kepentingan
bangsa dan warganya di negara lain.
Diplomasi selalu berhubungan dengan kegiatan politik luar negeri
atau hubungan internasional dengan negara lain. Hubungan internasional
tersebut umumnya diwakili oleh seorang diplomat yang tujuannya untuk
membicarakan berbagai hal yang berkaitan dengan kepentingan negara-
negara yang bekerjasama.
Instrumen yang digunakan suatu negara untuk melakukan kegiatan
diplomasi adalah: Departemen Luar Negeri (DEPLU), umumnya DEPLU
berkedudukan di ibu kota negara pengirim dan berfungsi sebagai pihak
yang mengatur politik luar negeri sebuah negara; Perwakilan Diplomatik,
perwakilan diplomatik (diplomat) berkedudukan di dalam ibu kota negara
lain. Fungsi dari perwakilan diplomatik tersebut adalah sebagai
„penyambung lidah dan panca indera‟ dari negara yang diwakilinya29
.
29
David Scott (2011), Handbook of India’s International Relations, New York: Routledge, p.13-32
16
3. Konsep Hak Asasi Manusia
Hak Asasi merupakan hak dasar atau hak pokok sedangkan Hak
Asasi Manusia adalah hak yang dilindungi secara internasional. Badan
Persatuan Bangsa-Bangsa menafsirkan Human right could generally be
defined as those rights which are inherent in our nature and without which
we cannot live as human being”30
.
Dalam deklarasi universal HAM 1948 disebutkan pada pasal satu
dan dua sebagai konsepsi HAM sebagai berikut: (Pasal 1) ”Semua orang
dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dari hak-hak yang sama.
Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan hendaknya bergaual satu sama
lain dalam semangat persaudaraan31
.
Sedangkan (Pasal 2) ”setiap orang berhak atas semua hak dan
kebebasan-kebebasan yang tercantum di dalam pernyataan ini tanpa
perkecualiaan apapun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa,
agama, atau pendapat lain yang berlainan, asal mula kebangsaan atau
kemasyarakatan, hak milik, kelahiran ataupun kedudukan lain”32
.
Dalam buku Miriam Budiarjo tidak jauh berbeda dimana Hak
Asasi merupakan hak yang dimiliki manusia yang telah diperoleh dan
dibawanya bersamaan dengan kelahiran atau kehadirannya di dalam
30
Muladi. 1995, (dalam Kunarto. 1997), “HAM dan POLRI”, Jakarta: PT. Cipta Manunggal, P. 9 31
Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia, yang disahkan pada 10 Desember 1948 32
Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia, yang disahkan pada 10 Desember 1948
17
kehidupan masyarakat tanpa perbedaan atas dasar bangsa, ras, agama atau
kelamin dan karena itu bersifat asasi serta universal33
.
Dalam kehidupan bernegara, menurut James Nikel, HAM adalah
norma-norma yang bersifat politis yang pada umumnya terkait dengan
bagaimana orang seharusnya diperlakukan oleh negara dan institusi
institusinya. Maka pada tataran domestik, pemerintah diberikan
kewenangan untuk melakukan variasi-variasi yang sesuai konteks dimana
HAM tersebut diterapkan.34
Dalam konteks ini, Pemerintah memiliki tanggung jawab untuk
melindungi HAM. Sifat HAM sebagai high-priority norms yang artinya
“sekelompok norma yang sangat pokok” dan “pelanggaran terhadapnya
merupakan serangan serius atas keadilan”35
. Maka dari itu, Pemerintah
menjadi pihak utama penanggung jawab dalam merealisasikan dan
memfasilitasi norma-norma HAM.
Jika kita kaitkan HAM dengan permasalahan, proses
perkembangan HAM negara-negara ASEAN sangat panjang.
Universalisasi HAM didukung oleh negara-negara ASEAN namun tidak
sepenuhnya membenarkan konsep tersebut. Universalisasi nilai-nilai hak
asasi manusia internasional dianggap lebih memberatkan aspek sosial dan
kolektif atas hak asasi manusia. Kondisi tersebut berbanding terbalik
33
Miriam Budiardjo, 1996, Dasar-dasar ilmu politik, Jakarta: PT Gramedia, P.120 34
ranoto Iskandar, 2012, “hukum HAM Internasional: Sebuah pengantar kontekstual”, Cianjur: Institute for Migrant Rights press, p.51 35
James Nickel, 2014, human rights, at < http://plato.stanford.edu/entries/rights-human/> diakses pada 6 September 2017
dengan masyarakat yang hidup di kawasan Asia Tenggara dimana
masyarakat menjunjung tinggi nilai-nilai kebudayaan asal, menghormati
kultur dan custom secara turun temurun. Oleh karenanya, pemimpin-
pemimpin ASEAN mengharuskan Hak asasi manusia yang suarakan oleh
PBB harus berjalan beriringan dengan kebudayaan timur Asia Tenggara36
Perbedaan norma HAM disesuaikan dengan konsep nasional dan
hukum domestik negara sehingga kebijakan atas HAM masih jarang
menjadi prioritas utama diantara negara-negara anggota. Situasi tersebut
mempersulit ASEAN di masa depan karena negara-negara mitra dialog
bahkan internasional atau hubungan antar negara anggota yang notabene
selalu mempersoalkan posisi ASEAN dalam kasus pelanggaran HAM, tak
terkecuali pada permasalahan yang saya angkat yaitu mengenai Etnis
Rohingya.
4. Prinsip Non-Intervensi
Prinsip non-intervensi dapat diartikan sebagai prinsip yang
menjamin pengakuan kedaulatan negara anggota juga jaminan
perlindungan dari campur tangan suatu Negara anggota terhadap politik
domestik negara anggota lainnya.37
Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia (TAC) dibuat
tanggal 24 Februari 1976 Pasal 2, menyebutkan bahwa menjalankan
36
Katsumata, 2009, ASEAN and Human Rights: Resisting Western Pressure or Emulating the West? The Pasific Review, p. 619-637. 37
I. Halina, 2011, “Menyoroti Prinsip Non-Intervensi ASEAN‟ dalam Multiversa: Journal of International Studies, Vol. 1 No. 1, p.14
19
hubungan antar negara harus mematuhi tiga prinsip dasar, dimana salah
satunya adalah prinsip non-intervensi. Pertama, menghormati kebebasan,
kedaulatan, keadilan, kesatuan wilayah dan identitas nasional berbagai
bangsa; Kedua, setiap negara bebas dari intervensi eksternal dan
mempunyai hak untuk mengatur negaranya sendiri; Ketiga, prinsip non-
intervensi dalam hubungan internal sesama negara anggota38
.
Pada awalnya prinsip non-intervensi dibentuk dalam rangka
membentengi pengaruh komunis yang mulai datang ke negara-negara Asia
Tenggara sehingga pada waktu itu prinsip non-intervensi memang
dibutuhkan untuk membentengi kekuatan dan campur tangan negara lain
terhadap urusan domestik negaranya. Amitav Acharya mengartikan bahwa
non-intervensi merupakan prinsip yang memberi kebebasan bagi setiap
negara untuk mengurus urusan negaranya sendiri tanpa campur tangan dari
negara lain “it also recognized the right of every state, large or small, to
lead its existence free from outside interference in its internal affairs as
this interference will adversely affect its freedom, independence and
integrity”39
.
Sejak berdirinya ASEAN tahun 1967 di antara negara-negara
anggota ASEAN berpegang pada prinsip ASEAN Way yang mencakup
38
Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia, pasal 2 diakses dari https://asean.org/treaty-amity-cooperation-southeast-asia-indonesia-24-february-1976/ pada 6 September 2017 http://asean.org/treaty-amity-cooperation-southeast-asia-indonesia-24-february-1976/ pada 6 September 2017 39
A. Acharya, 2001, Constructing a Security Community in Southeast Asia: ASEAN and The Problem of Regional Order, London: Routledge, p. 57
prinsip non-intervensi dan kedaulatan negara, sehingga kedua prinsip
tersebut dijadikan tameng sekaligus justifikasi negara anggota yang tidak
menegakkan HAM secara optimal. Bahkan ada yang beranggapan bahwa
HAM merupakan bentuk pemaksaan nilai-nilai Barat yang seharusnya
disesuaikan dengan konteks lokal.40
Dalam kaitan dengan kasus Rohingya, banyak kritikan yang
ditujukan dengan adanya prinsip non-intervensi ASEAN dirasakan tidak
bisa berbuat apa-apa dan diharapkan lebih bersikap tegas dalam
penanganan setiap masalah di dalam wilayah regionalnya. Sedangkan
pemerintah Myanmar yang dianggap enggan mengatasi pelanggaran HAM
terhadap etnis Rohingya dalam negaranya. Isu pengungsi Rohingya
menjadi masalah bersama, karena akan melibatkan juga negara-negara
dimana mereka terdampar atau mengungsi, khususnya negara-negara
anggota ASEAN seperti Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam
namun sikap tegas terhadap pemerintah Myanmar tidak dapat secara
mulus dilakukan karena harus berhadapan dengan prinsip non-intervensi.
40
Victor Silaen, 2015, Kendala ASEAN dalam Masalah Rohingya, http://www.satuharapan.com/readdetail/read/kendala-asean-dalam-masalah-Rohingya diakses 30 Oktober 2017
21
F. Metode Penelitian
1. Metode Penelitian
Metode yang digunakan adalah metode kualitatif, dengan
pertanyaan yang diawali dengan „bagaimana‟41
. Hal ini digunakan untuk
mencari pengetahuan, data dan wawasan dari pertanyaan skripsi ini yaitu:
“Bagaimana strategi AICHR dalam penanganan krisis HAM terhadap
Rohingya di Myanmar terkait prinsip non-intervensi periode 2014-2017? “
2. Jenis, Sumber dan Teknik Pengumpulan Data
Pada skripsi kali ini menggunakan dua jenis dan sumber data yaitu
data sekunder dan data primer. Data sekunder merupakan42
data penelitian
yang diperoleh peneliti secara tidak langsung melalui media perantara
(diperoleh dan dicatat oleh pihak lain). Sedangkan data primer43
ialah data
yang diperoleh atau dikumpulkan langsung di lapangan oleh orang yang
melakukan penelitian atau yang bersangkutan yang memerlukannya.
Selain itu data sekunder umumnya berupa bukti, catatan atau
laporan historis yang telah tersusun dalam arsip (data dokumenter) yang
dipublikasikan dan yang tidak dipublikasikan. Sedangkan data primer di
dapat dari sumber informan yaitu individu atau perseorangan seperti hasil
41
Umar Suryadi Bakri, “Metodologi Ilmu Hubungan Internasional: Tradisional dan Saintifik” dalam Metodologi Ilmu Hubungan Internasional: Perdebatan paradigmatik dan Pendekatan Alternatif, eds., Asrudin, Mirza Jaka Suryana, dan Musa Maliki (Malang: Intrans, 2014), 17. 42
Barbara D. Kawulich, Data Analysis Techniques in Qualitative Research, (State University of Georgia) 43
M. Iqbal Hasan, Pokok-pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya, Ghalia Indonesia, Bogor: 2002.
22
wawancara yang dilakukan. Data primer ini antara lain; Catatan hasil
wawancara, hasil observasi lapangan, data-data mengenai informan.
Dalam teknik pengumpulan data, wawancara telah dilakukan
dengan Hasil Wawancara dengan Ibu Dinna Wisnu (Indonesian
Representative for AICHR 2016-2018). Pada hari Selasa, 21 Agustus 2018,
pukul 10.30 – 11.30 WIB yang bertempat di Perutusan Tetap Republik
Indonesia untuk ASEAN (PTRI ASEAN), Jalan Sisingamangaraja, No.73
Gunung, Kebayoran Baru, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota
Jakarta 12120.
3. Teknik Analisa Data
Analisis data dilakukan agar skripsi ini bisa terstruktur baik dengan
penjelasan yang jelas. Berbagai sumber yang didapatkan nantinya dapat
dikategorikan dan disusun untuk bisa menjawab pertanyaan dari penelitian
ini44
. Teknik analisa nantinya dimulai dengan mengumpulkan data–data
mengenai latar belakang terjadinya krisis hak asasi manusia di Myanmar
(etnis Rohingya), kemudian dengan dikaitkannya dengan AICHR lembaga
di bawah naungan ASEAN yang menangani tentang hak asasi manusia,
dan juga adanya prinsip non-intervensi. Setelah itu dijelaskan bagaimana
strategi AICHR dalam menangani kasus serta jalan keluar dari dilema
adanya krisis hak asasi manusia di Myanmar serta terbatasnya dengan
prinsip non-intervensi tersebut.
44
Barbara D. Kawulich, Data Analysis Techniques in Qualitative Research, (State University of
Georgia), 97.
23
G. Sistematika Penulisan
BAB I, Pengantar akan berisi latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan kepustakaan,
kerangka konseptual atau teori, metode penelitian dan sistematika
penulisan.
BAB II, berisikan penjelasan juga deskripsi lengkap mengenai
ASEAN khususnya AICHR mengenai terbentuknya, tujuan, fungsi,
mandat, komposisi dan sifat serta pencapaian AICHR dan kerjasama
AICHR sebelum tahun 2014 juga prinsip non-intervensi yang dianut oleh
ASEAN.
BAB III, berisikan pembahasan tentang kasus dan krisis hak asasi
manusia Rohingya di Myanmar dari mulai sejarah terbentuknya sampai
dengan kasus pada tahun 2016 secara lengkap, pelanggaran HAM
Rohingya dan dampak yang ditimbulkan.
BAB IV, fokus pada isu yang diangkat, dimana pada bab ini akan
menganalisis kasus Rohingya serta strategi AICHR dalam Penanganan
Krisis HAM Rohingya di Myanmar Terkait Prinsip Non – Intervensi
Periode 2014 – 2017 dengan teori-teori hubungan internasional
BAB V, berisikan kesimpulan dan saran yang didapat dari
pembahasan berdasarkan kepada pertanyaan penelitian yang diangkat pada
skripsi ini.
24
BAB II
ASEAN INTERGOVERNMENTAL COMMISSION ON HUMAN RIGHT
(AICHR) DAN PRINSIP NON-INTERVENSI
A. Association of South East Asian Nation (ASEAN) dan ASEAN Inter-
governmental Commission on Human Rights (AICHR)
1. Perkembangan Association of South East Asian Nation
(ASEAN) dan Tinjauan Umum ASEAN Inter-governmental
Commission on Human Rights (AICHR)
Association of South East Asian Nation45
atau yang biasa disingkat
dengan kata (ASEAN) pada tahun 1967 dibentuk melalui Deklarasi
Bangkok sebagai badan regional pertama yang menangani isu-isu atau
permasalahan dan relavansi di kawasan Asia tenggara. Awalnya ASEAN
didirikan oleh 5 negara yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand
dan Filipina46
.
Pembentukan organisasi negara-negara kawasan Asia Tenggara ini
bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, mengembangkan
kebudayaan, dan menjaga stabilitas dan perdamaian di kawasan Asia
45
The Asean Declaration Bangkok 8 August 1967. Dalam https://asean.org/the-asean-declaration-bangkok-declaration-bangkok-8-august-1967/ diakses pada 5 April 2018 46
The Asean Declaration Bangkok 8 August 1967. Dalam https://asean.org/the-asean-declaration-bangkok-declaration-bangkok-8-august-1967/ diakses pada 5 April 2018
Sebagai negara yang baru memperoleh kemerdekaan, maka
prioritas utama adalah pembangunan nasional, serta keamanan yang
mendukung untuk kemajuan ekonomi, stabilitas dan struktur politik. Akan
tetapi hal-hal yang mengenai pelanggaran HAM sepertinya tidak begitu
mendapat perhatian atau terbengkalai, sementara saat itu terjadi banyak
kasus pelanggaran HAM di kawasan Asia Tenggara48
.
Contoh pelanggaran HAM tersebut seperti kasus pemerintahan
Orde Baru, Presiden Soeharto di Indonesia. Di Myanmar terkait kasus
genosida berupa pada era Pol Pot dan konflik perbatasan Kamboja-
Thailand atas klaim kuil Preah Vihear. Selanjutnya, di Thailand aksi
penembakan maupun pengeboman terhadap Melayu Pattani dari
pemerintah pusat Thailand. Di Malaysia juga terjadi pelanggaran HAM
dalam bentuk diskriminasi rasial dan pemberlakuan Internal Security Act
dan juga adanya krisis demokrasi di Filipina49
.
47
The Asean Declaration Bangkok 8 August 1967. Dalam https://asean.org/the-asean-declaration-bangkok-declaration-bangkok-8-august-1967/ diakses pada 5 April 2018 48
Ahmat Reza Fahlefi Pattihua, Efektivitas Asean Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR) dalam mengatasi HAM di Asia Tenggara, The 6th University Research Colloquium 2017, Universitas Muhammadiyah Magelang, diakses 5 April 2018 49
Ahmat Reza Fahlefi Pattihua, Efektivitas Asean Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR) dalam mengatasi HAM di Asia Tenggara, The 6th University Research Colloquium 2017, Universitas Muhammadiyah Magelang, diakses 5 April 2018
ASEAN terus menerus membangun solidaritas. Adanya konsep
“ASEAN Way” dimana dalam konteks ini diartikulasikan dalam lima
prinsip yang disepakati yaitu “non interverence“ saling menghormati
kedaulatan, kesepakatan (consesus), menolak ancaman dan penggunaan
kekuatan militer dan menjaga prinsip keamanan secara menyeluruh
(comprehensive security). Kelima konsep tersebut pada dasarnya
merupakan dasar dari keamanan organisasi. Karena elemen-elemen
tersebut merupakan kunci stabilitas poltik dan keamanan Asia Tenggara.
Adapun tujuan utama “ASEAN Way” yaitu, pertama, menghindari
terjadinya peperangan dan penggunaan militer dan yang kedua adalah
sebagai metode resolusi konflik50
.
Pelanggaran HAM selalu terjadi di kawasan Asia Tenggara.
Kondisi ini menunjukkan sebuah ironi dimana negara-negara anggota
ASEAN harus memulai kesepakatan untuk menghargai HAM dengan
mempublikasikan dan melindungi sebagaimana yang tercermin dalam
pembentukan “ASEAN Charter” pada 20 November 2007 di Singapura51
,
sebagai sebuah kesepakatan bersama yang di terapkan secara hukum
dalam suatu organisasi bersama. Berbagai langkah di atas merupakan
suatu bentuk untuk menghargai dan mengakui keberadaan HAM.
50
Gilian Goh, 2003, ‘The ‘ASEAN Way’: Non-Intervention and ASEAN’s Role in Conflict Management’, Greater East Asia, vol. 3, no. 1 51
Ahmat Reza Fahlefi Pattihua, Efektivitas Asean Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR) dalam mengatasi HAM di Asia Tenggara, The 6th University Research Colloquium 2017, Universitas Muhammadiyah Magelang, diakses 5 April 2018
27
Dalam Piagam ASEAN Bab I, Pasal 1 (ayat 7) yang berbunyi
“Komunitas ASEAN” adalah sebuah komunitas yang ditujukan untuk
memperkuat demokrasi dan melindungi HAM. Kemudian, pada Pasal 14
juga disebutkan bahwa memajukan identitas ASEAN dengan
meningkatkan kesadaran yang lebih tinggi akan keanekaragaman budaya
dan warisan kawasan. Untuk mengimplementasikan hal tersebut dengan
melihat berbagai persoalan tersebut maka dibentuklah The ASEAN
Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR)52
.
AICHR adalah bagian dari kelanjutan pelaksanaan ASEAN
Charter, dan diresmikan pada 23 Oktober 2009 pada saat penyelenggaraan
ASEAN Summit ke-16 di Hua Hin, Thailand. Adanya badan ini
dimaksudkan untuk mempermudah dan mengurangi berbagai macam
permasalahan pelanggaran HAM di Asia Tenggara. Komisi HAM ada
untuk mempublikasikan dan melindungi hak asasi manusia, dan kerjasama
regional tentang HAM, di negara-negara anggota ASEAN. Kemajuan
persetujuan ASEAN terhadap hak asasi manusia juga dapat dilihat dalam
Deklarasi Hak Asasi Manusia ASEAN (AHRD) dan roadmap komunitas
ASEAN 2009-201553
.
52
Tan Hsien Li. 2011. The ASEAN InterGovermental Commission on Human Right: Institutionalishing Human Rights In Southeast Asia, Cambridge: Cambridge University Press, hal.4 53
Road map for an ASEAN community, http://www.asean.org/wp/content/uploa ds/images/ASEAN_RTK_2014/2_Roa dmap_for_ASEAN_Community_2009 2015.pdf , diakses tanggal 6 April 2018.
28
AICHR kini sudah hampir dua dekade didirikan, tidak dapat
dipungkiri bahwa terdapat banyak masalah HAM yang muncul. Sejak
dibentuk pada tahun 2009 lewat KTT ke 15, AICHR tampak menghindari
penyelesaian konflik, banyak laporan yang disampaikan oleh Kontras
(komisi untuk orang hilang dan dan anti kekerasan) sering diabaikan oleh
komisi tersebut54
. Hal ini yang membuat ASEAN dianggap tidak mampu
mewakili kepentingan negara anggotanya.
2. Informasi Publik (ASEAN Inter-governmental Commission on
Human Rights (AICHR)
a. Tujuan, Delegasi/Mandat, dan Fungsi
AICHR adalah bagian dari ASEAN, mempunyai peran
sebagai badan konsultasi dan bersifat “advisory/memberi nasehat”.
Selain itu juga sebagai penaung (overarching), untuk perlindungan
dan kemajuan HAM di ASEAN sebagai tanggung jawab
umumnya55
. Hal itu diatur dalam TOR AICHR Pasal 1, dengan
tujuan sebagai berikut:
Meningkatkan, melindungi HAM dan kebebasan mendasar
dari rakyat ASEAN; Menegakan hak rakyat ASEAN untuk
hidup berkesetimbangan, berstatus dan sejahtera; berkontribusi
54
Ahmat Reza Fahlefi Pattihua, Efektivitas Asean Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR) dalam mengatasi HAM di Asia Tenggara, The 6th University Research Colloquium 2017, Universitas Muhammadiyah Magelang, diakses 5 April 2018 55
TOR of AICHR, 2009, ASEAN Secretariat. http://hrlibrary.umn.edu/research/Philippines/Terms%20of%20Reference%20for%20the%20ASEAN%20Inter-Governmental%20CHR.pdf pada 6 September 2017
29
terhadap pencapaian tujuan ASEAN; Meningkatkan HAM dalam
konteks regional dengan mempertimbangkan parikularitas
domestik dan regional; Meningkatkan kerjasama regional untuk
membantu usaha-usaha domestik dan internasional; Menegakkan
tolak ukur hak asasi manusia internasional sebagaimana dituliskan
dalam Deklarasi Universal HAM, kegiatan Aksi dan Deklarasi
Wina dan perkakas HAM internasional dimana negara anggota
ASEAN merupakan negara yang bersangkutan.56
Pada TOR AICHR Pasal 4, tersimpul
14 delegasi/mandat dan fungsi AICHR yang tertulis sebagai
berikut: Mengembangkan rencana pembinaan dan perlindungan
HAM; Mengembangkan pernyataan HAM ASEAN; Meningkatkan
rasa kepedulian publik terhadap HAM; Memajukan peningkatan
kelayakan untuk mejalankan hak-hak perjanjian HAM; Mendorong
negara-negara ASEAN untuk mengesahkan instrument HAM;
Memajukan pelaksanaan instrumen-instrumen ASEAN;
Menyediakan jasa konsultasi dan bantuan terhadap problematik
HAM; Melakukan diskusi dan konsultasi dengan devisi ASEAN
lain; Berkonsultasi, dengan lembaga nasional, dan internasional;
Menerima informasi dari negara Anggota ASEAN tentang proses,
cara dan perlindungan HAM; Mengupayakan ancangan dan posisi
56
TOR of AICHR, 2009, ASEAN Secretariat. http://hrlibrary.umn.edu/research/Philippines/Terms%20of%20Reference%20for%20the%20ASEAN%20Inter-Governmental%20CHR.pdf pada 6 September 2017
30
tentang problem HAM yang merupakan kepentingan ASEAN;
Menyiapkan tinjauan tentang isu tematik HAM di ASEAN;
Memberikan laporan tahunan kegiatan, atau laporan lain yg
diperlukan pada konferensi Menteri Luar Negeri ASEAN (AMM);
dan Melaksanakan kewajiban lain yang mungkin diberikan oleh
konferensi Menteri Luar Negeri ASEAN57
.
b. Komposisi
AICHR terdiri dari utusan-utusan 10 negara Anggota
ASEAN yang berkewajiban kepada pemerintah yang mengutusnya.
Saat ini ada 10 utusan dari AICHR, 2 orang terpilih dari golongan
Organisasi Masyarakat Sipil (CSO) berdomisili dari Indonesia dan
Thailand, dan sisanya dari perwakilan yang telah ditunjuk oleh
Pemerintah. Setiap Wakil menjabat untuk satu kali periode selama
3 tahun dan dapat diangkat kembali untuk satu kali masa jabatan.
Proses pengambil keputusan di AICHR didasarkan pada konfrensi,
dan persetujuan sebagai asas-asas AICHR58
, dan mengadakan
konfrensi regular 2 kali dan melapor ke Menteri Luar Negeri
ASEAN.
57
TOR of AICHR, 2009, ASEAN Secretariat. http://hrlibrary.umn.edu/research/Philippines/Terms%20of%20Reference%20for%20the%20ASEAN%20Inter-Governmental%20CHR.pdf pada 6 September 2017 58
TOR of AICHR, 2009, ASEAN Secretariat, http://hrlibrary.umn.edu/research/Philippines/Terms%20of%20Reference%20for%20the%20ASEAN%20Inter-Governmental%20CHR.pdf pada 6 September 2017
31
Representative for AICHR 2016-201859
: Brunei
Darussalam, H.E. Haji Mohammad Rosli bin Haji Ibrahim;
Cambodia, H.E. Mrs. Polyne Hean; Indonesia, Mrs. Dinna Wisnu,
Ph.D; Lao PDR, H.E. Mr. Phoukhong Sisoulath; Malaysia, H.E
Mr. Edmund Bon Tai Soon; Myanmar, H.E Amb. Hla Myint;
Philippines, H.E Mrs. Loretta Ann Pargas-Rosales; Singapore, H.E
Amb. Barry Desker; Thailand, H.E Dr. Seree Nonthasoot;
Vietnam, H.E Amb. Nguyen Thi Nha.
c. Sifat
AICHR adalah badan intergovernmental yang
berhubungan pada struktur ASEAN. memikul kata
intergovernmental membuktikan bahwa AICHR tidak mempunyai
wewenang atas negara anggotanya. AICHR tidak memiliki cukup
otoritas dan kekuatan untuk memberikan sanksi atau mengunjungi
dan menginvestigasi negara anggotanya jika terjadi pelanggaran
HAM60
.
Namun di dalam struktur acuan menyebutkan bahwa
kewajiban negara anggota untuk melapor berkala dalam konfrensi
Menteri Luar Negeri ASEAN, tetapi tidak diperbolehkan untuk
memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai tindakan yang akan
59
TOR of AICHR, 2009, ASEAN Secretariat, http://hrlibrary.umn.edu/research/Philippines/Terms%20of%20Reference%20for%20the%20ASEAN%20Inter-Governmental%20CHR.pdf pada 15 Oktober 2018 60
Gorawut Numnak, et.al., “The Unfinished Business: The ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights”. Freiderich Naumann Stiftung Fur die Freihet. No.4 2009 hal. 12.
32
diberikan oleh AICHR terhadap laporan-laporan tersebut61
. Selain
itu definisi dari AICHR adalah badan konsultatif.62
Tidak ada
penjelasan yang lebih jelas mengenai “konsultatif” di dalam
struktur acuan tersebut.
Namun pada umumnya yang disebut dengan konsultatif
mempunyai tiga arti:63
Di bawah protokol PBB badan konsultatif
boleh memberikan ulasan tertulis maupun lisan. Dan juga
organisasi tersebut juga dapat menyajikan pengajuan; Dalam
pengertian yang lebih luas, sebuah perhimpunan yang konsultatif
dapat mengajurkan rekomendasi dan dapat menjadi sarana untuk
melakukan konsultasi; Secara politis sebuah organisasi konsultatif
harus melakukan konsultasi dan mendapatkan persetujuan dari
anggota-anggotanya ketika akan mengambil keputusan.
Membahas ASEAN sangat lekat dengan ASEAN Way yang
dimana kita ketahui juga bahwa AICHR berada di bawah naungan
ASEAN dan memberikan wewenang pengambilan keputusan pada
konsesus dari member anggota ASEAN, kemungkinan akan
terdapat sebuah organisasi HAM yang dapat melakukan pengaduan
atau tindakan saat krisis HAM terjadi cukup diragukan. Dari situ
61
Gorawut Numnak, et.al., “The Unfinished Business: The ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights”. Freiderich Naumann Stiftung Fur die Freihet. No.4 2009, hal. 12 62
TOR AICHR, 2009, ASEAN Secretariat, pasal 3 , http://hrlibrary.umn.edu/research/Philippines/Terms%20of%20Reference%20for%20the%20ASEAN%20Inter-Governmental%20CHR.pdf pada 6 September 2017 63
Gorawut Numnak, et.al., “The Unfinished Business...”, hal. 6
33
dapat dilihat bahwa definisi konsultatif yang terdapat pada AICHR
dapat dimasukan pada kategori definisi ketiga seperti yang telah
dijelaskan diatas64
.
Kata konsultatif sendiri di dalam struktur acuan
mengakibatkan banyak komentar baik dari dalam ataupun dari luar
ASEAN. Kata konsultatif dianggap sebagai teguran atas non-
intervensi dan peran utama dari AICHR adalah untuk
melaksanakan fungsi edukatif dan promosi HAM yang peran
penegakan dan pemberian sanksinya masih dipertanyakan.
d. Faktor Pemajuan dan Penengakan HAM yang diterapkan
ASEAN Inter-gornmental Commission on Human Rights
Dalam struktur acuan yang didefinisikan oleh High Level
Panel on an ASEAN Human Rights Body, terkandung empat unsur
pemajuan dan menjunjung hak asasi manusia yang diterapkan oleh
AICHR, antara lain65
:
1. Edukasi , diseminasi, dan pemajuan hak-hak asasi manusia
Peranan AICHR dalam hal ini diatur pada Pasal 4 ayat (2),
(3), dan (9). Dimana AICHR mempunyai peran untuk
meningkatkan kesadaran sesuai dengan fungsinya melalui
deseminasi, riset dan juga edukasi serta pemajuan dan
64
Gorawut Numnak, et.al., “The Unfinished Business: The ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights”. Freiderich Naumann Stiftung Fur die Freihet. No.4 2009 hal. 6. 65
ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights, ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (Term of Reference), Jakarta: ASEAN Secretariat, October 2009, pasal 4
34
perlindungan hak-hak asasi manusia. AICHR juga dalam
kapasitasnya menerapkan tanggung jawab yang terdapat dalam
berbagai perjanjian internasional terkait HAM agar dapat
berjalan secara efektif66
.
Upaya-upaya tersebut dapat berupa seminar, lokakarya dan
juga yang lainnya. AICHR juga dapat melakukan konsultasi
baik secara regional maupun nasional dan juga internasional
terkait perlindungan dan permajuan HAM apabila memang
diperlukan.67
2. Pengaturan tolak ukur Internasional Hak Asasi Manusia
Sesuai dengan Pasal 1 ayat (6), AICHR patut menjunjung
tinggi tolak ukur internasional HAM sebagaimana yang
terdapat pada Universal Declaration on Human Rights, Vienna
Declaration and Programme of Action, serta instrumen hak
asasi manusia lainnya dimana negara-negara ASEAN sebagai
anggotanya. AICHR mengemban delegasi untuk mendorong
negara-negara ASEAN mengesahkan instrumen internasional
tentang hak asasi manusia68
, serta ikut
mengimplementasikannya. AICHR juga diharapkan dapat
66
ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights, ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (Term of Reference), Jakarta: ASEAN Secretariat. October 2009. Pasal 4 ayat (4) 67
ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights, ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (Term of Reference), Jakarta: ASEAN Secretariat. October 2009.=, Pasal 4 ayat (6) 68
ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights, ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (Term of Reference), Jakarta: ASEAN Secretariat. October 2009, Pasal 4 ayat (5)
35
merumuskan ASEAN Human Rights Declaration agar dapat
membentuk suatu kerangka kerjasama di bidang hak asasi
manusia.
3. Pengawasan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia
AICHR diinstruksikan untuk berpastisipasi dalam dialog-
dialog serta konsultasi bersama anggota ASEAN lainnya,
sebagaimana yang tercantum dalam BAB V Piagam ASEAN69
.
Selain itu fungsi perlindungan dan pengawasan juga dapat
dilakukan dengan informasi yang didapat dari negara anggota
ASEAN dalam hal hak asasi manusia70
. AICHR dapat
melakukan analisis terhadap isu-isu tersebut dan memberikan
laporan berkala saat konfernsi Menteri Luar Negeri Asean.71
4. Advisory Service and Technical Assistance (ASTA)
Pada fungsi ini AICHR dapat memberikan Advisory
Service dan bantuan teknis kepada badan-badan sektoral
ASEAN tentunya terkait hak asasi manusia apabila diminta72
.
69
ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights, ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (Term of Reference), Jakarta: ASEAN Secretariat. October 2009, pasal 4 ayat (8) 70
ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights, ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (Term of Reference), Jakarta: ASEAN Secretariat. October 2009, pasal 4 ayat (10) 71
ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights, ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (Term of Reference), Jakarta: ASEAN Secretariat. October 2009, pasal 4 ayat (13) 72
ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights, ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (Term of Reference), Jakarta: ASEAN Secretariat. October 2009, pasal 4 ayat (7)
36
3. Pencapaian serta kerjasama ASEAN Inter-gornmental
Commission on Human Rights (AICHR) dengan negara atau
Organisasi Internasional lainnya.
Semenjak diresmikannya AICHR hingga kini, selama itulah
banyak pasang surut yang terjadi dalam pelaksanaan peran AICHR sendiri.
Masih banyak perdebatan seiring dengan efektivitas AICHR, banyak yang
menilai bahwa AICHR dirasa masih kurang kuat dalam menyelesaikan
persoalan HAM di lingkup Asia Tenggara. Namun tidak sedikit pula yang
merasa senang karena akhirnya ASEAN memiliki Badan Mekanisme
HAM sendiri, seperti negara-negara lainnya. Berikut beberapa pencapaian
AICHR selama ini:
Pada 2010, AICHR menyelenggarakan sejumlah konfrensi untuk
melakukan sosialisasi dan dukungan dari organisasi internasional, seperti
kunjungan ke USA atas panggilan dari Presiden Barrack Obama, dan juga
ada pertemuan dengan United Nations Development Programme (UNDP)
yang membahas tentang pemberian pelatihan, perlengkapan dan
pembagunan terhadap negara-negara berkembang atau memberikan
bantuan kepada suatu negara termasuk dalam krisis HAM Rohingya di
Myanmar. Selain itu AICHR juga bekerjasama dengan organisasi
internasional lain seperti United Nations High Commissioner for Refugees
(UNHCR), dan beberapa organisasi lainnya.73
73
Tatat Sukarsa dkk, “Indonesia’s Leadership in ASEAN 2011: Political Perspective and Human Rights” Postscript, the Habibi Center, Vol. VIII No. 1, 2011.
37
Pada Februari 2011, pertemuan negara-negara anggota AICHR
telah diselengarakan sebanyak empat kali. Pada pertemuan tersebut,
negara anggota sepakat untuk menjadikan tahun 2011 sebagai tahun yang
tepat untuk mengimplementasikan kinerja AICHR untuk mempromosikan
dan melindungi HAM di kawasan Asia Tenggara, terdapat beberapa
agenda dan prioritas yang ditetapkan saat pertemuan tersebut, yakni
perancangan ASEAN Declaration on Human Rights, pemantapan
sekretariat AICHR, dan memperkuat hubungan AICHR dengan
masyarakat sipil74
. Pada bulan November 2012, AICHR telah mencapai
salah satu mandat penting dalam mendorong pemajuan dan perlindungan
HAM di kawasan ASEAN yaitu terbentuknya Deklarasi HAM ASEAN
dan deklarasi tersebut telah diadopsi oleh Kepala Negara ASEAN yang
bertepatan dengan KTT ASEAN ke 21 di Kamboja75
.
Pada 25 Juni 2013, Indonesia mengadakan dialog HAM dengan
AICHR meniru konsep UPR (Universal Periodical Review), sistem
pelaporan HAM Dewan HAM PBB-Jenewa76
. Indonesia menjadi negara
anggota pertama yang secara sukarela menyampaikan ke negara-negara
ASEAN lainnya melalui AICHR untuk ditinjau proses promosi dan
proteksi HAM di Indonesia. Sebagai negara pertama yang mendorong
mekanisme HAM di kawasan, Indonesia telah menunjukkan upaya nyata
74
Tatat Sukarsa dkk, “Indonesia’s Leadership in ASEAN 2011: Political Perspective and Human Rights” Postscript, the Habibi Center, Vol. VIII No. 1, 2011. 75
AICHR, “ASEAN Human Rights Adopted, and The Signing Ceremony of the Phnom Penh Statement”, http://aichr.org/news diakses pada 29 Mei 2018 76
Lidya Christin Sinaga, 2014, “Mengurai Peran Indonesia dalam Penguatan AICHR”, Ejurnal World Politic, Jakarta: Pusat Penelitian Politik - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI)
38
bagi pemajuan HAM di ASEAN. Namun demikian, Indonesia masih harus
melakukan beberapa hal penting untuk penguatan AICHR. Pertama,
Indonesia harus terus mendorong agar perwakilan (representatives)
masing-masing negara di AICHR berasal dari masyarakat sipil, bukan dari
negara atau ditunjuk oleh negara. Hingga saat ini baru Indonesia dan
Thailand yang perwakilannya berasal dari masyarakat sipil. Kedua,
Indonesia harus mengupayakan bagaimana meningkatkan kepercayaan
negara anggota ASEAN kepada organisasi yang mereka bentuk sendiri,
terutama dengan mendorong UPR di ASEAN. Padaprinsipnya, tidak ada
lagi negara ASEAN yang imun terhadap proses HAM di
internasional. Ketiga, Indonesia perlu mendorong dilakukannya
peninjauan ulang (review) terhadap instrumen HAM ASEAN untuk
memperkuat mekanisme HAM itu sendiri. Tahun 2014 ini menjadi tahun
yang tepat sesuai dengan komitmen awal untuk meninjau kembali ToR
AICHR yang telah diadopsi sejak tahun 2009 setiap lima tahun sekali.
Pencapaian AICHR selain terbentuknya Deklarasi HAM ASEAN,
juga menguatkan peran masyarakat sipil sebagai jalur diplomasi baru
dalam isu HAM seperti memainstrimkan HAM agar masyarakat peduli
akan HAM, pendekatan dialog yang dilakukan oleh AICHR dan negara-
negara anggota ASEAN lain kepada Nyabnar dalam promosi dan
penyelesaian isu HAM, dan yang terakhir adalah penguatan fungsi,
wewenang, dan mandat AICHR. AICHR sebagai komisi HAM di ASEAN
39
bertanggung jawab untuk pemajuan dan pelindungan HAM di ASEAN77
.
Namun, sejauh ini peran AICHR lebih dominan pada fungsi promosi,
bukan perlindungan. Hal ini dapat terjadi karena usia AICHR yang
tergolong masih muda.
B. Prinsip Non-Intervensi dalam Perspektif ASEAN
Dalam ASEAN terdapat norma atau prinsip diplomatik yang bernama
ASEAN Way, dimana hal tersebut mencakup asas non-intervensi, tidak
menggunakan angkatan bersenjata, serta menghindari collective defense.78
Salah satu prinsip yang paling sering disebutkan adalah prinsip non intervensi.
Hal ini menjadi penting karena sejak pembentukannya pada tahun 1967
pedoman tersebut telah ditulis secara tegas di dalam Deklarasi Bangkok,
bahkan prinsip tersebut secara eksplisit dicantumkan di dalam Piagam
ASEAN.
Perkataan wewenang sering digunakan secara umum untuk
memperlihatkan semua kegiatan intervensi oleh suatu negara dalam urusan
negara lain.79
Non-intervention is a foreign principle which holds that political
rulers should avoid alliances with other nations, but still retain diplomacy,
and avoid all wars not related to direct self-defense. This is based on the
77
Tatat Sukarsa dkk, “Indonesia’s Leadership in ASEAN 2011: Political Perspective and Human Rights” Postscript, the Habibi Center, Vol. VIII No. 1, 2011. 78
Nicholas Khoo,“Deconstructing the ASEAN Security Community: a Review Essay”. (Oxford University Press and Japan Association of International Relation. International Relations of the Asia-Pasific, 2004) Volume 4 hlm. 35 79
J.G. Starke, 2007. “Pengantar Hukum Internasional” (edisi kesepuluh, Buku 2). (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 683.
40
grounds that a state should not interfere in the internal politics of another
state, based upon the principles of state sovereignty and self-determination. A
similar phrase is strategic independence.80
Menurut I Halina, asas non-intervensi adalah prinsip yang menjamin
legalisasi kedaulatan negara anggota, juga jaminan perlindungan dari
introvensi suatu negara anggota kepada politik domestik negara anggota
lainnya.81
Amitav Acharya menerangkan bahwa asas non-intervensi
merupakan prinsip yang memberi kebebasan kepada setiap negara untuk
mengelola perkara dalam negerinya tanpa adanya intervensi dari negara lain
yang akan mencemari prinsip kebebasan, keutuhan dan kemerdekaan suatu
negara.82
Prinsip ini terdapat pada Treaty of Amity and Cooperation in Southeast
Asia (TAC), 24 Februari 1976 yang pada Pasal 2 tertulis bahwa dalam
menjalin ikatan antar anggota, yang berdasar pada prinsip fundamental
yaitu83
: (a) menghormati kedaulatan, kebebasan, kesatuan wilayah, kesamaan
dan personalitas nasional setiap bangsa; (b) setiap negara memiliki wewenang
untuk merangkai penyelenggaraan negaranya bebas dari campur tangan
eksternal; (c) adanya asas non-intervensi dalam relasi internal sesama
80
J.G. Starke, 2007. “Pengantar Hukum Internasional” (edisi kesepuluh, Buku 2). (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 683. 81
I.Halina, “Menyoroti Prinsip Non-Intervensi ASEAN”, (Multiversa: Journal of International Studies, Vol.1, No.1, 2011), hlm. 14 82
Amitav Acharya,“Constructing a Security Community in Southeast Asia: ASEAN and the Problem of Regional Order”, (London: Routledge,2001), hlm. 57. 83
Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia, Pasal 2. http://asean.org/treaty-amity-cooperation-southeast-asia-indonesia-24-february-1976/ pada 6 September 2017
41
anggota.84
Dengan adanya pasal tersebut memastikan eksistensi prinsip non-
intervensi dalam struktur kerja sama ASEAN.
Prinsip tersebut juga melambangkan satu dari lima prinsip peaceful
coexistence yang terdapat dalam Piagam PBB yang kemudian diambil ahli
oleh para founder ASEAN dengan penyesuaian tertentu terhadap norma-
norma regional85
. tetapi prinsip non-intervensi sesunguhnya berisih nilai nilai
penghormatan terhadap kedaulatan dan integritas area setiap negara,
pemecahan setiap masalah politik melalui permusyawaratan dan peningkatan
kerjasama dalam bagian pertahanan dan keamanan wilayah sesuai dengan
tujuan pendirian ASEAN yaitu “to promote peace in the region”86
.
Asas non-intervensi selama ini taat di pegang oleh para member
ASEAN dalam dispensasi regionalnya. Hal yang akan terjadi sebab telah
terdapat dasar hukum yaitu pada Piagam ASEAN sehingga menyebabkan
Negara-Negara anggota tidak memiliki pengesahan dan otoritas yang cukup
untuk bercampur tangan masalah persilihan dan pelanggaran HAM pribadi
negara anggotanya. Pasal 2 Piagam ASEAN menyatakan bahwa (e) non-
interference in the internal affairs of ASEAN member states, (f) respect the
84
Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia, Pasal 2. http://asean.org/treaty-amity-cooperation-southeast-asia-indonesia-24-february-1976/ pada 6 September 2017 85
Tony Yuri Rahmanto, Prinsip Non-Intervensi Bagi ASEAN Ditinjau Dari Perspektif Hak Asasi Manusia, Jurnal HAM, Volume 8 Nomor 2, December 2017 86
Tony Yuri Rahmanto, Prinsip Non-Intervensi Bagi ASEAN Ditinjau Dari Perspektif Hak Asasi Manusia, Jurnal HAM, Volume 8 Nomor 2, December 2017
42
right of every member state to leads its national existence free from external
interfence, subversion and coersion87
.
Misalnya dari berpengaruhnya asas non-intervensi yang dianut
ASEAN, dalam informasi penelitian Human Rights Watch (HRW) pada kasus
Rohingya di Myanmar terjadi implementasi intimidasi, kebrutalan, dan
kekerasan yang terjadi dan dilakukan militer Myanmar yang sampai saat ini
masi terus berlangsung.88
kejadian yang menimpa gabungan Rohingya
tersebut setidaknya menunjukan tiga permasalahan hak asasi manusia, yakni:
Permasalahan kewarganegaraan yang bagaimana harus bisa menunjukan
semenjak tahun 1824 merupakan Warga Negara Burma, dengan adanya
tindakan diskriminasi dan toleransi kepada kaum minoritas muslim, serta
intimidasi terhadap kaum minoritas yang sudah berlangsung sejak lama dan
didukung oleh Negara.89
Dalam permasalahan pelanggaran HAM di Myanmar yang menjadi
kendala ialah dalam penanganan hal tersebut, negara-negara yang tergabung
dalam Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) tidak dapat
melakukan tindakan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut dikarenakan
87
Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia, Pasal 2. http://asean.org/treaty-amity-cooperation-southeast-asia-indonesia-24-february-1976/ pada 6 September 2017 88
Laporan Penelitian Human Right Watch Tahun 2016 disampaikan dan dipublikasikan oleh Mr. Kyaw Win (Executive Director of Burma Human Rights Network) pada Acara Human Rights Corner yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal HAM, Kementerian Hukum dan HAM RI bekerja sama dengan Human Rights Watch (HRW) diakses pada 4 Juli 2018 89
Laporan Penelitian Human Right Watch Tahun 2016 disampaikan dan dipublikasikan oleh Mr. Kyaw Win (Executive Director of Burma Human Rights Network) pada Acara Human Rights Corner yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal HAM, Kementerian Hukum dan HAM RI bekerja sama dengan Human Rights Watch (HRW) diakses pada 4 Juli 2018
43
adanya prinsip non-intervensi yang telah menjadi prinsip dasar atau ”golden
rule” dalam keanggotaan ASEAN90
.
Asas tidak mencampuri negara lain91
atau doctrine of non-interference
merupakan salah satu pondasi paling kuat menopang kelangsungan
regionalisme ASEAN. Sehingga tidak banyak yang bisa diperbuat negara
anggota ASEAN dalam mengangani krisis hak asasi manusia tersebut. Namun
dengan bertumpu pada doktrin ini, ASEAN dapat menjaga ikatan internal dan
dapat menutup pintu konflik militer antar negara ASEAN. Namun dari sudut
pandang HAM, ideologi yang berlaku sejak 1967 disinyalir sudah tidak
bersangkut paut lagi dengan perkembangan HAM saat ini.
Prinsip ini pada akhirnya memberi batasan bagi ASEAN dan negara
anggotanya untuk lebih aktif dalam peran dinamika regional Asia Tenggara.
Seiring dengan kelanjutan susunan politik global, nampaknya asas ini mulai
harus abaikan oleh ASEAN. Karena dalam Piagam ASEAN dituliskan bahwa
tujuan ASEAN ke depan adalah maintain and enhance peace, security and
stability and further strengthen peace-oriented values in the region, serta to
enhance regional resilience by promoting greater political, security, economic
and socio-cultural cooperation92
. Pernyataan ini membuktikan bahwa ASEAN
90
Tony Yuri Rahmanto, Prinsip Non-Intervensi Bagi ASEAN Ditinjau Dari Perspektif Hak Asasi Manusia, Jurnal HAM, Volume 8 Nomor 2, December 2017 91
I.Halina, “Menyoroti Prinsip Non-Intervensi ASEAN”, (Multiversa: Journal of International Studies, Vol.1, No.1, 2011) 92
Tony Yuri Rahmanto, Prinsip Non-Intervensi Bagi ASEAN Ditinjau Dari Perspektif Hak Asasi Manusia, Jurnal HAM, Volume 8 Nomor 2, December 2017
44
ke depan menjadi suatu entitas yang satu, hal ini juga diperkuat dengan jargon
ASEAN, One Vision, One Identity, One Community93
.
93
Tony Yuri Rahmanto, Prinsip Non-Intervensi Bagi ASEAN Ditinjau Dari Perspektif Hak Asasi Manusia, Jurnal HAM, Volume 8 Nomor 2, December 2017
45
BAB III
KRISIS HAK ASASI MANUSIA ROHINGYA DI MYANMAR
A. Sejarah Etnis Rohingya
Myanmar merupakan negara yang mempunyai sekitar 135 etnis,
salah satunya ialah Rohingya yang mendiami Arakan terletak di sebelah
Barat dekat dengan Bangladesh. Menurut Jacques P. Leider94
pada abat
ke-18 sebelumnya Rohingya disebut “Rooinga”. Yang berasal dari kata
"rahma" (rahmat) dalam bahasa Arab atau "rogha" (perdamaian) dalam
bahasa Pashtun. Selain itu, ada pula yang mengaitkannya dengan wilayah
Ruhadi Afghanistan yang dianggap sebagai tempat asal Rohingya. Hal ini
artinya etnis Rohingya sudah lama tinggal di wilayah tersebut dan sudah
selayaknya mendapatkan identitas sebagai warna negara dari Myanmar
Namun Thein Sein sebagai pemerintah Myanmar menyatakan
bahwa tidak dapat memberikan kewarganegaraannya terhadap Rohingya,
kembali kepada etnis Rohingya sendiri yang ingin tetap tinggal namun
dengan pengawasan PBB atau pergi ke negara-negara lain95
. Etnis
Rohingya pada akhirnya sering menjadi sorotan karena permasalahan ini
dan juga pengungsi besar-besaran ke negara-negara tetangga sekitar
Rohingya.
94
Tri Joko, “Konflik Tak Seimbang etnis Rohingya dan Etnis Rakhine di Myanmar”, Jurnal Transnasional Vol.4 No.2 Februari 2013, Hal. 840 95
Tri Joko, “Konflik Tak Seimbang etnis Rohingya dan Etnis Rakhine di Myanmar”, Jurnal Transnasional Vol.4 No.2 Februari 2013
46
B. Pelanggaran Hak Asasi Manusia Rohingya di Myanmar
Berdasarkan penjelasan Pasal 7 UU Nomor 26 tahun 2000,
dijelaskan bahwa apa yang dimaksud dengan kejahatan genosida dan
kejahatan terhadap kemanusiaan adalah sesuai dengan “Rome Statute of
The International Criminal Court, this Statute with respect to the
following crimes: The crime of genocide; Crimes against humanity; War
crimes; The crime of aggression.”96
Dalam kasus pelanggaran HAM Rohingya di Myanmar ini
termasuk kepada crimes againts humanity, article 7(1) :97
for the purpose
of this Statute, crimes against humanity means any of the following acts
when committed as part of a widespread or systematic attack directed
against any civilian population, with knowledge of the attck : Murder,
extermination, enslavement, deportation of forcible transfer of population,
imprisonment or other severe deprivation of physical liberty in violation of
fundamental rules of international law, torture, rape, sexual slavery,
enforced prostitution. forced pregnancy, enforced sterilization, or any
other form of sexual violence of comparable gravit, persecution against
any identifiable group or collectivity on political, racial, national, ethnic,
cultural, religious, gender, enforced disappearance of personsthe, crime of
96
Rome Statute of the International Criminal Court Pasal 5 diakses dari https://media.neliti.com/media/publications/14980-ID-perlindungan-atas-imigran-rohingya-dalam-pelanggaran-ham-berat-di-myanmar-dari-a.pdf pada 15 Oktober 2018 97
Rome Statute of the International Criminal Court Pasal 5 diakses dari https://media.neliti.com/media/publications/14980-ID-perlindungan-atas-imigran-rohingya-dalam-pelanggaran-ham-berat-di-myanmar-dari-a.pdf pada 15 Oktober 2018
apartheid,and other inhumane acts of a similar character intentionally
causing great suffering, or serious injury to body or to mental or physical
health.
Berdasarkan Rome Statute diatas maka pelanggaran HAM
Rohingya di Myanmar bisa dikategorikan sebagai crimes againts humanity
hal itu karena, etnis yang terpinggirkan oleh pemerintahan Myanmar ini
tidak diizinkan untuk menjalankan pendidikan di universitas yang ada,
adanya kasus pemerkosaan yang terjadi di tambah dengan adanya kerja
paksa dan sulit untuk izin menikah dirasakan oleh etnis Rohingya98
.
Penyiksaan secara religi juga dirasakan, penghancuran kepada 12 masjid
menjadi salah satu yang terjadi dengan kejadian besar di tahun 200699
.
Perlakuan itu disebut sebagai “seburuk-buruk perlakuan terhadap
kemerdekaan manusia”. Wakil Sekretaris Jenderal PBB Urusan
Kemanusiaan dan Koordinator Bantuan Darurat, Valerie Amos,
menyebutkan Rohingya dipandang sebagai etnis yang tertindas di dunia100
.
Pelanggaran terhadap Etnis Rohingya juga terjadi dalam
diskriminasi sosial, politik, agama maupun yang lainnya. Diskriminasi
agama dan budaya terlihat dengan dihancurkannya masjid-masjid, dilarang
mengikuti kegiatan agama dan juga menutup aurat101
. Pemerintah
98
Tamia Dian Ayu, “Tinjauan Hukum Internasional Terhadap Etnis yang Tidak Memiliki Kewarganegaraan: Studi Kasus Etnis Rohingya, Myanmar”, FH UI, 2012, hal.94-95 99
Tamia Dian Ayu, “Tinjauan Hukum Internasional Terhadap Etnis yang Tidak Memiliki Kewarganegaraan: Studi Kasus Etnis Rohingya, Myanmar”, FH UI, 2012, hal.96 100
http://www.voaindonesia.com/content/pejabat-pbb-bahas-isu-kewarganegaraan-etnis-Rohingya-diburma/1560024.html, diakses 4 Juli 2018. 101
Nurul Islam, “Facts about The Rohingya Muslims of Arakan”, diakses dari www.Rohingya.org/portal/index.php/learn-about-Rohingya.html. 4 Juli 2018
pengawasan untuk menyediakan tempat perlindungan. Bagi
kelompok ekstrimis ini menjadi basis operasi, bahkan sebagai
“lahan yang subur” untuk menjalankan rekrutmen.
2. Fasilitas transnasional untuk penyebaran senjata, narkoba, dan
kombatan: kamp pengungsian dipenuhi oleh orang-orang yang
memiliki tingkat pendidikan yang rendah serta dalam kondisi
kehidupan yang memprihatinkan. Dengan iming-iming imbalan
untuk menyambung hidup, maka kamp pengungsian dapat dengan
mudah menjadi wadah untuk penjualan senjata, pendidikan militer
bagi kombatan, serta penanaman ideologi untuk doktrin.
3. Menciptakan ketegangan bilateral: karena umumnya kamp
pengungsian terletak di daerah perbatasan dua negara dan aktivitas
dilakukan di perbatasan, sehingga setiap aktivitas tersebut
dikhawatirkan akan berdampak ke negara tetangga. Atas hal ini,
negara tetangga biasanya akan bersikap defensif terhadap hal
tersebut.
Dampak pada keamanan manusia116
juga memungkinkan terjadi,
karena cenderung beranggapan bahwa Rohingya merupakan salah satu
sumber ancaman keamanan nasional akibat hal-hal diatas, ditambah lagi
dengan beban ekonomi dan sosial yang berlebih. Merupakan sebuah fakta
bahwa banyak dari pengungsi Rohingya terlibat dalam berbagai kegiatan
116
Fasha Nabila Yasyid, 2017, eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 5, Nomor 4, Universitas Mulawarman: 1287 – 1300 diakses 4 Juli 2018
55
ilegal, yang ternyata tidak hanya di area perbatasan Myanmar, namun juga
pada wilayah perkotaan diluar kamp pengungsian117
.
Sudah menjadi pengetahuan bersama bagi masyarakat setempat
bahwa pengungsi Rohingya menjual pembagian makanan yang mereka
terima dari UNHCR di pasar lokal meskipun pemerintah telah
mengeluarkan larangan untuk pedagang bertransaksi dengan pengungsi.
Tidak hanya itu, pengungsi Rohingya juga menjadi penyelundup barang-
barang lain yang dijual lintas kota oleh pebisnis lokal yang memanfaatkan
situasi pengungsi Rohingya dan mencari keuntungan. Terdapat setidaknya
12 titik rute perdagangan di sekitar distrik Cox‟s Bazar dan tugas
Rohingya adalah mengawal transportasi untuk sampai di daerah tujuan.
Barang-barang yang biasanya diselundupkan adalah kayu, diesel, minyak
kedelai, hewan ternak, gula, udang, beras, obat-obatan, pupuk, garam,
buah, dan semacamnya118
.
Disamping terlibat dalam perdagangan ilegal, pengungsi Rohingya
juga menimbulkan ancaman yang cukup serius dalam permasalahan
ketenagakerjaan. Karena tidak mengantongi tanda pengenal sebagai
pekerja imigran atau mendapatkan izin untuk mendapatkan pekerjaan,
memaksa mereka untuk bersaing dengan masyarakat setempat dalam
mendapatkan pekerjaan sebagai buruh harian, tukang becak, pelayan
117
Fasha Nabila Yasyid, 2017, eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 5, Nomor 4, Universitas Mulawarman: 1287 – 1300 diakses 4 Juli 2018 118
Fasha Nabila Yasyid, 2017, eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 5, Nomor 4, Universitas Mulawarman: 1287 – 1300 diakses 4 Juli 2018
56
rumah makan, tukang kayu, dan lain-lain, menciptakan tekanan bagi beban
ekonomi setempat.
Rohingya menciptakan beban ekonomi dan sosial dengan
melakukan praktek perdagangan ilegal dan penyelundupan serta merebut
pasar kerja setempat. Hal ini juga merusakan tatanan ketertiban yang
sudah ada di wilayah sekitar kamp pengungsian dan menimbulkan
gesekan-gesekan antara pengungsi dan masyarakat setempat. Ketegangan
bahkan kebencian yang muncul antara kedua kelompok masyarakat dapat
menjadi pemicu pecahnya konflik antara kedua kelompok masyarakat dan
mengancam keamanan nasional negara-negara tempat mengungsi terutama
Bangladesh, Malaysia, Thailand dan Indonesia119
.
119
The Rohingya Refugee : A Security Dilemma For Bangladesh” diakses di http://www.creatingroadhome.com/new/wpcontent/uploads/the_Rohingya_refugee_a_security_dilemma_for_bangladesh.pdf diakses 4 Juli 2018
rujukan negara ASEAN dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran
HAM di Rohingya.
Kedua mengadakan pertemuan pada tanggal 3-4 Oktober 2014
yang dipimpin langsung oleh H.E. U Kyaw Tint Swe, perwakilan dari
Myanmar untuk AICHR dan Ketua AICHR123
. Pertemuan ini membahas
laporan mereka terkait panduan sensitif gender, penanganan
penyelundupan perempuan, korban perdagangan terkait kasus Rohingya
dan rencana kerja ASEAN-UNDP untuk menteri luar negeri ASEAN dan
mengadopsi sejumlah inisiatif promosi HAM di wilayah ASEAN terutama
dalam kasus Rohingya di Myanmar dan juga dalam isu perlindungan
anak124
.
Ketiga, AICHR juga telah mengadakan beberapa workshop di
Myanmar. Workshop ini dihadiri oleh sekitar 80 peserta terdiri dari
praktisi Corporate Social Responsibility and Human Rights (CSR),
perwakilan lainnya dari pemerintah, bisnis, masyarakat sipil dan wakil-
wakil AICHR125
. Workshop ini memberikan kesempatan berharga untuk
para peserta mendiskusikan dan belajar dari pengalaman satu sama lain
juga menyentuh pada peluang untuk masa depan pengembangan kegiatan
123
http://aichr.org/press-release/16th-meeting-of-the-asean-intergovernmental-commission-on-human-rights/ diakses 18 September 2018 124
D Asrieyani, (2014), Peran Office of The High Commisioner for Human Right Dalam Penyelesaian Kasus Genosida Etnis Rohingya Di Myanmar (1967-2013), Jurnal Universitas Mulawarman, Vol.1, No.2, 1 125
Wawancara dengan Dinna Wisnu, 21 Agustus 2018, di Gedung PTRI ASEAN Jakarta.
CSR dan sebagai wadah untuk mendiskusikan hak asasi manusia dalam
wilayah ASEAN terutama kasus Rohingya di Myanmar.
CSR juga termasuk dalam rencana kerja lima tahun ASEAN
Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR) 2010-2015,
dan dari 2016-2020126
. Sebagai bagian dari rencana kerja lima tahun (2010
hingga 2015), Singapura memimpin AICHR Studi Baseline tentang
"hubungan antara bisnis dan hak asasi manusia" (2012-2014). Studi ini
tidak hanya memberikan penilaian yang komprehensif tentang CSR dalam
kaitannya dengan promosi dan perlindungan hak asasi manusia di wilayah
tersebut, tetapi juga berfungsi sebagai dasar untuk pembentukan kerangka
kerja umum untuk mempercepat promosi CSR dan mendukung
pengembangan kebijakan yang sejalan dengan Piagam ASEAN, The
ASEAN Human Rights Declaration (AHRD) dan kerangka kerja regional
dan internasional lainnya yang relevan.
Seminar dua hari yang tertutup ini bertujuan untuk menyediakan
wadah bagi para pemangku kepentingan utama, yaitu pemerintah, sektor
publik, sektor swasta dan masyarakat sipil untuk membahas dan
mengembangkan kebutuhan untuk pemasukkan CSR dalam tugasnya
untuk membantu secara umum, dan CSR untuk membantu dalam kasus
hak asasi manusia khususnya kasus Rohingya juga dalam agenda
pembangunan nasional dan regional. Hal ini memerlukan berbagi
126
Wawancara dengan Dinna Wisnu, 21 Agustus 2018, di Gedung PTRI ASEAN Jakarta.
61
pengetahuan dan diskusi tentang cara mengatasi tantangan dan memajukan
CSR, serta menggali potensi untuk kerangka kerja bersama atau rencana
aksi untuk mempromosikan CSR di ASEAN.
Keempat, bentuk lain dari upaya penerapan HAM yang dilakukan
oleh AICHR di Myanmar ialah dengan memberikan edukasi kepada
masyarakat ASEAN tentang hak asasi manusia, serta melakukan
pertanyaan terbuka pada Myanmar seperti menanyakan atau berdiskusi
kepada pihak-pihak yang bersangkutan. Hal ini di wujudkan dalam sebuah
seminar yang diadakan oleh AICHR yang bertajuk AICHR Youth Debate
of Human Rights dimana dalam seminar tersebut AICHR berkunjung ke
beberapa universitas di Myanmar dan negara-negara ASEAN lainnya
untuk memberikan pemahaman pada HAM guna meningkatkan kesadaran
anak muda ASEAN, terutama di Myanmar terhadap isu HAM127
. Seminar
juga dibuat dalam melibatkan beberapa polisi dan militer di Myanmar
untuk menumbuhkan rasa peduli akan HAM dan mempraktikannya dalam
kasus Rohingya.
Selain itu yang kelima, AICHR juga membentuk ASEAN
Convention on Trafficking in Persons (ACTIP) merupakan salah satu
perjanjian yang dibuat untuk melindungi para migran akibat dari kasus
Rohingya yang akhirnya justru menjadi korban perdagangan manusia,
ditandatangani oleh sepuluh anggota ASEAN pada 2015. AICHR berusaha
127
A Umar, (n.d.), Making ASEAN Works in Rohingya: A Southeast Asian Perspective. Retrieved April 2017 from Universitas Gadjah Mada: http://asc.fisipol.ugm.ac.id/news-making-asean-works/.
62
melakukan pendekatan berbasis hak asasi manusia dalam pelaksanaan
ACTIP dan Rencana Aksi Regional terhadap Perdagangan Orang,
dilaksanakan di Jakarta diadakan pada bulan September 2016 untuk
membahas mengenai pengungsi krisis Rohingya.
Dinna Wisnu128
, perwakilan AICHR dari Indonesia menekankan
bahwa sangat penting untuk melihat perdagangan manusia akibat dari
kasus Rohingya dari sudut pandang orang-orang yang berisiko menjadi
korban trafiking. ACTIP tersebut ditandatangani oleh sepuluh Negara
Anggota ASEAN pada 21 November 2015, setelah KTT ASEAN ke-27.
Tujuan dari Konvensi ini terdaftar sebagai: Untuk memastikan hukuman
yang efektif dari para pedagang manusia sambil mencegah dan memerangi
perdagangan manusia, terutama terhadap perempuan dan anak-anak;
Korban perdagangan manusia harus dilindungi dan dibantu dengan
penghormatan penuh terhadap hak asasi manusia mereka; Untuk mencapai
tujuan-tujuan ini, kerjasama antar pihak harus dipromosikan.
Dalam hal ini AICHR tidak selalu berjalan mulus dengan apa yang
dikerjakan, sesuai dengan data yang didapatkan dan juga analisa terdapat
beberapa hambatan yang mempersulit AICHR dalam menyelesaikan kasus
tersebut. Pertama berkaitan dengan legitimasi AICHR serta mekanisme
proteksi yang lemah, tidak berhaknya untuk melakukan investigasi, tidak
berhak untuk datang langsung ke negara lain, dan tidak ada pembahasan
128
Wawancara dengan Dinna Wisnu, 21 Agustus 2018, di Gedung PTRI ASEAN Jakarta.
63
yang berkaitan dengan situasi negara, membuat AICHR juga tidak dapat
menghukum atas pelanggaran HAM yang terjadi di negara-negra anggota
ASEAN terutama dalam hal ini kasus Rohingya. Akibatnya penyelesaian
kasus tersebut dilakukan dengan strategi seperti diatas seperti dilakukan
dalam tingkat dialog, seminar, workshop ataupun pertemuan seperti diatas.
Mandat dan wewenang AICHR juga sudah dijelaskan sebagai
promosi dan perlindungan HAM membuat masih terbatasnya gerakan bagi
AICHR. AICHR tidak memiliki mandat investigatif dan koersif yang
membuat pelanggaran HAM di kawasan ASEAN tidak dapat dimasuki
AICHR. AICHR tidak dapat melakukan tindakan yang lebih dalam
menangani permasalahan HAM di Rohingya, Myanmar. Minimnya
tindakan dari perjanjian yang telah dicapai dalam ASEAN menyebabkan
ketidak optimalan kerjasama tersebut129
.
Hambatan lain yaitu dengan adanya eskalasi konflik di Myanmar,
semakin meningkatnya permasalahan di Myanmar semakin sulit bagi
AICHR untuk membantu menangani permasalahan Rohingya di Myanmar
hal ini juga terkait dengan pengadaan seminar, workshop maupun edukasi
yang dilakukan AICHR, dengan mengingat legitimasi AICHR yang tidak
memeiliki wewenang yang tinggi dan cenderung sebagai lembaga
konsultan.
129 Tan Hsien Li, 2011, The ASEAN Inter-Govermental Commission on Human Right:
Institutionalishing Human Rights In Southeast Asia, Cambridge: Cambridge University Press, hal.4
64
Namun AICHR sampai saat ini tetap berusaha terus menerus untuk
menyelesaikan kasus HAM Rohingya di Myanmar dengan dilakukan
secara masif, juga memberi masukan kepada pemerintah Myanmar secara
buttom up (step by step) dengan mensosialisasikan prinsip-prinsip HAM di
masyarakat, agar semua bisa menghormati dan mempraktikan HAM dalam
kasus Rohingya di Myanmar. Setelah itu baru memetakan cara mengambil
hati Pemerintah Mynamar, dan mencari jalan keluar yang bisa diterima
oleh Mynamar pastinya dengan tetap menghargai kedaulatan negara
Myanmar tersebut. Tidak bisa dengan cara level up yang memaksa
langsung pemerintah Myanmar karena terbatas prinsip non-intervensi.
Maka dari itu selain strategi internal AICHR mempunyai strategi eksternal
untuk membantu menyelesaikan kasus tersebut.
B. Staretgi Eksternal AICHR
Strategi eksternal AICHR untuk menangani krisis hak asasi
manusia Rohingya di Myanmar, dilakukan dengan cara bekerjasama
dengan Organisasi Internasional lainnya maupun negara-negara anggota
ASEAN lainnya dalam menangani kasus tersebut. Pertama AICHR
melakukan kerjasama dengan Indonesia sebagai negara yang peduli akan
HAM dan negara yang dipercayai oleh Myanmar pada tahun 2017130
.
Lewat Indonesia AICHR juga bisa menawarkan solusi diplomatik dan
130
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-41160293 diakses 4 September 2018
Kendala dan kelemahan-kelemahan dalam menangani kasus
Rohingya juga dirasakan dalam strategi eksternal ini seperti, tertutupnya
Myanmar terhadap negara-negara lain termasuk AICHR. Pemerintah
Myanmar memilih untuk menutup diri dari ASEAN yang berdampak pada
keterbatasan peran yang dapat dilakukan oleh AICHR. Bahkan dalam
negosiasi pun saran-saran yang telah disampaikan dan dipertimbangkan
bersama oleh anggota AICHR seakan-akan tidak diperhitungkan sama
sekali. Padahal Myanmar merupakan anggota tetap dari AICHR itu
sendiri133
.
Dengan sikap pemerintah Myanmar dalam menjalankan politik
dalam negerinya mempersulit AICHR untuk bisa membantu memberikan
bantuan pemahaman dan negosiasi penanganan korban HAM. Karena
prinsip non intervensi membuat AICHR tidak bisa memaksakan Myanmar
untuk bertindak sesuai kesepakatan bersama anggota dalam menangani isu
HAM di negaranya kecuali pemerintahan Myanmar membuka diri dalam
negosiasi dan forum AICHR. Hal ini juga dipengaruhi oleh demokrasi dan
tumbuhnya akan kesadaran HAM di negara-negara ASEAN, perbedaan
politik juga mempengaruhi adanya perbedaan pendapat dalam
pengambilan keputusan134
.
Selain itu strategi eksternal AICHR yang kedua juga bisa
melakukan kerjasama dengan organisassi internasional lainnya dalam
133
Wawancara dengan Dinna Wisnu, 21 Agustus 2018, di Gedung PTRI ASEAN Jakarta. 134 Saputri, PERAN ASEAN Intergovernental Commission Of Human Rights (AICHR) DALAM
MENEGAKKAN HAK ASASI MANUSIA DI KAWASAN NEGARA ANGGOTA ASEAN 1 Februari 2014).
67
menangani kasus Rohingya dengan begitu AICHR tidak langsung andil
dan menentang asas non-intervensi namun bisa melalui pihak ketiga dari
luar ASEAN. Organisasi internasional tersebut seperti: United Nations
(UN), the United Nations High Commissioner for Human
Rights (OHCHR), the UN Children’s Fund (UNICEF), International
Labour Organization (ILO), the UN Development Programme (UNDP),
the UN High Commissioner for Human Rights (UNHCR).
Dalam hal ini contoh kerjasama yang diambil ialah antara AICHR
dengan UNHCR dalam menangani permasalahan dan pengungsi di
Myanmar yang saat ini telah terjalin dan dilakukan bersama. UNHCR
membantu AICHR dalam menawarkan norma dan meyakinkan dunia
internasional bahwa setiap negara beradab akan mengesampingkan
kepentingan atau kedaulatan demi kemanusiaan135
. Terbentuknya Bangkok
Summit 2015 sebagai salah satu contoh dalam menangani kasus tersebut,
dihadiri oleh negara-negara anggota, UNHR dan NGO yang berbasis
kemanusiaan. Konsensus ini bertujuan mengkaji negara-negara ASEAN
dalam permasalahan migran dan HAM dengan kasus utama Rohingya136
.
Selain itu juga menjadi salah satu kolega ASEAN dalam mempromosikan
nilai-nilai hak asasi manusia yang harus diperjuangkan dan dilindungi
terkait dengan bagian strategi eksternal dalam menyelesaikan kasus
Rohingya.
135
Annisa Wuryandari, 2017, Dilema ASEAN Way dalam Penanganan Pencari Suaka Rohingya di Asia Tenggara, Jurnal of International Relations, Volume 3 Nomor 2 136
Annisa Wuryandari, 2017, Dilema ASEAN Way dalam Penanganan Pencari Suaka Rohingya di Asia Tenggara, Jurnal of International Relations, Volume 3 Nomor 2
68
Strategi eksternal yang ketiga ialah dengan kerjasama oleh ASEAN
Coordinating Center for Humanitarian Assistance on Disaster
Management (AHA Center) yang merupakan badan inter-pemerintah
organisasi ASEAN yang di bentuk pada tanggal 17 November 2011 dalam
KTT ASEAN di Bali bertujuan untuk menanggulangi bencana yang terjadi
di ASEAN137
. AHA Center membantu dengan ikut lobby lewat jalur dari
masing-masing negara yang ingin membantu dalam kasus Rohingya
dengan mengatasnamakan humanitarian bukan HAM agar Myanmar tidak
merasa diintervensi oleh negara-negara tersebut yang dilaksanakan terus-
menerus sejak dibentuknya sampai pada tahun 2016 dan saat ini. Bantuan
yang disalurkan dari AHA Center ke Myanmar antara lain:138
tenda,
peralatan dan perlengkapan rumah tangga, peralatan pencahayaan dan
yang lainnya. Hal ini merupakan tindak lanjut dari upaya Menteri Luar
Negeri Indonesia yaitu Retno L.P. Marsudi agar ASEAN dapat dilibatkan
dalam bantuan kemanusiaan juga sebagai refleksi dari persahabatan dan
perhatian negara-negara ASEAN terhadap setiap anggotanya.
Dari semua strategi-strategi yang ada, baik eksternal maupun
internal seperti yang sudah disebutkan diatas yang menjadi hambatan
utama yaitu adanya prinsip non-intervensi. Selama negara-negara anggota
ASEAN memegang teguh pada prinsip non-interverence dalam kebijakan
137
www.kemlu.go.id/id/berita/Pages/Bantuan-Kemanusiaan-AHA-Center-untuk-Rakhine-State-Tiba -di-Myanmar.aspx diakses tanggal 6 September 2018 138
www.kemlu.go.id/id/berita/Pages/Bantuan-Kemanusiaan-AHA-Center-untuk-Rakhine-State-Tiba -di-Myanmar.aspx diakses tanggal 6 September 2018
dalam menangani isu HAM di ASEAN dikarekankan ASEAN masih
memegang teguh prinsip non-interverence sebagai prinsip dasarnya140
.
Sebagaimana Komisioner Indonesia untuk AICHR, Dinna Wisnu,
mengatakan bahwa 14 fungsi AICHR yang ada, hanya terdapat tiga (3)
fungsi yang bisa dikaitkan sebagai fungsi proteksi, dan fungsi tersebut
sifatnya tersembunyi dikarenakan peraturan perlindungan HAM di
ASEAN tidak menerima laporan pelanggaran HAM141
.
Di dalam ASEAN charter maupun ToR AICHR tidak mengatur
secara tegas mengenai pengecualian dalam melakukan campur tangan
terhadap negara saat terdapat pelanggaran HAM berat di negara tersebut.
Akibatnya komisi HAM yang bergerak pada penegakan kemanusiaan di
kawasan Asia Tenggara ini hanya menjadi hiasan dinding dan diabaikan
karena tugasnya sekedar promosi HAM. Mengingat prinsip non-
interverence di ASEAN telah sesuai dengan prinsip-prinsip dalam hukum
internasional, karena instrumen hukum internasional menyebutkan secara
eksplisit bahwa prinsip non-interverence merupakan salah satu prinsip
fundamental dalam hukum internasional142
.
140
Amitav Acharya. 2001. Constructing A Security Community In South-East Asia: ASEAN And The Problems of Regional Order. London and New York: Routledge 141
Association Of Southeast Asian Nations http://www.asean.org/asean/about asean/overview ,
di akses pada tanggal 20 agustus 2018 142 Heu Yee Leung, 2004, ASEAN and Human Rights The prospects of implementing aregional
mechanism for the promotion and protection ofhuman rights in Southeast Asia