Page 1
STATUS KEWARISAN ANAK PEREMPUAN BUNGSU DALAM ADAT
KEWARISAN DI KECAMATAN DARANGDAN KABUPATEN
PURWAKARTA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
Tajul Muttaqin
NIM: 107044100525
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI AHWAL AL-ASYAKHSIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1432H/2011M
Page 2
STATUS KEWARISAN ANAK PEREMPUAN BUNGSU DALAM ADAT
KEWARISAN DI KECAMATAN DARANGDAN KABUPATEN
PURWAKARTA
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
Tajul Muttaqin
NIM: 107044100525
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM
NIP. 195505051982031021
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI AHWAL AL-ASYAKHSIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1432H/2011M
Page 3
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul STATUS KEWARISAN ANAK PEREMPUAN BUNGSU DALAM ADAT
KEWARISAN DI KECAMATAN DARANGDAN KABUPATEN PURWAKARTA telah
diajukan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 19 Rajab 21 Juni 2011M. Skripsi ini telah diterima
sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi Ahwal
Syakhsiyyah (Peradilan Agama).
Jakarta, 21 Juni 2011M
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof.Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA, MM
NIP. 195 505 051 982 031 021
PANITIA UJIAN
1. Ketua : Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA
NIP. 195 003 061 976 031 001
2. Sekretaris : Hj. Rosdiana, MA
NIP. 196 906 102 003 122 001
3. Pembimbing : Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA, MM
NIP. 195 505 051 982 031 021
4. Penguji I : Dr. J.M. Muslimin, MA., Ph.D
NIP. 150 292 489
5. Penguji II : Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat, SH., MH
NIP. 196 911 211 994 031 001
Page 4
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata Satu (S1) di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 31 Mei 2011
TAJUL MUTTAQIN
Page 5
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah SWT, yang telah memberikan nikmat sehat dan
hidayah serta inayah, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan dan
penulisan skripsi. Salawat dan salam semoga selalu dilimpahkan Allah SWT kepada
Rasul-Nya, yakni Nabi Muhammad SAW serta seluruh keluarga, sahabat dan
pengikutnya sampai akhir zaman.
Dalam penyusunan dan penulisan skripsi ini, penulis mengucapkan sebesar-
besarnya atas keterlibatan semua pihak yang telah membantu menulis dan menyusun
skripsi ini dengan baik. Oleh karena itu, penulis sepatutnya mengucapkan terima
kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH,MA,MM., sebagai Dekan
Fakultas Syariah dan Hukum yang sekaligus menjadi dosen pembimbing skripsi
ini, yang telah mencurahkan tenaga dan pikirannya serta meluangkan waktunya
dalam penyusunan skripsi ini dari awal hingga akhir.
2. Bpk Drs. H. A. Basiq Djalil,SH,MA, dan Ibu Hj. Rosdiana, MA, Ketua dan
Sekretaris Jurusan Peradilan Agama dan Administrasi Keperdataan Islam.
Page 6
vii
3. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang tidak bisa disebutkan satu per
satu yang telah memberikan ilmunya kepada penulis, sehingga penulis dapat
menyelesaikan studi di kampus ini.
4. Bapak pimpinan dan staf karyawan perpustakaan utama, perpustakaan Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, dan
perpustakaan Iman Jama yang telah membantu dan menyediakan bahan-bahan
bacaan untuk penulis dalam penyusunan skripsi ini.
5. Ayahanda H. A. Jalaluddin Sayuti dan Ibunda Kuyum yang telah memberikan
dorongan, baik moril maupun materil dari awal hingga akhir penyusunan skripsi
ini. Tidak lupa kakanda Ujang Muklis, Dede Nurhidayat, Nunung Nurjamilah, Aep
Saepuloh, Ai Munawaroh, dan Elah Nurlaelah yang telah memberikan dorongan
dan semangat kepada penulis hingga penulis berhasil menyusun skripsi ini.
6. Bapak Asep Yayan, dan Sofyan, Kepala Desa dan Sekretaris Desa Kampung
Sukamaju, yang telah bersedia memberikan data-data kelurahan. Tak lupa kepada
masyarakat Kampung Sukamaju yang telah bersedia memberikan waktunya untuk
diwawancarai.
7. Rekan-rekan mahasiswa Jurusan Peradilan Agama Nurafifah Farah Diba, Fikri
Ibadurrahman, Ratna Khuzaimah, Jainul Amidin, Ahmad Syadhali, Lia Fitriani,
Nur Hidayat dan masih banyak lagi yang tidak bisa disebutkan satu per satu,
sehingga menimbulkan kesan tertentu kepada penulis.
Page 7
viii
8. Teman-teman Delima, yaitu: Desi Amalia, Laila Wahdah, Astrian Widiyantri,
Maryam Mahdalina, dan Mariah yang telah memberikan dorongan dan semangat
kepada penulis hingga penulis berhasil menyusun skripsi ini. Semoga persahabatan
kita ini berlangsung selamanya. Amin.
Atas segala bimbingan dan bantuan mereka penulis mendo’akan semoga
Allah SWT membalas dengan pahala yang berlipat ganda, Amin.
Semoga skripsi ini bermanfaat khususnya bagi penulis dan umumnya bagi
semua pihak. Segala kekeliruan dan kesalahan dalam penulisan skripsi ini merupakan
keterbatasan penulis. Mudah-mudahan Allah SWT senatiasa memberikan maghfirah
dan keridhoannya. Amin.
Ciputat, 29 Mei 2011
(Penulis)
Page 8
ix
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................ vi
DAFTAR ISI ....................................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ....................................................... 4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................................ 6
D. Kerangka Teori ......................................................................................... 7
E. Review Studi Terdahulu ........................................................................... 8
F. Metode Penelitian ..................................................................................... 9
G. Sistematika Penulisan ............................................................................... 12
BAB II PRINSIP UMUM HUKUM KEWARISAN ISLAM
A. Pengertian dan Dasar Hukum Waris ........................................................ 14
B. Rukun dan Syarat Waris ........................................................................... 20
C. Sebab Ada Hak Waris .............................................................................. 22
D. Derajat Ahli Waris ................................................................................... 22
E. Penghalang Memperoleh Hak Waris ....................................................... 25
F. Bagian Masing-masing Ahli Waris .......................................................... 28
Page 9
x
BAB III WARIS RUMAH ANAK BUNGSU PEREMPUAN DI KAMPUNG
SUKAMAJU DALAM KONTEKS HUKUM ISLAM
A. Letak dan Geografisnya ........................................................................... 37
B. Sistem Kemasyarakatan, Adat Istiadat dan Kebudayaan ......................... 38
C. Konsep Kewarisan Rumah Pusaka Bagi Anak Bungsu Perempuan ........ 42
D. Radius Pengaruh Sistem Kewarisan Kampung Sukamaju ........................ 46
E. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Kewarisan Adat Kampung Sukamaju.. 48
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan .............................................................................................. 53
B. Saran-saran ............................................................................................... 54
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 55
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Page 10
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setiap manusia pasti mengalami peristiwa kelahiran dan akan mengalami
kematian, peristiwa kelahiran seseorang tentu akan menimbulkan akibat-akibat
hukum. Seperti timbulnya hubungan hukum dengan masyarakat sekitar dan
timbulnya hak dan kewajiban pada dirinya. Peristiwa kematian pun akan
menimbulkan akibat hukum kepada orang lain, terutama kepada pihak keluarga
dan pihak-pihak tertentu yang ada hubungan dengan si mayat semasa hidupnya.1
Demikian juga kematian seseorang membawa pengaruh dan akibat
hukum, selain itu kematian menimbulkan kewajiban orang lain bagi si mayat
yang berhubungan dengan pengurusan jenazah. Kematian seseorang
mengakibatkan timbul cabang ilmu hukum yang menyangkut bagaimana cara
pengoperan atau penyelesaian harta peninggalan kepada keluarga (ahli waris),
yang dikenal dengan nama hukum waris.2
Sistem waris merupakan salah satu sebab atau alasan adanya perpindahan
kepemilikan, yaitu berpindahnya harta benda dan hak-hak material dari pihak
yang mewariskan (muwarits) yang meninggal dunia. Kemudian harta waris akan
1 Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqih Mawaris Hukum Kewarisan Islam,
(Jakarta: Gaya Media Pratama, November 2002), h.13.
2 Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqih Mawaris Hukum Kewarisan Islam, h. 1.
Page 11
2
berpindah kepada para penerima warisan (waratsah) dengan jalan pergantian
yang didasarkan pada hukum syara’.3
Dalam penulisan skripsi ini, penulis akan fokus pada masalah bagian anak
perempuan dalam memperoleh harta warisan. Seperti yang kita ketahui, bahwa
anak perempuan mendapatkan warisan 2:1 dengan anak laki-laki. Dengan adanya
perbedaan bagian waris tersebut, Allah SWT telah menetapkan hukum waris
dengan hikmah dan tujuan tertentu di dalamnya. Dia telah menentukan
pembagian di antara ahli waris dengan sebaik-baik pembagian dan yang paling
adil.4
Alasan dan hikmah dari perbedaan sistem waris antara anak laki-laki dan
anak perempuan adalah: Pertama, perempuan tidak diwajibkan memberi nafkah
kepada siapa pun di dunia ini. Kedua, perempuan tidak diwajibkan untuk
membayar mahar melainkan orang yang menerima mahar dari calon suaminya.
Ketiga, perempuan tidak diwajibkan menyediakan tempat tinggal, memberi
makan, minum, dan sandang kepada keluarganya.5 Ketentuan-ketentuan Syariat
yang ditunjuk oleh nash-nash yang sharih termasuk di dalamnya masalah
pembagian warisan, selama tidak ada dalil (nash) lain yang menunjukkan
3 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Mesir, Ahkamul-Mawaarits fil-Fiqhil-Islam,
(Mesir: Maktabah ar-Risalah ad-Dauliyyah, 2000), h. 1.
4 Asy-Syaikh Muhammad bin Saleh Al-Utsaimin, Ilmu Mawaris Metode Praktis Menghitung
Warisan dalam Syariat Islam, (Tegal Jateng: Ash-Shaf media, Mei 2007), h. 1.
5 http://luk.staff.ugm.ac.id/kmi/islam/Waris/Penjelasan.html.
Page 12
3
ketidakwajibannya merupakan suatu keharusan yang patut dilaksanakan oleh
seluruh umat Islam.6
Ilmu faraidh juga merupakan suatu ilmu yang harus dipelajari oleh umat
manusia, karena ilmu faraidh sangat membantu untuk menyelesaikan masalah-
masalah yang timbul dalam pembagian harta waris. Dalam hal ini, Nabi
Muhammad SAW memerintahkan kepada kita agar belajar dan mengajarkan
ilmu faraidh. Perintah tersebut berisi perintah wajib, hanya saja kewajiban belajar
dan mengajarkannya itu gugur bila ada sebagian orang yang telah
melaksanakannya. Tetapi jika tidak ada seorangpun yang mau melaksanakannya,
orang-orang Islam semuanya menanggung dosa, karena melalaikan suatu
kewajiban.7
Wujud warisan atau harta peninggalan menurut hukum Islam sangat
berbeda dengan wujud warisan menurut hukum waris Barat sebagaimana diatur
dalam Burgerlijk Weetbook (BW) maupun menurut hukum waris adat. Warisan
atau harta peninggalan menurut hukum Islam adalah sejumlah harta benda serta
segala hak dari yang meninggal dunia dalam keadaan bersih. Dalam artian bahwa
harta peninggalan yang akan diwariskan oleh si mayat kepada ahli waris adalah
sejumlah harta benda serta segala hak setelah dikurangi dengan pembayaran
hutang-hutang pewaris dan pembayaran-pembayaran lain yang diakibatkan oleh
6 Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqih Mawaris Hukum Kewarisan Islam, h.13.
7 Fatchur Rahman, Ilmu Waris (Bandung: PT Alma’arif), h. 35.
Page 13
4
wafatnya si peninggal waris.8 Wujud harta peninggalan menurut hukum perdata
Barat yang tercantum dalam Burgerlijk Weetbook (BW) yaitu meliputi seluruh
hak dan kewajiban dalam lapangan hukum harta kekayaan yang dapat dinilai
dengan uang.9
Jadi harta peninggalan yang akan diwarisi oleh para ahli waris tidak
hanya meliputi hal-hal yang bermanfaat berupa keuntungan, melainkan juga
termasuk hutang-hutang si pewaris.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Agar penelitian ini lebih akurat dan terarah sehingga tidak menimbulkan
masalah baru serta pelebaran secara meluas, penulis akan membatasi
permasalahan ini pada “Status Kewarisan Anak Perempuan Bungsu Dalam
Adat Kewarisan Rumah Di Kampung Sukamaju Desa Darangdan Kecamatan
Darangdan Kabupaten Purwakarta” .
2. Perumusan Masalah
Baik dalam Al-Qur’an atau Hadits, tidak ada yang menjelaskan tentang
keistimewaan bagi anak perempuan bungsu dalam memperoleh harta waris,
8 Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW, (Bandung:
PT. Refika Aditama, Juni 2007), h. 13.
9 R. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Indonesia, 1977), h. 78.
Page 14
5
tetapi hal tersebut berbeda dengan kenyataannya, karena pembagian waris yang
terjadi di kampung Sukamaju antara teori dan praktek berbeda.
Perbedaan proses pembagian harta waris yang terjadi di kampung
Sukamaju akan terlihat jelas apabila anak perempuan yang menjadi bungsu.10
Apabila anak laki-laki yang menjadi bungsu, maka rumah pusaka dibagi 2
dengan anak perempuan yang jarak kelahiran lebih dekat dengan anak bungsu
laki-laki.
Untuk memperjelas masalah ini, maka dirumuskan masalah-masalah
penelitian ini sebagai berikut:
1. Bagaimana konsep pembagian warisan yang terjadi di kampung Sukamaju?
2. Bagaimana pengaruh anak perempuan bungsu mengenai hal pembagian
rumah dalam kewarisan?
3. Apakah perbedaan sistem pembagian warisan rumah tidak berpengaruh
terhadap kerukunan ahli waris?
Dengan pembatasan dan perumusan masalah di atas, diharapkan skripsi
ini dapat menjelaskan sesuai dengan tema yang penulis ambil, yaitu “Status
Kewarisan Anak Perempuan Bungsu Dalam Adat Kewarisan Rumah.”
10 Anak bungsu perempuan: Apabila yang menjadi anak bungsu perempuan maka rumah
warisan secara keseluruhan akan diberikan kepadanya, hal ini disebabkan apabila orang tuanya itu
dalam keadaan sakit atau lanjut usia, maka anak bungsu perempuan mempunyai peranan yang lebih
dibandingkan dengan anak laki-laki maupun anak perempuan lainnya. Peranan lebih anak bungsu
perempuan tersebut yaitu selain mengurus orang tuanya ketika sakit atau lanjut usia, maka sementara
ia akan bertempat tinggal dengan orang tuanya meskipun sudah menikah dan mempunyai rumah.
Page 15
6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Seiring dengan pembatasan dan perumusan masalah di atas, maka yang
akan menjadi tujuan dari penelitian skripsi ini adalah:
a. Sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Syariah pada
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
b. Untuk mengetahui tentang alasan-alasan sistem pembagian warisan yang
berada di kampung Sukamaju.
c. Untuk mengetahui apakah dalam sistem pembagian warisan yang terjadi di
kampung Sukamaju bertentangan dengan Hukum Islam atau tidak.
2. Manfaat Penelitian
Adapun kegunaan dari pembahasan skripsi ini adalah sebagai berikut:
a. Agar penelitian ini menjadi sangat penting dan bermanfaat bagi peningkatan
kesadaran hukum kepada masyarakat khususnya mengenai tatacara
pembagian warisan.
b. Bagi masyarakat pembaca umumnya dan mahasiswa khususnya, tulisan ini
diharapkan supaya menjadi salah satu sumber bacaan yang dapat
dipertimbangkan dalam memecahkan masalah yang relevan.
c. Untuk memperkaya khazanah ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang
hukum yang menyangkut hal pembagian harta warisan.
Page 16
7
D. Kerangka Teori
Indonesia dengan latar belakang yang beraneka ragam dalam hal budaya
yang berbeda-beda antara daerah satu dengan daerah lain, perbedaan tersebut
menyatu dalam satu wadah, yaitu Bhineka Tunggal Ika. Hukum adat waris di
Indonesia sangat dipengaruhi oleh prinsip garis keturunan yang berlaku pada
masyarakat yang bersangkutan, prinsip-prinsip garis keturunan terutama
berpengaruh terhadap penetapan ahli waris maupun bagian harta peninggalan
yang diwariskan.11
Selain itu, hukum waris adat juga meliputi aturan-aturan dan
keputusan-keputusan hukum yang bertalian dengan proses penerusan/pengoperan
dan peralihan/perpindahan harta-kekayaan dari generasi ke generasi.12
Dalam masyarakat adat berlaku sebuah hukum atau norma yang mengatur
kehidupan masyarakat, termasuk dalam hukum waris. Hukum waris sangat erat
kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia, karena setiap manusia pasti
mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian.13
Di Indonesia masih
terdapat beraneka ragam hukum kewarisan yang berlaku di lingkungan
masyarakat, adapun perbedaannya itu adalah:
1. Hukum kewarisan Islam yang diatur dalam Al-Qur’an dan Hadits yang
dipahami oleh para ulama dalam bentuk fiqih.
11
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: CV.Rajawali, Oktober 1981), h. 285
12
Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, (Yogyakarta: Liberty, 1981), h. 151.
13
Soepono, Bab-bab tentang Hukum Adat (Jakarta: Penerbitan Universitas), 1996, h. 72.
Page 17
8
2. Hukum perdata Barat yang dimuat dalam Burgerlijk Weetbook (BW).
3. Hukum kewarisan adat yang beraneka ragam.14
Hukum waris yang berlaku di Indonesia dewasa ini masih tergantung
pada hukumnya si pewaris. Pengertian dari hukumnya si pewaris adalah hukum
waris mana yang berlaku bagi orang yang meninggal dunia. Oleh karena itu,
apabila yang meninggal dunia atau pewaris termasuk golongan penduduk
Indonesia, maka yang berlaku adalah hukum waris adat.
E. Review Studi Terdahulu
Sebelumnya penulis sedikit kesulitan untuk mendapatkan review yang
benar-benar sama dengan judul skripsi ini, akan tetapi penulis menemukan sebuah
skripsi yang sekiranya dapat dijadikan sebagai studi review, yaitu:
1. Judul: Tinjauan Hukum Islam Terhadap Kewarisan Adat Masyarakat kampung
Naga di Tasikmalaya.
Penulis: Aris Riansyah (104044101392)/SAS/PA/1430H/2009M
Dalam skripsi yang ditulis oleh Aris Riansyah hanya menjelaskan
tentang tinjauan hukum Islam terhadap kewarisan adat kampung Naga.
Sedangkan dalam skripsi yang penulis bahas menitik beratkan kepada hak anak
perempuan dalam menerima rumah pusaka.
14 Aris Riansyah, Adat Masyarakat Kampung Naga di Tasikmalaya, (Skripsi SI Fakultas
Syariah dan Humum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta: 1430H/2099M), h.3.
Page 18
9
2. Judul: Bagian Cucu Dalam Kewarisan Perspektif Fiqih Syafi’i, Ajaran
Bilateral Hazairin dan Ahli Waris Pengganti dalam Kompilasi Hukum Islam
(KHI).
Penulis: Ma’min Barry (104044201471)/SAS/AKI/1429H/2008M.
Skripsi ini menjelaskan tentang bagian cucu dalam kewarisan Perspektif
Fiqih Syafi’i, Ajaran Bilateral Hazairin Dan Ahli Waris Pengganti Dalam
Kompilasi Hukum Islam. Skripsi yang penulis bahas memang berkaitan
dengan masalah kewarisan, akan tetapi pembahasannya terfokus pada
pengaruh anak perempuan bungsu terhadap pembagian rumah pusaka dalam
kewarisan.
3. Judul: Studi Komparatif Mengenai Hak Anak Luar Kawin Dalam Kewarisan
Menurut Hukum Islam dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW).
Penulis: Nida Nur Aida (103044128038)/ SAS/PA/1430H/2009M
Skripsi ini mengkaji tentang Hak Anak Luar Kawin Dalam Kewarisan
Menurut Hukum Islam dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW).
Perbedaan dengan skripsi ini adalah pada masalah pembahasannya, penulis
menjelaskan tentang pengaruh/kedudukan anak perempuan dalam masalah
pembagian warisan.
F. Metode Penelitian
Untuk menghasilkan data yang valid, maka metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah:
Page 19
10
1. Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah dalam penelitian ini adalah dengan cara
menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu dengan memusatkan perhatian pada
prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan satuan-satuan gejala dalam
kehidupan manusia.15
Adapun jenis penelitian yang digunakan adalah studi kasus, yaitu
penelitian yang pada umumnya bertujuan untuk mempelajari secara mendalam
suatu individu, kelompok, institusi atau masyarakat tertentu tentang latar
belakang, keadaan/kondisi, faktor-faktor atau interaksi-interaksi sosial yang
terjadi di dalamnya.16
Selain pendekatan masalah di atas, maka dalam penulisan skripsi ini
saya menggunakan penelitian hukum normatif, yaitu penelitian terhadap azaz-
azaz hukum.17
Penelitian hukum normatif ini selain mencakup terhadap azaz-
azaz hukum, akan tetapi penelitian hukum normatif melakukan penelitian
dengan cara perbandingan hukum, dan dalam penulisan skripsi ini juga, saya
menggunakan penelitian hukum sosiologis atau empiris yang terdiri dari
penelitian terhadap identifikasi hukum (tidak tertulis).18
15
Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), hl. 20.
16
Bambang Sanggona, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003),
h. 36.
17 Bambang Sanggona, Metode Penelitian Hukum, h. 184.
18
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta:UI-press, 1986), h. 51.
Page 20
11
2. Lokasi Penelitian
Kampung Sukamaju Desa Darangdan Kecamatan Darangdan
Kabupaten Purwakarta.
3. Sumber Data
a. Data Primer
Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari
masyarakat.19
Data ini meliputi interview dengan beberapa tokoh
masyarakat yang dianggap mengetahui adat kampung Sukamaju dan kepala
Desa setempat.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan cara
membandingkan atas dokumen-dokumen yang berhubungan dengan
masalah yang diajukan, dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil
penelitian yang berwujud laporan,20
selain itu data sekunder juga dapat
berupa Al-Qur’an, Hadis, buku-buku ilmiah, Kompilasi Hukum Islam
(KHI), serta peraturan-peraturan lain yang erat kaitannya dengan masalah
yang diajukan.
4. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu dilakukan dengan cara:
19
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, h. 51.
20 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, h. 12.
Page 21
12
a. Wawancara (Interview), yaitu percakapan dengan maksud tertentu yang
dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara mengajukan pertanyaan dan
yang diwawancarai memberikan jawaban atas pertanyaan itu.21
Dalam hal
ini, penulis mengadakan wawancara dengan informan yaitu: kepala Desa
Darangdan dan tokoh masyarakat setempat.
b. Dokumenter dan bahan pustaka yang berkaitan dengan masalah penelitian.
5. Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini dengan menggunakan metode
deskriptif kualitatif, yaitu menganalisa dengan cara menguraikan dan
mendeskripsikan hasil wawancara yang diperoleh. Sehingga didapat suatu
kesimpulan yang objektif, logis, konsisten dan sistematis sesuai dengan tujuan
yang dilakukan penulis dalam penelitian ini.
6. Teknik Penulisan
Data penulisan skripsi ini, penulis mengacu kepada buku pedoman
Penelitian Skripsi, Tesis, dan Disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
G. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan Skripsi , untuk mempermudah dalam memahami, maka
penulis membagi isi Skripsi ini menjadi lima bab, tiap bab didalamnya terdiri dari
beberapa sub bab. Adapun sistematika penulisannya adalah sebagai berikut:
21
Lexy. J. Moloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, ( Bandung: Remaja Rosdakarya,
2004), h. 135.
Page 22
13
BAB Pertama :
Menjelaskan tentang latar belakang masalah, pembatasan
dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
kerangka teori, review studi terdahulu, metode penelitian
serta sistematika penulisan.
BAB Kedua : Menjelaskan tentang hal-hal yang berhubungan dengan
kewarisan, yaitu: Pengertian dan dasar hukum waris, rukun
dan syarat waris, sebab ada hak waris, derajat ahli waris,
penghalang memperoleh hak waris, dan bagian masing-
masing ahli waris.
BAB Ketiga : Letak dan geografisnya, sistem kemasyarakatan, adat
istiadat dan kebudayaan, konsep kewarisan rumah pusaka
bagi anak bungsu perempuan, dan tinjauan hukum Islam
terhadap kewarisan adat kampung Sukamaju.
BAB Keempat : Dalam bab keempat terdapat kesimpulan dan saran-saran
yang berhubungan dengan pelaksanaan kewarisan, penulis
juga melampirkan daftar pustaka dan lampiran-lampiran.
Page 23
14
BAB II
PRINSIP UMUM HUKUM KEWARISAN ISLAM
A. Pengertian dan Dasar Hukum Waris
1. Pengertian Hukum Waris
Waris berasal dari bahasa Arab warisa-yarisu-warisan atau irsan/turas,
yang berarti mempusakai. Ketentuan-ketentuan tentang pembagian harta pusaka
yang meliputi ketentuan tentang siapa yang berhak dan tidak berhak menerima
warisan dan berapa jumlah masing-masing harta yang diterima. Selain itu ada
juga istilah yang sama artinya dengan waris yaitu fara‟id.1
Lafaz al-Farâidh (الفرائض) , sebagai jamak dari lafaz faridhah (فريضة) ,
oleh ulama diartikan semakna dengan lafaz mafrudah (مفروضة) , yakni bagian
yang telah dipastikan atau ditentukan kadarnya.2 Wahbah al-Zuhaily dalam
kitabnya al-Fiqh al-Islamy Wa Adillatuh mendefinisikan bahwa fiqh mawaris
adalah:
.3
Artinya: “Kaidah-kaidah fiqh dan hitungan-hitungannya yang dari kaidah-
kaidah itu diketahui bagian dari harta pusaka untuk setiap ahli waris”.
1 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve,
1999), Cet. Keenam, Jilid Ke-5, h. 191.
2 Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqih Mawaris Hukum Kewarisan Islam,
(Jakarta: Gaya Media, November 2002M/Ramadhan 1423H), Cet. Kedua, h. 13.
3
Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islamy Wa Adillatuh, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1989), h. 243.
Page 24
15
Sedangkan Hasbi al-Shiddieqy mendefinisikan fikih mawaris sebagai
ilmu yang mempelajari tentang orang-orang mawaris dan tidak mewarisi, kadar
yang diterima setiap ahli waris dan cara pembagiannya.4
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian
dari fiqih mawaris adalah ilmu yang mempelajari tentang siapa yang termasuk
ahli waris, bagian-bagian yang diterima, dan cara penghitungannya.
2. Dasar Hukum Waris
Sumber hukum waris (ilmu faraidh) adalah al-Qur’an, Sunnah Nabi
Muhammad SAW, dan Ijma’ para ulama.5
a. Al-Qur’an
Di dalam Al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang dijadikan sebagai
dasar hukum waris,6 adapun ayat Al-Qur’an yang dijadikan sebagai sumber
hukum waris itu adalah:
Firman Allah yang pertama, menjelaskan bahwa anak laki-laki dan
perempuan masing-masing mendapat hak dari harta yang ditinggalkan orang
tua dan kerabat, banyak atau sedikitnya bagian mereka sesuai yang telah
ditetapkan oleh Allah SWT, seperti yang tercantum di dalam surat an-Nisa’
(4):7 berikut ini:
4 Muhammad Hasbi al-Shiddieqy, Fiqh Mawaris (Semarang: Pustaka Rizki Purta, 1999), h. 6.
5 Otje Salman dan Mustofa Haffas, Hukum Waris Islam, (Bandung: PT RefikaAditama, 2002),
Cet. Pertama, h. 3.
6
Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Mesir, diterjemahkan oleh Addys Aldizar
dan Faturrahman, Hukum Waris, (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, Maret 2004), Cet. Pertama, h.
13.
Page 25
16
Artinya: “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-
bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari
harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak
menurut bahagian yang telah ditetapkan”. (Qs.an-Nisa/4/14)
Ayat kedua, menjelaskan tentang bagian-bagian anak laki-laki dan
perempuan serta bagian ayah dan ibu (al-furu‟ dan al-ushul), seperti yang
termaktub dalam firman Allah SWT dalam surat an-Nisa’ (4):11
Artinya: “Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)
anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian
dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih
dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika
anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan
untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta
yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang
yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya
(saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu
mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam.
(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia
buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan
anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih
dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (Qs.an-
Nisa/4/11)
Page 26
17
Ayat ketiga, menjelaskan tentang bagian untuk suami-istri dan anak-
anak ibu (saudara seibu bagi si mayat) laki-laki maupun merempuan, hal ini
dijelaskan dalam firman Allah SWT dalam surat an-Nisa’ (4):12
Artinya: “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan
oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu
itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang
ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan)
seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang
kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai
anak, Maka Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu
tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah
dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun
perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak,
tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang
saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis
saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih
dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah
dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya
dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan
yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah
Maha mengetahui lagi Maha Penyantun”. (Qs.an-Nisa/4/12)
Page 27
18
Ayat keempat, yaitu menjelaskan tentang bagian untuk saudara laki-
laki ataupun perempuan, sebagaimana yang tercantum dalam firman Allah
SWT dalam surat an-Nisa’ (4):176
Artinya: “Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah:
"Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang
meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara
perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta
yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh
harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika
saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari
harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris
itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, Maka bahagian
seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara
perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak
sesat. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu”. (Qs.an-Nisa/4/176)
b. Sunnah Nabi Muhammad SAW
Selain al-Qur’an, terdapat pula sumber lain dalam masalah
pembagian harta waris, yaitu sunnah (hadits) Nabi Muhammad SAW,
adapun hadits Nabi SAW yang dijadikan sebagai sumber hukum dari
warisan adalah:
1. Hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas r.a:
Page 28
19
Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu „Abbas r.a bahwa Nabi SAW. pernah
bersabda: berikanlah harta warisan kepada orang-orang yang berhak,
sesudah itu, sisanya yang lebih utama adalah anak laki-laki”. (HR.
Bukhari dan Muslim)
2. Hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Jabir, yang menjelaskan tentang
bagian anak perempuan dan saudara laki-laki.
Artinya: “Diriwayatkan dari Jabir berkata: telah datang istri Sa‟ad bin
ar-Rabi‟ kepada Rasulullah SAW, dengan dua orang anak perempuan
Sa‟ad dia berkata: “Wahai Rasulullah, ini adalah dua orang anak
perempuan Sa‟ad bin ar-Rabi‟ yang ayahnya meninggal dunia dalam
keadaan syahid ketika perang uhud bersamamu, sedangkan paman
mereka telah mengambil seluruh harta peninggalannya, sehingga mereka
tidak ditinggali harta sedikit pun, dan mereka tidak dapat menikah bila
tidak mempunyai harta”, maka Rasulullah menjawab: “Allah-lah yang
akan memutuskan perkara tersebut” lalu turunlah ayat-ayat tentang
waris. Setelah itu, Rasulullah SAW mengutus sahabat untuk menemui
paman mereka, lalu beliau berkata: “Berikanlah dua orang anak Sa‟ad
dua pertiga, ibu mereka seperdelapan, dan sisanya untuk kamu”. (HR. al-
Khamsah kecuali al-Nasa‟i)
3. Hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh ‘Ubadah tentang bagian nenek
7
Abu Husain Muslim bin Hajjaj bin Muslim al-Qusyairy al-Naisaburi, Sahih Muslim, Juz II,
(Riyadh: Dar al-Salam,1999), hadits 4141, h. 705.; Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim
bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Ju’fiy al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, (Kairo: Maktabah al-
Taufiqiyyah.; Juz IV, hadits 6732, h. 233.
8
Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, Juz III/367, hadits 14349, h. 980.; Abu
Dawud, Sunnah Abi Dawud, Juz III, hadits 2891, h. 120.; al-Tirmidzi, Kutub al-Sittah/Sunan Tirmidzi,
hadits 2092, h. 1861.; Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Juz III, hadits 2720, h. 158.
Page 29
20
Artinya: “Diriwayatkan dari Ubadah bin ash-Shamit bahwa Nabi SAW
memberikan kepada dua orang nenek dari harta warisan sebesar
seperdelapan untuk mereka berdua”. (HR. Abdullah bin Ahmad)
c. Ijma’
Selain Al-Qur’an dan Hadits, ijma merupakan salah satu dasar
hukum pembagian harta waris, diantaranya adalah ijma’ sahabat dan thabi’in
bahwa hak waris untuk nenek adalah seperenam (hikayat Baihaqy dari
Muhammad bin Nashar dari mazhab Syafi’i).10
B. Rukun dan Syarat Waris
Dalam masalah pembagian harta waris terdapat rukun dan syarat yang
harus dipenuhi,11
adapun syarat dan rukunnya itu adalah:
1. Rukun Waris
Rukun waris adalah sesuatu yang harus ada untuk mewujudkan bagian
harta waris di mana bagian harta waris tidak akan ditemukan bila tidak ada
rukun-rukunnya. Adapun rukun untuk mewarisi ada tiga, yaitu:
9 Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, Juz V/327, hadits 23159, h. 1674.
10
al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuh, h. 246.
11
Fatchur Rahman, Ilmu Waris (Bandung: PT Alma’arif, tth), h 36.
Page 30
21
a. Muwarrits yaitu orang yang meninggal dunia, baik meninggal secara hakiki
maupun karena keputusan hakim12
dan harus memiliki harta yang dapat
diwarisi kepaad ahli waris (pewaris);
b. Mauruts yaitu harta benda yang ditinggalkan oleh muwarits (pewaris) yang
diwarisi kepada warits (ahli waris);13
dan
c. Warits yaitu oarang yang memiliki hubungan dengan muwarits (pewaris).
2. Syarat Waris
Syarat adalah sesuatu yang karena ketiadaannya tidak ada hukum.
Syarat untuk mewarisi ada tiga, yaitu:
a. Matinya muwarrits (orang yang mempusakakan), menurut para ulama
kematian muwarrits itu dibedakan kepada 3 (tiga) macam, yaitu:
1) Mati haqiqi yaitu kematian yang nyata disaksikan oleh panca indera (mati
sejati);
2) Mati hukmy yaitu kematian atas dasar keputusan atas vonis hakim atas
dasar beberapa sebab, seperti: orang yang hilang; dan
3) Mati taqdiri yaitu kematian berdasarkan dugaan keras, seperti: kematian
bayi dalam perut ibunya karena ibunya minum racun atau terjadi
pemukulan atas perut ibunya.14
12 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, h. 192.
13
Syaikh Muhammad Al-Utsaimin, Shahih Fiqih Wanita Menurut Al-Qu‟an dan As-Sunnah,
(Jakarta: Akbarmedia, Shafar 1431H/Januari 2010M), Cet. Ketiga, h. 486.
14
Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, Ahkamu al-Mawaris fi al-Sari’ati al-Islamiyyati ala
madahib al-Aimmati al-Arba’ah, (Sudan: 1416H/1996M), h. 13-14.
Page 31
22
b. Hidupnya ahli waris di saat kematian mruwarits (pewaris), dan
c. Tidak ada penghalang untuk mewarisi.15
C. Sebab Ada Hak Waris
Sebab seseorang mendapatkan hak waris ada tiga, yaitu:
1. Kerabat hakiki, yaitu antara pewaris dengan ahli waris ada hubungan nasabiyah,
seperti kedua orang tua, anak, saudara, paman, dan seterusnya.16
2. Perkawinan, yaitu terjadinya akad nikah secara legal antara seorang laki-laki
dan perempuan, sekalipun belum atau tidak terjadi hubungan intim
(bersanggama) antara keduanya. Adapun pernikahan yang batil atau rusak tidak
bisa menjadi sebab untuk mendapatkan hak waris.17
3. Al-Wala, yaitu kekerabatan karena sebab hukum, misalnya seperti sebab
memerdekakan budak.18
D. Derajat Ahli Waris
Tidaklah seluruh ahli waris itu berada di dalam suatu derajat yang sama,
akantetapi mereka berada di dalam derajat yang berbeda-beda. Dengan adanya
15 Fatur Rahman, Ilmu Waris, h. 50.
16
Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqih Mawaris Hukum Kewarisan Islam,
(Jakarta: Gaya Media, November 2002M/Ramadhan 1423H), Cet. Kedua, h. 30.
17
Asymuni A. Rahman dkk, Ilmu Fiqh 3, (Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana
IAIN Departemen Agama, 1986), h. 34.
18
Kama Rusdiana dan Jainal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: UIN Jakarta
Press, November 2007), Cet. Pertama, h. 55.
Page 32
23
perbedaan derajat ahli waris yang berbeda-beda maka di dalam pembagian harta
waris itu didahulukan berdasarkan derajat mereka masing-masing, adapun
susunannya adalah:
1. Ashabul furudh adalah para ahli waris yang mempunyai bagian tertentu yang
telah ditetapkan oleh syara’ (dalam Al-Qur’an), yang bagiannya itu tidak akan
bertambah atau berkurang, kecuali dalam masalah-masalah yang terjadi radd19
atau ‘aul.20
2. Ashabah nasabiah yaitu ahli waris karena adanya hubungan keturunan yang
terdiri dari asabah bi nafsihi (menjadi asabah dengan sendirinya), asabah bi al-
gair (menerima sisa harta waris karena perantara yang lain dalam hal hubugan
nasab), dan asabah ma‟a al-gair (menerima sisa harta waris beserta yang
lain).21
3. Raad atau penambahan bagi ashhabul furudh sesuai bagiannya (kecuali suami
istri) adalah mengembalikan sisa harta warisan kepada ashabul furud menurut
bagian yang ditentukan mereka ketika tidak adanya ashabah nasabiah.22
4. Dzawil arham yaitu orang yang ada hubungan kerabat dengan yang meninggal
dunia, tetap tidak termasuk ashabul furudh. Misalnya, paman (saudara ibu),
19 Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqih Mawaris Hukum Kewarisan Islam, h. 66.
20
Aul adalah bertambahnya saham dzawil furudh dan berkurangnya kadar penerimaan
warisan mereka atau bertambahnya jumlah bagian yang ditentukan dan berkurangnya bagian masing-
masing ahli waris.
21
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, h.192.
22
Moh. Muhibbin dan H. Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaharuan
Hukum Positif di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, Februari 2009), Cet. Pertama, h. 128.
Page 33
24
bibi (saudara ibu), bibi (saudara ayah), cucu laki-laki dari anak perempuan, dan
cucu perempuan dari anak perempuan, dan tidak juga masuk ahli waris
asabah.23
5. Radd kepada suami atau istri, apabila pewaris tidak mempunyai ahli waris yang
termasuk ashabul furudh, ashabah, dan tidak ada kerabat yang memiliki ikatan
rahim maka harta warisan tersebut seluruhnya menjadi milik suami atau istri.
Misalnya seorang suami meninggal tanpa memiliki kerabat yang berhak untuk
mewarisinya, maka istri mendapatkan bagian seperempat dari harta warisan
yang ditinggalkannya, sedangkan sisanya merupakan tambahan hak warisnya.
6. Ashabah Sababiah yaitu ahli waris karena memerdekakan orang yang
meninggalkan harta pusaka dengan status hamba. Misalnya, apabila ada
seorang bekas budak yang meninggal dan mempunyai harta warisan, maka
orang yang pernah memerdekakannya itu termasuk ke dalam salah satu ahli
waris dan sebagai ‘ashabah. Tetapi pada masa sekarang ini sudah tidak ada lagi.
7. Orang yang diberi wasiat lebih dari sepertiga harta peninggalan, yaitu apabila
orang yang meninggal tidak mempunyai ahli waris, dan tidak ada yang
diakukan nasab kepada orang lain, wasiat tersebut tetap dapat dilaksanakan
(bukan salah seorang dari ahli waris).24
23 Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Fiqih Wanita Edisi Lengkap, (Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar, April 2007), Cet. Kedua Puluh Empat, h. 533.
24
Dian Khairul Umam, Fiqih Mawaris, (Bandung: CV Pustaka Setia, April 2006), Cet.
Kedua, h. 56.
Page 34
25
8. Baitul maal, yaitu rumah harta atau semacam balai harta yang khusus
menerima, menyimpan dan mengatur harta umat Islam untuk kemanfaatan umat
Islam dan agama Islam.25
Harta waris diserahkan ke baitul maal apabila
seseorang yang meninggal tidak mempunyai ahli waris ataupun kerabat, maka
seluruh harta peninggalannya itu diserahkan kepada baitul maal guna untuk
kemaslahatan kaum Muslimin.26
E. Penghalang Memperoleh Hak Waris
Penghalang pewarisan adalah hal-hal, keadaan, atau pekerjaan yang
menyebabkan seseorang terhalang untuk mendapatkan haarta waris,27
padahal
dilihat dari syarat dan sebab memperoleh harta waris telah mencukupi.28
Adapun
penghalang untuk memperoleh harta waris adalah:
1. Pembunuhan
Jumhur fuqaha telah bersepakat bahwa pembunuh itu merupakan salah
satu penghalang untuk mendapatkan hak waris. Dengan demikian, seorang
25 Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, November
2008), Cet. Kedelapan, h. 100.
26
Muhammad Ali al-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, (Surabaya: al-Ikhlas, 1995),
h. 53.
27
Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqih Mawaris Hukum Kewarisan Islam, h. 32.
28
M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqhul Mawaris (Hukum-hukum Kewarisan dalam Syariat
Islam), (Jakarta: Bulan Bintang,1973), Cet. Pertama, h. 51.
Page 35
26
pembunuh tidak bisa mewarisi harta peninggalan orang yang telah
dibunuhnya29
.
Sabda Nabi Muhammad SAW:
Artinya: “Diriwayatkan dari „Amr ibn Syu‟aib dari Ayahnya dari Kakeknya
bahwa Nabi SAW. pernah bersabda: Seorang pembunuh tidak dapat mewarisi
harta sedikit pun”. (HR. Abu Dawud)
Dalam hadits yang lain Rasulullah SAW bersabda:
Artinya: “Diriwayatkan dari Sayidina „Umar r.a. berkata: Saya pernah
mendengar bahwa Nabi SAW. bersabda; Tidak ada hak bagi si pembunuh
untuk mewarisi”. ( HR. Malik, Ahmad, dan Ibnu Majah)
2. Berlainan Agama
Berlainan agama merupakan salah satu penghalang untuk mewarisi
dalam hukum waris. Dengan demikian, orang kafir tidak dapat mewarisi harta
orang Islam dan orang Islam pun tidak dapat mewarisi harta orang kafir.32
Hal
ini dijelaskan oleh sabda Nabi Muhammad SAW.
29 Komite Fakultas Syari’ah Universitas AL-Azhar Mesir, Hukum Waris, h. 56.
30
Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, juz IV, hadits 4564, h. 189.
31
Malik bin Anas, al- Muwaththo, (al- Maktabah al-Syamilah), hadits 3229.; Ahmad bin
Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, juz I/49, hadits 347, h. 52.; Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, juz
III.
32
Komite Fakultas Syari’ah Universitas AL-Azhar Mesir, Hukum Waris, h. 47.
Page 36
27
Artinya: “Diriwayatkan dari Usman ibn Zaid bahwa Nabi SAW. pernah
bersabda: Orang Islam tidak dapat mewarisi harta orang kafir dan orang kafir
pun tidak dapat mewarisi harta orang Islam”. (HR. Jma‟ah kecuali Muslim san
al- Nasa‟i)
Dalam hadits lain Nabi SAW bersabda:
Artinya: “Diriwayatkan dari Abdullah bin „Amir bahwa Nabi SAW. pernah
bersabda: Tidak dapat saling mewarisi dua orang pengikut agama yang
berbeda-beda”. (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah)
3. Perbudakan
Perbudakan dianggap sebagai penghalang waris-mewarisi ditinjau dari
dua sisi, baik statusnya sebagai orang yang mewarisi harta peninggalan maupun
sebagai orang yang mewariskan harta peninggalan. Sebab, ketika ia mewarisi
harta peninggalan dari ahli warisnya niscaya yang memiliki harta warisan
tersebut adalah tuannya. Budak pun tidak dapat mewariskan harta peninggalan
kepada ahli warisnya karena ia dianggap tidak mempunyai sesuatu, seandainya
ia mempunyai sesuatu maka kepemilikannya dianggap tidak sempurna
kemudian kepemilikannya tersebut beralih kepada tuannya.35
Adapun dasar
33 al-Bukhari, Shahih Bukhari, juz IV, hadits 6764, h. 240.; Ahmad bin Hanbal, Musnad
Ahmad bin Hanbal, juz V/200, hadits 22090, h. 1588.; al-Tirmidzi, Kutub al-Sittah/jami’ al-Tirmidzi,
hadits 2107, h. 1862.; Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, juz III, hadits 2909, h.; Ibnu Majah, Sunan Ibnu
majah, juz III, hadits 2729, h. 161.
34
Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, juz II/178, hadits 6664, h. 478.; Abi
Dawud, juz III, hadits 2911, h. 125.; Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, juz III, hadits 2731, h. 161.
35
Komite Fakultas Syari’ah Universitas AL-Azhar Mesir, Hukum Waris, h. 52.
Page 37
28
hukum budak tidak dapat waris-mewarisi adalah firman Allah SWT. Di dalam
Qs. Al-Nahl (16): 75
Artinya: “Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang
dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun dan seorang yang
Kami beri rezki yang baik dari Kami, lalu Dia menafkahkan sebagian dari rezki
itu secara sembunyi dan secara terang-terangan, Adakah mereka itu sama?
segala puji hanya bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tiada mengetahui”.
(Qs. . Al-Nahl/16/75)
F. Bagian Masing-masing Ahli Waris
Baik di dalam al-Qur’an maupun Kompilasi hukum Islam (KHI) telah
ditentukan bahwa ada enam macam bagian-bagian ahli waris, yaitu setengah (1/2),
seperempat (1/4), seperdelapan (1/8), dua pertiga (2/3), sepertiga (1/3), dan
seperenam (1/6).36
Adapun pembagiannya sebagai berikut:
1. Bagian Setengah (1/2)
Ahli waris yang berhak mendapatkan bagian setengah dari harta
peninggalan ada lima, yaitu: suami, anak perempuan, cucu perempuan dari anak
laki-laki, saudara perempuan sekandung, dan saudara perempuan seayah.
a. Suami
Seorang suami mendapatkan setengah harta apabila simayat tidak
meninggalkan anak, sebagaiman yang terdapat dalam Kompilasi Hukum
36Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqih Mawaris Hukum Kewarisan Islam, h. 66.
Page 38
29
Islam (KHI) pasal 179, yang berbunyi: “Duda mendapatkan separoh bagian,
bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak,
maka duda mendapat seperenam bagian”.37
b. Anak Perempuan
Anak perempuan berhak mendapatkan bagian setengah dari harta
warisan, apabila anak perempuan tersebut itu adalah anak tunggal dan
apabila pewaris tidak mempunyai anak laki-laki.38
Firman Allah SWT:
Artinya: “.....jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh
separuh harta.....”. (Qs. an-Nisa/4/11)
c. Cucu Perempuan dari Anak Laki-laki
Cucu perempuan mendapatkan setengah bagian apabila cucu tersebut
tunggal, tidak berbarengan dengan anak laki-laki maupun anak perempuan
pewaris, dan tidak ada cucu laki-laki dari anak laki-laki.39
d. Saudara Perempuan Sekandung (seayah/seibu)
Saudara perempuan sekandung (seayah/seibu) mendapatkan bagian
dari harta warisan apabila tidak ada saudara laki-laki sekandung, tidak ada
ahli waris keturunan si pewaris, tidak ada ahli waris leluhur si pewaris (ayah
37 Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: akademika Pressindo, 2007), Cet. Pertama, h. 158.
38
Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqih Mawaris Hukum Kewarisan Islam, h. 68.
39
Fatchur Rahman, Ilmu Waris (Bandung: PT Alma’arif), h. 174.
Page 39
30
atau kakek), dan saudara perempuan sekandung tersebut adalah saudara
tunggal. Firman Allah SWT:
Artimya: “Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah).40
Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika
seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai
saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua
dari harta yang ditinggalkannya.....”. (Qs.An-Nisa/4/176)
e. Saudara Perempuan Seayah
Saudara perempuan seayah akan mendapatkan bagian setengah dari
harta peninggalan pewaris, apabila tidak ada saudara sekandung, baik laki-
laki maupun perempuan, tidak ada saudara laki-laki seayah, tidak ada ahli
waris keturunan si pewaris, tidak ada ahli waris leluhur si pewaris (ayah atau
kakek), dan saudara perempuan seayah tersebut adalah saudara tunggal
(tidak ada saudara perempuan lainnya, baik sekandung maupun seayah).41
2. Bagian Seperempat (1/4)
Ahli waris yang berhak mendapatkan bagian seperempat dari harta
peninggalan hanya ada dua orang, yaitu:
a. Suami
40 Kalalah Ialah: seseorang mati yang tidak meninggalkan ayah dan anak.
41
Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqih Mawaris Hukum Kewarisan Islam, h. 68.
Page 40
31
Suami mendapat bagian seperempat apabial pewaris meninggalkan
anak,42
selain itu apabila si pewaris meninggalkan cucu laki-laki dari anak
laki-laki, dan cucu perempuan dari anak laki-laki.43
Firman Allah SWT:
Artinya: “.....jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat
seperempat dari harta yang ditinggalkannya.....”. (Qs. An-Nisa/4/12)
b. Istri
Istri merupakan salah-satu ahli waris yang mendapatkan bagian
seperempat dari harta waris si mayat, baik isteri berjumlah satu ataupun
lebih. Isteri mendapatkan bagian seperempat apabila tidak ada ahli waris
keturunan si mayat.
Artinya: “.....para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu
tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak.....”. (Qs. an-Nisa/4/12)
3. Bagian Seperdelapan (1/8)
Ahli waris yang mendapatkan seperdelapan harta peninggalan si mayat
hanya ada satu orang, yaitu istri (baik seorang maupun lebih). Istri
mendapatkan seperdelapan apabila si pewaris bersama-sama dengan ahli waris
keturunan si mayat (suami).
Firman Allah SWT:
42 Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: akademika Pressindo, 2007), Cet. Pertama, h. 158.
43
Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqih Mawaris Hukum Kewarisan Islam, h. 69.
Page 41
32
Artinya: “..... jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh
seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang
kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu.....”. (Qs. an-
Nisa/4/12)
4. Bagian Dua pertiga (2/3)
Ahli waris yang menerima bagian dua pertiga ada empat orang, yaitu:
a. Dua orang atau lebih anak perempuan akan mendapatkan bagian dua pertiga
apabila ia tidak bersama-sama dengan anak laki-laki.
b. Dua orang atau lebih cucu perempuan dari anak laki-laki mendapatkan
bagian dua pertiga harta waris apabila, tidak ada anak laki-laki maupun anak
perempuan dan tidak ada cucu laki-laki dari anak laki-laki.44
c. Dua orang atau lebih saudara perempuan kandung atau lebih mendapat
bagian dua pertiga dengan ketentuan bahwa mereka tidak bersama dengan
saudara laki-laki sekandung, tidak bersamaan dengan bapak, dan far‟ul waris
(anak laki-laki, anak perempuan, cucu laki-laki dari anak laki-laki, dan cucu
perempuan dari anak laki-laki).
d. Dua orang atau lebih saudara perempuan seayah mendapat bagian dua
pertiga denagan ketentuan bahwa mereka tidak mewarisi bersama saudara
laki-laki sebapak, tidak bersamaan dengan bapak, dan tidak bersama far‟ul
44 Komite Fakultas Syari’ah Universitas Al-Azhar Mesir, Hukum Waris, h. 136.
Page 42
33
mawaris (anak laki-laki, anak perempuan, cucu laki-laki dari anak laki-laki,
dan cucu perempuan dari anak laki-laki), serta saudara laki-laki atau
perempuan sekandung.45
5. Bagian Sepertiga (1/3)
Ahli waris yang mendapatkan bagian sepertiga ada dua golongan, yaitu:
a. Ibu
Ibu mendapatkan 1/3 dari harta waris apabila si pewaris tidak
mempunyai anak laki-laki atau anak perempuan, tidak mempunyai cucu
perempuan dari anak laki-laki kandung,46
dan tidak mempunyai dua saudara
atau lebih, baik itu saudara laki-laki maupun perempuan, baik saudara
kandung, seayah, maupun seibu.47
Firman Allah SWT:
Artinya: “.....jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia
diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika
yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat
seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi
wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya.....”. (Qs.an-
Nisa/4/11)
45 Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqih Mawaris Hukum Kewarisan Islam, h. 70.
46
‘Abd Al-Qadir Manshur, Buku Pintar Fikih Wanita, (Jakarta: Zaman, 2009), Cet. Pertama,
h. 145.
47
Saleh Al-Fauzan, Fiqih Sehari-hari, (Jakarta: Gema Insani, Shafar 1427H/Maret 2006M),
Cet. Pertama, h. 572.
Page 43
34
b. Dua Orang/Lebih Saudara Seibu (saudara laki-laki/perempuan seibu saja)
Apabila si mayit tidak mempunyai anak, baik anak laki-laki maupun
perempuan, dan tidak meninggalkan ayah. Maka kedua saudara tersebut
mendapatkan 1/3 dari harta waris.48
Firman Allah SWT:
Artinya: “.....jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang
tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai
seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan
(seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu
seperenam harta. tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang,
Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu.....”. (Qs. an-Nisa/4/12)
6. Bagian seperenam (1/6)
Ahli waris yang berhak mendapatkan seperenam bagian dari harta
peninggalan ada tujuh orang, yaitu:
a. Bapak
Bapak mendapatkan 1/6 harta waris apabila ia berbarengan dengan
anak laki-laki dan anak perempuan si mayat.49
Firman Allah:
48 Aris Riansyah, Adat Masyarakat Kampung Naga di Tasikmalaya, (Skripsi SI Fakultas
Syariah dan Humum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta: 1430H/2099M), h. 35.
49
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab (Ja‟far, Hanafi, Maliki, Syafi‟I, dan
Hambali), (Jakarta: PT Lentera Basritama, Rabiulawal 1425H/Mei 2004M), Cet. Kesebelas, h. 581.
Page 44
35
Artinya: “.....dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya
seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu
mempunyai anak.....”. (Qs.an-Nisa/4/11)
b. Ibu
Ibu mendapatkan 1/6 dari harta waris apabila ibu bersama-sama
dengan ahli waris keturunan si mayat atau bersama dua orang atau lebih
saudara laki-laki maupun permpuan.50
Firman Allah SWT:
Artinya: “..... jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka
ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas)
sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar
hutangnya.....”. (Qs. an-Nisa/4/11)
c. Kakek
Apabila seseorang meninggal dunia dan meninggalkan dua orang
anak perempuan, istri, dan seorang saudara laki-laki, maka kakek
mendapatkan 1/6 dari harta waris.51
Firman Allah SWT:
Artinya: “.....dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya
seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu
mempunyai anak.....”. (Qs. an-Nisa/4/11)
d. Nenek
50Aris Riansyah, Adat Masyarakat Kampung Naga di Tasikmalaya. h. 37.
51
Syaikh Muhammad Al-Utsaimin, Shahih Fiqih Wanita Menurut Al-Qu‟an dan As-Sunnah,
(Jakarta: Akbarmedia, Shafar 1431H/Januari 2010M), Cet. Ketiga, h. 499.
Page 45
36
Nenek akan menerima 1/6 bagian dari total harta pusaka dan jumlah
nenek tidak lebih dari empat orang, baik nenek dari pihak bapak atau ibu
atau ibu dari bapak dan ibunya.52
e. Cucu perempuan dari anak laki-laki
Cucu perempuan dari anak laki-laki seorang atau lebih akan
mendapat bagian 1/6 apabila yang meninggal (pewaris) mempunyai satu
anak perempuan, tidak ada bersama cucu perempuan tersebut cucu laki-laki
dari anak laki-laki, dan si pewaris tidak mempunyai anak laki-laki. Selain
itu, tidak mempunyai anak perempuan lebih dari satu orang.53
f. Saudara perempuan seayah
Apabila saudara perempuan seayah berbarengan dengan saudara
perempuan kandung, maka saudara perempuan seayah akan menerima
warisan sebesar 1/6 dari harta waris.54
g. Seorang saudara perempuan seibu (laki-laki maupun perempuan)
Seorang saudara seibu berhak mendapatkan 1/6 dari harta
peninggalan dengan syarat: apabila tidak ada keturunan si mayat, dan tidak
ada ahli waris leluhur si mayat dari golongan laki-laki.55
52A. Rahman, Penjelasan Lengkap Hukum-hukum Allah (Syariah), (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, Mei 2002), Cet. Pertama, h. 395.
53
Aris Riansyah, Adat Masyarakat Kampung Naga di Tasikmalaya. h. 41.
54
A. Rahman, Penjelasan Lengkap Hukum-hukum Allah (Syariah), h. 393.
55
Aris Riansyah, Adat Masyarakat Kampung Naga di Tasikmalaya. h. 42.
Page 46
37
BAB III
WARIS RUMAH ANAK BUNGSU PEREMPUAN DI SUKAMAJU DALAM
KONTEKS HUKUM ISLAM
A. Letak dan Geografisnya
Kampung Sukamaju merupakan perkampungan tingkat dusun yang
merupakan dari wilayah Desa Darangdan. Pada umumnya, kampung Sukamaju
mempunyai batasan-batasan wilayah, yaitu: sebelah timur berbatasan dengan
dusun empat Babakan, sebelah barat berbatasan dengan dusun tiga Darangdan,
sebelah utara berbatasan dengan Desa Gunung Hejo, dan sebelah selatan
berbatasan dengan dusun dua Darangdan.1
Luas wilayah kampung Sukamaju kurang lebih 60 hektar yang terbagi ke
dalam pemukiman warga, perkebunan, dan pesawahan. Secara administratif,
kampung Sukamaju termasuk ke dalam desa Darangdan Kecamatan Darangdan
Kabupaten Purwakarta Propinsi Jawa Barat. Kampungan Sukamaju memiliki 578
bangunan, terdiri dari 572 rumah, satu sekolah Dasar dan satu sekolah Diniah
(MDA), satu sekolah menengah pertama yaitu SMP, dan terdapat tiga bangunan
masjid.2
Desa Darangdan terdiri dari 9 RW, 4 kepala dusun, dan 32 RT. Kampung
Sukamaju terdiri dari 3 RW dan 12 RT dan jumlah dari penduduk kampung
1 Wawancara Pribadi dengan Sofyan, Purwakarta 10 Maret 2011.
2 Data kelurahan Darangdan.
Page 47
38
Sukamaju itu kurang lebih terdiri dari 1.680 jiwa. Dengan demikian kampung
Sukamaju merupakan salah-satu dari wilayah administratif Desa Darangdan, untuk
menuju kampung Sukamaju dari jalan raya sangat mudah karena kampung
Sukamaju tepat berada di samping jalan raya.3
B. Sistem Kemasyarakatan, Adat Istiadat dan Kebudayaan
1. Sistem Kemasyarakatan
Tokoh masyarakat kampung Sukamaju mempunyai pengaruh besar
dalam kehidupan masyarakatnya, hal ini disebabkan ketika salah satu dari
masyarakatnya memiliki suatu masalah maka tokoh masyarakat tersebut selalu
diminta pendapat untuk memecahkannya. Dalam hal ketaatan masyarakat
kampung Sukamaju ada terkecualinya, yaitu dalam masalah pembagian sistem
waris, meskipun kiyai atau ustadz itu dalam pembagian harta waris menyuruh
kepada masyarakatnya untuk memakai sistem waris dua berbanding satu tetapi
masnyarakatnya itu tidak melaksanakan hal tersebut. Dalam hal ini, masyarakat
kampung Sukamaju beranggapan bahwa sistem waris dua berbanding satu itu
kurang adil.
Secara umum yang menjadi tokoh masyarakat adalah seorang kiyai atau
ustadz yang memahami banyak tentang ilmu Agama Islam. Pada saat ini sistem
kemasyarakatan kampung Sukamaju sedang mengalami transisi, yaitu dari sifat
tradisional menuju ke modern. Selain itu, partisipasi tokoh masyarakat sangat
3 Wawancara Pribadi dengan Sofyan, Purwakarta 10 Maret 2011.
Page 48
39
vital dalam membina kesadaran masyarakat kampung Sukamaju, hal ini dapat
terlihat dalam sistem kemasyarakatannya, yaitu:
a. Sistem Pelapisan Sosial
Masyarakat kampung Sukamaju selalu mematuhi peraturan-peraturan
yang dibuat oleh ketua RT atau RW, tetapi sebelum masyarakat mematuhi
peraturan tersebut terlebih dahulu mereka selalu menanyakan kepada
kiyai/ustadz apakah peraturan tersebut perlu di taati atau tidak?
Di kampung Sukamaju terdapat sifat gotongroyong yang tinggi. Hal
ini terlihat ketika ada keluarga yang sedang membangun rumah, maka
masyarakat kampung Sukamaju selalu membantu dengan tenaga atau
memberikan makanan kepada keluarga tersebut. Selain itu, ketika ada
keluarga yang akan menikahkan/mengkhitan anaknya, masyarakat kampung
Sukamaju selalu membantu untuk membuat tenda dan memasak.
b. Sistem Kepemimpinan
Kampung Sukamaju merupakan salah satu kampung yang berada di
daerah Jawa Barat yang memiliki dua bentuk sistem kepemimpinan, yaitu
kepemimpinan formal dan kepemimpinan informal. Kepemimpinan formal
adalah hasil atas dasar pemilihan rakyat dan mendapat legitimasi dari
pemerintah. Kepemimpinan formal di kampung Sukamaju dipegang oleh
RW dan ketua RT yang langsung berhubungan dengan sistem pemerintah.4
4 Data kelurahan Darangdan.
Page 49
40
Kepemimpinan informal adalah kepemimpinan yang dipegang
langsung oleh tokoh masyarakat (kiyai/ustadz) yang memahami banyak
tentang ilmu Agama Islam dan bisa dimintai pendapat untuk memecahkan
suatu masalah yang timbul di masyarakat.5
2. Adat Istiadat dan Kebudayaan
Dalam kehidupan bermasyarakat, di kampung Sukamaju terdapat
beberapa adat yang sering dilakukan oleh warganya, yaitu:
a. Acara Peringatan Hari Besar Islam
Sebelum acara penyambutan hari besar Islam, terlebih dulu
masyarakatnya membentuk susunan ketua panitia yang dilakukan satu bulan
sebelum acara berlangsung dan dilakukan dengan cara bermusyawarah yang
dipimpin oleh sesepuh6 kampung. Hari-hari besar Islam yang suka
diperingati adalah acara maulid, isra’ mi’raj Nabi Muhammad SAW, rabu
wakasan, dan acara satu muharam.
Dalam pelaksanaan hari besar Islam, biasanya dikaitkan dengan
kegiatan-kegiatan keagamaan seperti melakukan tablig akbar, membaca
shalawat Nabi, membaca al-Qur’an, dan melakukan shalat tasbih berjamaah
yang berlangsung di dalam/di luar masjid, apabila pelaksanaan acara
5 Wawancara Pribadi dengan Sofyan. Purwakarta, 10 Maret 2011.
6 Sesepuh adalah tokoh masyarakat yang paling berpengaruh di Kampungnya dan biasanya
sesepuh itu merupakan ulama/ustad.
Page 50
41
peringatan hari besar Islam itu dilakukan di luar masjid maka akan dibuatkan
tenda dilengkapi dengan kursi.
b. Tradisi Bangun Rumah
Dalam tradisi bangun rumah terdapat kebiasaan yang suka dilakukan
oleh masyarakatnya, yaitu menancapkan bendera merah putih di atas atap
rumah dengan tujuan untuk mengenang dan menghormati jasa-jasa para
pahlawan yang telah susah-payah untuk mengibarkan bendera merah putih di
bumi pertiwi ini.
Pada waktu dulu terdapat kebiasaan yang bertentangan dengan
hukum Islam yaitu mengubur sesuatu di bawah tanah yang akan dijadikan
ruang tamu. Lama-kelamaan kebiasaan ini hilang dengan sendirinya, karena
secara umum masyarakatnya menyadari bahwa kebiasaan tersebut
menyimpang dari ajaran Islam.
c. Tradisi dalam Perkawinan
Dalam acara perkawinan, terdapat kebiasaan yang suka dilakukan
oleh masyarakatnya, yaitu injak telor, buka pintu, dan saweran. Akan tetapi
pada sekarang ini yang melakukan tradisi injak telor dan buka pintu sudah
ditinggalkan, sedangkan kebiasaan yang masih ada sampai sekarang adalah
saweran. Saweran dalam pelaksanaan perkawinan mempunyai tujuan untuk
memberikan wejangan (nasehat-nasehat) kepada ke-2 calon mempelai yang
disampaikan lewat seni.
Page 51
42
d. Larangan Bepergian Pada Hari Sabtu
Selain kebiasaan-kebiasaan di atas, di kampung Sukamaju terdapat
sebuah larangan untuk bepergian pada hari sabtu, karena masyarakatnya
beranggapan bahwa hari sabtu merupakan hari yang kurang baik untuk
bepergian.
Larangan bepergian pada hari sabtu suka dikaitkan dengan musibah
yang menimpa pada keluarga. Misalnya dikaitkan dengan kematian salah-
satu anggota keluarganya yang meninggal pada hari sabtu yang disebabkan
kecelakaan ketika sedang bepergian. Larangan ini hanya dilakukan oleh
sekelompok minoritas dan sekarang hampir tidak ada.7
C. Konsep Kewarisan Rumah Pusaka Bagi Anak Bungsu Perempuan
Berbicara dengan hukum waris adat, ada baiknya terlebih dahulu
memahami pengertiannya sebagai pegangan untuk melangkah kepada pembahasan
selanjutnya. Hukum waris adat sesungguhnya adalah hukum penerusan harta
kekayaan dari satu generasi kepada keturunannya.8 Ter Haar, menyatakan:
“Hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang mengenai cara bagaimana
7 Wawancara Pribadi dengan KH. Adnan Soleh. Purwakarta, 28 Februari 2011.
8 Elfrida R Gultom, Hukum Waris Adat di Indonesia, (Jakarta: Literata, 2010), h. 20-21.
Page 52
43
dari abad ke abad penerusan dan peralihan dari harta kekayaan yang berwujud dan
tidak berwujud dari generasi ke generasi”.9
Soepono menyatakan bahwa hukum waris: “Memuat peratutan-peraturan
yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda
dan barang-barang yang tidak berwujud benda (immateriel goederen) dari suatu
angkatan manusia (generatie) kepada turunannya. Proses ini telah mulai dalam
waktu orang tua masih hidup”.10
Dengan demikian hukum waris merupakan ketentuan-ketentuan yang
mengatur cara meneruskan dan peralihan harta kekayaan (berwujud atau tidak
berwujud) dari pewaris kepada ahli warisnya. Cara penerusan dan peralihan harta
kekayaan ini dapat berlaku sejak pewaris masih hidup atau setelah meninggal
dunia.
Selanjutnya akan dibicarakan pembagian harta warisan menurut hukum
adat, dimana pada umumnya tidak menentukan kapan harta waris itu akan dibagi
atau kapan sebaiknya diadakan pembagian begitu pula siapa yang mendampingi
ketika berlangsung pembagiannya.11
Menurut hukum waris adat kebiasaan waktu pembagian setelah wafat
pewaris dapat dilaksanakan setelah upacara sedekah atau selamatan yang disebut
9 Soerjono Soekanto dan Soleman b. Taneko, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: CV.Rajawali,
Oktober 1981), h. 285.
10 Soerjono Soekanto dan Soleman b. Taneko, Hukum Adat Indonesia, h. 285.
11 Elfrida R Gultom, Hukum Waris Adat di Indonesia, h. 22.
Page 53
44
tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, atau seribu hari setelah pewaris wafat.
Sebab pada waktu-waktu tersebut para anggota waris berkumpul. Pada waktu
pembagiannya suka berlangsung lancar, karena ketika pembagian waris
berlangsung biasanya didampingi oleh orang yang dapat dipercaya.12
Tatacara pembagian hukum waris adat ada 2 kemungkinan yaitu: dengan
cara bagian anak laki-laki dua kali lipat bagian anak perempuan, atau dengan cara
bagi antara anak laki-laki dengan perempuan seimbang (sama).13
Dalam pembagian waris, di kampung Sukamaju terdapat 3 kemungkinan
yaitu: 2 berbanding 1, bagi rata, sistem waris ini untuk menjaga kerukunan sesama
ahli waris,14
dan sistem waris ke-3 yaitu secara khusus rumah pusaka diberikan
kepada anak bungsu laki-laki/perempuan.15
Sistem hukum waris 2 berbanding 1
tidak terlalu banyak digunakan oleh masyarakatnya.16
Secara umum sistem waris yang ke-3 sama dengan sistem waris ke-2 (bagi
rata), perbedaannya terletak pada pembagian rumah pusaka. Apabila yang menjadi
anak bungsu laki-laki maka rumah pusaka akan dibagi dua dengan anak
12 Wawancara Pribadi dengan KH. Adnan Soleh, Purwakarta, 28 Februari 2011.
13 Elfrida R Gultom, Hukum Waris Adat di Indonesia, h. 21-23.
14 Wawancara Pribadi dengan Kundung Feri, Purwakarta, 28 Februari 2011.
15 Anak bungsu laki-laki/perempuan: Kemungkinan ketika orang tuanya meninggal anak
bungsu tersebut masih kecil dan masih duduk di sekolah SMP/SMU, berbeda dengan anak kakanya
yang sudah menyelesaikan S1 (biaya yang dikeluarkan buat anak bungsu baru sedikit, sedangkan bagi
kakanya sudah banyak biaya yang besar).
16 Wawancara Pribadi dengan Kundung Feri, Purwakarta, 28 Februari 2011.
Page 54
45
perempuan yang mempunyai jarak kelahiran lebih dekat dengannya,17
sedangkan
ketika yang menjadi anak bungsu perempuan maka rumah secara keseluruhan
menjadi miliknya.18
Berlakunya sistem waris ke-3 yaitu untuk menghindari timbulnya
kemadharatan dimasa yang akan datang, karena secara umum apabila sistem
pembagian waris tidak menggunakan sistem waris ini maka dikemudian hari suka
terjadi permasalahan atau pertengkaran antara ahli waris. Secara umum
permasalahan yang timbul disebabkan dengan pemakaian sistem waris 2
berbanding 1. Untuk mencegah permasalahan tersebut, maka secara khusus anak
perempuan bungsu akan mendapatkan bagian dari rumah pusaka.19
Dalam masalah pembagian waris, biasanya yang menjadi ahli waris
terpenting adalah anak kandung sendiri. Dengan adanya anak kandung maka
anggota keluarga yang lain menjadi tertutup untuk menjadi ahli waris. Selain anak
tersebut ada ahli waris yang lainnya juga, yaitu suami atau istri si mayat. Apabila
si mayat tidak mempunyai anak, maka selain harta warisnya diberikan kepada
17 Wawancara Pribadi dengan KH. Adnan Soleh, Purwakarta, 28 Februari 2011.
18 Anak bungsu perempuan: Biasanya mempunyai peranan yang lebih dalam mengurus ke-2
orang tuanya dibandingkan dengan anak laki-laki, peranan tersebut terlihat ketika ke-2 orang tuanya
sedang menderita sakit/ lanjut usia, ketika orang tuanya mengalami sakit/telah lanjut usia maka anak
perempuanlah yang suka mengurusnya. Apalagi anak perempuan bungsu selain mengurus orang tua
yang sedang sakit/lanjut usia, maka untuk sementara waktu ia akan tinggal bersama ke-2 orang tuanya
dengan maksud untuk mempermudah dalam membantu segala keperluan orang tuanya.
19 Wawancara Pribadi dengan KH. Adnan Soleh, Purwakarta, 28 Februari 2011.
Page 55
46
suami atau istrinya harta tersebut diberikan kepada keluarga dekat yaitu ibu,
bapak, kakek, nenek, dan kakak laki-laki si mayat.20
D. Radius Pengaruh Sistem Kewarisan Kampung Sukamaju
Sebelum saya menjelaskan tentang radius dari sistem kewarisan yang
berlaku di kampung Sukamaju, maka terlebih dahulu saya akan memperjelas
apakah sistem waris yang terdapat di kampung Sukamaju itu dilakukan oleh
segolongan minoritas atau segolongan mayoritas.
Pada umumnya, masyarakat yang berada di kampung Sukamaju dalam
masalah pembagian warisan mereka memakai sistem waris hukum adat yaitu anak
bungsu mendapatkan rumah pusaka, baik anak bungsunya itu laki-laki atau
perempuan. Tetapi ketika yang menjadi anak bungsunya perempuan maka
pembagian rumah pusaka berbeda ketika yang menjadi anak bungsunya itu laki-
lakai, apabila yang menjadi anak bungsunya perempuan maka rumah pusaka
sepenuhnya menjadi milik anak perempuan bungsu tersebut, sedangkan ketika
yang menjadi anak bungsunya itu laki-laki maka rumah pusaka akan dibagi dua
dengan anak perempuan yang mempunyai jarak kelahiran yang lebih dekat dengan
anak bungsu laki-laki tersebut.
Pada masalah pembagian harta waris lainnya seperti uang, tanah, dan yang
lainnya yaitu dengan cara bagi rata antara anak laki-laki maupun anak perempuan,
20 Wawancara Pribadi dengan Kundang Feri, Purwakarta, 28 Februari 2011.
Page 56
47
hal ini disebabkan karena bertujuan untuk mencegah timbulnya permasalahan atau
pertengkaran yang terjadi dimasa yang akan datang antara ahli waris yang satu
dengan ahli waris yang lainnya.
Untuk mengetahui apakah radius dari sistem kewarisan yang berlaku di
kampung Sukamaju itu mempunyai dampak atau pengaruh terhadap kampung
yang berada di sekitarnya atau tidak, maka untuk memperoleh data tersebut saya
bertanya kepada masyarakat kampung Sukamaju itu sendiri.
Setelah saya meneliti lebih lanjut terhadap kewarisan yang berlaku di
kampung Sukamaju, maka saya mendapatkan sebuah data baru yaitu dimana
radius dari pengaruh sistem kewarisan yang terjadi di kampung Sukamaju itu tidak
mempunyai dampak yang luas terhadap masalah pembagian-pembagian harta
waris di kampung yang berada di desa Darangdan tersebut, hal ini dapat terlihat
bahwa dari lima kampung yang berada di desa Darangdan, yaitu: kampung
Sukamaju, kampung Cilimus, kampung Darangdan, kampung Babakan, dan
kampung Lebak Wangi, pengaruh dari pembagian harta waris yang terjadi
dikampung Sukamaju itu hanya berdampak pada satu kampung saja, yaitu
terhadap kampung Darangdan. Adapun kenapa di kampung Darangdan dalam
pembagian harta warisnya sama seperti di kampung Sukamaju, hal ini disebabkan
oleh jarak atau letak geografis antara kampung Sukamaju dengan kampung
Darangdan itu berdekatan bahkan antara kampung Sukamaju dengan kampung
Darangdan itu merupakan tetangga kampung.
Page 57
48
E. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Kewarisan Adat Kampung Sukamaju
Pada waktu Islam belum datang ke tanah Arab, manusia masih
mempergunakan hukum waris dalam bentuk peraturan yang bertentangan dengan
fitrah manusia. Orang Arab jahiliyah tidak memberikan warisan pada wanita.21
Hal
ini sesuai dengan kutipan di bawah ini:
Artinya: “.....Orang Jahiliyah yang mendapatkan warisan itu hanya anak laki-laki
sedangkan anak perempuan tidak mendapatkan.....”
Untuk itu Allah SWT menurunkan ayat Al-Qur’an yang berbunyi:
Artinya: “Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-
anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang
anak perempuan......”. (Qs.an-Nisa/4/11)
Selain itu terdapat hadits Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh Jabir
Artinya: “Diriwayatkan dari Jabir berkata: telah datang istri Sa’ad bin ar-Rabi’
kepada Rasulullah SAW, dengan dua orang anak perempuan Sa’ad dia berkata:
21 Elfrida R Gultom, Hukum Waris Adat di Indonesia, (Jakarta: Literata, 2010), h. 15.
22
Imam Taqyuddin Abi Bakar Bin Muhammad Husaeni Husni Al-Damsyiqii Asysyaafi’i,
Kifâyah al-Akhyâr, (Bandung: Perpustakaan Ma’arif), h. 17.
23 Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, Juz III/367, hadits 14349, h. 980.; Abu
Dawud, Sunnah Abi Dawud, Juz III, hadits 2891, h. 120.; al-Tirmidzi, Kutub al-Sittah/Sunan Tirmidzi,
hadits 2092, h. 1861.; Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Juz III, hadits 2720, h. 158.
Page 58
49
“Wahai Rasulullah, ini adalah dua orang anak perempuan Sa’ad bin ar-Rabi’
yang ayahnya meninggal dunia dalam keadaan syahid ketika perang uhud
bersamamu, sedangkan paman mereka telah mengambil seluruh harta
peninggalannya, sehingga mereka tidak ditinggali harta sedikit pun, dan mereka
tidak dapat menikah bila tidak mempunyai harta”, maka Rasulullah menjawab:
“Allah-lah yang akan memutuskan perkara tersebut” lalu turunlah ayat-ayat
tentang waris. Setelah itu, Rasulullah SAW mengutus sahabat untuk menemui
paman mereka, lalu beliau berkata: “Berikanlah dua orang anak Sa’ad dua
pertiga, ibu mereka seperdelapan, dan sisanya untuk kamu”. (HR. al-Khamsah
kecuali al-Nasa’i)
Menurut mazhab empat (Syafi’i, Hambali, Maliki, dan Hanafi), anak
perempuan berhak mendapatkan atas harta waris, selain itu mazhab empat
menjelaskan bagian anak perempuan dalam menerima harta waris, yaitu:
1. Anak perempuan mendapatkan 1/2, apabila si mayat tidak meninggalkan anak
laki-laki,
2. Mendapatkan 2/3, apabila apabila terdapat 2 orang atau lebih anak perempuan,
dan
3. Mendapatkan 2:1, apabila berbarengan dengan anak laki-laki.24
Di samping itu sesuai dengan kemajuan dan perkembangan zaman serta
pendapat para ahli dikalangan umat Islam, maka hukum waris Islam dituangkan
kedalam suatu ketentuan peraturan yang disebut Kompilasi Hukum Islam (KHI).25
Selanjutnya dalam KHI pasal 176 Bab III menjelaskan tentang bagian anak
perempuan dalam menerima waris, yang berbunyi:
24 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: PT Lentera Basritama,
Rabiulawal 1425H/Mei 2004M), Cet. Kesebelas, h. 551.
25 Elfrida R Gultom, Hukum Waris Adat di Indonesia, h. 17.
Page 59
50
“Anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat separoh bagian, bila
dua orang atau lebih mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian, dan
apabila anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki, maka bagian anak
laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak perempuan”.26
Dari uraian di atas, nampak bahwa antara apa yang telah ditetapkan dalam
ayat al-Qur’an, hadits, fikih, dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) khususnya
mengenai bagian anak perempuan dalam pembagian harta waris yang ditinggalkan
oleh sipewaris adalah sama, yakni27
1/2 apabila ia hanya seorang, 2/3 jika terdapat
2 orang atau lebih anak perempuan dan 2 berbanding 1 apabila berbarengan
dengan anak laki-laki.
Sebagaimana yang telah diuraikan di atas, bahwa dalam pembagian harta
waris di kampung Sukamaju menggunakan hukum waris adat, tetapi selama
sistem waris itu tidak menimbulkan kemadharatan bagi para ahli waris, maka
sistem warisnya tetap dapat digunakan, karena agama Islam tidak mempersulit
kepada umatnya, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah (2) ayat
185 yang berbunyi:
Artinya: “.....Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran.....” . (Qs. al-Baqarah/2/185)
26 H. Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: CV Akademika Pressindo, April
2007), Cet. Kelima, h. 157.
27 Elfrida R Gultom, Hukum Waris Adat di Indonesia, h. 16.
Page 60
51
Sabda Nabi Muhammad SAW:
Artinya: “ Dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW, bersabda; Sesungguhnya agama
(Islam) itu mudah. Tidaklah seorang pun mempersulit (berlebih-lebihan) dalam
agamanya kecuali akan terkalahkan (tidak dapat melaksanakannya dengan
sempurna). Oleh karena itu, berlaku luruslah, sederhana (tidak melampaui batas),
dan bergembiralah (karena memperoleh pahala) serta memohon pertolongan
(kepada Allah) dengan ibadah pada waktu pagi, petang dan sebagian malam”.
(HR. Bukhari)
Dari uraian di atas terlihat bahwa sistem kewarisan yang berlaku di
kampung Sukamaju adalah sistem kekeluargaan pariental atau bilateral, dalam
sistem ini menarik garis keturunan dari kedua belah pihak orang tua, yaitu dari
garis bapak maupun ibu.29
Kebanyakan sistem waris adat yang berlaku di indonesia adalah pembagian
berimbang antara semua anak, hal itu merupakan corak dan sifat tersendiri yang
khas Indonesia yang berbeda dengan hukum waris Islam, ini semua berdasarkan
dari latar belakang alam pikiran bangsa Indonesia yang berfalsafah Pancasila
dengan masyarakat yang Bhineka Tunggal Ika yang didasarkan pada kehidupan
bersama, bersifat tolong menolong guna mewujudkan kerukunan, keselarasan dan
kedamaian.30
28 al-Bukhari, Shahih Bukhari, Kitabul Iman bab Addiinu Yusrun, juz I, hadits. 39, h. 35. dan
an-Nasa’i (VIII/122), dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu, Muhammad Nashiruddin Al Albani,
Ringkasan Shahih Bukhari, bab iman, buku I, h. 35.
29 Elfrida R Gultom, Hukum Waris Adat di Indonesia, h. 40.
30 Elfrida R Gultom, Hukum Waris Adat di Indonesia, h. 23.
Page 61
52
Meskipun sistem kewarisan yang berlaku di kampung Sukamaju berbeda
dengan sistem waris Islam dan sistem waris adat yang berada di Indonesia pada
umumnya, selama perbedaan tersebut tidak menimbulkan kemadharatan maka
sistem waris di kampung Sukamaju masih bisa digunakan dalam pembagian waris.
Selain itu, Islam adalah agama yang mudah dan sesuai dengan fitrah
manusia, Islam adalah agama yang tidak sulit. Allah SWT menghendaki
kemudahan kepada umat manusia dan tidak menghendaki kesusahan kepadanya.
Sebagaiman firman Allah SWT dalam surat Al-Hajj (22) ayat 78 yang berbunyi:
)
Artinya: “….. dan Dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama ..…”.
(Qs. Al-Hajj: 22/78)
Berdasarkan dari hasil penelitian dan alasan-alasan yang disertai dengan
dalil-dalil di atas maka saya dapat menyimpulkan bahwa sangat jelas sistem
kewarisan yang berlaku di kampung Sukamaju itu tidak bertentangan dengan
sistem waris hukum Islam, dan sistem waris yang berlaku di kampung Sukamaju
tetap bisa digunakan oleh masyarakat kampung Sukamaju tersebut.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis merasa masih banyak sekali
kekurangan-kekurangannya, oleh karena itu penulis mengharapkan bagi para
pembaca untuk memberikan masukan-masukannya, sehingga skripsi yang saya
tulis ini menjadi lebih baik.
Page 62
53
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai
berikut:
1. Konsep pembagian warisan yang berlaku di kampung Sukamaju ada tiga
macam, yaitu:
a. Bagian anak laki-laki dua kali lipat bagian anak perempuan,
b. Bagian antara anak laki-laki dengan perempuan seimbang (sama), dan
c. Secara khusus rumah pusaka diberikan kepada anak bungsu baik laki-
laki/perempuan.
Apabila yang menjadi anak bungsu laki-laki maka rumah pusaka dibagi
dua dengan anak perempuan yang mempunyai jarak kelahiran lebih dekat
dengannya, sedangkan ketika yang menjadi anak bungsu perempuan maka
rumah secara keseluruhan menjadi miliknya.
2. Dalam hal pembagian warisan, kedudukan anak perempuan sama dengan anak
laki-laki (tidak mempunyai kedudukan yang khusus). Meskipun antara anak
laki-laki dan anak perempuan terdapat perbedaan dalam menerima harta waris,
karena perbedaan itu hanya terjadi pada pembagian rumah pusaka saja. Adapun
alasan dari sistem waris ini disebabkan apabila disuatu hari orang tua
sakit/sudah lanjut usia, maka anak perempuanlah yang suka mengurus orang
Page 63
54
tuanya. Apalagi anak perempuan bungsu selain mengurus orang tua yang
sakit/lanjut usia, maka untuk sementara waktu ia akan tinggal bersama orang
tuanya meskipun ia sudah menikah dan mempunyai tempat tinnggal.
3. Perbedaan sistem waris di kampung Sukamaju tidak berpengaruh terhadap
kerukunan sesama ahli waris, hal ini terlihat walaupun terdapat perbedaan
dalam masalah pembagian rumah pusaka, kerukunan antara sesama ahli waris
tetap rukun (tidak ada perselisihan tentang masalah harta waris).
B. Saran-saran
Setelah penulis mengambil beberapa kesimpulan tersebut di atas, maka
perlu kiranya saran-saran sebagai berikut:
1. Dengan penulisan skripsi tentang pembagian warisan anak perempuan ini,
semoga dapat memberikan masukan-masukan dan manfaat, bagi individu dan
khususnya bagi masyarakat kampung Sukamaju dalam pembagian harta waris.
2. Sebaiknya tokoh masyarakat kampung Sukamaju memberikan penyuluhan lagi
mengenai sistem waris 2 berbanding 1, supaya ketika menggunakan sistem
waris ini tidak terjadi lagi perselishan/pertengkaran sesama ahli waris.
3. Penulisan skripsi ini belum sempurna dan masih ada kekurangan, oleh karena
itu saran, masukan, dan kritik yang konstruktif sangat diharapkan untuk
menyempurnakan skripsi ini.
Page 64
55
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karim
Al-Qur’an dan Terjemahnya.
Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, Juz III/367, hadits 14349, h. 980.;
Abu Dawud, Sunnah Abi Dawud, Juz III, hadits 2891, h. 120.; al-Tirmidzi,
Kutub al-Sittah/Sunan Tirmidzi, hadits 2092, h. 1861.; Ibnu Majah, Sunan
Ibnu Majah, Juz III, hadits 2720.
Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, juz II/178, hadits 6664, h. 478.; Abi
Dawud, juz III, hadits 2911, h. 125.; Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, juz
III, hadits 2731.
Ali, Muhammad al-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, Surabaya: al-Ikhlas,
1995.
Al-Bukhari, Shahih Bukhari, juz IV, hadits 6764, h. 240.; Ahmad bin Hanbal,
Musnad Ahmad bin Hanbal, juz V/200, hadits 22090, h. 1588.; al-Tirmidzi,
Kutub al-Sittah/jami’ al-Tirmidzi, hadits 2107, h. 1862.; Abu Dawud,
Sunan Abi Dawud, juz III, hadits 2909, h.; Ibnu Majah, Sunan Ibnu majah,
juz III, hadits 2729.
Al-Fauzan, Saleh, Fiqih Sehari-hari, Jakarta: Gema Insani, Shafar 1427H/Maret
2006M, Cet. Pertama.
Al-Qadir, Abd Manshur, Buku Pintar Fikih Wanita, Jakarta: Zaman, 2009, Cet.
Pertama.
Al-Zuhaily, Wahbah, al-Fiqh al-Islamy Wa Adillatuh, Damaskus: Dar al-Fikr, 1989.
Ashshofa, Burhan, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, 2004.
Asymuni A. Rahman dkk, Ilmu Fiqh 3, Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana dan
Sarana IAIN Departemen Agama, 1986.
Dawud, Abu, Sunan Abi Dawud, juz IV, hadits 4564.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT Ichtiar Baru van
Hoeve, 1999, Cet. Keenam, Jilid Ke-5.
Page 65
56
Hasbi, M. Ash-Shiddieqy, Fiqhul Mawaris (Hukum-hukum Kewarisan dalam Syariat
Islam), Jakarta: Bulan Bintang,1973, Cet. Pertama.
-----Fiqh Mawaris, Semarang: Pustaka Rizki Purta, 1999.
http://luk.staff.ugm.ac.id/kmi/islam/Waris/Penjelasan.html
Jawad, Muhammad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Jakarta: PT Lentera Basritama,
Rabiulawal 1425H/Mei 2004M, Cet. Kesebelas.
J. Lexy. Moloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya,
2004.
Kamil, Syaikh Muhammad ‘Uwaidah, Fiqih Wanita Edisi Lengkap, Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, April 200, Cet. Kedua Puluh Empat.
Khairul, Dian Umam, Fiqih Mawaris, Bandung: CV Pustaka Setia, April 2006, Cet.
Kedua.
Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Akademika Pressindo, 2007, Cet. Pertama.
Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Mesir, Ahkamul-Mawaarits fil-
Fiqhil-Islam, Mesir: Maktabah ar-Risalah ad-Dauliyyah, 2000.
Muhammad, Syaikh Al-Utsaimin, Shahih Fiqih Wanita Menurut Al-Qu’an dan As-
Sunnah, Jakarta: Akbarmedia, Shafar 1431H/Januari 2010M, Cet. Ketiga.
Muhammad, Asy-Syaikh bin Saleh Al-Utsaimin, Ilmu Mawaris Metode Praktis
Menghitung Warisan dalam Syariat Islam, Tegal Jateng: Ash-Shaf media,
Mei 2007.
Muhibbin, Moh, dan H. Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai
Pembaharuan Hukum Positif di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, Februari
2009, Cet. Pertama.
Muhyiddin Abdul Hamid, Muhammad, Ahkamu al-Mawaris fi al-Sari’ati al-
Islamiyyati ala madahib al-Aimmati al-Arba’ah, Sudan: 1416H/1996M.
Otje, H.R. Salman S dan Mustafa Haffas, Hukum Waris Islam, Bandung: PT Refika
Aditama, April 2006, Cet. Kedua.
----- Hukum Waris Islam, Bandung: PT RefikaAditama, 2002, Cet. Pertama.
Page 66
57
Rahman, A. Penjelasan Lengkap Hukum-hukum Allah (Syariah), Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, Mei 2002, Cet. Pertama.
Rahman, Fatchur, Ilmu Waris, Bandung: PT Alma’arif. Rusdiana, Kama dan Jainal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, Jakarta: UIN
Jakarta Press, November 2007, Cet. Pertama.
Riansyah, Aris. “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Kewarisan Adat Masyarakat
Kampung Naga di Tasikmalaya”. Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1430H/2009M.
R Gultom, Elfrida. Hukum Waris Adat di Indonesia, Jakarta: Literata, 2010.
Sanggona, Bambang, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
2003.
Soekanto, Soerjono, Hukum Adat Indonesia, Jakarta: CV.Rajawali, Oktober 1981,
Cet. Pertama.
-----Hukum Adat Indonesia, Jakarta: UI-Press, 1986.
Soepono, Bab-bab tentang Hukum Adat, Jakarta: Penerbitan Universitas, 1996.
Subekti, R. Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta: Indonesia, 1977.
Sudiyat, Iman, Hukum Adat Sketsa Asas, Yogyakarta: Liberty, 198, Cet. Kedua.
Suparman, Eman, Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW,
Bandung: PT. Refika Aditama, Juni 2007, Cet. Kedua.
Thalib, Sajuti, Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika,
November 2004, Cet. Kedelapan.
Taqyuddin, Imam Abi Bakar bin Muhammad Husaini Husni al-Damsyiqii
Asysyaafi’I, Kifayatul Akhyaar, Bandung: Perpustakaan Ma’arif.
Usman, Suparman dan Yusuf Somawinata, Fiqih Mawaris Hukum Kewarisan Islam,
Jakarta: Gaya Media, November 2002M/Ramadhan 1423H, Cet. Kedua.
Wawancara Pribadi dengan Kundang Feri. Purwakarta, 28 Februai 2011.
Page 67
58
Wawancara Pribadi dengan KH. Adnan Soleh. Purwakarta, 28 Februari 2011.
Wawancara Pribadi dengan Sofyan. Purwakarta, 10 Maret 2011.
Page 68
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Page 69
DATA INFORMAN
1. Nama : Kundang Feri
Alamat : Kp. Wangun Sari Rw 07/02, Desa Darangdan, Kec. Darangdan, Kab.
Purwakarta
Usia : 69 Tahun
Pekerjaan : Pensiun Kepala Desa Darangdan
Tanggal : 28 Februari 2011
Pertanyaan : Hukum kewarisan apa yang berlaku di Kampung Sukamaju?
Jawaban : Di kampung Sukamaju terdapat tiga sistem kewarisan, yaitu sistem
waris 2:1, sistem waris bagi rata, dan sistem waris berdasarkan adat
yang berlaku di kampung Sukamaju.
Pertanyaan : Bagaimana konsep pembagian warisan yang terjadi di kampung
Sukamaju?
Jawaban : Kebanyakan masyarakat kampung Sukamaju memakai konsep waris
berdasarkan adat yang berlaku di kampung Sukamaju.
Pertanyaan : Apa alasan dari sistem pembagian waris tersebut?
Jawaban : Alasan dari sistem waris tersebut yaitu untuk mencegah timbulnya
pertengkaran sesama ahli waris.
Pertanyaan : Dalam hal ahli awris, siapa saja yang menjadi ahli waris?
Jawaban : Anak-anaknya si mayat, kecuali si mayat tidak mempunyai anak
maka harta waris diberikan kepada saudara dekat (ibu, bapa, kakek,
nenek, dan kaka laki-laki si mayat)
Page 70
2. Nama : KH. Adnan Soleh
Alamat : Kampung Darangdan Rw 07/02, Desa Darangdan, Kec. Darangdan,
Kab. Purwakarta
Usia : 56 Tahun
Pekerjaan : Ketua MUI Desa Darangdan
Tanggal : 28 Februari 2011
Pertanyaan : Dalam pembagian waris, apakah ada perbedaan antara anak laki-laki
dan perempuan, kalau ada apa perbedaannya?
Jawaban : Ada, perbedaannya terletak dalam masalah pembagian rumah
pusaka. Apabila yang menjadi anak bungsu laki-laki maka rumah di
bagi dua dengan anak perempuan yang mempunyai jarak kelahiran
yang dekat dengan anak laki-laki, apabila anak bungsunya anak
perempuan, maka rumah pusaka secara keseluruhan diberikan kepada
anak bungsu perempuan.
Pertanyaan : Dalam pembagian warisan rumah, kenapa ada perbedaan ketika yang
menjadi anak bungsunya itu perempuan?
Jawaban : Perbedaan sistem waris dalam pembagian rumah pusaka karena anak
perempuan mempunyai peranan yang lebih ketika orang tuanya
sedang sakit/lanjut usia.
Pertanyaan : Bagaiman pengaruh anak perempuan mengenai hal pembagian
rumah dalam kewarisan?
Jawaban : Sebenarnya dalam hal pembagian warisan, anak perempuan tidak
mempunyai pengaruh terhadap pembagian harta waris hanya saja
Page 71
dalam hal ini anak perempuan mempunyai perenan lebih
dibandingkan dengan anak laki-laki.
Pertanyaan : Apakah perbedaan sistem pembagian warisan rumah tidak
berpengaruh terhadap kerukunan ahli waris?
Jawaban : Tidak, malahan sistem waris tersebut lebih baik dibandingkan
dengan sistem waris 2:1.
Pertanyaan : Bagaimana pelaksanaan pembagian waris, apakah bisa dibagikan
ketika pewaris masih hidup?
Jawaban : Pelaksanaan pembagian warisan di kampung Sukamaju ada yang
suka dilakukukan ketika orang tuanya masih hidup.
Pertanyaan : Bagaimana dengan prosesi berlangsungnya pembagian warisan?
Jawaban : Proses pembagian harta waris di kampung Sukamaju suka berjalan
dengan lancar, karena ketika pembagian warisannya itu suka
didampingi oleh orang yang dipercaya.
Page 72
3. Nama : Sofyan
Alamat : Kp. Cintung, Desa Depok, Kec. Bojong, Kab. Purwakarta
Usia : 61 Tahun
Pekerjaan : Kades Desa Darangdan
Tanggal : 10 Maret 2011
Pertanyaan : Bagaimana sistem kemasyarakatan di kampung Sukamaju?
Jawaban : Sistem kekerabatan di kampung Sukamaju terjalin baik, hal ini
terlihat apabila ada seorang warga yang sedang membangun rumah,
maka warga yang lainnya akan bergotong royong untuk membantu.
Pertanyaan : Apakah ada adat/kebiasaan yang sampai sekarang masih dilakukan
oleh masyarakat kampung Sukamaju?
Jawaban : Ada, adapun tradisi (kebiasaan) yang suka dilakukan oleh
masyarakat kampung Sukamaju adalah:
a. Acara peringatan hari besar Islam, seperti acara maulid Nabi
Muhammad SAW.
b. Tradisi Bangun Rumah, seperti menancapkan bendera di atap
rumah.
c. Tradisi dalam Perkawinan, seperti saweran.
Pertanyaan : Selain adat/kebiasaan tersebut di atas, apakah pada waktu dulu ada
adat/kebiasaan yang suka dilakukan?
Jawaban : Ada, adapun tradisi (kebiasaan) yang sudah ditinggalkan adalah:
a. Tradisi dalam perkawinan, seperti: injak telor, dan buka pintu
b. Tradisi bangun rumah, seperti: mengubur sesuatu di bawah tanah
Page 73
yang akan dijadikan ruang tamu, lama kelamaan ritual tersebut
hilang dengan sendirinya karena masyarakatnya menyadari bahwa
kebiasaan tersebut menyimpang dari ajaran Islam.
c. Larangan bepergian pada hari sabtu, karena suka dikait-kaitkan
dengan kejadian buruk yang menimpa keluarganya ketika
bepergian, seperti kecelakaan sehingga meninggal.
Pertanyaan : Apakah pada waktu dulu, kebiasaan bepergian pada hari sabtu
dilakukan oleh golongan mayoritas/minoritas?
Jawaban : Pada waktu dulu kebiasaan tersebut hanya dilakukan oleh
sekelompok minoritas masyarakat kampung Sukamaju.
Page 74
PEMERINTAH KABUPATEN PURWAKARTA
KECAMATAN DARANGDAN
DESA DARANGDAN
Jalan Raya:Kp. Darangdan RT/RW 23 /06, Darangdan-Purwakarta. 41163
SURAT KETERANGAN
Nomor: PAN.14/03/2011
Yang bertanda tangan di bawah ini kepala Desa Darangdan Kecamatan
Darangdan Kabupaten Purwakarta, menerangkan bahwa:
Nama : Tajul Muttaqin
Tempat Tanggal Lahir : Purwakarta, 22-11-1987
Nomor Pokok : 107044100525
Prodi/Jurusan : Ahwal as- Syakhshiyah
Alamat :Kp.Krajan RT/RW 04/02, Desa
Sindangpanon, Kec. Bojong, Kab.
Purwakarta
Orang tersebut di atas telah selesai melaksanakan penelitian di Kampung
Sukamaju dari tanggal 12 Desember 2010 sampai dengan tanggal 18 Maret 2011,
dan telah melakukan wawancara dengan masyarakat, Kepala Desa, Sekdes, ketua
MUI, dan masyarakat Desa Darangdan Kabupaten Purwakarta.
Demikian surat keterangan ini untuk dijadikan bahan seperlunya.
Darangdan, 21 Maret 2011
Kepala Desa Darangdan
Asep Yayan Rohyana