STATUS KEPEMILIKAN HAK CIPTA FILM DALAM HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL (HKI) (STUDI PADA FILM BUNG KARNO: INDONESIA MERDEKA) SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H) Oleh: Sarah Alzagladi 11140480000005 K O N S E N T R A S I H U K U M B I S N I S P R O G R A M S T U D I ILM U H U K U M FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1440 H/2018 M
84
Embed
STATUS KEPEMILIKAN HAK CIPTA FILM DALAM HAK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44137/1/SARAH... · Permasalahan utama dalam skripsi ini adalah adanya suatu ketidakjelasan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
STATUS KEPEMILIKAN HAK CIPTA FILM DALAM HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL (HKI)
(STUDI PADA FILM BUNG KARNO: INDONESIA MERDEKA)
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
Sarah Alzagladi
11140480000005
K O N S E N T R A S I H U K U M B I S N I S
P R O G R A M S T U D I ILM U H U K U M
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1440 H/2018 M
ii
STATUS KEPEMILIKAN HAK CIPTA FILM DALAM HAK KEKAYAAN
INTELEKTUAL (HKI)
(STUDI PADA FILM BUNG KARNO: INDONESIA MERDEKA)
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
Sarah Alzagladi
NIM: 11140480000005
Pembimbing
Indra Rahmatullah, SH.I, M.H
K O N S E N T R A S I H U K U M B I S N I S
P R O G R A M S T U D I ILM U H U K U M
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1440 H/2018 M
iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
Skripsi yang berjudul “STATUS KEPEMILIKAN HAK CIPTA FILM DALAM
HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL (HKI) (STUDI PADA FILM BUNG
KARNO: INDONESIA MERDEKA)” telah diajukan dalam sidang munaqasyah
Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Ilmu Hukum Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada 7 September 2018. Skripsi ini telah
diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata
a. Landasan konsepsional mengenai Hak Kekayaan Intelektual (HKI)
Dibalik sistem perlindungan terhadap hak atas kekayaan intelektual
ada serangkaian pemikiran konsepsional yang dapat diuraikan. Pemilik
hak atas kekayaan intelektual telah mencurahkan karya pikiran, tenaga,
dan dana untuk memperoleh kekayaan tersebut.
Apabila kekayaan tersebut digunakan untuk keperluan komersial
maka dianggap wajar bahwa pemilik hak kekayaan intelektual tersebut
memperoleh kompensasi atas penggunaan kekayaan tersebut. Secara
simplistik, pertama bentuk penggunaan komersial dan kekayaan
intelektual dapat dilakukan langsung oleh pemilik kekayaan tersebut.
Dengan demikian maka pihak pemilik dapat secara langsung
memperoleh kompensasi finansial akibat transaksi yang menyangkut
penggunaan kekayaan intelektual tersebut. Kedua, pemilik dapat
menjual atau memperoleh kompensasi finansial tersebut kepada pihak
lain, ketiga, pemilik hak atas kekayaan intelektual tersebut dapat
mencegah pihak lain untuk memperoleh atau mempergunakannya.1
Untuk membuat efektif perlindungan mengenai hak tersebut
diperlukan suatu sistem internasional, karena dengan meningkatnya
perdagangan internasional, baik di bidang barang maupun jasa, semakin
terasa oleh pihak pemilik hak kekayaan intelektual kerugian yang
dihadapi apabila haknya dilanggar. Ringkasnya transaksi finansial
sebagai kompensasi atas penggunaan hak intelektual yang seharusnya
diperoleh tidak terjadi.
b. Definisi Hak Kekayaan Intelektual (HKI)
1 H. OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights),
(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), h. 33
17
Hak Kekayaan intektual yang disingkat “HKI”, adalah padanan
kata yang biasa digunakan untuk Intellectual Property Rights (IPR),
yakni hak yang timbul bagi hasil olah pikir yang menghasilkan suatu
produk atau proses yang berguna untuk manusia atau dapat dikatakan
juga hak kekayaan intelektual adalah hak kebendaan, hak atas sesuatu
benda yang bersumber dari hasil kerja otak, hasil kerja rasio. Hasil dari
pekerjaan rasio manusia yang menalar. Hasil kerjanya itu berupa benda
immateril, benda tidak berwujud.2 Pada intinya HKI adalah hak untuk
menikmati secara ekonomis hasil dari suatu kreativitas intelektual
manusia.
Sistem HKI merupakan hak privat (private rights). Disinilah ciri
khas HKI. Seseorang bebas untuk mengajukan permohonan atau
mendaftar karya intelektual atau tidak. Hak eksklusif yang diberikan
Negara kepada Individu pelaku HKI (inventor, pencipta, pendesain, dan
sebagainya) tidak lain dimaksud sebagai penghargaan atas hasil karya
atau kreativitasnya dan agar orang lain terpacu untuk lebih
mengembangkan lagi, sehingga dengan sistem HKI tersebut
kepentingan masyarakat ditentukan melalui mekanisme pasar.
Disamping itu, sistem HKI menunjang diadakannya sistem
dokumentasi yang baik atas bentuk kreativitas manusia sehingga
kemungkinan dihasilkan teknologi atau hasil karya lain yang sama
dapat dihindarkan atau dicegah.
c. Sistem dan keberadaan HKI dalam Hukum Indonesia
Pasca Indonesia meratifikasi Persetujuan Pendirian Organisasi
Perdagangan Dunia (Agreement the Establishing World Trade
Organization) melalui UU Nomor 7 Tahun 1994, maka Indonesia
terikat dan diwajibkan untuk mengharmonisasi hukumnya yang terkait
dengan persetujuan ini. salah satu hukum yang terkena dampak
harmonisasi ini adalah hukum yang terkait dalam bidang hak kekayaan
2 H. OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights), h. 9.
18
intelektual. Hak cipta sebagai satu bagian dalam bidang hak kekayaan
intelektual.3
Kecerdasan intelektual masyarakat dalam suatu bangsa memang
sangat ditentukan oleh seberapa jauh penguasaan ilmu pengetahuan dan
teknologi oleh individu dalam suatu negara. Kreativitas manusia untuk
melahirkan karya-karya intelektualitas yang bermutu seperti hasil
penelitian karya sastra, serta apresiasi budaya yang memiliki kualitas
seni yang tinggi, tidak lahir begitu saja, melainkan memerlukan energi
dan tidak jarang memerlukan biaya yang besar. Maka dari itu karya-
karya intelektual yang dilahirkan memiliki perlindungan yang mana
diatur dalam peraturan perundang-undangan Indonesia.
Pengelompokan Hak Atas Kekayaan Intelektual itu lebih lanjut
dapat dikategorikan dalam kelompok sebagai berikut:
1) Hak Cipta (Copy Rights)
2) Hak Milik (baca: hak kekayaan) Perindustrian (Industrial Property
Rights)
3) Hak yang berkaitan (bersempadan) dengan hak cipta (neighbouring
rights)
Selanjutnya hak atas kekayaan perindustrian dapat diklarifikasikan
lagi menjadi:
1) Paten
2) Utility Models (Model dan Rancang Bangun) atau dalam hukum
Indonesia dikenal sebagai istilah paten sederhana
3) Desain Industri
4) Trade Secrets
5) Merek Dagang
6) Service Marks
7) Trade Names or Commercial Names
8) Appelations of Origin
3Budi Agustin, Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2005), h. 1
19
9) Indications of Origin
10) Unfair Competition Protection.
11) Perlindungan Varietas Baru Tanaman, dan
12) Intergreated Cicuits
2. Hak Cipta
a. Definisi Hak Cipta
Istilah Hak Cipta pertama kali diusulkan oleh Moh. Syah, pada
Kongres Kebudayaan di Bandung tahun 1951 (yang kemudian
diterima oleh Kongres tersebut) sebagai pengganti istilah hak
pengarang yang dianggap kurang luas cakupan pengertiannya. Istilah
hak pengarang itu sendiri merupakan terjemahan dari istilah bahasa
Belanda Auther Rechts.4 Pengertian hak cipta terdapat dalam pasal 1
butir 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta,
menurut ketentuan ini, hak cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta
yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah
suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi
pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Peneliti menyimpulkan bahwa hak cipta adalah hak eksklusif bagi
pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau penerima hak
untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberi
izin untuk dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Maksud dari pencipta adalah seseorang atau beberapa orang yang
secara bersama-sama yang atas inspirasinya melahirkan suatu ciptaan
berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan,
atau keahlian yang dituangkan dalam bentuk yang khas atau bersifat
pribadi.
b. Pemegang Hak Cipta
4Alip Rosidi, Undang-Undang Hak Cipta 1982, Pandangan Seorang Awam, (Jakarta:
Djambatan, 1984), h.3
20
Hal utama yang penting dalam hak cipta adalah Pemegang Hak
dan kepemilikan. Undang-Undang Hak Cipta telah memberikan
definisi tentang Pencipta, dan pada Pasal 1 angka 4 Undang-Undang
Hak Cipta yang dimaksud dengan pemegang hak cipta adalah pencipta
sebagai pemilik hak cipta, pihak yang menerima hak tersebut secara
sah dari pencipta, atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak dari
pihak yang menerima hak tersebut secara sah.
Menurut ketentuan dalam Undang-Undang Hak Cipta, yang
menjadi pemegang hak cipta adalah:
1) Kecuali terbukti sebaliknya, yang dianggap sebagai pencipta
adalah;
a) Orang yang namanya terdaftar dalam daftar umum ciptaan
dan pengumuman resmi tentang pendaftaran pada
Departemen Kehakiman seperti yang dimaksud dalam
Pasal 39.
b) Orang yang namanya disebut dalam ciptaan atau
diumumkan sebagai pencipta suatu ciptaan.
2) Kecuali terbukti sebaliknya, pada ceramah yang tidak tertulis
dan tidak pemberitahuan siapa penciptanya, orang yang
berceramah dianggap sebagai penciptanya.
3) Jika suatu ciptaan terdiri atas beberapa bagian tersendiri yang
diciptakan dua orang atau lebih, yang dianggap sebagai
pencipta adalah orang yang memimpin serta mengawasi
penyelesaian seluruh ciptaan itu, atau jika tidak ada orang itu,
orang yang menghimpunnya dengan tidak mengurangi hak
cipta masing-masing atas bagian ciptaannya.
4) Jika suatu ciptaan dirancang seseorang, diwujudkan dan
dikerjakan oleh orang lain di bawah pimpinan dan pengawasan
orang yang merancang ciptaan, pencipta adalah orang yang
merancang ciptaan itu.
21
5) Jika suatu ciptaan dibuat dalam hubungan dinas dengan pihak
lain dalam lingkungan pekerjaannya, pihak yang untuk dan
dalam dinasnya ciptaan itu dikerjakan adalah pemegang hak
cipta, kecuali ada perjanjian lain antara kedua belah pihak
dengan tidak mengurangi hak si pembuat sebagai penciptanya
apabila penggunaan ciptaan itu diperluas ke luar hubungan
dinas.
6) Jika suatu ciptaan dibuat dalam hubungan atau berdasarkan
pesanan, pihak yang membuat karya cipta itu sebagai pencipta
dan pemegang hak cipta, kecuali apabila diperjanjikan lain
antara kedua pihak.
7) Jika suatu badan hukum mengumumkan bahwa ciptaan berasal
daripadanya dengan tidak menyebut seseorang sebagai
penciptanya, badan hukum tersebut dianggap sebagai
penciptanya kecuali jika dibuktikan sebaliknya.
8) Negara memegang hak cipta atas ciptaan hasil budaya rakyat
yang menjadi milik bersama, bila berhubungan dengan pihak
luar negeri.
9) Apabila suatu ciptaan tidak diketahui penciptanya dan ciptaan
itu belum diterbitkan, Negara memegang hak cipta atas ciptaan
tersebut atas kepentingan penciptanya.
10) Apabila suatu ciptaan tidak diketahui penciptanya atau pada
ciptaan tersebut hanya tertera nama samaran pencipta dan
ciptaan itu sudah diterbitkan, penerbit memegang hak cipta atas
ciptaan tersebut untuk kepentingan penciptanya.
11) Apabila suatu ciptaan telah diterbitkan tetapi tidak diketahui
penciptanya, Negara memegang hak cipta atas ciptaan tersebut
untuk kepentingan penciptanya.
22
c. Pengalihan Hak Cipta
Hak cipta dapat dialihkan baik seluruhnya maupun sebagian
karena: pewarisan, hibah, wasiat, perjanjian tertulis; atau sebab-sebab
lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan. Didalam
Pasal 40 Undang-Undang Hak Cipta Tahun 2014, dijelaskan berbagai
macam ciptaan yang dilindungi ialah ciptaan dalam bidang ilmu
pengetahuan, seni, dan sastra yang meliputi karya: Buku, pamphlet,
perwajahan karya tulis dalam bidang ilmu pengetahuan, seni dan
sastra karya lainnya; ceramah, kuliah, pidato, dan ciptaan sejenis
lainnya; alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan
ilmu pengetahuan; lagu dan music, dengan atau tanpa teks; drama,
drama musikal, tari, koreografi, pewayangan dan pantomim; karya
seni rupa dalam segala bentuk seperti lukisan, gambar, ukiran,
kaligrafi, seni pahat, patung, atau kolase; karya seni terapan; karya
arsitektur; peta karya seni batik atau seni motif lain; karya fotografi
potret; karya sinematografi; terjemahan tafsir, saduran, bunga rampai
basis data, adaptasi, aransemen, transformasi, atau modifikasi ekspresi
budaya tradisional; kompilasi ciptaan atau data, baik dalam format
yang dapat dibaca dengan program computer maupun media lainnya;
kompilasi ekspresi, budaya tradisional selama kompilasi tersebut
merupakan karya yang asli; permainan video, dan program komputer.
Dalam suatu bentuk ciptaan yang dilindungi oleh hak cipta akan
terdapat beberapa hak yang melekat, yaitu;
a) Hak moral; hak yang melekat pada diri pencipta (termasuk pelaku)
yang tidak dapat dihilangkan atau dihapus dengan alasan apapun,
antara pencipta dan ciptaannya ada sifat kemanunggalan atau
dengan kata lain ada hubungan integral diantara keduanya. Sesuai
dengan sifat hak cipta dengan penciptanya, dari segi moral
seseorang atau badan hukum tidak diperkenankan untuk
melakukan perubahan terhadap sesuatu hasil karya cipta, baik itu
mengenai judul, isi, apalagi penciptanya. Hal demikian dapat
23
dilakukan apabila mendapat izin dari pencipta atau ahli warisnya
jika pencipta meninggal dunia. Dengan demian, pencipta atau ahli
warisnya saja yang mempunyai hak untuk mengadakan perubahan
pada ciptaan-ciptaannya untuk disesuaikan dengan perkembangan.
Meskipun demikian, jika pencipta tidak dapat melaksanakan
sendiri penyesuaian karya ciptanya dengan perkembangan, hal itu
dapat dialihkan kepada pihak lain dengan izin penciptanya untuk
melaksanakan pengerjaannya. Berkaitan dengan hak moral sapat
dikonstatir bahwa ada tiga basis hak moral;5
(1) The right of publication; is the right to decide whether the work
is to be made public. Inti dari hak ini, pencipta atau pengarang
lah yang berhak memutuskan apakah dan dimanakah karyanya
akan dipublikasikan.
(2) The right of paternity; is the right of the author to safeguard his
reputation by preserving the integrity of the work. Berkaitan
dengan penerbitan suatu karya, yang bisa dibagi menjadi tiga
hak, yaitu; hak menuntut pencantuman nama pencipta atau
pengarang pada semua hasil perbanyakan karya untuk
selamanya, hak mencegah orang lain menyebut dirinya sebagai
pencipta karya, dan hak mencegah penggunaan atau
pencantuman namanya pada sebuah karya orang lain.
(3) The right of integrity, is the right of the author to safeguard his
reputation by preserving the integrity of the work. Atau hak
pencipta atau pengarang mengubah karyanya atau melarang
orang lain untuk memodifikasi karyanya. Intinya adalah hak
pencipta atau pengarang mencegah pendistorsian atas karyanya.
b) Hak ekonomi; hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas
ciptaan serta produk hak terkait. Hak ekonomi pada ciptaan atau
karya boleh disebut baru muncul belakangan setelah hak moral.
Masalahnya, kegiatan mencipta pada masa lalu belum dipandang
5 Otto Hasibuan, Hak Cipta Di Indonesia , (Bandung: PT. Alumni, 2008), h.70.
24
sebagai suatu pekerjaan. Jadi, kalau terjadi misalnya peniru ciptaan
adalah lebih dianggap sebagai pelanggaran etika atau moral
dibanding pelanggaran yang mengakibatkan kerugian ekonomis.
Pemikiran yang berkembang kemudian, bahwa kegiatan mencipta
dipandang sama dengan bidang pekerjaan lain, yang menghasilkan
materi. Jadi, jika hak moral merupakan refleksi kepribadian
pencipta, hak ekonomi boleh jadi merupakan refleksi kebutuhan
pencipta, baik kebutuhan jasmani maupun rohani. 6 Dari berbagai
konvensi dan hukum hak cipta di berbagai negara, ada enam
macam hak cipta yang dapat di pandang sebagai dasar hak
ekonomi pencipta atau pelaku, yaitu;
(1) The reproduction right; hak reproduksi yang merupakan hak
yang paling fundamental dari seluruh hak ekonomi pencipta
dan hak ini diakui baik dalam Konvensi Bern, Universal
Copyrught Convention (UCC), maupun hukum hak cipta di
setiap negara. Hak ini pada hakikatnya adalah memberi izin
untuk mereproduksi atau mengkopi atau menggandakan jumlah
ciptaan dengan berbagai cara, misalnya dengan cara mencetak
(print) atau secara mekanik. Itu sebabnya, hak mereproduksi
ini sering dibagi lagi menjadi print right dan mechanical right.
(2) The adaption right adalah hak memberi izin melakukan
adaptasi, aransemen, atau perbuatan lain untuk mengubah
bentuk sebuah karya, misalnya menerjemahkan satu karya dari
satu bahasa ke bahasa lain, membuat aransemen music,
penerjemahan dari satu bahasa ke bahasa lain, isi novel diubah
menjadi skenario film.
(3) The distribution right adalah hak memberi izin untuk
mendistribusikan (menyebarkan) hasil penggandaan suatu
karya kepada publik. Termasuk pada kelompok hak ini, antara
lain menjual, menyewakan, dan bentuk-bentuk lain pengalihan
6 Otto Hasibuan, Hak Cipta Di Indonesia, h.71.
25
hasil perbanyakan dari suatu karya. Kecuali yang berhubungan
dengan karya sinematografi didalam the Bern convention, the
distribution right ini tidak jelas diakui didalam the Bern
convention dan UCC.
(4) The public performance right adalah hak memberi izin untuk
menampilkan suatu karya kepada publik. Hak ini juga diakui,
baik dalam The Bern Convention mapun UCC. Oleh beberapa
penulis dan juga kalangan collecting society seperti Yayasan
Karya Cipta Indonesia (YKCI), istilah yang dipergunakan
adalah perfoming right yang didalamnya termasuk
menampilkan karya kepada public secara langsung (live)
maupun melalui penyiaran (broadcast)
(5) The broadcasting right adalah hak memberi izin untuk
menyiarkan suatu karya dengan pentransmisian tanpa kabel.
Hak ini juga diakui dalam The Bern Convention dan UCC.
Pengertian broadcasting disini adalah penyiaran suara dan
gambar dari suatu karya, misalnya oleh radio dan televisi dan
berbagai bentuk pengomunikasian karya kepada publik secara
tidak langsung tetapi tidak menggunakan kabel.
(6) The cablecasting right hak memberi izin untuk menyiarkan
suatu karya dengan menggunakan kabel ada dua bentuk
penyiaran dengan kabel ini, yaitu cable retransmission dan
cable origination. Bentuk yang pertama adalah pentransmisian
kembali dengan kabel suatu penyiaran karya, jadi merupakan
sebuah kegiatan meneruskan yang sudah ada (pre-existing).
Bentuk yang kedua adalah pentransmisian asli dengan kabel
sebuah karya. Didalam The Bern Convention, bentuk yang
pertama ditempatkan sebagai bagian dari broadcasting live
dan bentuk yang kedua diberlakukan sebagai salah satu bagian
dari the public performance right.
26
c) Hak terkait; hak eksklusif yang berkaitan dengan hak cipta yaitu
hak eksklusif bagi pelaku yang memperbanyak atau meniyarkan
pertunjukan; bagi produser suara untuk memperbanyak atau
menawarkan karya rekaman suara atau rekaman bunyinya; dan
bagi Lembaga Penyiaran untuk membuat, memperbanyak, atau
menyiarkan langsung. Untuk mengetahui cakupan dari hak
mengumumkan dan memperbanyak dapat dilihat pada pasal 1
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta, yang
menjelaskan bahwa pengumuman adalah pembacaan, penyiaran,
pameran, penjualan, pengedaran, atau penyebaran suatu ciptaan
dengan menggunakan alat apapun sehingga suatu ciptaan dapat
dibaca, didengar, atau dilihat orang lain. Selanjutnya, perbanyakan
adalah penambahan jumlah sesuatu ciptaan, baik secara
keselurushan maupun bagian yang sangat substansial dengan
menggunakan bahan-bahan yang sama ataupun tidak sama,
termasuk mengalihwujudkan secara permanen atau temporer.
d. Penegakan Hak Cipta
Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai suatu pelanggaran hak
cipta apabila perbuatan tersebut melanggar hak ekskulsif dari pencipta
atau pemegang hak cipta. Mengenai prosedur penegakan hukum hak
cipta secara adil dan setara telah ditetapkan dalam TRIPs,
memungkinkan pemegang hak cipta untuk mengajukan permohonan
sementara ke Pengadilan Niaga, prosedur tersebut telah diatur dalam
Undang-Undang Hak Cipta, hal ini tidak mengurangi hak Negara
untuk melakukan tuntutan pidana terhadap pelanggaran hak cipta.
Di dalam TRIPs selain tentang prosedur penegakan hukum HKI
juga diatur tentang penetapan sementara (injuctions) oleh Pengadilan
Niaga yang pengaturannya telah didapati dalam Undang-Undang Hak
Cipta. Adanya ketentuan penetapan sementara sebagai kewenangan
27
hakim Pengadilan Niaga ini dimaksudkan utuk mencegah kerugian
yang lebih besar pada pihak yang haknya di langgar.7
Sedangkan upaya lain yang dapat dilakukan adalah pencipta atau
pemegang hak cipta dapat melakukan upaya mengajukan gugatan
ganti rugi ke Pengadilan Niaga atas pelanggaran hak ciptanya dan
meminta penyitaan terhadap benda yang di umumkan atau hasil
perbanyakan ciptaan atau barang yang merupakan hasil pelanggaran
hak cipta (putusan sela). Dan usaha yang terakhir yang dapat
dilakukan oleh pencipta atau pemegang hak cipta jika terjadi
pelanggaran hak cipta adalah melaporkan pelanggaran tersebut kepada
pihak penydik POLRI dan/atau PPNS DJHKI.
B. Kerangka Teori
1. Teori Kepemilikan
Kepemilikan berasal dari kata milik. Kata milik dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia atau KBBI adalah kepunyaan; hak. Definisi kepemilikan
adalah kekuasaan yang didukung secara sosial untuk memegang kontrol
terhadap sesuatu yang dimiliki secara eksklusif dan meggunakannya untuk
tujuan pribadi.
Kepemilikan adalah perihal memiliki suatu barang atau ciptaan yang
mencakup pengelolaan dari apa yang dimiliki, termasuk hak dalam
kepemilikan tersebut. Hak kepemilikan adalah sesuatu yang sah dan diakui
karena setiap orang mempunyai hak untuk memelihara atau
mempertahankan apa yang menjadi miliknya. Kepemilikan memiliki suatu
ikatan seseorang dengan hak miliknya. Kepemilikan memberikan hak
khusus yang didapatkan oleh pemilik, sehingga pemilik mempunyai hal
sejauh tidak melakukan pelanggaran dalam hukum yang berlaku. Menurut
hukum dasar, yang namanya harta, sah dimiliki, kecuali harta-harta yang
7 Prof. Dr. Eddy Damian, SH., Hukum Hak Cipta, (Bandung: PT. Alumni Bandung, 2009),
h. 280.
28
telah di siapkan untuk kepentingan umum, misalnya wakaf dan fasilitas
umum.
Menyinggung dalam kepimilkan umum atau bersama, telah di
kemukakan oleh Locke dalam gagasannya mengenai kepemilikan,
berkonsep bahwa Tuhan memberikan bumi kepada semua manusia secara
sama, demi mendukung kehidupan manusia.8 Persoalan yang muncul
kemudian ialah bagaimaa agar kepemilikan bersama itu beralih menjadi
pemilikan pribadi, dasar apa yang yang melegitimasi hak milik pribadi.
Locke mengatakan bahwa hak kepemilikan itu muncul apabila seseorag
melakukan usaha-usaha kepemilikan yakni dengan adanya The ‘Labor’ of
his body and the ‘work’ of his hands, yang berarti memperkejakan
badannya dan menghasilkan karya dari tangannya.
Kepemilikan terkait erat dengan hak kekayaan intelektual, sesuatu
yang timbul dari kecerdasan manusia sehingga menimbulkan ciptaan
merupakan hak kekayaan intelektual, dan intelektual yang dihasilkan
individu atau kolektif tidak dapat dijadikan milik masyarakat, maka dari
itu kekayaan intelektual dilindungi oleh hukum.
Teori kepemilikan (theory of property) sebagaimana diuraikan oleh
filsuf inggris, John Locke (1632-1704) di aplikasikan pada konsep hak
kekayaan intelektual. Teori kepemilikan yang dikemukakan oleh John
Locke merupakan bagian dari karyanya The Second Treatise Of
Government, dan merupakan bagian dari pemikirannya dalam rangka
mempertahankan individualisme serta membatasasi kekuasaan yang
dimiliki oleh para monarki (Dunn 1994). Dalam bahaa Ashcraft, Locke
dalam karya ini telah memberikan alasan yang kuat untuk melakukan
perlawanan aktif terhadap raja yang tak lagi memiliki otoritas yang diakui.
(Ashcraft 1994:227)
Konsepsi Locke tentang teori kepemilikan ini hendak dilihat kaitannya
dengan konsep hak kekayaan intelektual, yang memberikan pengakuan
8 Ridwan, Hak Milik: Perspektif Islam, Kapitalis, Dan Sosialis, (Purwokerto, Stain Press,
2010), h. 112.
29
terhadap hasil karya individu yang telah menciptakan penemuan atau
karya intelektual tertentu yang menyertai karya tersebut. Pemikiran Locke
selalu dirujuk ketika orang membalas bagaimana suatu kekuasaan yang
mutlak seperti dimiliki oleh para raja (monarki) haruslah dibatasi, dan
disitu pulalah harus ada pengakuan atas konsep kepemilikan pribadi
supaya raja tidak bisa mengambil hak milik individu secara semena-mena.
Cara pandang yang ditunjukkan oleh pemikiran Locke merujuk pada
pengalaman yang terjadi di Inggris, dimana teori kepemilikan John Locke
terutama merujuk pada penguasaan atas benda-benda yang terlihat
(tangible property) dalam rupa seperti tanah, rumah dan harta benda.
Sebelum Locke menemukan pemikiran otoritas atas diri individu terhadap
monarki, para penguasa mengambil apa saja yang dimiliki orang biasa
yang berharga atas dasar kekuasaan yang mereka miliki.9
Pengembangan teori kepemilikan menuju pada teori kepemilikan
intelekual berupa barang tak nyata (intangible property), filosofi konsep
kekayaan intelektual memiliki akar pada pemikiran Locke, dan filsafat itu
bergantung pada definisi kerja intelektual (intellectual work) yang menjadi
miliki pribadi (private property), secara lebih spesifik dengan dibekali ide
bahwa berbagai jenis kekayaan intelektual dapat dibedakan dengan adanya
sejumlah kerja mental yang terwujud didalamnya, hal ini merujuk secara
terbalik pada ide John Locke dimana kepemilikan mulai ada ketika jejak
seorang pribadi ditemukan pada alam melalui kerja. dapat disimpulkan arti
sesungguhnya tulisan Locke tentang kepemilikan adalah bahwa ia telah
menunjukkan kebenaran yang koherensi dari argumen yang bersandar
pada pemahaman atas teori hukum alam untuk mendukung konsep hak
kekayaan intelektual terutama tergantung pada konsep komunitas dan
skema metafisika yang menyertainya.
Kutipan dibawah ini menunjukkan preposisi Locke secara tegas:
9 Ignatius Haryanto, Sesat Pikir Kekayaan Intelektual, (Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia, 2014), h. 2
30
though the earth and all inferior cratures be common to all men, yet every man has a property in his own person; this nobody has any right to but himself. The labour of his body and the works of this hands, we may say, are properly his. Whatsoever then he removes out of the state that nature has provided and left it in, he has mixed his labor with, and joined to it something that is his own, and thereby makes it his property. It being by him remoed from the common state nature has placed it in, it has by this labour being something annexed to it that excludes the common right of other men. For this labor being the unwuestionable property of the labourer, no man but he can have a right to what that is once joined to, at least where there is enough and as good left in common for others”10
artinya: meskipun bumi dan semua menjadi hal yang umum bagi semua manusia, namun setiap manusia memiliki properti di dalam dirinya sendiri; tidak ada yang berhak tetapi dirinya sendiri. Tenaga kerja tubuhnya dan karya-karya tangan ini, bisa kita katakan, adalah miliknya. Apa pun yang ia keluarkan dari keadaan yang telah disediakan alam dan membiarkannya masuk, ia telah mencampur tenaga kerjanya dengan, dan bergabung dengannya sesuatu yang menjadi miliknya, dan dengan demikian membuatnya menjadi miliknya. Karena sifatnya yang disingkirkan dari sifat negara yang umum telah menempatkannya di dalamnya, maka oleh tenaga kerja ini ada sesuatu yang terlampir padanya yang tidak termasuk hak umum orang lain. Karena tenaga kerja ini adalah properti pekerja yang tidak diketahui, tidak ada manusia, tetapi ia dapat memiliki hak atas apa yang pernah disatukan, setidaknya di mana ada cukup dan sama-sama baik bagi orang lain.
Pemikiran Locke, utamanya dalam buku Second Treatise of
Government, telah memberikan pendasaran bahwa kepemilikan pribadi
adalah sesuatu yang dimungkinkan, dan untuk itu ada sejumlah syarat
yang harus dilakukan manusia ketika ia mengambil sesuatu dari alam dan
kemudian melakukan kerja tertentu atau mencampurkannya dengan
sesuatu hingga benda tersebut memiliki nilai lebih.
Konsep hak kekayaan intelektual yang kita kenal sekarang berutang
budi pada teori Locke tentang hak milik pribadi. Pembahasan pengaruh
Locke tentang hak kekayaan intelektual, diantaranya, pertama adalah pasar
10Peter Coste, “Second Treatise of Government by John Locke”, Salus Populi Suprema, London Printed MDCLXXXVIII, (1 April, 2012), h. 11.
31
yang memadai untuk menghasilkan sistem komersil dari produksi
kebudayaan. Kedua adalah diakuinya konsep pengarang sebagai pengemas
(reproducer) kebenaran tradisional yang telah dikenal. Ketiga, perlu
adanya teori kepemilikan yang memadai, atau persisnya adanya dikursus
yang lebih banyak tentang kepemilikan, suatu bahasa dimana ide tentang
pengarang sebagai pemilik dapat diperdalam. 11
Pemikiran Locke sangat berakar pada tradisi hukum kodrat dimana
manusia bisa bebas mengambil sesuatu dari alam, dan ia mengusulkan
adanya suatu cara dimana pengambilan sesuatu dari alam itu memiliki
legitimasi, yaitu saat Locke mengajukan konsep “kerja” (labor) sebagai
pembeda dari pengambil alihan sesuatu dari alam semesta ini. konsep
kerja ini dilengkapi dengan konsep pencampuran sesuatu yang diambil
dari alam dengan suatu bentuk kerja tertentu. Dapat dikatakan hal tentang
memberikan nilai lebih inilah yang menjadi pembeda dan sumber
legitimasi manusia untuk bisa mengatakan bahwa sesuatu itu menjadi
miliknya.
Namun locke mengemukakan konsep hak milik pribadi bukanlah
tanpa suatu prasyarat. Dengan setting sejarah masyarakat dan pemikiran
akhir abad ke-17 dan awal abad ke-18, maka yang menjadi prasyarat
kepemilikan pribadi menurut Locke adalah suatu pengambilan yang tetap
mempertimbangkan adanya ketersediaan yang cukup dan masih baik
tersisa bagi orang lain. Kemudian pengambilan sesuatu itu juga harus
sesuatu yang secukupnya diperlukan, agar tidak menjadian pengambilan
itu sia-sia karena akan menjadi rusak atau busuk. Hal ini tidak bisa
dilepaskan dari penjelasan Locke atau kondisi asli manusia yang
berkelimpahan, lain dengan Hobbes yang menggambarkan kondisi
manusia yang langka, dan untuk itu manusia saling mewaspadai manusia
lainnya dalam keragka persaingan.
11 Ignatius Haryanto, Sesat Pikir Kekayaan Intelektual, h. 86.
32
Dengan pemahaman seperti inilah muncul sebutan “Lockean”
dalam paham hak kekayaan intelektual, yaitu besarnya pengaruh Locke
terutama pada konsep labor dalam konsep hak kekayaan intelektual,
pemeriksaan yang dilakukan lewat penelitian ini menunjukkan bahwa
hanya faktor labor yang dipertimbangkan untuk jadi kerangka atas konsep
hak kekayaan intelektual, masalahnya menjadi terlalu sederhana. Bukan
hanya ditunjukkan kompleksitas masalah dalam konsep Hak Kekayaan
Intelektual, tetapi Locke sendiri juga telah menunjukkan prasyarat-
prasyarat tertentu yang harus diberlakukan untuk menghasilkan hak milik
pribadi tersebut.12
2. Teori Derivate Works
Konsep hak cipta di Indonesia, merupakan terjemahan dari konsep
copyright dalam bahasa Inggris. Konvensi Berne pada tahun 1886 adalah
yang pertama kali mengatur masalah copyright antar negara yang
berdaulat. Dalam konvensi ini, copyright diberikan secara otomatis kepada
karya kreatif, dan pengarang tidak harus mendaftarkan karyanya untuk
mendapatkan copyright. Segera setelah sebuah karya dicetak atau
disimpan dalam satu media, pengarang otomatis mendapatkan hak
eksklusif copyright terhadap karya tersebut, dan juga terhadap karya
derivatif hingga pengarang secara eksplisit menyatakan sebaliknya atau
hingga masa berlaku copyright tersebut selesai.
Karya cipta turunan (derivative) berlaku selama 50 tahun sejak
pertama kali diumumkan. Dalam hal hak cipta atas perwajahan karya tulis
yang diterbitkan berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak pertama kali
diterbitkan, sedangkan hak cipta yang dimaksud dimiliki atau dipegang
oleh suatu badan hukum berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak
pertama kali diumumkan.13
12 Ignatius Haryanto, Sesat Pikir Kekayaan Intelektual, h. 145.
13 Aryani Nauli Hasibuan, “Perlindungan Hak Cipta Atas Karya Derivatif Dalam Prakteknya: Studi Kasus Buku Ensikopedia Al Quran: Al-Maushuah Al-Quraniyah Al-Muyassarah.” h. 33.
33
Sebuah karya derivatif (derivate works) atau disebut juga karya
turunan adalah karya yang didasarkan atas satu atau lebih karya yang
sudah ada sebelumnya, seperti terjemahan, aransemen musik, dramatisasi,
kondensasi, atau bentuk perubahan lain dari suatu karya, ditransformasi,
atau diadaptasi. Dapat dikatakan bahwa suatu karya derivatif adalah
sebuah “versi terbaru” dari suatu karya cipta, dimana jelas diantara
keduanya ditemukan adanya beberapa unsur pembeda namun tidak
merubah format dasar atau basic dari ciptaan tersebut.14
Derivate works merupakan suatu ciptaan karya turunan atas ciptaan,
atau megadaptasi ciptaan yang bersumber dari satu karya saja. Untuk
dapat digolongkan sebagai derivate works atau karya derivatif, tentunya
versi baru harus memiliki perbedaan yang mencukupi dan memiliki konten
atau material baru dalam jumlah tertentu dan sebagai materi baru yang
ditambahkan haruslah orisinil. Sebuah derivasi didasarkan pada karya asli
tetapi berbeda dari itu karena menggabungkan kontribusi asli dari
penciptanya. Mengenai kepemilikan hak cipta atas karya derivatif pun
terpisah dengan hak cipta atas ciptaan asli.
Karya turunan akan melanggar karya asli, dengan asumsi bahwa hak
cipta karya asli telah bertahan hidup di dalamnya, dengan tidak adanya
izin dari pemilik hak cipta karya asli, tapi sebuah transformasi tidak akan
melanggar hak karya asli dan akan tidak memerlukan izin dari pemilik hak
cipta karya asli yang akan diperoleh untuk penciptanya untuk dapat
mengeksploitasinya. Hal ini karena keduanya merupakan adaptasi dan
turunan akan secara substansial bergantung dan beristirahat pada karya
asli, sementara turunan hanya akan menggunakan data mentah dalam
karya asli ide-ide yang yaitu, dalam hal apapun, tidak dilindungi oleh hak
cipta.
14 Aryani Nauli Hasibuan, “Perlindungan Hak Cipta Atas Karya Derivatif Dalam
Prakteknya: Studi Kasus Buku Ensikopedia Al Quran: Al-Maushuah Al-Quraniyah Al-Muyassarah”, h. 34.
34
Untuk menentukan bahwa suatu karya dapat dianggap sebagai karya
turunan, pertama kali suatu karya cipta harus mengandung keaslian dan
kedua, terdaftar secara sah menurut ketentuan Undang-undang hak cipta.
Istilah "sah" mengacu pada izin yang diberikan oleh pemilik hak cipta
yang sebenarnya.
Oleh karena itu, orang yang ditemukan memiliki sebuah karya turunan
yang berasal dari suatu karya cipta, akan bertanggung jawab atas
pelanggaran jika karya turunan tersebut dibuat tanpa izin pemegang hak
cipta atas karya cipta tersebut. Standar dapat yang digunakan dalam
menentukan orisinalitas yang diperlukan suatu karya untuk dianggap
sebagai karya turunan yakni karya turunan harus membuat variasi pada
karya mendasar yang dianggap lebih dari "hanya sepele".
Jika tingkat orisinalitas dianggap lebih dari "hanya sepele" dan orang
tersebut secara sah telah mendapat izin untuk menciptakan karya turunan,
pencipta karya adaptasi tersebut hak cipta derivatif-nya yang akan terpisah
dari hak cipta yang terkandung di dalamnya.
Karya derivatif dilindungi oleh hak cipta. Untuk dapat digolongkan
sebagai karya derivatif, tentunya versi baru harus memiliki perbedaan
yang mencukupi dan memiliki konten atau material baru dalam jumlah
tertentu. Dengan demikian, perubahan minor tidaklah digolongkan sebagai
karya derivatif.15
Yang dilindungi hak cipta dalam konteks karya derivatif adalah
material baru yang ditambahkan terhadapnya, bukan keseluruhan karya
yang terintegrasi dengan material baru. Perlu ditambahkan, bahwa karya
derivatif sebagai materi baru yang ditambahkan haruslah orisinil dan
dilindungi hak cipta.
15Feri Sulianta, Seri Referensi Praktis: Konten Internet,
http://books.google.co.id/books?id=f9Vurjx2D8C&pg=PA56&lpg=PA56&dq=buku,+hak+cipta,+derivatif,+karya+turunan&source=bl&ots=4nGPhr0Bv9&sig=iuOfIeNANaoTGKnsJV1s8C5OMA&hl=id&ei=KO19TfKkKMfprQfs06XMBQ&sa=X&oi=book_result&ct=result&resnum=7&ved=0CCsQ6AEwBg#v=onepage&q=buku%2C%20hak%20cipta%2C%20de rivatif%2C%20karya%20turunan&f=false diakses pada 3 Mei 2018 pada pukul 22.02 WIB
35
3. Teori Reproductive Works
Dalam reproduksi, hal yang terpenting adalah ketika kita membuat
suatu karya cipta asli namun menggunakan atau mengutip beberapa
refrensi yang berbeda-beda, maka hal yang terpenting yang dilakukan
adalah kita harus menyebutkan nama dari pencipta masing-masing kalimat
atau refrensi yang dikutip dan digunakan.
Di dalam hukum hak cipta melingkupi pengetahuan di bidang ekonomi
dan sosial, dimana kajiannya juga diperluas terhadap bidang sastra,
pendidikan, informasi, hiburan, dan media. Meskipun hak cipta terkadang
dikatan relatif dibandingkan dengan sifatnya yang absolut tetapi monopoli
atas hal tersebut masih dimungkinkan untuk terjadi.
Sistem yang telah ada saat ini bukan hanya berupa mengendalikan
hasil ciptaan yang sama tetapi juga mendorong terbentuknya hasil ciptaan
lainnya yang sejenis. Tindakan monopolistik, meskipun terkait dengan
hasil yang sama tetapi tetap memiliki pembatasan-pembatasan tertentu,
dimana hal tersebut dibangun pada16:
1) Kebebasan pencipta yang independen untuk memanfaatkan
seluruh hasil ciptaannya
2) Fakta bahwa perlindungan hanya dapat diberlakukan pada hasil
dari sebuah ciptaan dan bukan pada gagasan itu sendiri
3) Ketentuan mengenai pengecualian atau “fair dealing”, berita,
pengajaran dan penelitian, serta hal-hal yang diperbolehkan oleh
hukum
4) Sistem dari kewajiban untuk memperoleh perizinan
5) Biaya dan hambatan dalam melaksanakan hak-hak eksklusif
Pembatasan yang sangat signifikan dalam hak eksklusif dari
pemegang suatu hak cipta terletak pada wacana pengecualian yang biasa
dikenal dengan istilah “fair dealing” atau “fair use”. Doktrin ini seringkali
sulit untuk dimengerti dibandingkan dengan tetap mempertahankan sifat
16 Pan Mohammad Faiz, “Analisa Pengecualian Terhadap Hak Cipta: Suatu Perbandingan Hukum Pada UU Hak Cipta India”, (Oktober, 2006), h.2.
36
yang adil (fair). Sejak abad ke-19, pengadilan telah memulai
mengembangkan prinsip-prinsip pembebasan berbagai bentuk pelanggaran
pengguanaan penggandaan hak cipta sebagai bentuk fair use atau
pengecualian oleh hukum.
Pasal 9 ayat (2) Konvensi Berne memberikan kewenangan terhadap
legislasi nasional untuk mengizinkan perlindungan hukum suatu
reproduksi dalam hal tertentu selama dua kondisi khusus yaitu;17
1) Reproduksi tidak menyebabkan konflik dengan pemanfaatan dari
suatu hasil ciptaan;
2) Setiap reproduksi tidak menyebabkan hilangnya legitimasi sang
pencipta secara wajar.
Konsep yang diterapkan oleh India berbeda dengan Amerika Serikat
yang mengguanakan doktrin fair use atau pengecualian hak cipta secara
general. India juga berbeda dengan civil system yang diterapkan di Eropa
ataupun Indonesia sekalipun, dimana negara-negara tersebut memberikan
pengertian secara umum mengenai pengecualian hak cipta atas nama
pribadi. Konsep demikian dianggap berbeda sebab pengertian
pengecuallian seperti yang diterapkan oleh banyak negara masih bersifat
sangat luas dan kurang tepat. Suatu tindakan pelanggaran hak cipta dengan
pembelaan berdasarkan alasan pengecualian biasanya akan sampai pada
putusan yang menyatakan ditolaknya suatu permohonan.
Namun bagaimanapun juga, fleksibilitas mengenai pendekatan
pengertian pengecualian secara luas, dapat juga membawa dampak positif
untuk menjaga konsep hukum tentang hak cipta selalu diperbaharui dalam
kaitannya dengan perkembangan teknologi dalam hal-hal baru dalam
setiap ciptaan.
17 Pan Mohammad Faiz, “Analisa Pengecualian Terhadap Hak Cipta: Suatu Perbandingan Hukum Pada UU Hak Cipta India”, h. 3.
37
C. Review Studi Terdahulu
1. Skripsi yang berjudul “Perlindungan Hukum Bagi Pemegang Hak Desain
Industri Dikaitkan Dengan Asas Sistem Pendaftaran Pertama” karya Ilyas
Aghnini, Program Studi Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
tahun 2015, dalam skripsi tersebut menerangkan bagaimana hak-hak bagi
pemegang hak kekayaan intelektual, dalam skripsi berfokus kepada hak
desain industry, yang mana hak desain industry tersebut dikaitkan dengan
asas sistem pendaftaran pertama, sedangkan dalam penelitian peneliti,
peneliti akan meneliti bagaimana kepemilikan hak kekayaan intelektual
yang berfokus pada hak cipta suatu karya sinematografi.
2. Buku yang berjudul “Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual” yang
ditulis oleh H. OK. Saidin, yang diterbitkan oleh PT. Raja Grafindo
Persada pada tahun 2002, didalam buku tersebut dijelaskan mengenai
pemahaman mengenai hak kekayaan intelektual, yang meliputi UHC
(Undang-undang Hak Cipta) Indonesia, neighboring, Perubahan UHC.
Dalam buku ini menjelaskan konsep HKI secara mendasar. , tetapi dalam
penelitian ini peneliti hanya berfokus terhadap kasus yang peneliti pilih dan
perihal siapa yang berhak dalam pemegang hak cipta menurut Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta, dan mengkaji apakah
pemeran tokoh dalam suatu film diatur dalam Undang-Undang Hak cipta.
3. Jurnal yang berjudul “Kostum Dalam Membangun Karakter Tokoh Pada
Film Soekarno” yang ditulis pada tahun 2014 oleh Ranang Agung
Sugiharto yang merupakan Dosen dari Institut Seni Indonesia Surakarta,
dalam jurnal tersebut menjelaskan aspek-aspek dari pembuatan film
Soekarno, dalam jurnal tersebut membahas secara lengkap bagaimana
persiapan pembuatan film Soekarno, termasuk dalam pemeran tokoh dari
film Soekarno, dan mencakup bagaimana kostum, riasan wajah, tempat
pembuatan film, dan pengambilan gambar untuk film tersebut. Dari jurnal
tersebut mempermudah peneliti untuk lebih dalam mengkaji penelitian
karena dalam jurnal tersebut membahas pemeran-pemeran tokoh dalam
film Soekarno.
38
BAB III
PEMEGANG HAK CIPTA FILM DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
A. Film Sebagai Bagian Dari Hak Cipta
1. Definisi Film
Film adalah media komunikasi yang bersifat audio visual untuk
menyampaikan suatu pesan kepada sekelompok orang yang berkumpul di
suatu tempat tertentu. Pesan film pada komunikasi massa dapat berbentuk
apa saja tergantung dari misi film tersebut. Akan tetapi, umumnya sebuah
film dapat mencakup berbagai pesan, baik itu pesan pendidikan, hiburan
dan informasi. Pesan dalam film adalah menggunakan mekanisme
lambing-lambang yang ada pada pikiran manusia berupa isi pesan, suara,
perkataan, percakapan dan sebagainya.
Film cerita agar tetap diminati penonton harus tanggap terhadap
perkembangan zaman, artinya ceritanya harus lebih baik, penggarapannya
yang professional dengan teknik penyuntingan yang semakin canggih
sehingga penonton tidak merasa dibohongi dengan trik-trik tertentu
bahkan seolah-olah justru penonton yang menjadi aktor/aktris di film
tersebut.
Dalam pembuatan film cerita diperlukan proses pemikiran dan proses
teknik, yaitu berupa pencarian ide, gagasan atau cerita yang di garap,
sedangkan proses teknis berupa keterampilan artistik untuk mewujudkan
segala ide, gagasan, atau cerita menjadi film yang ditonton.1
Pengertian lain tentang film yaitu selaput tipis yang dibuat dari
seluloid untuk tempat gambar negatif (yang akan dibuat poster) atau untuk
tempat gambar positif (yang dimainkan di bioskop).2 Sedangkan menurut
pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 Tentang
1 http://5martconsultingbandung.blogspot.com/2010/10pengertian-film.html diakses pada
13 April 2018
2 Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Balai Pustaka, 1990), h.10.
39
Perfilman (selanjutnya disebut Undang-Undang Perfilman) film adalah
karya seni budaya yang merupakan pranata sosial dan media komuniasi
massa yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi dengan atau tanpa
suara dan dapat dipertunjukkan.
Undang-Undang perfilman memberikan definisi perfilman adalah
berbagai hal yang berhubungan dengan film. Undang-Undang perfilman
mendukung kebebasan berkarya yang bertanggung jawab atas pembuatan
film. Kebebasan berdasarkan kemampuan imajinasi, daya cipta, rasa
ataupun karsa, baik dalam bentuk, makna ataupun caranya.3
2. Jenis-jenis Film
Didalam Undang-Undang film di kenal sebagai sinematografi,
pengaturan mengenai sinematografi memang dilndungi dalam Undang-
Undang Hak cipta yang terdapat dalam Pasal 40 ayat (1) huruf m yang
dalam penjelasannya berbunyi:
“Yang dimaksud dengan Karya Sinemtografi adalah ciptaan yang
berupa gambar bergerak (moving images) antara lain film dokumenter,
film iklan, reportase atau film cerita yang dibuat dengan skneario, dan film
kartun. Karya sinematografi dapat dibuat dalam pita seluloid, pita video,
piringan vedo, cakram opic, dan/atau media lain yang memungkinkan
untuk dipertunjukkan di bioskop, layar lebar, televisi atau media lainnya”
Pada dasarnya film atau sinematografi dapat dikelompokan ke dalam
dua pembagian dasar, yaitu kategori film cerita dan non cerita. Pendapat
lain menggolongkan menjadi film fiksi yang diproduksi berdasarkan cerita
yang dikarang, dan dimainkan oleh aktor dan aktris. Pada umumnya film
cerita bersifat komersial, artinya dipertunjukkan di bioskop dengan harga
karcis tertentu atau diputar di televisi dengan dukungan sponsor iklan
tertentu. Film non cerita adalah film yang mengambil kenyataan sebagai
subyeknya yaitu merekam kenyataan dari pada fiksi tentang kenyataan.
3 M. Ramli., Fathurrahman, Film Indepeden Dalam Perspektif Hukum Hak Cipta dan
Hukum Perfilman Indonesia. (Bogor: Ghalia Indonesia, 2005), h.34.
40
Melihat fakta dan realita dalam dunia sinematografi atau perfilman
banyak sutradara yang terinspirasi dan membuat suatu karya adaptasi yang
diadaptasi dari kisah atau perjalanan hidup seseorang, bentuk film biografi
mulai menciptakan satu kecenderungan untuk diproduksi, Sebut saja
contohnya akhir ini banyak film yang di liris dan menceritakan kehidupan
seseoarang, misalnya Bung Karno; Indonesia Merdeka, Habibie dan
Ainun, Jokowi, Benyamin, dan yang lainnya.
Ketika film biografi diproduksi memang menimbulkan banyak
pertanyaan, karena sebagian kalangan meyakini bahwa film biografi
adalah bagian dari genre film dokumenter, sehingga menjadi tidak sah
apabila ada unsur dramaturginya. Sementara bagi pelaku film fiksi, sama
sekali tidak menginginkan jika film biografi masuk dalam kategori
dokumenter karena ketiadaan berimprovisasi penciptaan didalamnya.
Ketika film biografi dikemas dalam fiksi, jelas akan memberikan
kemudahan dalam melakukan improvisasi.
Film biografi sering kali disebut sebagai biopic (biographical
pictures). Teori sinema menyebutkan bahwa film biografi adalah sub-
genre dari genre film yang lebih besar yakni drama dan epic. Kombinasi
antara biografi inilah yang menjadi awal dari penciptaan film-film biografi
dan jenisnya pun banyak isu yang melingkupi sosok yang difilmkan, baik
itu menyangkut kehidupan sosok atau kelompok masa lampau, atau bisa
juga pada saat sekarang.
3. Film sebagai Ciptaan Turunan (Derivate Works)
Di dalam hukum hak cipta, jenis-jenis ciptaan yang dilindungi di
dalam hukum hak cipta di bagi ke dalam dua kelompok, yaitu ciptaan yang
faktornya asli atau original, dan ciptaan ang bersifat turunan atau
derivative.
Ciptaan yang bersifat asli terdiri dari:
1) Buku pamphlet dan semua karya tulis lainnya;
2) Seni tari, seperti keografi;
3) Seni rupa, seperti seni lukis, seni pahat, dan seni patung;
41
4) Seni batik
5) Ciptaan lagu dengan music dengan atau tanpa teks
6) Kaya arsitektur
Sedangkan ciptaan yang bersifat turunan atau derivative yaitu:
1) Karya pertunjukan seperti musik, karawitan, drama, tari,
pewayangan, pantomime, dan karya siaran, antara lain untuk
media radio, televise, dan film, serta karya rekaman video;
2) Ceramah, kuliah, pidato dan sebagainya;
3) Peta;
4) Karya sinematografi;
5) Karya rekamana suara atau bunyi;
6) Terjemahan, tafsir, saduran, dan penyusunan bunga rampai;
7) Karya fotografi;
8) Program komputer;
Pengelompokan jenis ciptaan tersebut merupakan ketentuan yang
universal. Pengelompokan jenis ciptaan ini sangat penting, dalam
kaitannya dengan ketentuan lamanya perlindungan. Di Indonesia,
perlindungan antara hak cipta yang asli (original) dengan yang turunan
Adaptation” means,- (i) in relation to a dramatic work, the conversion of the work into a non-dramatic work; (ii) in relation to a literary work or an artistic work, the conversion of the work into a dramatic work by way of performance in public or otherwise; (iii) in relation to a literary or dramatic work, any abridgement of the work or any version of the work in which the story or action is conveyed wholly or mainly by means of pictures in a form suitable for reproduction in a book, or in a newspaper, magazine or similar periodical; (iv) in relation to a musical work, any arrangement or transcription of the work; and (v) in relation to any work, any use of such work involving its re-arrangement or alteration;…7
Artinya: “Adaptasi ”berarti, - (i) dalam kaitannya
dengan karya dramatis, konversi karya menjadi karya non-dramatis; (ii) dalam kaitannya dengan karya sastra atau karya artistik, konversi karya menjadi karya dramatis dengan cara pertunjukan di depan umum atau sebaliknya; (iii) dalam kaitannya dengan karya sastra atau drama, penyederhanaan karya atau versi apa pun dari karya di mana cerita atau tindakan disampaikan seluruhnya atau sebagian besar melalui gambar dalam bentuk yang cocok untuk reproduksi dalam buku, atau dalam surat kabar, majalah atau majalah serupa; (iv) dalam kaitannya dengan karya musik, pengaturan atau transkripsi karya apa pun; dan (v) dalam kaitannya dengan pekerjaan apa pun, setiap penggunaan pekerjaan yang melibatkan pengaturan atau pengubahannya; ...
Seperti terlihat jelas dari definisi ini, sebuah adaptasi di bawah
hukum India pada dasarnya adalah perubahan format yaitu karya
ber-copyright dikonversi dari satu format yang lain. Hal ini tidak
diperhitungkan sebagai sebuah adaptasi yang dibuat dengan
menambahkan sejumlah besar bahan baru. Bahkan, seperti
adaptasi tidak masuk dalam definisi sebuah "adaptasi" sebenarnya
di bawah Undang-Undang Hak Cipta India ini.8 Jika ada orang
7Aryani Nauli Hasibuan, “Perlindungan Hak Cipta Atas Karya Derivatif Dalam
Prakteknya: Studi Kasus Buku Ensikopedia Al Quran: Al-Maushuah Al-Quraniyah Al-Muyassarah
8Nandita Saikia, Adaptations, Derivations and Transformations in Copyright Law, http://lawmatters.in/content/adaptations-derivations-and-transformations-in-copyrightlaw
45
yang jatuh kembali pada teori hak cipta, dan membacanya dalam
hubungannya dengan hukum hak cipta, hal itu mungkin untuk
berpendapat bahwa adaptasi, turunan dan transformasi, adalah
spesies yang berbeda walaupun mereka berasal dari keluarga yang
sama, bahwa adaptasi dan turunan kedua milik satu genus dan
yang turunan milik genus lain.
Hukum hak cipta di Indonesia dan juga hukum nasional tentang
hak cipta di berbagai negara lain biasanya mengatur secara jelas
ciptaan-ciptaan yang dilindungi dan beberapa lama masa berlaku
perlindungan hukum yang diberikan terhadap suatu jenis ciptaan.9
Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Hak Cipta Nomor 19 Tahun
2002 mengatur jenis-jenis ciptaan yang dilindungi yang berupa
ciptaan-ciptaan atau karya cipta yang sifat yang dapat dibedakan
dengan karya cipta yang bersifat turunan atau derivative.
Pengelompokan jenis-jenis ciptaan menjadi ciptaan asli dan
ciptaan derivative, telah diatur dan dijelaskan dalam Undang-
Undang Hak Cipta yang lama yaitu pada tahun 1987, dan tetap
dilanjutkan dalam undang-undang hak cipta 1997 dan Undang-
Undang yang baru yaitu Undang-undang Hak Cipta Nomor 28
Tahun 2014, dijelaskan didalam pasal 40 ayat (1) butir n dan o,
mengenai obyek perlindungan karya cipta yang dilindungi dan
bersifat umum yaitu karya cipta hasil adaptasi, aransemen,
modifikasi, dan karya cipta lain dari hasil transformasi. Pada butir
o, menjelaskan bahwa terjemahan, adaptasi, aransemen,
transformasi, atau ekspresi budaya tradiosional merupakan suatu
obyek ciptaan yang dilindungi.
Derivative atau turunan suatu ciptaan adalah karya cipta yang
bersifat turunan, bukan karya cipta yang bersifat asli, dimana
Membatalkan putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat Nomor 93/Pdt/Sus HAK-
CIPTA/2013//PN.NIAGA JKT.PST., tanggal 10 Maret 2014.
56
Dalam eksepsi, Dalam eksepsi, menolak eksepsi tergugat I,
tergugat II dan tergugat III untuk seluruhnya.
Dalam pokok perkara dan konvensi:
1. Menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya
57
BAB IV
ANALISIS KEPEMILIKAN HAK CIPTA FILM BUNG KARNO
A. Analisis Pertimbangan Hakim di dalam Putusan Mahkamah Agung
Nomor 93/Pdt.Sus.-HakCipta/2013/PN.Niaga dan Putusan Mahkamah
Agung Nomor 305 K/Pdt.Sus-HKI/2014
Pada tingkat pertama pokok perkara Nomor 93/Pdt.Sus.-Hak
Cipta/2013/PN.Niaga berhasil memenangkan pihak Ibu Racmawati sebagian,
sedangkan dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 305 K/Pdt.Sus-
HKI/2014 memenangkan pihak Ibu Rachmawati sebagai pemilik naskah Film
Soekarno.
Dalam pertimbangan hukum yang dikemukakan oleh Majelis Hakim
pada tingkat pertama di Pengadilan Negeri Niaga Jakarta Pusat, Nomor
93/Pdt.Sus.-Hak Cipta/2013/PN.Niaga, telah dikemukakan beberapa pendapat
dan fakta yang telah dicermati oleh Majelis Hakim. Namun, menurut peneliti
yang juga menjadi salah satu rumusan masalah dari peneliti, yaitu mengenai
pertimbangan dan putusan hakim sudah tepat atau belum. Peneliti berpendapat
bahwa pertimbangan hukum dari Majelis Hakim di Pengadilan Niaga pada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, sudah tepat karena didasari pokok
permasalahan yang dirumuskan oleh Majelis Hakim, yaitu mengenai apakah
penggugat dalam hal ini yang dimaksud adalah HJ. Rachmawati Soekarno
Putri adalah pencipta atas naskah film Soekarno atau disebut Bung Karno:
Indonesia Merdeka.
Pada Tingkat pertama, Majelis Hakim mengemukakan dalam
pertimbangan hukumnya salah satunya adalah bahwa yang menjadi perancang
dalam film Soekarno adalah Hanung Bramantyo sebagai sutradara, dan
Hanung adalah pencipta film Soekarno.
Menurut pendapat peneliti dengan melihat apa yang telah diputus oleh
Majelis Hakim tingkat pertama, maka terdapat kesimpulan bahwa ketika
Majelis Hakim memutus bahwa gugatan yang diajukan oleh Rachmawati
58
Soekarno Putri terkait pelanggaran hak cipta atas film Soekarno hanya dapat
dikabulkan sebagian, dikarenakan majelis Majelis Hakim menyadari bahwa
dalam suatu proses pembuatan film, bukan hanya ide atau kreativitas milik
Rachmawati saja atau naskah milik Rachmawati saja yang dipakai sebagai
referensi. Oleh sebab itu, gugatan hanya dapat dikabulkan sebagian yang
artinya sebagian lagi merupakan hak dari Tergugat I, Tergugat II, dan
Tergugat III yang ikut terlibat langsung juga dalam proses pembuatan film.
Kembali pada konteks hak cipta, yang menjadi suatu objek hak cipta
adalah sebuah ide atau kreatifitas, namun untuk putusan Majelis Hakim Niaga
yang kedua yaitu, menyatakan Penggugat adalah Pencipta Naskah film
Soekarno, putusan ini tidak tepat dan tidak konsisten. Peneliti berpendapat
bahwa pada salah satu pertimbangan hakim yang menyatakan bahwa hak cipta
mengenai film Soekarno bukan hanya mlik Penggugat, namun juga milik
orang-orang yang telah ikut meramu idenya dalam proses pembuatan film.
Namun, pada saat mengadili, Majelis Hakim mengeluarkan isi putusan bahwa
“Menyatakan penggugat adalah pencipta naskah film Soekarno. Menurut
peneliti, putusan Majelis Hakim belum tepat, karena selain terjadi
inkonsistensi dengan pertimbangan yang dikeluarkan, Majelis Hakim juga
belum memahami konteks Pencipta dalam Hukum Hak Cipta khususnya pada
perkara adaptasi karya cipta yang mana didalamnya terdapat teori derivate
works dan reproductive works.
Film adalah suatu bentuk komunikasi massa elektronik yang berupa
media audio visual yang mampu menampilkan kata-kata, bunyi, citra, dan
kombinasinya.1 Film dikenal sebagai suatu ciptaan yang tediri dari beberapa
unsur dan masing-masing unsurnya memiliki hak ciptaannya tersendiri. Hal
ini juga berlaku pada film Soekarno, karena hal tersebut maka jelas tergambar
bahwa Film Soekarno dirancang oleh Hanung Bramantyo berdasarkan naskah
skenario yang dibuat oleh Ben Sihombing bersama-sama dengan Hanung
Bramantyo sebagai sutradara dan Hj. Rachmawati Soekarno Putri.
1 Handi Oktaviunus, “Penerimaan Penonton Terhadap Praktek Eksorsis Di Dalam Film
Conjuring” Universitas Kristen Petra Surabaya, Vol 3. No.2, 2015, h. 15.
59
Film Soekarno memang dirancang oleh sutradara yaitu, Hanung
Bramantyo. Tetapi, tidak dapat dipisahkan bahwa rencangan film tersebut
berdasarkan naskah skenario yang dibuat oleh Ben Sihombing, yang juga di
adaptasi dari naskah milik Hj. Rachmawati, sesuai dengan pemahaman dari
adaptasi.
adaptation is generally understood as the modification of a work to create another work, for example adapting a novel to make a film, or the modification of a work for different conditions of exploitation, e.g., by adapting a textbook originally written for university students to make it suitable for a lower level.2
Artinya: adaptasi umumnya dipahami sebagai modifikasi pekerjaan untuk menciptakan karya lain, misalnya mengadaptasi novel untuk membuat film, atau modifikasi karya untuk berbagai kondisi eksploitasi, misalnya, dengan mengadaptasi buku teks yang aslinya ditulis untuk mahasiswa untuk membuatnya cocok untuk tingkat yang lebih rendah.
Maka oleh sebab itu mengenai peran dari Ibu Rachmawati dalam hal
ini juga patut diperhatikan, Ibu Rachmawati hanya berperan sebagai referensi
utama dan tidak seluruh Naskah Bung Karno: Indonesia Merdeka yang
dimilikinya menjadi utuh referensi pembuatan film Soekarno yang dirancang
oleh Hanung Bramantyo. Sehingga peneliti menarik kesimpulan bahwa Ibu
Rachmawati hanya dapat dikatakan memiliki hak cipta atas naskah Bung
Karno: Indonesia Merdeka.
Mengingat bahwa Ben Sihombing juga ikut menuangkan ide dan
kreatifitasnya dalam pembuatan naskah Film Soekarno, Ben Sihombing juga
sejatinya memiliki hak cipta atas naskah tersebut, meskipun dalam Perjanjian
Kerjasama Produksi Film Layar Lebar antara PT. Tripar Multivision Plus
Dengan Yayasan Pendidikan Soekarno Pasal 2, butir 2.8 yang menyatakan
bahwa “Para Pihak Sepakat Pihak Pertama sebagai Pencipta/Pemegang Hak
Cipta Film serta berhak melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk
2 World Intellectual Property Organization, Understanding Copyright and Related Rights,
2016, h. 6.
60
melindungi kepemilikannya tersebut tapi tidak terbatas pada tindakan untuk
mendaftarkannya pada Direktorat Jenderal Hak Cipta dan instansi-Instansi
terkait lainnya”. Maka jika ditelaah secara keseluruhan film Soekarno
bukanlah suatu karya derivate works.
The copyright in a derivative work covers only the additions, changes, or other new material appearing for the first time in the work. Protection does not extend to any preexisting material, that is, previously published or previously registered works or works in the public domain or owned by a third party.3
Artinya: Hak cipta dalam karya turunan hanya mencakup penambahan, perubahan, atau materi baru lainnya yang muncul untuk pertama kalinya dalam pekerjaan. Perlindungan tidak meluas ke materi yang sudah ada sebelumnya, yaitu karya atau karya yang sebelumnya telah dipublikasikan atau sebelumnya terdaftar di domain publik atau dimiliki oleh pihak ketiga.
Hak Cipta dalam suatu karya turunan hanya mencakup penambahan,
perubahan, ata materi baru lainnya dan tidak meluas. Suatu karya dapat
dikatakan sebagai derivate works adalah ketika karya tersebut merupakan
suatu turunan karya dari satu karya yang tidak meluas dan tidak bercampur
dengan karya lainnya.
Sedangkan jika dilihat keseluruhan film Soekarno adalah sebuah karya
yang memiliki banyak referensi dan tidak terpacu pada satu referensi saja, hal
ini membuat film Soekarno bukanlah suatu karya derivative, melainkan suatu
karya yang asli atau original works yang memang dibuat dari berbagai
referensi yang bermacam-macam, dan tidak hanya satu referensi saja, hal ini
yang disebut sebagai karya reproduksi dan menjadi “reproductive works”, hal
ini sesuai dengan teori reproductive works.
3Circular 14, “Copyright in Derivative Works and Compilations”, u.s. government
printing office: 2013-xxx-xxx ⁄xx,xxx, (2013) h. 3.
61
This most basic right is reflected in the term copyright. Authors have an exclusive right of authorizing the reproduction (or copying) of their works "in any manner or form" (Article 9.2 of the Berne Convention). This includes, for example, reproducing a novel in the form of a book or reproducing a song on a sound recording. The reproduction right covers any forms of technology, including photocopying of a book or copying the contents of a CD onto a computer hard disk (although, as outlined later, exceptions are permitted for reproduction in certain cases, for instance for some forms of personal use). Authors normally license the reproduction right to publishers and producers and it thus becomes the legal basis of many commercial forms of exploitation of works.4
Artinya: Hak paling dasar ini tercermin dalam istilah hak cipta. Penulis memiliki hak eksklusif untuk mengotorisasi reproduksi (atau menyalin) karya mereka "dengan cara atau bentuk apa pun" (Pasal 9.2 Konvensi Berne). Ini termasuk, misalnya, mereproduksi novel dalam bentuk buku atau mereproduksi lagu pada rekaman suara. Hak reproduksi mencakup segala bentuk teknologi, termasuk fotokopi buku atau menyalin isi CD ke hard disk komputer (meskipun, seperti diuraikan kemudian, pengecualian diizinkan untuk reproduksi dalam kasus-kasus tertentu, misalnya untuk beberapa bentuk penggunaan pribadi ). Penulis biasanya melisensikan hak reproduksi untuk penerbit dan produsen dan dengan demikian menjadi dasar hukum dari banyak bentuk komersial eksploitasi karya.
Hal lain yang menjadi objek peneliti dalam perkara ini, Majelis Hakim
kurang memahami apa yang menjadi akar permasalahan yang dipersoalkan
dalam gugatan ini. Hal ini sebenarnya mengacu pada ketidak sepahaman
Hanung Bramantyo dan Rachmawati dalam menentukan aktor untuk
memperankan Soekarno. Majelis Hakim tidak menerangkan secara eksplisit
mengenai siapa yang berhak dalam menentukan penunjukkan aktor.
Peneliti dalam hal ini mengacu kepada dua sudut pandang yang telah
dikaji, yaitu dalam dunia perfilman dan dari Undang-Undang Hak Cipta, maka
peneliti memperoleh kesimpulan bahwa yang memiliki hak untuk memilih
aktor dalam proses pembuatan suatu film adalah sutradara, karena perlu
diketahui bahwa sutradara memiliki suatu keilmuan atau wawasan untuk
menentukan suatu pemeran tokoh yang cocok dengan film yang akan ia buat,
4 https://www.wto.org/english/tratop_e/trips_e/ta_docs_e/modules2_e.pdf Diakses pada 1 Juli 2018 pukul 22.00 WIB
62
dari segi hukum pun dama dilihat bahwa sutradara adalah orang yang
merancang dan memiliki rancangan.
Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Hj. Rachmawati tidak berhak
melarang Hanung Bramantyo sebagai sutradara untuk melakukan pemilihan
aktor untuk memerankan tokoh Soekarno, karena Hanung Bramantyo lah yang
memegang hak untuk menentukan seorang aktor dalam film tersebut.
B. Pemilihan Aktor dalam Peraturan Perundang-Undangan
1. Pemilihan Aktor menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014
Tentang Hak Cipta
Masalah awal yang timbul dan membuat Hj. Rachmawati Soekarno
Putri mengajukan gugatan terhadap PT. Tripar Multivision Plus sebagai
Tergugat I, Ram Jethmal Punjabi sebagai Tergugat II, dan Hanung
Bramantyo sebagai Tergugat III, adalah ketidak adanya sepakatan dalam
menentukan aktor dalam film Soekarno tersebut. Hanung Bramantyo
memilih aktor yang tidak sesuai dengan keinginan Hj. Rachmawati
sebagai pemilik naskah Bung Karno: Indonesia Merdeka.
Hanung Bramantyo memilih aktor Aryo Bayu sebagai pemeran dari
Soekarno, karena menurutnya Aryo Bayu lah yang memiliki kriteria untuk
memerankan Soekarno. Hj. Rachmawati tidak sependapat dengan Hanung
Bramantyo, karena beliau menilai bahwa Aryo Bau tidak memiliki jiwa
nasionalisme, dikarenakan Aryo Bayu dibesarkan di luar negeri, hal ini
tidak sesuai dengan tokoh Soekarno, hal lain yang dikhawatirkan beliau
jika Aryo Bayu dipilih sebagai pemeran dari Soekarno, ia tidak dapat
memerankan tokoh Soekarno secara baik dan tidak sesuai dengan
karakteristik yang dimiliki oleh ayah dari Hj. Rachmawati, yaitu
Soekarno.
Pada awalnya, Hanung Bramantyo sebagai sutradara melakukan
casting untuk mencari pemain-pemain film yang sesuai dengan
karakteristik Soekarno yang diinginkan oleh sutradara sendiri, hal ini telah
63
disampaikan juga pada Hj. Rachmawati. Pada awal rencana, pemeran
tokoh Soekarno akan diambil dari kalangan non artis, namun pada
akhirnya Hanung melakukan seleksi pemain film dari kalangan aktor-artis
dan memperoleh beberapa nama artis yaitu Darius Sinathrya dan Aryo
Bayu. Disaat bersamaan Hj. Rachmawati juga melakukan casting dan
mengusulkan beberapa nama artis/aktor yaitu, Agus Kuncoro, Andre Jarot,
Imam Wibowo, dan Anjasmara.
Dalam perkembangan pembuatan film tersebut, Hanung Bramantyo
melakukan seleksi casting terhadap Darius Sinahrya, Agus Kuncoro, dan
Aryo Bayu. Anjasmara tidak ikut dicasting karena menurut sang sutradara,
Hanung pernah melakukan kerja sama dalam pembuatan film tentang
Soekarno, Hanung menilai bahwa Anjasmara tidak tepat untuk
memerankan tokoh Soekarno. Berdasarkan kandidat-kandidat film
tersebut, akhirnya Aryo Bayu yang terpilih sebagai pemeran Tokoh
Soekarno setelah mengkaji berbaagi aspek cerita dan film. Namun atas
penetapan Aryo Bayu tersebut, Hj. Rachmawati menyatakan kecewa dan
tidak setuju, dan tetap menginginkan Anjasmara sebagai pemeran tokoh
Soekarno. Hal ini menjadi salah satu dasar gugatan yang diajukan oleh Hj.
Rachmawati terhadap Hanung Bramantyo.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta, tidak
diatur dan tidak disebutkan secara tegas mengenai hak memilih aktor
dalam pembuatan suatu film, sehingga dalam kasus ini terjadi sebuah
kekosongan hukum ketika dihadapkan pada kasus ini. Akibat tidak adanya
suatu kepastian hukum, hakim tidak bisa melihat secara jernih perkara ini
dikarenakan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak
Cipta tidak pernah disebutkan secara jelas mengenai permasalahan
pemilihan aktor.
Dengan demikian, bahwa dalam kasus ini ada kekosongan hukum
yang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum kepada para pihak.
Ketidakpastian hukum tersebut mengakibatkan terjadinya sengketa,
padahal salah satu tujuan hukum adalah mendatangkan sebuah kepastian
64
hukum. Kepastian hukum dalam artian para pihak atau semua orang dapat
mengetahui rambu-rambu dalam kehidupan. Menurut Sudikno
Mertukusumo, kepastian hukum merupakan sebuah jaminan bahwa
hukum tersebut harus dijalankan dengan cara yang baik.
Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum
dalam perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang
dan berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis
yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai
suatu peraturan yang harus ditaati.5 Disinilah kelemahan dari paradigma
positivisme hukum dimana positivesme lambat untuk menangkap sebuah
perkembangan hukum di masyarakat.
Rezim hukum perdata, kepemilikan ada yang bersifat hak mutlak dan
relatif. Hak mutlak ialah hak yang memberikan wewenang kepada
sesorang untuk melakukan sesuatu perbuatan, hak mana dapat
dipertahankan terhadap siapapun juga, dan sebaliknya setiap orang juga
harus menghormati hak tersebut. Sedangkan hak relatif atau hak nisbi
ialah hak yang memberikan wewenang kepada seorang tertentu atau
beberapa orang lain tertentu memberikan sesuatu, melakukan sesuatu atau
tidak melakukan sesuatu.6
Hak kekayaan intelektual merupakan salah satu hak kepemilikan yang
bersifat mutlak, dimana hukum atau negara harus melindungi hak mutlak
orang yang memiliki kekayaan intelektual tersebut. Apalagi, dalam
penelitian ini berfokus pada hak kepemilikan intelektual. Menurut John
Locke hak kekayaan intelektual adalah milik pribadi, dimana negara
berkewajiban memberikan pengakuan terhadap hasil karya individu yang
5 Zainal Asikin, Pengantar Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2012) h. 34
6 Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta, Balai Pustaka: 2002), h. 121
65
telah menciptakan penemuan atau karya intelektual tertentu yang
menyertai karya tersebut.7
Meskipun tidak disebutkan secara tegas, peneliti menelaah secara
mendalam sehingga menemukan celah pemilihan aktor ini mengacu pada
Pasal 34 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014, yang mana disebutkan,
“Dalam hal Ciptaan oleh seseorang dan diwujudkan serta dikerjakan oleh
Orang lain dibawah pimpinan dan pengawasan Orang yang merancang,
yang dianggap Pencipta yaitu Orang yang merancang Ciptaan.”
Didalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 dijelaskan bahwa
sutradara adalah orang merancang suatu film, sutradara memiliki suatu
keilmuan di bidang perfilman, dapat disimpulkan bahwa pemilik
rancangan berhak untuk memimpin pekerjaan untuk mewujudkan
rancangan tersebut sesuai keinginannya, maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa hak memilih aktor adalah hak yang dimiliki oleh sutradara, sebagai
orang yang merancang film, dan sutradara adalah pencipta suatu film.
Peneliti dalam hal ini mengacu kepada dua sudut pandang yang telah
dikaji, yaitu dalam dunia perfilman dan dari Undang-Undang Hak Cipta,
maka peneliti memperoleh kesimpulan bahwa yang memiliki hak untuk
memilih aktor dalam proses pembuatan suatu film adalah sutradara,
mengingat bahwa sutradara memiliki suatu keilmuan atau wawasan untuk
menentukan suatu pemeran tokoh yang cocok dengan film yang akan ia
buat, sutradara juga memilki peran dan fungsi yang besar untuk sebuah
kesuksesan suatu film, dari segi hukum pun dapat dilihat bahwa sutradara
adalah orang yang merancang dan memiliki rancangan.
Maka peneliti menarik kesimpulan bahwa Hj. Rachawati tidak berhak
melarang Hanung Bramantyo sebagai sutradara untuk melakukan
pemilihan aktor untuk memerankan tokoh Soekarno, karena Hanung
Bramantyo yang memegang hak untuk menentukan seorang aktor dalam
film tersebut.
7 Ignatius Haryanto, Sesat Pikir Kekayaan Intelektual, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2014), h. 2
66
2. Peran Sutradara dalam Pemilihan Aktor
Sutradara merupakan "jembatan" antara pemain dan naskah yang akan
dipentaskan. Sutradara mengikat pemain dalam sebuah pola dan bentuk
pementasan yang diinginkan.8 Sebuah pementasan boleh jadi merupakan
“ujung” dari suatu pergumulan kreativitas yang panjang dari seorang
sutradara dapat juga disebut proses penyutradaraan sehingga ia
membentuk peristiwa teater.
Proses mencipta peristiwa teater seorang sutradara mempertaruhkan
daya kreativitas dan imajinasinya menjadi sesuatu yang bermakna.
Bermakna bagi dirinya dan juga bagi masyarakat secara umum.
Kreativitas mencakup sifat-sifat keaslian (originality), kelancaran
(fluency), kelenturan atau fleksibilitas (flexibility), dan elaborasi
(elaboration), yaitu kemampuan untuk melengkapi detil atau bagian-
bagian pada suatu konsep atau pengertian. Sutradara harus kreatif agar
memiliki kelenturan atau fleksibilitas dalam menanggapi banyak
perubahan yang terjadi pada realitas kehidupan.
Teori La politique des auteurus (Inggris: author’s theory) atau biasa
yang disebut sebagai teori pengarang, teori ini berkembang di Eropa,
khususnya di Prancis. Teori ini menempatkan sutradara sebagai pencipta
yang setara dengan pengarang dalam karya sastra.9 Jadi, sutradara
menduduki posisi tertinggi karena sutradara yang paling menentukan dan
akhirnya yang akan menorehkan cap atau gaya pribadinya kepada
keseluruhan film. Berkembangnya teori pengarang semakin mengangkat
status sutradara.
Menurut Naratama, filosofi dalam penyutradaraan merupakan sebuah
daya pemikiran atas nilai-nilai seni visual yang diwujudkan dalam
kenyataan visual itu sendiri menurut Naratama dasar konsep menonton
8 Yusril, “Kreativitas Dan Imajinasi Sutradara Membangun Peristiwa Teater Menuju
Ruang Publik” , Vol. 14, No. 1, (Juni 2012), h. 6.
9 Fachrunissa Dwirachma, Analisis Yuridis Terhadap Sengketa Hak Cipta, (Skripsi S1 Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, 2014), h.80.
67
yang harus dipahami oleh Sutradara, yakni What People Want To See,
What People Need To See, and What People Want and Need To See.10
Seorang sutradara harus memiliki kemampuan dalam membuat suatu
film secara spesifik, sehingga seorang sutradara harus memiliki wawasan
yang luas mengenai perfilman, keartistikan, pengetahuan tentang medium
film, untuk mengotrol film dari awal produksi sampai dengan tahap
penyelesaian, memperhitungkan daya tarik film yang akan disaksikan oleh
penonton karena biaya produksi, biaya promosi, dan biaya peredaran.
Perlu diingat bahwa film merupakan suatu seni kolaboratif, namun
memang sulit dibedakan kapan kontribusi seorang berakhir dan kontribusi
orang lain muncul. Film juga merupakan seni yang banyak bergantung
pada teknologi yang melibatkan banyak orang. Dengan alasan-alasan ini,
peran sutradara menjadi sangat besar. Seorang sutradara adalah pemikir
kreatif yang harus membuat unsur-unsur yang terpisah jadi suatu kesatuan,
desain serta keutuhan. Wawasan dan keterampilan sutradara yang akan
memberikan cap kepada film dan mengisinya dengan jiwa serta makna.
3. Fungsi Sutradara
Sutradara adalah seseorang yang bertanggung jawab terhadap jalannya
proses produksi, mulai dari pro produksi hingga pasca produksi. Mulai
dari memilih dan mengaktualisasikan naskah, memilih dan melatih
pemain, hingga bekerjasama dengan penata panggung, penata musik,
penata rias dan busana, dan staff pendukung lainnya agar dapat
menghasilkan sebuah karya pementasan teater yang sesuai ekspektasi.
Sutradara merupakan seseorang yang paling bertanggung jawab terhadap
seluruh elemen artistik. Secara umum tugas sutradara dalam teater adalah
seperti yang Pakar Komunikasi paparkan dibawah ini:11
10 https://nahlabarawas.weebly.com/sutradara.html diakses pada 26 Mei 2018 pukul
19.00 WIB
11 https://pakarkomunikasi.com/tugas-sutradara-dalam-teater diakses pada 26 Mei 2018, pukul 19.30
68
a. Menyeleksi naskah, memilih naskah, mempelajari naskah,
menafsirkan naskah.
b. Menentukan nada dasar
c. Memilih dan menentukan pemeran
d. Menyusun mise on scene
e. Menguatkan atau melunakan scene
f. Menciptkan aspek-aspek laku
g. Menjalin kerja sama degan tata rias artistic
Sutradara adalah yang paling bertanggung jawab atas segala elemen
artistik. Sutradara harus memutuskan bagaimana naskah di tafsirkan, dan
sutradara harus mengkoordinasi artist teater lainnya untuk pertunjukan yang
menatu. Sutradara yang hebat adalah sutradara yang mengalami suksesnya
untuk setiap lakon. Meskipun sutradara secara pasti mungkin bervariasi dari
satu organisasi ke lain organisasi, tapi biasanya sutradara menjalankan fungsi
sebagai berikut:
a. Memutuskan tiap penafsiran atas lakon
b. Memilih pemain dalam suatu film
c. Bekerja sama dengan penulis naskah, designer, dan teknisi
d. Melatih pemain
e. Mengkoordinasi semua eleme kedalam pentas pertunjukan yang
tuntas
Sebagai tambahan dalam menganalisis naskah dengan cermat,
sutradara barangkali perlu mengenali/mendapatkan informasi latar belakang
tentang penulisnya, periode lakon (jika bukan modern), dan berknenaan
dengan lingkunganya (jika hal ini akrab bagi sutradara). Atau sutradara sangat
perlu membaca apa kata kritikus tentang lakon itu, dan menemukan
bagaimana hal itu telah mempengaruhi penonton teater. Kebanyakan
informasi diambil dari lembar catatan dari naskah produksi original, biasanya
sutradara mengikuti anjuran-anjuran semirip mungkin. Tetapi kebanyakan
69
mereka memilih menafsirkan sendiri lakon tersebut dan mengadaptasi “floor
plan” dan elemen-elemen lainnya agar sesuai dengan keinginan sutradara.
Sebanyak apapun informasi yang didapatkan oleh sutradara, sutradara harus
tetap menambahkan dalam suatu edisi acting. jika memproduksi lakon baru,
kerja sutradara lebih rumit lagi karena perlu bekerjasama dengan penulis
naskah. Sering kali naskah dalam keadaan berubah-ubah terus menerus
sampai ke malam pembukaan. Perubahan dibikin demi mencapai kejelasan
dan meyakinkan lebih besar. Terkadang seluruh adegan ditulis ulang atau
hanya kalimat seseorang atau beberapa adegan pendek diubah.
Terkadang dapat dikaji ulang oleh sutradara, sutradara harus dapat
menempatkan dirinya sebagai penasehat pada penulis naskah dan harus
menolak jadi otoraktik dan sewenang-wenang dalam tuntutannya. Jika
sutradara dan penulis banyak terjadi ketidak sepahaman lebih baik sutradara
atau produksi film tersebut dihentikan. Baik sutradara maupun penulis harus
tidak menganggap dirinya tidak salah. Namun anjuran siapapun harus
disampaikan dan didengarkan dalam semangat saling bantu. Sutradara naskah
baru dibantu untuk sampai pada pemahaman dan penafsiran lakon adalah
dramawan, yang biasanya siap membantu menjelaskan poin-poin yang
ambigu.
Sutradara tidak harus menerima kata-kata penulis yang dalam naskah
yang tidak bisa dilihat sutradara. Gagasan penulis harus dinyatakan dalam
bentuk dramatic yang bisa diproyeksikan ke penonton. Jika tidak bisa,
sutradara harus mencoretnya dan harus bekerja sama dengan penulis untuk
menyelesaikan masalah tersebut. Jadi, sutradara harus berupaya memahami
naskah dengan segala cara yang dimilikinya. Sutradara harus tahu tahu apa
saja yang harus ditekankan sehingga dapat mewujudkan nilai-nilai yang
ditemukan. Hanya setelah dia rampugankan eksplorasi dan rancangan awal
70
ini, barulah dia memulai kerja dengan artis/pemain ataupun awak teater
lainnya.12
12 http://teaterdunia.wordpress.com/ diakses pada 26 Mei 2018, pukul 20.45
72
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Putusan Majelis Hakim telah terjadi inkonsistensi dengan
pertimbangan yang dikeluarkan, Majelis Hakim juga tidak melihat
Pencipta dalam Hukum Hak Cipta khususnya pada perkara adaptasi
karya cipta yang mana didalamnya terdapat teori derivate works dan
reproductive works. Menurut Landasan Yuridis yang dipakai saat ini
yaitu Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta,
diatur mengenai definisi adaptasi yang tertuang dalam penjelasan pada
huruf n, yaitu yang dimaksud dengan adaptasi adalah
mengalihwujudkan suatu ciptaan menjadi bentuk lain.
2. Dalam pemilihan aktor dalam suatu film, peneliti mengkaji dari dua
sudut pandang, yaitu sudut dunia perfilman dan juga dari sudut
Undang-Undang Hak Cipta. Dari sudut perfilman, pemilihan aktor
merupakan tugas pokok dari seorang sutradara., dan dari sudut
Undang-Undang Hak Cipta, memang tidak diatur secara tegas, namun
Peneliti mengacu pada pasal 34 Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2014 Tentang Hak Cipta. Maka peneliti membuat kesimpulan bahwa
yang memiliki hak dalam menentukan pemilihan aktor dalam proses
pembuatan film adalah sutradara, karena dia adalah orang yang
merancang dan memiliki rancangan.
B. Rekomendasi
1. Kepada pemerintah, peneliti merekomendasi untuk menyempurnakan
hal yang belum diatur secara jelas didalam Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2014 Tentang Hak Cipta, khususnya mengenai adaptasi, objek
sinematografi, derivate works, reproductive works, dan melakukan
sosialisasi mengenai Hak Kekayaan Intelektual khususnya Hak Cipta.
73
2. Kepada pembuat karya film, yaitu penulis naskah skenario, sutadara,
produser, peneliti merekomendasikan untuk dapat melakukan
perjanjian kerjasama secara lengkap termasuk menjelaskan mengenai
proses adaptasi karya cipta yang dilakukan agar tidak terjadi
kesalahpahaman.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Industri film Indonesia mengalami perkembangan yang cukup pesat
pertahun, hal ini dapat di lihat dari jumlah film yang beredar di bioskop
semakin meningkat seiring dengan animo penonton di Indonesia.1 Ditinjau
dari potensi penonton Indonesia, di masa depan film-film Indonesia masih
berpeluang menggapai penonton beberapa kali lipat dibanding yang di capai
sekarang. Perkembangan industri perfilman yang semakin pesat dikarenakan
industry perfilaman Indonesia sudah inovatif, dimana industri perfilman
Indonesia sudah dapat membuat film dengan bermacam-macam genre, seperti
genre horror, romantic, action, komedi, animasi, biografi atau sejarah.
Dalam hal ini, perlindungan hak cipta atas film menjadikan Pencipta atau
pemegang hak cipta memiliki hak untuk memberikan izin atau melarang orang
lain yang tanpa persetujuannya menyewakan ciptaan tersebut untuk
kepentingan yang bersifat komersial, hal ini adalah sesuai dengan ketentuan
Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta.
Pada dasarnya, secara konvensional yang digolongkan sebagai pencipta adalah
seseorang yang melahirkan suatu ciptaan untuk pertama kali sehingga ia
adalah orang pertama yang mempunyai hak-hak sebagai pencipta yang
sebutan ringkasan untuk kepraktisannya disebut sebagai pencipta, dan lebih
ringkas lagi menjadi hak cipta.2
Pada umumnya pelanggaran yang sering terjadi di masyarakat adalah
mengenai siapa pihak yang dianggap sebagai Pencipta atas suatu ciptaan yang
terlahir dari kebebasan berkarya yang dapat diartikan sebagai kebebasan untuk
menghasilkan karya berdasarkan kemampuan imajinasi, daya cipta, rasa
ataupun karsa, baik dalam bentuk, makna ataupun caranya.3 Adapun yang
1 Heru Efendy, Industri Perfilman Indonesia (Jakarta: Airlangga, 2008), h. 11. 2 Eddy Damian, Hukum Hak Cipta, (Bandung: PT. Alumni, 2005), h.125
2
dianggap sebagai pelanggaran dalam hal ini, adalah apabila melihat pada
unsur kerugian secara materiil bagi pihak terkait atau oleh pihak yang merasa
memiliki hak ekonomi atas suatu ciptaan. Pelanggaran terhadap hak cipta ini
motivasinya adalah untuk mendapatkan keuntungan atas suatu ciptaan dengan
tanpa hak untuk menggunakan karya tersebut, yang mana hal ini jelas
merupakan tindakan yang merugikan penciptanya.
Dalam kasus yang akan dianalisis, dalam hal ini penulis berfokus pada
sinematografi atau perfilman yang merupakan suatu karya adaptasi dari
pagelaran. Film Soekarno merupakan film yang diadaptasi dari pagelaran
Dharma Gita Maha Guru. Suatu karya cipta dilindungi oleh hak cipta akan
beberapa hak yang melekat pada pencipta, pertama; hak yang melekat adalah
hak moral. Hak moral adalah hak yang melekat pencipta atau pelaku yang
tidak dapat dihilangkan meskipun hak tersebut sudah dialihkan. Kedua; hak
yang melekat adalah hak ekonomi. Hak ekonomi adalah hak untuk
mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan serta produk hak terkait. Ketiga;
hak terkait. Hak terkait adalah hak ekskulusif yang berkaitan dengan hak cipta
yaitu hak eksklusif bagi pelaku yang memperbanyak menyiarkan pertunjukan;
bagi produser rekaman suara untuk memperbanyak atau menawarkan karya
rekaman suara atau bunyinya; dan bagi Lembaga Penyiaran untuk
memperbanyak, atau menyiarkan karya siarannya.
Film biografi atau film sejarah yang semakin banyak menarik
perhatian industri perfilman untuk membuat suatu film yang bercerita tentang
tokoh-tokoh Indonesia, karena memiliki nilai sejarah yang tinggi serta dapat
mendidik anak bangsa. Kini yang menjadi kontroversi dan mengalami
sengketa film adalah film Bung Karno: Indonesia Merdeka, yang mana Ibu
Rachmawati Soekarno Putri melayangkan gugatan ke Pengadilan Niaga dalam
perihal Pelanggaran Hak Cipta Film Soekarno atau Bung Karno: Indonesia
Merdeka, kepada PT. Tripar Multivision Plus sebagai rumah produksi yang
memproduksi Film Soekarno, yang mana dalam hal ini sebagai Tergugat I,
3 M. Rafli, Ahmad., Fathurrahman, Film Indenpenden Dalam Perspektif Hukum Hak Cipta
Dan Hukum Perfilman Indonesia (Bogor: Ghalia Indonesia, 2005), h. 75.
3
Produser Film Soekarno, yang bernama Ram Jethmal Punjabi sebagai
Tergugat II, dan seorang Sutradara terkenal yang menyutradarai Film
Soekarno, yaitu Hanung Bramantyo sebagai Tergugat III. Dalam gugatannya,
Ibu Rachmawati merasa bahwa Film Soekarno tersebut dibuat berdasarkan
naskah miliknya, yaitu Naskah Pagelaran Dharma Gita Maha Guru yang telah
di tayangkan 3 kali di Gedung Taman Ismail Marzuki, selain itu Rachmawati
Soekarnoputri mempunyai inisiatif agar naskah Bung Karno dijadikan film
yang mempunyai nilai sejarah bagi Bangsa Negara Indonesia dengan
pengenalan Presiden Republik Indonesia yang pertama lalu bekerja sama
dengan sutradara dan produser film. Namun pada saat berjalannya proses
pembuatan film tidak diketahui Ibu Rachmawati Soekarnoputri, bahwa selain
itu tidak sesuai dengan naskah yang diminta Rachmawati Soekarnoputri, dan
menurut Rachmawati Soekarno Putri, pemeran tokoh yang menjadi Soekarno
tidak cocok.
Setelah membaca Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor
93/Pdt/Sus HAK-CIPTA/2013/PN.NIAGA.JKT.PST dan Putusan Mahkamah
Agung Nomor 305 K/Pdt.Sus-HKI/2014 penulis perlu mengingatkan bahwa
film yang menjadi sengketa ini adalah film biografi yang berarti film ini
menceritakan perjalanan hidup Ir. Soekarno sejak lahir hingga wafat dan
dianggap telah melanggar hak cipta yang dilakukan oleh para tergugat
terhadap film ini, namun, jika dikaji lebih dalam lagi, pada bagian
pertimbangan hakim ada beberapa yang tidak bersifat netral dan tidak
mempertimbangkan teori yang melekat pada hak cipta. Majelis hakim tidak
mempertimbangkan pertimbangan hukum dengan melihat bahwa film yang di
sengketakan adalah film biografi atau film sejarah. ditambah lagi dengan
adanya bukti perjanjian kerjasama untuk memproduksi Film Layar Lebar
dengan Judul Bung Karno: Indonesia Merdeka tanggal 17 Oktober 2011
antara Penggugat yaitu Rachmawati Soekarnoputri dengan Tergugat I PT
Tripar Multivision Plus, Tergugat II Ram Jethmal Punjabi, dan Tergugat III
Hanung Bramantyo.
4
Permasalahannya adalah dalam bentuk praktik pembuatan suatu karya
cipta sinematografi yang melibatkan beberapa pihak dalam proses
pembuatannya belum semua dilandasi dengan suatu perjanjian untuk
menegaskan keberadaan kepemilikan hak cipta dari karya cipta, sehingga hal
ini dapat menimbulkan kesalahan persepsi mengenai siapa saja pihak yang
memang berhak untuk menggunakan hak cipta atas karya sinematografi
tersebut. Pada prinsipnya yang termasuk dalam kategori pelanggaran atas Hak
Cipta adalah apabila seseorang yang bukan pemilik Hak Cipta, dan tanpa izin
dari pemiliknya, tidak mempunyai kewenangan untuk menggunakannya
seperti melakukan pelanggaran untuk mengkomersialisasikan atau
menyewakan setiap salinan, mendistribusikan salinan, membuat atau memiliki
harta yang tidak ada kaitannya dengan penemuan yang digunakannya itu atau
dimaksudkan untuk digunakan sebagai tujuan membuat salinan; atau
menyebabkan hasil karya tersebut dipamerkan di depan publik
Sesuai dengan ketentuan Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 33
Tahun 2009 tentang Perfilman (selanjutnya akan disebut sebagai “UU
Perfilman”), dalam suatu proses pembuatan suatu sinematografi terdapat
hubungan hukum terkait proses lahirnya suatu karya cipta antara pihak-pihak
yang mungkin terlibat dalam proses pembuatan film meliputi penulis scenario
film, sutradara film, artis film, juru kamera film, penata cahaya film, penata
suara film, penyunting suara film, penata laku film, penata musik film, dan
perancang animasi yang pada akhirnya disatukan menjadi satu kesatuan untuk
menghasilkan sebuah karya cipta sinematografi. Salah satu sifat hak cipta
adalah jika suatu ciptaan yang di rancang seseorang diwujudkan dan
dikerjakan oleh orang lain di bawah pimpinan dan pengawasan orang yang
merancang, penciptanya adalah orang yang merancang ciptaan itu.4
Film yang disengeketakan adalah film sejarah atau film biografi, yang
mana tentunya mengangkat objek adalah seseoarang yang pernah hidup dan
pernah menjalani kisah tersebut secara nyata atau dapat dikatakan yang
menjadi tokoh di film ini adalah tokoh non fiksi. Ahli dari seni perfilman juga
4 Muhammad Firmansyah, Tata Cara Mengurus Haki, (Jakarta: Visimedia, 2008), h.12
5
menyatakan bahwa apabila pembuatan suatu film berjumlah dari satu orang
atau biasa disebut berbentuk tim, apabila salah satu daintaranya keluar ketika
pembuatan film tersebut berlangsung, maka seharusnya film tersebut bubar
atau tidak dilanjutkan lagi. namun pada faktanya, ketika Ibu Rachmawati
memutuskan mengundurkan diri dari film tersebut, Hanung Bramantyo tetap
melanjutkan proses pembuatan film tersebut. Hal ini menjadi gugatan bahwa
mengenai siapakah yang sebenarnya menjadi pencipta dan memegang hak
cipta dalam Film Soekarno. Banyak hal yang dapat menarik untuk dibahas,
maka peneliti tertarik membuat skripsi yang berjudul “STATUS
KEPEMILIKAN HAK CIPTA FILM DALAM HAK KEKAYAAN
INTELEKTUAL (HKI) (STUDI KASUS FILM BUNG
KARNO:INDONESIA MERDEKA)”
B. Indentifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka identifikasi masalah
dari penelitian ini adalah:
a. Ketidakjelasan status kepemilikan hak cipta
b. Ketidakjelasan kepemilikan aktor
c. Penegakkan hukum Hak Kekayaan Intelektual terhadap Industri
Perfilman.
2. Pembatasan Masalah:
Agar masalah yang akan penulis bahas tidak meluas sehingga dapat
mengakibatkan ketidakjelasan maka penulis membuat pembatasan
masalah yakni, membahas status kepemilikan hak cipta film dalam hak
kekayaan intelektual (HKI) studi kasus film bung karno: Indonesia
merdeka saja.
3. Perumusan Masalah:
Berdasarkan uraian latar belakang, identifikasi masalah dan
pembatasan masalah, maka peneliti merumuskan masalah utama yakni
kepemilikan hak cipta film Soekarno menurut Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2014 Tentang Hak Cipta.
6
Untuk mempertegas arah pembahasan dari masalah utama di atas,
maka peneliti membatasi penelitian ini melalui perumusan masalah
sebagai berikut:
a. Bagaimana pertimbangan hakim dalam memutus perkara mengenai
kepemilikan hak cipta film Bung Karno: Indonesia Merdeka?
b. Bagaimana kepemilikan hak pemilihan aktor dalam peraturan
perundang-undangan?
C. Tujuan Penelitian
Penulis melakukan penelitian ini dengan tujuan sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui status kepemilikan hak cipta film Bung Karno:
Indonesia merdeka menurut peraturan perundang-undangan.
b. Untuk mengetahui mekanisme pemilihan aktor dalam peraturan
perundang-undangan.
D. Manfaat Penulisan
Penulis melakukan penelitian ini dengan harapan memberikan manfaat
sebagai berikut:
1. Manfaat teoritis:
a. Hasil penelitian diharapkan dapat berguna dalam pengembangan Ilmu
Hukum khususnya Hukum Bisnis dalam Hak Cipta.
b. Hasil penellitian diharapkan dapat menjadi landasan untuk penelitian
lebih lanjut terhadap kajian mengenai Hak Kekayaan Intelektual.
2. Manfaat Praktis:
a. Diharapkan dapat menjadi bahan informasi atau sumbe ilmu bagi
masyarakat maupun praktisi hukum yang ingin mendalami kajian
mengenai Hak Kekayaan Intelektuan khususnya dalam Hak Cipta.
b. Diharapkan dapat menjadi bahan yang dapat mengantisipasi
pelanggaran hak cipta kepada pihak-pihak yang terlibat dalam industri
perfilman yang berkaitan tentang hak cipta perfilman.
E. Kerangka Teori dan Konseptual
1. Kerangka Teori
7
Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala
spesifik atau proses tertentu terjadi dan suatu teori harus diuji dengan
menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan
ketidakbenarannya.5 Teori dipergunakan sebagai landasan atau alasan
mengapa suatu variabel bebas tertentu dimasukkan dalam penelitian,
karena berdasarkan teori tersebut variable bersangkutan memang dapat
mempengaruhi variabel tak bebas atau merupakan salah satu penyebab.6
Selain itu teori ini bermanfaat untuk memberikan dukungan analisis
terhadap topik yang sedang dikaji, disamping itu teori ini dapat
memberikan bekal kepada kita apabila akan mengemukakan hipotesis
dalam tulisan.7
Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat,
teori, tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang
menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis8. Sedangkan tujuan dari
kerangka teori menyajikan cara-cara untuk bagaimana mengorganisasikan
dan menginterprestasi hasil-hasil penelitian dan menghubungkannya
dengan hasil-hasil penelitian yang terdahulu. Dari beberapa pendapat di
atas dapat diketahui bahwa maksud kerangka teori adalah pengetahuan
yang diperoleh dari tulisan dan dokumen serta pengetahuan kita sendiri
yang merupakan kerangka dari pemikiran dan sebagai lanjutan dari teori
yang bersangkutan, sehingga teori penelitian dapat digunakan untuk proses
penyusunan maupun penjelasan serta meramalkan kemungkinan adanya
gejala-gejala yang timbul.
5J.J. M. Wuisman, Dan M. Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas, (Jakarta: FE
UI, 1996), h. 203.
6Lexy J. Moleong, Metodelogi Penelitian Kuantitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993), h. 35.
7 Mukti Fajar Dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif Dan Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 144.
8 M. Solli Lubis, Filsafat Ilmu Dan Penelitian, (Bandung: CV. Mandar Maju, 1994), h. 80.
8
a. Teori Kepemilikan
Penelitian ini menggunakan suatu konsep kepemilikan yang
dikenalkan John Locke, Hak Cipta dikatakan berakar dari hukum alam
sehingga mau tidak mau mengharuskan kita mempelajari pandangan
dari John Locke. Dalam pandangan John Locke, hak kepemilikan
adalah sesuatu yang sah dan diakui karena setiap orang mempunyai hak
untu memelihara/mempertahankan dirinya. Oleh karena itu setiap orang
mempunyai hak untuk makan, minum dan segala sesuatu yang secara
natural manusia akan mengusahakannya untuk mencukupi kebutuhan
hidupnya. Lebih lanjut Locke menyatakan bahwa setiap orang
mempunyai hak atas benda tertentu sebagai hak pribadinya. Atas dasar
pemikiran ini maka Locke ingin membangun teori hak kepemilikan
bahwa secara natural setiap orang memang sejak awal sudah
mempunyai hak-hak untuk menjadi kebutuhan pokoknya dalam
mempertahankan kelangsungan hidupnya.9
Locke dalam gagasannya mengenai kepemilikan, berkonsep
bahwa Tuhan memberikan bumi kepada semua manusia secara sama,
demi mendukung kehidupan manusia.10 Hak milik yang didasarkan
pada pemberian Tuhan mempunyai sifat yang masih umum,
kepemilikan ini masih menunjukkan kepemilikan bersama.11Persoalan
yang muncul kemudian ialah bagaimana supaya kepemilikan bersama
itu beralih menjadi kepemilikan pribadi. Dasar apa yang melegitimasi
hak milik pribadi. Locke mengatakan sesuatu yang telah disediakan
oleh alam secara alamiah diberikan bagi seluruh umat manusia. Namun,
hak kepemilikan itu muncul apabila seseorang melakukan usaha-usaha
9 Ridwan, Hak Milik: Perspektif Islam, Kapitalis, Dan Sosialis, (Purwokerto, STAIN Press,
2010), h. 112.
10Henry J Schmandt, Filsafat Politik: Kajian Historis Dari Yunani Kuno Sampai Zaman Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 336.
11 Sonny Keraf, Hukum Kodrat & Teori Hak Milik Pribadi, (Yogyakarta, Kanisius, 1997), h. 62.
9
kepemilikan yakni dengan adanya The ‘labor’ of his body and the
‘work’ of his hands atau telah memperkerjakan badannya dan
menghasilkan karya dari tangannya. Dengan kata lain, kerja merupakan
dimensi mendasar dari hidup manusia, karena kerja membuat hidup
manusia lebih manusiawi. Kerja mempunyai peranan yang sangat
penting untuk melegitimasi milik umum menjadi milik pribadi12
Negara berusaha mengatur hak-hak kepemilikan objek Hak Cipta
selaku Hak Atas Kekayaan Intelektual dengan membuat aturan-aturan
dalam perundang-undangan. Aturan-aturan ini berusaha
menyeimbangkan antara kepentingan individu dan kepentingan publik.
Perbedaan kepentingan ini pada akhirnya juga menimbulkan perbedaan
pandangan atas kepemilikan hak dalam hukum Hak Cipta sehingga
berdampak pada perlindungan hak-hak, baik ekonomi maupun moral
dari seorang Pencipta.13
2. Kerangka Konseptual
a. Hak Kekayaan Intelektual adalah Hak atas kekayaan yang timbul atau
lahir karena kemampuan intelektual manusia yang akhirnya
menghasilkan karya-karya inteklektual berupa pengetahuan, seni,
sastra, teknologi, dimana dalam mewujudkannya membutuhkan
pengrobanan, tenaga, waktu, biaya, dan pikiran.14
b. Status adalah keadaan, kepastian, kedudukan hukum seseorang
c. Biografi adalah suatu uraian atau perjalanan hidup tentang seseorang
d. Kepemilikan adalah kekuasaan yang didukung secara sosial untuk
memegang kontrol terhadap sesuatu yang dimiliki secara eksklusif dan
menggunakannya untuk tujuan pribadi.
12 Sonny Keraf, Hukum Kodrat & Teori Hak Milik Pribadi, (Yogyakarta, Kanisius, 1997), h. 67.
13 Belinda Rosalinda, Perlindungan Karya Arsitektur Berdasarkan Hak Cipta, (Bandung, PT. Alumni, 2010), h. 37.
14 Budi Agus Riswandi dan M. Syamsudin, Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum, (Jakarta: PT. Raja Gravindo Persada, 2005), h. 31
10
e. Pencipta adalah seorang atau beberapa orang secara bersama-sama
yang atas inspirasinya lahir suatu ciptaan berdasarkan fikiran,
imajinasi, kecekatan, keterampian atau keahlian yang dituangkan
dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi.
f. Ciptaan adalah hasil setiap karya pencipta yang menunjukkan
keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni dan sastra. Suatu
ciptaan yang telah diekspresikan secara nyata akan melahirkan hak
cipta.
g. Hak cipta adalah hak khusus bagi pencipta maupun penerima hak
untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya maupun
memberi izin untuk itu, dengan tudak mengutangi pembatasan-
pembatasan menutut perundanga-undangan yang berlaku.
h. Hak moral adalah hak yang melekat pada diri seorang pencipta yang
tidak dapat dialihkan atau dihilangkat dengan alasan apapun.
i. Hak ekslusif adalah bahwa tidak ada orang lain boleh melakukan hak
itu, kecuali dengan izin pencipta.15
j. Pelanggaran Hak Cipta adalah perbuatan merugikan orang lain dan
akan mempengaruhi laju pembangunan dalam bidang intelektual yang
menghambat upaya meningkatkan kecerdasan bangsa.
k. Film adalah karya cipta atau seni dan budaya yang merupakan salah
satu media komunikasi massa audiovisual yang diuat berdasarkan asas
sinematografi yang di rekam pada pita seluloid, pitavideo, piringan
video, dan/bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala
bentuk, jenis, ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau
proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukan
dan/atau di tayangkan dengan sistem proyeksi mekanik, elektronik,
dan sistem lainnya.
l. Sinematografi adalah ilmu terapan yang membahas tentang teknik
menangkap gambar dan sekaligus menggabung-gabungkan gambar
15 Eddy Damian, Hukum Hak Cipta, (Bandung: PT. Alumni 2005), h. 129
11
tersebut sehingga menjadi rangkaian gambar yang memiliki
kemampuan menyampaikan ide dan cerita.
m. Industri perfilman adalah usaha atau kegiatan dalam kegiatan
perfilman yang dapat menghasilkan keuntungan.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Metode yang digunakan adalah penelitian hukum normatif yuridis,
yaitu penelitian yang dilakukan atau ditujukan pada peraturan-peraturan
tertulis dan bentuk-bentuk dokumen resmi atau disebut dengan bahan
hukum (data sekunder), yaitu mengumpulkan bahan-bahan dari buku-buku
yang ada hubungannya dengan masalah yang akan di bahas. 16
Dalam penelitian hukum normatif yuridis, hukum yang tertulis dikaji
dari berbagai aspek teori, filosofi, perbandingan, struktur, konsistensi,
penjelasan, formalitas dan kekuatan mengikat suatu undang-undang.
Penelitian ini dilakukan dengan maksud untuk memberikan
argumentasi hukum sebagai dasar penentu apakah suatu peristiwa sudah
benar atau salah serta bagaimana sebaiknya peristiwa itu menurut hukum
yang berlaku. Sehingga penelitian ini dimulai dari suatu peristiwa hukum
dan selanjutnya akan dicari rujukan pada system norma seperti peraturan
perundang-undangan, asas-asas dan doktrin hukum.17 Penelitian normatif
ini hanya berhenti pada lingkup konsepsi hukum, asas, dan kaidah
mengenai penyiaran, informasi transaksi elektronik, dan kekayaan
intelektual saja, tidak sampai pada perilaku manusia yang menerapkan
peraturan tersebut.
Hasil yang diharapkan dari penelitian normatif yuridis ini adalah
menetukan hubungan dan status para pihak dalam sebuah peristiwa hukum
16 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Dan Tinjauan Singkat,
(Jakarta: Rajawali Press, 1990), h. 25.
17Mukti Fajar dan Yulianto Ahmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif Dan Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 26.
12
memberikan justifikasi, meluruskan dan menjaga konsistensi dari sistem
norma terhadap, norma dasar, asas-asas, doktrin serta Peraturan
Perundang-undangan yang berlaku.
Pendekatan yang digunakan untuk rumusan masalah dalam skripsi ini
adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach) dilakukan
dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut
paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.18 Pendekatan ini akan
membuka kesempatan untuk mempelajari dan melihat adakah konsistensi
dan kesesuian satu undang-undang dengan undang-undang lainnya atau
antara satu dengan suatu undang-undang dan undang-undang dasar atau
regulasi dan undang-undang.
Pendekatan yang beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-
doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Dengan mempelajari
pandangan-pandangan dari doktrin-doktrin. Penulis akan menemukan
pengertian, konsep, das asas hukum yang berlaku relevan dengan isu yang
dihadapi untuk kemudian membangun argumentasi hukum dan
memecahkan isu yang dihadapi.19
2. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Bahan hukum yang di perlukan dalam penelitian ini adalah bahan
hukum primer dan sekunder yang diperoleh dari studi kepustakaan
(Library Research). Bahan-bahan hukum tersebut terdiri dari studi:
a. Bahan hukum primer
Yaitu ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan
yang mempunyai kekuatan hukum mengikat, baik peraturan yang
dikeluarkan oleh pemeritah Republik Indonesia maupun peraturan
yang diterbitkan oleh negara lain dan bahan-bahan internasional.20
Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang bersifat mengikat,
18 Peter Mahmud Marzuki. Penelitian Hukum, (Jakarta: Prenada Media Group, 2016) Cet.
12, h. 33.
19 Peter Mahmud Marzuki. Penelitian Hukum , h. 135.
Subagyo, P. Joko. Metodologi Penelitian Dalam Teori dan Praktek. Jakarta: Gress Indonesia.
World Intellectual Property Organization, Understanding Copyright and Related Rights, 2016.
Wuisman, M. JJ dan M. Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas. Jakarta: FE UI, 1996.
JURNAL
Circular 14, “Copyright In Derivative Works And Compilations”, U.S. Government Printing Office, Vol. 2013, XXX-XXX ⁄XX,XXX, 3, (2013)
Coste, Peter “Second Treatise of Government by John Locke”, Salus Populi Suprema, London Printed, Vol. MDCLXXXVIII, 2012. (2012)
76
Mohammad Faiz, Pan “Analisa Pengecualian Terhadap Hak Cipta: Suatu Perbandingan Hukum Pada UU Hak Cipta India”, Oktober, 2006. (2006)
Nauli Hasibuan, Aryani, “Perlindungan Hak Cipta Atas Karya Derivatif Dalam Prakteknya: Studi Kasus Buku Ensikopedia Al Quran: Al-Maushuah Al-Quraniyah Al-Muyassarah. 2014. (2014)
Saikia, Nandita, Adaptations, Derivations and Transformations in Copyright law, http://lawmatters.in/content/adaptations-derivations-and-transformations-in-copyrightlaw, Vol. II, 2014. (2014)
Yusril, “Kreativitas Dan Imajinasi Sutradara Membangun Peristiwa Teater Menuju Ruang Publik” , Vol. 14, No. 1, Juni 2012. (2012)
SKRIPSI
Fachrunissa Dwirachma, “Analisis Yuridis Terhadap Sengketa Hak Cipta” (Skripsi S1 Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, 2014.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 Tentang Perfilman
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
INTERNET http://id.wikepedia.org/wiki/Wikipedia:Teks_Lisensi_Creative_Commons_Atribus