Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 47 STANDARISASI PENGUASAAN KITAB KUNING DI PONDOK PESANTREN (Studi pada Madrasah Salafiyah Pesantren As-Salafiyah Mlangi, Sleman dan Pesantren Al-Munawwir Krapyak Bantul DIY) A.M Wibowo, Yusriati Peneliti adalah Peneliti pada Balai Litbang Kementerian Agama Abstrak Pesantren yang memiliki kajian terhadap kitab-kitab tertentu, secara otomatis memiliki standar kitab kuning yang menjadi rujukan pesantren tersebut, dan sangat mungkin sekali berbeda antara pesantren satu dengan pesantren yang lain. Standar kitab kuning inilah menjadi sangat penting, baik untuk lingkungan pondok pesantren itu sendiri maupun untuk lintas pondok pesantren. Bahkan kesamaan maupun perbedaan kajian kitab kuning yang menjadi standar oleh beberapa pesantren menjadi varian tersendiri yang akan memperkaya khasanah keilmuan santri sekaligus menjadi sebuah alternatif ketika santri akan memperdalam kajian kitab kuning. Selain stantardisasi kajian kitab kuning yang menjadi ciri khas pondok pesantren, juga penguasaan kitab kuning sebagai kajian yang khas, memunculkan standarisasi bagi tingkat dalam proses pembelajaran pada pondok pesantren, seperti tingkatan ula, wustho, maupun ulya, atau bahkan pada tingkat Ma’had ‘Ali. Tingkatan kitab kuning yang dipelajari, untuk menetukan tingkatan kelas atau tingkatan madrasah. Meskipun demikian pengkajian kitab kuning tetap saja bergantung pada kyai dan ustadz yang mengajarnya (Masyhuri, 1989), sehingga standarisasi kitab kuning memerlukan kajian yang lebih mendalam Penelitian ini terfokus pada 5 hal yaitu (1) mendeskripsikan kitab-kitab kuning yang menjadi rujukan, atau yang dipelajari di pondok pesantren, (2) mengetahui standar apa yang dipakai oleh pondok pesantren dalam menentukan kitab kuning yang dipelajari, (3) mengetahui bagaimana pondok pesantren menentukan standar kitab kuning pada setiap jenjang kelas, (4) melihat orientasi pondok pesantren dalam pembelajaran kitab kuning, dan (5) mengetahui Bagaimana standar penguasaan kitab kuning yang diberlakukan oleh pondok pesantren. Kata Kunci: Standarisasi, Kitab Kuning, Pondok Pesantren A. Pendahuluan Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan tradisional yang tumbuh dan berkembang di masyarakat pedesaan, melalui suatu proses sosial yang unik. Pesantren dipengaruhi dan mempengaruhi kehidupan masyarakat pedesaan, bahkan pengaruh pesantren seringkali jauh melebihi wilayah administratif desa-desa sekitarnya, tidak jarang suatu pesantren mempunyai santri relatif besar, pengaruhnya melintasi kabupaten dimana pesantren berada. 76 Dinamika pengembangan pondok pesantren tampak dari model pengembangan yang tetap mempertahankan prinsip awal pendiriannya, yaitu pengkajian dan pengembangan kitab kuning. Ketetapan pada kitab kuning ini menjadikan pondok 76 Saefudin Zuhri, Sejarah kebangkitan Islam dan perkembangannya di Indonesia, (Bandung: Al Ma’arif,1979), hal. 185
15
Embed
STANDARISASI PENGUASAAN KITAB KUNING DI PONDOK …abcd.unsiq.ac.id/source/LP3MPB/Jurnal/Al Qalam/Desember 2014/3.pdf · pengajaran agama Islam dengan sistem bandongan, sorogan ataupun
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Nama Penulis tiap Artikel
Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 47
STANDARISASI PENGUASAAN KITAB KUNING DI
PONDOK PESANTREN
(Studi pada Madrasah Salafiyah Pesantren As-Salafiyah Mlangi,
Sleman dan Pesantren Al-Munawwir Krapyak Bantul DIY)
A.M Wibowo, Yusriati
Peneliti adalah Peneliti pada Balai Litbang Kementerian Agama
Abstrak
Pesantren yang memiliki kajian terhadap kitab-kitab tertentu, secara otomatis
memiliki standar kitab kuning yang menjadi rujukan pesantren tersebut, dan sangat
mungkin sekali berbeda antara pesantren satu dengan pesantren yang lain. Standar
kitab kuning inilah menjadi sangat penting, baik untuk lingkungan pondok pesantren
itu sendiri maupun untuk lintas pondok pesantren. Bahkan kesamaan maupun
perbedaan kajian kitab kuning yang menjadi standar oleh beberapa pesantren menjadi
varian tersendiri yang akan memperkaya khasanah keilmuan santri sekaligus menjadi
sebuah alternatif ketika santri akan memperdalam kajian kitab kuning.
Selain stantardisasi kajian kitab kuning yang menjadi ciri khas pondok pesantren, juga
penguasaan kitab kuning sebagai kajian yang khas, memunculkan standarisasi bagi
tingkat dalam proses pembelajaran pada pondok pesantren, seperti tingkatan ula,
wustho, maupun ulya, atau bahkan pada tingkat Ma’had ‘Ali. Tingkatan kitab kuning
yang dipelajari, untuk menetukan tingkatan kelas atau tingkatan madrasah. Meskipun
demikian pengkajian kitab kuning tetap saja bergantung pada kyai dan ustadz yang
mengajarnya (Masyhuri, 1989), sehingga standarisasi kitab kuning memerlukan kajian
yang lebih mendalam
Penelitian ini terfokus pada 5 hal yaitu (1) mendeskripsikan kitab-kitab kuning yang
menjadi rujukan, atau yang dipelajari di pondok pesantren, (2) mengetahui standar apa
yang dipakai oleh pondok pesantren dalam menentukan kitab kuning yang dipelajari,
(3) mengetahui bagaimana pondok pesantren menentukan standar kitab kuning pada
setiap jenjang kelas, (4) melihat orientasi pondok pesantren dalam pembelajaran kitab
kuning, dan (5) mengetahui Bagaimana standar penguasaan kitab kuning yang
diberlakukan oleh pondok pesantren.
Kata Kunci: Standarisasi, Kitab Kuning, Pondok Pesantren
A. Pendahuluan
Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan tradisional yang tumbuh dan
berkembang di masyarakat pedesaan, melalui suatu proses sosial yang unik. Pesantren
dipengaruhi dan mempengaruhi kehidupan masyarakat pedesaan, bahkan pengaruh
pesantren seringkali jauh melebihi wilayah administratif desa-desa sekitarnya, tidak jarang
suatu pesantren mempunyai santri relatif besar, pengaruhnya melintasi kabupaten dimana
pesantren berada.76
Dinamika pengembangan pondok pesantren tampak dari model
pengembangan yang tetap mempertahankan prinsip awal pendiriannya, yaitu pengkajian
dan pengembangan kitab kuning. Ketetapan pada kitab kuning ini menjadikan pondok
76 Saefudin Zuhri, Sejarah kebangkitan Islam dan perkembangannya di Indonesia, (Bandung: Al
Ma’arif,1979), hal. 185
Tolong dituliskan Judul Tiap Artikel……
48 | ISSN: 2356-2447-XIII
pesantren memiliki kekhasan tersendiri, ditambah penekanan kitab kuning yang dipelajari
oleh pesantren, seperti pesantren khusus kajian fiqih, aqidah, tafsir, dan kajian tasawuf.
Saat ini dikalangan pondok pesantren sedang mengalami dilema. Disatu sisi mereka
ingin diakui dan disamakan eksistensi dengan pendidikan formal, namun disisi lain hal
tersebut sulit dilakukan oleh pemerintah melihat kurikulum yang belum standar antara
pondok pesantren satu dengan yang lain berbeda di seluruh wilayah Indonesia.
Pengakuan kesetaraan terhadap lulusan pondok pesantren dan pendidikan diniyah
diringi dengan ketetapan standar dalam berbagai aspek yang harus dipenuhi. Standar yang
ditetapkan untuk menentukan tingkatan kelulusan, baik tingkat dasar, menengah pertama
maupun tingkat menengah atas sangat tergantung pada standar kitab kuning yang telah
dikuasai pada tingkatan tersebut, meskipun jangka waktu selama belajar di pondok
pesantren menjadi persaratan yang juga menjadi ketetapan.
Pesantren yang memiliki kajian-kajian khusus terhadap kitab-kitab tertentu, secara
otomatis memiliki standar kitab kuning yang menjadi rujukan pesantren tersebut, dan
sangat mungkin sekali berbeda antara pesantren satu dengan pesantren yang lain. Standar
kitab kuning inilah menjadi sangat penting, baik untuk lingkungan pondok pesantren itu
sendiri maupun untuk lintas pondok pesantren. Bahkan kesamaan maupun perbedaan kajian
kitab kuning yang menjadi standar oleh beberapa pesantren menjadi varian tersendiri yang
akan memperkaya khasanah keilmuan santri sekaligus menjadi sebuah alternatif ketika
santri akan memperdalam kajian kitab kuning.
Selain standarisasi kajian kitab kuning yang menjadi ciri khas pondok pesantren,
terdapat penguasaan kitab kuning yang memunculkan standarisasi bagi tingkat proses
pembelajaran pada pondok pesantren itu sendiri. Tingkatan kitab kuning yang dipelajari,
untuk menentukan tingkatan kelas atau tingkatan Madrasah yang tetap saja bergantung pada
Kyai dan Ustadz, sehingga standarisasi kitab kuning memerlukan kajian yang lebih
mendalam. Berangkat dari latarbelakang masalah, dipandang perlu adanya kajian yang
lebih fokus dan mendalam tentang bagaimana sebenarnya standar kitab kuning yang
dipakai oleh pondok pesantren salaf.
B. Fokus Penelitian
Penelitian ini terfokus pada 5 hal: (1) mendeskripsikan kitab-kitab kuning yang
menjadi rujukan, atau yang dipelajari di pondok pesantren, (2) mengetahui standar apa yang
dipakai pondok pesantren dalam menentukan kitab kuning yang dipelajari, (3) mengetahui
bagaimana pondok pesantren menentukan standar kitab kuning pada setiap jenjang kelas,
(4) melihat orientasi pondok pesantren dalam pembelajaran kitab kuning, (5) mengetahui
bagaimana standar penguasaan kitab kuning yang diberlakukan oleh pondok pesantren.
C. Metode Penelitian
Penelitian tentang penguasaan kitab kuning di pesantren Studi Standarisasi Kitab
Kuning di Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak Bantul dan PonPes As-Salafiyah
Mlangi Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta menggunakan pendekatan kualitatif dengan
metode studi kasus.
Sasaran penelitian ini adalah pondok pesantren yang menyelenggarakan pendidikan
salaf murni, maksudnya pondok pesantren yang murni melaksanakan pengajaran kitab
A.M Wibowo, Yusriati, Standarisasi Penguasaan Kitab Kuning Di Pondok Pesantren
Nama Penulis tiap Artikel
Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 49
kuning tanpa ada penambahan kurikulum yang di rekomendasikan oleh pemerintah.
Adapun yang menjadi subyek penelitian tentang penguasaan kitab kuning di pondok
pesantren adalah madrasah salafiyah yang berada dibawah naungan pondok pesantren.
Penguasaan kitab kuning tersebut meliputi kitab kuning yang menjadi rujukan di pondok
pesantren, kurikulum madrasah, dan standarisasi pondok berdasarkan level kelas dilihat
dari pendidikan formal pemerintah. Teknik pengumpulan dilakukan dengan wawancara,
telaah dokumen, dan pengamatan. Sedang analisis yang digunakan adalah model analisis
data interaksi, yaitu menghubungkan antara kategori dengan sub kategori untuk kemudian
dicari pola-polanya. Adapun langkah langkah yang digunakan dalam analisis ini adalah
reduksi data, penyajian data dan verifikasi data.77
D. Kerangka Teori
Kata pondok berasal dari bahasa arab funduk, yang berarti rumah, penginapan atau
hotel. Pesantren berasal dari kata santri mendapat imbuhan pe-. Asal kata kata santri sendiri
terdapat dua pendapat yang berbeda, Pertama, menyebutkan kata santri berasal dari bahasa
Tamil yang berarti guru mengaji. Kedua, menyebutkan santri berasal dari bahasa India
yaitu Shastri yang artinya buku-buku suci, buku-buku agama, atau buku-buku tentang ilmu
pengetahuan.78 Poerwadarminta mengartikan pesantren sebagai asrama dan tempat murid-
murid belajar mengaji.79 Muzayin Arifin mendefinisikan pesantren sebagai suatu lembaga
pendidikan agama yang tumbuh serta diakui oleh masyarakat sekitar, dengan sistem asrama
(kampus), dimana santri-santri menerima pedidikan agama melalui sistem pengajian atau
madrasah yang sepenuhnya berada di bawah kedaulatan leadership seorang atau beberapa
Kyai dengan ciri-ciri khas yang bersifat kharismatik serta independen dalam segala hal.80
Kafrawi memberikan garis pembeda antara istilah pesantren dan pondok pesantren
dari segi ada tidaknya "pondok" di lingkungan pesantren. Menurutnya, pesantren adalah
lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam yang pada dasarnya sama dengan pondok
pesantren tetapi para santrinya tidak disediakan pondok di kompleks pesantren, namun
tinggal tersebar di seluruh penjuru desa sekeliling pesantren tersebut (santri kalong),
dimana cara dan metode pendidikan dan penga-jaran agama Islam diberikan dengan sistem
weton, yaitu para santri datang berduyun-duyun pada waktu-waktu tertetu (umpama tiap
hari Jumat, Minggu, Selasa dan sebagainya).81 Sedangkan pondok pesantren merupakan
lembaga gabungan antara sistem pondok dan pesantren yang memberikan pendidikan dan
pengajaran agama Islam dengan sistem bandongan, sorogan ataupun wetonan, dan para
santri disediakan pondokan dimana Kyai mengajar santri-santri berdasarkan kitab-kitab
77 Sugiyono, Metode penelitian pendidikan pendekatan kuantitatif, kualitatif dan R & d, (Bandung:
Alfabet, 2007), hal. 92
78 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren; Studi tentang Pandangan Hidup Kiai. (Jakarta: LP3ES, 1982), hal.1982
79 Poerwadarminta, WJS, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1982), hal. 764
80 Muzayin Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Umum dan Agama, (Semarang: Toha Putra. tt), hal. 104 81 Kafrawi, Pembaharuan Sistem Pendidikan Pondok Pesantren, cet I, (Jakarta: Cemara Indah, 1978), hal.
139
A.M Wibowo, Yusriati, Standarisasi Penguasaan Kitab Kuning Di Pondok Pesantren
Tolong dituliskan Judul Tiap Artikel……
50 | ISSN: 2356-2447-XIII
yang ditulis dalam bahasa Arab oleh ulama-ulama besar sejak abad pertengahan, sedang
para santri biasanya tinggal dalam pondok atau asrama dalam pesantren tersebut.82
Menurut Manfred Ziemek, biasanya pesantren didirikan oleh para pemrakarsa
kelompok belajar, yang mengadakan perhitungan dan memperkirakan kemungkinan
kehidupan bersama bagi para santri dan ustadz. Maka berdirilah sebuah pondok, tempat
untuk hidup bersama bagi masyarakat belajar. Dengan kata "pondok" orang membayangkan
"gubuk" atau "saung bambu", suatu lambang yang baik tentang kesederhanaan sebagai
dasar perkiraan kelompok. Di sini guru dan murid tiap hari bertemu dan berkumpul, dan
dalam waktu yang lama bersama-sama menempuh kehidupan di pondok ini.83 Lebih lanjut
Ziemek menilai pesantren sebagai lembaga "wiraswasta" dalam sektor pendidikan
keagamaan, karena ciri-cirinya yang dipengaruhi dan ditentukan oleh pribadi para pendiri
dan pimpinanannya dan cenderung mengikuti suatu pola tertentu.84 Karena pesantren
didirikan atas prakarsa perorangan atau kelompok yang mendukungnya, seringkali usianya
tidak lebih lama dari usia pendirinya ataupun sebelum pendirinya meninggal. Artinya,
secara tidak langsung, pesantren mengikuti siklus hidup Kyai pengasuhnya. Meski
demikian, sebuah usaha pribadi pendirinya, pondok pesantren tidak bergantung pada izin
pemerintah, pengawasan dan pengendaliannya. Karena, desentralisasi telah dimulai
pesantren sejak awal didirikannya.
Berbicara mengenai pesantren, maka tidak bisa terlepas dari komponen-komponen
sebagai pendukungnya. Komponen yang ada pada pesantren merupakan ciri khas yang
tidak dimiliki lembaga pendidikan lain. Komponen pesantren yang dimaksud adalah: (1)
Kyai, 85 (2) Santri, 86 (3) Masjid, 4) pondokan, dan 5) kitab kuning.87 Sedangkan terkait
model penyelenggaraan pesantren, Masykuri Abdillah mengungkapkan tiga model, yaitu:
82 Kafrawi, Pembaharuan Sistem, hal. 139.
83 Manfred Ziemek, Pesantren, hal. 18
84 Manfred Ziemek, Pesantren, hal.97 85 Kyai, dalam sebuah pesantren kyai adalah figur agama (religious figure) yang paling disegani. Dia adalah
orang yang mempunyai otoritas tertinggi, orang yang memprakarsai berdirinya pesantren, orang yang
mengendalikan kehidupan pesantren dan sekaligus pengajar di pesantren. Seba-gai orang yang mempunyai otoritas tertinggi, seoranq kyai harus ditaati semua perintahnya. Para santri selalu mengharap dan berfikir bahwa kyai yang
dianutnya merupakan orang yang percaya penuh pada dirinya sendiri (self confident) baik dalam soal-soal
pengetahuan Islam maupun dalam bidang kekuasaan dan manajemen pesantren. Lihat, Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, hal. 56
86 Santri, santri merupakan orang yang menimba ilmu di pesantren. Dalam penarimaan santri baru,
pesantren tidak mempunyai kriteria tertentu kecuali kesanggupan seorang calon santri untuk belajar di pesantren. Karena itu seorang calon santri dapat menjadi santri sebuah pesantren tanpa dibatasi oleh latar belakang keluarga,
intelektual, ekonomi, sosial, politik, usia, waktu belajar, dan sebagainya. Dhofier menjelaskan, bahwa seorang
santri pergi dan menetap di pesantren karena berbagai alasan, yaitu: pertama, Ia ingin mempelajari kitab-kitab lain yang membahas Islam secara lebih mendalam di bawah bimbingan kyai yang memimpin pesantren tersebut.
Kedua, Ia ingin memperoleh pengalaman kehidupan pesantren, baik alam bidang pengajaran, keorganisasian
maupun hubungan dengan pesantren-pesantren yang terkenal. Dan ketiga, Ia ingin memusatkan studinya di pesantren tanpa disibukkan oleh kewajiban sehari-hari di rumah keluarganya, Lihat Zamakhsyari Dhofier, Tradisi
Pesantren, hal. 52
A.M Wibowo, Yusriati, Standarisasi Penguasaan Kitab Kuning Di Pondok Pesantren
Nama Penulis tiap Artikel
Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 51
1) Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan formal dengan menerapkan
kurikulum nasional, baik yang hanya memiliki sekolah keagamaan (MI, MTs,
MA, dan PT Agama Islam) maupun yang juga memiliki sekolah umum (SD,
SMP, SMU, dan PT Umum), seperti Pesantren Tebuireng Jombang dan Pesantren
Syafi'iyyah Jakarta;
2) Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan keagamaan dalam bentuk madrasah
dan mengajarkan ilmu-ilmu umum meski tidak menerapkan kurikulum nasional,
seperti Pesantren Gontor Ponorogo dan Daarul Rahman Jakarta;
3) Pesantren yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama dalam bentuk madrasah
diniyah, seperti Pesantren Lirboyo Kediri dan Pesantren Tegalrejo Magelang; dan
(4) pesantren yang hanya sekadar menjadi tempat pengajian.88
E. Pembahasan
1. Program Pendidikan di Pesantren As-Salafiyah dan Pesantren Al Munawwir
Syarat menjadi santri pada Pondok Pesantren As-Salafiyah adalah pertama usia
minimal 10 tahun dan harus menempuh sekolah persiapan selama 1 tahun pada marhalah
i’dadiyah. Sedangkan pada Pondok Pesantren Al-Munawwir syarat utama menjadi santri
adalah mengikuti placement test untuk mengetahui sejauhmana pengetahuan calon santri
dalam bidang bahasa, maupun pengetahuan tentang kitab kuning. Jika belum memenuhi
persyaratan pada jenjang pertama maka santri akan ditempatkan pada kelas persiapan yang
disebut halqoh i’dadiyah.
a. Pondok Pesantren As-Salafiyah
Program pendidikan pada Pondok Pesantren As-Salafiyah menggunakan istilah
Marhalah untuk menunjukan jenjang pendidikan. Ada 3 jenjang marhalah di Pondok
Pesantren As-Salafiyah yaitu Marhalah Ula, wustho, dan Ulya. Masing-masing marhalah
memiliki waktu tempuh sebagai berikut.
1) Marhalah ula membutuhkan waktu tiga tahun yaitu sannah ula, ula sanah
tsaniyah, ula sanah tsalisa, masing-masing tingkatan terbagi dalam dua semester.
2) Marhalah wustho terbagi menjadi 3 tingkatan yaitu wustho sanah ula, sanah
tsaniyah, dan tsanah tsalisa, setiap tingkatan terbagi menjadi dua semester.
3) Marhalah ulya, merupakan tingkatan spesialisasi atau takhasus. Pada marhalah ini
santri diberikan pilihan memilih spesialisasi yang diminati antara lain takhassus
ilmu alat, ilmu al-Quran atau takhassus fiqh. Masing-masing takhassus memiliki
jangka tempuh belajar selama satu tahun yang terbagi dalam dua semester.
87 Kitab salaf atau kitab kuning, sesuatu yang tidak pernah lepas dari pesantren adalah pembelajaran kitab
yang lazim disebut kitab kuning. Pengertian itu sendiri menurut Martin Bruinnessen dalam bukunya "kitab kuning, pesantren dan tarekat" adalah buku-buku berhuruf Arab yang dipakai di lingkungan pesantren. Kitab tersebut
biasanya beraliran Syafi'iyyah, yang kesemuanya berbahasa Arab. Pembelajaran kitab kuning tersebut sebagai
suatu unsur dari beberapa unsur mutlak di pesantren yang demikian pentingnya dalam proses pembentukan kecerdasan intelektual dan moralitas kesholehan pada diri santri (sholih linafsihi mushlih lighoirihi), Lihat,
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, hal.44. Lihat pula, Bruinessen, Martin Van, Kitab Kuning, Books in
arabic script used in the pesantren milieu, jurnal KITLV, (Leiden, Netherland 1990), hal. 131-132 88 Masykuri Abdillah, Status Pendidikan Pesantren dalam Sistem Pendidikan Nasional, Kompas, edisi 8
Juni 2001
A.M Wibowo, Yusriati, Standarisasi Penguasaan Kitab Kuning Di Pondok Pesantren
Tolong dituliskan Judul Tiap Artikel……
52 | ISSN: 2356-2447-XIII
b. Pondok Pesantren Al Munawwir
Di atas telah disebutkan bahwa jenjang pendidikan pada madrasah salafiyah,
sementara untuk Pondok Pesantren Al-Munawwir disebut dengan istilah Halqoh. Ada
empat halqoh yang ada di Pondok Pesantren Al Munawwir yaitu, halqoh I’dadiyah, halqoh
Ula, halqoh tsaniyah, dan halqoh tsalisah.
1) Halqoh I’dadiyah, merupakan sekolah persiapan sebelum menempuh pendidikan
yang sebenarnya. Calon santri yang masuk pada madrasah salafiyah Pondok
Pesantren Al-Munawwir harus mengikuti placement test untuk menyaring santri-
santri yang langsung bisa menempuh pendidikan pada halqoh ula atau harus
dipersiapkan dahulu pada halqoh i’dadiyah. Waktu tempuh belajar pada halqoh
ibti’daiyah adalah satu tahun atau dua semester,
2) Halqoh ula merupakan jenjang pendidikan tingkat pertama. Jarak tempuh belajar
pada halqoh ini adalah satu tahun yang terdiri dari dua semester.
3) Halqoh tsaniyah merupakan jenjang pendidikan tingkat dua setelah halqoh ula.
Waktu tempuh belajar pada halqoh ini adalah satu tahun terdiri atas dua semester.,
4) Halqoh tsalisah merupakan jenjang pendidikan ketiga setelah halqoh ula dan
tsaniyah. Waktu belajar pada halqoh ini satu tahun yang terbagi dalam dua semester.
2. Kitab Kuning Rujukan
Jika dilihat pada tingkatan dan lama waktu tempuh belajar antara Pondok Pesantren
As-Salafiyah dan Pondok Pesantren Al-Munawwir terdapat beberapa perbedaan. Perbedaan
pertama adalah pada marhalah ula (Pondok Pesantren As-Salafiyah) menurut penafsiran
institussi (lembaga pondok pesantren As-Salafiyah) adalah termasuk pada tingkatan atau
kategori madrasah ibtidaiyah. Sedangkan marhalah wustho dan ulya masuk dalam kategori
level Tsanawiyah dan aliyah. Pada pondok pesantren Al-Munawwir Krapyak tidak
melaksanakan pendidikan pada tingkat ibtidaiyah melainkan langsung pada tingkat
tsanawiyah yaitu pada halqoh Ula, tsaniyah dan tsalisa. Sedangkan halqoh i’dadiyah
adalah tingkat persiapan yang dikhususkan pada santri yang belum memenuhi syarat
menempuh pendidikan pada halqoh ula.
Berikut ini akan disajikan kitab kuning yang menjadi rujukan pada dua buah pondok
pesantren tersebut sebagai gambaran mengenai kurikulum kitab yang diajarkan pada
pondok pesantren di Daerah Istimewa Yogyakarta.
a. Sekolah Persiapan (Idadiyah)
Sebelum memasuki jenjang pendidikan yang sesungguhnya, dua buah pesantren yang
di teliti terdapat jenjang pra sekolah atau dalam istilah pesantren disebut dengan tingkat
i’dadiyah. Pada Pondok Pesantren As-Salafiyah tigkat persiapan disebut dengan marhalah
i’dadiyah dan pada Pondok Pesantren Al-Munawwir disebut dengan Halqoh I’dadiyah.
Marhalah i’dadiyah yang berlaku di Pondok Pesantren As-Salafiyah untuk
mempersiapakan para santri agar mudah mengikuti mata pengajian (pelajaran) pada tingkat
marhalah ula. Marhalah ula pada Pondok Pesantren As-salafiyah dimasukan pada level
pendidikan tingkat ibtidaiyah, dan halqoh i’dadiyah pada Pondok Pesantren Al-Munawwir
dipersiapkan untuk para santri agar mudah mengikuti pelajaran pada halqoh –halqoh yang
terdapa di Pondok Pesantren tersebut. Halqoh-halqoh yang ada di Pondok Pesantren Al-
A.M Wibowo, Yusriati, Standarisasi Penguasaan Kitab Kuning Di Pondok Pesantren
Nama Penulis tiap Artikel
Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 53
Munawwir oleh institusi pesantren tersebut dimasukan dalam kategori level tsanawiyah.
Pada tabel berikut ini akan disjikan kitab kuning yang menjadi rujukan yang berlaku di dua
buah pesantren.
Tabel 1.
Kitab rujukan marhalah i’dadiyah Pondok Pesantren As-Salafiyah Mlangi
Bidang
pengajian
Marhalah I’daddiyah Pondok Pesantren
As-Salafiyah (Ibtida’)
Halqoh i’dadiyah (Tsanawi)
Al Quran --tidak diajarkan-- Membaca Juz 30 tartil
Fiqh Pesholatan dan Safinah Taqrib
Nahwu Mukhtashor ‘Awamil + M.Jurumiyah Diktat
Sorof Amtsilati At-Tasrif al-Isytiqoqy
Ahlaq Alala Taisir al-Kholaq
Tajwid Tuhfatul athfal Hidayah as-Shibyan
Kitabah (baca
Arab Pegon)
Catatan Tidak diajarkan
Muhafadhoh Nadhom ‘Awamil Lafdhon wa Ma’nan Tidak diajarkan