ANALISIS PENGARUH TINGKAT AKSES INTERNET, KOMPETISI POLITIK, OPINI AUDIT, KARAKTERISTIK PEMDA, DAN KARAKTERISTIK DEMOGRAFI TERHADAP PENGUNGKAPAN INFORMASI KEUANGAN DAN NON-KEUANGAN WEBSITE PEMERINTAH DAERAH Wanda Mustika Rahim 1 , Dwi Martani This research inspect about factors that influence financial and non- financial information disclosure on Local Government websites. The factors are the level of internet access, political competition, audit opinion, local government characteristics (Local Governments’ age, Local government financial strength, level of independence, type of local government and size of local government), and demographic characteristics (unemployment rate and level of welfare). This research was carried out in the period of March-April 2015. Result of the study found that the level of information disclosure on local government website is relatively low. The factors that influence the level of financial disclosure are level of internet access, audit opinion, type of local government, size of local government and level of welfare. The factors that influence non-financial disclosure are level of internet access, local governments’ age, size of local government, unemployment rate, and level of welfare. Key words: Financial and Performance information, Non-Financial Information, Local Government, Local Governments’ website, Disclosure. 1. Pendahuluan Otonomi daerah memberikan kebebasan kepada pemerintah daerah provinsi, kota, dan kabupaten untuk 1 Penulis adalah mahasiswa tingkat akhir pada Program Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia. Paper ini merupakan ringkasan dari skripsi yang dibimbing oleh Dwi Martani, dosen senior pada Program Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia.
119
Embed
staff.blog.ui.ac.id · Web viewinspect about factors that influence financial and non-financial information disclosure on Local Government websites. The factors are the level of internet
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
ANALISIS PENGARUH TINGKAT AKSES INTERNET, KOMPETISI POLITIK, OPINI AUDIT, KARAKTERISTIK PEMDA, DAN
KARAKTERISTIK DEMOGRAFI TERHADAP PENGUNGKAPAN INFORMASI KEUANGAN DAN NON-KEUANGAN WEBSITE
PEMERINTAH DAERAH
Wanda Mustika Rahim1, Dwi Martani
This research inspect about factors that influence financial and non-financial information disclosure on Local Government websites. The factors are the level of internet access, political competition, audit opinion, local government characteristics (Local Governments’ age, Local government financial strength, level of independence, type of local government and size of local government), and demographic characteristics (unemployment rate and level of welfare). This research was carried out in the period of March-April 2015. Result of the study found that the level of information disclosure on local government website is relatively low. The factors that influence the level of financial disclosure are level of internet access, audit opinion, type of local government, size of local government and level of welfare. The factors that influence non-financial disclosure are level of internet access, local governments’ age, size of local government, unemployment rate, and level of welfare.
Key words:Financial and Performance information, Non-Financial Information, Local Government, Local Governments’ website, Disclosure.
1. Pendahuluan
Otonomi daerah memberikan kebebasan kepada pemerintah daerah
provinsi, kota, dan kabupaten untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahannya dengan asas otonomi dan tugas pembantuan (UUD 1945).
Pemerintah daerah merupakan agent dalam melaksanakan pemerintahan dengan
stakeholder utamanya adalah masyarakat sehingga informasi mengenai
pelaksanaan pemerintah daerah harus tersedia bagi masyarakat. Masyarakat ingin
mengetahui bagaimana pemerintah daerah mengelola daerahnya. Informasi
pengelolaan daerah digunakan masyarakat untuk menilai kinerja pemerintah
daerah dan merupakan pertanggungjawaban pemerintah daerah kepada 1 Penulis adalah mahasiswa tingkat akhir pada Program Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia. Paper ini merupakan ringkasan dari skripsi yang dibimbing oleh Dwi Martani, dosen senior pada Program Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia.
2
masyarakat serta pihak ketiga yang memberikan pembiayaan. Kewajiban
pelaporan ini dimandatkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah dalam bentuk Laporan Pelaksanaan Pemerintah Daerah
(LPPD) dan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD).
Seiring dengan perkembangan teknologi yang semakin pesat pelaksanaan
tugas pemerintah, termasuk penyampaian informasi publik dapat dilakukan
dengan lebih mudah. Salah satu media yang mudah dan efisien digunakan adalah
melalui website resmi pemerintah daerah. Melalui Instruksi Presiden RI Nomor 3
tahun 2003, Indonesia mulai mengembangkan pelaksanaan pemerintahan berbasis
internet atau yang biasa dikenal dengan e-government. Salah satu tujuan
pengembangan e-government adalah untuk pemanfaatan kemajuan teknologi
informasi agar pelayanan publik dapat diakses secara mudah dan murah oleh
masyarakat di seluruh Indonesia (Inpres No 3 tahun 2003). Tahapan awal tindak
lanjut inpres tersebut adalah pembentukan website resmi seluruh instansi
pemerintah termasuk pemerintah daerah. Pelaksanaan e-government di
pemerintah daerah kemudian diatur melalui blueprint e-government untuk
pemerintah daerah yang dikeluarkan Kementerian Telekomunikasi dan
Informatika. Di Indonesia, pengungkapan informasi pada website resmi Pemda
masih bersifat sukarela (voluntary). Akibatnya tingkat pengungkapan informasi
masih beragam di setiap website Pemda. Motivasi untuk secara sukarela
melaporkan informasi pemerintahan pada website bergantung kepada urgensi
masing-masing pemda.
Laswad (2005) meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi pengungkapan
sukarela informasi keuangan pada website resmi pemerintah daerah. Penelitian
dilakukan pada pemerintah daerah di New Zealand, dan ditemukan bahwa
leverage, kekayaan daerah, press visibility, dan type of council berpengaruh
signifikan terhadap tingkat pengungkapan sukarela informasi keuangan pada
pemda di New Zealand. Garcia & Garcia (2010) menemukan bahwa size, capital
investment, political competition, dan press visibility memiliki pengaruh
signifikan terhadap tingkat pengungkapan sukarela informasi keuangan pada
website resmi pemerintah daerah. Garcia-Sanchez et al. (2013) menemukan
Universitas Indonesia
3
bahwa jumlah penduduk memiliki korelasi positif dan ideologi Pemda memiliki
korelasi negatif terhadap pengungkapan informasi kegiatan sosial dan lingkungan.
Di Indonesia, penelitian mengenai pengungkapan sukarela pada website
resmi dilakukan oleh Puspita (2010). Penelitian ini menemukan bahwa PAD,
DAK, DAU, dan ukuran Pemda mempengaruhi tingkat pengungkapan sukarela
pada website resmi Pemda. Martani et al. (2013) menemukan bahwa tingkat
pendidikan, jumlah penduduk, dan kemampuan keuangan daerah berpengaruh
terhadap tingkat pengungkapan signifikan pada website resmi Pemda.
Penelitian ini bertujuan meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi
pengungkapan informasi dari aspek keuangan dan non keuangan pada website
resmi Pemda. Berbeda dari penelitian sebelumnya, penelitian ini memasukkan
pengaruh akses internet, usia pemda dan kompetisi politik sebagai faktor yang
mempengaruhi pengungkapan di internat. Dalam penelitian ini juga akan diuji
kembali faktor-faktor yang telah diteliti sebelumnya namun belum ditemukan
pengaruh yang signifikan. Penelitian ini menggunakan data yang lebih baru tahun
2015, pada saat penggunaan komunikasi data semakin pesat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat akses internet tiap daerah
mempengaruhi pengungkapan informasi daerah dalam website. Daerah yang
memiliki tingkat akses internet tinggi terbukti memiliki pengungkapan internet
yang lebih tinggi. Umur Pemda terbukti memiliki pengaruh positif terhadap
pengungkapan informasi non keuangan. Namun penelitian ini belum berhasil
menemukan pengaruh kompetisi politik.
Paper ini terbagi dalam empat bagian. Bagian pertama pendahuluan yang
menjelaskan tujuan penelitian. Bagian kedua menjelaskan tentang literatur dan
pengembangan hipotesis. Bagian ketiga berisikan metodologi penelitian yang
membahas model, pengukuran variabel dan metode analisis. Bagian keempat
membahas tentang hasil dan implikasi penelitian. Bagian kelima berisikan
kesimpulan dan saran.
2. Literatur dan Pengambangan Hipotesis
2.1. Agency Theory dalam Pemerintahan
Universitas Indonesia
4
Agency theory menggambarkan hubungan antara dua pihak, dimana satu
pihak bertindak sebagai agent yang beraktivitas atas kepentingan pihak lainnya
sebagai principal (Jensen and Meckling, 1976). Teori agensi ini menitikberatkan
kepada hal dimana masing-masing pihak bertingkah laku untuk memaksimalkan
keuntungan masing-masing (self-interest), sehingga hal ini akan mengakibatkan
munculnya agency problem, dimana agent sebagai perpanjangan tangan dari
principal tidak bertindak sesuai dengan kepentingan principal namun cenderung
untuk kepentingan pribadinya.
Jika dikaitkan kedalam bidang pemerintahan, pemerintah dapat
dikategorikan sebagai agent sedangkan masyarakat sebagai principal.
Sebagaimana yang diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945 bahwa
pemerintahan Indonesia dibentuk untuk memajukan kesejahteraan umum, maka
pelaksanaan pemerintahan harus didasarkan kepada tujuan tersebut. Namun
seringkali pelaksanaan pemerintah hanya berfokus kepada kepentingan aparat
pemerintah itu sendiri sehingga tujuan pelaksanaan pemerintahan tidak tercapai.
Mengatasi agency problem yang terjadi baik pada lingkungan swasta
maupun pemerintah, Jesen dan Mecklin (1976) menjelaskan adanya upaya
principal untuk mengontrol tindakan manajemen agar bertindak sesuai dengan
kepentingan principal yaitu dengan monitoring. Tindakan ini nantinya akan
menimbulkan monitoring cost bagi principal. Pada perusahaan monitoring cost
dapat berupa biaya audit, budget restriction, dsb. Sedangkan dari segi
pemerintahan tindakan monitoring atas aktivitas pemerintah, baik pemerintah
pusat, daerah, maupun instansi pemerintah lainnya, telah diatur dalam undang-
undang untuk memastikan hak masyarakat sebagai principal terpenuhi. Meskipun
monitoring cost pada awalnya ditanggung oleh principal, namun biaya ini
seringkali dikembalikan kepada agent sehingga agen lah yang menanggungnya
dengan dihubungkan kepada kekayaan agen seperti kebijakan remunersi. Dalam
pemerintahan tindakan monitoring yang diwujudkan melalui peraturan
perundangan menimbulkan biaya bagi agen (pemerintah) yaitu berupa
diberhentikan, hukuman pidana, dan hukuman lainnya yang ditetapkan dalam
undang-undang.
Universitas Indonesia
5
Monitoring cost yang seringkali dibebankan kepada agen menjadikan agen
cenderung akan bertindak untuk meminimalisir biaya ini. Salah satu cara yang
dilakukan adalah dengan menyampaikan laporan atas operasional yang telah
dilakukan kepada principal. Pengungkapan informasi yang lebih besar dan rutin
akan meminimalisir monitoring cost lebih besar, sehingga biaya yang ditanggung
akan lebih sedikit. Salah satu bentuk pengungkapan yang sering dilakukan, baik
pada sektor publik maupun swasta, adalah melalui website resmi instansi tersebut.
Pengungkapan pada website ini merupakan salah satu cara yang efisien dalam
mengatasi agency problem.
2.2. Legitimacy Theory dalam Pemerintahan
Teori legitimasi seringkali digunakan untuk menjelaskan aktivitas
perusahaan dalam pengungkapan informasi sukarela kepada para stakeholdernya,
umumnya informasi sosial dan lingkungan. Menurut Suchman (1995):
“Legitimacy is generalized perception or assumption that the action of an entity are desirable, proper, or appropriate within some socially constructed system of norms, values, beliefs, and definition”(Suchman, 1995, p. 574)Dikaitkan kedalam bidang pemerintah, legitimasi merupakan suatu kondisi
dimana tingkah laku pemerintah sesuai dengan norma dan nilai-nilai yang berlaku
dalam masyarakat, sehingga akan tercipta kepercayaan atas kebijakan dan
keputusan pemerintah. Adanya perbedaan antara aktivitas pemerintah dengan nilai
yang berlaku dalam masyarakat akan menimbulkan adanya legitimacy gap yang
mengancam kepercayaan masyarakat terhadap pemeritah (Haniffa & Cooke,
2005). Disisi lain, norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat tidaklah
bersifat konstan, ada perubahan nilai-nilai yang dianut, sehingga entitas harus
dapat menyesuaikan dengan persepsi baru yang dianut masyarakat (Tilling & Tilt,
2010).
Legitimasi suatu entitas bergantung pada ekspektasi masyarakat mengenai
kinerja entitas yang bersangkutan. Dalam menjaga legitimasi tersebut, hal yang
paling krusial adalah komunikasi dengan masyarakat karena dengan begitu
masyarakat diperlihatkan atas aktivitas dan kinerja yang dilakukan oleh
Universitas Indonesia
6
pemerintah (Lindblom, 1994). Terdapat empat strategi komunikasi yang dapat
dilakukan dalam menjaga legitimasi entitas (Lindblom, 1994), yaitu:
1) Berusaha untuk mendidik dan memberitahu masyarakat tentang perubahan
dalam kinerja dan aktivitas entitas. Pemberitahuan atas perubahan yang
terjadi dalam entitas dapat mengurangi legitimacy gap atas aktivitas yang
tidak sesuai dengan ekspektasi masyarakat
2) Mencoba mengubah persepsi masyarakat atas entitas yang bersangkutan
3) Memanipulasi persepsi dengan mengalihkan perhatian publik terhadap isu
baru.
4) Mengubah ekspektasi eksternal mengenai kinerja entitas.
Salah satu bentuk komunikasi yang dapat dilakukan oleh entitas
pemerintah dalam menjaga dan memperkuat legitimasinya terhadap publik adalah
dengan penyampaian informasi kinerjanya secara berkala. Pemerintah diwajibkan
DISC_FIN : Tingkat pengungkapan sukarela informasi keuangan pada
website resmi Pemda
DISC_NONFIN : Tingkat pengungkapan sukarela informasi non-keuangan pada
website resmi Pemda
INTACC : Tingkat akses terhadap internet
POLCOM : Kompetisi politik
OP : Opini Audit BPK
AGE : Usia berdirinya Pemda
BUDCAP : Kemampuan keuangan pemda (Budget Capacity)
Universitas Indonesia
26
PAD : Tingkat Kemandirian Daerah (Pendapatan Asli Daerah)
TYPE : Jenis Pemda
SIZE : Total Populasi
UNEMPLOY : Tingkat Pengangguran
WEALTH : Tingkat Kesejahteraan masyarakat
β0 – β10 : Koefisien
ε : koefisien eror
3.3. Operasionalisasi Variabel Penelitian
Operasionalisasi variabel merupakan bentuk penilaian terhadap masing-
masing variabel penelitian. Dalam pemilihan operasionalisasi variabel
diperhatikan indikator yang tepat untuk mengukur variabel penelitian sehingga
diperoleh hasil yang akurat. Operasionalisasi variabel-variabel penelitian ini
adalah:
3.3.1. Tingkat pengungkapan sukarela pada website
Data penelitian diperoleh dengan cara melakukan observasi terhadap
website resmi Pemda dengan menggunakan indeks (checklist) tingkat
pengungkapan pada website. Indeks tingkat pengungkapan informasi keuangan
yang digunakan dalam penelitian ini merupakan hasil penggabungan dan
pengembangan dari jurnal utama yaitu Garcia and Garcia (2010) dan Martani et
al. (2013) serta disesuaikan dengan peraturan terbaru mengenai pengungkapan
informasi keuangan diantaranya Instruksi Mendagri No 188.52/1797/SJ tentang
peningkatan transparansi keuangan daerah dengan menyediakan konten
transparansi keuangan daerah pada website resmi Pemda. Indeks pengungkapan
informasi keuangan memasukkan informasi Highlight informasi keuangan,
APBD, LKPD, LAKIP, Pemda dalam Angka, dan Dokumentasi anggaran.
Indeks pengungkapan informasi non keuangan didasarakan kepada
penelitian Garcia-Sanchez et. al (2013), serta Penelitian sebelumnya di Indonesia
oleh Martani et al. (2013) yang berdsarkan kepada PP No 38 tahun 2007 tentang
Pembagian urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah
Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Pengungkapan informasi
Universitas Indonesia
27
keuangan berfokus kepada informasi 26 pelayanan wajib yang dilakukan Pemda
sebagaimana yang disebutkan dalam Bab 2 tulisan ini. Indeks pengungkapan yang
telah dikembangkan pada penelitian-penelitian sebelumnya diperbaiki dan
dikembangkan sesuai dengan keadaan Indonesia dan berdasarkan saran-saran
peneliti-peneliti tersebut.
Selanjutnya, masing-masing website Pemda dibuka dan dilihat informasi
yang diungkapkan didalamnya. Kemudian ketersediaan informasi yang ada pada
website dicocokkan dengan indeks yang sudah dibuat sebelumnya dengan
menggunakan menuliskan 1 jika informasi diungkapkan, dan 0 jika informasi
tidak diungkapkan dalam website.
3.3.2. Tingkat Akses internet
Proksi yang digunakan dalam mengukur tingkat akses terhadap internet
adalah tingkat penetrasi internet di masing-masing daerah. Tingkat penetrasi
internet menunjukkan jumlah penduduk yang mengakses internet pada masing-
masing daerah. Informasi mengenai aksesibilitas internet ini diperoleh dari hasil
survey Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII). APJII merupakan
asosiasi yang dibentuk penyelenggaraan program pengembangan internet di
Indonesia yang telah mendapatkan persetujuan dari Kementerian Komunikasi dan
Informasi. Salah satu bentuk program yang dijalankan diantaranya penentuan tarif
internet dan tarif jasa telekomunikasi, dsb.
Informasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah hasil survei APJII
bekerjasama dengan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2013. Survei yang
dilakukan APJII adalah pada beberapa kabupaten dan kota di provinsi yang
bersangkutan kemudian dilakukan metode statistik untuk menggambarkan nilai
penetrasi tingkat provinsi, sehingga hasil survei final yang tersedia adalah tingkat
penetrasi internet per provinsi. Untuk keperluan penelitian ini, penulis
menggunakan tingkat penetrasi yang sama untuk setiap kabupaten dan kota pada
provinsi yang sama.
Sekaran dan Bougie (2009) menjelaskan bahwa peneliti seharusnya dapat
menyimpulkan hasil bagi populasi dengan melihat hasil dari sampel. Hal ini
tentunya didasari pada proses pengambilan sampel serta hasil analisis yang
Universitas Indonesia
28
mendalam oleh para ahli. BPS yang merupakan badan yang sering melakukan
survey dan sensus, tentunya telah memiliki kredibilitas yang tinggi sehingga
menurut opini penulis data penetrasi internet provinsi dapat menggambarkan
keadaan penetrasi internet untuk masing-masing kabupaten dan kota pada provinsi
yang sama.
3.3.3. Kompetisi politik
Proksi yang digunakan untuk menghitung nilai kompetisi politik dengan
menggunakan nilai 1-persentase kemenangan dalam pemilihan kepala daerah
terakhir pada Pemda yang bersangkutan. Persentase kemenangan yang tinggi
menunjukkan bahwa calon terpilih telah memenuhi preferensi masyarakat lebih
besar daripada calon-calon lainnya. Hal ini berarti pasangan calon terpilih tersebut
tidak mengalami kompetisi yang lebih tinggi, meskipun terdapat beberapa lawan
calon lain. Sebaliknya apabila persentase kemenangan yang diperoleh tidak
berbeda jauh dengan lawan lainnya, maka kompetisi antara calon terpilih dengan
yang tidak terpilih lebih besar karena preferensi masyarakat terhadap masing-
masing calon tidak terlalu berbeda. Hal ini akan menyebabkan kompetisi politik
menjadi lebih tinggi, terutama untuk memperebutkan posisi kepala daerah pada
Pilkada berikutnya.
Kompetisi Politik=1−%Kemenangan Pilkada
3.3.4. Opini audit
Opini audit diperoleh dari hasil opini yang diterbitkan oleh BPK atas
laporan keuangan Pemda tahun 2013. Opini audit diukur menggunakan skala
ordinal, yang berarti nilai yang memiliki peringkat berbeda satu sama lainnya.
Nilai yang lebih tinggi menunjukkan peringkat yang lebih tinggi. Opini audit ini
diberi nilai sebagai berikut: 1. Untuk opini tidak memberikan pendapat (TMP), 2.
Untuk opini Tidak Wajar (TW), 3. Untuk opini Wajar Dengan Pengecualian
(WDP), 4. Untuk opini Wajar Tanpa Pengecualian dengan Paragraf Penjelas
(WTP DPP), dan 5. Untuk opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).
3.3.5. Usia pemda
Universitas Indonesia
29
Usia Pemda diperoleh dengan cara menghitung tahun lamanya pemda
berdiri hingga tahun penelitian yaitu 2015. Tahun berdiri Pemda yang dijadikan
acuan adalah berdasarkan pada tahun disahkannya dasar hukum pembentukkan
suatu kabupaten atau kota sebagai daerah otonom yang berada dalam lingkup
Republik Indonesia.
3.3.6. Kemampuan keuangan daerah
Kemampuan keuangan daerah diukur dengan nilai kapasitas anggaran
yang tersedia setelah dikurangkan dengan belanja wajib (belanja pegawai)
perkapita. Belanja pegawai dikelurakan dari total belanja karena penggunaannya
yang sudah terikat. Penulis merujuk kepada penelitian sebelumnya yaitu Garcia-
Sanchez et al. (2013) dan Martani et al. (2013) yang menggunakan indikator yang
sama dalam mengukur tingkat kemampuan keuangan daerah. Nilai yang besar
menunjukkan penggunaan dana yang dapat digunakan untuk pengembangan
sistem informasi menjadi lebih besar. Informasi terkait variabel ini diperoleh dari
LKPD tahun 2013 yang telah diaudit oleh BPK
Kemampuan keuangan daerah=Total belanja−Belanja PegawaiJumlah Penduduk
3.3.7. Tingkat Kemandirian Daerah
Proksi yang digunakan dalam menghitung tingkat kemandirian daerah
adalah adalah persentase antara jumlah PAD dengan jumlah pendapatan daerah.
Informasi mengenai jumlah PAD diperoleh dari LKPD tahun 2013 yang telah
diaudit oleh BPK. Nilai yang tinggi menunjukkan tingkat kemandirian yang lebih
tinggi karena daerah mampu memperoleh pendapatan sendiri yang bukan berasal
dari transfer pemerintah pusat.
Tingkat KemandirianPemda=Total Pendapatan Asli DaerahTotal Pendapatan
× 100 %
3.3.8. Jenis daerah
Variabel jenis daerah telah banyak digunakan dalam penelitian mengenai
pengungkapan oleh sektor publik, salah satunya oleh Laswad et al. (2005) yang
Universitas Indonesia
30
mendapatkan hasil signifikan mengenai hubungan jenis daerah dengan tingkat
pengungkapan informasi keuangan pada website Pemda. Proksi jenis daerah yang
digunakan dalam penelitian ini merupakan variabel dummy dimana 1 diberikan
jika Pemda berbentu Pemerintah Kota dan 0 untuk Pemda berbentuk Pemerintah
Kabupaten.
3.3.9. Ukuran Pemda
Ukuran Pemda diukur dengan menggunakan proksi total populasi daerah
dengan penelitian Garcia-Garcia (2010) dan Garcia-Sanchez (2013). Informasi
mengenai jumlah penduduk Pemda diperoleh dari database jumlah penduduk pada
Worldbank.
3.3.10. Tingkat pengangguran
Tingkat pengangguran merupakan salah satu proksi yang menunjukkan
lingkungan ekonomi suatu daerah. Data mengenai tingkat pengangguran setiap
Kabupaten dan Kota di Indonesia diperoleh dari pusat data Worldbank-The
Indonesian Database for Policy and Economic Research (INDO-DAPOER) yang
diakses melalui databank.worldbank.org. Tingkat Pengangguran dihitung dengan
membagi jumlah penduduk yang menganggur dengan jumlah penduduk pada
angkatan kerja.
Tingkat Pengangguran= Jumlah Penduduk yang MenganggurJumlah Penduduk dalam Angkatan Kerja
3.3.11. Kesejahteraan penduduk
Tingkat kesejahteraan penduduk dapat dilihat dari pendapatan perkapita
masing-masing daerah. Informasi mengenai PDRB Perkapita masing-masing
daerah diperoleh dari pusat data Worldbank-The Indonesian Database for Policy
and Economic Research (INDO-DAPOER) yang diakses melalui
databank.worldbank.org. Tingkat kesejahteraan penduduk dihitung dengan cara
sebagai berikut:
Tingkat KesejahteraanDaerah=Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
Jumlah Penduduk
Universitas Indonesia
31
Tabel 3.1 Ringkasan Operasionalisasi Variabel
No Variabel Operasionalisasi Variabel1 Pengungkapan
Informasi KeuanganIndeks Pengungkapan informasi keuangan
2 Pengungkapan Informasi Non Keuangan
Indeks Pengungkapan informasi non keuangan
3 Tingkat Akses Internet Tingkat penetrasi internet provinsi4 Kompetisi Politik 1−%kemenangan Pilkada5 Opini Audit 5 = Wajar Tanpa Pengecualian (WTP)
4 = Wajar Tanpa Pengecualian dengan Paragraf Penjelas (WTP-DPP)3 = Wajar Dengan Pengecualian (WDP)2 = Tidak Wajar (TW)1 = Tidak Menyatakan Pendapat (TMP)
6 Usia Pemda 2015−tahunberdiri Pemda7 Kemampuan Keuangan
Daerahln Total Belanja−Belanja Pegawai
Jumlah Penduduk daerah8 Kemandirian Daerah ln Total PAD
Total Pendapatan9 Jenis Daerah 1 = Pemda Kota, 0 = Pemda Kabupaten10 Ukuran Daerah Jumlah Penduduk Daerah11 Tingkat Pengangguran Jumlah Penduduk Menganggur
Jumlah Penduduk dalam angkatan kerja12 Tingkat Kesejahteraan
Daerahln PDRB
3.4. Sampel Penelitian
Populasi adalah sekelompok orang, kejadian, atau segala sesuatu yang
mempunyai karakteristik sama (Indriantoro dan Supomo, 2012). Populasi dalam
penelitian ini adalah semua Pemerintah Kabupaten dan Kota yang ada di
Indonesia. Sampel yang digunakan dalam penelitian adalah Pemda yang memiliki
data yang lengkap, mencakup website resmi yang dapat diakses, ketersediaan
LKPD tahun 2013 yang telah diaudit BPK, informasi demografi daerah, serta
ketersediaan data hasil Pemilikada pada masing-masing daerah.
Namun ketersediaan data, terutama data mengenai tingkat kemenangan
kepala daerah dalam Pilkada sangat terbatas sehingga penelitian dilakukan dengan
memisahkan variabel kompetisi politik. Hal ini dilakukan karena perbedaan
jumlah sampel yang cukup besar, sehingga dikhawatirkan akan menghasilkan
hasil penelitian yang tidak akurat. Pemisahan variabel ini menjadikan hasil regresi
Universitas Indonesia
32
untuk masing-masing model menjadi dua, yaitu hasil regresi tanpa variabel
kompetisi politik, serta hasil regresi dengan variabel kompetisi politik. Kedua
hasil regresi ini menggunakan jumlah sampel yang berbeda sehingga nantinya
dapat dilihat perbedaan hasil analisis, serta sensitivitas variabel kompetisi politik
terhadap variabel lainnya.
3.5. Teknik Pengumpulan Data
Data dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang diperoleh dari
berbagai sumber. Data mengenai tingkat pengungkapan pada website diperoleh
dari hasil observasi penulis terhadap masing-masing website pemda. Data terkait
informasi keuangan Pemda diperoleh dari LKPD tahun 2013 yang telah diaudit
yang dikeluarkan oleh BPK RI. Data demografi daerah diperoleh dari pusat data
Worldbank-The Indonesia Database for Policy and Economic Research (INDO-
DAPOER) yang diakses melalui databank.worldbank.org. Data mengenai tingkat
kemenangan kepala daerah dalam Pilkada diperoleh dari Komisi Pemilihan
Umum (KPU). Sementara itu data mengenai tingkat akses internet di Indonesia
diperoleh dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII).
3.6. Teknik Analisis Data
3.6.1. Statistik Deskriptif
Statistik deskriptif merupakan teknik analisis data dengan cara
mengorganisasikan, meringkas, dan menyajikan data menjadi bentuk yang lebih
informatif (Lind, Marchal, and Wathen, 2010). Deskriptif data ini menunjukkan
keseragaman data-data yang digunakan dalam penelitian. Analisis statistik
deskriptif meliputi tiga metode, yaitu frequency, central tendency, dan dispersion
(Sekaran, 2009). Dalam penelitian ini metode yang diguanakan hanyalah
frequency dan central tendency.
Central tendency diukur dengan tiga indikator yaitu rata-rata (mean), nilai
tengah (median), dan nilai yang sering muncul (modus). Sementara itu, dispersion
menunjukkan tingkat variabilitas data penelitian. Indikator yang dapat digunakan
adalah range (jarak nilai terbesar ke nilai terkecil), varians (tingkat persebaran
data), dan standar deviasi (indeks persebaran distribusi variabilitas data).
Universitas Indonesia
33
3.6.2. Uji Asumsi Klasik
Uji asumsi klasik dilakukan umtuk melihat apakah data yang digunakan
pada penelitian sudah memenuhi asumsi-asumsi yang diperlukan untuk
menghasilkan penelitian yang akurat. Uji asumsi klasik yang dilakukan adalah:
1. Uji Multikolinearitas
Multikolinearitas merupakan kondisi dimana variabel independen
memiliki hubungan yang kuat antar sesama variabel independen. Hubungan
yang kuat antar variabel independen akan mengakibatkan koefisien yang
dihasilkan dalam analisis regresi tidak dapat diandalkan. Salah satu cara yang
dapat dilakukan untuk menilai multikolinearitas adalah dengan melihat nilai
correlation covariance. Nilai korelasi yang berada diatas rule of thumb 0,8
menunjukkan model regresi memiliki masalah multikolinearitas (Gujarati,
2004). Masalah multikolinearitas akan mengakibatkan model memiliki
kovarian dan varian yang besar sehingga sulit dipakai sebagai alat estimasi.
Selain itu dapat mempengaruhi nilai statistic uji t yang dapat mempengaruhi
signifikansi suatu variabel.
2. Uji Heteroskedastisitas
Heteroskedastisitas adalah kondisi dimana variasi pada variabel
dependen tidak konstan yang akan mengganggu hasil regresi. Dalam penelitian
ini, akan dilakukan analisis regresi yang mengharuskan variasi pada data
konstan. Uji ini diperlukan untuk memastikan bahwa data penelitian bebas dari
masalah heteroskedastositas
3.6.3. Uji Hipotesis
Uji hipotesis dilakukan untuk melihat apakah hipotesis yang dirumuskan
sebelumnya sesuai dengan hasil penelitian yang telah dilakukan. Uji hipotesis
yang dilakukan adalah:
1. Uji Signifikansi Global (F-test)
Universitas Indonesia
34
Uji signifikansi global ditujukan untuk melihat kemampuan variabel
independen secara bersama-sama dalam menjelaskan variabel dependen.
Pengujian dilakukan dengan membandingkan probabilitas model dengan α.
Nilai probabilitas yang lebih kecil dari α menunjukkan bahwa variabel-variabel
independen secara bersama-sama mempengaruhi variabel dependen secara
signifikan.
2. Uji Koefisien Determinasi (R2)
Koefisien determinasi menunjukkan seberapa besar variasi pada variabel
dependen dapat dijelaskan oleh variabel-variabel independen dalam penelitian.
Nilai R2 berkisar dari 0 hingga 1, dengan nilai mendekati 1 menunjukkan
kemampuan yang lebih besar dalam menjelaskan variasi pada variabel
dependen. Nilai R2 yang besar menunjukkan bahwa model penelitian yang
digunakan lebih baik karena nilai pada variabel dependen dapat dijelaskan
dengan lebih baik oleh variabel-variabel independen.
3. Uji Signifikansi Variabel (t-test)
Uji t-test dilakukan untuk melihat seberapa besar masing-masing
variabel independen berpengaruh terhadap variabel dependen dengan tingkat
signifikansi α 1%, 5%, dan 10%. Vaiabel yang signifikan ditunjukkan dengan
nilai p-value yang kurang dari tingkat signifikansi.
Universitas Indonesia
BAB 4
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
4.1. Ringkasan Sampel Penelitian
Pemilihan sampel pada penelitian ini didasarkan kepada tersedianya
website resmi Pemerintah Daerah yang dapat diakses pada waktu penelitian yaitu
Maret-April 2015. Website resmi yang diteliti adalah Pemerintah Kabupaten dan
Kota, sehingga website Pemerintah Provinsi tidak dimasukkan kedalam sampel
penelitian. Selain itu ketersediaan data keuangan, statistik, dan demografi daerah
juga menentukan pemilihan sampel dalam penelitian ini. Pemerintah Daerah yang
tidak memiliki data yang lengkap akan dikecualikan dalam penelitian ini.
Berdasarkan karakteristik pemilihan sampel yang telah dijelaskan pada
Bab 3, maka sampel yang digunakan adalah sebanyak 374 Pemda, dari populasi
sebesar 510 Pemerintah Daerah Tingkat II. Ringkasan pemilihan sampel disajikan
dalam tabel 4.1 sebagai berikut
Tabel 4.1 Ringkasan Pemilihan Sampel
No Deskripsi Jumlah Sampel1. Jumlah Pemerintah Daerah di Indonesia per 31
Desember 2013544
2. Jumlah Pemerintah Daerah tingkat Provinsi (34)
3. Jumlah Daerah Administratif DKI Jakarta (6)
4. Jumlah Pemda yang tidak memiliki website (28)
5. Jumlah website Pemda yang tidak bisa diakses (53)
6. Jumlah Pemda yang tidak memiliki data lengkap (49)
JUMLAH SAMPEL PENELITIAN TANPA KOMPETISI POLITIK
374
7. Jumlah Pemda yang tidak memiliki data persentase kemenangan Pilkada
(118)
JUMLAH SAMPEL PENELITIAN DENGAN KOMPETISI POLITIK
256
36
Dari pemilihan sampel di atas diketahui bahwa terdapat 49 Pemda yang
tidak memiliki data yang lengkap, terutama LKPD tahun 2013. Sebagian
diantaranya adalah daerah otonom baru yang berasal dari pemekaran
Kabupaten/Kota pada tahun 2013, sehingga daerah ini belum memiliki LKPD
yang menjadi salah satu data penelitian. Pemda lain yang dikurangi dari sampel
adalah 6 Kabupaten dan Kota administratif yang berada di DKI Jakarta. Daerah
ini dikeluarkan dari sampel karena karakteristiknya yang bukan daerah otonom.
Dalam UU No 29 tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta sebagai
Ibukota NKRI disebutkan bahwa Kota administrasi/Kabupaten administrasi
adalah wilayah kerja walikota/bupati yang terdiri atas kecamatan dan kelurahan.
Lebih lanjut pada pasal 20 disebutkan bahwa perangkat Kota/Kabupaten
administrasi hanya terdiri dari sekretariat Kota/Kabupaten administrasi, suku
dinas, lembaga teknis lain, serta kecamatan dan kelurahan. Daerah administratif
tidak memiliki DPRD karena sifatnya yang bukan daerah otonom. Selain itu
walikota dan bupati pada daerah administratif diangkat dan diberhetikan oleh
Gubernur. Oleh karena itu kabupaten dan kota administrasi tidak mempunyai
wewenang untuk mengurus urusan daerahnya sendiri.
4.2. Statistik Deskriptif
Tabel 4.2 dan Tabel 4.3 menyajikan rangkuman nilai deksripsi statistik
atas sampel penelitian. Tabel 4.2 menunjukkan ringkasan deskripsi statistik tanpa
menggunakan variabel kompetisi politik, yaitu dengan jumlah sampel sebanyak
374 Pemda. Sementara itu tabel 4.3 menyajikan ringkasan deskripsi statistik yang
memasukkan variabel kompetisi politik yang memiliki jumlah sampel sebanyak
256 Pemda.
Tabel 4.2 Ringkasan Deskripsi Statistik Model 1a dan 2a
4.2.1.2. Tingkat Pengungkapan Informasi Non-Keuangan
Penelitian yang dilakukan terhadap tingkat pengungkapan informasi non-
keuangan pada website pemda meggunakan informasi pembagian urusan wajib
Pemda, yaitu pelayanan dasar yang wajib dilakukan seperti yang diamanatkan
dalam PP No 38 tahun 2007 tentang pembagian urusan pemerintahan di
Indonesia. Selain informasi mengenai urusan wajib, observasi juga dilakukan
Universitas Indonesia
41
terhadap ketentuan pengungkapan informasi minimum pada website Pemda yang
dikeluarkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi dalam Blueprint e-
Government Indonesia, yaitu mengenai informasi umum daerah.
Dari hasil penelitian yang dilakukan dengan metode observasi terhadap
website Pemda, secara keseluruhan kelompok informasi yang paling banyak
diungkapkan adalah Informasi Umum Daerah yang mencakup visi misi daerah,
selayang pandang, geografi, dsb. Dari Tabel 4.5 dapat dilihat persentase
pengungkapan berdasarkan kelompok informasi urusan wajib. Informasi umum
daerah diungkapkan lebih dari 10% dari total informasi yang diungkapkan oleh
Pemda. Selanjutnya informasi mengenai otonomi daerah dan pemerintahan umum
sebesar 8,33% dan informasi mengenai perencanaan pembangunan sebesar
7,28%. Hasil ini lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok informasi
kebudayaan dan pariwisata (4.62%) yang umumnya diungkapkan lebih banyak
karena merupakan andalan daerah. Hal ini berkaitan dengan UU No 14 tahun
2008 tentang keterbukaan informasi yang diperkuat dengan PP No 61 tahun 2010
yang mengatur mengenai Pejabat Pengelola Informasi Daerah (PPID). Kedua
informasi ini termasuk kedalam Informasi yang Wajib Tersedia Setiap Saat
menyangkut rencana kerja Pemda. Hampir 5 tahun sejak peraturan terkait
diterbitkan, pengungkapan informasi ini semakin meningkat secara keseluruhan,
termasuk pada website Pemda yang dapat diakses secara mudah oleh masyarakat.
Jika dilihat berdasarkan masing-masing informasi yang disajikan,
informasi geografis, sejarah daerah, visi dan misi daerah, serta lambang daerah,
merupakan informasi yang paling banyak diungkapkan seperti yang dirangkum
dalam Tabel 4.6. Dari urusan wajib informasi yang paling banyak diungkapkan
adalah objek wisata daerah serta informasi pegawai dan perangkat daerah.
Sementara itu informasi yang paling sedikit diungkapkan dalam website
diantaranya informasi mengenai program perlindungan anak, balai latihan bagi
tenaga kerja, informasi kearsipan dan perpustakaan daerah, dan informasi
mengenai pengelolaan lingkungan khususnya pengolahan limbah dan sampah.
Tabel 4.5 Persentase Pengungkapan Berdasarkan Kelompok Informasi
Universitas Indonesia
42
No Informasi Persentase1 Pendidikan 6.07%2 Kesehatan 4.93%
3 Lingkungan Hidup 4.42%
4 Pekerjaan Umum 2.91%
5 Penataan Ruang dan Perumahan 0.98%
6 Perencanaan Pembangunan 7.28%7 Kepemudaan dan Olahraga 2.01%
8 Penanaman Modal 3.69%
9 Koperasi dan UKM 2.95%
10 Kependudukan dan Catatan Sipil 6.77%
11 Ketenagakerjaan 2.47%
12 Ketahanan Pangan 1.27%
13 Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak 1.67%
14 KB dan KS 2.41%
15 Perhubungan 5.57%
16 Komunikasi dan Informatika 5.08%
17 Pertanahan 0.61%
18 Kesatuan Bangsa dan Politik 1.72%
19Otonomi Daerah, Pemerintahan Umum keuangan daerah, perangkat daerah, Kepegawaian dan persediaan
8.33%
20 Pemberdayaan Masyarakat desa 1.90%
21 Sosial 1.96%
22 Kebudayaan dan Pariwisata 4.62%
23 Statistik 2.01%
24 Kearsipan dan Perpustakaan 1.07%
25 Aplikasi layanan berbasis Web 6.79%
26 Umum Daerah 10.45%
JUMLAH 100%
Tabel 4.6 Frekuensi Pengugkapan Informasi
No Paling Banyak Paling Sedikit1 Geografis Program Perlindungan Anak2 Sejarah Daerah Informasi balai latihan kerja3 Visi dan Misi Daerah Arsip dan perpustakaan daerah4 Lambang Daerah Pengelolaan air limbah
Universitas Indonesia
43
6 Perangkat Daerah Pengelolaan Sampah7 Objek Wisata Pengurusan sertifikat tanah
Tabel 4.7 Frekuensi Pengungkapan Informasi Nonkeuangan
No Tingkat Presentasi Model 1a dan 2b Model 1b dan 2b1 0% 0 02 0.1% - 10% 87 503 10.01% - 20% 166 1204 20.01% - 30% 79 525 30.01% - 40% 30 236 40.01% - 50% 10 97 >50% 2 2
N 347 256
Pada Tabel 4.2 dan Tabel 4.3 di atas dapat dilihat deskripsi statistik Pemda
yang dijadikan sampel penelitian. Dapat dilihat bahwa rata-rata pengungkapan
informasi non keuangan pada website adalah 17,47% atau sebesar 37 informasi
dari total nilai 210 informasi non keuangan pada indeks. Pada model 1b dan 2b
juga diperoleh hasil yang tidak jauh berbeda yaitu sebesar 18,30% atau 38
informasi dari total indeks. Pada tabel 4.7 juga dapat dilihat bahwa tingkat
pengungkapan informasi keuangan masih terkonsentrasi antara 10% hingga 20%.
Dari sampel penelitian, nilai maksimum pengungkapan adalah sebesar 52,86%
oleh Pemda Kabupaten Bantul dan nilai terkecil adalah 0.95% oleh Kabupaten
Mimika.
Dibandingkan dengan informasi keuangan, pengungkapan informasi non-
keuangan pada website tergolong lebih tinggi. Pasalnya informasi non-keuangan
menunjukkan tingkat transparansi pelaksanaan pemerintahan, namun informasi
keuangan selain transparansi juga mencakup masalah akuntabilitas. Pemda yang
mengungkapkan informasi keuangan berarti secara tidak langsung sudah
memastikan bahwa informasi tersebut dapat dipertanggungjawabkan. Selain itu,
informasi non-keuangan juga umumnya mengedepankan informasi potensi daerah
sehingga pengungkapan informasi ini sekaligus menjadi alat promosi daerah
kepada publik.
Universitas Indonesia
44
Tabel 4.8 Pemda dengan Skor Indeks Tertinggi
NoKeuangan Non Keuangan
Pemda Prov Skor Indeks
Pemda Prov Skor Indeks
1 Kota Solok Sumbar 49,47% Kab. Bantul DIY 52,86%
2 Kota Tangerang
Banten 48,42% Kab. Sleman DIY 50,48%
3 Kota Banjarmasin
Kalsel 41,05% Kota Denpasar Bali 49,52%
4 Kota Palembang
Sumsel 40,00% Kota Pasuruan Jatim 46,67%
5 Kab. Jembrana Bali 40,00% Kab. Bogor Jabar 45,71%6 Kab. Kep
AnambasKepri 38,95% Kab.
MojokertoJatim 45,24%
7 Kab. Sleman DIY 38,95% Kota Surabaya Jatim 44,76%
8 Kab. Banyuwangi
Jatim 38,95% Kab Luwu Timur
Sulsel 42,86%
9 Kota Surabaya Jatim 38,95% Kab Banyuwangi
Jatim 41,91%
10 Kota Banda Aceh
NAD 37,90% Kab. Indramayu
Jabar 41,43%
11 Kab. Purworejo
Jateng 37,90% Kab. Tanah Bumbu
Kalsel 41,43%
Tabel 4.9 Pemda dengan Skor Indeks Terendah
No Non KeuanganPemda Provinsi Skor Indeks
1 Kab Morowali Sulawesi Tengah 0,95%2 Kab Halmahera Tengah Maluku Utara 0,95%3 Kab Mimika Papua 0,95%4 Kota Subulussalam NAD 1,43%5 Kab Konawe Sulawesi Tenggara 1,43%6 Kab Seluma Bengkulu 1,91%7 Kab Hulu Sungai Selatan Kalimantan Selatan 1,91%8 Kab Pohuwatu Gorontalo 1,91%9 Kab Konawe Selatan Sulawesi Tenggara 2,38%10 Konawe Utara Sulawesi Tenggara 2,38%11 Kota Jayapura Papua 2,38%
Berdasarkan hasil penelitian, Pemda yang memiliki tingkat pengungkapan
yang tinggi masih didominasi oleh Pemda yang berada di pulau Jawa. Sementara
Universitas Indonesia
45
tingkat pengungkapan yang rendah umumnya adalah Pemda yang berada di
Indonesia bagian timur. Seperti yang terlihat pada Tabel 4.8 Pemda yang memiliki
nilai skor yang tinggi didominasi dari pulau Jawa baik infomasi keuangan maupun
non-keuangan. Sementara itu skor terendah non-keuangan pada Tabel 4.9
semuanya berasal dari luar pulau Jawa terutama Indonesia bagian timur. Hasil ini
sejalan dengan penelitian sebelumnya Martani et al. (2013) dimana pengungkapan
informasi lebih banyak dilakukan pada daerah di pulau Jawa. Hal ini mungkin
disebabkan kurangnya sumber daya manusia yang kompeten dalam pengelolaan
sistem informasi dan kondisi masyarakat dan lingkungan daerah yang belum
menunjang pengungkapan informasi, yang beberapa diantaranya akan
tergambarkan oleh variabel independen dalam penelitian ini.
4.2.2. Tingkat Akses Internet
Tingkat akses internet yang digunakan dalam penelitian ini adalah jumlah
penduduk yang mengakses internet disetiap daerah. Keterbatasan data yang
penulis peroleh maka penulis menggunakan tingkat akses internet per provinsi,
sehingga tingkat akses internet setiap kabupaten dan kota yang berada pada
provinsi yang sama menggunakan nilai yang sama.
Dari tabel 4.2 dan tabel 4.3 disajikan nilai statistik tingkat akses internet
daerah. Rata-rata tingkat akses internet kabupaten dan kota di Indonesia adalah
sebesar 26.74% dari total penduduk suatu kabupaten atau kota. Hal ini berarti
bahwa lebih dari seperempat penduduk di daerah telah mengakses internet dalam.
Nilai ini terbilang cukup tinggi mengingat perkembangan internet yang pesat di
Indonesia baru terjadi sekitar 7 tahun belakangan.
Tingkat akses internet tertinggi adalah sebesar 41,5% yaitu daerah provinsi
DI Yogyakarta dan terendah adalah 15.7% yaitu di provinsi Papua. Jika dilihat
secara keseluruhan, tingkat akses internet di daerah Indonesia bagian barat lebih
tinggi daripada Indonesia bagian timur. Hal ini mungkin dipengaruhi juga oleh
kondisi sosial dan ekonomi masyarakat daerah sehingga terdapat perbedaan yang
cukup signifikan antara masyarakat daerah Indonesia barat dan timur.
4.2.3. Tingkat Kompetisi Politik
Universitas Indonesia
46
Tingkat kompetisi politik diukur dengan proksi 1-persentase kemenangan
pilkada. Variabel ini hanya digunakan pada model 1b dan 2b karena danya
perbedaan jumlah sampel yang cukup signifikan. Pada Tabel 4.3 disajikan data-
data statistik mengenai kompetisi politik. Diketahui bahwa rata-rata kompetisi
politik yang dialami kepala daerah adalah 51,27% yang berarti persentase
kemenangan rata-rata adalah 48,73%. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata
pelaksanaan Pilkada di Indonesia dilakukan dengan satu putaran. Berdasarkan UU
No 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah apabila tidak ada pasangan calon
yang memperoleh suara di atas 50% maka pasangan yang memperoleh suara di
atas 30% yang terbesar merupakan pasangan terpilih. Namun jika tidak ada
pasangan calon yang memperoleh suara diatas 30%, maka akan dilaksanakan
Pilkada putaran kedua dengan 2 pasangan calon yang memiliki suara terbanyak.
Dari rata-rata kemenangan hanya 48.73% berarti umumnya pilkada dilaksanakan
hanya satu putaran.
Nilai kompetisi politik terbesar adalah 71,68% atau persentase
kemenangan sebesar 28,32% yaitu Pilkada Kabupaten Tebo Provinsi Jambi. Hal
ini tidak sejalan dengan ketentuan yang telah ditetapkan di UU dimana pasangan
terpilih tidak mencapai suara 30%. Dalam pilkada ini pasangan calon yang
memiliki suara tertinggi yaitu di atas 30% terlibat kasus kecurangan dan
pelanggaran lainnya dalam pilkada sehingga adanya tuntutan dari pasangan calon
lain dan tuntutan tersebut dilkabulkan oleh MK. Nilai kompetisi politik terkecil
adalah sebesar 5,44 % atau kemenangan sebesar 94,56% yaitu Pemda Ogan
Komering Ulu Timur Provinsi Sumatera Selatan. Hal ini berarti pasangan terpilih
menang telak dari lawan politiknya dan tekanan kompetisi politik yang
dialaminya lebih kecil.
4.2.4. Opini Audit BPK
Dilihat dari tabel 4.2 dan 4.3 opini audit Pemda di Indonesia masih
terbilang rendah. Rata-rata nilai opini adalah 3,39 atau pada opini WDP untuk
LKPD tahun 2013. Pada tabel 4.11 dapat dilihat bahwa perolehan opini WTP
masih sedikit dibandingkan dengan WDP. Namun hal ini sudah merupakan
peningkatan dari tahun-tahun sebelumnya. Winanti (2014) yang melakukan
Universitas Indonesia
47
penelitian terkait opini audit menemukan bahwa opini tahun 2010 dan 2011 dari
300 kabupaten kota yang menjadi sampel penelitian lebih rendah dengan rata-rata
opini adalah 2,8033 atau pada Tidak Wajar. Ditemukan juga bahwa frekuensi
pemda yang memperoleh opini WTP dan WTP-DPP jika digabungkan adalah
lebih kecil dibandingkan opini terendah TMP. Tiga tahun sejak LKPD yang
diteliti, akuntabilitas pada LKPD meningkat yang diwujudkan dengan opini yang
lebih tinggi. Dari tabel 4.11 juga diketahui bahwa opini yang tinggi seperti WTP
dan WTP-DPP masih terkonsentrasi pada Indonesia wilayah barat khususnya
pulau Jawa dan Sumatera.
Tabel 4.10 Frekuensi Opini
Skor Opini Jumlah Persentase
5 Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) 56 14,97%
4 Wajar Tanpa Pengecualian-Dengan Paragraf Penjelas (WTP-DPP)
66 17,65%
3 Wajar Dengan Pengecualian (WDP) 231 61,77%
2 Tidak Wajar (TW) 10 2,67%
1 Tidak Menyatakan Pendapat (TMP) 11 2,94%
JUMLAH 374 100%
Tabel 4.11 Frekuensi Opini berdasarkan wilayah
Pulau WTP WTP-DPP WDP TW TMP
Sumatera 24 18 72 1 4
Jawa 11 25 63 1 2
Nusa Tenggara dan Bali 3 0 19 2 1
Kalimantan 3 14 26 2 0
Sulawesi 11 9 33 2 2
Maluku, Maluku utara 0 0 8 1 1
Papua 4 0 10 1 1
4.2.5. Karakteristik PemdaUniversitas Indonesia
48
Karakteristik Pemda yang dimaksud dalam penelitian ini adalah variabel-
variabel independen yang digunakan dalam penelitian yang menjadi ciri-ciri
melekat pada masing-masing Pemda. Karakteristik Pemda mencakup usia pemda,
kemampuan keuangan daerah, tingkat kemandirian, ukuran Pemda, jenis pemda.
4.2.5.1. Usia Pemda
Usia pemda menunjukkan berapa lama suatu pemerintahan telah
dilakukan di daerah yang bersangkutan. Pada penelitian ini umur daerah diukur
berdasarkan umurnya sejak ditetapkannya suatu daerah sebagai pemerintah daerah
yang memiliki kekuasaan otonomi berdasarkan undang-undang. Penetapan suatu
daerah sebagai daerah otonom di Indonesia pertama kali dimulai tahun 1950 sejak
disetujuinya Indonesia sebagai suatu kesatuan dengan nama NKRI.
Dari Tabel 4.2 dan 4.3 diketahui rentang usia Pemda cukup besar antara 7
tahun hingga 66 tahun. Rentang nilai yang cukup luas ini disebabkan adanya
beberapa kali pemekaran daerah Indonesia. Pemekaran daerah ini semakin banyak
sejak disahkannya UU No 32 tahun 2004 tentang otonomi daerah. Pemekaran
daerah paling banyak dilakukan pada awal reformasi yaitu pada tahun 1999-2004
dimana banyak tuntutan daerah yang ingin mandiri memiliki otonomi sendiri.
Hingga tahun 2013 pemekaran daerah di Indonesia masih dilakukan. Usia tertua
Pemda di Indonesia adalah 66 tahun seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4.2.
sebagian besar Pemda di Indonesia berusia 66 tahun dan umumnya merupakan
daerah yang dulunya bagian dari negara-negara kecil dibawah Belanda. Sementara
itu pemda yang paling muda dari sampel penelitian adalah 7 tahun yaitu Pemda
Kabupaten Kepulauan Meranti di Provinsi Riau yang didirikan tahun 2009.
4.2.5.2. Tingkat Kemampuan Keuangan Daerah
Kemampuan keuangan daerah diproyeksikan dengan kapasitas anggaran
yang dimiliki daerah. Nilai kapasitas anggaran yang digunakan adalah kapasitas
anggaran perkapita yang diperoleh dari total belanja dikurangi belanja wajib
kemudian dibagi jumlah penduduk. Nilai yang digunakan dalam perhitungan
adalah nilai kapasitas anggaran setelah dijadikan kedalam bentuk logaritma
natural sehingga nilai tidak terlalu besar.
Universitas Indonesia
49
Pada Tabel 4.2 dapat dilihat bahwa rata-rata kapasitas anggaran daerah
adalah sebesar 14.12894 atau sebesar Rp. 1.368.109,00 per penduduk, tidak jauh
berbeda dengan rata-rata sampel untuk model 1b dan 2b pada Tabel 4.3 sebesar
14.0903 atau Rp 1.316.254. Sementara itu kapasitas anggaran tertinggi adalah
Kabupaten Malinau yang berada di Provinsi baru Kalimantan Utara sebesar
17.02514 atau sekitar Rp. 24.769.957 per penduduk. Kapasitas anggaran terendah
adalah Kabupaten Bangli di Provinsi Bali dengan 12,59816 atau sekitar Rp.
296.013 per penduduk. Dilihat dari nilainya terdapat perbedaan yang sangat
signifikan antara kapasitas anggaran tertinggi dan terendah. Hal ini tentunya akan
mempengaruhi kemampuan daerah untuk menggunakan anggarannya dalam
pembangunan infrastruktur daerah ataupun belanja lainnya yang bukan bersifat
wajib, khususnya pengembangan inovasi. Dari LKPD tahun 2013 diketahui
bahwa belanja Kabupaten Malinau banyak dialokasikan kepada pembangunan
insfrastruktur jalan, irigasi dan jaringan daerah. Dibandingkan dengan Kabupaten
Bangli yang memiliki belanja pegawai lebih dari 90% dari total belanjanya, maka
tentunya pembangunan infrastruktur di kabupaten Malinau lebih mudah
dilakukan.
4.2.5.3. Tingkat Kemandirian Pemda
Tingkat kemandirian Pemda diukur dengan persentase pendapatan yang
berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD). Tabel 4.2 dan Tabel 4.3 menjelaskan
deskripsi statistik PAD. Rata-rata tingkat PAD daerah adalah 8,79% dari total
pendapatan daerah. Nilai tersebut juga tidak berbeda jauh dengan nilai rata-rata
model 1b dan 2b sebesar 9,503% dari total PAD. Jika dilihat pada LKPD tahun
2013 pembiayaan pelaksanaan pemerintahan daerah masih bergantung pada dana
transfer pemerintah pusat, khususnya dana alokasi umum (DAU). Nilai rata-rata
DAU sampel penelitian adalah sebesar 58,94%, dimana lebih dari setengah
belanja pemerintah daerah dibiayai dari DAU. Nilai rata-rata DAU yang besar ini
juga menunjukkan bahwa kemandirian daerah untuk membiayai pelaksanaan
pemerintahannya masih rendah.
Dari Tabel 4.2 dan tabel 4.3 dapat dilihat bahwa PAD tertinggi adalah
sebesar 77,136% dari total pendapatan daerah oleh Pemda Kabupaten Badung di
Universitas Indonesia
50
Provinsi Bali. Setelah ditelaah lebih lanjut ke LKPD tahun 2013 yang telah
diaudit, diketahui bahwa hampir 90% nilai PAD Kabupaten Badung berasal dari
pendapatan pajak daerah yang realisasinya melebihi anggaran. Tingkat
kemandirian terendah adalah sebesar 0.446% pada model 1a dan 2a dan 1,314%
pada model 1b dan 2b. Kedua Pemda yang memiliki tingkat PAD yang rendah ini
adalah Kabupaten Yalimo dan Kabupaten Pegunungan Bintang yang dua-duanya
berada di Provinsi Papua.
4.2.5.4. Jenis Daerah
Jenis daerah Pemda tingkat II di Indonesia dibedakan menjadi Pemda Kota
dan Pemda Kabupaten. Dalam penelitian ini jenis daerah merupakan variabel
dummy dimana Pemda Kabupaten bernilai 0 dan Pemda Kota bernilai 1. Dari 374
Pemda yang diteliti 297 diantaranya adalah Pemda Kabupaten dan hanya 77
Pemda Kota. Dari hasil tersebut diketahui bahwa Pemda di Indonesia masih
didominasi dalam bentuk Kabupaten, yang mana memiliki karakteristik yang
pertumbuhan dan perkembangan daerahnya dibawah Pemda dalam bentuk kota.
Hal ini berarti masih banyak daerah di Indonesia yang masih bisa dikembangkan
dan digali potensinya untuk menunjang peningkatan kesejahteraan masyarakat.
4.2.5.5. Ukuran Pemda
Proksi yang digunakan dalam mengukur ukuran pemda adalah total
populasi daerah. Pemda yang memiliki jumlah penduduk yang besar akan
memiliki tuntutan pengungkapan informasi yang lebih banyak. Pada Tabel 4.2 dan
Tabel 4.3 dapat dilihat nilai rata-rata ukuran pemda adalah sebesar 527.157 orang
penduduk untuk model 1a dan 2a dan 557.482 untuk model 1b dan 2b. Daerah
yang memiliki jumlah penduduk paling tinggi adalah 5.073.116 orang penduduk
yaitu Kabupaten Bogor sedangkan daerah yang memiliki penduduk terkecil
adalah Kabupaten Kepulauan Anambas sebesar 38.833 orang penduduk. Pada
Tabel 4.12 dapat dilihat bahwa daerah yang memiliki jumlah penduduk yang
tinggi masih terpusat pada provinsi Jawa Barat.
Universitas Indonesia
51
Tabel 4.12 Pemda dengan jumlah penduduk terbesar
No Kabupaten/Kota Provinsi Jumlah Penduduk
1 Kab Bogor Jawa Barat 5.073.116
2 Kab Bandung Jawa Barat 3.339.684
3 Kab Tangerang Banten 3.055.681
4 Kab Bekasi Jawa Barat 2.884.300
5 Kota Surabaya Jawa Timur 2.805.718
6 Kab Malang Jawa Timur 2.490.878
7 Kab Garut Jawa Barat 2.477.114
8 Kab Sukabumi Jawa Barat 2.393.191
9 Kab Cianjur Jawa Barat 2.213.889
10 Kab Karawang Jawa Barat 2.199.394
4.2.6. Karakteristik Demografi
Karakteristik demografi daerah merupakan variabel-variabel independen
yang digunakan dalam penelitian yang melekat kepada keadaan penduduk daerah
pemda tersebut. Variabel demografi yang digunakan dalam penelitian adalah
tingkat kesejahteraan masyarakat daerah dan tingkat pengangguran.
4.2.6.1. Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Daerah
Tingkat kesejahteraan masyarakat daerah digambarkan dengan nilai
PDRB perkapita. PDRB menunjukkan tingkat pendapatan perkapita masyarakat
perdaerah. Dalam penelitian ini nilai PDRB perkapita yang ada dijadikan dalam
bentuk logaritma natural dengan tujuan untuk memudahkan dalam analisis data.
Dari tabel 4.2 dan 4.3 diketahui bahwa rata-rata PDRB di Indonesia adalah 15.71
nilai yang sama dengan antara kedua kelompok model. Nilai ini menunjukkan
bahwa rata-rata pendapatan pertahun masyarakat daerah adalah sebesar
Rp6.649.153. Universitas Indonesia
52
Nilai PDRB tertinggi adalah sebesar 18,67 atau Rp 128.315.162 per
kapita yaitu Kota Bontang dan 18,35 atau sebesar Rp 93.175.932 per kapita yaitu
Kota Kediri. Tingkat kesejahteraan yang tinggi dilatarbelakangi potensi daerah ini
yaitu pertambangan dan industri. Sementara itu PDRB terendah adalah sebesar
14,06 atau hanya sebesar Rp 1.276.969 yaitu Kabupaten Yahukimo Provinsi
Papua. Dilihat dari hasil ini terdapat perbedaan yang sangat signifikan tingkat
kesejahteraan antara daerah-daerah di Indonesia, khususnya daerah timur
Indonesia, yang tentunya akan mempengaruhi preferensi pembangunan dan
belanja di daerah tersebut.
4.2.6.2. Tingkat Pengangguran Daerah
Tingkat pengangguran daerah merupakan indikator lain yang dapat
digunakan untuk mengukur tingkat ekonomi suatu daerah. Pengangguran yang
tinggi menunjukkan bahwa banyak sumber daya manusia yang tidak digunakan
untuk menghasilkan produk yang memberikan nilai tambah. Pada tabel 4.2 dan
tabel 4.3 disajikan nilai statistik pengangguran di Indonesia. Rata-rata pengang-
guran daerah di Indonesia adalah sebesar 5,41% dari jumlah masyarakat yang
berada pada angkatan kerja. Tingkat pengangguran tertinggi adalah sebesar
19,209% yaitu Kota Sibolga provinsi Sumatera Utara dan tingkat pengangguran
terendah adalah 0,153% yaitu Kabupaten Nias yang juga berada pada Provinsi
Sumatera Utara.
4.3. Uji Asumsi Klasik
4.3.1. Uji Multikolinearitas
Tabel 4.12 dan 4.13 menunjukkan korelasi antara variabel independen
dengan dependen serta korelasi variabel independen dengan variabel independen
lainnya. Dapat dilihat bahwa variabel BUDCAP berkorelasi negatif terhadap
tingkat pengungkapan informasi keuangan dan non-keuangan, sedangkan variabel
lainnya berkorelasi positif. Dari tabel 4.12 diketahui bahwa WEALTH memiliki
korelasi paling besar (24,43%) dan variabel UNEMPLOY memiliki korelasi
paling kecil (12,24%) terhadap pengungkapan informasi keuangan. Sementara
variabel SIZE memiliki korelasi paling besar (35,58%) dan UNEMPLOY
Universitas Indonesia
53
memiliki korelasi paling kecil (1,93%) terhadap pengungkapan informasi non-
keuangan. Sementara itu pada tabel 4.13 setelah ditambahkan variabel kompetisi
politik, diperoleh bahwa WEALTH memiliki korelasi paling besar (26,95%) dan
POLCOM memiliki korelasi paling kecil (4,58%) terhadap pengungkapan
informasi keuangan. Sementara itu PAD memiliki korelasi paling besar (37,33%)
dan OP memiliki korelasi paling kecil (0,79%) terhadap pengugkapan informasi
non-keuangan pada website.
Korelasi variabel independen sesama variabel independen juga disajikan
dalam tabel. Dapat dilihat bahwa tidak ada variabel yang memiliki korelasi di atas
rule of thumb 0,8. Hal ini berarti model bebas dari masalah multikolinearitas.
Tabel 4.12 Matriks Korelasi Variabel Model 1a dan 2a
Atas hasil uji regresi di atas dilakukan uji signifikansi model. Uji
signifikansi model (F-test) digunakan untuk melihat apakah variabel independen
dalam model secara keseluruhan bersama-sama dapat menjelaskan variabel
dependen. Suatu model dikatakan signifikan apabila nilai probabilitas F lebih
kecil dari α = 1%, 5%, atau 10%. Pada tabel 4.14 dan 4.15 disajikan nilai Prob F
yang menunjukkan tingkat signifikansi model. Keempat model yang diteliti
menunjukkan tingkat signifikansi 0,0000 yang berarti semua model dalam
penelitian telah benar dan dapat menjelaskan variabel dependen secara akurat.
Selain nilai F-stat atas model penelitian juga dilakukan uji koefisien
determinasi yang digambarkan dengan nilai R2. Uji koefisien determinasi R2
digunakan untuk melihat kemampuan variasi variabel-variabel independen dalam
menjelaskan variasi pada variabel independen. Pada model 1a diperoleh nilai R2
sebesar 0,1715 yang berarti variabel independen dapat menjelaskan 17,15%
variabel dependen. Pada model 1b ditambahkan variabel POLCOM kedalam
model 1 dan jumlah sampel dikurangi sehingga diperoleh nilai R2 sebesar 0,1990.
Dari hasil ini dapat dilihat bahwa penambahan satu variabel POLCOM
meingkatkan kemampuan variabel independen dalam menjelaskan variabel
dependen sebesar 2,75%.
Padal model 2a nilai R2 adalah sebesar 0,2373 atau 23,71% menjelaskan
variabel dependen. Pada model 2b, setelah penambahan variabel POLCOM pada
model 2a, diperoleh hasil R2 sebesar 0,2714. Penambahan variabel POLCOM
menambah kemampuan model dalam menjelaskan variabel dependen sebesar
3,42%. Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa penambahan variabel POLCOM
akan menambahkan kemampuan menjelaskan tingkat pengungkapan informasi
non-keuangan lebih besar dibandingkan informasi keuangan. Hal ini berarti
Universitas Indonesia
57
dengan adanya tambahan kompetisi politik maka kepala daerah lebih banyak
melaporkan informasi non-keuangan dibandingkan dengan keuangan yang berarti
dalam hal transparansi kegiatan pelayanan publik pemerintahan. Tambahan
pengungkapan informasi keuangan lebih sedikit daripada non-keuangan. Hal ini
mungkin disebabkan bahwa pengungkapan informasi keuangan pada website akan
meningkatkan pengawasan lawan politik yang mencari kekurangan pelaksanaan
pemerintahan khususnya dalam hal akuntabilitas.
4.5. Interpretasi Hasil Uji Hipotesis
4.5.1. Akses Internet
Dari hasil penelitian pada Tabel 4.14 dan Tabel 4.15 diketahui bahwa
tingkat akses internet mempengaruhi tingkat pengungkapan informasi keuangan
secara positif dengan nilai probabilitas 0,003 dan 0,001 setelah ditambahkan
variabel kompetisi politik. Sementara itu hubungan tingkat akses internet terhadap
pengungkapan informasi non-keuangan secara positif dan signifikan dengan nilai
probabilitas 0,004 dan 0,001 setelah ditembahkan variabel kompetisi politik. Hal
ini berarti semakin tinggi akses internet di suatu daerah maka semakin besar
informasi yang diungkapkan dalam website Pemda, baik informasi keuangan
maupun informasi non-keuangan. Hasil penelitian ini sesuai dengan hipotesis
penelitian yang memprediksi hubungan positif antara tingkat akses internet
terhadap pengungkapan informasi pada website.
Perkembangan ilmu teknologi secara khusus menjadikan persebaran
informasi yang lebih mudah sehingga monitoring terhadap kegiatan pemerintahan
lebih mudah dilakukan. Ketersediaan akses internet menjadikan kesempatan untuk
melakukan pengawasan terhadap pemerintahan menjadi lebih mudah. Tingkat
akses internet yang tinggi menunjukkan bahwa bentuk pengawasan melalui
internet menjadi lebih besar sehingga tekanan untuk menyajikan informasi pada
website Pemda meningkat yang berujung pada pengungkapan informasi yang
lebih besar pula pada website.
4.5.2. Kompetisi Politik
Uji terhadap variabel kompetisi politik dilakukan dengan menggunakan
jumlah sampel yang berbeda karena keterbatasan data yang penulis peroleh.
Universitas Indonesia
58
Berdasarkan hasil regresi pada tabel 4.15 diketahui bahwa tidak ditemukan
hubungan yang signifikan antara kompetisi politik terhadap pengungkapan
informasi keuangan dan non keuangan.
Kompetisi politik memiliki hubungan positif namun tidak signifikan
terhadap pengungkapan informasi keuangan. Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian Laswad (2005) yang tidak ditemukan hubungan signifikan antara
kompetisi politik dengan pengungkapan informasi keuangan pada website.
Namun hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian Garcia-Garcia
(2010) yang menemukan hubungan positif signifikan antara kompetisi politik
dengan pengungkapan informasi keuangan pada website. Adanya perbedaan
dengan hasil penelitian Garcia-Garcia (2010) disebabkan adanya perbedaan proksi
yang digunakan pada penelitian untuk mengukur tingkat kompetisi politik. Dalam
penelitian ini proksi yang digunakan adalah 1-persentase kemenangan sementara
Garcia-Garcia (2010) menggunakan inverse of Herfindahl-Hirschmann index
(HHI). Selain itu perbedaan kultur politik dan sistem pemerintahan pada masing-
masing negara yang menjadi objek penelitian, yaitu Indonesia dan Spanyol, dapat
mempengaruhi hasil penelitian sehingga tidak diperoleh hasil yang sesuai dengan
hipotesis penelitian.
Hubungan kompetisi politik dengan pengungkapan informasi non-
keuangan pada website ditemukan berbeda dengan hipotesis yang diajukan. Hasil
penelitian menunjukkan hubungan negatif namun tidak signifikan, berbeda
dengan hipotesis yang memperkirakan hubungan positif. Hasil ini sejalan dengan
penelitian Garcia-Sanchez (2013) yang menemukan hubungan negatif yang
signifikan, berbeda dengan hipotesis yang diajukan sebelumnya. Menurut Garcia-
Sanchez (2013) hal ini berarti bahwa ketika adanya kompetisi politik maka
pengungkapan informasi non-keuangan bukanlah menjadi sesuatu hal yang
menjadi perhatian khusus kepala daerah terpilih terhadap lawan politiknya. Jika
dikaitkan dengan pengungkapan informasi keuangan, kepala daerah terpilih lebih
cenderung mengungkapkan informasi keuangan yang menunjukkan akuntabilitas
dan transparansi pemerintahannya dibandingkan mengungkapkan informasi
pelaksanaan urusan wajib pemerintahan, sehingga dapat meningkatkan simpati
masyarakat atas pemerintahan yang bersih dan terbuka. Hal ini terutama
Universitas Indonesia
59
dilakukan apabila kepala daerah tersebut ingin mengajukan diri kembali pada
pemilihan kepala daerah selanjutnya (Barber, 1983 dalam Laswad, 2005).
4.5.3. Opini Audit
Hasil regresi hubungan opini audit terhadap pengungkapan informasi
keuangan dan non-keuangan pada website dapat dilihat pada Tabel 4.14 dan Tabel
4.15. Dari hasil uji regresi pada diketahui nilai prob hasil regresi adalah 0.003 dan
0.010 yang berarti opini audit memiliki hubungan positif terhadap pengungkapan
informasi keuangan pada website Pemda secara signifikan. Hal ini berarti semakin
tinggi nilai opini audit maka semakin besar pengungkapan informasi keuangan
pada website. Sementara itu tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara
opini audit dengan tingkat pengungkapan informasi non-keuangan.
Pemda yang memiliki opini audit yang bagus berarti memiliki pelaporan
dan pelaksanaan keuangan yang baik dan cenderung tidak akan menutup-nutupi
informasi pelaksanaan yang baik ini. Pengungkapan informasi keuangan yang
memiliki opini yang bagus akan menjadi sinyal positif bagi masyarakat atas
pemerintahan yang dilakukan, sehingga informasi keuangan akan lebih banyak
diungkapkan dalam website. Hasil ini menjawab penelitian Trisnawati dan
Achmad (2014) terkait pengungkapan informasi keuangan pada website yang
tidak menemukan hubungan yang signifikan.
Sementara itu hubungan yang tidak signifikan antara opini audit dengan
tingkat pengungkapan informasi non-keuangan dikarenakan hubungan yang relatif
kecil. Dari hasil uji korelasi pada tabel 4.12 dan 4.13 diketahui bahwa opini aydit
hanya memiliki hubungan sebesar 3% dan 0,7% terhadap pengungkapan
informasi non-keuangan. Hal ini juga dapat dimaklumi karena opini audit
merupakan proksi atas informasi keuangan pada LKPD, sehingga lebih
mencerminkan informasi keuangan daripada informasi non-keuangan khususnya
informasi pelayanan publik yang menjadi objek penelitian ini.
4.5.4. Usia Pemda
Usia pemda menunjukkan berapa lama Pemda tersebut telah melakukan
tugas otonom menurut undang-undang Indonesia. Dari hasil regresi pada tabel
Universitas Indonesia
60
4.14 dan 4.15 dapat dilihat bahwa tidak ditemukan hubungan yang signifikan
antara usia Pemda dengan tingkat pengungkapan informasi keuangan pada
website. Namun, model 2a dan 2b menunjukkan hubungan positif yang signifikan
antara usia pemda dengan tingkat pengungkapan informasi non-keuangan pada
tingkat signifikansi 1% dan 10%. Hal ini berarti bahwa semakin tua usia suatu
Pemda maka semakin besar tingkat pengungkapan informasi pada website. Pemda
yang sudah berdiri lebih lama telah melakukan kegiatan pemerintahan yang lebih
lama sehingga lebih banyak informasi-informasi terkait pengembangan daerah
dan pelayanan publik yang telah dilakukan. Semakin lama pemda berdiri maka
jumlah informasi ini semakin besar pula sehingga penyampaian informasi tersebut
kepada publik lebih besar, salah satu medianya adalah melalui website resmi
pemda.
Hasil yang tidak signifikan terhadap pengungkapan informasi keuangan
mungkin disebabkan karena keterbatasan indeks skoring yang digunakan. Pemda
yang telah berdiri lebih lama tentunya memiliki laporan keuangan, kinerja, dan
informasi keuangan lainnya lebih banyak dibandingkan dengan pemda yang baru
berdiri sehingga informasi yang diungkapkan lebih banyak. Namun terdapat
keterbatasan indeks skoring dalam penelitian, salah satu contoh indeks adalah
“LKPD tahun 2011 dan sebelumnya” yang mana indeks ini merangkum LKPD
tahun 2011 hingga tahun pendirian Pemda. Pemda yang mengungkapkan LKPD
sebelum tahun 2011 lebih banyak dibandingkan dengan yang mengungkapkan
hanya tahun 2011 tetap diberikan nilai 1 pada ceklis meskipun terdapat perbedaan
jumlah informasi yang diungkapkan. Penggabungan informasi yang dirangkum
hanya kedalam satu indeks ceklis ini mungkin tidak menggambarkan jumlah
informasi yang sebenarnya sehingga diperoleh hasil yang tidak signifikan.
4.5.5. Kemampuan Keuangan Daerah
Dari hasil regresi pada Tabel 4.14 dan 4.15 di atas tidak diperoleh hasil
yang signifikan bahwa tingkat kemampuan keuangan daerah memiliki pengaruh
terhadap tingkat pengungkapan informasi keuangan maupun informasi non-
keuangan pada website pemda. Namun nilai koefisien menunjukkan nilai negatif
yang berarti semakin besar kapasitas anggaran daerah maka pengungkapan
Universitas Indonesia
61
informasi semakin sedikit. Hasil penelitian berbeda dengan penelitian terkait
terhadap informasi non-keuangan sebelumnya yang dilakukan oleh Martani et al.
(2013) yang menemukan hubungan positif pada tingkat signifikansi 5% antara
hubungan kemampuan keuangan daerah dengan tingkat informasi non-keuangan
pada website. Meskipun demikian, hasil penelitian yang menunjukkan hubungan
negatif sejalan dengan penelitian jurnal utama Garcia-Sanchez et al. (2013).
Penelitian Garcia-Sanchez et al. menemukan hubungan negatif antara kapasitas
anggaran dengan tingkat pengungkapan informasi non keuangan dengan hasil
yang diperoleh tidak signifikan. Hasil penelitian Garcia-Sanchez ini juga berbeda
dengan hipotesis bahwa kapasitas anggaran akan mempengaruhi pengungkapan
non-keuangan secara positif.
Penelitian hubungan kapasitas anggaran terhadap tingkat pengungkapan
informasi keuangan belum pernah dilakukan. Hasil yang berbeda dengan hipotesis
menurut penulis disebabkan resistensi Pemda untuk mengungkapkan informasi
keuangan apabila kapasitas angaran lebih besar karena kapasitas anggaran yang
lebih besar dapat meningkatkan ketertarikan publik terhadap informasi sehingga
dapat memicu pertanyaan yang lebih besar dari publik atas pertanggungjawaban
kapasitas anggaran yang lebih besar.
Garcia-Sanchez et al. (2013) menjelaskan bahwa kapasitas anggaran yang
tinggi akan meningkatkan kemampuan Pemda untuk pengembangan infrastruktur
sistem informasi sehingga mendorong Pemda untuk melaporkan informasi yang
lebih banyak. Namun hasil penelitian ini menunjukkan bahwa informasi yang
diungkapkan tidak lebih besar. Menurut penulis, pengembangan infrastruktur
mungkin dapat lebih ditingkatkan dengan posisi pemda yang memiliki kapasitas
anggaran yang lebih besar, namun hal ini belum tentu meningkatkan jumlah
pengungkapan informasi sehingga diperoleh hasil yang tidak sesuai dengan
hipotesis penelitian. Selain itu, dari sampel yang digunakan dalam penelitian
diketahui bahwa 10 nilai kapasitas anggaran terbesar adalah sebagai berikut:
Tabel 4.16 Daerah dengan Kapasitas Anggaran Tertinggi
Universitas Indonesia
62
No Pemda ProvinsiLn
BUDCAP perkapita
Nilai Indeks
Kuangan Non Kuangan
1 Kab Malinau Kaltara 17.02514 0.03158 0.08571
2 Kab Kep. Anambas Kepri 16.76081 0.38947 0.28571
3 Kab Natuna Kepri 16.44719 0.22105 0.30952
4 Kab Kaimana Papua barat 16.24555 0.0000 0.08095
5 Kab Yalimo Papua 16.24426 0.00000 0.03810
6 Kab Sorong Papua barat 16.15415 0.00000 0.15238
7 Kab Peg. Bintang Papua 16.14162 0.00000 0.17143
8 Kab Asmat Papua 16.12453 0.00000 0.10000
9 Kab Bulungan Kaltara 16.09682 0.07368 0.23333
10 Kab Nunukan Kaltara 15.96258 0.12632 0.12857
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa rata-rata Pemda yang memiliki
kapasitas anggaran yang besar adalah daerah yang tergolong daerah otonom baru
dan daerah terpencil yang masih membutuhkan pembangunan yang besar
dibidang infrastruktur. Dari LKPD sepuluh Pemda di atas diketahui bahwa selain
belanja pegawai, jumlah belanja yang nilainya besar adalah belanja jalan, irigasi,
dan jaringan. Nilai jenis belanja ini tidak jauh berbeda dengan jumlah belanja
pegawai. Dari ini dapat dilihat bahwa kapasitas anggaran yang dimiliki daerah-
daerah di atas umumnya masih digunakan untuk pembangunan infrastruktur
pokok seperti jalan dan irigasi. Meskipun memiliki kapasitas anggaran yang besar,
namun karena kondisi geografisnya yang terpencil ataupun karena potensinya
yang belum tergali, daerah-daerah ini masih kekurangan infrastruktur primer yang
dibutuhkan sehingga pengembangan sistem informasi seperti internet belumlah
menjadi prioritas utama daerah-daerah ini. Hal inilah yang kemungkinan
mengakibatkan tingkat pengungkapan informasi pada website pemda masih
tergolong rendah.
Selain hal diatas, hasil penelitian yang tidak signifikan dapat disebabkan
karena data yang tersebar dan tidak konsisten. Dari tabel 4.16 dapat dilihat bahwa
Universitas Indonesia
63
sebagian daerah yang memiliki kapasitas anggaran besar memiliki pengungkapan
yang kecil, namun beberapa diantaranya memiliki pengungkapan yang besar
seperti Kabupaten Kepulauan Anambas dan Kabupaten Natuna. Hal ini mungkin
disebabkan jumlah penduduk masing-masing daerah yang nantinya
mempengaruhi nilai kapasitas anggaran yang digunakan dalam penelitian.
Perbandingan jumlah belanja dan kepadatan penduduk tidak selamanya sama
untuk semua daerah di Indonesia sehingga hal ini dapat mempengaruhi hasil
penelitian.
4.5.6. Kemandirian Daerah
Kemaandirian daerah digambarkan dengan tingkat pendapatan asli daerah
(PAD). Daerah yang memiliki PAD yang lebih tinggi lebih mandiri karena
pendapatannya tidak bergantung kepada transfer dari pemerintah pusat atau
provinsi. Dari hasil penelitian pada tabel 4.14 dan 4.15 diperoleh bahwa PAD
memiliki hubungan negatif terhadap pengungkapan informasi keuangan pada
website namun tidak signifikan, yang berarti semakin besar PAD suatu daerah
maka semakin rendah tingkat pengungkapan informasi keuangan pada website.
Hal ini berbeda dengan hipotesis yang memperkirakan bahwa tingkat PAD akan
berpengaruh positif terhadap tingkat pengungkapan informasi keuangan pada
website. Hasil ini juga berbeda dari penelitian Sari (2010) yang menemukan
hubungan positif antara PAD dengan tingkat pengungkapan pada website.
Sementara itu PAD mempengaruhi pengungkapan informasi non-
keuangan secara positif yang sesuai dengan hipotesis, namun tidak ditemukan
hasil yang signifikan. Hal ini berarti semakin tinggi PAD maka semakin tinggi
pengungkapan informasi non-keuangan pada website. Hasil ini sejalan dengan
penelitian Sari (2010) yang menemukan hubungan positif signifikan. Penambahan
variabel kompetisi politik dalam model juga tidak mempengaruhi hasil penelitian
pada informasi keuangan maupun informasi non-keuangan.
Adanya perbedaan hasil penelitian terhadap pengungkapan informasi
keuangan menurut penulis disebabkan adanya perbedaan indeks skoring yang
digunakan. Sari (2010) menggunakan indeks skoring dengan cakupan yang lebih
luas yang tersebar atas presentasi dalam website dan konten informasi website.
Universitas Indonesia
64
Namun, penelitian ini berfokus pada konten informasi website saja yang dibagi
menjadi informasi keuangan dan non-keuangan. Indeks skoring Sari (2010) tidak
memasukkan unsur informasi keuangan dan sebagian besar indeks pada bagian
konten informasi website merupakan informasi non-keuangan yang masuk
kedalam indeks skoring penulis, sehingga sebagian nilai indeks penelitian Puspita
(2010) mendekati indeks skoring informasi non-keuangan penulis. Hal ini dapat
dilihat juga pada hasil penelitian hubungan PAD dengan tingkat pengungkapan
informasi non-keuangan pada website yang memiliki korelasi positif sesuai
dengan penelitian Sari (2010). Sementara itu penelitian yang secara spesifik
melihat pengaruh PAD terhadap pengungkapan informasi keuangan pada website
Pemda belum pernah dilakukan.
Jika dilihat dari hasil penelitian, PAD memiliki hubungan positif terhadap
transparansi informasi non-keuangan namun hubungan negatif terhadap informasi
keuangan. Semakin tinggi tingkat kemandirian suatu Pemda, maka Pemda
tersebut memiliki preferensi untuk mengungkapkan informasi non-keuangan
daripada keuangan. Pemda tersebut lebih banyak mengungkapkan informasi
kegiatan dan pelayanan yang dilakukan dari pendapatan asli daerah tersebut,
daripada informasi keuangan yang menunjukkan pelayanan publik yang dilakukan
atas PAD yang diperoleh. Pengungkapan informasi non-keuangan dalam hal ini
pelayanan publik pada website Pemda menunjukkan kinerja Pemda yang bagus
sehingga akan menjadi sinyal positif bagi masyarakat, yang nantinya dapat
menarik PAD baru. Selain itu pengungkapan informasi dalam bentuk informasi
non-keuangan mungkin lebih mudah dipahami karena dapat dijabarkan dalam
bentuk narasi sehingga menjangkau seluruh aspek masyarakat. Sementara itu
informasi keuangan yang umumnya dilaporkan memiliki bentuk pelaporan yang
baku dan tidak semua masyarakat dapat dengan mudah memahaminya sehingga
pemda memiliki kecenderungan untuk menyampaikan informasi dalam bentuk
non-keuangan.
4.5.7. Jenis Daerah
Hasil penelitian yang melihat hubungan jenis daerah terhadap tingkat
pengungkapan informasi keuangan dan non-keuangan pada Tabel 4.14 dan 4.15
Universitas Indonesia
65
ditemukan hubungan positif yang signifikan. Hasil ini menunjukkan bahwa jenis
Pemda Kota memiliki tingkat pengungkapan informasi keuangan yang lebih besar
pada website resmi, namun tidak ditemukan pengaruh signifikan pada
pengungkapan informasi non-keuangan. Penambahan variabel kompetisi politik
kedalam model informasi no- keuangan mengahsilkan ditemukannya hubungan
yang signifikan antara jenis daerah dengan tingkat pengungkapan informasi non-
keuangan.
Hasil penelitian ini sejalan dengan Laswad et al. (2005) yang menemukan
hubungan positif signifikan antara jenis daerah dengan tingkat pengungkapan
informasi keuangan. Penelitian ini menjawab hubungan jenis daerah dengan
tingkat pengungkapan informasi pada website yang belum terbukti pada penelitian
sebelumnya di Indonesia seperti Martani et al. (2013) dan Sari (2010).
Pemerintah daerah yang berbentuk Kota memiliki struktur daerah dan
karakteristik penduduk yang berbeda dengan Pemda Kabupaten. Kondisi
lingkungan yang lebih moderen dan kondisi ekonomi yang lebih baik
meningkatkan tingkat kepedulian masyarakat akan pelaksanaan pemerintahan
sehingga permintaan akan informasi pelaksanaan pemerintah sebagai bentuk
pengawasan publik menjadi lebih besar dibandingkan dengan daerah kabupaten.
4.5.8. Ukuran Pemda
Ukuran pemda akan mempengaruhi pelaksanaan kegiatan pemerintahan
pada suatu daerah yang akan mempengaruhi tingkat penyampaian informasi
terkait kegiatan tersebut. Proksi yang digunakan untuk mengukur ukuran pemda
adalah total populasi, hasil regresi penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.14 dan
4.15.
Dari penelitian diperoleh hasil bahwa ukuran daerah berpengaruh positif
yang signifikan terhadap tingkat pengungkapan informasi keuangan dan informasi
non-keuangan pada website. Hasil ini juga konsisten setelah ditambahkan variabel
kompetisi politik. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Garcia dan
Garcia (2010) dan Martani et al. (2013) yang menemukan pengaruh positif yang
signifikan antara ukuran daerah dengan pengungkapan informasi keuangan pada
website. Hasil ini juga sejalan dengan penelitian Garcia-Sanchez et al. (2013)
Universitas Indonesia
66
yang menemukan hubungan positif yang signifikan antara ukuran Pemda yang
diukur dengan jumlah populasi dengan tingkat pengungkapan informasi non-
keuangan pada website Pemda.
Pemda yang besar yang memiliki jumlah penduduk lebih besar memiliki
pengawasan publik yang lebih banyak serta stakeholder yang lebih beragam.
Untuk memenuhi permintaan informasi para stakeholder ini pemda melakukan
pengungkapan yang lebih besar pada website, baik informasi keuangan maupun
informasi non keuangan.
4.5.9. Tingkat Pengangguran
Tingkat pengangguran merupakan salah satu indikator yang digunakan
untuk mengukur tingkat ekonomi di suatu daerah. Dari hasil regresi pada tabel
4.14 dan tabel 4.15 diperoleh hasil bahwa tingkat pengangguran tidak
mempengaruhi pengungkapan informasi keuangan pada website pemda secara
signifikan. Hasil ini sejalan dengan penelitian Martani et al. (2013) yang tidak
menemukan hubungan signifikan antara tingkat pengangguran terhadap
pengungkapan informasi keuangan di website.
Sementara itu diperoleh hasil hubungan negatif yang signifikan antara
tingkat pengangguran dengan tingkat pengungkapan informasi non-keuangan
pada website pemda. Hal ini berarti semakin tinggi tingkat pengangguran di suatu
daerah maka semakin kecil pengugkapan informasi non-keuangan pada website.
Hasil ini sejalan dengan penelitian Guillamo et al. (2011). Pemda yang memiliki
tingkat pengangguran yang tinggi berarti memiliki status ekonomi daerah yang
lebih rendah, dimana umumnya permintaan informasi atas pelaksanaan
pemerintahan masih kecil sehingga pengungkapan informasi ini lebih kecil.
4.5.10. Kesejahteraan Penduduk
Kesejahteraan penduduk juga merupakan salah satu indikator ekonomi
daerah. Kesejahteraan penduduk diukur dengan menggunakan proksi PDRB
perkapita. Hubungan tingkat kesejahteraan penduduk dengan pengungkapan
informasi pada website disajikan pada Tabel 4.14 dan 4.15
Universitas Indonesia
67
Dari hasil penelitian di atas dibuktikan bahwa kesejahteraan penduduk
memiliki hubungan positif yang signifikan terhadap pengungkapan informasi
keuangan pada website. Semakin tinggi pendapatan regional perkapita suatu
daerah maka semakin tinggi informasi keuangan yang disampaikan pada website.
Hasil ini sejalan dengan penelitian Style and Tennyson (2007) serta Martani et al.
(2013) yang melakukan penelitian serupa di Indonesia.
Hasil yang signifikan juga ditemukan pada hubungan kesejahteraan
penduduk dengan pengungkapan informasi non-keuangan. Hubungan yang
ditemukan adalah positif, berarti semakin tinggi tingkat kesejahteraan suatu
daerah maka semakin tinggi pengungkapan informasi non-keuangan pada website
pemda. Secara keseluruhan kesejahteraan daerah akan meningkatkan
pengungkapan informasi pada website, baik keuangan maupun non keuangan.
Daerah yang memiliki pedapatan regional yang tinggi berarti memiliki
tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi. Masyarakat yang memiliki kesejahteraan
yang lebih tinggi lebih memperhatikan pelaksanaan pemerintah daripada yang
memiliki kesejahteraan yang rendah, sehingga meningkatkan tuntutan terhadap
akuntabilitas dan transparansi pelaksanaan pemerintah sebagai bentuk monitoring
lebih tinggi.
4.6. Rangkuman Hasil uji regresi
Tabel 4.16 menunjukkan rangkuman hasil uji terhadap hipotesis
penelitian. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa akses internet daerah,
opini audit, jenis daerah, ukuran daerah, serta tingkat kesejahteraan daerah
berpengaruh positif terhadap pengungkapan informasi keuangan pada website.
Akses internet daerah, usia daerah, jenis daerah, ukuran daerah, serta
tingkat kesejahteraan daerah berpengaruh positif terhadap pengungkapan
informasi non-keuangan pada website, sementara tingkat pengangguran daerah
berpengaruh negatif terhadap tingkap pengungkapan informasi non-keuangan
pada website.
Tabel 4.17 Rangkuman Uji Hipotesis
Universitas Indonesia
68
Variabel
DISC_FIN DISC_NONFIN
Hipotesis
Hasil Uji
Model 1a
Hasil Uji
Model 1b
Hipotesis
Hasil Uji
Model 2a
Hasil Uji
Model 2b
Akses Internet Daerah + + *** + *** + + *** + ***
Kompetisi Politik + + + -
Opini Audit LKPD 2013 + + *** + ** + + -
Usia Daerah + + + + + *** +*
Kemampuan Keuangan Pemda + - - + - -
Tingkat Kemandirian + - - + + +
Jenis Daerah + + * + * + + + *
Ukuran Daerah + +** +* + + *** + ***
Tingkat Pengangguran +/- - - +/- - *** -*
Tingkat Kesejahteraan Daerah + +*** + *** + +*** +***
4.7. Uji Sensitivitas
Pada tabel dibawah ini dirangkum hasil uji sensitivitas yang penulis
lakukan. Tabel 4.18 dan 4.19 dirangkum hasil uji sensitivitas bagi informasi
keuangan dan tabel 4.20 dan 4.21 merupakan hasil uji sensitivitas terhadap
informasi non-keuangan. Bagi model 1a dan 1b yang menggunakan pengung-
kapan informasi keuangan sebagai variabel dependennya, penulis menggunakan
empat kelompok utama indeks pengungkapan informasi keuangan yaitu APBD,
LKPD, Kinerja, serja Dokumentasi anggaran. Sementara itu bagi model 2a dan
2b, penulis menggunakan empat kelompok indeks informasi non-keuangan yang
paling banyak diungkapkan pada website pemda, yaitu pendidikan, perencanaan
pembangunan, pemerintahan, dan informasi umum daerah.
Tabel 4.18 Uji Sensitivitas Model 1a
Variabel
Model 1a
Hipotesis
Hasil Uji
Model 1a
APBD
LKPD Kinerja Dokumentasi
Akses Internet Daerah + + *** + +*** + +*
Opini Audit LKPD 2013 + + *** +* +* +** +**
Universitas Indonesia
69
Variabel
Model 1a
Hipotesis
Hasil Uji
Model 1a
APBD
LKPD Kinerja Dokumentasi
Usia Daerah + + + + +* +
Kemampuan Keuangan Pemda + - -* - + -
Tingkat Kemandirian + - + - + -
Jenis Daerah + + * + + + +
Ukuran Daerah + +** + +*** + +
Tingkat Pengangguran +/- - - + - -
Tingkat Kesejahteraan Daerah + +*** +*** +*** + +***
Tabel 4.19 Uji Sensitivitas Model 1b
Variabel
Model 1b
Hipotesis
Hasil Uji
Model 1b
APBD
LKPD Kinerja Dokumentasi
Akses Internet Daerah + + *** + +*** +* +**
Kompetisi Politik + + - + + +
Opini Audit LKPD 2013 + + ** + +* + +***
Usia Daerah + + + + +* +
Kemampuan Keuangan Pemda + - - - + -
Tingkat Kemandirian + - - - - -
Jenis Daerah + + * + + +** +
Ukuran Daerah + +* + +*** +* -
Tingkat Pengangguran +/- - - + - +
Tingkat Kesejahteraan Daerah + + *** +*** +*** + +**
Pada tabel 4.18 dan tabel 4.19 dapat dilihat bahwa dalam hal informasi
keuangan khususnya informasi kinerja, willingness untuk menyampaikan
informasi ini lebih banyak. Dapat dilihat dari hubungan kemampuan keuangan
daerah dan kemandirian daerah yang positif. Berbeda dengan hasil regresi utama
yang ditemukan hubungan negatif. Hal ini merupakan sinyal positif bahwa Pemda
lebih bersedia untuk mengungkapkan informasi terkait kinerja. Hal ini juga Universitas Indonesia
70
mungkin disebabkan bahwa informasi kinerja dapat mempengaruhi persepsi
masyarakat terhadap pemerintah, sehingga pengungkapannya lebih banyak.
Tabel 4.20 Uji Sensitivitas Model 2a
Variabel
DISC_NONFIN
Hipotesis
Hasil Uji
Model 2a
Pendidikan
Pembangun
an
Pemerintah
an
Umum
Akses Internet Daerah + + *** + + +* +***
Opini Audit LKPD 2013 + + - +*** + -
Usia Daerah + + *** +*** +* +** +**
Kemampuan Keuangan Pemda + - - - -* -
Tingkat Kemandirian + + + - + +
Jenis Daerah + + - +** - +
Ukuran Daerah + + *** + +*** + +
Tingkat Pengangguran +/- - *** - -*** -* -
Tingkat Kesejahteraan Daerah + +*** +** +*** +*** +
Tabel 4.21 Uji Sensitivitas Model 2b
Variabel
DISC_NONFIN
Hipotesis
Hasil Uji
Model 2b
Pendidikan
Pembangun
an
Pemerintah
an
Umum
Akses Internet Daerah + + *** + + +** +***
Kompetisi Politik + - - - + -
Opini Audit LKPD 2013 + - - +* + -
Usia Daerah + +* +** + + +
Kemampuan Keuangan Pemda + - - - -** +
Tingkat Kemandirian + + + -** + -
Jenis Daerah + +* + +*** + +**
Ukuran Daerah + + *** + +*** + +*
Tingkat Pengangguran +/- -* - -* - +
Tingkat Kesejahteraan Daerah + +*** +*** +*** +*** +
Universitas Indonesia
71
Dari hasil uji sensitivitas pengungkapan informasi non-keuangan pada
tabel 4.20 dan 4.21 ditemukan bahwa terdapat beberapa variabel yang hasilnya
tidak signifikan dengan hasil uji model utama. Namun dari hasil di atas dapat
dilihat bahwa hubungan opini audit dengan pengungkapan informasi non-
keuangan bagian pembangunan ditemukan positif dan signifikan. Hasil ini
berbeda dengan hasil uji model utama yang tidak ditemukan hubungan signifikan.
Dari hasil ini dapat disimpulkan untuk informasi terkait perencanaan
pembangunan daerah lebih banyak diungkapkan. Perencanaan pembangunan
merupakan bentuk rencana kerja yang akan dilakukan Pemda untuk meningkatkan
taraf hidup masyarakat di daerah tersebut sehingga penyampaian informasi terkait
rencana pembangunan dapat memberikan citra positif Pemda terhadap
masyarakat.
Dari hasil uji di atas juga diketahui bahwa beberapa variabel penelitian
memiliki hasil yang tidak konsisten dengan hasil penelitian sebelumnya. Beberapa
diantaranya adalah variabel kemampuan keuangan Pemda dan tingkat
kemandirian pemda yang pada beberapa uji memberikan tanda hubungan yang
berbeda. Adanya perbedaan hasil ini dapat disebabkan karena jumlah indeks yang
kecil, terutama indeks non keuangan. Rata-rata indeks per kelompok informasi
yang digunakan diatas hanyalah 7 sampai 10 total informasi sehingga hasil yang
berbeda dapat diakibatkan data yang tidak menggambarkan keadaan yang
sebenarnya.
Universitas Indonesia
BAB 5
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Dari hasil penelitian terhadap website Pemda Kabupaten dan Kota di
Indonesia, dari 504 Pemda yang mempunyai kekuasaan otonom hanya 423
website yang dapat diakses pada waktu penelitian. Sebanyak 28 pemda belum
mempunyai website dan 53 website pemda tidak dapat diakses. Jumlah ini
mengalami penurunan dari penelitian-penelitian sebelumnya yang dapat
mengakses website lebih banyak.
Sampel yang digunakan dalam penelitian terbagi menjadi dua yaitu
sebesar 374 untuk model 1a dan 2a dan 256 untuk model 1b dan 2b. Pembagian
ini dikarenakan terbatasnya data atas variabel kompetisi politik sehingga model 1a
dan 2a tidak dimasukkan variabel ini dan variabel 1b dan 2b dimasukkan variabel
kompetisi politik namun dengan jumlah sampel yang lebih sedikit.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel tingkat akses internet, opini
audit, jenis daerah, ukuran daerah, serta tingkat kesejahteraan daerah memiliki
hubungan positif terhadap pengungkapan informasi keuangan pada website.
Namun tidak ditemukan pengaruh yang signifikan antara variabel usia pemda,
kemampuan keuangan daerah, kemandirian daerah, serta tingkat pengangguran
dan kompetisi politik terhadap pengungkapan informasi keuangan pada website.
Tingkat akses internet, usia pemda, ukuran pemda, serta tingkat
kesejahteraan daerah mempengaruhi pengungkapan informasi non-keuangan
secara positif. Sedangkan tingkat pengangguran mempengaruhi informasi non-
keuangan secara negatif. Namun tidak ditemukan hubungan yang signifikan
antara hubungan opini audit, kemampuan keuangan daerah, tingkat kemandirian
daerah, jenis daerah, dan tingkat kompetisi politik terhadap tingkat pengungkapan
informasi non keuangan pada website pemda.
73
Secara keseluruhan dapat dilihat bahwa dana yang lebih besar tidak
mendorong Pemda untuk meningkatkan informasi keuangan atau
akuntabilitasnya. Kapasitas anggaran dan PAD yang besar ternyata lebih
mengurangi tingkat pengungkapan, yang mana seharusnya dana yang besar akan
memberikan tanggung jawab yang besar bagi pemda untuk melaporkan
penggunaannya kepada masyarakat. Jika dilihat dari pada hubungan kemandirian
daerah dengan pengungkapan informasi non-keuangan yang positif maka dapat
dilihat bahwa pemda lebih terbatas untuk pengungkapan informasi keuangannya
daripada informasi non-keuangan sehingga pelaksanaan angaran umumnya lebih
diungkapkan dalam bentuk informasi kegiatan pelayanan pemerintahan (non-
keuangan) daripada informasi laporan keuangan terpisah.
Kondisi demografi penduduk akan mempengaruhi tingkat pengungkapan
secara positif, dimana kondisi masyarakat yang lebih baik dan sejahtera akan
meningkatkan kepedulian terhadap pelaksanaan daerah sehingga tekanan untuk
melaporkan informasi menjadi lebih tinggi. Hal ini didukung dengan hasil
penelitian yang menemukan hubungan signifikan pada tingkat kesejahteraan dan
tingkat pengangguran terhadap pengungkapan informasi pada website. Jenis
daerah dan ukuran daerah juga mempengaruhi pengungkapan informasi karena
perbedaan struktur masing-masing daerah yang umumnya berfokus pada
penduduk di daerah tersebut.
Opini audit mempengaruhi pengungkapan informasi keuangan pada
website secara positif. Hal ini dikarenakan opini audit yang lebih tinggi
menunjukkan kinerja yang lebih baik, sehingga pengungkapan informasi ini
menjadi sinyal positif bagi masyarakat. Usia pemda mempengaruhi pengungkapan
informasi non-keuangan karena Pemda yang sudah berdiri lebih lama melakukan
pelayanan publik yang lebih banyak sehingga informasi yang disampaikan juga
lebih banyak.
Tingkat akses internet mempengaruhi pengungkapan informasi keuangan
dan non-keuangan. Dengan semakin mudah dan murahnya dalam memperoleh
informasi, salah satunya internet, menjadikan akses internet mempengaruhi
trasparansi dan akuntabilitas pada website dengan signifikan. Internet menjadikan
Universitas Indonesia
74
pengawasan publik dapat dilakukan dengan lebih mudah sehingga tekanan untuk
mengungkapkan informasi pelaksanaan pemerintahan menjadi lebih besar.
5.2. Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan utama dalam penelitian ini adalah pelaksanaan penelitian
yang hanya pada pengungkapan informasi website pada tahun 2015 karena
keterbatasan waktu penelitian, sehingga penulis membandingkan hasil penelitian
dengan beberapa penelitian yang dilakukan tahun-tahun sebelumnya dalam
analisis penelitian ini. Penelitian juga berdasarkan pada hasil indeks skoring, yang
mana terdapat perbedaan indeks yang digunakan dengan penelitian sebelumnya
sehingga dapat mempengaruhi hasil penelitian. Selain itu penggunaan indeks
skoring dalam menilai tingkat pengungkapan informasi pada website terdapat
aspek subjektifitas penulis dalam penilaian yang dapat menjadikan perbedaan
dalam hasil akhir penelitian.
Keterbatasan lainnya adalah ketersediaan data yang digunakan sebagai
variabel independen penelitian. Beberapa LKPD pemda tahun 2013 yang
digunakan dalam penelitian tidak tersedia di BPK selain itu informasi terkait
kompetisi politik yang diperoleh dari persentase kemenangan pilkada tidak
tersedia di KPU. Keterbatasan data inilah yang menjadikan penulis memisahkan
variabel kompetisi politik karena perbedaan jumlah data yang cukup signifikan.
Selain itu variabel tingkat akses internet yang ada hanya per provinsi sehingga
penulis menggunakan data yang diseragamkan untuk setiap kabupaten dan kota
yang berada di provinsi yang sama. Untuk kedepannya diharapkan tersedianya
data yang lebih lengkap sehingga dapat diperoleh hasil yang lebih akurat.
5.3. Saran
Hasil penelitian ini menunjukkan tingkat pengungkapan informasi
keuangan dan non-keuangan pada website pemda dengan menghubungkannya
pada beberapa variabel yang akan mempengaruhi nilai pengungkapan informasi
ini. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa tingkat pengungkapan informasi pada
website masih terbilang rendah. Tidak adanya peraturan yang mengatur informasi-
informasi yang harus disampaikan pada website menjadikan pengugkapan hanya
Universitas Indonesia
75
berdasarkan pada sukarela pemda. Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa
motivasi pemda untuk mengungkapkan informasi pada website masih terbilang
rendah.
Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan bagi pemerintah sebagai
regulator bahwa pembentukan regulasi terkait pengungkapan informasi pada
website diperlukan. Informasi pelaksanaan pemerintah baik informasi keuangan
maupun non-keuangan merupakan hak masyarakat sebagai stakeholder terbesar
pemerintah sehingga penyampaiannya melalui media yang mudah dan murah
diakses merupakan suatu bentuk transparansi dan akuntabilitas yang lebih besar.
Bagi penelitian selanjutnya penambahan variabel-variabel lain yang
mempengaruhi pengungkapan informasi pada website pemda dapat dilakukan
seperti press visibility, leverage, stabilitas politik, dan tingkat investasi sehingga
diperoleh hasil yang lebih komprehensif. Selain itu pengembangan indeks skoring
yang digunakan dengan menambah jumlah indeks yang lebih menunjukkan
jumlah informasi yang disampaikan pada website pemda.
Universitas Indonesia
76
DAFTAR PUSTAKA
Afryansyah, R.D. 2013. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengungkapan Informasi Akuntansi di Internet Oleh Pemerintah Daerah. Semarang: Skripsi Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Diponegoro.
Alwi, Kholida. 2014. Pengaruh Hasil Pemeriksaan BPK dan Faktor Politik terhadap Transparansi Informasi Keuangan dan Kinerja pada Website Pemerintah Daerah di Indonesia. Depok: Skripsi Departemen Akuntansi, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia.
Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII). 2012. Profil Pengguna Internet Indonesia 2012. Jakarta: Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia.
Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) dan Badan Pusat Statistik Indonesia. 2013. Penggunaan Internet Sektor Bisnis 2013. Jakarta: Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia.
Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia. 2014. Ikhtisiar Hasil Pemeriksaan Semester I Tahun 2014. Jakarta: Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia.
Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia. 2014. Ikhtisiar Hasil Pemeriksaan Semester II Tahun 2014. Jakarta: Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia.
Badan Pusat Statistik Indonesia. 2007. Daftar Nama Provinsi/Kabupaten/Kota Menurut Dasar Hukum Pembentukan Wilayah. Jakarta: Badan Pusat Statistik Indonesia.
Evans III, J. H. & Patton, J. M. 1987. Signaling and Monitoring in Public-Sector Accounting. Journal of Accounting Research Vol. 25, 130-158.
Gandia, J.L. & Archidona, M.C. 2007. Determinants of Website Information by Spanish City Council. Online Information Review, Vol. 32, No. 1. 35-57.
Garcia-Sanchez, et al. 2013. Determinants of Corporate Social Disclosure in Spanish Local Government. Journal of Cleaner Production 39, 60-72.
Garcia & Garcia-Garcia. 2010. Determinants of Online Reporting of Accounting Information by Spanish Local Government Authorities. Local Government Studies, Vol. 36, No. 5, 679-695.
Hilmi, A.Z. & Martani. 2011. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Pengungkapan Laporan Keuangan Pemerintah Provinsi. Depok: Skripsi Departemen Akuntansi, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia.
Universitas Indonesia
77
Jensen, M., & Meckling, W. 1976. Theory of The Firm : Managerial Behavior, Agency Cost and Ownership Structure. Journal of Financial Economics 3, 305-360.
Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia. 2007. Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No 7 A Tahun 2007 Tentang Tatacara Penyampaian Informasi dan Tanggapan atau Saran dari Mayarakat atas Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah. Jakarta: Pemerintah Indonesia.
Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia. 2010. Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No 35 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pengelolaan Pelayanan Informasi dan Dokumentasi di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah. Jakarta: Pemerintah Indonesia.
Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia. 2011. Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No 21 Tahun 2011 Tentang Perubahan Kedua atas Peraturna Menteri Dalam Negeri No 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Jakarta: Pemerintah Indonesia.
Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia. 2012. Instruksi Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 188.52/1797/SJ Tentang Peningkatan Transparansi Pengelolaan Anggaran Daerah. Jakarta: Pemerintah Indonesia.
Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia. 2014. Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No 2 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah. Jakarta: Pemerintah Indonesia.
Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia. 2014. Daerah Otonom (Provinsi, Kabupaten, dan Kota) Di Indonesia per 31 Desember 2013. Jakarta: Pemerintah Indonesia.
Kementerian Komunikasi dan Informasi Republik Indonesia. 2003. Cetak Biru (Blueprint) Sistem Aplikasi e-Government bagi Lembaga Pemerintah Daerah. Jakarta: Pemerintah Indonesia.
Kementerian Komunikasi dan Informasi Republik Indonesia. 2003. Panduan Penyusunan Rencana Induk Pengembangan e-Government Lembaga. Jakarta: Pemerintah Indonesia.
Kementerian Komunikasi dan Informasi Republik Indonesia. 2010. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No 22/PER/M.KOMINFO/12/2010 Tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Komunikasi dan Informatika d Kabupaten/ Kota. Jakarta: Pemerintah Indonesia.
Khasanah, N.L. & Rahardjo, S. N. 2014. Pengaruh Karakteristik, Kompleksitas dan Temuan Audit terhadap Tingkat Pengungkapan Laporan Keuangan
Universitas Indonesia
78
Pemerintah Daerah. Diponegoro Journal of Accounting, Vol. 3, No. 3, Hal 1-11.
Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia. 2011. Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Tahun 2010. Jakarta: Komisi Pemilihan Umum RI.
Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia. 2013. Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Dalam Angka Tahun 2011 & 2012. Jakarta: Komisi Pemilihan Umum RI.
Laswad, et al. 2005. Determinants of Voluntary Internet Financial Reporting by Local Government Authorities. Journal of Accounting and Public Policy 24. 101-121.
Liestiani, A. (2008). Pengungkapan laporan keuangan pemerintah daerah kabupaten/kota di Indonesia untuk tahun anggaran 2006. Depok: Skripsi Departemen Akuntansi, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia.
Lindbolm, C.K. 1994. The Implications of Organizational Legitimacy for Corporate Social Performance and Disclosure. New York: Critical Perspectives on Accounting Conference.
Mahadeo, et al. 2011. Changes in Social and Environmental Reporting Practices in an Emerging Economy (2004-2007): Exploring the Relevance of Stakeholder and Legitimacy Theories. Accounting Forum 35. 158-175.
Martani, et al. 2013. Disclosure of Non-Financial Information about Public Service on the Official Website of Local Governments in Indonesia.
Martani, et al. 2014. Financial and Performance Transparency on The Local Government Websites in Indonesia. Journal of Theoretical and Applied Information Technology, Vol. 60, No. 3.
Perez, C.C. et al. 2005. Citizens’ Access to On-line Governmental Financial Information: Practices in European Union Countries. Government Information Quarterly 22, 258-276.
Republik Indonesia. 2001. Instruksi Presiden Republik Indonesia No 6 Tahun 2001 Tentang Pengembangan dan Pendayagunaan Telematika di Indonesia. Jakarta: Pemerintah Indonesia.
Republik Indonesia. 2003. Instruksi Presiden Republik Indonesia No 3 Tahun 2003 Tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan e-Government. Jakarta: Pemerintah Indonesia.
Republik Indonesia. 2003. Undang-Undang No 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara. Jakarta: Pemerintah Indonesia.
Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang Republik Indonesia No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah. Jakarta: Pemerintah Indonesia.
Universitas Indonesia
79
Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang Republik Indonesia No 33 Tahun 2008 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Jakarta: Pemerintah Indonesia.
Republik Indonesia. 2005. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 56 Tahun 2005 Tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah. Jakarta: Pemerintah Indonesia.
Republik Indonesia. 2006. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 8 Tahun 2006 Tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah. Jakarta: Pemerintah Indonesia.
Republik Indonesia. 2007. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 3 Tahun 2007 Tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Kepada Pemerintah, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah Kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Kepada Masyarakat. Jakarta: Pemerintah Indonesia.
Republik Indonesia. 2007. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Jakarta: Pemerintah Indonesia.
Republik Indonesia. 2008. Undang-Undang Republik Indonesia No 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik. Jakarta: Pemerintah Indonesia.
Republik Indonesia. 2012. Peraturan Presiden Republik Indonesia No 35 Tahun 2012 Tentang Perubahan atas Peraturan Presiden No 10 Tahun 2008 tentang Penggunaan Sistem Elektronik Dalam Kerangka Indonesia National Singel Window. Jakarta: Pemerintah Indonesia.
Sari, Rora Puspita. 2010. Pengaruh Kinerja Pemerintah Daerah terhadap Tingkat Pengungkapan Sukarela Pemerintah Daerah di Indonesia pada Situs Pemerintah Daerah Tahun 2010. Depok: Skripsi Departemen Akuntansi, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia.
Sekaran, Uma & Bougie, R. 2009. Research Method for Business: A Skill-Building Approach 6th edition. USA: John-Wiley & Sons.
Setyaningrum, D. & Syafitri, F. 2012. Analisis Pengaruh Karakteristik Pemerintah Daerah terhadap Tingkat Pengungkapan Laporan Keuangan. Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, Desember 2012, Vol. 9, No. 2, Hal 154-170.
Suchman, M. C. 1995. Managing Legitimacy: Strategic and Institutional Approachs. Academy of Management Journal , Vol. 20, No. 3, 571-610.
Tregidga, H. et al. 2007. Organisational Legitimacy and Social and Environmental Reporting Research: The Potential of Disclosure Analysis.
Universitas Indonesia
80
New Zealand Business and Sustainability: Critically Analysing Discourse and Practice. Grant Number 02-UOO-120.
Trisnawati, M. D. & Achmad, K. 2014. Determinan Publikasi Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Melalui Internet. Universitas Brawijaya.
Wicaksono, P. T. 2012. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Opini dan Temuan Audit BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Indonesia Tahun 2008-2009. Depok: Skripsi Departemen Akuntansi, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia.
Winanti, B.A. 2014. Analisis Pengaruh Temuan dan Tindak Lanjut Pemeriksaan BPK, Legitimasi Kepela Daerah serta Pengawasan Pemerintahan Terhadap Opini Audit LKPD 2010-2011. Depok: Skripsi Departemen Akuntansi, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia.
Yavuz, N. & Welch, E.W. 2014. Factors Affecting Opennes of Local Government Websites: Examining The Differences Across Planning, Finance and Police Departments. Government Information Quarterly 31, 574-583.