Page 1
STABILISASI SLUDGE DARI INSTALASI PENGOLAHAN AIR
LIMBAH (IPAL) MENGGUNAKAN STARTER BAKTERI
INDIGENOUS PADA AEROBIC SLUDGE DIGESTER
RAMIZA DEWARANIE LAUDA
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Page 3
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Stabilisasi Sludge
Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Menggunakan Starter Bakteri
Indigenous pada Aerobic Sludge Digester adalah benar karya saya dengan arahan
dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Desember 2013
Ramiza Dewaranie Lauda
NIM F34090093
Page 4
ABSTRAK
RAMIZA DEWARANIE LAUDA. Stabilisasi Sludge dari Instalasi
Pengolahan Air Limbah (IPAL) Menggunakan Starter Bakteri Indigenous pada
Aerobic Sludge Digester. Dibimbing oleh TITI CANDRA SUNARTI dan
SUPRIHATIN.
Stabilisasi sludge merupakan proses degradasi komponen organik menjadi
senyawa yang lebih sederhana, serta menghilangkan senyawa toksik dan
mengeliminasi senyawa volatil yang menimbulkan aroma tidak sedap dengan
memanfatkan berbagai macam mikroorganisme. Bakteri proteolitik dan selulolitik
merupakan mikroorganisme indigenous yang dominan dan berperan penting
dalam degradasi komponen organik pada lumpur aktif. Penelitian ini bertujuan
untuk menangani (menstabilkan) sludge agar dapat dimanfaatkan untuk
pembuatan pupuk dengan menggunakan beberapa isolat bakteri indigenous yang
berasal dari limbah cair biologis dari industri pangan sebagai starter cair, serta
mengetahui pengaruh lama aerasi (0, 5, 10, 15, 20, 25, dan 30 hari) terhadap
karakteristik stabilisasi sludge. Perlakuan yang diberikan terdiri atas tiga macam
perlakuan yang terdiri atas (1) penambahan starter isolat bakteri indigenous
proteolitik, (2) penambahan starter bakteri indigenous selulolitik, dan (3) tanpa
penambahan starter sebagai kontrol. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
semua starter bakteri indigenous mempunyai kemampuan untuk mempercepat
degradasi komponen organik yang tinggi, tetapi tidak berpengaruh nyata dalam
mempercepat periode proses stabilisasi. Penambahan starter bakteri proteolitik
meningkatkan tingkat konversi protein menjadi ammonium, sedangkan
penambahan starter bakteri selulolitik mampu meningkatkan penyisihan nilai total
suspended solids (TSS), volatile suspended solid (VSS), total COD, dan soluble
COD dibandingkan dengan kontrol. Penambahan starter bakteri selulolitik mampu
menghasilkan rasio C/N yang lebih tinggi (9.17) dibandingkan dengan perlakuan
lainnya (7.12 – 8.97).
Kata kunci: stabilisasi sludge, komponen organik, starter bakteri indigenous,
proteolitik, selulolitik
ABSTRACT
RAMIZA DEWARANIE LAUDA. Stabilization of Sludge from
Wastewater Treatment Plant (WWTP) by Using Indigenous Bacteria Starter In
Aerobic Sludge Digester. Supervised by TITI CANDRA SUNARTI and
SUPRIHATIN.
Sludge stabilization is degradation process for the organic components into
simpler compounds, and to eliminate toxic compounds and volatile compounds
that cause the unpleasant smell by activities of some microorganisms. Proteolytic
and cellulolytic bacteria are predominant and indigenous microorganisms play an
important role in the degradation of organic components on activated sludge. The
Page 5
aim of this study was to stabilize sludge that can be used for fertilizer production
by using various types of indigenous bacterial isolated from industrial biological
wastewater as liquid starter, as well as determine the effect of aeration time (0, 5,
10, 15, 20, 25, and 30 days) on the characteristics of sludge stabilization. The
research investigated the effect of starter addition, from indigenous bacteria
isolates, as (1) proteolytic bacteria, (2) cellulolytic bacteria, and (3) no starter
addition as control. The process degradation by indigenous microorganisms and
capable to convert nitrogen compounds such as ammonium to nitrate. The result
showed that all bacteria starters have high capability to accelerate the degradation
of organic compound, but not significantly in the stabilization procced periode.
The addition of proteolytic bacteria increased the breakdown of protein compound
into ammonium, while cellulolytic bacteria increasing the formation of total
suspended solids (TSS), volatile suspended solids (VSS), total COD, and soluble
COD compared to the control. The addition of cellulolytic bacteria showed the
higest value of C/N ratio (9.17) compared to the others (7.12 - 8.97).
Key words: sludge stabilization, organic components, indigenous bacteria starter,
proteolytic, cellulolytic.
Page 7
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
pada
Departemen Teknologi Industri Pertanian
STABILISASI SLUDGE INSTALASI PENGOLAHAN AIR
LIMBAH (IPAL) MENGGUNAKAN STARTER BAKTERI
INDIGENOUS PADA AEROBIC SLUDGE DIGESTER
RAMIZA DEWARANIE LAUDA
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Page 9
Judul Skripsi : Stabilisasi Sludge dari Instalasi Pengolahan Air Limbah
(IPAL) Menggunakan Starter Bakteri Indigenous pada
Aerobic Sludge Digester
Nama : Ramiza Dewaranie Lauda
NIM : F34090093
Disetujui oleh
Dr Ir Titi Candra Sunarti, MSi
Pembimbing I
Prof Dr Ing Ir Suprihatin
Pembimbing II
Diketahui oleh
Prof Dr Ir Nastiti Siswi Indrasti
Ketua Departemen
Tanggal Lulus: 16 Desember 2013
Page 10
------- - - --
Judul Skripsi Stabilisasi Sludge dari Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Menggunakan Starter Bakteri Indigenous pada Aerobic Silldge Digester
Nama Ramiza Dewaranie Lauda NIM F34090093
Disetujui oleh
Dr Ir ~narti' MSi Prof Dr Ing Ir Suprihatin Pembimbing I Pembimbing II
:::>
Tanggal Lulus: 16 Desernber 2013
Page 11
PRAKATA
Alahamdulillahirabbil’aalamiin segala puji syukur kepada Allah SWT atas rahmatNya,
sehingga skripsi program Capstone ini dapat diselesaikan dengan baik. Shalawat serta
salam semoga selalu tercurah kepada junjungan Nabi besar Muhammad SAW. Penelitian
dengan judul Stabilisasi Sludge dari Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL)
Menggunakan Starter Bakteri Indigenous pada Aerobic Sludge Digester yang
dilaksanakan di Laboratorium Teknik Manajemen Lingkungan IPB sejak bulan April
hingga September 2013.
Dengan telah selesainya penelitian hingga tersusunnya skripsi ini, penulis ingin
menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Dr Ir Titi Candra Sunarti, M.Si sebagai dosen pembimbing utama yang telah
memberikan banyak bimbingan, bantuan, dan dorongan selama pelaksanaan
penelitian.
2. Prof Dr Ing Ir Suprihatin selaku pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan
bimbingan, bantuan, dan dorongan selama pelaksanaan penelitian.
3. Prof Dr Ir Nastiti Siswi Indrasti yang telah memberikan bimbingan moral selama
penulis melaksanakan studi di Departemen Teknologi Industri Pertanian.
4. Bapak Sulistyo Eko Yuniarso selaku Plant Manager PT. XXX Indonesia yang telah
memberikan izin dan dukungan untuk melanjutkan program skripsi Capstone.
5. Bapak Arie Budiawan Suryadiredja yang telah memberikan dukungan moril dan
material selama penulis melaksanakan pengambilan data dan sampel selama
pelaksanaan penelitian.
6. Kedua orang tuaku, Wasis Djuhar dan Ismarlina Azwarini yang telah memberikan
bimbingan dan bantuan moril, material, dan spiritual kepada penulis sejak kecil
hingga menamatkan gelar sarjana di Teknologi Industri Petanian IPB.
7. Kakak dan adikku, Zumhan Wicaksono, Vanadia Martadiastuti, dan Kamila
Anindita atas doa, semangat, dan kebersamaan yang telah diberikan selama ini.
8. Staf PT. XXX Indonesia bagian pengelolaan instalasi pengolahan air limbah (IPAL)
Ibu Renta, Pak Dedi, Pak Rahman, Pak Dendi, yang telah memberikan bantuan
selama penulis melaksanakan penelitian.
9. Staf dan laboran Teknologi Industri Pertanian: Ibu Egnawati, Ibu Sri, Pak Yogi, Pak
Edi, Ibu Vindi, Pak Sugi, Ibu Diah, Pak Dicky, Ibu Rini, dan Pak Gunawan yang
telah memberikan bantuan selama penulis melaksanakan penelitian.
10. Rekan-rekan TIN 46 atas kerjasama, keakraban, dan kekerabatan selama
menjalankan perkuliahan di Teknologi Industri Pertanian.
Akhir kata penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat dan memberikan kontribusi
nyata terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di bidang teknologi pertanian,
khususnya dalam bidang lingkungan.
Bogor, Desember 2013
Ramiza Dewaranie Lauda
Page 12
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1.2 Perumusan Masalah 3 1.3 Tujuan Penelitian 3 1.4 Ruang Lingkup Penelitian 3
2 METODE 3 2.1 Waktu dan Tempat 4 2.2 Bahan 4 2.3 Alat 4 2.4 Metode Penelitian 4
2.4.1 Karakterisasi Sludge Limbah Cair Industri 4 2.4.2 Dinamika Populasi dan Isolasi Mikroorganisme Indigenous 4 2.4.3 Penyiapan Starter Cair Mikroorganisme Indigenous 5
2.4.4 Stabilisasi Sludge Menggunakan Starter Cair 5
2.4.5 Potensi Aplikasi Stabilisasi Sludge 6
3 HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Karakterisasi Sludge Limbah Cair Industri 7 3.2 Dinamika Populasi dan Isolasi Mikroorganisme Indigenous 8
3.3 Penyiapan Starter Cair Mikroorganisme Indigenous 9
3.4 Degradasi Sludge Menggunakan Starter Cair 11
3.4.1 Populasi Mikroorganisme 12 3.4.2 Total Gula 13 3.4.3 Perubahan pH 14
3.4.4 Perubahan Ammonium (NH4+) dan Nitrat (NO3
-) 15
3.4.5 Penurunan Suspended Solids (TSS dan VSS) 17 3.4.6 Perubahan Nilai Chemical Oxygen Demand (COD) 20
3.5 Potensi Aplikasi Stabilisasi Sludge 22
4 SIMPULAN DAN SARAN 4.1 Simpulan 24
4.2 Saran 24
DAFTAR PUSTAKA 24 LAMPIRAN 25
RIWAYAT HIDUP 37
Page 13
DAFTAR TABEL
1 Hasil pemeriksaan komponen lumpur aktif 7 2 Hasil analisis suspensi lumpur aktif sebelum dan sesudah stabilisasi 22
DAFTAR GAMBAR
1. Set-up reaktor aerobic digester untuk proses stabilisasi sludge 6
2. Dinamika populasi dari pertumbuhan spontan mikroorganisme 8
indigenous
3. Kurva turbiditas isolat bakteri indigenous 10
4. Pengaruh lama aerasi terhadap populasi mikroorganisme 12
indigenous
5. Kandungan total gula cairan stabilisasi sludge 14
6. Perubahan nilai pH cairan stabilisasi sludge akibat aktifitas 15
mikroba indigenous pada reaktor kontrol, proteolitik, dan
selulolitik selama aerasi berlangsung
7. Transformasi nitrogen (ammonium - NH4+) menjadi (nitrat - NO3
-) 16
8. Stabilisasi lumpur aktif pada parameter TSS dan VSS terhadap 18
lama aerasi
9. Perubahan biokimia protein, karbohidrat, dan lipid dalam 20
biochemical metabolite pathway
10. Transformasi total COD dan soluble COD selama proses aerasi 21
berlangsung
DAFTAR LAMPIRAN
1. Prosedur karakterisasi sludge 26 2. Prosedur penyiapan media dan perhitungan jumlah mikroba 31 3. Prosedur analisis karakteristik stabilisasi sludge 32 4. Standar Nasional Indonesia tentang spesifikasi pupuk dari sampah 36
Page 14
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara agraris yang kaya akan hasil pertanian,
kehutanan, perkebunan, peternakan, dan perikanan. Tidaklah heran jika sebagian
besar kegiatan usaha yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia adalah kegiatan
usaha yang berkaitan dengan pertanian (agroindustri). Pengembangan agroindustri
merupakan pilihan yang sangat strategis dan menjadi semakin penting sejalan
dengan upaya pemerintah dalam mengembangkan sumber-sumber pertumbuhan
ekonomi baru di luar minyak dan gas.
Perkembangan teknologi pencegahan pencemaran lingkungan oleh industri
saat ini lebih banyak diarahkan pada pencegahan secara internal yaitu dengan cara
menerapkan teknologi produksi bersih. Namun, dengan menerapkan teknologi
pencegahan internal tidak berarti limbah dapat langsung dibuang ke lingkungan,
tetapi masih diperlukan pengolahan limbah yang dikombinasikan dengan
pengolahan limbah secara eksternal (end of pipe) dengan mendirikan sistem
Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) untuk mencapai baku mutu air limbah
yang dipersyaratkan oleh pemerintah. Standar baku mutu air limbah bagi kegiatan
industri diatur dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Kep.511/MENLH/101/1995. Adanya pengaturan ini untuk pengontrolan kegiatan
pembuangan air limbah yang tidak melampaui daya dukung lingkungan
penerimanya.
PT. XXX Indonesia adalah perusahaan makanan multi nasional dengan
produk utama berupa kecap manis, kecap asin, dan minuman ringan. Limbah yang
dihasilkan selama proses produksi adalah limbah cair, padat, dan gas. Limbah cair
yang dihasilkan antara lain berasal dari limbah produksi, serta limbah domestik.
Pengolahan air limbah dilakukan pada sistem IPAL (Instalasi Pengolahan Air
Limbah) yang terdiri atas 3 unit proses utama yaitu (1) proses fisik yang
dilakukan dengan pengendapan dan penyaringan padatan kasar yang tersuspensi
dalam air limbah, (2) proses kimiawi yang dilakukan dengan metode koagulasi
dan flokulasi air limbah yang bertujuan untuk pengaturan pH air limbah dan
memudahkan pengendapan padatan terlarut dalam air limbah dengan
pembentukan flok, (3) proses biologis yang dilakukan dengan metode lumpur
aktif dengan tujuan untuk mengurangi komponen organik terlarut dengan
pendegradasian mikroorganisme indigenous.
Proses lumpur aktif merupakan proses penanganan air limbah secara
biologis menggunakan bantuan mikroorganisme indigenous yang tumbuh secara
alami pada air limbah tersebut. Proses pengolahan lumpur aktif yang dilakukan
pada PT. XXX Indonesia terjadi dalam reaktor IPAL Cyclic Sequencing Aerobic
System (CSAS). Pada CSAS Tank, terdapat tiga tahapan yaitu tahap aerasi dan
pemberian nutrisi (NPK) untuk menjaga efektivitas pendegradasian material
organik terlarut oleh mikroorganisme indigenous, tahap pengendapan (settling)
sehingga didapatkan sludge tersuspensi, dan tahap pembuangan air limbah
(effluen) ke badan sungai. CCP (Critical Control Point) yang terdapat dalam
Page 15
2
pengolahan lumpur aktif terjadi pada tahap aerasi yaitu keterjaminan kecukupan
oksigen terlarut (Dissolve Oxygen) dan pemberian nutrisi (NPK) sehingga lumpur
(sludge) yang tersuspensi dalam air limbah dapat mengendap dengan baik.
Pada proses pengolahan lumpur aktif ini, hasil utama yang diperoleh berupa
padatan (sludge) yang mengandung biomassa beserta air limbah biologis yang
ikut terlarut. Proses penanganan limbah cair dilanjutkan dengan pemisahan antara
sludge dengan air limbah menggunakan proses pengepresan pada belt press
sehingga terpisah antara lumpur dan air limbah. Belt press berfungsi mengurangi
kadar air dalam lumpur dengan cara pengepresan dan memperoleh padatan
lumpur agar air buangan limbah dapat memiliki nilai TSS (Total Suspended Solid)
yang rendah dan layak dibuang ke badan sungai.
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, didapatkan bahwa lumpur yang
dibuang setelah proses pressing memiliki masalah tumbuhnya kapang. Hal ini
mengindikasikan bahwa lumpur masih mengandung senyawa organik kompleks
sehingga proses pendegradasian nutrisi yang dilakukan oleh mikroorganisme
indigenous belum selesai. Kondisi lumpur yang demikian ini akan menghambat
rencana perusahaan dalam upaya pembuatan nilai tambah sebagai pupuk untuk
produk CSR (Cooporate Social Responsibility), sehingga perusahaan dapat
mensinergikan kegiatan penanganan limbah menjadi suatu program yang dapat
berdampak meluas dan dirasakan secara langsung oleh lingkungan sosial sekitar.
Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan kombinasi
penanganan lumpur menggunakan proses-proses biologis (degradasi senyawa
kompleks dengan mikroorganisme indigenous) dan pemberian aerasi yang kontinu
(aerobic sludge digester) sehingga didapatkan kestabilan kandungan lumpur agar
siap untuk dikembangkan menjadi pupuk. Menurut Al-Ghusain et al. (2002),
stabilisasi sludge menggunakan proses aerobik berupa oksidasi biomassa
(nitrifikasi) yang menghasilkan CO2, H2O, dan hasil dari proses tranformasi
nitrogen berupa ion ammonium (NH4+) dan nitrat (NO3
-). Penggunaan
mikroorganisme indigenous dipilih untuk mendapatkan kultur isolat
mikroorganisme agen pendegradasian komponen kompleks dalam sludge, yang
memiliki kemampuan adaptasi lebih baik dibandingkan dengan menggunakan
kultur isolat mikroorganisme baru.
1.2 Perumusan Masalah
Pada pengolahan limbah cair secara biologis dengan metode lumpur aktif
terjadi perombakkan komponen organik secara aerobik menggunakan
mikroorganisme indigenous yang hidup di dalamnya. Dari proses lumpur aktif ini
dihasilkan 2 jenis produk limbah, yaitu limbah cair dan limbah padat berupa
lumpur yang merupakan endapan biomassa mikroorganisme indigenous dan
bahan organik yang belum terdegradasi sempurna. Hal ini menimbulkan
permasalahan manajemen lingkungan, karena sludge sebagai hasil samping
pengolahan limbah masih kaya senyawa organik kompleks sehingga akan
menyulitkan pemanfaatannya sebagai bahan baku pupuk. Oleh karena itu, pada
proses stabilisasi diberikan perlakuan menggunakan starter bakteri indigenous
yang mempunyai daya adaptasi tinggi dalam pendegradasian komponen organik
pada sludge. Bakteri indigenous memerlukan adanya pasokan udara untuk
Page 16
3
meningkatkan pertumbuhan mikroorganisme, karena itu penggunaan aerobic
digester diperlukan untuk meningkatkan kinerja stabilisasi sludge.
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menangani (menstabilkan) sludge agar dapat
dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan pupuk dengan menggunakan
berbagai jenis isolat bakteri indigenous yang berasal dari sludge sebagai starter
cair untuk mendegradasikan komponen organik yang terkandung.
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi beberapa pihak terutama bagi
Agroindustri yang ingin menyiapkan pengembangan pupuk CSR dari lumpur hasil
instalasi pengolahan air limbah (IPAL) sehingga dapat berdampak positif oleh
lingkungan fisik dan lingkungan sosial.
1.4 Ruang Lingkup Penelitian
Limbah yang distabilisasi berupa sludge yang diperoleh dari proses
pengolahan limbah secara biologis (lumpur aktif) yang berasal dari instalasi
pengolahan aiir limbah. Penggunaan starter cair bakteri proteolitik dan selulolitik
indigenous dalam proses pendegradasian dan stabilisasi komponen organik
kompleks yang diperoleh dari isolasi bakteri indigenous pada stabilisasi sludge
secara spontan.
2 METODE
2.1 Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan sejak bulan April hingga September 2013.
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Teknik Manajemen Lingkungan,
Laboratorium Dasar Ilmu Terapan dan Laboratorium Bioindustri, Departemen
Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian
Bogor.
2.2 Bahan
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah sludge dari
lumpur aktif IPAL industri pangan PT. XXX Indonesia. Lumpur aktif yang
didapatkan diperoleh pada saat proses settling (pengendapan). Bahan lain berupa
media spesifik untuk isolasi bakteri indigenous dan pertumbuhan mikroba berupa
yaitu PCA (Plate Count Agar), PDA (Potato Dextroxe Agar), CMC Agar, Nutrien
Page 17
4
Broth, Skimmed Milk Agar, Tributirin Agar, Starch Agar, garam fisiologis dan
bahan-bahan kimia untuk analisis.
2.3 Alat
Alat yang digunakan untuk degradasi dan stabilisasi sludge adalah reaktor
aerobik menggunakan aquarium kaca sebagai wadahnya, dan instrumen untuk
analisis meliputi spektrofotometer, pH meter, DO meter, COD reaktor, penyaring
vakum, clean bench, water bath shaker, inkubator bakteri (37oC), colony counter,
oven 105oC, tanur, dan autoclaf.
2.4 Metode Penelitian
2.4.1 Karakterisasi Sludge
Karakterisasi sludge meliputi kandungan komponen hara makro (nitrogen,
fosfor, kalium), C/N rasio, komponen proksimat (kadar air, kadar abu, kadar
protein, kadar lemak, kadar serat kasar, dan kadar karbohidrat), serta total gula
sederhana. Sebagai langkah awal untuk memulai pemanfaatan sludge dilakukan
juga uji potensi kandungan bahan berbahaya dan beracun (B3) menggunakan uji
LD50. Prosedur karakterisasi sludge tersaji pada Lampiran 1.
2.4.2 Dinamika Populasi dan Isolasi Mikroorganisme Indigenous pada
Stabilisasi Sludge secara Spontan
Mikroorganisme indigenous pada sludge merupakan mikroorganisme yang
sudah tumbuh secara alami. Pada tahap ini, sludge digunakan sebagai substrat
tanpa pengenceran. Pertumbuhan mikroorganisme diamati selama 4 hari inkubasi,
yang meliputi pertumbuhan bakteri, kapang dan khamir. Perhitungan jumlah
mikroorganisme untuk bakteri spesifik digunakan media spesifik sebagai berikut :
bakteri selulolitik (CMC agar), bakteri amilolitik (Starch agar), bakteri lipolitik
(Tributirin agar), dan bakteri proteolitik (Skimmed Milk agar). Dari tahap ini, akan
diperoleh kultur isolat mikroorganisme yang mendominasi pertumbuhan yang
kemudian akan digunakan sebagai starter untuk mendegradasi sludge pada tahap
selanjutnya. Perhitungan jumlah mikroorganisme ditentukan setelah 24 jam
inkubasi. Koloni mikroba yang mendominasi pada dinamika populasi diisolasi
dan dijadikan sebagai isolat untuk pembuatan starter cair. Prosedur penyiapan
media dan perhitungan jumlah mikroorganime tersaji pada Lampiran 2.
Page 18
5
2.4.3 Penyiapan Starter Cair Mikroorganisme Indigenous
Kultur isolat yang telah diperoleh dari tahap sebelumnya, ditentukan kurva
turbiditas untuk menetapkan fase eksponensial kultur. Kultur isolat selulolitik
ditumbuhkan pada CMC broth, sedangkan kultur isolat proteolitik ditumbuhkan
pada Skimmed Milk broth, yang diinkubasikan pada suhu 37oC untuk diamati
pertumbuhannya melalui pengukuran Optical Density (OD) pada λ 600 nm.
Pengamatan dilakukan pada jam ke-0 s/d jam ke-9, dan 24 jam.
Starter cair disiapkan dengan menambahkan inokulum bakteri proteolitik
dan selulolitik yang telah mencapai µmaks ke dalam sludge. Jumlah inokulum
bakteri proteolitik dan selulolitik pada inokulum bakteri proteolitik 1, inokulum
bakteri proteolitik 2, dan inokulum bakteri selulolitik yang ditambahkan masing-
masing sebesar 8.1 x109, 7.0 x 10
9 , dan 5.2 x 10
9 CFU/mL sludge. Inokulum
tersebut ditambahkan ke dalam sludge sebanyak 0.1% (v/v) dari sludge sehingga
konsentrasi bakteri proteolitik dan selulolitik pada sludge sebesar 106 CFU/mL
sludge.
2.4.4 Stabilisasi Sludge Menggunakan Starter Cair
Proses stabilisasi sludge digunakan reaktor aerobic digester diatur dengan
konsentrasi oksigen (DO) terlarut ≥ 2.00 mg/L. Pada penelitian ini disiapkan 6
buah reaktor berkapasitas 20 L yang dioperasikan secara batch. Perlakuan terdiri
atas: (1) tanpa penambahan starter (reaktor kontrol), (2) dengan penambahan
starter isolat bakteri indigenous proteolitik, dan (3) penambahan starter bakteri
indigenous selulolitik. Masing-masing perlakuan dilakukan dengan 2 kali ulangan.
Untuk reaktor kontrol, proses berlangsung secara spontan. Udara yang dialirkan
tidak melewati membran filter, dan outlet udara terbuka secara bebas, sedangkan
pada reaktor dengan penambahan starter, aliran udara dilewatkan pada membran
filter, dan outlet udara ditampung pada larutan etanol 70% agar proses stabilisasi
berlangsung secara aseptis. Adapun gambaran set-up reaktor aerobic digester
tersaji pada Gambar 1.
Page 19
6
Gambar 1 Set-up reaktor aerobic digester untuk proses stabilisasi sludge (a)
perlakuan tanpa penambahan starter dan (b) perlakuan dengan
menggunakan starter.
Starter bakteri selulolitik dan proteolitik disiapkan dari CMC broth dan
Skimmed Milk broth yang berada pada fase eksponensial (ditentukan pada tahap
2.4.3). Starter yang digunakan sebanyak 0.1 % (v/v) setara dengan 106 CFU/mL
sludge, diinokulasikan pada hari ke-10. Pengamatan dilakukan setiap 5 hari
hingga 30 hari, yang meliputi analisis jumlah mikroorganisme (bakteri selulolitik
dan proteolitik) dan total gula. Proses stabilisasi sludge juga memantau
perubahan parameter terhadap pH, ammonium, nitrat, total suspended solid (TSS),
volatile suspended solid (VSS), tingkat penyisihan VSS, CODtotal, dan CODsoluble
dari hari ke-0 hingga hari ke-30. Prosedur analisis karakteristik stabilisasi sludge
disajikan dalam Lampiran 3.
2.4.5 Potensi Aplikasi Produk Hasil Stabilisasi Sludge
Potensi penerapan metode stabilisasi sludge bagi industri pangan terkait
dengan mengukur seberapa besar pengaruh ketiga macam perlakuan yang
diberikan yaitu stabilisasi tanpa penambahan starter, stabilisasi dengan
penambahan starter isolat bakteri indigenous proteolitik, dan stabilisasi dengan
penambahan starter isolat bakteri indigenous selulolitik terhadap karakteristik
mutu pupuk. Pengujian yang dilakukan meliputi kandungan C/N ratio, nitrogen,
fosfor, dan kalium sehingga akan didapatkan sludge yang paling siap untuk
dikembangkan menjadi pupuk.
Page 20
7
3 HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Karakteristik Sludge
Limbah cair didefinisikan sebagai buangan cair hasil kegiatan manusia yang
berbentuk cairan (Darsono 1994). Kandungan limbah cair didominasi oleh air
beserta kontaminan (padatan terlarut) atau bahan-bahan cair seperti minyak,
residu senyawa-senyawa kimia, dan lain sebagainya.
Pengolahan limbah cair secara biologis menggunakan berbagai macam
mikroorganisme yang mengubah padatan yang tersuspensi (koloid) dan karbon
organik terlarut menjadi senyawa volatil dan biosolid (sludge). Pengujian
karakteristik sludge dilakukan untuk mendapatkan seberapa besar kandungan
bahan berbahaya beracun (B3). Menurut pengujian yang dilakukan oleh
perusahaan berdasarkan kandungan senyawa toksik LD50 (mg/kg) menunjukkan
bahwa sludge tidak mengandung komponen berbahaya karena memiliki LD50 >
15.000 mg/kg dengan nilai LD50 sebesar 19.945,68 mg/kg (Lampiran 1).
Berdasarkan Tabel 1, kandungan hara makro pada sludge memiliki nitrogen
sebesar 0.66%, fosfor sebesar 0.182%, kalium sebesar 0.171% dan C/N ratio
sebesar 9.25. Apabila data tersebut dibandingkan dengan standar pupuk menurut
BSN (2004) dalam SNI No 19-7030-2004 (Lampiran 4) menunjukkan bahwa
sludge berpotensi untuk dijadikan sebagai bahan baku dalam pembuatan pupuk.
Akan tetapi, sludge masih memiliki komponen organik yang masih tinggi
terutama kadar air, abu, protein kasar, serat kasar, dan gula sederhana masih tinggi
sehingga menyebabkan pertumbuhan kapang pada sludge setelah di pressing.
Tabel 1 Karakteristik sludge
Parameter Satuan Hasil SNI 19-7030-2004
1. Hara makro
Nitrogen
% b.b
0.66
min 0.4
Fosfor % b.b 0.182 min 0.1
Kalium % b.b 0.171 min 0.2
C/N Ratio - 9.25
10-20
2. Analisis proksimat
Air
% b.b
82.24
-
Abu % b.b 6.11 -
Protein Kasar % b.b 4.12 -
Lemak Kasar % b.b 0.016 -
Serat Kasar % b.b 5.82 -
Karbohidrat (by difference) % b.b 1.69 -
3. Kandungan gula
Gula Sederhana
mg/kg
347.82
-
Menurut Eckenfelder (2000) pengelolaan limbah cair pada industri harus
fokus dalam menghilangkan berbagai macam senyawa berbahaya pada komponen
limbah, salah satunya berupa senyawa organik terlarut yang akan menyebabkan
Page 21
8
terjadinya deplesi oksigen terlarut, kualitas senyawa organik terlarut akan
mengakibatkan kemampuan badan air untuk mendegradasi secara alamiah
menjadi terbatas. Teknologi mikrobiologi air limbah dimanfaatkan sebagai dasar
untuk mendegradasi senyawa organik yang terlarut dalam limbah cair
menggunakan berbagai jenis mikroorganisme untuk mengubahnya menjadi
sludge. Hal ini disebabkan sludge memiliki berat jenis yang lebih besar dari pada
air sehingga mengendap (Davis 2010). Dengan demikian, penggunaan proses
stabilisasi komponen organik dengan menggunakan beberapa mikroorganisme
dapat menghilangkan nutrien khususnya nitrogen dan fosfor yang akan
menghindari terjadinya dominasi pertumbuhan alga (eutrofikasi) yang akan
berdampak pada penyempitan badan sungai.
3.2 Dinamika Populasi Mikroorganisme Indigenous
Setiap spesies mikroorganisme akan tumbuh dengan baik di dalam
lingkungannya hanya selama kondisi lingkungannya menguntungkan bagi
pertumbuhannya dan untuk mempertahankan dirinya. Berdasarkan Gambar 2,
dinamika populasi mikroorganisme indigenous pada sludge diidentifikasi terdiri
atas mikroorganisme jenis bakteri, kapang dan khamir, mikroorganisme dengan
sifat selulolitik (pemecah selulosa), sifat proteolitik (pemecah protein), sifat
amilolitik (pemecah amilum), dan sifat lipolitik (pemecah lemak).
Davis (2010) menjelaskan bahwa bakteri dengan sifat aerobik
kemoheterotrof merupakan populasi terbesar dalam wastewater treatment process
(WWTP) khususnya pada pengolahan air limbah secara biologis. Setiap sel
bakteri indigenous, menggunakan soluble nutrient yang terkandung dalam air
limbah untuk pertumbuhannya. Karena bentuknya berukuran sangat kecil (surface
area per unit mass), maka bakteri melakukan metabolisme substrat lebih cepat,
populasi bakteri akan mendominasi kapang, kapang akan mendominasi protozoa.
Dinamika populasi mikroorganisme sangat dipengaruhi oleh keberadaan
nutrien untuk kelangsungan hidup mikroorganisme. Semua jenis mikroorganisme
membutuhkan air, sumber energi, karbon, nitrogen, dan mineral serta oksigen jika
0
1
2
3
4
5
6
7
8
0 2 4 6Log
jum
lah
se
l mik
roo
rgan
ism
e
ind
ige
no
us
(cfu
/ml)
Lama Inkubasi ( Hari )
Bakteri
Selulolitik
Proteolitik
Amilolitik
Lipolitik
Kapang
Gambar 2 Dinamika populasi dari pertumbuhan spontan mikroba indigenous
Page 22
9
mikroorganisme aerobik. Berdasarkan informasi dari Tabel 1, diperoleh bahwa
kandungan kadar air sebesar 82.24% (b.b), kadar protein sebesar 4.12% (b.b),
kandungan serat kasar sebesar 5.82% (b.b) dan kandungan lemak sebesar 0.016 %
(b.b). Informasi tersebut menunjukkan masih tersisa komponen organik kompleks
yang dapat dijadikan substrat oleh mikroorganisme dalam pertumbuhan alaminya.
Pada Gambar 2, diidentifikasikan populasi pertumbuhan bakteri lebih besar
dibandingkan populasi pertumbuhan kapang. Hal ini disebabkan, daya adaptasi
bakteri pada lingkungan dengan kadar air yang tinggi sebesar 80-90 % (b.k) lebih
baik dibandingkan dengan kapang. Kapang lebih tahan pada kondisi kering dan
menyukai kondisi lingkungan yang asam. Kandungan serat kasar dan protein yang
besar akan berbanding lurus dengan jumlah bakteri dengan sifat selulolitik dan
proteolitik. Sedangkan kandungan lemak yang rendah menyebabkan bakteri
dengan sifat lipolitik memiliki pertumbuhan yang rendah. Hal ini menunjukkan
adanya korelasi antara jumlah nutrien sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan
mikroba dengan sifat spesifik memiliki hubungan yang berbanding lurus.
Berdasarkan pengukuran dinamika populasi, diperoleh bahwa log jumlah
mikroorganisme indigenous yang dominan berupa mikroorganisme bersifat
proteolitik dan selulolitik yang masing-masing berjumlah 6.29 x 105 CFU/mL
sludge dan 6.14 x 105 CFU/mL sludge pada saat inkubasi hari ke-4.
3.3 Penyiapan Starter Cair Mikroorganisme Indigenous
Isolasi bakteri indigenous dalam lumpur aktif yang diambil dari IPAL PT.
XXX Indonesia pada tahapan pengolahan air limbah secara biologis. Kultur isolat
bakteri indigenous yang berhasil didapatkan terdiri atas kultur isolat proteolitik-1
(isolat 1), kultur isolat proteolitik-2 (isolat 2), dan kultur isolat selulolitik (isolat
3).
Kurva turbiditas bakteri indigenous proteolitik dan selulolitik dengan diukur
untuk menentukan fase eksponensial bakteri indigenous proteolitik dan selulolitik.
Bakteri indigenous proteolitik dan selulolitik mencapai kecepatan spesifik
maksimum (µmaks) pada jam ke-5 (isolat 1), jam ke-7 (isolat 2) dan jam ke-8
(isolat 3). Bakteri indigenous proteolitik masih berada pada fase lag pada jam ke-0
hingga jam ke-4. Kemudian berada pada fase eksponensial setelah jam ke-4
hingga jam ke-7 dan memasuki fase pertumbuhan diperlambat setelah jam ke-7.
Sedangkan bakteri selulolitik berada fase lag saat jam ke-0 hingga jam ke-3.
Kemudian bakteri selulolitik berada pada fase eksponensial setelah jam ke-3
hingga jam ke-8 dan memasuki fase pertumbuhan diperlambat setelah jam ke-8.
Starter bakteri proteolitik dan selulolitik siap digunakan untuk degradasi sludge
saat bakteri mencapai kecepatan spesifik maksimum (µmaks). Adapun kurva
turbiditas bakteri proteolitik dan selulolitik disajikan pada Gambar 3.
Page 23
10
Gambar 3 Kurva turbiditas isolat bakteri indigenous menggunakan media cair
spesifik skimmed milk-broth isolat 1 ( ) dan isolat 2 ( ) dan
CMC-broth untuk isolat 3 ( ).
Berdasarkan informasi dari Gambar 2, diperoleh bahwa pertumbuhan
mikroorganisme sudah terjadi pada inkubasi 24 jam. Hal ini menunjukkan bahwa
pertumbuhan mikroorganisme indigenous berlangsung cepat. Sehingga, kurva
turbiditas dari mikroorganisme indigenous dominan berupa bakteri proteolitik dan
bakteri selulolitik pada jam pertama sudah menunjukkan pertumbuhan walaupun
masih dalam tahapan adaptasi (fase lag). Kultur isolat bakteri indigenous
proteolitik dan selulolitik yang digunakan untuk pembuatan starter, diperoleh dari
seleksi isolat unggul yang ditumbuhkan dalam media spesifik dengan
menggunakan teknik pengenceran serial dari biakan murni (mikroorganisme
indigenous dalam sludge).
Stanbury dan Whitaker (1984) menjelaskan starter yang baik harus
memenuhi kriteria (1) terdiri dari mikroba aktif yang dapat meminimalkan fase
lag, (2) mikroba harus tersedia dalam jumlah yang cukup sehingga memenuhi
ukuran optimum starter (3-10% v/v), (3) kondisi fermentasi harus bebas dari
kontaminasi, (4) berada dalam morfologi yang sesuai, dan (5) mampu membentuk
produk yang tetap. Artinya, kemampuan mikroba untuk dijadikan starter yang
baik sangat bergantung dari pilihan menggunakan media pertumbuhan.
Lumpur aktif adalah produk pengolahan limbah cair secara biologis yang
berasal dari IPAL industri. Davis (2010) melakukan penelitian menggunakan
mixed culture growth untuk mengetahui komunitas mikroorganisme yang berada
pada limbah cair industri. Berdasarkan penelitian tersebut diketahui bahwa faktor
utama dalam dinamika variasi populasi mikroba adalah kompetisi untuk
mendapatkan substrat (komponen organik). Faktor kedua yang terpenting adalah
faktor keberadaan predator. Ketika ketersediaan substrat berupa soluble organic
menjadi terbatas, maka populasi bakteri dalam bereproduksi menjadi terhambat
dan populasi predator meningkat.
Davis (2010) menambahkan, dalam kondisi sistem tertutup dimana dengan
inokulum yang ada, bakteri akan mengalami pertumbuhan yang meningkat,
kemudian mengalami pertumbuhan stationer hingga penurunan, substrat yang
tersisa didepupukisi kembali oleh bakteri yang berbeda.
0
0,2
0,4
0,6
0,8
1
1,2
1,4
1,6
1,8
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24
Tu
rbid
itas
( O
pti
cal
Den
sity
)
Waktu (jam)
Page 24
11
Proses degradasi secara spontan membutuhkan waktu degradasi yang lama.
Penambahan starter cair bakteri proteolitik dan selulolitik pada proses degradasi
lumpur diharapkan dapat meningkatkan laju degradasi yang terjadi. Peningkatan
laju degradasi tersebut akan mempersingkat waktu degradasi sehingga waktu
untuk proses stabilisasi sludge menjadi lebih cepat dan stabil. Proses degradasi
pada penelitian ini menggunakan starter cair bakteri indigenous proteolitik dan
selulolitik.
3.4 Stabilisasi Sludge Menggunakan Starter Cair
Aerobic digestion umumnya dapat diaplikasikan untuk menstabilkan
secondary treatment sludge (lumpur aktif). Hal ini disebabkan, lumpur aktif
mengandung padatan biologis yang dominan dan sangat penting untuk
mendegradasikan lumpur aktif tersebut. Untuk penanganan lumpur dari primary
treatment lebih ekonomis menggunakan anaerobic digestion karena sebagian
besar komponennya terdiri dari non-mikrobial organik sehingga harus dikonversi
ke bentuk biomasa.
Penyediaan oksigen terlarut agar memenuhi persyaratan DO (dissolve
oxygen) ≥ 2.00 mg/L digunakan air blower yang umumnya dimanfaatkan untuk
aerasi kolam. Pertimbangan menggunakan blower selama proses stabilisasi
berlangsung (15-30 hari) adalah kemampuan kontinuitas pasokkan aerasi.
Pengukuran DO awal rata-rata pada reaktor kontrol, reaktor dengan penambahan
starter proteolitik dan reaktor dengan penambahan starter selulolitik secara
berturut-turut sebesar 2.97 mg/L, 3.02 mg/L, dan 2.91 mg/L. Pengecekkan DO
awal ini bertujuan untuk memastikan suplai oksigen sudah merata dan DO sesuai.
Proses depupukisi padatan terlarut secara aerobik sangat bergantung pada
dissolved oxygen (DO). Ketika ketersediaan oksigen tercukupi, maka mikroba
akan menangkap energi tersebut menggunakan elektron aseptor yang berupa
oksigen. Energi tersebut diperoleh dari proses transfer energi yang dilakukan oleh
elektron carrier. Ketersediaan energi ini, digunakan untuk pertumbuhan mikroba
aerob (Rittman dan McCarty 2001). Stanbury dan Whitaker (1984) menambahkan
jika dissolved oxygen kurang dari critical dissolved oxgen (0.004 - 0.022 mg/L)
maka proses metabolisme mikroba akan terganggu. Dengan demikian, pemberian
aerasi dilakukan untuk pengoptimuman kinerja mikroba.
Stanbury dan Whitaker (1984) menjelaskan dalam pendesainan fermentor
harus mempertimbankan kemampuan aerasi, agitasi, evaporasi dan keterjaminan
aseptis yang merupakan fungsi dasar dari fermentor agar dapat mengontrol
lingkungan untuk pertumbuhan mikroba. Sistem agitasi yang digunakan pada
penelitian ini menggunakan agitator non-mekanis (air lift) yaitu dengan
memanfaatkan gelembung-gelembung udara untuk meningkatkan laju
perpindahan massa menembus film pembatas antara cairan dan gelembung udara
sehingga turbulensi dan efisiensi pencampuran mikroba dengan substratnya
meningkat. Kondisi aseptis dilakukan dengan mengendalikan sistem pemasokan
oksigen (aerasi) dan pengeluaran udara.
Pertumbuhan makhluk hidup dapat ditinjau dari 2 sudut, yakni pertumbuhan
individu (sel) dan pertumbuhan kelompok sebagai satu populasi. Menurut Waluyo
Page 25
12
(2007) pada mikroorganisme, pertumbuhan individu (sel) dapat berubah langsung
menjadi pertumbuhan populasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan
mikroorganisme yang bersifat heterotrof adalah tersedinyanya nutrien, air, suhu,
pH, oksigen, dan adanya mikroorganisme yang lain.
Pada sistem batch, inokulasi sel di dalam media nutrisi dilakukan hanya satu
kali sehingga terdapat fase pertumbuhan lengkap mulai dari fase lag hingga fase
kematian. Pertumbuhan pada kultur batch merupakan suatu proses yang selalu
berakhir setelah waktu tertentu dan biasanya dalam interval waktu yang pendek
(Sa’id 1987). Pertumbuhan pada kultur batch dalam penelitian degradasi dan
stabilisasi lumpur aktif dilakukan dengan memasukkan starter (inokulum aktif)
ketiga isolat yang telah dibuat yaitu inokulum bakteri proteolitik 1, inokulum
bakteri proteolitik 2, dan inokulum bakteri selulolitik yang dilakukan secara
aerobik.
3.4.1 Populasi Mikroorganisme
Analisis mikroorganisme pada cairan stabilisasi sludge meliputi bakteri
indigenous proteolitik, dan bakteri indigenous selulolitik. Bakteri tersebut
dihitung pertumbuhan koloninya sejak ditambahkan starter hingga stabilisasi
berakhir yaitu pada hari ke 10, 15, 20, 25 dan 30 mengalami penurunan (Gambar
4). Jumlah bakteri indigenous proteolitik dan selulolitik pada cairan stabilisasi
sludge tertinggi pada hari ke-15 masing-masing sebesar 8.46 x 106 CFU/mL dan
8.54 x 106
CFU/mL dan terendah pada hari ke-30 sebesar 7.01 x 106 CFU/mL
untuk pertumbuhan koloni bakteri indigenous proteolitik dan 6.96 x 106 CFU/mL
untuk pertumbuhan koloni bakteri indigenous selulolitik.
Gambar 4 Pertumbuhan mikroorganisme spesifik pada proses stabilisasi yang di
inokulasikan kultur isolat proteolitik atau selulolitik
Peningkatan jumlah bakteri indigenous protolitik dan selulolitik pada selang
waktu hari ke-10 dan ke-15 terjadi akibat pengaruh penambahan starter cair
bakteri indigenous yang menyebabkan jumlah bakteri indigenous dengan sifat
proteolitik dan selulolitik meningkat. Pada selang waktu tersebut, fase adaptasi
bakteri indigenous akan berlangsung cepat sehingga bakteri indigenous langsung
mengalami pertumbuhan cepat (fase eksponensial).
0
0,5
1
1,5
2
2,5
0 5 10 15 20 25 30 35Lo
g J
um
lah
Mii
kro
org
an
ism
e
Ind
igen
ou
s (
CF
U/m
l )
Lama Aerasi ( hari )
Proteolitik ( P )
Selulolitik ( S )
Page 26
13
Penurunan jumlah bakteri indigenous proteolitik dan selulolitik disebabkan
kandungan nutrisi yang semakin sedikit pada cairan stabilisasi sludge sehingga
pertumbuhan mikroorganisme terhambat akibat kompetisi perebutan nutrisi yang
mengakibatkan bakteri berada dalam fase stasioner setelah hari ke-15 kemudian
memasuki fase kematian setelah hari ke-20.
3.4.2 Total Gula
Berdasarkan informasi dari Tabel 1, menunjukkan kandungan gula
sederhana di dalam sludge masih tinggi yaitu mencapai 347.82 mg/kg. Tingginya
kandungan gula sederhana akan menyebabkan pertumbuhan mikroorganisme
indigenous yang tidak diharapkan pada sludge.
Proses stabilisasi sludge secara aerobik akan menurunkan kandungan
organik akibat proses degradasi mikroba indigenous.Proses degradasi mikroba
indigenous secara aerobik akan mengonsumsi gula sederhana dan mengurai
senyawa kompleks menjadi senyawa yang lebih sederhana.
Gambar 4 menunjukkan bahwa secara umum, semakin lama proses aerasi
berlangsung akan terjadi penurunan jumlah koloni isolat bakteri indigenous yang
tumbuh. Seiring dengan penurunan kandungan bakteri indigenous yang hidup
menurun, nilai total gula cairan stabilisasi sludge pada lumpur aktif yang
didegradasi juga terlihat mengalami penurunan. Dengan demikian lama aerasi
berpengaruh terhadap total gula cairan stabilisasi sludge. Semakin lama aerasi,
total gula semakin menurun.
Gambar 5 juga menunjukkan terjadinya perubahan pola konsumsi total gula
terlarut. Pada reaktor kontrol (C) dan reaktor proteolitik (P) terlihat bahwa lama
proses aerasi akan menyebabkan penurunan kandungan total gula yang dimulai
pada hari ke-10 hingga hari terakhir. Sementara pada reaktor selulolitik (S) terjadi
kenaikkan kandungan total gula sejak hari ke-10 hingga hari ke-15, kemudian
diikuti penurunan setelah hari ke-15 hingga hari ke-25, sedangkan pada hari ke-15
sampai hari terakhir diperoleh kandungan total gula mengalami penurunan
kembali.
Kondisi total gula mengalami penurunan seiring dengan lama waktu aerasi
menunjukkan adanya penggunaan gula yang terkandung dalam air limbah untuk
dikonsumsi oleh mikroorganisme indigenous. Mikroorganisme yang tumbuh,
menggunakan karbohidrat sebagai sumber karbon primer, walaupun komponen
organik lainnya yang mengandung karbon masih dapat digunakan yang turut
mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme.
Adapun pada reaktor selulolitik (S) mengalami kenaikkan kandungan total
gula pada hari ke-10 hingga ke-15, apabila dibandingkan dengan reaktor kontrol.
Hal ini dapat disebabkan bakteri selulolitik cenderung mengeluarkan enzim
selulase untuk menguraikan selulosa dan hemiselulosa yang merupakan golongan
polisakarida menjadi selobiosa (disakarida) dan glukosa sehingga menyebabkan
ikut terukur sebagai total gula. Dalam pengukuran total gula, senyawa yang
terkandung merupakan gula-gula sederhana, oligosakarida dan turunanya dapat
bereaksi dengan fenol dan asam sulfat pekat.
Page 27
14
Gambar 5 Kandungan total gula cairan stabilisasi sludge
Aktivitas bakteri proteolitik dan selulolitik menunjukkan kemampuan
degradasi komponen kompleks yang berasal dari bahan baku (Tabel 1) berupa
4.12% protein (b.b) dan 5.82% selulosa (b.b) berupa serat-serat kasar menjadi
gula-gula yang lebih sederhana. Proses degradasi protein dan selulosa
menyebabkan kenaikkan kandungan total gula pada hari ke-25 hingga hari ke-30.
Kecenderungan naiknya nilai total gula pada hari ke-25 hingga hari ke-30
pada reaktor kontrol, proteolitik dan selulolitik yang mengalami kenaikkan
kembali akibat dari aktifitas enzim yang mulai terinduksi kembali untuk mencerna
senyawa organik yang masih tersisa dalam substrat.
Menurut Mandels (1982) yang mengatakan bahwa enzim kompleks selulase
yang dihasilkan oleh mikroorganisme selulolitik memiliki kemampuan untuk
memecah selulosa menjadi glukosa sehingga mudah dicerna. Hemiselulosa
merupakan polisakarida yang berbentuk amorf sehingga mempunyai tingkat
degradasi lebih baik bila dibandingkan selulosa dan lignin. Hal ini mengakibatkan
hemiselulosa di dalam bahan lebih mudah dihidrolisis oleh bakteri selulolitik.
Adanya serat yang dihidrolisis ini mengakibatkan glukosa dan gula sederhana
dalam bahan bertambah.
3.4.3 Perubahan pH
Nilai pH cairan stabilisasi sludge pada reaktor C, P, dan S mengalami
perubahan yang cenderung stabil berada pada range 6.50 – 7.50 seiring dengan
lama pemberian aerasi. Selama proses aerasi terjadi sedikit penurunan pH sejak
hari ke-0 hingga hari ke-5, kemudian mengalami kenaikkan sejak hari ke-10
hingga hari ke-20. Selanjutnya, cairan stabilisasi sludge setelah hari ke-20
memiliki nilai pH menurun pada hari ke-25.
Informasi dari Gambar 6 menunjukkan penurunan pH dapat disebabkan oleh
adanya produksi asam-asam organik sebagai akibat dari proses biokimia dengan
mengubah total gula terlarut menjadi asam-asam organik (Hidayat 2006). Data
total gula yang tersaji pada Gambar 5, terlihat hubungan proses biokimiawi
perubahan kandungan gula menjadi asam organik. Selama proses penurunan total
gula maka asam organik semakin banyak terbentuk, yang mengakibatkan
0
20
40
60
80
100
120
140
0 5 10 15 20 25 30 35
Ka
nd
un
ga
n T
ota
l G
ula
( m
g/L
)
Lama Aerasi ( Hari )
Control ( C )
Proteolitik ( P )
Selulolitik ( S )
Page 28
15
penurunan nilai pH. Demikian juga sebaliknya, semakin meningkat total gula,
asam organik semakin sedikit. Proses biokimiawi akibat penguraian protein
menjadi asam amino dan lemak menjadi asam lemak juga dapat mempengaruhi
penurunan nilai pH.
Gambar 6 Perubahan pH akibat aktivitas mikroorganisme
Penelitian Himanen dan Hanninen (2011) melaporkan, proses degradasi
mikrobial pada aerobic sludge dapat menyebabkan transformasi nitrogen dari
biomassa (sludge) menjadi senyawa amonium (NH4+) yang selanjutnya berubah
menjadi nitrat (NO3-) yang akan berdampak pada berbagai aspek seperti
perubahan pH, temperatur, dan C/N rasio.
Kecenderungan naiknya nilai pH dapat diakibatkan adanya peran bakteri
nitrifikasi pada sludge yang mulai meningkat setelah hari ke-10 hingga hari ke-20
yang kemudian mengalami kenaikkan kembali setelah aerasi hari ke-25. Pola
perubahan pH ini dapat dikaitkan dengan pola konsumsi ammonium dan nitrat
yang dilakukan oleh bakteri yang dimanfaatkan sebagai sumber nitrogen untuk
pertumbuhannya. Pada mulanya, penurunan pH terjadi saat ammonium
dikonsumsi oleh bakteri yang disebabkan karena ion NH4+ bergabung dengan sel
bakteri dengan melepaskan ion H+, selanjutnya pH mulai meningkat saat nitrat
dikonsumsi oleh bakteri.
Meskipun terjadi perubahan nilai pH akibat pengaruh adanya pembentukkan
asam organik dan proses transformasi nitrogen (nitrifikasi), kondisi pH cairan
fermentasi sludge masih memasuki range standar kondisi kinerja sludge yaitu 6.5-
8.0 (Benefield dan Randall 1980).
3.4.4 Perubahan Ammonium (NH4+) dan Nitrat (NO3
-)
Nitrogen adalah senyawa yang tersebar secara luas di biosfir. Atmosfir bumi
mengandung sekitar 78% gas nitrogen. Pada sistem perairan, senyawa nitrogen
dapat berupa nitrogen organik dan nitrogen anorganik.Nitrogen organik berupa
asam amino, protein, dan urea, sedangkan nitrogen anorganik terdiri atas amonia
(NH3), ammonium (NH4), nitrit (NO2-), nitrat (NO3
-), dan nitrogen (N2).
Kondisi perubahan ammonium dan nitrat pada sludge yang tersaji pada
Gambar 7, memiliki hubungan sebab akibat. Saat mulai aerasi hingga hari ke-20,
6,606,706,806,907,007,107,207,307,407,507,60
0 5 10 15 20 25 30 35
pH
Lama Aerasi ( Hari )
Control ( C )
Proteolitik ( P )
Selulolitik ( S )
Page 29
16
nilai ammonium cenderung meningkat, hal ini disebabkan senyawa nitrogen
organik dalam biomassa / lumpur aktif mengalami proses ammonifikasi sehingga
terbentuk ammonium, sehingga senyawa ammonium yang meningkat akan
dioksidasi menjadi nitrat yang memiliki kecenderungan menurun pada hari yang
sama. Setelah hari ke-20 sampai aerasi berakhir, pola perubahan ammonium
mengalami peningkatan kemudian penurunan sehingga nitrat yang terbentuk
semakin menurun kemudian mengalami peningkatan nitrat sampai aerasi berakhir.
Pola perubahan porsi ammonium juga dapat disebabkan adanya pengaruh pH
selama proses nitrifikasi berlangsung. Semakin meningkat nilai pH, akan
menyebabkan porsi amonia (NH3) meningkat yang akan berdampak pada
penurunan porsi ammonium (NH4+).
(a)
(b)
Gambar 7 Transformasi nitrogen (a) ammonium – NH4+ menjadi (b) nitrat – NO3
-
selama proses stabilisasi sludge
Selama selang hari ke-20 hingga hari ke-30 terlihat bahwa reaktor kontrol
(C) memiliki kecenderungan perubahan nitrat yang berbeda dengan reaktor
proteolitik (P) dan selulolitik (S). Hal ini disebabkan pada hari ke-25 nitrat yang
0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
500
0 5 10 15 20 25 30 35
Am
mo
niu
m (
mg
/L )
Lama Aerasi ( hari )
Control ( C )
Protolitik ( P )
Selulolitik ( S )
0
1
2
3
4
5
6
7
8
0 5 10 15 20 25 30 35
Ka
nd
un
ga
n N
itra
t (
mg
/L )
Lama Aerasi ( Hari )
Control ( C )
Proteolitik ( P )
Selulolitik ( S )
Page 30
17
terbentuk telah mengalami perubahan menjadi nitrogen bebas (N2), kemudian
pada selang hari ke-25 hingga hari ke-30 mengalami kenaikkan sebagai akibat
dari masih berlangsungnya proses nitrifikasi. Penurunan nilai nitrat menandakan
nitrat mulai tereduksi / teriliminasi. Kenaikkan nilai nitrat yang disertai dengan
penurunan ammonium mengindikasikan bahwa proses nitrifikasi berlangsung
efektif.
Penelitian Okuman (2009) melaporkan proses penyisihan nitrogen dalam
stabilisasi sludge yang dilakukan oleh mikroorganisme indigenous dimulai dari
tahapan degradasi sludge dengan mengubah karakteristik dari sludge (biomassa)
menjadi ammonium, kemudian diubah menjadi nitrat dan menguap menjadi
nitrogen bebas sebagai hasil dari proses stabilisasi. Hal ini mengindikasikan
bahwa stabilisasi sludge turut menyediakan sumber karbon untuk dipakai sebagai
aktivitas pendegradasian yang akan berjalan lambat selama periode stabilisasi.
Gambar 7 menunjukkan terjadinya proses pendegradasian yang berjalan
lambat setelah hari ke-20 diakibatkan adanya penurunan aktifitas degradasi akibat
terjadi kematian sel dan proses pembusukkan. Penelitian Himanen dan Hanninnen
(2010) menjelaskan bahwa proses stabilisasi secara aerobik akan mempengaruhi
persaingan dengan mikroorganisme yang lebih dominan populasinya,dengan
pertimbangan adanya persaingan populasi mikroorganisme untuk melakukan
respirasi.
Menurut Snape (1995), proses transformasi nitrogen terjadi setelah proses
transformasi fosfor. Nitrogen merupakan nutrien terpenting setelah fosfor yang
dapat menjadi faktor pembatas pada air. Ketersediaan nitrogen dalam air
diasumsikan sebagai dissolved nitrogen, ion ammonium, nitrat, nitrit, yang
merupakan penyusun nitrogen dalam komponen organik. Sebagaimana yang
ditunjukkan pada Nitrogen yang terdapat di atmosfir dapat dibentuk oleh mikroba
yang hidup dalam air dan tanah, dan dapat terlepas ke atmosfer melalui proses
denitrifikasi yang dilakukan oleh bakteri denitrifier.
Penelitian Kim et al. (2002) melaporkan selama proses stabilisasi sludge
biologis menggunakan aerobic digestion berlangsung, nitrogen yang tersisihkan
akan menjadi lebih rendah daripada penyisihan VSS. Hal ini disebabkan asam
amino yang telah terbentuk selama proses stabilisasi sludge diubah menjadi
ammonium dan nitrat dan sebagian besar diuapkan menjadi senyawa volatil
berupa nitrogen bebas dan VFA (Volatile Fatty Acid) yang merupakan hasil
samping dari proses perubahan biokimiawi nitrogen.
3.4.5 Penurunan Suspended Solids (TSS dan VSS)
Pada penelitian ini, dilakukan pengujian nilai VSS dan TSS sebagai
parameter yaitu pengukuran performa dari stabilisasi sludge dalam mengetahui
besarnya penyisihan fraksi organik dan anorganik yang terkandung. Secara umum
cairan stabilisasi sludge yang tersaji pada Gambar 8, memiliki nilai TSS dibawah
30 mg/L sesuai dengan Peraturan Gubenur Provinsi DKI Jakarta Nomor 122
tahun 2005. Hal ini menandakan proses stabilisasi sludge mampu melakukan
penyisihan nilai TSS dengan baik.
Konsentrasi TSS dan VSS pada selang aerasi hari ke-0 hingga hari ke-5
mengalami kenaikkan. Hal ini dapat terjadi akibat proses penyesuaian
Page 31
18
mikroorganisme indigenous dalam lingkungan yang baru. Akibatnya proses
flokulasi biologis yang terjadi secara spontan masih belum optimal. Sehingga,
biomassa mikroba indigenous masih tersuspensi dalam cairan sludge.
(a)
(b)
(c)
Gambar 8 Pengaruh lama aerasi terhadap (a) konsentrasi TSS, (b) konsentrasi
VSS, dan (c) penyisihan VSS selama stabilisasi sludge.
0
2
4
6
8
10
12
14
0 5 10 15 20 25 30 35
Ko
nse
ntr
asi
T
SS
( m
g/L
)
Lama Aerasi ( hari )
Control (C)
Proteolitik (P)
Selulolitik (S)
0
2
4
6
8
10
12
14
0 5 10 15 20 25 30 35
Ko
nse
ntr
asi
V
SS
(m
g/L
)
Lama Aerasi ( hari )
Control ( C )
Proteolitik ( P )
Selulolitik ( S )
0
20
40
60
80
100
120
0 5 10 15 20 25 30 35
Pen
yis
iha
n V
SS
(%
)
Lama Aerasi ( hari )
Control (C)
Proteolitik (P)
Selulolitik (S)
Page 32
19
Penurunan konsentrasi TSS dan VSS pada 3 perlakuan yang diberikan,
mulai terjadi pada hari ke-10. Tingkat penurunan konsentrasi komponen organik
pada TSS dan VSS yang paling cepat mencapai kestabilan sludge secara berturut-
turut terjadi pada reaktor kontrol (C) kemudian reaktor proteolitik (P) dan reaktor
selulolitik (S). Hal ini dapat terjadi karena pada reaktor kontrol proses degradasi
dilakukan secara alami oleh konsorsium mikroorganisme indigenous yang terlarut.
Sehingga reaktor kontrol lebih cepat mencapai kestabilan yang dimulai setelah
hari ke-15. Sedangkan kondisi penyisihan pada reaktor proteolitik dan selulolitik
memiliki kecepatan penyisihan yang lebih rendah dibandingkan pada reaktor
kontrol karena pada penurunan dari hari ke-10. Hal ini dapat disebabkan,
pemberian starter bakteri proteolitik dan selulolitik mulai diberikan pada waktu
tersebut, sehingga starter bakteri indigenous tersebut masih dalam tahap fase
penyesuaian (adaptasi).
Benefield dan Randall (1980) menjelaskan didalam pengukuran effektivitas
kinerja stabilisasi sludge dapat diasumsikan bahwa tingkat pembusukkan atau
degradasi material organik yang diplotkan sebagai nilai volatile suspended solid
(VSS) dan total suspended solid (TSS) akan mengalami penurunan (degradasi
senyawa organik) hingga mencapai kestabilan selama proses aerasi berlangsung.
Material organik pada akhir proses stabilisasi dinyatakan sebagai fraksi organik
yang merupakan penurunan nilai VSS (mg/L) dari kandungan TSS yang
teroksidasi pada saat pembakaran 500-600oC. Sehingga meninggalkan residu
berupa fraksi anorganik (abu). Fraksi padatan anorganik yang terukur merupakan
sejumlah sel mikroorganisme indigenous yang telah mati (pada sludge) yang akan
diperoleh ketika mencapai maksimum stabilisasi (pada 15-20 hari).
Gambar 8 menunjukkan hubungan antara konsentrasi TSS (a) dan
konsentrasi VSS (b) dengan membandingkan rasio penyisihan VSS (c). Pola
penyisihan padatan organik (suspensi sludge) cenderung mengalami penurunan
sejak hari ke-5 hingga ke-15, kemudian mengalami kestabilan setelah hari ke-15
hingga stabilisasi berakhir. Efektivitas degradasi sludge terendah terjadi pada
perlakuan stabilisasi dengan penambahan starter bakteri selulolitik pada
konsentrasi TSS awal sebesar 7.48 mg/L yang menurun menjadi 1.18 mg/L saat
periode stabilisasi berakhir (hari ke-30).
Adapun rasio penyisihan VSS pada stabilisasi sludge menggunakan starter
cair bakteri selulolitik, memiliki penurunan VSS/TSS dari 72.3% (hari ke-0)
hingga mencapai penyisihan 17.3%. Artinya pada hari ke-30 bakteri selulolitik
hanya mampu mendegradasi komponen organik sebesar 17.3% dari total padatan
terlarut, sedangkan rasio penyisihan VSS hari ke-30 untuk perlakuan kontrol
sebesar 48.7% serta rasio penyisihan VSS pada perlakuan dengan penambahan
starter bakteri proteolitik sebesar 67.0% kemampuan mendegradasi bahan organik.
Pada perlakuan stabilisasi dengan penambahan starter bakteri proteolitik memiliki
tingkat penyisihan tertinggi yang disebabkan adanya pembentukkan asam-asam
amino dari aktivitas bakteri proteolitik.
Penelitian Liu et al. (2011) menjelaskan bahwa penyisihan VSS
dipengaruhi oleh adanya senyawa VFA (Volatile Fatty Acid) termasuk
diantaranya asam butirat yang terbentuk. Pembentukan VFA berlangsung dalam
biochemical metabolite pathway (Gambar 9) dengan mengurai protein menjadi
Page 33
20
asam amino yang kemudian mengalami proses deaminasi sehingga terbentuk
VFA.
Gambar 9 Perubahan biokimia protein, karbohidrat dan lipid dalam biochemical
metabolite pathway (Liu et al 2011)
3.4.6 Perubahan Nilai Chemical Oxygen Demand (COD)
Chemical Oxgen Demand (COD) atau Kebutuhan Oksigen Kimia
merupakan salah satu metode untuk mengukur jumlah material organik (karbon
organik total non aromatik) yang terlarut dalam suatu larutan. Pada umumnya air
limbah memiliki kandungan oksigen yang rendah. Hal ini terjadi karena oksigen
yang terlarut di dalam air limbah tersebut diserap oleh mikroorganisme
indigenous untuk memecah atau mendegradasi bahan organik yang direaksikan
menggunakan oksigen terlarut sehingga menjadi mudah menguap (yang ditandai
dengan bau tidak sedap).
Penelitian Okuman (2009) menjelaskan konsentrasi biomassa awal dari
lumpur aktif dapat diidentifikasi dari nilai mg sel COD/L. Konsentrasi biomassa
awal pada penelitian stabilisasi sludge (Gambar 10) total COD sebesar 10350 mg
COD/L dan soluble COD sebesar 8713 mg COD/L yang terus mengalami
penurunan hingga proses stabilisasi berakhir.
Gambar 10 menunjukkan semakin lama waktu aerasi semakin turun nilai
total COD. Hal ini menunjukkan bahwa total COD yang dihasilkan mulai
tersisihkan akibat degradasi yang dilakukan oleh mikroorganisme indigenous
dengan memecah senyawa organik kompleks menjadi senyawa yang lebih
sederhana. Selain itu, mikroorganisme indigenous juga melakukan metabolisme
secara aerobik dengan menghasilkan CO2. Meskipun demikian, pada hari ke-5
Page 34
21
nilai total COD baik pada reaktor control, proteolitik, dan selulolitik mengalami
kenaikkan yang disebabkan proses adaptasi mikroba indigenous terhadap
lingkungan baru sehingga aktivitas mikroba tersebut masih belum berjalan normal.
Adapun nilai soluble COD menunjukkan semakin lama proses aerasi berlangsung,
semakin bertambah nilai COD. Peningkatan nilai soluble COD yang didapat dari
sampel suspensi lumpur yang sudah disaring akan mengurangi kejenuhan dalam
suspensi sehingga menyebabkan kandungan oksigen terlarut meningkat.
(a)
(b)
Gambar 10 Transformasi (a) total COD dan (b) soluble COD selama proses aerasi
berlangsung
Pengujian total COD dan soluble COD dapat mewakili adanya kandungan
bahan organik pada suspensi lumpur aktif. Zat organik yang didegradasi dengan
-
5.000
10.000
15.000
20.000
25.000
30.000
0 5 10 15 20 25 30 35
To
tal
CO
D (
mg
/L )
Lama Aerasi ( hari )
Control (C)
Proteolitik (P)
Selulolitik (S)
-
5.000
10.000
15.000
20.000
25.000
30.000
0 5 10 15 20 25 30 35
So
lub
le C
OD
( m
g/L
)
Lama Aerasi ( hari )
Control (C)
Proteolitik (P)
Selulolitik (S)
Page 35
22
reaktor aerobik digester mengalami penurunan atau terjadi penyisihan. Menurut
Davis (2010) konsentrasi oksigen yang terlarut di dalam air tergantung pada
kejenuhan air. Kejenuhan air dapat disebabkan oleh koloidal yang melayang di
dalam air yang tersuspensi. Pada Gambar 10, menunjukkan adanya pengaruh
kandungan koloidal atau padatan tersuspensi pada sampel lumpur aktif terhadap
perubahan nilai total COD dan nilai soluble COD.
Pada penelitian ini, menjelang akhir aerasi, baik pada reaktor kontrol (C),
reaktor proteolitik (P), dan reaktor selulolitik (S) terjadi pengendapan sludge. Hal
ini sesuai dengan USEPA (1989) yang menjelaskan bahwa mikroba indigenous
dalam lumpur aktif memiliki tipe mikroba tersuspensi growth yaitu pertumbuhan
mikroba indigenous pada suspensi larutan. Kondisi oksigen dalam sistem sangat
ditentukan oleh efektifitas kinerja mikroba indigenous dalam mendegradasi bahan
organik terlarut. Hal ini akan membuat mikroba mampu membentuk flok-flok
lumpur sehingga lebih mudah mengendap yang disebut biosolids.
Davis (2010) menjelaskan mekanisme terjadinya pengendapan mikroba
tersuspensi pada air limbah ketika kondisi suplai nutrien organik yang terlarut
dimanfaatkan sebagai substrat mikroba indigenous mulai habis. Sehingga populasi
mikroba indigenous mulai berkurang dengan demikian dapat menghambat
reproduksi mikroba sebagai akibat ketatnya kompetisi untuk memakai substrat
tersebut.
3.5 Potensi Aplikasi Stabilisasi Sludge
Pada penelitian ini, penerapan aerobic digester dengan menambahkan
starter cair bakteri indigenous proteolitik dan selulolitik maupun dalam bentuk
konsorsium (sebagai kontrol) mampu mendegradasi sludge dengan mengubah
karakteristik dari sludge tersebut yaitu kandungan gula, ammonium, nitrat, TSS,
VSS, dan COD yang mulai tersisih hingga proses stabilisasi berakhir. Hal ini
mengindikasikan bahwa, proses degradasi dan stabilisasi turut menyediakan
sumber karbon untuk dipakai sebagai aktifitas pendegradasian selama periode
stabilisasi. Sludge sebagai hasil dari proses stabilisasi dapat berpotensi untuk
dikembangkan menjadi pupuk cair yang berasal dari pemanfaatan cairan sludge
(Tabel 2). Hasil perbandingan komponen hara makro pada sludge sebelum
stabilisasi dan sesudah stabilisasi tersaji pada Tabel 2.
Tabel 2 Hasil analisis sludge sebelum dan sesudah stabilisasi
Parameter
Satuan
Sesudah Stabilisasi Persyaratan
Pupuk Cair
(Permentan/No.
70/SR.140/10/2011)
Sebelum
Stabilisasi
Kontrol
Selulolitik
Proteolitik
Nitrogen
% b.b
0,0083
0,0069
0,0119
0,0191
3-6
Fosfor % b.b 0,0023 0,1819 0,0129 0,0289
3-6
Kalium % b.b 2,422 1,622
0,0823
0,1292
3-6
C/N Ratio - 7,47 8,97 9,17 7,120
10-20
Page 36
23
Perubahan kandungan kalium menurun setelah stabilisasi sludge berakhir.
Penurunan ini menunjukkan bahwa aktifitas mikroba indigenous mampu
memanfaatkan kalium yang terlarut untuk dikonsumsi. Kandungan kalium
terendah terjadi pada stabilisasi sludge dengan perlakuan penambahan starter
bakteri selulolitik. Sedangkan kenaikkan nilai nitrogen dan fosfor terjadi akibat
adanya perombakkan komponen organik kompleks oleh mikroba indigenous.
Ditinjau dari pengujian nilai TSS dan VSS pada Gambar 8, menunjukkan
sludge yang selesai distabilisasi memiliki kandungan TSS dan VSS yang rendah
dan stabil. Hal ini menunjukkan bahan organik yang terkandung sudah tersisihkan.
Kandungan TSS yang rendah memampukan sludge yang sudah distabilkan dapat
berpotensi untuk dimanfaatkan menjadi pupuk cair. Secara keseluruhan
berdasarkan informasi dari Tabel 2, hasil stabilisasi sludge terbaik adalah
stabilisasi dengan penambahan starter cair bakteri selulolitik indigenous,
mempunyai nilai C/N rasio mendekati 10.00 menurut Permentan/No.
70/SR.140/10/2011 tentang spesifikasi pupuk cair organik. Hal ini disebabkan,
nilai C/N rasio pada pupuk harus sama dengan C/N rasio tanah agar memudahkan
unsur hara pada pupuk dapat terserap dengan baik (Djuarnani et al. 2005).
Dengan demikian, stabilisasi dengan penambahan starter cair bakteri
selulolitik indigenous siap untuk dikembangkan sebagai bahan baku pupuk. Di
dalam proses pengembangan sludge yang telah distabilkan untuk menjadi bahan
baku pupuk, harus dilakukan formulasi kembali untuk pemenuhan unsur nitrogen,
fosfor, hara mikro, serta unsur lainnya yang disesuaikan dengan standar yang telah
ditentukan oleh Permentan (2011) tentang persyaratan teknis minimal pupuk cair
organik yang tercantum pada Tabel 2.
Nitrogen, fosfor, dan kalium merupakan unsur hara makro yang dibutuhkan
oleh mikroorganisme indigenous dalam sistem lumpur aktif sebagai nutrien untuk
pertumbuhannya. Penelitian Fitrahani (2012), menjelaskan efektifitas lumpur aktif
ditentukan dari ketepatan pemberian input nutrisi (urea, fosfor) pada sistem
lumpur aktif untuk mencegah terjadinya eutrofikasi akibat kelebihan nitrogen,
fosfor, dan unsur kelumit yang digunakan mikroba untuk sintesis sel. Proses
pemberian nutrisi inilah yang menyebabkan lumpur mengandung unsur hara
makro berupa N, P, dan K.
Pentingnya sludge manajemen dilakukan untuk memastikan jumlah
kandungan logam, patogen, dan polutan organik yang diharapkan. Berbagai
macam usaha dalam mengatasi penumpukkan sludge yang terbentuk selama
proses pengolahan air limbah telah diterapkan oleh beberapa negara maju.
Penelitian Snape (1995) melaporkan penanganan sludge hasil instalasi pengolahan
air limbah telah dilakukan sebanyak 60-95% industri di negara EU (European
Union) menerapkan metode stabilisasi sludge.
Hal ini menunjukkan bahwa pengolahan lumpur menggunakan stabilisasi
sludge sudah banyak dilakukan di negara maju. Davis (2010) menambahkan,
proses stabilisasi sludge mampu menghilangkan senyawa toksik dan
mengeliminasi senyawa yang menimbulkan aroma tidak sedap. Disamping itu,
proses stabilisasi dapat menghilangkan senyawa organik yang akan memacu
terjadinya eutrofikasi. Sehingga opsi melakukan stabilisasi sludge untuk
manajemen sludge pada jangka panjang, yang harus memenuhi syarat sebagai
berikut (Okuman 2009): eco-friendly, ekonomis, dan dapat diterima oleh
masyarakat.
Page 37
24
4 SIMPULAN DAN SARAN
4.1 Simpulan
Stabilisasi sludge menggunakan aerobic sludge digester dapat dimanfaatkan
untuk mendegradasi komponen senyawa organik kompleks pada lumpur dari
pengolahan secara biologis (lumpur aktif atau biosolids). Isolat bakteri indigenous
yang terpilih adalah bakteri indigenous yang memiliki sifat proteolitik dan
selulolitik serta memiliki laju pertumbuhan yang tinggi.
Proses pendegradasian oleh mikroorganisme indigenous mampu
menyisihkan senyawa nitrogen berupa ammonium menjadi nitrat kemudian
nitrogen bebas yang ditunjukkan dari adanya penurunan porsi ammonium (NH4+ -
N) dan kenaikkan porsi nitrat (NH3- - N) pada reaktor kontrol (C), reaktor dengan
penambahan starter isolat proteolitik (P), dan reaktor dengan penambahan starter
isolat selulolitik (S) yang akan menyebabkan kenaikkan pH. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa semua perlakuan dengan penambahan starter bakteri
indigenous mempunyai kemampuan untuk mempercepat degradasi komponen
organik yang tinggi, akan tetapi penambahan starter tidak berpengaruh nyata
dalam mempercepat perioda proses stabilisasi. Penambahan starter bakteri
proteolitik meningkatkan tingkat konversi protein menjadi ammonium, sedangkan
penambahan starter bakteri selulolitik mampu meningkatkan penyisihan nilai total
suspended solids (TSS), volatile suspended solid (VSS), total COD, dan soluble
COD dibandingkan dengan kontrol. Penambahan starter bakteri selulolitik mampu
menghasilkan rasio C/N yang lebih tinggi (9.17) dibandingkan dengan perlakuan
lainnya (7.12 – 8.97).
4.2 Saran
Sludge yang diperoleh dari proses stabilisasi sludge pada penelitian ini,
dapat dikembangkan menjadi pupuk cair. Oleh karena itu, dalam
pengembangannya masih perlu diformulasi ulang agar dapat memenuhi standar
pupuk cair.
DAFTAR PUSTAKA
AOAC. 1994. Official Methods of Analysis of The Association Official Analytical
Chemist. Washington D.C..
______. 1995. Official Methods of Analysis of The Association of Analytical
Chemist. Washington D.C.
APHA. 2005. 21th
Standar Methods For The Examination of Water and
Wastewater. American Public Health Association, American Water Works
Association, Water Environment Federation.
Page 38
25
[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2004. Spesifikasi Pupuk dari Sampah
Organik Domestik. SNI 19-7030-2004.
Al-Ghusain I, Mohamed FH, Mohamed AG. 2001. Nitrogen transformations
during aerobic/anoxic sludge digestion. Int J Bior Tech Res. 85 : 147-154.
Benefield LD, Randall CW. 1980. Biological Process Design for Waste Water
Treatment. Prentice – Hall, Inc., Englewood Cliffs, N.J.
______. 1980. Biological Process Design for Waste Water Treatment. Prentice –
Hall, Inc., Englewood Cliffs, N.J.
Darsono V. 1994. Pengantar Ilmu Lingkungan. Yogyakarta (ID) : Universitas
Atma Jaya.
Davis ML. 2010. Water and Wastewater Engineering – Design Principles and
Practice (Profesional Ed.). United States of America : McGraw-Hill
Companies, Inc.
Djuarnani N, Kristian, Budi SS. 2005. Field – scale modelling of carbon and
nitrogen dynamics in soil amended with urban wate composts. Agric
Ecosyst Environ. 110 : 289-299.
Eckenfelder WW. 2000. Industrial Water Pollution Control 3rd
ed. United States
of America (US) : McGraw-Hill Companies, Inc.
Fitrahani, LZ. 2012. Karakterisasi Kondisi Operasi dan Optimasi Instalasi
Pengolahan Air Limbah Industri Pangan. [Skripsi]. Bogor (ID) : Institut
Pertanian Bogor.
Hidayat N, Masdiana CP. 2006. Mikrobiologi Industri. Yogyakarta (ID) : Penerbit
ANDI.
Himanen M, Hanninen K. 2010. Composting of bio waste, aerobic and anaerobic
sludge – effect of feedstock on the process and quality of compost. Int J
Biores Tech Res. 102 : 2842-2852.
Kim SH, Kim WJ, Chung TH. 2002. Release characteristics of nitrogen and
fosforus in aerobic and intermittent aerobic sludge digestion. Korean J.
Chem Eng. 19 : 439-444.
Liu S, Nanwen Z, Loretta Y. 2011. The one-stage autothermal thermophilic
aerobic digestion for sewage sludge treatment : Stabilization process and
mechanism. Int J Biores Tech Res. 104 : 266-273.
Mandels, MR. 1982. Cellulase. In: D.Pearlman [editorial]. Annual Reports on
Fermentation Process. 5 : 39-44.
Okuman TD. 2009. Respirometric Assesment of Aerobic Sludge Stabilization. Int
J Biores Tech Res.101 : 2592-2599
Peraturan Menteri Pertanian. 2011. Persyaratan Teknis Minimal Pupuk Cair
Organik. Permentan/No. 70/SR.140/10/2011.
Rittmann BE, McCarty. 2001. Environmental Biotechnology – Principles and
Applications. Massachutes (US) : McGraw – Hill Companies, Inc.
Sai’d EG. 1987. Bioindustri. Jakarta (ID) : Mediyatama Sarana Perkasa.
Snape JB. 1995. Dynamics of Environmental Bioprocesses : Modelling and
Simulation. New York, NY (USA) : VCH Publishers, Inc
Stanbury PF, Whitaker A. 1984. Principles of Fermentation Technology. UK :
Pergamon Press.
[USEPA] US Environmental Protection Agency. 1989. Stabilization/Solidification
of CERCLA and RCRA Wastes. Washinton D.C (US) : Center for EPA.
Page 39
26
Lampiran 1 Prosedur Karakterisasi Sludge
A. Analisis Hara Makro
1. Total Karbon (APHA, 2005)
Kadar karbon total dapat diperoleh dengan mengurangi berat kering
bahan dengan kadar nitrogen dan kadar abu dibagi 1.82 dimana 1.82 adalah
faktor OH-.
2. Nitrogen (APHA ed 21th
4500 – Norg C 2005)
Sebanyak 0.1 g sampel dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl kemudian
ditambahkan 25 mL H2SO4 pekat dan 1 g katalis CuSO4.NaSO4. Larutan
tersebut kemudian didekstruksi hingga jernih. Hasil dekstruksi dilarutkan
dengan akuades < 10 mL kemudian dimasukkan ke dalam tabung destilasi dan
ditambahkan 15 mL NaOH 40% (6N). Atur proses destilasi dengan urutan asam
borat 2% ditambahkan ke dalam labu Erlenmeyer kemudian dihubungkan ke
selang pengeluaran uap air pada tabung destilasi. Selanjutnya, larutan sampel
dimasukkan ke dalam tabung destilasi. Proses destilasi dihentikan apabila
volume larutan asam borat (pada Erlenmeyer) menjadi 2 kali lipat atau hingga
asam borat mengalami perubahan warna dari ungu muda menjadi hijau muda.
Hasil destilasi kemudian dititrasi dengan H2SO4 0.02 N terstandarisasi. Hitung
volume H2SO4 yang digunakan untk titrasi hingga larutan asam borat yang
sudah bewarna hijau kembali lagi bewarna ungu. Lakukan prosedur yang sama
pada blanko menggunakan akuades. Kadar nitrogen dihitung dengan rumus:
( )
3. Fosfor (APHA ed 21th
3111B 2005)
a) Pembuatan kurva standar fosfor
Larutan kurva standar KH2PO4 diencerkan hingga mencapai konsentrasi 0,
2, 4, 6, dan 8 mg/L. Masing-masing konsentrasi tersebut dipipet sebanyak 25 mL,
kemudian ditambahkan 2 mL larutan ammonium molibdat dan 5 tetes SnCl2,
kocok merata kemudian diamkan selama 10 menit. Absorbansi diukur pada λ =
690 nm. Buat kurva standar dari hubungan konsentrasi dan absorbansi larutan
standar. Dapatkan persamaan regresi linear dari kurva standar.
Page 40
27
b) Analisis fosfor
Sebanyak 50 mL sampel dimasukkan ke dalam erlenmeyer 100 mL
kemudian ditambahkan 4 mL ammonium molybdat, 0.5 mL SnCl2. Setelah
ditetesi SnCl2 sampel didiamkan selama 10 menit dan kemudian sampel dibaca
dalam spektrofotometer dengan panjang gelombang 690 nm. Hasil yang terbaca
dalam spektrofotometer tipe HACH dan diplotkan dalam kurva standar.
4. Kalium (APHA ed 21th
3111B 2005)
Sampel uji yang sudah dihomogenkan sebanyak 3 gram, dimasukkan ke
dalam Erlenmeyer. Tambahkan 25 mL aquades, lalu aduk dengan batang
pengaduk. Tambahkan 3-5 mL asam nitrat, aduk hingga bercampur merata.
Batu didih ditambahkan 3-5 butir, lalu ditutup dengan karca arloji. Larutan
tersebut diletakkan di atas penangas listrik, atur temperatur pada 105-120oC.
Larutan dipanaskan sampai volume uji sekitar 10 mL. Larutan diangkat dan
didinginkan. Tambahkan 5 mL asam nitrat dan 1-3 mL asam perkolat tetes
demi tetes melalui dinding kaca Erlenmeyer. Larutan dipanaskan pada
penangas listrik sampai timbul asap putih, pemanasan dilanjutkan sekitar 30
menit. Sampel uji didinginkan, disaring dengan kertas saring, lalu tera hingga
mencapai 100 mL. Kemudian diencerkan hingga 200 kali pengenceran. Hasil
saringan dipipet sebanyak 500 mL dan diukur dengan Atomic Absorbtion
Spectrofotometer (AAS).
5. C/N Rasio (APHA ed 21th
4500 – Norg C 2005)
Nilai C/N rasio diperoleh dari perbandingan antara nilai total karbon
dengan total Kjedhal nitrogen (TKN).
y = 0,1101x - 0,0156 R² = 0,9954
0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
0,7
0,8
0,9
1
0 2 4 6 8 10
Ab
sorb
an
si
Konsentrasi Fosfat ( mg/L )
Page 41
28
B. Analisis Kandungan Proksimat dan Potensi B3
1. Kadar Air (AOAC 1995)
Kadar air dihitung berdasarkan bobot yang hilang selama pemanasan
dalam oven pada suhu 100oC hingga 105°C. Prosedur pengujian awal cawan
aluminium dikeringkan dalam oven pada suhu 100oC selama 15 menit
kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang beratnya (Wo). Sebanyak
2 gram contoh dimasukkan ke dalam cawan dan timbang (W1). Cawan yang
berisi contoh tersebut dipanaskan di dalam selama 24 jam pada suhu 100oC
hingga 105°C. Pindahkan cawan ke dalam desikator dan dinginkan, kemudian
timbang (W2). Hitung kadar air dalam contoh.
Kadar air (%) = (W1 – W2) / (W1 – W0) x 100 %
2. Kadar Abu (AOAC 1995)
Sample ditimbang sebanyak tiga g sampai dengan lima g contoh ke dalam
cawan dan timbang (W1). Tempatkan cawan yang berisi contoh tersebut dalam
tanur pada suhu 650°C sampai terbentuk abu berwarna putih dan diperoleh bobot
tetap. Pindahkan segera ke dalam desikator sehingga suhunya sama dengan suhu
ruang kemudian timbang (W2). Hitung kadar abu dalam contoh.
Kadar abu (%) = (W2 – W0) / (W1 – W0) x 100%
3. Kadar Lemak Kasar (AOAC 1995)
Sampel ditimbang sebanyak 2 g dan dimasukkan ke dalam selongsong
lemak, kemudian sampel ditutup dengan kapas bebas lemak. Selongsong
dimasukkan ke dalam ruang ekstraktor tabung soxhlet, siram dengan etil eter
hingga permukaan. Setelah etil eter berpindah ke dalam labu lemak melalui pipa,
kemudian siram kembali selongsong lemak hingga sebagian dari ruangan
ekatraktor terisi dengan etil eter. Selanjutnya labu lemak dan tabung soxhlet
dipanaskan di atas pemanas listrik bersuhu sekitar 40oC selama 6 jam. Labu lemak
dilepaskan dari tabung soxhlet, kemudian tuangkan etil eter yang berada dalam
ruangan ekstraktor ke dalam labu lemak. Etil eter didestilasikan di dalam labu
lemak dengan alat destilasi berputar hingga semua etil eter menguap, kemudian
keringkan labu lemak dalam oven 102oC hingga 105
oC sampai tercapai berat
konstan. Kemudian timbang berat minyak.
Lemak Kasar (%) = W3 - W2 x 100%
W1
4. Kadar Serat Kasar (AOAC 1995)
Prinsip uji ini adalah ekstraksi contoh dengan asam dan basa untuk
memisahkan serat kasar dari bahan lain. Sebanyak 2-4 gram sampel (a) ditimbang
dan dibebaskan lemaknya dengan cara ekstraksi menggunakan soxhlet atau
dengan cara mengaduk-mengendap-tuangkan sampel dalam pelarut organik
sebanyak 3 kali. Sampel dikeringkan dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer 500
Page 42
29
ml. Ditambahkan 50 ml larutan H2SO4 1,25%, kemudian dididihkan selama 30
menit dengan menggunakan pendingin tegak. Selanjutnya ditambahkan 50 ml
NaOH 3,25% dan dididihkan lagi selama 30 menit. Dalam keadaan paas, sampel
disaring menggunakan corong bunchner yang berisi kertas saring Whatman 41
yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya. Endapan yang terdapat pada
kertas saring berturut-turut dicuci menggunakan H2SO4 1,25% panas, air panas,
dan etanol 96%. Kertas saring beserta isinya diangkat, dikeringkan dalam oven
suhu 105 oC, didinginkan, dan ditimbang sampai bobot tetap (b).
Kadar serat kasar (%) =
a = Bobot sampel (g)
b = Bobot endapan pada kertas saring (g)
5. Kadar Protein Kasar (AOAC 1995)
Sample ditimbang sebanyak 2 g dan memasukkan sample ke dalam labu
Kjehdahl, kemudian menambahkan katalis, batu didih, dan 12 mL H2SO4 pekat,
serta 3 mL H2O2 30%. Selanjutnya tambahkan 100 mL aquades ke dalam labu
hasil destruksi, kemudian masukkan labu tersebut ke dalam alat destilasi uap.
Mengambil 25 mL H3BO4 dan masukkan ke dalam erlenmeyer 250 mL dan
menambahkan 2 tetes indikator methyl red kemudian alat destilasi dipasangkan.
Selanjutnya menitrasi dengan larutan standar HCl 0.2 N hingga larutan berubah
warna dari kuning menjadi merah muda. Kemudian dihitung kadar proteinnya.
Kadar protein (%) = (mL HCl - mL blanko ) x N HCl x 14.007 x 6.25 x 100%
mg sampel
6. Kadar Karbohidrat (by difference)
Kadar karbohidrat diketahui setelah melakukan uji-uji sebelumnya yaitu uji
kadar air, kadar abu, kadar serat, kadar protein, dan kadar lemak.
% karbohidrat = 100 % - (% kadar air + % kadar abu + % kadar protein kasar
+ % kadar serat kasar + % kadar lemak kasar)
7. Potensi B3 (Report of Analysis Sludge PT. XXX Indonesia)
SAMPLE
Identification : Sludge Outlet WWTP
Amount Received : More than 5 kgs
Date Collected : -
Date Recieved : January 20, 2012
Solubility in Water : Suspended
Dosage from : Suspension
Total Dosage : 5 (five) dosage and 5
(five) control
Page 43
30
CONTROL
Medium : Aquabidest
pH : 5.9
N Group LD50 (mg/kg)
1 Extremely Toxic < 1
2 Highly Toxic 1 – 50
3 Moderately Toxic 51 – 500
4 Slightly Toxic 501 – 5,000
5 Practically Non Toxic 5,001 – 15,000
6 Relatively Harmless >15,000
Toxicity Test Result (Calculated by Probit Analysis): more than 19945.68 mg/kg
Conclusion: Based on Acute Toxicity test LD50 this sample is relatively harmless
more than 15000 mg/kg (PPRI No. 74/2001)
C. Kandungan Total Gula Sederhana
a) Pembuatan kurva standar DNS
Kurva standar dibuat dengan larutan standar glukosa pada konsentrasi 0.0,
0.1, 0.15, 0.20, 0.25, dan 0.30 mg/L. Masing-masing konsentrasi tersebut dipipet
sebanyak 1 mL, kemudian ditambahkan 3 mL pereaksi DNS kocok merata
kemudian didihkan selama 5 menit. Absorbansi diukur pada λ = 550 nm. Buat
kurva standar dari hubungan konsentrasi dan absorbansi larutan standar. Dapatkan
persamaan regresi linear dari kurva standar.
b) Analisis gula sederhana
Perhitungan gula sederhana dilakukan menggunakan metode perhitungan
gula pereduksi menggunakan DNS. Sampel dipipet 1 mL contoh dan dimasukkan
ke dalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan 3 mL pereaksi DNS. Didihkan
tabung reaksi dalam air mendidih selama 5 menit, angkat, dinginkan. Blanko dan
sampel yang telah dingin diukur absorbansinya pada panjang gelombang 550 nm.
y = 3,576x - 0,0197 R² = 0,9913
0,00,10,20,30,40,50,60,70,80,91,01,11,2
0 0,05 0,1 0,15 0,2 0,25 0,3 0,35
Ab
sorb
an
si
Konsentrasi Gula Sederhana ( mg/L )
Page 44
31
Lampiran 2 Prosedur Penyiapan Media dan Perhitungan Jumlah Mikroba
1. Penyiapan Media
Langkah penyiapan media dilakukan dengan formulasi pada komponen
media spesifik menggunakan bacto agar sebanyak 1.5-2.0% sebagai bahan
pemadat. Komponen spesifik media disesuaikan dengan jenis mikroorganisme
yang akan ditumbuhkan, yaitu mikroorganisme yang bersifat selulolitik
menggunakan bahan utama CMC powder, proteolitik menggunakan skimmed milk
powder, amilolitik menggunakan soluble starch, lipolitik menggunakan glycerol
tributirat. Media yang selesai disiapkan dilakukan sterilisasi sesuai dengan suhu
yang dianjurkan.
2. Perhitungan Jumlah Mikroba
Analisis mikroba diukur dengan menggunakan metode tuang. Sampel
sebanyak 1 mL dipipet kemudian dilakukan pengenceran serial pada tingkat yang
dikehendaki. Contoh hasil pengenceran dipipet sebanyak 1 mL lalu disebar dalam
cawan petri dan digoyang hingga rata. Setelah itu dimasukkan media sesuai
analisis mikroba yang diinginkan. Analisis bakteri selulolitik menggunakan CMC
agar serta bakteri proteolitik indigenous pada skimmed milk agar. Selanjutnya
diinkubasi selama 24-48 jam dalam inkubator pada suhu 37° C. Setelah masa
inkubasi selesai dilakukan perhitungan jumlah koloni. Jumlah mikroba dihitung
berdasarkan Standard Plate Count (SPC) dan dinyatakan dalam CFU/mL.
Page 45
32
Lampiran 3 Prosedur Analisis Karakteristik Stabilisasi Sludge
1. Analisis pH (AOAC 1994) Sampel cairan fermentasi sebanyak 10 mL diukur pH menggunakan alat pH
meter yang sudah dikalibrasi.
2. Analisis Mikroba (AOAC 1995) Analisis mikroba diukur dengan menggunakan metode tuang. Sampel
sebanyak 1 mL dipipet kemudian dilakukan pengenceran pada tingkat yang
dikehendaki. Contoh hasil pengenceran dipipet sebanyak 1 mL lalu disebar dalam
cawan petri dan digoyang hingga rata. Setelah itu dimasukkan media sesuai
analisis mikroba yang diinginkan. Analisis bakteri selulolitik menggunakan CMC
agar serta bakteri proteolitik indigenous pada skimmed milk agar. Selanjutnya
diinkubasi selama 24-48 jam dalam inkubator pada suhu 37° C. Setelah masa
inkubasi selesai dilakukan perhitungan jumlah koloni. Jumlah mikroba dihitung
berdasarkan Standard Plate Count (SPC) dan dinyatakan dalam CFU/mL.
3. Analisis Total Gula ( Fenol - Sulfat )
a) Pembuatan kurva standar glukosa dengan pereaksi fenol-sulfat
Larutan glukosa standar diencerkan hingga mencapai konsentrasi 0, 10, 20,
30, 40, 50, dan 60 mg/L. Masing-masing konsentrasi tersebut dipipet 1 mL ke
dalam tabung reaksi yang sudah berisi larutan H2SO4 pekat dan larutan fenol
(lakukan dalam ruang asam) tunggu sampel hingga dingin kemudian diukur
absorbansi. Sampel diencerkan/dipekatkan hingga masuk dalam range absorbansi
0.2 sampai 0.8. Absorbansi diukur pada λ = 650 nm. Buat kurva standar dari
hubungan konsentrasi dan absorbansi larutan standar. Dapatkan persamaan regresi
linear dari kurva standar.
b) Analisis total gula
Setelah didapatkan kurva standar, analisis total gula dapat dilakukan
dengan menyiapkan blanko dan sampel sebanyak 1 mL ke dalam tabung reaksi
yang sudah berisi larutan H2SO4 pekat dan larutan fenol (lakukan dalam ruang
asam) tunggu sampel hingga dingin kemudian diukur absorbansi. Sampel
R² = 0,9935
y = 0,0157x + 0,0105
0,0
0,2
0,4
0,6
0,8
1,0
1,2
0 10 20 30 40 50 60 70
Ab
sorb
an
si
Konsentrasi Glukosa ( mg/L)
Page 46
33
diencerkan/dipekatkan hingga masuk dalam range absorbansi 0.2 sampai 0.8.
Setelah absorbansi sesuai, masukkan nilai absorbansi (y) yang sudah diperoleh, ke
dalam rumus regresi linear kurva standar (y = ax + b) yang menjadi acuan
sehingga dapat diketahui konsentrasi (x) dari sampel. Jika reaktan yang digunakan
untuk pengujian sampel berbeda dengan yang digunakan dalam pembuatan kurva
standar (dalam hal ini reaktan habis), maka harus membuat kurva standar yang
baru.
3. Nitrat (NO3-) (APHA ed. 21
th 4500 - NO3
-, 2005)
Pembuatan kurva standar disiapkan dengan range konsentrasi NO3- N/L
antara 0, 0.5, 1.0, 1.5, 2.0, 2.5, dan 3.0 mg/L. Bahan dilarutkan pada labu tera 50
mL dengan aquades, lalu ditambahkan 1 mL HCl 1 N. Absorbansi diukur pada λ
220 nm dan λ 275 nm. Buat kurva kalibrasi/kurva standar dari hubungan
konsentrasi dan absorbansi larutan nitrat standar. Dapatkan persamaan regresi
linear dari kurva standar.
Analisis nitrat dilakukan dengan menggunakan metode yang terdapat di
dalam APHA ed. 21th
2005. Metode tersebut merupakan metode pengujian kadar
nitrat menggunakan alat spektrofotometer dengan asam klorida. Sampel dengan
volume 50 mL filtrat sampel dimasukkan ke dalam erlenmeyer bervolume 100 mL.
Setelah itu ke dalam erlenmeyer tersebut dimasukkan pereaksi HCl 1 N sebanyak
1 mL dan dikocok hingga larut. Setelah pereaksi tercampur, sampel siap dibaca
dalam alat spektrofotometer Genesis dengan sinar ultraviolet pada absorbansi 220
nm (komponen organik terlarut) dan 275 nm (kadar NO3-). Hasil yang terbaca
dalam spektrofotometer diplotkan dalam kurva standar yang telah disiapkan
sebelumnya.
4. COD (APHA ed 21th
4500- H+ B, 2005)
Sebanyak 1 mL sampel (untuk soluble COD didapatkan dari sisa
penyaringan) dimasukkan ke dalam tabung COD mikro, kemudian ditambahkan
1.5 mL larutan K2Cr2O7 dan 3.5 mL pereaksi H2SO4 (asam COD). Setelah
itudipanaskan selama 2 jam pada suhu 148oC dengan menggunakan COD reaktor.
Setelah dingin, larutan dituang ke dalam erlenmeyerr 100 mL, kemudian
ditambahkan dengan indikator ferroin 1-2 tetes. Larutan kemudian dititrasi dengan
y = 0,2805x + 0,0042 R² = 0,9951
0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
0,7
0,8
0,9
1
0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5
Ab
sorb
an
si
Konsentrasi Nitrat ( mg/L )
Page 47
34
larutan Ferro Alumunium Sulfat (FAS) 0.01 M hingga warna menjadi kecoklatan.
Proses diulangi pada blanko akuades. Perhitungan kadar COD dilakukan dengan
rumus berikut :
(
)
[( ) ]
Dimana A adalah mL FAS untuk titrasi blanko, B adalah mL FAS untuk
titrasi sampel dan M adalah molaritas FAS. Sebelum digunakan untuk titrasi,
larutan FAS perlu distandarisasi. Standarisasi dilakukan sama seperti langkah-
langkah pengukuran COD hanya saja tidak dilakukan pemanasan dengan COD
reaktor dan sampel yang digunakan diganti dengan akuades. Perhitungan
molaritas FAS dengan menggunakan rumus berikut :
( )
( )
5. Ammonium (APHA ed. 21th
4500 - NH4+, 2005)
Pemeriksaan ammonium dilakukan dengan metode Kjeldhal yang biasa
digunakan dalam uji TKN (Total Kjeldahl Nitrogen), yaitu dengan menyiapkan 25
mL larutan asam borat yang sudah ditetesi indikator mengsel hingga bewarna
ungu sebanyak 2% ke dalam erlenmeyer 100 mL. Dilakukan destilasi dengan
dimasukkan sebanyak 25 mL sampel dan 15 mL NaOH 6 N dipanaskan dengan
tegangan 220 Volt selama ± 10 menit (volume air pada erlenmeyer hingga 2 kali
dari semula).
( )
( )
6. TSS dan VSS (APHA ed. 21th
4500, 2005)
Metode pengukuran TSS yaitu kertas saring miliopore ash free 0,45 µm
yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya (W1) ditaruh pada pompa vakum.
Selanjutnya diisi sampel sebanyak 25 mL kemudian dimasukkan ke dalam oven
dengan suhu 105oC selama 2 jam.Kertas saring dan sampel yang telah dikeringkan,
dimasukkan ke dalam desikator selama 15 menit kemudian ditimbang.Pemanasan
sampel diulangi hingga dicapai bobot konstan (W2). Adapun rumus untuk
menghitung Total Suspended Solid sebagai berikut :
( )
Dilakukan pengabuan kertas saring miliopore 0,45 µm dari pengukuran TSS,
sedangkan VSS diperoleh dari selisih antara nilai TSS yang diperoleh dengan abu
(FSS) yang tersisa dari pengabuan. Adapun cara pengujian VSS yaitu disiapkan
Page 48
35
kertas saring hasil penimbangan TSS yang telah konstan, kemudian ditimbang
dalam cawan porselin yang telah diketahui bobotnya (A). Cawan porselin berisi
contoh (B) diarangkan kemudian dimasukkan ke dalam tanur bersuhu 500 ± 50 oC
selama 2 jam untuk proses pengabuan. Cawan porselin berisi abu didinginkan
dalam desikator selama 15 menit dan ditimbang hingga mencapai bobot tetap (C).
Page 49
36
Lampiran 4 Standar Nasional Indonesia tentang spesifikasi pupuk padat dari
sampah organik (SNI 19-7030-2004)
No Parameter Satuan Minimum Maksimum
1 Kadar air % - 50
2 Temperatur oC Suhu air tanah
3 Warna Kehitaman
4 Bau Berbau tanah
5 Ukuran partikel mm 0.55 25
6 Kemampuan ikat air % 58 -
7 pH 6.80 7.49
8 Bahan asing % < 1.5 1.5
Unsur hara makro
9 Bahan organik % 27 58
10 Nitrogen % 0.40 -
11 Karbon % 9.80 32
12 Fosfor (P2O5) % 0.10 -
13 C/N rasio 10 20
14 Kalium (K2O5) % 0.20 >0.20
Unsur hara mikro
15 Arsen mg/kg < 13 13
16 Kadmium (Cd) mg/kg < 3 3
17 Kobal (Co) mg/kg < 34 34
18 Kromium (Cr) mg/kg < 210 210
19 Tembaga (Cu) mg/kg < 100 100
20 Merkuri (Hg) mg/kg < 0.8 0.8
21 Nikel (Ni) mg/kg < 62 62
22 Timbal (Pb) mg/kg < 150 150
23 Selenium (Se) mg/kg < 2 2
24 Seng (Zn) mg/kg < 500 500
Unsur lain
25 Kalsium (Ca) % < 25.50 25.50
26 Magnesium (Mg) % < 0.60 0.60
27 Besi (Fe) % < 2.00 2.00
28 Alumunium (Al) % < 2.20 2.20
29 Mangan (Mn) % < 0.10 0.10
Bakteri
30 Fecal coli MPN/g 1000
31 Salmonella sp MPN/g 3
Page 50
37
RIWAYAT HIDUP
Penulis yang bernama Ramiza Dewaranie Lauda dilahirkan di Ujung
Pandang pada tanggal 9 November 1990 dari ayah Wasis Djuhar dan ibu
Ismarlina Azwarini. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara.
Pendidikan formal ditempuh dari Taman Kanak-Kanak Tarbiyatul At-Fal NU,
Semarang, SDN Negeri Ngalarang dan SLTP N 3 Sleman, di Yogyakarta. Pada
tahun 2009 penulis menamatkan pendidikan SMA di SMA Negeri 5 Bogor.
Kemudian pada tahun yang sama diterima di IPB melalui jalur USMI (Undangan
Seleksi Mahasiswa IPB) dengan program studi Teknologi Industri Pertanian,
Fakultas Teknologi Pertanian.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam berbagai kegiatan
organisasi, seperti anggota UKM Karate pada periode 2009-2010, anggota EO
Asrama TPB IPB pada periode 2009-2010, anggota Forum Bina Islami FATETA
IPB dari periode 2010-2011 hingga periode 2011-2012, dan sekretaris departemen
kewirausahaan periode 2011-2012 pada Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri
Pertanian (HIMALOGIN), IPB. Penulis juga berpartisipasi dalam kepanitiaan
beberapa acara seperti Indonesian Agroindustrial Student Leaders Summit
(IALAS) 2010, Halal is Scientific (HASSASIN) 2011, Fateta Annual English
Competition (FALCON) 2011, Hari Warga Industri 2011, dan 2nd
International
Conference on Adaptive & Intelligent Agroindustry (ICAIA) 2013.
Pada tahun 2012 penulis menjadi finalis lomba karya ilmiah nasional oleh
DIKTI dalam “Pekan Ilmiah Nasional ke-25 (PIMNAS)” di UNY, Yogyakarta
dalam bidang PKM-Kewirausahaan. Di tahun yang sama penulis menjadi 5
Peserta Terbaik pada kompetisi wirausaha nasional “Green Entrepreneurship
Bank Indonesia Entrepreneurship 2012” di Jakarta. Penulis juga berkesempatan
menjadi finalis Program 104 Inovasi Indonesia oleh Kementrian Riset dan
Teknologi pada tahun 2012.
Penulis melaksanakan Praktik Lapangan pada tahun 2012 di PT. Heinz ABC
Indonesia, Daan Mogot, Jakarta Barat dengan tema “Aspek Pengelolaan Limbah
Cair Industri serta Analisis Peluang Nilai Tambah Sludge Belt Press Hasil
Pengolahan Limbah Cair di PT. Heinz ABC Indonesia, Jakarta”. Penulis
berkesempatan menyelesaikan tugas perancangan pabrik dengan judul
“Perancangan Pabrik Kopi Luwak Artificial”. Selanjutnya pada tahun 2013
penulis melaksanakan penelitian dengan judul “Stabilisasi Sludge dari Instalasi
Pengolahan Air Limbah (IPAL) Menggunakan Starter Bakteri Indigenous pada
Aerobic Sludge Digester” di bawah bimbingan Dr Ir Titi Candra Sunarti, M.Si dan
Prof Dr Ing Ir Suprihatin.