Top Banner
BAB II PEMBAHASAN 2.1 TERMINOLOGI Kata “ Infantile spasm ” digunakan untuk menunjukkan tipe seizure, sindroma epilepsy atau keduanya. Infantile spasm s sering disebut dengan Sindroma West. Spasme infantil (SI) merupakan salah satu sindrom epilepsi pada anak yang bersifat katastropik karena adanya dua hal yaitu kejang yang sulit terkontrol dan berkaitan dengan retardasi mental berat. Sindroma West terdiri dari trias yaitu infantile spasm, hypsaritmia pada gambaran interiktal EEG, dan retardasi mental. Sindroma West ( infantile spasms ) berasal dari nama Dr. W.J West yang pertama kali mendeskripsikan penyakit ini pada tahun 1841, berdasarkan observasi terhadap anaknya. Lebih dari satu abad kemudian penemuan elektroensefalografi memungkinkan untuk mendefinisikan sindroma ini. Sindroma west terdiri dari trias yaitu spasme infantile dengan keterlambatan perkembangan psikomotor dan pola EEG yang khas yang disebut hipsaritmia. Salah satu karakteristik yang paling menonjol dari sindroma ini adalah perjalanannya yang bergantung pada usia: terjadi hampir selalu pada tahun pertama kehidupan. Nama lain salaam atau Jack knife seizure. 2.2 EPIDEMIOLOGI 4
46

spasme infantil

Jul 13, 2016

Download

Documents

spasme infantil
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: spasme infantil

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 TERMINOLOGI

Kata “Infantile spasm” digunakan untuk menunjukkan tipe seizure,

sindroma epilepsy atau keduanya. Infantile spasms sering disebut dengan

Sindroma West. Spasme infantil (SI) merupakan salah satu sindrom epilepsi pada

anak yang bersifat katastropik karena adanya dua hal yaitu kejang yang sulit

terkontrol dan berkaitan dengan retardasi mental berat. Sindroma West terdiri dari

trias yaitu infantile spasm, hypsaritmia pada gambaran interiktal EEG, dan

retardasi mental.

Sindroma West (infantile spasms) berasal dari nama Dr. W.J West yang

pertama kali mendeskripsikan penyakit ini pada tahun 1841, berdasarkan

observasi terhadap anaknya. Lebih dari satu abad kemudian penemuan

elektroensefalografi memungkinkan untuk mendefinisikan sindroma ini.

Sindroma west terdiri dari trias yaitu spasme infantile dengan keterlambatan

perkembangan psikomotor dan pola EEG yang khas yang disebut hipsaritmia.

Salah satu karakteristik yang paling menonjol dari sindroma ini adalah

perjalanannya yang bergantung pada usia: terjadi hampir selalu pada tahun

pertama kehidupan. Nama lain salaam atau Jack knife seizure.

2.2 EPIDEMIOLOGI

Spasme infantil jarang, dengan insiden kira-kira 0,25-0,42 per 1000

kelahiran hidup dan pada riwayat keluarga epilepsy kira-kira 7-17%. Di Amerika

Serikat frekuensi Spasme infantil 2% dari jumlah epilepsi pada anak-anak tetapi

25% dari jumlah epilepsi yang onsetnya pada tahun pertama kehidupan. Spasme

jarang berkembang sebelum usia 3 bulan. Usia awitan SI yang diperoleh dari

beberapa penelitian hampir seragam, 90% dimulai pada tahun pertama kehidupan,

dan puncak insiden pada usia 4 – 6 bulan. Insiden pada laki-laki lebih banyak dari

pada perempuan sekitar 3:2, tetapi tidak terdapat perbedaan yang bermakna.

Prevalensi angka harapan hidup spasme infantil pada usia 10 tahun diperkirakan

1,5 sampai 2 per 10.000 anak.

4

Page 2: spasme infantil

5

2.3 ETIOLOGI

Etiologi spasme infantil dapat diklasifikasikan menurut penyebab yaitu:

simptomatik, kriptogenik, dan idiopatik. Spasme infantil simtomatik jika etiologi

telah diketahui, kriptogenik sebenarnya termasuk SI simtomatik tetapi etiologi

spesifik tidak diketahui. Sedangkan SI idiopatik memperlihatkan perkembangan

normal pada saat onset, pemeriksaan neurologi dan pencitraan normal serta

pemeriksaan EEG menunjukkan hipsaritmia tanpa kelainan epileptiform fokal.

2.3.1 Spasme Infantil Simtomatik

Sebagian besar SI termasuk kategori simptomatik dan Sebanyak 70-75%

memiliki gejala kejang yang spesifik. Besarnya persentase katagori ini tergantung

dari penunjang diagnostik yang dilakukan. Awal tahun 1980, sebagian besar

penelitian mendapatkan kejadian simptomatis sebesar 45-60% kasus. Setelah itu,

kasus simptomatik cenderung mengalami peningkatan yaitu sebesar 70-80%. Hal

ini mungkin akibat adanya kemajuan pemeriksaan penunjang terutama

neuroimaging.  Di RSCM Jakarta, didapatkan kasus SI 36 anak, sebanyak 20

orang termasuk simptomatik, 14 orang termasuk kriptogenik dan 2 orang

termasuk idiopatik. Kemungkinan kasus simptomatik lebih besar apabila

dilakukan berbagai macam pemeriksaan penunjang.

Pasien didiagnosa dengan simptomatik infantile spasm jika suatu faktor

yang dapat diidentifikasi bertanggung jawab untuk sindroma ini. Tampaknya

kelainan apapun yang dapat menyebabkan kerusakan otak data berkaitan dengan

spasme infantil. Penyebabnya dapat dibagi menjadi 3 yaitu prenatal, perinatal dan

postnatal.

Prenatal

Penyebab prenatal merupakan penyebab yang tersering yaitu sekitar 30-

45% kasus. Prenatal seperti hidrosefalus, mikrocefali,  hydranencephaly, 

schizencephaly, polymicrogyria, tuberosklerosis trisomy21, trauma,

infeksi kongenital seperti TORCH (toxoplasmosis, rubella,

citomegalovirus, dan herpes simpleks), sindrom Sturge-Weber,

ensefalopati hipoksik-iskemik, trauma dan incontinentia

pigmenti. Tuberosklerosis menjadi penyebab terbesar pada kasus prenatal

yaitu sebesar 10-30%. Kejadian tuberosklerosis kompleks diperkirakan 1

Page 3: spasme infantil

6

per 6000 sampai 9000 populasi, 2/3 diantaranya akibat mutasi sporadik.

Minimal 1/3 kasus tuberosklerosis kompleks menderita spasme infantil,

tipikal pada usia 4-6 bulan. Displasia kortikalterjadi pada lebih dari 30%

kasus dan anomali kromosom mencapai 13% kasus.

Perinatal

Penyebab perinatal merupakan penyebab terbanyak kedua, yaitu mencapai

14-25% kasus spasme infantil. Perinatalsepertimeningitis, trauma,

hipoglikemia neonatal, perdarahan intrakranial dan HIE (hypoxic-ischemic

encephalopathies).

Postnatal

Penyebab postnatal seperti meningitis, encefalitis, non ketotic

hyperglycemia, ensefalopati mitokondrial, fenilketonuria, trauma, penyakit

degeneratif, defisiensi piridoksin, defisiensi biotinidase dan maple syrup

urine disease.

Memeriksa seorang anak dengan infantile spasm untuk kemungkinan

tuberous sclerosis adalah hal yang sangat penting, dan merupakan kelainan yang

paling sering, dijumpai pada 10-30% kasus prenatal. Tuberous sclerosis

merupakan penyakit yang diturunkan secara otosomal dominan dengan

manifestasi yang bervariasi mencakup tumor jantung, tumor ginjal, malformasi

kutaneus seperti lesi hipopigmentasi ash-leaf, dan kejang. Pada beberapa pasien,

diagnosis familial tuberous sclerosis dijumpai hanya setelah seorang anak

mengalami infantile spasm, dan suatu pemeriksaan ekstensif dari anak tersebut

dan keluarganya menunjukkan penyakit genetik.

Kehamilan yang abnormal, adanya riwayat infeksi saat kehamilan

dan   prematuritas sering menjadi penyebab SI simptomatik. Pada asfiksia

perinatal dan trauma persalinan biasanya jarang terjadi.SI juga dapat terjadi pada

penderita sindrom Down, dengan kejadian  sebesar  1-5 per 100 anak sindrom

Down.

2.3.2 Spasme Infantil Kriptogenik

Penderita didiagnosis SI kriptogenik apabila  tidak ada penyebab  langsung

yang dapat diidentifikasi tapi ada faktor yang mungkin menjadi penyebab

terjadinya  SI. Sebenarnya kriptogenik termasuk kategori simptomatik namun

Page 4: spasme infantil

7

penyebab yang spesifik tidak diketahui. Kategori ini biasanya terjadi pada bayi

yang lahir normal dan perkembangan sebelum timbulnya kejang terlihat normal. 

Kadang-kadang beberapa anak dalam satu keluarga dapat menderita spasme

infantil, hal ini juga termasuk kriptogenik, akibat adanya pengaruh genetik dan

herediter. Riwayat epilepsi ditemukan pada 40% kasus kriptogenik dan hanya

9,3% penyebabnya perinatal. Hal tersebut menunjukkan bahwa faktor genetik

berperan penting pada kasus kriptogenik tapi tidak pada tipe simptomatik. Kasus

kriptogenik lebih jarang ditemukan dibandingkan dengan simptomatik yaitu

kejadiannya bervariasi berkisar antara 8-42%. Lebarnya rentang kejadian

berhubungan dengan definisi kriptogenik yang digunakan bervariasi dan usia saat

diagnosis. Pada era sekarang ini, kejadian menurun sebanyak 5% akibat

munculnya pemeriksaan neuroradiologik yang semakin canggih (seperti

adanya computed tomography scan (CT scan), MRI (magnetic resonance

imaging), single photon emission tomography dan positron emission

tomography (PET), pemeriksaan  metabolik dan juga virologik.

Pasien memiliki spasme infantile kriptogenik jika tidak ada penyebab

diidentifikasi namun suatu penyebab dicurigai dan epilepsi dianggap sebagai

simptomatik. Proporsi dari kasus kriptogenik bervariasi dari 8-42%. Rentang yang

luas ini dapat berhubungan dengan definisi istilah “kriptogenik” dan usia saat

diagnosis, karena penilaian tingkat perkembangan pada masa bayi cukup sulit.

2.3.3 Spasme Infantil Idiopatik

Pasien dapat dianggap memiliki idiopatik infantile spasme jika

perkembangan psikomotor yang normal muncul sebelum onset symptom, tidak

ada penyebab awal atau sebab yang pasti ditemukan, dan tidak ada gangguan

neurologi atau neuroradiologi ditemukan. Beberapa peneliti menggunakan kata

“idiopatik” atau “kriptogenik” dengan maksud yang sama.

Disebut idiopatik bila tidak ada penyakit yang mendasarinya dan penyebab

definitif tidak ditemukan. Perkembangan psikomotor normal sampai onset

serangan muncul atau sebelum terapi dimulai. Tidak didapatkan adanya kelainan

neurologis dan  juga kelainan neuroradiologi. Bukti pencetus spasme juga tidak

didapatkan.  Kejadian spasme infantil idiopatik  dilaporkan sebesar 9-

14%. Gambaran karakteristik bentuk idiopatik yaitu (1) tidak adanya regresi

Page 5: spasme infantil

8

mental secara bermakna dan fungsi visual yang masih terpelihara; (2) tidak

adanya abnormalitas EEG interiktal fokal pada pemberian diazepam intravena;

(3) hipsaritmia muncul secara berulang diantara serangan spasme yang

berkelompok secara berurutan; (4) tidak dijumpai adanya lesi pada otak kortikal;

(5) outcome baik.

2.4 PATOGENESIS

Patofisiologi SI masih belum jelas, namun banyak model patofisiologi

yang telah dikemukakan terfokus pada struktur subkorteks, terutama batang otak

sebagai pusat mekanisme primer klinis spasme dan hipsaritmia. Beberapa

hipotesis yang dikemukakan yaitu hiperaktivitas serotonergik otak,

monoaminergik-kolinergik dan neurotransmision opioid. Stresor yang berbeda-

beda atau bervariasi pada otak yang masih imatur, diduga dapat menyebabkan

produksi dan sekresi hormon CRH (corticotropin -releasing hormone)  secara

berlebihan akibat disregulasi aksis hipotalamik-hipofisial sehingga timbul

keadaan spasme atau kejang. Produksi hormon CRH yang berlebihan dapat

ditekan oleh hormon ACTH dan glukokortikoid. Nukleus lentikularis juga

mengalami keadaan hipermetabolisme dan hal ini secara konsisten tampak pada

pemeriksaan PET.

Fungsi abnormal batang otak dapat mempengaruhi hemisfer cerebral

secara difus yang menyebar ke bagian korteks. SI terjadi akibat interaksi abnormal

(disharmoni) antara korteks dan struktur batang otak atau adanya suatu reaksi non

spesifik korteks serebri yang belum matang terhadap trauma atau pertumbuhan

dan perkembangan yang abnormal. Lesi fokal pada awal kehidupan dapat

menyebabkan efek sekunder di bagian otak yang lain. Hipsaritmia mungkin

terjadi akibat adanya aktivitas yang abnormal dari beberapa bagian otak.

Timbulnya SI pada usia spesifik mungkin akibat imaturnya sistem saraf pusat.

SI mungkin juga berhubungan dengan  disfungsi cerebral ATP-sensitive

potassium channel pada otak yang sedang mengalami perkembangan. Kir6.2

diekspresikan sangat tinggi di korteks serebri dan berperanan penting pada

berbagai fungsi sel. Mutasi pada Kir6.2 menyebabkan penutupan channel dan

kemudian mengakibatkan terjadinya depolarisasi sel dan hipereksibilitas.

Page 6: spasme infantil

9

Hipereksibilitas yang terjadi selama periode kritis perkembangan otak dianggap

sebagai onset dari SI dan hipsaritmia.Padamodel tikus, adanya ekspresi Kir6.2

yang berlebihan dapat melindungi terhadap hypoxic ischemic injury dan

mengurangi kerusakan neuron,  sebaliknya akibat hipoksia dapat menyebabkan

kehilangan fungsi ATP-sensitive potassium channel sehingga timbulah kejang.

Hipoksia pada otak yang sedang mengalami perkembangan telah diketahui

sebagai penyebab timbulnya SI.

Tuberosklerosis (Epiloia, penyakit Bourneville) salah satu penyebab SI

simptomatis merupakan penyakit yang diturunkan secara dominan autosomal

akibat adanya mutasi pada gen TSC1 dan TSC2. Gen TSC1 terletak pada

kromosom band 9q34 yang mengkode protein hamartin sedangkan gen TSC2

terletak pada kromosom band 16p13 yang mengkode protein tuberin. Kadar

tuberin tertinggi terdapat pada otak, jantung, ginjal, arteriol ginjal, kulit, dan

jantung, sel purkinje serebelar dan neuron piramidal yang berfungsi dalam

neurogenesis dan aktivasi GTP-ase. Kedua protein ini berfungsi sebagai tumour

growth suppressors yang mengatur pembelahan dan pertumbuhan sel. Mutasi

pada kedua lokus gen menyebabkan hilangnya kontrol pertumbuhan dan

pembelahan sel sehingga dapat membentuk lesi hamartomatous yang bervariasi di

berbagai organ tubuh. Lesi di otak ada 3 tipe kelainan yang terjadi yaitu: tuber

kortikal, nodul subependimal, dan gangguan myelinisasi. Tuber kortikal

merupakan kelainan yang terbanyak dan lokasi tuber tersering ditemukan yaitu di

lobus frontal, namun densitas tertinggi pada lobus parietal. Pada pemeriksaan

histologi, tuber terlihat sebagai daerah sklerotik yang terdiri dari sel giant atipikal

yang tumbuh berlebihan.

Penyebab yang lain dari SI simptomatis yaitu sindrom Sturge Weber

(sindrom ensefalotrigeminal vaskular). Lesi dasar penyakit Sturge Weber adalah

adanya hemangioma kapiler kongenital pada kulit muka dan daerah leher, selaput

mukosa, leptomeningens, koroid dan kortek. Angiomatosis atau malformasi

terutama pada otak menyebabkan aliran darah di pembuluh darah stasis, melambat

dan hipoksia sehingga metabolisme neuronal akan menurun. Hipoksia

mengakibatkan aliran abnormal ke pleksus, hipertrofi pleksus koroid,

permeabilitas kapiler meningkat, perubahan pH, deposisi kalsium, atrofi serebral

Page 7: spasme infantil

10

dan rusaknya sawar darah otak. Predileksi angiomatosis leptomeningeal yaitu

regio oksipital atau oksipitoparietal salah satu sisi hemisfer.

2.5 MANIFESTASI KLINIK

Manifestasi klinis yang timbul dapat dibedakan menjadi 2 yaitu

manifestasi klinis dari penyakit yang mendasarinya dan gejala klinis dari SI.

2.5.1 Manifestasi Klinik dari Penyakit Dasar

Penyakit yang mendasari SI cukup banyak yaitu pada kasus simptomatis.

Apabila ada kecurigaan adanya SI, maka perlu dicari manifestasi klinis yang 

kemungkinan menjadi penyebab. Perhatikan apakah ada kelainan kongenital,

infeksi kongenital seperti TORCH, encefalitis atau meningitis, kumpulan gejala-

gejala untuk sindrom Down,  penyakit Sturge Weber dan sebagainya.

Tuberosklerosis dan sindrom Sturge Weber termasuk sindrom neurokutan atau

fakomatosis yang mencakup lesi kulit dan susunan saraf, dan sering disertai

kelainan pada mata dan viscera. Tuberosklerosis ditandai oleh trias yaitu epilepsi

dan retardasi mental (kelainan saraf)  dan adenoma sebaseum (kelainan kulit).

Retardasi mental bervariasi dari ringan sampai berat. Bentuk epilepsi dapat berupa

SI pada saat bayi, jenis parsial kompleks dan tonik klonik umum pada anak yang

sudah besar. Adenoma sebaseum dapat ditemukan di pipi, dagu, dahi dan kulit

kepala. Kelainan ini  sebenarnya merupakan angiofibroma (hemartoma kutaneus)

dan kelenjar sebaseum terlibat secara pasif, tidak berhubungan produksi sebum

yang berlebihan atau jerawat. Selain itu, manifestasi kulit yang lain yaitu bercak

kulit hipopigmen/hipomelanotik yang biasanya berbentuk oval atau tak beraturan,

ukuran bervariasi dapat terlihat sejak lahir atau tidak nampak sama sekali. Pada

pemeriksaan mata, didapatkan 50-80% kelainan di retina yaitu astrositoma yang

berupa nodul, bercak keputihan, agak menimbul (fakomata). Kelainan ini tidak

akan memberikan gejala atau menganggu penglihatan. Rabdomioma jantung yaitu

tumor jinak fokal atau difus dan dapat infiltasi, yang merupakan komplikasi

tuberosklerosis yang jarang terjadi.  Manifestasi penyakit ini berupa gagal jantung

yang progresif, aritmia dan kematian mendadak. Sebanyak 50-85% dari pasien

rabdomioma merupakan pasien tuberosklerosis.  Tumor jinak , yang terdiri dari

Page 8: spasme infantil

11

campuran jaringan fibrosa, lemak, pembuluh darah dan otot polos, sebagian kistik

dijumpai pada banyak organ seperti ginjal, jantung, hepar, lien, dan paru.

Manifestasi klinis sindrom Sturge Weber yaitu berupa nevus vaskular

kongenital yang berwarna merah anggur di daerah muka bagian atas, kelopak

mata superior atau daerah supraorbital. Angioma dapat melibatkan selaput

mukosa nasofaring dan membran koroid mata serta visera lainnya. Glaukoma

unilateral pada mata dan buftalmus dapat terjadi bersamaan dengan angioma

membran koroid. Sebesar 75-90% pasien akan mengalami epilepsi fokal atau

umum. Epilepsi biasanya merupakan manifestasi neurologis awal dan lebih sering

terjadi pada usia kurang dari 1 tahun. Kejang yang terjadi dapat bersifat progresif

dan refrakter  kemudian diikuti dengan hemiparesis permanen atau sementara.

2.5.2 Manifestasi Klinik Spasme Infantil (SI)

Manifestasi klinis yang paling khas untuk SI adalah adanya serangan

spasme yang terjadi sebagai sekelompok/serumpun serangan (cluster). Satu

kelompok serangan terdiri dari beberapa kali sampai ratusan kali serangan, bahkan

ada pula yang mencapai ribuan kali serangan dalam sehari.  Spasme berlangsung

selama beberapa detik. Pengulangan serangan ini merupakan tanda diagnostik

yang sangat penting. Pada bayi yang berumur kurang dari 1 tahun, terlihatnya

gerakan-gerakan berulang walaupun tidak khas seperti head

nodding (mengangguk-anggukkan kepala), gerakan menyentak tiba-tiba dari

tungkai, perlu dipikirkan adanya spasme infantil, apalagi bila disertai dengan

keterlambatan perkembangan psikomotor atau kelainan neurologis lainnya. Head

nodding tidak digolongkan ke dalam bentuk dasar SI tapi termasuk bentuk

atipikal, karena masih diperdebatkan.  Tangisan atau jeritan biasanya terdengar

segera setelah terjadinya spasme.  Pada sebagian penderita, teriakan dapat

mendahului suatu serangan spasme. Rumpun serangan sering terjadi pada

fase twilight yaitu beberapa saat sebelum tidur atau pada saat bayi mengantuk,

baru bangun dari tidur dan dapat pula timbul selama tidur, walaupun hal ini jarang

terjadi. Sebanyak 70-90% pasien SI, kejang akan diikuti dengan regresi

perkembangan psikomotor dan seringkali berhubungan dengan keterlambatan

perkembangan. Saat diagnosis ditegakkan, perkembangan yang normal hanya

ditemukan sebanyak 10%  dan sebesar 70% ditemukan adanya pemeriksaan

Page 9: spasme infantil

12

neurologis yang abnormal. Kelainan neurologis pada kasus simptomatik lebih

besar dibandingkan dengan idiopatik.

Spasme unilateral atau asimetris sangat jarang ditemukan dan biasanya

menunjukkan kerusakan-kerusakan patologis otak. Kelainan ini dapat pula disertai

dengan kejang umum atau parsial. Bentuk dasar SI terbagi menjadi 3 tipe yaitu

tipe fleksor, ekstensor, atau campuran kedua-duanya sesuai dengan jenis otot yang

terkena.

1. Spasme Ekstensor

Tipe spasme ini sebesar 19-23% dari kasus. Spasme ekstensor terdiri

dari ekstensi leher dan batang tubuh secara mendadak, ekstensi

simetris kedepan, abduksi pada ekstremitas atas serta ekstensi

ekstremitas bawah pada pangkal paha dan lutut.  Tipe ini juga disebut

dengan spasme bersorak atau juga menyerupai refleks moro. Spasme

ekstensor dan asimetris atau spasme unilateral sering berhubungan

dengan kasus simptomatik.

Gambar 2.1 Spasme Ekstensor

2. Spasme Flexor

Spasme ini terjadi sekitar 34-42% kasus. Bayi terlihat tiba-tiba kejang,

kontraksi otot fleksor, yang terlihat sebagai fleksi kepala, tubuh, dan

tungkai serta aduksi. Disebut juga jack-knive convulsion (seperti pisau

lipat), salaam spasm/ grusskrampfe (terlihat seperti orang yang

menunduk memberi hormat. Serangan kejang yang terjadi sangat

singkat, dapat berlangsung kurang dari 1 menit. Pada beberapa pasien,

dapat berlangsung selama 10-15  menit bahkan lebih. Karena serangan

cepat dan singkat, dikenal pula dengan sebutan blitz-krampfe (seperti

kilat). Pada tipe ini, ekstremitas aduksi sedemikian rupa sehingga bayi

tampak seperti memeluk dirinya sendiri dan sering berhubungan

Page 10: spasme infantil

A B

C D

13

dengan menangis.  Setelah itu, penderita relaksasi kemudian kejang

dapat berulang kembali, demikian seterusnya, sehingga dapat terjadi

berkali-kali selama 1 hari.

Gambar 2.2 Spasme Flexor, A. Kondisi bayi sebelum mengalami spasme; B & C. Kondisi bayi saat mengalami spasme; D. Relaksasi

setelah mengalami spasme.

3. Spasme Campuran

Tipe spasme ini merupakan tipe yang tersering ditemukan yaitu

sebesar 42-50% kasus.  Pada spasme campuran, postur primernya

mungkin berupa fleksi atau ekstensi leher dan batang tubuh, tetapi

kontraksi ekstremitas berlawanan dengan postur primernya.

2.6 PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan fisik yang ditemukan tergantung dari penyakit yang

mendasarinya, sering ditemukan dalam batas normal.  Tidak ada tanda

patognomonis untuk pemeriksaan pasien dengan spasme infantil. Pengukuran

lingkar kepala sangat penting dilakukan untuk mengetahui adanya mikrosefali,

makrosefali atau normosefali. Kulit diperiksa secara menyeluruh untuk melihat

adanya adenoma sebaseum pada tuberosklerosis atau mungkin kelainan yang

lainnya. Fungsi nervus kranial, pemeriksaan refleks, sensori dan motorik tidak

spesifik dan sangat tergantung dari kerusakan otak dan penyakit yang

mendasarinya.

Page 11: spasme infantil

14

2.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium,

neuroradiologis, lumbal pungsi, pemeriksaan mata, atau lampu wood dilakukan

untuk mengetahui kemungkinan yang menjadi penyebab spasme. Pemeriksaan

yang paling penting dan harus selalu dilakukan apabila kita curiga spasme infantil

yaitu pemeriksaan EEG, karena pasien dengan spasme infantil sering

berhubungan dengan EEG yang abnormal.

2.7.1 Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratoriumdilakukan sesuai dengan indikasi untuk mencari

kemungkinan penyebab spasme infantil seperti pemeriksaan darah lengkap, fungsi

hati, fungsi ginjal, elektrolit, gula, urine lengkap, serum laktat dan piruvat dan

amonia plasma. LCS diperiksa bila curiga adanya meningitis atau encefalitis. Bila

diperlukan, lakukan pemeriksaan kultur darah, urin dan LCS.  Kecurigaan

terhadap TORCH perlu dilakukan pemeriksaan serologis. Bila memungkinkan

dilakukan pemeriksaan gen untuk mengetahui adanya mutasi gen terutama pada

pasien tuberosklerosis.

2.7.2 Pemeriksaan Neuroradiologis

Pemeriksaan neuroradiologis pada pasien SI sebanyak 70-80% ditemukan

abnormal. Pada CT-scan kepala dapat dilihat adanya anomali struktur otak seperti

hidrosefalus, hydranencephaly, schizencephaly, agenesis korpus callosum.

Kalsifikasi serebri dapat ditemukan pada pasien dengan tuberosklerosis atau

infeksi kongenital. Pasien tuberosklerosis akan dijumpai  kalsifikasi yang

umumnya terlihat di daerah foramen Monro atau periventrikular. Selain itu, dapat

pula menunjukkan adanya hematoma serebral, tumor subependim,

ventrikulomegali, dan daerah demielinisasi difus.  MRI lebih superior

dibandingkan dengan CT scan karena dapat mendeteksi disgenesis kortikal,

gangguan migrasi neuron atau gangguan mielinisasi. Gambaran CT scan kepala

pasien sindrom Sturge Weber menunjukkan kalsifikasi intrakranial yang khas

yaitu kalsifikasi tersusun seperti garis yang pararel (jalan kereta api) atau

konvolusi seperti ular dan lebih menonjol di daerah oksipital.

Page 12: spasme infantil

15

2.7.3 Pemeriksaan EEG

Pemeriksaan EEG harus selalu dilakukan apabila kita curiga adanya SI

karena biasanya berhubungan dengan gambaran EEG yang abnormal.

Abnormalitas interiktal klasik yang sering ditemukan yaitu hipsaritmia tanpa

kelainan epileptiform fokal. Tidak semua SI menunjukkan gambaran hipsaritmia

pada EEG dan hipsaritmia juga tidak spesifik untuk SI karena dapat ditemukan

pada sindrom epilepsi yang lain. Pada tuberosklerosis, hanya 1/3 kasus yang

menunjukkan hipsaritmia. Gambaran EEG yang khas yaitu rekaman pada

keadaaan sadar tampak  gambaran gelombang irama dasar yang tidak teratur

diseluruh korteks, tak terorganisasi, amplitudo gelombang yang tinggi mencapai

500 uv disertai dengan gelombang tajam (sharp wave) dan gelombang paku (spike

wave) yang tersebar tidak rata di seluruh korteks serta tidak sinkron (multifokal).

Hipsaritmia berkaitan dengan usia, akan berangsur berubah sesuai dengan

bertambahnya umur dan makin matangnya susunan saraf pusat. Pada umumnya,

resolusi hipsaritmia bersamaan dengan hilangnya SI, kadang ditemukan

hipsaritmia yang menetap walaupun spasme telah menghilang. Modifikasi atau

beberapa variasi yang dapat ditemukan pada SI yaitu hipsaritmia dengan

sinkronisasi interhemisfer, hipsaritmia dengan fokus epileptiform yang konsisten,

hemihipsaritmia, hipsaritmia dengan episode yang melemah, atau hipsaritmia

dengan aktivitas gelombang lambat bervoltase tinggi  yang disertai gelombang

paku minimal seperti terlihat pada gambar 2.3 dan 2.4.

Gambar 2.3 Gambaran EEG hipsaritmi pada SI

Page 13: spasme infantil

16

Gambar 2.4 Gambaran EEG Burst-Suppression pada SI

2.7.4 Pemeriksaan Lainnya

Pemeriksaan mata diperlukan untuk melihat kelainan pada retina,

fungsi penglihatan, glaukoma, koreoretinitis, infeksi kongenital, atau tuber

retinal pada tuberosklerosis. Lampu wood dilakukan untuk melihat adanya

lesi hipopigmentasi pada tuberosklerosis.

2.8 DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang.  Kemungkinan yang menjadi penyebab juga perlu dicari,

sehingga diketahui apakah termasuk  simptomatik, kriptogenik, atau idiopatik.

Menegakkan diagnosis SI tidaklah mudah. Walaupun tidak ada yang

patognomonis,  yang harus ditentukan dari anamnesis atau pemeriksaan fisik yaitu

apakah penderita memang benar mengalami serangan spasme, karena serangan

spasme ini merupakan tanda khas dari SI. Secara singkat diagnosis SI ditegakkan

berdasarkan:

1. Gejala serangan yang khas

2. Kelainan neurologis atau keterlambatan tahapan perkembangan

3. Gambaran EEG yang khas yaitu terlihat gambaran hipsaritmia

atau supression burst atau multifokal

Page 14: spasme infantil

17

Gambar 2.5 Algoritma Pemeriksaan pada Pasien SI

2.9 DIAGNOSIS BANDING

Berdasarkan gejala klinis, terdapat beberapa yang menyerupai SI, yang

seringkali terjadi kesalahan dalam mendiagnosis SI yaitu  seperti berikut:

1. Head nodding

2. Epilepsi mioklonik

2.10 PENATALAKSANAAN

Tujuan utama pengobatan pada SI adalah meningkatkan kualitas hidup

dengan mengontrol serangan spasme atau kejang, meminimalkan efek samping

akibat pengobatan serta meminimalkan  jumlah pemberian obat-obatan. Sebagian

Page 15: spasme infantil

18

besar SI resisten terhadap obat antiepilepsi standar. Pengobatan ditujukan

terhadap penyakit dasar dan mengatasi spasmenya. Spasme  diatasi dengan

pemberian medikamentosa dan diet ketogenik. Medikamentosa terdiri dari

pengobatan lini pertama yaitu ACTH, prednison, vigabatrin, dan piridoksin

(vitamin B6) sedangkan benzodiazepin, asam valproat, lamotrigin, topiramat,

zonisamide dan diet ketogenik digunakan sebagai obat pilihan lini kedua.

Walaupun demikian, sayangnya tidak ada satu obat pun yang dapat memberikan

hasil yang memuaskan dan kurangnya konsensus tentang pemilihan obat untuk

pengobatan SI.

2.10.1 Pengobatan Terhadap Penyakit Dasar

Pada kasus simptomatis, selain mengatasi serangan spasme,

pengobatan juga harus ditujukan terhadap penyakit yang mendasarinya.

Pengobatan penyakit dasar dapat berupa medikamentosa ataupun tindakan

pembedahan. Vigabatrin merupakan obat pilihan utama yang telah terbukti

efektif dan sudah ada konsensus tentang tuberosklerosis yang diterbitkan

pada tahun 2000. Pada penyakit Sturge Weber, penanganan tergantung

dari manifestasi klinis. Fisioterapi dilakukan apabila ada kelumpuhan

sedangkan wajah dapat diberikan krim.

Tindakan pembedahan pada pasien SI dilakukan apabila terdapat

lesi fokal pada otak yang diidentifikasi dengan pemeriksaan teknik

imaging. Lokasi fokus epileptiptogenik sebelum dilakukan tindakan

pembedahan diidentifikasi dengan menggunakan video-EEG dan PET.

Studi melaporkan bahwa dengan tindakan pembedahan pada lesi otak

seperti tumor atau kista pada otak  terbukti dapat mengatasi spasme.

Reseksi lobus yang terlibat bahkan mungkin hemisferektomi.

Hemiferektomi dapat dipertimbangkan pada bayi usia < 1 tahun dengan

serangan spasme yang tak terkontrol.

2.10.2 Mengatasi Spasme

Medikamentosa

1. ACTH

Terapi hormonal dengan menggunakan ACTH telah dikenal sejak

tahun 1958. Efektivitas pemberian ACTH  yaitu dapat 

Page 16: spasme infantil

19

menghentikan kejang, menghilangkan hipsaritmia dan memperbaiki

fungsi kognitif.ACTH terutama digunakan di Amerika Serikat dan di

Inggris. Survei di Amerika Serikat mendapatkan bahwa sebesar 88%

ahli saraf anak menggunakan ACTH sebagai pilihan utama SI.  Di

Inggris, penggunaan ACTH atau vigabatrin sebagai pilihan pertama

yaitu sebanyak lebih dari 80%.  Di Eropa dan di Jepang, ACTH tidak

digunakan sebagai obat pilihan utama SI, sedangkan di Indonesia,

obat ini jarang digunakan karena terbatasnya persediaan. Mekanisme

kerja ACTH yaitu mengikat reseptor pasangan protein G pada kortek

adrenal dan meningkatkan C-Adenosin Mono Phospat (C-AMP).

Stimulasi pada kortek adrenal menyebabkan diproduksinya

glukokortikoid yaitu kortikosteroid dan mengontrol sekresi kortisol.

ACTH diduga mempunyai efek langsung terhadap susunan saraf

pusat, mungkin sebagai efek tambahan akibat pelepasan kortisol atau

merupakan efek yang terpisah. Analog ACTH yang tidak

mempunyai efek steroidogenik, tidak efektif untuk SI. Selain itu,

ACTH diduga dapat mempercepat pertumbuhan mielin, merangsang

sintesis DNA dan RNA serta menginduksi enzim-enzim otak

sehingga dapat memperpendek spasme.  Permasalahan pemberian

ACTH yaitu mengenai dosis, lama pemberian dan timbul efek

samping yang serius.

Dosis pemberian ACTH masih kontroversi, walaupun telah

digunakan lebih dari 40 tahun. Rekomendasi yang dikeluarkan

oleh American Academy of Neurology and the Child Neurology

Society (2004)  bahwa ACTH efektif digunakan untuk terapi jangka

pendek SI dan perbaikan hipsaritmia (level B) tetapi  tidak terdapat

bukti cukup yang dipakai untuk merekomendasikan dosis optimum

dan lama terapi ACTH (level U). Beberapa jadwal terapi ACTH

telah dipublikasikan, namun tidak ada satupun protokol yang

dikeluarkan untuk penggunaan ACTH, sehingga terdapat berbagai

variasi penggunaan kortikotropin alami atau sintetis oleh banyak

peneliti baik dalam hal dosis, lama pemberian ACTH. Terapi ACTH

Page 17: spasme infantil

20

pada umumnyadiberikan selama 2-6 minggu dengan dosis  20-50

unit, disuntikan intramuskuler 3 kali seminggu (2 hari sekali).

Setelah 1-2 minggu terapi, lakukan EEG dan bila EEG normal,

ACTH dihentikan. Terapi OAE selanjutnya tergantung tipe kejang

yang masih ada.

Kortikotropin atau ACTH alamiah mempunyai masa kerja 12-18

jam, sedangkan derivat sintetiknya yaitu Zn-tetracosactrin  mem-

punyai masa kerja 24-48 jam. 1 mg tetracosactrin setara dengan 100

unit kortikotropin. Di Jepang menggunakan dosis 3-14 IU/hari,

Finlandia 18-36 IU/hari, dan Amerika 80 IU/hari. Rentang dosis

ACTH yaitu antara 0,2 IU/kg sampai 150 IU/m2 luas permukaan

tubuh diberikan secara intramuskuler. ACTH dosis tinggi yaitu 120-

160 IU/hari dengan lama pemberian 1 sampai 6 minggu dan total

lama pemberian 4-12 minggu, sedangkan ACTH dosis rendah

apabila dosis ACTH yang digunakan 20-40 IU/hari. Tidak

didapatkan perbedaan yang jelas antara pemberian ACTH dosis

tinggi dan rendah. Sebaiknya dosis yangdigunakan adalah dosis yang

rendah, dimulai dari dosis 40 IU/hari IM selama minimal 1 bulan

(bentuk nonsintetik ACTH gel) dan kemudian lakukan tapering 10

IU setiap minggu. Apabila serangan tidak berkurang dalam 2

minggu, maka dosis ACTH dapat dinaikkan 10 IU setiap minggu

sampai maksimal dosis 80 IU. Jika serangan masih ada, dapat

diberikan asam valproat dengan dosis 40-100 mg/kg/hari atau

nitrazepam 0,6-1,0 mg/kg/hari atau klonazepam 0,1-0,3 mg/kg/hari.

Dosis pemberian ACTH dapat dinaikkan kembali sampai dosis yang

dapat menghentikan serangan apabila terjadi serangan saat dilakukan

penurunan dosis. Setelah serangan teratasi, dosis ACTH tersebut

dipertahankan selama minimal 1 bulan kemudian dosis diturunkan

kembali. Neurologis anak di Jepang lebih banyak dan lebih

menyukai menggunakan dosis rendah dengan jadwal pemberian

yaitu disuntikkan setiap hari selama  2 minggu kemudian diturunkan

selama 6 minggu (cara penurunan dengan memberikan ACTH setiap

Page 18: spasme infantil

21

2 hari sekali selama 2 minggu, diikuti dengan 2 kali seminggu

selama 2 minggu, kemudian 1 minggu sekali selama 2

minggu). Secara umum, ACTH tidak boleh diberikan lebih dari 40-

60 hari. Hasil studi retrospektif tentang analisis respon peningkatan

dosis ACTH, didapatkan  kesimpulan bahwa dari 9 pasien, kejang

berhenti dengan pemberian ACTH dosis 0,6 IU/kg/hari (6 unit untuk

bayi <10 kg) dan dengan dosis 0,8 IU/kg/hari dapat menghilangkan

gambaran hipsaritmia. Dosis ACTH-Z sintetik yang sering dipakai di

Jepang adalah 0,0125 mg/kg/hari sedangkan institusi lainnya

menggunakan dosis 0,015 mg/kg/hari.

Angka keberhasilan ACTH rata-rata sebesar 70%.  Banyak studi

melaporkan angka keberhasilan antara 30-100%  dengan interval

pemberian selama 8-12  hari. Ada pula yang melaporkan bahwa

angka keberhasilan bervariasi antara 50-90%. Vigevano dan Cilio

(1997) mendapatkan angka keberhasilan sebesar 81% dibandingkan

dengan vigabatrin sebesar 46%. Persentase keberhasilan bervariasi

karena adanya perbedaan etiologi (respon lebih baik pada kasus

kriptogenik), dosis, lama pemberian dan efek samping ACTH.

ACTH lebih efektif diberikan pada kasus dengan perinatal hipoksia

atau iskemik. American Academy of Neurology and the Child

Neurology Society (2004) melaporkan respon ACTH  berdasarkan

klas. Pada studi klas I, didapatkan  angka keberhasilan ACTH dosis

tinggi mencapai 87% sedangkan studi klas II, angka keberhasilan

dosis rendah dan dalam waktu yang singkat  mencapai 42%. Tidak

didapatkan adanya hubungan antara dosis dan respon terapi ACTH

pada studi klas III. Angka kekambuhan sebesar 15% pada studi klas

I, 33% pada studi klas II dan sebesar 19-24% pada studi klas III.

Kejadian efek samping pemberian ACTH cukup tinggi  seperti

imunosupresi, hipertensi, iritabilitas, meningkatnya nafsu makan,

redistribusi lemak tubuh sehingga wajah dan leher tampak berlemak

sedangkan kaki dan tangan mengecil, obesitas, gangguan elektrolit,

kadar gula darah meningkat.  Kejadian hipertensi dilaporkan sebesar

Page 19: spasme infantil

22

0-37%, iritabilitas sebesar 37-100%, infeksi sebesar 14% dan atrofi

serebri sebesar 62%. Komplikasi yang timbul tergantung dari dosis,

lama pemberian dan sensitivitas individu terhadap ACTH.

Imunosupresi dapat menyebabkan infeksi berat dan serius dan

merupakan penyebab kematian tersering selama terapi ACTH.

Obesitas dan iritabilitas merupakan efek samping yang sering terjadi.

Hipokalemia merupakan gangguan elektrolit yang sering dijumpai.

Vigevano dan Cilio (1997) mendapatkan kejadian efek samping

pemberian ACTH mencapai 37% berupa hipertensi, iritabilitas dan 

mengantuk. Kortikotropin sintetik yang diberikan pada 214 pasien

Finnish antara tahun 1960-1978 dilaporkan 7 orang pasien

meninggal akibat pneumonia atau sepsis dan perdarahan

intraventrikular masif. Studi di Jepang pada 138 pasien yang

diberikan kortikotropin sintetik didapatkan sebanyak 7% mengalami

infeksi, hipertensi atau perdarahan intrakranial.  Pada SI simptomatik

sebaiknya tidak diberikan terapi ACTH, terlebih lagi penderita

dengan retardasi berat, penyakit kongenital, atau penyakit infeksi

berat lainnya karena sebagian besar akan kambuh selama pemberian

ACTH. Pemberian ACTH atau kortikosteroid pada kelompok

simptomatik dengan cacat otak berat tidak banyak manfaatnya. Efek

samping dapat diminimalkan apabila dosis diturunkan dengan cepat

dan secara bertahap. Akibat adanya potensial terjadinya efek

samping yang serius dengan pemberian ACTH, sehingga pengunaan

ACTH menyebabkan mortalitas dan morbitas yang tinggi.

2. Steroid

Kortikosteroid oral lebih disukai oleh beberapa penulis yaitu

dengan memberikan prednison 2 mg/kg/hari atau deksametason 0,3

mg/kgbb/hari. Pemberian ACTH atau prednison merupakan all or

non phenomena dan biasanya memberikan hasil yang lebih baik pada

tipe kriptogenik. Mekanisme prednison dalam mengontrol spasme

belum dimengerti. Dosis permulaan yaitu 2 mg/kg/hari selama 4

minggu. Apabila tidak ada respon, dosis yang sama dilanjutkan

Page 20: spasme infantil

23

selama 2 minggu lagi, selama 12 minggu berikutnya dosis prednison

dikurangi menjadi setengahnya (1mg/kg/hari) kemudian dihentikan

secara bertahap selama 4 minggu.

Penelitian di Los Angeles tahun 1996 mendapatkan sebanyak 13

dari 15 pasien spasme infantil (86,6%) berespon baik secara klinis

dan gambaran EEG setelah diberikan terapi ACTH dosis tinggi (150

UI/m2/hari) selama 2 minggu sedangkan hanya 4 dari 14 pasien

(28,6%) yang berespon pada kelompok yang diberikan prednison (2

mg/kg/hari) selama 2 minggu. Disimpulkan bahwa efektivitas ACTH

dosis tinggi  lebih superior. Secara teori, ACTH terutama dosis

tinggi lebih efektif dalam menekan ekspresi gen CRH dibandingkan

dengan prednison. Sebelumnya, penelitian uji klinis didapatkan

efikasi yang sama antara pemberian prednison dan ACTH dengan

dosis 20-30 UI yang diberikan dalam waktu yang singkat. American

Academy of Neurology and the Child Neurology Society (2004)

melaporkan bahwa pada studi klas II, tidak terdapat perbedaan

efikasi secara bermakna antara ACTH dosis rendah dengan

prednison. Pada studi klas IV, ACTH dosis tinggi lebih superior

dengan respon 100% menghilangkan spasme dibandingkan dengan

prednison yang hanya berespon sebesar 59%. Sebesar 97%

gambaran EEG menjadi normal pada pemberian ACTH sedangkan

pada pemberian prednison hanya 50%.

Efek samping pemberian steroid yang dilaporkan hampir sama

dengan pemberian ACTH. Obesitas, retardasi pertumbuhan,

timbulnya jerawat dan iritabilitas merupakan efek samping yang

ringan sedangkan gagal jantung kongestif, imunosupresi, hipertensi,

perdarahan intraserebral, atropi otak transien, gangguan elektrolit

dan alkalosis hipokalemik merupakan efek samping yang berat.

3. Vigabatrin

Vigabatrin (g-vinyl GABA) merupakan penghambat  ireversibel

aminotransferase (GABA-T), enzim yang dapat mendegradasi

GABA sehingga kadar GABA dalam otak meningkat.  Obat ini

Page 21: spasme infantil

24

digunakan secara luas di Eropa sebagai obat lini pertama untuk SI

tapi tidak disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) di

Amerika Serikat. Vigabatrin terutama efektif bila digunakan pada

pasien tuberosklerosis kompleks  dengan angka keberhasilan

mencapai 70%. Waktu paruh kira-kira 6-8 jam. Pada studi Dosis

yang adekuat belum didefinisikan, rentang dosis yang dipakai yaitu

18-200 mg/kg/hari. Dosis 100-150 mg/kg/hari lebih sering efektif

dan dapat ditoleransi dengan multisenter sebanyak 135 anak dengan

epilepsi refrakter, 13 diantaranya adalah sindrom West, didapatkan

tidak adanya efek samping  dengan pemberian vigabatrin dosis lebih

dari 100 mg/kg/hari.

Respon pemberian vigabatrin pada 192 pasien SI didapatkan

sebesar 69,4% spasme dapat ditekan pada kasus kriptogenik dan

sebesar 59,7% kasus simptomatik. Pada tuberosklerosis komplek

dapat mengontrol kejang sebesar 96% (27 dari 28 pasien). Sebanyak

82% kejang terkontrol setelah 7 hari pengobatan (median 4 hari,

rata-rata 5,7 hari, dan rentang 0,5-7 hari). Penelitian tentang efikasi

vigabatrin dengan hidrokortison pada tuberosklerosis tahun 1995

didapatkan bahwa vigabatrin lebih efektif mengatasi kejang yaitu

sebesar 100% (11 dari 11 pasien)  dibandingkan dengan pemberian

hidrokortison yang hanya sebesar 36% (4 dari 11 pasien).  Fejerman,

dkk (2000) melaporkan bahwa vigabatrin dapat mengatasi kejang

sebesar 61,8% pada kasus kriptogenik dan sebesar 29,2% pada kasus

simptomatik. Jumlah kejang rata-rata berkurang setelah 6,7 hari

dengan rentang 1-12 hari dan rata-rata dosis 150 mg/kg/hari.

Vigevano dan Cilio (1997) melakukan penelitian prospektif yang

membandingkan vigabatrin dengan ACTH sebagai obat lini pertama

SI.  Angka keberhasilan pemberian vigabatrin sebesar 48%, lebih

rendah dibandingkan dengan pemberian ACTH (81%). Tidak

terdapat perbedaan pada kasus kriptogenik. Angka kekambuhan

didapatkan lebih tinggi pada pemberian ACTH. Respon pengobatan

vigabatrin sangat cepat yaitu dalam waktu 3 hari pada 7 kasus dan 8

Page 22: spasme infantil

25

hari pada 10 kasus, namun efek pada EEG sangat lambat

dibandingkan ACTH. Karena secara umum ACTH tidak boleh

diberikan lebih dari 40-60 hari maka vigabatrin diberikan pada

kasus  relaps setelah pemberian ACTH.     American Academy of

Neurology and the Child Neurology Society (2004) mengeluarkan

rekomendasi bahwa vigabatrin mungkin efektif untuk pengobatan

jangka pendek SI (level C, klas III dan IV). Efek samping yang

dilaporkan yaitu efek sedasi 9-24% kasus, iritabilitas 4-9%, insomnia

dan hipotonia pada 9% kasus. Penyempitan lapangan pandang

merupakan efek samping yang paling banyak dilaporkan secara

bermakna yaitu sebesar 10-40% pasien dewasa. Efek ini juga

dilaporkan terjadi pada pasien anak-anak. Hammoudi, dkk (2005)

melaporkan bahwa anak dengan SI yang mendapatkan pengobatan

vigabatrin mungkin akan mengalami penurunan fungsi visual

walaupun tidak terjadi gangguan visual pada kortek. Hasil

pemeriksaan dengan kontras didapatkan bahwa adanya penurunan

fungsi penglihatan mungkin lebih berhubungan dengan SI daripada

akibat vigabatrin. Mengingat efek samping yang mungkin terjadi,

maka pemeriksaan mata sebaiknya dilakukan sebelum penggunaan

vigabatrin dan setiap 3 bulan selama pengobatan vigabatrin.

4. Vitamin B6

Piridoksin (vitamin B6) merupakan terapi pilihan pertama untuk

SI di Jepang, yang digunakan oleh lebih dari 70% institut.

Dosis pemeliharaan vitamin  B6 yaitu 50 mg/hari  dengan rentang

20-100 mg/hari sedangkan Tsuji, dkk (2007) dimulai dengan dosis

awal yaitu 10 mg/hari (rentang dosis 5-30 mg/hari)  yang selanjutnya

diikuti dengan dosis pemeliharaan sebesar 30 mg (rentang dosis 10-

50 mg/hari). Tidak ada penelitian uji klinis tentang obat ini. Angka

keberhasilan dilaporkan sebesar 13-29%.  Caraballo, dkk (2004)

menganjurkan penggunaan vitamin B6 dengan dosis 200-400

mg/hari per oral (25-50 mg/kg/hari)  sebagai pilihan terapi alternatif

Page 23: spasme infantil

26

SI dengan sindrom Down karena respon yang cepat dalam waktu 2

minggu tanpa adanya efek samping.

5. Benzodiazepin

Golongan benzodiazepin diberikan apabila kejang tidak dapat

diatasi dengan pemberian ACTH atau steroid.

a. Nitrazepam

Obat nitrazepam terbukti paling efektif dalam menghilangkan

SI dibandingkan dengan jenis benzodiazepin yang lainnya.

Dosis yang diberikan 0,6-1,0 mg/kg/hari dibagi 3 dosis.10 Efek

samping yang dilaporkan adalah mengantuk, ataksia, hipotonia,

eksaserbasi kejang umum dan hepatotoksik. Obat ini tidak

diperdagangkan di Amerika Serikat, namun banyak telah

banyak digunakan di negara lainnya. Data tentang penggunaan

nitrazepam untuk SI sangat terbatas. American Academy of

Neurology and the Child Neurology Society  (2004)

mendapatkan 2 studi retrospektif yang termasuk klas IV.

Rentang dosis yang digunakan antara 0,5-3,5 mg/kg/hari.

Nitrazepam dapat mengatasi kejang sebesar 30% sampai 54%.

Menghilangnya gambaran hipsaritmia sebesar 46% (11 dari 24

pasien) dan angka kekambuhan sebesar 15% ( 2  dari 13

pasien).

b. Klonazepam

Klonazepam telah disetujui  oleh FDA di Amerika Serikat

sebagai pengobatan SI sejak tahun 1980. Mekanisme

klonazepam yaitu mengikat reseptor channel ion klorida -A-

GABA  dan menghambat kerja GABA sehingga dapat

meningkatkan penyaluran ion klorida. Dosis efektif

klonazepam antara 0,1-0,3 mg/kg/hari dibagi dalam 3 dosis dan

respon pengobatan terjadi dalam 1-3 minggu pengobatan.

Sebesar lebih dari 50% kasus (13 dari 24 kasus) dapat dikontrol

dengan penggunaan klonazepam dan sebanyak 8 kasus terjadi

perbaikan gambaran EEG.  Relaps terjadi pada 7 kasus dan

Page 24: spasme infantil

27

tidak dapat diatasi walaupun dosis klonazepam ditingkatkan. 

Efek samping yang sering terjadi adalah mengantuk, ataksia,

perubahan tingkah laku, hipersalivasi dan hipersekresi bronkus.

c. Diazepam

Diazepam merupakan obat yang paling jarang digunakan untuk

pengobatan SI. Sebanyak 4 dari 5 pasien SI memberikan respon

terhadap diazepam. Namun ada yang melaporkan bahwa

diazepam kurang efektif dibandingkan dengan nitrazepam.

d. Asam Valproat

Asam valproat digunakan oleh lebih dari 70% sebagai pilihan

pertama terapi SI  di Jepang. Mekanisme kerja asam valproat

dalam mengatasi kejang yaitu menghambat GABA transminase

yang akan menghambat terjadinya degradasi GABA dan

glutamat dekarboksilase yang memudahkan sintesis GABA

sehingga kadar GABA dalam otak akan meningkat.

Meningkatkan efek inhibisi postsinaptik GABA, menghambat

pembentukan gelombang paku dan jaras neuronal eksitatorik.

Rentang dosis asam valproat  yaitu 40-100 mg/kg/hari dengan

dosis awal 15-20 mg/kgbb/hari dalam 2-4 dosis dalam 1-4 hari

kemudian disusul dengan dosis rumatan 30-60 mg/kg/hari.

Efikasi asam valproat mencapai 25-40%. Satu studi

melaporkan bahwa dengan pemberian asam valproat dapat

mengatasi serangan spasme sebesar 73%  dan memperbaiki

hipsaritmia pada 91% dari 22 anak setelah dilakukan follow up

selama 6 bulan. Sebagian besar akan berespon dalam 2 minggu

dan akan mengalami relaps sebanyak 23%. Efek samping yang

dapat timbul yaitu mual, muntah, nyeri perut, pankreatitis akut,

ruam kulit, mengantuk, perubahan perilaku, tremor, rambut

rontok, serta dapat bersifat hepatotoksik yang fatal terutama

bila diberikan pada bayi.

Page 25: spasme infantil

28

e. Topiramat

Topiramat telah diakui sebagai terapi tambahan epilepsi oleh

Jerman pada tahun 1998 dan pada tahun 2001 bisa diberikan

pada usia < 2 tahun. Mekanisme kerja obat ini yaitu memblok

saluran natrium, potensiasi neurotransmisi GABA dan

antagonis glutamat serta efek khusus pada reseptor kainate

GluR5 dan menghambat anhidrase karbonik. Dosis dan lama

pemberian yang digunakan bervariasi. Glauser, dkk (1998)

menggunakan dosis permulaan sebesar 25 mg/hari kemudian

dinaikkan setiap 2-3 hari sebanyak 25 mg. Apabila dengan

dosis tersebut tidak dapat ditoleransi, maka kecepatan titrasi

diturunkan. Titrasi dilanjutkan selama ±4 minggu atau sampai

mencapai dosis maksimal yaitu 24 mg/kg/hari atau 7 hari bebas

kejang (spasme). Dengan dosis tersebut, didapatkan  sebanyak

45% pasien bebas dari spasme, dan 82% terjadi penurunan

jumlah kejang > 50%. Respon pengobatan topiramat relatif

lebih cepat pada kasus kriptogenik dibandingkan

simtomatik. Penelitian uji klinis tidak tersamar oleh

Watemberg, dkk (2003) menggunakan dosis 6-12 mg/kg/hari.

Topiramat digunakan sebagai monoterapi pada 1 pasien dengan

SI dan 1 pasien dengan tuberosklerosis. Pada pasien spasme

infantil terjadi pengurangan jumlah spasme > 75% sedangkan

pada tuberosklerosis lebih rendah (50-75%). Grosso, dkk

(2005) memberikan dosis harian sebesar 0,5-1 mg/kg kemudian

diikuti dengan peningkatan dosis titrasi sebesar 1-3 mg/kg/hari

sampai dosis maksimal 16 mg/kg/hari. Delapan dari 24 pasien

SI, didapatkan jumlah kejang berkurang > 50%. Valensia, dkk

(2005) melaporkan penurunan jumlah kejang > 50%  sebanyak

7 dari 8 pasien SI. Rentang dosis yang digunakan yaitu 2,5-18

mg/kg/hari dengan rata-rata 8,8 mg/kg/hari. Hosain, dkk (2006)

menggunakan dosis permulaan 3 mg/kg/hari terbagi dalam 2

dosis, kemudian dinaikkan 3 mg/kg setiap 3 hari sampai terlihat

Page 26: spasme infantil

29

respon. Dosis rata-rata yang diberikan yaitu 14 mg/kg/hari

(rentang dosis 9-27 mg/hari). Sebanyak 20% (3 dari 15 pasien)

bebas spasme dan jumlah kejang berkurang > 50% pada 5

pasien. Korinthenberg dan Schreiner (2007) melaporkan efikasi

topiramate sebesar 30% dengan median dosis 10 mg/kg.

Pemberian topiramat dapat menyebabkan sedasi, penurunan

nafsu makan, penurunan berat badan, iritabilitas, nefrolitiasis,

asidosis metabolik, disfungsi bahasa dan hipertermia. Efek

samping yang tersering dilaporkan yaitu penurunan nafsu

makan dan berat badan, hipertermia, mengantuk, perubahan

perilaku dan kesulitan konsentrasi. Kejadian penurunan berat

badan berkisar antara 6-40% sedangkan anoreksia sebesar 30%.

f. Zonisamide

Penggunaan zonisamide sebagai terapi  SI juga semakin

meningkat. Watanabe (1995) melaporkan penggunaan

Zonisamide sebagai pilihan kelima sebesar 9,9% sedangkan

Tsuji, dkk (2007) melaporkan sebesar 72,7–83,6%. Zonisamide

merupakan derivat sulfonamide yang bekerja pada saluran

natrium dan kalsium. Dosis yang digunakan berbeda-beda, ada

yang menggunakan dosis pemeliharaan sebesar 10 mg/hari (8-

20 mg/hari) sedangkan Tsuji, dkk (2007) didahului oleh dosis

awal sebesar 2 mg/hari (rentang dosis 0,15-7,5 mg/hari)

selanjutnya dosis pemeliharaan 8 mg/hari (0,5-20 mg/hari).

Efikasi obat ini dilaporkan sebesar 25%, tidak akan melebihi

efikasi ACTH walaupun belum ada penelitian yang

membandingkan keduanya. Lotze, dkk (2004) mendapatkan

bahwa spasme dapat dikontrol dan menghilangnya gambaran

EEG sebanyak 6 dari 23 (26%) pasien SI simptomatis dengan

rata-rata lama menghilangnya spasme dan evolusi EEG selama

5,5 bulan. Efek samping yang mungkin timbul yaitu

mengantuk, gangguan kognitif dan rash pada kulit.

Page 27: spasme infantil

30

Diet Kategonik

Diet ketogenik sudah lama digunakan untuk pengobatan epilepsi

anak terutama epilepsi refrakter yaitu lebih dari 80 tahun. Diet ini terdiri

dimulai dari periode puasa dan restriksi cairan sampai keton bodis tampak

pada urin kemudian diikuti dengan pemberian makanan tinggi lemak,

protein yang adekuat dan rendah karbohidrat. Puasa dilakukan pada malam

hari sebelum diet dimulai dan rasio antara lemak dan karbohidrat yaitu 3:1.

Ini disebut sebagai initial-fasting ketogenic diet yang bertujuan untuk

memacu terjadinya ketosis lebih cepat dan untuk adaptasi metabolik pada

keadaan ketosis sehingga kejang dapat dikontrol. Non-fasting ketogenic

diet yaitu dimulai dengan pengenalan secara bertahap makanan yang tinggi

lemak dengan diet yang biasa dan tidak memerlukan puasa dan restriksi

cairan. Kim, dkk (2004) mendapatkan bahwa tidak ada perbedaan

efikasi initial-fasting ketogenic diet dan non-fasting ketogenic diet dalam 

memacu ketosis dan mengurangi kejang.

Pemberian diet ketogenik menunjukkan adanya penurunan kadar

insulin dalam darah (pada keadaan puasa) dan peningkatan kadar kortisol

yang potensial mempengaruhi eksitabilitas neuronal dan neurotransmiter.

Secara logika, diet ketogenik mempunyai efek tidak langsung terhadap

CRH namun perlu penelitian lebih lanjut. Penelitian tahun 1991

mendapatkan bahwa 12 dari 17 anak (70%) dengan SI mengalami

perbaikan > 50% setelah diberikan diet ketogenik. Sebanyak 67%

mengalami perbaikan setelah 3 bulan diberikan diet ketogenik. Hal yang

sama dilaporkan oleh Kossoff, dkk (2002) bahwa spasme berkurang secara

bermakna sebanyak 6 dari 7 anak usia < 1 tahun setelah diberikan diet

ketogenik dalam beberapa bulan. Penelitian uji klinis oleh Neal, dkk

(2008) melaporkan pemberian diet ketogenik selama 3 bulan dapat

menurunkan jumlah kejang >50% pada 38% pasien dibandingkan dengan

kontrol sebesar 6%.

Efek samping pemberian diet ketogenik yaitu dapat menyebabkan

konstipasi, hipoglikemia, muntah, hiperlipidemia, hiperkolesterolemia,

dehidrasi, hipoproteinemia berat, anemia hemolitik, batu kandung empedu

Page 28: spasme infantil

31

dan peningkatan enzim hati. Sebelum pemberian diet ketogenik harus

dilakukan skrining untuk mengetahui adanya kelainan metabolik yang

dapat memperburuk ketogenik diet seperti defisiensi piruvat karboksilase,

porfiria, defisiensi karnitin, kelainan mitokondria, defek oksidasi asam

lemak. Neal, dkk (2008) mendapatkan kejadian efek samping sebesar 25%

kasus dengan konstipasi merupakan efek samping yang tersering dan

terberat.

2.11 PROGNOSIS

Prognosis SI sebagian besar buruk, tergantung dari  penyebab dan bersifat

sangat individual sehingga berbeda antara individu yang satu dengan yang

lainnya. Faktor lain yang mempengaruhi antara lain yaitu pemeriksaan neurologis

yang normal, tidak adanya jenis kejang yang lain, onset pada usia yang lebih tua,

pendeknya spasme dan pengobatan yang efektif terhadap spasme diberikan lebih

awal. Bentuk idiopatik biasanya lebih baik dibandingkan dengan simptomatik atau

kriptogenik. Selama 1 tahun pertama, prognosis SI sangat buruk. Sebesar 82,4%

(14/17) mengalami gangguan perkembangan dan sebagian besar diantaranya

menderita retardasi mental.  Beberapa studi melaporkan retardasi mental sebesar

70-90% dan sebagian besar menderita retardasi berat. Pada kasus kritogenik,

sebesar 30-50% akan mengalami retardasi mental. Prognosis kasus simptomatik

sangat buruk yaitu sebesar 80-90% mengalami retardasi mental, 70% diantaranya

mengalami retardasi berat namun pada kasus sindrom Down dan

neurofibromatosis biasanya prognosisnya lebih baik. Retardasi mental terjadi

sekitar 37-65%  SI yang disebabkan oleh tuberosklerosis. Defisit neurologik yang

lain seperti palsi serebralis sebesar 30-50%. Infantil spasme juga berhubungam

dengan kejadian epilepsi dan autisme. Sebanyak 50-70% pasien akan berkembang

menjadi epilepsi, tersering berupa sindrom Lennox-Gastaut sebesar 20% dan

sebanyak 50% menjadi intraktabel epilepsi. Ada pula yang melaporkan bahwa

sebesar 20-50% spasme infantil akan berkembang menjadi sindrom Lennox-

Gastaut. Hubungan  antara spasme infantil dengan kejadian autisme telah

dilaporkan pada tahun 1981. Saemundsen, dkk (2007) melaporkan prevalensi

autisme sebesar 35,3%.

Page 29: spasme infantil

32

Mortalitas SI dilaporkan sebesar 5-30%, 1/3 diantaranya akan meninggal

sebelum usia 3 tahun dan  sebanyak > 50% akan meninggal sebelum usia 10

tahun. Penyebab tersering kematian adalah infeksi, kemudian diikuti oleh

komplikasi dari penyakit yang mendasarinya.