Page 1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 TERMINOLOGI
Kata “Infantile spasm” digunakan untuk menunjukkan tipe seizure,
sindroma epilepsy atau keduanya. Infantile spasms sering disebut dengan
Sindroma West. Spasme infantil (SI) merupakan salah satu sindrom epilepsi pada
anak yang bersifat katastropik karena adanya dua hal yaitu kejang yang sulit
terkontrol dan berkaitan dengan retardasi mental berat. Sindroma West terdiri dari
trias yaitu infantile spasm, hypsaritmia pada gambaran interiktal EEG, dan
retardasi mental.
Sindroma West (infantile spasms) berasal dari nama Dr. W.J West yang
pertama kali mendeskripsikan penyakit ini pada tahun 1841, berdasarkan
observasi terhadap anaknya. Lebih dari satu abad kemudian penemuan
elektroensefalografi memungkinkan untuk mendefinisikan sindroma ini.
Sindroma west terdiri dari trias yaitu spasme infantile dengan keterlambatan
perkembangan psikomotor dan pola EEG yang khas yang disebut hipsaritmia.
Salah satu karakteristik yang paling menonjol dari sindroma ini adalah
perjalanannya yang bergantung pada usia: terjadi hampir selalu pada tahun
pertama kehidupan. Nama lain salaam atau Jack knife seizure.
2.2 EPIDEMIOLOGI
Spasme infantil jarang, dengan insiden kira-kira 0,25-0,42 per 1000
kelahiran hidup dan pada riwayat keluarga epilepsy kira-kira 7-17%. Di Amerika
Serikat frekuensi Spasme infantil 2% dari jumlah epilepsi pada anak-anak tetapi
25% dari jumlah epilepsi yang onsetnya pada tahun pertama kehidupan. Spasme
jarang berkembang sebelum usia 3 bulan. Usia awitan SI yang diperoleh dari
beberapa penelitian hampir seragam, 90% dimulai pada tahun pertama kehidupan,
dan puncak insiden pada usia 4 – 6 bulan. Insiden pada laki-laki lebih banyak dari
pada perempuan sekitar 3:2, tetapi tidak terdapat perbedaan yang bermakna.
Prevalensi angka harapan hidup spasme infantil pada usia 10 tahun diperkirakan
1,5 sampai 2 per 10.000 anak.
4
Page 2
5
2.3 ETIOLOGI
Etiologi spasme infantil dapat diklasifikasikan menurut penyebab yaitu:
simptomatik, kriptogenik, dan idiopatik. Spasme infantil simtomatik jika etiologi
telah diketahui, kriptogenik sebenarnya termasuk SI simtomatik tetapi etiologi
spesifik tidak diketahui. Sedangkan SI idiopatik memperlihatkan perkembangan
normal pada saat onset, pemeriksaan neurologi dan pencitraan normal serta
pemeriksaan EEG menunjukkan hipsaritmia tanpa kelainan epileptiform fokal.
2.3.1 Spasme Infantil Simtomatik
Sebagian besar SI termasuk kategori simptomatik dan Sebanyak 70-75%
memiliki gejala kejang yang spesifik. Besarnya persentase katagori ini tergantung
dari penunjang diagnostik yang dilakukan. Awal tahun 1980, sebagian besar
penelitian mendapatkan kejadian simptomatis sebesar 45-60% kasus. Setelah itu,
kasus simptomatik cenderung mengalami peningkatan yaitu sebesar 70-80%. Hal
ini mungkin akibat adanya kemajuan pemeriksaan penunjang terutama
neuroimaging. Di RSCM Jakarta, didapatkan kasus SI 36 anak, sebanyak 20
orang termasuk simptomatik, 14 orang termasuk kriptogenik dan 2 orang
termasuk idiopatik. Kemungkinan kasus simptomatik lebih besar apabila
dilakukan berbagai macam pemeriksaan penunjang.
Pasien didiagnosa dengan simptomatik infantile spasm jika suatu faktor
yang dapat diidentifikasi bertanggung jawab untuk sindroma ini. Tampaknya
kelainan apapun yang dapat menyebabkan kerusakan otak data berkaitan dengan
spasme infantil. Penyebabnya dapat dibagi menjadi 3 yaitu prenatal, perinatal dan
postnatal.
Prenatal
Penyebab prenatal merupakan penyebab yang tersering yaitu sekitar 30-
45% kasus. Prenatal seperti hidrosefalus, mikrocefali, hydranencephaly,
schizencephaly, polymicrogyria, tuberosklerosis trisomy21, trauma,
infeksi kongenital seperti TORCH (toxoplasmosis, rubella,
citomegalovirus, dan herpes simpleks), sindrom Sturge-Weber,
ensefalopati hipoksik-iskemik, trauma dan incontinentia
pigmenti. Tuberosklerosis menjadi penyebab terbesar pada kasus prenatal
yaitu sebesar 10-30%. Kejadian tuberosklerosis kompleks diperkirakan 1
Page 3
6
per 6000 sampai 9000 populasi, 2/3 diantaranya akibat mutasi sporadik.
Minimal 1/3 kasus tuberosklerosis kompleks menderita spasme infantil,
tipikal pada usia 4-6 bulan. Displasia kortikalterjadi pada lebih dari 30%
kasus dan anomali kromosom mencapai 13% kasus.
Perinatal
Penyebab perinatal merupakan penyebab terbanyak kedua, yaitu mencapai
14-25% kasus spasme infantil. Perinatalsepertimeningitis, trauma,
hipoglikemia neonatal, perdarahan intrakranial dan HIE (hypoxic-ischemic
encephalopathies).
Postnatal
Penyebab postnatal seperti meningitis, encefalitis, non ketotic
hyperglycemia, ensefalopati mitokondrial, fenilketonuria, trauma, penyakit
degeneratif, defisiensi piridoksin, defisiensi biotinidase dan maple syrup
urine disease.
Memeriksa seorang anak dengan infantile spasm untuk kemungkinan
tuberous sclerosis adalah hal yang sangat penting, dan merupakan kelainan yang
paling sering, dijumpai pada 10-30% kasus prenatal. Tuberous sclerosis
merupakan penyakit yang diturunkan secara otosomal dominan dengan
manifestasi yang bervariasi mencakup tumor jantung, tumor ginjal, malformasi
kutaneus seperti lesi hipopigmentasi ash-leaf, dan kejang. Pada beberapa pasien,
diagnosis familial tuberous sclerosis dijumpai hanya setelah seorang anak
mengalami infantile spasm, dan suatu pemeriksaan ekstensif dari anak tersebut
dan keluarganya menunjukkan penyakit genetik.
Kehamilan yang abnormal, adanya riwayat infeksi saat kehamilan
dan prematuritas sering menjadi penyebab SI simptomatik. Pada asfiksia
perinatal dan trauma persalinan biasanya jarang terjadi.SI juga dapat terjadi pada
penderita sindrom Down, dengan kejadian sebesar 1-5 per 100 anak sindrom
Down.
2.3.2 Spasme Infantil Kriptogenik
Penderita didiagnosis SI kriptogenik apabila tidak ada penyebab langsung
yang dapat diidentifikasi tapi ada faktor yang mungkin menjadi penyebab
terjadinya SI. Sebenarnya kriptogenik termasuk kategori simptomatik namun
Page 4
7
penyebab yang spesifik tidak diketahui. Kategori ini biasanya terjadi pada bayi
yang lahir normal dan perkembangan sebelum timbulnya kejang terlihat normal.
Kadang-kadang beberapa anak dalam satu keluarga dapat menderita spasme
infantil, hal ini juga termasuk kriptogenik, akibat adanya pengaruh genetik dan
herediter. Riwayat epilepsi ditemukan pada 40% kasus kriptogenik dan hanya
9,3% penyebabnya perinatal. Hal tersebut menunjukkan bahwa faktor genetik
berperan penting pada kasus kriptogenik tapi tidak pada tipe simptomatik. Kasus
kriptogenik lebih jarang ditemukan dibandingkan dengan simptomatik yaitu
kejadiannya bervariasi berkisar antara 8-42%. Lebarnya rentang kejadian
berhubungan dengan definisi kriptogenik yang digunakan bervariasi dan usia saat
diagnosis. Pada era sekarang ini, kejadian menurun sebanyak 5% akibat
munculnya pemeriksaan neuroradiologik yang semakin canggih (seperti
adanya computed tomography scan (CT scan), MRI (magnetic resonance
imaging), single photon emission tomography dan positron emission
tomography (PET), pemeriksaan metabolik dan juga virologik.
Pasien memiliki spasme infantile kriptogenik jika tidak ada penyebab
diidentifikasi namun suatu penyebab dicurigai dan epilepsi dianggap sebagai
simptomatik. Proporsi dari kasus kriptogenik bervariasi dari 8-42%. Rentang yang
luas ini dapat berhubungan dengan definisi istilah “kriptogenik” dan usia saat
diagnosis, karena penilaian tingkat perkembangan pada masa bayi cukup sulit.
2.3.3 Spasme Infantil Idiopatik
Pasien dapat dianggap memiliki idiopatik infantile spasme jika
perkembangan psikomotor yang normal muncul sebelum onset symptom, tidak
ada penyebab awal atau sebab yang pasti ditemukan, dan tidak ada gangguan
neurologi atau neuroradiologi ditemukan. Beberapa peneliti menggunakan kata
“idiopatik” atau “kriptogenik” dengan maksud yang sama.
Disebut idiopatik bila tidak ada penyakit yang mendasarinya dan penyebab
definitif tidak ditemukan. Perkembangan psikomotor normal sampai onset
serangan muncul atau sebelum terapi dimulai. Tidak didapatkan adanya kelainan
neurologis dan juga kelainan neuroradiologi. Bukti pencetus spasme juga tidak
didapatkan. Kejadian spasme infantil idiopatik dilaporkan sebesar 9-
14%. Gambaran karakteristik bentuk idiopatik yaitu (1) tidak adanya regresi
Page 5
8
mental secara bermakna dan fungsi visual yang masih terpelihara; (2) tidak
adanya abnormalitas EEG interiktal fokal pada pemberian diazepam intravena;
(3) hipsaritmia muncul secara berulang diantara serangan spasme yang
berkelompok secara berurutan; (4) tidak dijumpai adanya lesi pada otak kortikal;
(5) outcome baik.
2.4 PATOGENESIS
Patofisiologi SI masih belum jelas, namun banyak model patofisiologi
yang telah dikemukakan terfokus pada struktur subkorteks, terutama batang otak
sebagai pusat mekanisme primer klinis spasme dan hipsaritmia. Beberapa
hipotesis yang dikemukakan yaitu hiperaktivitas serotonergik otak,
monoaminergik-kolinergik dan neurotransmision opioid. Stresor yang berbeda-
beda atau bervariasi pada otak yang masih imatur, diduga dapat menyebabkan
produksi dan sekresi hormon CRH (corticotropin -releasing hormone) secara
berlebihan akibat disregulasi aksis hipotalamik-hipofisial sehingga timbul
keadaan spasme atau kejang. Produksi hormon CRH yang berlebihan dapat
ditekan oleh hormon ACTH dan glukokortikoid. Nukleus lentikularis juga
mengalami keadaan hipermetabolisme dan hal ini secara konsisten tampak pada
pemeriksaan PET.
Fungsi abnormal batang otak dapat mempengaruhi hemisfer cerebral
secara difus yang menyebar ke bagian korteks. SI terjadi akibat interaksi abnormal
(disharmoni) antara korteks dan struktur batang otak atau adanya suatu reaksi non
spesifik korteks serebri yang belum matang terhadap trauma atau pertumbuhan
dan perkembangan yang abnormal. Lesi fokal pada awal kehidupan dapat
menyebabkan efek sekunder di bagian otak yang lain. Hipsaritmia mungkin
terjadi akibat adanya aktivitas yang abnormal dari beberapa bagian otak.
Timbulnya SI pada usia spesifik mungkin akibat imaturnya sistem saraf pusat.
SI mungkin juga berhubungan dengan disfungsi cerebral ATP-sensitive
potassium channel pada otak yang sedang mengalami perkembangan. Kir6.2
diekspresikan sangat tinggi di korteks serebri dan berperanan penting pada
berbagai fungsi sel. Mutasi pada Kir6.2 menyebabkan penutupan channel dan
kemudian mengakibatkan terjadinya depolarisasi sel dan hipereksibilitas.
Page 6
9
Hipereksibilitas yang terjadi selama periode kritis perkembangan otak dianggap
sebagai onset dari SI dan hipsaritmia.Padamodel tikus, adanya ekspresi Kir6.2
yang berlebihan dapat melindungi terhadap hypoxic ischemic injury dan
mengurangi kerusakan neuron, sebaliknya akibat hipoksia dapat menyebabkan
kehilangan fungsi ATP-sensitive potassium channel sehingga timbulah kejang.
Hipoksia pada otak yang sedang mengalami perkembangan telah diketahui
sebagai penyebab timbulnya SI.
Tuberosklerosis (Epiloia, penyakit Bourneville) salah satu penyebab SI
simptomatis merupakan penyakit yang diturunkan secara dominan autosomal
akibat adanya mutasi pada gen TSC1 dan TSC2. Gen TSC1 terletak pada
kromosom band 9q34 yang mengkode protein hamartin sedangkan gen TSC2
terletak pada kromosom band 16p13 yang mengkode protein tuberin. Kadar
tuberin tertinggi terdapat pada otak, jantung, ginjal, arteriol ginjal, kulit, dan
jantung, sel purkinje serebelar dan neuron piramidal yang berfungsi dalam
neurogenesis dan aktivasi GTP-ase. Kedua protein ini berfungsi sebagai tumour
growth suppressors yang mengatur pembelahan dan pertumbuhan sel. Mutasi
pada kedua lokus gen menyebabkan hilangnya kontrol pertumbuhan dan
pembelahan sel sehingga dapat membentuk lesi hamartomatous yang bervariasi di
berbagai organ tubuh. Lesi di otak ada 3 tipe kelainan yang terjadi yaitu: tuber
kortikal, nodul subependimal, dan gangguan myelinisasi. Tuber kortikal
merupakan kelainan yang terbanyak dan lokasi tuber tersering ditemukan yaitu di
lobus frontal, namun densitas tertinggi pada lobus parietal. Pada pemeriksaan
histologi, tuber terlihat sebagai daerah sklerotik yang terdiri dari sel giant atipikal
yang tumbuh berlebihan.
Penyebab yang lain dari SI simptomatis yaitu sindrom Sturge Weber
(sindrom ensefalotrigeminal vaskular). Lesi dasar penyakit Sturge Weber adalah
adanya hemangioma kapiler kongenital pada kulit muka dan daerah leher, selaput
mukosa, leptomeningens, koroid dan kortek. Angiomatosis atau malformasi
terutama pada otak menyebabkan aliran darah di pembuluh darah stasis, melambat
dan hipoksia sehingga metabolisme neuronal akan menurun. Hipoksia
mengakibatkan aliran abnormal ke pleksus, hipertrofi pleksus koroid,
permeabilitas kapiler meningkat, perubahan pH, deposisi kalsium, atrofi serebral
Page 7
10
dan rusaknya sawar darah otak. Predileksi angiomatosis leptomeningeal yaitu
regio oksipital atau oksipitoparietal salah satu sisi hemisfer.
2.5 MANIFESTASI KLINIK
Manifestasi klinis yang timbul dapat dibedakan menjadi 2 yaitu
manifestasi klinis dari penyakit yang mendasarinya dan gejala klinis dari SI.
2.5.1 Manifestasi Klinik dari Penyakit Dasar
Penyakit yang mendasari SI cukup banyak yaitu pada kasus simptomatis.
Apabila ada kecurigaan adanya SI, maka perlu dicari manifestasi klinis yang
kemungkinan menjadi penyebab. Perhatikan apakah ada kelainan kongenital,
infeksi kongenital seperti TORCH, encefalitis atau meningitis, kumpulan gejala-
gejala untuk sindrom Down, penyakit Sturge Weber dan sebagainya.
Tuberosklerosis dan sindrom Sturge Weber termasuk sindrom neurokutan atau
fakomatosis yang mencakup lesi kulit dan susunan saraf, dan sering disertai
kelainan pada mata dan viscera. Tuberosklerosis ditandai oleh trias yaitu epilepsi
dan retardasi mental (kelainan saraf) dan adenoma sebaseum (kelainan kulit).
Retardasi mental bervariasi dari ringan sampai berat. Bentuk epilepsi dapat berupa
SI pada saat bayi, jenis parsial kompleks dan tonik klonik umum pada anak yang
sudah besar. Adenoma sebaseum dapat ditemukan di pipi, dagu, dahi dan kulit
kepala. Kelainan ini sebenarnya merupakan angiofibroma (hemartoma kutaneus)
dan kelenjar sebaseum terlibat secara pasif, tidak berhubungan produksi sebum
yang berlebihan atau jerawat. Selain itu, manifestasi kulit yang lain yaitu bercak
kulit hipopigmen/hipomelanotik yang biasanya berbentuk oval atau tak beraturan,
ukuran bervariasi dapat terlihat sejak lahir atau tidak nampak sama sekali. Pada
pemeriksaan mata, didapatkan 50-80% kelainan di retina yaitu astrositoma yang
berupa nodul, bercak keputihan, agak menimbul (fakomata). Kelainan ini tidak
akan memberikan gejala atau menganggu penglihatan. Rabdomioma jantung yaitu
tumor jinak fokal atau difus dan dapat infiltasi, yang merupakan komplikasi
tuberosklerosis yang jarang terjadi. Manifestasi penyakit ini berupa gagal jantung
yang progresif, aritmia dan kematian mendadak. Sebanyak 50-85% dari pasien
rabdomioma merupakan pasien tuberosklerosis. Tumor jinak , yang terdiri dari
Page 8
11
campuran jaringan fibrosa, lemak, pembuluh darah dan otot polos, sebagian kistik
dijumpai pada banyak organ seperti ginjal, jantung, hepar, lien, dan paru.
Manifestasi klinis sindrom Sturge Weber yaitu berupa nevus vaskular
kongenital yang berwarna merah anggur di daerah muka bagian atas, kelopak
mata superior atau daerah supraorbital. Angioma dapat melibatkan selaput
mukosa nasofaring dan membran koroid mata serta visera lainnya. Glaukoma
unilateral pada mata dan buftalmus dapat terjadi bersamaan dengan angioma
membran koroid. Sebesar 75-90% pasien akan mengalami epilepsi fokal atau
umum. Epilepsi biasanya merupakan manifestasi neurologis awal dan lebih sering
terjadi pada usia kurang dari 1 tahun. Kejang yang terjadi dapat bersifat progresif
dan refrakter kemudian diikuti dengan hemiparesis permanen atau sementara.
2.5.2 Manifestasi Klinik Spasme Infantil (SI)
Manifestasi klinis yang paling khas untuk SI adalah adanya serangan
spasme yang terjadi sebagai sekelompok/serumpun serangan (cluster). Satu
kelompok serangan terdiri dari beberapa kali sampai ratusan kali serangan, bahkan
ada pula yang mencapai ribuan kali serangan dalam sehari. Spasme berlangsung
selama beberapa detik. Pengulangan serangan ini merupakan tanda diagnostik
yang sangat penting. Pada bayi yang berumur kurang dari 1 tahun, terlihatnya
gerakan-gerakan berulang walaupun tidak khas seperti head
nodding (mengangguk-anggukkan kepala), gerakan menyentak tiba-tiba dari
tungkai, perlu dipikirkan adanya spasme infantil, apalagi bila disertai dengan
keterlambatan perkembangan psikomotor atau kelainan neurologis lainnya. Head
nodding tidak digolongkan ke dalam bentuk dasar SI tapi termasuk bentuk
atipikal, karena masih diperdebatkan. Tangisan atau jeritan biasanya terdengar
segera setelah terjadinya spasme. Pada sebagian penderita, teriakan dapat
mendahului suatu serangan spasme. Rumpun serangan sering terjadi pada
fase twilight yaitu beberapa saat sebelum tidur atau pada saat bayi mengantuk,
baru bangun dari tidur dan dapat pula timbul selama tidur, walaupun hal ini jarang
terjadi. Sebanyak 70-90% pasien SI, kejang akan diikuti dengan regresi
perkembangan psikomotor dan seringkali berhubungan dengan keterlambatan
perkembangan. Saat diagnosis ditegakkan, perkembangan yang normal hanya
ditemukan sebanyak 10% dan sebesar 70% ditemukan adanya pemeriksaan
Page 9
12
neurologis yang abnormal. Kelainan neurologis pada kasus simptomatik lebih
besar dibandingkan dengan idiopatik.
Spasme unilateral atau asimetris sangat jarang ditemukan dan biasanya
menunjukkan kerusakan-kerusakan patologis otak. Kelainan ini dapat pula disertai
dengan kejang umum atau parsial. Bentuk dasar SI terbagi menjadi 3 tipe yaitu
tipe fleksor, ekstensor, atau campuran kedua-duanya sesuai dengan jenis otot yang
terkena.
1. Spasme Ekstensor
Tipe spasme ini sebesar 19-23% dari kasus. Spasme ekstensor terdiri
dari ekstensi leher dan batang tubuh secara mendadak, ekstensi
simetris kedepan, abduksi pada ekstremitas atas serta ekstensi
ekstremitas bawah pada pangkal paha dan lutut. Tipe ini juga disebut
dengan spasme bersorak atau juga menyerupai refleks moro. Spasme
ekstensor dan asimetris atau spasme unilateral sering berhubungan
dengan kasus simptomatik.
Gambar 2.1 Spasme Ekstensor
2. Spasme Flexor
Spasme ini terjadi sekitar 34-42% kasus. Bayi terlihat tiba-tiba kejang,
kontraksi otot fleksor, yang terlihat sebagai fleksi kepala, tubuh, dan
tungkai serta aduksi. Disebut juga jack-knive convulsion (seperti pisau
lipat), salaam spasm/ grusskrampfe (terlihat seperti orang yang
menunduk memberi hormat. Serangan kejang yang terjadi sangat
singkat, dapat berlangsung kurang dari 1 menit. Pada beberapa pasien,
dapat berlangsung selama 10-15 menit bahkan lebih. Karena serangan
cepat dan singkat, dikenal pula dengan sebutan blitz-krampfe (seperti
kilat). Pada tipe ini, ekstremitas aduksi sedemikian rupa sehingga bayi
tampak seperti memeluk dirinya sendiri dan sering berhubungan
Page 10
A B
C D
13
dengan menangis. Setelah itu, penderita relaksasi kemudian kejang
dapat berulang kembali, demikian seterusnya, sehingga dapat terjadi
berkali-kali selama 1 hari.
Gambar 2.2 Spasme Flexor, A. Kondisi bayi sebelum mengalami spasme; B & C. Kondisi bayi saat mengalami spasme; D. Relaksasi
setelah mengalami spasme.
3. Spasme Campuran
Tipe spasme ini merupakan tipe yang tersering ditemukan yaitu
sebesar 42-50% kasus. Pada spasme campuran, postur primernya
mungkin berupa fleksi atau ekstensi leher dan batang tubuh, tetapi
kontraksi ekstremitas berlawanan dengan postur primernya.
2.6 PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik yang ditemukan tergantung dari penyakit yang
mendasarinya, sering ditemukan dalam batas normal. Tidak ada tanda
patognomonis untuk pemeriksaan pasien dengan spasme infantil. Pengukuran
lingkar kepala sangat penting dilakukan untuk mengetahui adanya mikrosefali,
makrosefali atau normosefali. Kulit diperiksa secara menyeluruh untuk melihat
adanya adenoma sebaseum pada tuberosklerosis atau mungkin kelainan yang
lainnya. Fungsi nervus kranial, pemeriksaan refleks, sensori dan motorik tidak
spesifik dan sangat tergantung dari kerusakan otak dan penyakit yang
mendasarinya.
Page 11
14
2.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium,
neuroradiologis, lumbal pungsi, pemeriksaan mata, atau lampu wood dilakukan
untuk mengetahui kemungkinan yang menjadi penyebab spasme. Pemeriksaan
yang paling penting dan harus selalu dilakukan apabila kita curiga spasme infantil
yaitu pemeriksaan EEG, karena pasien dengan spasme infantil sering
berhubungan dengan EEG yang abnormal.
2.7.1 Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratoriumdilakukan sesuai dengan indikasi untuk mencari
kemungkinan penyebab spasme infantil seperti pemeriksaan darah lengkap, fungsi
hati, fungsi ginjal, elektrolit, gula, urine lengkap, serum laktat dan piruvat dan
amonia plasma. LCS diperiksa bila curiga adanya meningitis atau encefalitis. Bila
diperlukan, lakukan pemeriksaan kultur darah, urin dan LCS. Kecurigaan
terhadap TORCH perlu dilakukan pemeriksaan serologis. Bila memungkinkan
dilakukan pemeriksaan gen untuk mengetahui adanya mutasi gen terutama pada
pasien tuberosklerosis.
2.7.2 Pemeriksaan Neuroradiologis
Pemeriksaan neuroradiologis pada pasien SI sebanyak 70-80% ditemukan
abnormal. Pada CT-scan kepala dapat dilihat adanya anomali struktur otak seperti
hidrosefalus, hydranencephaly, schizencephaly, agenesis korpus callosum.
Kalsifikasi serebri dapat ditemukan pada pasien dengan tuberosklerosis atau
infeksi kongenital. Pasien tuberosklerosis akan dijumpai kalsifikasi yang
umumnya terlihat di daerah foramen Monro atau periventrikular. Selain itu, dapat
pula menunjukkan adanya hematoma serebral, tumor subependim,
ventrikulomegali, dan daerah demielinisasi difus. MRI lebih superior
dibandingkan dengan CT scan karena dapat mendeteksi disgenesis kortikal,
gangguan migrasi neuron atau gangguan mielinisasi. Gambaran CT scan kepala
pasien sindrom Sturge Weber menunjukkan kalsifikasi intrakranial yang khas
yaitu kalsifikasi tersusun seperti garis yang pararel (jalan kereta api) atau
konvolusi seperti ular dan lebih menonjol di daerah oksipital.
Page 12
15
2.7.3 Pemeriksaan EEG
Pemeriksaan EEG harus selalu dilakukan apabila kita curiga adanya SI
karena biasanya berhubungan dengan gambaran EEG yang abnormal.
Abnormalitas interiktal klasik yang sering ditemukan yaitu hipsaritmia tanpa
kelainan epileptiform fokal. Tidak semua SI menunjukkan gambaran hipsaritmia
pada EEG dan hipsaritmia juga tidak spesifik untuk SI karena dapat ditemukan
pada sindrom epilepsi yang lain. Pada tuberosklerosis, hanya 1/3 kasus yang
menunjukkan hipsaritmia. Gambaran EEG yang khas yaitu rekaman pada
keadaaan sadar tampak gambaran gelombang irama dasar yang tidak teratur
diseluruh korteks, tak terorganisasi, amplitudo gelombang yang tinggi mencapai
500 uv disertai dengan gelombang tajam (sharp wave) dan gelombang paku (spike
wave) yang tersebar tidak rata di seluruh korteks serta tidak sinkron (multifokal).
Hipsaritmia berkaitan dengan usia, akan berangsur berubah sesuai dengan
bertambahnya umur dan makin matangnya susunan saraf pusat. Pada umumnya,
resolusi hipsaritmia bersamaan dengan hilangnya SI, kadang ditemukan
hipsaritmia yang menetap walaupun spasme telah menghilang. Modifikasi atau
beberapa variasi yang dapat ditemukan pada SI yaitu hipsaritmia dengan
sinkronisasi interhemisfer, hipsaritmia dengan fokus epileptiform yang konsisten,
hemihipsaritmia, hipsaritmia dengan episode yang melemah, atau hipsaritmia
dengan aktivitas gelombang lambat bervoltase tinggi yang disertai gelombang
paku minimal seperti terlihat pada gambar 2.3 dan 2.4.
Gambar 2.3 Gambaran EEG hipsaritmi pada SI
Page 13
16
Gambar 2.4 Gambaran EEG Burst-Suppression pada SI
2.7.4 Pemeriksaan Lainnya
Pemeriksaan mata diperlukan untuk melihat kelainan pada retina,
fungsi penglihatan, glaukoma, koreoretinitis, infeksi kongenital, atau tuber
retinal pada tuberosklerosis. Lampu wood dilakukan untuk melihat adanya
lesi hipopigmentasi pada tuberosklerosis.
2.8 DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Kemungkinan yang menjadi penyebab juga perlu dicari,
sehingga diketahui apakah termasuk simptomatik, kriptogenik, atau idiopatik.
Menegakkan diagnosis SI tidaklah mudah. Walaupun tidak ada yang
patognomonis, yang harus ditentukan dari anamnesis atau pemeriksaan fisik yaitu
apakah penderita memang benar mengalami serangan spasme, karena serangan
spasme ini merupakan tanda khas dari SI. Secara singkat diagnosis SI ditegakkan
berdasarkan:
1. Gejala serangan yang khas
2. Kelainan neurologis atau keterlambatan tahapan perkembangan
3. Gambaran EEG yang khas yaitu terlihat gambaran hipsaritmia
atau supression burst atau multifokal
Page 14
17
Gambar 2.5 Algoritma Pemeriksaan pada Pasien SI
2.9 DIAGNOSIS BANDING
Berdasarkan gejala klinis, terdapat beberapa yang menyerupai SI, yang
seringkali terjadi kesalahan dalam mendiagnosis SI yaitu seperti berikut:
1. Head nodding
2. Epilepsi mioklonik
2.10 PENATALAKSANAAN
Tujuan utama pengobatan pada SI adalah meningkatkan kualitas hidup
dengan mengontrol serangan spasme atau kejang, meminimalkan efek samping
akibat pengobatan serta meminimalkan jumlah pemberian obat-obatan. Sebagian
Page 15
18
besar SI resisten terhadap obat antiepilepsi standar. Pengobatan ditujukan
terhadap penyakit dasar dan mengatasi spasmenya. Spasme diatasi dengan
pemberian medikamentosa dan diet ketogenik. Medikamentosa terdiri dari
pengobatan lini pertama yaitu ACTH, prednison, vigabatrin, dan piridoksin
(vitamin B6) sedangkan benzodiazepin, asam valproat, lamotrigin, topiramat,
zonisamide dan diet ketogenik digunakan sebagai obat pilihan lini kedua.
Walaupun demikian, sayangnya tidak ada satu obat pun yang dapat memberikan
hasil yang memuaskan dan kurangnya konsensus tentang pemilihan obat untuk
pengobatan SI.
2.10.1 Pengobatan Terhadap Penyakit Dasar
Pada kasus simptomatis, selain mengatasi serangan spasme,
pengobatan juga harus ditujukan terhadap penyakit yang mendasarinya.
Pengobatan penyakit dasar dapat berupa medikamentosa ataupun tindakan
pembedahan. Vigabatrin merupakan obat pilihan utama yang telah terbukti
efektif dan sudah ada konsensus tentang tuberosklerosis yang diterbitkan
pada tahun 2000. Pada penyakit Sturge Weber, penanganan tergantung
dari manifestasi klinis. Fisioterapi dilakukan apabila ada kelumpuhan
sedangkan wajah dapat diberikan krim.
Tindakan pembedahan pada pasien SI dilakukan apabila terdapat
lesi fokal pada otak yang diidentifikasi dengan pemeriksaan teknik
imaging. Lokasi fokus epileptiptogenik sebelum dilakukan tindakan
pembedahan diidentifikasi dengan menggunakan video-EEG dan PET.
Studi melaporkan bahwa dengan tindakan pembedahan pada lesi otak
seperti tumor atau kista pada otak terbukti dapat mengatasi spasme.
Reseksi lobus yang terlibat bahkan mungkin hemisferektomi.
Hemiferektomi dapat dipertimbangkan pada bayi usia < 1 tahun dengan
serangan spasme yang tak terkontrol.
2.10.2 Mengatasi Spasme
Medikamentosa
1. ACTH
Terapi hormonal dengan menggunakan ACTH telah dikenal sejak
tahun 1958. Efektivitas pemberian ACTH yaitu dapat
Page 16
19
menghentikan kejang, menghilangkan hipsaritmia dan memperbaiki
fungsi kognitif.ACTH terutama digunakan di Amerika Serikat dan di
Inggris. Survei di Amerika Serikat mendapatkan bahwa sebesar 88%
ahli saraf anak menggunakan ACTH sebagai pilihan utama SI. Di
Inggris, penggunaan ACTH atau vigabatrin sebagai pilihan pertama
yaitu sebanyak lebih dari 80%. Di Eropa dan di Jepang, ACTH tidak
digunakan sebagai obat pilihan utama SI, sedangkan di Indonesia,
obat ini jarang digunakan karena terbatasnya persediaan. Mekanisme
kerja ACTH yaitu mengikat reseptor pasangan protein G pada kortek
adrenal dan meningkatkan C-Adenosin Mono Phospat (C-AMP).
Stimulasi pada kortek adrenal menyebabkan diproduksinya
glukokortikoid yaitu kortikosteroid dan mengontrol sekresi kortisol.
ACTH diduga mempunyai efek langsung terhadap susunan saraf
pusat, mungkin sebagai efek tambahan akibat pelepasan kortisol atau
merupakan efek yang terpisah. Analog ACTH yang tidak
mempunyai efek steroidogenik, tidak efektif untuk SI. Selain itu,
ACTH diduga dapat mempercepat pertumbuhan mielin, merangsang
sintesis DNA dan RNA serta menginduksi enzim-enzim otak
sehingga dapat memperpendek spasme. Permasalahan pemberian
ACTH yaitu mengenai dosis, lama pemberian dan timbul efek
samping yang serius.
Dosis pemberian ACTH masih kontroversi, walaupun telah
digunakan lebih dari 40 tahun. Rekomendasi yang dikeluarkan
oleh American Academy of Neurology and the Child Neurology
Society (2004) bahwa ACTH efektif digunakan untuk terapi jangka
pendek SI dan perbaikan hipsaritmia (level B) tetapi tidak terdapat
bukti cukup yang dipakai untuk merekomendasikan dosis optimum
dan lama terapi ACTH (level U). Beberapa jadwal terapi ACTH
telah dipublikasikan, namun tidak ada satupun protokol yang
dikeluarkan untuk penggunaan ACTH, sehingga terdapat berbagai
variasi penggunaan kortikotropin alami atau sintetis oleh banyak
peneliti baik dalam hal dosis, lama pemberian ACTH. Terapi ACTH
Page 17
20
pada umumnyadiberikan selama 2-6 minggu dengan dosis 20-50
unit, disuntikan intramuskuler 3 kali seminggu (2 hari sekali).
Setelah 1-2 minggu terapi, lakukan EEG dan bila EEG normal,
ACTH dihentikan. Terapi OAE selanjutnya tergantung tipe kejang
yang masih ada.
Kortikotropin atau ACTH alamiah mempunyai masa kerja 12-18
jam, sedangkan derivat sintetiknya yaitu Zn-tetracosactrin mem-
punyai masa kerja 24-48 jam. 1 mg tetracosactrin setara dengan 100
unit kortikotropin. Di Jepang menggunakan dosis 3-14 IU/hari,
Finlandia 18-36 IU/hari, dan Amerika 80 IU/hari. Rentang dosis
ACTH yaitu antara 0,2 IU/kg sampai 150 IU/m2 luas permukaan
tubuh diberikan secara intramuskuler. ACTH dosis tinggi yaitu 120-
160 IU/hari dengan lama pemberian 1 sampai 6 minggu dan total
lama pemberian 4-12 minggu, sedangkan ACTH dosis rendah
apabila dosis ACTH yang digunakan 20-40 IU/hari. Tidak
didapatkan perbedaan yang jelas antara pemberian ACTH dosis
tinggi dan rendah. Sebaiknya dosis yangdigunakan adalah dosis yang
rendah, dimulai dari dosis 40 IU/hari IM selama minimal 1 bulan
(bentuk nonsintetik ACTH gel) dan kemudian lakukan tapering 10
IU setiap minggu. Apabila serangan tidak berkurang dalam 2
minggu, maka dosis ACTH dapat dinaikkan 10 IU setiap minggu
sampai maksimal dosis 80 IU. Jika serangan masih ada, dapat
diberikan asam valproat dengan dosis 40-100 mg/kg/hari atau
nitrazepam 0,6-1,0 mg/kg/hari atau klonazepam 0,1-0,3 mg/kg/hari.
Dosis pemberian ACTH dapat dinaikkan kembali sampai dosis yang
dapat menghentikan serangan apabila terjadi serangan saat dilakukan
penurunan dosis. Setelah serangan teratasi, dosis ACTH tersebut
dipertahankan selama minimal 1 bulan kemudian dosis diturunkan
kembali. Neurologis anak di Jepang lebih banyak dan lebih
menyukai menggunakan dosis rendah dengan jadwal pemberian
yaitu disuntikkan setiap hari selama 2 minggu kemudian diturunkan
selama 6 minggu (cara penurunan dengan memberikan ACTH setiap
Page 18
21
2 hari sekali selama 2 minggu, diikuti dengan 2 kali seminggu
selama 2 minggu, kemudian 1 minggu sekali selama 2
minggu). Secara umum, ACTH tidak boleh diberikan lebih dari 40-
60 hari. Hasil studi retrospektif tentang analisis respon peningkatan
dosis ACTH, didapatkan kesimpulan bahwa dari 9 pasien, kejang
berhenti dengan pemberian ACTH dosis 0,6 IU/kg/hari (6 unit untuk
bayi <10 kg) dan dengan dosis 0,8 IU/kg/hari dapat menghilangkan
gambaran hipsaritmia. Dosis ACTH-Z sintetik yang sering dipakai di
Jepang adalah 0,0125 mg/kg/hari sedangkan institusi lainnya
menggunakan dosis 0,015 mg/kg/hari.
Angka keberhasilan ACTH rata-rata sebesar 70%. Banyak studi
melaporkan angka keberhasilan antara 30-100% dengan interval
pemberian selama 8-12 hari. Ada pula yang melaporkan bahwa
angka keberhasilan bervariasi antara 50-90%. Vigevano dan Cilio
(1997) mendapatkan angka keberhasilan sebesar 81% dibandingkan
dengan vigabatrin sebesar 46%. Persentase keberhasilan bervariasi
karena adanya perbedaan etiologi (respon lebih baik pada kasus
kriptogenik), dosis, lama pemberian dan efek samping ACTH.
ACTH lebih efektif diberikan pada kasus dengan perinatal hipoksia
atau iskemik. American Academy of Neurology and the Child
Neurology Society (2004) melaporkan respon ACTH berdasarkan
klas. Pada studi klas I, didapatkan angka keberhasilan ACTH dosis
tinggi mencapai 87% sedangkan studi klas II, angka keberhasilan
dosis rendah dan dalam waktu yang singkat mencapai 42%. Tidak
didapatkan adanya hubungan antara dosis dan respon terapi ACTH
pada studi klas III. Angka kekambuhan sebesar 15% pada studi klas
I, 33% pada studi klas II dan sebesar 19-24% pada studi klas III.
Kejadian efek samping pemberian ACTH cukup tinggi seperti
imunosupresi, hipertensi, iritabilitas, meningkatnya nafsu makan,
redistribusi lemak tubuh sehingga wajah dan leher tampak berlemak
sedangkan kaki dan tangan mengecil, obesitas, gangguan elektrolit,
kadar gula darah meningkat. Kejadian hipertensi dilaporkan sebesar
Page 19
22
0-37%, iritabilitas sebesar 37-100%, infeksi sebesar 14% dan atrofi
serebri sebesar 62%. Komplikasi yang timbul tergantung dari dosis,
lama pemberian dan sensitivitas individu terhadap ACTH.
Imunosupresi dapat menyebabkan infeksi berat dan serius dan
merupakan penyebab kematian tersering selama terapi ACTH.
Obesitas dan iritabilitas merupakan efek samping yang sering terjadi.
Hipokalemia merupakan gangguan elektrolit yang sering dijumpai.
Vigevano dan Cilio (1997) mendapatkan kejadian efek samping
pemberian ACTH mencapai 37% berupa hipertensi, iritabilitas dan
mengantuk. Kortikotropin sintetik yang diberikan pada 214 pasien
Finnish antara tahun 1960-1978 dilaporkan 7 orang pasien
meninggal akibat pneumonia atau sepsis dan perdarahan
intraventrikular masif. Studi di Jepang pada 138 pasien yang
diberikan kortikotropin sintetik didapatkan sebanyak 7% mengalami
infeksi, hipertensi atau perdarahan intrakranial. Pada SI simptomatik
sebaiknya tidak diberikan terapi ACTH, terlebih lagi penderita
dengan retardasi berat, penyakit kongenital, atau penyakit infeksi
berat lainnya karena sebagian besar akan kambuh selama pemberian
ACTH. Pemberian ACTH atau kortikosteroid pada kelompok
simptomatik dengan cacat otak berat tidak banyak manfaatnya. Efek
samping dapat diminimalkan apabila dosis diturunkan dengan cepat
dan secara bertahap. Akibat adanya potensial terjadinya efek
samping yang serius dengan pemberian ACTH, sehingga pengunaan
ACTH menyebabkan mortalitas dan morbitas yang tinggi.
2. Steroid
Kortikosteroid oral lebih disukai oleh beberapa penulis yaitu
dengan memberikan prednison 2 mg/kg/hari atau deksametason 0,3
mg/kgbb/hari. Pemberian ACTH atau prednison merupakan all or
non phenomena dan biasanya memberikan hasil yang lebih baik pada
tipe kriptogenik. Mekanisme prednison dalam mengontrol spasme
belum dimengerti. Dosis permulaan yaitu 2 mg/kg/hari selama 4
minggu. Apabila tidak ada respon, dosis yang sama dilanjutkan
Page 20
23
selama 2 minggu lagi, selama 12 minggu berikutnya dosis prednison
dikurangi menjadi setengahnya (1mg/kg/hari) kemudian dihentikan
secara bertahap selama 4 minggu.
Penelitian di Los Angeles tahun 1996 mendapatkan sebanyak 13
dari 15 pasien spasme infantil (86,6%) berespon baik secara klinis
dan gambaran EEG setelah diberikan terapi ACTH dosis tinggi (150
UI/m2/hari) selama 2 minggu sedangkan hanya 4 dari 14 pasien
(28,6%) yang berespon pada kelompok yang diberikan prednison (2
mg/kg/hari) selama 2 minggu. Disimpulkan bahwa efektivitas ACTH
dosis tinggi lebih superior. Secara teori, ACTH terutama dosis
tinggi lebih efektif dalam menekan ekspresi gen CRH dibandingkan
dengan prednison. Sebelumnya, penelitian uji klinis didapatkan
efikasi yang sama antara pemberian prednison dan ACTH dengan
dosis 20-30 UI yang diberikan dalam waktu yang singkat. American
Academy of Neurology and the Child Neurology Society (2004)
melaporkan bahwa pada studi klas II, tidak terdapat perbedaan
efikasi secara bermakna antara ACTH dosis rendah dengan
prednison. Pada studi klas IV, ACTH dosis tinggi lebih superior
dengan respon 100% menghilangkan spasme dibandingkan dengan
prednison yang hanya berespon sebesar 59%. Sebesar 97%
gambaran EEG menjadi normal pada pemberian ACTH sedangkan
pada pemberian prednison hanya 50%.
Efek samping pemberian steroid yang dilaporkan hampir sama
dengan pemberian ACTH. Obesitas, retardasi pertumbuhan,
timbulnya jerawat dan iritabilitas merupakan efek samping yang
ringan sedangkan gagal jantung kongestif, imunosupresi, hipertensi,
perdarahan intraserebral, atropi otak transien, gangguan elektrolit
dan alkalosis hipokalemik merupakan efek samping yang berat.
3. Vigabatrin
Vigabatrin (g-vinyl GABA) merupakan penghambat ireversibel
aminotransferase (GABA-T), enzim yang dapat mendegradasi
GABA sehingga kadar GABA dalam otak meningkat. Obat ini
Page 21
24
digunakan secara luas di Eropa sebagai obat lini pertama untuk SI
tapi tidak disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) di
Amerika Serikat. Vigabatrin terutama efektif bila digunakan pada
pasien tuberosklerosis kompleks dengan angka keberhasilan
mencapai 70%. Waktu paruh kira-kira 6-8 jam. Pada studi Dosis
yang adekuat belum didefinisikan, rentang dosis yang dipakai yaitu
18-200 mg/kg/hari. Dosis 100-150 mg/kg/hari lebih sering efektif
dan dapat ditoleransi dengan multisenter sebanyak 135 anak dengan
epilepsi refrakter, 13 diantaranya adalah sindrom West, didapatkan
tidak adanya efek samping dengan pemberian vigabatrin dosis lebih
dari 100 mg/kg/hari.
Respon pemberian vigabatrin pada 192 pasien SI didapatkan
sebesar 69,4% spasme dapat ditekan pada kasus kriptogenik dan
sebesar 59,7% kasus simptomatik. Pada tuberosklerosis komplek
dapat mengontrol kejang sebesar 96% (27 dari 28 pasien). Sebanyak
82% kejang terkontrol setelah 7 hari pengobatan (median 4 hari,
rata-rata 5,7 hari, dan rentang 0,5-7 hari). Penelitian tentang efikasi
vigabatrin dengan hidrokortison pada tuberosklerosis tahun 1995
didapatkan bahwa vigabatrin lebih efektif mengatasi kejang yaitu
sebesar 100% (11 dari 11 pasien) dibandingkan dengan pemberian
hidrokortison yang hanya sebesar 36% (4 dari 11 pasien). Fejerman,
dkk (2000) melaporkan bahwa vigabatrin dapat mengatasi kejang
sebesar 61,8% pada kasus kriptogenik dan sebesar 29,2% pada kasus
simptomatik. Jumlah kejang rata-rata berkurang setelah 6,7 hari
dengan rentang 1-12 hari dan rata-rata dosis 150 mg/kg/hari.
Vigevano dan Cilio (1997) melakukan penelitian prospektif yang
membandingkan vigabatrin dengan ACTH sebagai obat lini pertama
SI. Angka keberhasilan pemberian vigabatrin sebesar 48%, lebih
rendah dibandingkan dengan pemberian ACTH (81%). Tidak
terdapat perbedaan pada kasus kriptogenik. Angka kekambuhan
didapatkan lebih tinggi pada pemberian ACTH. Respon pengobatan
vigabatrin sangat cepat yaitu dalam waktu 3 hari pada 7 kasus dan 8
Page 22
25
hari pada 10 kasus, namun efek pada EEG sangat lambat
dibandingkan ACTH. Karena secara umum ACTH tidak boleh
diberikan lebih dari 40-60 hari maka vigabatrin diberikan pada
kasus relaps setelah pemberian ACTH. American Academy of
Neurology and the Child Neurology Society (2004) mengeluarkan
rekomendasi bahwa vigabatrin mungkin efektif untuk pengobatan
jangka pendek SI (level C, klas III dan IV). Efek samping yang
dilaporkan yaitu efek sedasi 9-24% kasus, iritabilitas 4-9%, insomnia
dan hipotonia pada 9% kasus. Penyempitan lapangan pandang
merupakan efek samping yang paling banyak dilaporkan secara
bermakna yaitu sebesar 10-40% pasien dewasa. Efek ini juga
dilaporkan terjadi pada pasien anak-anak. Hammoudi, dkk (2005)
melaporkan bahwa anak dengan SI yang mendapatkan pengobatan
vigabatrin mungkin akan mengalami penurunan fungsi visual
walaupun tidak terjadi gangguan visual pada kortek. Hasil
pemeriksaan dengan kontras didapatkan bahwa adanya penurunan
fungsi penglihatan mungkin lebih berhubungan dengan SI daripada
akibat vigabatrin. Mengingat efek samping yang mungkin terjadi,
maka pemeriksaan mata sebaiknya dilakukan sebelum penggunaan
vigabatrin dan setiap 3 bulan selama pengobatan vigabatrin.
4. Vitamin B6
Piridoksin (vitamin B6) merupakan terapi pilihan pertama untuk
SI di Jepang, yang digunakan oleh lebih dari 70% institut.
Dosis pemeliharaan vitamin B6 yaitu 50 mg/hari dengan rentang
20-100 mg/hari sedangkan Tsuji, dkk (2007) dimulai dengan dosis
awal yaitu 10 mg/hari (rentang dosis 5-30 mg/hari) yang selanjutnya
diikuti dengan dosis pemeliharaan sebesar 30 mg (rentang dosis 10-
50 mg/hari). Tidak ada penelitian uji klinis tentang obat ini. Angka
keberhasilan dilaporkan sebesar 13-29%. Caraballo, dkk (2004)
menganjurkan penggunaan vitamin B6 dengan dosis 200-400
mg/hari per oral (25-50 mg/kg/hari) sebagai pilihan terapi alternatif
Page 23
26
SI dengan sindrom Down karena respon yang cepat dalam waktu 2
minggu tanpa adanya efek samping.
5. Benzodiazepin
Golongan benzodiazepin diberikan apabila kejang tidak dapat
diatasi dengan pemberian ACTH atau steroid.
a. Nitrazepam
Obat nitrazepam terbukti paling efektif dalam menghilangkan
SI dibandingkan dengan jenis benzodiazepin yang lainnya.
Dosis yang diberikan 0,6-1,0 mg/kg/hari dibagi 3 dosis.10 Efek
samping yang dilaporkan adalah mengantuk, ataksia, hipotonia,
eksaserbasi kejang umum dan hepatotoksik. Obat ini tidak
diperdagangkan di Amerika Serikat, namun banyak telah
banyak digunakan di negara lainnya. Data tentang penggunaan
nitrazepam untuk SI sangat terbatas. American Academy of
Neurology and the Child Neurology Society (2004)
mendapatkan 2 studi retrospektif yang termasuk klas IV.
Rentang dosis yang digunakan antara 0,5-3,5 mg/kg/hari.
Nitrazepam dapat mengatasi kejang sebesar 30% sampai 54%.
Menghilangnya gambaran hipsaritmia sebesar 46% (11 dari 24
pasien) dan angka kekambuhan sebesar 15% ( 2 dari 13
pasien).
b. Klonazepam
Klonazepam telah disetujui oleh FDA di Amerika Serikat
sebagai pengobatan SI sejak tahun 1980. Mekanisme
klonazepam yaitu mengikat reseptor channel ion klorida -A-
GABA dan menghambat kerja GABA sehingga dapat
meningkatkan penyaluran ion klorida. Dosis efektif
klonazepam antara 0,1-0,3 mg/kg/hari dibagi dalam 3 dosis dan
respon pengobatan terjadi dalam 1-3 minggu pengobatan.
Sebesar lebih dari 50% kasus (13 dari 24 kasus) dapat dikontrol
dengan penggunaan klonazepam dan sebanyak 8 kasus terjadi
perbaikan gambaran EEG. Relaps terjadi pada 7 kasus dan
Page 24
27
tidak dapat diatasi walaupun dosis klonazepam ditingkatkan.
Efek samping yang sering terjadi adalah mengantuk, ataksia,
perubahan tingkah laku, hipersalivasi dan hipersekresi bronkus.
c. Diazepam
Diazepam merupakan obat yang paling jarang digunakan untuk
pengobatan SI. Sebanyak 4 dari 5 pasien SI memberikan respon
terhadap diazepam. Namun ada yang melaporkan bahwa
diazepam kurang efektif dibandingkan dengan nitrazepam.
d. Asam Valproat
Asam valproat digunakan oleh lebih dari 70% sebagai pilihan
pertama terapi SI di Jepang. Mekanisme kerja asam valproat
dalam mengatasi kejang yaitu menghambat GABA transminase
yang akan menghambat terjadinya degradasi GABA dan
glutamat dekarboksilase yang memudahkan sintesis GABA
sehingga kadar GABA dalam otak akan meningkat.
Meningkatkan efek inhibisi postsinaptik GABA, menghambat
pembentukan gelombang paku dan jaras neuronal eksitatorik.
Rentang dosis asam valproat yaitu 40-100 mg/kg/hari dengan
dosis awal 15-20 mg/kgbb/hari dalam 2-4 dosis dalam 1-4 hari
kemudian disusul dengan dosis rumatan 30-60 mg/kg/hari.
Efikasi asam valproat mencapai 25-40%. Satu studi
melaporkan bahwa dengan pemberian asam valproat dapat
mengatasi serangan spasme sebesar 73% dan memperbaiki
hipsaritmia pada 91% dari 22 anak setelah dilakukan follow up
selama 6 bulan. Sebagian besar akan berespon dalam 2 minggu
dan akan mengalami relaps sebanyak 23%. Efek samping yang
dapat timbul yaitu mual, muntah, nyeri perut, pankreatitis akut,
ruam kulit, mengantuk, perubahan perilaku, tremor, rambut
rontok, serta dapat bersifat hepatotoksik yang fatal terutama
bila diberikan pada bayi.
Page 25
28
e. Topiramat
Topiramat telah diakui sebagai terapi tambahan epilepsi oleh
Jerman pada tahun 1998 dan pada tahun 2001 bisa diberikan
pada usia < 2 tahun. Mekanisme kerja obat ini yaitu memblok
saluran natrium, potensiasi neurotransmisi GABA dan
antagonis glutamat serta efek khusus pada reseptor kainate
GluR5 dan menghambat anhidrase karbonik. Dosis dan lama
pemberian yang digunakan bervariasi. Glauser, dkk (1998)
menggunakan dosis permulaan sebesar 25 mg/hari kemudian
dinaikkan setiap 2-3 hari sebanyak 25 mg. Apabila dengan
dosis tersebut tidak dapat ditoleransi, maka kecepatan titrasi
diturunkan. Titrasi dilanjutkan selama ±4 minggu atau sampai
mencapai dosis maksimal yaitu 24 mg/kg/hari atau 7 hari bebas
kejang (spasme). Dengan dosis tersebut, didapatkan sebanyak
45% pasien bebas dari spasme, dan 82% terjadi penurunan
jumlah kejang > 50%. Respon pengobatan topiramat relatif
lebih cepat pada kasus kriptogenik dibandingkan
simtomatik. Penelitian uji klinis tidak tersamar oleh
Watemberg, dkk (2003) menggunakan dosis 6-12 mg/kg/hari.
Topiramat digunakan sebagai monoterapi pada 1 pasien dengan
SI dan 1 pasien dengan tuberosklerosis. Pada pasien spasme
infantil terjadi pengurangan jumlah spasme > 75% sedangkan
pada tuberosklerosis lebih rendah (50-75%). Grosso, dkk
(2005) memberikan dosis harian sebesar 0,5-1 mg/kg kemudian
diikuti dengan peningkatan dosis titrasi sebesar 1-3 mg/kg/hari
sampai dosis maksimal 16 mg/kg/hari. Delapan dari 24 pasien
SI, didapatkan jumlah kejang berkurang > 50%. Valensia, dkk
(2005) melaporkan penurunan jumlah kejang > 50% sebanyak
7 dari 8 pasien SI. Rentang dosis yang digunakan yaitu 2,5-18
mg/kg/hari dengan rata-rata 8,8 mg/kg/hari. Hosain, dkk (2006)
menggunakan dosis permulaan 3 mg/kg/hari terbagi dalam 2
dosis, kemudian dinaikkan 3 mg/kg setiap 3 hari sampai terlihat
Page 26
29
respon. Dosis rata-rata yang diberikan yaitu 14 mg/kg/hari
(rentang dosis 9-27 mg/hari). Sebanyak 20% (3 dari 15 pasien)
bebas spasme dan jumlah kejang berkurang > 50% pada 5
pasien. Korinthenberg dan Schreiner (2007) melaporkan efikasi
topiramate sebesar 30% dengan median dosis 10 mg/kg.
Pemberian topiramat dapat menyebabkan sedasi, penurunan
nafsu makan, penurunan berat badan, iritabilitas, nefrolitiasis,
asidosis metabolik, disfungsi bahasa dan hipertermia. Efek
samping yang tersering dilaporkan yaitu penurunan nafsu
makan dan berat badan, hipertermia, mengantuk, perubahan
perilaku dan kesulitan konsentrasi. Kejadian penurunan berat
badan berkisar antara 6-40% sedangkan anoreksia sebesar 30%.
f. Zonisamide
Penggunaan zonisamide sebagai terapi SI juga semakin
meningkat. Watanabe (1995) melaporkan penggunaan
Zonisamide sebagai pilihan kelima sebesar 9,9% sedangkan
Tsuji, dkk (2007) melaporkan sebesar 72,7–83,6%. Zonisamide
merupakan derivat sulfonamide yang bekerja pada saluran
natrium dan kalsium. Dosis yang digunakan berbeda-beda, ada
yang menggunakan dosis pemeliharaan sebesar 10 mg/hari (8-
20 mg/hari) sedangkan Tsuji, dkk (2007) didahului oleh dosis
awal sebesar 2 mg/hari (rentang dosis 0,15-7,5 mg/hari)
selanjutnya dosis pemeliharaan 8 mg/hari (0,5-20 mg/hari).
Efikasi obat ini dilaporkan sebesar 25%, tidak akan melebihi
efikasi ACTH walaupun belum ada penelitian yang
membandingkan keduanya. Lotze, dkk (2004) mendapatkan
bahwa spasme dapat dikontrol dan menghilangnya gambaran
EEG sebanyak 6 dari 23 (26%) pasien SI simptomatis dengan
rata-rata lama menghilangnya spasme dan evolusi EEG selama
5,5 bulan. Efek samping yang mungkin timbul yaitu
mengantuk, gangguan kognitif dan rash pada kulit.
Page 27
30
Diet Kategonik
Diet ketogenik sudah lama digunakan untuk pengobatan epilepsi
anak terutama epilepsi refrakter yaitu lebih dari 80 tahun. Diet ini terdiri
dimulai dari periode puasa dan restriksi cairan sampai keton bodis tampak
pada urin kemudian diikuti dengan pemberian makanan tinggi lemak,
protein yang adekuat dan rendah karbohidrat. Puasa dilakukan pada malam
hari sebelum diet dimulai dan rasio antara lemak dan karbohidrat yaitu 3:1.
Ini disebut sebagai initial-fasting ketogenic diet yang bertujuan untuk
memacu terjadinya ketosis lebih cepat dan untuk adaptasi metabolik pada
keadaan ketosis sehingga kejang dapat dikontrol. Non-fasting ketogenic
diet yaitu dimulai dengan pengenalan secara bertahap makanan yang tinggi
lemak dengan diet yang biasa dan tidak memerlukan puasa dan restriksi
cairan. Kim, dkk (2004) mendapatkan bahwa tidak ada perbedaan
efikasi initial-fasting ketogenic diet dan non-fasting ketogenic diet dalam
memacu ketosis dan mengurangi kejang.
Pemberian diet ketogenik menunjukkan adanya penurunan kadar
insulin dalam darah (pada keadaan puasa) dan peningkatan kadar kortisol
yang potensial mempengaruhi eksitabilitas neuronal dan neurotransmiter.
Secara logika, diet ketogenik mempunyai efek tidak langsung terhadap
CRH namun perlu penelitian lebih lanjut. Penelitian tahun 1991
mendapatkan bahwa 12 dari 17 anak (70%) dengan SI mengalami
perbaikan > 50% setelah diberikan diet ketogenik. Sebanyak 67%
mengalami perbaikan setelah 3 bulan diberikan diet ketogenik. Hal yang
sama dilaporkan oleh Kossoff, dkk (2002) bahwa spasme berkurang secara
bermakna sebanyak 6 dari 7 anak usia < 1 tahun setelah diberikan diet
ketogenik dalam beberapa bulan. Penelitian uji klinis oleh Neal, dkk
(2008) melaporkan pemberian diet ketogenik selama 3 bulan dapat
menurunkan jumlah kejang >50% pada 38% pasien dibandingkan dengan
kontrol sebesar 6%.
Efek samping pemberian diet ketogenik yaitu dapat menyebabkan
konstipasi, hipoglikemia, muntah, hiperlipidemia, hiperkolesterolemia,
dehidrasi, hipoproteinemia berat, anemia hemolitik, batu kandung empedu
Page 28
31
dan peningkatan enzim hati. Sebelum pemberian diet ketogenik harus
dilakukan skrining untuk mengetahui adanya kelainan metabolik yang
dapat memperburuk ketogenik diet seperti defisiensi piruvat karboksilase,
porfiria, defisiensi karnitin, kelainan mitokondria, defek oksidasi asam
lemak. Neal, dkk (2008) mendapatkan kejadian efek samping sebesar 25%
kasus dengan konstipasi merupakan efek samping yang tersering dan
terberat.
2.11 PROGNOSIS
Prognosis SI sebagian besar buruk, tergantung dari penyebab dan bersifat
sangat individual sehingga berbeda antara individu yang satu dengan yang
lainnya. Faktor lain yang mempengaruhi antara lain yaitu pemeriksaan neurologis
yang normal, tidak adanya jenis kejang yang lain, onset pada usia yang lebih tua,
pendeknya spasme dan pengobatan yang efektif terhadap spasme diberikan lebih
awal. Bentuk idiopatik biasanya lebih baik dibandingkan dengan simptomatik atau
kriptogenik. Selama 1 tahun pertama, prognosis SI sangat buruk. Sebesar 82,4%
(14/17) mengalami gangguan perkembangan dan sebagian besar diantaranya
menderita retardasi mental. Beberapa studi melaporkan retardasi mental sebesar
70-90% dan sebagian besar menderita retardasi berat. Pada kasus kritogenik,
sebesar 30-50% akan mengalami retardasi mental. Prognosis kasus simptomatik
sangat buruk yaitu sebesar 80-90% mengalami retardasi mental, 70% diantaranya
mengalami retardasi berat namun pada kasus sindrom Down dan
neurofibromatosis biasanya prognosisnya lebih baik. Retardasi mental terjadi
sekitar 37-65% SI yang disebabkan oleh tuberosklerosis. Defisit neurologik yang
lain seperti palsi serebralis sebesar 30-50%. Infantil spasme juga berhubungam
dengan kejadian epilepsi dan autisme. Sebanyak 50-70% pasien akan berkembang
menjadi epilepsi, tersering berupa sindrom Lennox-Gastaut sebesar 20% dan
sebanyak 50% menjadi intraktabel epilepsi. Ada pula yang melaporkan bahwa
sebesar 20-50% spasme infantil akan berkembang menjadi sindrom Lennox-
Gastaut. Hubungan antara spasme infantil dengan kejadian autisme telah
dilaporkan pada tahun 1981. Saemundsen, dkk (2007) melaporkan prevalensi
autisme sebesar 35,3%.
Page 29
32
Mortalitas SI dilaporkan sebesar 5-30%, 1/3 diantaranya akan meninggal
sebelum usia 3 tahun dan sebanyak > 50% akan meninggal sebelum usia 10
tahun. Penyebab tersering kematian adalah infeksi, kemudian diikuti oleh
komplikasi dari penyakit yang mendasarinya.