BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Faktor imun dalam tubuh memiliki peran sangat penting. Terdapat beberapa penyakit yang disebabkan gangguan atau kelainan pada sistem imun antara lain lupus eritematosus. Penyakit lupus eritematosus merupakan penyakit sistemik autoimun yang bersifat kronis yang melibatkan multiorgan, seperti pada kulit, sistem saraf, ginjal, gastrointestinal, mata, juga rongga mulut. Etiologi lupus eritematosus belum bisa dipastikan tetapi terdapat beberapa teori yang dapat menjelaskannya, dan semua teori tersebut memiliki patogenesis yang sama. 1 Manifestasi klinis LES sangat bervariasi dengan perjalanan penyakit yang sulit diduga, tidak dapat diobati, dan sering berakhir dengan kematian. Kelainan tersebut merupakan sindrom klinis disertai kelainan imunologik, seperti disregulasi sistem imun, pembentukan kompleks imun dan yang terpenting ditandai oleh adanya antibodi antinuklear, dan hal tersebut belum diketahui penyebabnya yang berkaitan dengan manifestasi klinik yang sangat luas pada satu atau beberapa organ tubuh, dan ditandai oleh 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Faktor imun dalam tubuh memiliki peran sangat penting. Terdapat
beberapa penyakit yang disebabkan gangguan atau kelainan pada sistem imun
antara lain lupus eritematosus. Penyakit lupus eritematosus merupakan
penyakit sistemik autoimun yang bersifat kronis yang melibatkan multiorgan,
seperti pada kulit, sistem saraf, ginjal, gastrointestinal, mata, juga rongga
mulut. Etiologi lupus eritematosus belum bisa dipastikan tetapi terdapat
beberapa teori yang dapat menjelaskannya, dan semua teori tersebut memiliki
patogenesis yang sama.1
Manifestasi klinis LES sangat bervariasi dengan perjalanan penyakit
yang sulit diduga, tidak dapat diobati, dan sering berakhir dengan kematian.
Kelainan tersebut merupakan sindrom klinis disertai kelainan imunologik,
seperti disregulasi sistem imun, pembentukan kompleks imun dan yang
terpenting ditandai oleh adanya antibodi antinuklear, dan hal tersebut belum
diketahui penyebabnya yang berkaitan dengan manifestasi klinik yang sangat
luas pada satu atau beberapa organ tubuh, dan ditandai oleh inflamasi luas
pada pembuluh darah dan jaringan ikat, bersifat episodik diselangi episode
remisi.2
Lupus eritematosus merupakan penyakit sistemik autoimun kronis.
Etiologi lupus eritmatosus, sama seperti penyakit autoimun lainnya sampai
saat ini belum pasti, tetapi prognosis dapat baik bila diberikan terapi yang
adekuat contohnya pada beberapa kasus lupus yang ringan, seperti pada
penyakit yang bermanifestasi pada kulit.1
Angka kejadian penyakit ini cukup tinggi, baik di seluruh dunia
maupun di negara berkembang termasuk Indonesia. Penatalaksanaan
penyakit ini membutuhkan kerjasama multidisiplin dan dukungan dari
berbagai pihak.3
1.2 Epidemiologi
1
Lupus Eritematosus sistemik merupakan penyakit yang jarang terjadi.
Di seluruh dunia diperkirakan terdapat 5 juta orang mengidap lupus
eritematosus. Penyakit lupus ditemukan baik pada wanita maupun pria, tetapi
wanita lebih banyak dibanding pria yaitu 9:1, umumnya pada usia 18-65
tahun tetapi paling sering antara usia 25-45 tahun, walaupun dapat juga
dijumpai pada anak usia 10 tahun.1
Insidensi lupus tidak diketahui, tetapi bervariasi menurut lokasi dan
etnis. Tingkat prevalensi 4-250/100, 000 telah dilaporkan, dengan penurunan
prevalensi putih dibandingkan dengan penduduk asli Amerika, Asia, Latin,
dan Amerika. Walaupun awal awitan sebelum usia 8 tahun tidak biasa, lupus
telah di diagnosis selama 1 tahun kehidupan. Dominasi perempuan bervariasi
dari kurang dari 4:1 sebelum pubertas ke 8:1 sesudahnya.4
Insidens LES pada anak secara keseluruhan mengalami peningkatan,
sekitar 15-17%. Penyakit LES jarang terjadi pada usia di bawah 5 tahun dan
menjelang remaja. Perempuan lebih sering terkena dibanding laki-laki, dan
rasio tersebut juga meningkat seiring dengan pertambahan usia. Prevalensi
penyakit LES di kalangan penduduk berkulit hitam ternyata lebih tinggi
dibandingkan dengan penduduk berkulit putih.2
SLE ditemukan lebih banyak pada wanita keturunan ras Afrika-
Amerika, Asia, Hispanik, dan dipengaruhi faktor sosioekonomi. Sebuah
penelitian epidemiologi melaporkan insidensi rata-rata pada pria ras kaukasia
yaitu 0,3-0,9 (per 100.000 orang per tahun); 0,7-2,5 pada pria keturunan ras
Afrika-Amerika; 2,5-3,9 pada wanita ras Kaukasia; 8,1-11,4 pada wanita
keturunan ras Afrika-Amerika. Menelusuri epidemiologi SLE merupakan hal
yang sulit karena diagnosis dapat sukar dipahami.1
BAB II
PEMBAHASAN
2
2.1 Definisi Lupus Erythematosus
Lupus erithematosus adalah suatu kondisi inflamasi yang berhubungan
dengan sistem imunologis yang menyebabkan kerusakan multi organ. Lupus
eritematosus didefinisikan sebagai gangguan autoimun, dimana sistem tubuh
menyerang jaringannya sendiri.1
Terdapat beberapa spekulasi pendapat untuk istilah lupus eritematosus.
Kata “lupus” dalam bahasa Latin berarti serigala, ”erythro” berasal dari
bahasa yunani yang berarti merah, sehingga lupus digambarkan sebagai
daerah merah sekitar hidung dan pipi, yang dikenal dengan butterfly - shaped
malar rash. Tetapi pendapat lain menyatakan istilah lupus bukan berasal dari
bahasa Latin, melainkan dari istilah topeng perancis dimana dilaporkan
wanita memakainya untuk menutupi ruam di wajahnya. Topeng ini
dinamakan ”Loup”,yang dalam bahasa perancis berarti serigala atau ”wolf”
dalam bahasa Inggris.3
2.2 Sejarah lupus eritematosus
Sejarah penyakit lupus eritmatosus dapat dibagi dalam tiga periode,
yaitu (3) :
1. Periode Klasik
Dimulai ketika penyakit ini ditemukan pada zaman abad
pertengahan dan memperlihatkan gambaran adanya gangguan pada
manifestasi kulit. Istilah lupus muncul pada abad 13 yaitu pada masa
Rogerius, seorang tenaga medis yang mendeskripsikan classic malar
rash, yaitu lesi berupa erosi pada kulit wajah yang menyerupai gigitan
serigala. Sejarah lupus pada zaman klasik berdasarkan atas gambaran
klinis berupa lesi di kulit yang meliputi lupus vulgaris, lupus profundus,
lupus diskoid, dan fotosensitivitas pada ruam malar/ butterfly rash.1,4
Gambaran klasik penampakan kulit lupus dideskripsikan juga oleh
beberapa penemu, yaitu: Thomas Bateman, seorang murid ahli kulit
berkebangsaan Inggris Robert William, pada awal abad XIX, kemudian
oleh Cazenave, seorang murid ahli kulit berkebangsaan Perancis Laurent
3
Biett, pada tengah abad XIX, dan oleh Moriz Kaposi (Moriz Kohn),
seorang murid dan menantu ahli kulit berkebangsaan Austria bernama
Ferdinand von Hebra, pada akhir abad XIX Lesi berupa ruam diskoid
pertama kali diperkenalkan pada tahun 1833 oleh Cazenave dengan nama
eritema sentrifugum, sedangkan ruam yang sekarang dikenal sebagai
ruam malar pertama kali diperkenalkan oleh Hebra pada tahun 1846.
Gambaran lupus eritematosus yang pertama kali dipublikasikan berasal
dari tulisan von Hebra yang berjudul Atlas Penyakit Kulit, dipublikasikan
pada tahun 1856.1
2. Periode Neoklasikal
Dimulai oleh Moric Kaposi pada tahun 1872 yang menemukan
manifestasi penyakit sistemik. Kaposi mengemukakan dua tipe lupus
eritematosus, yaitu tipe diskoid dan tipe disseminated. Kaposi juga
menyebutkan beberapa tanda/gejala yang menggambarkan tipe
disseminated, yaitu : nodul subkutan, artritis dengan hipertrofi, sinovial
pada sendi kecil maupun besar, limfadenopati, demam, berat badan
berkurang, anemia, keterlibatan SSP.1
3. Periode Modern
Mulai tahun 1984 ditemukan sel lupus eritematosus (sel LE) oleh
Hargraves dkk. yang meneliti sel yang berasal dari sumsum tulang
penderita lupus eritematposus tipe disseminated akut. Dua penanda
imunologik pada penyakit lupus ditemukan pada tahun 1950, yaitu tes
false-positif biologis untuk sifilis dan tes imunofluoresen untuk
antinuclear antibodi. Ada dua kemajuan utama pada periode modern yaitu
perkembangan studi lupus pada binatang, dan pengenalan aturan
predisposisi genetik pada perkembangan lupus. 1
2.3 Etiologi Lupus Eritematosus Sistemik
Etiologi penyakit LES masih belum terungkap dengan pasti tetapi
diduga merupakan interaksi antara faktor genetik, faktor yang didapat dan
faktor lingkungan. Apapun etiologinya, selalu terdapat predisposisi genetik
yang menunjukkan hubungannya dengan antigen spesifik HLA (Human
Titer IgM, IgG, IgA, krioglobulin, masa pembekuan, serologi sifilis (VDRL),
Uji Coombs, Elektroforesis protein, Kreatinin dan ureum darah, Protein urin
(total protein dalam 24 jam), Biakan kuman, terutama dalam urin dan foto
rontgen dada. 4
Mengingat banyaknya pemeriksaan yang dilakukan bila tidak terdapat
berbagai macam komplikasi atau karena pertimbangan biaya maka maka
dapat dilakukan permeriksaan awal yang penting seperti darah lengkap dan
hitung jenis, trombosit, LED, ANA, urinalisis, sel LE dan antibodi anti-ds
DNA. 4
Berbagai kriteria diagnosis klinis penyakit lupus telah diajukan akan
tetapi yang paling banyak dianut adalah kriteria menurut American College of
Rheumatology (ACR). Diagnosis LES ditegakkan bila terdapat paling sedikit
4 dari 11 kriteria ACR tersebut. 2,3,4
Kriteria diagnosis lupus menurut ACR (American College of Rheumatology).
(Dikutip dengan modifikasi dari Petty dan Laxer, 2005)
No Kriteria Definisi
1 Bercak malar (butterfly rash)
Eritema datar atau menimbul yang menetap di daerah pipi, cenderung menyebar ke lipatan nasolabial
2 Bercak diskoid Bercak eritema yang menimbul dengan
15
adherent keratotic scaling dan follicular plugging, pada lesi lama dapat terjadi parut atrofi
3 Fotosensitif Bercak di kulit yang timbul akibat paparan sinar matahari, pada anamnesis atau pemeriksaan fisik
4 Ulkus mulut Ulkus mulut atau nasofaring, biasanya tidak nyeri
5 Artritis Artritis nonerosif pada dua atau lebih persendian perifer, ditandai dengan nyeri tekan, bengkak atau efusi
6 Serositif a. PleuritisRiwayat pleuritic pain atau terdengar pleural friction rub atau terdapat efusi pleura pada pemeriksaan fisik.ataub. PerikarditisDibuktikan dengan EKG atau terdengar pericardial friction rub atau terdapat efusi perikardial pada pemeriksaan fisik
7 Gangguan ginjal a. Proteinuria persisten > 0,5 g/hr atau pemeriksaan +3 jika pemeriksaan kuantitatif tidak dapat dilakukan.ataub. Cellular cast : eritrosit, Hb, granular, tubular atau campuran
8 Gangguan saraf KejangTidak disebabkan oleh obat atau kelainan metabolik (uremia, ketoasidosis atau ketidakseimbangan elektrolit)atauPsikosisTidak disebabkan oleh obat atau kelainan metabolik (uremia, ketoasidosis atau ketidakseimbangan elektrolit)
9 Gangguan darah Terdapat salah satu kelainan darahAnemia hemolitik à dengan retikulositosisLeukopenia à < 4000/mm3 pada > 1 pemeriksaanLimfopenia à < 1500/mm3 pada > 2 pemeriksaan
16
Trombositopenia à < 100.000/mm3 tanpa adanya intervensi obat
10 Gangguan imunologi Terdapat salah satu kelainanAnti ds-DNA diatas titer normalAnti-Sm(Smith) (+)Antibodi fosfolipid (+) berdasarkankadar serum IgG atau IgM antikardiolipin yang abnormalantikoagulan lupus (+) dengan menggunakan tes standartes sifilis (+) palsu, paling sedikit selama 6 bulan dan dikonfirmasi dengan ditemukannya Treponema palidum atau antibodi treponema
11 Antibodi antinuklear Tes ANA (+)
*Empat dari 11 kriteria positif menunjukkan 96% sensitivitas dan 100%
spesifisitas
Peningkatan titers ANA sering terjadi pada anak-anak dengan lupus
aktif. Ini adalah alat penyaringan yang sangat baik, meskipun ANA dapat
ditemukan tanpa penyakit atau dapat dikaitkan dengan kondisi rematik dan
lainnya. Tingkat anti-DNA rantai ganda, yang lebih spesifik untuk lupus,
mencerminkan tingkat aktivitas penyakit. Tingkat serum dari total hemolitik
komplemen (CH50), C3, dan C4 akan menurun pada penyakit aktif dan
memberikan ukuran kedua aktivitas penyakit. 4
2.8 Komplikasi
Komplikasi LES pada anak meliputi: 2,3
Hipertensi (41%)
Gangguan pertumbuhan (38%)
Gangguan paru-paru kronik (31%)
Abnormalitas mata (31%)
Kerusakan ginjal permanen (25%)
Gejala neuropsikiatri (22%)
Kerusakan muskuloskeleta (9%)
Gangguan fungsi gonad (3%).
17
2.9 Penatalaksanaan
Jenis penatalaksanaan ditentukan oleh beratnya penyakit. Luas dan
jenis gangguan organ harus ditentukan secara hati-hati. Dasar terapi adalah
kelainan organ yang sudah terjadi. Adanya infeksi dan proses penyakit bisa
dipantau dari pemeriksaan serologis. Monitoring dan evaluasi bisa dilakukan
dengan parameter laboratorium yang dihubungkan dengan aktivitas penyakit.
SLE yang tidak diobati dapat diikuti oleh penyembuhan spontan, dapat
menjadi penyakit menahun, atau kematian yang cepat. 4
Penyakit LES adalah penyakit kronik yang ditandai dengan remisi dan
relaps. Terapi suportif tidak dapat dianggap remeh. Edukasi bagi orang tua
dan anak penting dalam merencanakan program terapi yang akan dilakukan.
Edukasi dan konseling memerlukan tim ahli yang berpengalaman dalam
menangani penyakit multisistem pada anak dan remaja. Nefrologis perlu
dilibatkan pada awal penyakit untuk pengamatan yang optimal terhadap
komplikasi ginjal. Demikian pula keterlibatan dermatologis dan nutrisionis.
Perpindahan terapi ke masa dewasa harus direncanakan sejak remaja. 1
1. Diet seimbang dengan masukan kalori yang sesuai. Dengan adanya
kenaikan berat badan akibat penggunaan obat glukokortikoid, maka perlu
dihindari makanan “junk food” atau makanan mengandung tinggi sodium
untuk menghindari kenaikan berat badan berlebih.
2. Penggunaan tabir surya dengan kadar SPF lebih dari 15 perlu diberikan
pada anak jika berada di luar rumah, karena dapat melindungi dari sinar
UVB.
3. Pencegahan infeksi dilakukan dengan cara imunisasi, karena risiko
infeksi meningkat pada anak dengan LES. Pemberian antibiotik sebagai
profilaksis dihindari dan hanya diberikan sesuai dengan hasil kultur.
Terdapat beberapa patokan untuk penatalaksanaan infeksi pada penderita
lupus, yaitu ;
1) diagnosis dini dan pengobatan segera penyakit infeksi, terutama
infeksi bakterial
2) sebelum dibuktikan penyebab lain, demam disertai leukositosis
(leukosit >10.000) harus dianggap sebagai gejala infeksi,
18
3) gambaran radiologi infiltrat limfositik paru harus dianggap dahulu
sebagai infeksi bakterial sebelum dibuktikan sebagai keadaan lain, dan
4) setiap kelainan urin harus dipikirkan dulu kemungkinan pielonefritis. 1
Lupus diskoid
Terapi standar adalah fotoproteksi, anti-malaria dan steroid topikal. Krim
luocinonid 5% lebih efektif dibadingkan krim hidrokrortison 1%. Terapi
dengan hidroksiklorokuin efektif pada 48% pasien dan acitrenin efektif
terhadap 50% pasien. 2,3,4
Serositis lupus (pleuritis, perikarditis)
Standar terapi adalah NSAIDs (dengan pengawasan ketat terhadap
gangguan ginjal), antimalaria dan kadang-kadang diperlukan steroid dosis
rendah. 2,3,4
Arthritis lupus
Untuk keluhan muskuloskeletal, standar terapi adalah NSAIDs dengan
pengawasan ketat terhadap gangguan ginjal dan antimalaria. Sedangkan
untuk keluhan myalgia dan gejala depresi diberikan serotonin reuptake
inhibitor antidepresan (amitriptilin). 2,3,4
Miositis lupus
Standar terapi adalah kortikosteroid dosis tinggi, dimulai dengan
prednison dosis 1-2 mg/kg/hari dalam dosis terbagi, bila kadar komplemen
meningkat mencapai normal, dosis di tapering off secara hati-hati dalam 2-
3 tahun sampai mencapai dosis efektif terendah. Metode lain yang
digunakan untuk mencegah efek samping pemberian harian adalah dengan
cara pemberian prednison dosis alternate yang lebih tinggi (5 mg/kg/hari,
tak lebih 150-250 mg), metrotreksat atau azathioprine. 2,3,4
Fenomena Raynaud
19
Standar terapinya adalah calcium channel blockers, misalnya nifedipin;
alfa 1 adrenergic-receptor antagonist dan nitrat, misalnya isosorbid
mononitrat. 2,3,4
Lupus nefritis
Kelas I : Tidak ada terapi khusus dari klasifikasi WHO
Kelas II : (mesangial) mempunyai prognosis yang baik dan membutuhkan
terapi minimal. Peningkatan proteinuria harus diwaspadai karena
menggambarkan perubahan status penyakit menjadi lebih parah.
Kelas III : (focal proliferative Nefritis/FPGN) memerlukan terapi yang sama
agresifnya dengan DPGN, khususnya bila ada lesi focal
necrotizing.
Kelas IV : (DPGN) kombinasi kortikosteroid dengan siklofosfamid intravena
ternyata lebih baik dibandingkan bila hanya dengan prednison.
Siklofosfamid intravena telah digunakan secara luas baik untuk
DPGN maupun bentuk lain dari lupus nefritis. Azatioprin telah
terbukti memperbaiki outcome jangka panjang untuk tipe DPGN.
Prednison dimulai dengan dosis tinggi harian selama 1 bulan,
bila kadar komplemen meningkat mencapai normal, dosis di
tapering off secara hati-hati selama 4-6 bulan. Siklofosfamid
intravena diberikan setiap bulan, setelah 10-14 hari pemberian,
diperiksa kadar lekositnya. Dosis siklofosfamid selanjutnya akan
dinaikkan atau diturunkan tergantung pada jumlah lekositnya
(normalnya 3.000-4.000/ml).
Kelas V : regimen terapi yang biasa dipakai adalah (1). monoterapi dengan
kortikosteroid. (2). terapi kombinasi kortikosteroid dengan
siklosporin A, (3). sikofosfamid, azathioprine,atau klorambusil.
Proteinuria sering bisa diturunkan dengan ACE inhibitor. Pada
Lupus nefritis kelas V tahap lanjut. pilihan terapinya adalah
dialisis dan transplantasi renal. 2,3,4
Gangguan hematologis
Untuk trombositopeni, terapi yang dipertimbangkan pada kelainan ini
adalah kortikosteroid, imunoglobulin intravena, anti D intravena,
20
vinblastin, danazol dan splenektomi. Sedangkan untuk anemia hemolitik,
terapi yang dipertimbangkan adalah kortikosteroid, siklfosfamid intravena,
danazol dan splenektomi. 2,3,4
Pneumonitis interstitialis lupus
Obat yang digunakan pada kasus ini adalah kortikosteroid dan
siklfosfamid intravena. 2,3,4
Vaskulitis lupus dengan keterlibatan organ penting
Obat yang digunakan pada kasus ini adalah kortikosteroid dan
siklfosfamid intravena. 2,3,4
Obat-obat yang sering digunakan pada penderita LES
1. Antimalaria : Hidroksiklorokin 3-7 mg/kg/hari PO dalam garam sulfat