Tugas Akhir Jaringan KomputerTeknologi Voice Over In ternet Protokol (VoIP) di Indonesia Oleh : Nama : Hidayat Nim : 59061002032 Jurusan : Teknik Informatika Bilingual Pembimbing : Deris Stiawan,S.kom Fakultas Ilmu KomputerTeknik Informatika Bilingual Kelas Universitas Sriwijaya
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Secara umum, terdapat dua teknologi yang digunakan untuk VoIP, yaitu
H.323 dan SIP. H323 merupakan teknologi yang dikembangkan oleh ITU
(International Telecommunication Union). SIP (Session Initiation Protocol )
merupakan teknologi yang dikembangkan IETF (Internet Enggineering Task
Force).
a. TCP/IP
TCP/IP (Transfer Control Protocol/Internet Protocol) merupakan sebuah
protokol yang digunakan pada jaringan Internet. Protokol ini terdiri dari dua
bagian besar, yaitu TCP dan IP. Ilustrasi pemrosesan data untuk dikirimkan
dengan menggunakan protokol TCP/IP diberikan pada gambar dibawah ini.
Application Application
TCP/UDP TCP/UDP
IP IP
Physical Physical
Tabel 1
b. Application layer
Fungsi utama lapisan ini adalah pemindahan file. Perpindahan file dari
sebuah sistem ke sistem lainnya yang berbeda memerlukan suatu sistem
pengendalian untuk menangatasi adanya ketidak kompatibelan sistem file yang
berbeda - beda. Protokol ini berhubungan dengan aplikasi. Salah satu contohaplikasi yang telah dikenal misalnya HTTP (Hypertext Transfer Protocol) untuk
web, FTP (File Transfer Protocol) untuk perpindahan file, dan TELNET untuk
Perkembangan teknologi Voice over Internet Protocol (VoIP) sejak
dikembangkan pada tahun 1995 sudah semakin pesat. Awalnya dianggap
“nyeleneh” tapi sekarang menjadi harapan pengguna sebagai alternatif telepon
murah. Pemakaian VoIP di beberapa negara maju mampu menekan biaya SLI
dan SLJJ sebesar 70 %. Namun di Indonesia masih ribut pada masalah
regulasinya. Mulai dari substansinya sampai siapa yang berwenang membuat
regulasinya. “Ketakutan” akan penuruan pendapatan oleh operator
telokomunikasi juga mempengaruhi regulasi pemerintah.
VoIP sebenarnya adalah aplikasi internet biasa seperti layanan www dan
email. VoIP sebagai layanan Internet biasa disebut IP Telephony. Infrastruktur
internet dibutuhkan agar dapat menggunakan dann atau menyediakan layanan
VoIP. VoIP secara umum berarti mengirimkan informasi suara secara digitaldalam bentuk paket data. Dibandingkan secara tradisional, pengiriman informasi
suara melalui saluran analog PSTN (Public Switching Telephone Network). VoIP
yang disebut juga internet telephony merupakan teknologi yang menawarkan
solusi telepon melalui jaringan paket (IP Network). Teknologi yang awalnya
dianggap menyimpang dari kelaziman ternyata saat ini menjanjikan suatu
Di sisi lain, Pasal 28F Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen
memberikan kepastian hukum kepada setiap orang untuk dapat berkomunikasi
dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Landasan konstitutif
ini merupakan modal dasar bagi pengguna layanan telekomunikasi yang di
dalamnya termasuk sarana komunikasi melalui VoIP.
Dalam Undang-Undang Telekomunikasi ini, belum disinggung mengenai
VoIP. Walau tidak tegas disebut dalam pasal, ketentuan mengenai VoIP dapat
dilihat dalam Peraturan Pemerintah No. 52 Tahun 2000 tentang
Penyelenggaraan Telekomunikasi. Sebuah Peraturan Pemerintah dibentuk oleh
Presiden berdasarkan wewenang yang diberikan oleh Pasal 5 (2) Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen. Peraturan Pemerintah ini berfungsi untuk
menyelenggarakan ketentuan dalam Undang-Undang, baik yang secara tegas-
tegas maupun secara tidak tegas menyebutkannya. Dalam Pasal 14 Peraturan
Pemerintah No. 52 Tahun 2000, penyelenggaraan jasa telekomunikasi
diklasifikasikan dalam tiga jenis, yaitu:
1. Penyelenggaraan jasa teleponi dasar
2. Penyelenggaraan jasa nilai tambah teleponi
3. Penyelenggaraan jasa multimedia
Dalam hal ini, yang dimaksud dengan jasa telekomunikasi adalah layanan
telekomunikasi untuk memenuhi kebutuhan bertelekomunikasi dengan
menggunakan jaringan telekomunikasi. Di dalam Penjelasan Pasal 14 huruf c dalam
Peraturan Pemerintah tersebut, yang dimaksud dengan penyelenggaraan jasa
multimedia adalah penyelenggaraan jasa telekomunikasi yang menawarkan layanan
berbasis teknologi informasi, termasuk di dalamnya antara lain: penyelenggaraan jasa Voice over Internet Protocol (VoIP), internet dan intranet, komunikasi data,
konperensi video dan jasa video hiburan. Penyelenggaraan jasa multimedia dapat
dilakukan secara jual kembali. Jadi, layanan VoIP digolongkan sebagai
penyelenggaraan jasa multimedia. Permasalahannya, apakah layanan VoIP
berbasis Phone-to-Phone masih merupakan jasa multimedia atau termasuk jasa
teleponi dasar. Banyak pihak yang beranggapan bahwa ketentuan mengenai VoIP
tidak jelas pengaturannya karena tidak ada disebutkan baik dalam Undang-Undang
maupun dalam Peraturan Pemerintah dan bahkan Undang-Undang dianggap tidak
mampu mengikuti perkembangan teknologi informasi. Penjelasan seringkali
diperlukan dalam menafsirkan suatu peraturan perundang-undangan. Penjelasan
dalam sebuah perundang-undangan merupakan suatu kesatuan penjelasan resmi
dari pembentuk peraturan perundang-undangan tersebut. Dalam hal ini, penjelasan
berfungsi untuk dapat membantu dalam mengetahui maksud dan latar belakang
diadakannya suatu peraturan perundang-undangan serta untuk menjelaskan
ketentuan-ketentuan yang masih memerlukan sebuah kejelasan. Jadi, walaupun
mengenai VoIP hanya dijelaskan dalam lembaran Penjelasan, tetap saja materi ini
dianggap sebagai muatan dalam Peraturan Pemerintah No. 52 Tahun 2000 yang
merupakan penjabaran atau untuk menjalankan ketentuan Undang-Undang. Oleh
sebab itu, sangatlah tidak beralasan bahwa aturan mengenai penyelenggaraan jasa
VoIP belum jelas atau tidak ada dasar hukumnya.
Alasan adanya ketidakjelasan mengenai pengaturan VoIP ini seringkali
dijadikan sebagai kambing hitam maupun sebagai celah untuk menyelenggarakan
layanan VoIP. Salah satu perdebatan adalah mengenai apakah yang dikirim melaluiInternet itu dapat disebut suara atau data. Penyelenggara VoIP bersikeras yang
dikirim adalah data, bukan suara. Jadi, mereka tidak merebut lahan dari Telkom.
Namun, anggapan ini juga tidak sepenuhnya benar. Dalam Penjelasan Pasal 14
huruf c Peraturan Pemerintah No. 52 Tahun 2000, penyelenggaraan komunikasi
data juga termasuk sebagai penyelenggaraan jasa multimedia. Jadi, tetap saja
menjadi lingkup kewenangan Undang-Undang Telekomunikasi.
Untuk dapat memberikan layanan VoIP, penyelenggara jasa VoIP diwajibkan
untuk bekerja sama dengan penyelenggara jaringan telekomunikasi dalam bentuk
kerjasama operasi, seperti yang tertuang dalam Pasal 13 Peraturan Pemerintah No.
52 Tahun 2000. Ini menjadi kendala bagi penyelenggara VoIP karena mau tidak mau
harus bekerja sama dengan Telkom yang memiliki pasar di atas 50 %. Walaupun
Undang-Undang membolehkan penyelenggara VoIP menggunakan jaringan sendiri,
namun cara ini tentu menjadi tidak efisien karena harus membangun jaringan baru.
Pengaturan penyelenggaraan jasa VoIP dijabarkan oleh Keputusan Menteri
Perhubungan No. 23 tahun 2002. Di sini, pengaturan hanya mencakup jasa VoIP
untuk keperluan publik. Batasan untuk keperluan publik di sini adalah sangatlah
luas. Dalam Keputusan Menteri ini, yang dimaksud dengan keperluan publik adalah
dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Bila bukan untuk keperluan pribadi, semua
penyelenggaraaan jasa VoIP harus mendapat izin Menteri. Bila siapa saja yang tidak
memenuhi ketentuan ini, Undang-Undang No. 36 Tahun 1996 dalam Pasal 47
memberikan sanksi pidana paling lama 6 tahun penjara dan/atau denda sampai Rp600 juta. Jadi, dalam kasus penyelenggaraaan jasa VoIP yang tidak memiliki izin
dari Menteri, secara yuridis memang dapat diancam dengan sanksi pidana ini.
REFORMASI REGULASI
Keengganan pemerintah untuk mempermudah pengembangan dan
perluasan VoIP jelas-jelas bertentangan dengan konstitusi Indonesia. Sebagai
sebuah negara yang berdasarkan hukum material/sosial, Indonesia menganut
prinsip perlindungan hak-hak asasi manusia dan prinsip pemerintahan yang
menciptakan kemakmuran rakyat. Hak warga negara untuk dapat menikmati layanan
telekomunikasi yang sesuai dengan kemampuan mereka dijamin oleh Undang-
Undang Dasar sebagai hak yang paling mendasar. Bila hak ini tidak dapat dinikmati
karena peraturan perundang-undangan di bawahnya berusaha menghambat
perkembangan VoIP yang jelas-jelas lebih murah, sudah seharusnya pemerintah
melakukan perbaikan-perbaikan. Selain dapat menghambat perluasan layanan
VoIP, ketentuan yang mengharuskan adanya kerjasama operasi hanya akan
mengakibatkan inefisiensi, baik yang merugikan negara maupun yang langsung
merugikan masyarakat.
Salah satu yang menjadi alasan pembatasan layanan VoIP adalah untuk
melindungi industri telekomunikasi dalam negeri. Alasan ini dapat dimengerti karena
65 % pendapatan Telkom sendiri berasal dari sambungan jarak jauh. Dengan
adanya layanan VoIP, pendapatan mereka bisa menurun drastis yang juga akan
menurunkan pendapatan negara. Konflik kepentingan ini harus dapat diatasi oleh
pemerintah. Mempertahankan teknologi yang memberikan ongkos yang besar perlu
dipertimbangkan kembali. Membatasi layanan telekomunikasi yang murah
merupakan proses pembodohan kepada masyarakat. Adanya kepentingan
pemerintah untuk melakukan pembinaan, pembatasan dan pengawasan terhadap
penyelenggaraan telekomunikasi pada dasarnya merupakan realisasi dari kewajiban
negara dalam menjamin hak bertelekomunikasi warga negara. Dilihat dari kewajiban
negara menyelenggarakan kesejahteraan rakyat, pemerintah seharusnya
mendukung pengembangan jasa layanan VoIP yang nantinya dapat memeratakan
hasil-hasil pembangunan dan sekaligus meningkatkan ekenomi rakyat sebagai hasil
dari efisiensi. Bukan tidak mungkin, hasil dari efisiensi dalam masyarakat ini
memberikan keuntungan yang lebih baik daripada harus mempertahankan
kepentingan industri telekomunikasi dalam negeri. Kehendak konsititusi harus selalu
diutamakan daripada pertimbangan untung-rugi.
Masyarakat sangat membutuhkan teknologi VoIP, terutama di daerah-daerah
yang tidak terjangkau oleh jaringan konvensional dari Telkom. Dari sekitar 72.000desa yang ada di Indonesia, sekitar 43.000 desa belum mendapat sambungan
telepon dasar. Melihat kondisi ini, pemerintah harus bergerak cepat dan responsif
dalam melakukan pemerataan pembangunan, terutama di bidang telekomunikasi.
Teknologinya sudah tersedia, yang dibutuhkan hanyalah kemauan dari pemerintah
untuk memberikan kemudahan-kemudahan, baik pengaturan hukum maupun
pelaksanaannya.
Selain membatasi layanan VoIP dengan mengharuskan adanya izin dari
Menteri, awalnya penyelenggara jasa VoIP juga diharuskan menyertakan deposit
tunai sebesar Rp. 10 Milliar sebagai jaminan kelangsungan pelayanan kepada
publik, seperti yang tertuang dalam Keputusan Dirjen Postel No.199/Dirjen/2001
tentang Ketentuan Teknis Penyelenggaraan Internet Telepon untuk Keperluan
Publik tertanggal 6 September 2001. Belakangan, Keputusan Dirjen ini ditunda