ANALISIS YURIDIS PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN NOMOR 23 TAHUN 2006 Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy) Disusun oleh: AINUR RAHMAN NIM : 109044100054 PROGRAM STUDI PERADILAN AGAMA (SAS) FAKULTAS SYARI’AH DANHUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 2014 M/1435 H
144
Embed
Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30572/1/AINUR RAHMAN-FSH.pdf · muslim. Kasus yang cukup terkenal adalah perkawinan artis Deddy
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
ANALISIS YURIDIS PERKAWINAN BEDA AGAMA
DI INDONESIA SETELAH BERLAKUNYA
UNDANG-UNDANG ADMINISTRASI
KEPENDUDUKAN NOMOR
23 TAHUN 2006
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi
Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Disusun oleh:
AINUR RAHMAN
NIM : 109044100054
PROGRAM STUDI PERADILAN AGAMA (SAS)
FAKULTAS SYARI’AH DANHUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
2014 M/1435 H
ANALISA YURIDIS PERKAWINAN BEDA AGAMA
DI INDONESIA SETELAH BERLAKUNYA
UNDANG-UNDANG ADMINISTRASI
KEPENDUDUKAN NOMOR
23 TAHUN 2006
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi
Salah Satu persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
Ainur Rahman
NIM : 109044100054
Dibawah Bimbingan
Dr. H. JM. Muslimin, MA.,
NIP. 196808121999031014
PROGRAM STUDI PERADILAN AGAMA (SAS)
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
2014 M/1435 H
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
Skripsi yang berjudul "ANALISIS YURIDIS PERKAWINAN BEDA AGAMA DI
INDONESIA SETELAH BERLAKLINYA UNDANG-UNDANG ADMINISTRASI
KEPENDUDUKAN NoMoR 23 TAHUN 2006" telah diujikan dalam sidang
munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah "Iakarta pada 9
Mei 2014 Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
sarjana syariah (S.SV) pada Plogram Studi Ahwal al-syakhshiyah.
Jakarta, 9 Mei 2014
M'eqggsahkan
PANITIA UJIAN MUNAQASYAH
Ketua Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA.,
NIP. 19s00306197603 1001
Hj. Rosdiana" MA..
NIP. 1 96906 1 02003 122001
Dr. H. JM. Muslimin, MA.,
NrP. 1 9680812199903 t0I4
Drs. H. A" Basiq Djalil, SH.. MA"
NIP. 19s00306197603 1001
H. Kamarusdiana, S.Ag, MH.,
NIP. 1 9720224199803 1 003
Sekretaris
Pembimbing
Penguji I
z;.."ttffi' /,7i;i\{lRr' ] 96808 12199903 101 4
{........................ .)Penguji iI
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini ;
Nama
NPM
Jurusan
: Ainur Rahman
:1040100054
: Peradilan Agama
Menyatakan bahwa Skripsi yang saya buat adalah :
1. Murni gagasan, rumusan dan hasil penelitian penulis dengan arahan dosen
pembimbing.
2. Di dalamnya tidak terdapat karya-karya atav pendapat yang telah di tulis atau
dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan
sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang atau
dicantumkan dalam daftar pustaka.
Demikian pernyataan ini di buat dengan sebenarnya, apablla dikemudian hari
terdapat kekeliruan saya bersedia dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan yang
berlaku di Fakultas Hukum dan Syariah Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
.Iakarta
Yang \z!g$!.rla!
v
ABSTRAK
Analisis Yuridis Perkawinan Beda Agama Di Indonesia setelah Berlakunya
Undang-Undang Administrasi Kependudukan Nomor 23 Tahun 2006” oleh
Ainur Rahman, mahasiswa jurusan Peradilan Agama Fakultas Hukum dan
Syariah Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penelitian ini dilatar belakangi oleh adanya ketentuan tentang perkawinan beda agama dalam Pasal 35 huruf (a) pada Undang-Undang Administrasi Kependudukan yang mana pada dasarnya agama apapun tidak menghendaki adanya perkawinan beda agama. Dan didalam peraturan perundang-undangan tentang perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan yang syah adalah menurut agama dan kepercayaan (Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan) dan selama bertahun-tahun ditafsirkan bahwa (UUP) sebagai aturan yang melarang perkawinan beda agama. Namun adanya aturan baru tentang perakwinan beda agama yang sama-sama memiliki kedudukan setingkat dalam perundang-undangan enjadi pertanyaan baru. Oleh karena itu penulis mengangkat permasalah ini dengan mengaangkat rumusan masalah terkait kedudukan dan keabshan perkawinan beda agama.
Dibuatnya penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi masalah yang termuat dalam Undang-Undang Administrasi Kependudukan Pasal 35. Dalam penelitian ini penulis menggunakan tipe penelitian yuridis normatif, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan. Hal ini berfungsi untuk mempelajari adakah konsistensi dan kesesuaian antara suatu undang-undang dengan undang-undang yang lain yaitu antara Undang-Undang Administrasi Kependudukan Nomor 23 Tahun 2006 dengan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan antara Undang-Undang Dasar 1945, sehingga dapat disimpulkan mengenai ada tidaknya benturan baik filosofi ataupun sosial antara undanga-undang dengan isu yang dihadapi.
Hasil dari penelitian skrispsi ini yaitu bahwa aturan yang termuat dalam Undang-Undang Administrasi Kependudukan Nomor 23 Tahun 2006 Pasal 35 huruf (a) terkait beda agama merupakan aturan khusus mengesampingkan peraturan yang lebih umum bukan menghapus ketentuan yang lama, sehingga Undang-Undang Perkawinan masih beralaku dalam sistem peraturan nasional di bidang perkawinan. dibuatnya aturan tentang perkawinan beda agama ini dianggap sebagai solusi bagi pelaku perkawinan beda agama yang ingin mengesahkan perkawinanya dengan melalui penetapan pengadilan atau mengisi kekosongan hukum namun ternyta pasal ini malah menimbulkan masalah yang lebih rumit. Aturan yang dimuat yang mengatasnamakan Hak Asasi Manusia (HAM) pada kenytaanya lebih dominan kepada adanya pertentanga dengan nilai-nilai agama sehingga jika dikaji secara horizontal maka aturan ini memiliki pertentangan dengan sistem hierarki tertinggi yaitu Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945).
Kata kunci : Perkawinan, Perkawinan Beda Agama, Undang-Undang Administrasi
Kependudukan
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayahnya sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul: “ANALISIS YURIDIS
PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA SETELAH BERLAKUNYA
UNDANG-UNDANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN NOMOR 23 TAHUN
2006” Penulisan ini merupakan salah satu syarat yang harus ditempuh dalam
menyelesaikan jenjang pendidikan strata satu (S-1) Fakultas Hukum dan Syariah di
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis menyadari bahwa
skripsi ini tidak akan berhasil tanpa bantuan dan bimbingan serta dorongan yang
diberikan oleh banyak pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis
menyampaikan rasa terima kasih kepada:
1. Bapak. Dr. H. JM. Muslimin, MA., selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta serta dosen pembimbing
utama, atas waktu, bimbingan, serta saran-sarannya dalam menyusun skripsi ini.
2. Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA., dan Ibu Rosdiana, MA., selaku ketua
dan sekretaris Program Studi Ahwal Syakhsiyyah Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Dr. Rumadi, MA., selaku dosen akademik, atas waktu, kesabaran, dan
bimbingan, dalam menyusun skripsi ini.
4. Bapak Dennie Arsan Fatrika SH., selaku Hakim Pengadilan Negeri Bogor yang
telah memberikan informasi dalam penyelesaian penulisan skripsi ini. Dengan
vii
bijaksana membantu dan mengarahkan penulis dalam pengumpulan data selama
proses pelaksanaan observasi dalam penulisan skripsi ini.
5. Ayah dan Ibu, kakak serta adik-adikku di rumah yang memberi kasih sayang,
doa, dorongan dan dukungannya baik materiil maupun spiritual serta
memberikan motivasi kepada penulis dengan ketulusan.
6. Teman-teman kelas Peradilan Agama “B” yang selalu mendukung dan mengisi
hari-hari penulis dengan keceriaan.
7. Dosen-dosen, staf dan karyawan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang tidak bisa disebutkan satu persatu atas
dukungannya.
8. Pihak-pihak lain yang terlibat dan turut membantu dalam penulisan skripsi ini
yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh
karena itu saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Akhir
kata penulis memohon maaf sebesar-besarnya jika dalam pembuatan skripsi ini
penulis melakukan kesalahan baik yang disengaja maupun yang tidak sengaja.
Semoga ini bermanfaat bagi para pembaca.
Jakarta, April 2014
Penulis
viii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ............................................................................................... i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ................................................................. iii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................... iv
ABSTRAK ............................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ............................................................................................ vi
DAFTAR ISI .......................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ............................................... 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................ 10
D. Studi Review .................................................................................... 11
E. Metode Penelitian ............................................................................ 12
F. Sistematika Penulisan ...................................................................... 15
BAB II PERKAWINAN................................................................................... 17
A. Kajian Umum Tentang Perkawinan ................................................. 17
B. Tujuan Perkawinan ........................................................................... 26
ix
C. Syarat-Syarat Syahnya Perkawinan .................................................. 30
D. Pencatatan Perkawinan ..................................................................... 37
BAB III PERKAWINAN BEDA AGAMA ...................................................... 41
A. Tinjauan Umum Tentang Perkawinan Beda Agama dari Sudut
Pandang Berbagai Agama di Indonesia .......................................... 41
B. Tinjauan Umum Tentang Perkawinan Beda Agama Dalam
Hukum Positif di Indonesia ............................................................. 56
C. Tata Cara Perkawinan Beda Agama Dalam Praktek ....................... 66
D. Pencatatan dalam Perkawinan Beda Agama ................................... 69
BAB IV ANALISIS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2006
TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DAN
PERKAWINAN BEDA AGAMA ...................................................... 73
A. Perkawinan Antar Agama dalam Perspektif Undang-Undang No
23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan ..................... 74
B. Analisis Pasal 35 Huruf (a) Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2006 tentang Administrasi Kependudukan ..................................... 82
BAB V PENUTUP ........................................................................................... 109
A. Kesimpulan .................................................................................... 109
B. Saran ............................................................................................... 113
x
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 115
Golongan ini termasuk jumhur ulama berpendapat bahwa pernikahan
laki-laki muslim dengan perempuan Ahl al-kitab8 diperbolehkan mereka
beralasan dengan ayat al-qur’an al-Maa’idah ayat 5 ;
Artinya :Pada hari Ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, (al-Maa’idah : 5)
Bahwa alasan dari pendapat dari golongan pertama mengemukakan
al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 221 beserta Asbabun Nuzulnya diterima
secara bulat tetapi itu pengecualian yang datur oleh Allah dalam surat al-
Maidah ayat 5 yaitu mepertahankan laki-laki muslim dengan wanita
Yahudi/Nasrani tetapi jika wanitanya muslim menikah dengan laki-laki
Yahudi/Nasrani tetap di tolak, sesuai dengan pendapat Prof. Mahmud
Junus.9 Selain itu sejarah telah menunjukan bahwa beberapa sahabat
8 Perempuan ahli kitab adalah perempuan yang percaya terhadap agama samawi (agama yang
memiliki kitab yang diturunkan, serta memiliki nabi dan rosul )
9 Moh.Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan
Agama Memurut Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h 63.
46
Rosullulah seperti Thalhah Ibn Ubaidiyah, pernah mengawini perempuan
kitabiyah.10
Menurut golongan mayoritas (jumhur) ini, walapun aqidah
ketuhanan ahli-kitab tidak sepenuhnya sama dengan akidah Islam, al-
Qur’an tidak menyebutkan mereka yang menganut Yahudi dan Nasrani
sebagai orang musyrik (QS al-Bayyinah [98] : 1 dan 6 ; al-Hajj [22]: 17).
Dengan demikian ahli-kitab tidak termasuk orang musyrik dan oleh karena
itu larangan menikahi waita musyrik sebagai mana di tegaskan QS al-
Baqarah tidak berlaku atas perempuan kitabiyah.11
b. Golongan kedua
Golongan ini berpendapat bahwa menikahi wanita non muslim itu
haram hukumnnya. Salah satu sahabat Rosulullah yang mengharamkan
mengawini wanita non muslim adalah Abdullah bin Umar. Ketika beliau
ditanya tentang perkawinan dengan wanita Yahudi dan Nasrani ia
menjawab “sesungguhnya Allah telah megharamkan wanita-wanita
musyrik bagi kaum muslimin, aku tidak tahu syirik manakah yang lebih
besar daripada seorang perempuan yang berkata bahwa tuhannya adalah
Isa, sedangkan Isa adalah hamba Allah”.12
Dan golongan ini pun
berpegang pada surat al-Baqarah ayat 221 dan surat al-Mutahannah : 10
10
Bsiq Djalil, Pernikahan Lintas Agama Dalam Perspektif Pikih dan Kompilasi Hukum
Islam, (Jakarta: Dalbun Salam, 2005), h. 129. 11
Maria Ulfah Anshor. dkk, Tafsir Ulang Lintas Agama Perspektif Perempuan dan
Pluralisme, (Jakarta: Kapal Perempuan, 2004), h. 44.
12
Budi Handrianto, Perkawinan Beda Agama dalam Syariat Islam, (Jakarta: Khairul Bayan,
2003), h.54.
47
“dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan
wanita-wanita kafir” dan golongan ini juga berpendapat bahwa al-Baqarah
ayat 221 yang melarang menikahi wanita musyrik hingga ia beriman turun
lebih akhir dari surat al-Maidah ayat 5 (yang membolehkan mengawini
wanita-wanita al-Kitab yang baik) dengan demikian surat al-Baqarah ayat
221 menasakh ayat 5 surat al-Maidah.13
c. Golongan ketiga
Golongan ini berpendapat bahwa mengawini wanita non muslim itu
hukumnya makhruh, menurut mazhab Hanafi dan Syafi’i serta menurut
Maliki dalam salah satu pendapatnya, seorang muslim makruh menikah
dengan perempuan ahli-kitab dan ahli dzhimah. Sedang mazhab Hambali
berpendapat perkawinan dengan perempuan ahli-kitab adalah makhruh.14
Sayyid Sabiq mengatakan sekalipun kawin dengan wanita ahli kitab
dibolehkan tapi dianggap makhruh, hal ini dikarenakan tidak adanya rasa
aman dan ketentraman iman. Muhammad meriwayatkan atsar ini dalam
kitabnya al-aatsaar yang berisi tentang umar yang mengirim surat kepada
hudzaifah agar menceraikan istrinya yang beragama Yahudi, dengan alasan
bahwa kekhawatiran orang-orang muslim mengikuti perbuatannya.
Kemudian mereka memilih perempuan ahli dzimah karena kecantikannya,
13
Basiq Djalil, Pernikahan Lintas Agama dalam Perspektif Pikih dan Kompilasi Hukum
Islam, (Jakarta: Dalbun Salam, 2005), h. 134.
14
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu, (Jakarta: Gema Insane dan Darul Fikir,
2011, Jilid Ke-9), h. 149-150.
48
dengan demikian mereka akan jadi fitnah bagi para istri kaum muslimin.
Dari atsar tersebut jelas ada larangan mengawini wanita ahli-kitab
dikarenakan keburukan yang ada di dalamnya yaitu bisa jadi terjatuh
kedalam perkawinan dengan pelacur dari mereka atau bisa jadi mereka
akan mengikuti jejaknya untuk menikah dengan wanita ahli-kitab dan
membiarkan perempuan muslimah menjadi perawan tua.
Di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) aturan tentang perkawinan
lintas agama atau antar agama sudah sangat jelas dan rinci, KHI
menempatkan perkawinan antar agama pada larangan perkawinan yang
tertuang pada Pasal 40 (c) dan Pasal 44 dan berikut bunyi pasalnya:15
Pasal 40 (c); Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang
pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu; (c) seorang wanita
yang tidak beragama Islam.
Pasal 40 huruf c di atas secara eksplisit melarang terjadinya
perkawinan antara laki-laki (muslim) dengan wanita non-muslim (baik Ahl
al-Kitab maupun non Ahl al-Kitab)
Pasal 44 : Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan
dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.
Kedua pasal tersebut sejalan yakni melarang orang Islam melangsungkan
perkawinan dengan non-muslim tanpa mengklasifikasikan antara musyrik
dan kitabiyah.
15
Lihat Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Focus Media, 2010), h. 16.
49
Skema Perkawinan Antar Agama Menurut Fiqih dan KHI16
2. Menurut Agama Kristiani
Dalam agama Kristen ada dua aliran pertama keristen Katolik dan kedua
Kristen Protestan. Agama Katolik sendiri menganggap nikah sebagai satu
sakramen. Gereja Roma Katolik mendasarkan ajaranya itu pada Efasus 5:25-
33, hukum gereja Katolik merumuskan perkawinan sebagai perjanjian dengan
nama pria dan wanita membentuk antara mereka kebersamaan seluruh hidup
dari sifat kodratnya terarah pada kesejahteraan serta pada kelahiran anak dan
pendidikanya oleh Kristus tuhan antara orang yang di baptis diangkat ke
16
Basiq Djalil, Pernikahan Lintas Agama dalam Perspektif Pikih dan Kompilasi
HukumIslam,(Jakarta: Dalbun Salam, 2005), h. 188.
50
martabat sakramen. (Kan 1055:1).17
Pada tanggal 31 Maret 1970 Paus Paulus mengeluarkan surat Apostolic
Matrimonia Mixta,18
terkait pertanyaan tentang perkawinan campuran. Di
dalam surat tersebut di sebutkan bahwa perkawinan campuran adalah
perkawinan antara pria dan wanita dimana salah satu pihaknya adalah bukan
non Katolik. Dalam definisi tersebut ada perbedaan yang mana non Katolik
(Kristen Protestan) sedang non baptis (beragama lain), Paus Paulus
menyatakan bahwa perkawinan tersebut menimbulkan banyak permaslahan
karena perbedaan iman dan agama. Oleh karena itu sebisa mungkin umat
Katolik menghindari perkawinan campuran.19
Menurut hukum kanon gereja ada sejumlah halangan yang membuat
tujuan perkawinan tidak dapat diwujudkan, misalnya adanya ikatan nikah
(Kanon 1085), adanya tekanan baik secara fisik ataupun psikis (Kanon 1089
dan 1103), juga karena perbedaan gereja (Kanon 1124) maupun agama (Kanon
1086)20
.
17
Asmin, Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau dari Undang-Undang Perkawinan No 1/1974,(Jakarta: Dian Rakyat, 1986), h. 35.
18
Matrimonia mixta berisi penjelasan tentang perkawinan campur. “Perkawinan campur yakni perkawinan antara pihak katolik dan pihak bukan katolik baik yang dibaptis maupun tidak dibaptis…”. Pengertian perkawinan campur secara rinci: perkawinan antara pihak katolik dan pihak bukan katolik dibaptis. Yang disebut dengan perkawinan campur beda gereja (mixta religio) dan perkawinan antara orang katolik dengan orang non katolik tidak dibaptis (disparitas cultus). Pada intinya perkawinan campur adalah perkawinan antara orang katolik dan orang bukan katolik.
19
Agung Prihartana, Pendidikan Iman Anak dalam Kawin Campur Beda Agama, (Yogyakarta: Kanisius), h. 37.
20
Maria Ulfah Anshor, dkk, Tafsir Ulang Lintas Agama Perspektif Perempuan dan
Pluralism,(Jakarta: KapalPerempuan, 2004), h. 53.
51
Namun dengan demikian tidak di pungkiri bagi mereka yang tetap
mempertahankan cintanya, pejabat gereja yang berwenang yaitu Uskup dapat
memberikan dispensasi (pengecualian dari aturan umum untuk suatu keadaan
yang khusus) untuk tetap melakukan perkawinan asalkan memenuhi syarat
yakni yang beragama Katolik berjanji (kanon:1125)21
:
a. Akan tetap setia pada iman Katolik
b. Berusaha mempermandikan dan mendidik semua anak-anak mereka secara
Katolik,
c. Yang tidak beragama Katolik berjanji menerima perkawinan secara
Katolik,
d. Tidak akan menceraikan yang beragama Katolik,
e. Tidak akan menghalangi pihak yang beragama Katolik untuk beribadah,
dan
f. Bersedia mendidik anak-anaknya secara Katolik,
Kendatipun diberi dispensasi sebenarnya Katolik memandang
perkawinan berbeda agama akan menimbulkan konflik dan pertentangan
sehingga merusak esensi dan tujuan dari perkawinan itu sendri, dan sebaiknya
dihindari.
Sedangkan menurut agama Protestan, Gustrude Nystrom mengatakan
yang menjadi dasar utama dari perkawinan dalam alkitab adalah “kasih” yang
tulus dari dua orang sehingga mereka menentukan untuk hidup bersatu suka
21
Mohammad Daud Al, Hukum Islam dan Peradilan Agama, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2002), h. 60.
52
atau duka hingga kematian yang memisahkannya. Dengan kata lain dapatlah
dirumuskan perkawinan pandangan Protestan adalah suatu persekutuan hidup
dan percaya yang total, ekslusif, dan kontinyu antara seorang wanita dan pria
yang dikuduskan dan diberkati oleh kristus Yesus.
Dalam Kristen Protestan memandang pernikahan pada dua aspek yaitu
sipil dan agama, pernikahan adalah soal agama maka sudah semestinya
dilakukan menurut hukum agama hukum tuhan Yesus agar sesuai dengan
kehendak tuhan namun pernikahan juga erat kaitannya dengan hubungan antar
sesama maka Negara pun berhak mengaturnya. Berdasarkan pada pandangan
itu Kristen Protestan memandang bahwa perkawinan sah jika dilakukan
menurut hukum agama dan negara.22
Meski pada prinsipnya Kristen Protestan menghendaki perkawinan itu
dilakukan dengan orang yang seagama, pada level tertentu agama Protestan
pun tidak menghalangi kalau terjadi perkawinan beda agama. Namun agama
Kristen lebih memilih pernikahan antar pemeluk agama Kristen Katolik
dengan Protestan dibandingkan menikah dengan agama lain dikarenakan
sesungguhnya hal itu bukanlah perkawinan antar agama melainkan hanya
perbedaan gereja.
3. Menurut Agama Hindu
Agama Hindu memandang perkawinan sebagai sesuatu yang suci,
perkawinan adalah samskara (sakramen) dan termasuk salah satu dari sekian
22
Asmin, Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau dari Undang-Undang Perkawinan No
1/1974, (Jakarta:Dian Rakyat, 1986), h. 40.
53
banyak sakramen sejak lahirnya (Gharbadana) sampai proses upacara
kematian (Antyasty). Perkawinan diartikan sebagai “Yajna” orang yang tidak
kawin adalah orang yang tanpa Yajna (Manudharmasastra II:67). Pengertian
perkawinan menurut agama Hindu adalah ikatan suci antara pria dengan
seorang wanita dengan tujuan untuk membentuk keluarga yang utama, yaitu
keturunan “purusa”.23
Agama Hindu memandang perkawinan sebagai salah satu dari
banyaknya samskara, sebagai sesuatu yang suci yang diatur oleh dharma
danharus tunduk kepada dharma. Karena itu perkawinan baru sah bila
dilakukan menurut hukum agama dengan melalui upacara sakramen yaitu
“Wiwaha Homa”, bila perkawinan tidak dilakuakan menurut hukum agama
maka segala akibat yang timbul dari perkawinan tersebut dianggap tidak sah.
Oleh karenanya, dalam agama Hindu suatu pernikahan akan dianggap
batal jika tidak memenuhi syarat-syarat tertentu. Misalnya bila pernikahan itu
dilakukan menurut hukum Hindu tetapi pengesahanya tidak memenuhi syarat
pengesahannya, contohnya jika salah satunya bukan penganut Hindu atau
pernikahan antar penganut Hindu dengan penganut nonhindu maka pernikahan
itu dianggap tidak sah menurut hukum agama Hindu.
Pengesahan suatu pernikahan menurut agama Hindu harus dilakukan
dihadapan Padende yang memenuhi syarat untuk itu. Kalau ada perkawinan
beda agama Padende tidak akan mengesahkan perkawinan tersebut. Dalam
23
Asmin, Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau Dari Undang-Undang Perkawinan No
1/1974,(Jakarta: Dian Rakyat, 1986), h. 45.
54
agama Hindu tidak dikenal adanya perkawinan beda agama ini karena
sebelumnya perkawinan harus dilakukan terlebih dahulu upacara keagamaan,
apabila salah seorang calon mempelai bukan Hindu ia wajib disucikan terlebih
dahulu sebagai penganut agama Hindu jika tidak maka ia melanggar ketentuan
dalam kitab Seloka V-89 kitab Manawadharmasastra yang berbunyi :
“air pensucian tidak bisa diberikan kepada mereka yang tidak menghiraukan upacara-upacara yang telah ditentukan, sehingga dapat dianggap kelahiran mereka itu sia-sia belaka, tidak pula dapat diberikan kepada mereka yang lahir dari perkawinan campuran kasta secara tidak resmi, kepada mereka yang menjadi petapa dari golongan murtad dan pada mereka yang meninggal bunuh diri.”
24
4. Menurut Agama Budha
Perkawinan menurut agama Budha adalah sebagai suatu ikatan suci yang
harus dijalani dengan cinta kasih seperti yang diajarkan oleh Budha. Atau
dapat dikatakan perkawinan adalah ikatan lahir batin dari dua orang yang
berbeda kelamin yang hidup bersama untuk selamanya dan bersama-sama
melaksanakan Dharma Vinaya supaya mendapatkan kebahagian dalam hidup.
Dan menurut Sang Agung Indonesia perkawinan beda agama yang melibatkan
agama Budha dan non Budha diperbolehkan asalkan tata caranya dilakukan
menurut aturan agama Budha dan tidak diharuskan pasangan yang nonbudha
masuk agamanya, namun dalam upacara ritual dalam perkawinan ia harus
mengucapankan “atas nama Budha, Dharma dan Sangka.”25
24
Mohammad Monib dan Ahmad Nurcholis, Kado Cinta Bagi Pasangan Beda Agama. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009), h. 118.
25
Nur Afida, “Dasar dan Pertimbangan Hakim dalam Mengabulkan Permohonan Pelaksanaan Perkawinan Beda Agama (Studi dalam Perspektif Perkara No.04/Pdt.P/2010/Pn.Mlg.),Universitas Brawijaya Malang Tahun 2013, h. 30.
55
Menurut Surya Widya ada 14 langkah yang harus dilakukan dalam
prosesi perkawinan, namun yang menjadi inti dalam pelaksanaanya ada tujuh
langkah, berikut tiga langkah yang termasuk inti dalam tujuh langkah
pelaksanaan perkawinanan;
a. Pandita mempersembahkan tiga batang dupa pada pemimpin
“Namaksara”.26
b. Pernyataan ikrar perkawinan oleh kedua mempelai yang di pimpin pendeta,
lalu ke dua mempelai mebaca Vandana.
c. Lalu pengucapan Namaksara dan di akhiri penutupan dari pendeta.27
5. Menurut Agama Konguchu
Menurut pandangan Konghuchu pernikahan adalah salah satu dari tiga
momen amat penting dalam kehidupan seorang manusia, selain kelahiran dan
kematian. Itulah sebabnya dalam kitab Li Ji XLIV:1 dikatakan “camkanlah
benar-benar pernikahan itu karena dialah pohon dari segala kesusilaan dan
mencangkup penghidupan manusia”. Agama Konguchu/ Ru Jio sendiri
termasuk agama yang paling tua, kurang lebih sekitar 2500 sebelum Nabi
Kongzi lahir, sehingga mereka tak mengenal agama lain selain Tiong’oha
maka dengan begitu tidak pula mengenal pernikahan beda agama. Walaupun
begitu mereka tak melarang pernikahan beda agama namun bukan berati bebas
26
Namaksara adalah khutbah nikah bagi agama budha yang berisi puji-pujian kepada sang pencipta, sedangkan vandana adalah janji atau ikrar
27
Basiq Djalil, Pernikahan Lintas Agama dalam Perspektif Pikih dan Kompilasi
HukumIslam, (Jakarta:Dalbun Salam, 2005), h. 128.
56
dan tanpa aturan tetap ada persyaratan. Dalam kitab Li Ji XXVII:3,1 dikatakan
bila bebas tanpa keselarasan antara langit dan bumi takan tumbuh segenap
kehidupan. Pernikahan adalah pangkal kehidupan dan pangkal peradaban
sepanjang zaman.28
Menurut penganut kepercayaan jika dilhat dari arti
penganut /aliran kepercayaan sudah barang tentu pernikahan agama bukanlah
hal yang mereka permasalahkan, menurut pangeran Djatikusuma dari
komunitas adat memandang perbedaan agama itu hanya terletak dari adat/ tata
cara upacara pernikahan atau terkait ritualpada intinya mereka tetap percaya
pada Tuhan hanya saja sebutannya berbeda.
B. Tinjauan Umum Tentang Perkawinan Beda Agama dalam Hukum Positif di
Indonesia
Dalam sejarah di Indonesia perkawinan antar agama lebih sering disebut
perkawinan campuran, perkawinan campuran sendiri di definisikan dalam arti
luas dan sempit. Perkawinan campuran dalam arti luas yaitu perkawinan antara
seorang laki-laki dan seorang perempuan yang tunduk pada hukum yang berbeda
berdasarkan hukum agama, adat maupun kewarganegaraan dan telah diatur dalam
jaman kolonial hingga paska kemerdekaan. Sedangkam perkawinan dalam arti
sempit dikenal dengan perkawinan bedaagama yaitu perkawinan campuran beda
agama terjadi apabila pria dan seorang wanita yang berbeda keyakinan atau
28
Mohammad Monib dan Ahmad Nurcholis, Kado Cinta Bagi Pasangan Beda Agama,….Op.
Cit, h. 121.
57
berbeda agama yang dianutnya melakukan perkawinan dengan tetap
mempertahankan agama masing-masing.
Kalau kita berbicara tentang aturan/hukum perkawinan terutama tentang
perkawinan atau pernikahan antar agama yang saat ini berlaku di Indonesia,
berarti kita bukan hanya berbicara tentang satu macam aturan melainkan
banyaknya peraturan yang pernah berlaku. Di Indonesia sendiri banyak berlaku
berbagai peraturan tentang hukum perkawinan untuk berbagai golongan warga
negara dan berbagai daerah, berikut aturan hukum yang ada :
1. Sebelum Lahirnya Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
Perlu kita ketahui di Indonesia sendiri sudah pernah ada peraturan dalam
hukum antar golongan yang mengatur masalah-masalah perkawinan, dari
mulainya bangsa kolonial sampai paska kemerdekaan banyak peraturan yang
diberlakukan. Unifikasi dan kodifikasi hokum adalah upaya bangsa kolonial
untuk menjadikan hukum di Negara jajahannya sebagai satu kesatuan yang
akan diberlakukan secara universal. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka
pada masa kolonial di bagi beberapa golongan dan hukum yang akan di
berlakukan seperti golongan Eropha berlaku pada aturan hukum
Eropha/Belanda, golongan Bumi putra tunduk pada hukum adat, golongan
timur asing tuduk pada hukum Eropha pada hal tertentu sampai akhirnya
penggolongan tersebut menjadi dasar dibuatnya peraturan lain yaitu BW
(Burgerlijk Wetboek)
58
BW (Burgerlijk Wetboek) sendiri hanya mengatur tentang masalah
hukum perorangan, hukum keluarga dan kebendaan. Terkait masalah
perkawinan dalam BW (Burgerlijk Wetboek) hanya merupakan hubungan
yang bersipat perdata saja dan tidak ada turut campur atau keterkaitan dengan
adat maupun agama. Hal ini terlihat dalam Pasal 81 yang menyebutkan bahwa
tidak ada upacara keagamaan yang boleh diselenggarakan. Karenanya secara
implisit pengaturan tentang perkawinan antar agama tidak di bahas dalam BW
(Burgerlijk Wetboek), tidak ada pasal-pasal yang membahas secara detail
tentang pengaturan perkawinan antar agama.29
Sebelum lahirnya Undang-Undang Perkawinan di Indonesia sendiri
sudah ada aturan yang mengatur masalah antar golongan termasuk antar agama
yaitu peraturan tentang perkawinan campuran. Pengaturan yang di maksud
adalah peraturan yang dahulu dikeluarkan pemerintah Hindia Belanda yang
bernama Regeling Op De Gemengde Huwelijiken (GHR) sebagaimana di muat
dalam staatsblad 1898 No.158. Beberapa ketentuan yang termuat dalam
regeling op de gemengde huwelijken tentang perkawinan beda agama adalah
sebagai berikut:
Pasal1 : Pelangsungan perkawinan antara orang-orang, yang di Hindia Belanda
tunduk pada hukum yang berbeda, disebut perkawinan campuran.
Pasal 6 ayat (1) : Perkawinan campuran dilangsungkan menurut hukum yang
29
Maria Ulfah Anshor dan Martin Lukito Sinaga, Tafsir Ulang Perkawinan Lintas Agama
“Perspektif Perempuan dan Pluralisme”, ( Jakarta: Kapal Perempuan, 2004), h. 96.
59
berlaku atas suaminya, kecuali izin para calon mitra kawin yang selalu
disyaratkan.
Pasal7 ayat (2) : Perbedaan agama, golongan penduduk atau asal-usul tidak
dapat merupakan halangan pelangsungan perkawinan.30
Pada masa Hindia Belanda keagamaan dipergunakan sebagai pedoman
dalam hal perkawinan campuran, seorang Keristen tidak bisa menikah dengan
seorang bukan Keristen karena tidak sesuai dengan waktu itu. Sehingga dalam
Regeling Op De Gemengde Huwelijiken (GHR)Pasal7 dan 2 bahwa perbedaan
agama tidak dapat dipergunakan sebagai larangan terhadap perkawinan
campuran. Jika hanya salah satu pihak beralih agamanya sebelum perkawinan
dilangsungkan, perkawinan semula yang bersifat intern berubah menjadi
perkawinan campuran namun menurut Lemaire GHR tidak patut dianggap
berlaku untuk kejadian ini karena kejadian tersebut masuk kedalam lingkungan
“inheemsche rechter” dan jika diberlakukan maka ini bertentangan dengan
Pasal 139 IS, karena pada kenyataannya perkawinan terkait dengan perbedaan
suku dan agama biasanya dilakukan di luar Regeling Op De Gemengde
Huwelijiken (GHR).31
Ada 3 pendapat mengenai apakah Regeling Op De Gemengde
Huwelijiken (GHR) berlaku pula untuk perkawinan antar agama dan antar
30
Asmin, Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau dari Undang-Undang Perkawinan No
1/1974, Op.Cit., h. 66.
31
Sudargo Gautama, Segi-Segi Hukum “Peraturan Perkawinan Campuran, (Bandung:, Citra
Aditya Bhakti, 1996), h. 8.
60
tempat yakni: pertama, kelompok yang berpendirian “luas” yang menganggap
bahwa perkawinan campuran antar agama dan antar tempat termasuk di dalam
Regeling Op De Gemengde Huwelijiken (GHR); kedua, kelompok yang
berpendirian “sempit” yang menganggap bahwa perkawinan campuran antar
agama dan antar tempat tidak termasuk di dalam Regeling Op De Gemengde
Huwelijiken (GHR) ; dan ketiga, kelompok yang berpendirian “setengah luas
setengah sempit” yang menganggap bahwa hanya perkawinan antar agama saja
yang termasuk, sedangkan perkawinan antar tempat tidak termasuk di dalam
Regeling Op De Gemengde Huwelijiken (GHR). Sudargo Gautama
berpendapat bahwa istilah perkawinan campuran pada Pasal 1 berarti
perbedaan perlakuan hukum atau hukum yang berlainan dan dapat disebabkan
karena perbedaan kewarganegaraan, kependudukan dalam berbagai regio,
golongan rakyat, tempat kediaman, dan agama sehingga dari situ pendirian
yang luaslahyang banyak di dukung oleh para sarjana hukum menurut O.S.
pada pelanggaran nilai-nilai agama yang nantinya dikaitkan pada hal penistaan
agama seperti kasus Asmiranda, dan banyak dampak negatif yang di timbulkan.
Ternyata aturan tersebut tidak hanya bertentangan dengan Undang-Undang
Perkawinan namun bertentangan dengan esensi yang terkandung pada Undang-
Undang Dasar 1945.
Selanjutnya jika dikaitkan pada Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang
Perkawinan, Pasal 35 Undang-Undang Administrasi Kependudukan tentang
penetapan pengadilan bagi pasangan beda agama sama-sama pasal yang
menyangkut masalah kerohanian yang mana dalam Undang-Undang Perkawinan
mengutamakan agama sebagai sumber utama dalam pengesahan perkawinan
sedangkan dalam Undang-Undang Administrasi Kependudukan lebih
menekankan pada hak asasi manusia atau lebih tepatnya agama bukan masalah
krusial. Pendefinisian agama sendiri dalam Undang-Undang Dasar 1945 tepatnya
Pasal 29 ayat 2 memuat ketentuan yang bermakna untuk memeluk agama dan
kepercayaan serta menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan
yang diyakini.22
Menurut Prof. Mohammad Daud Ali terkait pemaknaan pada Pasal 29
ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 tentang kata-kata agama dan kepercayaan
dapat kita telaah dari pendapat mereka yang merumuskan Undang-Undang Dasar
1945. Adapun pendapat mereka antara lain:
22
Lihat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi Sebagaimana Telah Diubah
Dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Jakarta ,Sekretaris Jendral Dan Kepanitraan Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia, 2011, h. 33.
93
1. Menurut H.Agus Salim menyatakan makna Ketuhanan Yang Maha Esa
dalam Pasal 29 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 adalah kepercayaan atau
akidah agama, “tidak ada seorangpun diantara kami (para perancang atau
penyusun Undang-Undang Dasar 1945) yang ragu-ragu bahwa yang dimaksud
adalah, akidah atau kepercayaan agama.
2. Menurut Mohammad Hatta menyatakan arti perkataan kepercayaan dalam
Pasal 29 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 adalah kepercayaan agama,
ditambah lagi oleh Mohammad Hatta kuncinya adalah kata “itu” dalam ujung
bunyi Pasal 29 Ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945. Kata “itu” menurut beliau
adalah menunjuk pada kata agama yang terletak di depan kata kepercayaan
tersebut. Dilihat dari sudut pandang penafsiran sistematis, Mohammad Hatta
menjelaskan hal tersebut adalah logis, karena kata-kata agama dan
kepercayaan itu digandengkan atau disandingkan dalam satu kalimat dan
diletakan di bawah bab agama dan benar sesuai dengan penjelasan H. Agus
Salim.
3. Selanjutnya menurut Kasman Singodimedjo, yang ikut serta menjadi anggota
PPK yang mengesahkan Undang-Undang Dasar 1945. Mengatakan bahwa
makna kepercayaan dalam Undang-Undang Perkawinan tidak lain adalah
kepercayaan yang termasuk dalam lingkup “agama” yang dipeluk bangsa
Indonesia.23
23
David Hartadi Tenggara, “ Dampak Lahirnya Undang-Undang Administrasi
Kependukdukan Terhadap Keabsahan Perkawinan Bagi Penghayat Kepercayaan ”, Skripsi, Depok ,
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007, h.152-153.
94
Dengan kata lain bahwa agama dan kepercayaan adalah satu kesatuan dari
penjelasan diatas menurut Prof. Muhammad Daud Ali bahwa dalam Undang-
Undang Perkawinan Pasal 2 ayat (1) telah sesuai dengan Undang-Undang Dasar
1945 yang mana kata agama dan kepercayaan adalah satu kesatuan dan
penjelasan dari pasal tersebut yaitu “ dengan perumusan pada Pasal 2 ayat 1
Undang-Undang Perkawinan berarti tidak ada perkawinan diluar hukum masing-
masing agama dan kepercayaan itu‟‟ sehingga jika tarik kesimpulan dari
penjelasan pasal tersebut bahwa tidak ada lagi upaya untuk melanggar „hukum
agamanya sendiri” jadi bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk kawin
dengan melanggar hukum agamanya hal ini sejalan dengan pendapat Prof. Dr
Hazairin SH.
Didalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 (b) berbunyi “setiap orang
berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang
syah” ditafsirkan bahwa perkawinan yang syah merupakan persyaratan untuk
timbulnya hak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan maka negara
tidak menjamin hak seseorang jika dalam membentuk keturunan tanpa adanya
proses perkawinan yang sah, perkawinan yang sah sendiri dalam Undang-Undang
Perkawinan adalah menurut agama dan kepercayaan.24
Menurut Hadikusuma di
dalam bukunya yang berjudul Hukum Perkawinan Nasional mengatakan bahwa
perkawinan yang sah menurut hukum perkawinan nasional adalah perkawinan
yang dilaksanakan menurut tata tertib aturan hukum yang berlaku dalam agama
24
Jimly Asshiddiqie, Kometar Atas Undang-Undang Dasar Negara Republic Indonesia Tahun 1945, Jakarta, Sinar Grafika, 2009, Cet. Pertama, h. 115.
95
yang diakui di Indonesia. Kata “hukum masing-masing agamanya”, berati hukum
dari salah satu agama itu, bukan masing-masing agama calon mempelai. Dan ia
mendefiniskan perkawina beda agama sebagai perkawinan yang dilaksanakan
menurut tata tertib salah satu agama, bukan oleh setiap agama, sehingga ia
menekankan pada penundukan salah satu agama.25
Munculnya sebuah ketentuan
baru dalam Pasal 35 huruf (a) Undang-Undang Administrasi Kependudukan
mengenai penetapan pengadilan terkait pasangan beda agama yang membolehkan
perkawinan beda agama untuk dicatatkan sehingga memberikan definisi baru
bahwa perkawinan beda agama sudah mendapat tempat di konstitusi dengan kata
lain Negara mengakui dan menfasilitasi perkawinan tersebut.
Dilahirkanya Undang-Undang Perkawinan adalah untuk meminimalisir
adanya pertentangan dalam persoalan agama sehingga perkawinan beda agama
tidak diakomidir dalam Undang-Undang tersebut. Timbulnya permasalahan
dalam Undang-Undang Administrasi Kependudukan, penulis rasa lebih
menekankan pada masalah apa yang ingin diatasi Undang-Undang Administrasi
Kependudukan itu sendiri. Ternyata banyak muatan materi yang bertolak
belakang dengan ketentuan yang masih berlaku hingga saat ini dan norma-norma
yang hidup di masyarakat, apalagi dalam pasal-pasal yang menyoroti masalah
keyakinan atau kerohanian. Hal ini dalam pembentukan Undang-Undang disebut
dengan disharmoni hukum. Disharmoni hukum biasanya timbul karena adanya
25
Ichtijanto, Laporan Akhir Analisis Dan Evaluasi Hukum 20 Tahun Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, 1996), h. 37.
96
perbedaan antara berbagai Undang-Undang atau peraturan perundang-undangan
bisa juga dikarenakan adanya pertentangan dengan peraturan pelaksanaan dan
sebagainya. Misalnya pertentangan antara Undang-Undang yang kedudukanya
sederajat ataupun adanya perbedaan dengan peraturan pelaksana sehingga tujuan
dibuatnya Undang-Undang tersebut tidak sesuai.
Undang-Undang Perkawinan yang sudah mendasari hukum perkawinan
hingga saat ini, secara yuridis merupakan ketentuan yang tertinggi dalam
mengatur perkawinan di Indonesia termasuk dalam memeberi keabsahan terhadap
suatu perkawinan bagi masyarakat di Indonesia. Namun dengan dilahirkanya
Undang-Undang Administrasi Kependudukan di tahun 2006 lalu dari segi yuridis
menjadi sebuah ketentuan perundang-undangan yang tertinggi dalam
penyelesaian administrasi kependudukan, sehingga ketentuan sebelumnya yang
hanya berupa Keppres posisinya naik menjadi undang-undang. Hal tersebut
menyebabkan ketentuan lain yang ada dibawahnya, yakni ketentuan yang bersipat
pluralistis harus mengacu pada aturan ini. Sedangkan Undang-Undang
Perkawinan dianggap memiliki ketentuan yang pluralistis hukum dan adanya
diskriminatif terutama dalam hal pencatatan perkawinan, terlihat dari banyaknya
pro kontra dalam masyarakat mengenai keabsahan dan pencatatan bagi mereka
yang memilki perbedaan agama sehingga adanya Undang-Undang Administrasi
Kependudukan dianggap sebagi solusi atau mengakomodir bagi mereka yang
ingin dicatatkan dan mendapat pengakuan. Tetapi banyak yang menganggap
perkawinan yang berbeda agama adalah hal yang sangat sensitip karena ini
97
menyangkut konteks agama bukan lagi terkait Hak Asasi Manusia melainkan
sebuah keyakinan yang menyangkut orang banyak bukan lagi masing-masing
pihak walaupun dalam Pasal 29 ayat 2 mengatakan “Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan
untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaanya itu” dengan kata lain
bukan berati kita bisa melanggar ketentuan agama yang bisa menimbulkan
konflik lebih banyak. Sehingga kedudukan Undang-Undang Administrasi
Kependudukan sendiri terhadap Undang-Undang Perkawinan harus di lihat dari
segi asas-asas yang termuat dalam undang-undang, hal ini berfungi untuk melihat
kedudukan masing-masing.
Untuk menyelesaikan pertentangan yuridis terkait dalam Pasal 35 huruf
(a) Undang-Undang Administrasi Kependudukan dengan Undang-Undang
Perkawinan Pasal 2 ayat 1 maka didalam sistem perundangan pada umumnya
mengunakan tiga asas hukum yaitu :
1. Asas Lex Specialis Derograt Lex Generalis, maksud dari asas ini adalah
bahwa terhadap peristiwa khusus wajib diperlakukan undang-undang yang
menyebut peristiwa itu, walaupun untuk peristiwa khusus tersebut dapat pula
diperlakukan umum atau lebih luas yang juga dapat mencangkup peristiwa
khusus. Asas ini lebih sering diartikan sebagai suatu aturan yang bersipat
khusus mengesampingkan peraturan yang lebih umum.
2. Asas Lex Posteriore Derograt Lex Priori, yang dimaksud dengan asas ini
adalah, bahwa undang-undang lain (yang lebih dahulu berlaku) yang
98
mengatur suatu hal tertentu, tidak berlaku lagi jika ada undang-undang baru
(yang berlakunya belakangan) yang mengatur pula hal tertentu tersebut, akan
tetapi makna atau tujuanya berlainan atau berlawanan dengan undang-undang
yang lama tersebut (pencabutan undang-undang secara diam-diam). Asas ini
sering diartikan bahwa ketentuan yang dibuat dan berlaku belakangan
membatalkan undang-undang yang berlaku terdahulu.
3. Asas Lex Superiori Derograt Legi Inferiori. Yang dimaksud dengan asas ini
adalah sebuah aturan yang dibuat dan kedudukannya lebih tinggi posisinya
mengalahkan ketentuan yang lebih rendah.26
Ketiga asas tersebut dapat digunakan jika terjadi ketidakharmonisan dalam
suatu peraturan perundang-undangan, dan menetukan aturan mana yang lebih
diutamakan dan diberlakukan.
Mengingat bahwa Undang-Undang Administrasi Kependudukan dan
Undang-Undang Perkawinan memiliki kedudukan yang sama dan sederajat dalam
hirarki peraturan perundang-undangan dan jika penulis kaji mengunakan asas
diatas sudah sangat jelas asas Lex Superiori Derograt Legi Inferiori tidak bisa
digunakan. Berhubung masalah yang dikaji ini terkait perkawinan beda agama
yang mana dalam Undang-Undang Administrasi Kependudukan menekankan
pada pencatatan perkawinan maka asas Lex Posteriore Derograt Lex Priori tidak
bisa digunakan juga dalam persoalan ini karena isi kandungan dalam Undang-
26
C.S.T. Kansil Dan Christine S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2011), h. 391-393.
99
Undang Administrasi Kependudukan jelas berbeda dengan Undang-Undang
Perkawinan sendri, Administrasi Kependudukan lebih menekankan persoalan
kependudukan dan administrasi sedangkan Undang-Undang Perkawinan
membahas tentang esensi perkawinan secara menyeluruh maka kedua aturan ini
tentulah sangat berbeda karena tidak seluruh subtansi undang-undang yang satu
merupakan bagian dari undang-undang yang lainnya. Namun adanya salah satu
pasal dalam Undang-Undang Administrasi Kependudukan yang menyangkut
perkawinan apalagi tentang perkawinan beda agama yang sebelumnya tidak ada
aturan yang mengatur hal tersebut manjadi persoalan.
Maka terkait Pasal 35 huruf (a) pada Undang-Undang Administrasi
Kependudukan yang termuat pada bab V tentang pencatatan sipil terkait
perkawinan beda agama dan Undang-Undang Perkawinan Pasal 2 ayat 1 tentang
syahnya perkawinan bisa kita kaji mengunakan asas Lex Specialis Derograt Lex
Generalis, yaitu melihat dari segi hubungan umum khusus antara Pencatatan dan
Syahnya Perkawinan. Asas ini menjelaskan bahwa aturan hukum yang khusus
dapat mengesampingkan aturan yang bersipat umum. Asas lex Specialis Derograt
Lex Generalis hanya berlaku terhadap dua peraturan yang secara hierarki
sederajat.27
Undang-Undang Perkawinan mengatur tentang perkawinan dan subtansi
tentang dasar perkawinan, larangan, syarat-syarat, pencegahan, batalnya
27
Hukum Online, Tanya Jawab Hukum Perusahaan,( Jakarta: Transmedia Pustaka, 2009,
Cet. Peratama), h. 10.
100
perkawinan dan lain-lain. Sedangkan Undang-Undang Administrasi
Kependudukan subtansinya mengatur tentang administrasi kependudukan atau
pencatatan peristiwa penting yaitu kematian, kelahiran, perkawinan, perceraian,
pengakuan anak, pengesahan anak, perubahan status kewarganegaraan,
pencatatan penduduk dan lain-lain. Pencatatan perkawinan sendiri merupakan
salah satu pasal dalam Undang-Undang Perkawinan yaitu Pasal 2 ayat (2) yang
berbunyi “tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku”, demikian juga dalam Undang-Undang Administrasi
Kependudukan pencatatan perkawinan masuk kedalam peristiwa penting yang
mesti dicatatkan. Oleh karena itu dalam menetukan kedudukan umum khusus
harus dengan melihat dari segi substansi atau materinya tidak bisa dilihat hanya
dari judulnya saja.28
Jika dari segi pencatatan dalam Undang-Undang Administrasi
Kependudukan sendiri diatur secara umum sedangkan dalam Undang-Undang
Perkawinan diatur secara khusus karena dalam Undang-Undang Administrasi
Kependudukan pencatatan peristiwan penting mencangkup banyak hal dan
perkawinan adalah salah satunya. Oleh karena itu perkawinan masuk kedalam
peristiwa penting yang harus dicatatkan, maka kemunculan Undang-Undang
Perkawinan menjadi aturan yang menetapkan perkawinan yang bagaimana dapat
dicatatkan.
28
Mifta Adi Nugraha, Dualisme Pandangan Hukum Perkawinan Beda Agama Antara
Undang-Undang Perkawinan dan Undang-undang administrasi kependukdukan, Privat Law Edisi 01
Maret-Juni 2013. h. 58.
101
Jika dilihat dari substansi perkawinannya, maka hal ini terkait syahnya
suatu perkawinan. Di dalam Undang-Undang Perkawinan syahnya suatu
perkawinan ditentukan menurut agama dan kapercayaanya Pasal 2 ayat
(1),walaupun tidak secara tegas mengatur tentang rukun perkawinan tetapi
undang-undang tersebut menyerahkan persyaratan syahnya suatu perkawinan
secara sepenuhnya kepada ketentuan yang diatur oleh agama dengan kata lain
agama adalah penentu syahnya suatu perkawinan, sehingga aturan tentang
syahnya perkawinan dalam Undang-Undang Perkawinan berlaku umum dan
Undang-Undang Administrasi Kependudukan berlaku khusus.29
Kemunculan
Pasal 35 huruf (a) Undang-Undang Administrasi Kependudukan memberikan
pengecualian untuk pelaksanan perkawinan beda agama yaitu dengan cara
pentapan pengadilan. Oleh karena itu perkawinan diangap syah untuk pasangan
berbeda agama hanya ada dalam Undang-Undang Administrasi Kependudukan
maka Undang-Undang Administrasi Kependudukan bersipat lebih khusus. Sesuai
dengan asas yang telah dijelaskan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Undang-
Undang Perkawinan bersipat umum dan Undang-Undang Administrasi
Kependudukan bersipat khusus, sehingga Undang-Undang Administrasi
Kependudukan sebagai peraturan yang bersipat khusus dapat mengesampingkan
aturan yang bersipat umum.
Namun pada Pasal 35 huruf (a) Undang-Undang Administrasi
Kependudukan pada dasarnya tidak dijelaskan tentang syahnya perkawinan beda
29
Anshary, Hukum Perkawinan Indonesia, h. 14.
102
agama secara jelas, yang ada hanya penetapan pengadilan dan tidak ada
penjelasan terkait persoalan agama dengan kata lain agama dianggap hal yang
tidak penting dan perkawinan mereka ditentukan oleh hakim bukan lagi oleh
sebuah keyakinan, hal ini bisa diartikan bahwa implikasi Pasal 2 ayat (1) pada
Undang-Undang Perkawinan tentang pengesahan perkawinan menjadi tidak
berlaku, penetapan pengadilan diartikan sama dengan penetapan agama. Maka
Pasal 35 huruf (a) Undang-Undang Administrasi Kependudukan berimplikasi
pada sebuah kenyataan bahwa perkawinan hanya sebatas pencatatan bukan lagi
sebuah hal yang sakral, perkawinan hanya sebuah simbol dan hanya untuk
mendapat bukti hukum saja. Syarat utama perkawinan menurut Undang-Undang
Perkawinan adalah hukum agama dan kepercayaan yang dianut oleh kedua calon
mempelai, akan tetapi hal ini menjadi lengkap dan tak terpisahkan secara dejure30
bila tidak dilakukan pencatatanya. Akibatnya perkawinan yang tidak dicatat
dianggap tidak syah meski perkawinan dilakukan menurut agama sehingga
dampak yang terjadi di masyarakat adalah hukum negara yang utama dan agama
bukan lagi hal yang ditakutkan karena masuk kedalam ranah privasi seseorang.
Dalam pengesahan suatu perkawinan jika dilihat dari segi pencatatan
maka terdapat tiga perkawinan yang dicatatkan berdasarkan prosesi perkawinan,
antara lain pencatatan bagi orang muslim adalah setelah adanya ijab qabul
dihadapan penghulu dan dicatatkan di Kantor Urusan Agama, sedangkan yang
30
De jure (dalam bahasa latin klasik: de iure) adalah ungkapan yang berarti “berdasarkan
atau menurut hukum”
103
beragama selain Islam dilaksanakan di tempat peribadatan atau dihadapan
pemuka agama yang akan mengeluarkan bukti perkawinan, bukti itulah yang
menjadi dasar Dinas Kependudukan Catatan Sipil (Dukcapil) mencatatkan
perkawinan mereka, dan bagi perkawinan yang ditetapkan pengadilan salah
satunya perkawinan antar agama dianggap ada jika mendapat penetapan dari
pengadilan, salinan penetapan tersebut menjadi dasar Dinas Dukcapil untuk
mencatatkan perkawinan mereka.
Pada Pasal 35 huruf (a) yang berbunyi Pencatatan yang dimaksud dalam
Pasal 34 Undang-Undang Administrasi Kependudukan berlaku pula bagi
perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan, dan ini hanya berlaku untuk
perkawinan antar agama. Didalam penjelasan pasal tersebut tidak dijelaskan
pengadilan mana yang berwenang untuk mengeluarkan penetapan bagi pasangan
beda agama, pengadilan agama ataukah pengadilan negeri. Menurut Undang-
Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama Pasal 1 ayat (1)
berbunyi : “Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama
Islam” dengan kata lain peradilan agama hanya berkuasa atas perkawinan bagi
mereka yang beragama Islam, sedangkan yang bukan Islam menjadi kewenangan
peradilan umum.31
Perkawinan antar agama bukan kompetensi absoulut Peradilan
Agama sebagaimana ditentukan dalam undang-undang yang di paparkan di atas,
oleh karena itu jika terjadi perkara perkawinan antara pemeluk beda agama
31
Lihat Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama.
104
penyelesaianyya bukan pada Pengadilan Agama tetapi pada Pengadilan Negeri.32
Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman Nomor 48 Tahun
2009 Pasal 25 ayat 2 dan ayat 3.33
Lahirnya Pasal 35 huruf (a) Undang-Undang Administrasi Kependudukan
hanya memberi jalan khusus untuk melaksanakan dan mencatatkan perkawinan
tersebut yaitu melalui penetapan pengadilan, yang diketahui bahwa pengadilan
merupakan salah satu tempat lahirnya hukum. Hakim pada Penetapan Perkawinan
Beda Agama di Pengadilan Negeri Lumajang Nomor 198/Pdt,P/2013/Pn.Lmj dan
Pengadilan Negeri Bogor Nomor 111/Pdt,P/2007/Pn.Bgr merujuk pada ketentuan
bahwa menurut Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
Tentang Kekuasaan Kehakiman mengatakan bahwa “Pengadilan dilarang
menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan
dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk
memeriksa dan mengadilinya” dan seorang hakim memiliki kewajiban untuk
menciptakan hukum guna memenuhi rasa keadilan masyarakat dengan kata lain
seorang hakim harus bisa melihat, membaca, memahami dan mempertimbangkan
nilai-nilai hukum yang berlaku di masyarakat.
Menurut Denny, selaku salah satu hakim di Pengadilan Negeri Bogor
32
Neng Djubaedah, Ibid, h. 227. 33
Didalam Pasal 25 ayat 3 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman berbunyi : “Peradilan agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang memeriksa,
mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama Islam sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” dan Pasal 25 ayat 2 berbunyi ; Peradilan umum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana
dan perdata sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”
105
mengatakan bahwa perkawinan agama sebagai akibat dari perubahan zaman yang
tidak bisa di hindari, selayaknya hukum harus mengikuti perubahan zaman
tersebut, maka lahirnya Undang-Undang Administrasi Kependudukan memberi
jalan bagi pasangan beda agama untuk merealisasikan perkawinannya tersebut.
Menurut beliau agama adalah hak asasi manusia dan di dalam Pasal 29 Undang-
Undang Dasar 1945 tentang di jaminannya oleh Negara kemerdekaan bagi setiap
warganegara untuk memeluk Agamanya masing-masing. Pasal 29 ayat (2)
disebutkan, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu, namun bukan berati Undang-Undang Perkawinan sudah tak
berlaku lagi, adanya Undang-Undang Administrasi Kependudukan menurut
beliau sebagai pengkhususan “Asas Lex Specialis Derograt Lex Generalis” yang
artinya aturan yang khusus mengesampingkan aturan yang lebih umum.34
Seorang hakim dalam menilai keabsahan perkawinan antar umat yang
berbeda agama tetap harus memperhatikan keabsahan perkawinan menurut
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan aspek-aspek agama serta aturan yang
lebih tinggi. Kantor Catatan Sipil hanya lembaga yang berwenang mencatatkan
perkawinan sedangkan yang melangsungkan perkawinan tetap pemuka agama
menurut hukum agama masing-masing. Jadi keberadaan Pasal 35 huruf a
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tidak berarti perkawinan sipil dapat
34
Wawancara Dengan Bapak Dennie Arsan Fatrika S.H, Selaku Hakim Di Pengadilan Negeri
Bogor, Tgl 16 Desember 2013.
106
dilangsungkan. Perkawinan harus tetap dilangsungkan menurut hukum agama
untuk kemudian dinilai oleh hakim mengenai keabsahannya, Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 bukan tidak melarang perkawinan antar umat yang berbeda
agama melainkan tidak mengaturnya. Artinya selama hukum agama
membolehkan perkawinan antar umat yang berbeda agama tersebut maka
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 bukan merupakan suatu benturan. Hal
inilah yang harus diperhatikan oleh hakim karena hukum agama tertentu masih
membuka kemungkinan dilangsungkannya perkawinan antar umat yang berbeda
agama dengan dispensasi-dispensasi tertentu.
Pasal 35 huruf (a) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 memang
memberikan kewenangan kepada Kantor Catatan Sipil untuk mencatatkan
perkawinan yang telah mendapat penetapan pengadilan. Ketika pengadilan telah
mengeluarkan penetapan yang memerintahakan Kantor Catatan Sipil untuk
mencatatkan perkawinan antar umat yang berbeda agama tersebut maka tidak ada
alasan untuk menolaknya. Adanya persyaratan penetapan pengadilan untuk
mencatatkan perkawinan antar umat yang berbeda agama memberikan
kewenangan yang besar pada hakim untuk menentukan apakah suatu perkawinan
antar umat yang berbeda agama sah atau tidak. Dalam menentukan keabsahan
perkawinan antar umat yang berbeda agama, dengan kata lain syahnya
perkawinan beda agama kini ditentukan oleh pengadilan bukan lagi oleh agama.
Melalui hukum yang dilahirkan pengadilan maka pejabat pencatat
perkawinan kini memiliki dasar hukum untuk mencatat perkawinan beda agama
107
tersebut. Pengaturan yang demikian menunjukan konsep pencatatan beda agama
yang administratif, perkawinan beda agama tidak didasarkan pada syahnya
perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan yaitu menurut agama tapi
perkawinan beda agama dapat dicatatkan karena adanya aturan hukum yaitu
penetapan pengadilan yang menyuruh untuk dicatatkan, namun hal ini menjadi
tidak kalah penting karena dengan adanya pencatatan memberikan bukti autentik
terhadap status hukum seorang warga negara, dengan diterbitkannya buku nikah
atau akta perkawinan menjadi bukti bahwa perkawinan benar-benar telah terjadi.
Berdasarkan hal tersebut terlihat bahwa perkawinan beda agama tetap
tidak syah karena pengadilan sendiri tidak menyebutkan dalam penetapnya bahwa
perkawinan yang mereka lakukan menjadi syah, pengadilan sendiri hanya
mengeluarkan penetapan untuk kebolehan dicatatkan agar mendapat bukti dan
mendapat perlindungan hukum. Berdasarkan hal tersebut Kantor Catatan Sipil
mecatatkan perkawinan yang tidak syah, dan untuk dapat melangsungkan
perkawinan yang absah dan diakui negara maka perkawinan tersebut haruslah
memenuhi syarat-syarat sahnya perkawinan.
Dalam Undang-Undang Perkawinan syarat syahnya suatu perkawinan
dibagi dalam dua syarat yakni syarat materil yaitu syarat mengenai diri pribadi
para calon sedangkan syarat formil adalah formalitas-formalitas yang harus di
penuhi para pihak sebelum dan sesudah perkawinan. Sedangkan dalam Undang-
Undang Perkawinan syarat formal tidak dipaparkan secara langsung terkait
pencatatan perkawinan maka ketentuan dalam Undang-Undang Administrasi
108
Kependudukanlah yang digunakan yaitu Pasal 34, 35 dan 36. Berdasarkan isi
Pasal 34 Undang-Undang Administrasi Kependudukan dicatatkanya perkawinan
yang tidak syah bukan tidak mungkin, karena pada ayat 1 dijelaskan bahwa
perkawinan yang syah wajib dilaporkan dan pada ayat 2 menyatakan berdasarkan
laporan tersebut pejabat pencatatan sipil mencatat perkawinannya. Oleh karena itu
dalam Pasal 34 ayat 1 tidak menyatakan bahwa hanya perkawinan yang syah saja
yang dapat dicatat, dan pada ayat 2 pun tidak mengatur bahwa hanya laporan atas
perkawinan yang syah saja yang hanya di catatkan. Dan dalam Pasal 36 sendiri
memberikan penjelasan bahwa perkawinan yang tidak dapat dibuktikan dengan
akta perkawinan harus mendapat penetapan pengadilan hal ini berati bahwa
dengan adanya syarat dalam melangsungkan perkawinan beda agama harus
mendapat penetapan pengadilan, dengan begitu barulah Kantor Catatan Sipil
memiliki kewenangan untuk mengeluarkan akte perkawinan.
Menerima dan mencatatkan perkawinan hanya sebagi konsep dari Kantor
Catatan Sipil dan pada dasarnya dalam mencatatkan perkawinan beda agama,
Kantor Catatan Sipil hanya bersipat pasif dalam arti bahwa tidak memberikan
penolakan melainkan memberi saran atau solusi dengan adanya penetapan
pengadilan, sehingga pencatatan dan pengesahan perkawinan beda agama hanya
menyakut dua unsur yang pertama terkait maslah yuridis, khususnya masalah
pembuktian dan yang kedua menyangkut masalah administratif.
109
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Analisis secara yuridis dan problematika yang terjadi, tentang Undang-
UndangAdministrasi Kependudukan(UU Adminduk) Nomor 23 Tahun 2006
Pasal 35 huruf (a)terkait perkawinan beda agama telah dilakukan pada bab-bab
sebelumnya. Sebagai jawaban atas permasalahan yang penulis ajukan dalam awal
penelitian, yaitu tentang kebijakan pemerintah atas diberlakukanya Undang-
Undang Administrasi Kependudukan terkait pelaksanaan perkawinan beda
agama yang menjadi sorotan publik dan dalam Undang-Undang Perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974 tidak dijelaskan secara pasti tentang perkawinan beda
agama sehingga kemunculan Undang-Undang Administrasi Kependudukan
membuka peluang bahwa perkawinan tersebut kini mendapat tempat dan
diperbolehkanya, yang pada dasarnya belum ada aturan yang pasti, dengan kata
lain negara kini memfasilitasi perkawinan beda agama. Aturan tersebut menjadi
perdebatan dan masih menjadi masalah sampai saat ini karena dianggap
melanggar nilai-nilai agama, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut.
1. Lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan adalah dalam rangka mewujudkan penyelanggaran
administrasi, baik itu pencatatan sipil maupun kependudukan yang efesien
dan efektif. Akan tetapi lahirnya Undang-Undang Administrasi
110
Kependudukan ini banyak menimbulkan masalah baru dan tidak
menyelesaikan masalah, banyak pasal-pasal yang bertentangan dengan
ketentuan-ketentuan lain yang masih berlaku sampai saat ini.
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dilahirkan untuk meminimalisir
adanya pertentangan dalam persoalan agama sehingga perkawinan beda
agama tidak diakomidir dalam undang-undang tersebut. Undang-Undang
Perkawinan inipun mempelopori pembaharuan sitem perkawinan nasional
dan memperkenalkan sistem perkawinan menurut hukum agama masing-
masing, sejalan dengan cita hukum yang bersumber pada Pancasila dan
Pasal29 Undang-Undang Dasar1945. Walaupun agama menjadi dominan
dalam Undang-Undang Perkawinan tidak berarti menentukan keabsahan
suatu perkawinan, guna memenuhi unsur administrasi maka pencatatanpun
mesti dilakukan sebagai bukti dan perlindungan hukum, ini dilakukan agar
meminimalisir permasalahan yang bisa terjadi nanti dan memberi kepastian
hukum serta rasa keadilan pada semua pihak. Perkawinan antar agama
memang tidak diakomidir dalam Undang-Undang Perkawinan namun dalam
Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 8 sub f tentang larangan perkawinan, maka untuk
melangsungkan perkawinan antar orang yang berlainan agama akan sangat
tergantung pada ketentuan hukum agama yang dianut bagi calon suami istri
yang bersangkutan.
3. Namun adanya Pasal 35 huruf (a) pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2006 tentang Adminstrasi Kependudukan membuka peluang untuk
111
melegalkan perkawinan beda agama sehingga esensi perkawinan yang dianut
Undang-Undang Perkawinan yaitu perkawinan yang seiman bukan lagi
menjadi dasar dan adanya Pasal2 ayat (1) jo Pasal8 sub f menekankan
perkawinan seiman sebagai konsekuensi berlakunya sistem perkawinan
menurut Undang-Undang Perkawinan, maka perkawinan harus tunduk pula
pada pasal tersebut sebagai norma dasar sistem hukum perkawinan, nampak
sudah tak dihiraukan lagi. Jika dilihat dari substansi perkawinannya, maka
hal ini terkait syahnya suatu perkawinan. Di dalam Undang-Undang
Perkawinan syahnya suatu perkawinan ditentukan menurut agama dan
kapercayaanya Pasal 2 ayat (1),walaupun tidak secara tegas mengatur tentang
rukun perkawinan tetapi undang-undang tersebut menyerahkan persyaratan
syahnya suatu perkawinan secara sepenuhnya kepada ketentuan yang diatur
oleh agama dengan kata lain agama adalah penentu syahnya suatu
perkawinan, sehingga aturan tentang syahnya perkawinan dalam Undang-
Undang Perkawinan berlaku umum dan Undang-Undang Administrasi
Kependudukan berlaku khusus atau disebut Lex Specialis Derograt Lex
Generalis (aturan khusus mengesampingkan peraturan yang lebih umum ).
Dibuatnya pasal ini adalah dianggap sebagai solusi bagi perkawinan beda
agama yang ingin mengesahkan perkawinanya dengan melalui penetapan
pengadilan atau mengisi kekosongan hukum dan Undang-Undang
Perkawinan masih sumber utama dalam rujukan hakim terkait masalah
perkawinan. Namun yang perlu ditekankan disini adalah terkait keabsahan
112
perkawinan tersebut, perkawinan beda agama hanya mendapat pengakuan
dari negara dan terkait masalah agama bukan menjadi hal yang krusial atau
menjadi penghalang dengan kata lain agama tidak menjadi dasar pada
perkawinan mereka.
Dan dalam Pasal 35 huruf (a) pun hanya menekankan kebolehan perkawinan
beda agama dicatat jika mendapat penetapan pengadilan sehingga yang menetukan
keabsahan perkawinan tersebut ditentukan oleh hakim, bukan lagi oleh agama
ataupun pemuka agama dan acara perkawinan atau prosesi dalam perkawinan
agama yang kini nampak seperti sebuah adat. Setelah mendapat penetapan maka
perkawinan mereka didaptarkan di Kantor Catatan Sipil untuk dicatatakan dan
mendapat bukti akta nikah, sedangkan keabsahanya perkawinan beda agama hanya
bersifat administartif atau hanya memenuhi unsur-unsur administarsi negara.
Jika perkawinan beda agama dianggap sebagai kemajuan dalam hal Hak
Asasi Manusia maka menurut penulis ini tidak bisa dibenarkan, memang benar
setiap orang berhak untuk memilih agama dan kepercayaan masing-masing dan
berhak untuk membentuk keluarga namun setiap hak yang manusia peroleh maka
harus diimbangi dengan kewajiban dan hak seseorang itu memiliki batasan, jika
tidak dibatasi maka akan terjadi ketidakseimbangan dalam kehidupan. Oleh karena
itu hak seseorang haruslah dibatasi. Perkawinan beda agama dianggap melanggar
nilai-nilai agama dan pada dasarnya setiap agama tidak menghendaki perkawinan
yang berbeda, adanya dispensasi yang mereka keluarkanpun menekankan
persyaratan tertentu untuk menghindari adanya penistaan agama atau pencemaran
113
atas nama agama. Hal ini membuktikan bahwa agama adalah hal yang penting dan
menetukan. Maka jelas terlihat aturan ini memiliki banyak penafsiran hukum
sehingga jelas sekali di berlakukanya pasal tersebut sebagai adanya konflik
kepentingan anggota masyarakat, sebagai reaksi atas diberlakukanya sebuah
ketentuan yang dianggap menyudutkan mereka atau merugikan kepentingan
mereka.
B. Saran
Bila penulis cermati, munculnya pasal ini sangatlah tidak sesuai dengan
ketentuan yang berlaku dan sangat bertentangan dengan norma-norma di
masyarakat. Memang benar lahirnya pasal tersebut dalam bentuk undang-undang
menandakan negara mengatur perkawinan beda agama, namun apakah negara
menjamin akibat yang di timbulkan dari perkawinan beda agama itu sendiri,
dampak yang timbul dari perkawnan beda agama lebih banyak ketimbang
perkawinan yang seiman. Seharusnya negara bisa bersikap tegas dan
meminimalisir atau memperbahrui aturan lama bukan membuat aturan baru yang
menimbulkan masalah baru, lagi-lagi ketidak tegasan pemerintah dan kepentingan
para pihak lebih dikedepankan ketimbang melihat dampak dan efesiensi aturan
tersebut.
Maka saran penulis dalam hal ini adalah :
1. Apabila negara benar-benar ingin mengakomodir perkawinan beda agama di
Indonesia maka seharusnya negara merevisi ulang undang-undang terkait
114
masalah perkawinan, bukan memuat aturan baru atau memasukan ketentuan
tersebut kedalam aturan lain. Didalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang perkawinan beda agama memiliki banyak penafsiran hukum sehingga
sudah tidak layak lagi dalam perkembangan zaman dimasa sekarang, oleh
sebab itu seharusya negara bisa merevisi/memperbahurui undang-undang
tersebut.
2. Pada Pasal 35 huruf (a)Undang-Undang Administrasi Kependudukan tidak
serta merta membolehkan perkawinan beda agama, maka dibuatlah
persyaratan dengan dimintanya penetapan pengadilan, sehingga seorang
hakim tetap merujuk pada ketentuan perkawinan berdasarkan tata cara
perkawinan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Namun karena muatan
materi dalam pasal ini multitafsir dan berdasarkan ketentuan Undang-Undang
Dasar 1945 Pasal 29 ayat 1 yang berbunnyi Negara berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa, yang artinya bahwa negara tidak bisa mengabaikan masalah
agama maka ketentuan yang dianggap melanggar nilai-nilai agama harus
dicabut, dan Negara harus bersikap tegas.
115
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Tentang Perkawinan,
Jakarta, Akademika Presindo, 1986.
Abdullah bin Abdurrahman al Bassam, Taudhih Al Ahkam min Bulugh Al Maram
L. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta2. Ka / Sekprodi Ahwal Syakhsiyyah.
adalah benar mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum uIN SyarifHidayatullah Jakarta yar.g sedang menyusun skripsi dengan judul: J
" Analisa Yuridis Perkawinan Beda Agama Di Indonesia Setelah Berlakunyaundang-Undang Administrasi Kependudukan Nomer 23 Tahun 2006,'
untuk melengkapi bahan penulisan skripsi, dimohon kiranya Bapak/rbudapat menerima yanq bersangkutan untuk wawancara serta memperolehdata guna penulisan skripsi dimaksud.
Atas kerjasama dan bantuannya, kami ucapkan terima kasih.
WassaIam,
a.n. DEKAN,Wakil Dekan Bidang Akademik
i 3it g.;:r i
i\J , t
SLira: l-]
Fer.hr. r
T A \i i_::,.r
D, ,,'i r
:,. ,t: , ,'!:.. r.a -l
A 'r a
lbl -l\ ')-o\b:..^
i
I
IIt
I
.l'l\__ -_ -.j*a_
PEI{GADILAN NEGEru BOGORJalan Pengadilan No.10 Bogor
Telp. & Fax. (0251) 8323190 -8323121
SURAT KETERANGANNo. o L /Ket/[Ik.PR/20 13/PN.B gr.
Yang bertanda tangan dibawah inr :
Nama : IWAN DARMAWAN, S.H.
NIP : 195805171985021001
Jabatan : Panitera/Sekretaris Pengadilan Negeri Bogor
Dengan ini menerangkan bahwa :
Nama
NPM
Semester
JurusarVKonsentrasi
Mahasiswa
AINUR RAHMAN
1 09046 1 00054
ViII (delapan)
Peradilan Agama
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri SyarifHidayatullah Jakarta, beralamat di Jalan Ir. H. Juanda No.05,Ciputat, J akafia - I 5 412.
__-Mahasiswa tersebut di414s telalLtne_1a\Ukg4_way4lgglq deqg?4 P_qjgb4ryglg berwenang di
Pengadilan Negeri Bogor, untuk melengkapi data-data penyusunan skripsi dengan judul
..ANALISA YURIDIS PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA SETELAH
BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN
NOMOR 23 TAHUN 2006"
Demikian Surat Keterangan ini dibuat untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.
t3 Desember 2013
ADILAN NEGERT BOGORRA / SEKRETARISfI-
s80sr 7198s021001
Daftar Pertanyaan Wawancara dan Jawaban
Nama : Dennie Arsan Fatrika S.H
Jabatan : Hakim
ANALISIS YURIDIS PERKAWINAN BEDA AGAMA
DI INDONESIA SETELAH BERLAKUNYA
UNDANG-UNDANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN
NOMOR 23 TAHUN 2006
Terkait adanya aturan tentang perkawinan antar agama yang mana termuat
dalam Undang-Undang Adminduk Nomor 23 Tahun 2006 tepatnya Pasal 35 huruf (a)
adalah perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan. Bunyi Penjelasan Pasal 35
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 : huruf a : Yang dimaksud dengan
"Perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan" adalah perkawinan yang dilakukan
antar umat yang berbeda agama tersebut. Maka berikut beberapa pertanyaan
sehubung aturan tersebut.
1. Terkait denga aturan yang sudah di paparkan di atas, apakah dengan adanya
putusan dari pengadilan perkawinan mereka sudah diakui keabsahannya atau
legal?
Jawab : Pengadilan sendiri hanya mengeluarkan penetapan bukan menilai syah
atau tidaknya perkawinan, dan dalam memberikan penetapan hakim sendiri harus
memeriksa kelengkapan seperti surat ijin dari pemuka agama dan tetap saja
merujuk pada aturan yang berlaku, menurut saya sahnya perkawinan tentu saja
berdasarkan agama, penetapan ini hanya berisi penguat kebolehan perkawinan
tersebut dicatat untuk mendapat bukti nikah, bersipat administratif.
2. Jika ditelaah ternyata dalam Pasal aturan tersebut memiliki perbedaan dengan
salah satu pasal dalam Undang-Undang Perkawinan No 1/1974 yang tertuang
dalam Pasal 2 ayat 1 yaitu perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, sehingga terlihat
bertentangan, menurut Hazairin bahwa tidak ada lagi upaya untuk melanggar
‘hukum agamanya sendiri” jadi bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk
kawin dengan melanggar hukum agamanya, demikian bagi umat Kristiani, Hindu
maupun Budha.
Bagaimana bapak/ibu menanggapi hal tersebut, setujukah atau tidak?, Apakah
undang-undang tersebut menghapus ketentuan yang lama, atau undang-undang
tersebut berdiri sendiri atau malah aturan tersebut bebeda dengan aturan yang
lama sebelumnya?
Jawab : Saya rasa bukan menghapus, melainkan pengkhususan. Tetap saja dalam
membuat putusan penetapan Undang-Undang No 1/1974 masih dijadikan acuan
wajib, menanggapi aturan baru tersebut ini hanya sebuah pengkhususan yang
mana aturan yang lebih khusus mengesampingkan aturan yang lebih umum. Pasal
35 dalam Undang-Undang Adminduk ini kan terkait pencatatan perkawinan dan
Undang-Undang No 1/1974 terkait perkawinan secar umum dan pencatatan
perkawinan masuk kedalam unsur perkawinan tersebut maka Undang-Undang
Perkawinan bersipat umum.
3. Faktor-faktor apa yang sering bapak atau ibu pakai sebagai acuan jika
memutuskan perkara dalam permohonan perkawinan antara agama!
Jawab: Ya, dalam memutuskan sudah barang tentu kami harus merujuk pada
aturan yang ada dan lebih baru, buka berarti aturan lama tidak dipakai, tetap kami
jadikan acuan, apa masih di bisa dipakai atau tidak. Pada dasarnya perkawinan
beda agama ini yang terpenting dispensasi dari pemuka agama (tanpa adanya
konsfirasi), kerelaan parapihak-pihak, maka dengan begitu kami bisa memutuskan
tanpa harus ambil pusing.
4. apakah dengan adanya aturan tersebut negara sudah menfasilitasi atau memberi
peluang dan mengakui perkawinan tersebut, bagaimana pandangan dari bapak/ibu
sendiri?
Jawab: Ya, jelas sekali adanya aturan tersebut negara memfasilitasi dan memberi
kedudukan untuk perkawinan beda agama dalam peraturan di Indonesia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
P E N E T A P A NNomor : 198/Pdt.P/2013/PN.Lmj
Pengadilan Negeri Lumajang, yang memeriksa dan mengadili perkara perdata
permohonan dalam peradilan tingkat pertama telah menjatuhkan penetapan sebagai berikut
dalam perkara permohonan dari :
1. SRI MULYANI, Tempat /tanggal lahir Lumajang, umur 26 tahun Jenis Kelamin perempuan, Bertempat tinggal di Desa Tempurrejo RT.005, RW.001, Kecamatan Tempursari, Kab.Lumajang, Agama Kristen, pekerjaan tani;
Disebut sebagai PEMOHON I;
2. HADI SUSANTO,Tempat /tanggal lahir Malang, umur 24 tahun, Jenis Kelamin laki-laki, Bertempat tinggal di Dusunm Krajan RT.006/RW.002 Desa Tamansari, Kecamatan Ampelgading, Kabupaten Malang, untuk saat ini berdomisili di Desa Tempurrejo RT.005, RW.001, Kecamatan Tempursari, Kab.Lumajang, Agama Islam, pekerjaan swasta;
Disebut sebagai PEMOHON II;
Keduanya untuk selanjutnya disebut sebagai PARA
PEMOHON;
PENGADILAN NEGERI tersebut;
Telah membaca surat-surat dan berkas permohonan ;
Telah memperhatikan alat-alat bukti tertulis yang diajukan Para Pemohon ;
Telah mendengar keterangan saksi-saksi ;
TENTANG DUDUKNYA PERKARA
Menimbang, bahwa Para Pemohon dalam surat permohonannya tertanggal 18 Pebruari
2013 yang telah didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Lumajang tertanggal
18 Pebruari 2013 dengan register perkara Nomor : 198/Pdt.P/2013/PN.Lmj., mengemukakan
dalil-dalil permohonan sebagai berikut :
1. Bahwa……..
1. Bahwa Pemohon I adalah seorang perempuan berumur 26 tahun dengan
status masih perawan, Warga Negara Indonesia pemeluk agama Kristen;
1
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 1
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
2. Bahwa Pemohon II adalah seorang pria berumur 24 tahun dengan status
perjaka juga Warga Negara Indonesia, pemeluk agama Islam;
3. Bahwa Pemohon I dan Pemohon II tidak ada hubungan keluarga baik
sedarah maupun semenda dan tidak terikat tali perkawinan dengan orang
lain;
4. Bahwa antara Pemohon I dan Pemohonj II telah menjalin hubungan
cinta kasih secara serius dan ingin melanjutkan hubungan cinta kasih
Para Pemohon sampai ke jenjang perkawinan dan kemudian mencatatkan
perkawinan tersebut di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil;
5. Bahwa oleh karena Pemohon I sebagai pemeluk agama Kristen
sedangkan Pemohon II Agama Islam, maka untuk dapat melangsungkan
perkawinan terlebih dahulu harus mendapatkan ijin dari Pengadilan
Negeri;
6. Bahwa agar tidak terdapat permasalahan hukum dikemudian hari, maka
Para Pemohon mengajukan permohonan ini dan mohon agar Pengadilan
Negeri Lumajang berkenan memberikan putusan berupa penetapan;
Berdasarkan dengan segala apa yang terurai di atas, Pemohon mohon berkenan kiranya Bapak
Ketua Pengadilan Negeri Lumajang segera memeriksa permohonan ini dan selanjutnya
memberikan penetapan sebagai berikut :
1.-- Mengabulkan permohonan para Pemohon;
2. Memberi ijin kepada Para Pemohon untuk menghadap Kepala Dinas
Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Lumajang guna melakukan
perkawinan Beda Agama di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil
Kabupaten Lumajang;
3. Membebankan biaya permohonan ini kepada para Pemohon;
Menimbang, bahwa pada hari persidangan yang telah ditetapkan untuk itu, para
Pemohon hadir menghadap dipersidangan dan selanjutnya permohonan dibacakan dan Para
Pemohon menyatakan tetap pada permohonan tersebut;
2
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 2
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Menimbang, bahwa untuk menguatkan dalil-dalil permohonannya, Para Pemohon telah
mengajukan bukti-bukti tertulis berupa foto copy yang telah dicocokkan dengan aslinya serta
telah dibubuhi Meterai yang cukup yang masing-masing terdiri dari :
1. Kartu…….
1. Kartu Tanda Penduduk Republik Indonesia An. HADI SUSANTO NIK :
3507062107890002 tertanggal 20 Juli 2011 (bukti P.1);
2. Surat Keterangan untuk Nikah an.HADI SUSANTO dari Kepala Desa Tamanasri,
Kec.Ampelgading, Kab.Malang Nomor : 472.21/23/421.619.010/2012 tertanggal 14
Nopember 2012 ( bukti P-2);
3. Surat Keterangan Asal-Usul an. HADI SUSANTO dari Kepala Desa Tamanasri,
Kec.Ampelgading, Kab.Malang Nomor : 472.21/23/421.619.010/2012 tertanggal 14
Nopember 2012 ( bukti P-3);
4. Surat Keterangan Tentang Orang tua dari Kepala Desa Tamanasri, Kec.Ampelgading,
Kab.Malang Nomor : 472.21/23/421.619.010/2012 tertanggal 14 Nopember 2012
(bukti P-4);
5. Surat Persetujuan Mempelai antara Calon Suami dan Calon istri tertanggal 14 Nopember
2012 (bukti P-5);
6. Kartu Leluarga Nama Kepala Keluarga USMAN ( ayah/orang tua HADI SUSANTO)
No.3507060309080004 tertanggal 14 Januari 2013 ( bukti P-6);
7. Ijazah Sekolah Menengah Pertama (SMP Negeri 1 Ampelgading Malang) No.DEN-05
DI 1147827 tertanggal 28 Juni 2004 (bukti P-7);
8. Surat Keterangan an. HADI SUSANTO dari Kepala Desa Tamanasri,
Kec.Ampelgading, Kab.Malang Nomor : 474/30/421.619.010/2013 tertanggal 21
Januari 2013 ( bukti P-8);
9. Kutipan Akta Kelahiran an. SRI MULYANI yang dikeluarkan Kepala Dinas
Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Lumajang No.
AL.702.0099332.01.2004/AT.151 tertanggal 24 Juni 2009 ( bukti P-9);
10. Surat Keterangan tentang orang tua SRI MULAYANI dari Kepala Desa Tempurejo,
Kec.Tempursari, Kab.Lumajang Nomor : 474.2/32/427.901.03/2012 tertanggal 19
Nopember 2012 (bukti P-10);
11. Surat Persetujuan Mempelai antara Calon Suami dan Calon istri tertanggal 19 Nopember
2012 (bukti P-11);
12. Surat Keterangan Asal-Usul dari Kepala Desa Tempurejo, Kec.Tempursari,
Kab.Lumajang Nomor : 474.2/32/42/901.03/2012 tertanggal 19 Nopember 2012 (bukti
P-12);
3
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 3
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id13. Surat Keterangan Untuk Nikah an.SRI MULYANI dari Kepala Desa Tempurejo,
Kec.Tempursari, Kab.Lumajang Nomor : 474.2/32/427.901.07/2012 tertanggal 19
Nopember 2012 (bukti P-13);
Menimbang, bahwa selain mengajukan bukti-bukti tertulis, Para Pemohon juga telah
mengajukan saksi-saksi dan telah memberikan keterangan dipersidangan dengan terlebih dahulu
disumpah, yang pada pokoknya masing-masing menerangkan sebagai berikut :
1. Saksi…….
1.--Saksi I. FANI ADI PERMANA;
• Bahwa saksi kenal dengan Hadi Susanto karena dulu tetangga dan juga kenal
dengan Sri Mulyani karena saksi sering kerumah Sri Mulyani;
• Bahwa saksi mendukung perkawinan Para Pemohon yang beda agama karena
mereka saling mencintai;
• Bahwa benar Hadi Susanto adalah beragama Islam sedang Sri Mulyani beragama
Kristen dan mereka belum menikah;
2. Saksi II PONIMAN ;
• Bahwa benar antara Sri Mulyani dan Hadi Susanto ada memadu cinta dan saling mencintai,
mereka belum menikah;
• Bahwa benar Hadi Susanto beragama Islam dan Sri Mulyani beragama Kristen dan benar
mereka akan menikah secara sah;
• Bahwa benar orang tua Sri Mulyani dan orang tua Hadi Susanto tidak keberatan perkawinan
beda agama;
Menimbang, bahwa atas keterangan saksi-saksi diatas, para Pemohon membenarkan
keterangan saksi-saksi tersebut;
Menimbang, bahwa orang tua Sri Mulyani juga hadir di persidangan dan menerangkan
setuju untuk menikahkan anaknya dengan Hadi Susanto yang beda agama dengan Sri Mulyani
dan keluarga Hadi Susanto juga setuju pernikahan tersebut dilaksanakan;
Menimbang, bahwa selanjutnya segala yang termuat dalam berita acara persidangan
dianggap sebagai telah turut termuat dalam penatapan ini;
4
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 4
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
TENTANG PERTIMBANGAN HUKUMNYA
Menimbang, bahwa maksud dan tujuan permohonan Para Pemohon adalah
sebagaimana terurai diatas;
Menimbang, bahwa yang menjadi inti pokok permohonan para Pemohon adalah agar
para Pemohon diijinkan untuk dapat melangsungkan perkawinan di Dinas Kependudukan dan
Pencatatan Sipil Kabupaten Lumajang;
Menimbang,…….
Menimbang, bahwa apakah permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum yang
berlaku, maka akan terlebih dahulu diperhatikan bukti-bukti tertulis dan maupun keterangan
saksi-saksi yang diajukan para Pemohon di persidangan;
Menimbang, bahwa dari bukti-bukti tertulis dan juga keterangan saksi-saksi yang
diajukan para Pemohon di dalam persidangan maka diperoleh fakta-fakta hukum sebagai
berikut :
• Bahwa Pemohon I (SRI MULYANI), tinggal di Desa Tempurrejo RT.005, RW.001,
Kecamatan Tempursari, Kab.Lumajang,dan beragama Kristen, sedangkan HADI
SUSANTO, beralamat di Dusun Krajan RT.006/RW.002 Desa Tamansari, Kecamatan
Ampelgading, Kabupaten Malang, untuk saat ini berdomisili di Desa Tempurrejo RT.005,
RW.001, Kecamatan Tempursari, Kab.Lumajang, beragama Islam;
• Bahwa para Pemohon telah memadu cinta dan saling mencintai dengan status belum
diikat perkawinan;
• Bahwa Pemohon I ( Sri Mulyani) telah dalam keadaan hamil sebagai hasil buah cinta
Pemohon I ( Sri Mulyani) dengan Pemohon II ( Hadi Susanto);
• Bahwa para Pemohon ingin melakukan perkawinan yang sah menurut hukum yang
berlaku di Negera Republik Indonesia;
Menimbang, bahwa dari fakta-fakta tersebut diatas, para Pemohon menginginkan agar
hubungan percintaan diantara mereka dapat diikat dengan perkawinan yang sah;
Menimbang, bahwa dari bukti-bukti tertulis yang masing-masing diberi tanda P-1
sampai dengan P-13 adalah dibenarkan oleh para Pemohon maupun oleh saksi-saksi yang
diajukan para Pemohon, sehingga benar Pemohon I ( Sri Mulyani) adalah seorang perempuan
beragama Kristen sedang Pemohon II ( Hadi Susanto) adalah seorang laki-laki beragama Islam
5
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 5
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
yang ingin melangsungkan perkawinan yang sah menurut hukum yang berlaklu di Negara
Republik Indonesia;
Menimbang, bahwa di dalam pasal 57 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang
perkawinan menyebutkan, yang dimaksud dengan perkawinan campuran adalah perkawinan
antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan
agama, dalam hal inin Pemohon I adalah beragama Kristen sedang Pemohon II beragama
Islam;
Menimbang,…….
Menimbang, bahwa dalam Pasal 61 ayat (1) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang
perkawinan menegaskan” Perkawinan Campuran dicatat oleh Pegawai pencatat yang
berwenang” dan ketentuan ini dikaitkan dengan Pasal 10 ayat (3) Peraturan Pemerintah No. 9
Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan, maka
perkawinan tersebut harus dilasanakan dihadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang
saksi;
Menimbang, bahwa oleh karena para Pemohon akan melangsungkan perkawinan sah
sedang para Pemohon berbeda agama sedang Undang-Undang mengharuskan dicatat oleh
Pegawai yang berwenang, maka berdasarkan Pasal 35 Undang-Undang No.24 Tahun 2006
tentang Administrasi Kependudukan maka pejabat yang berwenang mencatatkan perkawinan
para Pemohon adalah Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Lumajang;
Menimbang, bahwa berdasarkan bukti-bukti tertulis dan saksi-saksi yang diajukan para
Pemohon didepan persidangan bahwa permohonan para Pemohon adalah memenuhi syarat
hukum untuk melakukan perkawinan yang tunduk pada hukum di Indonesia dan hal ini tidak
dilarang oleh peraturan yang berlaku di Indonesia sebagaimana Yurisprudensi Mahkamah
Agung Republik Indonesia No.245.K/Sip/1953 tanggal 16 Pebruari 1955 “ Permintaan akan
keterangan yang diperlukan oleh seorang wanita yang hendak kawin dengan laki-laki yang
berlainan agama tidak boleh ditolak atas alasan yang semata-mata berdasarkan perbedaan
agama”;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan diatas, dan demi untuk adanya kepastian
hukum, maka Pengadilan Negeri memberi ijin kepada pra Pemohon untuk melakukan
perkawinan yang tunduk pada hukum di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten
Lumajang;
6
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 6
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Menimbang, bahwa oleh karena permohonan para Pemohon dapat dikabulkan, maka
biaya yang timbul dalam perkara permohonan ini dibebankan kepada para Pemohon;
Mengingat ketentuan Undang-UndangNo.1 Tahun 1974 tentang perkawinan serta
peraturan lain yang berkaitan dengan permohonan ini;
M E N E T A P K AN:
1. Mengabulkan permohonan Para Pemohon ;
2. Memberi…….
2. Memberi ijin kepada para Pemohon untuk menghadap Kepala Dinas
Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Lumajang guna melakukan
pencatatan perkawinan Beda Agama di Dinas Kependudukan dan Pencatatan
Sipil Kabupaten Lumajang ;
3. Membebani para Pemohon untuk membayar biaya perkara yang ditetapkan
secara tanggung renteng sebesar Rp. 241.000,00 ( dua ratus empat puluh satu ribu
rupiah);
Demikianlah ditetapkan pada hari Kamis, tanggal 28 Pebruari 2013, oleh kami,
HALOMOAN SIANTURI, SH.MH. Hakim pada Pengadilan Negeri Lumajang yang ditunjuk
berdasarkan Surat Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Lumajang tanggal 21 Pebruari 2013
Nomor 198/Pen.Pdt./II/2013/PN.Lmj, penetapan tersebut pada hari itu juga diucapkan dalam
persidangan yang terbuka untuk umum oleh Hakim tersebut, dibantu oleh NGATRIYANTO
Panitera Pengganti pada Pengadilan Negeri Lumajang dan dihadiri oleh para Pemohon.--------
Panitera Pengganti, Hakim,
ttd Meretai ttd
( NGATRIYANTO ) (HALOMOAN SIANTURI, SH.MH)
7
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 7
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 8
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
9
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 9