PENGARUH KESALEHAN INDIVIDU TERHADAP KESALEHAN SOSIAL SKRIPSI Diajukan kepada Sekolah Tinggi Ekonomi Islam Yogyakarta Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Melakukan Penelitian Pada Islamic Banking School Sekolah Tinggi Ekonomi Islam Yogyakarta Oleh : Eka Nurmayanti Nim: 10140016
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PENGARUH KESALEHAN INDIVIDU TERHADAP KESALEHAN SOSIAL
SKRIPSI
Diajukan kepada Sekolah Tinggi Ekonomi Islam YogyakartaUntuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Melakukan Penelitian
Pada Islamic Banking School Sekolah Tinggi Ekonomi Islam Yogyakarta
Oleh :Eka NurmayantiNim: 10140016
ISLAMIC BANKING SCHOOLSEKOLAH TINGGI EKONOMI ISLAM
YOGYAKARTA2013
ISLAMIC BANKING SCHOOL
STEI YOGYAKARTA
PERSETUJUANDOSEN PEMBIMBING
Skripsi berjudul “PENGARUH KESALEHAN INDIVIDU TERHADAP
KESALEHAN SOSIAL” telah dapat disetujui untuk diuji di hadapan penguji
skripsi Sekolah Tinggi Ekonomi Islam Yogyakarta.
Pembimbing I
Anton Priyo Nugroho, SE., MM
Yogyakarta, Januari 2014
Pembimbing II
Siti Achiria, SE., MM
ii
PERSEMBAHAN
iii
MOTTO
iv
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah mencurahkan
Rahmat dan Hidayah-Nya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan skripsi ini.
Shalawat serta Salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW
beserta keluarga, sahabat dan seluruh pengikut beliau hingga akhir zaman yang
telah membawa kita dari zaman kegelapan menuju zaman terang benderang ini.
Skripsi ini disusun guna memenuhi syarat mendapatkan gelar S1,
konsentrasi Manajemen Perbankan Syariah dengan judul “PENGARUH
KESALEHAN INDIVIDU TERHADAP KESALEHAN SOSIAL”, akhirnya
dapat terselesaikan dengan baik. Namun tentu tidak lepas dari bantuan dari
berbagai pihak dalam menyelesaikannya. Untuk itu penyusun sampaikan rasa
terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. H. Muhamad, M.Ag selaku Ketua Sekolah Tinggi Ekonomi
Islam Yogyakarta.
2. Bapak Anton Priyo Nugroho, SE., MM, Dosen Pembimbing Skripsi I
3. Ibu Siti Achiria, SE., MM., selaku Dosen Pembimbing Skripsi II.
4. Seluruh dosen dan karyawan STEI Yogyakarta.
5. Bapak dan Ibu yang selalu menengadahkan tangan seraya berdoa untuk
anaknya, terima kasih.
6. Segenap keluarga besarku yang selalu memberikan dorongan dan
semangat.
v
7. Teman-teman yang selalu menemani hari-hariku, terima kasih atas segala
yang kalian berikan.
8. Teman-teman yang tak mungkin disebutkan satu-persatu dan semua pihak
yang telah membantu menyelesaikan skripsi ini.
Harapan penyusun skripsi ini semoga bisa bermanfaat bagi semua orang
yang membacanya. Terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Yogyakarta, Januari 2014
Penyusun,
Eka Nurmayanti
vi
ABSTRAKSI
PENGARUH KESALEHAN INDIVIDU TERHADAP KESALEHAN SOSIAL
Oleh:Eka NurmayantiNim: 10140016
Banyak sekali umat Islam yang salah dalam mengartikan ibadah, mereka hanya mengartikan ibadah sebagai satu bentuk upacara ritual saja. Sehingga tak jarang orang Islam yang shalat dengan tekun, rukuk dan sujud sementara di sekeliling mereka masih banyak anak-anak kekurangan gizi dan makanan. Seseorang dapat menemukan hakikat dirinya sebagai manusia, yakni sebagai mahluk sosial, dalam wujud saling membutuhkan, tolong menolong dalam kehidupan sehari-hari. Karena setiap individu pada dasarnya sangat tergantung pada nilai-nilai kemanusiaan dan keberadaannya dalam kelompok. Jadi, dengan demikian bagi manusia, cara terbaik untuk hidup di dunia ini adalah hidup bermasyarakat, yang di dalamnya jiwa manusia memperoleh kepuasan dari ketakwaan dan komitmen pada hukum Allah SWT, di satu pihak dan sisi lain melalui perbuatan-perbuatan yang penuh kasih sayang dan memperhatikan makhluk-makhluk lainnya. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh kesalehan individu terhadap kesalehan sosial seseorang.
Desain penelitian ini termasuk dalam penelitian kausal, tipe penelitian dengan karakteristik masalah berupa hubungan sebab akibat antara dua variabel. Populasi penelitian ini adalah semua orang yang beragama muslim. Teknik sampling yang digunakan adalah judgement sampling dengan jumlah sampel sebanyak 100 orang responden yang semuanya beragama Islam. Untuk uji validitas dilakukan dengan teknik product moment dengan dibantu sofware SPSS 15.0. Adapun analisis data dalam penelitian ini meliputi analisis deskriptif responden, analisis deskriptif variabel dan analisis regresi linear sederhana.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kesalehan individu berpengaruh signifikan dan positif terhadap kesalehan sosial. Hal ini dibuktikan dengan t hitung sebesar 5,485 dengan taraf signifikansi 0,000 (p< 0,05) dan nilai R sebesar 0,485. Adapun hasil pengujian koefisien determinasi (R2) diperoleh nilai koefisien deteminasi (R2) sebesar 0,235 yang berarti kontribusi pengaruh yang diberikan oleh kesalehan individu terhadap kesalehan sosial adalah sebesar 23,5%.
Tabel 14. Hasil Uji Multikolinearitas.....................................................................69
Tabel 15. Hasil Analisis Regresi Sederhana..........................................................74
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Kerangka Pikir......................................................................................44
Gambar 2. Jenis Kelamin Responden....................................................................59
Gambar 3. Usia Responden....................................................................................60
Gambar 4. Mulai Memeluk Islam..........................................................................61
Gambar 5. Partisipasi Pengajian Perbulan.............................................................62
Gambar 6. Infaq Perbulan......................................................................................63
Gambar 7. Jenis Puasa............................................................................................64
Gambar 8. Pengalaman Haji...................................................................................65
Gambar 9. Sholat....................................................................................................66
Gambar 10. Sholat Berjamaah...............................................................................68
Gambar 11. P-Plot Uji Normalitas.........................................................................72
Gambar 12. Scatter Plot Uji Heteroskedastisitas...................................................73
xi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kesalehan sebuah kata yang sering kita dengar dan menjadi sebutan
jika kita melihat seseorang yang memiliki perangai yang baik. Dia berasal
dari kata shalaha yang merupakan lawan dari fasada (kerusakan). Kesalehan
individu berarti berkumpulnya sifat-sifat kebaikan pada diri seseorang
sehingga menyebabkan dirinya terpelihara dari kemudharatan dan
kemungkaran. Sedangkan kesalehan sosial adalah berkumpulnya nilai-nilai
kebaikan yang sudah dimanifestasikan dalam bentuk sikap dan perbuatan
secara merata dalam lingkungan sosial kemasyarakatan. (Sanusi, 2006: 64).
Salah satu ajaran Islam adalah mendidik umat manusia melakukan
amal saleh yang dilandasi iman kepada Allah. Sebagaimana yang dikutip
Mohammad Sobary (2007), kesalehan sangat berkaitan erat dengan ibadah.
Kemudian ia menjelaskan lagi bahwa ada dua macam kesalehan, yaitu
kesalehan ruitualistik dan kesalehan sosial.
Sekarang ini banyak sekali umat Islam yang salah dalam mengartikan
ibadah, mereka hanya mengartikan ibadah sebagai satu bentuk upacara ritual
saja. Sehingga tak jarang orang-orang kaya Islam yang shalat dengan tekun,
ruku dan sujud meratakan dahinya sementara di sekeliling mereka tubuh-
tubuh kuyu dan lemah tergeletak karena kekurangan gizi dan makanan.
Bahkan tak jarang satu bentuk upacara keagamaan menghabiskan biaya jutaan
1
2
bahkan milyaran rupiah, sementara di lain sisi masih banyak anak-anak yang
mati kelaparan, atau janda-janda yang disibukkan dengan usaha mencari
nafkah bahkan tak jarang saudara-saudaranya yang rela menjual keimanan
kepada tangan-tangan yang penuh kasih.
Padahal dalam satu hadist pernah diwirayatkan bahwa ada seorang
sahabat yang satu hari menemukan satu lembah yang memiliki mata air yang
jernih dan segar. Lembah ini sangat mempesona sehingga sahabat nabi
tersebut berfikir untuk mengasingkan diri dari masyarakat dan menghabiskan
sisa usianya untuk beribadah di lembah tersebut. Sahabat ini kemudian datang
kepada Rasulullah SAW dan mengutarakan maksudnya. Dan Nabi yang suci
berkata: “janganlah engkau lakukan itu, kedudukan engkau di jalan Allah
lebih utama dari shalat yang engkau lakukan selama tujuh puluh tahun.
Tidakkah engkau ingin agar Allah mengampuni dosamu dan memasukan
kamu ke surga. Berjuanglah di jalan Allah. (HR.Turmudzi)
Berjuang di jalan Allah berarti hidup di tengah masyarakat,
mempertahankan aqidah yang diyakininya, dan menyebarkannya kepada
orang lain. Islam tidaklah datang hanya untuk menegakkan Dienul Islam di
atas dien yang lain, dan Rasulullah diutus untuk menjelaskan yang halal dan
yang haram, amar makruf nahi munkar, serta membebaskan manuia dari
beban penderitaan dan belenggu-belenggu yang memasung kebebasan mereka
untuk mengabdi, patuh dan taat hanya kepada Allah?
Al-Qur’an Al-Majid menjelaskan hal tersebut dalam ayat-ayat berikut
ini :
3
Artinya: “Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama-agama meskipun orang musyrik membenci”. (QS.As-Shaff;9).
Artinya:
“(yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, Nabi yang Ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka Itulah orang-orang yang beruntung.
Berdasarkan ayat tersebut jelas bahwa syari’at yang dibawa oleh
Muhammad itu tidak ada lagi beban-ban yang berat yang dipikulkan
kepada Bani Israil. Umpamanya: mensyari’atkan membunuh diri untuk
sahnya taubat, mewajibkan kisas pada pembunuhan baik yang disengaja
atau tidak tanpa membolehkan membayar diat, memotong anggota badan
yang melakukan kesalahan, membuang atau menggunting kain yang najis.
Al-Qur’an menyatakan bahwa manusia dan jin diciptakan Allah
hanyalah untuk beribadah kepada-Nya. Sehingga Islam memandang
seluruh hidup dan kehidupan haruslah bernilai ibadah di sisi Allah SWT.
4
Islam sebagai Ad-Dhien menjadikan seluruh bumi ini sebagai Masjid,
tempat untuk mengabdi kepada Allah.
Dalam pengertian ini ibadah adalah seperti yang didefinisikan oleh
Ibnu Taimiyah: ‘ibadah adalah suatu kata yang meneyeluruh, meliputi
segala yang dicintai dan diridhoi Allah, menyangkut segala ucapan dan
perbuatan yang nampak dan tidak nampak.
Dengan demikian ibadah dalam pengertian Islam bukanlah hanya
masalah ritual dan ceremonial belaka, karena Islam adalah ajaran yang
universal dan komprenshif yang mengatur seluruh hidup dan kehidupan
manusia. Dengan demikian ibadah, yang dimaksud dalam Islam adalah
segala ucapan dan perbuatan yang ditujukan untuk pengabdian kepada
Allah, untuk menegakkan dienullah, dan untuk mencapai keridhoan-Nya.
Dalam Islam tugas kemanusiaan (ibadah dalam arti luas) untuk
selanjutnya akan disebut ibadah sosial lebih mendapatkan perhatian
dibanding ibadah adalam arti ritual (ibadah ritual). Islam lebih
mementingkan aspek sosial dibanding aspek ritual, ibadah sosial lebih luas
dibanding ibadah ritual. Berikut ini kita lihat beberapa alasan kenapa aspek
sosial lebih mendapat perhatian dibanding aspek ritual. Proporsi ayat Al-
Qur’an dan hadist lebih besar aspek sosial dibanding aspek ritual.
Manusia adalah makhluk yang mungkin, dapat dan harus dididik,
sesuai dengan hakikatnya sebagai makhluk ciptaan Allah SWT, yang
hidup sebagai individu dalam kebersamaan (sosialitas) di dalam
masyarakat (Hadiri, 1993: 101). Kodrat manusia sebagai makhluk sosial
5
mengharuskannya hidup bermasyarakat. Sejak dilahirkan manusia sudah
ditakdirkan untuk hidup bersama dengan manusia lainnya. Hubungan
manusia dengan sesamanya membutuhkan kelompok sosial seperti
kelompok teman sepermainan, kelompok tetangga, kelompok sekolah,
kelompok seperkerjaan dan lain sebagianya.
Secara pribadi manusia bertanggungjawab kepada Tuhan (ibadah)
secara vertikal kepada-Nya. Akan tetapi sebagai makhluk, Ia hidup dalam
keberadaan makhluk lain, dan hidup berdampingan dengan sesamanya.
Manusia selama menjalani hidup di dunia sejak lahir sampai mati,
memang tidak bisa terlepas dari manusia lainnya. Karena itu, manusia
adalah makhluk individu sekaligus makhluk sosial yang bermasyarakat
(Kaelany, 1992: 124).
Dalam masyarakat, seseorang berinteraksi dengan orang lain. Pada
saat berinteraksi inilah seseorang menemukan hakikat dirinya sebagai
manusia, yakni sebagai makhluk sosial, dalam wujud saling
membutuhkan, tolong menolong dalam kehidupan sehari-hari. Dalam
konteks ini manusia akan bertahan hidup. Berarti bahwa Ia tidak akan
mampu memepertahankan eksistensi hidupnya bila ia hanya seorang diri.
Karena setiap individu pada dasarnya sangat tergantung pada nilai-nilai
kemanusiaan dan keberadaannya dalam kelompok. Jadi, dengan demikian
bagi manusia, cara terbaik untuk hidup di dunia ini adalah hidup
bermasyarakat, yang di dalamnya jiwa manusia memeperoleh kepuasan
dari ketakwaan dan komitmen pada hukum Allah SWT, di satu pihak dan
6
sisi lain melalui perbuatan-perbuatan yang penuh kasih sayang dan
memperhatikan makhluk-makhluk lainnya (Muhammad, 1986: 13).
Dalam pandangan Islam masayarkat muslim merupakan satu
kesatuan kehidupan. Rasulullah SAW, telah mengumpamakan masyarakat
seperti ini sebagai satu tubuh
“Muhammad bin ‘Abdullah bin Nu’mar mengatakan kepada kami, mengatakn kepada Abi, mengatakan kepada Zakariya dari Sya’bir dari Nu’man bin Basyir berkata Rasulullah Saw: “perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal kecintaan, kasih sayang dan belas kasihan sesama mereka, laksana satu tubuh. Jika sakit satu anggota dari tubuh tersebut maka menjalarlah kesakitan itu pada semua anggota tubuh itu dengan menimbulkan insomnia (tidak bisa tidur) dan demam”.
Hadis di atas menegaskan bahwa kehidupan orang-orang Mu’min
ini tidak dapat dipisahkan dengan yang lainnya. Mereka tidak akan
membiarkan suadaranya dalam kesusahan, kebodohan, penderitaan, dan
sebagianya. Tetapi mereka hidup sia-sia sekata, senasib sepenanggungan
untuk saling membantu, saling menasihati, saling menjaga perasaan, hidup
rukun dan damai, saling terpaut dalam rahmat dan kasih sayang meskipun
jenis dan bahasa berbeda, suku berbeda dan tempat tinggal yang
berjauhan.
Akan tetapi pada kenyataannya banyak dari kaum muslimin yang
tidak peduli terhadap keadaan di sekelilingnya yang membutuhkan
pertolongan. Padahal mereka mengaku beriman kepada Allah SWT, dan
mereka merasa telah melaksanakan shalat dengan benar akan tetapi
mereka masih berbuat jahat dengan orang lain, merugikan dirinya sendiri
dengan orang lain. Allah SWT, sebenarnya telah memperingatkan manusia
7
untuk senantiasa menyeimbangkan antara melaksanakan kesalehan ritual
atau individu, yaitu beribadah vertikal, sekaligus tidak lupa untuk
melaksanakan ibadah sosial, seperti membantu fakir miskin, yatim piatu,
tetangga yang membutuhkan dan lain sebagainya. Jangan pernah
mengatakan bahwa diri ini shaleh, apabila ia diam saja dan membiarkan
para fakir miskin dan anak yatim terlantar dan tidak dapat memakan
sesuap nasi. Dalam sebuah ayatnya, Allah SWT berfiman:
Artinya:
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk” (Al Baqarah: 43).
Ayat tersebut menyiratkan bahwa shalat dan ibadah sosial (zakat)
merupakan ‘satu paket’ ibadah yang harus dilakukan secara bersamaan.
Karena shalat merupakan wakil dari jalur hubungan manusia dengan
Allah, sedangkan zakat adalah wakil dari jalan hubungan dengan sesama
manusia.
Kesalehan individu sangatlah penting bagi pribadi seorang
muslim/muslimah yaitu minimal dengan menunaikan ibadah mahdhoh
(bersifat wajib) seperti sholat dan puasa. Hal ini sebagai bentuk
8
perwujudan manusia sebagai hamba Allah. Sedangkan kesalehan sosial
juga tidak kalah pentingnya, Rasulullah SAW bersabda :
"Sebaik-baik manusia adalah orang yang bermanfaat bagi manusia
lain." (HR. Thobroni, Daruqutni)
Hadis di atas menunjukkan bahwa membantu orang lain juga sanat
di anjurkan dalam Islam. Sebagian ulama besar berpendapat, jika shalat
adalah tiang agama, maka ibadah sosial (zakat) merupakan mercusuar
agama. Dengan kata lain shalat merupakan ibadah jasmaniah yang paling
mulia. Sedangkan ibadah sosial dipandang sebagai ibadah hubungan
kemasyarakatan yang paling mulia.
Berdasarkan dari latar belakang tersebut, peneliti tertarik untuk
meneliti kesalehan individu terhadap kesalehan sosial dengan mengangkat
judul skripsi “PENGARUH KESALEHAN INDIVIDU TERHADAP
KESALEHAN SOSIAL”
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka ada beberapa
masalah yang diidentifikasi oleh peneliti. Adapun masalah tersebut adalah
sebagai berikut:
1. Kesalehan individual kadang disebut juga dengan kesalehan ritual, Karena
lebih menekankan dan mementingkan pelaksanaan ibadah ritual, seperti
shalat, puasa, zakat, haji, zikir, dst. Disebut kesalehan individual karena
hanya mementingkan ibadah yang semata-mata berhubungan dengan Tuhan
9
dan kepentingan diri sendiri. Sementara pada saat yang sama mereka tidak
memiliki kepekaan sosial, dan kurang menerapkan nilai-nilai Islami dalam
kehidupan bermasyarakat. Pendek kata, kesalehan jenis ini ditentukan
berdasarkan ukuran serba formal, ynag hanua mementingkan
hablumminallah, tidak disertai hablumminanas.
2. Kesalehan Sosial menunjuk pada perilaku orang-orang yang sangat peduli
dengan nilai-nilai Islami, yang bersifat sosial. Bersikap santun pada orang
lain, suka menolong, sangat concern terhadap masalah-masalah ummat,
memperhatikan dan menghargai hak sesama; mampu berpikir berdasarkan
perspektif orang lain, mampu berempati, artinya mampu merasakan apa
yang dirasakan orang lain, dan seterusnya.
3. Karena itu, kriteria kesalehan seseorang tidak hanya diukur dari seperti
ibadah ritualnya shalat dan puasanyanya, tetapi juga dilihat dari output
sosialnya/nilai-nilai dan perilaku sosialnya: menginfakkan harta yang
dicintainya, menepati janji, sabar, saling menolong, amar ma’ruf dan nahi
munkar.
C. Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dan identifikasi masalah di atas
dan agar tidak bias penelitian mengenai pengaruh kesalehan individu terhadap
kesalehan sosial, maka penelitian di batasi dengan mengambil studi kasus
pada masyarakat yang beragama Islam.
10
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan di atas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah bagaimana pengaruh kesalehan individu terhadap
kesalehan sosial seseorang?
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penyusun dalam
penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh kesalehan individu terhadap
kesalehan sosial seseorang.
F. Kontribusi Hasil Penelitian
Harapan dari penelitian ini adalah agar hasil yang akan dicapai dari
penelitian ini dapat memberikan kontribusi yang positif dan bermanfaat,
adapun kontribusi tersebut adalah:
1. Teoritis
Diharapkan hasil dari penelitian ini memberikan sumbangan
terhadap pengembangan ilmu dan pengetahuan khususnya dalam bidang
agama dan sosial, serta dapat dijadikan referensi penelitian yang relevan
khususnya penelitian mengenai kesalehan individu dan kesalehan sosial.
2. Praktisi
Diharapkan penelitian ini dapat menambah pengetahuan umat
Islam tentang kesalehan sosial yang dapat mempengaruhi mereka untuk
lebih peduli terhadap sosial masyarakat.
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Kesalehan
1. Pengertian Kesalehan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia perkataan saleh diartikan
sebagai taat dan sungguh-sungguh menjalankan ibadah; suci dan
beriman. Sedangkan kesalehan adalah ketaatan (kepatuhan) dalam
“Dan orang-orang yang beriman serta beramal saleh, mereka itu
penghuni surga; mereka kekal di dalamnya”
13
B. Kesalehan Individu
1. Pengertian Kesalehan Individu
Kesalehan individu itu terdiri dari dua kata yaitu saleh dan
individu. Menurut Kamus Bahasa Arab Al-Munawwir soleh isim fa’il
dari soleh-yaslihun artinya adalah baik, bagus (Munawwir, 2005: 788).
Sedangkan menurut Kamus Lengkap Bahasa Indonesia saleh adalah taat
dan sungguh-sungguh menjalankan ibadah, suci beriman. Sedangkan
kesalehan adalah ketaatan (kepatuhan) dalam menjalankan ibadah,
kesunguhan menunaikan ajaran agama.
Adapun individu menurut Kamus Lengkap Bahasa Indonesia
adalah orang, seseorang, dan pribadi orang (terpisah dari yang lain)
oragnisme yang hidupnya berdiri sendiri, secara fisiologi bersifat bebas
(tidak mempunyai hubungan oragnaik dengan sesamanya). Bila melihat
dari penjelasan diatas, dapat dilihat bahwa kesalehan individu adalah
seseorang yang taat dalam menjalankan ibadah, dan kesungguhannya
dalam menunaikan ajaran agama.
Menurut Abu Muhammad Jibril (1995), dalam tulisannya bahwa
kesalehan individu sebenarnya tidak berbeda jauh dengan seseorang bisa
dikatakan saleh apabila bersih lahir batinnya, bersih darah dagingnya dan
tulang belulangnya dari benda-benda yang haram dan subhat yang akan
menarik dirinya ke lembah Neraka yang paling dalam. Demikian pula ia
adalah orang yang senantiasa kepada Allah SWT dan Rasul-Nya di
14
manapun ia berada dan bila manapun ia berada dan bila manapun ia
diajak kembali keduanya.
Menurut Umar Sulaiman Al-Asyqar, kesholehan individu sama
halnya lelaki atau wanita saleh. Secara garis besar dapatlah digambarkan
sebagai pelaku yang bersih iwanya, lurus akidahnya, dan benar amalnya.
Sercara fisik berarti darah, daging, dan tulang belulangnya bersih dari
pada benda-benda haram. Sedangkan batinnya bersih dari kotoran
kejiwaan (seperti munafiq, fasiq, zhalim, dan segala hal yang maksiat
kepada Allah dan Rasul-Nya). Karena senantiasa disiram air suci
keimanan dan dicuci dengan sabun samawi (Wahyu Ilahi). Sebagaimana
lazimnya bagi seorang muslim, apabila ia hendak menghadap Allah
melalui shalat, bersujud, dan bersimpuh dihadapan Allah
Malikurrahman, maka iapun segera mengambil air wudhu, begtu pula
ketika hendak membaca kitab suci Al- Qur’an (Asyqar, 1982:5).
Dari pengertian di atas, penulis menyimpulkan bahwa kesalehan
inidvidu dapat dibagi menjadi dua arti. Pertama, secara sempit kesalehan
individu adalah seseorang yang secara fisik bersih dari barang-barang
yang haram dan syubhat. Sedangkan yang kedua, secara luas kesalehan
individu adalah seseorang yang bersih jiwanya, lurus aqidahnya, dan
baik amalnya, serta senantiasa kepada Allah SWT dan Rasul-Nya
kapanpun dimanapun berada.
15
2. Kesalehan Individu Dalam Pandangan Islam
Islam adalah ajaran yang sangat komplek, segala aspek
kehidupan terdapat dalam ajaran Islam. Perintah-perintah agama yang
berkaitan dengan ibadah individual selalu memperlihatkan fungsi dan
tugas ganda. Pada satu sisi ia merupakan cara seorang hamba untuk
mendekatkan diri kepada Allah, membersihkan hati, membebaskan diri
dari ketergantungannya kepada selain Allah SWT, dan pada saat yang
sama ia menyatakan tuntutannya kepada manusia untuk melakukan
tanggungjawab sosial dan kemanusiaan.
a. Iman
Iman adalah kata dari bahasa Arab yang dalam bahasa Inggris
diterjemahkan dengan to believe, secara harfiah berarti meyakini
secara puas tanpa sedikitpun keraguan. Maka iman adalah keyakinan
yang muncul dari pengetahuan dan kepercayaan seseorang yang
mengetahui dan merasa tentram dengan keyakinan yang mantap
terhadap keesaan Allah, sifat-sifat-Nya, syariat serta keputusan-Nya,
memberikan pahala dan siska, itu disebut mukmin. Iman akan
membimbing seseorang terhadap kehendak Allah dan orang yang
taat dan tunduk disebut muslim (Maududi A’la, 1990: 40-41)
Iman dalam pengertian pertama adalah iman yang merupakan
bagian paling pokok yang dituntut dalam Islam. Hal tersebut
ditegaskan dalam Al-Qur’an surat al-Nisa ayat 136,
16
Artinya:
Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari Kemudian, Maka Sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.
Dalam ayat tersebut ada lima pokok kepercayaan yang
merupakan ajaran-ajaran pokok yang dibawa oleh Nabi Muhammad
SAW.
1) Beriman kepada Allah
Iman atau percaya kepada Allah SWT, adalah rukun
pertaman dari rukun iman. Dan, orang-orang beriman akan
mendapatkan ketenangan jiwa (Zainuddin, 1998: 76).
Iman kepada Allah akan membebaskan jiwa dari
ketundukan, penklutusan kepada orang-orang yang tidak
memanusiakan manusia, dengan pelantaraan di sisi Allah. Serta
ajakan syariat dan berbicara atas nama Allah tanpa seizin-Nya
atau kekuasaan duniawai yaitu kekuasaan monarki, dan
kelaliman. Kepatuhan kepada selain Allah bias menurunkan
manusia ketingkatan hewan yang hina (‘Abduh, 133).
2) Beriman kepada Malaikat
Secara etimologi kata malaikat adalah bentuk jamak dari
malak, berasal dari mashdar al-alukah yang artinya adalah al-
17
risalah (missi atau pesan). Oarang yang membawa missi atau
pesan disebut dengan al-rasul (utusan). Dalam beberapa ayat al-
Qur’an malaikat juga disebut dengan rusul (utusan-utusan),
misalnya pada surat Hud ayat 69. Bentuk jamak lain dari malak
adalah mala-ik. Dalam bahasa Indonesia kata malaikat dipakai
untuk bentuk tunggal. Bentuk jamaknya menjadi para malaikat
atau malaikat-malaikat (Ilyas, 1998: 78).
Secara terminologi malaikat adalah makhluk halus yang
samar dan tidak dapat dilihat oleh panca indra. Malaikat tidak
berwujud fisik yang dapat ditangkap oleh pancra indra. Mereka
termasuk makhluk di luar alam yang riil ini atau tidak dapat
dilihat dan tidak dapat mengetahui hakekatnya kecuali Allah
SWT (Ilyas, 1998:121).
Malaikat dapat diciptakan oleh Allah dari cahaya,
sebgaimana Allah menciptakan Adam dari tanah liat dan
menjadikan jin dari api. Diriwayatkan dari Aisyah bahwa
Rasulullah Saw. Bersabada: “Malaikat diciptakan dari cahaya,
jin diciptakan dari nyala api, dan adam diciptakan dari tanah
yang disifatkan kepada kalian”.
Malaikat bertempat tinggal di langit. Mereka selalu
bertasbih mensucikan Allah pada waktu siang dan amalm hari
tanpa terasa letih mereka tidak pernah melanggar perintah Allah
dan senantiasa melaksankan semua yang diertintahkan-Nya.
18
Sebagai makhluk ghaib wujud malaikat tidak dapat
dilihat, didengar, diraba, dicium, dan diraskan oleh manusia.
Kecuali jika malaikat menampakkan diri dalam rupa-rupa
tertentu seperti rupa manusia dalam beberapa ayat dan hadis
disebutkan bebrapa peristiwa malaikat menjelma menjadi
manusia (Ilyas, 1998: 79). Seperti dalam firman Allah Q.s Hud
ayat 69-70.
Artinya:
“dan Sesungguhnya utusan-utusan Kami (malaikat-malaikat) telah datang kepada lbrahim dengan membawa kabar gembira, mereka mengucapkan: "Selamat." Ibrahim menjawab: "Selamatlah," Maka tidak lama kemudian Ibrahim menyuguhkan daging anak sapi yang dipanggang. (70). Maka tatkala dilihatnya tangan mereka tidak menjamahnya, Ibrahim memandang aneh perbuatan mereka, dan merasa takut kepada mereka. Malaikat itu berkata: "Jangan kamu takut, Sesungguhnya Kami adalah (malaikat-ma]aikat) yang diutus kepada kaum Luth."
Keberadaan malaikat telah ditunjuki dalam Al-Qur’an,
sunnah dan ijma’ sehingga wajiblah kita mengimani mereka.
Iman kepada malaikat merupakan pokok iman kepada wahyu.
Karena malaikat pembawa wahyu adalah ruh yang berakal, serta
mnegetahui dan meniupkan pnegetahuan atas Nabi yang berupa
ilmu agama, tentunya dengan izin Allah. Oleh karena, itu
malaikat lebih dahulu disebut baru kemudian menyebut Kitab
19
dan para Nabi, karena malaikatlah yang memberikan kitab
kepada para Nabi.
Dengan demikian apabila kita mengingkari eksistensi
malaikat akan sama halnya kita mengingkari eksistensi wahyu,
kenabian dan mengingkari adanya ruh. Dan apabila kiat
mengingkari ruh maka secara otomatis pula kita mengingkari
akan adanya hari kiamat (Abduh, 112) dan mengingkari
permakluman al-Din yang pasti sebagaimana firman Allah SWT.
Q.S al-Baqarah ayat 285.
Artinya:
“Rasul telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (mereka mengatakan): "Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya", dan mereka mengatakan: "Kami dengar dan Kami taat." (mereka berdoa): "Ampunilah Kami Ya Tuhan Kami dan kepada Engkaulah tempat kembali."
3) Beriman kepada Kitab
Beriman kepada kitab adalah salah satu sendi keimanan
yang pokok bagi seorang muslim. Mengimani kitab yang
diturunkan, kepada rasul-rasul sebelumnya hingga kitab yang
diturunkan kepada nabi terakhir yaitu nabi Muhammad Saw
(Buseri, 2004: 47).
20
Seorang muslim wajib mengimani semua kitab yang telah
diturunkan oleh Allah kepada para Nabi dan Rasul-Nya, baik
yang sibutkan nama dan kepada siapa diturunkan maupun yang
tidak disebutkan (Ilyas, 1998: 125). Allah berfirman dalam Q.s
al-Nisa ayat 136.
Artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari Kemudian, Maka Sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya”
Ada perbedaan antara iman kepada al-Qur’an dengan
iman kepada kitab suci sebelumnya. Keimanan kepada kitab suci
sebelumnya kita hanya mengimani keberadaannya dan
kebenarannya tanpa berkewajiban untuk mempelajarinya dan
mengamalkan dikarenakan kitab tersebut hanya berlaku untuk
umat dan masa tertentu yang telah berkahir dengan kedatangan
kitab suci yang terakhir yaitu al-Qur’an. Sedangkan beriman
kepada al-Qur’an membawa konsekwensi yang lebih luas seperti
mempelajarinya, mengamalkan dan mendakwahkannya serta
membelanya dari serangan musuh (Ilyas, 1998 : 125).
21
Iman kepada kitab-kitab Allah berarti kita wajib pula
meyakini, bahwa sesungguhnya Allah telah menurunkan
beberapa kitab para nabi-Nya. Adapun jumlahnya hanya Allah
yang mengetahuinya.
Iman kepada kitab di sini bukan hanya mempercayai
bahwa kitab itu ada akan tetapi wajib mengamalkannya. Orang
mukmin yang yakin bahwa sesuatu itu jelek, maka dia tidak akan
melakukan kejelekan tersebut, begitu juga dia mnegetahui bahwa
sesuatu itu baik, maka dia akan melaksankannya selagi tidak ada
halangan (‘Abduh, 114).
4) Beriman kepada Nabi
Iman kepada Nabi di sini berarti mereka percaya akan
adanya nabi dan mereka akan mengikuti segala yang dilakukan
oleh nabi, berakhlak seseuai dengan akhlak nabi, serta beradab
sesuai dengan adab Nabi.
Iman kepada Nabi berarti pula mereka akan mengikuti
sunnbah-sunnah nabi karena nabi adalah merupakan suri tauladan
yang harus kita teladani. Allah berfirman : al-Ahzab ayat 21 yang
artinya“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri
teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap
(rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak
menyebut Allah”.
5) Beriman kepada Hari Akhir
22
Yang dimaksud dengan hari kahir adalah kehidupan yang
kekal sesudah kehidupan ynag fana ini berkahir, termasuk semua
proses dan peristiwa yang terjadi pada hari itu, mulai dari
kehancuran alam semesta dan seluruh isinya serta berakhirnya
seluruh kehidupan, kebangkitan seluruh umat manusia dipadang
mahsyar (Hasyr), perhitungan seluruh amal manusia di dunia
(Hisab), penimbangan amal perbuatan tersebut untuk mengetahui
perbandingan amal baik dan amal buruk (Wazn), sampai kepada
pembalasan surga atau neraka (Jaza’) (Ilyas, 1998: 158).
6) Beriman kepada takdir yang baik dan yang buruk
Maksudnya kita wajib mengimani bahwa semua yang
Allah takdirkan, apakah kejadian yang baik maupun yang buruk,
semua itu berasal dari Allah Ta’ala. Beriman kepada takdir Allah
tidak teranggap sempurna hingga mengimani 4 perkara:
a) Mengimani bahwa Allah Ta’ala mengimani segala sesuatu
kejadian, yang baik maupun yang buruk. Bahwa Allah
mengetahui semua kejadian yang telah berlalu, yang sedang
terjadi, yang belum terjadi, dan semua kejadian yang tidak
jadi terjadi seandainya terjadi maka Allah tahu bagaimana
terjadinya. Allah Ta’ala berfirman yang artinya “Agar kamu
mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu, dan sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar
meliputi segala sesuatu.” (QS. Ath-Thalaq: 12)
23
b) Mengimani bahwa Allah Ta’ala telah menuliskan semua
takdir makhluk di lauh al-mahfuzh, 50.000 tahun sebelum
Dia menciptakan langit dan bumi. Dari ‘Abdullah bin ‘Amr
bin Al-’Ash radhiallahu anhuma dia berkata: Saya pernah
“dan dirikanlah shalat! Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan munkar dan ingatlah kepada Allah yang Maha Besar, dan Allah Maha mengetahui apa yang kalian perbuat” (QS. Al-Ankabut: 45).
Shalat memiliki bebarapa fungsi yang antara lain adalah
berfungsi sebagai sarana memohon pertolongan dikala manusia
membutuhkan pertolongan-Nya. Memberi kegembiraan disaat hati
dilanda kesusahan dan bisa memberikan keteangan pada hati dikala
hati sedang dilanda kegundahan.
c. Puasa
Ibadah puasa, selain merupakan proses menghadirkan Allah
SWT ke dalam diri seorang muslim, ia juga merupakan cara bagi diri
manusia untuk dapat mengendalikan kecenderungan kecenderungan
egonya yang seringkali menuntut dan mendesakkan kehidupan
hedonistik (Innan Nafsa laammaaratun bissuu). Dalam Al-Qur’an
Surat Al-Baqarah ayat 183 dengan jelas dikatakan bahwa puasa
diwajibkan kepada orang-orang yang beriman, untuk membentuk
pribadi-pribadi yang bertaqwa. Orang yang bertaqwa adalah pribadai
yang menjauhi segala larangan Allah dan melaksanakan segala
perintahnya. Termasuk didalamnya adalah menjaga diri dari
menyakiti orang lain, menghalangi dan merampas hak-hak orang lain
pada satu sisi, dan menyayangi, mengasihi dan menghormati hak-hak
orang lain di lain sisi.
26
Di dalam Islam itu sendiri tidak diakui iman seseorang
kecuali dia mencintai atau mengasihi saudaranya seperti dia
mencintai dirinya sendiri, sebagaimana sabda Rasulullah saw.:
{ عليه الله صلى النبي عن أنس عن قتادة عن شعبة عن
لنفسه{ يحب ما ألخيه يحب حتى أحدكم يؤمن ال قال وسلم
) شيخان) رواه
Artinya:“Dari Syu’bah dari Qatadah dari Anas dari Rasulullah saw. bersabda: “tidaklah salah seorang diantara kalian dikatakan beriman sampai dia mencintai saudaranya seperti halnya dia mencintai dirinya sendiri”. (HR. Bukhari, Muslim)
d. Membayar Zakat
Membayar zakat yaitu memberikan zakat kepada orang-orang
yang berhak untuk mendapatkannya. Perintah shalat selalu diiringi
dengan perintah membayar zakat. Karena shalat berfungsi untuk
membersihkan jiwa dan hati dan zakat mempunyai fungsi untuk
membersihkan harta benda. Mendermakan harta di jalan yang bnar,
merupakan bagian dari beberapa bagian yang agung dari amal
kebajikan, serta merupakan satu dari beberapa tanda keimanan oleh
karena itu para sahabat sepakat untuk memerenagi orang-orang yang
tidak mau membayar zakat. Orang yang tidak mau membayar zakat
sama halnya merobohkan tiang sagama, dan merusak dasar iman,
karena telah menipu Allah dengan menggugurkan kewajibannya. Dia
tidak rela dengan ketentuan Allah dan perintah-Nya (‘Abdu, 118).
Zakat menurut bahasa mempunyai banyak arti yaitu : suci,
bersih, tumbuh, bertambah, baik dan terpuji (Qardhawi, 1996:34).
27
Sedangkan menurut istilah sy’ariat, zakat adalah nama bagi sejumlah
harta tertentu yang telah mencapai syarat tertentu yang diwajibkan
oleh Allah SWT untuk dikerluarkan dan diberikan kepada yang
berhak menerimanya dengan persyartan tertentu pula (Hafiduddin,
1998: 13). Adapun menurut terminologi zakat memiliki arti :
1) Peningkatan atau perkembangan (development), karena itu
mengatur kepada peningkatan kesejahteraan di dunia dan
pertambahan ganjaran di akhirat.
2) Penyucian, karena penunaian zakat mensucikan pelakunya dari
dosa-dosa sebgaimana dijumpai dalam al-Qur’an yang artinya
(tuthah hiruhum watuzzakkihim) mensucikan dan membersihkan
(Shihab, 1997: 269).
Menurut para fuqaha pengertian zakat secara terminologi
adalah “penunaian”, yakni penunaian hak yang wajib yang terdapat
dalam harta, zakat juga dimkasudkan sebagai bagian harta tertentu
yang diwajibkan oleh Allah untuk diberikan kepada orang-orang
fakir (Zuhaily, 1995: 85).
Kaitan antara itu makna zakat secara bahasa dengan makna
zakat secara istilah sangat berkaitan sekali, yaitu bahwa setiap harta
yang sudah dikeluarkan zakatnya akan menjadi suci, bersih, baik,
berkah, tumbuh dan berkembang. Begitu juga dengan pemberinya,
jiwa orang berzakat itu menjadi bersih yaitu bersih dari sifar kikit,
serakah dan tamak.
28
Zakat menutur garis besarnya dibagi menjadi dua, pertama
zakat al-mal (zakat harta benda) yaitu zakat yang diberikan atas
kepemilikan harta benda yang telah mencapai nisab (ketentuan wajib
zakat) dan telah cukup satu tahun. Contohnya adalah emas, perak,
binatang, tumbuh-tumbuhan, barang perniagaan dan lain sebgainya.
Kedua adalah zakat al-Nafs adalah zakat yang diberikan berkenaan
dengan selesainya mengerjakan puasa yang difardukan, yakni puasa
bulan ramadhan (Shiddieqy, 1983:9). Zakat ini diberikan kepada
orang-orang yang tidak mampu makan untuk keesokan harinya,
yakni hari raya idul fitri. Kedua zakat inilah yang wajib dilaksanakan
oleh sleuruh kaum muslimin karena zakat adalah perintah Allah
SWT dan juga merupakan salah satu rukun Islam. Adapun pihak-
pihak yang berhak menerima zakat terbagi menjadi delapan
golongan, sebgaimana diuraikan dalam firman Allah Q.s al-Taubah
ayat 60.
Artinya:
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”
Yang berhak menerima zakat Ialah:
29
a) Orang fakir: orang yang Amat sengsara hidupnya, tidak
mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi
penghidupannya.
b) Orang miskin: orang yang tidak cukup penghidupannya dan
dalam keadaan kekurangan.
c) Pengurus zakat: orang yang diberi tugas untuk mengumpulkan
dan membagikan zakat.
d) Muallaf: orang kafir yang ada harapan masuk Islam dan orang
yang baru masuk Islam yang imannya masih lemah.
e) Memerdekakan budak: mencakup juga untuk melepaskan
Muslim yang ditawan oleh orang-orang kafir.
f) Orang berhutang: orang yang berhutang karena untuk
kepentingan yang bukan maksiat dan tidak sanggup
membayarnya. Adapun orang yang berhutang untuk
memelihara persatuan umat Islam dibayar hutangnya itu
dengan zakat, walaupun ia mampu membayarnya.
g) Pada jalan Allah (sabilillah): Yaitu untuk keperluan
pertahanan Islam dan kaum muslimin. di antara mufasirin ada
yang berpendapat bahwa fisabilillah itu mencakup juga
kepentingan-kepentingan umum seperti mendirikan sekolah,
rumah sakit dan lain-lain.
h) Orang yang sedang dalam perjalanan yang bukan maksiat
mengalami kesengsaraan dalam perjalanannya.
30
Zakat mengandung beberapa hikmah antara lain yaitu :
a) Untuk memulihkan puasa seseorang yang barangkali diruak
oleh perbuatan yang sia-sia dan omongan kotor.
b) Untuk memulihkan kaum papa dan menunjukkan perhatian
msayarkat muslim terhadap mereka di hari lebaran.
e. Haji
Haji di samping dimaksudkan sebagai bentuk penyerahan diri
secara total kepada Allah dan tanpa reserve, ia juga melambangkan
kesatuan, kesetaraan dan persaudaraan umat manusia sedunia.
Dimana semua muslim hanya memakai dua helai kain ihram dan
tidak diperkenankan memakai wangi-wangian, menutup kepala,
memakai sepatu dan apalagi memakai tanda-tanda kepangkatan
betapapun kaya dan tinggi pangkat kemanusiaan seorang jemaah
haji, pada waktu itu semua sama, dan seraya serempak menegaskan
bahwa yang Maha Tinggi dan Maha Kaya adalah Allah SWT semata.
3. Tujuan Kesalehan Individu
Bahwasannya orang yang saleh memgathui tujuan hidup dan
pengethauan yang jelas, karena buakn orang yang terkecoh dan
terpedaya oleh kehidupan dunia sehingga ia bekerja untuknya dan
merasa tentram kepadanya. Ia bukan pula orang yang menolak
kehidupan lalu lari ke puncak-puncak bukit dan ke padang pasir untuk
beribadah kepada Allah di tempat-tempat khalwat.
31
Bahkan ia benar-benar memakmurkan kehidupannya dengan
perintah Allah dan mengarahkannya kearah yang dikehendaki oleh
Allah. Lalu ia menjadikan dunia sbegai ladnag bagi kehidupan akhirat
maka dunia muslim bukanlah seperti orang-orang yang mengabdi
kepada dunia, sehingga dunia itu menjadi maksud dari amalnya dan
tujuan dari cita-citanya. Dan ia bukan pula orang yang berplaing dari
dunia dengan membiarkannya diurus oleh syaitan-syaitan dari kalangan
manusia dan jin (Abdur, 2000: 53).
Dalam firmannya Allah menjelaskan :
Artinya:
dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga),(15)Katakanlah: "Inginkah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikian itu?". untuk orang-orang yang bertakwa (kepada Allah), pada sisi Tuhan mereka ada surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai; mereka kekal didalamnya. dan (mereka dikaruniai) isteri-isteri yang disucikan serta keridhaan Allah. dan Allah Maha melihat akan hamba-hamba-Nya.
Sebagai orang muslim selalu berpegang teguh kepada kebenaran,
berjihad untuk menegakkannya dan mengambil langkah-langkah yang
menjadikannya tetap atas kebenaran.
32
C. Kesalehan Sosial
1. Pengertian Kesalehan Sosial
Kesalehan sosial itu terdiri dari dua kata yaitu saleh dan sosial.
Menurut Kamus Bahasa Arab Al-Munawwir soleh isim fa’il dari soleh-
yaslihun artinya adalah baik, bagus (Munawwir, 2005: 788). Sedangkan
menurut Kamus Lengkap Bahasa Indonesia saleh adalah taat dan
sungguh-sungguh menjalankan ibadah, suci beriman. Sedangkan
kesalehan adalah ketaatan (kepatuhan) dalam menjalankan ibadah,
kesunguhan menunaikan ajaran agama.
Adapun sosial menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah
berkenaan dengan masyarakat, suka meperhatikan kepentingan umum
(suka menolong, menderma, dsb). Bila melihat dari penjelasan diatas,
dapat dilihat bahwa kesalehan sosial adalah kesungguhan menunaikan
ajaran agama dalam hidup berkelompok atau bermasyarakat.
2. Kesalehan Sosial Dalam Pandangan Islam
Islam adalah ajaran yang sangat komplek segala aspek
kehidupan terdapat dalam ajaran Islam. Adapun macam-macam
Kesalehan sosial dalam pandangan Islam telah dijelaskan dalam Al-
Qur’an yaitu menginfakkan harta yang dicintainya, menepati janji,
sabar, saling tolong menolong dan amar ma’ruf dan nahi munkar.
a. Menginfakkan harta yang dicintainya
33
Infaq berasal dari kata anfaqa yang berarti mengeluarkan
sesuatu (harta) untuk kepentingan bersama. Sedangkan mneurut
terminologi, infaq adalah mengerluarkan sebagian dari harta atau
pendapatan atau penghasilan untuk kepentingan yang
diperintahkan ajaran Islam, dipergunakan di ajaln kebaikan untuk
kepentingan umum yang besarnya tidak ditentukan, tidak perlu
memperhatikan nisab dan haulnya sebagaimana pembayaran zakat
harta (Janwari, 2000:67). Dalam surat al-Baqarah ayat 771
disebutkan siapa-siapa saja yang berhak untuk mendapatkan infaq,
mereka adalah:
1) Kerabat dekatnya
Yang dimaksud dengan kerabat dekat di sini adalah
keluarga yang mempunyai hubungan paling dekat. Mereka
adalah orang yang paling berhak untuk dikasihani dan
diakrabi. Apabila dalam suatu keluarga ada yang kaya dan
sementara salah satu itu ada yang miskin maka sebagai si kaya
hendaknya memberikan bantuan kepada si miskin. Karena
diantara tabiat yang dirasa manusia lebih sakit karena
ditinggal keluarganya mereka akan hina karena terhinanya
keluarga dan akan mulia dengan kemuliaan kelurga.
2) Anak-anak yatim
Anak-anak yatim adalah mereka yang ditinggal mati
oleh orang-orang yang menanggung hidupnya dari kalangan
34
orang muslim, agar akhlak mereka baik, agar pendidikannya
tidak rusak yang bisa menyebabkan musibah bagi dirinya dan
orang lain.
3) Fakir miskin
Orang miskin adalah orang yang tidak mampu untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya, serta rela atas apa yang ada.
Orang-orang seperti inilah yang wajib ditolong oleh orang-
ornag yang mampu.
4) Musafir
Musafir atau Ibnu sabil adalah orang yang menempuh
perjalanan, yang belum bertemu dengan keluarga dan
kerabatnya, hingga seolah-olah jalan sebagai orang tua,
kerabat dan keluarganya.
5) Peminta-minta
Adalah orang yang memenuhi kebutuhan hidupnya
dengan meminta-minta. Meminta-minta secara syara’ haram
hukumnya kecuali karena terpaksa.
6) Memerdekakan hamba sahaya
Memeredekakan hamba sahaya di sini adalh membeli
budak dan memerdekakannya, menolong budak yang
dijanjikan oleh majikannya bebas apabila dia mampu
membayar cicilan atau tebusan. Hal ini wajib bagi ornag-orang
35
muslim untuk memebantu, memerdekakan budak karena pada
dasarnya manusia diciptakan dalam keadaan mereka.
b. Menepati janji
Menurut Muhammad ‘Abduh “janji adalah suatu
ungakapan yang mewajibkan dirinya untuk orang lain “janji” adlah
kesepakatan dengan orang lain yang wajib untuk kita tepati. Maka
wajib bagi orang muslim untuk memeneuhi apa yang telah menjadi
kesepakatan dengan orang lain selama tidak melanggar perintah
Allah SWT, Rasul-Nya, serta tidak melanggar kaidah-kaidah
agama (‘Abduh, 199).
c. Sabar
Sabar adalah suatu sikap tabah hati tanpa mengeluh dalam
mengahadapi godaan dan rintangan dalam mencapai tujuan. Sabar
merupakan salah satu dianatraa stasiun-stasiun (maqamat) agama,
dan satu anak tangga dari tangga anak saleh dalam mendekatkan
diri kepada Allah SWT. Struktur maqamat agama terdiri dari
a) Pengetahuan (ma’rifat) yang dapat dimisalkan sebagai pohon.
b) Sikap (awal) yang dapat dimisalkan sebagai cabangnya.
c) Perbuatan (amal) yang dapat dimisalkan sebagai buahnya.
Seseorang bisa bersabar apabila dalam dirinya sudah
terstruktur maqamat itu (www.atoksub.wodpress.com).
Salah satu sifat dari orang mukmin adalah adanya saling
tolong menolong antar sesama, karena pada hakekatnya semua
manusia di muka bumi ini adalah sama yaitu sebgaai hamba Allah
serta mempunyai hak yang sama, dalam menentukan hak inilah
manuia mempunyai kewajiban yang pada dasarnya sama, tetapi
pada pelaksanaan dan hasilnya berbeda, karena yang dapat
membedakan manusia yang satu dengan yang lainnya adalah
ketakwaannya.
Dengan dasar kesamaan hak dan kewajiban yang sama
manuia diwajibkan untuk saling tolong menolong diantara
sesamanya, karena Islam telah menggariskan bahwa manusia
berkewajiban saling tolong menolong dalam kebajikan dan jangan
tolong menolong dalam kejahatan sebagaimana terdapat dalam
firman Allah dalam suarat al-Maidah ayat 2.
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah berburu. dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam,
37
mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya”.
e. Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar
Muhammad Nuh menjelaskan dalam bukunya Taujihat
Nabawiyyah ‘ala al-Thariq bahwa al-ma’ruf adalah nama yang
mencakup sesama yang dicintai dan diridhai oleh Allah, baik
perkataan, perbuatan, lahir dan batin. Jadi al-ma’ruf mencakup
keyakinan, yaitu qadar, dan juga mencakup ibadah yaitu shalat,
zakat, puasa dan lain sebgainya. Mencakup juga hukum
perundang-undangan seperti mauamalah maliyyah (transaksi
harta), hudud (hukum-hukuman), Qishas, transaksi-transaksi dan
lain sebagainya. Jadi, pengertian amar ma’ruf (menyeluruh kepada
yang ma’ruf) adalah mengajak dan memberikan dorongan kepada
orang untuk melaksanakannya, menyiapkan sebab-sebab dan
sarana-sarananya dalam bentuk mengokohkan pilar-pilarnya serta
menjadikannya sebagai ciri umum bagi seluruh kehidupan
(www.mubarok.instituter.Blogspot.com).
Nahi munkar adalah kebalikan dari amar ma’ruf yaitu
semua nama yang dibenci dan tidak diridhai Allah baik perkataan
maupun perbuatan lahir batin. Jadi nahi munkar mencakup kepada
kemusyrikan dengan segala bentuknya, mencakup pula penyakit
hati seperti riya, hiqd (dengki), hasad (iri) permusuhan dan lain
sebagainya. Jadi pengertian nahi munkar (mencegah dari yang
munkar) adalah memperingatkan, menjauhkan dan menghalangi
orang dari melakukannya, memutuskan sebab-sebab dan sarana-
sarananya dalam bentuk membasminya sampai keakar-akarnya
serta membersihkan kehidupan dari segala bentuk kemunkaran.
Allah SWT telah menjadikan masyarakat Islam sebagai
sauatu masayarkat yang menyruh berbuat yang ma’ruf dan
mencegah yang munkar sebagaimana firman Allah dalam suart al-
Imran ayat 110 sebagai berikut .
Artinya:
“kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.
D. Hubungan Kesalehan Individu dengan Kesalehan Sosial
Kesalehan individu identik dengan hubungan seseorang secara
pribadi kepada Allah SWT. Ia melakukan ibadah yang pahalanya hanya
untuk dirinya sendiri, tetapi manfaat iabdah yang dilaksankannya tidak
dirasakan secara langsung dan berkaitan dengan kepentingan orang banyak.
Sementara ibadah sosial identik dengan hubungan seseorang dengan
sesama manusia, dan sekaligus hubungan manusia dengan Allah. Ibadah
sosial lebih mengutamakan kepentingan orang lain, tetapi berdampak positif
39
juga bagi dirinya sendiri. Walaupun banyak perintah untuk beribadah dalam
agama ditujukan kepada individu tetapi harus berdampak dalam kehidupan
sosial yang nyata.
Ibadah tidak memiliki nilai apapun apabila tidak tercermin dalam
pergaulannya dengan masyarkat, karena sebenarnya pergaulan itu
merupakan ibadah. Hal itu karena kesempurnaan individu hanya dapat
berlangsung melalui pengalaman praktisnya dalam masayarakat. Sehingga,
seolah-olah beribadah dalam sunyi dan sendiri merupakan sekolah yang
membekali individu dengan bekal teoritis, sedangkan ia tidak dapat
menjadikannya praktis kecuali melalui aksi-aksi di dalam masyarakat serta
interaksi secara intensif dengan individu-individu didalamnya. Itulah
sebabnya Nabi bersaba, yang artinya: “orang muslim sejati adalah orang
yang semua kaum muslimin selamat dari lisan dan tugasnya”. (HR.Muslim).
E. Kerangka Pikir
Hasil riset atau survei sejumlah lembaga periset terkemuka. Dalam
hal tingkat kesalehan individual, merujuk hasil survei Riaz Hassan, guru
besar emeritus dari Flinders University, Australia. Hasil survei itu
menjumpai fakta bahwa Indonesia (bersama enam negara mayoritas Muslim
lainnya: Malaysia, Pakistan, Mesir, Turki, Iran, dan Kazakhstan) masuk
kategori negara paling ”agamis”. Ada dua indikator utama yang digunakan
dalam jajak pendapat tersebut: level keimanan atau akidah (seperti rukun
40
iman) dan ibadah (seperti shalat, puasa, zakat, dan haji). Sebagai contoh, 90
persen dari 100 persen responden di Indonesia, Pakistan, Mesir, dan
Malaysia punya keyakinan akan adanya Tuhan dan hari akhir (akhirat),
sementara Turki dan Iran hanya 70-80 persen. Dalam hal ibadah, Indonesia
di peringkat tertinggi dalam pelaksanaan shalat lima waktu (96 persen),
lebih tinggi dibandingkan Mesir dan Malaysia (90), Pakistan dan Iran (60),
serta Turki (33).
Hasil riset lembaga tepercaya untuk melihat tingkat kesalehan
publik, seperti penelitian yang dilakukan Scheherazade S Rehman dan
Hossein Askari dari The George Washington University. Melalui artikel
mereka, ”How Islamic are Islamic Countries?” (Global Economy Journal,
Vol 10, Issue 2/2010), kedua peneliti tersebut mengukur tingkat ”kesalehan
publik” sejumlah negara di dunia melalui Islamicity Index yang terdiri atas
empat indikator utama: 1) Economic Islamicity Index; 2) Legal and
Governance Islamicity Index; 3) Human and Political Rights
IslamicityIndex, dan 4) International Relations Islamicity Index. Penelitian
tersebut mengungkap fakta, negara-negara berpenduduk Muslim secara
umum berada di peringkat bawah. Peringkat 1-37 justru dikuasai negara-
negara sekuler seperti Selandia Baru (1), Luksemburg (2), Irlandia (3),
Islandia (4), Finlandia (5), Denmark (6), dan seterusnya. Secara berturut-
turut, peringkat negara-negara Muslim adalah sebagai berikut: Malaysia
(38), Kuwait (48), Bahrain (64), Brunei (65), dan Indonesia (140). Di atas
41
Indonesia terdapat Turki (103), Qatar (112), Maroko (119), Mali (130), Arab
Saudi (131), dan lain-lain.
Menurut penelitian yang dilakukan Ulil Hikmah (2009) dengan judul
“Nilai-nilai Kesalehan Ritual dan Sosial dalam Tafsir al-Manar (Studi
Penafsiran Surat al-Baqarah (2): 177 dan al-Taubah (9): 71) karya
Muhammad 'Abduh dan Rasyid Rida”. Mengemukakan bahwa dalam surat
al-Baqarah 177 dan surat al-Taubah 71 terkandung nilai-nilai kesalehan,
yakni nilai kesalehan ritual dan kesalehan sosial. Seluruh amal saleh baik
ritual maupun sosial harus didasari dengan keyakinan dan keimanan. Setelah
iman tertanam dalam hati maka melahirkan nilai kesalehan. Bentuk dan nilai
kesalehan pertama adalah kesalehan ritual yakni Iman, shalat,dan zakat. Dan
yang kedua adalah kesalehan sosial, yakni, menginfakan harta yang
dicinatainya tolong menolong, amar ma'ruf yang harus dilaksanakan secara
seimbang. Sebagaimana ajaran Nabi, bahwa sebaik-baik manusia ialah yang
paling banyak manfaatnya bagi manusia lainnya. Jadi nilai kemanusiaan
banyak ditentukan oleh seberapa besar manfaat yang telah disumbangkan
terhadap sesamanya. Karena itu, ibadah ritual sekalipun seperti shalat
umpamanya, baru akan bernilai sebagai amal shaleh (kebajikan) bila
berdampak positif terhadap sesamanya.
Mohammad Sobary (2007) dalam tesisnya ingin mengungkap
peranan Agama dalam mewujudkan hubungan yang positif antara
“Kesalehan” dan “Tingkah Laku Ekonomi” di Desa Suralaya. Oleh karena
itu, penelitian etnografis yang dilakukannya berupaya untuk menemukan
42
beberapa konsep kunci yang sangat penting dalam menemukan peranan
agama dalam masyarakat Suralaya. Ide penelitian ini banyak terinspirasi dari
teori Max Weber tentang Etika Prostestan, serta beberapa penelitian
sebelumnya yang dilakukan oleh Clifford Geertz di Mojokuto-Jawa Timur,
Siegle di Aceh dan Castle di Kudus-Jawa Tengah.
Penelitian Ahmad Amir Aziz (2005) menunjukkan bahwa tarekat
Qadiriyah-Naqsyabandiyah di Pagutan dan Praya memiliki ajaran dasar
yang sama yaitu zikir jahr dan khafy. Yang pertama adalah dengan
melakukan zikir nafy itsbât dengan membaca lâ ilâha illa Allâh bersuara
keras, sedangkan yang kedua melakukan zikir ism zat dengan mengucapkan
lafaz Allâh di dalam hati. Ajaran lain bertumpu pada penguatan ubudiyah
dan peningkatan akhlaq yang menekankan pada keselarasan aspek
syarî’ah, tharîqah, dan haqîqah. Ritual-ritual ini membentuk kesalehan
individu di kalangan anggota jama’ah tarekat, ditandai oleh adanya
pengakuan makin mendalamnya pengalaman dan rasa kedekatan pada
Allah, dapat menjauhkan dari maksiat, meningkatkan keimanan dan
menambah rasa khusyu’ dalam beribadah. Sedangkan kesalehan sosial yang
bisa dilihat secara praktis adalah dari segi komitmen dan ketulusan mereka
untuk membantu sesama, namun hanya dalam batas-batas yang
sederhana. Pergulatan antara dua bentuk kesalehan ini ditandai oleh
dominannya orientasi kesalehan individual dan terbatasnya kemampuan bagi
ekspresi kesalehan sosial.
43
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu menurut
sepengetahuan peneliti belum ada yang meneliti langsung kedua bentuk
kesalehan individu dan kesalehan sosial dalam masyarakat umum. Sehingga
kerangka pikir dalam penelitian ini disederhanakan dalam sebuah skema
seperti yang tergambar dibawah ini:
F. Hipotesis
Berdasarkan kajian pustaka dan kerangka pikir di atas, maka
hipotesis dalam penelitian ini adalah diduga kesalehan inidvidu berpengaruh
positif dan signifikan terhadap kesalehan sosial.
kesalehan
individu
(X)
Kesalehan
sosial
Gambar 1. Kerangka Pikir
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Metode penelitian merupakan hal penting dalam sebuah penelitian
karena mutu, validitas, dan hasil penelitian sangat ditentukan oleh ketepatan
dalam memilih metodenya (Azwar, 2004). Desain ini termasuk dalam
penelitian kausal, tipe penelitian dengan karakteristik masalah berupa
hubungan sebab akibat antara dua variabel atau lebih. Tipe penelitian
terhadap data yang dikumpulkan setelah terjadi suatu fakta atau peristiwa,
dan penyusun dapat mengidentifikasi fakta atau peristiwa tersebut sebagai
variabel yang dipengaruhi (dependent variable) dan melakukan penelitian
terhadap variabel yang mempengaruhi (independent variable).
Untuk dapat mencapai sasaran dan tujuan, maka penyusun
menggunakan metode penelitian lapangan (Field Research), yaitu penelitian
yang dilakukan secara intensif dan mendalam terhadap suatu objek di
lapangan. Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu pendekatan
kuantitatif. Pendekatan kuantitatif adalah pendekatan yang menggambarkan
suatu kondisi yang terjadi pada objek dalam bentuk angka.
B. Definisi Operasional Variabel
Menurut Sugiyono (2002) variabel adalah suatu faktor atau sifat atau
nilai dari orang, obyek atau kegiatan yang mempunyai variasi yang
44
45
ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan ditarik kesimpulan.
Berdasarkan pengertian di atas, maka variabel yang digunakan dalam
penelitian ini adalah:
1. Kesalehan Individu
Kesalehan Individu adalah seseorang yang bersih jiwanya, lurus
aqidahnya, dan baik amalnya, serta senantiasa kepada Allah SWT dan
Qardhawi, Yusuf. 1996. Hukum Zakat: Studi Komparatif mengenai Status dan Filsafat Zakat Bedasarkan al-Qur’an dan hadis, terj. Salman Harun, dkk. Bandung: Mizan.
Zainuddin. 1998. Ilmu Tauhid Lengkap. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Al-Zuhaily, Wahbah. 1995. Zakat Kajian Berbagai Mazhab, Agus Effendi dan Bahruddin Fanny. Bandung: Rosdakarya.
Zuhali, Wahbah. 1984. al-Fiqh al-Islâmî wa ‘Adilatuhu, Damaskus: Dâr al-Fikr.