SKRIPSI OPTIMASI PROSES PEMASAKAN UDANG DAN VALIDASI PROSES PEMASAKAN TERHADAP INAKTIVASI BAKTERI Listeria monocytogenes DI PT CENTRALPERTIWI BAHARI, LAMPUNG Oleh Mohammad Fauzan F24103045 2008 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
101
Embed
SKRIPSI OPTIMASI PROSES PEMASAKAN UDANG DAN … · Bina Islami FATETA (FBI-F) tahun 2005-2006. Penulis juga aktif di beberapa ... (2005). Penulis juga pernah mengikuti Kuliah Kerja
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
SKRIPSI
OPTIMASI PROSES PEMASAKAN UDANG DAN VALIDASI PROSES
PEMASAKAN TERHADAP INAKTIVASI BAKTERI
Listeria monocytogenes DI PT CENTRALPERTIWI BAHARI, LAMPUNG
Oleh
Mohammad Fauzan
F24103045
2008
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2
OPTIMASI PROSES PEMASAKAN UDANG DAN VALIDASI PROSES
PEMASAKAN TERHADAP INAKTIVASI BAKTERI
Listeria monocytogenes DI PT CENTRALPERTIWI BAHARI, LAMPUNG
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh:
Mohammad Fauzan
F24103045
2008
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
3
Mohammad Fauzan. F24103045. Optimasi Proses Pemasakan Udang dan Validasi Proses Pemasakan terhadap Inaktivasi Bakteri Listeria monocytogenes di PT Centralpertiwi Bahari, Lampung. Dibawah bimbingan: Dr. Ir. Dahrul Syah M.Sc, Dr. Ir. Ratih Dewanti Haryadi, M.Sc, dan Esti Puspitasari, M.Sc.
RINGKASAN
Udang merupakan salah satu produk perikanan yang bernilai tinggi ditinjau
dari segi komersial, nilai gizi maupun selera konsumen di dalam dan di luar negeri. Produk udang bagi Indonesia merupakan primadona ekspor non migas. Hal ini didukung oleh produksi udang Indonesia yang terus meningkat secara kuantitatif setiap tahunnya. Sebagai salah satu komoditas ekspor maka masalah penjagaan mutu dan keamanan produk udang menjadi masalah penting bagi industri yang mengelolanya.
Permasalahan mutu yang terjadi di PT Centralpertiwi Bahari (PT CPB) yakni tingginya cooking loss. Tingginya cooking loss menyebabkan ukuran (size) dan berat produk akhir udang menjadi lebih kecil dari yang diinginkan. Sedangkan permasalahan keamanan yang terjadi yakni proses pemasakan udang yang berlangsung di dalam proses produksi belum memastikan dapat menginaktivasi bakteri Listeria monocytogenes. Bakteri ini bersifat patogen sehingga sangat berbahaya bagi kesehatan manusia. Perbaikan yang bisa dilakukan pada permasalahan cooking loss yang tinggi yaitu dengan pemakaian suhu pemasakan yang lebih rendah. Suhu pemasakan yang lebih rendah dapat mengurangi tingkat kehilangan air dalam produk udang selama pemasakan. Sedangkan untuk permasalahan keamanan produk, perlu dilakukan validasi proses pemasakan terhadap inaktivasi bakteri Listeria monocytogenes. Hasil validasi ini akan memastikan bahwa produk udang masak yang dihasilkan aman untuk dikonsumsi.
Penelitian ini bertujuan mengoptimasi proses pemasakan udang untuk menurunkan cooking loss dengan tetap menjaga mutu produk lainnya (kematangan, blackspot, dan organoleptik) dan memastikan proses pemasakan yang berlangsung di dalam proses produksi mampu menginaktivasi bakteri Listeria monocytogenes. Perlakuan yang diberikan pada Optimasi Proses Pemasakan Udang yaitu pemakaian suhu yang lebih rendah dari suhu awal yaitu 98ºC-99ºC menjadi suhu 85ºC, 90ºC, dan 95ºC pada mesin Cabinplant® Cooker. Produk udang yang digunakan sebagai sampel yaitu udang CTO (Cooked Tail-On) dan udang Peeled Cooked size 41-45. Kedua sampel ini merupakan produk unggulan dan masih memiliki cooking loss lebih tinggi daripada produk udang cook lainnya. Sedangkan perlakuan pada penelitian validasi reduksi bakteri Listeria monocytogenes dengan menurunkan waktu pemasakan dari 80 detik suhu 98-99°C produk CTO size 41-50 (sampel produksi) menjadi 60 detik.
Penelitian Optimasi Proses Pemasakan Udang dibagi menjadi 2 tahap yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian lanjutan (aplikasi dalam skala produksi). Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mendapatkan waktu yang optimal pada 3 suhu pemasakan yang lebih rendah dengan mengamati parameter kematangan dan cooking loss. Khusus untuk produk CTO ditambahkan parameter blackspot. Udang hasil pemasakan dengan variasi waktu pada suhu yang optimal diamati mutu organoleptiknya.
4
Pada penelitian lanjutan dilakukan pemasakan udang dalam skala produksi dengan suhu dan waktu yang optimal hasil dari penelitian pendahuluan. Pengamatan yang dilakukan berupa kematangan, cooking loss, dan blackspot. Hasil dari penelitian lanjutan ini dapat disajikan sebagai pertimbangan untuk diterapkan di dalam proses produksi. Sedangkan metode penelitian Validasi dilakukan dengan mengevaluasi pengaruh nilai derajat letalitas (Fo) proses pemasakan terhadap inaktivasi bakteri Listeria monocytogenes.
Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa untuk estimasi waktu pemasakan produk Peeled Cooked pada suhu 85°C tidak dapat ditetapkan karena tidak mencapai tingkat kematangan maksimal pada waktu pemasakan terlama . Sedangkan pada suhu 90°C dengan produk yang sama, kisaran waktu pemasakan yang ditetapkan yaitu 140-165 detik. Waktu pemasakan optimal yang diambil dari kisaran tersebut adalah 155 detik berdasarkan kematangan yang maksimal (100%) dan % cooking loss yang paling rendah (5.27%). Namun setelah diuji blackspot pada produk udang berkulit (Cooked Tail-On) atau CTO diperoleh kemunculan blackspot yang tidak sesuai dengan standar PT CPB. Pengujian pemasakan pada suhu 95°C dengan produk CTO menghasilkan kisaran waktu pemasakan 110-120 detik dengan waktu optimal pada 120 detik berdasarkan kematangan yang maksimal (100%) dan blackspot yang paling rendah (0.00%-0.04%). Mutu organoleptik (kenampakan, aroma, tekstur, dan rasa) dari kisaran waktu tersebut tidak berbeda nyata. Sebagai pembanding, dilakukan pengambilan sampel produksi pada suhu 98°C-99°C dengan hasil kematangan maksimal (100%), cooking loss sebesar 7.99%, dan blackspot 0%. Dari data yang diperoleh dari penelitian pendahuluan dapat disimpulkan bahwa semakin rendah suhu pemasakan, semakin lama waktu yang diperlukan untuk pemasakan, semakin kecil cooking loss tetapi semakin tinggi frekuensi terjadinya blackspot.
Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan, dipilih suhu 95°C dengan waktu pemasakan 120 detik menjadi penggunaan suhu dan waktu pemasakan yang optimal dari semua perlakuan yang diberikan. Hasil ini kemudian diaplikasikan dalam skala produksi. Hasil dari penelitian dalam skala produksi ini adalah Nilai blackspot setelah pemasakan sebesar 0.32%, setelah disimpan 1 hari sebesar 0.215%, dan setelah disimpan 3 hari sebesar 0.286%. Nilai blackspot tersebut tidak sesuai dengan standar PT. CPB untuk blackspot yaitu 0%. Blackspot menyebabkan produk ditolak konsumen sehingga produk akhir harus bebas dari blackspot. Sedangkan cooking loss yang didapat sebesar 5.27%, masih dibawah cooking loss pada metode penggunaan suhu 98-99°C (7.99%) sehingga target yang diinginkan sudah dapat terpenuhi. Hasil validasi proses pemasakan terhadap inaktivasi bakteri Listeria monocytogenes menunjukkan bahwa perlakuan pemasakan selama 60 detik dengan Nilai Fo (menit) sebesar 0.02 (U1) dan 0.05 (U2) mampu untuk menginaktivasi bakteri Listeria monocytogenes. Nilai Fo proses pemasakan produksi dengan waktu pemasakan 80 detik produk CTO sebesar 1.14. Hasil ini dapat dibuat kesimpulan bahwa Nilai Fo (derajat letalitas) yang lebih kecil dari sampel produksi mampu untuk menginaktivasi bakteri Listeria monocytogenes sehingga bisa dipastikan bahwa proses pemasakan yang sedang berlangsung di dalam proses produksi mampu untuk menginaktivasi bakteri ini.
5
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
OPTIMASI PROSES PEMASAKAN UDANG DAN VALIDASI PROSES
PEMASAKAN TERHADAP INAKTIVASI BAKTERI
Listeria monocytogenes DI PT CENTRALPERTIWI BAHARI, LAMPUNG
Tempat untuk melakukan penelitian dibagi menjadi 2 yaitu PT
Centralpertiwi Bahari, Lampung, untuk penelitian Optimasi Proses Pemasakan
Udang dan Laboratorium mikrobiologi patogen SEAFAST Center IPB, Bogor,
43
untuk penelitian Validasi Proses Pemasakan terhadap Inaktivasi Bakteri
Listeria monocytogenes. Seluruh penelitian dilaksanakan selama 6 (enam)
bulan, dimulai dari Bulan Mei sampai Bulan Oktober 2007.
C. METODE PENELITIAN
Penelitian terdiri dari 2 bagian yaitu Optimasi Proses Pemasakan Udang
dan Validasi Proses Pemasakan terhadap Inaktivasi Bakteri Listeria
monocytogenes. Optimasi Proses Pemasakan Udang dilakukan melalui 2
tahapan yaitu penelitian pendahuluan, penelitian lanjutan dan scale-up.
Sedangkan metode penelitian Validasi dilakukan dengan mengevaluasi
pengaruh nilai derajat letalitas (Fo) proses pemasakan terhadap inaktivasi
bakteri Listeria monocytogenes. Secara rinci, metode kedua penelitian tersebut
dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Optimasi Proses Pemasakan Udang
a. Penelitian pendahuluan
Pemakaian suhu pemasakan yang lazim dilakukan di dalam proses
produksi dengan mesin Cabinplant® cooker adalah suhu 98°C-99°C.
Pada penelitian pendahuluan ini dilakukan pengujian pemasakan udang
dengan 3 suhu pemasakan yang lebih rendah yaitu: 85°C, 90°C, dan
95°C. Karena menggunakan suhu yang lebih rendah, maka waktu
pemasakan yang digunakan menjadi lebih lama. Penelitian pendahuluan
ini dilakukan untuk mendapatkan waktu yang optimal pada 3 suhu
pemasakan yang lebih rendah tersebut dengan mengamati parameter
kematangan dan cooking loss. Khusus untuk produk CTO ditambahkan
parameter blackspot. Udang hasil pemasakan dengan variasi waktu pada
suhu yang optimal diamati mutu organoleptiknya.
b. Penelitian lanjutan (aplikasi dalam skala produksi)
Pada tahap ini dilakukan pemasakan udang dalam skala produksi
dengan suhu dan waktu yang optimal hasil dari penelitian pendahuluan.
Pengamatan yang dilakukan berupa kematangan, cooking loss, dan
blackspot. Hasil dari penelitian lanjutan ini dapat disajikan sebagai
pertimbangan untuk diterapkan di dalam proses produksi. Secara rinci,
44
metode penelitian Optimasi Proses Pemasakan Udang dapat dilihat
pada Gambar 8. Semua proses pemasakan dilakukan sesuai standar
yang digunakan di PT CPB.
Pengamatan
1. % Kematangan
2. % Cooking loss
3. % Blackspot
4. Uji
Organoleptik
dengan variasi
waktu pada
suhu yang
optimal
Pengamatan
1. % Kematangan
2. % Cooking loss
3. % Blackspot
2. Validasi Proses Pemasakan Udang terhadap Inaktivasi Bakteri Listeria
monocytogenes
Validasi dilakukan untuk memastikan proses pemasakan yang terjadi
dalam proses produksi mampu untuk menginaktivasi bakteri Listeria
monocytogenes. Parameter yang bisa menjadi kontrol validasi ini adalah
derajat letalitas (nilai Fo). Kontrol nilai Fo pada proses validasi akan
direndahkan dari nilai Fo proses pemasakan yang terjadi dalam produksi
dengan tujuan ketika proses validasi dengan nilai Fo rendah sudah mampu
menginaktivasi bakteri Listeria monocytogenes maka dengan demikian proses
Gambar 8. Diagram alir penelitian optimasi proses pemasakan udang
1. Penelitian Pendahuluan § Menetapkan waktu (t)
optimal pada suhu (T) 85, 90°C, dan 95°C
2. Penelitian Lanjutan (Aplikasi dalam skala produksi) § Dari suhu dan
waktu pemasakan yang optimal
45
pemasakan yang terjadi dalam proses produksi juga mampu menginaktivasi
bakteri ini karena nilai Fo yang lebih besar.
Sampel yang menjadi perbandingan dalam proses produksi yaitu
pemasakan dengan standar waktu pemasakan 80 detik pada suhu 98°C-99°C
produk CTO size 41-50. Perlakuan pada proses validasi ditentukan dengan
menurunkan waktu pemasakan menjadi 1 menit / 60 detik pada suhu air
mendidih. Pemasakan yang dilakukan selama proses validasi menggunakan
skala laboratorium. Validasi tidak dilakukan di dalam proses produksi karena
resiko kontaminasi akibat inokulasi bakteri yang dilakukan selama proses
validasi. Alur proses validasi dan penjelasannya bisa dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Alur proses validasi dan penjelasannya
Alur Penjelasan
Udang
Inokulasi
Pengujian awal
Pemasakan
Pendinginan
Pengambilan
sampel
Udang Fresh (± 10 gram / masak )
Inokulasi mikroba Listeria monocytogenes
Uji mikrobiologi sebelum dimasak
( Kontrol positif dan negatif)
Udang dikukus dalam panci. Waktu pemasakan selama
1 menit / 60 detik pada suhu air mendidih.
Thermocouple dimasukkan ke dalam udang dengan
cara ditusuk untuk melihat suhu pusat udang selama
proses pemasakan.
Pendinginan dilakukan dengan merendam udang masak
pada air steril
Udang diambil untuk dilakukan uji bakteri Listeria
monocytogenes secara kualitatif
46
Secara rinci, alur validasi terdiri dari beberapa tahapan sebagai berikut :
a. Persiapan Bahan Baku Udang
Bahan baku udang yang digunakan sebelum pemasakan sebaiknya
mempunyai suhu pusat 10-20°C. Oleh karena itu apabila bahan baku udang
yang ada dalam bentuk beku maka dilakukan proses defrost untuk
menaikkan suhu pusat. Proses defrost pada udang beku dilakukan dengan
menggunakan air mengalir atau direndam pada air suhu normal. Bahan baku
udang yang dibutuhkan selama proses validasi yaitu 1 ekor udang (±10
gram) tiap satu kali pemasakan.
b. Persiapan Bakteri Uji
Persiapan bakteri uji dilakukan melalui beberapa tahap sampai pada
tahap inokulasi di bagian akhirnya. Tahap pertama dilakukan proses
enrichment pada kultur murni bakteri. Proses enrichment yang dilakukan
yaitu dengan menggores kultur murni sebanyak 1 ose kemudian dimasukkan
pada media TSBYE 9 ml dan diinkubasi selama 24 jam pada suhu 30°C, hal
ini dilakukan untuk memperkaya dan memaksimalkan proses pertumbuhan
bakteri (BAM, 2000). Waktu inkubasi diambil berdasarkan grafik
pertumbuhan bakteri Listeria monocytogenes, dengan mengambil waktu
yang paling maksimal dalam pertumbuhannya (sekitar 18–24 jam). Grafik
pertumbuhan bakteri ini bisa dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Pertumbuhan Listeria monocytogenes (pada TSYE agar ( ) dan
Palcam agar ( ) yang telah diinkubasi dalam TSYE broth
pada 30°C). (Augustin et al., 1999)
47
Untuk menyeragamkan kultur, maka dilakukan pengenceran larutan
sampai tingkat 105 dan diinkubasi kembali pada suhu 30°C selama 24 jam.
Setelah itu innoculum siap diinokulasi pada udang. Media pembawa
innoculum yang digunakan yaitu Pepton Water (PW) sebanyak 225 ml.
Proses inokulasi dilakukan dengan memasukan udang pada larutan
campuran (PW + innoculum) selama 2 menit. Proses inokulasi dapat dilihat
pada Gambar 10.
Gambar 10. Proses inokulasi bakteri
c. Pengujian Awal
Pengujian awal dilakukan sebagai Kontrol Positif dan Kontrol Negatif
pada peralakuan panas yang dilakukan. Kontrol Positif dibuat dengan
menginokulasi bakteri pada udang kemudian diuji kualitatif, sedangkan
Kontrol Negatif tanpa inokulasi. Hasil uji kualitatif ini kemudian
dibandingkan dengan hasil dengan perlakuan panas.
d. Proses Pemasakan Udang
Proses pemasakan udang dilakukan dengan menggunakan panci kukus.
Udang dimasukkan ke dalam panci setelah air dalam panci kukus sudah
mendidh agar proses pemasakan berjalan secara optimal. Pemasakan
dilakukan selama 1 menit / 60 detik sebanyak 2 kali ulangan. Perlakuan ini
merupakan penurunan waktu pemasakan dari proses pemasakan di produksi
yaitu selama 80 detik untuk produk CTO size 41-50.
Thermocouple digunakan untuk melihat perjalanan suhu pusat udang
selama pemasakan. Kabel thermocouple langsung ditusukkan pada bagian
48
tengah dalam udang. Pembacaan suhu pusat udang diaktifkan setelah udang
masuk dalam panci kukus dan diberhentikan setelah proses pendingian.
Hasil pembacaan suhu pusat udang dapat dilihat dari cetakan alat pembaca
thermocouple dengan kisaran waktu per 5-6 detik. Proses pemasakan udang
dalam panci kukus dapat dilihat pada Gambar 11.
Gambar 11. Pemasakan udang dalam panci kukus
e. Pendinginan
Proses pendinginan dilakukan dengan merendam udang yang telah
dimasak pada air suhu normal dalam wadah. Hal ini dilakukan untuk
menghilangkan pengaruh pemasakan terus-menerus setelah proses
pemasakan. Proses pendinginan dilakukan sampai suhu pusat udang turun
menjadi ± 40°C-50°C. Proses pendinginan dapat dilihat pada Gambar 22.
Gambar 12. Proses pendinginan udang
49
f. Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel udang dilakukan setelah proses pendinginan
selesai. Sampel yang diambil kemudian diuji bakteri Listeria monocytogenes
secara kualitatif untuk melihat tingkat inaktivasi bakteri akibat perlakuan
pemanasan yang diberikan. Jumlah sampel udang yang diambil sebanyak 2
kali ulangan.
D. STANDAR PEMASAKAN UDANG
Metode pemasakan yang dilakukan di dalam penelitian Optimasi Proses
Pemasakan Udang mengikuti alur proses pemasakan produk udang yang
berlangsung di perusahaan. Secara rinci proses pemasakan dan perlakuan yang
dilakukan dapat dilihat pada Gambar 13.
@
Pendinginan pada air pendingin < 7 0C
Penirisan (3 menit)
Menentukan berat udang / tray
Menghitung dan Menimbang udang / tray
Menyusun udang dalam tray
Proses pemasakan dengan menggunakan suhu yang lebih
rendah yaitu: 85°C, 90°C, dan 95°C
Mengukur suhu pusat udang
Bahan Baku
50
@
Gambar 13. Proses pemasakan udang di PT CPB
Metode pemasakan udang CTO dan CP pada PT. Centralpertiwi Bahari
terdiri dari tahapan proses sebagai berikut:
a. Estimasi Waktu Pemasakan
Estimasi waktu pemasakan dilakukan karena proses pemasakan
memakai suhu yang lebih rendah. Waktu pemasakan yang dipakai
menjadi lebih lama. Estimasi waktu pemasakan tersebut dilakukan
sampai batas maksimal terlama waktu yang bisa diterapkan pada alat
pemasakan. Waktu pemasakan yang dianggap tepat dilihat dari
parameter kematangan, cooking loss, dan blackspot .
b. Menentukan Berat per Tray dan Penghitungan Udang Sebelum
Proses Pemasakan
Pada penelitian ini digunakan ukuran (size) 41-50 yang berarti
dalam setiap 1 lbs (456,5 g) terdapat 41-50 ekor udang. Penentuan
berat per tray dilakukan untuk mengetahui berat produk tiap tray agar
terjadi keseragaman saat proses pemasakan. Berat udang per tray ini
ditentukan dengan menyusun udang size 41-50 didalam tray kemudian
menimbangnya. Hasil yang diperoleh, dijadikan standar dalam
menentukan berat udang per tray.
Penimbangan dan penghitung udang dilakukan untuk mengetahui
berat udang sebelum proses pemasakan sehingga dapat dihitung
Kesimpulan
Menimbang dan menghitung udang
Pengamatan black spot
Analisis hasil
Freezing
Penyimpanan 1 dan 3 hari
Organoleptik
51
cooking lossnya. Setelah menyusun kemudian menimbang udang,
maka ditetapkan berat udang per tray ± 1500 g (1.5 kg). Penimbangan
dilakukan dengan alat penimbangan AND dan dapat dilihat pada
Gambar 14.
Gambar 14. Penimbangan udang
c. Menyusun Udang dalam Tray
Penyusun udang dalam tray ini harus disesuaikan dengan ukuran
dan jenis udang yang digunakan. Pada penelitian ini, digunakan 2
produk udang sehingga pola penyusunannya memiliki 2 pola berbeda.
Hasil penyusunan udang dalam tray pada produk udang CP adalah 7
baris dimana setiap barisnya terisi 18 ekor udang untuk udang CP dan
pada produk CTO adalah 6 baris dimana setiap barisnya terisi 21 ekor
udang. Secara lebih lengkap proses dan hasil penyusunan udang dapat
dilihat pada Gambar 15.
Gambar 15. Proses dan hasil penyusunan udang
d. Mengukur Suhu Pusat Udang Sebelum Proses Pemasakan
Hasil pengukuran suhu pusat udang sebelum proses pemasakan
akan membantu memberikan informasi mengenai energi pemanasan
52
yang akan diterima udang, jika perbedaan suhu pusat udang dengan
suhu mesin semakin besar maka energi yang akan diterima udang juga
akan semakin besar sesuai dengan hukum pindah panas. Selain itu,
suhu udang pada saat proses berjalan, harus dipertahankan ≤ 12°C
untuk mencegah terjadinya perubahan warna (discolorisasi). Standar
yang telah ditetapkan PT. CPB sebelum udang masuk ke dalam proses
pemasakan yaitu mempunyai suhu pusat (10-20)°C, suhu pusat ini
diukur menggunakan termometer (digital thermometer) yang
mempunyai sensitifitas terhadap suhu dingin. Setelah berada dalam
kisaran suhu yang telah ditetapkan maka proses pemasakan siap untuk
dimulai sesuai dengan variasi suhu yang telah ditetapkan.
e. Proses Pemasakan dengan Penggunaan Suhu yang Lebih Rendah
Proses pemasakan dilakukan dengan menggunakan mesin
Cabinplant® cooker yang menggunakan sumber panas berupa steam.
Pemasakan dilakukan dengan menggunakan suhu yang lebih rendah
dari suhu yang dipakai di produksi yaitu: 85°C, 90°C, dan 95°C.
Waktu pemasakan sesuai dengan estimasi awal. Teknis trial
pemasakan dilakukan dengan memasukan sejumlah 9 tray yang berisi
udang pada mesin pemasak. Tiga tray pada posisi tengah digunakan
sebagai sampel untuk penghitungan dan penimbangan udang
sedangkan enam tray sisa diakumulasi hanya untuk penimbangan
udang. Cara pemasukan tray pada mesin pemasak dapat dilihat pada
Gambar 16.
Gambar 16. Cara pemasukan tray udang pada mesin pemasak
53
f. Mengukur Suhu Pusat Udang Setelah Proses Pemasakan
Pengukuran suhu pusat udang setelah proses pemasakan dilakukan
sesaat setelah proses pemasakan berakhir dan sebelum masuk dalam
air pendingin (water cooling). Pengukuran suhu pusat udang
menggunakan termometer (digital thermometer) yang mempunyai
sensitifitas terhadap suhu panas. Mengukur suhu pusat bertujuan untuk
mengetahui tingkat kematangan pada udang. Suhu pusat udang mesin
Cabinplant berkisar antara 69-72°C. Cara mengukur suhu pusat
udang menggunakan termometer digital, dapat dilihat pada Gambar
17.
Gambar 17. Pengukuran suhu pusat udang
g. Pendinginan
Pendinginan dilakukan dengan perendaman udang dalam air
dingin. Air yang digunakan adalah air kualitas pertama ( first water
quality) yang telah diberi kepingan es sampai suhu air ≤ 5ºC setelah
suhu pusat udang dalam air pendingin mencapai 6-8ºC kemudian
diangkat dari air pendingin dan ditiriskan. Suhu pusat udang diukur
menggunakan termometer digital yang memiliki sensitifitas terhadap
suhu dingin. termometer ini mampu memberikan hasil dalam waktu
kurang dari 1 menit sehingga proses yang berlangsung akan lebih
efisien. Setelah dilakukan pendinginan, maka diambil sampel untuk
pengujian organoleptik. Proses pendinginan udang setelah proses
pemasakan, dapat dilihat pada Gambar 18.
54
Gambar 18. Proses pendinginan udang masak
h. Penirisan
Setelah suhu pusat udang dari air pendingin mencapai 6 - 8ºC,
kemudian udang ditiriskan selama 3 menit. Penirisan udang dilakukan
agar air yang masih terikut didalam udang setelah proses pendinginan,
tidak mempengaruhi penimbangan. Penirisan udang dapat dilihat pada
Gambar 19.
Gambar 19. Penirisan udang
i. Menimbang dan Menghitung Udang
Penimbangan dan Penghitungan udang dilakukan untuk
mengetahui presentase cooking loss. Penimbangan dilakukan dengan
menggunakan timbangan digital sama seperti saat menimbang udang
mentah.
j. Pengamatan
Pengamatan dilakukan untuk membuat analisis awal sebelum
pembekuan. Pengamatan ini dilakukan dengan melihat tingkat
55
kematangan udang, blackspot dan cooking loss. Tingkat kematangan
udang dapat dilihat pada tekstur daging udang. Daging udang
dikatakan matang apabila teksturnya kompak dan warnanya putih susu.
Sedangkan daging udang dikatakan mentah apabila warnanya bening,
uratnya masih berwarna biru, dan teksturnya kurang kompak. Selain
itu juga terdapat udang yang terlalu masak (overcooked) dengan
tekstur tidak kompak lagi dan rusak. Indikasi adanya blackspot dapat
dilihat dengan mengamati noda hitam yang terdapat pada bagian ekor
udang. Secara lebih rinci, udang matang, mentah, dan indikasi adanya
blackspot dapat dilihat pada Gambar 20.
Gambar 20. Udang matang, mentah, dan blackspot
k. Freezing dan Penyimpanan
Proses pembekuan dilakukan dengan mesin pembeku IQF
(individually quick freezing). Setelah dilakukan pembekuan, udang
dikemas dalam pengemas primer kemudian disimpan dalam coldroom
selama 1 dan 3 hari. Proses pembekuan dan pengemasan udang masak
dapat dilihat pada Gambar 21 dan Gambar 22.
Gambar 21. Pembekuan udang Gambar 22. Pengemasan udang
Mentah Matang Blackspot
56
E. METODE ANALISIS
Metode analisa dalam Optimasi Proses Pemasakan Udang terdiri dari
analisa produk (perhitungan tingkat kematangan, perhitungan cooking loss,
dan perhitungan blackspot) dan evaluasi mutu (uji organoleptik). Sedangkan
Metode analisa dalam Validasi Proses Pemasakan terhadap Inaktivasi Bakteri
Listeria monocytogenes berupa perhitungan Nilai Fo dan analisa kualitatif
bakteri Listeria monocytogenes. Secara rinci, metode analisa kedua penelitian
tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Optimasi Proses Pemasakan Udang
a. Perhitungan Tingkat Kematangan
Tingkat kematangan udang dihitung berdasarkan persentase jumlah
udang yang matang dengan jumlah udang yang dianalisis.
% Kematangan =
Jumlah udang yang dianalisis - Jumlah udang undercook x 100%
Jumlah udang yang dianalisis
b. Perhitungan Cooking loss (AOAC, 1995)
Cooking loss dihitung berdasarkan persentase perbandingan selisih
antara bobot udang sebelum pemasakan dengan bobot udang setelah
pemasakan terhadap bobot udang sebelum pemasakan (basis basah).
% Cooking loss =
berat udang sebelum pemasakan – berat udang setelah pemasakan x100%
berat udang sebelum pemasakan
c. Perhitungan Blackspot
Penghitungan blackspot dapat dihitung berdasarkan perbandingan
jumlah blackspot dengan jumlah udang yang dianalisis. Jumlah
blackspot ditentukan secara visual.
% Blackspot = Jumlah udang blackspot x 100%
Jumlah udang yang dianalisis
57
d. Uji Organoleptik (Lab PT CPB, 2006)
Uji organoleptik dilakukan menggunakan 4 panelis terlatih dengan
metode rating deskriptif. Form pengujian dapat dilihat pada Lampiran
4. Nilai yang paling tinggi adalah Nilai yang mempunyai mutu terbaik
dari masing-masing atribut. Nilai yang paling baik berdasarkan uji
scoring yang digunakan dalam penelitian ini adalah Nilai 3. Atribut uji
dan sistem penilaian adalah sebagai berikut:
a. Kenampakan
3 = Mengkilat, terang, bening, antar ruas kokoh, warna asli utuh.
2 = Antar ruas agak renggang, warna sedikit memudar.
1 = Warna berubah, noda hitam banyak.
b. Tekstur
3 = Elastis, kompak, padat dan kenyal.
2 = Sedikit elastis, sedikit rongga, agak berair, mudah untuk dikupas
1 = Membubur, lunak sekali, banyak kehilangan air.
c. Bau
3 = Bau spesifik udang, bau udang segar, seperti bau rumput laut.
2 = Bau netral
1 = Bau amoniak, bau busuk, bau kotoran ayam, bau lumpur, bau
apek.
d. Rasa
3= Manis.
2= Hambar.
1= Pahit, sepet, atau asam
2. Validasi Proses Pemasakan terhadap Inaktivasi Bakteri Listeria
monocytogenes
a. Perhitungan Nilai Fo (Fardiaz, 1996)
Nilai Fo (derajat letalitas) adalah waktu setara dalam menit pada
suhu rujukan (Tref) yang menghasilkan pengaruh mematikan yang
sama seperti pemanasan pada suhu T selama t, dengan rumus:
Fo = 10 (T-Tref) / z x t
58
Dimana : Fo = Nilai derajat letalitas
T = temperatur (°C)
Z = slope Thermal Death Time (°C)
t = waktu
b. Analisis Kualitatif Bakteri Listeria monocytogenes (BAM, 2000)
Analisis dilakukan berupa uji kualitatif bakteri Listeria
monocytogenes. Prosedur yang dilakukan berdasarkan Bacteriological
Analisis Method (BAM) dengan sedikit modifikasi. Modifikasi yang
dilakukan yaitu pada tahap pembuatan larutan contoh. Dalam BAM
disebutkan bahwa larutan contoh yang dibuat dengan menggunakan
25g sampel yang dilarutkan dalam 225ml LEB UVM-1. Sedangkan
pada penelitian ini larutan contoh dibuat dengan menggunakan 10g
sampel yang dilarutkan dalam 90ml LEB UVM-1. Perbandingan yang
digunakan dalam kedua metode tersebut sama yaitu 1 : 10. Menurut
Stephens (2003) proses enrichment memakai perbandingan 1:10 atau
1:100. Tahapan analisis yang dilakukan yaitu: Dari larutan contoh (10g
sampel dalam 90ml larutan LEB UVM-1, yang sudah diinkubasi
selama 24 jam dengan suhu 300C) diinokulasi 0.1 ml kedalam LEB
UVM-2 diinkubasi selama 24 jam pada suhu 300C dan digores pada
media Palcam agar lalu diinkubasi pada suhu 350C selama 24-48 jam.
Ciri-ciri koloni tipikal Listeria pada media Palcam agar yaitu:
berdiameter 1.5-2mm, warna hijau pudar keabu-abuan dan dikelilingi
area hitam. Kultur yang lebih tua akan berwarna hijau dan cekung
ditengahnya. Jika L. monocytogenes sudah teridentifikasi pada Palcam
agar, langkah pengujian dari Fraserbroth tidak dilakukan. Jika L.
monocytogenes tidak teridentifikasi pada media Palcam agar langkah
awal, proses dilanjutkan dengan menggores 1 ose contoh dari LEB
UVM-2 (yang diinkubasi selama 48 jam) ke media Palcam lalu
diinkubasi pada suhu 350C selama 24-48 jam kemudian diamati koloni
tipikal Listeria yang muncul.
Dari media Palcam agar diambil koloni yang tipikal kemudian
diuji biokimia yaitu : 1.) Ditusuk pada media MTM lalu diinkubasi
59
selama 7 hari pada suhu ruang. Pengamatan pada media MTM dilihat
bentuk pertumbuhannya seperti bentuk payung; 2.) Dimasukkan pada
media karbohidrat (menggunakan tabung durham), diinkubasi selama 7
hari suhu 35°C: Dextrose(+), Mannitol(-), Xylose(+) dan Maltose(+).
Reaksi positif menghasilkan asam tanpa gas. Secara diagram, uji
kualitatif Listeria monocytogenes dapat dilihat pada Gambar 23.
10 gram udang cook (dihancurkan)
Ditambahkan Listeria Enrichment Broth (LEB) UVM-1 sebanyak 90 ml
Distomacher selama ± 2 menit
Diinkubasi selama 24 jam pada suhu 30°C
Diambil 1 ml dari campuran
Diinokulasi dalam 9 ml LEB UVM-2
Diinkubasi selama 24 jam pada suhu 30°C
Diambil 1 Loop jarum ose dari campuran
Distreak (gores) pada media Palcam agar
Diinkubasi selama 24-48 jam pada suhu 35°C
Diamati koloni tipikal (berdiameter 1.5-2mm, warna hijau pudar keabu-abuan
dan dikelilingi area hitam)
Diambil koloni tipikal
@
60
@
Uji Biokimia
• MTM (dinkubasi 7 hari dalam suhu ruang, bentuk pertumbuhan seperti payung).
• Uji Karbohidrat : Dextrose (+), Maltose(+), Mannitol(-), Xylose(-) diinkubasi 7 hari suhu 35 °C, Rekasi positif menghasilkan asam tanpa gas.
Gambar 23. Diagram alir uji kualitatif Listeria monocytogenes
(BAM, 2000)
61
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Optimasi Proses Pemasakan Udang
a. Penelitian Pendahuluan
Pada penelitian pendahuluan ini dilakukan pengujian pemasakan
dengan 3 suhu pemasakan yang lebih rendah yaitu: 85°C, 90°C, dan 95°C.
Hasil penelitian pendahuluan untuk estimasi waktu pemasakan pada suhu
85°C tidak dapat ditetapkan karena tidak mencapai tingkat kematangan
maksimal pada waktu pemasakan terlama sehingga analisa untuk
perlakuan suhu 85°C tidak dilanjutkan karena tidak memenuhi kriteria
kematangan produk. Sedangkan untuk suhu 90°C dapat dilihat pada Tabel
5.
Tabel 5. Hasil pengujian pemasakan produk Peeled Cooked Size 41-45
Suhu 90°C
Dari data diatas, dapat diambil kisaran waktu pemasakan untuk suhu
90°C yaitu 140-165 detik. Dari kisaran waktu pemasakan tersebut diambil
waktu pemasakan yang optimal. Waktu pemasakan yang optimal yaitu
waktu masak yang mampu menghasilkan % cooking loss paling rendah,
dengan tingkat kematangan yang maksimal, dan tingkat kemunculan
blackspot yang rendah serta waktu yang paling singkat. Berdasarkan data
pada tabel diatas, dapat diambil kesimpulan untuk waktu masak dengan %
cooking loss paling rendah dengan kematangan maksimal yaitu 155 dan
165 detik. Karena dipilih waktu yang paling singkat, maka waktu 155
detik menjadi waktu yang optimal untuk suhu 90°C.
Suhu
(°C)
Waktu
(detik)
Rata-rata
Kematangan (%)
Rata-rata
Cooking Loss (%)
90
140 100 6.22 150 98.94 5.82
155 100 5.74
160 100 6.24
165 100 5.74
62
Menurut Zeuthen et al (1987), semakin singkat waktu yang diberikan
pada proses pemasakan, maka proses keluarnya air dapat ditekan. Hal ini
disebabkan oleh proses terputusnya ikatan hidrogen pada air dan
menurunnya jumlah ikatan rata-rata molekul air dalam unsur yang terlepas
dari bahan pangan dapat dipersingkat. Keluarnya air merupakan penyebab
cooking loss pada bahan pangan. Namun data yang diperoleh tidak
sepenuhnya mengikuti pendapat diatas. Hal ini disebabkan oleh faktor-
faktor lain yang terjadi selama pemasakan. Salah satu faktor tersebut
adalah kisaran suhu pusat udang awal yang cukup besar yaitu antara 10°C-
20°C. Hal ini menyebabkan perbedaan antara suhu pusat udang dengan
suhu steam mesin pemasak menjadi berbeda-beda yang kemudian
mengakibatkan energi aktivasi dari molekul air untuk berpindah dan
bergerak keluar dari udang menjadi berbeda-beda pula.
Air yang keluar pada proses pemasakan tersebut adalah jenis air
bebas yang terdapat pada bahan pangan. Menurut Winarno (1992), air
bebas merupakan air yang secara fisik terikat dalam jaringan matriks
bahan seperti membran, kapiler, serat, dan lain-lain. Air jenis ini mudah
untuk diuapkan. Selain air bebas, pada bahan pangan juga terdapat air
terikat yaitu molekul air yang terikat pada molekul-molekul lain melalui
suatu ikatan hidrogen yang berenergi besar. Air jenis ini terikat kuat pada
bahan pangan dan sangat sulit dipengaruhi oleh faktor luar seperti
pemanasan.
Untuk melihat frekuensi terjadinya blackspot, maka dilakukan
pengujian pemasakan pada produk udang berkulit (Shell-On) dengan size
yang sama. Pengujian terjadinya blackspot hanya pada produk udang
berkulit karena enzim Polyphenol Oxidase (PPO), yang merupakan
penyebab terjadinya blackspot, hanya terdapat pada bagian kulit udang.
Produk udang berkulit yang dipakai yaitu CTO (Cooked Tail-On).
Pengujian pemasakan hanya dilakukan pada waktu yang optimal yaitu 155
detik. Secara rinci, hasil pengujian blackspot dan parameter lainnya
(kematangan dan cooking loss) dapat dilihat pada Tabel 6.
63
Tabel 6. Hasil pengujian pemasakan produk Cooked Tail-On (CTO) size
41-45 suhu 90°C
Suhu
(°C)
Waktu
(detik)
Kematang-
an (%)
Rata-
rata
Cooking
Loss
(%)
Blackspot (%)
Setelah
Pemasak-
an
Simpan
1 hari
Simpan
3 hari
90
155 97.60 5.50 0.32 2.15 3.66
Dari data diatas, dapat dilihat bahwa blackspot muncul setelah
pemasakan sebesar 0.32%, setelah disimpan 1 hari sebesar 2.15%, dan
setelah disimpan 3 hari sebesar 3.66%. Nilai kemunculanblackspot
tersebut tidak sesuai dengan standar PT. CPB untuk blackspot yaitu 0%.
Berdasarkan hal tersebut maka analisa selanjutnya untuk penggunaan suhu
90°C tidak dilakukan. Tingkat kematangan pada pengujian pemasakan ini
tidak maksimal karena terdapat beberapa produk udang yang saling
menempel saat dimasak. Tingkat cooking loss yang terjadi masih cukup
rendah yaitu 5.50%. Hasil ini tidak berbeda jauh dengan pengujian
pemasakan sebelumnya dengan suhu dan waktu yang sama pada produk
Peeled Cooked yaitu 5.74% .
Pengujian pemasakan selanjutnya yaitu dengan menggunakan suhu
95°C. Hasil pengujian pemasakan pada produk CTO dengan menggunakan
suhu 95°C dapat dilihat pada Tabel 7.
64
Tabel 7. Hasil pengujian pemasakan produk Cooked Tail-On (CTO) size
41-45 suhu 95°C
Suhu
(°C)
Waktu
(detik)
Rata-rata
Kematangan
(%)
Rata-
rata
Cooking
Loss
(%)
Blackspot (%)
Setelah
Pemasak-
an
Simpan
1 hari
Simpan
3 hari
95
110
96.55
4.66
0.04
0.13
0.13
115
99.37
3.36
0.24
0.26
0.26
120
100
5.13
0.00
0.04
0.04
Dari data diatas, dapat diambil kisaran waktu pemasakan untuk suhu
95°C yaitu 110-120 detik. Dari kisaran waktu pemasakan tersebut diambil
waktu pemasakan yang optimal seperti pengujian pemasakan sebelumnya.
Berdasarkan data pada tabel diatas maka dapat disimpulkan untuk
penggunaan suhu 95°C dengan waktu pemasakan 110, 115, dan 120 detik
memenuhi semua parameter yang ditentukan (kematangan, cooking loss,
dan blackspot). Untuk memastikan waktu pemasakan yang optimal dari
ketiga waktu tersebut maka dilakukan analisa lebih lanjut yaitu uji
organoleptik.
Pengujian mutu organoleptik dilakukan dengan menggunakan
metode uji scoring yang meliputi uji penampakan, tekstur, aroma dan rasa.
Nilai maksimum tiap-tiap aspek menurut standar PT.CPB adalah 3. Hasil
uji organoleptik dapat dilihat pada Lampiran 5. Uji organoleptik ini diikuti
oleh 4 panelis terlatih dari pihak laboratorium PT CPB. Pengujian
dilakukan pada produk udang hasil pemasakan pada suhu 95°C dengan
waktu 110, 115, dan 120 detik. Secara rinci, hasil uji organoleptik ini
65
dapat dilihat pada Gambar 24 dan data-data penilaian panelis pada
Lampiran 5.
Gambar 24. Hasil uji organoleptik produk CTO pada suhu 95°C
Dari gambar, dapat dilihat bahwa yang memperoleh nilai maksimal
pada atribut aroma, tekstur, rasa dan penampakan adalah perlakuan suhu
950C dengan waktu pemasakan 115 detik, sedangkan pada perlakuan
waktu pemasakan 120 detik terdapat hasil sedikit kurang maksimal pada
atribut aroma dan tekstur sedangkan pada perlakuan waktu pemasakan 110
detik terdapat hasil sangat rendah pada penampakan karena produknya
yang dinilai masih mentah. Perbandingan hasil uji organoleptik dari
gambar dan uji secara statistik (Lampiran 4a, 4b, 4c, 4d) menunjukkan
perbedaan atribut antara perlakuan menunjukkan hasil yang tidak berbeda
nyata. Hal ini bisa dilihat dari uji lanjut duncan dengan selang kepercayaan
95%, penampakan mempunyai Nilai 0.100 > 0.05, begitu juga tekstur
(0.405 > 0.05), dan aroma (0.875 > 0.05) sedangkan rasa mempunyai hasil
maksimal pada semua perlakuan.
Dari hasil uji ini, dapat ditunjukkan bahwa perbedaan waktu
pemasakan pada suhu 95°C tidak mempengaruhi mutu organoleptiknya.
Dengan demikian dapat disimpulkan untuk pemilihan waktu pemasakan
yang optimal pada suhu 95°C berdasarkan mutu organoleptiknya tidak
bisa dilakukan karena hasilnya yang tidak berbeda nyata. Pemilihan waktu
pemasakan yang optimal selanjutnya didasarkan pada parameter
66
sebelumnya yaitu: kematangan, cooking loss, dan blackspot. Dari data
pada Tabel 6, dapat ditetapkan bahwa waktu pemasakan yang optimal
pada suhu 950C adalah 120 detik. Hal ini didasarkan pada parameter
kematangan yang maksimal (100%) dan blackspot yang minimal (0.00%-
0.04%) walaupun dengan cooking loss yang terendah dari dua waktu
lainnya (5.13%). Kematangan dan blackspot merupakan parameter yang
langsung berhubungan dengan mutu produk. Secara lebih lengkap, data
pemilihan waktu yang optimal berdasarkan parameter-parameter yang
telah ditentukan diatas disajikan pada Lampiran 1a, 1b, dan 1c.
Pengambilan sampel produksi dilakukan untuk menjadi pembanding
dengan pengujian pemasakan dengan pemakaian yang lebih rendah. Hasil
dari pengambilan sampel produksi dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Hasil pengambilan sampel produksi pada produk CTO size 41-45
Suhu
(°C)
Waktu
(detik)
Rata-rata
Kematang-
an (%)
Rata-
rata
Cooking
Loss
(%)
Blackspot (%)
Setelah
Pemasak-
an
Simpan
1 hari
Simpan
3 hari
98-99
85 100 7.99 0.00 0.00 0.00
Dari data diatas, dapat disimpulkan untuk sampel produksi pada suhu
98°C-99°C dengan waktu pemasakan 85 detik menghasilkan rata-rata
kematangan maksimal (100%), cooking loss sebesar 7.99%, dan blackspot
0%. Secara lebih rinci, hasil-hasil pengujian pemasakan pada penelitian
pendahuluan ini dan pengambilan sampel produksi terdapat pada
Lampiran 1a, 1b, 1c, dan 1d. Hasil pengambilan sampel produksi ini
kemudian dibandingkan dengan hasil penelitian pendahuluan untuk
melihat pengaruh penggunaan suhu pemasakan yang lebih rendah terhadap
67
waktu pemasakan, cooking loss, dan blackspot. Perbandingan yang
dilakukan hanya untuk produk CTO size 41-45 saja. Secara lebih rinci bisa
dijelasakan sebagai berikut:
1. Pengaruh penggunaan suhu pemasakan yang lebih rendah
terhadap waktu pemasakan
Dari hasil pengamatan terlihat bahwa penggunaan suhu yang
lebih rendah menyebabkan waktu pemasakan menjadi lebih lama.
Secara lebih rinci dapat dilihat pada Gambar 25. Dari diagram batang
tersebut dapat dilakukan uji lanjut LSD demgan selang kepercayaan
(Lampiran 2a).
Gambar 25. Pengaruh penggunaan suhu pemasakan yang lebih
rendah terhadap waktu pemasakan
Diagram memperlihatkan bahwa dengan turunnya suhu
pemasakan, maka akan menyebabkan waktu pemasakan lebih lama.
Penentuan waktu pemasakan yang di Secara kuantitatif, apabila
dibandingkan dengan suhu pemasakan produksi (99°C), penggunaan
suhu pemasakan 90°C menyebabkan waktu pemasakan lebih lama
sebesar 2 kali dan 1 1/2 kali untuk suhu 95°C. Pengaruh ini juga
diperjelas dengan hasil uji lanjut LSD yang memberikan Nilai 0.000 <
0.05, yang berarti terdapat pengaruh yang signifikan dari perlakuan
yang diberikan.
68
Waktu pemasakan udang ditentukan mulai saat udang mentah
dimasak sampai udang menjadi matang. Udang dinyatakan matang jika
suhu pusatnya mencapai lebih dari 160°C (70°C) karena pada suhu
pusat tersebut atribut mutu organoleptik maupun mikrobiologinya
dapat dikatakan optimum (AOAC, 2000).
2. Pengaruh penggunaan suhu pemasakan yang lebih rendah
terhadap cooking loss
Penggunaan suhu pemasakan yang lebih rendah ternyata dapat
menurunkan tingkat cooking loss produk, sebaliknya pada suhu yang
lebih tinggi menyebabkan cooking loss menjadi lebih tinggi pula.
Semakin besar energi kalor yang dihasilkan maka akan semakin besar
pula perbedaan berat udang basah dan udang kering akibat dari proses
pemanasan sehingga cooking loss yang dihasilkan pun akan semakin
meningkat. Secara lebih rinci dapat dilihat pada Gambar 26. Dari
diagram batang tersebut dapat dilakukan uji lanjut LSD dengan selang
kepercayaan 95% (Lampiran 3b).
Gambar 26. Pengaruh penggunaan suhu yang lebih rendah
terhadap cooking loss
Diagram diatas memperlihatkan bahwa dengan turunnya suhu
pemasakan akan menurunkan tingkat cooking loss. Hal ini diperjelas
69
dari hasil uji lanjut LSD yang memberikan Nilai 0.000 < 0.05, yang
berarti terdapat pengaruh yang signifikan dari perlakuan yang
diberikan.
Cooking loss terjadi akibat penurunan kadar air. Penurunan
kadar air yang terkandung pada produk akibat perlakuan pengukusan
disebabkan oleh terlepasnya molekul air dalam bahan, karena dengan
semakin meningkatnya suhu maka jumlah rata-rata molekul air dalam
unsur menurun dan ikatan hidrogen putus kemudian terbentuk lagi
dengan cepat. Proses ini mengakibatkan molekul air bergerak makin
cepat dan akhirnya terlepas dalam bentuk uap air (Winarno, 1992).
Pada pemakaian suhu yang lebih rendah menyebabkan cooking loss
menjadi rendah. Hal ini menyebabkan kualitas dari produk yang
dimasak tetap bagus karena suhu yang terdapat di dalam produk tidak
naik dengan tajam (Lund, 1984).
3. Pengaruh penggunaan suhu pemasakan yang lebih rendah
terhadap munculnya blackspot
Dari hasil pengamatan terlihat bahwa penggunaan suhu
pemasakan yang lebih rendah menyebabkan tingkat blackspot yang
semakin tinggi. Secara lebih rinci dapat dilihat pada Gambar 27. Dari
diagram batang tersebut dapat dilakukan uji statistik korelasi
(Lampiran 3c)
Gambar 27. Pengaruh penggunaan suhu pemasakan yang lebih
rendah terhadap blackspot
Diagram batang diatas memperlihatkan bahwa perlakuan
penggunaan suhu yang lebih rendah menyebabkan tingkat
70
kemunculan blackspot menjadi lebih tinggi. Hal ini diperjelas dari
hasil uji statistik korelasi yang nilainya -0.711, nilai negatif
menunjukkan bahwa dengan turunnya suatu komponen, berarti akan
menaikkan komponen yang lain sedangkan nilai 0.711 lebih besar dari
0.05 berarti nilai tersebut menunjukkan hubungan yang kuat. Dalam
hal ini komponen yang mengalami penurunan adalah suhu dan yang
naik adalah blackspot. Namun, tingkat paling kecil kemunculan
blackspot pada perlakuan penggunaan suhu yang lebih rendah adalah
95°C yaitu sekitar 0.03% atau hanya 1 udang dari seluruh sampel
pemasakan sehingga penggunaan suhu yang lebih rendah menjadi
95°C dapat diaplikasikan.
Hasil penelitian diatas menunjukkan bahwa tingkat kemunculan
blackspot yang tinggi terjadi pada penggunaan suhu pemasakan 90°C.
Blackspot terjadi akibat reaksi biokimia dan dikatalisis oleh enzim
Polyphenol Oksidase (PPO). Secara rinci, reaksi terjadinya blackspot
dapat dilihat pada Gambar 28.
Gambar 28. Reaksi terjadinya blackspot (Walker, 1977)
Gambar diatas memperlihatkan bahwa enzim PPO berperan
dalam mengkatalisis proses terjadinya oksidasi dari senyawa
monophenol yang ada secara alami pada udang. Hasil oksidasi ini,
berupa senyawa o-quinone, kemudian akan berikatan dengan komplek
asam amino dari udang untuk membentuk senyawa melanin yang
71
berwarna hitam. Peran enzim PPO dalam proses tersebut dapat
diinaktivasi melalui proses pemanasan (termal).
Pada udang Litopenaeus vannamei, suhu optimum enzim PPO
adalah 45°C dan 50°C. Enzim PPO tidak akan stabil pada suhu diatas
40°C dan 45°C (Thepnuan, 2006). Pada umumnya, PPO pada produk
pangan terdestruksi aktivitas katalitiknya pada suhu 70°C - 90°C
(Vamos dan Vigyazo, 1981). Berdasarkan hal tersebut, pemasakan
pada suhu 90°C seharusnya sudah mampu menginaktivasi PPO
penyebab terjadinya blackspot, namun karena penggunaan waktu
pemasakannya yang hanya 155 detik / ±2.5 menit (hasil penelitian
pendahuluan) maka PPO tidak tereduksi secara sempurna. Menurut
Svensson (1977) untuk polyphenol oksidase pada kisaran suhu 85-
90°C, dibutuhkan waktu 1-8 menit untuk mendestruksi 90 % aktivitas
katalitik suatu enzim (nilai D) dan menurut Ma et al. (1992) proses
blanching yang dibutuhkan untuk mengurangi jumlah blackspot pada
produk pangan adalah suhu 100°C selama 3 menit dan suhu 94°C
selama 5 menit. Nilai D untuk enzim PPO adalah 50 detik (Lihat
Gambar 29 Secara lebih rinci, inaktivasi termal pada beberapa enzim
dapat dilihat pada Gambar 29.
Gambar 29. Inaktivasi termal dari beberapa enzim pada produk
pangan (Svensson, 1977)
72
2. Penelitian Lanjutan (aplikasi dalam skala produksi)
Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan, dipilih suhu 95°C
dengan waktu pemasakan 120 detik menjadi penggunaan suhu dan waktu
pemasakan yang optimal dari semua perlakuan yang diberikan dengan
tingkat cooking loss dan blackspot yang minimal serta kematangan yang
maksimal. Hasil ini kemudian diaplikasikan dalam skala produksi. Secara
rinci, hasil aplikasi dalam skala produksi pada suhu 95°C dengan waktu
pemasakan 120 detik untuk produk CTO size 41-45 dapat dilihat pada
Tabel 9.
Tabel 9. Hasil aplikasi dalam skala produksi
Suhu
(°C)
Waktu
(detik)
Kematang-
an (%)
Rata-
rata
Cooking
Loss
(%)
Blackspot (%)
Setelah
Pemasak-
an
Simpan
1 hari
Simpan
3 hari
95
120 100 5.27 0.072 0.215 0.286
Dari data diatas, dapat dilihat bahwa blackspot muncul setelah
pemasakan sebesar 0.32%, setelah disimpan 1 hari sebesar 0.215%, dan
setelah disimpan 3 hari sebesar 0.286%. Nilai blackspot tersebut tidak
sesuai dengan standar PT. CPB untuk blackspot yaitu 0%. Blackspot
menyebabkan produk ditolak konsumen sehingga produk akhir harus
bebas dari blackspot. Sedangkan cooking loss yang didapat (5.27%)
masih dibawah cooking loss pada metode penggunaan suhu 98°C-99°C
(7.99%) sehingga target yang diinginkan sudah dapat terpenuhi. Hasil
penelitian akhir dapat dilihat pada Lampiran 6 .
Menurut FDA (2005), aspek penting yang harus diperhatikan
dalam proses pemasakan adalah lamanya siklus pemasakan; suhu steam,
73
air atau media lain yang digunakan sebagai sumber panas; distribusi
panas pada mesin; ketebalan produk; suhu pusat bahan pangan sebelum
dilakukanya proses pemasakan; ketepatan menggunakan thermocouple;
dan ketepatan dalam memonitoring waktu pemasakan.
2. Validasi Proses Pemasakan terhadap Inaktivasi Bakteri Listeria
monocytogenes
a. Hasil Perhitungan Nilai Fo
Nilai Fo suatu proses pemanasan didapat dari akumulasi Nilai Fo
setiap suhu per satuan waktu. Secara lebih rinci, diagram perjalanan suhu
pusat selama pemasakan pada proses validasi dan proses produksi dapat
dilihat pada Gambar 30, Gambar 31, dan Gambar 32.
Gambar 30. Diagram perjalanan suhu pusat udang selama pemasakan 60
detik produk CTO (ulangan ke-1)
Gambar 31. Diagram perjalanan suhu selama pemasakan 60 detik
produk CTO (ulangan ke-2)
74
Gambar 32. Diagram perjalanan suhu selama pemasakan 80 detik
produk CTO (sampel proses produksi)
Dari diagram tersebut kemudian ditentukan derajat letalitas atau
Nilai Fo dari proses pemasakan tersebut. Hasil perhitungan menunjukkan
bahwa Nilai Fo (menit) pada pemasakan 60 detik ulangan ke-1 sebesar
0.02 dan Nilai Fo pada ulangan ke-2 nya sebesar 0.05 sedangkan Nilai
Fo pemasakan selama 80 detik sebesar 1.14. Suhu dan waktu referensi
yang dipakai dalam menginaktivasi Listeria monocytogenes yaitu 80°C
selama 0.09 menit (FDA, 2001). Hal ini berarti Nilai Fo pada validasi
lebih kecil dibandingkan dengan Nilai Fo pada proses pemasakan di
produksi dan juga lebih kecil dari Nilai Fo yang telah distandarkan FDA
yaitu 0.09. Secara rinci, hasil perhitungan Nilai Fo ini terdapat pada
Lampiran 7a, 7b, 7c.
b. Hasil Analisis Kualitatif Bakteri Listeria monocytogenes
Analisa kualitatif bakteri Listeria monocytogenes dilakukan
sebelum pemasakan dan setelah pemasakan. Perlakuan yang diberikan
sebelum pemasakan adalah kontrol negatif dan kontrol positif. Kontrol
positif digunakan untuk memastikan bahwa Listeria monocytogenes
”ada” setelah tahap inokulasi dilakukan dan kontrol negatif digunakan
untuk memastikan bahwa bahan baku udang yang dipakai tidak
mengandung Listeria monocytogenes sebelum tahap inokulasi dilakukan.
Sedangkan sampel produk udang yang dianalisa setelah pemasakan yaitu
Secara lebih rinci, hasil uji ini dapat dilihat pada Tabel 10.
75
Tabel 10. Hasil analisis kualitatif bakteri Listeria monocytogenes pada
produk udang sebelum pemasakan
Perlakuan PAL- CAM
Uji Motilitas (MTM)
Uji Karbohidart L.mono cytogenes Dex-
trosa Xy- losa
Man- nitol
Mal- tosa
Kontrol negatif - -
Kontrol positif + + + - - + +
Tabel 11. Hasil analisis kualitatif bakteri Listeria monocytogenes pada
produk udang setelah pemasakan
Perlakuan PAL- CAM
Uji Motilitas (MTM)
Uji Karbohidart L.mono cytogenes Dex-
trosa Xy- losa
Man- nitol
Mal- tosa
Pemasakan 60 detik (U1) + - + - - - -
Pemasakan 60 detik (U2) + + - - - - -
Tabel diatas meperlihatkan bahwa hasil analisis kualitatif Listeria
monocytogenes pada kontrol negatif adalah negatif, kontrol positif adalah
positif dan pada ulangan ke-1 dan ulangan ke-2 adalah negatif. Tahapan
analisis dimulai dari pengamatan pada media spesifik agar (PALCAM).
Pada media ini terlihat hanya kontrol negatif yang hasil analisisnya
negatif sedangkan perlakuan 1 menit (U1 dan U2) hasilnya positif serta
kontrol positif hasilnya positif sehingga kemungkinan adanya bakteri ini
terdapat pada ketiga keadaan tersebut. Hasil dari media spesifik ini belum
menentukan ada tidaknya bakteri Listeria monocytogenes karena harus
diuji lanjut (konfirmasi) berupa uji biokimia dan uji motilitas. Khusus
untuk perlakuan kontrol negatif tidak diuji lebih lanjut karena dari hasil
uji pada media PALCAM dapat disimpulkan bahwa pada Kontrol Negatif
tidak mengandung bakteri Listeria monocytogenes. Koloni yang
terbentuk pada media ini berupa warna hijau pudar keabu-abuan dan
dikelilingi area hitam (BAM, 2000). Pada tahap ini juga dilakukan
konfirmasi dari kultur segar untuk memastikan bahwa bakteri yang
diinokulasi merupakan Listeria monocytogenes. Setelah dilakukan
pengujian terlihat bahwa bakteri yang terdapat pada kultur segar
76
merupakan bakteri Listeria monocytogenes. Hal ini terlihat dengan
terbentuknya koloni warna hijau pudar keabu-abuan dan dikelilingi area
hitam. Secara rinci, hasil analisa sampai media spesifik agar (PALCAM)
untuk perlakuan pemasakan 60 detik (U1 dan U2), Kontrol Positif,
Kontrol Negatif, dan kultur segar dapat dilihat pada Gambar 31.
A B
Gambar 33. Hasil uji pada media spesifik agar (PALCAM) (A= U1, U2,
kontrol positif, dan kontrol negatif; B= Kultur Segar)
Uji motilitas pada Motility Test Medium (MTM) dilakukan untuk
menguji dari media PALCAM apakah koloni spesifik yang terbentuk
mempunyai sifat motil yang merupakan salah satu ciri khas dari bakteri
Listeria monocytogenes. Dari hasil analisa, tergambar bahwa hanya
Kontrol Positif dan Ulangan ke-2 (U2) dari pemasakan 1 menit yang
bermotil. Ciri motil yang terbentuk seperti payung (BAM, 2000). Hasil
analisa pada media MTM untuk pemasakan 1 menit (U1 dan U2) dan
Kontrol Positif dapat dilihat pada Gambar 32.
(U1) (U2) (Kontrol Positif)
Bentuk seperti payung
77
Gambar 34. Hasil uji motilitas
Uji biokimia dilakukan untuk memastikan bahwa koloni yang
terbentuk pada media spesifik merupakan koloni bakteri Listeria
monocytogenes. Uji biokimia yang dilakukan yaitu dextrosa, xylosa,
mannitol, dan maltosa. Listeria monocytogenes bereaksi positif dengan
dextrosa dan maltosa sedangkan dengan xylosa dan mannitol bereaksi
negatif. Reaksi positif ditunjukkan dengan menghasilkan asam tanpa
adanya gas (BAM, 2000). Hasil uji yang dilakukan menunjukkan bahwa
hanya Kontrol Positif saja yang menunjukkan sifat biokimia tersebut.
Secara rinci, hasil uji biokimia ini bisa dilihat pada Gambar 33.
(U1)
A B C D
(U2)
A B C D
(Kontrol Positif)
78
A B C D
Gambar 35. Uji biokimia pada U1, U2, dan kontrol positif
(A=dextrosa, B=xylosa, D=mannitol dan
C=maltosa)
Hasil akhir dari analisa kualitatif ini menunjukkan bahwa semua
perlakuan yang diberikan (U1 dan U2) menghasilkan prduk udang yang
negatif terhadap adanya bakteri Listeria monocytogenes. Hasil analisa
pada kontrol positif adalah positif, yang menunjukkan bahwa bakteri
Listeria monocytogenes “ada” setelah tahap inokulasi dilakukan
sedangkan hasil analisa pada kontrol negatif adalah negatif, yang
menunjukkan bahwa bahan baku udang yang dipakai pada proses validasi
ini awalnya memang “tidak ada” bakteri ini sebelum tahap inokulasi
dilakukan.
c. Hubungan antara Hasil Nilai Fo dan Hasil Analisis Kualitatif Bakteri
Listeria monocytogenes
Hasil perhitungan Nilai Fo (menit) pada perlakuan pemasakan 60
detik ulangan ke-1 (U1) adalah 0.02, sedangkan pada perlakuan
pemasakan 60 detik ulangan ke-2 (U2) adalah 0.05. Nilai Fo tersebut
lebih kecil dari Nilai Fo sampel proses produksi dengan waktu
pemasakan 80 detik sebesar 1.14. Hasil analisis kualitatif bakteri Listeria
monocytogenes menunjukkan negatif pada semua perlakuan (U1 dan U2).
Apabila dihubungkan data dari hasil kedua analisa tersebut, terlihat
bahwa proses pemasakan dengan Nilai Fo sebesar 0.02 dan 0.05
Reaksi positif (keruh)
Reaksi negatif (bening)
79
menghasilkan produk udang dengan hasil negatif terhadap bakteri
Listeria monocytogenes. Hasil yang negatif menunjukkan bahwa proses
pemasakan dengan Nilai Fo tersebut mampu untuk menginaktifasi bakteri
Listeria monocytogenes. Hal ini dapat dibuat kesimpulan bahwa dengan
Nilai Fo (derajat letalitas) yang lebih kecil dari sampel sudah mampu
menginaktivasi bakteri Listeria monocytogenes sehingga bisa dipastikan
bahwa proses pemasakan yang sedang berlangsung di dalam proses
produksi mampu untuk menginaktivasi bakteri Listeria monocytogenes.
Hal tersebut sesuai dengan yang telah distandarkan oleh Eropa Comission
(EC, 2005) dan International Commision on Microbial Specification for
Foods (ICMSF, 1996) bahwa batas keberadaan bakteri Listeria
monocytogenes pada produk udang masak beku adalah negatif.
Kemampuan menginaktivasi ini sangat bergantung kepada
ketahanan bakteri itu sendiri terhadap pengaruh proses pemanasan.
Menurut Buckle et al., (1985) faktor-faktor yang mempengaruhi
ketahanan mikroorganisme dan spora-sporanya terhadap pengaruh proses
pemanasan yaitu: 1.) Umur dan keadaan organisme atau spora sebelum
dipanaskan; 2.) Komposisi medium dimana organisme atau spora itu
tumbuh; 3.) pH dan Aw media pemanasan; 4.) Suhu pemanasan; 5.)
Konsentrasi awal organisme atau sporanya. Menurut Frazier (1967)
pembunuhan mikroorganisme melalui pemanasan diduga karena
pemanasan dapat menyebabkan koagulasi protein pada bakteri dan
khususnya dapat menginkatifasi enzim yang dibutuhkan untuk
metabolisme bakteri.
80
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Pada penelitian pendahuluan ini dilakukan pengujian pemasakan
dengan 3 suhu pemasakan yang lebih rendah yaitu: 85°C, 90°C, dan 95°C.
Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa untuk estimasi waktu
pemasakan produk Peeled Cooked pada suhu 85°C tidak dapat ditetapkan
karena tidak mencapai tingkat kematangan maksimal pada waktu
pemasakan terlama. Sedangkan pada suhu 90°C dengan produk yang
sama, kisaran waktu pemasakan yang ditetapkan yaitu 140-165 detik.
Waktu pemasakan optimal yang diambil dari kisaran tersebut adalah 155
detik berdasarkan kematangan yang maksimal (100%) dan % cooking loss
yang paling rendah (5.27%). Namun setelah diuji blackspot pada produk
udang berkulit (Cooked Tail-On) atau CTO diperoleh kemunculan
blackspot setelah pemasakan sebesar 0.32%, setelah disimpan 1 hari
sebesar 2.15%, dan setelah disimpan 3 hari sebesar 3.66%. Nilai blackspot
tersebut tidak sesuai dengan standar PT. CPB untuk blackspot yaitu 0%.
Berdasarkan hal tersebut maka analisa selanjutnya untuk penggunaan suhu
90°C tidak dilakukan. Pengujian pemasakan pada suhu 95°C dengan
produk CTO menghasilkan kisaran waktu pemasakan 110-120 detik
dengan waktu optimal pada 120 detik berdasarkan kematangan yang
maksimal (100%) dan blackspot yang paling rendah (0.00%-0.04%). Mutu
organoleptik (kenampakan, aroma, tekstur, dan rasa) dari kisaran waktu
tersebut tidak berbeda nyata. Sebagai pembanding, dilakukan pengambilan
sampel produksi pada suhu 98°C-99°C dengan hasil kematangan maksimal
(100%), cooking loss sebesar 7.99%, dan blackspot 0%. Dari semua data
yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa semakin rendah suhu pemasakan,
semakin lama waktu yang diperlukan untuk pemasakan, semakin kecil
cooking loss tetapi semakin tinggi frekuensi terjadinya blackspot.
Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan, dipilih suhu 95°C
dengan waktu pemasakan 120 detik menjadi penggunaan suhu dan waktu
pemasakan yang optimal dari semua perlakuan yang diberikan. Hasil ini
kemudian diaplikasikan dalam skala produksi. Hasil dari penelitian dalam
81
skala produksi ini adalah nilai blackspot setelah pemasakan sebesar
0.072%, setelah disimpan 1 hari sebesar 0.215%, dan setelah disimpan 3
hari sebesar 0.286%. Nilai blackspot tersebut tidak sesuai dengan standar
PT. CPB untuk blackspot yaitu 0%. Blackspot menyebabkan produk
ditolak konsumen sehingga produk akhir harus bebas dari blackspot.
Sedangkan cooking loss yang didapat sebesar 5.27%, masih dibawah
cooking loss pada metode penggunaan suhu 98-99°C (7.99%) sehingga
target yang diinginkan sudah dapat terpenuhi.
Hasil validasi proses pemasakan terhadap inaktivasi bakteri
Listeria monocytogenes menunjukkan bahwa perlakuan pemasakan selama
60 detik dengan Nilai Fo (menit) sebesar 0.02 (U1) dan 0.05 (U2) mampu
untuk menginaktivasi bakteri Listeria monocytogenes. Nilai Fo proses
pemasakan produksi dengan waktu pemasakan 80 detik produk CTO
sebesar 1.14. Hasil ini dapat dibuat kesimpulan bahwa Nilai Fo (derajat
letalitas) yang lebih kecil dari sampel produksi mampu untuk
menginaktivasi bakteri Listeria monocytogenes sehingga bisa dipastikan
bahwa proses pemasakan yang sedang berlangsung di dalam proses
produksi mampu untuk menginaktivasi bakteri ini.
B. SARAN
1. Penggunaan suhu pemasakan yang lebih rendah pada mesin
Cabinplant cooker untuk produk-produk udang tanpa kulit (shell-off)
mengingat masih adanya kemungkinan munculnya blackspot pada
produk udang dengan kulit (shell-on).
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan penggunaan suhu
pemasakan yang lebih rendah pada produk-produk udang selain
Cooked Tail-On (CTO) dan Peeled cooked (CP) serta size selain 41-50
untuk memperoleh standarisasi yang tepat.
3. Perlu dilakukan lagi validasi proses pemaasakan terhadap inaktivasi
bakteri Listeria monocytogenes dengan perlakuan pemanasan yang
lebih minimal (kurang dari 1 menit) untuk melihat batas minimal
perlakuan panas yang mampu untuk menginaktivasi bakteri ini.
82
DAFTAR PUSTAKA
Anonim a. 2001. Laitram Machinery FC200 Series (Forced Convection Central Cooker) www. Laitrammachinery.com [21 Januari 2008]
Anonim b. 2007. http://textbookofbacteriology.net/Listeria.html.1 . [1 Oktober
2007] Anonim c. 1992. Safer Cooked Meat Production Guidelines. A 10 Point Plan,
Departement of Health, London. In Blackburn, Clive de W., Peter J. McClure (ed). 2002. Foodborne Pathogen. Woodhead Publishing Limited, Cambridge London
AOAC Official Methode 976. 16. 2000. Cooking Seafood Product. United States
Standards. International, USA AOAC. 1995. Official Methods of Analysis on The Association of Official
Agriculture Chemistry. Association of Agriculture Chemistry, Washington, D.C.
International. USA. In Gosner, K.L. 1971. Guide to Identification of Marine and Estuarine Invertebrates. Wiley Interscience, N. Y
Augustin, Jean-Cristophe, Agnes Brouillaud-Delattre, Laurent Rosso, and Vincent
Carlier. 1999. Significance of inoculum size in the lag time of Listeria monocytogenes. Appl Environ Microbial. 2000-April. 66(4): 1706-1710
Aziz, M. Amin. 1993. Agroindustri Ikan Tuna dan Udang Prospek Pengembangan
Pada PJPT II. Bangkit, Jakarta Bailey, M. E, Fieger E. A, and Novak A. F. 1960. Psyco-chemical properties of
the enzymes involved in shrimp melano-genesis. Food Research 25, 557-564. di dalam Ilyas, Sofyan. 1993. Teknologi Refrigerasi Hasil Perikanan Jilid I Teknik Pendinginan Ikan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Jakarta
Bell, Chris and Alec Kyriakides. Listeria monocytogenes. In Blackburn, Clive de
W. and Peter J. McClure (ed). 2002. Foodborne Pathogen. Woodhead Publishing Limited, Cambridge London
Biro Pusat Statistik. 2007. http://www.kompas.com/kompas-
cetak/0608/05/Fokus/2858773.htm [28 Desember 2007] Boerlin, P, Rocourt J, Grimont P et al., 1992. Listeria ivanovii subsp.
Londoniensis subsp. Nov, International Journal of Systematic Bacteriology. 42 (1) 69-73. In Blackburn, Clive de W., Peter J.
McClure (ed). 2002. Foodborne Pathogen. Woodhead Publishing Limited, Cambridge London
Buckle, K. A, R. A. Edwards, G. H. Fleet, and M. Wootton.Hari Purnomo dan
Adiono (Penerjemah) 1985. Ilmu Pangan. Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta
Crowly, Michael. 2001. Cookers: Whether Shellfish, Finfish or Value-added Products, Cooking Seafood is Getting Easier All The Time. In 1999. Seafood Magazine.
EC No 2073. 2005. http://Eropa.eu.int/comm/food. Fardiaz, Dedi. 1996. ORASI ILMIAH Proses Termal dalam Pengendalian Tahap
Pengolahan Kritis untuk Menjamin Keamanan Pangan. Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor, Bogor
Farber, Jeffrey M dan Peterkin, Pearl I. 2000. Listeria monocytogenes. In Lund,
Barbara M, Tony C. Baird-Parker, and Grahame W. Gould (ed). The Microbiological Safety and Quality of Food Volume III. Aspen Publishers, Inc, Gaithersburg, Maryland
FDA, 2005. Food Code. U. S. Food and Drug Administration. Public Health
Service. College park. MD. 20740 FDA, 2001. Pathogen survival through cooking. Ch. 16. In Fish and Fishery
Products Hazards and Controls Guidance, 3rd ed., p. 209-218. Food and Drug Administration, Center for Food Safety and Applied Nutrition, Office of Seafood, Washington, DC
Frazier, W. C and D. C. Westhof. 1967. Food Microbiology. McGraw Hill Book
Co, New York ICMSF. 1996. Microbiologycal criteria for cooked, ready to-eat shrimp and
crabmeat. Journal Food Technology pp 157-160 Ilyas, Sofyan. 1993. Teknologi Refrigerasi Hasil Perikanan Jilid I Teknik
Pendinginan Ikan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Jakarta
Jay, J M. 1996. Prevalance of Listeria spp. in meat and poultry products, food
control, 7 (4/5) 209-14. In Blackburn, Clive de W. and Peter J. McClure (ed). 2002. Foodborne Pathogen. Woodhead Publishing Limited, Cambridge London
Kozak J. Balmer T, Byrne R et al., 1996. Prevalence of Listeria monocytogenes in foods: incidence in dairy products, food control, 7 (4/5) 215-21. In Blackburn, Clive de W. and Peter J. McClure (ed). 2002. Foodborne Pathogen. Woodhead Publishing Limited, Cambridge London
Lund, D. B. 1984. Impact Of Industrial Cooking Of Foods On Its Nutritional and
Quality Characteristic. In Zeuthen, P.,J.C. Cheftel, C.Eriksson, M. Jul. H. Leniyer, P. Linko, G. Varela, G. Vos. Thermal Processing and Quality of Food. Elseiver Applied Science Publisher, New York
Lund, D. B. 1989. Bagian 1 Pengaruh Pengukusan, Pasteurisasi, dan Pensterilan
terhadap Zat Gizi. di dalam Evaluasi Gizi Pada Pengolahan Bahan Pangan E. Karmas dan R. S. Harris (ed) Suminar Achmadi (Penerjemah). Penerbit ITB, Bandung
enzymatic darkening in frozen food by water blanching: Relationship among darkening, phenols, and polyphenol oxidase activity. Journal Agriculture Food Chemistry., 40: 864-867
Mendez, I. M dan J. M. Gallardo Abuin. 2006. Thermal Processing of Fishery
Products. In Da-Wen Sun (ed). Thermal Food Processing. CRC Press , Boca Raton Florida USA
Murphy R. Y, Marks B. P, Johnson E. R et al., 1999. Inactivation of Salmonella
and Listeria in ground chicken breast during thermal processing, Journal of Food Protection, 2 (9) 980-5. In Blackburn, Clive de W. and Peter J. McClure (ed). 2002. Foodborne Pathogen. Woodhead Publishing Limited, Cambridge England
PT. CPB. 2006. Prosedur Kerja Analisa Organoleptik. PK 8.5 LB 21. PT CPB. 2007. Spesifikasi Vannamei Cooked Tail-On IQF. SP. 7. 2. AI. 131. 08 PT CPB. 2007. Spesifikasi Vannamei Peeled and Cooked Tail Off IQF. SP. 7. 2.
AI. 215. 01 Ray, Bibek. 2000. Fundamental Food Microbiology Third Edition. CRC Press,
Boca Raton Florida USA Schothorst, M. Van. 2002.Implementing The Results of A Microbiological Risk
Assessment: Pathogen Risk Management. In Microbiological Risk Assessment In Food Processing. Martyn Brown and Mike Stringer (ed). Woodhead Publishing Limited, Cambridge England
85
Stephens, P. 2003. Culture Methods. In Detecting Pathogens in Foods. Thomas A. McMeekin (ed). Woodhead Publishing Limited, Cambridge England
Supardi, Imam dan Sukamto. 1999. Mikrobiologi dalam Pengolahan dan
Keamanan Pangan. Penerbit Alumni, Bandung Svensson, S. 1997. Inactivation of Enzymes during Thermal Processing. Di dalam
T. Hoyem & O. Kvale, eds. Physical, Chemical, and Biological Changes in Food Caused by Thermal Processing, p. 202-217. London, Applied Science Publishers
Thepnuan, Ruangnalin. 2006. Characterization of polyphenoloxidase and
proteaseas proteases from black tiger and white shrimps. Journal of Food Technology, 20:203-217
Vámous and Vigyázó, L. 1981. Polyphenoloxidase and peroxidase in food. Rev.
Food Science Nutrition., 15: 49-127 Walker. 1997. Enzymatic Browning in Foods. Its Chemistry and Control. The
AVI Publishing Company, Inc. Westport Connecticut, U.S.A Winarno, F.G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta Wirakartakusumah, M.A., Djoko Hermanianto, dan Nuri Andarwulan. 1989.
Prinsip Teknik Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor, Bogor
Zeuthen., P, J.C. Cheftel, C. Eriksson, M. Jul, H. Leninger. 1987. Thermal
Processing and Quality of Foods. Elsevier Applied Science Publishers. London and New York
86
Lampiran 1a. Hasil uji LSD pengaruh penggunaan suhu yang lebih rendah terhadap waktu pemasakan
SourceCorrected ModelInterceptPANELISErrorTotalCorrected Total
Type III Sumof Squares df Mean Square F Sig.
R Squared = .182 (Adjusted R Squared = .000)a.
88
Lampiran 3. Form pengujian organoleptik
Uji Organoleptik Cook Product Before Freezing Tanggal : Nama : Instruksi :
• Dihadapan Anda terdapat sampel. Beri nilai (skoring) berdasarkan kriteria yang telah ditentukan (lihat di lembar yang telah tersedia).
• Tuliskan terlebih dahulu semua kode sampel di tempat yang telah disediakan.
• Pencicipan sampel hanya diperbolehkan satu kali, secara beruntun dari kiri ke kanan dan tidak boleh mengulang.
• Netralkan indera pencicipan Anda setiap mencicipi satu sampel dengan air minum.
• Tuliskan skor penilaian Anda terhadap sampel pada kolom yang telah tersedia.
Kriteria penilaian
Kode sampel
Aroma
Kenampakan
Tekstur
Rasa
Terimakasih a. Kenampakan
3 = Mengkilat, terang, bening, antar ruas kokoh, warna asli utuh.
2 = Antar ruas agak renggang, warna sedikit memudar.
1 = Warna berubah, noda hitam banyak.
b. Tekstur
3 = Elastis, kompak, padat dan kenyal.
2 = Sedikit elastis, sedikit rongga, agak berair, mudah untuk dikupas
1 = Membubur, lunak sekali, banyak kehilangan air.
c. Bau
3 = Bau spesifik udang, bau udang segar, seperti bau rumput laut.
2 = Bau netral
1 = Bau amoniak, bau busuk, bau kotoran ayam, bau lumpur, bau apek.
d. Rasa
3= Manis.
2= Hambar.
1= Pahit, sepet, atau asam
89
Lampiran 4. Hasil analisis uji organoleptik
Kode Aroma Penampakan Tekstur Rasa A 3 3 3 3 A 2 3 2 3 A 3 3 3 3 A 3 3 3 3 B 3 3 3 3 B 3 3 3 3 B 3 3 3 3 B 3 3 3 3 C 3 3 3 3 C 3 3 3 3 C 3 1 3 3 C 3 1 3 3
90
Lampiran 5a. Data perjalanan suhu pusat udang selama pemasakan 60 detik dan perhitungan nilai Fo (ulangan ke-1 / U1)