BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Negara Indonesia merupakan negara kesatuan yang terdiri atas
berbagai macam suku bangsa, budaya, dan bahasa. Keanekaragaman
tersebut berpotensi menimbulkan benturan-benturan di dalam
masyarakat sebagai akibat dari adanya perbedaan kepentingan. Guna
mengatasi perbedaan tersebut dibutuhkan adanya peraturan hukum yang
mampu mengatur seluruh perikehidupan masyarakat dalam rangka
mewujudkan rasa keadilan.
Hukum sebagai agent of change dalam kehidupan masyarakat memang
semestinya dapat mengatasi atau setidaknya telah mewaspadai segala
bentuk perubahan sosial maupun kebudayaan yang menggejala di
masyarakat yang kompleks sekalipun. Sekalipun konsep-konsep hukum
tersebut tidak sepenuhnya dipahami oleh masyarakat, tetapi hukum
itu sendiri tetap eksis dalam konteks yang lebih universal. Hal ini
tidak lain karena masyarakat umum yang menghendaki atau menciptakan
suatu perubahan, meskipun tidak diiringi dengan pemahaman konsep
yang menyeluruh. Akibat yang terjadi adalah implementasi hukum di
dalam masyarakat menjadi tidak optimal. Tidak jarang perangkat
hukum tersebut justru disalahgunakan untuk maksud maupun tujuan
tertentu yang justru memiliki tendensi untuk keuntungan pribadi
atau golongan.
Sistem hukum suatu negara terbentuk dari pertumbuhan tata nilai
hukum yang berlaku dalam masyarakat dan organisasi alat
perlengkapan negara penegak hukum itu sendiri. Pandangan sejarah,
sosial-ekonomi, filsafat, dan politik bangsa merupakan sumber yang
menentukan terbentuknya pola sistem hukum dan politik hukum.
Negara Republik Indonesia adalah negara berdasarkan hukum.
Ketentuan ini tercantum dalam penjelasan Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia 1945 (selanjutnya disingkat UUD 1945) yang
secara tegas menyatakan bahwa, Negara Indonesia berdasar atas hukum
(rechtstaat) tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machstaat).
Dalam ketentuan hukum, khususnya Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) dikenal beberapa bentuk sanksi yang dapat dijatuhkan
terhadap pelaku-pelaku pelanggaran dan atau kejahatan, yaitu pidana
pokok dan pidana tambahan yang mana pidana pokok itu meliputi
pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, dan
pidana tutupan. Sedangkan yang termasuk pidana tambahan, yaitu
pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan
pengumuman putusan hakim. Berdasarkan bentuk-bentuk sanksi pidana
yang tersebut di atas, maka yang paling banyak diterapkan terhadap
pelaku kejahatan adalah pidana penjara.
Kemudian mengenai berat ringannya sanksi atau hukuman yang
diberikan kepada pelaku itu sangat tergantung pada jenis tindak
pidana yang mereka lakukan. Kalau jenis tindak pidana yang mereka
lakukan hanya dalam bentuk pelanggaran, maka tentunya sanksi yang
diberikan juga ringan akan tetapi kalau jenis tindak pidana yang
dilakukannya itu tergolong kejahatan maka tentunya sanksi pidananya
juga akan berat. Hal tersebut diatur dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) dan beberapa peraturan perundang-undangan yang
lain.
Salah satu agenda reformasi yang digulirkan oleh pemerintah
adalah pemberantasan tindak pidana korupsi. Korupsi merupakan
masalah yang sangat besar dan ruwet yang dihadapi oleh negara
sekarang ini. Korupsi sendiri merupakan suatu penyakit dalam
masyarakat dan merupakan suatu hal yang dapat menghambat jalannya
pembangunan di negara ini yang harus diberantas. Salah satu sarana
untuk melakukan pemberantasan korupsi itu adalah pengaturan hukum
yang menjadi dasar untuk memberantasnya. Korupsi sebagai kejahatan
luar biasa yang perlu penanganan dan penindakan besar-besaran pula
terbukti dengan terbentuknya Tim Pemberantasan Korupsi, yakni
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).Pemberlakuan Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang
kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 merupakan
langkah konkrit dari pemerintah sebagai upaya untuk memberantas
kejahatan korupsi di Indonesia. Selain itu, Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
dilahirkan untuk mendukung upaya pemberantasan korupsi tersebut.
Dengan adanya KPK, maka diharapkan Negara Republik Indonesia dapat
bersih dari kejahatan korupsi.Hukum sebagai norma dasar yang
bersanksi diharapkan dapat memberikan perlidungan, keteraturan,
ketertiban dan keamanan dalam lingkungan masyarakat. Karenanya, hal
tersebut menjadi sangat penting untuk mendapat perhatian yang
serius bagi pemerintah di dalam menjalankan atau melakukan
penegakan hukum. Tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia
sudah berlangsung sejak lama hingga saat ini dan belum tuntas
diberantas. Bahkan banyak pelaku korupsi yang kemudian diputus
bebas oleh pengadilan. Mungkin terlalu cepat menghukumi bahwa hukum
pun telah terjangkiti virus korupsi, tetapi mungkin itulah yang
terjadi di Indonesia sekarang ini. Ironisnya, tindak pidana korupsi
bahkan dianggap sebagai kejahatan yang paling keren dibandingkan
kejahatan-kejahatan lainnya padahal kejahatan ini adalah kejahatan
yang mencuri uang negara. Banyak pelaku korupsi yang merasa bangga
ketika mereka mencuri uang negara.Penerapan sanksi pada tindak
pidana korupsi yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan dan bahkan divonis bebas membuat seakan-akan
peraturan-peraturan hukum yang mengatur mengenai pemberantasan
tindak pidana korupsi tidak evektif keberadaannya.Hal inilah yang
kemudian membuat penulis mengangkat judul Tinjauan Hukum
Evektifitas Penerapan Sanksi Dalam Tindak Pidana Korupsi untuk
mengkaji tentang evektifitas penerapan sanksi dalam tindak pidana
korupsi, khususnya pada kasus yang terjadi di Unit Pelaksana Teknis
Dinas (UPTD) Wilayah I Makassar Dipenda Propinsi Sulawesi
Selatan.B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka rumusan
masalah yang akan dipecahkan adalah :
1. Bagaimanakah efektivitas penerapan sanksi dalam tindak pidana
korupsi?2. Faktor-faktor apakah yang berpengaruh terhadap penerapan
sanksi dalam tindak pidana korupsi?C. Tujuan dan Kegunaan
Penelitian
Adapun tujuan peleitian adalah :
1. Untuk mengetahui efektivitas penerapan sanksi dalam tindak
pidana korupsi.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
penerapan sanksi dalam tindak pidana korupsi.Adapun kegunaan
penelitian adalah:1. Sebagai masukan bagi aparat penegak hukum
dalam menangani tindak pidana korupsi.
2. Sebagai bahan masukan bagi mahasiswa hukum yang ingin
meneliti lebih jauh mengenai tindak pidan korupsi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian dan Unsur-Unsur Delik
1. Pengertian Delik
Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas terhadap masalah yang
akan dibahas, akan dikemukakan terlebih dahulu pengertian delik.
Menurut Wirjono Prodjodikoro (1989:55), bahwa:
Tindak pidana atau dalam Bahasa Belanda strafbaarfeit, yang
sebenarnya merupakan istilah resmi dalam Wetboek van Strafrecht
atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yang sekarang berlaku di
Indonesia ada istilah dalam bahasa asing, yaitu delict yang berarti
suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukum pidana dan
pelaku ini dapat dikatakan merupakan subjek tindak pidana.
Pandangan di atas tampak lebih setuju dengan istilah
strafbaarfeit yang diartikan dengan kata peristiwa pidana yang
pembuatnya dapat dijatuhi sanksi pidana. Selain itu, adapula yang
berpendapat bahwa delik sama pengertiannya dengan peristiwa pidana,
seperti yang dikemukakan oleh Tresna (Rusli Efendy, 1986:53),
sebagai berikut:
Peristiwa pidana ialah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan
manusia yang bertentangan dengan Undang-undang atau peraturan
perundang-undangan lainnya terhadap perbuatan mana diadakan
tindakan pemidanaan.
Menurut batasan pengertian di atas, delik adalah peristiwa
pidana yang berkaitan dengan rangkaian perbuatan manusia yang
pembuatnya diancam pidana.
Moejatno (1987:55) menerjemahkan strafbaarfeit dengan kata
perbuatan pidana dengan alasan sebagai berikut:
Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu
aturan hukum, larangan mana yang disertai ancaman (sanksi) yang
berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa yang melanggar larangan
tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah
perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana,
asal saja dalam pada itu diingat larangan ditujukan kepada
perbuatan, sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang
menimbulkan kejadian.
Alasan yang dikemukakan oleh Moeljatno berdasarkan penilaian
bahwa antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat.
Antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian tidak dapat
dipisahkan satu dengan yang lainnya, yaitu suatu pengertian abstrak
yang menunjuk pada dua keadaan konkret. Pertama, adanya kejadian
tertentu, dan kedua, adanya orang yang berbuat yang menimbulkan
kejadian itu.
Simons (A.Z. Abidin Farid, 1995:224) mengartikan strafbaarfeit
(terjemahan harafiah: peristiwa pidana) adalah perbuatan melawan
hukum yang berkaitan dengan kesalahan (schuld) seseorang yang mampu
bertanggung jawab.
Menurut Van Hamel (A.Z. Abidin Farid, 1995:225), pengertian
strafbaarfeit adalah:
Perbuatan manusia yang diuraikan oleh undang-undang, melawan
hukum, strafwaardiq (patut atau bernilai untuk dipidana), dan dapat
dicela karena kesalahan (en aan schuld te wijten)
Pengertian strafbaarfeit yang dikemukakan oleh Simons, tampaknya
lebih menekankan pada adanya kesalahan yang meliputi kesengajaan
(dolus), alpa, dan kelalaian (culpa lata). Sementara Van Hamel
mengartikan strafbaarfeit jauh lebih luas, selain kesengajaan,
kealpaan, dan kelalaian, juga kemampuan bertanggung jawab, bahkan,
Van Hamel menilai istilah strafbaarfeit tidak tepat, dan yang lebih
tepat adalah strafwaardigfeit.
Andi Zainal Abidin Farid (1995:230) merumuskan delik sebagai
berikut:
Perbuatan aktif atau pasif, yang melawan hukum formil dan
materiil yang dalam hal tertentu disertai akibat dan/atau keadaan
yang menyertai perbuatan, dan tidak adanya dasar pembenar.
Menurut Andi Zainal Abidin Farid (1995:231), istilah deliklah
yang paling tepat karena:
a. bersifat universal, dan dikenal di mana-mana;
b. lebih singkat, efisien, dan netral. Dapat mencakup
delik-delik khusus yang subjeknya merupakan badan hukum, badan,
orang mati;
c. orang yang memakai istilah strafbaarfeit, tindak pidana, dan
perbuatan pidana juga menggunakan istilah delik;
d. belum pernah penulis menemukan istilah perkara prodoto
(perdata) atau apa yang kita namakan perkara pidana atau perkara
kriminal sekarang (jadi orang salah mengambil istilah prodoto atau
perdata untuk privat); yang pernah penulis temukan ialah istilah
perkara padu sebagai lawan prodoto (C. van Vollenhoven, Het
Adatrecht van Nederlandsch Indie, I:562 dstnya);
e. istilah perbuatan pidana (seperti istilah lainnya) selain
perbuatanlah yang dihukum, juga ditinjau dari segi Bahasa Indonesia
mengandung kejanggalan dan ketidaklogisan, karena kata pidana
adalah kata benda; di dalam Bahasa Indonesia kata benda seperti
perbuatan harus diikuti oleh kata sifat yang menunjukkan sifat
perbuatan itu, atau kata benda boleh dirangkaian dengan kata benda
lain dengan syarat bahwa ada hubungan logis antara keduanya.
Pendapat A.Z. Abidin Farid yang mengistilahkan perbuatan pidana
dengan delik yang penulis gunakan dalam penulisan ini, karena
mempersoalkan manusia sebagai pemangku hak dan kewajiban, yaitu
perbuatan aktif dan perbuatan pasif yang dilarang dan pembuatnya
diancam dengan pidana oleh Undang-undang.
Akhirnya dapat ditarik kesimpulan bahwa terjemahan yang
dipergunakan para ahli hukum pidana di Indonesia adalah
bermacam-macam sebagai berikut:
a. Tindak pidana;
b. Perbuatan pidana;
c. Peristiwa pidana;
d. Perbuatan kriminal, dan
e. Delik.
Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa delik merupakan
suatu perbuatan subjek hukum (manusia dan badan hukum) yang
melanggar ketentuan hukum disertai dengan ancaman pidana (sanksi)
bagi pembuatnya. 2. Unsur-unsur Delik
Setelah mengetahui pengertian delik, maka perlu dikemukakan pula
unsur-unsur delik pada umumnya. Menurut Moeljatno (1983:63),
unsur-unsur delik terdiri atas:a. Kelakuan dan akibat
(perbuatan);
b. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan;
c. Keadaan tambahan yang memberatkan;
d. Unsur-unsur melawan hukum yang objektif;
e. Unsur melawan hukum yang subjektif.
Pendapat Moeljatno tersebut menekankan bahwa unsur-unsur
terjadinya delik yaitu jika adanya perbuatan yang menimbulkan suatu
akibat dan perbuatan tersebut memenuhi unsur melawan hukum yang
subjektif dan objektif. Adapun unsur melawan hukum subjektif yang
dimaksud adalah adanya kesengajaan dari pembuat delik untuk
melakukan suatu perbuatan yang melawan hukum, sedangkan unsur
melawan hukum objektif penilaiannya bukan dari pembuat, tetapi dari
masyarakat.
Lebih lanjut Moeljatno (1993:64) yang menganut pandangan
dualistis terhadap delik, menyatakan bahwa syarat-syarat pemidanaan
terdiri atas perbuatan melawan hukum dan pertanggungjawaban
pembuat:
a. Unsur perbuatan (handlung)
1) Perbuatan yang mencocoki rumusan delik
2) Melawan hukum
3) Tidak ada dasar pembenar
b. Unsur pembuat (handelende)
1) Kemampuan bertanggung jawab
2) Ada kesalahan dalam arti luas, meliputi dolos (sengaja atau
opzet) dan culpa lata (kelalaian)
3) Tidak ada alasan pemaaf
Aliran dualistis tentang delik memandang, bahwa untuk memidana
seseorang yang melakukan delik harus ada syarat-syarat pemidanaan
yang terbagi atas perbuatan (feit) dan pembuat (dealer), karena
masing-masing mempunyai unsur tersendiri.
Andi Zainal Abidin Farid (1981: 171-179) menuliskan unsur delik
menurut pandangan monoisme dan pandangan dualisme sebagai
berikut:
Unsur delik menurut aliran monoisme hanya mengenal unsur
perbuatan dan pembuat sedangkan unsur delik menurut aliran dualisme
yaitu:
a. Perbuatan aktif serta akibat (khusus untuk delik
materiil);
b. Yang melawan hukum yang objektif dan subjektif;
c. Hal ikhwal yang menyertai perbuatan;
d. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana; dan
e. Tak adanya alasan pembenar.
Andi Zainal Abidin Farid (1981:180) sendiri berpendapat bahwa
unsur-unsur delik pada umumnya adalah sebagai berikut:
1. Perbuatan aktif atau pasif;
2. Melawan hukum formil (bertalian dengan asas legalitas) dan
melawan hukum materiil (berkaitan dengan pasal 27 UU No. 14 Tahun
1970 jo. UU No. 35 Tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kekuasaan
Kehakiman);
3. Akibat, yang hanya disyaratkan untuk delik materiil;
4. Keadaan yang menyertai perbuatan yang disyaratkan untuk
delik-delik tertentu (misalnya delik menurut pasal 164 dan 165 KUHP
dan semua delik jabatan yang pembuatnya harus pegawai negeri);
5. Tidak adanya dasar pembenar (merupakan unsur yang diterima
secara diam-diam).
Menurut pendapat di atas, bahwa kalau istilah melawan hukum
tidak disebut di dalam pasal undang-undang pidana, maka ia
merupakan unsur yang diterima secara diam-diam yang tidak perlu
dibuktikan oleh penuntut umum, juga melawan hukum materiil.
B. Pengertian Tindak Pidana Korupsi
Istilah Korupsi berasal dari bahasa latin yakni corruption atau
corruptus yang disalin ke dalam berbagai bahasa. Misallnya disalin
dalam bahasa Inggris menjadi corruption atau corrupt dan dalam
bahasa Belanda disalin menjadi istilah coruptie (korruptie) yang
mengandung arti perbuatan korup atau penyuapan. Agaknya dari bahasa
Belanda itulah lahir kata korupsi dalam bahasa Indonesia (Adam
Chazawi, 2005:1). Martiman Prodjohamidjojo (2001:7) mengatakan
bahwa:
Ada banyak istilah dibeberapa Negara misalnya, gin moung
(Thailand) yang berarti makan bangsa, Rasulah (Malaysia), Oshoku
(Jepang), yang berarti kerja kotor dan Tanwu (Cina) yang berarti
keserakahan bernoda.
Adami Chazawi (2002:2) mengatakan bahwa secara harfiah korupsi
adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat
disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau
ucapan yang menghina atau memfitnah penyuapan. Kemudian Leden
Marpaung (2001:5) mengatakan bahwa arti kata korupsi dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, memuat pengertian korupsi sebagai
penyelewengan atau penggelapan (uang negara) atau perusahaan, dan
sebagainya untuk keuntungan pribadi atau orang lain.
Tidak ada definisi atau pengertian korupsi atau tindak pidana
korupsi dari sudut hukum pidana, baik dalam peraturan
perundang-undangan yang sudah tidak berlaku maupun hukum positif
sekarang. Dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang (Perpu) Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan,
Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi yang pernah
berlaku hanya disebutkan tentang tindak pidana apa saja yang
termasuk tindak pidana korupsi, bukan merumuskan tentang definisi
atau batasan korupsi atau tindak pidana korupsi. Pada permulaan
rumusan Pasal 1 menyatakan bahwa yang disebut tindak pidana korupsi
ialah .... kalimat itu menunjukkan pidana korupsi dan bukan batasan
tindak pidana korupsi. Demikian juga dalam hal Undang-undang Nomor
3 Tahun 1971 penggantinya. Akan tetapi, dalam Undang-undang Nomor
31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 20
Tahun 2001 yang berbeda teknis perumusannya (Adami Chazawi,
2005:1)
Korupsi menurut Transparency Internasional (Badan Pengawasan
Keuangan dan Pembangunan, 1999:274) adalah korupsi mencakup
perilaku dari pejabat-pejabat disebut publik, apakah politikus atau
pegawai negeri, dimana mereka secara tidak benar dan secara
melanggar hukum memperkaya diri sendiri atau pihak lain yang dekat
dengan mereka, dengan cara menggunakan kewenangan public yang
dipercayakan kepada mereka.
Syed Hussaein Alatas (1986:12) menyatakan bahwa :
dengan demikian kita punya tipe-tipe fenomena yang tercakup
dalam istilah korupsi: penyuapan (bribery), pemerasan (extortion),
nepotisme (nepotism). Pada pokoknya ada satu benang merah yang
menghubungkan tipe fenomena itu. Penempatan kepentingan-kepentingan
publik dibawah tujuan-tujuan privat dengan pelangggaran norma-norma
tugas dan kesejahteraan yang dibarengi keserbarahasiaan,
pengkhianatan, penipuan dan pengabdian yang kejam atas setiap
konsekuensi yang diderita oleh publik.
Jika Alatas menggunakan pendekatan sosiologis untuk merumuskan
korupsi, lain halnya dengan Theodore M. Smith (Mubyanto, 1980:60)
yang menggunakan pendekatan politik dan ekonomi, ia menyatakan
bahwa :
Secara keseluruhan, korupsi di Indonesia muncul lebih sering
sebagai masalah politiik daripada masalah ekonomi. Ia menyentuh
keabsahan (legitimasi) pemerintah di mata generasi muda, kaum elit
terdidik dan pegawai pada umumnya. korupsi mengurangi dukungan pada
pemerintah dari kelompok elit di tingkat provinsi dan
kabupaten.
Menurut Mubyanto (....) pendapat Smith sangat tepat, dengan
alasan sebagian besar para koruptor justru berlindung dibalik dalih
bahwa tuduhan yang diarahkan kepadanya politis. Hal ini disebabkan
karena orang-orang yang terlibat dalam kejahatan korupsi, pada
umumnya adalah orang-orang politik yang pernah memperoleh fasilitas
secara tidak wajar ketika memegang kekuasaan.
C. Teori Teori PemidanaanMasalah sanksi merupakan hal yang
sentral dalam hukum pidana karena seringkali menggambarkan
nilai-nilai sosial budaya bangsa dalam artian pidana mengandung
tata nilai (value) dalam suatu masyarakat mengenai apa yang baik
dan apa yang tidak baik, apa yang bermanfaat dan apa yang tidak,
serta mengenai apa yang diperbolehkan dan apa yang dilarang
sebagaimana yang disampaikan oleh M. Sholehuddin (2003:5).
Kata pidana pada umumnya diartikan sebagai hukuman. Sedangkan
pemidanaan yang berasal dari kata pidana diartikan sebagai
penghukuman. Hukuman berkaitan erat dengan akibat dari pelanggaran
hukum pidana yang ditimpakan dalam bentuk penderitaan tertentu bagi
orang yang melanggarnya.
Selanjutnya dalam menguraikan teori pemidanaan ini, penulis
berpatokan pada Wijono Prajodikoro (1981:19-26) dan juga sepenuhnya
oleh Andi Hamzah dan Siti Rahayu (1983:24-28) yang pada garis
besarnya teori pemidanaan adalah sebagai berikut :1.
Negativisme
Terhadap hak memidana ini mungkin ada pendapat bahwa memidana
sama sekali tidak ada, Hazewinkel-suringa mengingkari sama sekali
hak memidana ini dengan keyakinan bahwa mereka, sipenjahat tidak
boleh dilawan dan bahwa musuh tidak boleh dibenci, pengikutnya
antara lain Johannes Huss (1305-1415) seorang gerejawan di
Bohemen.2. Teori Absolut
Sedangkan menurut teori ini, setiap kejahatan harus diikuti
dengan pidana, tidak boleh tidak, tanpa tawar menawar. Seseorang
dapat dipidana oleh karena telah melakukan kejahatan,tidak dilihat
dari akibat yang ditimbulkan dengan dijatuhkannya pidana, tidak
peduli apakah masyarakat mungkin akan dirugikan melihat kemasa
lampau tanpa melihat kemasa depan.
Pembalasan (vergelding) telah banyak dikemukakan sebagai alasan,
untuk menunjuk kejahatan sebagai dasar pidana adakah terpokok pada
pendapat, bahwa pidana itu harus dianggap sebagai pembalasan,
imbalan terhadap orang yang melakukan suatu perbuatan yang jahat.
Oleh karena itu kejahatan itu menimbulkan penderitaan pada orang
yang melakukan perbuatan yang menyebabkan penderitaan tadi.3. Teori
Relatif
Menurut teori ini kejahatan tidak mutlak harus diikuti dengan
suatu pidana. Untuk itu tidaklah cukup adanya suatu kejahatan,
melainkan harus dipersoalkan perlu dan manfaatnya suatu pidana bagi
masyarakat atau bagi sipenjahat itu sendiri. Tidak saja dilihat
pada masa lampau melainkan juga pada masa yang akan dating. Teori
ini harus dinamakan teori tujuan (dool theorin).Tujuan ini
pertama-tama harus diarahkan kepada usaha agar dikemudian hari
kejahatan yang dilakukan itu tidak terulang lagi, yang mana
meliputi unsur-unsur khusus atau special dan umum atau general.
Pada prevensi spesial dikhususkan untuk membuat sipelaku
kejahatan tidak berbuat jahat lagi, dalam hal ini tujuan
pemmidanaan ditujukan kepada orang yang telah melakukan kejahatan,
sedangkan prevensi umum ditujukan pada semua anggota masyarakat
umum agar semua takut melakukan kejahatan.Menurut teori ini tujuan
penjatuhan pidana dilihat dari segi manfaatnya bagi masyarakat,
yaitu untuk memperbaiki seorang penjahat tidak hanya mengekang
dalam tembok penjara, tetapi harus berupa pengawasan terhadap sikap
dan perilaku dari para pelaku kejahatan atau menyerahkan pada
swasta dalam bidang sosial untuk menampung narapidana yang perlu
dididik untuk dikembalikan kepada masyarakat seperti sebelum dia
melakukan kejahatan.
4. Teori Gabungan (Teori Modern)Apabila ada dua pendapat yang
berbeda dan saling bertentangan satu sama lainnya, maka ada
pendapat ketiga yang berada ditengah-tengahnya.Teori gabungan
disatu pihak mengakui unsur pembalasan (Vergelding) dalam hukum
pidana, dilain pihak mengakui pula unsur prevensi dan unsur
memperbaiki penjahat, yang ada pada tiap pidana.Teori ini merupakan
pembaharuan teori sebelumnya yang menitikberatkan perhatiannya pada
orang yang melakukan tindak pidana dan bagaimana seorang hakim
menjatuhkan hukuman untuk melindungi masyarakat dari bahaya, jadi
dengan aktif hendak menghilangkan bahaya terhadap masyarakat atau
memperbaiki dan mengadakan rehabilitasi terhadap pelaku-pelaku
tindak kejahatan.Sebelum seorang hakim menjatuhkan pidana maka
perlu ada pemahaman yang mendalam tentang diri narapidana dan
kondisi lingkungannya, agar dalam penjatuhan pidana tujuannya
adalah disamping demi kesejahteraan masyarakat juga harus
memperhatikan nasib narapidana tersebut, bagaimana nanti setelah
kembali kemasyarakat agar tidak melakukan kejahatan lagi.
Bila kita menganalisa teori yang terakhir ini, kemudian kita
melihat kondisi masyarakat, maka secara sadar atau tidak sadar kita
telah menjadi penganut teori modern dimana di dalam penjatuhan
pidana telah memperhatikan bagaimana agar terpidana bertobat,
mendidik ia menjadi anggota masyarakat yang baik dan taat hukum
sehingga dapat kembali kemasyarakat dengan tidak melakukan
perbuatan jahat lagi. D. Jenis-jenis Pemidanaan
Jenis-jenis pidana dalam sistem hukum Indonesia terdapat dalam
Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan juga tersebar dalam
beberapa peraturan perUndang-Undangan pidana khusus. Ketentuan
pidana dalam KUHP terdapat dalam Pasal 10 KUHP yang berbunyi:
Pidana terdiri atas :
1. Pidana pokok
a. Pidana mati
b. Pidana penjara
c. Pidana kurungan
d. Denda
e. Pidana Tutupan (terjemahan BPHN)
2. Pidana tambahan
a. Pencabutan hak-hak tertentu
b. Perampasan barang-barang tertentu
c. Pengumuman putusan hakim
Ketentuan tersebut berbeda dengan Wetboek van Strafrecht (WvS)
Belanda yang menjadi sumber KUHP Indonesia. Dalam Arikel 9 WvS,
pidana mati tidak lagi tercantum sebagai pidana pokok karena telah
dicabut sejak tahun 1980. Sedangkan pada KUHP Indonesia masih
dicantumkan. Bahkan, delik-delik yang diancam pidana mati semakin
bertambah. Perbedaan lain antara ketentuan WvS dengan KUHP adalah
menyangkut pidana tambahan. Dalam artikel 9 WvS Belanda, pidana
tambahan mengenal penempatan pada suatu tempat kerja negara
sedangkan KUHP Indonesia tidak mengenalinya. 1. Pidana mati
Pidana mati merupakan jenis pidana yang merampas suatu
kepentingan hukum (rechtsbelang), yaitu berupa nyawa manusia.
Menurut Hermien Hadiati (1995:21-23) bahwa:Ada dua golongan yang
memberikan pendapatnya mengenai pidana mati ini. Golongan pertama
adalah golongan yang tidak setuju dengan pidana mati. Golongan
lainnya adalah golongan yang setuju dengan pidana mati.
a. Golongan yang tidak setuju dengan pidana mati
Alasan-alasan yang diajukan oleh para pendukung golongan ini
adalah:
1) Golongan ini berkeberatan untuk mempertahankan lembaga pidana
mati, berhubungan dengan sifatnya yang mutlak yang tidak mungkin
untuk ditarik kembali (onherroepolijk).
2) Hakim adalah juga manusia biasa yang tidak luput dari
kesalahan. Bila pidana mati itu sudah dilaksanakan apakah artinya
jika kemudian ternyata terbukti tidak bersalah. Alasan ini dikenal
dengan istilah kesesatan hakim (rechterlijkedwaling)
3) Pelaksanaan pidana mati adalah bertentangan dengan
perikemanusiaan.
4) Pidana mati bertentangan dengan modal dan etika
5) Mengingat akan tujuan pemidanaan, maka pidana mati itu :
a) Bagi orang yang sudah dijatuhi pidana mati tidak dapat lagi
kembali ke tengah-tengah masyarakat untuk memperbaiki kelakukannya.
Dengan demikian maka tujuan pemidanaan untuk memperbaiki diri
penjahat tidak dapat tercapai.
b) Pelaksanaan pidana mati biasanya tidak dilakukan dihadapan
umum, sehingga dengan demikian tidak mungkin disaksikan oleh orang
banyak. Dengan demikian maka pengaruh daripada generale preventive
yaitu agar semua orang merasa takut, tidak tercapai.c) Pada umumnya
terhadap orang yang dijatuhi pidana mati menimbulkan perasaan belas
kasihan terhadap orang lain dan masyarakat.
b. Golongan yang setuju dengan pidana mati.
Selain Indonesia, masih ada negara-negara seperti Amerika
Serikat dan Perancis yang mencantumkan pidana mati dalam hukum
pidananya. Dalam rangka pembaharuan hukum nasional di Indonesia,
pencantuman pidana mati menjadi masalah tersendiri, yang menjadi
alasan-alasan khusus mengapa pidana mati masih dicantumkan dalam
KUHP dapat dijumpai di dalam konsiderans sewaktu pembentukan het
Wetboek van Straftrecht dan MvT. Ketentuan-ketentuan pasal tersebut
adalah:
1) Pidana mati dicantumkan berhubung dengan keadaan-keadaan
khusus di Hindia Belanda (Indonesia) yang terdiri dari sejumlah
besar pulau-pulau yang dikitari oleh lautan sehingga perhubungan
antar pulau sangat sulit dan tidak sempurna.
2) Alat-alat keamanan negara pada waktu itu kurang lengkap
susunannya dan jumlahnya sedikit sekali, jumlah tenaga polisi dan
tentara dibandingkan dengan luas wilayah, tidak memungkinkan
alat-alat negara tidak dapat menjamin keamanan seluruh wilayah
negara Indonesia.
3) Indonesia yang penduduknya terdiri dari berbagai suku bangsa
yang heterogen itu, di mana terdapat perbedaan agama, tingkat
hidup, dan kebudayaan, memungkinkan antara yang satu dengan yang
lain saling berbentrokan.
2. Pidana Penjara
Pidana penjara merupakan jenis pidana yang mulai berkembang
sejak dihapuskannya pidana mati atau pidana badan di berbagai
negara. Dengan berbagai perubahan pemikiran tentang konsep
pemidanaan, maka sistem pidana penjara pun mengalami perubahan
bersamaan dengan pergeseran falsafah pemidanaan dan pembalasan
menuju pembinaan. Meskipun secara mendasar, pidana penjara tetap
sebagai pidana yang merampas kemerdekaan.
Menurut Lamintang (1984:69) bahwa
Dewasa ini, yang dimaksud dengan pidana penjara adalah suatu
pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana,
yang dilakukan dengan menutup orang tersebut di dalam sebuah
lembaga pemasyarakatan dengan mewajibkan orang itu untuk mentaati
semua peraturan tata tertib yang berlaku di dalam lembaga
pemasyarakatan, yang dikaitkan dengan sesuatu tindakan tata tertib
bagi mereka yang telah melanggar peraturan tersebut sebagaimana
yang dikemukakan oleh P.A.F.
Suatu pidana penjara dikatakan sebagai pidana perampasan
kemerdekaan karena si terpidana ditempatkan di dalam penjara yang
mengakibatkan ia tidak dapat bergerak dengan merdeka dan bebas dan
secara luas narapidana akan kehilangan hak-hak tertentu.
Dalam Pasal 13 dan 14 KUHP ditentukan bahwa orang yang dijatuhi
pidana penjara wajib untuk melakukan pekerjaan yang diatur dengan
suatu pekerjaan khusus. Pekerjaan khusus tersebut dibagi ke dalam
dua jenis pekerjaan, yaitu :
a. Pekerjaan di dalam rumah penjara;
b. Pekerjaan di luar rumah penjara.
Jenis pekerjaan ini dalam prakteknya ditentukan perkecualian,
yaitu bagi :
a. Orang-orang yang dipidana dengan pidana penjara seumur hidup
sebab dikhawatirkan terpidana akan melarikan diri;
b. Terpidana seorang wanita;
c. Terpidana yang menurut pemeriksaan dokter, kesehatannya tidak
mengizinkan untuk dipekerjakan di luar tembok penjara.
Lamanya pidana penjara yang dijatuhkan oleh hakim itu harus
dinyatakan dalam: hari (dua puluh empat jam), minggu (tujuh hari),
bulan (tiga puluh hari) atau tahun (tiga ratus enam puluh lima atau
tiga ratus enam puluh hari). Menurut ketentuan, seluruh jangka
waktu pidana penjara yang telah diputuskan oleh hakim itu harus
dilaksanakan secara tidak terputus-putus hingga selesai, kecuali
apabila diputuskannya pelaksanaan dari pidana penjara seperti itu
dapat dibenarkan oleh Undang-Undang, misalnya karena adanya suatu
pembebasan bersyarat.
3. Pidana Kurungan (Hechtenis)
Sifat pidana kurungan pada dasarnya sama dengan pidana penjara.
Keduanya merupakan jenis pidana perampasan kemerdekaan. Pidana
kurungan membatasi kemerdekaan bergerak dari seorang terpidana
dengan menutup orang tersebut di dalam sebuah lembaga
pemasyarakatan.
Pidana kurungan hanya dapat dijatuhkan oleh hakim terhadap
orang-orang dewasa yang telah melakukan pelanggaran-pelanggaran
sebagaimana diatur di dalam Buku III KUHP dan terhadap
kejahatan-kejahatan yang telah diancam oleh pidana kurungan dalam
Buku II KUHP. Pidana kurungan ini diancam secara alternatif dengan
pidana penjara bagi mereka yang telah melakukan culpose delicten
atau delik-delik yang telah dilakukan secara tidak sengaja.
Lama pidana kurungan sekurang-kurangnya adalah satu hari dan
selama-lamanya satu tahun.
4. Pidana Denda
Pidana denda ialah kewajiban seseorang yang telah dijatuhi
pidana denda tersebut oleh pengadilan/hakim untuk membayar sejumlah
uang tertentu oleh karena ia telah melakukan suatu perbuatan yang
dapat dipidana. Pidana denda merupakan jenis pidana atas kekayaan
(vermogenstrafI), yaitu pidana yang ditujukan kepada harta kekayaan
seseorang terpidana, sehingga, pidana ini pada dasarnya hanya dapat
dijatuhkan bagi orang-orang dewasa saja.
Menurut Lamintang (1984:69) bahwa pidana denda dapat dijumpai di
dalam Buku I dan Buku II KUHP yang telah diancamkan baik bagi
kejahatan-kejahatan maupun bagi pelanggaran-pelanggaran.. Pidana
denda ini diancamkan baik sebagai satu-satunya pidana pokok maupun
secara alternatif dengan pidana penjara saja dengan pidana kurungan
saja, atau alternatif dengan kedua pidana pokok tersebut secara
bersama-sama.5. Pidana Tutupan
Sebagaimana dalam Rancangan Kitab Undang Undang Hukum Pidana
Tahun 2004
Pasal 65
Pidana penjara
Pidana tutupan
Pidana pengawasan
Pidana denda
Pidana kerja sosial
Pasal 67
Pencabutan hak tertentu
Perampasan barang tertentu dan/atau tagihan
Pengumuman putusan hakim
Pembayaran ganti kerugian
Pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban
Dan sebagaimana dalam Pasal 76
1. Orang yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana
penjara, mengingat keadaan pribadi dan perbuatannya dapat dijatuhi
pidana tutupan.
2. Pidana tutupan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat
dijatuhkan kepada terdakwa yang melakukan tindak pidana karena
terdorong oleh maksud yang patut dihormati.
3. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku
jika cara melakukan atau akibat dari perbuatan tersebut sedemikian
rupa sehingga terdakwa lebih tepat untuk dijatuhi pidana
penjara
KUHP terjemahan Badan Hukum Pembinaan Hukum Nasional (BPHN),
pada Pasal 10 dicantumkan pidana tertutup sebagai pidana pokok
bagian terakhir di bawah pidana denda. Tentulah pencantuman ini
didasarkan kepada Undang-undang Nomor 20 Tahun 1946, tentang pidana
tutupan
Pidana tutupan disediakan bagi para politisi yang melakukan
kejahatan yang disebabkan oleh ideologi yang dianutnya. Tetapi
dalam praktek peradilan dewasa ini tidak pernah ketentuan tersebut
diterapkan
Menurut pendapat Andi Hamzah (2008 : 202), pencantuman pidana
tutupan di dalam pasal 10 KUHP di bawah pidana denda tidaklah
tepat, karena menurut Pasal 69 KUHP yang menyatakan bahwa beratnya
pidana pokok yang tidak sejenis ditentukan oleh salah satu pidana
hilang kemerdekaan, lebih berat daripada pidana denda. Bagaimanapun
ringannya pidana hilang kemerdekaan, masih lebih berat dari pada
pidana denda.
Jadi kalau kita menghendaki pencantuman pidana tutupan di dalam
Pasal 10 KUHP sesuai dengan undang-undang Nomor 20 Tahun 1946, maka
harus diletakkan di atas pidana kurungan dan pidana denda.6. Pidana
Tambahan
Menurut Hermien Hadiati Koeswaji (1995:45) bahwa ketentuan
pidana tambahan ini berbeda dengan ketentuan bagi penjatuhan pidana
pokok. Ketentuan tersebut adalah:
a. Pidana tambahan hanya dapat dijatuhkan di samping pidana
pokok. Artinya, pidana tambahan tidak boleh dijatuhkan sebagai
pidana satu-satunya.
b. Pidana tambahan hanya dapat dijatuhkan apabila di dalam
rumusan sesuatu perbuatan pidana dinyatakan dengan tegas sebagai
ancaman. Ini berarti bahwa pidana tambahan tidak diancamkan kepada
setiap jenis perbuatan pidana, akan tetapi hanya diancamkan kepada
beberapa perbuatan pidana tertentu.
c. Walaupun diancamkan secara tegas di dalam perumusan suatu
perbuatan pidana tertentu, namun sifat pidana tambahan ini adalah
fakultatif. Artinya, diserahkan kepada hakim untuk menjatuhkannya
atau tidak.
Di samping itu, Pasal 10 KUHP huruf b menyatakan bahwa pidana
tambahan terdiri dari:
a. Pencabutan Hak-hak Tertentu
Pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu adalah
bersifat sementara, kecuali jika terpidana telah dijatuhi dengan
pidana penjara seumur hidup.
Menurut ketentuan Pasal 35 Ayat 1 KUHP, hak-hak yang dapat
dicabut oleh hakim dengan suatu putusan pengadilan adalah:
1) Hak memegang jabatan angkatan bersenjata;
2) Hak untuk memasuki angkatan bersenjata;
3) Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan
berdasarkan aturan-aturan umum;
4) Hak menjadi penasehat (raadsman) atau pengurus menurut hukum
(gererchtelijke bewindvoerder), hak menjadi wali, wali pengawas,
pengampu atau pengampu pengawasan, atas orang yang bukan anak
sendiri;
5) Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau
pengampuan atas anak sendiri, hak menjalankan pencaharian (beroep)
yang tertentu.
b. Perampasan Barang-barang Tertentu
Pidana perampasan barang-barang tertentu merupakan jenis pidana
terhadap harta kekayaan. Dalam KUHP, ketentuan mengenai pidana
perampasan terdapat dalam Pasal 39 KUHP yang menyatakan:
1) Barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari
kejahatan atau sengaja dipergunakan untuk melakukan kejahatan,
dapat dirampas;
2) Dalam hal pemidanaan karena kejahatan yang tidak dilakukan
dengan sengaja, atau karena pelanggaran, dapat juga dirampas
seperti di atas, tetapi hanya dalam hal-hal yang ditentukan dalam
Undang-Undang;
3) Perampasan dapat juga dilakukan terhadap orang yang bersalah
yang oleh Hakim diserahkan kepada Pemerintah, tetapi hanya atas
barang-barang yang telah disita.
c. Pengumuman Putusan Hakim
Pengumuman putusan hakim diatur dalam Pasal 43 KUHP yang
menyatakan bahwa apabila hakim memerintahkan supaya putusan
diumumkan berdasarkan Kitab Undang-Undang ini atau aturan umum yang
lain, maka harus ditetapkan pula bagaimana cara melaksanakan
perintah atas biasanya terpidana. Pidana tambahan berupa pengumuman
putusan hakim ini hanya dapat dijatuhkan dalam hal-hal yang
ditentukan Undang-Undang.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian akan dilakukan di Makassar, yaitu pada
Pengadilan Negeri Makassar. Alasan memilih lokasi penelitian karena
di Pengadilan Negeri Makassar kasus korupsi yang terjadi di Unit
Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Wilayah I Makassar Dipenda Propinsi
Sulawesi Selatan diadili. B. Teknik Pengumpulan Data
Suatu karya ilmiah sarana untuk menemukan dan mengetahui lebih
mendalam mengenai gejala-gejala tertentu yang terjadi di
masyarakat. Dengan demikian kebenaran karya tersebut dapat
dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Sebagai tindak lanjut dalam
memperoleh data sebagaimana yang diharapkan, maka penulis melakukan
teknik pengumpulan data berupa :
1. Penelitian Lapangan (Field Research)Pada bagian ini penulis
mengadakan wawancara langsung dengan beberapa aparat penegak hukum
terkait dengan objek penelitian.
2. Penelitian kepustakaan
Penelitian dilaksanakan melalui penalaran kepustakaan dengan
mengambil, menganalisa, mempelajari dan menelaah
literatur-literatur, karya ilmiah, dokumen/arsip dan tulisan yang
berhubungan dengan penelitian ini.C. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data
primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang langsung
diperoleh dari responden, sedangkan data sekunder adalah data yang
diperoleh dari buku-buku, media cetak, dokumen-dokumen, internet,
dan peraturan perundang-undangan yang terkait.D. Teknik Analisis
Data Data yang diperoleh dalam penelitian ini akan dianalisis
secara kualitatif, dengan langkah-langkah sebagai berikut :
Sebelum menganalisis data tersebut, terlebih dahulu diadakan
pengorganisasian terhadap data sekunder yang diperoleh melalui
dokumentasi kepustakaan dan data primer yang diperoleh melalui
wawancara. Data yang terkumpul kemudian dianalisis secara
kualitatif, dengan menggunakan pendekatan normatif.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Penerapan Sanksi Dalam Tindak Pidana KorupsiHukum pidana dan
hukum acara pidana adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan antara
satu dan lainnya. Namun demikian meskipun hukum pidana dan hukum
acara pidana memegang peranan penting dalam penyelesaian penanganan
masalah kasus kriminal, tidak berarti bahwa dengan mempergunakan
kedua ilmu itu dalam penyelesaian kasus akan selalu dapat
dihasilkan suatu penyelesaian yang benar-benar tuntas sehingga
mencerminkan tegaknya kebenaran dan keadilan. Oleh karena itu suatu
kasus kriminal tidak semata-mata harus ditangani dari aspek
yuridisnya saja melainkan harus juga ditangani dari aspek teknis
dan manusianya. Dalam pembuktian perkara pidana pada umumnya
diterapkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),
sedangkan dalam pemeriksaan khususnya pada delik korupsi selain
diterapkan KUHAP, diterapkan juga sekelumit Hukum Acara Pidana lain
yaitu pada Bab IV terdiri atas Pasal 25 sampai dengan Pasal 40 dari
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (UUPTPK) yang diperbaharui dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001.
Keberhasilan suatu proses peradilan pidana sangat tergantung
pada alat bukti yang berhasil diungkap atau dimunculkan di
persidangan, terutama yang berkenan dengan saksi. Saksi merupakan
salah satu pihak yang sangat penting dimana KUHAP menempatkan saksi
di urutan pertama di atas alat-alat bukti lainnya. Urutan ini
merujuk pada alat bukti yang pertama kali diperiksa dalam tahap
pembuktian di persidangan, demikian pula dalam Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Untuk menganalisa evektifitas penerapan sanksi dalam tindak
pidana korupsi, penulis mencoba menganalisis kasus berikut ini:
Dakwaan :
Primair :
Bahwa ia terdakwa Syahrir Bin Madjid sebagai Kasir Penerima pada
Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Wilayah I Makassar Dipenda
Propinsi Sulsel berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Sulsel Nomor:
953/XII/Tahun 2004 tanggal 31 Desember 2004 dan Nomor:
885/XII/Tahun 2005 tanggal 30 Desember 2005 tentang
Penunjukan/Pengangkatan Kasir penerima dan Pemegang kas pada
tanggal 30 November 2005, tanggal 1 Desember 2005, tanggal 5
Desember 2005, tanggal 8 Desember 2005, tanggal 23 Desember 2005,
tanggal 27 Desember 2005 dan tanggal 3 Februari 2005 atau
setidak-tidaknya pada waktu lain dalam tahun 2005 dan tahun 2006,
bertempat di Kantor Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Wilayah I
Makassar Dipenda Propinsi Sulsel tepatnya di Jalan Andi Pangeran
Pettarani Nomor 2 Kecamatan Rappocini Makassar atau
setidak-tidaknya di sutau tempat tertentu dalam daerah hukum
Pengadilan Negeri Makassar, telah melakukan beberapa perbuatan yang
ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai
suatu perbuatan berlanjut, secara melawan hukum melakukan perbuatan
untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara yang
dilakukan terdakwa dengan cara sebagai berikut :
Bahwa terdakwa Syahrir Bin Madjid adalah pegawai UPTD Wilayah I
Makassar Dipenda Sulsel yang dalam tahun 2005 dan 2006 menduduki
jabatan sebgai Kasir Penerima berdasarkan Surat Keputusan Gubernur
Sulsel Nomor : 953/XII/Tahun 2004 tanggal 31 Desember 2004 dan
Nomor: 858/XII/Tahun 2005 tanggal 30 Desember 2005 tentang
Penunjukan/ Pengangkatan Kasir penerima dan pemegang Kas Sebagai
Atasan Langsung yang Bertugas Mengumpulkan uang pajak daerah dan
retribusi Daerah pada Badan/Dinas/Satuan Unit Kerja Propinsi
Sulawesi Selatan T A 2005 dan T A 2006 yang mempunyai tugas pokok
menerima hasil penerima pajak/retribusi dari petugas Kas registera
dan menyetorkan uang secara keseluruhannya ke kas daerah Propinsi
Sulsel di BPD Sulsel paling lambat 1 kali 24 jam.
Selanjutnya dalam melaksanakan tugas pokok dan
fungsinya,terdakwa selaku Kasir Penerima telah melakukan perbuatan
:
1. Bahwa terdakwa Syahrir pada tanggal 30 November 2005 telah
menerima uang hasil penagihan pajak kendaraan bermotor (PKB) jenis
A-1 dari petugas kas register atas nama :
a. SRIPURNAMA sebesar
: Rp. 178.381.480,-
b. PETRIANI HARUN sebesar
: Rp. 96.995.110,-Jumlah
Rp. 275.376.590,- ;
namun ternyata terdakwa Syahrir menyetorkan uang penerimaan
pajak tersebut ke kas daerah Propinsi Sulsel hanya sebesar Rp.
125.376.590,- sehingga terdapat selisih penerimaan uang sebesar Rp.
150.000.000,- yang tidak disetorkan ke Kas Daerah.
2. Bahwa terdakwa Syahrir pada tanggal 1 Desember 2005 telah
menerima uang hasil penagihan pajak kendaraan bermotor (PKB) jenis
A-1 dari petugas Kas register atas nama SRIPURNAMA sebesar Rp.
239.378.020,- namun ternyata terdakwa Syahrir menyetorkan uang
penerima pajak tersebut ke kas daerah Propinsi Sulsel hanya sebesar
Rp. 139.378.020,-, sehingga terdapat selisih penerimaan uang
sebesar Rp. 100.000.000,- yang tidak disetorkan ke Kas Daerah.
3. Bahwa terdakwa Syahrir pada tanggal 5 Desember 2005 telah
menerima uang hasil penagihan pajak bea balik nama kendaraan
bermotor (BBN-KB) jenis A-I dan petugas Kas register atas nama
:
a. SRIPURNAMA sebesar
: Rp. 244.695.290,-
b. PETRIANI HARUN sebesar
: Rp. 24.400.000,-Jumlah
: Rp.269.095.290.-
Namun ternyata terdakwa Syahrir menyetorkan uang penerimaan
pajak tersebut ke Kas daerah Propinsi Sulsel hanya sebesar Rp.
169.095.290,- sehingga terdapat selisih uang penerimaan sebesar Rp.
100.000.000,- yang tidak disetorkan ke Kas Daerah.
4. Bahwa terdakwa Syahrir pada tanggal 8 Desember 2005 telah
menerima uang hasil penagihan pajak kendaraan bermotor (PKB) jenis
A-1 dari petugas Kas register atas nama :
a. SRIPURNAMA sebesar
: Rp. 220.036.480,-
b. PETRIANI HARUN sebesar
: Rp. 75.457.560,-Jumlah
: Rp. 295.494.040,-
namun ternyata terdakwa Syahrir menyetorkan penerimaan pajak
tersebut ke kas daerah / propinsi Sulsel hanya sebesar Rp.
145.494.040,- sehingga terdapat selisih uang penerimaan Rp.
150.000.000,- yang tidak disetorkan ke Kas daerah.
5. Bahwa terdakwa Syahrir pada tanggal 23 Desember 2005 telah
menerima uang hasil penagihan pajak bea balik nama kendaraan
bermotor (BBN-KB) jenis E dari petugas Kas register atas nama :
a. PETRIANI HARUN sebesar
: Rp. 90.511.000,-
b. HAFID ALI sebesar
: Rp. 119.591.000,-
c. HASNAWATI sebesar
: Rp. 171.900,-Jumlah
: Rp. 210.273.900,-
namun ternyata terdakwa Syahrir menyetorkan penerimaan pajak
tersebut ke kas daerah Propinsi Sulsel hanya sebesar Rp.
110.273.900,- , sehingga terdapat selisih penerimaan uang sebesar
Rp. 100.000.000,- yang tidak disetorkan ke Kas Daerah.
6. Bahwa terdakwa Syahrir pada tanggal 27 Desember 2005 telah
menerima uang hasil penagihan pajak kendaraan bermotor (PKB) jenis
A-I dari petugas Kas register atas nama :
a. SRIPURNAMA sebesar
: Rp.142.737.450,-
b. PETRIANI HARUN sebesar
: Rp. 65.537.270,-
Jumlah
: Rp. 208.274.720,-
namun ternyata terdakwa Syahrir menyetorkan penerimaan pajak
tersebut ke kas daerah Propinsi Sulsel hanya sebesar Rp.
108.274.720,-, sehingga terdapat selisih penerimaan uang sebesar
Rp. 100.000.000,- yang tidak disetorkan ke Kas Daerah.
7. Bahwa terdakwa Syahrir pada tanggal 3 Februari 2006 telah
menerima uang hasil penagihan pajak kendaraan bermotor (PKB) jenis
A-I dari petugas Kas register atas nama :
a. SRIPURNAMA sebesar
: Rp. 190.796.750,-
b. PETRIANI HARUN sebesar
: Rp. 81.393.860,-
Jumlah
: Rp. 272.190.610,-
namun ternyata terdakwa Syahrir menyetorkan penerimaan pajak
tersebut ke kas daerah Propinsi Sulsel hanya sebesar Rp.
21.217.682,- sehingga terdapat selisih penerimaan uang sebesar Rp.
250.972.928,- yang tidak disetorkan ke Kas Daerah.
Bahwa perbuatan-perbuatan tersebut dilakukan terdakwa Syahrir
sebagai satu kehendak yang bertentangan secara melawan hokum dengan
peraturan perundang-undangan dan kewajiban-kewajiban yang harus
dipatuhi oleh terdakwa, sebagaimana diuraikan sebagai berikut :
a) UU Nomor 1 tahun 2001 tentang Perbendaharaan Negara, pasal 16
ayat (2) yang
b) menentukan: Penerimaan harus disetor seluruhnya ke Kas Negara
/ Daerah pada waktu yang selanjutnya diatur dalam Peraturan
Pemerintah
c) PP nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah,
pasal 57 ayat (2) yang menentukan: Bendahara Penerima wajib
menyetor seluruh penerimaannya ke rekening kas umum daerah
selambat-lambatnya dalam waktu 1 (satu) hari kerja
d) Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 tentang pasal 41 ayat (2) yang
berbunyi: satuan pemegang kas pembantu wajib menyetor seluruh uang
yang diterimanya ke Bank atas nama rekening Kas Daerah paling
lambat satu hari sejak saat uang kas tersebut diterimanya.
e) Surat Keputusan Gubernur Sulsel Nomor : 953/XII/Tahun 2004
tanggal 31 Desembar 2004 dan Nomor: 885/XII/Tahun 2005 tanggal 30
Desember 2005 tentang Penunjukan/Pengangkatan Kasir penerima dan
pemegang Kas sebagai Atasan Langsung yang bertugas Mengumpulkan
uang pajak daerah dan retribusi Daerah pada Badan/Dinas/Satuan Unit
Kerja Propinsi Sulawesi Selatan TA 2005 dan TA 2006 yang mempunyai
tugas pokok menerima hasil penagihan pajak / retribusi dari petugas
Kas register dan menyetorkan secara keseluruhannya ke kas daerah
Propinsi Sulsel di BPD Sulsel paling lambat 1 kali 24 jam.
Bahwa dari perbuatan-perbuatan terdakwa yang diuraikan diatas,
terdapat selisih uang penerimaan pajak yang tidak disetorkan oleh
terdakwa selaku Kasir Penerima sebesar Rp. 950.972.928,- yang
dikuasainya dan digunakan oleh terdakwa untuk memperkaya diri
terdakwa atau orang lain atau suatu koorporasi sehingga merugikan
keuangan Negara Cq.keuangan daerah Propinsi Sulawesi Selatan.
Perbuatan terdakwa sebagaiman diatur dan diancam pidana pada
Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 Undang- Undang No.31 Tahun 1999
sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001
jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.
SUBSIDIAIR :
Bahwa ia terdakwa SYAHRIR BIN MADJID sebagai Kasir Penerima pada
Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Wilayah I Makassar Dipenda
Propinsi Sulsel berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Sulsel Nomor :
953/XII/Tahun 2004 tanggal 31 Desember 2004 dan Nomor:
885/XII/Tahun 2005 tanggal 30 Desember 2005 tentang
Penunjukan/Pengangkatan KAsir penerima dan pemegang kas pada
tanggal 30 November 2005, tanggal 1 Desember 2005, tanggal 5
Desember 2005, tanggal 8 Desember 2005, tanggal 23 Desember 2005,
tanggal 27 Desember 2005 dan tanggal 3 Februari 2005 atau
setidak-tidaknya pada waktu-waktu lain dalam tahun 2005 dan tahun
2006, bertempat di Kantor Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD)
Wilayah I Makassar Dipenda Propinsi tapatnya di jalan Andi Pangeran
Pettarani No.2 Kecamatan Rappocini Makassar atau setidak-tidaknya
disuatu tempat tertentu dalam daerah hokum Pengadilan Negeri
Makassar, telah melakukan perbuatan-perbuatan yang sedemikian rupa
sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut yang
dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
koorporasi, telah menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau
sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat
merugikan keuangan Negara yang dilakukan terdakwa dengan cara
sebagai berikut :
Bahwa terdakwa Syahrir Bin Madjid adalah pegawai UPTD Wilayah I
Makassar Dipenda Sulsel yang dalam tahun 2005 dan 2006 diangkat
untuk menduduki jabatan sebagai Kasir Penerima berdasarkan Surat
Keputusa Gubernur Sulsel Nomior : 953/XII/Tahun 2004 tanggal 31
Desember 2004 dan Nomor : 885/XII/Tahun 2005 tanggal 30 Desember
2005 tentang Penunjukan/ Pengangkatan Kasir penerima dan pemegang
Kas Sebagai Atasan Langsung yang bertugas dan berwenang
Mengumpulkan Uang pajak daerah dan retribusi Daerah pada
Badan/Dinas/Satuan Unit Kerja Propinsi Sulawesi Selatan TA 2005 dan
TA 2006 yang mempunyai tugas pokok menerima hasil penagihan
pajak/retribusi dari petugas kas register dan menyetorkan secara
keseluruhannya ke kas daerah Propinsi Sulsel di BPD Sulsel paling
lambat 1 kali 24 jam.
Bahwa hasil penagihan jenis pajak / retribusi dari Petugas Kas
Register yang diterima oleh terdakwa selaku Kasir Penerima antara
lain :
1. Pajak Kendaraan Bermotor (PKB)
2. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB)
Bahwa dari jenis pajak / retribusi yang diterima oleh terdakwa
tersebut, khususnya Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik
Nama Kendaraan Bermotor (BBKNB) dikelompokkan sesuai kode
klasifikasi Jenis kendaraan dalam kaitannya dengan
pengadministrasian penerimaan pajak sejenis, yaitu:
1. Jenis A-1 adalah jenis kendaraan sedan, jeep, ST Wagon,
minibus dan sejenisnya (tidak umum);
2. Jenis A-2 yaitu jenis kendaraan sedan, jeep, ST Wagon,
minibus dan sejenisnya (umum);
3. Jenis B-1 yaitu Bus, Microbus dan sejenisnya (tidak
umum);
4. Jenis B-2 yaitu Bus, Microbus dan sejenisnya (umum);
5. Jenis C-1 adalah jenis kendaraan Truck, Pick up, Light truck
(tidak umum);
6. Jenis C-2 yaitu jenis kendaraan Truck, Pick up, Light truck
(umum);
7. Jenis D yaitu kendaraan khusus;
8. Jenis E yaitu kendaraan sepeda motor/ scooter;
Bahwa selanjutnya dalam melaksanakan kewenangannya, terdakwa
selaku Kasir Penerima telah melakukan perbuatan-perbuatan sebagai
berikut :
1. Bahwa terdakwa Syahrir pada tanggal 30 November 2005 telah
menerima uang hasil penagihan pajak kendaraan bermotor (PKB) jenis
A-1 dari petugas kas register atas nama :
a. SRIPURNAMA sebesar
: Rp. 178.381.480,-
b. PETRIANI HARUN sebesar
: Rp. 96.995.110,-Jumlah
Rp. 275.376.590,- ;
namun ternyata terdakwa Syahrir menyetorkan uang penerimaan
pajak tersebut ke kas daerah Propinsi Sulsel hanya sebesar Rp.
125.376.590,- sehingga terdapat selisih penerimaan uang sebesar Rp.
150.000.000,- yang tidak disetorkan ke Kas Daerah.
2. Bahwa terdakwa Syahrir pada tanggal 1 Desember 2005 telah
menerima uang hasil penagihan pajak kendaraan bermotor (PKB) jenis
A-I dari petugas Kas register atas nama SRIPURNAMA sebesar Rp.
239.378.020,- , namun ternyata terdakwa Syahrir menyetorkan uang
penerima pajak tersebut ke kas daerah Propinsi Sulsel hanya sebesar
Rp. 139.378.020,-, sehingga terdapat selisih penerimaan uang
sebesar Rp. 100.000.000,- yang tidak disetorkan ke Kas Daerah.
3. Bahwa terdakwa Syahrir pada tanggal 5 Desember 2005 telah
menerima uang hasil penagihan pajak bea balik nama kendaraan
bermotor (BBN-KB) jenis A-1 dan petugas Kas register atas nama
:
a. SRIPURNAMA sebesar
: Rp. 244.695.290,-
b. PETRIANI HARUN sebesar
: Rp. 24.400.000,-Jumlah
: Rp. 269.095.290.-
Namun ternyata terdakwa Syahrir menyetorkan uang penerimaan
pajak tersebut ke Kas daerah Propinsi Sulsel hanya sebesar Rp.
169.095.290,- sehingga terdapat selisih uang penerimaan sebesar Rp.
100.000.000,- yang tidak disetorkan ke Kas Daerah.
4. Bahwa terdakwa Syahrir pada tanggal 8 Desember 2005 telah
menerima uang hasil penagihan pajak kendaraan bermotor (PKB) jenis
A-I dari petugas Kas register atas nama :
a. SRIPURNAMA sebesar
: Rp. 220.036.480,-
b. PETRIANI HARUN sebesar
: Rp. 75.457.560,-Jumlah
: Rp. 295.494.040,-
Namun ternyata terdakwa Syahrir menyetorkan penerimaan pajak
tersebut ke kas daerah / propinsi Sulsel hanya sebesar Rp.
145.494.040,- sehingga terdapat selisih uang penerimaan Rp.
150.000.000,- yang tidak disetorkan ke Kas daerah.
5. Bahwa terdakwa Syahrir pada tanggal 23 Desember 2005 telah
menerima uang hasil penagihan pajak bea balik nama kendaraan
bermotor (BBN-KB) jenis E dari petugas Kas register atas nama :
a. PETRIANI HARUN sebesar
: Rp. 90.511.000,-
b. HAFID ALI sebesar
: Rp. 119.591.000,-
c. HASNAWATI sebesar
: Rp. 171.900,-Jumlah
: Rp. 210.273.900,-
Namun ternyata terdakwa Syahrir menyetorkan penerimaan pajak
tersebut ke kas daerah Propinsi Sulsel hanya sebesar Rp.
110.273.900,- , sehingga terdapat selisih penerimaan uang sebesar
Rp. 100.000.000,- yang tidak disetorkan ke Kas Daerah.
6. Bahwa terdakwa Syahrir pada tanggal 27 Desember 2005 telah
menerima uang hasil penagihan pajak kendaraan bermotor (PKB) jenis
A-I dari petugas Kas register atas nama :
a. SRIPURNAMA sebesar
: Rp.142.737.450,-
b. PETRIANI HARUN sebesar
: Rp. 65.537.270,- Jumlah
: Rp. 208.274.720,-
Namun ternyata terdakwa Syahrir menyetorkan penerimaan pajak
tersebut ke kas daerah Propinsi Sulsel hanya sebesar Rp.
108.274.720,-, sehingga terdapat selisih penerimaan uang sebesar
Rp. 100.000.000,- yang tidak disetorkan ke Kas Daerah.
7. Bahwa terdakwa Syahrir pada tanggal 3 Februari 2006 telah
menerima uang hasil penagihan pajak kendaraan bermotor (PKB) jenis
A-I dari petugas Kas register atas nama :
a. SRIPURNAMA sebesar
: Rp. 190.796.750,-
b. PETRIANI HARUN sebesar
: Rp. 81.393.860,-Jumlah
: Rp. 272.190.610,-
Namun ternyata terdakwa Syahrir menyetorkan penerimaan pajak
tersebut ke kas daerah Propinsi Sulsel hanya sebesar Rp.
21.217.682,- sehingga terdapat selisih penerimaan uang sebesar Rp.
250.972.928,- yang tidak disetorkan ke Kas Daerah.
Bahwa dari perbuatan-perbuatan terdakwa yang diuraikan diatas,
terdapat selisih-selisih uang penerimaan pajak yang tidak
disetorkan oleh terdakwa selaku Kasir Penerima yaitu sebesar Rp.
950.972.928,- dikuasai dan digunakan oleh terdakwa untuk
menguntungkan kepentingannya sendiri atau setidaknya untuk
menguntungkan diri terdakwa atau orang lain atau suatu koorporasi
sehingga merugikan keuangan Negara Cq. Keuangan daerah Propinsi
Sulawesi Selatan karena selisih tersebut yang seharusnya masuk
sebagai Penerimaan dan Pendapatan Daerah namun ternyata tidak masuk
ke Kas Daerah.
Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana pada
Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tanun 2001 jo. Pasal 164
ayat (1) KUHP.
Dakwaan tersebut di atas merupakan dakwaan subsidairitas yang
dibuat penuntut umum untuk terdakwa atas perbuatannya melakukan
tindak pidana korupsi. Menurut , Majelis Hakim yang menangani kasus
tersebut bahwa terdakwa telah melakukan tindakan/perbuatan dengan
tujuan untuk memperkaya diri sendiri. Terdapat selisih uang
penerimaan pajak yang tidak disetorkan oleh terdakwa selaku Kasir
Penerima sebesar Rp. 950.972.928,- sehingga merugikan keuangan
Negara atau keuangan daerah Propinsi Sulawesi Selatan.
Adapun pertimbangan Majelis Hakim dalam menjatuhkan putusan
sebagaimana termaktub dalam amar putusan:
1. Bahwa didalam perkara ini terdakwa melakukan tindak pidana
korupsi yaitu :
Primair: Melakukan tindak pidana korupsi yang diancam pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 Undang-
Undang No.31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Subsidair: melakukan tindak pidana korupsi yang diancam pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
20 Tanun 2001 jo. Pasal 164 ayat (1) KUHP
2. Bahwa Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Nomor 31 tahun 1999
sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidaklah sejenis / serumpun
karena unsur pasal 2 ayat 1 adalah melawan hukum, memperkaya diri
sendiri, orang lain atau koorporasi sedangkan unsur Pasal 3 adalah
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan dengan tujuan menguntungkan diri
sendiri atau orang lain atau koorporasi sehingga unsur melawan
hukum di dalam Pasal 3 tersembunyi di dalam penyalahgunaan
kewenangan, kesempatan, sarana yang ada pada jabatan atau kedudukan
yang ditujukan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain
atau suatu koorporasi sehingga Majelis Hakim berpendapat bahwa
:
a) Pasal 2 ayat 1 dengan Pasal 3 adalah tidak sejenis /
serumpun.
b) Pasal 2 ayat 1 bukanlah Pasal pemberatan dari pasal 3.
c) Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 tidak dapat disusun bentuk surat
dakwaannya dalam bentuk subsidiaritas, tapi yang lebih tepat surat
dakwaannya adalah dalam bentuk surat dakwaan alternative.
3. Bahwa berdasarkan pertimbangan dan pendapat hukum Majelis
Hakim tersebut di atas, maka surat dakwaan yang dibuat / disusun
oleh jaksa penuntut umum dalam bentuk surat dakwaan subsidiaritas
dalam perkara ini dipandang oleh Majelis Hakim adalah surat dakwaan
dalam bentuk alternative dengan menempatkan dakwaan primair menjadi
dakwaan pertama dan dakwaan subsidair menjadi dakwaan kedua ;
Pertimbangan Majelis Hakim tersebut di atas pada intinya tidak
memandang dakwaan kepada terdakwa merupakan dakwaan subsidairitas,
tetapi merupakan dakwaan alternative. Terdakwa menurut Majelis
Hakim hanya melanggar Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dimana unsure-unsurnya
adalah sebagai berikut:
1. Unsur Setiap orang
Pengertian setiap orang dalam hal ini dijumpai dalam Pasal 1
butir 3 undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 yang menyatakan bahwa
setiap orang adalah perorangan atau termasuk. Rumusan setiap orang
dalam Pasal 1 butir 3 UU Nomor 20 Tahun 2001 tersebut, menurut
Majelis Hakim ialah siapa saja, artinya setiap orang karena
kedudukanya atau jabatannya dan perbuatannya disangka atau didakwa
melakukan suatu tindak pidana korupsi, baik ia pegawai negri maupun
bukan pegawai negri, dan mampu bertanggung jawab atas perbuatannya
itu. Dalam persidangannya terdakwa telah membenarkan nama dan
identitas lainnya dalam surat dakwaannya jaksa penuntut umum dan
menurut penilaian dan pendapat Majelis Hakim terdakwa adalah orang
yang mampu bertanggung jawab atas perbuatannya, dalam perkara ini
didakwa melakukan tindak pidana korupsi. Berdasarkan hal-hal
tersebut telah terbukti bahwa terdakwa adalah orang perorangan
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan pasal 1 butir 3 Undang-Undang
Nomor 20 tahun 2001, sehingga unsur setiap orang ini telah
terpenuhi;
2. Unsur Dengan Tujuan Menguntungkan diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi
Yang dimaksud menguntungkan yaitu perbuatan yang dilakukan untuk
mendapatkan setidak-tidaknya kenikmatan atau kemudahan atau semata
yang dapat dirasakan oleh akibat perbuatan itu, dan dalam hal ini
perbuatan itu tidak perlu / mutlak pelaku harus menjadi kaya (lagi)
dan ini dilakukan dengan cara melawan hukum. Menguntungkan diri
sendiri artinya dengan perbuatan melawan hukum itu Pelaku menikmati
/ mendatangkan laba atau manfaat atau kefaedahan, begitu juga
menguntungkan orang lain, maksudnya akibat perbuatan melawan hukum
dari pelaku, ada orang lain yang dapat menikmati / mendatangkan
laba atau manfaat atau kefaedahan. Jadi yang diuntungkan atau
mendatangkan laba atau manfaat atau kefawdahan bukan pelaku sendiri
secara langsung atau mungkin juga yang mendapat keuntungan dari
perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pelaku adalah suatu
korporasi, yaitu kumpulan orang atau kumpulan kekayaan yang
terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
Dari fakta-fakta yang terungkap di persidangan diperoleh fakta
hukum bahwa terdakwa selaku kasir penerima pada Unit Pelaksana
Teknis Dinas (UPTD) Wilayah Makassar Dipenda Propinsi Sulsel tidak
menyetorkan ke kas daerah Propinsi Sulsel uang pajak sebesar Rp.
950.972.928,-. Dengan fakta-fakta hukum yang ada maka terlihat
perbuatan terdakwa yang mengambil uang untuk dipakainya dan
seharusnya disetorkan ke kas daerah Propinsi Sulsel yang menjadi
kewajiban dan tanggung jawab terdakwa selaku kasir penerima. Dengan
demikian, maka dapat dikatakan bahwa perbuatan terdakwa telah
memenuhi unsur dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi.
3. Unsur Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang
ada padanya karena jabatan atau kedudukan
Maksud unsur ini adalah bahwa sifat secara melawan hukumnya
terdapat atau tersembunyi pada penyalahgunaan kewenangan kesempatan
atau sarana yang ada karena jabatan atau kedudukan yang dimiliki
oleh pelaku. Secara singkat ajaran sifat melawan hukum yang formal
menyatakan bahwa apabila suatu perbuatan telah mencocoki semua
unsur yang termuat dalam rumusan tindak pidana. Berdasarkan
fakta-fakta yang terungkap di persidangan diperoleh fakta hukum
bahwa terdakwa adalah seorang pegawai negeri dengan jabatan sebagai
Kasir Penerima pada Unit Pelaksana Teknik Dinas (UPTD) Wilayah I
Makassar Dipenda Propinsi Sulsel. Selaku kasir penerima dan
pemegang kas terdakwa mempunyai tugas pokok yaitu : Menerima hasil
penagihan pajak retribusi dari petugas kas register;
Menyetorkan uang secara keseluruhannya ke kas, daerah
Prop.Sulsel di APBD sulsel paling lambat 1 x 24 jam;
Dari hal-hal di atas telah terpenuhi oleh perbuatan terdakwa
selaku kasir penerima pada Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD)
Wilayah Makassar Dipenda Propinsi Sulawesi Selatan telah
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan sehingga unsure ini telah terpenuhi
dan terbukti dilakukan oleh terdakwa.4. Unsur Dapat merugikan
keuangan Negara atau perekonomian Negara
Dari rumusan elemen ini diketahui bahwa tindak pidana korupsi
adalah delik formil yang artinya bahwa akibat itu tidak perlu sudah
terjadi. Akan tetapi apabila perbuatan itu dapat/mungkin merugikan
keuangan Negara atau perekonomian Negara, maka perbuatan pidana
sudah selesai dan sempurna dilakukan. Adapun yang dimaksud dengan
merugikan adalah sama artinya dengan menjadi rugi atau menjadi
berkurang, sehingga dengan demikian yang dimaksud dengan unsur
merugikan keuangan Negara atau berkurangnya keuangan Negara. Dalam
penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
disebutkan bahwa kata dapat sebelum frasa merugikan keuangan atau
perekonomian Negara menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi
merupakan delik formil,yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup
dengan dipenuhinnya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan,
bukan dengan timbulnya akibat. Adapun yang dimaksud dengan keuangan
Negara dalam unsur ini adalah sebagaimana dijelaskan dalam
Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, yaitu seluruh
kekayaan Negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang
tidak dipisahkan termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan Negara
dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena:
a. Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban
pejabat lembaga Negara baik di tingkat pusat maupun di daerah;
b. Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban
badan usaha milik Negara / Badan usaha millik daerah, yayasan,
badan hukum dan perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga
berdasarkan perjanjian dengan Negara;
Sedangkan yang dimaksud dengan perekonomian Negara adalah
kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama
berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara
mandiri yang didasarkan pada kebijakan pemerintah, baik di tingkat
pusat maupun di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat,
kemakmuran dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat.Dari
fakta-fakta yang terungkap dipersidangan diperoleh fakta hukum
bahwa dana yang disetorkan / dibayarkan oleh masyarakat selaku
wajib pajak berupa pembayaran Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBN-KB) diterima terdakwa selaku
kasir penerima dari petugas kas register pada Unit Pelaksana Teknis
Dinas (UPTD) wilayah I Makassar Propinsi Sulawesi Selatan dengan
rincian sebagai berikut :
1. Pada Tanggal 30 November 2005, jumlah yang diterima Rp.
275.376.590,- dan yang disetor Rp. 125.376.020,-. Jadi, yang tidak
disetor Rp.150.000.000,-.2. Pada tanggal 02 Desember 2005, jumlah
yang diterima Rp. 239.578.020,- dan yang disetor Rp. 139.578.020,-.
Jadi, yang tidak disetor Rp. 100.000.000,-.3. Pada tanggal 06
Desember 2005, jumlah yang diterima Rp. 269.095.290,- dan yang
disetor Rp. 169.095.290,-. Jadi, yang tidak disetor Rp.
100.000.000,-.4. Pada tanggal 09 Desember 2005, jumlah yang
diterima Rp. 290.494.046,- dan yang disetor Rp. 140.491.046,- Yang
tidak disetor Rp. 150.000.000,-
5. Pada tanggal 26 Desember 2005. Jumlah yang diterima Rp.
210.273.900,- Yang disetor Rp. 110.273.900,- Yang tidak disetor Rp.
100.000.000,-
6. Pada tanggal 28 Desember 2005. Jumlah yang diterima Rp.
208.274.720,- Yang disetor Rp. 108.274.720,- Yang tidak disetor Rp.
100.000.000,-
7. Pada tanggal 03 Februari 2006. Hasil opname kas dari hasil
yang pemeriksaan yang tidak disetorkan Rp. 250.972.928,-
Jadi jumlah keseluruhan yang tidak disetor/ diselewengkan Rp.
950.972.928,-;
Dari sejumlah dana yang telah diterima oleh terdakwa yang
menjadi fakta hukum di atas, oleh terdakwa tidak disetorkan
seluruhnya ke kas daerah di BPD Sulsel yaitu sejumlah Rp.
950.972.928,- dan digunakan terdakwa untuk kepentingan sendiri
padahal uang tersebut adalah pemasukan pendapatan asli daerah
Propinsi Sulsel yang digunakan untuk pembiayaan pembangunan
pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan. Dengan demikian unsur Dapat
meruguikan keuangan Negara atau perekonomian Negara telah terbukti
dilakukan oleh terdakwa;
5. Perbuatan berlanjut
Rumusan pasal 64 ayat (1) KUHPidana menjelaskan bahwa jika
beberapa perbuatan berhubungan, sehingga dengan demikian harus
dipandang sebagai suatu perbuatan yang diteruskan, maka hanya satu
ketentuan/pidana saja yang digunakan walaupun masing-masing
perbuatan itu menjadi kejahatan atau pelanggaran, jika hukumannya
berlainan, maka yang digunakan ialah peraturan yang terberat
hukumannya. Beberapa perbuatan yang satu sama lain ada hubungannya
itu supaya dapat dipandang sebagai satu perbutan yang diteruskan
menurut pengetahuan dan praktek harus memenuhi syarat-syarat harus
timbul dari satu niat, perbuatan-perbuatan itu harus sama atau sama
macamnya, dan waktu antaranya tidak boleh terlalu lama. Dalam
memori penjelasan pembentukan Pasal 64 KUHP, pembentukan
undang-undang hanya mensyaratkan bahwa berbagai prilaku itu
haruslah merupakan pelaksanaan Suatu Keputusan yang terlarang dan
bahwa suatu kejahatan berlanjut itu hanya dapat terjadi dari
sekumpulan tindak pidana yang Sejenis. Untuk sutau perbuatan
berlanjut diperlukan adanya kesatuan kehendak, perbuatan itu
sejenis dan faktor hubungan waktu/ jarak waktu tidak terlalu lama.
Dari rangkaian keterangan saksi-saksi dan pengakuan Terdakwa yang
menjadi fakta-fakta hukum bahwa Terdakwa SYAHRIR Bin MADJID adalah
melaksanakan tugasnya selaku kasir penerima pada UPTD Wilayah I
Makassar, telah menerima penyetoran dana hasil penagihan pajak
kendaraan bermotor dari petugas Kas Register/petugas Loket, tetapi
uang sebesar Rp. 950.972.928,- yang seharusnya disetorkan ke Kas
Daerah Propinsi Sulawesi Selatan di BPD Sulawesi Selatan tidak
disetorkan oleh Terdakwa padahal seharusnya disetorkan seluruhnya
ke Kas Daerah/Propinsi Sulawesi Selatan paling lambat pada hari
kerja berikutnya dan dilakukan dalam beberapa waktu seperti
diuraikan di bawah ini :
1. Tanggal 30 November 2005 sebanyak
Rp. 150.000.000,-
2. Tanggal 02 Desember 2005 sebanyak
Rp. 100.000.000,-
3. Tanggal 06 Desember 2005 sebanyak
Rp. 100.000.000,-
4. Tanggal 09 Desember 2005 sebanyak
Rp. 150.000.000,-
5. Tanggal 26 Desember 2005 sebanyak
Rp. 100.000.000,-
6. Tanggal 26 Desember 2005 sebanyak
Rp. 100.000.000,-
7. Tanggal 03 Februari 2006 sebanyak
Rp. 250.972.928,-Jumlah yang tidak disetor
Rp. 950.972.928,-
Dari pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas unsur perbuatan
berlanjut telah terpenuhi oleh perbuatan Terdakwa.
Dari rangkaian pertimbangan-pertimbangan sebagaimana telah
diuraikan di atas, Majelis Hakim berpendapat bahwa Terdakwa telah
terbukti menurut hukum melakukan tindak pidana sebagaimana
didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam dakwaan kedua in casu,
yaitu memenuhi rumusan Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 jo. pasal 64 ayat (1) KUHP. Oleh karena Terdakwa telah
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
sebagaimana didakwakan dalam dakwaan tersebut, maka Terdakwa
haruslah dijatuhi pidana yang setimpal dengan perbuatannya sesuai
dengan ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.Lebih lanjut ., Majelis Hakim yang menangani perkara
tersebut mengatakan bahwa selama proses perkara ini Terdakwa
ditahan, maka pidana yang dijatuhkan haruslah dikurangkan
seluruhnya dengan lamanya Terdakwa tersebut di dalam tahanan.
Sebelum penjatuhan pidana terhadap diri Terdakwa, maka perlu
dipertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan yang meringankan
Terdakwa adalah sebagai berikut:
1. Hal-hal yang memberatkan:
a) Perbuatan Terdakwa dilakukan di saat Pemerintah dan
Masyarakat sedang giat-giatnya memberantas korupsi;
b) Terdakwa selaku seorang Pegawai Negeri diharapkan menjadi
teladan bagi orang lain;
2. Hal-hal yang meringankan:
a) Terdakwa berterus terang dan memprlancar proses
persidangan;
b) Terdakwa belum pernah dihukum dan mempunyai tanggungan
keluarga;
Berdasarkan pemaparan kasus tersebut di atas, penulis
berpendapat bahwa keputusan Majelis Hakim menjatuhkan pidana kepada
terdakwa adalah telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Pengurangan hukuman hanya dikarenakan faktor-faktor
yang meringankan terdakwa sebagaimana telah dijelaskan di atas.
Selain itu, pidana penjara terdakwa dikurangi dengan lamanya
terdakwa menjalani kurungan selama proses pemeriksaan
berlangsung.
Hanya sedikit kasus korupsi yang mampu diselesaikan secara
objektif di pengadilan. Ironisnya, banyak tindak pidana korupsi
yang bahkan diputus bebas oleh pengadilan. Setelah implementasi
Otonomi Daerah, Korupsi kian mencemaskan. Arah desentralisasi yang
membawa semangat keadilan distributif sumber-sumber negara yang
selama 32 tahun dikuasai secara otoriter oleh pemerintah pusat kini
justru menjadi ajang distribusi korupsi dimana aktor dan areal
korupsi kian meluas. Praktek korupsi tidak lagi terorganisir dan
terpusat, tetapi sudah terfragmentasi seiring dengan munculnya
pusat-pusat kekuasaan baru. Dalam realitanya, pemberantasan korupsi
di Indonesia hanya sekedar wacana belaka. Untuk mewujudkan
penegakan hukum yang optimal, maka yang dibutuhkan adalah penegak
hukum yang jujur dan berdedikasi tinggi, bukan memperbanyak aturan
perundang-undangan yang justru malah memberi ruang gerak bagi para
pelanggar hukum (koruptor) untuk dapat bergerak bebas.
B. Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Penerapan Sanksi
Dalam Tindak Pidana KorupsiGangguan terhadap penegakan hukum
mungkin terjadi apabila ada ketidakserasian antara nilai, kaidah
dan pola prilaku. Gangguan tersebut terjadi apabila terjadi
ketidakserasian antara nilai-nilai yang menjelma di dalam
kaidah-kaidah dan pola prilaku yang tidak terarah yang mengganggu
kedamaian pergaulan hidup.
Secara teori, faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum
ada 5 (lima) faktor. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh
Soerjono Soekanto (2007:8) bahwa:
Masalah pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada
faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut
mempunyai arti yang netral sehingga dampak positif atau negatifnya
terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Faktor-faktor adalah
sebagai berikut:
1. Faktor hukumnya sendiri, dalam hal ini undang-undang.
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun
menerapkan hukum.
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan
hukum.
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut
berlaku atau diterapkan.
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa
yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Kelima faktor-faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya
oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum dan juga
merupakan tolok ukur dari efektivitas penegakan hukum. Dalam
menjatuhkan hukuman atau menerapkan sanksi pada tindak pidana
korupsi, hakim pun memiliki kendala-kendala yang dialami. Menurut
., Hakim di Pengadilan Negeri Makassar mengatakan bahwa
kendala-kendala yang dihadapi hakim dalam menerapkan sanksi pada
tindak pidana korupsi adalah berasal dari faktor penegak hukum itu
sendiri, baik dari hakim itu sendiri maupun dari pihak
kejaksaan/penuntut umum. Banyak hakim yang menangani kasus korupsi
yang tidak objektif dalam menjatuhkan sanksi. Bahkan kasus
penyuapan akhir-akhir ini marak terjadi, tidak terkecuali pada
hakim itu sendiri. Makanya jangan heran ketika ada terdakwa kasus
korupsi yang bebas (wawancara Tanggal 2009).
Pada tahap pembuktian perkara korupsi, keyakinan hakim sangat
diperlukan dalam menentukan putusannya, walaupun pada dasarnya daya
pengaruh atau kekuatan dari masing-masing alat bukti adalah sama,
namun dapat menjadi penilaian hakim dalam menggunakan haknya yang
berbeda. Mengapa demikian ? karena dalam menggunakan haknya untuk
menilai alat-alat bukti, hakim dapat saja berada diantara sekian
banyak alat bukti, baik dalam jenis yang berlainan maupun dalam
jenis yang sama sehingga hal tersebut dapat mempengaruhi
pembentukan keyakinan hakim.
Dalam membentuk keyakinan hakim, jaksa penuntut umum dan
penasihat hukum berusaha untuk mengajukan alat-alat bukti demi
untuk memberikan atau untuk membangun keyakinan hakim. Namun untuk
mendapatkan suatu keyakinan hakim tidak saja berpatokan pada satu
alat bukti saja, ia harus menilai alat bukti yang lainnya. Dalam
pembuktian perkara korupsi dikenal alat bukti petunjuk yang nanti
diperoleh dan digunakan setelah alat-alat bukti yang ada telah
dipergunakan di persidangan.BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Penerapan sanksi dalam tindak pidana korupsi yang terjadi di
Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Wilayah I Makassar Dipenda
Propinsi Sulawesi Selatan sudah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Pengurangan hukuman hanya
dikarenakan faktor-faktor yang meringankan terdakwa. Selain itu,
pidana penjara terdakwa dikurangi dengan lamanya terdakwa menjalani
kurungan selama proses pemeriksaan berlangsung..2. Faktor-faktor
yang mempengaruhi penerapan sanksi dalam tindak pidana korupsi
adalah berasal dari penegak hukum itu sendiri. Apabila hakim mampu
secara objektif menilai dan menganalisa kasus tersebut, maka
penerapan saksi pada perkara itu akan objektif pula, sesuai denga
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Demikian pula dengan
pihak kejaksaan/penuntut umum, jika mampu menghadirkan bukti-bukti
di pengadilan secara lengkap dan memberikan tuntutan secara tegas,
maka akan memberikan shock therapy kepada para pelaku korupsi yang
lainnya.B. Saran
Sehubungan dengan kesimpulan di atas, maka penulis memberikan
saran-saran sebagai berikut:
1. Untuk memberantas tindak pidana korupsi, maka diperlukan
sikap yang tegas dari para penegak hukum dalam mengadili
kasus-kasus korupsi.
2. Diharapkan kepada Hakim untuk tetap objektif dalam menilai
dan tetap bertanggungjawab dalam mempergunakan wewenang kebebasan
dalam menilai pembuktian, karena dengan adanya tanggungjawab yang
ada dalam diri hakim tersebut dapat tercipta kebenaran sejati,
tegaknya hukum serta adanya kepastian hukum. DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Andi Zainal Farid,. 1995. Hukum Pidana I. Sinar Grafika.
Jakarta.
Anwar, Moch, H.A.K. 1994.). Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP
Buku II. Jilid I. Cipta Aditya Bakti. Bandung
Amrullah,Arief. 2006, Kejahatan Korporasi, Bayumedia,
Malang.
Atmasasmita, Romli. 2004, Sekitar Masalah Korupsi (Aspek
Nasional dan Aspek Internasional), Mandar Maju, Bandung.
Bawengan, G.W. 1974. Pengantar Psikologi Kriminal. Pradnya
Paramita. Jakarta.
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. 1999. Strategi
Pemberantasan Korupsi Nasional. Jakarta. Pusat Pendidikan dan
Latihan Pengawasan BPKP.
Chazawi, Adami. 2002.Pelajaran Hukum Pidana I. Jakarta,
RajaGrafindo Persada. Jakarta.
____________, 2005, Hukum Pidana Materil dan Formil Korupsi di
Indonesia, Bayumedia, Jakarta.
Effendy, Rusli. 1986. Azas-azas Hukum Pidana. Lembaga Percetakan
dan Penerbitan Universitas Muslim Indonesia. Ujung Pandang.
Gosita, Arif. 1983. Masalah Korban Kejahatan. Pressindo.
Jakarta.
Hadiati Koeswadji, Hermien 1995, Perkembangan Macam-macam Pidana
dalam Rangka Pembangunan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung.
Halim, Ridwan. 1982. Hukum Pidana Dalam Tanya Jawab. Ghalia
Indonesia. Yogyakarta.
Hamzah, Andi.1985. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia.
Jakarta, Ghalia Indonesia.
____________. 2008. Asas Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta.
Jakarta.
____________ dan Siti Rahayu. Suatu Tinjauan Ringkas Sistem
Pemidanaan Di Indonesia. Jakarta. Akadenindo Pressindo.
Husein, Yunus ,PPATK; Tugas Wewenang dan Peranannya dalam
Memberantas Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia, Jurnal Hukum
Bisnis; Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Volume 22 tahun
2003.
____________, Upaya Membantu Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Melalui Penerapan Undang-undang tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang, Makalah, Bogor, 23 Juli 2004.
Lamintang. 1984. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. Sinar Baru.
Bandung.
__________. 1985. Delik-delik Khusus. Bina Cipta. Jakarta.
Lopa,Baharudin 2002, Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum,
Kompas Media Nusantara, Jakarta.
Marpaung, Leden. 1991. Unsur-unsur Perbuatan yang dapat dihukum
(Delik). Sinar Grafika.
____________, 2001, Tindak Pidana Korupsi, Pemberantasan dan
Pencegahan, Jambatan, Jakarta.
Maskat H, Djunaidi 1996, Pengetahuan Praktis Berlalu Lintas Di
Jalan Raya, Bandung, CV. Sibaya.
Moeljatno. 1985. Azas-asas Hukum Pidana. Bina Aksara.
Jakarta
Mubyarto. 1980. Ilmu Sosial dan Ilmu Keadilan. Argo Ekonomika.
Jakarta.
Poernomo, Bambang. 1986. Pokok-pokok Tata Peradilan Pidana
Indonesia. Dalam Undang-undang Republik Indonesia No.8 Th 1981.
Liberty. Yogyakarta.
Poerwadarminta, W.J.S. 1986. Kamus Bahasa Indonesia. Balai
Pustaka. Jakarta.
Prodjodikoro, Wirjono. 1986. Azas-azas Hukum Pidana di
Indonesia. PT. Eresco. Bandung.
____________, 1981, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Sumur
Bandung, Bandung.
Prodjohamidjojo, Martiman. 2001. Penerapan Pembuktian Terbalik
Dalam Delik Korupsi. Eresco. Jakarta.
Prokoso, Djoko. 1988. Hukum Penitensier di Indonesia. Liberty.
Yogyakarta.
Siregar, Bismar. 1983. Hukum Acara Pidana. Bina Cipta.
Jakarta.
Soedjono. 1983. Penanggulangan Kejahatan (Crime Preventiom).
Alumni. Bandung.
Soesilo, R. 1985. Kriminologi (Pengetahuan Tentang Sebab-sebab
Kejahatan). Politeia. Bogor.
Sholehuddin, 2004, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana (Ide Dasar
Double Track System dan Implementasinya), Raja Grafindo Persada,
Jakarta.58