BAB I PENDAHULUAN A Latar Belakang Masalah Perseroan terbatas yang sahamnya dimiliki oleh masyarakat melalui bursa saham memiliki pemisahan yang jelas antara pemilik modal dengan pengelola atau manajemen perusahaan. Masing – masing pihak mempunyai fungsi yang berbeda yaitu sebagai pemilik modal dan pihak yang memanfaatkan modal untuk menjalankan kegiatan ekonomi perusahaan. Dalam teori agensi, hubungan agensi muncul ketika satu orang atau lebih principal mempekerjakan orang lain (agent) untuk memberikan suatu jasa dan kemudian mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan kepada agen tersebut. Masalah agensi timbul karena adanya konflik kepentingan antara principal dan agen, karena tidak bertemunya 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
A Latar Belakang Masalah
Perseroan terbatas yang sahamnya dimiliki oleh masyarakat
melalui bursa saham memiliki pemisahan yang jelas antara pemilik modal
dengan pengelola atau manajemen perusahaan. Masing – masing pihak
mempunyai fungsi yang berbeda yaitu sebagai pemilik modal dan pihak
yang memanfaatkan modal untuk menjalankan kegiatan ekonomi
perusahaan.
Dalam teori agensi, hubungan agensi muncul ketika satu orang atau
lebih principal mempekerjakan orang lain (agent) untuk memberikan
suatu jasa dan kemudian mendelegasikan wewenang pengambilan
keputusan kepada agen tersebut. Masalah agensi timbul karena adanya
konflik kepentingan antara principal dan agen, karena tidak bertemunya
utilitas yang maksimal antara mereka. Sebagai agen, manajer secara moral
bertanggung jawab untuk mengoptimalkan keuntungan para pemilik
(principal), namun di sisi lain manajer juga mempunyai kepentingan
memaksimumkan kesejahteraan mereka. Sehingga agen tidak selalu
bertindak demi kepentingan terbaik (Jensen dan Meckilng, 1976)
Manajer sebagai pengelola perusahaan lebih banyak mengetahui
informasi internal dan prospek perusahaan di masa yang akan datang
dibandingkan pemilik. Oleh karena itu sebagai pengelola, manajer
1
berkewajiban memberikan sinyal mengenai kondisi perusahaan kepada
pemilik. Akan tetapi informasi yang disampaikan terkadang tidak sesuai
dengan kondisi perusahaan yang sebenarnya. Kondisi ini dikenal sebagai
informasi yang tidak simetris atau asimetri informasi (Ujiyantho, 2007 ).
Adanya asimetri informasi antara manajemen (agent) dan pemilik
(principal) memberikan kesempatan kepada manajer untuk bertindak
opportunis dengan cara melakukan manajemen laba dalam hal pelaporan
keuangan. Tindakan manajemen laba telah memunculkan beberapa kasus
skandal keuangan di perusahaan publik di Indonesia seperti yang terjadi
pada PT.Lippo Tbk, dan PT. Kimia Farma yang melibatkan pelaporan
keuangan yang berawal dari terdeteksi adanya manipulasi (Boediono,
2005).
Laporan keuangan merupakan sarana untuk mengomunikasikan
informasi mengenai kondisi perusahaan kepada pihak internal maupun
eksternal yang membutuhkan informasi tersebut. Laporan keuangan yang
disusun berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan (SAK) terdiri dari
neraca, laporan laba rugi, laporan arus kas, laporan perubahan ekuitas dan
catatan atas laporan keuangan digunakan sebagai sumber informasi
penting mengenai keberadaaan sumber daya ekonomi perusahaan untuk
pengambilan keputusan pihak internal maupun eksternal perusahaan.
Salah satu informasi yang terdapat di dalam laporan keuangan
adalah informasi mengenai laba perusahaan. Menurut PSAK Nomor 1
informasi laba diperlukan untuk menilai perubahan potensi sumberdaya
2
ekonomis yang mungkin dapat dikendalikan di masa depan, menghasilkan
arus kas dari sumber daya yang ada, dan untuk perumusan pertimbangan
tentang efektivitas perusahaan dalam memanfaatkan tambahan sumber
daya (IAI, 2004). Adanya tindakan opportunis manajer yang berupa
manajemen laba dapat mengakibatkan para pengguna laporan keuangan
tidak dapat membuat keputusan dengan tepat karena informasi yang
diperolehnya bias sehingga mungkin dapat menyesatkan.
Perilaku manipulasi oleh manajer yang berawal dari konflik
kepentingan dapat diminimumkan melalui suatu mekanisme yang
bertujuan untuk menyelaraskan kepentingan agent dengan principal adalah
dengan melalui mekanisme Good Corporate Governance (Midiastuty,
2003). Mekanisme tersebut antara lain dengan ;
1.Memperbesar kepemilikan saham perusahaan oleh manajemen (Jensen
dan Meckling, 1976) sehingga kepentingan pemilik atau pemegang saham
akan dapat disejajarkan dengan kepentingan manajer, 2.Kepemilikan
saham oleh investor institusional karena investor institusional merupakan
pihak yang dapat momonitor agen dengan kepemilikannya yang besar dan
professional sehingga motivasi untuk melakukan manipulasi menjadi
berkurang, 3.Melalui peran monitoring oleh dewan komisaris dan komite
audit (Beasley,1996 dalam Ujiyantho, 2007) dan Suranta (2005).
Dua hal yang ditekankan dalam konsep good corporate
governance, yaitu ; pentingnya hak pemegang saham untuk memperoleh
informasi dengan benar (akurat) dan tepat pada waktunya dan kewajiban
3
perusahaan untuk melakukan pengungkapan (disclosure) secara akurat,
tepat waktu, dan transparan terhadap semua informasi kinerja perusahaan,
kepemilikan, dan pemegang kepentingan (stakeholder).
Mekanisme good corporate governance yang dicerminkan dari
adanya kepemilikan manajeral, kepemilikan institusional, ukuran dewan
komisaris independen dan komite audit mampu menghambat aktivitas
manajemen laba. Penelitian – penelitian tentang mekanisme good
corporate governance terhadap manajemen laba telah dilakukan di dalam
negeri maupun di luar negeri antara lain ; Chtorou (2001), Midiastuty
(2003), Bachtiar (2004), Veronica (2005),Ujiyantho (2007). Namun
mekanisme good corporate governance terhadap manajemen laba tetap
menarik untuk diteliti mengingat tidak konsistennya hasil – hasil
penelitian sebelumnya. Oleh sebab itu peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian kembali tentang hubungan antara mekanisme good corporate
governance dengan aktivitas manajemen laba pada perusahaan go public
yang bergerak di sektor manufaktur.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas,
maka penulis dapat menentukan perumusan masalah sebagai berikut :
“ Apakah mekanisme good corporate governance, yaitu
kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, proporsi dewan
4
komisaris independen, komite audit mempunyai pengaruh terhadap praktik
manajemen laba pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI ? “
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan bukti empiris
bahwa mekanisme good corporate governance yang terdiri dari
kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, proporsi dewan
komisaris independen, komite audit mempunyai pengaruh terhadap praktik
manajemen laba pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan melalui penelitian ini adalah :
1. Penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi, informasi dan
wawasan teoritis khususnya berkaitan dengan implementasi dari
konsep good corporate governance
2. Sebagai bahan masukan untuk menambah informasi bagi investor dan
pihak eksternal pemakai laporan keuangan untuk dijadikan bahan
pertimbangan dalam pengambilan keputusan ekonomis.
5
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Teori Agensi dan Asimetri Informasi
Konsep teori agensi menurut Anthony dan Govindarajan
(1995:569) dalam Widyaningdyah (2001) adalah hubungan atau kontrak
anatara principal dan agent. Principal mempekerjakan agen untuk
melakukan tugas untuk kepentingan principal, termasuk pendelegasian
otoritas pengambilan keputusan dari principal kepada agent. Pada
perusahaan yang modalnya terdiri atas saham, pemegang saham bertindak
sebagai principal dan manajer sebagai agent mereka. Pemegang saham
mempekerjaan manager untuk bertindak sesuai keinginan principal.
Teori agensi memiliki asumsi bahwa masing – masing individu
semata – mata termotivasi oleh kepentingan dirinya sendiri sehingga
menimbulkan konflik kepentingan antara principal dan agent (Jensen dan
Meckling, 1976). Pihak principal termotivasi mengadakan kontrak untuk
menyejahterahkan dirinya dengan profitabilitas yang selalu meningkat.
Agen termotivasi untuk memaksimalkan pemenuhan kebutuhan ekonomi
dan psikologisnya, antara lain dalam hal memperoleh investasi, pinjaman,
maupun kontrak investasi (Widyaningdyah, 2001). Adanya kepentingan
yang berbeda tersebut dapat menyebabkan munculnya masalah keagenan
dimana principal kesulitan memastikan bahwa agen bertindak untuk
memaksimumkan kesejahteraan principl.
6
6
Agent sebagai pihak yang bertugas untuk mengelola perusahaan
mempunyai lebih banyak informasi mengenai kapasitas diri, lingkungan
kerja, dan perusahaan secara keseluruhan. Sedangkan principal tidak
memiliki informasi yang cukup tentang kinerja agen. Hal inilah yang
mengakibatkan adanya ketidakseimbangan informasi antara principal dan
agen. Ketidakseimbangan informasi inilah yang disebut dengan asimetri
informasi (Ujiyantho, 2007).
Menurut teori keagenan, pengawasan yang secara luas digunakan
dan diharapkan dapat mengurangi masalah keagenan antara principal dan
agen adalah mekanisme pelaporan keuangan. Melalui laporan keuangan
yang merupakan sarana pertanggungjawaban agen, principal dapat
mengukur dan menilai sekaligus mengawasi kinerja agen serta sejauh
mana agen telah bertindak untuk meningkatkan kesejahteraan principal.
Selain itu, pemilik/pemegang saham dapat memberikan kompensasi
kepada agen berdasarkan laporan keuangan, kreditur dapat memberikan
pinjaman dengan mempertimbangkan laporan keuangan, pemerintah dapat
menetapkan regulasi berdasarkan laporan keuangan tersebut
(Wedari,2004). Ketergantungan pihak – pihak eksternal pada laporan
keuangan, kecenderungan manajer untuk mencari keuntungan sendiri
(moral hazard) dan adanya asimetri informasi yang tinggi menyebabkan
keinginan besar bagi manajer untuk memanipulasi kinerja yang dilaporkan
dengan menggunakan komponen – komponen yang terdapat dalam laporan
keuangan
7
B. Laporan Keuangan dan Informasi Laba
Laporan keuangan merupakan salah satu sumber informasi yang
secara formal wajib dipublikasikan sebagai sarana pertanggungjawaban
pihak manajemen terhadap pengelolaan sumber daya pemilik. Menurut
Munawir (2002: 2) laporan keuangan hakekatnya merupakan suatu hasil
dari proses akuntansi yang dapat digunakan sebagai alat untuk
berkomunikasi antara data keuangan atau aktivitas suatu perusahaan
dengan pihak-pihak yang berkepentingan dengan data atau aktivitas
perusahaan tersebut. Oleh sebab itulah laporan keuangan diperlukan untuk
memenuhi kebutuhan pihak – pihak eksternal maupun internal perusahaan
mengenai kondisi perusahaan. Laporan keuangan yang disusun
berdasarkan standar akuntansi keuangan terdiri dari neraca, laporan laba
rugi, laporan arus kas, laporan perubahan ekuitas dan catatan atas laporan
keuangan.
Pada dasarnya pengguna laporan keuangan dapat dibedakan
menjadi dua kelompok yaitu pihak internal meliputi manajemen dan pihak
eksternal perusahaan yang meliputi pemegang saham, kreditor,
pemerintah, karyawan, konsumen serta masyarakat. Bagi pemegang saham
laporan keuangan berfungsi untuk membantu mereka dalam pengambilan
keputusan yang berkaitan dengan investasi yang mereka lakukan terhadap
perusahaan. Bagi karyawan, laporan keuangan dapat memberikan
informasi yang memungkinkan mereka untuk menilai kemampuan
perusahaan dalam memberikan balas jasa, manfaat pensiun dan
8
kesempatan kerja. Bagi kreditor, laporan keuangan dapat memberikan
informasi bagaimana prospek perusahaan dalam membayar kembali
pinjaman pada saat jatuh tempo. Bagi konsumen serta masyarakat, laporan
keuangan dapat memberikan informasi mengenai trend, kemakmuran
perusahaan, rangkaian aktivitasnya serta kelangsungan hidup perusahaan.
Bagi manajemen, laporan keuangan berfungsi untuk membantu dalam
melaksanakan tanggung jawab perencanaan dan pengendalian serta
pengambilan keputusan. Laporan keuangan diakui oleh investor, kreditur,
supplier, organisasi buruh, bursa efek, dan para analisis keuangan sebagai
sumber informasi penting mengenai sumber daya ekonomi perusahaan
yang diharapkan berguna untuk pengambilan keputusan. Informasi
tersebut juga diharapkan menjadi pedoman untuk pemegang saham dan
investor potensial untuk menentukan kepentingan investasi mereka
terhadap saham emiten.
Dalam penyusunan laporan keuangan, dasar akrrual dipilih karena
lebih rasional dan adil dalam mencerminkan kondisi perusahaan secara riil
namun disisi yang lain penggunaan dasar akrrual dapat memberikan
keleluasaan kepada pihak manajemen dalam memilih metode akuntansi
selama tidak menyimpang dari aturan Standar Akuntansi Keuangan yang
berlaku (Halim, 2005).
Salah satu informasi yang terdapat dalam laporan keuangan adalah
informasi mengenai laba perusahaan. Menurut PSAK Nomor 1, informasi
laba diperlukan diperlukan untuk menilai perubahan potensi sumber daya
9
ekonomis yang mungkin dapat dikendalikan dimasa depan, menghasilkan
arus kas dari sumber daya yang ada, dan untuk perumusan pertimbangan
tentang efektivitas perusahaan dalam memanfaatkan tambahan sumber
daya (IAI, 2004). Bagi pemilik saham dan investor, laba berarti
peningkatan nilai ekonomis yang akan diterima melalui pembagian
deviden. Laba juga digunakan sebagai alat untuk mengukur kinerja
manajemen atas pertanggungjawaban manajemen dalam pengelolaan
sumber daya yang dipercayakan kepada mereka, serta dapat dipergunakan
untuk memperkirakan prospeknya dimasa yang akan datang (Boediono,
2005). Pentingnya informasi laba ini disadari oleh manajer, sehingga jika
pada suatu kondisi dimana manajer tidak berhasil mencapai target laba
yang ditentukan maka manajer akan memanfaatkan fleksibilitas yang
diperbolehkan oleh standar akuntansi dalam penyusunan laporan keuangan
untuk memodifikasi laba yang dilaporkan.
C. Manajeman Laba
Manajemen laba dilakukan sebagai perilaku opportunis manajer
dan efficient contracting. Sebagai perilaku opportunis manajer yakni
dalam memaksimalkan utilitasnya dalam menghadapi kontrak kompensasi,
hutang, dan political cost (Scott, 2000:343). Sikap opportunis ini
direfleksikan dengan melakukan rekayasa keuangan dengan menerapkan
income increasing discretionary accruals. Sedangkan sebagai efficient
contracting, manajemen laba memberikan manajer suatu fleksibilitas
10
untuk melindungi diri mereka dan perusahaan dalam mengantisipasi
kejadian yang tidak terduga untuk keuntungan pihak yang terlibat dalam
kontrak.
Dalam keadaan informasi asimetri yang tinggi, maka pemegang
saham tidak mempunyai informasi yang cukup untuk mengetahui apakah
laporan keuangan khususnya laba telah dimanipulasi. Adanya informasi
asimetri yang tinggi membuka peluang window dressing melalui
pengaturan kebijakan akrual. Teori agensi mendukung hal tersebut, dengan
menyatakan bahwa kontrak antara agent dengan principal akan
menghasilkan konflik, mengingat keterlibatan dan pihak yang sama –
sama menginginkan keuntungan. Agar laba perusahaan mencapai nilai
yang diinginkan, maka manajer akan mengatur laba tersebut karena
terdapat peluang untuk melakukannya. Peluang tersebut muncul karena
adanya kelemahan dalam akuntansi itu sendiri dan informasi asimetri
antara manajer dengan stakeholder.
Laporan keuangan yang disusun berdasarkan akuntansi akrrual
mengharuskan pencatatan pendapatan dan beban berdasarkan saat
terjadinya hak dan kewajiban, bukan saat penerimaan dan pengeluaran kas
(Achmad,2007). Dalam penerapan akuntansi akrual, prinsip akuntansi
yang diterima umum memberikan fleksibilitas dengan memberikan
keleluasaan kepada manajer untuk memilih kebijakan akuntansi dalam
pelaporan laba. Namun fleksibilitas prinsip akuntansi tersebut
menimbulkan peluang bagi manajer untuk mengelola laba.
11
Manajemen laba adalah campur tangan dalam proses pelaporan
keuangan eksternal dengan tujuan untuk menguntungkan diri sendiri.
Manajemen laba merupakan salah satu faktor yang dapat mengurangi
kredibilitas laporan keuangan, manajemen laba menambah bias dalam
laporan keuangan dan dapat mengganggu pemakai laporan keuangan yang
mempercayai angka laba hasil rekayasa tersebut sebagai angka laba tanpa
rekayasa (Setiawati dan Na’im, 2000 dalam Rahmawati, 2006 ).
Sugiri (1998) dalam Suharli (2005 ) membagi manajemen laba menjadi
dua yaitu :
a. Definisi sempit “ Earning management adalah perilaku manajer untuk bermain dengan komponen discretionary accruals dalam menentukan besarnya earning “ . Dalam hal ini Earning management hanya berkaitan dengan metode akuntansi.
b. Definisi Luas “ Earning management adalah tindakan manajer untuk meningkatkan ( mengurangi ) laba yang dilaporkan saat ini atas suatu unit di mana manajer bertanggung jawab, tanpa mengakibatkan peningkatan (penurunan) profitabilitas ekonomis jangka panjang unit tersebut.”.
Definisi – definisi manajemen laba tersebut menggambarkan
manajemen laba sebagai suatu tindakan opportunis manajer sehingga dapat
memanage earnings pada tingkat yang diinginkan dengan maksud untuk
mendapatkan keuntungan atau manfaat tertentu melalui tindakan intervensi
manajer terhadap proses penyusunan laporan keuangan. Terdapat beberapa
bentuk manajemen laba yang dipilih oleh manajemen, hal tersebut
tergantung tujuan mereka melakukan manajemen laba.
12
Menurut Suharli (2005) bentuk manajemen laba yang dapat
dilakukan oleh manajer adalah:
a. Taking a Bath, pola ini terjadi pada saat reorganisasi termasuk pengangkatan CEO baru dengan melaporkan kerugian dalam jumlah besar. Tindakan ini diharapkan dapat meningkatkan laba di masa datang. b. Income Minimization, dilakukan pada saat perusahaan mengalami tingkat profitabilitas yang tinggi sehingga jika laba pada periode mendatang diperkirakan turun drastis dapat diatasi dengan mengambil laba periode sebelumnya. c. Income Maximization, dilakukan pada saat laba menurun. Tindakan atas income maximization bertujuan untuk melaporkan net income yang tinggi untuk tujuan bonus yang lebih besar. Pola ini dilakukan oleh perusahaan yang melakukan pelanggaran perjanjian hutang. d. Income Smoothing, dilakukan perusahaan dengan cara meratakan laba yang dilaporkan sehingga dapat mengurangi fluktuasi laba yang terlalu besar karena pada umumnya investor lebih menyukai laba yang relatif stabil.
Beberapa hal yang memotivasi manajer untuk melakukan
manajemen laba adalah :
1. Motif kontrak bonus
Perusahaan yang memberikan bonus/kompensasi kepada
manajer berdasarkan kinerja mereka yang didasarkan pada laba
perusahaan yang dicapai maka hal tersebut akan mendorong
manajer untuk malakukan manajemen laba. Manajer
perusahaan yang memperoleh laba dibawah target laba akan
melakukan manipulasi laba agar memperoleh bonus yang
maksimal di masa yang akan datang. Healy (1985) menemukan
bahwa manajer akan cenderung memilih penurunan laba ketika
13
informasi laba tidak mencapai target bonus minimal atau
melewati target bonus maksimal.
2. Motif kontrak hutang
Hipotesis debt covenant menyatakan bahwa manajer
termotivasi melakukan manajemen laba untuk menghindari
pelanggaran perjanjian utang. Sweeney dalam Achmad (2004)
mengindikasikan bahwa perusahaan pelanggar perjanjian
utang menggunakan akrual untuk meningkatkan laba tahun
sebelumnya. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Defond dan
Jiambalvo (1994) dalam Wulandari (2004) konsisten dengan
penelitian yang dilakukan oleh Sweeney dimana mereka
menemukan bahwa pada satu periode sebelum pelanggaran
perjanjian hutang, perusahaan akan merekayasa akrual yaitu
dengan memilih metode akuntansi yang dapat meningkatkan
laba untuk meminimalkan kerugian akibat pelanggaran
perjanjian kredit.
3. Motif politik
Motivasi politik timbul karena manajemen memanfaatkan
kelemahan akuntansi yang menggunakan estimasi akrual serta
pemilihan metode akuntansi dalam rangka menghadapi
berbagai regulasi yang dikeluarkan pemerintah. Jones (1991)
menemukan bukti bahwa produsen domestik cenderung
menurunkan laba dengan menggunakan teknik discretionary
14
accruals untuk mempengaruhi keputusan regulasi impor.
Sedangkan Naim dan Hartono (1996) dalam Sugiarto (2003)
menemukan bahwa perusahaan yang diduga melakukan praktik
monopoli melakukan manajemen laba untuk menghindari
undang – undang anti trust.
4. Motif perpajakan
Motivasi penghematan pajak menjadi motivasi yang paling
nyata. Berbagai metode akuntansi digunakan dengan tujuan
penghematan pajak pendapatan. Wulandari (2004) melakukan
penelitian tentang indikasi manajemen laba menjelang UUP
2000 pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEJ. Hasil
yang diperoleh menunjukkan bahwa discretionary accrual
periode setelah perubahan undang-undang lebih tinggi daripada
periode sebelumnya. Hal ini berarti bahwa dengan adanya
perubahan undang-undang perpajakan, praktik manajemen laba
tetap dilakukan. Pihak manajemen perusahaan cenderung untuk
mentransfer labanya pada periode setelah undang-undang
perpajakan karena pada periode ini tarif pajak penghasilannya
telah menurun sehingga perusahaan dapat memperoleh
penghematan pajak.
5. Pergantian CEO
Bonus plan hipotesis mempredikasi bahwa semakin mendekati
periode pensiun seorang CEO akan cenderung melakukan
15
strategi income maximization untuk meningkatkan bonus
mereka. De Angelo dan Skinner (1994) dalam Wedari (2004)
menemukan bahwa CEO akan melakukan take a bath untuk
meningkatkan probabilitas peningkatan laba dimasa
mendatang.
6. Penawaran saham perdana (IPO)
Perusahaan yang akan go public belum memiliki nilai pasar,
dan menyebabkan manajer perusahaan yang akan go public
melakukan manajemen laba dalam prospectus mereka dengan
harapan dapat menaikkan harga saham perusahaan. Sutanto
(2000) dalam wulandari (2004) menemukan bahwa perusahaan
yang melakukan IPO menggunakan discretionary accruals
untuk meningkatkan laba akuntansi yang dilaporkan pada
laporan keuangan prospektus.
Akuntansi akrual terdiri dari discretionary accruals (DA) dan non
discretionary accruals (NDA). Discretionary accruals merupakan akkrual
yang ditentukan manajemen, dimana manajer dapat memilih kebijakan
dalam hal metode dan estimasi akuntansi. Manajemen laba dapat diukur
dengan model Discretioanry accruals, karena model ini menjelaskan
bahwa manajer memiliki diskresi untuk menggunakan akuntansi akrual
sebagai alat pengelolaan laba (Jones, 1991).
Praktik manajemen laba yang dilakukan manajer melalui rekayasa
komponen akrrual yang terdapat dalam laporan keuangan perusahaan
16
dapat mengakibatkan terjadinya kesalahan dalam pengambilan keputusan
yang dapat merugikan pihak lain karena dengan adanya manajemen laba,
laporan keuangan perusahaan tidak lagi mencerminkan nilai fundamental
perusahaan.
D. Good Corporate Governance
Konsep mengenai good coorporate governance bukanlah sesuatu
yang baru, karena konsep ini telah ada dan berkembang sejak konsep
korporasi mulai diperkenalkan di Inggris sekitar pertengahan abad XIX
(Salomon, 2007). Agency Theory yang menjelaskan bagaimana hubungan
kontraktual antara pihak pemilik perusahaan (principal) yang
mendelegasikan pengambilan keputusan tertentu guna meningkatkan
kesejahteraannya dengan pihak manajemen/pengelola (agent) yang
menerima pendelegasian tersebut. Agency Theory inilah yang kemudian
memberikan landasan model teoritis yang sangat berpengaruh terhadap
konsep good corporate governance di berbagai perusahaan di seluruh
dunia. Konsep ini dirasakan menjadi sangat penting terutama dengan
semakin berkembang dan mengglobalnya bursa efek di sekitar tahun 1990-
an. Kemudian konsep ini menjadi sangat populer dan bahkan dapat
dikatakan telah menjadi isu sentral bagi kalangan pelaku usaha,
pemerintah dan juga pihak-pihak lainnya (Maksum,2005).
Good corporate governance kembali menjadi isu hangat di negara
maju terutama Amerika Serikat dan negara-negara Eropa, dengan
17
terjadinya peristiwa bangkrutnya Enron Corporation (satu dari sepuluh
perusahaan terbesar di Amerika) di tahun 2001. Keruntuhan perusahaan
tersebut dikarenakan oleh kegagalan strategi maupun praktek dari
manajemen puncak yang berlangsung tanpa terdeteksi dalam waktu yang
cukup lama karena lemahnya pengawasan yang independen dari corporate
boards (Kaihatu, 2005). Sedangkan di Asia konsep ini menjadi masalah
yang hangat dan menarik untuk dibicarakan sejak terjadinya peristiwa
penting dalam dunia ekonomi dan bisnis, antara lain peristiwa krisis
keuangan di Asia tahun 1997 – 1998. Krisis ekonomi yang terjadi
dibeberapa negara Asia tersebut salah satu penyebabnya adalah lemahnya
tata kelola perusahaan (Lastanti, 2003).
Di negara Amerika pengembangan dan realisasi konsep ini yang
ditandai dengan dipublikasikannya berbagai prinsip good corporate
governance oleh Organization for Economic Cooperation and
Development (OECD) dan diikuti pula dengan penyebarannya dengan
bekerjasama dengan Bank Dunia. Prinsip-prinsip dimaksud terdiri dari:
Fairness, Transparency, Accountability, dan Responsibility. Sedangkan di
Indonesia gerakan ke arah pembenahan kondisi corporate governance
baru dimulai di tahun 1999 dengan terbentuknya Komite Nasional
Kebijakan Corporate Governance (KNKCG atau NCCG). Namun momen
penting yang amat menentukan perjalanan konsep corporate governance
di Indonesia lebih lanjut baru terjadi di tahun 2001, yaitu dengan
tersusunnya sebuah pedoman Good Corporate Governance (Indonesian
18
Code) oleh NCCG bersama para pelaku bisnis (Maksum, 2005). Selain itu
untuk mendukung hal tersebut berbagai regulasi telah ditetapkan oleh
Bapepam dan Bursa efek yang berkaitan dengan good corporate
governance
Pandangan teori keagenan dimana terdapat pemisahan antara pihak
agen dan principal yang mengakibatkan munculnya potensi konflik
kepentingan dapat mempengaruhi kualitas laba yang dilaporkan. Pihak
manajemen yang mempunyai kepentingan tertentu akan cenderung
menyusun laporan keuangan yang sesuai dengan tujuannya dan bukan
demi kepentingan principal. Dalam kondisi ini diperlukan suatu
mekanisme pengendalian yang dapat menyejajarkan perbedaan
kepentingan antara kedua belah pihak. Mekanisme good corporate
governance memiliki kemampuan dalam kaitannya menghasilkan suatu
laporan keuangan yang memiliki kandungan informasi laba ( Boediono,
2005 ).
Menurut Forum for Corporate Governance in Indonesia (2001)
corporate governance yaitu seperangkat peraturan yang mengatur
hubungan antara pemegang saham, pengurus (pengelola) perusahaan,
pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan
intern dan ekstern lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban
mereka, atau dengan kata lain suatu sistem yang mengatur dan
mengendalikan perusahaan. Dimana tujuan dari corporate governance
19
ialah untuk mencipatakan nilai tambah bagi semua pihak yang
berkepentingan ( stakeholder ).
Definisi lain corporate governance menurut Tunggal (2002; 1)
yaitu hubungan antara stakeholder yang digunakan untuk menentukan
arah dan pengendalian kinerja suatu perusahaan. Bagaimana perusahaan
untuk memonitor dan mengendalikan keputusan dan tindakan manajer
puncak, yang disebut governance mechanism, mempengaruhi
implementasi strategi. Corporate governance yang efektif menyelaraskan
kepentingan manajer dengan pemegang saham, dapat menghasilkan nilai
yang kompetitif bagi perusahaan.
Berdasarkan pengertian – pengertian tersebut maka dapat
disimpulkan bahwa corporate governance merupakan suatu bentuk
mekanisme untuk mengatur hubungan dan meyelaraskan kepentingan
antara manajer dengan stakeholder. Mekanisme ini sangat dibutuhkan oleh
stakeholder karena dengan adanya mekanisme tersebut kepentingan
stakeholder akan terjamin karena manajemen bertindak yang terbaik untuk
kepentingan stakeholder. Selain itu corporate governance dikatakan
sebagai suatu sistem bagaimana suatu organisasi dikelola dan dikendalikan
yang antara lain mengatur mekanisme pengambilan keputusan pada
tingkat organisasi. Corporate governance mengatur pola hubungan antara
komisaris, direksi, dan manajemen agar terjadi keseimbangan dalam
pengelolaan organisasi untuk mendorong terciptanya kinerja yang
kompetitif dalam mencapai tujuan utama perusahaan.
20
Berbagai keuntungan yang diperoleh dengan penerapan good
corporate governance dapat disebut antara lain:
1) Dengan good corporate governance proses pengambilan keputusan
akan berlangsung secara lebih baik sehingga akan menghasilkan keputusan
yang optimal, dapat meningkatkan efisiensi serta terciptanya budaya kerja
yang lebih sehat. Ketiga hal ini jelas akan sangat berpengaruh positif
terhadap kinerja perusahaan, sehingga kinerja perusahaan akan mengalami
peningkatan. Berbagai penelitian telah membuktikan secara empiris bahwa
penerapan good corporate governance akan mempengaruhi kinerja
perusahaan secara positif (Jang Black dan Kim, 2003 dalam Maksum,
2005).
2) Good corporate governance akan memungkinkan dihindarinya atau
sekurang-kurangnya dapat diminimalkannya tindakan penyalahgunaan
wewenang oleh pihak direksi dalam pengelolaan perusahaan. Hal ini tentu
akan menekan kemungkinan kerugian bagi perusahaan maupun pihak
berkepentingan lainnya sebagai akibat tindakan tersebut. Chotrou (2001)
menyatakan bahwa penerapan prinsip-prinsip good corporate governance
yang konsisten akan menghalangi kemungkinan dilakukannya manajemen
laba (earnings management) yang mengakibatkan nilai fundamental
perusahaan tidak tergambar dalam laporan keuangan.
21
E. Hubungan Mekanisme Good Corporate Governance dengan Manajemen
Laba
Good Corporate Governance dikenal sebagai suatu bentuk
mekanisme yang menjamin bahwa manajemen bertindak yang terbaik bagi
kepentingan stakeholder. Dalam mekanisme corporate governance
terdapat aturan main, prosedur dan hubungan yang jelas antara pihak yang
mengambil keputusan dengan pihak yang melakukan control
(pengawasan) terhadap keputusan yang diambil (Syakhroza, 2005:27). Hal
tersebut menunjukkan bahwa corporate governance mengatur pola
hubungan antara komisaris, direksi dan manajemen agar terjadi chek and
balances dalam pengelolaan organisasi dan dengan adanya corporate
governance yang baik maka keputusan – keputusan penting perusahaan
tidak lagi hanya ditetapkan oleh satu pihak yang dominan misalnya
direksi, tetapi ditetapkan setelah mendapat masukan dari dan dengan
mempertimbangkan kepentingan berbagai pihak yang berkepentingan
(stakeholder). Dengan adanya mekanisme good corporate governance
maka dapat mengurangi tindakan opportunis manajer dalam melakukan
manajemen laba, karena adanya pengawasan dan pengendalian yang
menjadi esensi utama dari mekanisme good corporate governance.
Beberapa proksi yang sering digunakan dalam mekanisme good corporate
governance adalah kepemilikan isntitusional, kepemilikan manajerial,
komisaris independen, dan komite audit.
22
1. Kepemilikan Institusional
Institusi merupakan lembaga yang memiliki kepentingan besar
terhadap investasi yang dilakukan termasuk investasi saham. Sehingga
biasanya institusi menyerahkan tanggung jawab kepada divisi tertentu
untuk mengelola investasi perusahaan. Keberadaan institusi yang
memantau secara profesional perkembangan investasinya menyebabkan
tingkat pengendalian terhadap tindakan manajemen sangat tinggi sehingga
potensi kecurangan dapat ditekan (Lastanti, 2005)
Kepemilikan institusional memiliki kemampuan untuk mengendalikan
pihak manajemen melalui proses monitoring secara efektif sehingga dapat
mengurangi tindakan manajer dalam melakukan manajemen laba. Hal
tersebut dikarenakan investor institusional merupakan investor yang
bepengalaman dan memiliki informasi yang memadai tentang perusahaan
sehingga manipulasi laba yang disebabkan oleh adanya asimetri informasi
dapat dikurangi. Selain itu biasanya investor institusional lebih
mementingkan kinerja perusahaan jangka panjang sehingga manajer tidak
akan mempunyai insentif untuk mengatur laba sekarang. Kepemilikan
saham oleh investor instiusional dapat menjadi kendala bagi perilaku
opportunis manajemen yang memanfaatkan manajemen laba untuk
kepentingan pribadinya, yang mungkin mengakibatkan kepentingan pihak
lain terabaikan (Midiastuty, 2003). Dengan adanya kepemilikan saham
oleh investor institusional maka proses monitoring akan berjalan lebih
efektif sehingga dapat mengurangi tindakan manajer dalam hal manajemen
23
laba yang dapat merugikan kepentingan pihak lain (stakeholder). Dengan
demikan kepemilikan institusional merupakan mekanisme good corporate
governance, karena fungsi monitoring yang diberikan oleh investor
institusional dapat memastikan bahwa manajer akan bertindak yang
terbaik bagi kepentingan stakeholder.
Darmawati (2003), Veronica (2005), dan Ujiyantho (2007),
menemukan bahwa kepemilikan isntitusional tidak berpengaruh terhadap
manajemen laba. Hasil penelitian mereka sejalan dengan pandangan atau
konsep yang mengatakan bahwa institusional adalah pemilik yang lebih
memfokuskan pada current earnings (Porter, 1992 dalam Pranata dan
Mas’ud 2003). Akibatnya manajer merasa terikat untuk memenuhi target
laba dari para investor, sehingga mereka akan tetap cenderung terlibat dalam
tindakan manipulasi laba. Manajer terpaksa untuk melakukan tindakan yang
dapat meningkatkan laba jangka pendek, misalnya dengan melakukan
manipulasi laba.
Namun beberapa penelitian yang lain menunjukkan bahwa
kepemilikan institusional memiliki kemampuan untuk mempengaruhi
tindakan manajemen laba. Penelitian - penelitian tersebut telah dilakukan
oleh Cornett (2006) dalam Ujiyantho (2007), yang menyatakan bahwa
kepemilikan institusional yang besar mempunyai kesempatan,
pengetahuan dan kemampuan untuk memonitor serta mempengaruhi
manajer dalam membuat keputusan. Pengawasan perusahaan yang
dilakukan oleh investor institusional dapat mendorong manajer untuk lebih
24
fokus pada kinerja perusahaan dan mengurangi kesempatan manajer untuk
mengutamakan kepentingan pribadinya. Begitu pula penelitian yang
dilakukan oleh Midiastuty (2003), dan Suranta (2005) mereka menemukan
bahwa kepemilikan institusional mempunyai pengaruh yang negatif
signifikan terhadap manajemen laba dikarenakan investor institusional
lebih berpengalaman dibandingkan dengan investor individual. Dari
beberapa penelitian diatas maka dapat disimpulkan bahwa kepemilikan
institusional dapat menjadi mekanisme dalam mengurangi praktik
manajemen laba yang dilakukan oleh manajer karena kepemilikan
institusional memiliki kemampuan untuk mengendalikan pihak
manajemen melalui proses monitoring secara efektif sehingga dapat
mengurangi tindakan manajer dalam melakukan manajemen laba.
2.Kepemilikan Manajerial
Motivasi manajer perusahaan sangat menentukan bagaimana
tindakan manajemen laba. Motivasi yang berbeda akan menghasilkan
besaran manajemen laba yang berbeda, seperti antara manajer yang
sekaligus sebagai pemegang saham dan manajer yang tidak sebagai
pemegang saham. Dua hal tersebut akan mempengaruhi manajemen laba,
sebab kepemilikan seorang manajer akan ikut menentukan kebijakan dan
pengambilan keputusan terhadap metode akuntansi yang diterapkan pada
perusahaan yang mereka kelola (Boediono, 2005). Dengan demikian,
tindakan manajer dalam melakukan manajemen laba dapat dikurangi
karena manajer akan ikut menanggung baik dan buruknya akibat dari
25
setiap keputusan yang mereka ambil. Kepemilikan saham perusahaan oleh
manajemen dapat menyejajarkan kepentingan pemilik atau pemegang
saham dengan kepentingan manajer sehingga dapat mengurangi konflik
kepentingan yang dapat mendorong manajer melakukan manipulasi
(Jensen dan Meckling,1976). Oleh karena itu, dengan adanya kepemilikan
manajerial, maka semakin rendah kecenderungan manajer melakukan
manajemen laba. Penelitian yang dilakukan oleh Midiastuty (2003) dan
Ujiyantho (2007) mendukung hasil penelitian Jensen dan Meckling
(1976). Mereka menemukan bahwa kepemilikan manajerial berpengaruh
negatif terhadap manajemen laba. Kepemilikan manajerial merupakan
mekanisme corporate governance yang baik karena kepemilikan
manajerial dapat membatasi perilaku opportunistic manajer dalam bentuk
manajemen laba yang dapat merugikan kepentingan pihak lain
(stakeholder) (Suranta, 2005). Namun penelitian yang dilakukan oleh
Gabrielsen (1997) dalam Ujiyantho (2007) menemukan hasil yang positif
tetapi tidak signifikan antara kepemilikan manajerial dengan manajemen laba.
Hal tersebut disebabkan karakteristik struktur kepemilikan yang berbeda
dimana struktur kepemilikan yang diteliti oleh Gabrielsen cenderung lebih
banyak dimiliki oleh institusi. Emiten yang dianalisis termasuk
memiliki struktur kepemilikan yang terkonsentrasi pada suatu
institusi yang biasanya memiliki saham yang cukup besar yang
mencerminkan kekuasaan, sehingga mempunyai kemampuan
untuk melakukan intervensi terhadap jalannya perusahaan dan
mengatur proses penyusunan laporan keuangan. Akibatnya
26
manajer terpaksa melakukan tindakan berupa manajemen laba
demi untuk memenuhi keinginan pihak-pihak tertentu
diantaranya pemilik.
Dari beberapa penelitian diatas maka dapat disimpulkan bahwa
kepemilikan manajerial dapat mengurangi praktik manajemen laba karena
dengan adanya kepemilikan manajerial maka dapat menyejajarkan
kepentingan antara agent dan principal.
3. Komisaris Independen
Dewan komisaris merupakan organ perseroan yang bertugas
melakukan pengawasan secara umum dan atau khusus serta memberikan
nasihat kepada dewan direksi dalam menjalankan perseroan. Institusi
pengatur pihak yang berkepentingan (stakeholder) khususnya pemegang
saham adalah diwakili oleh dewan komisaris (Tunggal, 2002:33). Dewan
komisaris merupakan komponen yang penting sebagai pihak yang dapat
memecahkan masalah keagenan yang terjadi antara principal atau
pemegang saham dengan agen atau manajer.
Praktik good corporate governance mengharuskan adanya
komisaris independen dalam perusahaan yang diharapkan mampu
mendorong dan menciptakan ilkim yang lebih independen, objektif dan
menempatkan kesetaraan sebagai prinsip utama dalam memperhatikan
kepentingan pemegang saham minoritas dan stakeholder lainnya. Dengan
two tiers system yang dianut oleh sistem korporasi di Indonesia, maka
peranan para pemegang saham akan dilaksanakan oleh dewan komisaris
yang menjalankan fungsi pengendalian. Komisaris independen merupakan
27
posisi terbaik untuk melaksanakan fungsi monitoring agar tercipta
perusahaan yang good corporate governance (Ujiyantho,2007).
Keberadaan komisaris independen telah diatur Bursa Efek Jakarta
melalui peraturan BEJ tanggal 1 Juli 2000. Dikemukakan bahwa
perusahaan yang listed di Bursa harus mempunyai komisaris independen
yang secara proposional sama dengan jumlah saham yang dimiliki
pemegang saham yang minoritas (bukan controlling shareholders). Dalam
peraturan ini, persyaratan jumlah minimal komisaris independen adalah
30% dari seluruh anggota dewan komisaris. Karakteristik dewan komisaris
secara umum dan khususnya dapat menjadi suatu mekanisme yang
menentukan tindakan manajemen laba melalui peranan dewan komisaris
dalam melakukan fungsi pengawasan terhadap operasional perusahaan
oleh pihak manajemen. Komposisi dewan komisaris dapat memberikan
kontribusi yang efektif terhadap hasil dari proses penyusunan laporan
keuangan yang berkualitas atau kemungkinan terhindar dari kecurangan
laporan keuangan. Sehingga dapat dikatakan bahwa komposisi dewan
komisaris yang terdiri dari anggota luar perusahaan mempunyai
kecenderungan mempengaruhi manajemen laba (Boediono, 2005).
Penelitian yang dilakukan oleh Wedari (2004) menemukan
proporsi dewan komisaris independen mempunyai pengaruh negatif
terhadap aktivitas manajemen laba. Hasil penelitian ini juga didukung oleh
hasil penelitian Chtourou (2001), yang memberikan kesimpulan bahwa
perusahaan yang memiliki proporsi anggota dewan komisaris yang berasal
28
dari luar perusahaan atau outside director dapat mempengaruhi tindakan
manajemen laba. Sehingga, jika anggota dewan komisaris dari luar
meningkatkan tindakan pengawasan, hal ini juga akan berhubungan
dengan makin rendahnya aktivitas manajemen laba (Cornett, 2006).
Namun hasil penelitian tersebut tidak sama dengan hasil penelitian yang
didapatkan oleh Veronica (2005) yang meneliti pengaruh praktik corporate
governance terhadap manajemen laba. Praktik corporate governance yang
diteliti yaitu proporsi dewan komisaris independen. Hasil
dari penelitian ini bahwa proporsi dewan komisaris
independen tidak terbukti berpengaruh terhadap
manajemen laba yang dilakukan oleh perusahaan. Hal
tersebut dikarenakan pengangkatan komisaris independen
hanya dilakukan untuk pemenuhan regulasi saja tapi tidak
dimaksudkan untuk menegakkan good corporate
governance. Selain itu ketentuan minimum dewan
komisaris independen sebesar 30% mungkin belum cukup
tinggi untuk para komisaris independen dapat
mendominasi kebijakan yang diambil oleh dewan
komisaris. Suranta (2005) juga menemukan bahwa
proporsi komisaris independen tidak mempunyai pengaruh
terhadap manajemen laba. Hal tersebut mengindikasikan
bahwa komisaris independen masih dipertanyakan tingkat
independensinya.
29
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa proporsi
komisaris independen mempunyai pengaruh terhadap
praktek manajemen laba karena dengan adanya komisaris
independen maka tingkat pengawasan dapat semakin
meningkat karena independen yang dimiliki oleh dewan
komisaris.
4. Komite Audit
Pengertian komite adalah sekelompok orang yang dipilih oleh
kelompok yang lebih besar, untuk mengerjakan pekerjaan tertentu atau
untuk melakukan tugas – tugas khusus (Wedari, 2004). Komite audit
adalah subpanitia dari board of directors yang terdiri atas direktur
inpenden dari luar. Komite audit mempunyai tanggungjawab atas
pengawasan (atas nama board of directors dan pemegang saham), untuk
pelaporan luar perusahaan (mencakup laporan keuangan tahunan),
pemonitoran resiko dan proses pengendalian dan baik fungsi audit internal
maupun eksternal. Komite audit melakukan pengecekan independent atas
manajemen dan sebagai penyokong untuk pemakai luar dalam meyakinkan
bahwa laporan keuangan secara tepat menggambarkan aktivitas ekonomi
perusahaan (Tunggal, 2002:16).
Menurut Mayangsari (2003) “ Komite audit berfungsi untuk
memberikan pandangan mengenai masalah – masalah yang yang dengan
kebijakan keuangan akuntansi dan pengendalian intern “. Sedangkan
tujuan pembentukan komite audit adalah :
30
1. memastikan laporan keuangan dikeluarkan tidak menyesatkan
dan sesuai dengan praktik akuntansi yang berlaku secara umum
2. memastikan bahwa kontrol internalnya memadai
3. menindaklanjuti terhadap dugaan adanya penyimpangan yang
material dibidang keuangan dan implikasi hukumnya
4. merekomendasikan auditor eksternal
Melalui uraian diatas dapat disimpulkan bahwa komite audit
meningkatkan kredibilitas dan akuntanbilitas perusahaan melalui
pengawasan atau proses pengendalian internal, mengawasi proses audit
secara keseluruhan. Sehingga adanya komite audit memiliki konsekuensi
pada laporan keuangan yaitu berkurangnya pengungkapan akuntansi yang
tidak tepat dan berkurangnya tindakan kecurangan manajemen dan
tindakan ilegal.
Veronica (2005) menguji pengaruh keberadaan komite audit dalam
perusahaan terhadap aktivitas manajemen laba. Dari penelitian tersebut
ditemukan bahwa variabel keberadaan komite audit tidak berpengaruh
terhadap manajemen laba perusahaan. Artinya keberadaan komite audit
tidak mampu mengurangi manajemen laba yang terjadi di perusahaan. Hal
tersebut dikarenakan pengangkatan komite audit oleh perusahaan hanya
untuk pemenuhan regulasi saja tetapi tidak dimaksudkan untuk
menegakkan good corporate governance. Penelitian yang dilakukan oleh
Bachtiar (2004) menemukan bahwa komite audit memiliki hubungan yang
signifikan terhadap aktivitas manajemen laba perusahaan manufaktur di
31
Indonesia khususnya untuk periode 2001- 2002, artinya kehadiran komite
audit secara efektif menghalangi peningkatan manajemen laba di
perusahaan tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Wedari (2004)
menemukan bahwa manajemen laba pada perusahaan yang tidak
mempunyai komite audit signifikan lebih tinggi daripada perusahaan yang
tidak mempunyai komite audit. Hasil penelitian – penelitian tersebut juga
didukung oleh penemuan yang dilakukan oleh Suranta (2005), bahwa
keberadaan komite audit dapat mengurangi perilaku manajemen laba
karena komite audit berperan sebagai salah satu mekanisme good
corporate governace dalam membatasi praktik manajemen laba melalui
fungsi pengawasan yang dilakukan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa keberadaan komite
audit mempunyai pengaruh terhadap manajemen laba karena dengan
keberadaan komite audit komite audit meningkatkan kredibilitas dan
akuntanbilitas perusahaan melalui pengawasan atau proses pengendalian
internal, mengawasi proses audit secara keseluruhan. Sehingga adanya
komite audit memiliki konsekuensi pada laporan keuangan yaitu
berkurangnya pengungkapan akuntansi yang tidak tepat dan berkurangnya
tindakan kecurangan manajemen dan tindakan ilegal.
H1a : Kepemilikan manajerial berpengaruh terhadap manajemen laba H1b: Kepemilikan institusional berpengaruh terhadap manajemen labaH1c : Ukuran dewan dierksi berpengaruh terhadap manajemen labaH2a : Kepemilikan manajerial berpengaruh terhadap kualitas labaH2b : Kepemilikan institusional berpengaruh terhadap kualitas labaH2c : Ukuran dewan direksi berpengaruh terhadap kualitas laba
1. Kepemilikan manajerial berpengaruh negatif terhadap manajemen laba
2. Kepemilikan institusional berpengaruh negatif terhadap manajemen laba
3. Ukuran dewan direksi berpengaruh positif terhadap manajemen laba
4. Kepemilikan manajerial berpengaruh positif terhadap ERC
5. Kepemilikan institusional berpengaruh positif terhadap ERC
6. Ukuran dewan direksi tidak berpengaruh terhadap ERC
2. Muh. Arief Ujiyanto,Bambang Agus Pramuka
Variabel dependen : 1. Manajemen laba2. Kinerja perusahaan
Variabel independen : 1. Kepemilikan
institusional2. Kepemilikan
manajerial3. Jumlah dewan
komisaris independen4. Ukuran dewan
H1 : Kepemilikan institusional berpengaruh negative signifikan terhadap manajemen laba H2 : Kepemilikan manajerial berpengaruh negative terhadap manajemen labaH3 : Proporsi dewan komisaris independen berpengaruh negative terhadap manajemen laba H4 : Ukuran dewan komisaris berpengaruh positif terhadap
1. Kepemilikan institusional tidak berpengaruh terhadap manajemen laba
2. Kepemilikan manajerial berpengaruh negatif tehadap manajemen laba
3. Jumlah dewan komisaris mempunai pengaruh positif terhadap manajemen laba
4. Ukuran dewan direksi tidak berpengaruh terhadap
33
komisaris manajemen labaH5 : Manajemen laba berpengaruh terhadap kinerja keuangan
manajemen laba5. Secara bersama – sama
mekanisme GCG berpengaruh terhadap manajemen laba
6. manajemen laba tidak berpengaruh terhadap kinerja keuangan
3. Dr. Sylvia Veronica , Dr. Sidhrata Utama
Variabel dependen : 1. Manajemen laba
Variabel independen : 1. Kepemilikan keluarga
2. Kepemilikan institusional
3. Ukuran perusahaan4. Kualitas audit5. Ukuran dewan
komisaris independen6. ada atau tidaknya
komite audit
H1a : Rata- rata akrual diskresioner pada perusahaan dengan kepemilikan keluarga tinggi dan bukan perusahaan konglomerasi berbeda dibandingkan rata – rata akrual diskressioner pada perusahaan lainH1b : Kepemilikan institusional mempunyai pengaruh terhadap akrual deskresionerH1c : Kapitalisasi pasar mempunyai pengaruh terhadap akrual diskresioner H1d : rata – rata diskresioner perusahaan yang diaudit oleh KAP Big 4 berbeda dengan rata – rata akrual diskresioner perusahaan yang diaudit oleh KAP Non Big 4 H1e : Proporsi dewan komisaris independen mempunyai pengaruh terhadap akrual deskresioner H1f : Rata – rata akrual diskresioner perusahaan yang mempunyai komite audit berbeda dengan rata – rata akrual diskresioner perusahaan yang tidak
1. Rata – rata pengelolaan laba pada perusahaan dengan kepemilikan keluarga tinggi dan bukan perusahaan konglomerasi secara signifikan lebih tinggi daripada rata – rata pengelolaan laba pada perusahaan lain
2. Kepemilikan institusional tidak berpengaruh terhadap manajemen laba
3. Ukuran perusahaan berpengaruh negatif terhadap manajemen laba
4. Ukuran KAP tidak berpengaruh terhadap manajemen laba
5. Proporsi dewan komisaris independen tidak berpengaruh terhadap manajemen laba
6. Keberadaan komite audit tidak berpengaruh terhadap manajemen laba
34
mempunyai komite audit4. Deni Darmawati Variabel dependen :
1. Manajemen labaVariabel independen : 1. Komitmen Terhadap CG 2. RUPS dan minority shareholder3. Dewan komisaris 4. Struktur direksi 5. Hubungan dengan stakeholder - Transpransi dan akuntabilitas - Kepemilikan institusional - Leverage ( V.Kontrol ) - Ukuran perusahaan ( V.Kontrol )
H1 : Terdapat hubungan yang negatif antara komitmen perseroan terhadap corporate governance dengan manajemen labaH2 : Terdapat hubungan yang begatif antara kualitas pelaksanaan RUPS dan perlakuan terhadap minority shareholder dengan manajemen labaH3 : Terdapat hubungan yang negatif antara kualitas dewan komisaris dengan manajemen labaH4 : Terdapat hubungan yang negatif antara kualitas dewan direksi dengan manajemen labaH5 : Terdapat hubungan negatif antara kualitas hubungan perusahaan dengan stakeholder dengan manajemen laba H6 : Terdapat hubungan negative antara transparansi dan akuntanbilitas dengan manajemen laba H7 : Terdapat hubungan negative antara kepemilikan investor institusional dengan manajemen laba
1. Komitmen perseroan terhadap corporate governance tidak berpengaruh terhadap manajemen laba
2. Kualitas pelaksanaan RUPS dan perlakuan terhadap minority shareholder tidak berpengaruh terhadap manajemen laba
3. Kualitas dewan komisaris tidak berpengaruh terhadap manajemen laba
4. Kualitas dewan direksi tidak berpengaruh terhadap manajemen laba
5. Kualitas hubungan perusahaan dengan stakeholder berpengaruh terhadap manajemen laba
6. Transparansi dan akuntanbilitas tida berpengaruh terhadap manajemen laba
7. Kepemilikan institusional tidak berpengaruh terhadap manajemen laba
5. Dr. Sylvia Veronica , Yanivi.S.Bachtiar
Variabel dependen : 1. Manajemen laba2. Nilai Perusahaan
Variabel independent : 1. Asimetri informasi 2. institusioanl ownership
H1a : Asimetri informasi mempunyai koefesien yang signifikan H1b : Kepemilikan institusional mempunyai koefisien yang H1c : Kualitas audit mempunyai
1. Asimetri informasi mempunyai koefisien yang signifikan
2. Kepemilikan institusional mempuyai koefisien yang tidak signifikan
3. Kualitas audit mempunyai
35
3. Ukuran komisaris independent 4. ada / tidak nya komite audit 5. Debt 6. Growth
koefisien yang signifikanH1d : Komisaris independen mempunyai koefisien yang signifikan H1e : Keberadaan komite audit mempunyai koefisien yang signifikanH2a : Manajemn laba mempunyai koefisien yang signifikanH2b : Kualitas audit mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap manajemen labaH2c : Kepemilikan institusional mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap manajemen labaH2d : Komisaris independent mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap manajemen laba H2e : Keberadaan komite audit mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap manajemen laba
koefisien yang tidak signifikan4. Komisaris independen
mempunyai koefisien yang tidak signifikan
5. Keberadaan komite audit mempunyai koefisien yang signifikan
6. Kepemilikan institusional tidak mempunyai pengaruh terhadap manajemen laba
7. Kualitas audit mempunyai pengaruh yang tidak signifikan tehadap manajemen laba
8. Proporsi komisaris independen mempunyai pengaruh yang tidak signifikan terhadap manajemen laba
9. Keberadaan komite audit mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap manajemen laba.
10. Debt dan Growth, asymetry information berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba
6. Hamonangan Siagian, Mas’ud Machfoedz
Variabel dependen : 1. Manajemen laba2. Nilai perusahaan
Variabel independen : 1. Kepemilikan
manajerial2. Ukuran dewan
H1 : Kepemilikan manajerial secara positif berpengaruh terhadap kualitas laba H2 : Proporsi jumlah anggota dewan komisaris independent secara positif berpengaruh terhadap kualitas laba
1. kepemilikan manajerial berpengaruh negatif terhadap mnajemen laba
2. ukuran dewan komisaris berpengaruh negatif terhadap manajemen laba
3. Keberadaan komite audit
36
komisaris3. Ada atau tidaknya
komite audit4. Ukuran KAP
H3 : Keberadaan komite audit secara positif berpengaruh terhadap kualitas labaH4 : Kualitas laba secara positif berpengaruh terhadap nilai perusahaanH5 : Mekanisme corporate governance berpengaruh terhadap nilai perusahaan
mempunyai pengaruh yang negatif terhadap manajemen laba
4. ukuran KAP mempunyai pengaruh positif namun tidak signifikan
5. kualitas laba berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan.
7. Gideon SB.Boediono Variabel Endogen : 1. Manajemen laba2. Kualitas laba
Variabel Eksogen : 1. Kepemilikan
institusional2. Kepemilikan
manajerial3. Komposisi dewan
komisaris
H1 : Mekanisme corporate governance, dalam hal ini kepemilikan institusioanl, kepemilikan manajerial dan komposisi dewan komisaris berpengaruh baik secara bersama – sama mapun individual terhadap manajemen labaH2 : Mekanisme corporate governance, dalam hal ini kepemilikan institusioanl, kepemilikan manajerial dan komposisi dewan komisaris serta manajemen laba berpengaruh baik secara bersama – sama mapun individual terhadap kualitas laba
1. Kepemilikan Institusional mempunyai pengaruh yang positif terhadap manajemen laba
2. Kepemilikan manajerial mempunayi pengaruh yang postif terhadap manajemen laba
3. Komposisi dewan komisaris mempunyai pengaruh yang positif terhadap manajemen laba.
4. Kepemilikan isntitusional, manajerial dan komposisi dewan komisaris mempunnyai pengaruh yang positif tehadap kualitas laba.
5. Manajemen laba mempunayi hubungan yang positif terhadap kualitas laba.
8. Edy Suranta, Pratana Puspa Midiastuty
Variabel dependen : 1. Manajemen laba
Variabel independent : 1. Komite audit
H1 : Komite audit berpengaruh negatif dan signifikan terhadap praktek manajemen labaH2 : Proporsi komisaris
1. Komite audit berpengaruh negatif terhadap manajemen laba
2. Proporsi komisaris independen
37
2. Proporsi Komisaris independen
3. Ukuran dewan direksi yang semakin besar berpengaruh positif dan signifikan terhadap manajemen laba
4. Kepemilikan institusional berpengaruh negatif dan signifikan terhadap manajemen laba
5. Kepemilikan manajerial berpengaruh negatif dan signifikan terhadap praktek manajemen laba
independen yang semakin besar akan berpengaruh negative dan signifikan terhadap praktek manajemen laba H3 : Ukuran dewan direksi yang semakin besar berpengaruh positif dan signifikan terhadap manajemen labaH4 : Kepemilikan institusional berpengaruh negatif dan signifikan terhadap manajemen labaH5 : Kepemilikan manajerial berpengaruh negatif dan signifikan terhadap praktek manajemen laba
tidak berpengaruh terhadap manajemen laba
3. Ukuran dewan direksi berpengaruh positif terhadap manajemen laba
4. Kepemilikan isntitusional berpengaruh negatif terhadap manajemen laba
5. Kepemilikan manajerial berpengaruh positif terhadap manajemen laba
9. Marihot Nasution, Doddy Setiawan
Variabel dependen : 1. Manajemen laba
Variabel independen :1. Komposisi dewan
komisaris2. Ukuran dewan
komisaris3. Keberdaan komite
audit 4. Ukuran perusahaan
H1 : Komposisi dewan komisaris berpengaruh terhadap manajemen labaH2 : Ukuran dewan komisaris berpengaruh terhadap manajemen laba H3: Keberadaan komite audit independent berpengaruh terhadap manajemen labaH4 : Ukuran perusahaan berpengaruh terhadap manajemen laba
1. Komposisi dewan komisaris berpengaruh negatif terhadap manajemen laba
2. Ukuran dewan komisaris berpengaruh positif terhadap manajemen laba
3. Keberadaan komite audit berpengaruh negatif terhadap manajemen laba
4. ukuran perusahaan tidak berpengaruh terhadap manajemen laba
38
G. Kerangka Berpikir
Teori Agensi
Manajer / Agen Shareholder / Principal
Agency Problem dan Asimetri Informasi
Laporan Keuangan
Manajemen Laba
Mekanisme Good Corporate Governance
39
H. Hipotesis
Mekanisme good corporate governance yang terdiri dari kepemilikan
institusional, kepemilikan manajerial, proporsi komisaris independen, dan
keberadaan komite audit mempunyai pengaruh terhadap praktik manajemen laba
baik secara parsial maupun secara serentak.
40
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian
Untuk menguji hipotesis dalam penelitian ini maka pendekatan penelitian
yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif. Dalam meneliti pengaruh
penerapan mekanisme good corporate governance terhadap akitivitas manajemen
laba perusahaan, akan dilakukan dengan alat uji statistik untuk menguji hubungan
antara variabel – variabel yang diteliti dan membuat kesimpulan berdasarkan hasil
perhitungan tersebut.
Untuk menguji beberapa variabel, yaitu proporsi komisaris independen,
komite audit, kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial yang
diindikasikan mempengaruhi praktik manajemen laba maka akan digunakan
analisis regresi berganda (multiple regression analysis) yang terdapat dalam
program SPSS.
B.Populasi
Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah perusahaan go
public sektor manufaktur yang terdaftar di BEI sejak awal tahun 2005 dan masih
tercatat hingga akhir tahun 2006. Penelitian ini menggunakan semua populasi
yang memenuhi syarat yang ditentukan yaitu menggunakan satuan mata uang
rupiah dalam penyajian laporan keuangan serta tidak mengalami penghentian
operasi selama tahun penelitian.
41
Alasan memilih perusahaan manufaktur adalah karena metode untuk memisahkan
proksi tingkat akrual yang normal dari yang tidak normal kurang tepat jika
diterapkan untuk perusahaan non manufaktur karena memiliki karakteristik yang
berbeda (Dewi, 2005). Periode pengamatan diambil dari tahun 2005 karena tahun
2000 – 2004 merupakan tahun sosialisasi penerapan good corporate governance,
yaitu dengan adanya peraturan dari Bapepam yang mengharuskan perusahaan
tercatat menerapkan good corporate governance melalui surat edaran dengan
nomor SE-03/PM/2000. Sedangkan BEJ mengeluarkan peraturan yang sama
melalui surat keputusan direksi Kep 339/BEJ/07-2001 dan keputusan direksi BEJ
Nomor Kep – 305/BEJ/07-2004 yang mengatur tentang kriteria komisaris
independen.
C. Definisi Operasional Variabel Penelitian
1. Manajemen laba yang merupakan suatu bentuk intervensi manajamen dalam
proses penyusunan laporan keuangan eksternal diproksikan dengan discretionary
accruals. Model yang digunakan untuk mengukur manajemen laba dalam
penelitian ini adalah modifikasi model Jones karena model ini dianggap lebih baik
diantara model yang lain untuk mengukur manajemen laba karena model ini
memisahkan antara non discretionary accrual dengan discretionray accruals.
Penggunaan discretionary accruals sebagai proksi manajemen laba dihitung
dengan menggunakan Modified Jones Model Dechow (1995) dalam Ujiyantho
(2007).
42
TAC=Nit–CFOit.……………………………………………….…....…...(1)
Nilai total accrual (TA) yang diestimasi dengan persaman regresi OLS
independen dan keberadaan komite audit selama periode penelitian dapat dilihat
53
pada lampiran. Berdasarkan tabel perhitungan discretionary accruals seperti yang
dapat dilihat pada lampiran dapat diketahui bahwa kebanyakan dari populasi
dalam penelitian ini melakukan manajemen laba dengan pola income decreasing,
dimana terdapat 79 perusahaan yang mempunyai rata – rata discretionary accruals
bertanda negatif yang berarti bahwa perusahaan tersebut telah melakukan
manajemen laba dengan cara menurunkan laba. Sedangkan 47 perusahaan yang
mempunyai rata – rata discretionary accruals bertanda positif yang berarti
perusahaan – perusahaan tersebut telah melakukan manajemen laba dengan cara
menaikkan labanya.
C. Analisis dan Pengujian Hipotesis
1. Pengujian Asumsi Klasik
Pada model regresi linier berganda perlu dilakukan beberapa pengujian
terhadap asumsi model klasik yang meliputi uji normalitas, multikolneritas, uji
autokorelasi dan uji heterokedastisitas
a. Uji Normalitas
Asumsi normalitas gangguan atau error term penting sekali sebab uji
eksistensi model (Uji F) maupun uji validitas pengaruh variabel independen dan
estimasi nilai variabel dependen harus memenuhi syarat normalitas.Apabila
asumsi ini tidak terpenuhi, baik uji F maupun uji t dan estimasi nilai variabel
dependen menjadi tidak valid. Pengujian dilakukan dengan melihat penyebaran
titik – titik pada sumbu diagonal pada grafik. Dasar pengambilan keputusannya
jika titik – titik menyebar disekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis
54
diagonal dan mengikuti arah garis diagonal maka memenuhi asumsi normalitas.
Sebaliknya jika titik – titik menyebar menjauhi garis diagonal dan tidak mengikuti
arah garis diagonal maka persamaan regresi tidak memenuhi asumsi normalitas.
Grafik 4.1
Dari hasil grafik normal probability plot diatas menunjukkan penyebaran
data yang berada disekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis diagonal.Sehingga
dapat disimpulkan variabel berdistribusi normal.
b. Uji Multikolinieritas
Uji multikolinearitas digunakan untuk menguji adanya korelasi antar
variabel independen. Metode yang digunakan untuk mendeteksi adanya
multikolinieritas dengan menggunakan nilai VIF (variance inflation factor), nilai VIF
55
Observed Cum Prob1.00.80.60.40.20.0
Ex
pe
cte
d C
um
Pro
b
1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0
Normal P-P Plot of Regression Standardized Residual
Dependent Variable: DTAC
lebih kecil dari angka 10 menunjukkan tidak terdapat gejala multikolinieritas antar
variabel independen. Hasil uji multikolinieritas disajikan pada tabel 4.1 berikut ini
Tabel 4.1Hasil uji multikolinieritas
Variabel VIF Keterangan
Kepemilikan institusional 1,174 Tidak terjadi multikolinieritas
Kepemilikan manajerial 1,181 Tidak terjadi multikolinieritas
Proporsi Komisaris Independen 1,007 Tidak terjadi multikolneritas
Komite Audit 1,017 Tidak terjadi multikolinieritas
Sumber : Lampiran 18
Berdasarkan hasil pengujian pada Tabel 4.1 di atas, keempat variabel
independen yang digunakan menghasilkan VIF lebih kecil dari 10. Berdasarkan hasil
tersebut maka dapat disimpulkan tidak terdapat gejala multikolinieritas antar variabel
independen dalam model regresi yang digunakan.
c. Uji Autokorelasi
Uji ini digunakan untuk mengetahui apakah dalam suatu model regresi
linier ada korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t, dengan kesalahan
pada periode t-1. Jika terjadi korelasi, berarti terjadi autokorelasi. Dengan jumlah
obsevasi (n) sebanyak 252 dan variabel independen (k) sebanyak 4 variabel, pada
tabel Durbin-Watson akan diperoleh nilai batas atas (dU) = 1,810 dan batas bawah
(dL) = 1,728. Berdasarkan hasil pengujian terhadap gejala autokorelasi (lihat
lampiran), diperoleh nilai DW-hitung sebesar 1,768. Karena dihasilkan nilai
dU<DW-hitung<4-dU maka dapat disimpulkan tidak terjadi autokorelasi positif
ataupun negatif pada model regresi yang digunakan.
56
d. Uji Heterokedastisitas
Uji ini dilakukan untuk menguji apakah dalam model regresi terdapat
varian yang tidak sama dalam kesalahan pengganggu dan cara yang digunakan
untuk mendeteksi ada tidaknya heterokedastisitas adalah dengan uji Glejser.
Tabel 4.2Hasil Uji Heterokedastisitas
Variabel t hitung T tabel Keterangan
Kepemilikan institusional 0,781 ± 1,96 Tidak terjadi heterokedastisitas
Kepemilikan manajerial -1,072 ± 1,96 Tidak terjadi heterokedastisitas
Proporsi komisaris independent -1,703 ± 1,96 Tidak terjadi heterokedastisitas
Komite audit -0,660 ± 1,96 Tidak terjadi heterokedastisitas
Sumber : Lampiran 18
Berdasarkan tabel 4.2 dapat dibandingkan t hitung dengan t tabel. Masing
– masing variabel memiliki t hitung yang berada diantara ± t tabel (-1.96< t
tabel<1.96). Hal ini berararti bahwa tidak terjadi heterokedastisitas dalam model
yang digunakan.
2. Pengujian Hipotesis
a. Pengujian Hipoetsis Secara Simultan (Uji F)
Uji F dilakukan untuk mengetahui signifikansi pengaruh variabel
independent terhadap variabel dependen secara bersama – sama.
Tabel 4.3Hasil Uji F
F Hitung Sig Ho
1,310 0,267 Diterima
Sumber : Lampiran 18
57
Berdasarkan tabel hasil uji F diatas, dapat dilihat bahwa tingkat
signifikansi adalah sebesar 0.267 lebih besar dibadingkan dengan 0.05 maka H0
diterima dan H1a ditolak. Sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel independen
yang terdiri dari kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, proporsi
komisaris independen, dan komite audit tidak mempunyai pengaruh terhadap
aktivitas praktik manajemen laba perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI.
b. Pengujian Hipotesis Secara Parsial ( Uji t )
Uji t dilakukan untuk mengetahui signifikansi variabel independen
terhadap variabel dependen secara parsial.
Tabel 4.4Hasil Uji t
Variabel Sig Keterangan
Kepemilikan Institusional 0,621 Tidak mempunyai pengaruh
Kepemilikan Manajerial 0,111 Tidak mempunyai pengaruh
Proporsi Komisaris Independen 0,129 Tidak mempunyai pengaruh
KomiteAudit 0,889 Tidak mempunyai pengaruh
Sumber : Lampiran 18
Berdasarkan tabel 4.4 dapat dilihat bahwa variabel kepemilikan
institusional memiliki angka signifikansi diatas 0,05 yaitu sebesar 0,621.Hal ini
berarti variabel kepemilikan institusional tidak mempunyai pengaruh terhadap
manajemen laba.Variabel kepemilikan manajerial memiliki angka signifikansi
diatas 0.05 yaitu sebesar 0,111. Hal ini berarti variabel kepemilikan manajerial
tidak mempunyai pengaruh terhadap manajemen laba.Variabel kepemilikan
institusional memiliki angka signifikansi diatas 0,05 yaitu sebesar 0,129. Hal ini
58
berarti variabel kepemilikan institusional tidak mempunyai pengaruh terhadap
manajemen laba.Variabel komite audit memiliki angka signifikansi diatas 0,05
yaitu sebesar 0,889. Hal ini berarti variabel kepemilikan institusional tidak
mempunyai pengaruh terhadap manajemen laba.
D. Pembahasan Hasil Penelitian
1. Kepemilikan Institusional
Berdasarkan hasil penelitian, rata – rata perusahaan sampel memiliki
persentase kepemilikan institusional sebesar 71,70 %. Pengujian terhadap variabel
kepemilikan isntitusional menunjukkan hasil yang tidak signifikan. Dengan
demikian kepemilikan institusional tidak mempunyai pengaruh terhadap
manajemen laba. Hasil penelitian ini tidak mendukung penelitian yang dilakukan
Jensen (1976), dan Pranata dan Mas’ud (2003) yang menemukan adanya
pengaruh negatif signifikan. Namun hasil penelitian ini mendukung hasil
penelitian yang dilakukan oleh Darmawati (2003), Veronica (2005), dan
Ujiyantho (2007). Hasil penelitian ini sejalan dengan pandangan atau konsep yang
mengatakan bahwa institusional adalah pemilik yang lebih memfokuskan pada
current earnings (Porter, 1992 dalam Pranata dan Mas’ud 2003). Akibatnya
manajer terpaksa untuk melakukan tindakan yang dapat meningkatkan laba jangka
pendek, misalnya dengan melakukan manipulasi laba. Pandangan yang sama juga
dikemukakan oleh Cornett (2006) dalam Ujiyantho (2007) yang menyatakan
bahwa kepemilikan institusional akan membuat manajer merasa terikat untuk
memenuhi target laba dari para investor, sehingga mereka akan tetap cenderung
59
terlibat dalam tindakan manipulasi laba. Emiten yang dianalisis termasuk
memiliki struktur kepemilikan yang terkonsentrasi pada suatu
institusi yang biasanya memiliki saham yang cukup besar yang
mencerminkan kekuasaan, sehingga mempunyai kemampuan
untuk melakukan intervensi terhadap jalannya perusahaan dan
mengatur proses penyusunan laporan keuangan. Akibatnya
manajer terpaksa melakukan tindakan berupa manajemen laba
demi untuk memenuhi keinginan pihak-pihak tertentu.
2. Kepemilikan Manajerial
Kepemilikan manajerial diindikasi dapat mengatasi masalah keagenan
karena kepemilikan saham oleh pihak manajemen perusahaan dapat
menyejajarkan kepentingan antara manajemen dengan pemegang saham. Hal ini
dapat mengurangi konflik kepentingan yang mendorong manajemen melakukan
manipulasi, sehingga dengan adanya kepemilikan manajerial maka semakin kecil
kecenderungan manajemen melakukan manajemen laba. Namun dalam penelitian
ini tidak ditemukan cukup bukti bahwa kepemilikan manajerial mempunyai
pengaruh terhadap manajemen laba, karena memiliki angka signifikansi lebih
besar dari 0,05. Hal ini mungkin disebabkan jumlah kepemilikan manajerial untuk
perusahaan yang listing di BEI relatif lebih sedikit dengan kepemilikan
institusional. Hasil penelitian ini tidak mendukung penelitian yang dilakukan oleh
Midiastuty (2003) dan Ujiyantho (2007). Namun hasil penelitian ini mendukung
hasil penelitian yang dilakukan oleh Gabrielsen (1997) dalam Ujiyantho (2007)
menemukan hasil yang positif tetapi tidak signifikan antara kepemilikan manajerial
60
dengan manajemen laba. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pada
praktiknya meskipun kompensasi yang diberikan kepada manajer melalui
kepemilikan saham bukan berarti tidak mungkin terjadi manipulasi yang berupa
manajemen laba. Selain itu hasil penelitin ini menunjukkan suatu indikasi bahwa
kepemilikan manajerial memiliki kepentingan tersendiri dengan praktek manajemen
laba yang dilakukan oleh perusahaan dan kepentingan tersebut kemungkinan sejalan
dengan kepentingan para manajer. Menurut Scott (2003), manajer juga perlu
melakukan manajemen laba karena tindakan tersebut dapat meningkatkan utilitas dan
fleksibilitas manajer dalam menghadapi kontrak kompensasi yang tidak sempurna
dengan pemilik perusahaan, kontrak kompensasi yang efisien dengan karyawan atau
tenaga kerja. Selain itu dengan manajemen laba maka kepentingan manajemen akan
terlindungi dari perilaku oportunistik pemilik ( principal ), dan juga menguntungkan
perusahaan dalam melakukan kontrak – kontrak efisien dengan kreditor.Misalnya jika
pada suatu saat perusahaan melaporkan laba negatif atau menurun para kreditor bisa
saja menghentikan pinjamannya, tidak memberikan tambahan pinjaman, atau
membiarkan modal kerja dan ekuitas perusahaan jatuh pada level terendah sehingga
mereka bisa mengakuisisinya dengan nilai yang rendah. Untuk menghindarinya
manajer perlu melakukan manajemen laba yaitu dengan menaikkan laba. Namun
tindakan manajemen laba harus dilakukan sesuai dengan pilihan metode – metode
akuntansi yang diperkenankan dan tidak dilakukan secara agresif (Lako, 1997; 70).
3. Proporsi Komisaris Independen
Berdasarkan perhitungan statistik deskriptif, diketahui bahwa rata – rata
proporsi komisaris independen yang dimiliki oleh perusahaan dalam peneitian ini
adalah sebesar 38,05%. Jika dibandingkan dengan peraturan BEI yang
61
menetapkan batas minimal proporsi komisaris independen sebesar 30% dapat
disimpulkan cukup tingginya komisaris independen rata – rata perusahaan yang
menjadi populasi dalam penelitian ini.
Hasil pengujian hipotesis menunjukkan bahwa proporsi komisaris
independen memiliki tingkat signifikansi yang lebih besar dari 0,05 maka proporsi
komisaris independen tidak mempunyai pengaruh terhadap manajemen laba. Hasil
penelitian ini tidak mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh Wedari
(2004) dan Suranta (2005) yang menemukan hasil proporsi komisaris independen
mempunyai pengaruh terhadap manajemen laba. Namun hasil penelitian ini
mendukung hasil penelitian Veronica (2005) yang juga menemukan bahwa
proporsi komisaris independen tidak mempunyai pengaruh terhadap manajemen
laba. Hal tersebut mungkin dikarenakan bahwa pengangkatan komisaris
independen oleh perusahaan mungkin hanya untuk pemenuhan regulasi saja,
selain itu ketentuan minimum dewan komisaris independen sebesar 30% mungkin
belum cukup tinggi untuk menyebabkan para komisaris independen tersebut dapat
mendominasi kebijakan yang diambil oleh dewan komisaris dan mungkin dapat
lebih efektif dalam menjalankan peran monitoring perusahaan. Kondisi ini
didukung oleh survai Asian Development Bank bahwa kuatnya kendali
pendiri perusahaan dan kepemilikan saham mayoritas menjadikan
dewan komisaris tidak independen dan fungsi pengawasan yang
seharusnya menjadi tanggung jawabnya menjadi tidak efektif. Ada
kemungkinan penempatan atau penambahan anggota dewan dari luar
perusahaan hanya sekedar memenuhi ketentuan formal, sementara
pemegang saham mayoritas (pengendali/ founders) masih memegang
62
peranan penting sehingga kinerja dewan tidak meningkat bahkan bisa
menurun.Hal tersebut dapat juga terjadi karena kondisi pasar modal Indonesia
yang memiliki ciri utama terkonsentrasi pada kelompok tertentu mengakibatkan
pemegang saham mayoritas memiliki akses yang besar untuk mempengaruhi
keputusan manajerial (Surya, 2008:57).
4 . Komite Audit
Sebagai sub komite dari dewan komisaris, komite audit bertanggung jawab
memberikan evaluasi yang independen terhadap pelaporan keuangan perusahaan.
Mekanisme pengawasan yang dilakukan terhadap manajemen ini diindikasikan
mampu menghambat praktek manajemen laba. Namun dalam penelitian ini tidak
ditemukan cukup bukti bahwa komite audit memiliki pengaruh terhadap
manajemen laba karena variabel ini memiliki angka signifikansi yang lebih besar
dari 0,05. Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian dari Veronica ( 2005)
yang juga menemukan bahwa komite audit tidak mempunyai pengaruh terhadap
manajemen laba.
Hal tersebut menurut Veronica (2005), keberadaan komite audit oleh
perusahaan mungkin hanya dilakukan untuk pemenuhan regulasi saja tetapi tidak
dimaksudkan untuk menegakkan good corporate governance dalam perusahaan.
Hal tersebut didukung oleh sebuah riset yang dilakukan oleh The Indonesian
Institute for Corporate Governance terhadap 52 perusahaan publik, dimana
sekitar 65% perusahaan publik menyatakan menerapkan corporate governance
karena memang regulasi mengharuskannya (Surya, 2008:61). Selain itu
keberadaan saja tidak cukup untuk mengukur efektivitas pengawasan komite audit
63
terhadap pihak manajemen, karena terdapat beberapa karakteristik yang
mempengaruhi efektivitas komite audit dalam menjalankan fungsi monitoring
seperti ukuran atau jumlah anggota, independensi, dan frekuensi pertemuan
komite audit, dan kompetensi dari komite audit itu sendiri (Sulistyanto,
2008;157).
64
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Berdasarkan hasil pengujian hipotesis secara parsial diketahui bahwa
kepemilikan institusional tidak mempunyai pengaruh terhadap manajemen laba
2. Berdasarkan hasil pengujian hipotesis secara parsial diketahu bahwa
kepemilikan manajerial tidak mempunyai pengaruh terhadap manajemen laba
3. Berdasarkan hasil pengujian hipotesis secara parsial diketahu bahwa proporsi
komisaris independen tidak mempunyai pengaruh terhadap manajemen laba
4. Berdasarkan hasil pengujian hipotesis secara parsial diketahu bahwa komite
audit tidak mempunyai pengaruh terhadap manajemen laba
B. Saran
Untuk mengembangkan dan menyempurnakan penelitian tentang pengaruh
penerapan mekanisme good corporate governance terhadap praktik manajemen
laba, maka penulis mengajukan beberapa saran yaitu :
1. Penelitian selanjutnya bisa dilakukan dengan menggunakan sampel dari berbagai
kategori industri, dimana model perhitungan akrual tetap bisa dilakukan. Dengan
pengambilan sampel yang berasal dari berbagai ketegori industri diharapkan hasil
analisis akan memiliki tingkat generalisasi yang lebih besar.
2. Penelitian selanutnya juga diharapkan untuk memperpanjang periode atau
rentang waktu penelitian. Dengan adanya penggunaan periode yang lebih
diharapkan pengukuran terhadap trend manajemen laba oleh perusahaan bisa lebih
akurat.
65
DAFTAR PUSTAKA
Achmad, Komaruddin, dkk. 2007. Investigasi Motivasi dan Strategi Manajemen Laba pada Perusahaan Piblik di Indonesia. Simposium Nasional Akuntansi X. UnhasMakasar : 26 – 27 Juli 2007
Bachtiar, Yanivi dan Veronica, Sylvia. 2005. Corporate Governance, Information Asymetri and Earning Management. Jurnal Akuntansi Dan Keuangan
Boediono, Gideon SB. Kualitas Laba : Studi Pengaruh Mekanisme Corporate Governance dan Dampak Manajemen Laba dengan Menggunakan Analisis Jalur. Makalah Simposium Akuntansi Nasional VIII. Solo: 15 – 16 September 2005.
Chtourou, SM, J, Berdar, dan L, Corteau. 2001. Corportae Governance and Earning Management. Working Paper. Http : // ssrn. Pp 1- 35
Darmawati, Deni. 2003. Corporate Governance dan Manajemen Laba : Suatu Studi Empiris. Jurnal Bisnis dan Akuntansi, Vol 5, No 1
Dewi, Rosiyana. 2003. Dampak Manajemen Laba terhadap Kualitas Laba dan Reakasi Pasar. Konferensi Nasional Akuntansi
FCGI. 2001. Peranan Dewan Komisaris dan Komite Audit dalam Pelaksanaan Corporate Governance. Jakarta: Forum for Corporate Governance in Indonesia.
Healy, P.M. 1985. The Effect of Bonus Schemes on Accounting Decisions. Journal of Accounting and Economics 7, pp. 85 – 107.
Halim, Julia . dkk. 2005. Pengaruh Manajemen Laba Pada Tingkat Pengungkapan Laporan Keuangan Pada Perusahaan Manufaktur yang termasuk dalam LQ- 45. Makalah Simposium Nasional Akuntansi VIII. Solo: 15 – 16 September 2005.
Ikatan Akuntansi Indonesia. 2004. Standar Akuntansi Keuangan. Jakarta : Salemba Empat
Jensen, Michael C, dan Meckling, William. Theory of the Firm: Managerial Behavior,Agency Costs and Ownership Structure. Journal of Financial Economics, October, 1976, V. 3, No. 4, pp. 305-360.
Jones, Jennifer J. 1991. Earning Management During Import Relief investigations. Journal of Accounting Research, Vol 29 No 2 Autum
66
Kaihatu, Thomas S. 2005. Good Corporate Governance dan Penerapannya di Indonesia. http://www.petra.ac.id/puslit/journals/dir.php (diakses 22 Februari 2008)
Lako, Andreas.2007. Laporan Keuangan dan Konflik Kepentingan. Jakarta : Amara Books
Lastanti, Hexana Sri. 2005. Hubungan Struktur Corporate Governance dengan Kinerja Perusahaan dan Reaksi Pasar. Konferensi Nasional Akuntansi
Maksum, Azhar. 2005. Tinjauan atas Good Corporate Governance di Indonesia. Pidato pengukuhan Guru Besar Tetap Bidang Akuntansi FEUSU.Medan 17 November 2005.
Midiastuty, Pratana dan M. Machfoedz. 2003. Analisis Hubungan Mekanisme Corporate Governannce dan Indikasi Manajemen Laba. Makalah Simposium Nasional Akuntansi VI. Surabaya
Mayangsari, Sekar. 2003. Analisis Pengaruh Independensi, Kualitas Audit, serta Mekanisme Corporate Governance terhadap Integritas Laporan Keuangan. Makalah Simposium Nasional Akuntansi VI. Surabaya : 16 – 17 Oktober 2003.
Munawir. 1983. Analisa Laporan Keuangan. Yogyakarta : Liberty
Rahmawati, dkk. 2006. Pengaruh Asimetri Informasi terhadap Praktek Manajemen Laba pada perusahaan Perbankan Publik yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta. Makalah Simposium Nasional Akuntansi IX. Padang: 23 -26 Agustus 2006.
Scott, R. 2000. Financial Accounting Theory. Prentice Hall Canada Inc: Second Edition
Sulistyanto, Sri.2008. Manajemen Laba : Teori dan Model Empiris. Jakarta : Grasindo
Surya, Indra dan Yustiavandana, Ivan. 2008. Penerapan Good Corporate Governance. Jakarta : Kencana Prenada Media Group
Sugiarto, Sopa. 2003. Perataan Laba dalam Mengantisipasi Laba Masa Depan Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta. Simposium Nasional Akuntansi VI. Surabaya : 16 – 17 Oktober 2007
Solomon, J., dan Solomon, A. 2004. Corporate Governance and Accountability, John Wiley & Sons, Ltd.
Syakhroza, Akhmad. 2005. Corporate Governance; sejarah dan perkembangan, Teori, Model dan Sistem Governance serta aplkasinya pada perusahaan BUMN. Pidato pengukuhan Guru Besar Tetap Bidang Akuntnasi FEUI.Depok 5 Maret 2005.
Suharli. Michell. 2005. Earning Management: Konsep, Penelitian, dan Implikasinya terhadap Praktek Akuntansi. Balance, Vol 2 Maret 2005
Suranta, Edy dan Midiastuty, Pratana Puspa. 2005. Pengaruh Good Corporate Governance Terhadap Praktek Manajemen Laba. Konferensi Nasional Akuntansi.
Tunggal, Syahputra Iman dan Tunggal, Wijdaja Amin. 2002. Memahami Konsep Corporate Governance. Jakarta: Hervarindo
Utomo, Yuni Prihadi. 2007. Eksplorasi Data dan Analisi Regresi dengan SPSS. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Press
Ujiyantho, Arief dan Pramuka, Bambang Agus. 2007. Mekanisme Corporate Governance, Manajemen Laba dan Kinerja Keuangan. Makalah Simposium Nasional Akuntansi X. Unhas Makasar: 26 – 28 Juli 2007.
Veronica, Sylvia Dr dan Utama, Sidharta Dr. 2005. Pengaruh Struktur kepemilikan, Ukuran Perusahaan, dan Praktek Corporate Governance terhadap Pengelolaan Laba (Earning Management). Makalah Simposium Nasional Akuntansi VIII. Solo: 15 – 16 September 2005
Wulandari, Deni dan Kumalahadi, Prasetyo, Januar Eko.2004. Indikasi Manajemen Laba Menjelang Undang – Undang Perpajakan 2000 Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar Di Bursa Efek Jakarta. Simposium Nasional Akuntansi VII, Denpasar
Wedari, Linda Kusumaning. 2004. Analisis Pengaruh Proporsi Dewan Komisaris dan Keberadaan Komite Audit terhadap Aktivitas Manajemen Laba. Makalah Simposium Nasional Akuntansi VII. Bali:2-3 Desember 2004.
68
Widyaningdyah, Agnes Utari. 2001. Analisis Faktor – Faktor yang Berpengaruh terhadap Earning Management pada Perusahaan Go Public di Indonesia. Jurnal Akuntansi dan Keuangan Vol 3, No 2, November
69
Lampiran 1
No Nama Perusahaan
1 PT.Ades Waters Indonesia
2 PT.Aqua Golden Missisipi
3 PT.Cahaya Kalbar
4 PT.Davomas Abadi
5 PT.Delta Djakarta
6 PT.Fast Food Indonesia
7 PT.Indofood Sukses Makmur
8 PT.Mayora Indah
9 PT.Multi Bintang Indonesia
10 PT.Pionerindo Gourmet Internasional
11 PT.Prasidha Aneka Niaga
12 PT.Sekar Laut
13 PT.Siantar Top
14 PT.Sieerad Produce
15 PT.SMART
16 PT.Suba Indah
17 PT.Tiga Pilar Sejahtera
18 PT.Tunas Baru Lampung
19 PT.Ultra Jaya Milk
20 PT.BAT
21 PT.Bentoel Internasional Investama
22 PT.Gudang Garam
23 PT.HM Sampoerna
24 PT.Argo Pantes
25 PT.Eratex Djaja
26 PT.Panasia Filament Inti
27 PT.Panasia Indosyntec
28 PT.Roda Vivatex
29 PT.Sunson Textile Manufacture
30PT.Textile Manufacturing Company Jaya
31 PT.APAC Citra Contertex
32 PT.Delta Dunia Petroindo
33 PT.Ever Shine Textile Industry
34 PT.Fortune Mate Indonesia
35 PT.Hanson International
36 PT.Karwell Indonesia
37 PT.Pan Brothres Tex
38 PT.Primarindo Asia Infrastructure
39 PT.Ricky Putra Globalindo
40 PT.Sepatu Bata
41 PT.Surya Intrindo Makmur
42 PT.Barito Pasific Timber
43 PT.Daya Sakti Unggul Corporation
44 PT.Sumalindo Lestari Jaya
45 PT.Surya Dumai Industri
46 PT.Tirta Mahakam Resources
47 PT.Fajar Surya Wisesa
48 PT.Surabaya Agung Industry Pulp
49 PT.AKR Corporindo
50 PT.Budi Acid Jaya
51 PT.Colorpack Indonesia
52 PT.Eterindo Wahanatama
53 PT.Lautan Luas
54 PT.Polysindo Eka Perkasa
55 PT.Duta Pertiwi Nusantara
56 PT.Intanwijaya Internasional
57 PT.Resources Alam Indonesia
58 PT.Aneka Kemasindo
59 PT.Argha Karya Prima Industri
60 PT.Asahimas Flat Glass
61 PT.Asiaplast Industries
62 PT.Berlina
63 PT.Dynaplast
64 PT.Fatrapolindo Nusa Industri
65 PT.Kageo Igar Jaya
66 PT.Langgeng Makmur Plastik
67 PT.Lapindo International
68 PT.Siwani Makmur
69 PT.Tria Sentosa
70 PT.Holcim Indonesia
71 PT.Indocement Tunggal Perkasa
72 PT.Semen Gresik
73 PT.Betonjaya Manunggal
74 PT.Indal Alumunium Industry
75 PT.Jakarta Kyoei Steel Works
76 PT.Jaya Pari Steel Works
77 PT.Lion Mesh Prima
78 PT.Lioan Metal Works
79 PT.Pelangi Indah Canindo
80 PT.Tembaga Mulia Semanan
81 PT.Tira Austenite
82 PT.Kedawung Indah Can
83 PT.Kedawung Setia Industrial
84 PT.Arwana Citramulia
85 PT.Intikeramik Alamasri Industry
86 PT.Mulia Industrindo
87 PT.Surya Toto Indonesia
88 PT.GT Kabel Indonesia
89 PT.Jembo Cable Company
90 PT.Kabelindo Murni
91 PT.Sucaco
70
92 PT.Sumi Indo Kabel
93 PT.Astra Graphia
94 PT.Metrodata Electronics
95 PT.Multipolar Corporation
96 PT.Astra International
97 PT.Astra Otoparts
98 PT.Branta Mulia
99 PT.Gajah Tunggal
100 PT.Goodyear Indonesia
101 PT.Hexindo Adiperkasa
102 PT.Indomobil Sukses International
103 PT.Indospring
104 PT.Intraco Penta
105 PT.Multi Prima Sejahtera
106 PT.Nippress
107 PT.Polychem Indonesia
108 PT.Prima Alloy Steel
109 PT.Selamat Sempurna
110 PT.Sugi Samapersada
111 PT.Tunas Ridean
112 PT.United Tractors
113 PT.Interdelta
114 PT.Modern Foto Film Company
115 PT.Perdana Bangun Pusaka
116 PT.Bristol Myers Squibb Indonesia
117 PT.Darya Varia Laboratoria
118 PT.Indofarma
119 PT.Kimia Farma
120 PT.Merck
121 PT.Pyridam Farma
122 PT.Schering Plough Indonesia
123 PT.Tempo scan pasific
124 PT.Mandom Indonesia
125 PT.Mustika Ratu
126 PT.Unilever Indonesia
71
Lampiran 2 Net Income
( dalam jutaan rupiah )
No Nama Perusahaan 2,005 2,0061 PT.Ades Waters Indonesia (119,256) (128,794)2 PT.Aqua Golden Missisipi 64,350 48,8543 PT.Cahaya Kalbar (21,594) 15,2914 PT.Davomas Abadi 90,069 196,2775 PT.Delta Djakarta 56,405 43,2846 PT.Fast Food Indonesia 41,291 68,9297 PT.Indofood Sukses Makmur 124,018 661,2108 PT.Mayora Indah 45,730 93,5769 PT.Multi Bintang Indonesia 87,014 73,58110 PT.Pionerindo Gourmet Internasional 4,658 (1,851)11 PT.Prasidha Aneka Niaga 118,433 11,84712 PT.Sekar Laut 91,602 4,63713 PT.Siantar Top 10,637 14,42614 PT.Sieerad Produce (122,480) 40,95415 PT.SMART 304,203 628,00516 PT.Suba Indah (328,969) (51,925)17 PT.Tiga Pilar Sejahtera 35 13018 PT.Tunas Baru Lampung 6,219 52,88419 PT.Ultra Jaya Milk 4,528 14,73220 PT.BAT 19,082 (62,123)21 PT.Bentoel Internasional Investama 108,166 145,51022 PT.Gudang Garam 1,889,646 1,007,82223 PT.HM Sampoerna 2,383,066 3,530,49024 PT.Argo Pantes (214,141) (17,823)25 PT.Eratex Djaja (16,412) (6,050)26 PT.Panasia Filament Inti (34,179) (42,785)27 PT.Panasia Indosyntec 87,003 34528 PT.Roda Vivatex 21,134 34,57829 PT.Sunson Textile Manufacture (50,369) (15,509)30 PT.Textile Manufacturing Company Jaya (143,668) (32,651)31 PT.APAC Citra Contertex (94,912) 3,95132 PT.Delta Dunia Petroindo 3,427 2,23133 PT.Ever Shine Textile Industry (9,205) (51,483)34 PT.Fortune Mate Indonesia (4,566) 2,65835 PT.Hanson International (14,427) (92,107)36 PT.Karwell Indonesia 1,361 (74,430)37 PT.Pan Brothres Tex 10,301 9,74838 PT.Primarindo Asia Infrastructure (12,604) 4,94639 PT.Ricky Putra Globalindo 37,461 38,22640 PT.Sepatu Bata 25,086 20,16141 PT.Surya Intrindo Makmur (14,775) (10,526)42 PT.Barito Pasific Timber 686,842 7,19143 PT.Daya Sakti Unggul Corporation (50,726) (24,069)44 PT.Sumalindo Lestari Jaya 12,847 (53,109)45 PT.Surya Dumai Industri (130,746) (59,014)
72
46 PT.Tirta Mahakam Resources 10,110 1,28647 PT.Fajar Surya Wisesa 5,828 101,72848 PT.Surabaya Agung Industry Pulp (601,188) 18,26049 PT.AKR Corporindo 119,289 128,08450 PT.Budi Acid Jaya 2,281 20,67851 PT.Colorpack Indonesia 7,865 7,67052 PT.Eterindo Wahanatama (2,098) 9,99053 PT.Lautan Luas 52,425 29,67754 PT.Polysindo Eka Perkasa (841,805) (25,430)55 PT.Duta Pertiwi Nusantara 4,477 (2,625)56 PT.Intanwijaya Internasional 11,590 (4,630)57 PT.Resources Alam Indonesia (3,971) (26,791)58 PT.Aneka Kemasindo 1,485 12159 PT.Argha Karya Prima Industri 11,276 14,58260 PT.Asahimas Flat Glass 212,553 (17,220)61 PT.Asiaplast Industries (4,346) 6662 PT.Berlina 3,222 (5,447)63 PT.Dynaplast 20,610 (6,678)64 PT.Fatrapolindo Nusa Industri (57,135) (32,039)65 PT.Kageo Igar Jaya 13,778 9,96466 PT.Langgeng Makmur Plastik 130,314 3,31367 PT.Lapindo International (3,479) 1,10568 PT.Siwani Makmur 2,204 1,09069 PT.Tria Sentosa 16,429 25,94270 PT.Holcim Indonesia (334,081) 175,94571 PT.Indocement Tunggal Perkasa 739,686 592,80272 PT.Semen Gresik 1,002 1,29673 PT.Betonjaya Manunggal 1,750 81874 PT.Indal Alumunium Industry (20,774) 12,53975 PT.Jakarta Kyoei Steel Works 10,621 5,56376 PT.Jaya Pari Steel Works 34,084 26,79677 PT.Lion Mesh Prima 4,107 2,66778 PT.Lioan Metal Works 19,023 20,64279 PT.Pelangi Indah Canindo 1,774 1,88080 PT.Tembaga Mulia Semanan (17,211) 24,47781 PT.Tira Austenite 2,963 6,31982 PT.Kedawung Indah Can (10,164) (14,819)83 PT.Kedawung Setia Industrial (7,398) 1,81584 PT.Arwana Citramulia 35,419 28,25485 PT.Intikeramik Alamasri Industry 6,855 2,76386 PT.Mulia Industrindo (792,946) (509,864)87 PT.Surya Toto Indonesia 62,884 79,70588 PT.GT Kabel Indonesia 25,608 50,38289 PT.Jembo Cable Company (2,044) 59390 PT.Kabelindo Murni 14,127 10,50891 PT.Sucaco 56,798 51,64392 PT.Sumi Indo Kabel 23,749 44,37493 PT.Astra Graphia 36,067 55,56594 PT.Metrodata Electronics 16,307 20,77695 PT.Multipolar Corporation 60,718 45,159