1. Autoimun1.1 DefinisiAutoimunitas adalah respon imun terhadap
antigen jaringan sendiri yang disebabkan oleh kegagalan mekanisme
mempertahankan self-tolerance sel B, sel T atau keduanya. Penyakit
autoimun adalah kerusakan jaringan atau gangguan fungsi fisiologis
yang ditimbulkan oleh respon autoimun. ( IMUNOLOGI DASAR, FK UI, ed
ke 11)1.2 EtiologiFaktor Penyebab Penyakit Autoimun1.
GenetikBeberapa peneliti menemukan adanya hubungan antara penyakit
LES dengan gen Human Leukocyte Antigen (HLA) seperti DR2, DR3 dari
Major Histocompatibility Complex (MHC) kelas II. Individu dengan
gen HLA DR2 dan DR3 mempunyai risiko relatif menderita penyakit LES
2-3 kali lebih besar daripada yang mempunyai gen HLA DR4 dan HLA
DR5. Peneliti lain menemukan bahwa penderita penyakit LES yang
mempunyai epitop antigen HLA-DR2 cenderung membentuk autoantibodi
anti-dsDNA, sedangkan penderita yang mempunyai epitop HLA-DR3
cenderung membentuk autoantibodi anti-Ro/SS-A dan anti-La/SS-B.
Penderita penyakit LES dengan epitop-epitop HLA-DR4 dan HLA-DR5
memproduksi autoantibodi anti-Sm dan anti-RNP.
1. Defisiensi komplemenPada penderita penyakit LES sering
ditemukan defisiensi komplemen C3 dan atau C4, yaitu pada penderita
penyakit LES dengan manifestasi ginjal.Defisiensi komplemen C3 dan
atau C4 jarang ditemukan pada penderita penyakit LES dengan
manifestasi pada kulit dan susunan saraf pusat.Individu yang
mengalami defek pada komponen-komponen komplemennya, seperti Clq,
Clr, Cls mempunyai predisposisi menderita penyakit LES dan nefritis
lupus. Defisiensi komplemen C3 akan menyebabkan kepekaan terhadap
infeksi meningkat, keadaan ini merupakan predisposisi untuk
timbulnya penyakit kompleks imun. Penyakit kompleks imun selain
disebabkan karena defisiensi C3, juga dapat disebabkan karena
defisiensi komplemen C2 dan C4 yang terletak pada MHC kelas II yang
bertugas mengawasi interaksi sel-sel imunokompeten yaitu sel Th dan
sel B. Komplemen berperan dalam sistem pertahanan tubuh, antara
lain melalui proses opsonisasi, untuk memudahkan eliminasi kompleks
imun oleh sel karier atau makrofag. Kompleks imun akan diikat oleh
reseptor komplemen (Complement receptor = C-R) yang terdapat pada
permukaan sel karier atau sel makrofag. Pada defisiensi komplemen,
eliminasi kompleks imun terhambat, sehingga jumlah kompleks imun
menjadi berlebihan dan berada dalam sirkulasi lebih lama.
1. HormonPada individu normal, testosteron berfungsi mensupresi
sistem imuns sedangkan estrogen memperkuat sistem imun.Predominan
lupus pada wanita dibandingkan pria memperlihatkan adanya pengaruh
hormon seks dalam patogenesis lupus.Pada percobaan di tikus dengan
pemberian testosteron mengurangi lupus-like syndrome dan pemberian
estrogen memperberat penyakit.
1. Lingkungan Lingkungan Pengaruh fisik (sinar matahari),
infeksi (bakteri, virus, protozoa), dan obat-obatan dapat
mencetuskan atau memperberat penyakit autoimun. Mekanismenya dapat
melalui aktivasi sel B poliklonal atau dengan meningkatkan ekspresi
MHC kelas I atau II.
1.3 patofisiologiTOLERANSI IMUNToleransi imun adalah mekanisme
proteksi yang kuat untuk mencegah terjadinya penyakit autoimun,
melindungi individu dari limfosit yang potensial self-reaktif
terhadap antigen tubuh sendiri. Baik sel T maupun sel B memiliki
mekanisme toleransi imunnya sendiri. Toleransi imun terbagi menjadi
toleransi sentral dan toleransi perifer. Pada sel T toleransi
sentral terjadi di timus dan pada sel B toleransi sentral terjadi
di sum-sum tulang.I.Toleransi TA. Toleransi sentralTimus mempunyai
peran penting untuk menyingkirkan sel T yang mengenal peptide asal
protein sendiri. Toleransi sentral adalah induksi toleransi saat
limfosit berada dalam perkembangannya di timus. Terjadi dua jenis
seleksi, yaitu seleksi positif dan seleksi negative. Seleksi
positif : sel hidup melalui ikatan dengan kompleks MHC. Sel T yang
gagal berikatan dengan kompleks MHC dalam timus akan
diapoptosis.Seleksi negative : sel T yang mengikat kompleks peptide
MHC dengan afinitas tinggi dalam timus, akan memiliki potensi untuk
mengenal self-antigen yang menimbulkan autoimunitas. Oleh karena
itu, sel-sel tersebut harus disingkirkan.Diduga 90% timosit
mengalami proses seleksi negatif. Dan pada beberapa hal, sel T
atausel B yang self-reaktif dapat lolos dari seleksi negatif. Oleh
karena itu toleransi perifer menginaktifkan sel-sel tersebut.B.
Toleransi periferMerupakan mekanisme yang diperlukan untuk
mempertahankan toleransi terhadap antigen yang tidak ditemukan
dalam organ limfoid primer atau terjadi bila ada klonsel dengan
reseptor afinitas rendah yang lolos dari seleksi primer.Ignorance
imunologis adalah keadaan bila antigen tidak dihiraukan system
imun. Mekanismenya misalnya, tidak ada cukup pemisahan anatomic
seperti sawar darah-otak, lensamata, testis, dan dalam organ
avaskular. Karena lokasinya tersebut, antigen tertentu tidak
ditemukan limfosi treaktif pada kondisi normal. Namun, akibat
infeksi atau cedera, antigen dapat terpajan dan menimbulkan respon
imun.Sel T autoreaktif yang dipisahkan oleh jalur sirkulasi
limfosit yang terbatas, sehingga membatasi limfosit naif yang tidak
bebas bergerak ke jaringan limfoid sekunder dan darah. Untuk
mencegah self-antigen terpajan dengan APC, sisa degradasi jaringan
harus disingkirkan dengan apoptosis melibatkan system komplemen dan
fagositosis. Defek komplemen dan fagositosis dapat berhubungan
dengan autoimunitas.Anergi dan konstimulasi merupakan mekanisme
toleransi perifer yang lebih aktif. Anergi adalah menurunnya fungsi
sel B atausel T. Karena stimulasi sel T tanpa molekul
konstimulatormenyebabkan apoptosis. Untukmemulasiresponimun, sel
CD4+ naifbutuh 2 sinyal, yaitusinyal antigen spesifikdari TCR dan
sinyal konstimulator non spesifik.II. Toleransi sel Ba. Toleransi
sentralSeleksi terhadap sel B auto reaktif mulai terjadi di sum-sum
tulang. BCR berfungsi mengikat molekul ekstraseluler dan mengawali
sinyal sitoplasmik yang antigen spesifik. Sel B imatur yang
terpajan antigen ekstraseluler akan meningkatkan sinyal melalui BCR
untuk berhenti berkembang. Sel B tersebut akan menginisiasi proses
untuk mengeditreseptor BCR untuk antigen baru. Bila tidak mengedit,
sel B akan diapoptosis untuk mencegah autoreaktif. Prinsip seleksi
pada toleransi sel T juga berlaku untuk sel B.b. Toleransi
periferSetelah meninggalkan sum-sum tulang, sel B yang relative
imatur bermigrasi ke zona sel T luar limpa. Sel B dengan seleksi
negative menempati limpa, diproses untuk induksi anergi, dicegah
bermigrasi sel ke folikel sel B dan apoptosis ditingkatkan. Sel B
yang mengenal antigen, tetapi tidak menerima bantuan dari sel T
akan menjadi anergik atau apoptosis dan tidak
berfungsi.Faktor-faktor yang berperan1. Infeksi dan Kemiripan
MolekularBanyak infeksi yang menunjukkan hubungan dengan penyakit
autoimun tertentu. Beberapa penyakit memiliki epitope yang sama
dengan antigen sendiri. Respon imun yang timbul terhadap bakteri
tersebut bermula pada rangsangan terhadap sel T yang selanjutnya
merangsang sel B untuk membentuk autoantibodi.Infeksi virus dan
bakteri dapat berkontribusi dalam terjadinya eksaserbasi
autoimunitas. Pada kebanyakan hal, mikroorganisme tidak dapat
ditemukan. Kerusakan tidak disebabkan oleh penyebab mikroba, tetapi
merupakan akibat respon imun terhadap jaringan pejamu yang rusak.
Contoh penyakit yang ditimbulkan oleh kemiripan dengan antigen
sendiri adalah demam reuma pasca infeksi streptokok, disebabkan
antibodi terhadap streptokok yang diikat jantung dan menimbulkan
miokarditis.
2. Sequestered AntigenSequestered antigen adalah antigen sendiri
yang karena letak anatominya, tidak terpapar dengan sistem imun.
Pada keadaan normal, sequestered antigen tidak ditemukan untuk
dikenal sistem imun. Perubahan anatomik dalam jaringan seperti
inflamasi (sekunder oleh infeksi, kerusakan iskemia atau trauma),
dapat memajankan sequestered antigen dengan sistem imun yang tidak
terjadi pada keadaan normal. Contohnya protein intraoktakular pada
sperma.
3. Kegagalan AutoregulasiRegulasi imun berfungsi untuk
mempertahankan homeostasis. Gangguan dapat terjadi pada presentasi
antigen, infeksi yang meningkatkan respon MHC, kadar sitokin yang
rendah (misalnya TGF-) dan gangguan respon terhadap IL-2.
Pengawasan beberapa sel autoreaktif diduga bergantung pada sel Ts
atau Tr. Bila terjadi kegagalan sel Ts atau Tr, maka sel Th dapat
dirangsang sehingga menimbulkan autoimunitas.
4. Aktivasi Sel B PoliklonalAutoimunitas dapat terjadi oleh
karena aktivasi sel B poliklonal oleh virus (EBV), LPS dan parasit
malaria yang dapat merangsang sel B secara langsung yang
menimbulkan autoimunitas. Antibodi yang dibentuk terdiri atas
berbagai autoantibodi.
5. Obat-obatanAntigen asing dapat diikat oleh permukaan sel dan
menimbulkan reaksi kimia dengan antigen permukaan sel tersebut yang
dapat mengubah imunogenitasnya. Trombositopenia dan anemia
merupakan contoh-contoh umum dari penyakit autoimun yang dicetuskan
obat. Mekanisme terjadinya reaksi autoimun pada umumnya belum
diketahui dengan jelas. Pada seseorang yang mendapat prokainamid
dapat ditemukan antibodi antinuklear dan timbul sindroma berupa
LES. Antibodi menghilang bila obat dihentikan.6. Faktor
KeturunanPenyakit autoimun mempunyai persamaan predisposisi
genetic. Meskipun sudah diketahui adanya kecendrungan terjadinya
penyakit pada keluarga, tetapi bagaimana hal tersebut diturunkan,
pada umumnya adalah kompleks dan diduga terjadi atas pengaruh
beberapa gen. (Imunologi Dasar FK UI )1.4 Klasifikasi Penyakit
autoimun menurut mekanisme :1. Penyakit autoimun yang terjadi
melalui antibodi1. Anemia hemolitik autoimun1. Limfopeni1. Sindrom
goodpasture1. Penyakit grave1. Granulomatosis wegener1. Miastenia
gravis
1. Penyakit autoimun yang terjadi melalui antibodi dan sel T1.
Sistemik1. Artritis reumatoid1. LES1. Organ atau jaringanspesifik1.
Sindrom Sjogren1. Sklerosis multiple1. Sindrom guillain-bare
1. Penyakit autoimun yang terjadi melalui komleks Ag-Ab1.
Diabetes tipe I1. LES
1. Penyakit autoimun yang terjadi melalui komplemen
Penyakit autoimun menurut sistem organ
0. Penyakit autoimun hematologi0. Penyakit saluran cerna1.
Anemia pernisiosa1. Gastritis antral difus1. Hepatitis autoimun
0. Penyakit autoimun jantung1. Miokarditis1. Kardiomiopati
0. Penyakit autoimun ginjal1. Glomerulonefritis1. Sindrom
goodpasture
0. Penyakit autoimun susunan saraf Sindrom guillane bare1.
Vaskulitis saraf perifer
0. Penyakit autoimun endokrin1. Penyakit grave1. Tiroiditis
primer
0. Penyakit autoimun otot1. Miastenia gravis1.
Polimiositis-dermatomiositis
0. Penyakit autoimun reproduksi1. Granulomatosa wegener1.
Sarkoidosis
0. Penyakit autoimun telinga dan tenggorokan
Penyakit autoimmun nonorgan spesifik/sistemik
1. Lupus eritematosus sistemik 1. Skleroderma1. Sindrom
sjogren1. Artritis reumatoid1. Sistitis anterstisial1. Sindrom
antibodi antifosfolipid1. Vaskulitis
1.5 cara mendiagnosis
2. SLE2.1 DefinisiSLE merupakan penyakit autoimun yang ditandai
oleh produksi antibodi yang berlebih terhadap komponen-komponen
inti sel yang berhubungan dengan manifestasi klinis yang luas.
Penyakit ini multi sistim dengan etiologi dan patogenesis yang
belum jelas. Terdapat banyak bukti bahwa patogenesis SLE bersifat
multifaktor yang melibatkan faktor lingkungan (terpapar oleh
matahari), genetik (keturunan) dan hormonal (berkaitan dengan
hormon testosteron dan LH untuk laki-laki dan estrogen untuk
perempuan, dengan penderita lebih banyak pada wanita). Terganggunya
mekanisme pengaturan imun seperti eliminasi dari sel-sel yang
mengalami apoptosis dan kompleks imun berperan penting terhadap
terjadinya SLE. Hilangnya toleransi imun, banyaknya antigen,
meningkatnya sel T helper, terganggunya supresi sel B dan perubahan
respon imun dari Th1 ke Th2 menyebabkan hiperreaktivitas sel B dan
terbentuknya autoantibody.
2.2 EpidemiologiStatistik Amerika SerikatKejadian rata-rata SLE
5 kasus per 100.000 penduduk setiap tahunnya. Pusat Pengendalian
dan Pencegahan Penyakit (CDC) memperkirakan kisaran antara 1,8 dan
7,6 per 100.000 orang per tahun di Amerika Serikat.Yayasan Lupus
Amerika memperkirakan prevalensi menjadi hingga 1,5 juta kasus,
yang mungkin mencerminkan terjadinya bentuk ringan dari penyakit
ini. Berdasarkan sebuah laporan dari Kelompok Kerja Nasional
Arthritis data 2008, terdapat sekitar 250.000 orang Amerika terkena
SLE.Frekuensi SLE bervariasi menurut ras dan etnis, tingkat
kejadian tinggi dilaporkan pada orang kulit hitam dan Hispanik.
Prevalensi SLE adalah sekitar 40 per 100.000 orang kulit putih di
Rochester, Minnesota, dan 100 per 100.000 Hispanik di Nogales,
Arizona. Insiden SLE pada wanita kulit hitam adalah sekitar 4 kali
lebih tinggi dibandingkan wanita kulit putih. SLE juga lebih sering
terjadi pada wanita Asia dibandingkan pada wanita kulit putih.
Statistik InternasionalDi seluruh dunia, prevalensi SLE
bervariasi. Tingkat tertinggi prevalensi telah dilaporkan di
Italia, Spanyol, Martinique, dan Inggris populasi Afro-Karibia.
Meskipun prevalensi SLE tinggi pada orang kulit hitam di Inggris,
penyakit ini jarang dilaporkan pada orang kulit hitam di Afrika,
hal ini menunjukkan bahwa kemungkinan adanya pemicu lingkungan,
serta dasar genetik, untuk penyakit pada populasi di Inggris.
Ras, jenis kelamin, dan demografi yang berkaitan dengan usiaDi
seluruh dunia, prevalensi SLE tampaknya bervariasi menurut ras.
Namun, ada tingkat prevalensi yang berbeda bagi orang-orang dari
ras yang sama di berbagai wilayah dunia. Terjadinya kontras
dilaporkan antara tingkat rendahnya SLE pada wanita kulit hitam di
Afrika dan tingkat tinggi pada wanita kulit hitam di Inggris
menunjukkan bahwa ada pengaruh lingkungan. Secara umum, perempuan
kulit hitam memiliki tingkat yang lebih tinggi dari SLE
dibandingkan wanita dari ras lain , diikuti oleh perempuan Asia dan
kemudian perempuan kulit putih.Di Amerika Serikat, perempuan kulit
hitam 4 kali lebih mungkin untuk memiliki SLE daripada wanita kulit
putih. Sebuah tinjauan SLE di seluruh negara Asia Pasifik
mengungkapkan variasi dalam tingkat prevalensi dan kelangsungan
hidup. Sebagai contoh, tingkat prevalensi keseluruhan berkisar
4,3-45,3 per 100.000, dan kejadian secara keseluruhan berkisar
0,9-3,1 per 100.000 per tahun. Selain itu, orang Asia dengan SLE
memiliki tingkat lebih tinggi keterlibatan ginjal dan keterlibatan
kardiovaskular yang merupakan penyebab utama kematian di Asia.
Rasio perempuan dan laki-lakiLebih dari 90% kasus SLE terjadi
pada wanita, sering dimulai pada usia subur. Penggunaan hormon
eksogen telah dikaitkan dengan lupus onset dan flare, yang
menunjukkan peran faktor hormonal dalam patogenesis penyakit.
Risiko pengembangan SLE pada pria adalah sama dengan pada wanita
prapubertas atau postmenopause. Menariknya, pada pria, SLE lebih
sering terjadi pada orang dengan sindrom Klinefelter (yaitu,
genotipe XXY), yang lebih lanjut mendukung hipotesis hormonal.
Bahkan, sebuah studi oleh Dillon et al menemukan bahwa pria dengan
sindrom Klinefelter memiliki tingkat yang lebih parah dari SLE
daripada perempuan, tetapi tingkat kurang parah daripada orang
lain. Rasio perempuan dan laki-laki yaitu 11:1 selama tahun-tahun
subur. Terdapat korelasi antara usia dan kejadian SLE selama tahun
puncak produksi hormon seks perempuan. Onset dari SLE biasanya
setelah pubertas, biasanya pada usia 20-an dan 30-an, dengan 20%
dari semua kasus didiagnosis selama 2 dekade pertama kehidupan.
Sebuah tinjauan literatur di seluruh dunia (terutama Amerika Utara,
Eropa, dan Asia) menemukan bahwa kejadian SLE anak memiliki onset
berkisar 0,36-2,5 per 100.000 per tahun dan prevalensi berkisar
1,89-25,7 per 100.000. Prevalensi SLE tertinggi pada wanita berusia
14 sampai 64 tahun. SLE tidak memiliki predileksi usia pada
laki-laki, meskipun harus diperhatikan bahwa pada orang dewasa yang
lebih tua, rasio perempuan ke laki-laki jatuh. Efek ini mungkin
karena hilangnya efek estrogen pada wanita lebih tua.2.3
etiologiFaktor Penyebab Penyakit Autoimun GenetikBeberapa peneliti
menemukan adanya hubungan antara penyakit LES dengan gen Human
Leukocyte Antigen (HLA) seperti DR2, DR3 dari Major
Histocompatibility Complex (MHC) kelas II. Individu dengan gen HLA
DR2 dan DR3 mempunyai risiko relatif menderita penyakit LES 2-3
kali lebih besar daripada yang mempunyai gen HLA DR4 dan HLA DR5.
Peneliti lain menemukan bahwa penderita penyakit LES yang mempunyai
epitop antigen HLA-DR2 cenderung membentuk autoantibodi anti-dsDNA,
sedangkan penderita yang mempunyai epitop HLA-DR3 cenderung
membentuk autoantibodi anti-Ro/SS-A dan anti-La/SS-B. Penderita
penyakit LES dengan epitop-epitop HLA-DR4 dan HLA-DR5 memproduksi
autoantibodi anti-Sm dan anti-RNP.
Defisiensi komplemenPada penderita penyakit LES sering ditemukan
defisiensi komplemen C3 dan atau C4, yaitu pada penderita penyakit
LES dengan manifestasi ginjal.Defisiensi komplemen C3 dan atau C4
jarang ditemukan pada penderita penyakit LES dengan manifestasi
pada kulit dan susunan saraf pusat.Individu yang mengalami defek
pada komponen-komponen komplemennya, seperti Clq, Clr, Cls
mempunyai predisposisi menderita penyakit LES dan nefritis lupus.
Defisiensi komplemen C3 akan menyebabkan kepekaan terhadap infeksi
meningkat, keadaan ini merupakan predisposisi untuk timbulnya
penyakit kompleks imun. Penyakit kompleks imun selain disebabkan
karena defisiensi C3, juga dapat disebabkan karena defisiensi
komplemen C2 dan C4 yang terletak pada MHC kelas II yang bertugas
mengawasi interaksi sel-sel imunokompeten yaitu sel Th dan sel B.
Komplemen berperan dalam sistem pertahanan tubuh, antara lain
melalui proses opsonisasi, untuk memudahkan eliminasi kompleks imun
oleh sel karier atau makrofag. Kompleks imun akan diikat oleh
reseptor komplemen (Complement receptor = C-R) yang terdapat pada
permukaan sel karier atau sel makrofag. Pada defisiensi komplemen,
eliminasi kompleks imun terhambat, sehingga jumlah kompleks imun
menjadi berlebihan dan berada dalam sirkulasi lebih lama.
HormonPada individu normal, testosteron berfungsi mensupresi
sistem imuns sedangkan estrogen memperkuat sistem imun.Predominan
lupus pada wanita dibandingkan pria memperlihatkan adanya pengaruh
hormon seks dalam patogenesis lupus.Pada percobaan di tikus dengan
pemberian testosteron mengurangi lupus-like syndrome dan pemberian
estrogen memperberat penyakit.
Lingkungan Lingkungan Pengaruh fisik (sinar matahari), infeksi
(bakteri, virus, protozoa), dan obat-obatan dapat mencetuskan atau
memperberat penyakit autoimun. Mekanismenya dapat melalui aktivasi
sel B poliklonal atau dengan meningkatkan ekspresi MHC kelas I atau
II.2.4 patogenesis1.Kerusakan akibat destruksi selKerusakan
jaringan disebabkan karena reaksi autoantibodi dengan struktur
permukaan sel baik yang utuh maupun yang telah berubah atau
mengalami modifikasi atau terhadap komponen seluler
tertentu.Destruksi sel biasanya terjadi bila ada komplemen (seperti
pada anemia hemolitik) atau mungkin melalui sitoktosisitas seluler
dengan bantuan antibodi (ADCC). Terkadang autoantibodi terhadap
reseptor merangsang atau mneghambat fungsi sel tanpa
merusaknya.
2.Kerusakan akibat pembentukan kompleks imunBerperan dalam
autoimunitas sistemik. Kerusakan jaringan diawali dengan
pembentukan kompleks imun yaitu kompleks autoantibodi-autoantigen
yang kemudian menyulut aktivitas komplemen, granulosit dan monosit.
Aktivasi komplemen ditandai dengan penurunan jumlah komplemen yang
akan mneyebabkan kerusakan jaringan sistemik.
3.Kerusakan akibat reaksi imunologik selularKerusakan jaringan
terjadi karena sel T sitotoksik yang tersensitisasi merusak sel
atau jaringan secara langsung atau melalui produksi limfokin oleh
sel T yang menyulut respon inflamasi.Mekanisme terjadi melalui
sitotoksisitas sel T dengan cara : 1) eksositosis granula yang
mengandung perforin yang menyebabkan pengrusakan sel sasaran. 2)
pengikatan Fas dengan FasL yang terdapat pada membran sel sasaran
atau yang dilepaskan oleh sel sasaran. Interaksi insi menyebabkan
sitotoksisitas sel tanpa melalui MHC.
PATOGENESIS SLE
Tenaga pendorong abnormal sel T CD 4+Faktor genetik, lingkungan,
dan hormonal
Autoantibodi terhadap eritropoiten
Hilangnya self tolerance sel T
1. Penurunanan produksi eritropoiten2. Resistensi eritropoiten
pada sel eritroid3. Besi terikat dengan besi pengikat4. Penurunan
respon eritropoiten5. Efek supresif IL terhadap eritropoises
Muncul sel T autoreaktif
Induksi dan ekspansi sel B
Produksi autoantibodi
Penurunan Hb
Gangguan fungsi ginjalAktivasi komplemenAktivasi C 5 aTimbul
reaksi radang/inflamasiAktivasi komplemen mengerahkan
granulositTerjadi fiksasi komplemen pada organ tersebutANA
mengendap di berbagai macam organ, terutama membran basal
glomerulusMembentuk kompleks DNA (ANA) yang akan memasuki
sirkulasiANEMIAUntuk antigen nukleoplasma (DNA, protein histon, non
histon) tidak tissue specific meningkat komponen integral semua
jenis sel
Folikel menyempit rambut rontok
Mukosa bibir inflamasi stomatitis
Pajanan matahari muka menjadi merah
LANJUTANAlbumin, globulin protein dengan berat molekul besar
menembus dinding glomerulusSelektivitas dinding glomerulus
menurunGangguan pada kapiler glomerulusGangguan fungsi ginjal
Proteinuria hipoalbuminemia penurunan volume darah arteri
efektifDefek intrinsik eksresi natrium dan air
Retensi Na dan air oleh ginjal
Buang air kecil 0,5 g/hr atau pemeriksaan +3 jika pemeriksaan
kuantitatif tidak dapat dilakukanataub. Cellular cast : eritrosit,
Hb, granular, tubular atau campuran
8Gangguan sarafKejangTidak disebabkan oleh obat atau kelainan
metabolik (uremia, ketoasidosis atau ketidakseimbangan
elektrolit)atauPsikosisTidak disebabkan oleh obat atau kelainan
metabolik (uremia, ketoasidosis atau ketidakseimbangan
elektrolit)
9Gangguan darahTerdapat salah satu kelainan darahAnemia
hemolitik dengan retikulositosisLeukopenia < 4000/mm3 pada >1
pemeriksaanLimfopenia < 1500/mm3 pada >2
pemeriksaanTrombositopenia < 100.000/mm3 tanpa adanya intervensi
obat
10Gangguan imunologiTerdapat salah satu kelainanAnti ds-DNA
diatas titer normalAnti-Sm(Smith) (+)Antibodi fosfolipid (+)
berdasarkankadar serum IgG atau IgM antikardiolipin yang
abnormalantikoagulan lupus (+) dengan menggunakan tes standartes
sifilis (+) palsu, paling sedikit selama 6 bulan dan dikonfirmasi
dengan ditemukannya Treponema palidum atau antibodi treponema
11Antibodi antinuklearTes ANA (+)
*Empat dari 11 kriteria positif menunjukkan 96% sensitivitas dan
96% spesifisitas
Sebagai tambahan dari sebelas kriteria tersebut, pengujian
lainnya dapat membantu mengevaluasi pasien dengan lupus
eritematosus sistemik untuk menentukan keparahan organ-organ yang
terlibat. Termasuk diantaranya darah rutin dengan laju endap darah,
pengujian kimia darah, analisa langsung cairan tubuh lainnya, serta
biopsi jaringan. Kelainan cairan tubuh dan sampel jaringan dapat
membantu diagnosis lanjut lupus eritematosus sistemikKomplikasi LES
pada anak meliputi:1. Hipertensi (41%) 1. Gangguan pertumbuhan
(38%) 1. Gangguan paru-paru kronik (31%) 1. Abnormalitas mata (31%)
1. Kerusakan ginjal permanen (25%) 1. Gejala neuropsikiatri (22%)1.
Kerusakan muskuloskeleta (9%) dan Gangguan fungsi gonad
(3%)Diagnosis bandingDengan adanya gejala di berbagai organ, maka
penyakit-penyakit yang didiagnosis banding banyak sekali. Beberapa
penyakit yang berasosiasi dengan LES mempunyai gejala-gejala yang
dapat menyerupai LES, yaitu arthritis reumatika, sklerosis
sistemik, dermatomiositis, dan purpura trombositopenik.2.8
tatalaksanaPenyuluhan dan intervensi psikososial merupakan hal
penting dalam penatalaksanaan penderita yang baru terdiagnosis SLE.
Sistemik Lupus Eritematosus merupakan golongan penyakit yang dapat
relaps dan remisi. Penatalaksanaan ditujukan pada manifestasi yang
terjadi pada penyakit imun ini dan pada strategi-strategi
pencegahan seperti :1. Perlindungan terhadap sinar UV (penderita
mengalami fotosensitifitas)1. Profilaksis antibiotik (penderita
menjalani tindakan-tindakan invasif)1. Pengaturan kehamilan
(terutama pada penderita nefritis lupus/penderita mendapat terapi
antimalaria atau siklifosfamid)1. Evaluasi serta terapi terhadap
infeksiPemantauan klinis yang ketat, dengan penilainan perkembangan
penyakit secara rutin, penting untuk menentukan kebutuhan terapi
antiinflamasi dan imunosupresi, terutama untuk meminimalkan
kerusakan ginjal dan sistem saraf pusat. Penderita SLE mendapat
terapi tergantung tingkat keparahan yang dialami :Terapi
konservatifDiberikan apabila penyakit ini tidak mengancam nyawa dan
tidak berhubungan dengan kerusakan organ. Bila dipertimbangkan
pemberian glukokortikoid dapat diberikan prednison 0.5
mg/kgBB/hari.
1. Arthritis, arthralgia, myalgiaMerupakan keluhan yang sering
dijumpai pada penderita SLE. Keluhan ringan seperti ini dapat
diberikan analgetik sederhana/obat antiinflamasi nonsteroid, tetapi
pemberiannya dihentikan bila menunjukkan efek samping yang
memperberat keadaan umum penderita, seperti pada sistem
gastrointestinal, hepar, dan ginjal sehingga diperlukan pemantauan
kreatinin serum berkala. Bila pemberian analgetik dan OAINS tidak
berespon baik, pertimbangkan pemberian obat antimalaria
:Hidroksiklorokuin 400mg/hari (bila hingga 6 bulan tidak memberikan
respon baik, maka pemberian dihentikan). Hidroksiklorokuin (> 6
bulan pemakaian) dan klorokuin (> 3 bulan pemakaian) perlu
diperiksa oftalmologik karena beresiko toksik terhadap retina.
Bila pemberian OAM tidak berespon baik, pertimbangkan pemberian
kortikosteroid dosis rendah (< 15 mg/pagi hari). Metotreksat
(7.5-15 mg/minggu) dan diberikan berdampingan dengan obat anti
artritis.
Bila terjadi artralgia pada 1 atau 2 sendi yang menetap dan
bukan merupakan bukti tambahan peningkatan aktivitas penyakit,
kemungkinan penderita mengalami osteonekrosis (terutama pada
penderita terapi kortikosteroid). Osteonekrosis awal, sering tidak
menunjukkan gambaran bermakna pada foto radiologik konvensional,
sehingga memerlukan pemeriksaan MRI.
1. Lupus kutaneusSekitar 70% mengalami fotosensitifitas.
Eksaserbasi akut SLE timbul bila penderita terpapar sinar UV,
inframerah, fluoresensi. Sehingga perlu diberikan sunscreen berupa
cream, minyak, lotion, atau gel yang mengandung PABA (-aminobenzoit
acid) dan esternya, benzofenon, salisilat, sinamat yang kesemuanya
dapat menyerap sinar UV dan (pemakaian diulang setelah mandi dan
berkeringat).
Glukokortikosteroid lokal (cream, salep, atau injeksi) dapat
dipertimbangkan pada dematitis lupus, pemilihan preparat harus
diperhatikan karena bersifat diflorinasi (atrofi kulit,
depigmentasi, teleangiektasis, dan fragilitis), anjuran preparat
steroid untuk kulit :0. Muka [steroid lokal berkekuatan rendah dan
tidak diflorinasi (hidrokortison)]0. Badan dan lengan [steroid
lokal berkekuatan sedang (betametason valerat dan triamsinolon
asetonid)]0. Palmar dan plantar pedis dengan lesi hipertrofik
(glukokortikoid berkekuatan tinggi contohnya betametason
dipropionat, penggunaan cream dibatasi selama 2 minggu dan diganti
dengan yang berkekuatan rendah)OAM sangat baik untuk mengatasi
lupus kutaneus, baik subakut maupun diskoid. OAM mempunyai efek :1.
SunblockingMengikat melanin1. Antiinflamasi1.
ImunosupresanBerhubungan dengan ikatannya pada membran lisosomal
sehinggga mengganggu metabolisme rantai dan HLA II.1. Mengurangi
pelepasan IL-1, IL-6, TNF- oleh makrofag, IL-2 dan IFN- oleh sel
T.Pada penderita resisten OAM, dapat dipertimbangkan pemberian
glukokortikoid sistemik dan obat eksperimental lainnya.
Dapson dapat dipertimbangkan pemberiannya pada penderita lupus
diskoid, vaskulitis, lesi LE berbula, selain itu perhatikan efek
sampingnya seperti :1. Methemoglobinemia1. Sulfhemoglobinemia1.
Anemia hemolitik (memperburuk ruam LE kulit)
1. Fatigue dan keluhan sistemikFatigue merupakan keluhan yang
sering terjadi, demikian juga penurunan berat badan, dan demam.
Fatigue juga dapat timbul akibat terapi glukokortikoid, sedangkan
penurunan berat badan dan demam diakibatkan oleh pemberian
quinakrin. Seringkali hal ini tidak memerlukan terapi spesifik,
cukup dengan menambah waktu istirahat dan mengatur jam kerja. Pada
keadaan yang berat dapat menunjukkan peningkatan akitivitas SLE dan
pemberian glukokortikoid sistemik dapat dipertimbangkan.
1. Serositis (radang membran serosa)Nyeri dada dan abdomen
merupakan tanda serositis. Keadaan ini dapat diatasi dengan
salisilat, OAINS, OAM, atau glukokortikoid dosisi rendah (< 15
mg/hari). Pada keadaan berat diberikan glukokortikoid sistemik.
Terapi agresifPemberian glukokortikoid dosis tinggi segera saat
mulai timbul manifestasi serius SLE dan mengancam nyawa, misalnya
:1. Vaskulitis1. Lupus kutaneus berat1. Poliartritis1.
Poliserositis1. Miokarditis pneumonitis lupus1. Glomerulonefritis
(bentuk proliferatif)1. Anemia hemolitik1. Trombositopenia1.
Sindrom otak organik1. Defek kognitif berat1. Mielopati1. Neuropati
perifer1. Krisis lupus (demam tinggi, prostrasi)
Dosis glukokortikoid lebih penting untuk diperhatikan
dibandingkan dengan jenisnya yang akan diberikan. Sebaiknya hindari
pemberian deksametason karena berefek panjang, lebih baik
menggunakan prednison karena lebih mudah untuk mengatur dosisnya.
Pemberian glukokortikoid oral sebaiknya diberikan pada pagi hari.
Pada manifestasi berat dapat diberikan prednison 1-1.5
mg/kgBB/hari.
Pemberian bolus metilprednisolon intravena 1 gram atau 15
mg/kgBB/hari selama 3-5 hari, dapat dipertimbangkan sebagai
pengganti glukokortikoid dosis tinggi, kemudian dilanjutkan dengan
prednison oral 1-1.5 mg/kgBB/hari. Efek terapi dapat terlihat
secepat mungkin atau mungkin 6-10 minggu kemudian. Toksisitas SLE
merupakan masalah tersendiri pada penatalaksanaan SLE.
Setelah pemerian glukokortikoid dosis tinggi selama 6 minggu,
maka harus dilakukan penurunan dosis bertahap (5-10%) setiap minggu
agar tidak timbul ekserbasi akut. Setelah dosis prednison mencapai
30 mg/hari, maka penurunan dosis dilakukan 2.5 mg/minggu. Setelah
dosis prednison mencapai 10-15 mg/hari, penurunan dosis dilakukan 1
mg/minggu. Bila timbul ekserbasi akut, naikkan dosis hingga dosis
efektif sampai beberapa minggu, kemudian turunkan dosis
kembali.
Bila dalam 4 minggu pemberian glukokortikoid tidak menunjukkan
perbaikan yang nyata, maka pertimbangkan untuk memberikan
imunosupresan lain atau terapi agresif lainnya. Obat sitotoksik
adalah bolus siklofosfamid intravena 0.5-1 gr/m2 dalam 250 ml NaCl
0.9% selama 60 menit diikuti dengan pemberian cairan 2-3 liter/24
jam setelah pemberian obat. Siklofosfamid diindikasikan pada :1.
Penderita SLE dengan terapi steroid dosis tinggi (steroid sparing
agent)1. Penderita SLE dengan kontraindikasi terhadap steroid dosis
tinggi1. Penderita yang kambuh setelah diterapi dengan steroid
jangka panjang lama atau berulang1. Glomerulonefritis difus awal1.
SLE dengan trombositopenia yang resisten terhadap steroid1.
Penurunan GFR atau peningkatan kreatinin serum tanpa adanya
faktor-faktor ekstrarenal lainnya.1. SLE dengan manifestasi SSP
Pada penderita dengan penurunan fungsi ginjal sampai 50%, dosis
siklofosfamid diturunkan sampai 500-750 mg/m2. Setelah pemberian
siklofosfamid, segera pantau jumlah leukosit darah, bila mencapai
1500/ml maka dosis siklofosfamid berikutnya diturunkan 25%.
Kegagalan menekan jumlah leukosit sampai 4000/ml menunjukkan dosis
yang tidak adekuat, sehingga harus ditingkatkan 10% pada pemberian
berikutnya. Siklofosfamid diberikan selama 6 bulan dengan interval
1 bulan, kemudian tiap 3 bulan selama 2 tahun. Selama pemberian
siklofosfamid diberikan, dosis steroid diturunkan secara bertahap
dengan memperhatikan aktifitas lupusnya. Toksisitas siklofosfamid
meliputi :1. Nausea1. Vomitus alopesia1. Sistitis hemoragika1.
Keganasan kulit1. Penekanan fungsi ovarium dan azoospermia
Obat sitotoksik lain dengan toksisitas dan efektifitas yang
lebih rendah dari siklofosfamid adalah azatioprin yang merupakan
analog purin yang dapat digunakan sebagai alternatif siklofosfamid
dengan dosis 1-3 gr/kgBB/hari peroral. Obat ini dapat diberikan
selama 6-12 bulan pada penderita SLE, setelah penyakitnya dapat
dikontrol dengan steroid seminimal mungkin, maka dosis azatioprin
dapat diturunkan perlahan dan dihentikan. Toksisitas dari
azatioprin meliputi :1. Penekanan sistem hemopoetik1. Peningkatan
enzim hati1. Mencetuskan keganasan
Imunosupresan lain yang dapat digunakan adalah siklosporin-A
dosis rendah (3-6 mg/kgBB/hari) dan mofetil mikofenolat.
Siklosporin A dapat digunakan pada SLE baik tanpa manifestasi renal
maupun dengan nefropati membranosa. Selama pemberian harus
diperhatikan tekanan darah dan kada kreatinin darah, bila kadar
kreatinin darah meningkat 20% dari kadar sebelum pemberian
siklosporin maka dosis harus diturunkan.
Terapi lain masih dalam taraf penelitian yaitu :1. Terapi
hormonal1. Imunoglobulin1. Afaresis2. Plasmafaresis2.
Leukofaresis2. KriofaresisYang paling banyak digunakan yaitu
danazol, merupakan androgen yang dapat mengatasi trombositopenia
pada SLE. Mekanismenya tidak diketahui secara pasti. Pemberian Ig
intravena juga dapat mengatasi trombositopenia, dengan dosis
300-400 mg/kgBB/hari selama 5 hari berturut-turut, diikuti dosis
pemeliharan setiap bulan untuk mencegah kekambuhan. Pemberian Ig
kontraindikasi mutlak dengan penderita defisiensi IgA pada
penderita SLE.
Penatalaksanaan SLE keadaan khususTrombosisMerupakan
manifesatasi SLE dan berhubungan dengan adanya antibodi
antifosfolipid. Antikoagulan merupakan obat pilihan untuk
mengatasinya (warfarin) dan mempertahankan nilai INR (international
normalization ratio) 33,5, terutama pada trombosis arteri karotis
interna. Antikoagulan lupus berespon baik terhadap glukokortikoid
dosis tinggi, sedangkan sedangkan antibodi antikardiolipin sangat
resisten terhadap glukokortikoid dosis tinggi maupun imunosupresan
lainnya.
Abortus berulang pada SLEDisebabkan oleh aktivitas SLE atau
adanya antibodi antifosfolipid, untuk menekan aktivitas SLE,
glukokortikoid cukup aman dan tidak mempengaruhi janin kecuali
betametason dan deksametason karena dapat mencapai janin dalam
bentuk aktif. Pada penderita yang belum pernah mengalami abortus,
dapat dipertimbangkan untuk tidak diberikan terapi apapun. Makin
sering terjadi abortus, kemungkinan mempertahankan kehamilan makin
kecil, sehingga terapi perlu diberikan. Pilihan terapi :1. Aspirin
dosis rendah1. Kombinasi aspirin dosis rendah dengan glukokortikoid
dosis sedang1. Glukokortikoid dosis tinggi1. Glukokortikoid dosis
tinggi dengan aspirin1. Heparin (warfarin bersifat teratogenik pada
kehamilan trimester I)Semua regimen ini meningkatkan keberhasilan
kehamilan secara bermakna, pemantauan pada ibu dan janin secara
ketat sangat penting untuk diperhatikan.
Lupus neonatalMerupakan sindrom pada neonatus yang lahir dari
ibu yang menderita SLE. Gejala paling sering adalah ruam kemerahan
dikulit disertai plakat. Lesi ini berhubungan dengan transmisi
antibodi Anti Ro (SS-A) melalui plasenta. Kelainan yang serius
seperti blok jantung kongenital jarang terjadi. Sehingga pada
wanita hamil perlu diperiksa kemungkinan adanya antibodi
anti-Ro.
TrombositopeniaPertama-tama cari penyebab terjadinya
trombositopenia :1. Efek samping obat1. Purpura trombositopenia
trombotik1. Infeksi virus (HIV, HBV, CMV)1. Infeksi bakteri
(Endokarditis bakterialis, sepsis gram-negatif)
Berikan prednison 0.5-1 mg/kgBB/hari selama 3-4 minggu, bila
jumlah trombosit < 50.000/ml kemudian turunkan dosis secara
perlahan, target terapi ini trombosit > 50.000/ml. Bila
prednison tidak berefek baik, berikan danazol 400-800 mg/hari, Ig
atau splenektomi.Pada penderita yang resisten atau penderita dengan
keterlibatan organ mayor dapat diberikan bolus siklofosfamid tiap
bulan sampai 6 bulan.
SLE pada susunan saraf pusatPenderita SLE pada susunan saraf
pusat dibagi menjadi dua, yaitu :1. Penderita dengan strokPemberian
antikoagulan lebih berguna dibandingkan pemberian imunosupresan1.
Penderita dengan kelainan SSP yang lebih luasApabila disertai
vaskulitis perifer, maka imunosupresan menjadi pilihan utama.
Pada penderita SLE dengan kejang-kejang tanpa aktivitas pada
organ lain, dapat diberikan antikonvulsan tanpa imunosupresan. Pada
penderita psikotik tanpa manifestasi SLE lain cukup diberikan obat
psikoaktif. Kelainan kognitif ringan dapat diberikan prednison
30mg/hari selama beberapa minggu lalu dosis diturunkan secara
bertahap. Pada sindrom otak organik berat, koma, mielopati
diberikan terapi agresif dengan glukokortikoid dosis tinggi, dengan
atau tanpa obat sitotoksik.
Nefritis lupusPenatalaksanaan umum :1. Penderita yang diduga
menderita nefritis lupus, harus dilakukan biopsi ginjal (bila tidak
ada kontraindikasi) guna menentukan strategi penatalaksanaan lebih
lanjut.1. Kurangi asupan :1. Garam (bila ada hipertensi)1. Lemak
(bila ada dislipidemia)1. Protein (bila fungsi ginjal mulai
terganggu)1. Perhatikan asupan kalsium untuk mencegah osteoporosis
akibat steroid1. Berikan loop diuretics untuk mengatasi edema1.
Hindari penggunaan salisilat dan OAINS1. Terapi agresif terhadap
hipertensi1. Hindrai kehamilan, karena beresiko tinggi untuk
mengalami kegagalan ginjal1. Penderita nefritis lupus dengan
manifestasi SLE kulit, dapat diberikan OAM1. Pemantauan berkala
aktifitas penyakit dan fungsi ginjal meliputi :8. Tekanan darah8.
Sedimen urin8. Kreatinin serum8. Albumin serum8. Protein urin 24
jam8. Komplemen C38. Anti DNA2.9 Komplikasi2.10 pronogsisAngka
harapan hidup :1. 5 tahun : 85-88%1. 10 tahun : 76-87%Penyebab
utama kematian pada SLE adalah akibat :1. Infeksi penyakit1.
Nefritis lupus1. Konsekuensi gagal ginjal (termasuk terapinya)1.
Penyakit kardiovaskular1. Lupus sistem saraf pusat
Trombosis arteri mempunyai prognosis buruk. Penyakit ginjal
merupakan indikator prognosis yang paling buruk pada SLE,
dikarenakan tuter antibodi pengikat DNA positif/meningkat, yang
berkaitan dengan keterlibatan ginjal, dikaitkan dengan prognosis
yang lebih buruk.
3. Memahami dan Menjelaskan Pandangan Islam untuk Penyakit SLE1.
SABAR Definisi sabar Secara etimologi, sabar (ash-shabr) berarti:
al-habs atau al-kaff (menahan), Allah berfirman: Dan bersabarlah
kamu bersama dengan orang-orang yang menyeru Rabbnya di pagi dan
senja hari. (Al-Kahfi: 28) Maksudnya: tahanlah dirimu bersama
mereka. Secara istilah, definisi sabar adalah: menahan diri dalam
melakukan sesuatu atau meninggalkan sesuatu untuk mencari keridhaan
Allah, Allah berfirman: Dan orang-orang yang sabar karena mencari
keridhaan Rabbnya (Ar-Rad: 22). Macam macam sabarSabar terdiri dari
3 macam, yaitu: 1) Sabar dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah2)
sabar dalam meninggalkan perbuatan maksiat terhadap Allah3) sabar
dalam menerima taqdir yang menyakitkan.1. IKHLAS Definisi ikhlas
Ikhlas menurut bahasa adalah sesuatu yang murni yang tidak
tercampur dengan hal-hal yang bisa mencampurinya. Definisi ikhlas
menurut istilah syari (secara terminologi)Syaikh Abdul Malik
menjelaskan, Para ulama bervariasi dalam mendefinisikan ikhlas
namun hakikat dari definisi-definisi mereka adalah sama. Diantara
mereka ada yang mendefenisikan bahwa ikhlas adalah menjadikan
tujuan hanyalah untuk Allah tatkala beribadah, yaitu jika engkau
sedang beribadah maka hatimu dan wajahmu engkau arahkan kepada
Allah bukan kepada manusia.
Ada yang mengatakan juga bahwa ikhlas adalah membersihkan amalan
dari komentar manusia, yaitu jika engkau sedang melakukan suatu
amalan tertentu maka engkau membersihkan dirimu dari memperhatikan
manusia untuk mengetahui apakah perkataan (komentar) mereka tentang
perbuatanmu itu. Cukuplah Allah saja yang memperhatikan amalan
kebajikanmu itu bahwasanya engkau ikhlas dalam amalanmu itu
untukNya. Dan inilah yang seharusnya yang diperhatikan oleh setiap
muslim, hendaknya ia tidak menjadikan perhatiannya kepada perkataan
manusia sehingga aktivitasnya tergantung dengan komentar manusia,
namun hendaknya ia menjadikan perhatiannya kepada Robb manusia,
karena yang jadi patokan adalah keridhoan Allah kepadamu (meskipun
manusia tidak meridhoimu).
Ayat ayat al-quran tentang ikhlas : "Sesunguhnya Kami menurunkan
kepadamu Kitab (Al Quran) dengan (membawa) kebenaran. Maka
sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah,
hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik)." (QS.
Az-Zumar: 2-3)."Katakanlah: "Sesungguhnya aku diperintahkan supaya
menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya dalam
(menjalankan) agama." (QS. Az-Zumar: 2-3).1. RIDHODefinisi ridho
Ridho () berarti suka, rela, senang, yang berhubungan dengan takdir
(qodha dan qodar) dari Allah. Ridho adalah mempercayai
sesungguh-sungguhnya bahwa apa yang menimpa kepada kita, baik suka
maupun duka adalah terbaik menurut Allah. Dan apapun yang
digariskan oleh Allah kepada hamba-Nya pastilah akan berdampak baik
pula bagi hamba-Nya.
Macam macam ridho Menurut Syeikh Muhammad bin Shalih
Al-Utsaimin, ridho terhadap takdir Allah terbagi menjadi tiga
macam:
1. Wajib direlakan, yaitu kewajiban syariat yang harus
dijalankan oleh umat Islam dan segala sesuatu yang telah
ditetapkan-Nya. Seluruh perintah-Nya haruslah mutlak dilaksanakan
dan seluruh larangan-Nya haruslah dijauhkan tanpa ada perasaan
bimbang sedikitpun. Yakinlah bahwa seluruhnya adalah untuk
kepentingan kita sebagai umat-Nya.
2. Disunnahkan untuk direlakan, yaitu musibah berupa bencana.
Para ulama mengatakan ridho kepada musibah berupa bencana tidak
wajib untuk direlakan namun jauh lebih baik untuk direlakan, sesuai
dengan tingkan keridhoan seorang hamba. Namun rela atau tidak,
mereka wajib bersabar karenanya. Manusia bisa saja tidak rela
terhadap sebuah musibah buruk yang terjadi, tapi wajib bersabar
agar tidak menyalahi syariat. Perbuatan putus asa, hingga marah
kepada Yang Maha Pencipta adalah hal-hal yang sangat diharamkan
oleh syariat.
3. Haram direlakan, yaitu perbuatan maksiat. Sekalipun hal
tersebut terjadi atas qodha Allah, namun perbuatan tersebut wajib
tidak direlakan dan wajib untuk dihilangkan. Sebagaimana para nabi
terdahulu berjuang menghilangkan kemaksiatan dan kemungkaran di
muka bumi.
Ayat al-quran tentnag ridho Sesungguhnya dien atau agama atau
jalan hidup (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. (QS Ali
Imran ayat 19)
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah shollallahu alaih
wa sallam itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang
mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia
banyak menyebut Allah. (QS Al-Ahzab ayat 21)
DAFTAR PUSTAKA
Baratawidjaja KG, Rengganis I. (2014). Imunologi Dasar. Jakarta
: Balai Penerbit FKUI
http://emedicine.medscape.com/article/332244-overview#aw2aab6b2b4
Price,Sylvia. .Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit.Jakarta.EGC