Top Banner
1. Autoimun 1.1 Definisi Autoimunitas adalah respon imun terhadap antigen jaringan sendiri yang disebabkan oleh kegagalan mekanisme mempertahankan self-tolerance sel B, sel T atau keduanya. Penyakit autoimun adalah kerusakan jaringan atau gangguan fungsi fisiologis yang ditimbulkan oleh respon autoimun. ( IMUNOLOGI DASAR, FK UI, ed ke 11) 1.2 Etiologi Faktor Penyebab Penyakit Autoimun 1. Genetik Beberapa peneliti menemukan adanya hubungan antara penyakit LES dengan gen Human Leukocyte Antigen (HLA) seperti DR2, DR3 dari Major Histocompatibility Complex (MHC) kelas II. Individu dengan gen HLA DR2 dan DR3 mempunyai risiko relatif menderita penyakit LES 2-3 kali lebih besar daripada yang mempunyai gen HLA DR4 dan HLA DR5. Peneliti lain menemukan bahwa penderita penyakit LES yang mempunyai epitop antigen HLA-DR2 cenderung membentuk autoantibodi anti-dsDNA, sedangkan penderita yang mempunyai epitop HLA-DR3 cenderung membentuk autoantibodi anti-Ro/SS-A dan anti-La/SS-B. Penderita penyakit LES dengan epitop-epitop HLA-DR4 dan HLA-DR5 memproduksi autoantibodi anti-Sm dan anti-RNP. 2. Defisiensi komplemen Pada penderita penyakit LES sering ditemukan defisiensi komplemen C3 dan atau C4, yaitu pada penderita penyakit LES dengan manifestasi ginjal.Defisiensi komplemen C3 dan atau C4 jarang ditemukan pada penderita penyakit LES dengan manifestasi pada kulit dan susunan saraf pusat.Individu yang mengalami defek pada komponen- komponen komplemennya, seperti Clq, Clr, Cls mempunyai predisposisi menderita penyakit LES dan nefritis lupus. Defisiensi komplemen C3 akan menyebabkan kepekaan terhadap infeksi meningkat, keadaan ini merupakan predisposisi untuk timbulnya penyakit kompleks imun. Penyakit kompleks imun selain disebabkan karena defisiensi C3, juga dapat disebabkan karena defisiensi
46

SK 3 Pipi merah

Nov 09, 2015

Download

Documents

callystacaron

wrap up
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

1. Autoimun1.1 DefinisiAutoimunitas adalah respon imun terhadap antigen jaringan sendiri yang disebabkan oleh kegagalan mekanisme mempertahankan self-tolerance sel B, sel T atau keduanya. Penyakit autoimun adalah kerusakan jaringan atau gangguan fungsi fisiologis yang ditimbulkan oleh respon autoimun. ( IMUNOLOGI DASAR, FK UI, ed ke 11)1.2 EtiologiFaktor Penyebab Penyakit Autoimun1. GenetikBeberapa peneliti menemukan adanya hubungan antara penyakit LES dengan gen Human Leukocyte Antigen (HLA) seperti DR2, DR3 dari Major Histocompatibility Complex (MHC) kelas II. Individu dengan gen HLA DR2 dan DR3 mempunyai risiko relatif menderita penyakit LES 2-3 kali lebih besar daripada yang mempunyai gen HLA DR4 dan HLA DR5. Peneliti lain menemukan bahwa penderita penyakit LES yang mempunyai epitop antigen HLA-DR2 cenderung membentuk autoantibodi anti-dsDNA, sedangkan penderita yang mempunyai epitop HLA-DR3 cenderung membentuk autoantibodi anti-Ro/SS-A dan anti-La/SS-B. Penderita penyakit LES dengan epitop-epitop HLA-DR4 dan HLA-DR5 memproduksi autoantibodi anti-Sm dan anti-RNP.

1. Defisiensi komplemenPada penderita penyakit LES sering ditemukan defisiensi komplemen C3 dan atau C4, yaitu pada penderita penyakit LES dengan manifestasi ginjal.Defisiensi komplemen C3 dan atau C4 jarang ditemukan pada penderita penyakit LES dengan manifestasi pada kulit dan susunan saraf pusat.Individu yang mengalami defek pada komponen-komponen komplemennya, seperti Clq, Clr, Cls mempunyai predisposisi menderita penyakit LES dan nefritis lupus. Defisiensi komplemen C3 akan menyebabkan kepekaan terhadap infeksi meningkat, keadaan ini merupakan predisposisi untuk timbulnya penyakit kompleks imun. Penyakit kompleks imun selain disebabkan karena defisiensi C3, juga dapat disebabkan karena defisiensi komplemen C2 dan C4 yang terletak pada MHC kelas II yang bertugas mengawasi interaksi sel-sel imunokompeten yaitu sel Th dan sel B. Komplemen berperan dalam sistem pertahanan tubuh, antara lain melalui proses opsonisasi, untuk memudahkan eliminasi kompleks imun oleh sel karier atau makrofag. Kompleks imun akan diikat oleh reseptor komplemen (Complement receptor = C-R) yang terdapat pada permukaan sel karier atau sel makrofag. Pada defisiensi komplemen, eliminasi kompleks imun terhambat, sehingga jumlah kompleks imun menjadi berlebihan dan berada dalam sirkulasi lebih lama.

1. HormonPada individu normal, testosteron berfungsi mensupresi sistem imuns sedangkan estrogen memperkuat sistem imun.Predominan lupus pada wanita dibandingkan pria memperlihatkan adanya pengaruh hormon seks dalam patogenesis lupus.Pada percobaan di tikus dengan pemberian testosteron mengurangi lupus-like syndrome dan pemberian estrogen memperberat penyakit.

1. Lingkungan Lingkungan Pengaruh fisik (sinar matahari), infeksi (bakteri, virus, protozoa), dan obat-obatan dapat mencetuskan atau memperberat penyakit autoimun. Mekanismenya dapat melalui aktivasi sel B poliklonal atau dengan meningkatkan ekspresi MHC kelas I atau II.

1.3 patofisiologiTOLERANSI IMUNToleransi imun adalah mekanisme proteksi yang kuat untuk mencegah terjadinya penyakit autoimun, melindungi individu dari limfosit yang potensial self-reaktif terhadap antigen tubuh sendiri. Baik sel T maupun sel B memiliki mekanisme toleransi imunnya sendiri. Toleransi imun terbagi menjadi toleransi sentral dan toleransi perifer. Pada sel T toleransi sentral terjadi di timus dan pada sel B toleransi sentral terjadi di sum-sum tulang.I.Toleransi TA. Toleransi sentralTimus mempunyai peran penting untuk menyingkirkan sel T yang mengenal peptide asal protein sendiri. Toleransi sentral adalah induksi toleransi saat limfosit berada dalam perkembangannya di timus. Terjadi dua jenis seleksi, yaitu seleksi positif dan seleksi negative. Seleksi positif : sel hidup melalui ikatan dengan kompleks MHC. Sel T yang gagal berikatan dengan kompleks MHC dalam timus akan diapoptosis.Seleksi negative : sel T yang mengikat kompleks peptide MHC dengan afinitas tinggi dalam timus, akan memiliki potensi untuk mengenal self-antigen yang menimbulkan autoimunitas. Oleh karena itu, sel-sel tersebut harus disingkirkan.Diduga 90% timosit mengalami proses seleksi negatif. Dan pada beberapa hal, sel T atausel B yang self-reaktif dapat lolos dari seleksi negatif. Oleh karena itu toleransi perifer menginaktifkan sel-sel tersebut.B. Toleransi periferMerupakan mekanisme yang diperlukan untuk mempertahankan toleransi terhadap antigen yang tidak ditemukan dalam organ limfoid primer atau terjadi bila ada klonsel dengan reseptor afinitas rendah yang lolos dari seleksi primer.Ignorance imunologis adalah keadaan bila antigen tidak dihiraukan system imun. Mekanismenya misalnya, tidak ada cukup pemisahan anatomic seperti sawar darah-otak, lensamata, testis, dan dalam organ avaskular. Karena lokasinya tersebut, antigen tertentu tidak ditemukan limfosi treaktif pada kondisi normal. Namun, akibat infeksi atau cedera, antigen dapat terpajan dan menimbulkan respon imun.Sel T autoreaktif yang dipisahkan oleh jalur sirkulasi limfosit yang terbatas, sehingga membatasi limfosit naif yang tidak bebas bergerak ke jaringan limfoid sekunder dan darah. Untuk mencegah self-antigen terpajan dengan APC, sisa degradasi jaringan harus disingkirkan dengan apoptosis melibatkan system komplemen dan fagositosis. Defek komplemen dan fagositosis dapat berhubungan dengan autoimunitas.Anergi dan konstimulasi merupakan mekanisme toleransi perifer yang lebih aktif. Anergi adalah menurunnya fungsi sel B atausel T. Karena stimulasi sel T tanpa molekul konstimulatormenyebabkan apoptosis. Untukmemulasiresponimun, sel CD4+ naifbutuh 2 sinyal, yaitusinyal antigen spesifikdari TCR dan sinyal konstimulator non spesifik.II. Toleransi sel Ba. Toleransi sentralSeleksi terhadap sel B auto reaktif mulai terjadi di sum-sum tulang. BCR berfungsi mengikat molekul ekstraseluler dan mengawali sinyal sitoplasmik yang antigen spesifik. Sel B imatur yang terpajan antigen ekstraseluler akan meningkatkan sinyal melalui BCR untuk berhenti berkembang. Sel B tersebut akan menginisiasi proses untuk mengeditreseptor BCR untuk antigen baru. Bila tidak mengedit, sel B akan diapoptosis untuk mencegah autoreaktif. Prinsip seleksi pada toleransi sel T juga berlaku untuk sel B.b. Toleransi periferSetelah meninggalkan sum-sum tulang, sel B yang relative imatur bermigrasi ke zona sel T luar limpa. Sel B dengan seleksi negative menempati limpa, diproses untuk induksi anergi, dicegah bermigrasi sel ke folikel sel B dan apoptosis ditingkatkan. Sel B yang mengenal antigen, tetapi tidak menerima bantuan dari sel T akan menjadi anergik atau apoptosis dan tidak berfungsi.Faktor-faktor yang berperan1. Infeksi dan Kemiripan MolekularBanyak infeksi yang menunjukkan hubungan dengan penyakit autoimun tertentu. Beberapa penyakit memiliki epitope yang sama dengan antigen sendiri. Respon imun yang timbul terhadap bakteri tersebut bermula pada rangsangan terhadap sel T yang selanjutnya merangsang sel B untuk membentuk autoantibodi.Infeksi virus dan bakteri dapat berkontribusi dalam terjadinya eksaserbasi autoimunitas. Pada kebanyakan hal, mikroorganisme tidak dapat ditemukan. Kerusakan tidak disebabkan oleh penyebab mikroba, tetapi merupakan akibat respon imun terhadap jaringan pejamu yang rusak. Contoh penyakit yang ditimbulkan oleh kemiripan dengan antigen sendiri adalah demam reuma pasca infeksi streptokok, disebabkan antibodi terhadap streptokok yang diikat jantung dan menimbulkan miokarditis.

2. Sequestered AntigenSequestered antigen adalah antigen sendiri yang karena letak anatominya, tidak terpapar dengan sistem imun. Pada keadaan normal, sequestered antigen tidak ditemukan untuk dikenal sistem imun. Perubahan anatomik dalam jaringan seperti inflamasi (sekunder oleh infeksi, kerusakan iskemia atau trauma), dapat memajankan sequestered antigen dengan sistem imun yang tidak terjadi pada keadaan normal. Contohnya protein intraoktakular pada sperma.

3. Kegagalan AutoregulasiRegulasi imun berfungsi untuk mempertahankan homeostasis. Gangguan dapat terjadi pada presentasi antigen, infeksi yang meningkatkan respon MHC, kadar sitokin yang rendah (misalnya TGF-) dan gangguan respon terhadap IL-2. Pengawasan beberapa sel autoreaktif diduga bergantung pada sel Ts atau Tr. Bila terjadi kegagalan sel Ts atau Tr, maka sel Th dapat dirangsang sehingga menimbulkan autoimunitas.

4. Aktivasi Sel B PoliklonalAutoimunitas dapat terjadi oleh karena aktivasi sel B poliklonal oleh virus (EBV), LPS dan parasit malaria yang dapat merangsang sel B secara langsung yang menimbulkan autoimunitas. Antibodi yang dibentuk terdiri atas berbagai autoantibodi.

5. Obat-obatanAntigen asing dapat diikat oleh permukaan sel dan menimbulkan reaksi kimia dengan antigen permukaan sel tersebut yang dapat mengubah imunogenitasnya. Trombositopenia dan anemia merupakan contoh-contoh umum dari penyakit autoimun yang dicetuskan obat. Mekanisme terjadinya reaksi autoimun pada umumnya belum diketahui dengan jelas. Pada seseorang yang mendapat prokainamid dapat ditemukan antibodi antinuklear dan timbul sindroma berupa LES. Antibodi menghilang bila obat dihentikan.6. Faktor KeturunanPenyakit autoimun mempunyai persamaan predisposisi genetic. Meskipun sudah diketahui adanya kecendrungan terjadinya penyakit pada keluarga, tetapi bagaimana hal tersebut diturunkan, pada umumnya adalah kompleks dan diduga terjadi atas pengaruh beberapa gen. (Imunologi Dasar FK UI )1.4 Klasifikasi Penyakit autoimun menurut mekanisme :1. Penyakit autoimun yang terjadi melalui antibodi1. Anemia hemolitik autoimun1. Limfopeni1. Sindrom goodpasture1. Penyakit grave1. Granulomatosis wegener1. Miastenia gravis

1. Penyakit autoimun yang terjadi melalui antibodi dan sel T1. Sistemik1. Artritis reumatoid1. LES1. Organ atau jaringanspesifik1. Sindrom Sjogren1. Sklerosis multiple1. Sindrom guillain-bare

1. Penyakit autoimun yang terjadi melalui komleks Ag-Ab1. Diabetes tipe I1. LES

1. Penyakit autoimun yang terjadi melalui komplemen

Penyakit autoimun menurut sistem organ

0. Penyakit autoimun hematologi0. Penyakit saluran cerna1. Anemia pernisiosa1. Gastritis antral difus1. Hepatitis autoimun

0. Penyakit autoimun jantung1. Miokarditis1. Kardiomiopati

0. Penyakit autoimun ginjal1. Glomerulonefritis1. Sindrom goodpasture

0. Penyakit autoimun susunan saraf Sindrom guillane bare1. Vaskulitis saraf perifer

0. Penyakit autoimun endokrin1. Penyakit grave1. Tiroiditis primer

0. Penyakit autoimun otot1. Miastenia gravis1. Polimiositis-dermatomiositis

0. Penyakit autoimun reproduksi1. Granulomatosa wegener1. Sarkoidosis

0. Penyakit autoimun telinga dan tenggorokan

Penyakit autoimmun nonorgan spesifik/sistemik

1. Lupus eritematosus sistemik 1. Skleroderma1. Sindrom sjogren1. Artritis reumatoid1. Sistitis anterstisial1. Sindrom antibodi antifosfolipid1. Vaskulitis

1.5 cara mendiagnosis

2. SLE2.1 DefinisiSLE merupakan penyakit autoimun yang ditandai oleh produksi antibodi yang berlebih terhadap komponen-komponen inti sel yang berhubungan dengan manifestasi klinis yang luas. Penyakit ini multi sistim dengan etiologi dan patogenesis yang belum jelas. Terdapat banyak bukti bahwa patogenesis SLE bersifat multifaktor yang melibatkan faktor lingkungan (terpapar oleh matahari), genetik (keturunan) dan hormonal (berkaitan dengan hormon testosteron dan LH untuk laki-laki dan estrogen untuk perempuan, dengan penderita lebih banyak pada wanita). Terganggunya mekanisme pengaturan imun seperti eliminasi dari sel-sel yang mengalami apoptosis dan kompleks imun berperan penting terhadap terjadinya SLE. Hilangnya toleransi imun, banyaknya antigen, meningkatnya sel T helper, terganggunya supresi sel B dan perubahan respon imun dari Th1 ke Th2 menyebabkan hiperreaktivitas sel B dan terbentuknya autoantibody.

2.2 EpidemiologiStatistik Amerika SerikatKejadian rata-rata SLE 5 kasus per 100.000 penduduk setiap tahunnya. Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) memperkirakan kisaran antara 1,8 dan 7,6 per 100.000 orang per tahun di Amerika Serikat.Yayasan Lupus Amerika memperkirakan prevalensi menjadi hingga 1,5 juta kasus, yang mungkin mencerminkan terjadinya bentuk ringan dari penyakit ini. Berdasarkan sebuah laporan dari Kelompok Kerja Nasional Arthritis data 2008, terdapat sekitar 250.000 orang Amerika terkena SLE.Frekuensi SLE bervariasi menurut ras dan etnis, tingkat kejadian tinggi dilaporkan pada orang kulit hitam dan Hispanik. Prevalensi SLE adalah sekitar 40 per 100.000 orang kulit putih di Rochester, Minnesota, dan 100 per 100.000 Hispanik di Nogales, Arizona. Insiden SLE pada wanita kulit hitam adalah sekitar 4 kali lebih tinggi dibandingkan wanita kulit putih. SLE juga lebih sering terjadi pada wanita Asia dibandingkan pada wanita kulit putih.

Statistik InternasionalDi seluruh dunia, prevalensi SLE bervariasi. Tingkat tertinggi prevalensi telah dilaporkan di Italia, Spanyol, Martinique, dan Inggris populasi Afro-Karibia. Meskipun prevalensi SLE tinggi pada orang kulit hitam di Inggris, penyakit ini jarang dilaporkan pada orang kulit hitam di Afrika, hal ini menunjukkan bahwa kemungkinan adanya pemicu lingkungan, serta dasar genetik, untuk penyakit pada populasi di Inggris.

Ras, jenis kelamin, dan demografi yang berkaitan dengan usiaDi seluruh dunia, prevalensi SLE tampaknya bervariasi menurut ras. Namun, ada tingkat prevalensi yang berbeda bagi orang-orang dari ras yang sama di berbagai wilayah dunia. Terjadinya kontras dilaporkan antara tingkat rendahnya SLE pada wanita kulit hitam di Afrika dan tingkat tinggi pada wanita kulit hitam di Inggris menunjukkan bahwa ada pengaruh lingkungan. Secara umum, perempuan kulit hitam memiliki tingkat yang lebih tinggi dari SLE dibandingkan wanita dari ras lain , diikuti oleh perempuan Asia dan kemudian perempuan kulit putih.Di Amerika Serikat, perempuan kulit hitam 4 kali lebih mungkin untuk memiliki SLE daripada wanita kulit putih. Sebuah tinjauan SLE di seluruh negara Asia Pasifik mengungkapkan variasi dalam tingkat prevalensi dan kelangsungan hidup. Sebagai contoh, tingkat prevalensi keseluruhan berkisar 4,3-45,3 per 100.000, dan kejadian secara keseluruhan berkisar 0,9-3,1 per 100.000 per tahun. Selain itu, orang Asia dengan SLE memiliki tingkat lebih tinggi keterlibatan ginjal dan keterlibatan kardiovaskular yang merupakan penyebab utama kematian di Asia.

Rasio perempuan dan laki-lakiLebih dari 90% kasus SLE terjadi pada wanita, sering dimulai pada usia subur. Penggunaan hormon eksogen telah dikaitkan dengan lupus onset dan flare, yang menunjukkan peran faktor hormonal dalam patogenesis penyakit. Risiko pengembangan SLE pada pria adalah sama dengan pada wanita prapubertas atau postmenopause. Menariknya, pada pria, SLE lebih sering terjadi pada orang dengan sindrom Klinefelter (yaitu, genotipe XXY), yang lebih lanjut mendukung hipotesis hormonal. Bahkan, sebuah studi oleh Dillon et al menemukan bahwa pria dengan sindrom Klinefelter memiliki tingkat yang lebih parah dari SLE daripada perempuan, tetapi tingkat kurang parah daripada orang lain. Rasio perempuan dan laki-laki yaitu 11:1 selama tahun-tahun subur. Terdapat korelasi antara usia dan kejadian SLE selama tahun puncak produksi hormon seks perempuan. Onset dari SLE biasanya setelah pubertas, biasanya pada usia 20-an dan 30-an, dengan 20% dari semua kasus didiagnosis selama 2 dekade pertama kehidupan. Sebuah tinjauan literatur di seluruh dunia (terutama Amerika Utara, Eropa, dan Asia) menemukan bahwa kejadian SLE anak memiliki onset berkisar 0,36-2,5 per 100.000 per tahun dan prevalensi berkisar 1,89-25,7 per 100.000. Prevalensi SLE tertinggi pada wanita berusia 14 sampai 64 tahun. SLE tidak memiliki predileksi usia pada laki-laki, meskipun harus diperhatikan bahwa pada orang dewasa yang lebih tua, rasio perempuan ke laki-laki jatuh. Efek ini mungkin karena hilangnya efek estrogen pada wanita lebih tua.2.3 etiologiFaktor Penyebab Penyakit Autoimun GenetikBeberapa peneliti menemukan adanya hubungan antara penyakit LES dengan gen Human Leukocyte Antigen (HLA) seperti DR2, DR3 dari Major Histocompatibility Complex (MHC) kelas II. Individu dengan gen HLA DR2 dan DR3 mempunyai risiko relatif menderita penyakit LES 2-3 kali lebih besar daripada yang mempunyai gen HLA DR4 dan HLA DR5. Peneliti lain menemukan bahwa penderita penyakit LES yang mempunyai epitop antigen HLA-DR2 cenderung membentuk autoantibodi anti-dsDNA, sedangkan penderita yang mempunyai epitop HLA-DR3 cenderung membentuk autoantibodi anti-Ro/SS-A dan anti-La/SS-B. Penderita penyakit LES dengan epitop-epitop HLA-DR4 dan HLA-DR5 memproduksi autoantibodi anti-Sm dan anti-RNP.

Defisiensi komplemenPada penderita penyakit LES sering ditemukan defisiensi komplemen C3 dan atau C4, yaitu pada penderita penyakit LES dengan manifestasi ginjal.Defisiensi komplemen C3 dan atau C4 jarang ditemukan pada penderita penyakit LES dengan manifestasi pada kulit dan susunan saraf pusat.Individu yang mengalami defek pada komponen-komponen komplemennya, seperti Clq, Clr, Cls mempunyai predisposisi menderita penyakit LES dan nefritis lupus. Defisiensi komplemen C3 akan menyebabkan kepekaan terhadap infeksi meningkat, keadaan ini merupakan predisposisi untuk timbulnya penyakit kompleks imun. Penyakit kompleks imun selain disebabkan karena defisiensi C3, juga dapat disebabkan karena defisiensi komplemen C2 dan C4 yang terletak pada MHC kelas II yang bertugas mengawasi interaksi sel-sel imunokompeten yaitu sel Th dan sel B. Komplemen berperan dalam sistem pertahanan tubuh, antara lain melalui proses opsonisasi, untuk memudahkan eliminasi kompleks imun oleh sel karier atau makrofag. Kompleks imun akan diikat oleh reseptor komplemen (Complement receptor = C-R) yang terdapat pada permukaan sel karier atau sel makrofag. Pada defisiensi komplemen, eliminasi kompleks imun terhambat, sehingga jumlah kompleks imun menjadi berlebihan dan berada dalam sirkulasi lebih lama.

HormonPada individu normal, testosteron berfungsi mensupresi sistem imuns sedangkan estrogen memperkuat sistem imun.Predominan lupus pada wanita dibandingkan pria memperlihatkan adanya pengaruh hormon seks dalam patogenesis lupus.Pada percobaan di tikus dengan pemberian testosteron mengurangi lupus-like syndrome dan pemberian estrogen memperberat penyakit.

Lingkungan Lingkungan Pengaruh fisik (sinar matahari), infeksi (bakteri, virus, protozoa), dan obat-obatan dapat mencetuskan atau memperberat penyakit autoimun. Mekanismenya dapat melalui aktivasi sel B poliklonal atau dengan meningkatkan ekspresi MHC kelas I atau II.2.4 patogenesis1.Kerusakan akibat destruksi selKerusakan jaringan disebabkan karena reaksi autoantibodi dengan struktur permukaan sel baik yang utuh maupun yang telah berubah atau mengalami modifikasi atau terhadap komponen seluler tertentu.Destruksi sel biasanya terjadi bila ada komplemen (seperti pada anemia hemolitik) atau mungkin melalui sitoktosisitas seluler dengan bantuan antibodi (ADCC). Terkadang autoantibodi terhadap reseptor merangsang atau mneghambat fungsi sel tanpa merusaknya.

2.Kerusakan akibat pembentukan kompleks imunBerperan dalam autoimunitas sistemik. Kerusakan jaringan diawali dengan pembentukan kompleks imun yaitu kompleks autoantibodi-autoantigen yang kemudian menyulut aktivitas komplemen, granulosit dan monosit. Aktivasi komplemen ditandai dengan penurunan jumlah komplemen yang akan mneyebabkan kerusakan jaringan sistemik.

3.Kerusakan akibat reaksi imunologik selularKerusakan jaringan terjadi karena sel T sitotoksik yang tersensitisasi merusak sel atau jaringan secara langsung atau melalui produksi limfokin oleh sel T yang menyulut respon inflamasi.Mekanisme terjadi melalui sitotoksisitas sel T dengan cara : 1) eksositosis granula yang mengandung perforin yang menyebabkan pengrusakan sel sasaran. 2) pengikatan Fas dengan FasL yang terdapat pada membran sel sasaran atau yang dilepaskan oleh sel sasaran. Interaksi insi menyebabkan sitotoksisitas sel tanpa melalui MHC.

PATOGENESIS SLE

Tenaga pendorong abnormal sel T CD 4+Faktor genetik, lingkungan, dan hormonal

Autoantibodi terhadap eritropoiten

Hilangnya self tolerance sel T

1. Penurunanan produksi eritropoiten2. Resistensi eritropoiten pada sel eritroid3. Besi terikat dengan besi pengikat4. Penurunan respon eritropoiten5. Efek supresif IL terhadap eritropoises

Muncul sel T autoreaktif

Induksi dan ekspansi sel B

Produksi autoantibodi

Penurunan Hb

Gangguan fungsi ginjalAktivasi komplemenAktivasi C 5 aTimbul reaksi radang/inflamasiAktivasi komplemen mengerahkan granulositTerjadi fiksasi komplemen pada organ tersebutANA mengendap di berbagai macam organ, terutama membran basal glomerulusMembentuk kompleks DNA (ANA) yang akan memasuki sirkulasiANEMIAUntuk antigen nukleoplasma (DNA, protein histon, non histon) tidak tissue specific meningkat komponen integral semua jenis sel

Folikel menyempit rambut rontok

Mukosa bibir inflamasi stomatitis

Pajanan matahari muka menjadi merah

LANJUTANAlbumin, globulin protein dengan berat molekul besar menembus dinding glomerulusSelektivitas dinding glomerulus menurunGangguan pada kapiler glomerulusGangguan fungsi ginjal

Proteinuria hipoalbuminemia penurunan volume darah arteri efektifDefek intrinsik eksresi natrium dan air

Retensi Na dan air oleh ginjal

Buang air kecil 0,5 g/hr atau pemeriksaan +3 jika pemeriksaan kuantitatif tidak dapat dilakukanataub. Cellular cast : eritrosit, Hb, granular, tubular atau campuran

8Gangguan sarafKejangTidak disebabkan oleh obat atau kelainan metabolik (uremia, ketoasidosis atau ketidakseimbangan elektrolit)atauPsikosisTidak disebabkan oleh obat atau kelainan metabolik (uremia, ketoasidosis atau ketidakseimbangan elektrolit)

9Gangguan darahTerdapat salah satu kelainan darahAnemia hemolitik dengan retikulositosisLeukopenia < 4000/mm3 pada >1 pemeriksaanLimfopenia < 1500/mm3 pada >2 pemeriksaanTrombositopenia < 100.000/mm3 tanpa adanya intervensi obat

10Gangguan imunologiTerdapat salah satu kelainanAnti ds-DNA diatas titer normalAnti-Sm(Smith) (+)Antibodi fosfolipid (+) berdasarkankadar serum IgG atau IgM antikardiolipin yang abnormalantikoagulan lupus (+) dengan menggunakan tes standartes sifilis (+) palsu, paling sedikit selama 6 bulan dan dikonfirmasi dengan ditemukannya Treponema palidum atau antibodi treponema

11Antibodi antinuklearTes ANA (+)

*Empat dari 11 kriteria positif menunjukkan 96% sensitivitas dan 96% spesifisitas

Sebagai tambahan dari sebelas kriteria tersebut, pengujian lainnya dapat membantu mengevaluasi pasien dengan lupus eritematosus sistemik untuk menentukan keparahan organ-organ yang terlibat. Termasuk diantaranya darah rutin dengan laju endap darah, pengujian kimia darah, analisa langsung cairan tubuh lainnya, serta biopsi jaringan. Kelainan cairan tubuh dan sampel jaringan dapat membantu diagnosis lanjut lupus eritematosus sistemikKomplikasi LES pada anak meliputi:1. Hipertensi (41%) 1. Gangguan pertumbuhan (38%) 1. Gangguan paru-paru kronik (31%) 1. Abnormalitas mata (31%) 1. Kerusakan ginjal permanen (25%) 1. Gejala neuropsikiatri (22%)1. Kerusakan muskuloskeleta (9%) dan Gangguan fungsi gonad (3%)Diagnosis bandingDengan adanya gejala di berbagai organ, maka penyakit-penyakit yang didiagnosis banding banyak sekali. Beberapa penyakit yang berasosiasi dengan LES mempunyai gejala-gejala yang dapat menyerupai LES, yaitu arthritis reumatika, sklerosis sistemik, dermatomiositis, dan purpura trombositopenik.2.8 tatalaksanaPenyuluhan dan intervensi psikososial merupakan hal penting dalam penatalaksanaan penderita yang baru terdiagnosis SLE. Sistemik Lupus Eritematosus merupakan golongan penyakit yang dapat relaps dan remisi. Penatalaksanaan ditujukan pada manifestasi yang terjadi pada penyakit imun ini dan pada strategi-strategi pencegahan seperti :1. Perlindungan terhadap sinar UV (penderita mengalami fotosensitifitas)1. Profilaksis antibiotik (penderita menjalani tindakan-tindakan invasif)1. Pengaturan kehamilan (terutama pada penderita nefritis lupus/penderita mendapat terapi antimalaria atau siklifosfamid)1. Evaluasi serta terapi terhadap infeksiPemantauan klinis yang ketat, dengan penilainan perkembangan penyakit secara rutin, penting untuk menentukan kebutuhan terapi antiinflamasi dan imunosupresi, terutama untuk meminimalkan kerusakan ginjal dan sistem saraf pusat. Penderita SLE mendapat terapi tergantung tingkat keparahan yang dialami :Terapi konservatifDiberikan apabila penyakit ini tidak mengancam nyawa dan tidak berhubungan dengan kerusakan organ. Bila dipertimbangkan pemberian glukokortikoid dapat diberikan prednison 0.5 mg/kgBB/hari.

1. Arthritis, arthralgia, myalgiaMerupakan keluhan yang sering dijumpai pada penderita SLE. Keluhan ringan seperti ini dapat diberikan analgetik sederhana/obat antiinflamasi nonsteroid, tetapi pemberiannya dihentikan bila menunjukkan efek samping yang memperberat keadaan umum penderita, seperti pada sistem gastrointestinal, hepar, dan ginjal sehingga diperlukan pemantauan kreatinin serum berkala. Bila pemberian analgetik dan OAINS tidak berespon baik, pertimbangkan pemberian obat antimalaria :Hidroksiklorokuin 400mg/hari (bila hingga 6 bulan tidak memberikan respon baik, maka pemberian dihentikan). Hidroksiklorokuin (> 6 bulan pemakaian) dan klorokuin (> 3 bulan pemakaian) perlu diperiksa oftalmologik karena beresiko toksik terhadap retina.

Bila pemberian OAM tidak berespon baik, pertimbangkan pemberian kortikosteroid dosis rendah (< 15 mg/pagi hari). Metotreksat (7.5-15 mg/minggu) dan diberikan berdampingan dengan obat anti artritis.

Bila terjadi artralgia pada 1 atau 2 sendi yang menetap dan bukan merupakan bukti tambahan peningkatan aktivitas penyakit, kemungkinan penderita mengalami osteonekrosis (terutama pada penderita terapi kortikosteroid). Osteonekrosis awal, sering tidak menunjukkan gambaran bermakna pada foto radiologik konvensional, sehingga memerlukan pemeriksaan MRI.

1. Lupus kutaneusSekitar 70% mengalami fotosensitifitas. Eksaserbasi akut SLE timbul bila penderita terpapar sinar UV, inframerah, fluoresensi. Sehingga perlu diberikan sunscreen berupa cream, minyak, lotion, atau gel yang mengandung PABA (-aminobenzoit acid) dan esternya, benzofenon, salisilat, sinamat yang kesemuanya dapat menyerap sinar UV dan (pemakaian diulang setelah mandi dan berkeringat).

Glukokortikosteroid lokal (cream, salep, atau injeksi) dapat dipertimbangkan pada dematitis lupus, pemilihan preparat harus diperhatikan karena bersifat diflorinasi (atrofi kulit, depigmentasi, teleangiektasis, dan fragilitis), anjuran preparat steroid untuk kulit :0. Muka [steroid lokal berkekuatan rendah dan tidak diflorinasi (hidrokortison)]0. Badan dan lengan [steroid lokal berkekuatan sedang (betametason valerat dan triamsinolon asetonid)]0. Palmar dan plantar pedis dengan lesi hipertrofik (glukokortikoid berkekuatan tinggi contohnya betametason dipropionat, penggunaan cream dibatasi selama 2 minggu dan diganti dengan yang berkekuatan rendah)OAM sangat baik untuk mengatasi lupus kutaneus, baik subakut maupun diskoid. OAM mempunyai efek :1. SunblockingMengikat melanin1. Antiinflamasi1. ImunosupresanBerhubungan dengan ikatannya pada membran lisosomal sehinggga mengganggu metabolisme rantai dan HLA II.1. Mengurangi pelepasan IL-1, IL-6, TNF- oleh makrofag, IL-2 dan IFN- oleh sel T.Pada penderita resisten OAM, dapat dipertimbangkan pemberian glukokortikoid sistemik dan obat eksperimental lainnya.

Dapson dapat dipertimbangkan pemberiannya pada penderita lupus diskoid, vaskulitis, lesi LE berbula, selain itu perhatikan efek sampingnya seperti :1. Methemoglobinemia1. Sulfhemoglobinemia1. Anemia hemolitik (memperburuk ruam LE kulit)

1. Fatigue dan keluhan sistemikFatigue merupakan keluhan yang sering terjadi, demikian juga penurunan berat badan, dan demam. Fatigue juga dapat timbul akibat terapi glukokortikoid, sedangkan penurunan berat badan dan demam diakibatkan oleh pemberian quinakrin. Seringkali hal ini tidak memerlukan terapi spesifik, cukup dengan menambah waktu istirahat dan mengatur jam kerja. Pada keadaan yang berat dapat menunjukkan peningkatan akitivitas SLE dan pemberian glukokortikoid sistemik dapat dipertimbangkan.

1. Serositis (radang membran serosa)Nyeri dada dan abdomen merupakan tanda serositis. Keadaan ini dapat diatasi dengan salisilat, OAINS, OAM, atau glukokortikoid dosisi rendah (< 15 mg/hari). Pada keadaan berat diberikan glukokortikoid sistemik.

Terapi agresifPemberian glukokortikoid dosis tinggi segera saat mulai timbul manifestasi serius SLE dan mengancam nyawa, misalnya :1. Vaskulitis1. Lupus kutaneus berat1. Poliartritis1. Poliserositis1. Miokarditis pneumonitis lupus1. Glomerulonefritis (bentuk proliferatif)1. Anemia hemolitik1. Trombositopenia1. Sindrom otak organik1. Defek kognitif berat1. Mielopati1. Neuropati perifer1. Krisis lupus (demam tinggi, prostrasi)

Dosis glukokortikoid lebih penting untuk diperhatikan dibandingkan dengan jenisnya yang akan diberikan. Sebaiknya hindari pemberian deksametason karena berefek panjang, lebih baik menggunakan prednison karena lebih mudah untuk mengatur dosisnya. Pemberian glukokortikoid oral sebaiknya diberikan pada pagi hari. Pada manifestasi berat dapat diberikan prednison 1-1.5 mg/kgBB/hari.

Pemberian bolus metilprednisolon intravena 1 gram atau 15 mg/kgBB/hari selama 3-5 hari, dapat dipertimbangkan sebagai pengganti glukokortikoid dosis tinggi, kemudian dilanjutkan dengan prednison oral 1-1.5 mg/kgBB/hari. Efek terapi dapat terlihat secepat mungkin atau mungkin 6-10 minggu kemudian. Toksisitas SLE merupakan masalah tersendiri pada penatalaksanaan SLE.

Setelah pemerian glukokortikoid dosis tinggi selama 6 minggu, maka harus dilakukan penurunan dosis bertahap (5-10%) setiap minggu agar tidak timbul ekserbasi akut. Setelah dosis prednison mencapai 30 mg/hari, maka penurunan dosis dilakukan 2.5 mg/minggu. Setelah dosis prednison mencapai 10-15 mg/hari, penurunan dosis dilakukan 1 mg/minggu. Bila timbul ekserbasi akut, naikkan dosis hingga dosis efektif sampai beberapa minggu, kemudian turunkan dosis kembali.

Bila dalam 4 minggu pemberian glukokortikoid tidak menunjukkan perbaikan yang nyata, maka pertimbangkan untuk memberikan imunosupresan lain atau terapi agresif lainnya. Obat sitotoksik adalah bolus siklofosfamid intravena 0.5-1 gr/m2 dalam 250 ml NaCl 0.9% selama 60 menit diikuti dengan pemberian cairan 2-3 liter/24 jam setelah pemberian obat. Siklofosfamid diindikasikan pada :1. Penderita SLE dengan terapi steroid dosis tinggi (steroid sparing agent)1. Penderita SLE dengan kontraindikasi terhadap steroid dosis tinggi1. Penderita yang kambuh setelah diterapi dengan steroid jangka panjang lama atau berulang1. Glomerulonefritis difus awal1. SLE dengan trombositopenia yang resisten terhadap steroid1. Penurunan GFR atau peningkatan kreatinin serum tanpa adanya faktor-faktor ekstrarenal lainnya.1. SLE dengan manifestasi SSP

Pada penderita dengan penurunan fungsi ginjal sampai 50%, dosis siklofosfamid diturunkan sampai 500-750 mg/m2. Setelah pemberian siklofosfamid, segera pantau jumlah leukosit darah, bila mencapai 1500/ml maka dosis siklofosfamid berikutnya diturunkan 25%. Kegagalan menekan jumlah leukosit sampai 4000/ml menunjukkan dosis yang tidak adekuat, sehingga harus ditingkatkan 10% pada pemberian berikutnya. Siklofosfamid diberikan selama 6 bulan dengan interval 1 bulan, kemudian tiap 3 bulan selama 2 tahun. Selama pemberian siklofosfamid diberikan, dosis steroid diturunkan secara bertahap dengan memperhatikan aktifitas lupusnya. Toksisitas siklofosfamid meliputi :1. Nausea1. Vomitus alopesia1. Sistitis hemoragika1. Keganasan kulit1. Penekanan fungsi ovarium dan azoospermia

Obat sitotoksik lain dengan toksisitas dan efektifitas yang lebih rendah dari siklofosfamid adalah azatioprin yang merupakan analog purin yang dapat digunakan sebagai alternatif siklofosfamid dengan dosis 1-3 gr/kgBB/hari peroral. Obat ini dapat diberikan selama 6-12 bulan pada penderita SLE, setelah penyakitnya dapat dikontrol dengan steroid seminimal mungkin, maka dosis azatioprin dapat diturunkan perlahan dan dihentikan. Toksisitas dari azatioprin meliputi :1. Penekanan sistem hemopoetik1. Peningkatan enzim hati1. Mencetuskan keganasan

Imunosupresan lain yang dapat digunakan adalah siklosporin-A dosis rendah (3-6 mg/kgBB/hari) dan mofetil mikofenolat. Siklosporin A dapat digunakan pada SLE baik tanpa manifestasi renal maupun dengan nefropati membranosa. Selama pemberian harus diperhatikan tekanan darah dan kada kreatinin darah, bila kadar kreatinin darah meningkat 20% dari kadar sebelum pemberian siklosporin maka dosis harus diturunkan.

Terapi lain masih dalam taraf penelitian yaitu :1. Terapi hormonal1. Imunoglobulin1. Afaresis2. Plasmafaresis2. Leukofaresis2. KriofaresisYang paling banyak digunakan yaitu danazol, merupakan androgen yang dapat mengatasi trombositopenia pada SLE. Mekanismenya tidak diketahui secara pasti. Pemberian Ig intravena juga dapat mengatasi trombositopenia, dengan dosis 300-400 mg/kgBB/hari selama 5 hari berturut-turut, diikuti dosis pemeliharan setiap bulan untuk mencegah kekambuhan. Pemberian Ig kontraindikasi mutlak dengan penderita defisiensi IgA pada penderita SLE.

Penatalaksanaan SLE keadaan khususTrombosisMerupakan manifesatasi SLE dan berhubungan dengan adanya antibodi antifosfolipid. Antikoagulan merupakan obat pilihan untuk mengatasinya (warfarin) dan mempertahankan nilai INR (international normalization ratio) 33,5, terutama pada trombosis arteri karotis interna. Antikoagulan lupus berespon baik terhadap glukokortikoid dosis tinggi, sedangkan sedangkan antibodi antikardiolipin sangat resisten terhadap glukokortikoid dosis tinggi maupun imunosupresan lainnya.

Abortus berulang pada SLEDisebabkan oleh aktivitas SLE atau adanya antibodi antifosfolipid, untuk menekan aktivitas SLE, glukokortikoid cukup aman dan tidak mempengaruhi janin kecuali betametason dan deksametason karena dapat mencapai janin dalam bentuk aktif. Pada penderita yang belum pernah mengalami abortus, dapat dipertimbangkan untuk tidak diberikan terapi apapun. Makin sering terjadi abortus, kemungkinan mempertahankan kehamilan makin kecil, sehingga terapi perlu diberikan. Pilihan terapi :1. Aspirin dosis rendah1. Kombinasi aspirin dosis rendah dengan glukokortikoid dosis sedang1. Glukokortikoid dosis tinggi1. Glukokortikoid dosis tinggi dengan aspirin1. Heparin (warfarin bersifat teratogenik pada kehamilan trimester I)Semua regimen ini meningkatkan keberhasilan kehamilan secara bermakna, pemantauan pada ibu dan janin secara ketat sangat penting untuk diperhatikan.

Lupus neonatalMerupakan sindrom pada neonatus yang lahir dari ibu yang menderita SLE. Gejala paling sering adalah ruam kemerahan dikulit disertai plakat. Lesi ini berhubungan dengan transmisi antibodi Anti Ro (SS-A) melalui plasenta. Kelainan yang serius seperti blok jantung kongenital jarang terjadi. Sehingga pada wanita hamil perlu diperiksa kemungkinan adanya antibodi anti-Ro.

TrombositopeniaPertama-tama cari penyebab terjadinya trombositopenia :1. Efek samping obat1. Purpura trombositopenia trombotik1. Infeksi virus (HIV, HBV, CMV)1. Infeksi bakteri (Endokarditis bakterialis, sepsis gram-negatif)

Berikan prednison 0.5-1 mg/kgBB/hari selama 3-4 minggu, bila jumlah trombosit < 50.000/ml kemudian turunkan dosis secara perlahan, target terapi ini trombosit > 50.000/ml. Bila prednison tidak berefek baik, berikan danazol 400-800 mg/hari, Ig atau splenektomi.Pada penderita yang resisten atau penderita dengan keterlibatan organ mayor dapat diberikan bolus siklofosfamid tiap bulan sampai 6 bulan.

SLE pada susunan saraf pusatPenderita SLE pada susunan saraf pusat dibagi menjadi dua, yaitu :1. Penderita dengan strokPemberian antikoagulan lebih berguna dibandingkan pemberian imunosupresan1. Penderita dengan kelainan SSP yang lebih luasApabila disertai vaskulitis perifer, maka imunosupresan menjadi pilihan utama.

Pada penderita SLE dengan kejang-kejang tanpa aktivitas pada organ lain, dapat diberikan antikonvulsan tanpa imunosupresan. Pada penderita psikotik tanpa manifestasi SLE lain cukup diberikan obat psikoaktif. Kelainan kognitif ringan dapat diberikan prednison 30mg/hari selama beberapa minggu lalu dosis diturunkan secara bertahap. Pada sindrom otak organik berat, koma, mielopati diberikan terapi agresif dengan glukokortikoid dosis tinggi, dengan atau tanpa obat sitotoksik.

Nefritis lupusPenatalaksanaan umum :1. Penderita yang diduga menderita nefritis lupus, harus dilakukan biopsi ginjal (bila tidak ada kontraindikasi) guna menentukan strategi penatalaksanaan lebih lanjut.1. Kurangi asupan :1. Garam (bila ada hipertensi)1. Lemak (bila ada dislipidemia)1. Protein (bila fungsi ginjal mulai terganggu)1. Perhatikan asupan kalsium untuk mencegah osteoporosis akibat steroid1. Berikan loop diuretics untuk mengatasi edema1. Hindari penggunaan salisilat dan OAINS1. Terapi agresif terhadap hipertensi1. Hindrai kehamilan, karena beresiko tinggi untuk mengalami kegagalan ginjal1. Penderita nefritis lupus dengan manifestasi SLE kulit, dapat diberikan OAM1. Pemantauan berkala aktifitas penyakit dan fungsi ginjal meliputi :8. Tekanan darah8. Sedimen urin8. Kreatinin serum8. Albumin serum8. Protein urin 24 jam8. Komplemen C38. Anti DNA2.9 Komplikasi2.10 pronogsisAngka harapan hidup :1. 5 tahun : 85-88%1. 10 tahun : 76-87%Penyebab utama kematian pada SLE adalah akibat :1. Infeksi penyakit1. Nefritis lupus1. Konsekuensi gagal ginjal (termasuk terapinya)1. Penyakit kardiovaskular1. Lupus sistem saraf pusat

Trombosis arteri mempunyai prognosis buruk. Penyakit ginjal merupakan indikator prognosis yang paling buruk pada SLE, dikarenakan tuter antibodi pengikat DNA positif/meningkat, yang berkaitan dengan keterlibatan ginjal, dikaitkan dengan prognosis yang lebih buruk.

3. Memahami dan Menjelaskan Pandangan Islam untuk Penyakit SLE1. SABAR Definisi sabar Secara etimologi, sabar (ash-shabr) berarti: al-habs atau al-kaff (menahan), Allah berfirman: Dan bersabarlah kamu bersama dengan orang-orang yang menyeru Rabbnya di pagi dan senja hari. (Al-Kahfi: 28) Maksudnya: tahanlah dirimu bersama mereka. Secara istilah, definisi sabar adalah: menahan diri dalam melakukan sesuatu atau meninggalkan sesuatu untuk mencari keridhaan Allah, Allah berfirman: Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Rabbnya (Ar-Rad: 22). Macam macam sabarSabar terdiri dari 3 macam, yaitu: 1) Sabar dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah2) sabar dalam meninggalkan perbuatan maksiat terhadap Allah3) sabar dalam menerima taqdir yang menyakitkan.1. IKHLAS Definisi ikhlas Ikhlas menurut bahasa adalah sesuatu yang murni yang tidak tercampur dengan hal-hal yang bisa mencampurinya. Definisi ikhlas menurut istilah syari (secara terminologi)Syaikh Abdul Malik menjelaskan, Para ulama bervariasi dalam mendefinisikan ikhlas namun hakikat dari definisi-definisi mereka adalah sama. Diantara mereka ada yang mendefenisikan bahwa ikhlas adalah menjadikan tujuan hanyalah untuk Allah tatkala beribadah, yaitu jika engkau sedang beribadah maka hatimu dan wajahmu engkau arahkan kepada Allah bukan kepada manusia.

Ada yang mengatakan juga bahwa ikhlas adalah membersihkan amalan dari komentar manusia, yaitu jika engkau sedang melakukan suatu amalan tertentu maka engkau membersihkan dirimu dari memperhatikan manusia untuk mengetahui apakah perkataan (komentar) mereka tentang perbuatanmu itu. Cukuplah Allah saja yang memperhatikan amalan kebajikanmu itu bahwasanya engkau ikhlas dalam amalanmu itu untukNya. Dan inilah yang seharusnya yang diperhatikan oleh setiap muslim, hendaknya ia tidak menjadikan perhatiannya kepada perkataan manusia sehingga aktivitasnya tergantung dengan komentar manusia, namun hendaknya ia menjadikan perhatiannya kepada Robb manusia, karena yang jadi patokan adalah keridhoan Allah kepadamu (meskipun manusia tidak meridhoimu).

Ayat ayat al-quran tentang ikhlas : "Sesunguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al Quran) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik)." (QS. Az-Zumar: 2-3)."Katakanlah: "Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya dalam (menjalankan) agama." (QS. Az-Zumar: 2-3).1. RIDHODefinisi ridho Ridho () berarti suka, rela, senang, yang berhubungan dengan takdir (qodha dan qodar) dari Allah. Ridho adalah mempercayai sesungguh-sungguhnya bahwa apa yang menimpa kepada kita, baik suka maupun duka adalah terbaik menurut Allah. Dan apapun yang digariskan oleh Allah kepada hamba-Nya pastilah akan berdampak baik pula bagi hamba-Nya.

Macam macam ridho Menurut Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, ridho terhadap takdir Allah terbagi menjadi tiga macam:

1. Wajib direlakan, yaitu kewajiban syariat yang harus dijalankan oleh umat Islam dan segala sesuatu yang telah ditetapkan-Nya. Seluruh perintah-Nya haruslah mutlak dilaksanakan dan seluruh larangan-Nya haruslah dijauhkan tanpa ada perasaan bimbang sedikitpun. Yakinlah bahwa seluruhnya adalah untuk kepentingan kita sebagai umat-Nya.

2. Disunnahkan untuk direlakan, yaitu musibah berupa bencana. Para ulama mengatakan ridho kepada musibah berupa bencana tidak wajib untuk direlakan namun jauh lebih baik untuk direlakan, sesuai dengan tingkan keridhoan seorang hamba. Namun rela atau tidak, mereka wajib bersabar karenanya. Manusia bisa saja tidak rela terhadap sebuah musibah buruk yang terjadi, tapi wajib bersabar agar tidak menyalahi syariat. Perbuatan putus asa, hingga marah kepada Yang Maha Pencipta adalah hal-hal yang sangat diharamkan oleh syariat.

3. Haram direlakan, yaitu perbuatan maksiat. Sekalipun hal tersebut terjadi atas qodha Allah, namun perbuatan tersebut wajib tidak direlakan dan wajib untuk dihilangkan. Sebagaimana para nabi terdahulu berjuang menghilangkan kemaksiatan dan kemungkaran di muka bumi.

Ayat al-quran tentnag ridho Sesungguhnya dien atau agama atau jalan hidup (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. (QS Ali Imran ayat 19)

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah shollallahu alaih wa sallam itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS Al-Ahzab ayat 21)

DAFTAR PUSTAKA

Baratawidjaja KG, Rengganis I. (2014). Imunologi Dasar. Jakarta : Balai Penerbit FKUI

http://emedicine.medscape.com/article/332244-overview#aw2aab6b2b4

Price,Sylvia. .Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.Jakarta.EGC