8/18/2019 SISWO MULYARTONO
1/90
KEKERASAN ANTI-AHMADIYAH DI CIKEUSIK,
PANDEGLANG: PENDEKATAN MOBILISASI
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh :
Siswo Mulyartono
107033203232
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014
8/18/2019 SISWO MULYARTONO
2/90
PERSETUJUAN
PEMBIMBING
SKRIPSI
Dengan
ini,
Pembimbing Skripsi
menyatakan bahwa mahasiswa:
Nama
NIM
Program Studi
:
Siswo
Mulyartono
:107033203232
: Ilmu Politik
Telah menyelesaikan
penulisan
skripsi
dengan
judul:
KEKERASAN ANTI-AHMADIYAH
DI
CIKEUSIK,
PANDEGLANG:
PENDEKATAN MOBILISASI
dan telah memenuhi
persyaratan
untuk
diuji.
Jakarta, 30 Desember 2013
Mengetahui,
Ketua Program
Studi
Menyetujui
Pembimbing
NIP. 19651212
t99203 I
004
NIP.
19651212199203 I 004
8/18/2019 SISWO MULYARTONO
3/90
l.
2.
3.
PERNYATAAN
BEBAS
PLAGIARISME
Skripsi
yang
berjudul:
KEKERASAN
ANTI
AHMADIYAH
DI
CIKEUSIK,
PANDEGLANG:
PENDEKATAN
MOBILISASI
Merupakan
karya
asli
saya
yang diajukan
untuk
memenuhi
salah
satu
persyaratan
memperoleh
gelar
Strata
1
di
Universitas
Islam
Negeri
(UIN)
Syari
f
Hidayatull
ah Jakarta.
Semua
sumber
yang saya
gunakan
dalam
penulisan
ini
telah
saya
cantumkan
sesuai
dengan
ketentuan
yang berlaku
di
Universitas
Islam
Negrr
(UIN)
Syarif
Hidayatullah
Jakarta.
Jika
di
kemudian
hari
terbukti
bahwa
karya
saya
ini
bukan
hasil
karya
asli
saya
atau
merupakan
hasil
jiplakan
dari
karya
orang
lain,
maka
saya
bersedia
menerima
sanksi
yang
berlaku
di
Universitas
Islam Negeri
(UIN)
Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta,
30
Desember
2013
Siswo
Mulyartono
8/18/2019 SISWO MULYARTONO
4/90
PENGESAIIAN
PANITIA UJIAN SKRIPSI
SKRIPSI
KEKERASAN
ANTI.AHMADryAH
DI
CIKEUSIK,
PANDEGLANG:
PENDEKATAN
MOBILISASI
Oleh
Siswo
Mulyartono
r07033203232
Telah
di
pertahankan
dalam sidang
ujian
skripsi di Fakultas
Ilmu
Sosial dan
Ilmu
Politik
Universitas
Islam Negeri Syarif
Hidayatullah
Jakarla
pada
tanggal
l7
Januari 2014.
Skripsi
ini
telah
di terima
sebagai
salah satu syarat
memperoleh
gelar
Sarjana Sosial
(S.
Sos)
pada
Program Studi
Ilmu Politik.
Ketua,
NIP.
19730927 200501
I 003
Penguji
II,
fra.
hv.-*
;
Dr.
Sirojudin Aly
NIP.
19540605
200112
l 001
Diterima
dan
dinyatakan memenuhi syarat kelulusan
pada
tanggal l7
Januai 2014
Ketua Program Studi
FISIP
UIN
Jakarta
Sekretaris,
212
t99203 I
004
NIP. 196
3
200103
I
002
212
199203
8/18/2019 SISWO MULYARTONO
5/90
i
ABSTRAKSI
Skripsi ini memusatkan perhatian peristiwa kekerasan anti Ahmadiyah diCikeusik, Pandeglang, pada 06 Februari 2011. Tujuan penelitian ini adalah untuk
menggambarkan secara mendalam mobilisasi anti-Ahmadiyah dan mencari faktor
yang menyebabkan mobilisasi anti-Ahmadiyah bisa memperoleh dukungan dan
melibatkan massa dalam jumlah ribuan. Penelitian ini menggunakan metode studi
kasus dengan menggunakan teknik analisis deskriptif dan interpretatif. Penelitian
ini dilakukan melalui wawancara dan studi pustaka. Kerang teori yang digunakan
dalam penelitian ini adalah skema mobilisasi Bert Klandersmans: penciptaan potensi mobilisasi, pemanfaatan jaringan, motivasi untuk berpartisipasi dan
penyingkiran penghambat partisipasi.
Penelitian menemukan bahwa sejak Ahmadiyah di Cikeusik mulaimelakukan aktifitas keagamaan, penciptaan potensi mobilisasi sudah dilakukan
oleh para anti-Ahmadiyah untuk membubarkan Ahmadiyah di Cikeusik. Usaha
penciptaan mobilisasi digunakan untuk mencari dukungan pembubaran.
Dukungan untuk membubarkan Ahmadiyah di Cikeusik semakin kuat ketika
jaringan-jaringan seperti kiai, santri, dan jawara digunakan untuk memobilisasi
massa anti-Ahmadiyah. Tetapi dukungan saja tidak cukup untuk membubarkan
Ahmadiyah di Cikeusik. Mobilisator anti-Ahmadiyah harus menyediakan insentif
kolektif dan selektif serta menyingkirkan penghalang partisipasi supaya dukungan
bisa direalisasikan dalam bentuk keterlibatan pembubaran. Dengan memfokuskan
variabel penciptaan potensi mobilisasi, jaringan, motivasi tindakan dan
penyingkiran penghalang partisipasi, penelitian ini menemukan tiga faktor yangmemfasilitasi mobilisasi anti-Ahmadiyah bisa terjadi dan memperoleh dukungan
massa dalam jumlah ribuan. Faktor-faktor itu adalah jaringan, kepemimpinan
gerakan, dan kegagalan polisi dalam menangani konflik anti-Ahmadiyah.
8/18/2019 SISWO MULYARTONO
6/90
ii
KATA PENGANTAR
Penulis melakukan penelitian ini ketika peristiwa kekerasan anti-Ahmadiyah
di Cikeusik, Pandeglang telah berlalu selama dua tahun. Tentu saja waktu dua
tahun belum terlalu lama, memungkin penulis bisa mencari informasi dan bahan
penulisan secara mudah. Tetapi rentang waktu peristiwa yang belum lama itu juga
menjadi penghambat dalam memperoleh data di lapangan.
Ketika penulis mengunjungi Desa Umbulan Cikeusik untuk mengumpulkan
data, ada penolakan dari beberapa informan yang akan diwawancarai. Sebab,
mereka takut ketika disuruh mengingat kembali persitiwa Cikeusik. Beruntung,
penulis menjumpai beberapa informan yang mau diwawancarai meski tidak
diizinkan untuk direkam dan tidak boleh disebutkan nama aslinya jika mau
dijadikan rujukan. Oleh karena itu, dalam penulisan kutipan wawancara di bab
pembahasan, ada beberapa informan yang menggunakan inisial.
Penulis juga merasa beruntung ketika diizinkan Pengadilan Negeri Serang
untuk mengcopy dokumen Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Kepolisian dan hasil
persidangan peristiwa Cikeusik. Dari dokumen-dokumen itu penulis memperoleh
banyak data tentang persitiwa Cikeusik.
Penulis semakin merasa mudah menyelesaikan penelitian ini ketika
menemukan bahan tambahan dari teman-teman Jama’at Ahmadiyah,
memungkinkan penulis bisa memasukkan informasi dari pihak Ahmadiyah.
8/18/2019 SISWO MULYARTONO
7/90
iii
Akhirnya, penulis harus mengucapkan syukur kepada Allah SWT yang telah
memudahkan segala urusan terkait penulisan skripsi ini.
Penulis juga berkewajiban untuk mengucapkan terima kasih kepada pihak-
pihak yang sudah membantu penyusunan skripsi ini, diantaranya:
1. Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Bapak Prof. Dr. Bahtiar Effendy, MA, beserta
seluruh staf jajarannya.
2. Bapak Dr. Ali Munhanief selaku Kepala Program Studi Ilmu Politik.
Terima kasih Pak Ali sudah mau menjadi pembimbing skripsi ini di tengah
kesibukannya yang sangat padat.
3.
Bapak M. Zaki Mubarak selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Politik.
4.
Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Ilmu Politik yang tanpa mengenal
keluh dan kesah dalam menghadapi mahasiswa yang penuh masalah.
5. Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Paramadina yang telah
melibatkan penulis dalam penelitian “Pemolisian Konflik Agama.” Tanpa
bantuan PUSAD skripsi ini mustahil bisa selesai. Sebagian besar data yang
ada di skripsi ini diambil dari tulisan penulis di penelitian PUSAD.
Semoga saja Januari bisa diterbitkan.
6. Kak Ihsan Ali Fauzi (Direktur PUSAD Paramadina) yang rela meluangkan
waktunya untuk berdiskusi dengan anak-anak muda. Kak Ihsan adalah
guru sekaligus teman bahkan orangtua bagi penulis. Semoga Allah
membalas semua kebaikan Kak Ihsan.
8/18/2019 SISWO MULYARTONO
8/90
iv
7.
Bang Samsu Rizal Panggabean yang selalu menumbuhkan ide-ide segar
bagi penulis.
8. Teman-teman di PUSAD Paramadina: Pak Taufiq, Aya, Imelda, Bom-
Bom, dan Uki.
9. Buya Khaeril Azhar (Penulis Jakarta Post) yang selalu mengganggu
penulisan skripsi ini.
10. Teman-teman di Forum Muda Paramadina: Ayu Melisa, Irsyad Rapshady,
dan Kak Husni Mubarak. Penulis banyak belajar dari mereka.
11.
Teman-teman di Forum Mahasiswa Ciputat (FORMACI): Erwin, Dodi
Iskandar, Rafsanjani, Roy, Rizal, Didi Manakara, Maulana, Cendy, Abda,
Ripai Tobri, Yusuf Albana, Nana Saehuna, Ali Imron, Hodari, Naza,
Sukron Hadi, Ismail, Adis, Mila, Lilis, Ira, Rangga dan Indra. Selama di
dunia ini masih ada mahasiswa yang rajin baca buku, selama itu pula
FORMACI akan tetap ada.
12. Teman-teman di Ilmu Politik: Betet, M Yan, Cak Ipul, Adi Ridwan Syam,
Neneng, Siti, Kentung, Deni, Lupi, Iceng, Zamiral, Aisyah, dan lainnya.
13. Kedua orang tua penulis: Bapak Suripto dan Ibu Roisah yang dengan sabar
menunggu anaknya bisa wisuda. Terima kasih juga untuk Siska
Ayuningtyas (adik) dan Sri Purwaningsih (kakak).
14. Para Ahmadi yang syahid di Cikeusik. Skripsi ini penulis persembahkan
untuk kalian.
Pamulang, 25 Desember 2013
8/18/2019 SISWO MULYARTONO
9/90
v
Penulis
DAFTAR ISI
ABSTRAK ................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ................................................................................. ii
DAFTAR ISI ................................................................................................ v
DAFTAR TABEL.............................................................................. ......... vi
DAFTAR BAGAN ....................................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah ................................................................ 1
B. Pertanyaan Penelitian ............................................................. 10
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................... 11
D. Tinjauan Pustaka..................................................................... 12
E. Metode Penelitian ................................................................... 14
F.
SistematikaPenulisan .............................................................. 16
BAB II KERANGKA TEORI
A. Kekerasan ............................................................................... 18
B.
Mobilisasi ............................................................................... 20
BAB III DINAMIKA KONFLIK ANTI-AHMADIYAH
A. Demografi Kabupaten Pandeglang ......................................... 28
B. Sejarah Ahmadiyah Cikeusik, Pandeglang ............................. 31
C. Dinamika Konflik ................................................................... 32
BAB IV KEKERASAN DAN MOBILISASI ANTI-AHMADIYAH
A. Kekerasan Anti-Ahmadiyah.......................................... ......... 46
B. Menciptakan Potensi Mobilisasi Anti-Ahmadiyah ................. 49
C. Jaringan Perekrutan Anti-Ahmadiyah .................................... 51
D.
Memotivasi untuk Berpartisipasi ............................................ 58
E. Penyingkiran Penghalang Mobilisasi.............................. ....... 62
BAB V PENUTUP
Kesimpulan ................................................................................... 64
DAFTAR PUSTAKA............................................................................ ...... viii
8/18/2019 SISWO MULYARTONO
10/90
vi
DAFTAR TABEL
Tabel I.A.1. Kekerasan Anti Ahmadiyah di Indonesia (2008-2011) ........... 9
8/18/2019 SISWO MULYARTONO
11/90
8/18/2019 SISWO MULYARTONO
12/90
1
Bab I
PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah
Sejarah Jema’at Ahmadiyah Indonesia (JAI) adalah sejarah konflik
sektarian di dalam perkembangan Islam di Indonesia. Pada awal
perkembangannya hingga saat ini, keberadaan JAI sebagai organisasi masyarakat
dan aliran Islam masih ditentang oleh sebagian umat Islam Indonesia. Penolakan
terhadap JAI dilakukan dengan sangat keras, misalnya teror maupun kekerasan.
Tetapi, tidak jarang penolakan berlangsung secara damai, melalui dialog atau
debat terbuka. Konflik Ahmadiyah di Indonesia tidak hanya melibatkan penganut
Ahmadiyah dan non-Ahmadiyah, tetapi juga pemerintahan setempat.
Sejarah perkembangan JAI bisa dilihat jauh sebelum masa kemerdekaan.
Pada awalnya, sekitar Desember 1922, dua pemuda lulusan sekolah Sumatera
Thawalib memutuskan untuk menuntut ilmu ke India. Dua pemuda itu adalah
Abubakar Ayyub dan Ahmad Nuruddin. Sebenarnya mereka berencana
melanjutkan sekolah ke Mesir. Tetapi karena sudah banyak orang mencari ilmu ke
Mesir, sumber Islam dari tempat lain perlu dicari. Sumber lain itu adalah India
yang dianggap memiliki tokoh-tokoh dan perguruan Islam berkualitas. Atas saran
Zainuddin Labai El Yunisiah dan Syekh Ibrahim Musa Parabek, dua pemuda itu
8/18/2019 SISWO MULYARTONO
13/90
2
belajar ke India. Belakangan, pelajar lain, Zaini Dahlan menyusul ke India dan
bergabung dengan mereka.1
Para pemuda itu akhirnya mulai mengenal ajaran Ahmadiyah ketika
menetap di Lahore. Karena tertarik dengan ajaran Ahmadiyah, mereka
memutuskan untuk melakukan ziarah ke makam pendiri Ahmadiyah yaitu Mirza
Ghulam Ahmad di Qodian. Selain itu, tujuan mereke ke Qodian adalah untuk
mempelajari dan mendalami ajaran Ahmadiyah. Mereka juga sempat bertemu
dengan Hazrat Khalifah II, Mirza Basyiruddin Mahmud dan melakukan bai’at
sebagai tanda telah menjadi anggota Ahmadiyah.2
Tidak lama kemudian, mereka meminta Khalifah II untuk berkunjung ke
Indonesia. Tetapi permintaan ini belum bisa dipenuhi dan diganti dengan
pengiriman Maulana Rahmat Ali ke Indonesia untuk menyebarkan ajaran
Ahmadiyah.3 Maulana Rahmat Ali adalah tokoh penting dalam sejarah awal JAI.
Melalui dia, JAI pada masa awal perkembangannya, bisa mendirikan Pengurus
Besar (PB) dan beberapa cabang di Indonesia.
Pada 2 Oktober 1925, Maulana Rahmat Ali tiba di Tapaktuan. Di tempat itu,
dia berhasil mengajak beberapa masyarakat untuk masuk ke Ahmadiyah. Karena
sedang terjadi konfrontasi antara Islam dengan pemerintahan kolonial Belanda,
maka Maulana Rahmat Ali disuruh Gubernur Aceh untuk meninggalkan
Tapaktuan. Sepeninggalan Maulana Rahmat Ali, Ahmadiyah di Tapaktuan bisa
1 Murtolo, “Sejarah Singkat Perkembangan Jema’at Ahmadiyah di Indonesia selama 50
Tahun, Sinar Islam 15(Januari 1976): 11.2
Murtolo, “Sejarah Singkat,” 12. 3 Murtolo, “Sejarah Singkat,” 12.
8/18/2019 SISWO MULYARTONO
14/90
3
melakukan kegiatan keagamaannya. Tetapi, akhirnya mereka dilarang melakukan
salat Jumat di tempat sendiri dan harus salat bersama-sama di masjid umum. Raja
juga melarang para Ahmadi untuk berkumpul.4
Pada 1926, Maulana Rahmat Ali tiba di Padang. Pada tahun itu, Kegiatan
dia di Padang sempat membuat gempar masyarakat setempat. Tahar Sutan Marajo
mendirikan Komite Mencari Hak (KMH) untuk mempertemukan mubalig
Ahmadiyah dengan ulama Minangkabau. Tujuannya untuk melakukan debat
antara pihak Ahmadiyah dan non-Ahmadiyah. Acara debat hanya diikuti para
murid ulama Minangkabau dan mubalig Ahmadiyah. Akhirnya, KMH
membubarkan diri dan Jema’at Ahmadiyah resmi didirikan di Padang.5
Perkembangan Ahmadiyah di Padang semakin kuat ketika pada 1929,
Ahmad Nuruddin dan Zaini Dahlan kembali ke Padang setelah belajar di Qodian.
Jumlah anggota Ahmadiyah di Padang semakin banyak, kira-kira delapan puluh
orang. Dalam melakukan kegiatan keagamaan, seperti salat berjamaah, mereka
menyewa rumah. Belakangan, mereka diberi musala oleh Demang Sutan Rajad
untuk digunakan sebagai tempat ibadat anggota Ahmadiyah. Tetapi, musala itu
akhirnya disegel, membuat para Ahmadi kembali mengadakan kegiatan
keagamaannya di rumah sewaan.6
Penyebaran Ahmadiyah tidak berhenti di Sumatera. Pada 1931, Maulana
Rahmat Ali memutuskan untuk pergi ke Jawa, tepatnya Jakarta. Keputusan ini
4 Murtolo, “Sejarah Singkat,” 13.
5
Murtolo, “Sejarah Singkat,” 13-14.6 Murtolo, “Sejarah Singkat,” 15.
8/18/2019 SISWO MULYARTONO
15/90
4
merupakan sejarah penting dalam perkembangan Ahmadiyah di Indonesia. selain
melakukan dakwah di kota-kota besar yang ada di Jawa, Maulana Rahmat Ali
membentuk Pengurus Besar (PB) Ahmadiyah. Pembentukan pengurus besar
berawal dari konferensi pada tahun 1935 di Jakarta yang dihadiri tokoh-tokoh
Ahmadiyah Indonesia. Konferensi memutuskan untuk membentuk struktur PB
dan menamai organisasi Ahmadiyah Indonesia yang disebarkan oleh Maulana
Rahmat Ali sebagai Ahmadiyah Qodian Departemen Indonesia (AQDI).7
Dalam rangka penyempurnaan, PB berusaha menyesuaikan organisasi
AQDI dengan organisasi Pusat Ahmadiyah di Qodian. Oleh karena itu, pada 12
dan 13 Juni 1937 diadakan konferensi di Masjid Hidayat, Jalan Balikpapan
Jakarta. Konferensi tidak hanya menghasilkan Anggaran Dasar dan Anggaran
Rumah Tangga (AD/ART) Ahmadiyah, tetapi nama AQDI diganti dengan AADI
(Anjuman Ahmadiyah Departemen Indonesia). Pada Desember 1949 di Jakarta,
AADI mengadakan muktamar untuk menetapkan AD/ART terbaru dan mengganti
nama AADI menjadi JAI (Jema’at Ahmadiyah Indonesia).8 Nama JAI masih
digunakan sampai sekarang.
Penyebaran Ahmadiyah di Jawa bukan tanpa resistensi dari ulama setempat.
Pada awal-awal kegiatan dakwah di Jawa, Maulana Rahmat Ali beberapa kali
melakukan debat dengan anggota Persis (Persatuan Islam). Debat berlangsung
secara terbuka dan damai, bahkan beberapa peserta debat dari pihak non-
Ahmadiyah memutuskan untuk masuk ke Ahmadiyah. Ketika Maulan Rahmat Ali
7
Ikandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia (Yogyakarta: LKiS, 2005), 195.8 Ikandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah, 195-196.
8/18/2019 SISWO MULYARTONO
16/90
5
mengintensifkan dakwah di Jawa, cabang-cabang Ahmadiyah hampir tersebar di
kota-kota besar yang ada di Jawa Barat (Garut, Tasikmalaya, Singaparna,
Bandung, Sukabumi, Cianjur, Manislor, Cimahi, dan Ciamis), Jawa Tengah
(Purwokerto, Yogyakarta, Kebumen, Banjarnegara, semarang, Salatiga,
Magelang), dan Jawa Timur (Surabaya).9
Perkembangan Ahmadiyah di Jawa Tengah dan Jawa Timur relatif aman
dibandingkan Jawa Barat. Di Jawa Barat sering terjadi debat antara mubalig
Ahmadiyah dengan ulama setempat. Para anggota Ahmadiyah juga mengalami
kekerasan, bahkan beberapa dibunuh oleh DI/TII (Darul Islam dan Tentara
Indonesia). Kekerasan tersebut bukan disebabkan oleh perbedaan keyakinan,
tetapi lebih bermuatan politik. Warga Ahmadiyah di Jawa Barat menolak untuk
bergabung dengan DI/TII untuk memberontak ke pemerintahan Indonesia.10 Jawa
Barat merupakan basis kekuatan DI/TII. Tidak jarang DI/TII melakukan teror dan
kekerasan terhadap warga yang menolak mendukung DI/TII.11
Pada tahun 1952, Ahmadiyah mulai melakukan dakwah di Indonesia bagian
timur. Tetapi hanya beberapa wilayah saja yang disentuh oleh mubalig
Ahmadiyah, yakni Ujung Pandang, Lombok, dan Sulawesi Utara. Resistensi
terjadi hanya di wilayah Lombok. Seorang Ahmadi di Lombok, Junaidi dihadang
9 Murtolo, “Sejarah Singkat,” 17-34.
10 Murtolo, “Sejarah Singkat,” 28.
11
Solahudin, NII sampai JI: Salafi Jihadisme di Indonesia (Jakarta: Komunitas Bambu,2011), 53-77.
8/18/2019 SISWO MULYARTONO
17/90
6
di tengah jalan oleh beberapa orang. Mereka memukuli dan menikamnya beberapa
kali.12
Jaminan perlindungan hukum bagi kegiatan Ahmadiyah di Indonesia
akhirnya diakui ketika pada 31 Maret 1953, berdasarkan SK Menteri Kehakiman
No. JA 5/23/13, Ahmadiyah mendapat status badan hukum. Pengakuan itu
diperkuat dengan pernyataan Departemen Agama Republik Indonesia tertanggal
11 Maret 1968 tentang hak hidup seluruh organisasi agama di Indonesia bagi yang
telah disahkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangganya secara resmi
oleh Menteri Kehakiman sebagai badan hukum.13 Belakangan, Ahmadiyah juga
sudah diakui sebagai organisasi kemasyarakatan melalui surat Direktorat
Hubungan Kelembagaan Politik No. 75/D.I./VI/2003.
Pada masa awal pemerintahan Orde Baru, yaitu sekitar 1970an, keberadaan
Ahmadiyah relatif aman. Tetapi kondisi mulai berubah ketika pada 1980 Majelis
Ulama Indonesia (MUI) menyatakan bahwa Ahmadiyah Qodian, merujuk kepada
JAI, merupakan aliran di luar Islam, sesat dan menyesatkan. Aliran Ahmadiyah
Qodian di beberapa negara juga mulai dilarang untuk dikembangkan, misalnya di
Malaysia, Brunei Darussalam, Pakistan, dan Kerajaan Arab Saudi. Ahamdiyah
Qodian juga dilarang oleh Organisasi Islam Internasional, yakni Rabithah Alam
Islami.14
12 Murtolo, “Sejarah Singkat,” 35.
13 Ikandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah, 291-292.
14
M Atho Mudzhar, Kebijakan Pemerintah dalam Penanganan Masalah Ahmadiyah di Indonesia (Yogyakarta: tidak terbit, 11 November 2008), 2.
8/18/2019 SISWO MULYARTONO
18/90
7
Munculnya fatwa MUI pada 1980 telah membuat sikap penolakan terhadap
JAI menguat kembali. Para anti-Ahmadiyah sering menjadikan fatwa sebagai
dasar legitimasi untuk tindakan kekerasan dan intoleransi terhadap JAI. Fatwa
MUI merupakan salah satu pemicu tindak kekerasan dan intoleransi di
masyarakat.15 Ketika MUI mengeluarkan fatwa, persekuasi Ahmadiyah terjadi di
beberapa tempat, misalnya di Sulawesi Selatan (1981), Kalimantan Barat,
Surabaya, Parong, Bogor (1981), Riau, Palembang, Sumatera Barat, Timor Timur
dan Jakarta (1990). Persekuasi telah mengakibatkan bangunan penduduk, musala,
dan masjid milik JAI rusak.16
Demokratisasi pasca-Orde Baru tidak serta merta mengakhiri polemik
seputar Ahmadiyah. Hak dan kebebasan dalam politik hadir mengikuti gelombang
reformasi. Tetapi untuk jaminan kebebasan berkeyakinan dan beragama masih
menjadi perkara yang rumit bagi Indonesia, terutama pada masa Pemerintahan
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sepanjang periode pemerintahan SBY, yaitu
tahun 2004 sampai 2013, persekusi terhadap JAI terjadi di hampir semua provinsi
Indonesia. Persekusi bisa berlangsung satu hingga dua kali, tiga sampai lima kali,
dan lebih dari enam kali dalam setahun (lihat gambar I.A.1).
Sejak 2005, sumber utama mobilisasi kekerasan Islamis terhadap
Ahmadiyah maupun terhadap kelompok lain adalah koalisi vigilante-vigilante
15 Luthfi Assyaukani, “Fatwa and Violence in Indonesia,” Journal of Religion and Society
11 (2009).16 M Atho Mudzhar, Kebijakan Pemerintah.2.
8/18/2019 SISWO MULYARTONO
19/90
8
radikal yang bertindak tanpa peduli hukum.17 Maraknya persekusi terhadap
Ahmadiyah juga tidak bisa dilepaskan dari sikap pemerintah dalam menangani
konflik Ahmadiyah. Pemerintah SBY lebih banyak mendengar kata MUI
dibanding konstitusi. Akibatnya, MUI semakin percaya diri dalam melarang
keberadaan JAI.
Gambar I.A.1 Persebaran Anti-Ahmadiyah di Indonesia (2004-2013)
Sumber: Human Rights Working Group (HRWG)
17
Julie Chernov Hwang, Peaceful Islamist Mobilization in the Muslim World (New York:Palgrafe Macmillan, 2009), 96.
8/18/2019 SISWO MULYARTONO
20/90
8/18/2019 SISWO MULYARTONO
21/90
10
jumlah ribuan. Akibatnya, tiga Jema’at Ahmadiyah dibunuh secara sadis, lima
anggota lainnya mengalami luka berat, perusakan rumah dan pembakaran
kendaraan milik JAI.20 Selain itu, buntut dari peristiwa ini adalah pemerintahan
daerah di Banten dan tempat lain mengeluarkan peraturan daerah berisi
pelarangan terhadap JAI.21
Peristiwa Cikeusik merupakan peristiwa pertama dalam sejarah konflik
sektarian di Indonesia yang mengakibatkan jatuhnya nyawa dan melibatkan massa
dalam jumlah ribuan untuk menyerang JAI. Oleh karena itu, penulis menyadari
bahwa penting untuk meneliti secara mendalam tentang proses mobilisasi anti-
Ahmadiyah di Cikeusik Pandeglang Banten dengan menggunakan teori
mobilisasi. Selanjutnya penelitian ini akan diberi judul: Kekerasan Anti-
Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang: Pendekatan Mobilisasi.
B. Pertanyaan Penelitian
Fokus utama penelitian ini adalah proses mobilisasi anti-Ahmadiyah
sebelum kekerasan terjadi pada 6 Februari 2011. Ada beberapa pertanyaan utama
yang akan dijawab dalam penelitian ini:
1.
Bagaimana proses mobilisasi kekerasan anti-Ahmadiyah Cikeusik,
Pandeglang berlangsung?
20 Tim Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KONTRAS), NEGARA
TAK KUNJUNG TERUSIK: Laporan Hak Asasi Manusia Peristiwa penyerangan Jamaah
Ahmadiyah Cikeusik 6 Februari 2011 (Jakarta: KONTRAS, 2011). 16.21 CRCS, Laporan Kehidupan Beragama 2011, 32-33.
8/18/2019 SISWO MULYARTONO
22/90
11
2.
Faktor-faktor apa saja yang memengaruhi mobilisasi kekerasan anti-
Ahmadiyah bisa memperoleh dukungan dan melibatkan ribuan massa?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian tentang konflik dan kekerasan terhadap masyarakat secara umum
dan JAI secara khusus, dengan menggunakan pendekatan mobilisasi masih sangat
jarang. Oleh karena itu, tujuan utama penelitian ini:
1.
Untuk menggambarkan secara mendalam proses mobilisasi kekerasan
terhadap Jema’at Ahmadiyah di Cikeusik Pandeglang Banten.
2.
Menjelaskan bagaimana mobilisasi kekerasan anti-Ahmadiyah
memperoleh dukungan dan melibatkan masyarakat.
3. Menemukan faktor-faktor utama yang memengaruhi mobilisasi
kekerasan anti-Ahmadiyah bisa terjadi.
Ada dua manfaat utama dalam melakukan penelitian ini. Pertama,
manfaat teoritis. Meskipun objek penelitian ini sangat terbatas yaitu hanya satu
kasus, penulis percaya bahwa hasilnya bisa memperkaya khasanah ilmu politik
khususnya bidang sosiologi politik.
Penelitian ini juga bisa dijadikan titik awal untuk melangkah lebih jauh
dalam menjelaskan kasus kekerasan anti-Ahmadiyah secara umum dengan
memperluas penelitian secara komparatif. Melalui penelitian ini, penulis mencoba
menguji teori mobilisasi, sejauh mana validitas teori ini bisa diterapkan kepada
kasus kekerasan anti-Ahmadiyah Cikeusik, Pandeglang.
8/18/2019 SISWO MULYARTONO
23/90
12
Kedua, manfaat praktis. Dengan melakukan penelitian ini, penulis berharap
bisa memberikan informasi kepada siapa saja yang ingin mengetahui proses
mobilisasi kekerasan anti-Ahmadiyah di Cikeusik Pandeglang Banten. Selain itu,
penulis percaya bahwa hasil penelitian ini memiliki kontribusi konstruktif bagi
pemerintah pusat dan daerah dalam menangani konflik seputar Ahmadiyah di
Indonesia.
D. Tinjauan Pustaka
Usaha teoritis untuk menjelaskan peritiwa Cikeusik dengan menggunakan
pendekatan mobilisasi belum pernah dilakukan. Kebanyakan dalam bentuk
pelaporan peristiwa. Laporan KONTRAS, Setara Institute, dan CRCS lebih
banyak mengulas kronologi kejadian.22
Selain mengulas kronologi kejadian, laporan-laporan itu lebih menyorot
peran negara dalam menjaga kebebasan beragama. Laporan-laporan itu
menemukan bahwa negara telah gagal melindungi hak dan kekebasan beragama
bagi JAI di Cikeusik Pandeglang Banten.
Proses mobilisasi yang terkait bagaimana para pelaku berinteraksi satu sama
lain, dan bagaimana mereka mampu memanfaatkan peluang dan sumberdaya yang
ada, tidak diulas secara mendalam di laporan-laporan itu. Faktor-faktor yang
memungkinkan mobilisasi kekerasan terjadi tidak dipaparkan secara jelas.
22 Lihat Tim KONTRAS, NEGARA TAK KUNJUNG TERUSIK , 5-24. Lihat juga Setara
Institute, POLITIK DISKRIMINASI REZIM SUSILO BAMBANG YUDHOYONO: Kondisi
Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia 2011 (Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara,Januari 2011), 105-122. Lihat juga CRCS, Laporan Kehidupan Beragama 2011, 61-67.
8/18/2019 SISWO MULYARTONO
24/90
13
Wawan H Purwanto mengulas peristiwa Cikeusik pada aspek sesudah
peristiwa dan implikasinya terhadap ketahanan nasional dan hubungan luar negeri
Indonesia. Temuan utamanya adalah bahwa peristiwa Cikeusik bisa mengganggu
stabilitas ketahanan nasional dan hubungan luar negeri Indonesia. Sebab
Indonesia dipandang sebagai negara demokratis yang berpenduduk mayoritas
muslim dan sebagai negara yang menjalin hubungan ekonomi dan perjanjian
tentang perlindungan Hak Asasi Manusi di kancah Internasional.23 Studi ini tidak
mengulas banyak soal proses mobilisasi anti-Ahmadiyah di Cikesuik Pandeglang
Banten.
Skripsi Mawahibur Rahman dalam “Kronologi Tragedi Ciekeusik Februari
2011: Sebelum dan Saat Kejadian (Menggali Kisah Sebenarnya Menurut
Penuturan Para Korban Utama Tragedi Cikeusik),” mengulas secara detail tentang
kronologi kejadian. Dengan menggunakan hasil wawancara dari para Ahmadi
yang ada di tempat kejadian, dia menyimpulkan bahwa peristiwa Cikeusik adalah
bagian konspirasi pemerintah untuk melumpuhkan JAI.24 Tulisan Mawahibur
tidak mengulas bagaimana para anti-Ahmadiyah merekrut dan mengumpulkan
massa untuk membubarkan Ahmadiyah di Cikeusik Pandeglang Banten.
Dari karya-karya tentang kekerasan anti-Ahmadiyah di atas, perhatian
terhadap mobilisasi anti-Ahmadiyah belum mendapatkan perhatian yang
memadai. Penelitian ini ingin mengisi kekosongan itu dengan memusatkan pada
aspek mobilisasi para anti Ahmadiyah di Cikeusik Pandeglang Banten.
23 Wawan H Purwanto, Tragedi Cikeusik: Pembelajaran dari Kasus Ahmadiyah (Jakarta:
CMB Press, 2011).24
Mawahibur Rahman, Kronologi Tragedi Cikeusik Februari 2011: Sebelum dan Saat
Kejadian (Menggali Kisah Sebenarnya Menurut Penuturan Para Korban Utama TragediCikeusik) (Bogor: Jamiah Ahmadiyah Indonesia, 2013).
8/18/2019 SISWO MULYARTONO
25/90
14
E. Metode Penelitian
Ada beberapa cara dalam melakukan riset ilmu sosial, diantaranya adalah
studi kasus, eksperimen, survey, telaah sejarah, dan analisis terhadap dokumen-
dokumen yang berisi informasi-informasi. Masing-masing memiliki kelebihan dan
kekurangan, bergantung pada tiga kondisi: (a) bentuk pertanyaan riset, (b) luas
kontrol yang dimiliki peneliti atas peristiwa yang akan diteliti, (c) kadar fokusnya
terhadap peristiwa kontemporer sebagai kebalikan dari cerita historis.25 Terkait
hal itu, penulis menggunakan metode studi kasus untuk menemukan penjelasan
empiris secara mendalam tentang mobilisasi kekerasan anti-Ahmadiyah di
Cikeusik, Pandeglang.
Studi kasus merupakan strategi riset yang bersandarkan pada investigasi
empiris secara mendalam terhadap satu atau sejumlah kecil fenomena untuk
mengeksplorasi konfigurasi dari tiap kasus. Selain itu, studi kasus juga digunakan
untuk menjelaskan ciri-ciri dari sebuah sekumpulan fenomena yang sangat besar
atau sama melalui pengembangan dan evaluasi penjelasan teoritis.26 Metode studi
kasus memungkinkan peneliti untuk menangkap ciri peristiwa kehidupan nyata,
misalnya lingkaran kehidupan individu, proses menegerial dan organisasi,
perubahan tetangga, hubungan internasional, dan perkembangan industri, secara
holistik dan mendalam.27
25 Robert K Yin, Case study research: design and methodhs (United Kingdom: Sage
Publications, 2003), 1.26
Charles Ragin, Fuzzy Set Social Science (Chicago: University of Chicago Press, 2000),
68-87. 27 Yin, Case study research, 2.
8/18/2019 SISWO MULYARTONO
26/90
15
Berdasarkan bentuk dan tujuan penelitian studi kasus, riset dengan
menggunakan bentuk ini bisa dibedakan menjadi empat jenis: (a) deskriptif, (b)
interpretatif, (c) pengujian hipotesis, (d) evaluasi teori.28 Penulis akan
menggunakan jenis studi kasus yang bersifat deskriptif dan interpretatif. Dengan
deskriptif, penulis mencoba menggambarkan kasus yang diteliti secara sistematis.
Melalui interpretatif, penulis menggunakan kerangka teori mobilisasi untuk
menjelaskan kekerasan anti-Ahmadiyah di Cikeusik Banten.
Untuk mencapai tujuan penelitian, deskriptif-interpretatif, penulis akan
menggunakan dua teknik pengumpulan data. Pertama, riset kepustakaan yang
meliputi penelusuran kumpulan dokumen hasil laporan kepolisian dan
persidangan kasus penyerangan Jema’at Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang,
peraturan daerah, buku-buku, dokumen/arsip resmi pihak-pihak yang terlibat
konflik Jemaat Ahmadiyah, kliping koran, jurnal, majalah, dan berbagai sumber
lainya yang relevan dengan masalah penelitian.
Kedua, wawancara secara mendalam dengan informan terpilih sesuai
pedoman wawancara. Pertanyaan terbuka dan tidak berstruktur akan digunakan
dalam penelitian ini. Dalam pemilihan informan, peneliti berupaya secara selektif
dan teliti.
29
Langkah ini digunakan sebagai upaya untuk memperoleh informasi
28 Pascal Venesson, “Case studies and process tracing: theories and practices”, dalam
Approaches and Methodologies in the Social Sciences: A Pluralist Perspective, disunting oleh
Donatella Della Porta dan Michael Keating (New York: Cambridge University Press, 2008), 227-
228.29
Ada empat kriteria utama dalam pemilihan informan: (a) Informan harus dekat dengan
budaya dan kedudukannya sangat signifikan dengan peristiwa yang diteliti, (b) Individu-individu
yang terlibat dalam peristiwa yang diteliti, (c) Orang yang memiliki waktu dengan peneliti, (d)
Individu yang memiliki informasi banyak tentang objek yang diteliti. Lihat W. Laurance Neuman,Social Research: Qualitative and Quantitative Approaches (New York: Pearson, 2008), 299.
8/18/2019 SISWO MULYARTONO
27/90
16
yang lengkap dan akurat sehingga dapat menggambarkan dan menjelaskan kasus
penelitian secara sistematis.
Informan yang dinilai representatif dan memahami masalah yang
berhubungan langsung dengan kekerasan anti-Jemaat Ahmadiyah di Cikeusik,
Pandeglang akan digunakan sebagai sampel penelitian. Penulis akan membagi
informan ke dalam empat kelompok. Pertama, warga non-Ahmadiyah di sekitar
tempat kejadian atau warga sekitar. Kelompok ini dibagi menjadi dua yaitu saksi
dan warga non-Ahmadiyah yang terlibat dalam mobilisasi anti-Ahmadiyah.
Kedua, pengurus atau korban selamat dari Jamaah Ahmadiyah di Cikeusik
Banten.
Ketiga, salah satu pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) dari Kabupaten
Pandeglang sampai Kecamatan Cikeusik Pandeglang Banten. Keempat , salah satu
pejabat pemerintahan dari tingkat kabupaten sampai kelurahan yang menangani
konflik Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang.
F. Sistematika Penulisan
Penelitian ini akan dibagi menjadi lima bab. Bab I membahas pernyataan
masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan
literatur, dan metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini. Seluruh
kerangka teori, konsep-konsep dan definisi operasional yang digunakan dalam
penelitian ini akan dibahas dalam Bab II.
Pembahasan selanjutnya, Bab III, penulis akan fokus pada dinamika konflik
Ahmadiyah di Cikeusik Pandeglang Banten. Sebelum memasuki pembahasan
8/18/2019 SISWO MULYARTONO
28/90
17
dinamika konflik, penulis akan mengenalkan profil demografi Pandeglang dan
Cikeusik. Selanjutnya, pembahasan sejarah Jema’at Ahmadiyah di Cikeusik,
Pandeglang.
Proses mobilisasi kekerasan anti-Ahmadiyah akan dibahas dan dianalisis
dalam bab IV. Bab ini merupakan inti dari persoalan yang diangkat dalam
penelitian. Dengan teori mobilisasi, penulis akan menggambarkan dan
menjelaskan proses bagaimana kekerasan anti-Ahmadiyah berlangsung dan
faktor-faktor apa saja yang memungkinkan mobilisasi anti-Ahmadiyah di
Cikeusik, Pandeglang bisa terjadi. Temuan-temuan utama dari bab IV juga akan
diulas kembali secara singkat di bagian kesimpulan dari penelitian ini yaitu bab V.
8/18/2019 SISWO MULYARTONO
29/90
18
BAB II
KERANGKA TEORI
A. Kekerasan
Para sarjana ilmu sosial mendefiniskan kekerasan secara berbeda-beda
bahkan saling bersaing. Dari definisi yang berbeda-beda itu, setidaknya bisa
dikategorikan menjadi tiga definisi. Pertama, secara sempit, kekerasan bisa
diartikan sebagai penggunaan kekuatan fisik yang dilarang oleh aturan normatif
yang sah. Kedua, secara intermediate, kekerasan merupakan penggunaan kekuatan
fisik apa pun. Ketiga, secara luas, kekerasan berarti semua perampasan
(pencabutan) hak asasi manusia.1
Dari tiga definis itu, kekerasan nampak berhubungan dengan penggunaan
kekuatan fisik. Mary Jackman memberikan penambahan cakupan dari kekerasan.
Menurut dia, kekerasan bisa diartikan sebagai tindakan yang mengakibatkan
orang terluka. Tindakan kekerasan bisa berbentuk verbal, tertulis, atau serangan
fisik dan jenis lukanya bisa berbentuk kerugian material dan sosial, tekanan
psikologis, atau kerusakan fisik.2 Penulis akan menggunakan definisi ini dalam
menjelaskan kekerasan anti-Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang.
Kekerasan anti-Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang bisa dikategorikan
sebagai bentuk kekerasan kolektif. Disebut kolektif karena melibatkan banyak
orang. Kekerasan kolektif merupakan penggunaan kekuatan oleh, setidaknya, dua
1 Charles Tilly, From Mobilization to Revolution (New York: Random House, 1978), 174.
2 Mary Jackman, “License to kill: violence and legitimacy in expropriative social relations,”
dalam John T. Jost dan Brenda Major, edt, The Psychology of Legitimacy: Emerging Perspectives
on Ideology, Justice, and Intergroup Relations (New York: Cambridge University Press, 2001),443.
8/18/2019 SISWO MULYARTONO
30/90
19
warga sipil (non-state actor ) untuk menyerang orang atau harta benda yang
tujuannya untuk menciptakan klaim sosial atau politik.3
Kekerasan anti-Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang juga dikategorikan
sebagai bentuk gerakan sosial. Michael Usseem mengartikan gerakan sosial
sebagai tindakan kolektif terorganisir yang dimaksudkan untuk mengadakan
perubahan sosial. Sedangkan Charles Tilly mendefinisikan gerakan sosial sebagai
upaya-upaya mengadakan perubahan lewat interaksi yang mengandung
perseteruan dan berkelanjutan di antara warga negara dan negara.4
Berbeda dengan dua definisi itu, McCarthy dan Zald menerjemahkan
gerakan sosial sebagai upaya terorganisir yang mencerminkan preferensi
kelompok masyarakat untuk mengadakan perubahan di dalam elemen struktur
masyarakat yang bernilai secara sosial.5 Della Porta dan Mario Diani melangkah
lebih jauh dengan mengatakan bahwa gerakan sosial adalah bentuk aktivisme
yang khas dalam masyarakat sipil. Bentuk aktivisme yang khas mereka artikan
sebagai aksi kolektif yang mencerminkan dimensi konfliktual terhadap lawan
sosial dan politik tertentu, terjadi dalam konteks jejaring lintas kelembagaan yang
3 Charles Tilly, The Politics of Collective Violence (Cambridge: Cambridge University
Press, 2003), 21.4 Fauzi, Ihsan Ali, “Sintesis Saling Menguntungkan: Hilangnya „Orang Luar‟ dan „Orang
Dalam,‟ dalam Gerakan Sosial Islam: Teori Pendekatan, dan Studi Kasus (terj), disunting oleh
Quintan Wictorowicz (Yogyakarta: Gading Publishing dan Yayasan Wakaf Paramadina, 2012),
11.5
Mayer N Zald & John D Mc Carthy, Social Movement in an Organizational Society (NewJersey: Transaction Publishers, 2003), 40.
8/18/2019 SISWO MULYARTONO
31/90
20
mana aktor-aktor yang terlibat diikat oleh rasa solidaritas dan identitas kolektif
yang kuat melebihi ikatan koalisi dan kampanye bersama.6
Ada dua pendekatan utama yang sering digunakan untuk menjelaskan
kekerasan kolektif yang terjadi di Indonesia: penjelasan berdasarkan motif dan
kesempatan. Penjelasan yang berorientasi pada motif melihat kekerasan sebagai
(a) usaha untuk mempromosikan atau mempertahankan gagasan, tradisi dan nilai
kelompoknya; (b) untuk memperoleh keuntungan material; (c) ekspresi dari
kekecewaan atau kemarahan.7
Penjelasan yang berdasarkan kesempatan mengatakan bahwa motif
merupakan faktor penting dalam kekerasan tetapi kekerasan tidak bisa terjadi jika
tidak ada kondisi struktural yang memfasilitasinya. Kondisi struktural itu bisa
berbentuk demokratisasi atau desentralisasi pemerintahan, misalnya.8
Belakangan, penjelasan kekerasan di Indonesia mulai menggunakan teori
yang dikembangkan oleh teoritisi gerakan sosial.9 Penulis akan menggunakan
pendekatan mobilisasi yang dikembangkan oleh salah satu teoritisi gerakan sosial
yaitu Bert Klandersmans.
B.
Mobilisasi
6 Donatella Della Porta and Mario Diani, Social Movements and Introduction, edisi kedua
(USA:Blackwell Publishing, 2006), 33-62.7 Contoh studi kekerasan yang berorientasi pada motif adalah Horowitz. Lihat, Donald
Horowitz, The Deadly Ethnic Rio, (Los Angelos: University of California Press, 2001).8 Contoh pendekatan kesempatan ada pada studi Bertrand. Lihat, Jacques Bertrand,
Nationalism and Ethnic Conflict in Indonesia (Cambridge: Cambridge University Press, 2004).9 Salah satu riset tentang kekerasan di Indonesia yang menggunakan teori gerakan sosial
adalah Dave McRae. Lihat, Dave McRae, A Few Poorly Organised Men Interreligious Violence in Poso, Indonesia (Belanda: Brill, 2013).
8/18/2019 SISWO MULYARTONO
32/90
21
Secara konvensional, mobilisasi diartikan sebagai proses yang
memungkinkan sebuah individu atau kelompok untuk terlibat di dalam kehidupan
publik.10 Teoritisi konflik dan gerakan sosial, Anthony Oberschall, mengartikan
mobilisasi sebagai proses pengumpulan sumberdaya seperti keanggotaan individu
dalam kelompok untuk bersatu dan berkomitmen supaya memperoleh tujuan
bersama, mempertahankan kepentingan kelompok, dan menantang keberadaan
struktur dominasi.11
Mobilisasi juga bisa diartikan sebagai proses pembentukan struktur gerakan,
baik untuk menyiapkan maupun melakukan tindakan protes yang ditujukan
kepada aktor atau publik di luar gerakan. Mobilisasi membutuhkan sumberdaya
seperti individu, uang, pengetahuan, wacana, dan sarana-sarana teknis lainnya
untuk memproses dan mendistribusikan informasi dan memengaruhi individu.12
Mobilisasi terdiri dari dua jenis: mobilisasi konsensus dan mobilisasi aksi.
Mobilisasi konsensus merupakan usaha pembangkitan dukungan sikap atau proses
yang harus dilalui sebuah organisasi gerakan sosial untuk mencoba mendapatkan
dukungan bagi pandangannya. Mobilisasi aksi merupakan usaha pembangkitkan
dukungan perilaku atau usaha untuk partisipasi individu.13
Mobilisasi konsensus menyiratkan usaha memperjuangkan pikiran orang,
sedangkan mobilisasi aksi berarti usaha memperjuangkan sumberdaya mereka
10 Charles Tilly, From Mobilization to Revolution, 42.
11 Anthony Oberschall, “Theories of Social Conflict,” Annual Review of Sociology 4
(1978): 291-315.12
Dieter Rucht, The Organizational Structure of New Social Movements in a Political
Context, dalam Doug McAdam, John D. McCarthy, dan Mayer N. Zald, Comparative Perspectives
on Social Movements (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 153.13
Bert Klandermans, “Mobilization and Participation: Social-Psychological Expansions ofResource Mobilization Theory,” American Socialogical Review 49 (1984): 583-600.
8/18/2019 SISWO MULYARTONO
33/90
22
seperti uang, waktu, keterampilan, kepakaran mereka. Hal itu berkaitan dengan
peralihan dari sebagai simpatisan menjadi partisipan aktif. Mobilisasi konsensus
yang sukses akan menumbuhkan sejumlah pendukung potensial, orang-orang
yang bersimpati kepada gerakan, yang bersedia mendukung dengan cara tertentu
dan tidak harus berarti siap untuk berpartisipasi di dalam segala bentuk aksi
kolektif. Mobilisasi aksi yang sukses mampu mengubah sebagian besar simpatisan
menjadi partisipan dalam kegiatan gerakan-gerakan tertentu.14
Ada empat langkah menuju mobilisasi. Dari sudut pandang organisatoris,
empat langkah menuju mobilisasi dukungan terhadap gerakan adalah menciptakan
potensi mobilisasi, membentuk dan mengaktifkan jaringan perekrutan,
menstimulasi motivasi berpartisipasi dan menyingkirkan penghalang partisipasi.15
Dari sudut pandang individu, ikut berpartisipasi dalam suatu gerakan sosial
melibatkan empat langkah yang saling berhubungan, yaitu orang pertama-tama
menjadi bagian dari potensi mobilisasi, kemudian menjadi target mobilisasi;
berikutnya, dia menjadi termotivasi untuk berpartisipasi, dan, pada langkah
terakhir, menyingkirkan penghalang berpartisipasi.16
Untuk menciptakan potensi mobilisasi, suatu gerakan harus mendapatkan
simpati dari beberapa segmen populasi. Istilah potensi mobilisasi merujuk pada
para anggota masyarakat, yang secara potensial dapat dimobilisasi dengan suatu
cara tertentu oleh gerakan sosial. Termasuk di dalamnya adalah semua orang yang
mempunyai sikap positif terhadap gerakan; tidak terbatas pada kelompok-
14
Bert Klandermans, The Social Psychology of Protest (USA: Blackwell Publishers, 1997),
7.15
Klandermans, The Social Psychology of Protest , 23.16 Klandermans, The Social Psychology of Protest , 23.
8/18/2019 SISWO MULYARTONO
34/90
23
kelompok yang kepentingannya dipertahankan atau diwakili oleh gerakan. Bahkan
orang-orang yang tidak mendapatkan manfaat langsung dari gerakan sosial pun
dapat bersimpati kepada organisasi tersebut sehingga bisa menjadi calon potensial
untuk dimobilisasi.17
Gambar II.B.1 Langkah-langkah menuju partisipasi
Potensi mobilisasi gerakan juga menetapkan sampai sebatas mana
kampanye mobilisasi dapat berhasil. Hanya orang-orang yang telah
mengembangkan kerangka aksi kolektif vis a vis penyebab gerakan yang
17 Klandermans, The Social Psychology of Protest , 23.
Bersimpati
terhadap
gerakan
Tidak
menjadi
target
mobilisasi
Menjadi
target
mobilisasi
Tidak
termotivasi
untuk berpartisipa
si
Termotivas
i untuk
berpartisipa
si
Tidak
berpartisipasi
Berpartisipasi
Tidak
bersimpati
terhadap
gerakan
8/18/2019 SISWO MULYARTONO
35/90
24
membentuk potensi mobilisasi. Seseorang yang belum mengembangkan kerangka
semacam itu tidak akan merasa perlu untuk berpartisipasi dalam gerakan,
meskipun kesediannya sangat diharapkan.18 Kerangka aksi kolektif merupakan
seperangkat keyakinan kolektif yang memungkinkan suatu pemikiran tercipta
bahwa partisipasi di dalam aksi kolektif tampak berarti.19
Seberapa pun besar potensi mobilisasi sebuah gerakan, bila gerakan tersebut
kurang memiliki jaringan perekrutan untuk aksi, maka gerakan tidak akan mampu
mengaktifkan potensinya.20 Jaringan-jaringan, biasanya terdiri dari orang-orang
yang homogen dan berpikiran sama, merupakan sumber utama para calon
perekrutan.21 Partisipasi seringkali bukan karena kekuatan gagasan atau bahkan
sikap individu, melainkan akibat keberakaran mereka dalam jaringan-jaringan.22
Individu-individu yang menduduki posisi di dalam jaringan perekrutan
adalah objek sekaligus subjek mobilisasi. Disebut objek karena mereka sendiri
perlu dimobilisasi agar mau ikut bekerja di dalam kampanye mobilisai. Disebut
subjek karena setelah termobilisasi mereka akan menjadi aktif memobilisasi orang
lain.23
18 Klandermans, The Social Psychology of Protest , 24.
19 Klandermans, The Social Psychology of Protest , 17
20 Klandermans, The Social Psychology of Protest , 24.
21 Snow, Zurcher, dan Ekland-Olson, “Social Networks and Social Movements: A
Microstructural Approach to Differential Recruitment.” American Sociological Review 45 (1980):
791.22
McAdam, “Culture and Social Movements,” Dalam Enriquez Larafta, Hank Johnston,
dan Joseph Gusfield (ed.), New Social Movements: From Ideology to Identity (Philadelphia:
Temple University Press, 1994), 36-3723 Klandermans, The Social Psychology of Protest , 24.
8/18/2019 SISWO MULYARTONO
36/90
25
Untuk menstimulasi motivasi berpartisipasi, suatu gerakan harus
memengaruhi terhadap kerugian dan keuntungan partisipasi yang dirasakan.
Motivasi menunjukan kesediaan untuk berpartisipasi, tetapi kesedian saja tidak
mencukupi untuk berpartisipasi. Kesedian itu hanya akan berubah menjadi
partisipasi sejauh niat itu dapat dilaksanakan. Organisasi gerakan sosial di tahap
akhir harus menerapkan salah satu atau kedua strategi berikut, yaitu (a)
mempertahankan atau menguatkan motivasi dan (b) menyingkirkan penghalang.24
Kesediaan untuk berpartisipasi di dalam aksi kolektif merupakan fungsi dari
dua macam insentif, yaitu insentif kolektif dan selektif. Insentif kolektif
dihubungkan dengan pencapaian tujuan kolektif. Semua insentif kolektif bersifat
inklusif, yakni, begitu tujuan yang dimaksud terealisasi, maka setiap orang
mendapatkan keuntungan, termasuk orang-orang yang tidak pernah memberikan
kontribusi terhadap terealisasinya tujuan itu. Sebaliknya, insentif selektif hanya
memengaruhi orang-orang yang berpartisipasi dalam suatu aksi kolektif.25
Insentif selektif terbagi menjadi dua kategori, sosial atau non-sosial. Insentif
sosial melibatkan reaksi orang lain yang signifikan, misalnya pasangan hidup
teman, atau kolega, terhadap partisipasi individu yang bersangkutan; sedangkan
insentif non-sosial menyangkut hal-hal, seperti jumlah uang dan waktu yang
dihabiskan oleh yang bersangkutan, bagaimana partisipasinya akan memengaruhi
pekerjaannya, dan resiko fisik yang mungkin diterimanya (misalnya dipukuli).26
24 Klandermans, The Social Psychology of Protest , 25.
25 Klandermans, The Social Psychology of Protest , 26-27.
26 Klandermans, The Social Psychology of Protest , 26-27.
8/18/2019 SISWO MULYARTONO
37/90
26
Gambar II.B.2 Motivasi untuk berpartisipasi
Menilai tujuan
aksi
Harapan bahwa
tujuan aksi akan
tercapai*
Keuntungan Kolektif
Insentif-insentifselektif: sosial dan
non sosial
Partisipasi
* Harapan bahwa tujuan aksi akan tercapai:
- harapan tentang perilaku orang lain
- harapan bahwa tujuan aksi akan tercapai bila banyak orang ikut
berpartisipasi
- harapan bahwa partisipasinya akan meningkatkan kemungkinan
sukses
8/18/2019 SISWO MULYARTONO
38/90
27
BAB III
DINAMIKA KONFLIK ANTI AHMADIYAH
Pandeglang, kabupaten yang dikenal dengan “Seribu Kiyai dan Sejuta
Santri,” mendadak ramai dibicarakan, baik oleh media lokal, nasional, maupun
internasional. Sebab, di salah satu desa Kecamatan Cikeusik Pandeglang Banten
yang letaknya sangat jauh dari keramaian kota, terjadi kekerasan sektarian yang
melibatkan puluhan warga Ahmadiyah dan ribuan non-Ahmadiyah.
Bagi sebagaian orang, persekusi anti-Ahmadiyah mungkin hal yang biasa
terjadi karena, seperti digambarkan dalam bab satu, terjadi di hampir semua
provinsi Indonesia. Tetapi konflik anti Ahmadiyah di Cikeusik adalah konflik
yang sangat berbeda dengan tempat lain. Berbeda dalam artian melibatkan banyak
orang dan mengakibatkan nyawa orang melayang.
Dalam sejarah konflik sektarian di Indonesia, peristiwa Cikeusik adalah
yang pertama kali konflik sektarian menimbulkan kematian. Bagaimana dan
mengapa konflik anti-Ahmadiyah bereskalasi menjadi kekerasan hingga
menimbulkan kematian? Untuk menjawab pertanyaan ini, penulis akan mengulas
dinamika konflik sebelum kekerasan terjadi. Tujuannya untuk menggambarkan
konflik anti-Ahmadiyah bereskalasi menjadi kekerasan. Sebagian dari bab ini dan
selanjutnya bab empat akan mencoba menjawab pertanyaan tersebut dan terkait
mobilisasi anti-Ahmadiyah. Sebelum memasuki pembahasan itu, penulis akan
8/18/2019 SISWO MULYARTONO
39/90
28
memaparkan demografi Kabupaten pandeglang dan kemunculan Ahmadiyah di
Cikeusik, Pandeglang.
A. Demografi Kabupaten Pandeglang
Kabupaten Pandeglang terletak di sebelah barat daya Provinsi Banten.
Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Serang di sebelah Utara, Kabupaten
Lebak di sebelah Timur, Samudera Hindia di sebelah Selatan, dan Selat Sunda di
sebelah Barat. Luas wilayah Kabupaten Pandeglang adalah 274.689,91 Ha atau
2.747 Km2 dan terbagi ke dalam 35 kecamatan, 322 desa dan 13 kelurahan.1
Pada tahun 2010 jumlah penduduk Kabupaten Pandeglang berdasarkan
sensus penduduk pada Mei 2010 adalah 1.149.610 orang.Dilihat dari segi agama,
jumlah penduduk yang memeluk agama Islam sebanyak 1.154.375, Protestan
2.344, Katolik 258, Budha 2.353, dan Hindu 1.552 warga. Dari data tersebut, jelas
bahwa kaum Muslim mendominasi Pandeglang. Hal ini juga tampak dari jumlah
rumah ibadah yang ada di sana, yang terdiri dari: masjid, 1.730; musala/langgar,
2.246; tiga gereja Protestan; dan satu vihara.2
Berdasarkan data BPS Kabupaten Pandeglang, jumlah penduduk 15 tahun
ke atas yang bekerja berjumlah 384.657 jiwa. Lapangan pekerjaan utama
penduduk adalah pertanian, perkebunan, kehutanan, perburuan dan perikanan;
1 Kabupaten Pandeglang, Gambaran Umum, tersedia di
http://www.pandeglangkab.go.id/profil.php?prof=NA==: Internet; diakses pada 5 April 2013.2 Tim Kementrian Agama Provinsi Banten. Rencana Strategis Kementrian Agama Kantor
Wilayah Provinsi Banten Tahun 2010-2014. Banten: Kementrian Agama Provinsi Banten, tersediadi http://banten.kemenag.go.id/: Internet; diunduh pada 5 April 2013.
8/18/2019 SISWO MULYARTONO
40/90
29
industri; perdagangan, rumah makan dan jasa akomodasi; dan jasa
kemasyarakatan, sosial dan perorangan.3
Tidak ada data pasti mengenai berapa jumlah penganut Ahmadiyah di
Kabupaten Pandeglang. Tetapi ada dua kecamatan di Kabupaten Pandeglang yang
sering dikaitkan dengan JAI, yaitu Kecamatan Cisata dan Cikeusik. Sampai saat
ini kurang lebih ada empat kepala keluarga yang menganut Ahmadiyah di Cisata.
Sedangkan di Cikeusik, Jamaah Ahmadiyah ada dua puluh lima anggota dan
semuanya sudah pindah akibat insiden kekerasan pada 6 Februari 2011.4
Kecamatan Cikeusik berbatasan dengan Kabupaten Lebak di bagian Timur,
Kecamatan Angsana dan Munjul di bagian Utara, dan Kecamatan Cibaliung dan
Cibatu di bagian Barat. Di bagian Selatan, Kecamatan Cikeusik berbatasan
dengan laut Jawa. Kecamatan Cikeusik terdiri dari empat belas desa. Salah
satunya adalah Desa Umbulan, lokasi kekerasan anti-Ahmadiyah.5
Hampir mayoritas penduduk di Kecamatan Cikeusik berprofesi sebagai
petani. Sekitar tahun 1950an banyak penduduk dari Cirebon Jawa Barat
menempati wilayah Kecamatan Cikeusik. Perpindahan ini mengakibatkan
penduduk Cikeusik, saat ini merupakan percampuran antara penduduk lokal
(sunda Banten) dan Cirebon. Dari segi keagamaan, mayoritas penduduk memeluk
agama Islam. Hampir di setiap desa yang ada di Kecamatan Cikeusik memiliki
3 Kabupaten Pandeglang. Gambaran Umum.
4 Wawancara dengan Yusuf Baihaki, Bendahara MUI Kabupaten Pandeglang dan anggota
FKUB Pandeglang di Pandeglang, 11 Februari 2013.5
Wawancara dengan Yayan Sofyan, Sekretaris Kecamatan Cikeusik, Pandeglang diCikeusik, 14 Februari 2013.
8/18/2019 SISWO MULYARTONO
41/90
30
pondok pesantren. Masing-masing desa kurang lebih memiliki sepuluh pondok
pesantren.6
Pondok pesentren yang ada di Cikeusik secara khusus dan Pandeglang
secara umum, memiliki jumlah santri, paling sedikit sekitar dua puluhan.
Hubungan satu pondok pesantren dengan pondok pesantren lainnya relatif
harmonis dan saling bekerja sama. Mereka saling mengundang untuk mengisi
acara keagamaan seperti Maulid Nabi Muhammad SAW. Hubungan tersebut
terbentuk karena adanya ikatan kekeluargaan antara satu kiai dengan kiai lain
yang sama-sama memiliki pondok pesantren tetapi beda wilayah. Selain itu,
karena adanya hubungan guru-murid, misalnya pengasuh pondok pesantren A
pernah mengaji di pondok pesantren B.7
Kedudukan kiai di Pandeglang secara umum dan Cikeusik secara khusus,
sangat dihormati masyarakat. Kiai dianggap memiliki kekuatan supranatural yang
bisa memberikan ilmu kekebalan dan kelancaran dalam urusan perdagangan. Oleh
karena itu, kegiatan pengajian-pengajian mingguan di Pandeglang selalu ramai.
Tujuan mengikuti pengajian tidak hanya untuk belajar agama, tetapi sekaligus
mencari barokah dari kiai.8
Kelas sosial lain yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat
Pandeglang adalah jawara. Jawara ditakuti oleh masyarakat umum karena
dianggap memiliki ilmu kebal. Meski demikian, kedudukan jawara berada di
6 Wawancara dengan Yayan Sofyan.
7 Wawancara dengan R, warga Desa Umbulan Kecamatan Cikeusik di Umbulan, 28
Februari 2013.8 Wawancara dengan R.
8/18/2019 SISWO MULYARTONO
42/90
31
bawah para kiai atau pemuka agama. Sebab, para jawara menimba ilmu agama
dan kekebalan ke kiai-kiai setempat. Para kiai dan jawara juga memiliki pengaruh
besar terhadap pemerintahan setempat. Pengaruh ini disebabkan karena para kiayi
dan jawara sering memobilisasi masyarakat untuk mendukung calon tertentu
dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) maupun kepala desa (Pilkades).9
B. Sejarah Ahmadiyah Cikeusik Pandeglang Banten
Keberadaan Ahmadiyah di Cikeusik tidak bisa dilepaskan dari JAI Cabang
Kabupaten Rangkasbitung Banten yang berdiri pada Juli 1958. Dari cabang ini
berdiri juga cabang-cabang lain seperti di Cilegon dan Serang. Basiumawajiaya
menjadi tokoh penting dalam pendirian cabang-cabang itu dan persebaran
Ahmadiyah di Banten.10
Sekitar tahun 1989, roda perjalanan dakwah Ahmadiyah di Banten dipegang
oleh Khairudin Barus. Dari Khaerudin Barus, dakwah di wilayah Banten semakin
sistematis. Melalui Komite Tabligh Banten (KTB), lembaga dakwah yang
diinisiasi oleh Khaerudin Barus, setiap cabang Ahmadiyah yang ada di Banten
memiliki wilayah pentablighan yang harus dikelola. Salah satu daerah yang
disasar KTB adalah Cikeusik yang merupakan binaan dari Jema’at Kebayoran.
Pada tahun 1990-an Khaerudin Barus beserta anggota Jemaat Kebayoran
melakukan kegiatan dakwah di Cikeusik.11
9 Wawancara dengan R.
10 Mawahibur Rahman, Kronologi Tragedi Cikeusik Februari 2011: Sebelum dan Saat
Kejadian (Menggali Kisah Sebenarnya Menurut Penuturan Para Korban Utama Tragedi
Cikeusik) (Bogor: Jamiah Ahmadiyah Indonesia, 2013) , 8-9.11 Mawahibur Rahman, Kronologi Tragedi Cikeusik, 10-17.
8/18/2019 SISWO MULYARTONO
43/90
32
Salah satu warga Desa Umbulan Kecamatan Cikeusik menuturkan
pengalaman dia ketika diajak Khaerudin Barus untuk masuk ke Jamaah
Ahmadiyah:
“Sekitar tahun 1991, Khaerudin Barus mengajak saya dan warga lainnya
untuk berkunjung ke Parung, Pusat Jamaah Ahmadiyah, dengan
menggunakan bus. Salah satu rombongan itu adalah Matori, orang tua
Suparman yang merupakan ketua Ahmadiyah Cikeusik. Sebagian warga
yang ikut mungkin sudah tahu dan sebagian yang lain, termasuk saya, tidak
tahu tujuan ke Parung untuk apa. Ketika sudah di Parung kami semua
dikenalkan tentang ajaran Ahmadiyah. Sebagian warga yang ikut mungkinsudah tahu tentang Ahmadiyah dan sebagian yang lain belum tahu, termasuk
saya. Saya sendiri mengenal Khaerudin Barus sebagai tukang tanah yang
kaya, bukan sebagai pendakwah dari Ahmadiyah. Setelah dikenalkan
tentang Ahmadiyah kita diajak masuk ke Ahmadiyah dengan cara baiat.
Sebagian warga mau dibaiat dan masuk Ahmadiyah, sebagian yang lain
belum siap, termasuk saya dan Matori.”12
Pada 1992, Suparman masuk menjadi jemaah. Awalnya, dia menentang.
Dia, yang nyantri di Madrasah Aliyah Mathlaul Anwar, sempat berdebat dengan
Khaerudin. Namun, belakangan, Suparman tertarik dengan Ahmadiyah dan
dibaiat sebagai anggota.Setelah masuk, dia memutuskan untuk belajar di Kampus
Mubarak, Bogor. Belakangan, dia dan Khaerudin menyebarkan Ahmadiyah di
Cikeusik.13
C. Dinamika Konflik
Kehadiran Ahmadiyah bukan tanpa penolakan dari para pemuka agama
setempat. Sekitar 1992, beberapa ulama dan aparat desa menuduh Suparman
menggangu keamanan dan melaporkannya ke Koramil (Komando Rayon Militer)
12
Wawancara dengan R.13 Mawahibur Rahman, Kronologi Tragedi Cikeusik, 18-19.
8/18/2019 SISWO MULYARTONO
44/90
33
Cikeusik. Akibatnya, Suparman diminta menghentikan aktivitas dakwah. Tapi
Suparman mengabaikan permintaan tersebut. Bahkan dia sempat beberapa kali
berdebat soal agama dengan Koramil Cikeusik.
Menurut satu versi, pada suatu malam, lima tentara Koramil mendatangi
rumah Suparman. Mereka memintanya menghentikan dakwah. Karena
tetapmenolak, akhirnya pihak Koramilmemukuli Suparman di depan pos ronda
dekat jembatan Cibaliung. 14 Karena peristiwa ini, Khaerudin memutuskan untuk
menghentikan sementara kegiatan dakwah. Dia mengajak Suparman pindah ke
Jakarta dan menitipkannya ke Kampus Mubarok, Bogor. Pada 1994, dia
membawa Suparman berdakwah di Filipina.15 Sejak itu, sebagian warga Cikeusik
yang sudah masuk Ahmadiyah keluar dan sebagian yang lain tetap menjadi
anggota Ahmadiyah, tanpa mengajak orang lain.16
Pada 2005, Suparman kembali ke Indonesia, tapi tidak ke Cikeusik. Dari
2005 hingga 2009, dia aktif di Cabang Ahmadiyah Balikpapan, Jakarta Pusat.
Meski aktif di Jakarta, dia sering datang ke Cikeusik mengunjungi orangtuanya.
Baru belakangan, Agustus 2009, dia resmi diangkat sebagai mubalig untuk
wilayah Cikeusik dan sekitarnya.17 Menurut AS, Suparman mulai menempati
rumah di Penduey, Umbulan, Cikeusik, pada April 2010. Rumah itu digunakan
sebagai pusat kegiatan Ahmadiyah atau sering disebut“rumah missi”.18
14 Mawahibur Rahman, Kronologi Tragedi Cikeusik, 20-21.
15 Mawahibur Rahman, Kronologi Tragedi Cikeusik, 22.
16 Wawancara dengan R.
17
Mawahibur Rahman, Kronologi Tragedi Cikeusik, 22.18 Wawancara dengan AS, anggota Ahmadiyah Cikeusik di Parung, Bogor, 11 Mei 2013.
8/18/2019 SISWO MULYARTONO
45/90
34
Ketika Suparman mengaktifkan kembaliJAI di Cikeusik, penolakan pun
muncul. Penolakan mengencang ketika dia menempati rumah missi:
Aktivitas Suparman di rumah itu membuat ulama setempat marah.
Untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, saya beberapa kali
mendatangi rumah Suparman dan memintanya untuk melakukan
ibadah bersama dengan warga lainnya. Saya sering mengingatkan
Suparman agar jangan melakukan salat Jumat di tempat itu. Kalau di
luar salat Jumat, silahkan saja. Ketika saya berkata seperti itu, yang
ada hanya berdebat. Suparman jago berdebat soal agama.19
Para ulama semakin marah ketika beredar isu bahwa Suparman akan
membangun tempat kegiatan Ahmadiyahterbesar di Indonesia. Suparman juga
diduga mengajak warga untuk masuk ke Ahmadiyah dengan imbalan materi. Ini
menguatirkan para ulama, karena sebagian warga Cikeusik tergolong miskin.20
Terkait ini, salah satu anggota Ahmadiyah Cikeusik menolaknya sebagai tidak
benar. Dia juga membantah isu bahwa AhmadiyahCikeusik tertutup.Menurutnya,
mereka bergaul dengan warga setempat,ikut terlibat dalam kegiatan masyarakat
seperti kerja bakti.21
Usaha menyelesaikan konflik Ahmadiyah Cikeusik dilakukan oleh kepala
desa setempat. Tetapi, alih-alih memfasilitasi secara netral antara pihak
Ahmadiyah dan anti-Ahmadiyah, kepala desa justru memperkeruh konflik.
Sebab,dia meminta Suparman untuk membubarkan Ahmadiyah dan ikut
memprovokasi warga untuk tujuan yang sama.
19 Wawancara dengan A, Sekretaris DesaUmbulan di Umbulan, 14 Februari 2013.
20
Wawancara dengan R.21 Wawancara dengan AS.
8/18/2019 SISWO MULYARTONO
46/90
35
Pada Agustus 2010, Suparman dipanggil secara pribadi oleh Kades
Umbulan. Suparman datang ditemani Atep Suratep. Pertemuan berlangsung
selama satu jam, tetapi tidak menghasilkan apa-apa. Dalam pertemuan tersebut,
Suparman menjelaskan, dia mubalig Ahmadiyah dan Atep Suratep sekretarisnya.
Kades sempat meminta Suparman untuk keluar dari Ahmadiyah. Tetapi saran itu
ditolak.22
Merasa secara personal gagal menekan Suparman, Kades akhirnya
melibatkan unsur pemerintahan setempat untuk membubarkan Ahmadiyah. Upaya
ini dimulai pada September 2010, ketika Kades memanggil Suparman secara
resmi ke kantor desa. Pertemuan dihadiri Suparman, Kades dan beberapa pejabat
Desa Cikeusik. Kades kembali menyarankan agar Suparman keluar dari
Ahmadiyah. Namun Suparman tetap menolak.
Pada bulan yang sama, pihak kelurahan melaporkan persoalan ini
kekecamatan Cikeusik. Pihak kecamatan menindaklanjutinya dengan memanggil
Suparman dan Atep ke kantor kecamatan.23 Beberapa kali Suparman bertemu
dengan pihak kecamatan. Inti pertemuan itu adalah meminta Suparman keluar dari
Ahmadiyah. Suparman pun kembali menolak permintaan itu.
Menurut Sekdes, alasan Suparman menolak permintaan itu adalah karena
JAI diakui secara sah oleh pemerintah atau memiliki badan hukum. Bahkan
Suparman pernah menunjukan bukti itu di forum pertemuan. Suparman juga
22 Berita Acara Pemeriksaan (BAP), Saksi Johar atas Perkara Pidana Pengroyokan dan
atau Penghasutan (Serang: Polda Banten, 22 Februari 2011), 6.23 Berita Acara Pemeriksaan (BAP), Saksi Johar , 6.
8/18/2019 SISWO MULYARTONO
47/90
36
percaya bahwa Ahmadiyah tidak “sesat” dan “menyesatkan” seperti tuduhan MUI
dan ulama setempat. Suparman sering berdebat dengan MUI dan ulama setempat
untuk membuktikan bahwa Ahmadiyah adalah bagian Islam dan tidak sesat.24
Sekitar Oktober 2010, pihak kecamatan memutuskan untuk menghubungi
Bakorpakem (Badan Kordinasi Pengawas Aliran dan Kepercayaan Masyarakat)
Pandeglang. Selanjutnya, pihak Bakorpakem melakukan pertemuan di kantor
kecamatan Cikeusik dengan Suparman. Pertemuan juga dihadiri Kades, sekretaris
kecamatan, MUI Pandeglang dan Cikeusik, dan para ulama di wilayah Cikeusik.
Seperti pertemuan sebelumnya, Suparman diminta keluar dari Ahmadiyah, dan
Suparman tetap menolak.25
Upaya menekan JAI Cikeusik juga dilakukan unsur-unsur lain. Di Sekolah
Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (STISIP) Banten Raya, Pandeglang, sejumlah
mahasiswa yang berasal dari Cikeusik melakukan aksi menuntut agar Atep
Suratep, yang kebetulan anggota civitas akademika, dikeluarkan dari kampus. Jika
tuntutan ini tidak dipenuhi, mereka sendiri yang akan keluar.26
Sekitar November 2010, Kiai Muhamad beserta 15 rekannya melakukan
demonstrasi anti-Ahmadiyah atas nama Gerakan Muslim Cikeusik (GMC) di
Mapolsek Cikeusik. Usaha ini berawal dari usulan Majelis Ta’lim Kampung
24 Wawancara dengan A.
25
Berita Acara Pemeriksaan (BAP), Saksi Johar , 6.26 Wawancara dengan ABD, warga Cikeusik di Cikeusik, 14 Februari 2013.
8/18/2019 SISWO MULYARTONO
48/90
37
Cikareo, Desa Cikawaris.27 Bahkan pada bulan itu, ada selebaran dari GMC yang
berisi tuduhan “kesesatan” Ahmadiyah.
Pertemuan antara Suparman dan pihak anti-Ahmadiyah kembali diadakan
pada 18 November 2011. Karena situasi Cikeusik tidak kondusif, pertemuan
dilakukan di Kejaksaan Negeri (Kejari) Pandeglang. Suparman, Atep dan
beberapa anggota Ahmadiyah lainnya (Deden Sudjana, Hasan Basri, Dade
Sulaiman dan sebagainya) datang ke kantor kejari, namun hanya Suparman dan
Atep yang diperbolehkan masuk ke ruangan pertemuan. Dalam pertemuan
tersebut, Suparman diminta menandatangani surat pernyataan berisi: (a)
menghentikan segala aktifitas Jamaah Ahmadiyah Cikeusik; (b) berbaur dengan
masyarakat; (c) membubarkan diri. Suparman pun menolak tuntutan itu dan
membuat pernyataan sendiri yang berisi: (a) siap menaati SKB (Surat Keputusan
Bersama) Tiga Menteri tahun 2008; dan (b) siap berbaur dengan masyarakat
dalam bidang sosial. Pernyataan yang dibuat Suparman akhirnya disepakati dalam
pertemuan itu.28
Meskipun sudah dibuat keputusan, pihak-pihak yang menginginkan
Suparman keluar dari Ahmadiyah, seperti Kades Umbulan dan MUI Cikeusik,
tidak puas dengan hasiltersebut. Bagi mereka isi kesepakatan tetap saja
membolehkan keberadaan Ahmadiyah di Cikeusik. Mereka ingin Ahmadiyah
27 Berita Acara Pemeriksaan (BAP) I, Saksi Hasanudin atas Perkara Pidana Pengroyokan
dan atau Penghasutan (Serang: Polda Banten, 07 Februari 2011), 1-5. Lihat juga Berita Acara
Pemeriksaan (BAP), Saksi Usep Sugandi atas Perkara Pidana Pengroyokan dan atau
Penghasutan (Serang: Polda Banten, 11 Februari 2011), 1-4.28
Berita Acara Pemeriksaan (BAP), Saksi Suparman atas Perkara Pidana Penghasutan (Serang: Polda Banten, 24 Februari 2011), 5.
8/18/2019 SISWO MULYARTONO
49/90
38
dibubarkan dan Suparman dan pengikutnya bertobat. Jika Suparman tetap tidak
mau bertobat, dia harus pergi dari Cikeusik.29
Akhirnya, mereka merencanakan
pembubaran Ahmadiyah tanpa melibatkan, secara resmi, unsur pemerintahan.
Pada 30 januari 2011, Kanit Polsek Cikeusik sudah mengetahui bahwa ada
rencana pembubaran Ahmadiyah Cikeusik. Dari informasi itu, dia membuat
laporan ke Polsek Cikeusik dan Polres Pandeglang.30 Pada 1 Januari 2011, Kanit
Reskrim Polsek Cikeusik, Hasanudin, juga memperoleh kabar bahwa pada 6
Februari 2011 akan diadakan pembubaran Ahmadiyah di Cikeusik. 31 Kapolsek
Cikeusik juga mengetahui itu melalui informasi anggota pulbaket Polsek
Cikeusik. Pada 2 Januari 2011, Kapolsek mengumpulkan para kanit untuk
melakukan pendalaman dan memerintahkan Babinkantibmas menghimbau
masyarakat supaya tidak bertindak anarkis.32
Akhirnya pihak Ahmadiyah Cikeusik juga mengetahui rencana pembubaran
Ahmadiyah. Pada 2 Februari 2011, Atep Suratep mengetahui rencana pembubaran
itu dan melaporkan kepada polisi, TNI (Tentara Nasional Indonesia), dan Kesbang
setempat. Pada 4 Februari 2011, Atep juga memberitahu hal ini kepada Hasan
Basri (Mubalig Ahmadiyah wilayah Banten) dan Dade Sulaiman (Ketua
29 Wawancara dengan AM, Ketua MUI Kecamatan Cikeusik di Umbulan, 27 Februari
2013.30
Wawancara dengan US, Kanit Intel Polsek Cikeusik di Cikeusik, 16 Februari 2013.31
Berita Acara Pemeriksaan (BAP), Saksi Hasanudin (Serang: Polda Banten, 07 Februari
2011), 3.32
Berita Acara Pemeriksaan (BAP), Saksi Mad Supur atas Perkara Pidana Penghasutan (Serang: Polda Banten, 14 Februari 2011), 2-5.
8/18/2019 SISWO MULYARTONO
50/90
39
Administrasi Jamaah Ahmadiyah Rangkas Bitung dan Cikeusik).33 Pada hari yang
sama, Atep Suratep juga memberitahu kepada Suparman.34
Pada 5 Februari 2011, Jam 03.00, Kapolsek dan Danramil Cikeusik
mendatangi rumah Suparman untuk memberikan surat panggilan ke Mapolsek
Cikeusik terkait status keimigrasian istri Suparman, Haina Toang Aquino. Karena
alasan itu, Suparman beserta istri dan satu anaknya, juga Atep Suratep berada di
Mapolsek Cikeusik hingga jam 10.00 dan akhirnya mereka dipindahkan ke
Mapolres Pandeglang. Pada waktu yang sama, Suparman sempat memberitahu
kepada Mulyadi dan Tarno soal isu pembubaran dan menyuruh mereka untuk
mengungsikan barang-barang berharga.35
Malam harinya, jam 20.00, seorang Ahmadi mengabarkan kepada Deden
Sudjana bahwa Suparman sedang berada di Mapolres Pandeglang . Dia juga
mendapatkan kabar bahwa rumah missi dalam keadaan kosong. Atas informasi
itu, dia memutuskan untuk pergi ke Cikeusik dan menengok Suparman. Pada jam
22.00, dia menghubungi dua Ahmadi, Danang dan Maulana, untuk menemani ke
Cikeusik. Tidak lama kemudian, Ahmadi dari Jakarta, Roni Pasaroni, Bebi, Arif
Rahman Hakim, Warsono, dan Irwan ikut bersama Deden Sudjana. Ahmadi
lainnya yang berasal dari Bogor (Candra, Masihudin, Ferdias) dan Serang 36 (Arif
Rahman Ahmadi, Alfi, Yus Asaf, Afif, Yudi) juga ikut. Dengan demikian
33 Berita Acara Pemeriksaan (BAP), Saksi Atep Suratep. (Serang: Polda Banten, 24
Februari 2011). 6.34
Berita Acara Pemeriksaan (BAP), Saksi Suparman, 4.35
Berita Acara Pemeriksaan (BAP), Saksi Suparman, 4.36 Mawahibur Rahman, Kronologi Tragedi Cikeusik , 31-32.
8/18/2019 SISWO MULYARTONO
51/90
40
rombongan Ahmadi yang menuju ke Cikeusik berjumlah tujuh belas orang.
Mereka semua datang ke Cikeusik dengan menggunakan dua mobil.
Pada 6 Februari 2011, jam 03.00, Kapolres Pandeglang memimpin apel di
Mapolres Pandeglang terkait pengamanan pembubaran. Sekitar jam 04.00, tiga
puluh tiga anggota Satuan Sabhara Polres Pandeglang (terdiri dari: dua puluh
enam anggota Dalmas, Kasat Sabhara, Kanit Turjawali, PS. Kanit I Dalmas, PS.
Kasubnit I Dalmas, dua pengendara mobil Dalmas, dan satu pengendara mobil
kasat) diterjunkan ke rumah Suparman.37Sekitar jam 07.00, salah satu anggota
Reskrim, Suprapto, jalan menuju rumah Suparman.38 Pada saat yang sama,
Kapolsek Cikeusik melakukan pengarahan kepada delapan belas anggotanya yang
akan diterjunkan ke rumah Suparman.39 Intinya, Kapolsek menghimbau
seandainya masih ada Jamaah Ahmadiyah Cikeusik di rumah Suparman agar
dievakuasi.
Minggu, 6 Februari 2011, sekitar Jam 07.00, rombongan Deden Sudjana
tiba di rumah Suparman. Tiga Ahmadi yang sebelumnya sudah ada di rumah
Suparman menyambut mereka. Akhirnya, mereka semua berkumpul di ruang
tamu. Deden Sudjana sempat memperkenalkan diri kepada tuan rumah dengan
mengatakan bahwa kedatangan rombongan atas perintah Amir Nasional, tetapi
jangan sampai terdengar oleh mereka. Dia juga mengatakan bahwa rumah
37 Kepala Kepolisian Resort Pandeglang, Lampiran Sprin Kapolres Pandeglang No:
Sprin/286/II/2011 (Pandeglang: 4 Februari 2011).38
Berita Acara Pemeriksaan (BAP), Saksi Suprapto (Serang: Polda Banten, 14 Februari
2011), 3.39
Berita Acara Pemeriksaan (BAP), Saksi Mad Supur (Serang: Polda Banten, 14 Februari2011), 5.
8/18/2019 SISWO MULYARTONO
52/90
41
Suparman adalah aset Jamaah Ahmadiyah yang harus dipertahankan dengan
caranya terserah masing-masing. Selain itu, Deden Sudjana mengatakan dirinya
akan berada di posisi paling depan. Sedangkan yang lain memposisikan diri sesuai
ketrampilannya masing-masing. Deden Sudjana juga sempat menghimbau kepada
Ahmadi yang ada di tempat itu agar tidak keluar jika tidak terjadi apa-apa.40
Kedatangan rombongan di atas diketahui beberapa warga setempat. Tentang
hal ini, salah seorang warga bercerita:
“Hari minggu pagi, sekitar pukul 07.00, saya lihat ada dua mobil di
rumah Suparman. Saya merasa aneh dan takut karena pada hari itu
ada pembubaran Ahmadiyah dan Suparman sudah diamankan di
kantor polisi, tetapi ada tamu di rumah Suparman. Takut terjadi hal-
hal yang tidak diinginkan, misalnya perkelahian, saya mengungsikan
anggota keluarga saya. Saya sempat bertemu Suprapto, Babinmas
Desa Umbulan, Kecamatan Cikeusik. Sayamengatakan kepada
beliau bahwa ada tamu di rumah Suparman dengan menggunakan
dua kendaraan mobil.”41
Atas dasar pemberitahuan itu, Suprapto mencari Kades Umbulan, Johar.
Mereka lalu mendatangi rumah Suparman dan meminta rombongan Ahmadiyah
meninggalkan rumah karena ada rencana pembubaran. Tapi saran ini tidak
dituruti.42 Tidak lama kemudian, sekitar pukul 09.30, Kanit Reskrim mendatangi
rombongan di rumah Suparman. Berikut ini transkripsi dialog pertemuan Kanit
Reskrim (KR) yaitu Hasan, Deden Sudjana (DS) dan Ahmadi lainnya (AL), yang
40 Berita Acara Pemeriksaan (BAP), Saksi Arif Rahman Ahmadi atas Perkara Pidana
Penghasutan (Serang: Polda Banten, 8 Maret 2011), 6.41
Wawancara dengan R.42
Berita Acara Pemeriksaan (BAP), Saksi Suprapto atas Perkara Pidana Penghasutan (Serang: Polda Banten, 14 Februari 2011), 3.
8/18/2019 SISWO MULYARTONO
53/90
42
berhasil diperoleh dari skripsi Mawahibur Rahman43 dan sebagiannya
didokumentasikan dalam video yang beredar luas:
KR : Intinya sih gini....Kita hanya mengantisipasi karena gosipnya
ada beberapa rombongan yang mau mampir kesini. Saran dari saya
sih...ya saya sih berharap tidak terjadi, jangankan korban jiwa,
materipun jangan sampai.
DS: Saya kebetulan ketua kamnas (Keamanan Nasional)
Ahmadiyah, ingin meninjau lokasi di sini, yang saya dengar rumah
ini ingin diobrak-abrik oleh orang-orang yang ingin merusak tatanan
negara. Organisasi berkedok agama yang gak jelas maksudnya apa.Kalau Ahmadiyah bapak tahu-lah, kapan sih kita pernah bikin
ribut.... Kalau mereka bapak bisa lihat, teriak Allahu Akbar nimpuk ,
teriak Allahu akbar bakar.
KR : Berbicara Allah, berbicara Allah tetapi tetap anarkis.
DS: Jadi saya sebagai ketua keamanan, datang kesini ingin meninjau
keadaan di sini, karena kami mendengar di sinipara Ahmadi sudah
dizolimi, ada konspirasi dari ormas-ormas berkedok agama seperti
itu dan beberapa aparat desa. Apa sih masalahnya...? Kenapa mereka
harus membenci Ahmadiyah. Ya kalau mereka gak suka dialog
lah.... Jangan membakar, memaki, mengusir, melempar. Ini negara
hukum. Mari kita tegakkan hukum sama. Lagipula ada SKB Tiga
Menteri, keadaan masalah agama itu masalah pemerintah pusat,
bukan pemerintah daerah. Seperti lurah ikut-ikut, Muspika ikut-ikut.
Gak boleh dong.... Ibaratnya Pak Parman (Suparman) mau diterkam
harimau, bukan Pak Parman yang ditembak, harimaunya yang
diusir.
KR : Kalau bicara Muspika...ada pengajian hari minggu, kita sudah
menghalau meraka. Bahkan mereka GMC mendoktrin, memberitarget kepada Muspika agar satu bulan harus bubar (jema’at),
padahal tidak bisa begitu.... Akhirnya kita rapat dengan pihak Pak
Parman, dengan pihak desa, sampai kecamatan, sampai empat kali
kalo gak salah. Sampai kita laporkan ke Muspida, bahkan Muspida
sudah pada turun kesini. Kita tidak memihak, tidak pro Ahmadiyah,
tidak pro GMC. Kita kamtibmas dan harkamtibmas kita kan sebagai
polisi. Jangan sampai dengan seperti ini, seolah-olah ada
pertumpahan darah dsb. Intinya sih yang diinginkan GMC,
Ahmadiyah tolong berbaur dengan kami, yang paling mencolok
43 Mawahibur Rahman, Kronologi Tragedi Cikeusik,43-46.
8/18/2019 SISWO MULYARTONO
54/90
43
adalah keluarga Pak Suparman tidak mau sembahyang Jumah
berjamaah di masjid. Kalau luar hari Jumat silakan-silakan saja.
DS: Gini Pak kalau kita bicara akidah....
KS: Betul....
DS: Islam ini udah jelas ada beberapa puluh golongan di dunia ini
kan.... Jadi kalau masalah akidah, marilah kita dialog, masalah tafsir
kan saling berbeda. Seperti Syiah dan Sunni saling bom-boman
masjid. Kita kan sedih, sesama Islam. Masjid itu dibom,
keesokannya masjid ini dibom.Malu kita kan Pak, masa Indonesia
mau seperti itu.
KR : Itu yang ditumpangi kan orang yang tidak bertanggungjawab.
DS: Oleh karena itu saya berterimakasih kalau bapak bisa berdiri di
semua golongan. Karena kita capek melihat orang anarkis.
KR : Kita juga tidak tahu mana yang paling bener .
DS: Jadi kedatangan kami kesini adalah untuk meninjau, sama
sekali tidak ada niat balas dendam. Tapi kalau mereka mulai
memukul, tidak mungkin kita diam aja. Masa kita dipukulin, mobil
kita dibakar, kita diam saja?
KR :44 Gini Pak, saya sudah monitor dari Cibaliung dan Cigeulis.
Ada segelintir orang naik kendaraan roda dua dan roda empat,
makanya kami mendahului agar tidak kedahuluan oleh mereka.
Kami dari Polres termasuk Dalmas telah merapat kesini. Tapi
perkiraan kalau mereka melihat orang kita yang banyak mereka
tidak jadi. Tapi namanya antisipasi, kita tidak tahu.... Ya, kalau yang
datang segelintir orang, kalau yang datang meratus atau meribu?
Kita juga namanya manusia, kalau bisa ya bertahan, kalau tidak ya
apa boleh buat. Ya, misalnya, kalau saya mah, sampai kapanpuntidak akan berangkat dari sini, tahu-tahu kepala kita terlempar. Ya
namanya manusia yang baiknya sedikit, yang jahatnya banyak.
Makanya kita lihat situasi, kalau kira -kira membahayakan lebih
baik menghindar, intinya sih itu saja.
DS: Kalau misalnya Bapak tidak mampu, lepaskan saja Pak. Biarkan
bentrokan saja. Biar seru Pak, ya nggak ? Habis mau bagaimana,
masa kita diam saja? … Jadi kalau memang kira-kira …
44 Mulai bagian ini dan selanjutnya, dialog bisa juga dilihat di video“Dialog Polisi dan
Jama’at Ahmadiyah Sebelum Tragedi Cikeusik ,” tersedia dihttp://www.youtube.com/watch?v=Ojex2RC1kY8; Internet: diakses 12 November 2012.
8/18/2019 SISWO MULYARTONO
55/90
44
AL: Kami siap Pak, tiap hari kami....
KR : Saya sangat tidak mengharapkan untuk seperti itu.
DS: Kalau misalkan kira-kira Bapak bilang wah kepolisian tidak
sanggup, lepasin aja Pak, lepasin aja, paling juga banjir darah, seru
‘ kan, ya nggak Pak?
Kekhawatiran para Ahmadi terhadap keamanan rumah Suparman bukan
tanpa alasan. Selain kurang percaya kepada polisi, ini juga tumbuh karena
maraknya perusakan terhadap aset Ahamdiyah di tempat-tempat lain dan aparat
keamanan diam saja.Para Ahmadi yang datang ke Cikeusik tidak mau aset jamaah
dirusak seperti di tempat lain.45
Selanjutnya, Kanit Reskrim keluar dari rumah Suparman dan melakukan
kordinasi dengan Kapolsek, Kasat Intel dan Kasat Samapta.46 Mengetahui bahwa
usaha Kanit Reskrim gagal, maka Kapolsek dan Kasat Sabhara mendatangi Deden
Sudjana.47 Polisi yang ada di tempat juga mulai berjaga-jaga. Mereka berjaga di
sekitar depan pelataran rumah Suparman dan jembatan sungai Cibaliung. Dua
mobil Dalmas juga bersiaga di depan rumah Suparman sebelum salah satu mobil
dipindahkan ke jembatan Cibaliung.48
Dari pemaparan bab ini bisa disimpulkan bahwa konflik anti-Ahmadiyah
Cikeusik Pandeglang Banten telah berlangsung sejak lama, yakni awal masuknya
Ahmadiyah di Cikeusik. Namun ada discontinuitas konflik ketika Suparman dan
45 Wawancara dengan WR, Mubalig Ahmadiyah Cilegon di Cilegon, 22 Desember 2013.
46 Berita Acara Pemeriksaan (BAP), Saksi Mad Supur,3.
47 Berita Acara Pemeriksaan (BAP), Saksi Syahpudin atas Perkara Pidana Penghasutan,
(Serang: Polda Banten, 14 Februari 2011). 2.48
“Anti-Ahmadiyah: Violence in Cikeusik ,” tersedia dihttp://www.youtube.com/watch?v=iLb9VSI9BCw; Internet: diakses 12 November 2012.
8/18/2019 SISWO MULYARTONO
56/90
45
Khaerudin Barus menghentikan aktivitas dakwahnya. Konflik berlanjut ketika
Suparman mulai mengaktifkan kembali Jama’at Ahmadiyah di Cikeusik,
Pandeglang.
Konflik anti-Ahmadiyah semakin rumit ketika kedua belah pihak, baik
warga Ahmadiyah dan penentangnya, melibatkan pihak-pihak di luar Cikeusik
dalam menyelesaikan konflik. Di bab selanjutnya akan dijelaskan bagaimana para
penentang Ahmadiyah di Cikeusik melibatkan ribuan masa dalam membubarkan
Ahmadiyah Cikeusik Pandeglang Banten.
8/18/2019 SISWO MULYARTONO
57/90
46
BAB IV
KEKERASAN DAN MOBILISASI ANTI-AHMADIYAH
A. Kekerasan Anti-Ahmadiyah
Sekitar pukul 10.00, ratusan massa anti-Ahmadiyah sudah memadati Masjid
Cangkore dan pertigaan Umbulan. Massa menjadi ribuan ketika massa yang
dibawa K.H Ujang Muhamad Arif sampai di Masjid Cangkore.Tidak lama
kemudian ada instruksi yang mengatakan, “Ayo