www.legalitas.org www.lega litas . or g www.lega litas . or g 1 SISTEM PEMIDANAAN DALAM KETENTUAN UMUM KONSEP RUU KUHP 2004 *) Oleh : Barda Nawawi Arief A. Pengertian Dan Ruang Lingkup Sistem Pemidanaan * Secara singkat, “sistem pemidanaan” dapat diartikan sebagai “sistem pemberian atau penjatuhan pidana”. * Sistem pemberian/penjatuhan pidana (sistem pemidanaan) itu dapat dili- hat dari 2 (dua) sudut : (1) Dari sudut fungsional (dari sudut bekerjanya/berfungsinya/proses- nya), sistem pemidanaan dapat diartikan sebagai : • Keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) untuk fungsionali- sasi/operasionalisasi/konkretisasi pidana; *) Bahan Sosialisasi RUU KUHP 2004, diselenggarakan oleh Departemen Hukum dan HAM, tgl. 23-24 Maret 2005, di Hotel Sahid Jakarta. SISTEM PEMIDANAAN FUNGSIONAL SUBSTANTIF HP MATERIEL HP FORMAL HK. PELAKS. PIDANA ATURAN UMUM ATURAN KHUSUS
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
www.legalitas.org
www.legalitas.org
www.legalitas.org
1
SISTEM PEMIDANAAN DALAM KETENTUAN UMUM KONSEP RUU KUHP 2004 *)
Oleh : Barda Nawawi Arief
A. Pengertian Dan Ruang Lingkup Sistem Pemidanaan
∗ Secara singkat, “sistem pemidanaan” dapat diartikan sebagai “sistem
pemberian atau penjatuhan pidana”.
∗ Sistem pemberian/penjatuhan pidana (sistem pemidanaan) itu dapat dili-
hat dari 2 (dua) sudut :
(1) Dari sudut fungsional (dari sudut bekerjanya/berfungsinya/proses-
nya), sistem pemidanaan dapat diartikan sebagai :
• Keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) untuk fungsionali-
sasi/operasionalisasi/konkretisasi pidana;
*) Bahan Sosialisasi RUU KUHP 2004, diselenggarakan oleh Departemen Hukum dan HAM, tgl. 23-24
BAB II. Tentang Pidana BAB III. Tentang Hal-Hal Yang
Menghapuskan, Mengu-rangkan atau Memberatkan Pengenaan Pidana
BAB IV. Tentang Percobaan BAB V. Tentang Penyertaan dalam
Melakukan Perbuatan Pidana BAB VI. Tentang Perbarengan (Con-
cursus) BAB VII. Tentang Mengajukan dan
Menarik Kembali Pengaduan Dalam Hal Kejahatan- Keja-hatan Yang Hanya Dituntut Atas Pengaduan
BAB VIII. Tentang Hapusnya Kewe-
nangan Menuntut Pidana dan Menjalankan Pidana
BAB IX. Tentang Arti Beberapa
Istilah Yang Dipakai dalam Kitab Undang-Undang
Aturan Penutup
Bagian Kesatu : Menurut Waktu Bagian Kedua : Menurut Tempat Bagian Ketiga : Waktu Tindak Pidana Bagian Keempat : Tempat Tindak Pidana BAB II. Tindak Pidana dan Pertang-
gungjawaban Pidana Bagian Kesatu : Tindak Pidana Bagian Kedua : Pertanggungjawaban Pidana BAB III. Pemidanaan, Pidana dan
Tindakan Bagian Kesatu : Pemidanaan Bagian Kedua : Pidana Bagian Ketiga : Tindakan Bagian Keempat : Pidana dan Tindakan bagi Anak Bagian Kelima : Faktor-faktor yang Memperingan dan Memperberat Pidana Bagian Keenam : Perbarengan BAB IV. Gugurnya Kewenangan
Penuntutan dan Pelak-sanaan Pidana
Bagian Kesatu : Gugurnya Kewenangan Penuntutan Bagian Kedua : Gugurnya Kewenangan Pelaksanaan Pidana BAB V. Pengertian Istilah BAB VI. Ketentuan Penutup
istilah “the general principles of law recognized by the community of
nations” yang terdapat dalam Pasal 15 ayat 2 ICCPR (International
Covenant on Civil and Political Rights).
∗ Sejalan dengan keseimbangan asas legalitas formal dan materiel itu,
Konsep juga menegaskan keseimbangan unsur melawan hukum
formal dan materiel dalam menentukan ada tidaknya tindak pidana.
Penegasan ini diformulasikan dalam Pasal 11 Konsep 2004 yang
lengkapnya berbunyi :
(1) “Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana.
(2) Untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, selain perbuatan tersebut dilarang dan diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan, harus juga bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat.
(3) Setiap tindak pidana selalu dipandang bersifat melawan hukum, kecuali ada alasan pembenar.
∗ Adanya formulasi ketentuan umum tentang pengertian tindak pidana
dan penegasan unsur sifat melawan hukum materiel di atas, patut di-
catat sebagai suatu perkembangan baru karena ketentuan umum se-
perti itu tidak ada dalam KUHP (WvS). Di berbagai KUHP Asing (anta-
ra lain di Armenia, Belarus, Brunei, Bulgaria, China, Jerman, Latvia,
Macedonia, Perancis, Romania, Swedia, dan Yugoslavia), pengertian
dan hakikat tindak pidana inipun dirumuskan dalam “Aturan Umum”.
Bahkan ada yang merumuskan unsur-unsur tindak pidana secara rinci,
misalnya dalam KUHP Australia.1
1 Dalam Part 2.2 (“The lements of an offence”) Chapter 2 KUHP Australia, diuraikan secara rinci “Physical elements” dan “Fault elements”.
an tindak pidana ybs.). Aturan umum hanya menentukan pengerti-
an/batasan kapan dikatakan ada “permufakatan jahat” atau “persi-
apan”, dan lamanya pidana pokok (yaitu dikurangi dua pertiga).
Lihat Konsep Pasal 13 (“persiapan”) dan 15 (“permufakatan jahat”).
Catatan :
∗ Dalam Buku II RUU, “permufakatan jahat yang dapat dipidana” disebut/ diatur dalam 9 pasal (Psl. 230, 259:1, 273, 296, 344:2, 391:2, 480, 671, 719:2).
∗ Dari ke-9 pasal tsb., ada 32 tindak pidana permufakatan jahat yang dapat
dipidana. Ancaman pidananya semua menyimpang dari “ketentuan umum” Buku I Konsep RUU (lihat “Tabel” lampiran); ini berarti tidak ada satu delikpun (delik permupakatan jahat) yang ditundukkan pada aturan umum pemidanaan untuk permufakatan jahat dalam Buku I RUU KUHP.
∗ Formulasi delik permufakatan jahat dalam Buku II seharusnya sbb. :
§ deliknya (TP permufakatan jahat) dirumuskan/ditentukan dalam Buku
II. Contoh perumusan deliknya sbb. : “Permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana dalam Pasal ....., dipidana”.
§ ancaman pidananya tidak perlu dicantumkan dalam perumusan delik
ybs., kecuali akan menyimpang (membuat kekhususan) dari aturan umum (Cttn: kalau semua menyimpang, tidak ada artinya lagi Psl. 15 Buku I).
∗ Khususnya mengenai bentuk/tahapan tindak pidana yang berupa
“percobaan”, ketentuan yang diatur tidak hanya mengenai unsur-unsur
(kapan) dapat dipidananya “percobaan”, tetapi diatur juga tentang
batasan “perbuatan pelaksanaan”, masalah “percobaan tidak mampu”,
masalah “pengunduran diri secara sukarela (Rücktritt)” dan “tindakan
penyesalan (Tätiger Reue)”. Adapun ketentuan umumnya sbb. :
3.2. Masalah Pertanggungjawaban Pidana (Kesalahan)
• Dalam Bab PJP (Kesalahan), Konsep menegaskan secara eksplisit dalam
Pasal 35 (1) “asas tiada pidana tanpa kesalahan” (“Geen straf zonder
schuld”; “Keine Strafe ohne Schuld”; “No punishment without Guilt”; asas
“Mens rea” atau “asas Culpabilitas”) yang di dalam KUHP tidak ada. Asas
culpabilitas ini merupakan salah satu asas fundamental, yang oleh kare-
nanya perlu ditegaskan secara eksplisit di dalam Konsep sebagai
pasangan dari asas legalitas. Penegasan yang demikian merupakan
perwujudan pula dari ide keseimbangan monodualistik.
• Konsep tidak memandang kedua asas/syarat itu sebagai syarat yang kaku
dan bersifat absolut. Oleh karena itu, Konsep juga memberi kemungkinan
dalam hal-hal tertentu untuk menerapkan asas “strict liability”, asas
“vicarious liability”, dan asas “pemberian maaf/pengampunan oleh hakim”
(“rechterlijk pardon” atau “judicial pardon”).
Catatan :
- Karena Buku I menegaskan, bahwa “strict liability” dan “vicarious liability” dimungkinkan “untuk tindak pidana tertentu atau dalam hal-hal tertentu” (lihat Psl. 35 ayat 2 dan 3 Konsep), maka “tindak pidana atau hal-hal tertentu” itu ditentukan secara spesifik dalam “aturan khusus” (misal di dalam Buku II KUHP atau UU di luar KUHP).
- Dalam Buku II RUU, “ketentuan khusus” itu belum terlihat. Oleh karena itu, perlu dikaji ulang. *)
• Patut dicatat, bahwa ketentuan mengenai “rechterlijk pardon” tidak
ditempatkan dalam Bab PJP, tetapi di dalam Bab Pemidanaan. Di dalam
asas “judicial pardon” terkandung ide/pokok pemikiran :
1. menghindari kekakuan/absolutisme pemidanaan;
2. menyediakan “klep/katup pengaman” (“veiligheidsklep”);
3. bentuk koreksi judisial terhadap asas legalitas (“judicial corrective
to the legality principle”);
4. pengimplementasian/pengintegrasian nilai atau paradigma “hikmah
kebijaksanaan” dalam Pancasila;
5. pengimplementasian/pengintegrasian “tujuan pemidanaan” ke da-
lam syarat pemidanaan (karena dalam memberikan permaafan/
pengampunan, hakim harus mempertimbangkan tujuan pemida-
naan); jadi syarat atau justifikasi pemidanaan tidak hanya dida-
sarkan pada adanya “tindak pidana” (asas legalitas) dan “kesa-
lahan” (asas culpabilitas), tetapi juga pada “tujuan pemidanaan”.
*) Sebagai bahan kajian perbandingan dapat dikemukakan, bahwa KUHP Australia menggunakan
“absolute liability” untuk delik-delik Computer Crime tertentu yang diatur dalam KUHP, misalnya terhadap Section 477.1 : “Unauthorised access, modification or impairment with intent to commit a serious offence”; 477.2 : “Unauthorised modification of data to cause impairment”; 477.3 : “Unauthorised impair-ment of electronic communication”; 478.1 : “Unauthorised access to, or modification of, restricted data”; 478.2 : “Unauthorised impairment of data held on a computer disk etc.”. Menurut Section 24 KUHP Australia, dalam delik absolute liability, mistake of fact (error facti) tidak dapat digunakan sebagai alasan pembelaan (alasan penghapus pidana); dan menurut Section 23, dalam delik strict liability, mistake of fact dapat digunakan sebagai alasan pembelaan.
ponsibility), masalah “pertanggungjawaban terhadap akibat yang tidak
dituju/tidak dikehendaki/tidak disengaja” (Erfolgshaftung), dan masalah
“kesesatan” (Error/Dwaling/Mistake), yang semuanya itu juga tidak diatur
di dalam KUHP saat ini.
Catatan :
- Pengaturan “Erfolgshaftung” dan “Error” di dalam Konsep tidak berorientasi pada pandangan tradisional/klasik, tetapi tetap ber-orientasi pada asas kesalahan.
• Karena masalah PJP berhubungan juga dengan masalah “subjek tindak
pidana”, maka di dalam Bab PJP ini ada pula ketentuan tentang subjek
berupa “korporasi”, yang selama ini juga belum diatur dalam KUHP (WvS).
3.3. Masalah Pemidanaan
a. Tujuan dan Pedoman Pemidanaan :
Berbeda dengan KUHP yang sekarang berlaku, di dalam Konsep
dirumuskan tentang “Tujuan dan Pedoman Pemidanaan”.*) Dirumuskan-
nya hal ini, bertolak dari pokok pemikiran bahwa :
*) Beberapa negara yang di dalam KUHP-nya juga merumuskan “tujuan pidana/pemidanaan”, antara lain :
Armenia (Psl. 48 jo. Psl. 2 dan 11), Bellarus (Psl. 20 jo. Psl. 1), Bulgaria (Psl. 36), Latvia (Psl. 35), Macedonia (Psl. 32), Romania (Psl. 52), dan Yugoslavia (Psl. 33).
• Dalam KUHP, asas teritorial diatur dalam Pasal 2 yang diperluas juga
dengan asas extra-teritorial dalam Pasal 3 (dalam “kendaraan air”
atau “pesawat udara” Indonesia di luar wilayah Indonesia);
• Dalam Konsep, kedua pasal itu dijadikan satu dan asas extra-teri-
torialnya diperluas juga untuk orang yang melakukan tindak pidana di
bidang teknologi informasi yang akibatnya dirasakan atau terjadi di
wilayah Indonesia dan dalam kapal atau pesawat udara Indonesia.
Perluasan itu dimaksudkan untuk dapat menjaring tindak pidana ma-
yantara (cyber crime).
• Redaksi lengkap asas teritorial di dalam Konsep itu (diatur dalam
Pasal 3 Konsep 2004) sbb.:
Pasal 3 Ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan: a. tindak pidana di wilayah Negara Republik Indonesia; b. tindak pidana dalam kapal atau pesawat udara Indonesia; atau c. tindak pidana di bidang teknologi informasi yang akibatnya dirasakan
atau terjadi di wilayah Indonesia dan dalam kapal atau pesawat udara Indonesia.
Asas Nasional Aktif (Asas Personal)
• Menurut KUHP, berlakunya hukum pidana terhadap warga negara
Indonesia di luar Indonesia diatur tersebar dalam beberapa pasal dan
hanya untuk kejahatan-kejahatan tertentu, yang pengaturannya terke-
san digabung dengan pasal tentang asas nasional pasif (Lihat Pasal
• Di dalam Konsep 2004, pengaturannya disederhanakan dalam satu
pasal, yaitu Pasal 7, yang lengkapnya berbunyi sbb. :
Pasal 7 (1) Ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan Indonesia
berlaku bagi setiap warga negara Indonesia yang melakukan tindak pidana di luar wilayah negara Republik Indonesia.
(2) Ketentuan ayat (1) tidak berlaku untuk tindak pidana yang hanya diancam pidana denda Kategori I atau denda Kategori II.
(3) Penuntutan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat juga dilakukan walaupun tersangka menjadi warga negara Indonesia setelah tindak pidana tersebut dilakukan.
(4) Warga negara Indonesia yang di luar wilayah Negara Republik Indonesia melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat dijatuhi pidana mati jika tindak pidana tersebut menurut hukum negara tempat tindak pidana tersebut dilakukan tidak diancam dengan pidana mati.
• Jadi menurut Pasal 7 di atas, pada prinsipnya tindak pidana apapun
yang dilakukan oleh WNI di luar Indonesia, hukum pidana Indonesia
berlaku baginya, kecuali tindak pidana ringan (yaitu yang diancam
dengan pidana denda Kategori I atau II). Ketentuan demikian dida-
sarkan pada prinsip “equality before the law”.
Asas Nasional Pasif (Asas Perlindungan Kepentingan Nasional)
• Dalam KUHP, pengaturan asas nasional pasif ini digabung dengan
asas universal (lihat Pasal 4) dan “kepentingan nasional” yang akan
dilindungi juga dirumuskan secara limitatif/enumeratif yang rigid, yaitu
berupa :
1. kejahatan tertentu terhadap keamanan negara dan martabat
2. kejahatan mengenai mata uang, uang kertas, meterai, dan merek
(Pasal 4 ke-2 KUHP), dan
3. pemalsuan surat/sertifikat hutang atas tanggungan Indonesia atau
tanggungan daerah/bagian daerah Indonesia (Psl. 4 ke-3 KUHP);
Di samping itu, ada pula “kepentingan nasional” yang juga merupakan
“kepentingan internasional/universal”, yang diatur dalam Pasal 4 ke-4
KUHP jo. UU No. 4/1976, berupa :
4. kejahatan yang berkaitan dengan pembajakan laut dalam (Pasal
438, 444-446);
5. penyerahan perahu dalam kekuasaan bajak laut (Pasal 447);
6. pembajakan pesawat udara (Psl. 479 j);
7. kejahatan yang mengancam penerbangan sipil (Psl. 479 l s/d o).
• Di dalam Konsep 2004, asas nasional pasif diatur dalam pasal ter-
sendiri (yaitu diatur dalam Pasal 4), terpisah dari asas universal.
Bunyi lengkap Pasal 4 Konsep itu sbb. :
Pasal 4 Ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang di luar wilayah Negara Republik Indonesia yang mela-kukan tindak pidana terhadap : a. warga negara Indonesia; atau b. kepentingan negara Indonesia yang berhubungan dengan :
1. keamanan negara atau proses kehidupan ketatanegaraan; 2. martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden dan pejabat Indonesia
di luar negeri; 3. pemalsuan dan peniruan segel, cap negara, meterai, uang/mata
uang, kartu kredit, perekonomian, perdagangan dan perbankan Indonesia;
4. keselamatan/keamanan pelayaran dan penerbangan ; 5. keselamatan/keamanan bangunan, peralatan, dan aset nasional
(negara Indonesia); 6. keselamatan/keamanan peralatan komunikasi elektronik;
• Hal yang menarik dari Pasal 4 Konsep di atas, yang berbeda dengan
KUHP, ialah :
a. Yang dipandang sebagai “kepentingan nasional” tidak hanya
“kepentingan negara”, tetapi juga “kepentingan Warga negara
Indonesia di luar negeri” (yang menjadi sasaran/korban tindak
pidana). Dalam KUHP yang sekarang berlaku, kepentingan hu-
kum dari WNI di luar negeri, tidak dilihat sebagai “kepentingan
nasional” yang harus dilindungi oleh hukum nasional, tetapi
seolah-olah hanya diserahkan sepenuhnya kepada hukum yang
berlaku di negara asing itu. Dengan adanya Pasal 4 itu, berarti
pula hukum pidana (sistem pemidanaan) nasional dapat juga ber-
laku bagi WNA yang melakukan tindak pidana terhadap WNI di
luar teritorial Indonesia.3
b. Kepentingan nasional yang akan dilindungi itu tidak dirumuskan
secara “limitatif yang pasti (definite/rigid)”, yaitu tidak dengan me-
nyebut pasal-pasal tertentu, tetapi dirumuskan secara “limitatif
yang terbuka (open)”.
c. Kepentingan yang terancam oleh kejahatan-kejahatan yang bersi-
fat internasional/transnasional (seperti cyber crime, korupsi, dan
3 Asas perlindungan terhadap warga negara di luar negeri atau asas berlakunya hukum pidana nasional terhadap orang asing di luar negeri, diatur juga di beberapa KUHP Asing (a.l. Bulgaria, China, Latvia, Perancis, Romania).
money laundering) juga dipandang sebagai kepentingan nasional
yang dilindungi.
Asas Universal
• Seperti telah dikemukakan di atas, asas universal dalam KUHP yang
saat ini berlaku, diatur bersama-sama dengan asas nasional pasif
(dalam Pasal 4) dan hanya ditujukan pada kejahatan-kejahatan ter-
tentu.
• Dalam Konsep 2004, “kepentingan internasional/universal/global”
yang akan dilindungi, tidak dengan cara menyebut kejahatan-kejahat-
an internasional tertentu secara limitatif, tetapi dirumuskan secara
umum/terbuka agar dapat menampung perkembangan dari kesepa-
katan internasional.
• Redaksi lengkap dari asas universal di dalam Konsep (Psl. 5), sbb. :
Pasal 5 Ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar wilayah Negara Republik Indonesia melaku-kan tindak pidana menurut perjanjian atau hukum internasional yang telah dirumuskan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Pidana diperberat dalam hal setiap orang melakukan pengulangan tindak pidana dalam waktu 5 (lima) tahun sejak: a. menjalani seluruh atau sebagian
pidana pokok yang dijatuhkan; b. pidana pokok yang dijatuhkan telah
dihapuskan; atau c. kewajiban menjalani pidana pokok
yang dijatuhkan belum kedaluwarsa.
∗ Formulasi Psl. 23 terkesan sbg. formu-
lasi “pemberatan pidana karena pengulangan”;
∗ Masalah pemberatan pidana karena
pengulangan SUDAH diatur dalam Psl. 131 huruf (h);
∗ Seharusnya yang diformulasikan “pe-
ngertian/batasannya” saja, yaitu kapan dikatakan ada “pengulangan” (apa syarat-syaratnya), sehingga formulasi-nya menjadi :
Pasal 23 “Pengulangan tindak pidana terjadi, apabila orang melakukan tindak pidana lagi dalam waktu 5 (lima) tahun sejak : a. menjalani seluruh atau sebagian
pidana pokok yang dijatuhkan; b. pidana pokok yang dijatuhkan telah
dihapuskan; atau c. kewajiban menjalani pidana pokok
yang dijatuhkan belum kedalu-warsa”.
Bab II Bagian Kedua Paragraf 3
Kesengajaan dan Kealpaan Pasal 37
Seseorang yang melakukan tindak pidana tidak dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana berdasarkan alasan penghapus pida-na, jika orang tersebut telah dengan sengaja menyebabkan terjadinya keadaan yang dapat menjadi alasan penghapus pidana
∗ Rumusan Psl. 37, 53, 54 pada intinya
sama; ∗ Seharusnya hanya dipilih satu pasal; ∗ Berdasarkan kajian terakhir, seharusnya
hanya Psl. 54 yang diambil dan ditem-patkan dalam Bab III paragraf 2 (Pedoman pemidanaan). Jadi Psl. 37 dan 53 harusnya tidak ada (dihapus).
Seseorang yang melakukan tindak pidana tidak dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana berdasarkan alasan penghapus pida-na, jika orang tersebut patut dipersalahkan sebagai penyebab terjadinya keadaan yang dapat menjadi alasan penghapus pidana tersebut.
Pasal 54 Seseorang yang melakukan tindak pidana tidak dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana berdasarkan alasan penghapus pida-na, jika orang tersebut telah dengan sengaja menyebabkan terjadinya keadaan yang dapat menjadi alasan penghapus pidana tersebut.
Paragraf 5 Pedoman Penerapan Pidana dengan
Perumusan Alternatif
Pasal 57 (1) Jika tindak pidana hanya diancam
dengan pidana denda maka dapat dijatuhkan pidana tambahan atau tindakan.
(2) Terhadap orang yang telah berulang kali dijatuhi pidana denda untuk tindak pidana yang hanya diancam dengan pidana denda, dpa diajtuhi pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana pengawasan bersama-sama dengan pidana denda.
Pasal 58
(1) Jika suatu tindak pidana diancam dengan pidana pokok secara alternatif, maka penjatuhan pidana pokok yang
∗ Meletakkan Psl. 57 di bawah paragraf
5 tidak tepat, karena Psl. 57 mengatur tindak pidana yang diancam dengan pidana denda secara tunggal. Perumusan alternatif ada pada Psl. 58.
∗ Psl. 57 seharusnya ditempatkan pada
Paragraf 4 (Pedoman Penerapan Pidana Penjara dengan Perumusan Tunggal) bersama-sama dengan Psl. 56.
∗ Psl. 59 – 61 tidak tepat dimasukkan
dalam paragraf 5, karena :
- Psl. 59 (1) mengatur ttg. “saat berlakunya pidana penjara dan tutupan”;
- Psl. 59 (2) dan (3) mengatur ttg. “per-
hitungan masa penangkapan dan penahanan dalam putusan pemi-danaan”;
lebih ringan harus lebih diutamakan apabila hal itu dipandang telah sesuai dan dapat menunjang tercapainya tujuan pemidanaan.
(2) Jika pidana penjara dan denda diancamkan secara alternatif, maka untuk tercapainya tujuan pemidanaan, kedua jenis pidana pokok tersebut dapat dijatuhkan secara kumulatif, dengan ketentuan tidak melampaui separuh batas maksimum kedua jenis pidana pokok yang diancamkan tersebut.
(3) Jika dalam menerapkan ketentuan ayat (2), dipertimbangkan untuk menjatuh-kan pidana pengawasan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 dan Pasal 75 ayat (1) dan ayat (2), maka tetap dapat dijatuhkan pidana denda paling banyak separuh dari maksimum pidana denda yang diancamkan tersebut bersama-sama dengan pidana pengawasan.
Pasal 59
(1) Pidana penjara dan pidana tutupan bagi terdakwa yang sudah berada dalam tahanan, mulai berlaku pada saat putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, sedangkan bagi terdakwa yang tidak berada di dalam tahanan, pidana tersebut berlaku pada saat putusan mulai dilaksanakan.
(2) Dalam putusan ditetapkan bahwa masa penangkapan dan masa penahanan yang dijalani terdakwa sebelum putusan memperoleh kekuatan hukum tetap, dikurangkan seluruhnya atau sebagian dari pidana penjara pengganti denda, atau dari denda yang dijatuhkan.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berlaku juga bagi terpidana yang berada dalam tahanan untuk berbagai perbuatan dan dijatuhi
- Psl. 60 dan 61 mengatur ttg.
“pelaksanaan pidana penjara”.
Catatan: - Karena normanya berbeda, sebaiknya
Psl. 59 (1) dijadikan pasal tersendiri, terpisah dari Psl. 59 (2) & (3).
- Redaksi Psl. 59 (2) ada kekurangan
pada kalimat terakhir yang berbunyi: “dikurangkan seluruhnya atau sebagian dari pidana penjara pengganti denda, atau dari denda yang dijatuhkan”. Seharusnya kalimat terakhir itu ber-bunyi : “dikurangkan seluruhnya atau sebagian dari pidana penjara untuk waktu tertentu atau dari pidana penjara pengganti denda, atau dari denda yang dijatuhkan”.
∗ Psl. 59-61 itu berasal dari KUHP yang
sekarang berlaku (WvS), yaitu: - Psl. 59 (1) dari Psl. 32 (1) WvS; - Psl. 59 (2) dari Psl. 33 (1) WvS; - Psl. 59 (3) dari Psl. 33 (3) WvS; - Psl. 60 dari Psl. 33a WvS; - Psl. 61 dari Psl. 34 WvS.
∗ Dalam WvS (KUHP) terjemahan Prof. Moeljatno, semua pasal tsb. (Psl. 32-34) diberi judul “Rupa-rupa Ketentuan”.
∗ Mengacu terjemahan Prof. Moeljatno,
Psl. 59-61 RUU dapat diberi judul (pa-ragraf) “Lain-lain Ketentuan Pemida-naan”
pidana untuk perbuatan lain daripada yang menyebabkan terpidana berada dalam tahanan sementara.
Pasal 60 (1) Jika narapidana yang berada dalam
lembaga pemasyarakatan mengajukan permohonan grasi, maka waktu antara pengajuan permohonan grasi dan saat dikeluarkan Keputusan Presiden tidak menunda pelaksanaan pidana yang telah dijatuhkan.
(2) Jika terpidana berada di luar lembaga pemasyarakatan mengajukan permo-honan grasi, maka waktu antara menga-jukan permohonan grasi dan saat dike-luarkan Keputusan Presiden tentang grasi tidak dihitung sebagai waktu menjalani pidana.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku jika Presiden menentukan lain.
Pasal 61
Jika narapidana melarikan diri, maka masa selama narapidana melarikan diri tidak diperhitungkan sebagai waktu menjalani pidana penjara.
mana dimaksud pada ayat (1) adalah: a. untuk pidana kerja sosial peng-
ganti, berlaku ketentuan sebagai-mana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (3) dan ayat (4);
b. untuk pidana pengawasan, paling singkat 1 (satu) bulan dan paling
∗ Psl. 79 (2) sub c dan d, sebaiknya di-
gabung, sehingga redaksinya menjadi :
c. untuk pidana penjara pengganti, paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 1 (satu) tahun yang dapat diperberat paling lama 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan jika ada pemberatan pidana denda karena perbarengan atau karena adanya faktor pemberatan pidana sebagai-mana dimaksud dalam Pasal 131.
lama 1 (satu) tahun; c. untuk pidana penjara pengganti,
paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 1 (satu) tahun;
d. untuk pidana penjara pengganti, paling lama 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan jika ada pembe-ratan pidana denda karena per-barengan atau karena adanya faktor pemberatan pidana seba-gaimana dimaksud dalam Pasal 131.
(3) ………………………………… (4) Setelah menjalani pidana pengganti,
sebagian pidana denda dibayar, maka lamanya pidana pengganti dikurangi menurut ukuran yang sepadan sebagaimana ketentuan dalam ayat (3).
∗ Psl. 79 (4) ada kekurangan; seharusnya
ada kata “Jika” (apabila) pada awal ka-limat.
Paragraf 9
Pidana Pengganti Denda untuk Korporasi
Pasal 81
Jika pengambilan kekayaan atau penda-patan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (2) tidak dapat dilakukan maka untuk korporasi dikenakan pidana peng-ganti berupa pencabutan izin usaha atau pembubaran korporasi.
Pasal 82 (1) Dalam penjatuhan pidana denda, wajib
dipertimbangkan kemampuan terpidana.
(2) Dalam menilai kemampuan terpidana, wajib diperhatikan apa yang dapat dibelanjakan oleh terpidana sehu-bungan dengan keadaan pribadi dan kemasyarakatannya.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak mengurangi untuk tetap diterapkan minimum khusus pidana denda yang
∗ Penempatan Psl. 82 di bawah paragraf 9
tidak tepat, karena tidak mengatur tentang “pidana pengganti denda untuk korporasi”, tetapi ttg. “pedoman penjatuhan pidana denda”
ANALISIS : ∗ Dari tabel permufakatan jahat RUU di atas dapat disimpulkan :
1. sistem perumusannya sama (tidak berbeda) dengan KUHP (WvS), yaitu :
a. permupakatan jahat yang dapat dipidana (yang dijadikan TP), ditentukan secara khusus (tersendiri) dalam aturan khusus (Buku II); dan
b. ancaman pidananya juga ditentukan secara khusus untuk tiap-tiap delik (jadi berbeda-beda atau bervariasi, tergantung delik pokoknya).
2. tidak ada satu delikpun (delik permupakatan jahat) yang ditundukkan pada
aturan umum pemidanaan untuk permufakatan jahat dalam Buku I RUU KUHP.
∗ Sistem dan ide RUU KUHP berbeda dengan KUHP (WvS), khususnya dalam sistem
pemidanaannya (sub 1b). Dalam RUU, aturan pemidanaannya diletakkan dalam “aturan umum” (Buku I), walaupun deliknya ditentukan secara khusus.
∗ Diletakkannya aturan pemidanaan untuk permufakatan jahat dalam Buku I, didasarkan
pada ide untuk membuat pola “keseragaman/kesamaan dan kesetaraan/kese-bandingan bobot”. Ide ini dimunculkan dalam Konsep/RUU, justru berdasarkan analisis/evaluasi terhadap sistem KUHP yang ancaman pidananya berbeda-beda (bervariasi) dan tidak berpola, yaitu tidak ada keseragaman dan kesetaraan/keseban-dingan bobot.
∗ Kalau formulasi ancaman pidana (bobot delik) permufakatan jahat dalam RUU sama
atau kembali lagi ke sistem KUHP (WvS), yaitu “bervariasi/tidak berpola/tidak sera-gam/tidak ada kesebandingan”, maka ini suatu “kemunduran” dan TIDAK ADA ARTINYA LAGI DIMASUKKANNYA KETENTUAN TENTANG PERMUFA-KATAN JAHAT DALAM “ATURAN UMUM” (Pasal 15 BUKU I RUU KUHP). Dirasakan “janggal”, kalau ada aturan umum Psl. 15 (Buku I) tetapi tidak pernah bisa diterapkan dalam aturan khusus (Buku II).
∗ Catatan :
1. dirasakan janggal, tidak ada delik permufakatan jahat melakukan makar thd. Presd. (Psl. 213) seperti dlm. Psl. 110 jo. 103 KUHP/WvS..
2. Psl. 719 (2) seharusnya juga ada untuk Psl. 720 (khususnya untuk “permufakatan jahat”) karena Psl. 720 merupakan “pasangan” dari TPPU (“Money laundering”) dalam Psl. 719.
LAMPIRAN 3 :
CATATAN FORMULASI BUKU II KONSEP 2004 YANG BERKAITAN DENGAN BUKU I
BUKU II RUU KUHP 2004
CATATAN BNA
BAB I :
Bagian Kelima Perluasan dan Pidana Tambahan
Pasal 259
(1) Setiap orang yang melakukan permufakatan jahat untuk mela-kukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 209, Pasal 210, Pasal 211, Pasal 212, Pasal 214, Pasal 215, Pasal 216, Pasal 232, atau Pasal 234, dipidana dengan pidana sesuai dengan ketentuan pasal tersebut.
(2) Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berlaku juga bagi setiap orang yang dengan maksud mempersiap-kan atau memudahkan ter-jadinya tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 209, Pasal 210, Pasal 211, Pasal 212, Pasal 214, Pasal 215, Pasal 216, Pasal 232, atau Pasal 234,
(3) Mempersiapkan atau memudahkan terjadinya tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa : a. berusaha menggerakkan orang
lain untuk melakukan, menyuruh melakukan, turut serta melakukan tindak pidana itu, atau untuk
∗ Psl. 259 mengatur ttg.:
- (1) “permufakatan jahat”; - (2) tentang “persiapan” & “pemu-
memberi bantuan pada waktu melakukan tindak pidana atau memberi kesempatan, sarana, atau keterangan untuk melakukan tindak pidana;
b. berusaha memperoleh kesem-patan, sarana, atau keterangan bagi diri sendiri atau orang lain untuk melakukan tindak pidana tersebut;
c. mempunyai persediaan barang yang diketahuinya bahwa barang tersebut digunakan untuk melaku-kan tindak pidana;
d. mempersiapkan atau merencana-kan untuk melaksanakan tindak pidana tersebut yang akan diberi-tahukan kepada orang lain; atau
e. berusaha mencegah, menghalangi, atau menggagalkan suatu tindak-an kekuasaan umum untuk men-cegah tindak pidana tersebut.
(4) Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dirampas.
(5) Tidak dipidana, setiap orang yang bermaksud hanya mempersiapkan perubahan ketatanegaraan secara konstitusional.
Pasal 260
(1) Pembuat tindak pidana sebagai-mana dimaksud dalam Pasal 213 dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak sebagai-mana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan/atau huruf d.
(2) Pembuat tindak pidana sebagai-mana dimaksud dalam Pasal 209, Pasal 210, Pasal 211, Pasal 212, Pasal 215, Pasal 216, Pasal 232, Pasal 233, Pasal 234, Pasal 235, Pasal 236, atau Pasal 259, atau Pasal 260 ayat (1) dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabut-an hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (1) huruf a dan/atau
pengertian/batasan “persiapan”, karena dalam aturan umum sudah ada pengertiannya (lihat Psl. 13 ayat 2);
- sekiranya pengertian/batasan “per-
siapan” dalam Psl. 13 (2) dipandang kurang cukup, dapat saja batasan dalam Psl. 259 (3) diintegrasikan utk menyempurnakan rumusan Psl. 13 (2).;
- pengertian Psl. 259 (3) sub a sebaik-
nya dihapus, karena akan menggang-gu pengertian “menyuruhlakukan” (doenplegen), “turut serta” (medeplegen), dan “pembantuan” (medeplichtige) yang sudah ada dalam sistem KUHP (RUU).
∗ PIDANA TAMBAHAN :
- pidana tambahan tidak perlu disebut dalam rumusan delik, karena sudah ada aturan umum (Psl. 64 ayat 2) yang menyatakan : “Pidana tambahan dapat dijatuh-kan bersama-sama dengan pidana pokok, sebagai pidana yang berdiri sendiri atau dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana tambahan yang lain”.
dimaksud dalam Pasal 236, juga dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (1) huruf c dan/atau huruf f dan pengumuman putusan hakim seba-gaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) huruf c.
BAB II : Bagian Ketiga
Pidana Tambahan
Pasal 264 (1) Pembuat tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 261, dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak sebagaimana dimak-sud dalam Pasal 88 ayat (1) huruf a, huruf b, dan/atau huruf c.
(2) Pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 262, dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak sebagaimana dimak-sud dalam Pasal 88 ayat (1) huruf a dan/atau huruf b.
∗ Pidana tambahan tidak perlu disebut
dalam rumusan delik, karena sudah ada aturan umum (Psl. 64 ayat 2). Lihat di atas.
∗ Dengan adanya Psl. 64 (2), penjatuhan
pidana tambahan diserahkan sepenuh-nya kepada hakim untuk memilih jenis pidana tambahan yang akan dijatuhkan, disesuaikan dengan kondisi pembuat (terpidana) dan kasus/perkaranya.
BAB III :
Bagian Kelima Permufakatan Jahat dan Pidana Tambahan
Pasal 273
Setiap orang yang melakukan permufa-katan jahat untuk melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 265 atau Pasal 266, dipidana dengan pidana sesuai dengan ketentuan pasal-pasal tersebut.
Pasal 274 (1) Pembuat tindak pidana sebagai-mana
∗ PERMUFAKATAN JAHAT (Ps.273):
Formulasi delik permufakatan jahat dalam Buku II seharusnya sbb. : - “Permufakatan jahat untuk melaku-
kan tindak pidana dalam Pasal ....., dipidana”.
- ancaman pidananya tidak perlu
dicantumkan dalam perumusan delik ybs., kecuali akan menyimpang (membuat kekhususan) dari aturan umum.(Cttn: jangan “semuanya
dimaksud dalam Pasal 267 dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan/atau huruf d.
(2) Pembuat tindak pidana sebagai-mana dimaksud dalam Pasal 268 dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak sebagaimana dimak-sud dalam Pasal 88 ayat (1) huruf a, huruf b, dan/atau huruf c;
(3) Pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 265, Pasal 266, Pasal 269, Pasal 270, atau Pasal 273, dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak sebagaimana dimak-sud dalam Pasal 88 ayat (1) huruf a dan/atau huruf b.
menyimpang”, krn. kalau semua menyimpang, tidak ada artinya lagi Psl. 15 Buku I).
- Lihat bahan “Evaluasi Permufakatan
Jahat”.
∗ PIDANA TAMBAHAN (Psl. 274):
pidana tambahan tidak perlu diatur dalam Buku II (rumusan delik), karena sudah ada aturan umum (Psl. 64 ayat 2). Lihat di atas.
BAB IV :
Bagian Ketiga Pidana Tambahan
Pasal 282
(1) Pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 275 dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak sebagaimana dimak-sud dalam Pasal 88 ayat (1) huruf a, huruf b, dan/atau huruf c.
(2) Pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 276, Pasal 277, Pasal 278, Pasal 279, Pasal 280, atau Pasal 281 dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (1) huruf c.
∗ Pidana tambahan tidak perlu diatur
dalam Buku II (rumusan delik), karena sudah ada aturan umum (Psl. 64 ayat 2). Lihat di atas.
BAB VIII
Bagian Kesepuluh Pidana Tambahan
Pasal 389
∗ Pidana tambahan tidak perlu diatur
dalam Buku II (rumusan delik), karena sudah ada aturan umum (Psl. 64 ayat 2). Lihat di atas.
(1) Jika pembuat salah satu tindak pi-dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 344 sampai dengan Pasal 386 melakukan perbuatan tersebut dalam menjalankan profesinya, maka dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk menjalankan profesi tersebut.
(2) Pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 385 atau Pasal 386, juga dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pengumuman putusan hakim.
BAB XIII
Bagian Kelima Pidana Tambahan
Pasal 451
Pembuat salah satu tindak pidana sebagai-mana dimaksud dalam Pasal 442 sampai dengan Pasal 449 dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak sebagai-mana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan/atau huruf d.
∗ Pidana tambahan tidak perlu diatur
dalam Buku II (rumusan delik), karena sudah ada aturan umum (Psl. 64 ayat 2). Lihat di atas.
BAB XIV
Bagian Keempat Pidana Tambahan
Pasal 462
Pembuat salah satu tindak pidana sebagai-mana dimaksud dalam Bab ini, dapat dija-tuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan/atau huruf d.
∗ Pidana tambahan tidak perlu diatur
dalam Buku II (rumusan delik), karena sudah ada aturan umum (Psl. 64 ayat 2). Lihat di atas.
BAB XVI
Bagian Kesebelas Pidana Tambahan
Pasal 505
(1) Pembuat salah satu tindak pidana
∗ Pidana tambahan tidak perlu diatur
dalam Buku II (rumusan delik), karena sudah ada aturan umum (Psl. 64 ayat 2). Lihat di atas.
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 468, Pasal 484, Pasal 485, Pasal 486, Pasal 488, Pasal 489 sampai dengan Pasal 498 dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan/atau huruf d.
(2) Jika pembuat tindak pidana seba-gaimana dimaksud dalam Pasal 488 dan Pasal 493 sampai dengan Pasal 498 melakukan perbuatan tersebut dalam menjalankan profesinya, maka dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk menjalankan profesi tersebut.
BAB XXVII
Pasal 617 (1) Pembuat salah satu tindak pidana se-
bagaimana dimaksud dalam Bab ini, dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pengumuman putusan hakim dan pencabutan hak untuk menjalankan profesinya selama waktu tertentu.
(2) Pembuat tindak pidana sebagaima-na dimaksud dalam Pasal 592, Pasal 601, Pasal 607, Pasal 609, Pasal 610, atau Pasal 615, dapat dijatuhi pidana tambahan sebagai-mana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) huruf a, huruf b, dan/atau huruf d.
∗ Pidana tambahan tidak perlu diatur
dalam Buku II (rumusan delik), karena sudah ada aturan umum (Psl. 64 ayat 2). Lihat di atas.
BAB XXVIII
Bagian Kelima Pidana Tambahan
Pasal 627
(1) Pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 619, Pasal 620, Pasal 621, atau Pasal 623, atau dapat dijatuhi pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) huruf a, huruf b, dan/atau huruf d.
∗ Pidana tambahan tidak perlu diatur
dalam Buku II (rumusan delik), karena sudah ada aturan umum (Psl. 64 ayat 2). Lihat di atas.
(2) Pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 618 sampai dengan Pasal 625 dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pengumuman putusan hakim.
BAB XXIX
Bagian Keempat Pemberatan Pidana
Pasal 636
Jika salah satu tindak pidana sebagai-mana dimaksud dalam Bab ini dilaku-kan oleh 2 (dua) orang atau lebih secara bersama- sama, maka pidananya dapat ditambah dengan 1/3 (satu per tiga), kecuali tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 629.
∗ Pemberatan pidana karena delik dilaku-
kan bersama-sama, tidak perlu dirumus-kan secara khusus dalam Buku II (pe-rumusan delik), karena sudah ada aturan umum Psl. 131 sub e.
BAB XXX
Bagian Ketiga Pidana Tambahan dan Ganti Rugi
Pasal 664
Pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 639, Pasal 643, Pasal 644, Pasal 646, Pasal 647, Pasal 648, Pasal 653, atau Pasal 661, dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (1) huruf b dan huruf c.
Pasal 665 Pembuat tindak pidana yang melakukan salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini, dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pembayaran ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) huruf d.
∗ Pidana tambahan tidak perlu diatur
dalam Buku II (rumusan delik), karena sudah ada aturan umum (Psl. 64 ayat 2). Lihat di atas.
BAB XXXII
Pasal 706 Pembuat tindak pidana sebagaimana di-
∗ Pidana tambahan tidak perlu diatur
dalam Buku II (rumusan delik), karena sudah ada aturan umum (Psl. 64 ayat 2).
maksud dalam Pasal 704 atau Pasal 705, dapat dijatuhi pidana tambahan berupa perampasan barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 huruf b dan huruf c.
Pasal 708
Pembuat tindak pidana sebagaimana di-maksud dalam Pasal 677 sampai dengan Pasal 678, Pasal 687, atau Pasal 688 dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabut-an hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (1) huruf a, huruf b, atau huruf c.
Pasal 709 Pembuat tindak pidana sebagaimana di-maksud dalam Pasal 678, Pasal 679, Pasal 682, Pasal 687 sampai dengan Pasal 691, Pasal 692, Pasal 694, Pasal 695, atau Pasal 696 dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk menjalankan profesi tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (1) huruf f.