SISTEMIK LUPUS ERITEMATOSUS I. DEFINISI Lupus Eritematosus Sistemik Adalah penyakit autoimun yang mengenai multiple organ, ditandai dengan beragam macam autoantibodi terutama antibodi antinukleus (ANA), dimana perlukaan disebabkan oleh deposit kompleks imun dan pengikatan antibodi dengan berbagai sel dan jaringan. Lupus berasal dari bahasa latin yang berarti anjing hutan atau serigala, sedangkan erythematosus dalam bahasa Yunani berarti kemerah-merahan. Istilah lupus erythematosus pernah digunakan pada zaman Yunani kuno untuk menyatakan suatu penyakit kulit kemerahan di sekitar pipi yang disebabkan oleh gigitan anjing hutan. II. EPIDEMIOLOGI Insiden tahunan SLE di Amerika serikat sebesar 5,1 per 100.000 penduduk, sementara prevalensi SLE di Amerika dilaporkan 52 kasus per 100.000 penduduk, dengan rasio jender wanita dan laki-laki antara 9-14:1. Belum terdapat data epidemiologi SLE yang mencakup semua wilayah Indonesia. Data tahun 2002 di RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, didapatkan 1.4% kasus SLE dari total kunjungan pasien di poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam sementara di RS Hasan Sadikin Bandung terdapat 291 Pasien SLE atau 10.5% dari total pasien yang berobat ke poliklinik reumatologi selama tahun 2010. 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
SISTEMIK LUPUS ERITEMATOSUS
I. DEFINISI
Lupus Eritematosus Sistemik Adalah penyakit autoimun yang mengenai multiple organ,
ditandai dengan beragam macam autoantibodi terutama antibodi antinukleus (ANA), dimana
perlukaan disebabkan oleh deposit kompleks imun dan pengikatan antibodi dengan berbagai
sel dan jaringan.
Lupus berasal dari bahasa latin yang berarti anjing hutan atau serigala, sedangkan
erythematosus dalam bahasa Yunani berarti kemerah-merahan. Istilah lupus erythematosus
pernah digunakan pada zaman Yunani kuno untuk menyatakan suatu penyakit kulit
kemerahan di sekitar pipi yang disebabkan oleh gigitan anjing hutan.
II. EPIDEMIOLOGI
Insiden tahunan SLE di Amerika serikat sebesar 5,1 per 100.000 penduduk, sementara
prevalensi SLE di Amerika dilaporkan 52 kasus per 100.000 penduduk, dengan rasio jender
wanita dan laki-laki antara 9-14:1. Belum terdapat data epidemiologi SLE yang mencakup
semua wilayah Indonesia. Data tahun 2002 di RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta,
didapatkan 1.4% kasus SLE dari total kunjungan pasien di poliklinik Reumatologi Penyakit
Dalam sementara di RS Hasan Sadikin Bandung terdapat 291 Pasien SLE atau 10.5% dari
total pasien yang berobat ke poliklinik reumatologi selama tahun 2010.
III. ETIOLOGI
Etiologi dari penyakit ini belum seluruhnya diketahui namun diduga :
1. Faktor genetik
Saudara kandung pasien SLE memiliki risiko menderita SLE 30% lebih tinggi
daripada orang yang tidak memiliki saudara penderita SLE. Tingkat penemuan gen
dalam SLE meningkat pada beberapa tahun terakhir. Asosiasi penelitian genom (large
genome-wide association studies (GWAS)) telah mengkonfirmasi adnya asosiasi gen
terhadap respon imun dan inflamasi.
1
2. Efek Epigenetik
Risiko menderita SLE dapat dipengaruhi oleh efek epigenetik seperti metilasi DNA
dan modifikasi post-translasi histone, yang mana dapat terjadi karena faktor keturunan
atau termodifikasi oleh lingkungan. Epigenetik mengacu pada perubahan pada
ekspresi gen yang diturunkan yang disebabkan oleh mekanisme selain perubahan
dasar sequence DNA.
3. Faktor lingkungan
Pencetus SLE dalam lingkungan adalah sinar ultraviolet, obat demethilasi, infeksi
endogen virus. Sinar matahari adalah pencetus yang nyata dari eksaserbasi SLE.
Epstein-barr virus (EBV) telah diidentifikasi sebagai faktor penyebab perkembangan
lupus. EBV dapat bernaung dan berinteraksi dengan B cells dan dan mencetuskan
produksi interferon α (IFNα) oleh sel dendritik plasma (pDCs), peningkatan IFNα di
lupus mungkin bagian dari penyebabnya adalah infeksi kronis dari virus. Obat yang
dimetabolisme dengan asetilasi seperti procainamide and hydralazine dapat
menyebabkan lupus pada pasien yang memiliki asetilator yang lambat.obat ini dapat
merubah ekspresi gen pada CD4+ T cells dengan menginhibisi metilasi dari DNA
yang menginduksi ekspresi berlebihan dari antigen LFA-1, yang menyebabkan
autoreaktivitas. Hydralazine yang digunakan secara luas untuk terapi pada hipertensi.
Sindrom ini terjadi pada 6-7% penderita hipertensi, setelah terapi selama 3 tahun
dengan hydrallazine,dengan dosis 100 mg/hari (5,4%) dan 200 mg/hari (10,4%).
Tetapi tidak terjadi pada pemberian dengan dosis 50 mg/hari.
4. Faktor Hormon
Peningkatan estrogen atau prolaktin dapat menyebabkan penotipe autoimun dengan
peningkatan tinggi afitinas dari autorektif B cells. Biasanya terjadi pada pengguna
estrogen sebagai kontrsepsi oral atau terapi post menopause, dapat juga terjadi pada
wanita hamil pada trimester pertama
5. Jenis kelamin : lebih tinggi pada wanita (11,6%) dibanding pria (2,8%).
IV. PATOGENESIS
Patogenesis SLE sangat kompleks melibatkan kelainan imun multipel termasuk fungsi
abnormal sel B yang terus menerus membentuk antibodi dan membentuk sel T yang
autoreaktif. Di samping itu terjadi pula pembersihan abnormal kompleks imun berakibat
penumpukan dalam jaringan, aktivasi komplemen dan apoptosis sel cacat yang menyebabkan
penumpukan autoantigen yang potensial. Hasil akhir proses di atas adalah induksi radang dan
2
gagal organ termasuk ginjal, jantung, kulit dan sistem saraf. Bukti adanya predidposisis
genetik antara lain adalah peningkatan corcodance penyakit pada kembar monozigot
dibandingkan dengan kembar dizigot, frekuensi penyakit sebesar 10% pada pasien yang
memiliki lebih dari satu anggota keluarga dengan penyakit serupa, dan korelasi gena tertentu.
(terutama MHC kelas II dan III) dengan penyakit dan autoantibodi. C4AQO, alel kelas III
yang defektif dan tidak dapat mengkode protein C4A fungsional, merupakan penanda genetik
yang paling dikaitkan dengan SLE pada banyak kelompok etnik.
Pada suatu populasi, haplotipe extended tertentu, seperti B8, DR3, DQw2, C3AQO,
menimbulkan kecenderungan timbulnya SLE. Asosiasi gen terdapat paling kuat terdapat pada
HLA kelas II (terutama Dqbeta) dan autobaodi yang menentukan subset klinik lupus.
Misalnya titer IgG anti-DNA yang tinggi berkaitan dengan nefritis lupus dan dengan
DQB10201. *0602, dan *0302 yabg diturunkan dengan DR2 dan DR3. Antibodi terhadap
Ro/La (SS-A/SS-B) berkaitan dengan dermatitis pada lupus kutis subakut dengan dan dengan
gen DQA atau DQB tertentu yang diturunkan bersama DR3 (kadang-kadang DR2).
Antikoagulan lupus, yang secara klinis berkaitan dengan pembekuan , berhubungan dengan
DQB*0301, *0302, *0303, dan *0602 yang diturunkan dengan DR4 dan DR7. Gena
kerentanan DQA atau DQB pada setiap kelompok sama-sama memiliki sekuens asam amino
yang mungkin menentukan kemampuan membentuk autoantibodi tertentu. Kajian terhadap
keluarga mengisyaratkan bahwa gena yang tidak berkaitan dengan HLA juga ikut berperan
pada kerentenan dan bahwa, dibandingkan laki-laki, perempuan lebih besar kemungkinannya
mengekspresikan gejala autoimun genotipenya. Makin banyak seseorang memiliki gena
kerentanan, makin tinggi risiko relatif SLE; mungkin diperlukan tiga atau empat gena yang
berlainan.
Faktor lingkungan yang menyebabkan timbulnya SLE timbulnya tidak diketahui, kecuali
sinar UV-B (dan kadang-kadang UV-A). Hampir 70% pasien bersifat fotosensitif. Faktor lain
yang diduga berperan antara lain adalah memakan minyak wijen (alfafa sprout) dan zat
kimia, seperti hidrazin dan pewarna rambut. S\sekarang sedang dilakukan penelitian untuk
mencari virus atau retrovirus sebagai penginduksi tetapi hasilnya belum dapat disimpulakan.
Walaupun beberapa beberapa obat dapat menginduksi penyakit mirip lupus, lupus spontan
dan lupus akibat obat memiliki perbedaan klinis maupun antibodi. Jenis kelamin perempuan
jelas merupakan faktor kerentanan, karena prevalensi pada perempuan berusia subur adalah
tujuh sampai sembilan kali lebih tinggi dari pada laki-laki, sedangkan rasio perempuan
dibandingkan laki-laki adalah 3:1 pada masa pra- dan pasca menopause. Pada pasien lupus,
3
metabolisme hormon estrogenik dan androgenik abnormal.hormon seks jugamempengaruhi
toleransi imun.
Respon imun abnormal nyang ditemukan termasuk juga pembentukan teru menerus subset
autoantibodi dan komplek imun yang patogenik. Belum diketahui adanya gena
imunoglunulin yang secara ekslusif mengkode autobodi yang merugikan , walaupun gena
regio V tertentu (terutama VH) tampaknya sering terpakai, dan mungkin terdapat seleksi
klonal sel B yang mengeksresikan antibodi beraviditas tinggi terhadap autoantigen. Pada
sebagian model lupus pada murine, peran sel T penolong sangat menentukan timbulnya
penyakit. Telah dilakukan penelitian supresi sel T sebagai intervensi terapeutic untuk pasien.
Kelainan yang memungkinkan hiperaktivasi sel T dan B autoreaktif mendominasi respons
imun pada SLE masih belum diketahui. Sel ini lolos dari meskanisme toleransi normal;
mereka tidak mengalami deplesi atau anergi. Bukti terbaru pada tikus mengisyaratkan bahwa
gangguan apoptosis, yang dikode secara genetis, mungkin menghambat eliminasi sel
autoreaktif. Terdapat bukti bahwa prekusor sel induk sumsum tulang untuk sel B dan
mungkin sel T, secara intrinsik tidak normal. Selain itu, mungkin lingkungan mikro tempat
sel induk ini berkembang yang tidak normal. Kemungkinan gena, hormon seks, dan antigen
eksogen mempengaruhi toleransi dan pengaktifan sel. Selain itu, sel ini mungkin mengalami
4
perubahan akibat adanya antibodi antilimfosit. Struktur antigen yang merangsang
autoantibodi masih dalam penelitian. Beberapa diantaranya jelas berasal dari diri-sendiri
( histon, RNP< antige permukaan eritrosit); sebagian lainnya mungkin berasal dari
lingkungan luar dan mirip dengan komponen diri (mis. Komponen virus stomatis vesikuler
mirip dengan peptida pada antigen Ro). Beberapa autoantibodi menginduksi penyakit melalui
reaksi langsung dengan antigennya, misalnya antibodi yang ditujukan kepada antigen
permukaan eritrosit dan trombosit. Sebagian lagi mungkin melekat ke membaran sel
(misalnya membrana basal glomelurus, MBG) melalui muatan kation atau karena mereka
bereaksi silang dengan komponen jaringan. Juga dapat terjadi perubahan fungsi sel setelah
antibodi berikatan dengan antigen dengan membrana tanpa tergantung pada pengaktifan
komplemen. SLE terjadi jika terdapat kelainan pengaturan respon imun. Pembersihan
komplek-imun tidak adekuat. Reseptor CR1 pada eritrosit jumlahnya sedikit. (biasnya
reseptor tersebut berkurang akibat tingginya kadar komplek imun, kadang-kadang karena
kontrol genetik) sehingga banyak KI tidak ditranspotasikan ke sistem fagosit mononukleus
(SFM). SFM tidak mampu mengolah KI secara normal jaringan idiotipe-anti-idiotipe tidak
dapat menekan sel T dan B yang hiperaktif. Pada SLE, sebagian besar fungsi limfosit T
menjadi fungsi penolong: sel T CD4+CD8, CD4-CD8+, CD4-CD8-, alfa/beta, dan
gama/delta telah dibuktikan membantu sel B memproduksi autoantibodi. Dengan demikian,
fungsi penekan yang biasanya dimiliki oleh sel CD4-CD8+ dan sel NK menghilang.
Akhirnya, mekanisme toleransi normal yang melenyapkan atau menginaktifkan limfosit T
dan B yang sangat autoreaktif juga terganggu.
Secara ringkas sebagai individu secera genetis memiliki kecenderungan mengalami SLE.
Dibawah pengaruh berbagai gena. Sering dicetuskan oleh pengaruh lingkungan dan sangat
dipengaruhi oleh jenis kelamin, individu tersebut dapat mengalami berbagai sindroma klinis
yang memenuhi kriteria SLE. Penyebab sindroma ini sangat kompleks dan mungkin berbeda
untuk tiap-tiap pasien.
V. MANIVESTASI KLINIS
SLE adalah penyakit autoimun multisistem yang dapat bersifat eksaserbasi dan remisi.
Penyakit ini menyerang berbagai macam organ seperti kulit, ginjal, muskuloskeletal, saraf,
kardiovaskular, serta rongga mulut. Sebanyak 50-70% pasien SLE mengalami gangguan pada
ginjalnya. Keterlibatan ginjal merupakan penyebab utama tingginya morbiditas dan
5
mortalitas pada populasi ini. Secara klinis, penyakit ginjal pada SLE berawal dari proteinuria
asimtomatik yang kemudian berkembang dengan cepat menjadi glomerulonefritis progresif
disertai dengan gagal ginjal. Sekitar 95% pasien SLE dapat menunjukkan manifestasi pada
muskuloskeletal. Arthralgia, deformitas sendi, kelainan sendi temporomandibular dan
nekrosis avaskular telah dilaporkan terjadi pada pasien SLE. Pada kulit, manifestasi SLE
disebut juga lupus dermatitis. Lupus dermatitis dapat dibagi menjadi discoid lupus
erythematosus (DLE) dan subacute cutaneous lupus erythematosus (SCLE). Kebanyakan
gambaran klinis SLE pada kulit berupa lesi diskoid yang umum bersifat fotosensitif, eritema
sedikit meninggi, bersisik, pada wajah bagian pipi dan sekitar hidung yang disebut buterfly
rash karena membentukseperti sayap kupu-kupu (Gambar 1), telinga, dagu, daerah leher,
punggung atas, dan bagian ekstensor dari lengan. Sebanyak 5% individu dengan DLE
memiliki SLE namun, diantara individu dengan SLE, sebanyak 20% memiliki DLE.
Tingkat keparahan butterfly rush, kadang disertai dengan serangan penyakit sistemik. SCLE
dapat menimbulkan bercak merah bersisik mirip dengan psoriasis atau lesi sirkuler datar
kemerahan. Pasien dengan manifestasi ini sangat fotosensitif; kebanyakan memiliki antibodi
terhadap Ro (SS-A). Manifestasi SLE pada kulit lainnya dapat ditemukan berupa urtikaria
rekuren, dermatitis lichen planus-like, bulla, dan panikulitis. Timbulnya manifestasi sistem
saraf pusat (SSP) dapat terjadi pada sekitar 20% pasien SLE dan biasanya disebabkan oleh
vaskulitis serebral atau kerusakan saraf langsung. Manifestasi SSP terdiri dari psikosis,
stroke, kejang, myelitis dan dapat memperburuk keseluruhan prognosis dari penyakit SLE.
SLE dapat melibatkan kardiovaskular, berupa vaskulitis dan perikarditis. Selain itu,
kerusakan endokardium, miokarditis, dan cacat konduksi biasanya juga terjadi. Selama
kelangsungan hidup pasien SLE, arterosklerosis akan meningkat dengan dipercepat oleh
6
penyakit arteri koroner, dan hal ini telah menjadi masalah klinis yang penting. Berdasarkan
sebuah studi, dinyatakan bahwa infark miokardium, gagal jantung, dan stroke adalah 8,5,
13,2 dan 10,1 kali lebih sering terjadi pada perempuan dengan SLE dibandingkan dengan
populasi umum. Kecenderungan peningkatan trombosis pada SLE dipengaruhi oleh adanya
kelainan pada fibrinolisis, protein antikoagulan (protein S), dan adanya antibodi
antifosfolipid. SSP dan trombosis vena dengan emboli paru adalah penyebab utama
morbiditas pada pasien SLE. Sebagai pencegahan pasien SLE membutuhkan antikoagulan
tingkat tinggi.
Derajat Berat Ringannya Penyakit SLE
7
Seringkali terjadi kebingungan dalam proses pengelolaan SLE, terutama menyangkut obat
yang akan diberikan, berapa dosis, lama pemberian dan pemantauan efek samping obat yang
diberikan pada pasien. Salah satu upaya yang dilakukan untuk memperkecil berbagai
kemungkinan kesalahan adalah dengan ditetapkannya gambaran tingkat keparahan SLE.
Penyakit SLE dapat dikategorikan ringan atau berat sampai mengancam nyawa.
Kriteria untuk dikatakan SLE ringan adalah:
1. Secara klinis tenang
2. Tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam nyawa
3. Fungsi organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung, gastrointestinal, susunan
saraf pusat, sendi, hematologi dan kulit.
Contoh SLE dengan manifestasi arthritis dan kulit.
Penyakit SLE dengan tingkat keparahan sedang manakala ditemukan:
1. Nefritis ringan sampai sedang ( Lupus nefritis kelas I dan II)
2. Trombositopenia (trombosit 20-50x10/mm3)
3. Serositis mayor
Penyakit SLE berat atau mengancam nyawa apabila ditemukan keadaan sebagaimana