Top Banner
SISTEMIK LUPUS ERITEMATOSUS I. DEFINISI Lupus Eritematosus Sistemik Adalah penyakit autoimun yang mengenai multiple organ, ditandai dengan beragam macam autoantibodi terutama antibodi antinukleus (ANA), dimana perlukaan disebabkan oleh deposit kompleks imun dan pengikatan antibodi dengan berbagai sel dan jaringan. Lupus berasal dari bahasa latin yang berarti anjing hutan atau serigala, sedangkan erythematosus dalam bahasa Yunani berarti kemerah-merahan. Istilah lupus erythematosus pernah digunakan pada zaman Yunani kuno untuk menyatakan suatu penyakit kulit kemerahan di sekitar pipi yang disebabkan oleh gigitan anjing hutan. II. EPIDEMIOLOGI Insiden tahunan SLE di Amerika serikat sebesar 5,1 per 100.000 penduduk, sementara prevalensi SLE di Amerika dilaporkan 52 kasus per 100.000 penduduk, dengan rasio jender wanita dan laki-laki antara 9-14:1. Belum terdapat data epidemiologi SLE yang mencakup semua wilayah Indonesia. Data tahun 2002 di RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, didapatkan 1.4% kasus SLE dari total kunjungan pasien di poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam sementara di RS Hasan Sadikin Bandung terdapat 291 Pasien SLE atau 10.5% dari total pasien yang berobat ke poliklinik reumatologi selama tahun 2010. 1
31

Sistemik Lupus Eritematosus

Feb 17, 2016

Download

Documents

ElianAmadea

autoimmune disease
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Sistemik Lupus Eritematosus

SISTEMIK LUPUS ERITEMATOSUS

I. DEFINISI

Lupus Eritematosus Sistemik Adalah penyakit autoimun yang mengenai multiple organ,

ditandai dengan beragam macam autoantibodi terutama antibodi antinukleus (ANA), dimana

perlukaan disebabkan oleh deposit kompleks imun dan pengikatan antibodi dengan berbagai

sel dan jaringan.

Lupus berasal dari bahasa latin yang berarti anjing hutan atau serigala, sedangkan

erythematosus dalam bahasa Yunani berarti kemerah-merahan. Istilah lupus erythematosus

pernah digunakan pada zaman Yunani kuno untuk menyatakan suatu penyakit kulit

kemerahan di sekitar pipi yang disebabkan oleh gigitan anjing hutan.

II. EPIDEMIOLOGI

Insiden tahunan SLE di Amerika serikat sebesar 5,1 per 100.000 penduduk, sementara

prevalensi SLE di Amerika dilaporkan 52 kasus per 100.000 penduduk, dengan rasio jender

wanita dan laki-laki antara 9-14:1. Belum terdapat data epidemiologi SLE yang mencakup

semua wilayah Indonesia. Data tahun 2002 di RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta,

didapatkan 1.4% kasus SLE dari total kunjungan pasien di poliklinik Reumatologi Penyakit

Dalam sementara di RS Hasan Sadikin Bandung terdapat 291 Pasien SLE atau 10.5% dari

total pasien yang berobat ke poliklinik reumatologi selama tahun 2010.

III. ETIOLOGI

Etiologi dari penyakit ini belum seluruhnya diketahui namun diduga :

1. Faktor genetik

Saudara kandung pasien SLE memiliki risiko menderita SLE 30% lebih tinggi

daripada orang yang tidak memiliki saudara penderita SLE. Tingkat penemuan gen

dalam SLE meningkat pada beberapa tahun terakhir. Asosiasi penelitian genom (large

genome-wide association studies (GWAS)) telah mengkonfirmasi adnya asosiasi gen

terhadap respon imun dan inflamasi.

1

Page 2: Sistemik Lupus Eritematosus

2. Efek Epigenetik

Risiko menderita SLE dapat dipengaruhi oleh efek epigenetik seperti metilasi DNA

dan modifikasi post-translasi histone, yang mana dapat terjadi karena faktor keturunan

atau termodifikasi oleh lingkungan. Epigenetik mengacu pada perubahan pada

ekspresi gen yang diturunkan yang disebabkan oleh mekanisme selain perubahan

dasar sequence DNA.

3. Faktor lingkungan

Pencetus SLE dalam lingkungan adalah sinar ultraviolet, obat demethilasi, infeksi

endogen virus. Sinar matahari adalah pencetus yang nyata dari eksaserbasi SLE.

Epstein-barr virus (EBV) telah diidentifikasi sebagai faktor penyebab perkembangan

lupus. EBV dapat bernaung dan berinteraksi dengan B cells dan dan mencetuskan

produksi interferon α (IFNα) oleh sel dendritik plasma (pDCs), peningkatan IFNα di

lupus mungkin bagian dari penyebabnya adalah infeksi kronis dari virus. Obat yang

dimetabolisme dengan asetilasi seperti procainamide and hydralazine dapat

menyebabkan lupus pada pasien yang memiliki asetilator yang lambat.obat ini dapat

merubah ekspresi gen pada CD4+ T cells dengan menginhibisi metilasi dari DNA

yang menginduksi ekspresi berlebihan dari antigen LFA-1, yang menyebabkan

autoreaktivitas. Hydralazine yang digunakan secara luas untuk terapi pada hipertensi.

Sindrom ini terjadi pada 6-7% penderita hipertensi, setelah terapi selama 3 tahun

dengan hydrallazine,dengan dosis 100 mg/hari (5,4%) dan 200 mg/hari (10,4%).

Tetapi tidak terjadi pada pemberian dengan dosis 50 mg/hari.

4. Faktor Hormon

Peningkatan estrogen atau prolaktin dapat menyebabkan penotipe autoimun dengan

peningkatan tinggi afitinas dari autorektif B cells. Biasanya terjadi pada pengguna

estrogen sebagai kontrsepsi oral atau terapi post menopause, dapat juga terjadi pada

wanita hamil pada trimester pertama

5. Jenis kelamin : lebih tinggi pada wanita (11,6%) dibanding pria (2,8%).

IV. PATOGENESIS

Patogenesis SLE sangat kompleks melibatkan kelainan imun multipel termasuk fungsi

abnormal sel B yang terus menerus membentuk antibodi dan membentuk sel T yang

autoreaktif. Di samping itu terjadi pula pembersihan abnormal kompleks imun berakibat

penumpukan dalam jaringan, aktivasi komplemen dan apoptosis sel cacat yang menyebabkan

penumpukan autoantigen yang potensial. Hasil akhir proses di atas adalah induksi radang dan

2

Page 3: Sistemik Lupus Eritematosus

gagal organ termasuk ginjal, jantung, kulit dan sistem saraf. Bukti adanya predidposisis

genetik antara lain adalah peningkatan corcodance penyakit pada kembar monozigot

dibandingkan dengan kembar dizigot, frekuensi penyakit sebesar 10% pada pasien yang

memiliki lebih dari satu anggota keluarga dengan penyakit serupa, dan korelasi gena tertentu.

(terutama MHC kelas II dan III) dengan penyakit dan autoantibodi. C4AQO, alel kelas III

yang defektif dan tidak dapat mengkode protein C4A fungsional, merupakan penanda genetik

yang paling dikaitkan dengan SLE pada banyak kelompok etnik.

Pada suatu populasi, haplotipe extended tertentu, seperti B8, DR3, DQw2, C3AQO,

menimbulkan kecenderungan timbulnya SLE. Asosiasi gen terdapat paling kuat terdapat pada

HLA kelas II (terutama Dqbeta) dan autobaodi yang menentukan subset klinik lupus.

Misalnya titer IgG anti-DNA yang tinggi berkaitan dengan nefritis lupus dan dengan

DQB10201. *0602, dan *0302 yabg diturunkan dengan DR2 dan DR3. Antibodi terhadap

Ro/La (SS-A/SS-B) berkaitan dengan dermatitis pada lupus kutis subakut dengan dan dengan

gen DQA atau DQB tertentu yang diturunkan bersama DR3 (kadang-kadang DR2).

Antikoagulan lupus, yang secara klinis berkaitan dengan pembekuan , berhubungan dengan

DQB*0301, *0302, *0303, dan *0602 yang diturunkan dengan DR4 dan DR7. Gena

kerentanan DQA atau DQB pada setiap kelompok sama-sama memiliki sekuens asam amino

yang mungkin menentukan kemampuan membentuk autoantibodi tertentu. Kajian terhadap

keluarga mengisyaratkan bahwa gena yang tidak berkaitan dengan HLA juga ikut berperan

pada kerentenan dan bahwa, dibandingkan laki-laki, perempuan lebih besar kemungkinannya

mengekspresikan gejala autoimun genotipenya. Makin banyak seseorang memiliki gena

kerentanan, makin tinggi risiko relatif SLE; mungkin diperlukan tiga atau empat gena yang

berlainan.

Faktor lingkungan yang menyebabkan timbulnya SLE timbulnya tidak diketahui, kecuali

sinar UV-B (dan kadang-kadang UV-A). Hampir 70% pasien bersifat fotosensitif. Faktor lain

yang diduga berperan antara lain adalah memakan minyak wijen (alfafa sprout) dan zat

kimia, seperti hidrazin dan pewarna rambut. S\sekarang sedang dilakukan penelitian untuk

mencari virus atau retrovirus sebagai penginduksi tetapi hasilnya belum dapat disimpulakan.

Walaupun beberapa beberapa obat dapat menginduksi penyakit mirip lupus, lupus spontan

dan lupus akibat obat memiliki perbedaan klinis maupun antibodi. Jenis kelamin perempuan

jelas merupakan faktor kerentanan, karena prevalensi pada perempuan berusia subur adalah

tujuh sampai sembilan kali lebih tinggi dari pada laki-laki, sedangkan rasio perempuan

dibandingkan laki-laki adalah 3:1 pada masa pra- dan pasca menopause. Pada pasien lupus,

3

Page 4: Sistemik Lupus Eritematosus

metabolisme hormon estrogenik dan androgenik abnormal.hormon seks jugamempengaruhi

toleransi imun.

Respon imun abnormal nyang ditemukan termasuk juga pembentukan teru menerus subset

autoantibodi dan komplek imun yang patogenik. Belum diketahui adanya gena

imunoglunulin yang secara ekslusif mengkode autobodi yang merugikan , walaupun gena

regio V tertentu (terutama VH) tampaknya sering terpakai, dan mungkin terdapat seleksi

klonal sel B yang mengeksresikan antibodi beraviditas tinggi terhadap autoantigen. Pada

sebagian model lupus pada murine, peran sel T penolong sangat menentukan timbulnya

penyakit. Telah dilakukan penelitian supresi sel T sebagai intervensi terapeutic untuk pasien.

Kelainan yang memungkinkan hiperaktivasi sel T dan B autoreaktif mendominasi respons

imun pada SLE masih belum diketahui. Sel ini lolos dari meskanisme toleransi normal;

mereka tidak mengalami deplesi atau anergi. Bukti terbaru pada tikus mengisyaratkan bahwa

gangguan apoptosis, yang dikode secara genetis, mungkin menghambat eliminasi sel

autoreaktif. Terdapat bukti bahwa prekusor sel induk sumsum tulang untuk sel B dan

mungkin sel T, secara intrinsik tidak normal. Selain itu, mungkin lingkungan mikro tempat

sel induk ini berkembang yang tidak normal. Kemungkinan gena, hormon seks, dan antigen

eksogen mempengaruhi toleransi dan pengaktifan sel. Selain itu, sel ini mungkin mengalami

4

Page 5: Sistemik Lupus Eritematosus

perubahan akibat adanya antibodi antilimfosit. Struktur antigen yang merangsang

autoantibodi masih dalam penelitian. Beberapa diantaranya jelas berasal dari diri-sendiri

( histon, RNP< antige permukaan eritrosit); sebagian lainnya mungkin berasal dari

lingkungan luar dan mirip dengan komponen diri (mis. Komponen virus stomatis vesikuler

mirip dengan peptida pada antigen Ro). Beberapa autoantibodi menginduksi penyakit melalui

reaksi langsung dengan antigennya, misalnya antibodi yang ditujukan kepada antigen

permukaan eritrosit dan trombosit. Sebagian lagi mungkin melekat ke membaran sel

(misalnya membrana basal glomelurus, MBG) melalui muatan kation atau karena mereka

bereaksi silang dengan komponen jaringan. Juga dapat terjadi perubahan fungsi sel setelah

antibodi berikatan dengan antigen dengan membrana tanpa tergantung pada pengaktifan

komplemen. SLE terjadi jika terdapat kelainan pengaturan respon imun. Pembersihan

komplek-imun tidak adekuat. Reseptor CR1 pada eritrosit jumlahnya sedikit. (biasnya

reseptor tersebut berkurang akibat tingginya kadar komplek imun, kadang-kadang karena

kontrol genetik) sehingga banyak KI tidak ditranspotasikan ke sistem fagosit mononukleus

(SFM). SFM tidak mampu mengolah KI secara normal jaringan idiotipe-anti-idiotipe tidak

dapat menekan sel T dan B yang hiperaktif. Pada SLE, sebagian besar fungsi limfosit T

menjadi fungsi penolong: sel T CD4+CD8, CD4-CD8+, CD4-CD8-, alfa/beta, dan

gama/delta telah dibuktikan membantu sel B memproduksi autoantibodi. Dengan demikian,

fungsi penekan yang biasanya dimiliki oleh sel CD4-CD8+ dan sel NK menghilang.

Akhirnya, mekanisme toleransi normal yang melenyapkan atau menginaktifkan limfosit T

dan B yang sangat autoreaktif juga terganggu.

Secara ringkas sebagai individu secera genetis memiliki kecenderungan mengalami SLE.

Dibawah pengaruh berbagai gena. Sering dicetuskan oleh pengaruh lingkungan dan sangat

dipengaruhi oleh jenis kelamin, individu tersebut dapat mengalami berbagai sindroma klinis

yang memenuhi kriteria SLE. Penyebab sindroma ini sangat kompleks dan mungkin berbeda

untuk tiap-tiap pasien.

V. MANIVESTASI KLINIS

SLE adalah penyakit autoimun multisistem yang dapat bersifat eksaserbasi dan remisi.

Penyakit ini menyerang berbagai macam organ seperti kulit, ginjal, muskuloskeletal, saraf,

kardiovaskular, serta rongga mulut. Sebanyak 50-70% pasien SLE mengalami gangguan pada

ginjalnya. Keterlibatan ginjal merupakan penyebab utama tingginya morbiditas dan

5

Page 6: Sistemik Lupus Eritematosus

mortalitas pada populasi ini. Secara klinis, penyakit ginjal pada SLE berawal dari proteinuria

asimtomatik yang kemudian berkembang dengan cepat menjadi glomerulonefritis progresif

disertai dengan gagal ginjal. Sekitar 95% pasien SLE dapat menunjukkan manifestasi pada

muskuloskeletal. Arthralgia, deformitas sendi, kelainan sendi temporomandibular dan

nekrosis avaskular telah dilaporkan terjadi pada pasien SLE. Pada kulit, manifestasi SLE

disebut juga lupus dermatitis. Lupus dermatitis dapat dibagi menjadi discoid lupus

erythematosus (DLE) dan subacute cutaneous lupus erythematosus (SCLE). Kebanyakan

gambaran klinis SLE pada kulit berupa lesi diskoid yang umum bersifat fotosensitif, eritema

sedikit meninggi, bersisik, pada wajah bagian pipi dan sekitar hidung yang disebut buterfly

rash karena membentukseperti sayap kupu-kupu (Gambar 1), telinga, dagu, daerah leher,

punggung atas, dan bagian ekstensor dari lengan. Sebanyak 5% individu dengan DLE

memiliki SLE namun, diantara individu dengan SLE, sebanyak 20% memiliki DLE.

Tingkat keparahan butterfly rush, kadang disertai dengan serangan penyakit sistemik. SCLE

dapat menimbulkan bercak merah bersisik mirip dengan psoriasis atau lesi sirkuler datar

kemerahan. Pasien dengan manifestasi ini sangat fotosensitif; kebanyakan memiliki antibodi

terhadap Ro (SS-A). Manifestasi SLE pada kulit lainnya dapat ditemukan berupa urtikaria

rekuren, dermatitis lichen planus-like, bulla, dan panikulitis. Timbulnya manifestasi sistem

saraf pusat (SSP) dapat terjadi pada sekitar 20% pasien SLE dan biasanya disebabkan oleh

vaskulitis serebral atau kerusakan saraf langsung. Manifestasi SSP terdiri dari psikosis,

stroke, kejang, myelitis dan dapat memperburuk keseluruhan prognosis dari penyakit SLE.

SLE dapat melibatkan kardiovaskular, berupa vaskulitis dan perikarditis. Selain itu,

kerusakan endokardium, miokarditis, dan cacat konduksi biasanya juga terjadi. Selama

kelangsungan hidup pasien SLE, arterosklerosis akan meningkat dengan dipercepat oleh

6

Page 7: Sistemik Lupus Eritematosus

penyakit arteri koroner, dan hal ini telah menjadi masalah klinis yang penting. Berdasarkan

sebuah studi, dinyatakan bahwa infark miokardium, gagal jantung, dan stroke adalah 8,5,

13,2 dan 10,1 kali lebih sering terjadi pada perempuan dengan SLE dibandingkan dengan

populasi umum. Kecenderungan peningkatan trombosis pada SLE dipengaruhi oleh adanya

kelainan pada fibrinolisis, protein antikoagulan (protein S), dan adanya antibodi

antifosfolipid. SSP dan trombosis vena dengan emboli paru adalah penyebab utama

morbiditas pada pasien SLE. Sebagai pencegahan pasien SLE membutuhkan antikoagulan

tingkat tinggi.

Derajat Berat Ringannya Penyakit SLE

7

Page 8: Sistemik Lupus Eritematosus

Seringkali terjadi kebingungan dalam proses pengelolaan SLE, terutama menyangkut obat

yang akan diberikan, berapa dosis, lama pemberian dan pemantauan efek samping obat yang

diberikan pada pasien. Salah satu upaya yang dilakukan untuk memperkecil berbagai

kemungkinan kesalahan adalah dengan ditetapkannya gambaran tingkat keparahan SLE.

Penyakit SLE dapat dikategorikan ringan atau berat sampai mengancam nyawa.

Kriteria untuk dikatakan SLE ringan adalah:

1. Secara klinis tenang

2. Tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam nyawa

3. Fungsi organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung, gastrointestinal, susunan

saraf pusat, sendi, hematologi dan kulit.

Contoh SLE dengan manifestasi arthritis dan kulit.

Penyakit SLE dengan tingkat keparahan sedang manakala ditemukan:

1. Nefritis ringan sampai sedang ( Lupus nefritis kelas I dan II)

2. Trombositopenia (trombosit 20-50x10/mm3)

3. Serositis mayor

Penyakit SLE berat atau mengancam nyawa apabila ditemukan keadaan sebagaimana

tercantum di bawah ini, yaitu:

1. Jantung: endokarditis Libman-Sacks, vaskulitis arteri koronaria, miokarditis,

tamponade jantung, hipertensi maligna.

2. Paru-paru: hipertensi pulmonal, perdarahan paru, pneumonitis, emboli paru, infark

paru, ibrosis interstisial, shrinking lung.

3. Gastrointestinal: pankreatitis, vaskulitis mesenterika.

4. Ginjal: nefritis proliferatif dan atau membranous.

5. Kulit: vaskulitis berat, ruam difus disertai ulkus atau melepuh (blister).

6. Neurologi: kejang, acute confusional state, koma, stroke, mielopati transversa,

mononeuritis, polineuritis, neuritis optik, psikosis, sindroma demielinasi.

7. Hematologi: anemia hemolitik, neutropenia (leukosit <1.000/mm), trombositopenia <

20.000/m, purpura trombotik trombositopenia, trombosis vena atau arteri.

8

Page 9: Sistemik Lupus Eritematosus

VI. DIAGNOSIS

Diagnosis penyakit SLE sangat sulit untuk ditegakkan. Selain dapat menimbulkan kerusakan

beberapa organ dalam, gejala dari penyakit ini juga terlihat sangat bervariasi dan tidak sama

pada setiap penderita.

9

Page 10: Sistemik Lupus Eritematosus

Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis SLE memiliki sensitiitas 85% dan�

spesiisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA positif, maka sangat�

mungkin SLE dan diagnosis bergantung pada pengamatan klinis. Bila hasil tes ANA negatif,

maka kemungkinan bukan SLE. Apabila hanya tes ANA positif dan manifestasi klinis lain

tidak ada, maka belum tentu SLE, dan observasi jangka panjang diperlukan.

10

Page 11: Sistemik Lupus Eritematosus

Gejala yang dapat timbul berupa demam berkepanjangan, foto sensitifitas, perubahan berat

badan, kelenjar limfe yang membengkak, dan terjadi perubahan terhadap beberapa organ vital

lainnya. SLE pada tahap awal, seringkali memberikan gambaran seperti penyakit lain

misalnya artritis reumatoid, gelomerulonefritis, anemia, dermatitis, dan sebagainya. Oleh

karena itu, ketepatan diagnosis dan deteksi dini penyakit SLE penting untuk diperhatikan,

mengingat gejala penyakit ini sama dengan penyakit lain. Pada tahun 1982, American

Collage Of Rheumatology membuat suatu kriteria yang dapat menjamin akurasi diagnosis

lupus yaitu sampai ketepatan 98% dan pada tahun 1997 telah di revisi.

Pemeriksaan Penunjang Minimal Lain yang Diperlukan untuk Diagnosis dan

Monitoring:

1. Hemoglobin, lekosit, hitung jenis sel, laju endap darah (LED)*

2. Urin rutin dan mikroskopik, protein kwantitatif 24 jam, dan bila diperlukan kreatinin

urin.

3. Kimia darah (ureum, kreatinin, fungsi hati, proil lipid)*�4. PT, aPTT pada sindroma antifosfolipid

5. Serologi ANA, anti-dsDNA, komplemen (C3,C4))

6. Foto polos thorax

§ pemeriksaan hanya untuk awal diagnosis, tidak diperlukan untuk monitoring

* Setiap 3-6 bulan bila stabil

† Setiap 3-6 bulan pada pasien dengan penyakit ginjal aktif.

ANA, antibodi antinuklear; PT/PTT, protrombin time/partial tromboplastin time.

Pemeriksaan tambahan lainnya tergantung dari manifestasi SLE. Waktu pemeriksaan untuk

monitoring dilakukan tergantung kondisi klinis pasien.

Pemeriksaan Serologi pada SLE

Tes imunologik awal yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis SLE adalah tes ANA

generik.(ANA IF dengan Hep 2 Cell). Tes ANA dikerjakan/diperiksa hanya pada pasien

dengan tanda dan gejala mengarah pada SLE. Pada penderita SLE ditemukan tes ANA yang

11

Page 12: Sistemik Lupus Eritematosus

positif sebesar 95-100%, akan tetapi hasil tes ANA dapat positif pada beberapa penyakit lain

yang mempunyai gambaran klinis menyerupai SLE misalnya infeksi kronis (tuberkulosis),

penyakit autoimun (misalnya Mixed connective tissue disease) (MCTD), artritis rematoid,

tiroiditis autoimun), keganasan atau pada orang normal.

Jika hasil tes ANA negatif, pengulangan segera tes ANA tidak diperlukan, tetapi perjalanan

penyakit reumatik sistemik termasuk SLE seringkali dinamis dan berubah, mungkin

diperlukan pengulangan tes ANA pada waktu yang akan datang terutama jika didapatkan

gambaran klinis yang mencurigakan. Bila tes ANA dengan menggunakan sel Hep-2 sebagai

substrat; negatif, dengan gambaran klinis tidak sesuai SLE umumnya diagnosis SLE dapat

disingkirkan.

Beberapa tes lain yang perlu dikerjakan setelah tes ANA positif adalah tes antibodi terhadap

antigen nuklear spesi ik, termasuk anti-dsDNA, Sm, nRNP, Ro(SSA), La (SSB), Scl-70 dan

anti-Jo. Pemeriksaan ini dikenal sebagai profil ANA/ENA. Antibodi anti-dsDNA merupakan

tes spesi ik untuk SLE, jarang didapatkan pada penyakit lain dan spesi itasnya hampir 100%.

Titer anti-dsDNA yang tinggi hampir pasti menunjukkan diagnosis SLE dibandingkan

dengan titer yang rendah. Jika titernya sangat rendah mungkin dapat terjadi pada pasien yang

bukan SLE.

Kesimpulannya, pada kondisi klinik adanya anti-dsDNA positif menunjang diagnosis SLE

sementara bila anti ds-DNA negatif tidak menyingkirkan adanya SLE. Meskipun anti-Sm

didapatkan pada 15% -30% pasien SLE, tes ini jarang dijumpai pada penyakit lain atau orang

normal. Tes anti-Sm relatif spesi ik untuk SLE, dan dapat digunakan untuk diagnosis SLE.

Titer anti-Sm yang tinggi lebih spesi ik untuk SLE. Seperti anti-dsDNA, anti-Sm yang

negatif tidak menyingkirkan diagnosis.

Penilaian Aktivitas Penyakit SLE

Perjalanan penyakit SLE yang ditandai dengan eksaserbasi dan remisi, memerlukan

pemantauan yang ketat akan aktivitas penyakitnya. Evaluasi aktivitas penyakit ini berguna

sebagai panduan dalam pemberian terapi. Indeks untuk menilai aktivitas penyakit seperti

SLEDAI, MEX-SLEDAI, SLAM, BILAG Score, dsb. Dianjurkan untuk menggunakan

MEX-SLEDAI atau SLEDAI. MEX-SLEDAI lebih mudah diterapkan pada pusat kesehatan

primer yang jauh dari tersedianya fasilitas laboratorium canggih.

12

Page 13: Sistemik Lupus Eritematosus

13

Page 14: Sistemik Lupus Eritematosus

VII. TATALAKSANA

Pengobatan imunosupresif merupakan pengobatan utama bagi SLE berat dan telah terbukti

efektif mengurangi beberapa gejala sisa SLE termasuk penyakit ginjal stadium akhir namun

tidak terbukti memperbaiki morbiditas dan mortalitas. Di samping itu pengobatan tersebut

dapat meningkatkan risiko infeksi serius, toksik terhadap jaringan dan organ di luar sistem

imun.

Obat harus efektif dan aman dengan memperhatikan tahapan patofisiologi perkembangan

autoimun, respons imun abnormal yang terus menerus dan kerusakan jaringan akibat

imunitas yang dibutuhkan untuk mengenal dan menentukan sasaran sangat spesifik.

14

Page 15: Sistemik Lupus Eritematosus

Pengetahuan mekanisme SLE dapat digunakan untuk memilih obat lebih baik yang ditujukan

pada target. Target terhadap sel B dan sel T akan memperbaiki hasil induksi remisi.

Manifestasi tertentu SLE seperti penyakit kulit yang refrakter dan nefritis berhasil diatasi

dengan baik dengan antagonis TNF-a dan anti IL-6.

Pilar Pengobatan Lupus Eritematosus Sistemik

1. Edukasi dan konseling

2. Program rehabilitasi

3. Pengobatan medikamentosa

a. OAINS

b. Anti malaria

c. Steroid

d. munosupresan / Sitotoksik

e. Terapi lain

1. Edukasi / Konseling

Pada dasarnya pasien SLE memerlukan informasi yang benar dan dukungan dari sekitarnya

dengan maksud agar dapat hidup mandiri. Perlu dijelaskan akan perjalanan penyakit dan

kompleksitasnya. Pasien memerlukan pengetahuan akan masalah aktivitas isik, mengurangi�

atau mencegah kekambuhan antara lain melindungi kulit dari paparan sinar matahari (ultra

violet) dengan memakai tabir surya, payung atau topi; melakukan latihan secara teratur.

Pasien harus memperhatikan bila mengalami infeksi. Perlu pengaturan diet agar tidak

kelebihan berat badan, osteoporosis atau terjadi dislipidemia. Diperlukan informasi akan

pengawasan berbagai fungsi organ, baik berkaitan dengan aktivitas penyakit ataupun akibat

pemakaian obat-obatan. Butir-butir edukasi pada pasien.

15

Page 16: Sistemik Lupus Eritematosus

2. Program Rehabilitasi

Terdapat berbagai modalitas yang dapat diberikan pada pasien dengan SLE tergantung

maksud dan tujuan dari program ini. Salah satu hal penting adalah pemahaman akan

turunnya masa otot hingga 30% apabila pasien dengan SLE dibiarkan dalam kondisi

immobilitas selama lebih dari 2 minggu. Disamping itu penurunan kekuatan otot akan terjadi

sekitar 1-5% per hari dalam kondisi imobilitas. Berbagai latihan diperlukan untuk

mempertahankan kestabilan sendi. Modalitas fisik seperti pemberian panas atau dingin�

diperlukan untuk mengurangi rasa nyeri, menghilangkan kekakuan atau spasme otot.

Demikian pula modalitas lainnya seperti transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS)

memberikan manfaat yang cukup besar pada pasien dengan nyeri atau kekakuan otot. Secara

garis besar, maka tujuan, indikasi dan tekhnis pelaksanaan program rehabilitasi yang

melibatkan beberapa maksud di bawah ini, yaitu:

a. Istirahat

b. Terapi isik�

c. Terapi dengan modalitas

d. Ortotik

e. Lain-lain.

16

Page 17: Sistemik Lupus Eritematosus

3. Medikamentosa

Imunosupresi dengan target sel B

Sebagian besar sel B terlibat dalam patogenesis SLE sebagai sumber autoantibodi, sebagai

antigen-presenting cells (APC), sebagai pemrakarsa serta pengatur radang melalui sekresi

sitokin. Sel B merupakan target pengobatan imunosupresi termasuk anti-CD20 monoclonal

antibody (rituximab) dan anti-B lymphocyte stimulator (BLyS).

Anti-CD20 Antibody

Antibodi untuk mengurangi jumlah sel B pada SLE yaitu antibodi monoklonal terhadap

CD20 (rituximab). Ekspresi CD20 terjadi pada awal perkembangan limfosit B. Pemberian

rituximab akan mengurangi limfosit B positif CD20 dengan cepat, setelah itu terjadi remisi

dengan sel B asli yang tidak terpapar antigen. Efek samping rituximab yang paling sering:

reaksi transfusi (30–35%), neutropenia (8%), dan produksi human antichimeric antibodies

(9%). Kasus fatal yang jarang terjadi termasuk progressive multifocal leukoencephalopathy

17

Page 18: Sistemik Lupus Eritematosus

yang disebabkan polyomavirus JC. Monoclonal anti-CD20 antibodies yang baru termasuk

ocrelizumab, merupakan recombinant humanized monoclonal anti-CD20 antibody telah

dicoba pada SLE ekstrarenal dan nefritis lupus.

18

Page 19: Sistemik Lupus Eritematosus

Anti-CD22 Antibodies - Epratuzumab

Fungsi epratuzumab adalah untuk mengatur fungsi sel B tanpa mengurangi jumlahnya.

Dalam penelitian obat tersebut digunakan untuk SLE sedang sampai berat dengan hasil baik

dan aman serta mengurangi kebutuhan dosis kortikosteroid.

B-Lymphocyte Tolerogens – Abetimus (LJP-394)

Obat ini merupakan tolerogen terhadap sel B yang menyebabkan apoptosis sel B. Abetimus

telah diteliti pada manusia baik penderita lupus non renal maupun lupus nefritis. Tolerogen

lain, yaitu TV-4710 (Edratide), merupakan peptida yang disusun oleh 19 asam amino.

BLyS Blockers

B-cell survival molecule B-lymphocyte stimulator (BLyS) yang juga disebut B-cell activation

factor of the TNF family (BAFF) berperan kunci dalam aktivasi dan diferensiasi sel B

sehingga dapat digunakan sebagai target yang baik untuk intervensi SLE. Penghambatan

BLyS akan mengurangi sel B dan bermakna meningkatkan aktivasi imun.

Contoh obat ini belimumab merupakan human monoclonal antibody yang berikatan dengan

BLyS sehingga menghambat aktivitas biologinya. FDA (Food And Drug Administration)

Amerika Serikat telah menyetujui obat tersebut untuk pengobatan SLE. Penghambat BlyS

lain atacicept ( TACI-Ig) merupakan soluble transmembrane activator dan calcium-modulator

19

Page 20: Sistemik Lupus Eritematosus

dan cyclophilin ligand interactor ( TACI) receptor, yang mengikat BAFF. Obat ini ditoleransi

baik oleh penderita SLE.

Imunosupresi dengan target sel T

Aktivasi sel T membutuhkan interaksi rangsangan CD28:B7. CD28 terekspresi pada sel T

sedangkan ligand B7-1 dan B7-2 (CD80 dan CD86) ditemukan pada APC (Antigen

Precenting Cell). Abatacept dapat menghambat interaksi tersebut. Suatu antibodi monoklonal

efalizumab dapat langsung menghambat CD11a yang berperan penting untuk aktivasi,

reaktivasi, ekstravasasi dan mengalirkan sel T ke kulit. Dengan demikian pemberian obat ini

dapat mengurangi manifestasi kulit penderita SLE.

Imunosupresi yang menghambat sitokin

Sitokin yang berperan pada proses radang, yang selanjutnya akan menyebabkan kerusakan

jaringan dan organ, termasuk tumor necrosis factor alpha ( TNF-a), interferon alpha/gamma

(IFN-a/γ) dan interleukin (IL) 1, 6, 10, 15, dan 18. Sitokin-sitokin tersebut potensial sebagai

target pengobatan untuk mengurangi radang kronis pada SLE.

Anti-TNF-a

TNF-a pada SLE dapat meningkatkan apoptosis dan berpengaruh bermakna pada aktifi tas sel

B, sel T dan sel detritus. Selain itu anti TNF-a menghambat pembentukan autoantibodi

termasuk antinuclear, anti-dsDNA dan anti cardiolipin. Ada beberapa preparat anti TNF-a

yang tersedia termasuk infl iximab, adalimumab, golimumab, certolizumab pegol dan

etanercept.

Anti-IFN-a/γ

IFN-a berperan bermakna pada patogenesis SLE dan berkorelasi dengan aktivitas penyakit

dan komplikasi ginjal. Obat anti INF-a termasuk sifalimumab (MEDI-545) dan rontalizumab

serta obat anti INF-γ (AMG 811) merupakan obat yang aman serta ditoleransi penderita SLE.

Anti-IL-1

Pada SLE, kadar serum TNF dan anti-dsDNA antibody meningkatkan kadar serum IL-1,

peningkatan kadar IL-1 dihubungkan dengan aktifi tas penyakit dan kadar rendah antagonis

reseptor IL-1 dihubungkan dengan nefritis lupus. Anakinra menetralkan aktivitas biologi IL-

1; obat ini aman pada penderita SLE dan efektif memperbaiki artritis.

20

Page 21: Sistemik Lupus Eritematosus

Anti-IL-6

IL-6 menginduksi diferensiasi sel B menjadi sel plasma, sekresi antibodi dan hiperaktif, di

samping itu juga mendorong proliferasisel T, diferensiasi cytotoxic T-cell dan radang lokal.

Ekspresi IL-6 pada nefritis lupus tinggi sehingga digunakan anti IL-6 (tocilizumab).

Neutropeni merupakan efek samping yang sering terjadi pada pemberian tocilizumab.

Anti-IL-10

IL-10 diproduksi oleh sel Th2 dan menghambat sitokin untuk sel T. Kadar IL-10 pada SLE

meningkat dan dihubungkan dengan aktifitas penyakit. Pemberian anti IL-10 akan

menurunkan titer anti-dsDNA antibody dan menghambat terjadinya proteinuria dan

glomerulonefritis.

Anti-IL-15

IL-15 terutama diproduksi oleh makrofag dan ditemukan meningkat pada 40% penderita

SLE, namun peningkatan tersebut tidak berhubungan dengan aktivitas penyakit. Obat anti IL-

15 sedang dicoba untuk penyakit autoimun lain.

Anti-IL-18

IL-18 merupakan sitokin proinfl amasi yang erat hubungannya dengan IL-1. Berbagai

penelitian menemukan peningkatan kadar serum IL-18 pada penderita SLE yang

dihubungkan dengan kadar TNF. Sampai saat ini penghambat IL-18 belum digunakan pada

SLE manusia.

Imunosupresan menghambat komplemen

Sistem komplemen terdiri dari 3 jalur dan lebih dari 30 protein terlibat secara langsung atau

tidak langsung memperantarai efek komplemen. Sistem komplemen mempunyai efek

proteksi terhadap SLE sedangkan pada keadaan defisiensi komponen jalur klasik

dihubungkan dengan peningkatan risiko SLE. Deposisi kompleks imun menyebabkan sistem

komplemen aktif dan meningkatkan respons radang. Ada dua penghambat komplemen yaitu

TP10 dan eculizumab yang walaupun belum ada penelitian klinik, mungkin dapat digunakan

sebagai pengobatan SLE.

VIII. PROGNOSIS

21

Page 22: Sistemik Lupus Eritematosus

Morbititas dan mortalitas pasien SLE masih cukup tinggi. Berturut-turut kesintasan (survival)

SLE untuk 1-5, 5-10, 10-15, 15-20, dan 20 tahun adalah 93-97%, 53-64%, 64-80%, 70-85%

Kesintasan 5 tahun pasien SLE di RSCM adalah 88% dari pengamatan terhadap 108 orang

pasien SLE yang berobat dari tahun 1990-2002, Angka kematian pasien dengan SLE hampir

5 kali lebih tinggi dibandingkan populasi umum. Pada tahun-tahun pertama mortalitas SLE

berkaitan dengan aktivitas penyakit dan infeksi (termasuk infeksi M. tuberculosis, virus,

jamur dan protozoa, sedangkan dalam jangka panjang berkaitan dengan penyakit vaskular

aterosklerosis.

Daftar pustaka:

22

Page 23: Sistemik Lupus Eritematosus

1. Kasper DL, Hausel Sl. Harrison’s principle of internal medicine. 19th Ed. New york:

Mc GrawHill; 2015. P. 2878-90.

2. Papadakis MA, McPhee SJ. Current medical diagnosis and treatment. 55th Ed.

Chicago: Mc GrawHill; 2016. P. 842-77.

3. Walker BR, Colledge BR. Davidson’s principle and practice of medicine. 22nd Ed.

British: Elsevier; 2014. P. 1130-50.

4. Wallace DJ, Hhan BH. Dubois Lupus Erythematosus and Related Syndromes Expert

Consult. 8th Ed. British: Elsevier; 2014. P. 590-631.

5. Kumar V, Abas AK. Robbins Cotran Pathologic Basis of Disease. 9th Ed.

Philadelphia: Elsevier; 2015. P. 226-57.

6. Krishnan S, Chowdhury B, Juang Y-T, Tsokos GC. Overview of the Pathogenesis of

Systemic Lupus Erythematosus. Philadelphia: Mosby, Inc.; 2007. p. 55-63.

7. Kyttaris VC, Tsokos GC. New Treatments in Systemic Lupus Erythematosus.

Philadelphia: Mosby, Inc.; 2007. p.516-23.

8. Postal M, Costallat LT, Appenzeller S. Biological therapy in systemic lupus

erythematosus. Int J Rheumatol. 2012;2012:578-641.

9. Perhimpunan reumatologi Indonesia. Diagnosis dan pengelolaan lupus eritematosus

sistemik. Jakarta: PSDPI; 2011. P. 1-54.

10. Lahita G, ed. Systemic lupus erythematosus, 5th edn. Amsterdam: Elsevier, 2011. P.

476-505.

23