1 Jurnal Hortikultura, Tahun 2000, Volume 9, Nomor (4): 331-352 SISTEM PRODUKSI SAYURAN URBAN DAN PERI-URBAN DI KOTAMADYA DAN KABUPATEN BANDUNG Witono Adiyoga, Mieke Ameriana, Rachman Suherman, Thomas Agoes Soetiarso, Bagus Kukuh Udiarto dan Ineu Sulastrini Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Jl. Tangkuban Perahu 517, Lembang, Bandung - 40391 ABSTRAK. Adiyoga, W., M. Ameriana, R. Suherman, T. A. Soetiarso, B. K. Udiarto dan I. Sulastrini. 1998. Sistem produksi sayuran urban dan peri-urban di Kotamadya dan Kabupaten Bandung. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 1997 sampai Februari 1998 di daerah urban dan peri-urban Bandung serta melibatkan 53 orang petani yang dipilih secara acak. Tujuan penelitian adalah untuk melakukan karakterisasi sistem produksi sayuran urban dan peri-urban Bandung. Hasil penelitian menunjukkan adanya variasi pola tanam antar ekosistem (dataran rendah: pola tanam berbasis padi; dataran medium: sayuran-sayuran-palawija, sayuran-palawija- sayuran, dan sayuran-palawija-palawija; dataran tinggi: sayuran-sayuran-sayuran). Pengamatan petani menyangkut dinamika lingkungan produksi bio-fisik selama lima tahun terakhir mengindikasikan terjadinya (a) pergeseran waktu tanam, (b) perubahan komoditas andalan, dan (c) peningkatan resiko usahatani. Penurunan kesuburan tanah diindikasikan oleh semakin menurunnya produksi rata-rata dan semakin meningkatnya kebutuhan input. Kendala ketersediaan lahan tercermin dari sebagian responden (>25%) yang lahan garapannya semakin sempit dalam tiga tahun terakhir. Penyemprotan rutin dan pencampuran yang mengarah pada penggunaan pestisida berlebih pada dasarnya dilakukan sebagai tindakan preventif untuk memperkecil resiko produksi. Analisis residu juga menunjukkan adanya residu pestisida yang melewati ambang toleransi. Berdasarkan urutan kepentingannya, tiga kendala utama produksi menurut persepsi petani adalah ketersediaan modal, fluktuasi harga dan insiden hama penyakit. Sementara itu, ketersediaan informasi teknis serta kesuburan tanah dipersepsi sebagai kendala produksi prioritas rendah. Secara spesifik, petani mengusulkan bahwa topik perbaikan budidaya sayuran yang paling dibutuhkan adalah pengendalian hama penyakit. Kata kunci: Karakterisasi; Sistem produksi; Peri-urban; Analisis residu. ABSTRACT. Adiyoga, W., M. Ameriana, R. Suherman, T. A. Soetiarso, B. K. Udiarto and I. Sulastrini. 1998. Urban and peri-urban vegetable production system in Kotamadya and Kabupaten Bandung. This study was conducted on December 1997 until February 1998 in Bandung urban and peri-urban areas, involving randomly selected 53 farmers. The objective of this study was to characterize vegetable production system in Bandung urban and peri-urban areas. Results show that cropping pattern varies among different ecosystems (low-land: rice based cropping system; medium-land: vegetables-vegetables-secondary crops, vegetables-secondary crops-vegetables, vegetables-secondary crops-secondary crops; high-land: vegetables-vegetables-vegetables. Farmers observe that the dynamics of bio-physical production environment in the last five years have caused (a) shifts in planting time, (b) changes in priority commodity, and (c) an increase in production risks. In the last five years, some farmers also observe a decrease in soil fertility as reflected by a decreasing yield and an increasing need of inputs. Limitation in land availability is indicated from the data showing that land size cultivated by some farmers (> 25%) is getting smaller in the last three years. Routine spraying and pesticide mixing are commonly practiced as preventive measures to minimize production risks. Pesticide use in highland areas is much more intensive than in lowland areas, and it even tends to be excessive. This is supported by the results from residue analysis for some vegetable crops that are above tolerable threshold. Three problems considered as the main production constraints as perceived by farmers, based on their ranks of importance are funds/capital availability, price fluctuation and pest and disease incidence. Meanwhile, technical information and soil fertility are perceived as low priority constraints. Specifically, farmers in both ecosystems suggest that controlling pest and disease is the most needed technology for improving vegetable production system. Key words: Characterization; Production system; Peri-urban; Residue analysis.
24
Embed
Sistem Produksi Sayuran Urban Dan Periurban Di Kotamadya Dan Kabupaten Bandung
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
Jurnal Hortikultura, Tahun 2000, Volume 9, Nomor (4): 331-352
SISTEM PRODUKSI SAYURAN URBAN DAN PERI-URBAN DI KOTAMADYA DAN KABUPATEN BANDUNG
Salah satu indikator yang sering digunakan untuk mengukur efisiensi finansial usahatani
adalah besaran rasio antara nilai output dengan nilai input. Tabel 4 memperlihatkan indikator
efisiensi finansial dari usahatani beberapa jenis komoditas sayuran di Kotamadya dan Kabupaten
Bandung. Informasi yang diperoleh pada saat penelitian menunjukkan bahwa tidak satupun
pengusahaan komoditas sayuran mengalami kerugian. Indikasi ini harus diinterpretasikan secara
hati-hati karena jika terjadi perubahan harga output, maka besaran rasio antara nilai output
dengan nilai input juga akan berubah. Analisis usahatani juga menghitung biaya produksi per unit
atau titik impas harga untuk setiap jenis sayuran yang diusahakan. Fluktuasi harga sayuran yang
tajam seringkali menghadapkan petani pada tingkat harga yang berada di bawah titik impas.
Kemungkinan ini dapat terjadi untuk semua jenis sayuran, sehingga peluang mengalami kerugian
yang secara eksplisit tidak tergambarkan pada Tabel 4 sebenarnya juga cukup tinggi. Besarnya
Tabel 4 Indikator efisiensi finansial usahatani sayuran, 1996 (Indicators of financial efficiency in vegetable cultivation)
Komoditas
(Commodity)
Produksi
(Yield)
kg/ha
Harga Jual
(Selling
Price)
Rp./kg
Pendapatan
Kotor (Gross
Revenue)
000 Rp.
Biaya Produksi
(Cost of
Production)
000 Rp.
Pendapatan Bersih
(Net
Revenue)
000 Rp.
Biaya per Unit
(Unit Cost)
Rp/kg
Nisbah Pendapatan
Biaya
(Revenue-
Cost Ratio)
Cabai
(Hot pepper)
15 750 500 7 875 4 405,9 3 469,1 279,7 1,78
Mentimun
(Cucumber)
58 000 100 5 800 3 058,3 2 741,7 52,7 1,89
Tomat
(Tomato)
30 000 200 6 000 3 842,1 2 157,9 128,2 1,56
Kubis
(Cabbage)
30 000 200 6 000 4 545,0 1 455,0 151,5 1,32
Terung
(Eggplant)
15 000 300 4 500 1 854,0 2 646,0 123,6 2,42
Kacang panjang
(Yardlong bean)
5 000 700 3 500 1 819,0 1 681,0 363,8 1,92
Kentang
(Potato)
14 750 650 9 587,5 6 312,5 3 275,0 427,9 1,52
Bawang merah
(Shallot)
5 300 1 000 5 300 4 232,1 1 067,9 798,5 1,25
Wortel
(Carrot)
8 772 400 3 508,8 1 492,2 2 016,6 170,1 2,35
Kubis bunga
(Cauliflower)
28 700 300 8 610 4 576,2 4 033,8 159,4 1,88
Kangkung
(Kangkong)
40 000 75 3 000 1 580,0 1 420,0 39,5 1,90
biaya produksi ternyata tidak selalu merupakan faktor utama yang menentukan pemilihan
komoditas., khususnya di dataran rendah. Hal ini tampaknya berkaitan erat dengan lebih
terbatasnya alternatif pilihan komoditas sayuran di dataran rendah (dibandingkan dengan di
dataran tinggi), terutama dikaitkan dengan kesesuaiannya sebagai salah satu komponen dalam
pola tanam berbasis padi.
Pada saat kegiatan penelitian ini dilaksanakan, salah satu fenomena penting yang
sedang terjadi di lapangan adalah kenaikan harga sarana produksi, terutama pupuk dan
pestisida. Harga pupuk buatan meningkat 30-60%, sedangkan harga pestisida meningkat antara
100-200%. Konsekuensi dari kenaikan harga dua jenis input ini adalah meningkatnya biaya
produksi secara keseluruhan. Namun demikian, sebagaian besar petani responden di kedua
ekosistem cenderung berkeinginan untuk tetap mempertahankan volume dari komposisi input
yang digunakan. Petani pada umumnya beranggapan bahwa pengurangan volume input akan
8
menurunkan produksi dan meningkatkan resiko kegagalan usahatani (Tabel 5). Berkenaan
dengan kenaikan harga pestisida, jika teknologi pengendalian hama terpadu dapat menawarkan
kompensasi terhadap resiko yang mungkin timbul dari pengurangan penggunaan pestisida, maka
teknologi tersebut berpeluang untuk diadopsi secara lebih cepat oleh petani.
Tabel 5 Persepsi petani menyangkut biaya produksi usahatani (Farmers’ perception regarding production costs)
No Uraian
(Description)
Dat. Rendah
(Lowland)
Dat. Tinggi
(Highland)
1. Respon petani terhadap biaya produksi yang semakin meningkat
(Farmers’ response to the increasing cost of production)
• tetap mempertahankan volume komposisi input yang digunakan
(keep maintaining the volume of input composition currently used)
• melakukan penghematan dengan mengurangi volume input yang
digunakan (cost-saving by reducing the volume of inputs used)
57,1
42,9
71,8
28,2
2. Biaya produksi menentukan pilihan petani untuk mengusahakan
komoditas tertentu (the amount of production cost influences farmers’
choice in cultivating a particular commodity)
• selalu (always)
• tidak selalu (not always)
21,4
78,6
53,8
46,2
4.5. Lingkungan Produksi Bio Fisik
Disatu sisi, berbagai faktor biofisik merupakan pendukung sistem produksi, namun dilain
sisi sekaligus sering juga merupakan kendala yang harus selalu dicermati. Petani mengelola
lingkungan biofisik yang dihadapi sesuai dengan suatu pola atau perhitungan yang dikembangkan
berdasarkan pengalaman berusahatani. Seringkali pola/perhitungan ini bersifat kualitatif, tetapi
sangat fleksibel dalam merespon dinamika lingkungan produksi biofisik.
Data hujan selama empat tahun terakhir menunjukkan adanya penurunan curah hujan
yang cukup signifikan. Disamping itu, musim kemarau panjang dalam dua tahun terakhir ini
menghadapkan petani pada masalah kekurangan air. Sebagian besar petani responden dikedua
ekosistem menyatakan bahwa kondisi iklim dan curah hujan selama lima tahun terakhir semakin
sukar diramalkan, sehingga perhitungan musim yang biasa dilakukan dalam perencanaan
usahatani sering meleset. Petani responden juga mengindikasikan bahwa dinamika lingkungan
produksi biofisik selama lima tahun terakhir secara berturut-turut menyebabkan terjadinya (a)
pergeseran waktu tanam, (b) perubahan jenis komoditas andalan, dan (c) peningkatan resiko
usahatani. Selama lima tahun terakhir, sebagian besar petani responden di ekosistem dataran
rendah dan dataran tinggi juga mengamati adanya penurunan kesuburan tanah. Dua hal utama
yang menurut petani memberikan indikasi adanya penurunan kesuburan tanah adalah (a)
semakin menurunnya produksi rata-rata yang dicapai, dan (b) semakin meningkatnya kebutuhan
input.
9
Tabel 6 Persepsi petani menyangkut dinamika lingkungan produksi biofisik (Farmers’ perceptions with regard to the
dynamic of biophysical production circumstances)
No Uraian
(Description)
Dataran
Rendah
(Lowland)
Dataran
Tinggi
(Highland)
1. Persepsi petani berkenaan dengan kondisi iklim dan curah hujan selama lima
tahun terakhir (Farmers’ perceptions with regard to climate and rainfall condition in the last five years)
• masih dapat diramalkan sesuai dengan perhitungan musim yang biasa
dilakukan dalam perencanaan usahatani (it still can be pre-dicted according to the calculation being made in the planning stage)
• semakin sukar diramalkan sehingga perhitungan musim yang biasa
dilakukan dalam perencanaan usahatani sering meleset (getting more difficult to be predicted by the calculation being made in the planning stage)
35,7
64,3
12,8
87,2
2. Persepsi petani berkenaan dengan perubahan-perubahan yang terjadi pada
usahatani sejalan dengan perkembangan iklim dan curah hujan selama lima
tahun terakhir (Farmers’ perceptions with regard to changes in the vegetable production system as a consequence of changes in climate and rainfall in the last five years)
• terjadi perubahan jenis komoditas andalan yang diusahakan (there are changes in the main commodity being cultivated)
• terjadi perubahan atau pergeseran waktu tanam (there are changes or shifts in the time of planting)
• terjadi perubahan tingkat resiko usahatani yang cenderung semakin tinggi (there are changes in the farming risks that tend to be higher)
• terjadi penurunan produksi sayuran dari daerah sekitar (there is a decrease in vegetable production in the neighboring areas)
21,4
42,8
21,4
14,4
28,2
35,9
20,5
15,4
3. Persepsi petani menyangkut terjadinya penurunan kesuburan selama lima tahun
terakhir pada lahan yang sama (Farmers’ perceptions with regard to land fertility degradation in the last five years) ya, (yes) tercermin dari (as reflected by):
• produksi rata-rata yang semakin menurun (a decrease in the average of production)
• kebutuhan input yang semakin meningkat (an increase in inputs requirement)
tidak, (no) tercermin dari (as reflected by):
• produksi rata-rata relatif tetap (the average of production is relatively stable)
• pola tanam tidak berubah (there is no significant change in cropping pattern)
71,4
70,0
30,0
28,6
75,0
25,0
79,5
77,4
22,6
20,5
87,5
12,5
4.6. Lingkungan Produksi Sosial Ekonomi
Salah satu kendala pengembangan sistem produksi sayuran di daerah urban dan peri-
urban adalah keterbatasan ketersediaan lahan. Keterbatasan ini semakin terasa sejalan dengan
cepatnya konversi lahan yang awalnya merupakan lahan pertanian produktif menjadi lahan non-
pertanian. Kecenderungan ini tampaknya tidak dapat dihindarkan karena merupakan konsekuensi
langsung dari perkembangan daerah perkotaan. Tabel 7 menunjukkan bahwa sebagian besar
petani di ekosistem dataran rendah dan dataran tinggi memberikan konfirmasi mengenai ke-
terbatasan lahan ini melalui kenyataan semakin sukarnya memperoleh lahan sewa atau sakap
dalam tiga tahun terakhir. Hal ini juga diperjelas dengan relatif tetapnya luas lahan yang digarap
oleh sebagian besar responden di kedua ekosistem. Sebagian responden (> 25%) bahkan
menyatakan bahwa lahan garapannya semakin sempit dalam tiga terakhir ini. Sebagian besar
petani responden (> 50%) pada ekosistem dataran rendah dan dataran tinggi menggunakan
tenaga kerja keluarga (2 orang anggota keluarga/suami dan isteri) dalam mengelola usahatani.
Disamping tenaga kerja keluarga, sebagian besar responden (> 75%) juga menggunakan tenaga
kerja luar keluarga mulai dari aktivitas pengolahan lahan sampai panen.
10
Tabel 7 Lahan , tenaga kerja, modal dan ketersediaan sarana produksi (Land, labor, capital and production inputs
availability)
No Uraian
(Description)
Dataran Rendah
(Lowland)
Dataran Tinggi
(Highland)
1. Kecenderungan memperoleh lahan sewa atau sakap dalam tiga tahun terakhir
(Trend in obtaining rented or sharecropped land in the last three years)
• tetap mudah (still easy)
• makin sukar (getting more difficult)
35,7 64,3
43,6 56,4
2. Perkembangan luas lahan garapan (milik/sewa/bagi hasil) dalam tiga tahun
terakhir (The size of cultivated land -- owned, rented, sharecropped -- in the
last three years)
• makin luas (getting larger)
• makin sempit (getting smaller)
• relatif tetap (relatively unchanged)
- 35,7 64,3
5,1 25,6 69,3
3. Anggota keluarga yang terlibat langsung dalam pengelolaan usahatani
(Member of the family directly involved in farm management)
• satu orang (one person)
• dua orang (two persons)
• lebih dari dua orang (more than two persons)
28,6 64,3 7,1
5,1 53,8 41,1
4. Menggunakan tenaga kerja luar keluarga/sewa (Using hired labor)
• ya (yes)
• tidak (no)
78,6 21,4
87,2 12,8
5. Kecenderungan memperoleh tenaga kerja luar keluarga dalam tiga tahun
terakhir (Trend in obtaining hired labor in the last three years)
• tetap mudah (still easy)
• semakin sukar (getting more difficult)
57,1 42,9
82,1 17,9
6. Menggunakan dana pinjaman sebagai modal utama atau tambahan untuk
usahatani (Using loan for farming activities)
• ya (yes)
• tidak (no)
35,7 64,3
38,5 61,5
7. Sumber dana pinjaman (Loan sources)
• keluarga (family)
• pedagang (traders
• koperasi (cooperative unit
• bank (bank)
60,0 40,0 - -
26,7 46,7 6,6 20,0
8. Pasar sarana produksi dapat memenuhi semua jenis input yang dibutuhkan
(Market can provide all kind of inputs needed)
• ya (yes)
• tidak (no)
85,7 14,3
92,3 7,7
9. Masalah yang dihadapi menyangkut sarana produksi (Problems confronted
regarding production inputs)
• tidak tersedianya sarana produksi tertentu (particular inputs are not
available)
• kualitas sarana produksi yang kurang baik (quality of production inputs is
less appropriate)
• harga sarana produksi yang mahal (price of production input is
expensive)
21,4
21,4
57,2
5,1
5,1
89,8
Selama tiga tahun terakhir, petani responden (> 50%) berpendapat masih tetap mudah untuk
memperoleh tenaga kerja luar keluarga. Namun demikian, proporsi petani yang menyatakan
semakin sukar untuk mendapatkan tenaga kerja luar keluarga ternyata lebih tinggi di ekosistem
dataran rendah dibandingkan dengan ekosistem dataran tinggi. Hal ini mencerminkan lebih
terbatasnya ketersediaan tenaga kerja luar keluarga untuk sektor pertanian di daerah urban
dibandingkan dengan daerah peri-urban.
Persentase petani responden yang menggunakan dana pinjaman sebagai modal utama
atau tambahan ternyata lebih kecil dibandingkan dengan petani yang menggunakan dana sendiri.
Sumber dana pinjaman bagi petani di ekosistem dataran rendah sebagian besar adalah keluarga,
sedangkan bagi petani di dataran tinggi kebutuhan modal produksi banyak ditawarkan oleh
pedagang. Khusus untuk pinjaman modal dari pedagang, petani sebenarnya juga menyadari
bahwa skim tersebut melemahkan posisi tawar menawarnya. Namun demikian, tidak dapat di-
11
pungkiri bahwa skim ini juga memberikan kemudahan bagi petani ditinjau dari sisi prosedural
serta pemasaran produk. Sumber pinjaman dari bank tampaknya hanya dimanfaatkan oleh petani
di ekosistem dataran tinggi. Hal ini terutama disebabkan oleh kemampuan yang lebih tinggi dari
petani di ekosistem tersebut untuk menyediakan jaminan serta penilaian dari pihak bank yang
lebih baik ditinjau dari sisi kelayakan usaha.
Pada umumnya, petani responden di ekosistem dataran rendah dan dataran tinggi me-
rasa tidak mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan sarana produksi dari pasar di sekitar
lokasi usahatani. Jenis sarana produksi yang seringkali harus dipenuhi dari luar lokasi adalah
benih/bibit dan pupuk kandang. Sementara itu, masalah yang dirasakan oleh sebagian besar
petani responden adalah semakin meningkatnya harga sarana produksi, terutama pestisida.
Selama tiga tahun terakhir, sebagian besar petani mengamati adanya peningkatan ter-
hadap permintaan sayuran (Tabel 8). Namun demikian, petani berpendapat bahwa peningkatan
permintaan tersebut belum terasa dampaknya terhadap peningkatan pendapatan usahatani.
Menurut petani, peningkatan permintaan sayuran masih belum dapat mengurangi resiko kerugian
usahatani yang diakibatkan oleh fluktuasi harga. Tampaknya peningkatan permintaan telah
memberikan insentif bagi petani untuk meningkatkan produksi sayuran, tetapi belum diimbangi
dengan perbaikan infrastruktur dan kelembagaan di sisi pemasaran.
Tabel 8 Cara penjualan, sistem pembayaran dan pemasaran (Selling method, payment system, and marketing)
No Uraian
(Description)
Dataran
Rendah
(Lowland)
Dataran
Tinggi
(Highland)
1. Persepsi petani mengenai permintaan sayuran dalam 3 tahun terakhir (Farmers’ perceptions of the demand for vegetables in the last three years)
• semakin meningkat (increasing)
• semakin menurun (decreasing)
• relatif tetap (relatively stable)
50,0
7,1
42,9
71,8
12,8
15,4
2. Cara penjualan produk dan alasannya (Selling method and its reasoning)
ditebas, dengan alasan (directly sold in the field, since):
• dapat menerima sejumlah uang sekaligus (a significant amount of money can be received simultaneously)
• harga pada saat transaksi sedang relatif baik atau sudah menguntungkan (price at the time of transaction is relatively high)
• lebih praktis, tidak perlu mengeluarkan biaya tenaga kerja panen (more practical, farmers do not have to spend money for harvesting)
ditimbang, dengan alasan (product is weighed, since) :
• volume penjualan tidak terlalu besar (selling volume is not too high)
• peluang memperoleh keuntungan lebih tinggi (there is an opportunity to get higher profit)
• agar besaran produksi dapat diketahui secara lebih jelas (to get an accurate magnitude of the actual yield)
64,3
22,2
33,3
44,5
35,7
40,0
60,0
-
76,9
26,7
26,7
46,6
23,1
-
77,7
22,3
3. Produk pada umumnya dijual ke (Products are commonly sold to)