2
2
Sisi Lain Sang Guru
Penulis: Chairullah (Rull.ch)
Copyright © 2012 by Chairullah
Desain Sampul: (Nuzula Fildzah)
Editor:
(Nuzula Fildzah)
Cetakan pertama, 2012
Diterbitkan melalui:
www.nulisbuku.com
undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Lingkup Hak Cipta Pasal 2: 1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan Pidana Pasal 72: 1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
3
3
Daftar isi
1. Si Tukang Nyawer 6
2. Malam, Bu Guru ! 24
3. Empati 38
4. The Lone Mujahiddin 50
5. Judi, Bikin Mati! 66
6. Nyaris 82
7. Pak, Guru Lagi Isenk, Ya? 94
8. Orang-Orang Gebleg 110
9. Si Rambut Pirang 128
10. Udah Tua Kok Bandel 142
4
4
de cerita berdasarkan realita dalam komunitas
pendidik. Tetapi tidak merefleksikan kehidupan
guru secara umum. Hanya segelintir guru yang
terkadang salah langkah dan tergelincir saat manapaki
kehidupannya. Sebagai manusia biasa, guru bisa saja
melakukan hal-hal yang menyimpang dan tidak patut
untuk digugu dan ditiru.
I
6
6
Malam, Bu Guru!
Kehidupan adalah misteri. Meskipun kita tahu
untuk apa kita dilahirkan ke dunia, tapi rentetan kejadian
dan peristiwa yang menyertai kehidupan itu amat
misterius. Tak pernah kita pahami sebelumnya, kenapa
kejadian pahit dan getir atau manis penuh kesan, bisa
melanda diri. Kita sebagai manusia, hanya bisa menerka-
nerka sebab musyababnya. Kita, tidak mungkin bisa
memilih hanya yang manis dan berkesan saja atau
menghindari yang pahit dan getir. Kita tak memiliki
kemampuan untuk hal itu. Maka, sering kali kita hanya
bisa bertanya dan merenung dalam hati. Kenapa begini?
Kenapa begitu?
Kalau boleh memilih, aku ingin dilahirkan oleh
ibu yang soleha dan seorang ayah yang juga soleh, serta
berkecukupan materi dan ekonomi. Aku juga akan
memilih kejadian hidup yang tenang dan damai tanpa
gejolak penderitaan. Tapi Allah berkehendak lain, aku
ditakdirkan terlahir dalam keluarga yang kurang
7
7
beruntung. Kendati, ibuku soleha dan ayah seorang yang
soleh tapi miskin harta. Namun, aku tetap bersyukur masih
bisa mengemban pendidikan sampai tamat perguruan
tinggi dan meraih gelar Sarjana Pendidikan. Karena itulah,
mengapa aku menganggap kehidupan ini adalah sebuah
misteri. Logikanya, aku tak mungkin bisa mengenyam
pendidikan tinggi. Ayahku hanyalah seorang tukang
bangunan dan ibuku usaha warung kecil di rumah
kontrakan kami. Aku tak mampu menghitung secara
matematis kenapa mereka bisa menyekolahkanku dan
seorang adik lelakiku satu-satunya yang tak seberuntung
aku. Adikku, hanya tamatan SMK.
Lima tahun sudah, aku menjadi guru honor di
SMP dan SMA. Aku selalu gagal dalam test calon pegawai
negeri. Sedangkan Reza adikku, kadang kerja kadang
menganggur. Zamannya kerja kontrak dan outsourching
menjadikan banyak orang tak memiliki kepastian masa
depan. Terutama orang-orang seperti kami, kaum marjinal.
Teramat sulit untuk meraih kesejahteraan hidup.
Capek dengan kehidupan yang monoton dan
terpuruk, akhirnya aku menekatkan diri mencari
penghasilan tambahan di luar profesi guru. Aku melamar
8
8
pekerjaan sebagai SPA Terapis Spa. Beruntung, langkahku
mulus saja. Aku diterima dan selanjutnya menjalani
pelatihan.
Pelatihan yang relatif singkat, namun sangat
berarti. Aku menjadi mengerti tentang perawatan tubuh
untuk kebugaran. Istilah pediecure, medicure, lulur, aroma
terapi, pijat refleksi dan relaksasi yang selama ini cuma
bisa aku dengar dan kubaca lewat mas media, kini telah
aku alami sendiri. Wawasan ilmuku pun bertambah.
Sekarang, aku mempunyai dua pekerjaan Terapis Spa. Dua
pekerjaan yang sangat tolak belakang. Sebagai Terapis Spa
aku dituntut untuk membuat pelanggan rileks, nyaman dan
tentu saja puas. Beda dengan profesi guru, saat
mentransfer ilmu kepada peserta didik, aku akan puas dan
bangga bila mereka bisa mencapai keberhasilan dalam
belajar.
Dengan bekerja paruh waktu, sedikit demi sedikit
perekonomianku mulai mengalami perubahan. Apalagi
setelah aku memiliki pelanggan tetap yang bernama Om
Roni. Ia sering mengajakku jalan dan menemaninya
makan malam. Ia sangat royal dan suka memberiku uang
sekaligus membelikan pakaian. Kendati aku sempat curiga
akan kebaikannya, akan tetapi, untuk sementara ini aman-
9
9
aman saja. Ia tak pernah berbuat macam-macam apalagi
merendahkan martabatku sebagai seorang gadis. Dia
hanya mengajakku jalan-jalan, makan di restoran, kadang
sekali dua kali pergi ke diskotek. Cuma itu.
“Lia, emang pekerjaan kamu yang sekarang
sebenarnya apa sih? Kok ibu lihat akhir-akhir ini kamu
sering pulang larut malam?” selidik ibuku karena curiga
mengetahui diriku sering pulang malam dan diantar Om-
om.
Setelah mengenal Om Roni, memang aku sering
pulang larut malam, malah pernah sampai nyaris subuh.
Om Roni sering mengajaku hangout dan dugem. Tapi Om
Roni orang baik. Tak pernah nakal. Tak pernah
merendahkan harga diriku, malah aku merasa terhormat
saat menemaninya. Ia sangat menghargai diriku. Di depan
teman-temannya ia selalu mengatakan aku adalah
keponakannya. Entah mereka percaya atau tidak aku tak
memeperhatikannya. Aku tak perduli. Aku terlanjur
tersanjung oleh sikap Om Roni.
“Kalau kamu nggak bisa jawab pertanyaan ibu ya
nggak apa-apa, tapi ibu mohon jagalah dirimu baik-baik.
Jangan sampai salah langkah.” Sambung ibuku lagi. Aku,
terdiam dan tak langsung menjawab pertanyaannya.
10
10
Beberapa menit kemudian, aku baru mencoba untuk
menjawab.
“Nggak kok, bu. Insya Allah Lia nggak salah
langkah. Percayalah, bu.” Jawabku
“Ibu cuma bisa mendoakanmu nak.” Pelan dan
lirih nada suara ibu, membuatku terharu.
“Terima kasih, bu…” Kataku sambil
meninggalkan ibu di ruang tamu. Terpaksa, aku tak ingin
lama-lama ngobrol dengan ibuku sebab aku takut ibu akan
bertanya macam-macam soal pekerjaan baruku itu. Aku
tak ingin ibuku merasa was-was. Biar bagaimanapun
pekerjaanku yang baru itu, tetap beresiko. Gunjingan
orang-orang terutama para tetangga sudah pasti ada.
Hanya saja aku tak mau memperdulikannya.
Suatu malam, saat aku dan Om Roni baru saja
keluar dari sebuah kafe, di tempat parkir mobil, tiga sosok
tubuh muda yang sedang membelakangi badan mobil
Avanza putih metalik, menatapku tajam dan membuatku
terbelalak. Betapa tidak? Tiga sosok itu adalah murid-
murid SMA di sekolahku. Sesaat, aku seperti orang
linglung.
“Malam, bu guru…” Sapa mereka serempak.
11
11
“Eh, malam! Sedang apa di sini?” sahutku megusir
keterkejutanku.
“Santai, bu…” jawab mereka sambil tersenyum-
senyum. Senyum yang agak nakal menurut penilaianku
saat itu. Boleh jadi senyum mereka wajar tapi karena aku
sedang risih bertemu mereka, jadi kuanggap itu senyuman
nakal.
“Mari, ibu duluan.” Kataku buru-buru masuk ke
dalam mobil sedan Om Roni. Om Roni sudah lebih dulu
masuk ke dalam mobil dan membukakan pintu untuku. Ia
sama sekali tak terpengaruh oleh pertemuanku dengan
ketiga muridku. Ia terlihat cuek dan santai.
Angin malam kota Jakarta terbelah oleh laju mobil
yang di kendarai om Roni. Lalu lintas sangat lancer karena
tak banyak mobil yang lewat. Jalanan mulai lenggang.
Lampu penerang jalan berbaur kilaunya dengan lampu
gedung bertingkat di kiri dan kanan jalan. Menghiasi kota
Jakarta malam hari. Cukup indah dan mempesona. Ada
perasaan nyaman saat berkendara menikmati kota Jakarta
tengah malam.
Dalam mobil Om Roni aku duduk termangu.
Kutatap jalan raya yang lenggang. Sesekali aku menoleh
12
12
ke samping kanan, memperhatikan Om Roni yang sedang
konsentrasi menyetir mobilnya. Pikiranku masih dibayang-
bayangi oleh tiga sosok muda, murid-muridku. Ada rasa
malu dan takut yang tiba-tiba menyelinap lalu mengusik
jiwaku. Ya, aku malu dan takut! Bagaimana nanti
penilaian mereka akan menganggap aku wanita nakal
mainan om senang? Mungkin saja mereka akan mengira
aku adalah wanita malam yang mencari mangsa om-om
berkantong tebal. Ikh! Membayangkan itu aku jadi
bergidig. Takut!
“Yang tadi siapa, Lia?” tanya Om Roni
mengagetkanku.
“Apa, om? Siapa maksud om?” aku gelagapan.
“Yang di tempat parkir. Kok mereka memanggil
kamu dengan sebutan bu guru?”
“Eh, anu, iya. Mereka murid-murid SMA saya,
om.” Jawabku berterus terang.
“Jadi kamu seorang guru? Hebat, hebat!” kata Om
Roni sambil tertawa kecil.
“Hebat apanya, om?” tanyaku tak mengerti.
“Ya, hebatlah! Guru kan orang yang hebat, pintar
dan bijaksana.”
“Ah, om ngeledek!”
13
13
“Nggak. Om serius. Jujur, om adalah salah satu
orang yang menghargai profesi guru. Om sangat
mengagumi para guru. Bagi om, guru adalah orang yang
luar biasa!”
“Yang benar, om?”
“Kamu nggak percaya kalau om jujur?”
“Nggak!”
“Anak om yang paling tua adalah seorang guru
SMA, guru bahasa inggris. Yang nomor dua juga guru,
guru SD”
“Hah!?”
“Nggak usah heran, meskipun om seorang
pengusaha tapi om menggiring mereka untuk menjadi
guru. Kedua anak om itu memang bercita-cita menjadi
guru sejak kecil. Om tinggal mengarahkan dan
memfasilitasi mereka.” Jelas Om Roni.
“Memangnya anak Om cuma dua orang?”
“Tiga. Yang bungsu perempuan, seusia kamu. Ia
tidak minat jadi guru, ia ingin mengikuti jejak Om.
Sekarang ia bekerja di perusahaan swasta”
“Kenapa nggak bekerja di kantor om saja? Kan
enak bisa punya kedudukan…”
14
14
“Dia yang mau sendiri bekerja di luar perusahaan
om. Bagi om, itu bagus. Nantinya akan menempa
pribadinya jadi orang yang tegar dan mandiri.”
“Hebat!” decakku kagum.
“Kamu juga hebat!”
“Hebat apaan, om? Saya Cuma guru honor, gaji
kecil, kalau sudah PNS sih lumayan…”
“Anak om juga belum PNS.”
“Belum PNS? Om kan banyak uang, bisa
nyogok.”
“Bisa saja, malah mudah bagi om kalau mau main
sogok. Berapapun akan om bayar. Tapi om nggak mau
seperti itu. Biarlah anak-anak om merasakan pahit getir
kehidupan jangan mau enak melulu!”
“Kalau saya punya duit banyak saya pasti akan
nyogok. Sayang saya nggak punya uang.”
“Tapi kamu punya iman, Lia. Itu yang penting!
Lagi pula tidak semua oknum bisa disogok, tidak semua
oknum itu korup, tidak semua oknum bisa KKN.
Yakinlah, suatu saat kamu juga bisa jadi PNS. Andaipun
tidak, tetaplah jadi guru, sekalipun guru honor. Kelak
pemerintah kedepan akan lebih memperhatikan nasib guru
tanpa kecuali. Lagi pula apa jadinya nanti kalau kamu
15
15
memaksakan jadi guru PNS tapi dengan cara nyogok?”
ujar Om Roni panjang lebar dengan begitu arif. Aku tak
menyangka ucapan itu keluar dari mulut seorang om yang
hobinya bersenang-senang menikmati hidup.
Tak terasa mobil yang dikendarai Om Roni
sampai di mulut gang yang menuju rumahku. Om Roni
memperlambat laju mobilnya. Pelan sekali. Aku diam Om
Roni juga membisu. Dalam diam, benakku kembali terusik
oleh kejadian di tempat parkir tadi. Bayangan murid-
muridku kembali mengganggu pikiranku. Apa yang bakal
mereka ucapkan bila bertemu diriku di sekolah?
Bagaimana sikap mereka nanti? Akh, aku jadi resah
sendiri. Benaku dipenuhi tanda tanya.
Esoknya, di SMA tempatku mengajar. Ketika baru
saja kakiku memasuki pintu gerbang, tiga orang muridku
yang bertemu semalam menyambutku dengan sapaan
nakal.
“Malam, bu guru…”
Aku hanya tersenyum kecut dan mengangguk lalu
cepat-cepat ke ruang guru. Aku tak tahu harus bagaimana?
Marah atau menjelaskan kepada mereka tentang
hubunganku dengan Om Roni? Tapi, kurasa nggak perlu.
Biarlah mereka tetap bertanya-tanya tentang aku. Sama
16
16
seperti aku yang bertanya-tanya tentang Om Roni. Apakah
dia benar-benar seorang lelaki yang baik atau…
Hidup dan mati. Pertemuan juga perpisahan
adalah misteri. Aku tak mengerti kenapa aku bisa bertemu
dan akrab dengan Om Roni. Aku juga tak tahu kenapa
tiba-tiba sekali, sangat mendadak Om Roni mengucapkan
kata-kata perpisahan tiga hari kemudian, saat kami
bertemu kembali. Saat makan malam di restoran.
“Om mengucapkan terima kasih atas kesediaan
Lia menemani om selama ini. Mulai sekarang om nggak
akan merepotkanmu lagi.” ujar Om Roni, membuatku
terhenyak, agak kaget mendengarnya sebab sangat
mendadak.
“Selepas om nanti, Lia harus hati-hati dan selalu
menjaga diri baik-baik.” Tambah om Roni. Tapi aku hanya
bisa tercenung.
Melihat diriku terdiam Om Roni meneruskan
ucapannya,
“Oh, ya Lia harus jadi guru professional. Om
yakin Lia bisa. Om juga yakin kalau Lia jadi guru karena
panggilan jiwa, by design. Bukan karena terpaksa, by
conditions. Betul!?”
17
17
“Betul, om. Lia ingin professional karena guru
adalah cita-cita Lia sejak kecil.” baru aku menimpali
ucapan Om Roni.
“Nah ditangan guru-guru seperti Lia lah yang bisa
meningkatkan kualitas pendidikan negara kita. Maka dari
itu, om menyarankan agar Lia tetap memegang teguh cita-
cita Lia itu. Jangan goyah hanya karena belum menjadi
PNS. Bukankah dari semula cita-cita Lia ingin menjadi
seorang guru bukan jadi PNS, kan? He he he…” Om Roni
tertawa, membuatku ikut tertawa pula.
“Om bisa aja!’
“He.. He.. He..”
Malam itu malam terakhir hubungan kami. Namun
bukan berarti putus hubungan sama sekali. Om Roni
memberiku kartu nama. Jika suatu saat aku butuh
bantuannya ia siap menolong. Begitu janjinya sebelum
berpisah. Aku jadi terharu, biar bagaimanapun yang
namanya perpisahan tentu terasa pahit dan getir. Om Roni
tidak memberikan alasan perpisahan itu dan aku pun tak
mau bertanya lebih jauh.
Akh, hidup memang penuh misteri.
18
18
RIWAYAT PENULIS
Chairullah
Sejak SD suka menulis puisi / Cerita Anak Th 1982 – 1986 Sering menulis puisi di Radio Swasta dan surat kabar / majalah. Cerpen “Perangkat Maut” dan “Yaris” serta beberapa puisi pernah dimuat di Poskota minggu dan Pos Film. Th 1989 – 2009 tak pernah menulis lagi. Th 2010 mulai kembali menulis satu buah buku kumpulan cerpen, 3 buah cerpen remaja dan kumpulan cerpen anak-anak serta kumpulan puisi.