SINTESIS HASIL-HASIL LITBANG : PENGEMBANGAN PENANGKARAN RUSA TIMOR Penulis : Prof. DR. Ris M. Bismark, M.S. Prof. DR. Abdullah Syarief Mukhtar, MS. Ir. Mariana Takandjandji, M.Si. Ir. R. Garsetiasih, M.P. Drh. Pujo Setio, M.Si Ir. Reny Sawitri, M.Sc. Ir. Endro Subiandono Drs. Sofian Iskandar, M.Si Kayat, S.Hut, M.Sc. Editor : Prof. Ris. DR. Abdullah Syarief Mukhtar, M.S. Prof. Ris. DR. M. Bismark Ir. Sulistyo A. Siran, M.Sc DR. Ir. Agus Djoko Ismanto, MDM Prof. Ris. DR. Gono Semiadi, M.Sc. Penyunting : DR. Burhanuddin Masy'ud, M.S. Ir. Adi Susmianto, M.Sc. Foto Sampul : Rusa di Taman Safari Indonesia, Bogor (M. Bismark) Desain Sampul : Anita Rianti, S.Pt. ISBN : 978-979-8452-39-0 Penerbit : Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Gedung Manggala Wanabakti Blok I Lantai XI Jl. Jenderal Gatot Subroto, Jakarta 10270 Telp. (021) 5730398, 5734333; Fax. (021) 5720189 Cetakan pertama : Desember 2011
47
Embed
SINTESIS HASIL-HASIL LITBANG : PENGEMBANGAN … Penangkaran rusa timor.pdf · pemenuhan kebutuhan protein hewani serta hasil ikutan lainnya melalui turunan kedua (F2) dan ... telah
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Editor : Prof. Ris. DR. Abdullah Syarief Mukhtar, M.S.Prof. Ris. DR. M. Bismark Ir. Sulistyo A. Siran, M.ScDR. Ir. Agus Djoko Ismanto, MDMProf. Ris. DR. Gono Semiadi, M.Sc.
Penyunting : DR. Burhanuddin Masy'ud, M.S.
Ir. Adi Susmianto, M.Sc.
Foto Sampul : Rusa di Taman Safari Indonesia, Bogor (M. Bismark)
Desain Sampul : Anita Rianti, S.Pt.
ISBN : 978-979-8452-39-0
Penerbit :
Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan
Gedung Manggala Wanabakti Blok I Lantai XI
Jl. Jenderal Gatot Subroto, Jakarta 10270
Telp. (021) 5730398, 5734333; Fax. (021) 5720189
Cetakan pertama : Desember 2011
Petikan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
Ketentuan Pidana Pasal 72
1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 Ayat (1) dan ayat (2) dipidana
dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau
denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara
paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau
menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta
atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
KATA SAMBUTAN
Rusa timor (Rusa timorensis Blainville, 1822) merupakan
salah satu jenis rusa asli Indonesia yang populasinya di
alam (in-situ) mulai berkurang karena perburuan dan
perusakan habitat. Secara tradisional, masyarakat
memanfaatkan satwa rusa melalui perburuan langsung dari
habitat alam untuk dijadikan satwa peliharaan maupun
diambil daging dan hasil ikutannya. Peraturan Pemerintah
(PP) No. 7 Tahun 1999 tanggal 27 Januari 1999 tentang
Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar menyatakan
bahwa seluruh jenis rusa di Indonesia dilindungi, namun
perburuan masih saja terjadi. Selain itu, kerusakan habitat,
baik disebabkan eksploitasi hutan oleh manusia maupun
kerusakan karena bencana alam, turut pula menyebabkan
penurunan terhadap eksistensi jenis dan populasi rusa.
Oleh sebab itu, upaya konservasi jenis dan populasi perlu
dilakukan baik secara in-situ maupun ex-situ sehingga
pelestarian dan pemanfaatannya dapat tercapai.
Upaya konservasi ex-situ melalui penangkaran sudah
banyak dilakukan namun untuk meningkatkan manfaat,
penangkaran perlu pula dikembangkan di masyarakat
terutama generasi kedua (F2) sebagaimana termuat dalam
PP No. 8 Tahun 1999 tanggal 27 Januari 1999 tentang
Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar. Manfaat
yang diperoleh selain untuk tujuan konservasi adalah
pemenuhan kebutuhan protein hewani serta hasil ikutan
lainnya melalui turunan kedua (F2) dan seterusnya. Hasil
penangkaran rusa tersebut juga memiliki prospek untuk
dikembangkan dalam skala budidaya komersial, sehingga
asumsi hutan sebagai sumber pangan dapat terpenuhi.
iii
Buku ini memberikan tuntunan bagi masyarakat dan
lembaga konservasi yang concern terhadap konservasi
khususnya penangkaran rusa yang tentunya memerlukan
suatu teknik penangkaran yang tepat sehingga hasilnya
dapat ditingkatkan. Oleh karena itu saya sampaikan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Pusat Litbang
Konservasi dan Rehabilitasi, juga kepada penyusun,
penyunting, pembahas, dan penulis serta semua pihak yang
telah berkontribusi dalam penyusunan buku “Pengembangan
Penangkaran Rusa Timor”.
Saya berharap buku ini dapat bermanfaat sehingga
penangkaran rusa timor di Indonesia dapat berhasilguna
dan berdayaguna.
Kepala Badan,
Dr. Ir. Tachrir Fathoni, MSc.NIP. 19560929 198202 1 001
iv
KATA PENGANTAR
Pemanfaatan sumberdaya alam secara lestari sesuai
kaidah-kaidah konservasi merupakan salah satu kegiatan
pokok dalam Strategi Konservasi, disamping pengawetan dan
perlindungan sistem penyangga kehidupan. Oleh karena itu
penangkaran rusa timor (Rusa timorensis) sebagai satwaliar
yang dilindungi, dapat dilaksanakan, baik secara hukum
maupun etika biologis karena masih berada dalam koridor
konservasi. Permasalahannya apakah ilmu pengetahuan dan
teknologi (IPTEK) yang mendukung kegiatan penangkaran
rusa tersebut dapat menjaga kemurnian jenis atau genetik,
serta tetap dapat memenuhi persyaratan-persyaratan teknis
dan manajemen penangkaran rusa. Apakah IPTEK
penangkaran rusa tetap dapat menjamin tercapainya tujuan
penangkaran itu sendiri, yaitu untuk membantu recovery
populasi di habitat aslinya (in-situ) dan pemenuhan kebutuhan
masyarakat untuk domestikasi rusa sebagai satwa harapan
masa depan.
Buku ini menyajikan hasil-hasil penelitian dan sintesis
atas hasil-hasil penelitian penangkaran rusa yang dilakukan
para peneliti, baik dari Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi
maupun Balai Penelitian Kehutanan terutama yang terkait
dengan tugas-tugas konservasi. Sintesis ini diharapkan dapat
menjadi informasi atau bahan masukan bagi pengguna Iptek
penangkaran rusa, baik masyarakat umum, pelaku usaha
maupun institusi pemerintah. Sintesis juga diharapkan dapat
menjadi bahan untuk review kebijakan terkait penangkaran
rusa.
v
Semoga buku ini bermanfaat bagi siapa saja yang
memerlukan informasi atau data atau Iptek penangkaran rusa,
terutama rusa timor (Rusa timorensis). Namun demikian kiritik
dan saran tetap terbuka guna sempurnanya buku ini.
Bogor, Oktober 2011
Kepala Pusat,
Ir. Adi Susmianto, MSc.NIP. 19571221.198203.1.002
vi
1
1. PENDAHULUAN
Sejarah geologi dan pembentukan yang berbeda
diantara pulau-pulau di Indonesia serta variasi iklim telah
mempengaruhi pembentukan berbagai tipe ekosistem,
sebaran, dan jenis satwa. Hal ini terlihat dari tingginya
keragaman ekosistem dan jenis satwa endemik. Menurut
Bappenas (2003), Indonesia memiliki 515 jenis mamalia besar
(39% endemik), tertinggi di dunia, 511 jenis reptil (29%
endemik), 1531 jenis burung (26% endemik), 270 jenis
ampibia (37% endemik), 35 jenis primata (18% endemik), dan
121 jenis kupu-kupu (44% endemik).
Faktor yang mempengaruhi tingkat keragaman jenis
satwa yang berhubungan dengan habitat disebut sebagai
dimensi biodiversitas. Dalam hal ini jenis dan populasi satwa
sangat tergantung pada hutan primer, hutan sekunder dan ada
juga yang dapat berkembang pada tegakan pohon di luar
hutan seperti jenis-jenis burung tertentu dimana pohon
berfungsi sebagai sumber pakan dan tempat bersarang.
Biodiversitas dan tingkat kelangkaan satwa ditentukan pula
oleh luas atau sempitnya sebaran geografis, spesifikasi habitat
yang lebih bervariasi atau terbatas serta berlimpah atau
jarangnya populasi. Selain itu, keanekaragaman jenis
dipengaruhi pula oleh pemanfaatan lahan, fragmentasi hutan,
jenis pemanfaatan hutan, dan perubahan alam. Berdasarkan
dimensi biodiversitas tersebut, keanekaragaman jenis sangat
dipengaruhi oleh kualitas habitat dan perlakuan terhadap
habitat dalam bentuk pengelolaan hutan (Bismark, 2006).
Komponen biotik ekosistem hutan dan satwaliar
mempunyai peran tertentu dalam proses interaksi, inter-relasi,
serta siklus mineral, dan energi dalam ekosistem hutan.
Peran satwaliar dalam ekosistem hutan diantaranya adalah
membantu proses regenerasi hutan alam dalam bentuk
penyerbukan bunga dan penyebaran biji melalui aktivitas
makan. Satwa pemakan biji (seed killing), berperan
2
mengurangi penyebaran tumbuhan cepat tumbuh dan
dominan untuk memberikan kesempatan bagi tumbuhan yang
sub dominan. Proses ini akan memperkaya keragaman jenis
flora dalam ekosistem hutan (Alikodra, 1990).
Satwaliar juga merupakan sumber protein bagi
masyarakat lokal. Dalam sistem pemanfaatan tradisional,
perburuan yang dilakukan masyarakat hanya untuk memenuhi
kebutuhan kelengkapan gizi protein hewani, dan masih terikat
pada sistem budaya serta adat istiadat. Dengan cara ini
masyarakat tradisional sudah mempunyai teknik pelestarian
jenis untuk satwaliar tertentu sebagai bentuk kearifan lokal.
Namun pemanfaatan satwaliar sekarang tidak lagi
hanya sekedar untuk pemenuhan protein atau ritual adat
istiadat, tetapi sudah jauh memasuki nilai ekonomi sebagai
mata pencaharian masyarakat lokal, dan memasuki sistem
perdagangan regional serta internasional. Tingginya tingkat
kebutuhan masyarakat terhadap satwaliar terlihat dari
berkembangnya manfaat satwaliar sebagai sumber pakan,
bahan baku obat, dan industri kerajinan (kulit, tulang, cula,
ranggah) serta sebagai hewan kesenangan (hobby).
Terbukanya hutan sebagai habitat satwaliar melalui
pengelolaan hutan produksi (lebih dari 50% habitat satwaliar
berada di hutan produksi), telah membuka akses perburuan
illegal dan peningkatan perdagangan illegal satwaliar.
Tingginya pemanfaatan dan dampak pengelolaan hutan
terhadap satwaliar berupa penurunan populasi pohon sumber
pakan, tempat tidur, dan tempat bersarang, perubahan iklim
mikro, dan penurunan aktivitas reproduksi menyebabkan
penurunan populasi satwaliar dan menambah jumlah jenis
yang harus dilindungi (Bismark, 2006).
Dari sudut pandang pemanfaatan, biodiversitas fauna
yang bernilai ekonomi untuk diperdagangkan atau diekspor
sebagai devisa negara, pemerintah telah menetapkan kuota
penangkapan satwaliar yang tidak dilindungi. Nilai devisa yang
diperoleh pada Tahun 1999 dari perdagangan satwa dan
3
tumbuhan ke luar negeri tercatat US$ 61.261,12 dan pada
Tahun 2003 meningkat lebih dari 54 kali lipat, yaitu US$
3.340.171,36 (Bismark, 2006). Devisa tertinggi hasil ekspor
satwaliar dicapai Tahun 2005 sebesar US$ 15,287,536 dan
menurun pada Tahun 2006 menjadi US$ 4,410,536
(Departemen Kehutanan, 2007). Dalam rangka pelestarian
populasi satwa dan untuk mengatasi kuota tangkap yang
berlebihan dari alam, pemerintah juga sudah mengeluarkan
Keputusan Presiden No. 43 Tahun 1978 tentang pengesahan
CITES, dengan lampiran jenis-jenis satwa Indonesia yang
dapat diperdagangkan. Jumlah satwa yang diperdagangkan
ditetapkan setiap tahunnya berdasarkan kuota oleh Direktur
Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam sebagai
Management Authority.
Walaupun upaya perluasan kawasan konservasi terus
ditingkatkan dan penetapan kuota penangkapan satwaliar
yang diperdagangkan terus dievaluasi, namun perlindungan
jenis satwa dan habitatnya tetap bermasalah, terutama akibat
illegal logging, perambahan, dan kebakaran hutan yang
memberi akses tinggi bagi kerusakan habitat dan perburuan
liar. Hal ini terlihat dari semakin meluasnya perusakan habitat
dan ekosistem hutan, sekalipun di dalam kawasan konservasi.
Hal yang menarik adalah tidak seimbangnya
penyediaan data dasar tentang ekologi dan teknik pelestarian
satwaliar dibandingkan dengan pemanfaatannya. Laju
pemanfaatan dan degradasi hutan sebagai habitat satwaliar
yang cukup tinggi, semakin memperparah penurunan populasi
satwaliar yang memicu percepatan kepunahan suatu jenis.
Untuk itu penelitian yang menunjang ketersediaan informasi
biologi dan ekologi guna mengemas teknologi pelestarian
satwaliar secara in-situ dan ex-situ sangat diperlukan.
Saat ini, populasi satwaliar di alam sudah menurun
drastis karena perburuan dan kerusakan habitat. Oleh sebab
itu, upaya penangkaran satwa yang bernilai ekonomi di luar
habitat perlu dilakukan sehingga kelestarian jenis dan
populasi, serta pemanfaatan dapat dicapai. Penangkaran
4
satwaliar bernilai ekonomis telah menjadi bagian sumberdaya
untuk kebutuhan masyarakat di sekitar hutan. Penangkaran
lebih banyak diarahkan pada penangkaran rusa walaupun
penangkaran jenis lain telah diupayakan untuk mendukung
sistem perdagangan satwaliar. Penangkaran rusa dapat
dilakukan dengan mengacu kepada informasi bio-ekologis.
Sistem penangkaran rusa, dapat meliputi ranching, semi atau
mini ranching dan kandang individu atau berupa panggung
yang disesuaikan dengan tujuan dan ketersediaan modal.
Beberapa aspek yang mempengaruhi keberhasilan
penangkaran untuk semua sistem tersebut, antara lain jumlah
individu, sex ratio, perkandangan, dan habitat buatan, pakan,
reproduksi, kesehatan, dan pengelolaan. Selanjutnya,
informasi penelitian dan hasil penangkaran dapat
dikembangkan sebagai budidaya komersial dalam berbagai
skala usaha, sehingga menambah pendapatan masyarakat,
swasta, dan pemerintah.
Jenis rusa yang umum dikembangkan oleh peternak di
daerah non-tropik adalah rusa merah (Cervus elaphus) yang
mencapai 87% dari total populasi, dan sisanya adalah rusa
wapiti (Cervus elaphus canadensis) yakni rusa yang memiliki
tubuh paling besar dan rusa fallow (Dama dama) sebagai rusa
yang bertubuh kecil. Sedangkan di daerah tropik, jenis rusa
yang paling banyak ditangkarkan (90%) adalah rusa timor atau
rusa jawa (Rusa timorensis) dan sisanya (10%) terdiri dari rusa
sambar (Rusa unicolor), sebagai rusa tropik terbesar di Asia,
dan rusa totol (Axis axis) (Semiadi dan Nugraha, 2004).
Nilai positif dari perkembangan teknologi reproduksi
dan peternakan rusa adalah kemampuan dalam meningkat-
kan populasi beberapa jenis rusa yang telah langka,
diantaranya rusa bawean (Axis kuhlii). Rusa timor dan rusa
sambar telah ditangkarkan di Indonesia, mengingat jenis rusa
tersebut merupakan jenis rusa asli Indonesia yang telah
menjadi tulang punggung dari peternakan rusa tropik di dunia
dan potensial untuk ditangkarkan. Penelitian tentang rusa
timor sudah banyak dilakukan bahkan telah disosialisasikan di
5
masyarakat, seperti halnya di Kupang, Nusa Tenggara Timur
(NTT) walaupun belum mengarah pada sosial ekonomi. Oleh
karena itu, sangat tepat untuk menggali potensi satwaliar yang
ada dan kemungkinan dikembangkan di Indonesia sebagai
usaha peternakan dan konservasi ex-situ.
6
2. KLASIFIKASI, SEBARAN, DAN PERILAKU
Oleh : Mariana Takandjandji, R. Garsetiasih,
Reny Sawitri, dan N. M. Heriyanto
Rusa timor merupakan salah satu dari empat
spesies rusa asli Indonesia, yakni rusa sambar, rusa bawean,
dan muncak. Menurut Schroder (1976) yang dikutip oleh
Semiadi dan Nugraha (2004) serta Garsetiasih dan
Takandjandji (2006), rusa timor termasuk sub spesies dari
Rusa timorensis dan nama yang umum dikenal adalah rusa
jawa atau rusa timor. Namun dalam IUCN (2008) dikatakan,
nama ilmiah rusa timor adalah Rusa timorensis Blainville,
1822.
2.1. Klasifikasi dan morfologi
Taksonomi atau klasifikasi rusa timor (Rusa timorensis)
dan sambar (Rusa unicolor) sebagai berikut:
Klas : Mamalia
Sub-klas : Theria
Infra-klas : Eutheria
Ordo : Artiodactyla
Sub-ordo : Ruminansia
Famili : Cervidae
Sub-famili : Muntiacinae
Genus : Rusa
Spesies : Rusa timorensis de Blainville, 1822
Nama lokal : Rusa timor
Spesies : Rusa unicolor Kerr, 1792
Nama lokal : Rusa Sambar
Spesies dan sub spesies rusa serta penyebarannya di
seluruh Indonesia, dapat dilihat pada Tabel 2.1.
7
Tabel 2.1. Spesies dan sub spesies rusa di Indonesia
Jenis Rusa Nama Daerah Daerah Penyebaran
Sub famili: Cervinae
Spesies: Rusa unicolor Kerr, 1792 Genus: Rusa 2 sub spesies yang ditemui di Indonesia, yakni:
R. u. equinus Curier, 1823 R. u. brookei Hose, 1893
Rusa Payau Rusa Payau
Sumatera Kalimantan
Spesies: Rusa timorensis Blainville, 1822 8 sub spesies yang ditemui di Indonesia yakni:
R. t. russa Muller & Schlegel, 1844 R. t. floresiensis Heude, 1896 R. t. timorensis Blainville, 1822 R. t. djonga Bemmel, 1949
R. t. moluccenssis Muller, 1836 R. t. renschi Sody, 1933 R. t. laronesiotes Bemmel, 1949 R. t. macassaricus Heude, 1896
Rusa Jawa Rusa Timor Rusa Timor Rusa Jonga
Rusa Maluku Rusa Timor Rusa Jawa Rusa Makassar
Jawa dan Kalimantan Selatan Nusa Tenggara Pulau Timor Kepulauan di Sulawesi Tenggara
Kepulauan Maluku Pulau Bali Ujung Kulon Sulawesi
Genus: Axis Spesies: Axis kuhlii Muller, 1840
Pulau Bawean
Sumber: Schroder (1976); Semiadi dan Nugraha (2004); Garsetiasih dan Takandjandji (2006)
Morfologi rusa timor menurut Schroder (1976);
Semiadi dan Nugraha (2004), mempunyai ukuran tubuh yang
kecil, tungkai pendek, ekor panjang, dahi cekung, gigi seri
relatif besar, dan rambut berwarna coklat kekuning-kuningan.
Rusa jantan memiliki ranggah yang relatif besar, ramping,
panjang, dan bercabang. Cabang yang pertama mengarah ke
depan, cabang belakang kedua terletak pada satu garis
dengan cabang belakang pertama, cabang belakang kedua
lebih panjang cabang depan kedua, cabang belakang kedua
kiri dan kanan terlihat sejajar.
Rusa timor memiliki beberapa keunikan, yakni
mempunyai anak jenis (sub spesies) yang banyak dengan
nama daerah yang beragam sesuai daerah penyebarannya,
memiliki warna rambut yang berbeda pada musim kemarau
dan hujan, serta rusa jantan memiliki enam (6) buah gigi
namun tanpa gigi seri pada bagian atas (Ismail, 1998). Warna
rambut rusa timor pada musim kemarau adalah merah
kecoklatan, agak gelap pada bagian belakang, dan lebih
terang pada bagian dada sedangkan pada musim hujan,
bagian atasnya berwarna keabu-abuan. Menurut Thohari et
8
al. (1991), bobot badan rusa timor dewasa mencapai 100 kg,
sedangkan menurut Jacoeb dan Wiryosuhanto (1994)
mencapai 60 kg. Sub spesies Rusa timorensis timorensis
Blainville, 1822 jantan di Pulau Timor, NTT memiliki bobot
badan berkisar 31,5-70,0 kg (Takandjandji dan Garsetiasih,
2002), sedang menurut Semiadi dan Nugraha (2004)
bervariasi 40-120 kg tergantung pada sub spesies. Rusa timor
memiliki ukuran kepala dan panjang badan 130-210 cm, tinggi
bahu 80-110 cm, panjang ekor 10-30 cm dan bobot badan 50-
115 kg.
Rusa sambar memiliki rambut bagian tubuh yang
panjang dan tebal dengan warna coklat tua, serta pada sekitar
leher tumbuh rambut surai. Jantan memiliki ranggah yang
besar dan kuat serta bercabang tiga, memiliki ukuran kepala
dan panjang badan 170-270 cm, tinggi bahu 120-150 cm,
panjang ekor 22-35 cm dan bobot badan 150-300 kg.
Perbedaan kedua jenis rusa (Rusa timorensis dan
Rusa unicolor) dapat dilihat dari sifat morfologinya (World
Deer, 2005) yakni pada Gambar 2.1a dan 2.1b. Secara fisik,
ukuran rusa sambar (R. unicolor) lebih besar dari pada rusa
timor (R. Timorensis).
a
b
Gambar 2.1. Rusa sambar (Rusa unicolor Kerr, 1792) (a); dan rusa timor (Rusa timorensis Blainville, 1822) (b).
Sum
ber
Foto
: P
rath
eepps,
(Wik
ipedia
, 2007
)
Foto
: N
. M
. H
eriya
nto
dan
P. S
etio
9
2.2. Sebaran
Rusa timor atau rusa jawa (Rusa timorensis Blainville,
1822) memiliki sebaran habitat alami di Pulau Jawa, Bali dan
Nusa Tenggara, sedangkan rusa sambar (Rusa unicolor Kerr,
1792) memiliki sebaran alami mulai dari Pegunungan
Himalaya sampai Indonesia, yaitu Sumatera dan Kalimantan.
Keberadaan jenis rusa timor di wilayah Indonesia bagian timur
(seperti Maluku dan Papua) ditengarai sebagai jenis yang
diintroduksi.
Sebaran rusa timor pada saat ini lebih banyak
ditemukan di daerah-daerah yang bukan habitat aslinya
seperti di Papua dan Kepulauan Maluku, misalnya rusa timor di
Papua (Taman Nasional Wasur) telah berkembangbiak hingga
mencapa i popu las i 200 r ibu-350 r ibu ind iv idu
(http://www.infopapua.com/ modules.php?op,2005). Hal ini
erat kaitannya dengan kemampuan berperilaku dalam
memanfaatkan kondisi lingkungan dan potensi habitat.
Rusa timor mempunyai daya adaptasi yang tinggi
sehingga dengan mudah menyesuaikan diri dan hidup di
daerah basah, kering, berpasir maupun pegunungan. Di
samping itu rusa timor lebih mampu beradaptasi dengan
daerah kering, panas dan terbuka seperti savana karena
ketergantungannya terhadap air lebih kecil. Habitat alami rusa
timor adalah hutan tropis dan dataran rendah yang bervegetasi
savana, lontar, cemara, dan mangrove.
Menurut Schroder (1976); Semiadi dan Nugraha
(2004), rusa timor tersebar di Pulau Jawa, Sulawesi, Maluku,
dan Nusa Tenggara. Sedang rusa sambar (R. unicolor)
tersebar di P. Sumatera dan Kalimantan (Gambar 2.2).
10
1
2
3
3 4
5
6
7
8
9
10
Gambar 2.2. Penyebaran sub spesies rusa di Indonesia
Keterangan Gambar :1. R. u. equinus (Curier, 1823) 6. R. t. djonga (Bemmel, 1949)
2. R. u. brookei (Hose, 1893) 7. R. t. moluccensis (Muller, 1836)
3. R. t. russa (Muller & Schi, 1844) 8. R. t. renschi (Sody, 1933)
4. R. t. floresiensis (Heude, 1896) 9. R. t. laronesiotes (Bemmel, 1949)
5. R. t. timorensis (Blainville, 1822) 10. R. t. macassaricus (Heude, 1896)
2.3. Perilaku
Rusa hidup dalam kelompok sosial pada setiap
aktivitas. Perilaku sosial dilakukan dengan cara saling
berinteraksi antara individu dalam kelompok. Hubungan
sosial lebih nyata terlihat pada induk dan anak terutama pada
saat anak baru dilahirkan. Tingkat kedekatan induk pada anak
mulai berkurang sejalan dengan pertambahan umur anak.
Rusa timor mempunyai tingkah laku hirarki dalam kelompok
terdiri dari pimpinan dan bawahan, dimana rusa jantan besar
dengan ranggah keras umumnya sebagai pimpinan yang
membawahi beberapa induk betina (harem) dan anak-
anaknya. Kelompok besar satwa ini umumnya terbagi menjadi
tiga (3) sub kelompok yaitu: (a) sub kelompok campuran rusa
jantan dan betina: rusa jantan besar menguasai kelompok
betina dewasa; (b) kumpulan rusa timor jantan muda yang
telah disapih; (c) betina yang bunting dan rusa yang sedang
menyusui anaknya.
11
Menurut Takandjandji dan Sinaga (1995), perilaku
makan merupakan rangkaian dari gerakan yang dilakukan
dalam hal mencari, memilih, mengambil dan memasukkan ke
dalam mulut, mengunyah, menelan, serta pengunyahan dan
penelanan kembali (ruminasi). Perilaku makan tergantung
pada spesies, status fisiologis, iklim, tipe pakan, dan kualitas
pakan. Perilaku makan pada satwa meliputi kegiatan
pergerakan, menjelajah (exploring) dan istirahat (Sukriyadi,
2006).
Rusa dalam aktivitas makan, dapat memanfaatkan
rumput-rumputan dan daun pohon yang masih muda (Syarief,
1974). Apabila berada di padang rumput rusa termasuk
grasser sedangkan pada areal semak dan hutan rusa
merupakan browser (Hoogerwerf, 1970; Garsetiasih, 1996).
Sebagai satwa herbivora, rusa timor mengkonsumsi berbagai
jenis rumput-rumputan, herba, dan buah-buahan yang jatuh
atau berserakan di lantai hutan. Rusa timor di Suaka
Margasatwa Pulau Menipo di NTT, memanfaatkan tegakan
lontar dan hutan bakau sebagai tempat beristirahat
(Takandjandji, 1987).
Perilaku harian rusa di alam umumnya nokturnal,
artinya aktif mencari makan apabila hari gelap. Namun
demikian, perilaku tersebut dapat berubah sesuai dengan
tujuan pengelolaan walaupun sifat dasar liarnya tidak dapat
dihilangkan tetapi dapat dikendalikan. Apabila sifat liar dapat
dikendalikan, maka penanganannya akan lebih mudah. Rusa
timor dengan mudah dapat dikelola karena rusa dapat
beradaptasi dengan lingkungan di luar habitatnya dengan
baik. Oleh karena itu rusa timor memiliki potensi yang tinggi
untuk ditangkarkan.
12
3. HABITAT DAN POPULASI
Oleh : Abdullah Syarief Mukhtar, R. Garsetiasih dan
Sofian Iskandar
Habitat adalah tempat dimana suatu makhluk
hidup dapat melangsungkan kehidupannya dan sangat
penting bagi populasi rusa agar dapat berkembang secara
optimal untuk mendapatkan makanan, air, dan naungan
(cover). Sebagai satwa herbivora yang memiliki habitat di
padang rumput tropis maupun sub tropis, rusa timor mampu
beradaptasi pada hutan pegunungan, semak belukar, dan
rawa.
3.1. Habitat
Habitat alami rusa meliputi beberapa tipe vegetasi,
seperti savana sebagai sumber pakan dan vegetasi hutan
yang tidak terlalu rapat untuk tempat bernaung (istirahat),
kawin dan untuk bersembunyi menghindar dari predator.
Hutan sampai ketinggian 2600 meter dpl dengan beberapa
mozaik padang rumput merupakan habitat yang paling disukai
oleh rusa terutama jenis Rusa timorensis, sedangkan Rusa
unicolor sebagian besar aktivitas hariannya dilakukan di hutan
lahan basah atau payau.
Habitat rusa timor di Pulau Moyo Nusa Tenggara Barat
(NTB) memiliki vegetasi savana dengan jenis pohon
Tamarindus indica L., Albizia lebbec L. Benth, Sterculia
manghas L., dan Alstonia spectabilis L.R.Br. Potensi sumber
pakan di savana sangat tergantung pada perubahan musim,
dimana pada musim hujan pakan berlimpah, sedangkan di
musim kemarau pakan berkurang (Mukhtar, 1996).
Ekosistem hutan rawa dan hutan mangrove di
beberapa kawasan juga menjadi habitat rusa timor, namun
pada beberapa daerah yang bervegetasi savana, populasi
rusa lebih tinggi, sedangkan populasi yang tinggi pada
ekosistem rawa terjadi di Taman Nasional Rawa Aopa
Watumohai.
a. Vegetasi savana
Penelitian vegetasi habitat pada ekosistem savana
lebih ditujukan pada tumbuhan bawah yang menjadi sumber
pakan. Ketersediaan jenis pakan di beberapa pulau yang
telah diamati, disajikan pada Tabel 3.1.
Komposisi pohon pada ekosistem savana dapat
berfungsi sebagai pelindung di habitat rusa di Pulau Ndana,
NTT (Tabel 3.2), dimana komposisi vegetasi sebagian besar
merupakan jenis-jenis tumbuhan pionir yang tumbuh di batu
berkarang.
Tabel 3.1. Vegetasi dan sumber pakan rusa timor di pulau-pulau kecil
Vegetasi Ekosistem
Pohon Rumput Pulau Moyo
1 Tamarindus indica L.
Ficus benyamina L. Premna corymbosa Burm. StrebIus asper Lour. Pongamia pinnata L. Pierre Albizia lebbec L. Benth Cerbera manghas L. Parasponia parvlfolia Miq. Phyllanthus emblica L. Pongamia pinnata L. Pierre Capparis sepiaria Blanco Zizyphus mauritiana Lam. Thespesia populnea L. Sol Bauhinia malabarica Roxb. Hibiscus tiliaceus L. Scleria lithosperma (L.) Sw. Ficus septica Burm.
Andropogon contortus L. Eragrostis bahiensis Retz. Nees Andropogon fastigiatus Sw.
14
Pulau Menipo2 Borasus flabellifer L.
Desmodium capitulum Burm. Microlaena stipoides Labill. R.Br Paspalum scrobiculatum L. Imperata cylindrica (L). P. Beauv
Pulau Ndana3
Borasus flabellifer L.
Eragrostis uniloides Retz. Nees Remirea maritama Aubl. Pollinia fulva R.Br Indigofera glanddulosa J.C Wendel Mollugo pentaphyla L. Euphorbia reniformis Blume
Pulau Rinca4
Borasus flabellifer L. Schleicera oleosa Lour. Schoutenia ovata Korth. Heteropogon conctortus L.
akan mengganggu fungsinya sebagai penahan angin maupun
hilangnya cover bagi rusa timor sebagai tempat istirahat dan
bermain.
Luas lahan kritis di pulau sebaran populasi rusa timor
disajikan pada Tabel 3.10. Rehabilitasi lahan yang telah
dilakukan untuk penanggulangan lahan kritis sebagai bentuk
perbaikan habitat di dalam kawasan hutan, baru mencapai
1,9%.
Tabel 3.10. Lahan kritis di beberapa propinsi sebagai daerah
sebaran rusa timor (sampai tahun 2006)
No. Pulau Luas lahan kritis dalam dan luar kawasan (ha)
Luas rehabilitasi lahan dalam
kawasan selama 5 tahun (ha)
1. Jawa 3.493.549,99 21.382,20 2. Nusa Tenggara Barat 853.289,66 25.687 3. Nusa Tenggara Timur 4.391.767,10 30.075 4. Sulawesi 6.218.210,36 1.312,26 5. Maluku 2.402.935,73 27.356 6. Papua 4.575.993,81 571
Perluasan lahan kritis yang berdampak pada
kehidupan rusa adalah pembukaan lahan hutan oleh manusia
untuk kepentingan pertanian. Konversi lahan akan merubah
komposisi jenis tumbuhan seperti yang terjadi di Pulau Moyo.
Dimana pada tahun 1985 terdapat padang rumput di Tanjung
Pasir tetapi pada Tahun 1996 padang rumput tersebut sudah
tidak ada dan rumput-rumputan yang terdapat di atasnya
digantikan oleh jenis Zizyphus muritiana Lam., Lantana
camara L. dan Eupatorium pallescens DC. Sedangkan jenis
rumput di padang rumput pada Tahun 1985 yang dijumpai yaitu