SINDROMA STEVEN JOHNSON PENDAHULUAN Sindroma Steven Johnson (SSJ) adalah kumpulan gejala yang ditandai dengan trias kelainan pada kulit, mukosa orifisium dan mata, disertai gejala umum dari ringan sampai berat. Pertama kali dilaporkan pada tahun 1922 oleh dua dokter ahli anak Amerika, Albert Mason Stevens and Frank Chambliss Johnson. Sinonimnya antara lain : Sindroma de Friessinger-Rendu, Eritema Eksudativum Multiform Mayor, Eritema Poliform Bulosa, Sindroma Muko-kutaneo-okular dan Dermatostomatitis. Kelainan ini termasuk dalam kelompok Eritema Multiforme Mayor, bersama dengan Toksik Epidermal Nekrolisis (TEN). Sampai saat ini kedua kelainan tersebut masih rancu dan sulit dibedakan, sehingga para ahli sepakat untuk memakai istilah SSJ/TEN. 1,2 Insiden SSJ sebenarnya cukup jarang, yaitu berkisar dari 2,6 – 6,1 kasus / 1 juta orang / tahun. Di Amerika Serikat dilaporkan terjadi 300 kasus baru tiap tahunnya. Kelainan ini lebih sering mengenai perempuan dibanding laki-laki dengan rasio 2:1, dan usia terbanyak pada dekade 2 – 4 dibanding anak-anak. 2,3 Etiologi SSJ sukar ditentukan dengan pasti, karena penyebabnya berbagai faktor. Namun secara umum etiologinya sering berkaitan dengan respon imun terhadap obat dan infeksi. Obat yang paling sering menyebabkan SSJ adalah antibiotik golongan sulfa dan analgetik golongan NSAID. 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
SINDROMA STEVEN JOHNSON
PENDAHULUAN
Sindroma Steven Johnson (SSJ) adalah kumpulan gejala yang ditandai dengan trias
kelainan pada kulit, mukosa orifisium dan mata, disertai gejala umum dari ringan sampai
berat. Pertama kali dilaporkan pada tahun 1922 oleh dua dokter ahli anak Amerika, Albert
Mason Stevens and Frank Chambliss Johnson. Sinonimnya antara lain : Sindroma de
Berbagai macam karsinoma dan limfoma juga disebut dapat menginduksi SSJ. SSJ
pernah dilaporkan terjadi setelah transplantasi sumsum tulang, walaupun mungkin yang
terjadi adalah reaksi acute graft vs host disease yang berat. Hubungan antara SSJ dengan
graft vs host disease masih sulit dinilai karena gambaran lesi dan histologi kulit yang
terkena sulit dibedakan.3
Terakhir, mekanisme fisik seperti radioterapi disertai dengan terapi obat
antiepileptik seperti phenitoin, carbamazepin dan fenobarbital juga dapat menyebabkan
SSJ pada lokasi penyinaran.3
PATOGENESIS
Meskipun belum diketahui secara pasti, beberapa penelitian telah menunjukkan
hasil yang membantu menjelaskan pathogenesis SSJ. Sampai saat ini patogenesis SSJ
disangka akibat reaksi hipersensitivitas tipe IV. Pada fase awal timbulnya lesi, terjadi
reaksi sitotoksik yang diperantarai oleh sel (cell mediated cytotoxicity) terhadap keratinosit
yang menyebabkan apoptosis masif. Penelitian imunopatologis menunjukkan adanya
limfosif T CD8+ di epidermis dan dermis kulit yang terkena. Limfosit tersebut mempunyai
aktivitas seperti NK sel pada awal lesi. Sedangkan pada fase lanjut cenderung didominasi
oleh aktivitas monosit. Limfosit T CD8+ ini mengekspresikan reseptor T α dan β
dipermukaan sel sehingga mampu menghancurkan sel melalui perforin dan granzyme B.
Saat ini diketahui terdapat ekspansi oligoklonal limfosit CD8+ spesifik yang hanya
mempunyai aktivitas sitotoksik terhadap keratinosit.2,3
Limfosit T regulator CD4+CD25+ mempunyai peran yang penting dalam mencegah
kerusakan epidermis akibat reaksi sitotoksik limfosit T. Beberapa sitokin penting seperti
interleukin 6, TNF-α dan Fas ligand (Fas-L) juga ditemukan pada lesi kulit penderita SSJ.
Viard dkk menyatakan bahwa apoptosis keratinosit di lesi kulit berkaitan dengan
peningkatan ekspresi Fas dipermukaan membran dan dapat dihambat oleh human
imunoglobulin konsentrai tinggi yang mengganggu interaksi antara Fas dan Fas-L. TNF-α
kemungkinan juga berperan karena ditemukan pada lesi epidermis, cairan bulla dan sel-sel
mononuklear dan makrofag perifer.2,3
Teori lain menyebutkan adanya reaksi imunologis terhadap metabolit reaktif,
terutama metabolit obat golongan sulfonamid, pada individu dengan asetilasi lambat.
Namun reaksi imunologis cenderung terjadi langsung terhadap obat aktif dibanding
metabolitnya.2,3
3
Faktor genetik juga berperan penting, hal ini dapat diamati pada orang Cina suku
Han yang mempunyai HLA-B1502 dengan kejadian SSJ akibat karbamazepin dan HLA-
B5801 dengan kejadian SSJ akibat allourinol. Namun begitu hubungan antara SSJ akibat
karbamazepin dengan HLA-B1502 tidak tampak pada pasien Eropa yang tidak mempunyai
keturunan Asia.2,3
DIAGNOSIS
Amamnesis
SSJ secara klinis muncul dalam waktu 8 minggu (biasanya 4 s/d 30 hari) setelah
onset pemberian obat. Namun pada beberapa kasus dimana sebelumnya ada riwayat
terpapar obat yang sama dapat terjadi lebih cepat dalam waktu beberapa jam saja. Gejala-
gejala non spesifik seperti demam, sakit kepala, rhinitis, myalgia biasanya muncul 1 - 3
hari sebelum muncul kelainan dikulit. Kemudian muncul keluhan nyeri telan dan rasa
terbakar di mata, ini merupakan tanda-tanda adanya lesi dimukosa. Kira-kira sepertiga
kasus SSJ muncul dengan gejala non spesifik, sepertiga dengan gejala di membran mukosa
dan sepertiganya lagi muncul dengan eksantema kulit. Apapun gejala awalnya, adanya
keluhan yang progresif disertai dengan munculnya gejala baru dikulit dan / atau mukosa,
nyeri berat disertai gejala sistemik sudah harus membuat kita waspada akan suatu SSJ.1,2,3
Lesi Kulit
Erupsi dikulit pada awalnya simetris dengan predileksi didaerah wajah, dada dan
punggung atas serta ekstrimitas proksimal. Ekstrimitas distal biasanya jarang terlibat pada
awal penyakit, namun lesi dapat menyebar cepat keseluruh tubuh dalam waktu beberapa
hari, bahkan bisa dalam hitungan jam. Lesi awal biasanya berupa makula eritematosa
dengan bentuk ireguler dan dapat dengan cepat menyatu. Seringkali ditemukan lesi target
dengan tengah kehitaman (Gambar 1a). Pada SSJ juga ditemukan Nikolsky sign, yakni
berupa lepasnya epidermis karena penekanan di lateralnya, terutama di zona eritematosa.
(Gambar 1b). Pada tahap ini dapat ditemukan bulla lunak yang dapat meluas dengan
penekanan serta mudah dipecahkan (Gambar 1c). Epidermis yang mengalami nekrotik
dapat dengan mudah terlepas karena tekanan atau gesekan, dan meninggalkan area dermias
terbuka berwarna kemerahan.2,3
Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa SSJ dan TEN merupakan kelainan
yang mirip dan sulit dibedakan sehingga pada ahli membuat klasifikasi sebagai berikut :
1. SSJ bila pelepsan epidermis < 10% dari luas permukaan tubuh (LPT).
4
2. Overlaping SSJ/TEN bila pelepsan epidermis antara 10-30% LPT
3. TEN bila pelepasan epidermis > 30% LPT
Gambar 1a. Lesi target; 1b. Nikolsky sign; 1c. Bulla yang pecah
Untuk mengukur derajat ringan berat SSJ digunakan indeks pengukuran Score for TEN
(SCORTEN) (Tabel 2). SCORTEN terbukti sangat akurat sebagai alat untuk
memperkirakan mortalitas pasien. Parameter klinik lainnya yang penting adalah
trombositopenia, leukopenia, kelambatan untuk dirawat dan pemberian pengobatan
antibiotik dan kortikosteroid sebelum dirawat.3
Tabel 2. SCORTEN. Sistem skor untuk menilai prognosis SSJ
SCORTENFaktor prognostik Poin
Usia > 40 th 1Denyut jantung > 120 x/mnt 1Karsinoma atau keganasan hematologi 1Luas permukaan tubuh yang terlibat > 10% 1Kadar ureum darah > 28 mg/dL 1Kadar bikarbonat darah < 20 mEq/L 1Kadar glukosa darah > 252 mg/dL 1
molekul adesi. Selain itu, kortikosteroid dapat meregulasi respon imun melalui down
regulation ekspresi gen sitokin. Mereka yang tidak setuju pemberian kortikosteroid
10
berargumentasi bahwa kortikosteroid akan menghambat penyembuhan luka,
meningkatkan resiko infeksi, menutupi tanda awal sepsis, perdarahan gastrointestinal
dan meningkatkan mortalitas. Faktor lain yang harus dipertimbangkan yaitu harus
tapering off 1-3 minggu. Bila tidak ada perbaikan dalam 3-5 hari, maka sebaiknya
pemberian kortikosteroid dihentikan. Lesi mulut diberi kenalog in orabase.4
Intravenous immune globulin (IVIG)
Intravenous IgG (IVIG) mengandung berbagai antibodi termasuk autoantibody
terhadap protein Fas.10 IVIG mempengaruhi interaksi Fas-FasL. Keratinosit manusia
sensitif terhadap rekombinan human sFasL. Invitro IVIG memblok rhsFasL sehingga
keratinosit tidak apoptosis. IVIG mengandung anti Fas IgG yang akan menempel
pada reseptor FasL, sehingga akan menghalangi perlekatan rhsFasL pada reseptor.
Pengobatan IVIG meningkatkan tingkat kelangsungan hidup menjadi 88%. Dosis
yang diberikan 1 g/kg/hari selama 3 hari.14
Plasmaferesis
Plasmaferesis adalah pengobatan dengan menggunakan transfuse darah yang telah
dihilangkan plasmanya kemudian ditambahkan dengan albumin (atau bank plasma)
dan kemudian diinfuskan kembali. Tujuannya adalah untuk menghilangkan bahan
pathogen dalam plasma seperti obat, racun, bahan metabolic, antibody, imun
komplek atau penyakit yang memicu sitokin. Plasmaferesis telah berhasil digunakan
untuk TEN dengan prosedur yang relative sederhana dengan menggunakan 1-8 kali
transfusi. Pemberian 1 seri plasmaferesis dikombinasikan dengan IgG intravenous
(IVIG). Survival rate meningkat sampai 77-100%.14
KOMPLIKASI
Sindroma Steven Johnson sering menimbulkan komplikasi pada mata berupa
simblefaron dan ulkus kornea. Komplikasi lainnya adalah timbulnya sembab, demam atau
malahan hipotermia dan yang terberat adalah sepsis.4
PROGNOSIS
Pada kasus yang tidak berat, prognosisnya baik, dan penyembuhan terjadi dalam
waktu 2-3 minggu. Kematian berkisar antara 5-15% pada kasus berat dengan berbagai
komplikasi atau pengobatan terlambat dan tidak memadai. Prognosis lebih berat bila terjadi
purpura yang lebih luas. Kematian biasanya disebabkan oleh gangguan keseimbangan
cairan dan elektrolit, bronkopneumonia, serta sepsis.4
11
RINGKASAN
Diagnosis Sindroma Steven Johnson terutama dengan anamnesis dan pemeriksaan
fisik. Pada umumnya merupakan bagian dari reaksi alergi obat dan mempunyai gejala dari
ringan samapai berat. Penatalaksanaan lebih bersifat konservatif dan sumptomatik, kecuali
lesi terbuka perlu koordinasi dengan unit luka bakar.
12
DAFTAR PUSTAKA
1. Harsono A. Sindroma Steven Johnson : Diagnosis dan Penatalaksanaan. Kapita Selekta Ilmu Kesehatan Anak VI. Surabaya. 2006.
2. Steven J Parrillo SJ. Stevens-Johnson Syndrome in Emergency Medicine. Aviable on http://emedicine.medscape.com/article/756523-overview
3. Ramon PF, Maldonado R. Erythema Multiforme, Stevens-Johnson Syndrome, and Toxic Epidermal Necrolysis. In : Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen F, Goldsmith LA, Katz S (Editor). Fitzpatrick's Dermatology In General Medicine 6th edition. New York: McGraw-Hill Professional Pub; 2003.
4. Harry W.U., Kurniawan D. Erupsi Obat Alergik. Palembang. FK Universitas Sriwijaya. 2007
5. Schultz JT. Sheridan RL, Ryan CM, Mackool B, Tompkins RG.; A 10-year experience with toxic epidermal necrolysis.; J Burn Care Rehabil; 2000:21:199-204
6. Ghislain P.D., Roujeau J.C. Treatment of severe drug reactions: Stevens-Johnson Syndrome, Toxic Epidermal Necrolysis and Hypersensitivity syndrome. Dermatology Online Journal 8(1):5. Paris.2002.
7. Spies M, Sanford AP, Aili Low JF, Wolf SE, Herndon DN.; Treatment of extensive toxic epidermal necrolysis in children; Pedriatics ; 2001; 108:1162-1168.
8. Peng YZ, Yuan ZQ, Xiao, GX. Effects of early enteral feeding on the prevention of enterogenic infection in severely burned patients. Burns 2001;27:145-149.
9. Kelemen JJ, Cioffii WG, McManus WF, Mason ADJ, Pruitt BAJ. Bum center care for patients with toxic epidermal necrolysis. JAm Coll Surg 1995;180:273-278.
10. Fu X, Shen Z, Chen Y, et al. Randomised placebo-controlled trial of use of topical recombinant bovine basic fibroblast growth factor for second-degree burns. Lancet 1998;352:1661-1664.
12. Abe R, Shimizu T, Shibaki A, Nakamura H, Watanabe H & Shimizu H; Toxic Epidermal Necrolysis and Stevens-Johnson Syndrome Are Induced by Soluble Fas Ligand; American Journal of Pathology ; 2003; 162.121-125.
13. Chave TA, Mortimer NJ, Sladden MJ, Hall AP, Hutchinson PE.; Toxic epidermal necrolysis; current evidence, practical management and future directions; Br J Dermatol; 2005;153:241-53.
14. Yamada H, Takamori K, Yaguchi H, Ogawa H,: A study of the efficacy of plasmapheresis for the treatment of drug induced toxic epidermal necrolysis.; Ther Apher; 1998; 2:153-156.