Refarat: Sindrom Sturge-Weber Arthur H.P. Mawuntu SINDROM STURGE-WEBER Arthur H.P. Mawuntu PENDAHULUAN Sindrom Sturge-Weber merupakan suatu kelainan perkembangan yang dimulai saat periode intrauterin dan dikelompokkan dalam penyakit neurokutaneus (neurocutaneous disorder). Sindrom ini jarang ditemukan. Insidensnya diperkirakan satu tiap 50.000 kelahiran. Meskipun demikian, sindrom ini penting diketahui karena membutuhkan penanganan berbagai bidang keahlian dalam hal diagnosis, terapi, serta pemantauan lanjutnya. Neurologi anak memainkan peran sentral dalam diagnosis awal serta penanganan penyulit sindrom ini seperti bangkitan, retardasi mental, dan gangguan penglihatan. 1,2 Penyakit neurokutaneus dibagi menjadi dua kelompok besar. Pada kelompok pertama, bayi lahir dengan suatu kelainan kulit tertentu yang muncul dalam bentuk yang ringan saat lahir lalu berkembang menjadi bentuk kuasineoplastik. Kelompok yang ke dua (disebut fakomatosis oleh van der Hoeve, 1920) memiliki kesamaan ciri berupa transmisi herediter, keterlibatan organ yang berasal dari ektoderm (susunan saraf, bola mata, retina, dan kulit), evolusi lesi yang lambat pada anak dan remaja, kecenderungan membentuk hamartoma, dan perubahan menjadi bentuk maligna yang fatal. Yang termasuk dalam kelompok ke dua adalah sklerosis tuberosa, neurofibromatosis, dan angiomatosis kutan dengan abnormalitas susunan saraf pusat (SSP). Sindrom Sturge-Weber termasuk dalam kelompok angiomatosis kutan dengan abnormalitas susunan saraf pusat. 1,3 Nama Sturge-Weber diambil dari W. Allen Sturge yang melaporkan seorang anak dengan suatu noda “port-wine”(port-wine stain, selanjutnya 1
This article is in Bahasa Indonesia. It discussed the diagnosis and management of Sturge-Weber syndrome and its variants. This article is useful for clerks and residents in Neurology, Pediatric, Ophtalmology, etc
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Refarat: Sindrom Sturge-WeberArthur H.P. Mawuntu
SINDROM STURGE-WEBERArthur H.P. Mawuntu
PENDAHULUAN
Sindrom Sturge-Weber merupakan suatu kelainan perkembangan yang
dimulai saat periode intrauterin dan dikelompokkan dalam penyakit
neurokutaneus (neurocutaneous disorder). Sindrom ini jarang ditemukan.
Insidensnya diperkirakan satu tiap 50.000 kelahiran. Meskipun demikian,
sindrom ini penting diketahui karena membutuhkan penanganan berbagai
bidang keahlian dalam hal diagnosis, terapi, serta pemantauan lanjutnya.
Neurologi anak memainkan peran sentral dalam diagnosis awal serta
penanganan penyulit sindrom ini seperti bangkitan, retardasi mental, dan
gangguan penglihatan.1,2
Penyakit neurokutaneus dibagi menjadi dua kelompok besar. Pada
kelompok pertama, bayi lahir dengan suatu kelainan kulit tertentu yang
muncul dalam bentuk yang ringan saat lahir lalu berkembang menjadi bentuk
kuasineoplastik. Kelompok yang ke dua (disebut fakomatosis oleh van der
Hoeve, 1920) memiliki kesamaan ciri berupa transmisi herediter, keterlibatan
organ yang berasal dari ektoderm (susunan saraf, bola mata, retina, dan
kulit), evolusi lesi yang lambat pada anak dan remaja, kecenderungan
membentuk hamartoma, dan perubahan menjadi bentuk maligna yang fatal.
Yang termasuk dalam kelompok ke dua adalah sklerosis tuberosa,
neurofibromatosis, dan angiomatosis kutan dengan abnormalitas susunan
saraf pusat (SSP). Sindrom Sturge-Weber termasuk dalam kelompok
angiomatosis kutan dengan abnormalitas susunan saraf pusat.1,3
Nama Sturge-Weber diambil dari W. Allen Sturge yang melaporkan
seorang anak dengan suatu noda “port-wine”(port-wine stain, selanjutnya
disingkat PWS dalam makalah ini) dan bangkitan sensorimotorik kontralateral
(1879) serta Parkes Weber (1922, 1929) yang pertama kali menunjukkan
hubungan antara gambaran radiografik atrofi dan kalsifikasi hemisfer serebri
ipsilateral dengan lesi kulit. Sayang eponim ini mengabaikan sumbangan
penting Kalischer (1897, 1901) yang pertama kali melaporkan suatu kasus
angioma meningen disertai angioma di wajah; Volland (1913) yang
menunjukkan adanya deposit kalsium intrakorteks; dan Dimitri (1923) yang
menggambarkan bayangan radiogradik double-contour (selanjutnya dikenal
1
Refarat: Sindrom Sturge-WeberArthur H.P. Mawuntu
dengan gambaran jalur trem = “tram-track appearance”) yang khas. Krabbe
(1932, 1934) membuktikan bahwa kalsifikasi tidak terletak di pembuluh
darah (seperti yang disimpulkan oleh Dimitri dan yang lain) tetapi di lapisan
ke dua dan ke tiga korteks.1
Sindrom ini mencakup kelainan kulit, mata, dan susunan saraf. Kelainan
kulit berupa suatu nevus vaskular yang melingkupi sebagian besar wajah dan
kranium sesisi (di wilayah ramus oftalmikus nervus trigeminus) yang terlihat
sejak lahir. Terkadang nevus bisa meliputi wilayah yang lebih luas. Gangguan
mata berupa buftalmos kongenital, glaukoma, serta gangguan koroid.
Gangguan neurologis bisa terlihat dalam tahun pertama setelah lahir atau di
akhir masa kanak-kanak. Gangguan neurologis tersering adalah bangkitan
unilateral diikuti hemiparesis spastik dengan pengecilan lengan dan tungkai,
defek hemisensorik, dan hemianopia homonim, yang semua terletak
kontralateral dari nevus trigeminal.1,4
DEFINISI DAN SINONIM
Sindrom Sturge-Weber (Sturge-Weber syndrome, selanjutnya akan
disingkat dengan SWS dalam makalah ini) merupakan suatu kelainan
neurokutaneus kongenital berupa angioma yang mengenai leptomeningen,
kulit wajah, serta mata dalam waktu yang berlainan. Sindrom ini juga disebut
angiomatosis ensefalotrigeminal atau angiomatosis ensefalofasial.4,5
ETIOLOGI DAN KLASIFIKASI
Sindrom Sturge-Weber terjadi karena adanya pembuluh darah embrional
residual. Penyebabnya masih belum jelas. Mungkin disebabkan oleh mutasi
somatik sporadik, familial, atau mungkin juga mutasi sporadik dan familial
(“2-hit hypothesis”). Huq, dkk melaporkan adanya bukti mosaikisme pada
empat pasien SWS. Inversi lengan 4q kromosom 4 dan trisomi 10 ditemukan
pada beberapa pasien.2,4,5
SWS disebut komplit bila terdapat angioma susunan saraf pusat (SSP)
dan fasial serta disebut inkomplit bila hanya mengenai salah satunya. Lebih
lanjut, skala Roach digunakan untuk klasifikasi SWS, sebagai berikut:4
Tipe I : Angioma fasial dan leptomeningen; bisa disertai glaukoma.
Tipe II : Hanya angioma fasial saja (tanpa keterlibatan SSP); bisa
disertai glaukoma.
2
Refarat: Sindrom Sturge-WeberArthur H.P. Mawuntu
Tipe III : Hanya angioma leptomeningen, biasanya tidak disertai
glaukoma.
EPIDEMIOLOGI
Insidens dan Distribusi Geografis
Insiden SWS diperkirakan 1 per 50.000 kelahiran. Tidak ada perbedaan
berdasarkan wilayah.2
Morbiditas dan Mortalitas
Gangguan neurologis mencakup bangkitan, kelemahan, stroke, nyeri
kepala, hemianopia, retardasi mental, serta abnormalitas perkembangan.
Perkembangan bangkitan dan usia awitan mungkin berkorelasi dengan
derajat keterlibatan neurologis. Gangguan neurologis meningkat pada PWS
bilateral. Penyulit yang dihadapi pasien paling sering diakibatkan oleh
bangkitan refrakter dan antikonvulsan, penurunan penglihatan dan kebutaan
akibat glaukoma, gangguan kosmetik, serta manifestasi keterlibatan jaringan
ikat lain.4,5,6
Dalam suatu penelitian terhadap 60 pasien SWS di Children’s Hospital,
Boston, Amerika Serikat, dilaporkan dua kematian (3,3%). Oakes (1990)
melaporkan empat kematian dari 30 pasien.4
Faktor Keturunan, Ras, dan Jenis Kelamin
Secara epidemiologi, kejadian SWS bersifat sporadik. Tidak ada
perbedaan berdasarkan ras atau jenis kelamin yang dilaporkan.6
Secara umum, SWS mudah didiagnosis saat lahir atau di masa bayi
berdasarkan tanda klinis saja. Walaupun demikian, perkembangan penyakit
akibat perubahan sekunder dan penyulit akan terjadi seumur hidup.
Kebanyakan bangkitan terjadi dalam tahun pertama setelah lahir (80%).
Glaukoma sekunder bisa muncul di segala usia meski paling banyak muncul
di usia dini. Enam puluh persen glaukoma timbul saat lahir atau di masa bayi
awal sedangkan 30% terjadi saat masa kanak-kanak.4,6
GAMBARAN PATOLOGI ANATOMI
Susunan Saraf Pusat
3
Refarat: Sindrom Sturge-WeberArthur H.P. Mawuntu
Leptomeningen terlihat menebal dan kehilangan warna akibat angioma
leptomeningen yang mengisi ruang subaraknoid. Terlihat juga struktur vena
yang abnormal.4
Biopsi biasanya tidak dilakukan pada SWS. Meskipun demikian, spesimen
patologis menunjukkan deposit kalsium di dinding pembuluh darah otak, di
jaringan perivaskular, dan kadang-kadang dalam neuron. Terlihat pula
kehilangan neuron dan gliosis. Abnormalitas ini bisa terlihat jauh dari lesi
vaskular sebenarnya. 4
Dari penelitian terhadap kasus-kasus bedah epilepsi, Di Trapeni, dkk
melaporkan adanya substansi mukopolisakarida dengan kalsium dalam
jaringan ikat pembuluh darah. Selanjutnya substansi mukopolisakarida
dengan kalsium tersebut membesar dan bermigrasi ke luar pembuluh darah.
Mereka memperkirakan bahwa anoksia, nekrosis, dan variasi kadar kalsium
hanya merupakan faktor sekunder. 4
Kulit
Pada biopsi kulit PWS terlihat pembuluh darah tipis dan melebar di
pleksus vaskularis superior tanpa peningkatan jumlah pembuluh darah. 4
Mata
Pada spesimen trabekulektomi pasien SWS terlihat deposit kolagen
abnormal dan banyaknya pembuluh darah di ruang intratrabekular kanal
Schlemm. Jala hemangioma intratrabekular merupakan ciri khas SWS. 4
PATOGENESIS
Seperti telah disebutkan, pembuluh darah embrional residual dan efek
sekundernya terhadap jaringan otak sekitar menyebabkan sindrom Sturge-
Weber. Suatu pleksus vaskularis berkembang di sekitar bagian sefalik tuba
neuralis di bawah ektoderm yang dirancang untuk menjadi kulit. Normalnya,
pleksus ini terbentuk pada minggu ke-6 dan mengalami regresi pada minggu
ke-9 kehamilan. Kegagalan regresi normal ini menyebabkan timbulnya
jaringan vaskular residual yang membentuk angiomata leptomeningen,
wajah, dan mata ipsilateral.4,5,7
4
Refarat: Sindrom Sturge-WeberArthur H.P. Mawuntu
Gangguan neurologis terjadi karena efek terhadap jaringan otak sekitar
yang mencakup hipoksia, iskemia, oklusi vena, trombosis, infark, dan
fenomena vasomotor.4,5
Dari pemeriksaan spesimen patologis, Norman dan Schoene
beranggapan bahwa abnormalitas aliran darah dalam angioma
leptomeningen menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler, stasis, dan
anoksia. Garcia, dkk dan Gomez & Bebin melaporkan bahwa oklusi vena bisa
secara nyata menyebabkan gangguan neurologis awal seperti bangkitan,
hemiparesis sepintas, atau keduanya.4
Steal phenomenon vaskular bisa berkembang di sekitar angioma
sehingga menyebabkan iskemia korteks. Bangkitan berulang, status
epileptikus, bangkitan refrakter, dan kejadian vaskular berulang bisa
memperparah fenomena tersebut karena peningkatan iskemia korteks.
Selanjutnya iskemia korteks juga menyebabkan kalsifikasi progresif, gliosis,
dan atrofi yang pada gilirannya menyebabkan peningkatan peluang
bangkitan dan perburukan neurologis.4,5
Maria, dkk, Reid, dkk, dan Sujansky & Conradi mencatat adanya
perburukan SWS yang jelas meski angioma leptomeningen tidak membesar.4
Udani, dkk mengikuti perjalanan penyakit dan mengamati temuan MRI
sembilan pasien dengan SWS. Mereka menemukan bahwa bangkitan yang
lebih dini berhubungan dengan defisit neurologis residual dan memperburuk
atrofi otak. Mereka juga menemukan bahwa dalam kebanyakan kasus,
perjalanan penyakit menjadi stabil setelah usia lima tahun.4
Pengendalian bangkitan, terapi aspirin, dan terapi bedah dini mencegah
perburukan neurologis.4
Manifestasi okular utama (mis. buftalmos, glaukoma) terjadi sekunder
dari peningkatan tekanan intraokular (TIO) dengan obstruksi mekanis di
sudut mata, peningkatan tekanan vena episklera, atau peningkatan sekresi
humor akuosa.4,6
Pembuluh darah korteks yang mengalami malformasi ternyata hanya
diinervasi oleh serabut saraf noradrenergik. Peningkatan ekspresi endothelin-
1, suatu peptida yang mampu menyebabkan vasokonstriksi, juga terlihat di
pembuluh-pembuluh darah tersebut. Temuan ini mungkin menjelaskan
peningkatan vasokonstriksi di pembuluh darah korteks yang mengalami
malformasi. 4
5
Refarat: Sindrom Sturge-WeberArthur H.P. Mawuntu
Fibronektin merupakan molekul yang penting dalam regulasi
angiogenesis, mempertahankan sawar darah-otak, struktur dan fungsi
pembuluh darah, dan respons jaringan otak terhadap bangkitan. Comi, dkk
melaporkan bahwa pada pasien SWS, terlihat penurunan ekspresi fibronektin
di pembuluh darah leptomeningen dan peningkatan ekspresi di pembuluh
darah parenkim. Selain itu, ditemukan juga penurunan lingkar pembuluh
darah dan peningkatan densitas pembuluh darah. 4,8,9
Secara keseluruhan, pada SWS, mutasi somatik kelihatannya
mempengaruhi regulasi struktur dan fungsi pembuluh darah, inervasi
pembuluh darah, serta ekspresi matriks ekstrasel dan molekul vasoaktif. 4
GAMBARAN KLINIS
Gambaran klinis SWS mencakup kelainan SSP, mata, dan kulit. Tabel I
memperlihatkan gambaran klinis SWS yang sering ditemui. 4
TABEL I.GAMBARAN KLINIS SWS
Gambaran Klinis Prosentase(%)
Risiko SWS dengan PWS fasial 8SWS tanpa nevus fasial 13Keterlibatan otak bilateral 15Bangkitan 72 – 93Hemiparesis 33Hemianopia 44Nyeri kepala 77Keterlambatan perkembangan dan retardasi mental 50 – 75Glaukoma 30 – 71Hemangioma koroid 40
Sumber : Masanori & Riviello (2008). 4
Bercak Port-wine, Masalah Kosmetik, dan Hipertrofi Jaringan Lunak
PWS merupakan efloresensi makular kongenital yang bisa menjadi
progresif. Lesi ini awalnya bisa berwarna merah muda yang kemudian
berubah menjadi lesi nodular merah tua atau ungu (Gambar 1). PWS bisa
muncul sendiri di kulit, berhubungan dengan lesi di pembuluh darah koroid
mata atau pembuluh darah leptomeningen otak, atau bahkan di kulit bagian
tubuh lain. PWS sulit terlihat pada pasien berkulit gelap. 4
6
Refarat: Sindrom Sturge-WeberArthur H.P. Mawuntu
Pasien yang khas memiliki angioma fasial saat lahir. Meskipun demikian,
tidak semua pasien dengan angioma fasial dan PWS mengidap SWS. Insidens
keseluruhan SWS pada pasien PWS sekitar 8 – 33%. Di lain pihak, pada SWS
skala Roach tipe III terdapat angioma leptomeningen tanpa kelainan kulit
sehingga tidak timbul kecurigaan akan adanya SWS sampai timbul bangkitan
atau gangguan neurologis lain. Ini tentu menjadi masalah dalam diagnosis
dan prognosis. 4,6
Gambar 1. Bercak port-wine pada pasien SWS di daerah fasial bilateral pada distribusi ramus oftalmikus dan maksilaris.
Sumber : Masanori & Riviello (2008). 4
Enjolras, dkk secara retrospektif mempelajari 106 pasien dengan PWS
fasial. Dua belas dari mereka menderita SWS dan empat menderita glaukoma
tanpa lesi pia mater. SWS terjadi hanya saat PWS melibatkan kulit di
distribusi ramus oftalmikus nervus trigeminus (N. V1). Tidak ada pasien
dengan PWS di daerah distribusi ramus maksilaris dan mandibularis nervus
trigeminus (N. V2 & N.V3) tanpa keterlibatan N. V1 yang menderita PWS. 4
Bioxeda, dkk mempelajari 121 pasien PWS yang mengenai kulit pada
distribusi nervus trigeminus. Mereka menyimpulkan bahwa hanya pasien
dengan PWS di daerah N. V1 yang berisiko epilepsi atau glaukoma. 4
Dalam studi tentang SWS terbesar sampai saat ini, Tallman, dkk
melaporkan 310 pasien dengan SWS. Delapan puluh lima persen mengalami
lesi PWS unilateral, 15% bilateral, dan 68% mengalami lesi di lebih daripada
satu dermatom. Hanya pasien dengan PWS yang mengenai distribusi N. V1
dan N. V2 yang mengalami keterlibatan SSP dan mata. Dua puluh empat
pasien dengan lesi bilateral dan 6% pasien dengan lesi unilateral mengalami
7
Refarat: Sindrom Sturge-WeberArthur H.P. Mawuntu
lesi di SSP dan mata. Mereka merekomendasikan pemeriksaan glaukoma dan
keterlibatan SSP jika PWS melibatkan kelopak mata, lesi V1, V2, dan V3
unilateral, atau lesi bilateral. 10
Perlu diingat bahwa PWS ekstrafasial bisa berhubungan dengan
abnormalitas intrakranial seperti yang ditemukan pada SWS, misalnya pada
sindrom Klippel-Trenaunay-Weber. PWS di leher juga berhubungan dengan
kalsifikasi di lobus oksipitalis. 4,5
Survei Sturge-Weber Foundation terhadap 171 pasien SWS melaporkan
adanya abnormalitas lain pada seluruh pasien tersebut. Abnormalitas ini
mencakup lesi kulit pada semua pasien, asimetrisitas tubuh pada 164 dari
171. Dari 164 pasien tersebut, ditemukan hipertrofi jaringan lunak pada 38
pasien dan skoliosis pada 11 pasien. Karsinoma sel basal dilaporkan pernah
timbul dalam lesi PWS. 4
Bangkitan: Bangkitan Refrakter, Bangkitan Fokal, Umum, dan Status
Epileptikus
Insidens epilepsi pada pasien SWS sekitar 75 – 90%. Bangkitan bisa
bersifat refrakter. Anak dengan SWS bisa memiliki perkembangan neurologis
awal yang normal sampai muncul bangkitan sebagai manifestasi gangguan
neurologis. Pascual-Castroviejo, dkk melaporkan adanya bangkiyan pada 32
dari 40 pasien SWS. Bangkitan dimulai saat demam pada 10 pasien (demam
bisa menjadi faktor pencetus di segala usia). 4,11
Kebanyakan tipe bangkitan adalah bangkitan fokal. Dalam penelitian
Pascual-Castroviejo, dkk juga dilaporkan 22 (69%) pasien mengalami
bangkitan fokal kontralateral dari PWS. Generalisasi sekunder terjadi pada
enam dari 22 pasien tersebut. Delapan pasien (25%) mengalami bangkitan
umum saat awitan. Dua pasien mengalami spasme infantil. 11
Pasien dengan awitan bangkitan lambat memiliki insiden keterlambatan
perkembangan yang lebih rendah. Awitan bangkitan sebelum usia dua tahun
meningkatkan risiko epilepsi refrakter dan retardasi mental. Pasien dengan
bangkitan refrakter lebih sering mengalami retardasi mental. 4
Bebin dan Gomez melaporkan awitan lebih dini pada penyakit bilateral.
Pascual-Castroviejo, dkk juga melaporkan bahwa pasien dengan bangkitan
yang lebih sering cenderung mengalami awitan bangkitan lebih dini. 4,11
8
Refarat: Sindrom Sturge-WeberArthur H.P. Mawuntu
Status epileptikus lebih berbahaya pada pasien SWS. Ini dikarenakan
sistem vaskular telah mengalami gangguan seperti steal phenomenon dari
angioma sehingga bangkitan akan lebih mudah menyebabkan cidera otak. 4
Hemiparesis
Insidens hemiparesis sekitar 33%. Hemiparesis paling sering terjadi
akibat iskemia karena oklusi vena dan trombosis. Umumnya kelemahan
sepintas bisa terjadi setelah bangkitan. Hemiparesis sepintas bisa disertai
nyeri kepala migrain. Ini mungkin menandakan bahwa mekanisme vaskular
bertanggung jawab bagi terjadinya hemiparesis sepintas. 4
Episode-episode Serupa Stroke
Gangguan neurologis sepintas berulang disebut episode-episode serupa
stroke. Maria, dkk melaporkan 14 dari 20 pasien yang ditelitinya mengalami
gejala ini. Garcia, dkk melaporkan episode trombosis berulang. Selain
episode serupa stoke, bisa juga terjadi stroke pada pasien SWS. Insidens
gangguan neurologis lebih tinggi pada orang dewasa. 4
Hemianopia
Mekanisme terjadinya serupa dengan hemiparesis hanya lokasinya saja
yang berbeda. Uram dan Zullabigo melaporkan heminaopia pada 11 dari 25
(44%) pasien. 4
Keterlambatan Perkembangan dan Retardasi Mental
Keterlambatan perkembangan dan retardasi mental berhubungan
dengan besarnya keterlibatan SSP. Masalah ini terjadi pada 50 – 60% pasien
dan lebih sering terjadi pada penyakit bilateral. 4
Pada sepuluh pasien SWS, Maria, dkk menemukan keterlambatan
perkembangan dan masalah belajar pada kesepuluh pasien dan gangguan
di traktus kortikospinalis hemisfer yang terkena yang terlihat sebelum timbul
defisit motorik. 4
15
Refarat: Sindrom Sturge-WeberArthur H.P. Mawuntu
A
B1 B2
Gambar 4. a. MRI T1WI potongan aksial dengan pemberian zat kontras gadolinium pada anak berusia 5 tahun dengan nevus fasialis dekstra dan riwayat kejang fokal: tampak penyangatan pia mater yang intens pada malformasi angiomatosa dan atrofi korteks serebri sekitarnya; b1. CT scan potongan aksial dengan pemberian kontras pada pasien SWS: tampak atrofi serebri dekstra dan pembesaran pleksus koroideus dekstra; b2. MRI T1WI potongan aksial dengan pemberian zat kontras gadolinium pasien yang sama: tampak atrofi serebri dekstra, korteks oksipital yang menyangat, dan pembesaran pleksus koroideus dekstra; penyangatan malformasi ini tidak jelas terlihat dalam CT scan yang dibuat sebelumnya.
Atrofi korteksMielinisasi sekitar angioma leptomeningen
SPECT Hiperperfusi, tahap diniHipoperfusi, tahap lanjut
PET HipometabolismeEEG Penurunan aktivitas latar
Aktivitas delta polimorfikAktivitas epileptiform
Sumber : Masanori & Riviello (2008). 4
DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING
Seperti telah disebutkan sebelumnya, pada kasus-kasus klasik, diagnosis
PWS mudah dibuat. Adanya PWS mengarahkan kecurigaan kita terhadap
SWS. Meskipun demikian tidak semua SWS memiliki manifestasi kulit dan
tidak semua PWS adalah SWS. 4
Pemikiran ke arah SWS masuk akal bila kita menemukan neonatus
dengan PWS atau glaukoma infantil. Pemeriksaan neurologis, mata, dan
pemeriksaan penunjang berupa pencitraan neurologis dan profil hormon
sebaiknya dibuat untuk membantu menegakkan diagnosis. Jika dalam
pemeriksaan belum ditemukan apa-apa, maka pasien harus diikuti
perkembangannya karena gejala SWS dapat timbul di usia yang lebih tua. 4,5,6
Timbulnya manifestasi neurologis berupa epilepsi refrakter,
keterlambatan perkembangan, episode serupa stroke, atau stroke juga
mengarahkan kita untuk melakukan pencitraan neurologis struktural,
fungsional dan EEG dengan SWS sebagai salah satu diagnosis bandingnya. 4
Diagnosis banding SWS cukup banyak bila kita mendiagnosis banding
setiap unsur dari sindrom tersebut. Bangkitan, nyeri kepala, episode serupa
stroke, dan stroke, keterlambatan perkembangan, serta retardasi mental
harus didiagnosis banding dengan penyebab lain yang bisa ditemukan pada
anak.
Sindrom Klippel-Trenaunay-Weber memberikan gambaran PWS di wajah
dan ekstremitas yang disertai hemihipertrofi jaringan lunak dan tulang,
angioma SSP, dan mungkin berhubungan dengan tumor solid organ dalam
terutama ginjal, kelenjar adrenal, atau hepar. Sindrom Beckwith-Wiedemann
memberikan gambaran PWS disertai makroglosia, omfalokel, dan hiperplasia
organ dalam. 5
Hemangioma koroid terkadang sukar dibedakan dengan melanoma.
Tumor fundus berwarna jingga yang harus dipertimbangkan dalam
19
Refarat: Sindrom Sturge-WeberArthur H.P. Mawuntu
mendiagnosis banding hemangioma koroid difus adalah ablasio epitel pigmen
retina serosa, osteoma koroid, skleritis nodular, dan hemangioma kapiler
retina eksofitik. 4,6
Sindrom Klippel-Trenaunay-Weber dan sindrom Wyburn-Mason dapat
memberikan gambaran angiografik yang mirip SWS. Kalsifikasi intrakranial
giriformis juga bisa disebabkan oleh infark serebri, meningitis dan ensefalitis,
iradikasi tulang tengkorak, meningioangiomatosis, penyaki seliak, dan
leukemia setelah pemberian methotrexate intratekal. 5
Diagnosis SWS klasik dibuat jika kita menemukan adanya PWS yang
disertai angioma leptomeningen dan koroid. Terdapat beberapa variasi dari
bentuk klasik penyakit ini seperti yang terlihat dalam skala Roach. 4
Pada Gambar 6 ditunjukkan ilustrasi pendekatan diagnosis SWS pada
seorang anak dengan PWS. 6
A B
20
Refarat: Sindrom Sturge-WeberArthur H.P. Mawuntu
C
Gambar 6. Contoh pendekatan diagnosis pada SWS.a. Seorang anak dengan PWS yang terutama mengenai daerah N. V2 & V3 sinistra dengan keterlibatan daerah N. V1 sinistra yang lebih ringan. Tampak jelas glaukoma sekunder; b. Selanjutnya dilakukan ultrasonografi bola mata dan tampak penebalan koroid difus yang sesuai dengan hemangioma koroid difus; c. MRI T1WI yang dibuat selanjutnya menunjukkan hemiatrofi serebri sinistra yang berhubungan dengan angioma leptomeningen.
Sumber : Del Monte & Eibschitz-Tsimhoni (2007). 6
PENATALAKSANAAN
Medikamentosis
Terapi medikamentosis mencakup antara lain antikonvulsan untuk
pengendalian bangkitan, terapi simptomatik dan profilaksis nyeri kepala,
terapi glaukoma untuk menurunkan tekanan intraokular, dan terapi laser
untuk PWS. 4
Bangkitan
Obat antiepilepsi yang dipilih sebaiknya adalah antiepilepsi yang efektif
untuk bangkitan fokal karena bangkitannya yang khas bersifat fokal. Dapat
dicoba terapi dengan carbamazepine, valproic acid, gabapentin, clonazepam,
phenobarbital, dan phenytoin. Cara pemberian dan evaluasi sama seperti
dalam pengobatan epilepsi. 4
Glaukoma
Tujuan terapi adalah perbaikan gejala, pengendalian tekanan intraokular
untuk mencegah cidera nervus optikus. 6
Untuk anisometropia ringan dapat dilakukan koreksi optik total di kedua
mata atau setidaknya koreksi total perbedaan refraksi antar mata. Pada
21
Refarat: Sindrom Sturge-WeberArthur H.P. Mawuntu
anisometropia berat atau jika timbul strabismus pada anak harus dilakukan
terapi untuk mencegah ambliopia dan strabismus. 6
Terapi medis pada SWS dengan glaukoma biasanya pada akhirnya gagal.
Meskipun demikian terapi ini dapat digunakan sementara untuk segera
menurunkan TIO sembari pasien menunggu giliran operasi. Pada anak-anak,
hal ini juga bertujuan untuk menunda bedah filtrasi sebab tindakan ini sulit
dilakukan di mata yang lebih kecil (lebih eksesif dan kecenderungan
terjadinya parut di tempat flap sklera lebih besar). 6
Terapi medis juga berfungsi sebagai tambahan untuk pembedahan.
Terapi antiglaukoma topikal selama beberapa waktu bisa membantu
menurunkan TIO pasca operasi yang masih sedikit lebih tinggi daripada nilai
normal sehingga tidak perlu dilakukan reoperasi ulang. Terapi medis awal
dengan penyekat beta topikal yang diikuti penambahan inhibitor anhidrase
karbonat (sistemik pada bayi dan topikal pada anak yang lebih tua) dan
prostaglandin (latanoprost) merupakan protokol yang dianjurkan untuk
pasien SWS pasca operasi glaukoma. 5,6
Efektifitas radioterapi seperti brakiterapi atau iradiasi sinar eksternal
untuk pasien hemangioma koroid difus yang berhubungan dengan ablasio
retina bulosa masih belum diketahui. Masih diperlukan penelitian lanjut untuk
menilai hasilnya dibandingkan terapi standar seperti fotokoagulasi. 5,6
Paulus, dkk melaporkan adanya perbaikan dari ablasio retina eksudatif
persisten setelah terapi dengan injeksi pegaptanib (anti-WEGF) pada seorang
penderita SWS berusia 13 tahun. Walaupun demikian, tidak terjadi perbaikan
argon, goniotomi laser Nd:YAG, dan prosedur seton untuk glaukoma,
pembedahan otot mata untuk strabismus, dan enukleasi.
Terapi ambliopia, koreksi lensa refraksi, dan ortoptik dapat dilakukan
untuk strabismus ringan. Terapi rehabilitatif serta bimbingan dan edukasi
orang tua perlu juga dilakukan pada kasus-kasus epilepsi refrakter,
keterlambatan perkembangan, dan retardasi mental.
Intervensi dini memperbaiki perjalanan klinis penyakit.
Pemantauan lanjut harus dilakukan karena gangguan neurologis dan
mata pada SWS sering tidak langsung muncul di saat lahir. Pemantauan
lanjut mencakup pemeriksaan fisik umum, tumbuh-kembang, neurologis,
neurobehaviour, pemeriksaan mata, dan pemeriksaan penunjang.
31
Refarat: Sindrom Sturge-WeberArthur H.P. Mawuntu
KEPUSTAKAAN
1. Ropper AH, Brown RH. Adams and Victor’s Principles of neurology. 8-th ed. Meningo- or encephalofacial angiomatosis with cerebral calsification. New York: McGraw-Hill; 2005. p. 872.
2. Madaan V, Dewan V, Ramaswany S, Sharma A. Behavioural manifestations of sturge-weber syndrome: a case report. Prim Care Companion J Clin Psychiatry 2006;8:198 – 200.
3. Gutmann DH, Wetmore C, O’Neill BP. The phakomatoses. In: Schiff D, O’Neill BP, editors. Principles of neuro-oncology. New York: McGraw-Hill, 2005. p.233 - 58.
4. Masanori T, Riviello JJ. Sturge-weber syndrome. Available from: http://www.emedicine.com. Cited: September 25 2009. 5 of 5 screens.
5. Khan AN, Turnbull I, MacDonald S, Al-Okaili R. Sturge-weber syndrome. Available from: http://www.emedicine.com. Cited: September 25 2009. 4 of 4 screens.
6. Del Monte MA, Eibschitz-Tsimhoni M. Sturge-weber syndrome. Available from: http://www.emedicine.com. Cited: September 25 2009. 5 of 5 screens.
8. Zhou Q, Zheng JW, Yang XJ, Wang YA, Ye WM, Zhu HG, Zhang ZY. Fibronectin: characterization of a somatic mutation in Sturge-Weber syndrome (SWS). Med Hypotheses. 2009 Aug;73(2):199-200.
9. Comi AM. Advances in Sturge-Weber syndrome. Curr Opin Neurol. 2006 Apr;19(2):124-8.10. Tallman B, Tan OT, Morelli JG. Location of port-wine stains and the likelihood of
ophthalmic and/or central nervous system complications. Pediatrics. Mar 1991;87(3):323-7.
11. Pascual-Castroviejo I, Pascual-Pascual SI, Velazquez-Fragua R, Viaño J. Sturge-Weber syndrome: study of 55 patients. Can J Neurol Sci. 2008 Jul;35(3):301-7.
12. Comi AM, Bellamkonda S, Ferenc LM, Cohen BA, Germain-Lee EL. Central hypothyroidism and Sturge-Weber syndrome. Pediatr Neurol. 2008 Jul;39(1):58-62.
13. Desai P, SinghAD, Dessai A. Sturge-weber syndrome. Available from: http://www.emedicine.com. Cited: September 25 2009. 1 of 1 screens.
14. Paulus YM, Jain A, Moshfeghi DM. Resolution of persistent exudative retinal detachment in a case of Sturge-Weber syndrome with anti-VEGF administration. Ocul Immunol Inflamm. 2009 Jul-Aug;17(4):292-4.
15. Onesti MG, Fioramonti P, Carella S, Spinelli G, Scuderi N. Surgical and laser treatment of Sturge-Weber syndrome. Aesthetic Plast Surg. 2009 Jul;33(4):666-8.
16. Handryastuti S. Keterlambatan perkembangan motorik atau palsi serebral? Dalam: Ismail S, dkk. Pendidikan kedokteran berkelanjutan ilmu kesehatan anak XLIX: Pediatric neurology and neuroemergency in daily practice. Jakarta: Departemen IKA FKUI. hal. 119 – 36.